Uploaded by Ika Pertiwi

2004 PENGELOLAAN LIMBAH KOAGULASI DENGAN FESO4.7H2O

advertisement
Dasar-Dasar Teknik Kimia
ISSN 1410-9891
PERBANDINGAN PRALAKUAN KOAGULASI DENGAN
MENGGUNAKAN FeSO4.7H2O & Al2(SO4)3.18H2O
TERHADAP KINERJA MEMBRAN MIKROFILTRASI
POLYPROPILENE HOLLOW FIBER
Eva Fathul Karamah dan Fedy Gusti Kostiano
Program Studi Teknik Kimia, Departemen Teknik Gas & Petrokimia
Fakultas Teknik Universitas Indonesia, Depok 16424, Indonesia
Abstrak
Proses pengolahan air dengan menggunakan membran mikrofiltrasi sangat rentan
terhadap fouling, sehingga air umpan yang akan memasuki proses harus diberi pralakuan,
berupa koagulasi. Penelitian ini bertujuan untuk mempelajari dan membandingkan sejauh mana
pengaruh proses pralakuan koagulasi dengan menggunakan dua koagulan yang berbeda
terhadap kinerja membran mikrofiltrasi polypropylene hollow fiber, yaitu peningkatan fluks
permeat dan % removal (dilihat dari TDS dan COD-nya), sekaligus memilih koagulan yang tepat
untuk proses ini. Dalam penelitian ini, koagulan yang digunakan ialah koagulan berbasis
aluminium, yaitu Al2(SO4)3.18H2O, dan koagulan berbasis ferrum/besi, yaitu FeSO4.7H2O,
dengan variasi dosis tertentu.
Dari hasil penelitian didapatkan bahwa untuk koagulan FeSO4.7H2O, dengan dosis 70
ppm, persentase keefektifan koagulasi dapat mencapai 68% untuk penyisihan (removal) TDS dan
41 % untuk penyisihan COD-nya. Fluks permeat yang diperoleh sebesar 0,008 m3/m2/jam.
Persentase penyisihan TDS dan COD dalam proses mikrofiltrasinya ialah 57% dan 43%.
Sedangkan untuk koagulan Al2(SO4)3.18H2O, dengan dosis 70 ppm, persentase keefektifan
koagulasi mencapai 55% untuk penyisihan TDS dan 39% untuk penyisihan COD. Fluks permeat
yang diperoleh sebesar 0,02 m3/m2/jam. Persentase penyisihan TDS dan COD dalam proses
mikrofiltrasinya ialah 40% dan 39 %. Untuk penggunaan koagulan FeSO4.7H2O, disarankan pH
air umpan berkisar 8 – 9, dengan kecepatan pengadukan 120 rpm (selama 2 menit), dan 40 rpm
(selama 10 menit), waktu pengendapan ± 1 jam. Sedangkan untuk koagulan Al2(SO4)3.18H2O, pH
umpan berkisar 5,5-6,5, dan kecepatan pengadukan sama dengan koagulan FeSO4.7H2O, namun
waktu pengendapan cukup ± 30 menit.
Kata kunci: mikrofiltrasi, pengolahan air, koagulasi, aluminium sulfat, ferrous sulfat
Abstract
Microfiltration membrane in the water treatment process is susceptible to fouling. So, the
feed water that enter this process must be pretreated, such as coagulation. The aim of this
research are to study and compare the effect of coagulation process by using two different
coagulants based on the performance of polypropilene hollow fiber microfiltration membranes,
which are the increase of permeate flux and removal percentage of TDS and CO; and to choose
the suitable coagulant for this process. In this research, the coagulants used are aluminium based
coagulant (Al2(SO4)3.18H2O) and ferrum based coagulant (FeSO4.7H2O), which is varied in
certain dosages.
The result for FeSO4.7H2O coagulant with 70 ppm dosage are, the percentage of
coagulant effectivity increase to 68% for the TDS removal, and 41% for COD removal. The
permeate flux is 0,008 m3/m2/jam, TDS and COD removal percentage are 57% and 43%. While
for Al2(SO4)3.18H2O coagulant with the same dosage (70 ppm), the percentage of coagulant
effectivity is 55% for TDS removal and 39% for COD. The permeate flux is 0,02 m3/m2/jam, and
TDS and COD removal are 40% and 39%. For the used of FeSO4.7H2O coagulant, it is suggested
that feed water pH in the range of 8-9, with mixing speed 120 rpm (2 minutes), 40 rpm (10
minutes), and continued with 1 hour of settling time. For Al2(SO4)3.18H2O coagulant, the feed
water pH is 5,5-6,5, and mixed with the same speed as FeSO4.7H2O coagulant, but the settling
time is only 30 minutes average.
Key word: microfiltration, water treatment, coagulation, aluminium sulphate, ferrous sulphate
Peningkatan Daya Saing Nasional Melalui Pemanfaatan Sumber
Daya Alam untuk Pengembangan Produk dan Energi Alternatif
1
Dasar-Dasar Teknik Kimia
ISSN 1410-9891
1. Pendahuluan
Bumi dimana kita berada sekarang memang menyimpan cadangan air yang sangat banyak. Kira-kira 1,4
miliar km3. Tapi sumber air yang dapat digunakan untuk keperluan sehari-hari (air tanah dan air permukaan)
hanya kurang dari 1,5%. Ketersediaan air semakin terbatas diakibatkan oleh pencemaran yang timbul (Gabler,
1988).
Salah satu teknologi pengolahan air yang saat ini berkembang dengan pesat dan banyak diminati ialah
teknologi membran. Proses pengolahan air dengan menggunakan membran yang biasa digunakan ialah proses
mikrofiltrasi. Proses ini efektif untuk memisahkan mikroba-mikroba yang terkandung di dalam air yang
merugikan kesehatan seperti bakteri, alga, dan protozoa. Namun akan menjadi kurang efektif jika digunakan
untuk memisahkan kontaminan berukuran koloid yang terlarut dalam air karena dapat menimbulkan masalah
fouling pada membran. Untuk mengatasi masalah ini maka perlu ditambahkan suatu proses pralakuan, yaitu
koagulasi.
Koagulan yang mendominasi dan umum digunakan dalam proses koagulasi ialah koagulan berbasis
aluminium, yaitu Al2(SO4)3, dan koagulan berbasis ferrum/besi, yaitu FeSO4, Fe2(SO4)3 dan FeCl3. Kedua jenis
koagulan ini sering digunakan dikarenakan mempunyai rentang pH yang cukup besar. Rentang pH optimal
untuk aluminium berkisar 5.5-6.5. Sedangkan untuk koagulan besi, mempunyai rentang pH yang lebih besar
lagi, yaitu 4-9, sehingga sangat cocok digunakan untuk umpan yang mempunyai rentang pH yang besar.
Dalam penelitian ini, koagulan yang digunakan ialah koagulan berbasis aluminium, yaitu
Al2(SO4)3.18H2O, dan koagulan berbasis ferrum/besi, yaitu FeSO4.7H2O, dengan variasi dosis tertentu.
Penggunaan dua koagulan yang berbeda bertujuan untuk melihat sampai sejauh mana pengaruh koagulasi dalam
meningkatkan kinerja membran mikrofiltrasi, yaitu berupa peningkatan terhadap fluks permeat dan % removal.
Parameter untuk mengetahui peningkatan kinerja membran ini dilihat dari TDS (Total Dissolved Solid) dan
COD (Chemical Oxygen Demand)-nya.
2. Penelitian
Penelitian dilakukan dengan langkah-langkah yang terlihat pada Gambar 1. Sedangkan skema alat yang
digunakan ditampilkan pada Gambar 2.
Air umpan yang digunakan untuk proses ini berasal dari danau UI, yang terletak tepat di belakang
Fakultas Teknik Universitas Indonesia. Air umpan untuk koagulan FeSO4.7H2O memiliki rentang pH 7,3
hingga 8,8 dengan kisaran TDS 476-560 mg/L. Sedangkan untuk koagulan Al2(SO4)3.18H2O, pH air umpan
ialah 7,3 dan mempunyai rentang TDS 426-457 mg/L.
Pada proses koagulasi dilakukan 3 tahapan, yaitu; pengadukan cepat selama 2 menit (kecepatan 120
rpm), kemudian dilanjutkan dengan pengadukan lambat selama 10 menit (kecepatan 40 rpm), dan diakhiri
dengan proses pengendapan selama 30 menit. Pengadukan cepat dilakukan ketika koagulan ditambahkan ke
dalam air umpan. Pengadukan ini bertujuan untuk mendispersikan koagulan secara merata ke seluruh bagian air
umpan sehingga reaksi hidrolisis yang terjadi dapat berjalan dengan baik. Pengadukan lambat berfungsi untuk
membantu pembentukan flok-flok yang lebih besar setelah terjadi reaksi hidrolisis antara koagulan dengan air
umpan. Sedangkan pengendapan sendiri mempunyai tujuan agar flok yang terbentuk mempunyai waktu yang
cukup untuk mengendap di dasar bak reservoir.
Setelah proses koagulasi, air umpan kemudian diproses secara mikrofiltrasi dengan menggunakan
membran. Tekanan operasi sebesar 10 cmHg (± 0,135 bar).
Membran yang digunakan untuk proses mikrofiltrasi ialah membran polypropilene hollow fiber.
Polypropilene dipilih karena memiliki stabilitas kimia dan termal yang baik. Polypropilene merupakan polimer
kristalin, dan kristalinitas polypropilene membuatnya memiliki ketahanan kimia yang baik, karena dengan
terdapatnya kristalit-kristalit pada matriks polimer, polypropilene menjadi cukup sulit untuk melarutkan zat
(insoluble) dan reagen-reagen kimia agak sulit untuk masuk ke dalamnya (Mulder, 1997).
Peningkatan Daya Saing Nasional Melalui Pemanfaatan Sumber
Daya Alam untuk Pengembangan Produk dan Energi Alternatif
2
Dasar-Dasar Teknik Kimia
ISSN 1410-9891
Pengambilan Sampel di
Danau UI
Proses pralakuan koagulasi
Dengan Koagulan
Al2(SO4)3.18H2O
Dengan Koagulan
FeSO4.7H2O
Variasi Dosis
Koagulan
Variasi Dosis
Koagulan
Proses Mikrofiltrasi Dengan
Membran Polypropilene
Analisis Kualitas Hasil Olahan
(COD & TDS)
Penentuan Koagulan yang Tepat
Gambar 1 Diagram Alir Penelitian
Recycle line
Valve 2
Valve 4
Membran
Valve 3
Manometer
Valve 1
Reservoir 2
P
Pompa
Valve 5
Reservoir 1
Gambar 2. Skema Alat
Flow meter
Permeate
3. Hasil dan Pembahasan
Untuk koagulan Al2(SO4)3.18H2O, ketika pengadukan cepat disertai dengan penambahan koagulan pada
air umpan dilakukan, koagulan Al2(SO4)3 segera bereaksi dengan natural alkalinity yang terdapat dalam air,
yaitu Ca(HCO3)2 untuk membentuk ion aquometalik Al(OH)3 atau dengan nama lain flok, seperti terlihat dalam
reaksi dibawah ini (Peavy et.al., 1985):
( )
Al SO 18H O + 3Ca(HCO ) → 2Al(OH) + 3CaSO + 6CO + 18H O
(1)
2
4 3 2
3 2
3
4
2
2
Namun pada kondisi sebenarnya, ada beberapa tahapan raeksi yang harus dilalui, yaitu; ionisasi Al2(SO4)3
dalam air untuk membentuk ion Al3+ dan ion sulfat `(SO42-) yang diikuti dengan reaksi hidrolisis antara Al3+
dengan H2O, untuk membentuk ion aquometalik dan ion hidrogen, seperti yang terlihat di bawah ini;
Al3+ + 3H2O Æ Al(OH)3 + 3H+
Peningkatan Daya Saing Nasional Melalui Pemanfaatan Sumber
Daya Alam untuk Pengembangan Produk dan Energi Alternatif
(2)
3
Dasar-Dasar Teknik Kimia
ISSN 1410-9891
Ion aquometalik yang terbentuk tidak selamanya berupa Al(OH)3, namun dapat juga berupa Al(OH)2+,
Al(OH2)+ dan Al(OH)4-, yang tergantung pada pH umpan. Bila pH umpan berada pada pH optimum untuk
koagulan Al2(SO4)3 yaitu pada pH 5,5-6,5, maka ion aquometalik yang terbentuk adalah Al(OH)3, yang
mempunyai sifat tidak larut (insoluble), namun bila pH umpan tidak berada pada rentang pH tersebut, maka
akan terbentuk ion aquometalik yang lain, seperti Al(OH)4- yang bersifat larut sebagian (partial soluble).
Sedangkan untuk koagulan FeSO4.7H2O, reaksi yang terjadi mirip dengan reaksi pada koagulan
Al2(SO4)3. Ketika pengadukan cepat yang disertai dengan penambahan koagulan dilakukan, maka koagulan
FeSO4 segera bereaksi dengan natural alkalinity untuk membentuk ion aquometalik (flok). Namun ion
aquometalik yang terbentuk bersifat larut sebagian, seperti yang terlihat pada reaksi dibawah ini (Powell,
1954):
FeSO4 + Ca(HCO3)2
Æ
Fe(OH)2 + CaSO4 + 2CO2
(3)
Jika kondisi air umpan mempunyai pH yang lebih besar dari 6, maka ion aquometalik Fe(OH)2 akan secara
mudah teroksidasi menjadi ferric hydroxide (Fe(OH)3) oleh oksigen yang terlarut dalam air (Singley, 1998), dan
membentuk flok yang sangat tidak larut, dengan reaksi sebagai berikut:
4Fe(OH)2 + O2 + 2H2O Æ 4Fe(OH)3
(4)
Perbandingan antara kedua koagulan diuraikan seperti dibawah ini.
3.1 Berdasarkan Keefektifan Koagulan
Penggunaan koagulan yang berbeda berdampak terhadap keefektifan proses koagulasi itu sendiri.
Koagulan FeSO4.7H2O dan Al2(SO4)3.18H2O ternyata mempunyai tingkat keefektifan yang berbeda dalam
memisahkan TDS dan COD.
3.1.1 Penyisihan TDS
% Keefektifan Koagulasi
% Keefektifan Koagulasi
80
70
60
50
40
30
20
10
0
50
40
30
20
10
0
0
10
20
30
40
50
60
70
80
10
Dosis Koagulan (ppm)
Ferrous Sulfat
Aluminium Sulfat
Gambar 3 Kurva % keefektifan koagulasi dalam
penyisihan TDS
20
30
40
Dosis Koagulan (ppm)
50
60
70
80
Ferrous Sulfat
Aluminium Sulfat
Gambar 4 Kurva % Keefektifan Koagulasi dalam
Penyisihan COD
Dari Gambar 3 terlihat bahwa untuk masing-masing koagulan, terdapat kecenderungan yang sama, yaitu
% keefektifan koagulasi meningkat seiring dengan bertambahnya dosis koagulan.
Partikel koloid umumnya bermuatan negatif (Peavy et.al., 1985). Karena adanya pengaruh muatan
negatif tersebut, ion-ion positif yang terdapat pada air umpan akan tertarik ke sekeliling partikel koloid dan
membentuk suatu lapisan awan, yang disebut awan ionik. Awan ionik ini akan menimbulkan potensial
elektrostatik yang dapat menyebabkan timbulnya gaya tolak-menolak antara partikel koloid, yang membuat
koloid mempunyai sifat stabil.
Ketika suatu koagulan ditambahkan, koagulan tersebut akan terionisasi di dalam air. Ion-ion inilah yang
kemudian akan mengurangi gaya potensial elektrostatik yang ada. Hal ini dimungkinkan sebab ion-ion tersebut
akan mengkompresi lapisan awan ionik, sehingga membuat gaya van der waals menjadi lebih dominan
dibanding dengan potensial elektrostatik. Karena gaya yang ditimbulkan oleh potensial elektrostatik semakin
melemah, maka ion aquometalik yang memiliki afinitas yang besar akan teradsorb ke permukaan koloid,
sehingga proses penetralan atau destabilisasi koloid terjadi. Setelah proses destabilisasi terjadi, maka awan ionik
yang tadinya menyelubungi partikel koloid menghilang, sehingga kontak antar partikel koloid satu dengan yang
lainnya dapat terjadi (Peavy et.al., 1985).
Semakin tinggi dosis koagulan yang ditambahkan, maka akan semakin banyak ion-ion aquometalik
Fe(OH)3 atau Al(OH)3 yang mendestabilisasi koloid, sehingga semakin banyak flok yang terbentuk dan
akhirnya mengendap. Hal ini menyebabkan % keefektifan koagulan meningkat.
Peningkatan Daya Saing Nasional Melalui Pemanfaatan Sumber
Daya Alam untuk Pengembangan Produk dan Energi Alternatif
4
Dasar-Dasar Teknik Kimia
ISSN 1410-9891
Dari grafik terlihat bahwa % peningkatan koagulasi FeSO4 dan Al2(SO4)3 untuk dosis 10 dan 30 ppm
tidak terlalu jauh berbeda, namun untuk dosis 50 dan 70 terjadi peningkatan % keefektifan koagulasi yang
cukup signifikan pada koagulan FeSO4. Hal ini kemungkinan besar disebabkan oleh pH air yang berada pada
rentang pH optimum untuk koagulan FeSO4 (pH optimum 8-9) (Powell, 1954), yaitu pada pH 8.
Untuk dosis koagulan FeSO4 yang semakin tinggi (50 dan 70 ppm), flok-flok yang terbentuk juga akan
semakin banyak. Sehingga membuat % keefektifan koagulasi meningkat tajam. Selain itu, peningkatan %
keefektifan koagulasi juga dipengaruhi oleh banyaknya TDS yang terdapat dalam air umpan. Semakin banyak
TDS yang terkandung, maka pembentukan flok juga akan menjadi semakin mudah, yang akhirnya membuat %
keefektifan menigkat.
Sedangkan untuk koagulan Al2(SO4)3, pada dosis 50 dan 70 ppm tidak mengalami kenaikan yang
signifikan dikarenakan pH air (pH = 7,3) melewati rentang pH optimum untuk proses koagulasi dengan
Al2(SO4)3, yaitu pada rentang 5,5-6,5 (MacKenzie, 1998). Ketika pH optimum telah terlewati, maka
kemungkinan besar flok yang terbentuk bukan lagi Al(OH)3, melainkan Al(OH)4 yang mempunyai sifat larut
sebagian, sehingga flok yang telah terbentuk mudah pecah, dan membuat kenaikan % keefektifan koagulasi
menjadi tidak signifikan.
3.1.2 Penyisihan COD
Pada proses mikrofiltrasi, senyawa-senyawa organik sulit untuk dipisahkan, dikarenakan memiliki
diameter yang lebih kecil dibandingkan dengan diameter membran. Oleh karenanya diperlukan proses koagulasi
yang terbukti efektif dalam memisahkan senyawa organik.
COD (Chemical Oxygen Demand) merupakan total oksigen yang dibutuhkan oleh mikroorganisme untuk
mendegradasi senyawa-senyawa organik dan anorganik. Namun yang lebih banyak terdegradasi ialah senyawa
organik (Adams, 1990).
Pada Gambar 4 terlihat bahwa % keefektifan koagulasi semakin meningkat seiring dengan bertambahnya
dosis. Persentase keefektifan untuk FeSO4 dan Al2(SO4)3 tidak berbeda jauh dalam memisahkan senyawasenyawa tersebut, dan mencapai titik optimum pemisahan pada dosis 70 ppm, dimana % keefektifan koagulasi
sekitar 40%. Hal ini sesuai dengan teori yang ada, bahwa proses koagulasi dapat memisahkan senyawa-senyawa
organik dan anorganik (COD) berkisar antara 30% hingga 60%.
Proses yang terjadi dalam pemisahan senyawa-senyawa organik dan anorganik ini, kurang lebih sama
dengan proses pemisahan koloid, yaitu berupa proses pendestabilisasian koloid, yang diikuti dengan flokulasi
(pembentukan flok-flok), kemudian pengendapan, yang telah dijelaskan pada bagian sebelumnya.
3.2 Berdasarkan Fluks Permeat
Fluks permeat merupakan salah satu parameter penting dalam melihat kinerja membran mikrofiltrasi.
Fluks permeat atau laju permeasi didefinisikan sebagai volume cairan yang menembus membran (volume
permeat) per unit area per waktu. Koagulan FeSO4 dan Koagulan Al2(SO4)3 mempunyai pengaruh yang berbeda
terhadap peningkatan fluks permeat, seperti terlihat pada Gambar 5 dan Gambar 6 di bawah ini.
0.025
0.02
0 ppm
0.015
10 ppm
30 ppm
50 ppm
0.01
70 ppm
0.005
Fluks Permeat (m3/m2/jam)
Fluks Permeat (m3/m2/jam)
0.025
0.02
0 ppm
0.015
10 ppm
30 ppm
0.01
50 ppm
70 ppm
0.005
0
0
0
1
2
3
4
5
0
1
Gambar 5 Kurva Fluks Permeat Ferrous Sulfat
2
3
4
5
Waktu (jam)
Waktu (jam)
Gambar 6 Kurva Fluks Permeat Aluminium Sulfat
Dari kedua Gambar 5 dan Gambar 6 tersebut, terlihat bahwa fluks permeat terhadap dosis koagulan
memiliki kecenderungan yang sama, yaitu semakin tinggi dosis, maka fluks yang dihasilkan juga semakin
besar, namun fluks tersebut juga akan semakin turun seiring dengan waktu.
Hal ini dikarenakan, semakin tinggi dosis koagulan, flok yang terbentuk juga akan semakin banyak,
sehingga kualitas air umpan yang akan memasuki proses membran mikrofiltrasi juga akan semakin bagus, dan
hal ini tentu saja memperingan kerja membran, yang membuat fluks permeat semakin meningkat.
Selain itu dengan semakin banyaknya flok, filter cake yang terbentuk sebagai akibat dari fouling
(penutupan pori membran oleh partikel, bakteri, alga, dan sebagainya) yang terjadi pada membran, akan
Peningkatan Daya Saing Nasional Melalui Pemanfaatan Sumber
Daya Alam untuk Pengembangan Produk dan Energi Alternatif
5
Dasar-Dasar Teknik Kimia
ISSN 1410-9891
memiliki porositas yang besar, sehingga permeabilitas dalam cake juga menjadi semakin besar, dan membuat
air menjadi lebih mudah untuk menembus membran (fluks meningkat) bila dibandingkan dengan fouling yang
terjadi tanpa adanya pralakuan koagulasi.
Dari Gambar 5 dan Gambar 6 terlihat, bahwa fluks permeat untuk koagulan Ferrous Sulfat lebih kecil
bila dibandingkan dengan Aluminium Sulfat. Hal ini kemungkinan besar disebabkan waktu pengendapan
(settling time) selama 30 menit masih kurang. Berdasarkan literatur, waktu pengendapan untuk koagulan FeSO4
ialah sekitar 1 jam (Aguilar, et.el., 2001). Oleh karena itu ketika waktu pengendapan hanya 30 menit, masih
banyak flok-flok yang belum turun untuk mengendap. Sehingga ketika air umpan tersebut dialirkan ke dalam
proses mikrofiltrasi, flok-flok yang telah banyak terbentuk tersebut akhirnya menutupi permukaan membran
dan menimbulkan fouling. Hal ini ditandai dengan berubahnya warna membran yang pada awalnya putih,
menjadi kecoklatan, sebagai akibat tertutupi flok Fe(OH)3.
Berbeda halnya dengan koagulan Al2(SO4)3. Ketika waktu pengendapan sudah 30 menit, air umpan yang
tadinya keruh, berubah menjadi bening, karena sebagian besar flok-flok yang terbentuk selama proses koagulasi
sudah mengendap dengan baik di dasar bak. Sehingga ketika air umpan tersebut dialirkan ke proses
mikrofiltrasi, kerja membran menjadi jauh lebih ringan, yang ditandai dengan jauh lebih tingginya fluks
permeat Al2(SO4)3 bila dibanding dengan FeSO4.
Oleh karenanya, walaupun % keefektifan koagulasi FeSO4 lebih tinggi dari Al2(SO4)3, namun bila dilihat
dari fluks permeatnya, koagulan FeSO4 memiliki fluks yang jauh lebih kecil dibanding Al2(SO4)3. Sehingga
dapat disimpulkan, bahwa waktu pengendapan 30 menit merupakan waktu pengendapan yang tepat untuk
koagulan Al2(SO4)3, namun belum cukup untuk koagulan FeSO4.
Dari Gambar 6 terlihat bahwa untuk koagulan Al2(SO4)3, terjadi fenomena yang berbeda pada fluks
permeat untuk dosis 70 ppm, bila dibandingkan dengan fluks permeat pada koagulan FeSO4. Fenomena
penurunan fluks yang tajam pada kondisi 70 ppm ini dapat dijelaskan dengan suatu teori (Peavy et.al., 1985),
yang menyatakan bahwa penambahan dosis yang terlalu berlebih (over dosis) pada air umpan, akan
mengakibatkan stabilnya kembali koloid yang tadinya telah ternetralkan (coloid restabilizing), sehingga muatan
koloid yang sebelum ditambahkan koagulan bermuatan negatif, menjadi bermuatan positif, sebagai akibat dari
over dosis. Hal ini tentu saja mengakibatkan flok-flok yang telah terbentuk menjadi pecah kembali, yang
membuat fouling pada membran bertambah, sehingga fluks permeat turun drastis.
3.3 Berdasarkan % Removal (Penyisihan) TDS
TDS (Total Dissolved Solid) atau total padatan terlarut terdiri dari partikel koloid, yaitu, senyawa organik
dan anorganik, yang mempunyai ukuran partikel bervariasi, mulai dari 0,1 µm hingga 1 nm.
Persentase penyisihan TDS menyatakan berapa banyak TDS pada umpan yang terpisahkan setelah
melewati proses membran. Persentase penyisihan TDS merupakan hasil pengurangan antara TDS pada umpan
dengan TDS pada permeat dibagi dengan nilai TDS pada umpan.
70
70
60
60
50
0 ppm
10 ppm
40
30 ppm
30
50 ppm
70 ppm
20
10
% R(TDS)
% R (TDS)
50
0 ppm
10 ppm
40
30 ppm
30
50 ppm
70 ppm
20
10
0
0
0
1
2
3
4
5
0
1
Waktu (jam)
2
3
4
5
Waktu (jam)
Gambar 7 Kurva % Penyisihan TDS Ferrous Sulfat
Gambar 8 Kurva % Penyisihan TDS Aluminium
Sulfat
Dari Gambar 7 dan Gambar 8 terlihat bahwa kurva % Penyisihan TDS memiliki kecenderungan yang
sama, yaitu semakin tinggi dosis, dan semakin lamanya waktu operasi, maka % penyisihan TDS-nya juga akan
semakin meningkat.
Hal ini disebabkan semakin tinggi dosis, maka flok yang terbentuk juga akan semakin banyak, sehingga
kualitas air umpan yang masuk ke dalam proses mikrofiltrasi menjadi semakin bagus dan membuat kerja
membran menjadi ringan serta dapat melakukan fungsinya secara optimum.
Semakin lamanya waktu operasi juga mengakibatkan % penyisihan TDS-nya meningkat. Hal ini karena
seiring dengan waktu, fouling yang terjadi juga semakin meningkat, dan membuat semakin banyak filter cake
yang terbentuk pada permukaan membran. Filter cake ini akhirnya berfungsi sebagai filter tambahan untuk
menyaring umpan sebelum masuk ke dalam proses membran mikrofiltrasi, sehingga membuat % penyisihan
TDS meningkat.
Peningkatan Daya Saing Nasional Melalui Pemanfaatan Sumber
Daya Alam untuk Pengembangan Produk dan Energi Alternatif
6
Dasar-Dasar Teknik Kimia
ISSN 1410-9891
Pada Gambar 7 dan Gambar 8 terlihat bahwa % penyisihan TDS untuk ferrous sulfat lebih tinggi
dibanding dengan aluminium sulfat. Hal ini dikarenakan pH umpan yang berada pada pH optimum untuk
koagulan FeSO4. Sehingga proses koagulasi berjalan secara optimum, yang membuat semakin banyaknya flok
yang terbentuk. Flok-flok ini tidak semuanya mengendap dikarenakan waktu pengendapan yang kurang
optimum. Flok-flok yang belum mengendap ini turut terbawa ke dalam proses mikrofiltrasi hingga
menimbulkan fouling dan menyebabkan munculnya filter cake pada membran. Filter cake inilah yang akhirnya
menjadi filter tambahan bagi air, sebelum masuk ke dalam membran. Sehingga % penyisihan TDS meningkat.
Walaupun % penyisihan TDS koagulan FeSO4 ini lebih besar dari Al2(SO4)3, namun pada akhirnya memiliki
fluks permeat yang lebih kecil.
Pada % penyisihan TDS untuk koagulan Al2(SO4)3, sebagai akibat dari kurang optimumnya pH umpan
untuk proses koagulasi, menjadikan proses koagulasi tidak berjalan sebagaimana mestinya. Pada pH umpan
yang telah melewati rentang optimum pH koagulasi Al (pH = 5,5-6,5), maka kemungkinan besar flok-flok yang
terbentuk tidak lagi merupakan flok Al(OH)3 yang bersifat tidak larut (insoluble), melainkan Al(OH)4 yang
bersifat larut sebagian (partial soluble), sehingga flok-flok yang terbentuk ini mudah pecah bila mendapat
sedikit gangguan saja. Oleh karenanya hal ini berdampak pada tidak optimumnya % penyisihan TDS untuk
koagulan Al2(SO4)3.
3.4 Berdasarkan % Penyisihan COD
45
45
40
40
35
35
0 ppm
30
10 ppm
25
30 ppm
20
50 ppm
15
70 ppm
% R (COD)
% COD Removal
Dari Gambar 9 dan Gambar 10, terlihat bahwa kurva % penyisihan COD untuk masing-masing koagulan
tidak jauh berbeda. Kedua grafik tersebut sama-sama menunjukkan peningkatan persentase removal COD
terhadap kenaikan dosis seiring dengan meningkatnya waktu operasi.
Proses peningkatan % penyisihan COD ini hampir sama dengan peningkatan % removal TDS, yaitu
semakin tinggi dosis, maka flok yang terbentuk juga akan semakin banyak, sehingga kualitas air umpan untuk
proses mikrofiltrasi meningkat, yang menyebabkan membran dapat bekerja optimum dalam memisahkan
senyawa-senyawa organik dan anorganik.
0 ppm
30
10 ppm
25
30 ppm
20
50 ppm
15
10
10
5
5
70 ppm
0
0
0
1
2
3
4
5
0
1
2
3
4
5
Waktu (jam)
Waktu (Jam)
Gambar 9 Kurva % Penyisihan COD Ferrous Sulfat
Gambar 10 Kurva % Penyisihan COD Aluminium
Sulfat
3.5 Usulan Pemilihan Koagulan yang Tepat
Berdasarkan aspek-aspek yang telah dibahas sebelumnya, maka dapat disarikan beberapa hal penting
yang berkaitan dengan usulan pemilihan koagulan.
Tabel 1 Perbandingan Koagulan FeSO4.7H2O dan Al2(SO4)3.18H2O
Aspek
Keefektifan Koagulan dalam
Penyisihan TDS
Keefektifan Koagulan dalam
Penyisihan COD
Fluks Permeat
% Penyisihan TDS
% Penyisihan COD
Koagulan FeSO4.7H2O
Mampu menyisihkan TDS 40 %
- 68 %
Mampu menyisihkan COD 28 %
- 41 %
Kenaikan Fluks Permeat dari
dosis 0 ppm - 70 ppm;
0,003-0,008 m3/m2/jam
Penyisihan TDS dari dosis 0
ppm - 70 ppm;
10 % - 57 %
Penyisihan COD dari dosis 0
ppm – 70 ppm;
3 % - 43 %
Koagulan Al2(SO4)3.18H2O
Mampu menyisihkan TDS 40 % 55 %
Mampu menyisihkan COD 28 %
- 39 %
Kenaikan Fluks Permeat dari
dosis 0 ppm - 70 ppm;
0,01-0,02 m3/m2/jam
Penyisihan TDS dari dosis 0 ppm
– 70 ppm;
10 % - 43 %
Penyisihan COD dari dosis 0
ppm- 70 ppm;
3 % - 39 %
Peningkatan Daya Saing Nasional Melalui Pemanfaatan Sumber
Daya Alam untuk Pengembangan Produk dan Energi Alternatif
7
Dasar-Dasar Teknik Kimia
ISSN 1410-9891
Dari aspek-aspek tersebut diatas, dapat dilihat bahwa masing-masing koagulan memiliki kelebihan dan
kekurangan. Oleh karenanya, pemilihan koagulan yang tepat harus dilandaskan pada kondisi umpan, serta
kondisi operasi pada saat proses koagulasi. Sehingga usulan penggunaan koagulan yang tepat dengan melihat
kedua kondisi tersebut, adalah sebagai berikut:
Penggunaan Koagulan FeSO4.7H2O
pH air umpan
=8–9
Kecepatan Pengadukan =
120 rpm ( 2 menit)
40 rpm (10 menit)
Waktu Pengendapan
= ± 1 Jam
Penggunaan Koagulan Al2(SO4)3.18H2O
pH air umpan
= 5,5 – 6,5
Kecepatan Pengadukan =
120 rpm (2 menit)
40 rpm (10 menit)
Waktu Pengendapan
= ± 30 menit
4. Kesimpulan
Dari penelitian yang telah dilakukan, dapat disimpulkan beberapa hal mengenai pengaruh proses pralakuan
koagulasi terhadap kinerja membran mikroofiltrasi, seperti tersebut dibawah ini;
1. Persentase keefektifan koagulasi meningkat seiring dengan bertambahnya dosis koagulan. Untuk koagulan
FeSO4.7H2O, persentase keefektifan koagulasi dapat mencapai 68% untuk penyisihan TDS dan 41 % untuk
penyisihan COD-nya pada dosis 70 ppm. Sedangkan untuk koagulan Al2(SO4)3.18H2O, persentase
keefektifan koagulasi mencapai 55% untuk penyisihan TDS dan 39% untuk penyisihan COD pada dosis 70
ppm.
2. Semakin tinggi dosis, fluks yang dihasilkan juga semakin besar, namun fluks tersebut juga akan semakin
turun seiring dengan waktu. Untuk koagulan FeSO4.7H2O, fluks permeat untuk dosis 70 ppm mencapai
0,008 m3/m2/jam. Sedangkan untuk koagulan Al2(SO4)3.18H2O dapat mencapai hingga 0,02 m3/m2/jam.
3. Semakin tinggi dosis, dan semakin lamanya waktu operasi, maka % penyisihan TDS-nya juga akan
semakin meningkat. Untuk koagulan FeSO4.7H2O, persentase penyisihan TDS dapat mencapai 57%, dan
untuk penyisihan COD-nya sebesar 43% pada dosis 70 ppm. Sedangkan untuk koagulan Al2(SO4)3.18H2O,
persentase penyisihan TDS mencapai 40%, dan untuk penyisihan COD-nya sebesar 39% pada dosis 70
ppm.
4. Usulan pemilihan koagulan yang tepat dilandaskan pada kondisi umpan, serta kondisi operasi pada saat
proses koagulasi berlangsung.
Tabel 2 Usulan Pemilihan Koagulan yang Tepat
Koagulan FeSO4.7H2O
pH air umpan = 8 – 9
Kecepatan Pengadukan;
120 rpm (2 menit)
40 rpm (10 menit)
Waktu Pengendapan ± 1 Jam
Koagulan Al2(SO4)3.18H2O
pH air umpan = 5,5 – 6,5
Kecepatan Pengadukan;
120 rpm (2 menit)
40 rpm (10 menit)
Waktu Pengendapan ± 30 menit
Daftar Pustaka
Adams, V. Dean, “Water and Wastewater Examination Manual”, Lewis Publisher, 1990.
Aguilar, M.I, J. Slaez, M. Llorlens, A. Soler, J.F. Ortuno, “ Microscopic Observation of Particle Reductin
in Slaughterhouse Wastewater by Coagulation-Flocculation Using Ferric Sulphate as Coagulant and
Different Coagulant Aids”, Water Research, 2001.
Davis, MacKenzie. David A. Cornwell, ”Introduction to Environtmental Engineering”, 3rd ed, Mc-Graw
Hill, 1998.
Gabler, Raymond. Is Your Water Safe to Drink?. Consumers Union. 1988
Mulder, Marcel, “Basic Principles of Membrane Technology”, Kluwer Academic Publisher, Netherlands,
1997.
Peavy, S. Howard, Donald R. Rowe, George Tchobanoglous,“EnvirontmentalEngineering”,int. Ed. McGraw Hill, 1985.
Powell, T. Shepperd. “Water Conditioning for Industry”, 1st ed, Mc-Graw Hill, 1954.
Singley, J.E. “Encyclopedia of Chemical Technology”, 2nd ed. Vol.22, pp 82-104, 1998.
Peningkatan Daya Saing Nasional Melalui Pemanfaatan Sumber
Daya Alam untuk Pengembangan Produk dan Energi Alternatif
8
Download