Uploaded by mohd ridzuan Husain

first priciple thinking

advertisement
Pembahasan
Siapa yang tak kenal Elon Musk? Bapak-bapak umur 50 tahunan yang sering dimiripkan netizen Indo
dengan Nicholas Saputra ini kerap dijuluki sebagai si “delusional”. Meskipun mendapati berbagai
macam julukan, beberapa temuannya selalu sukses menjadi sorotan dan trendsetter dunia. Mulai
dari Paypal, Tesla, SpaceX, Hyperloop dan Neuralink yang baru-baru ini tengah sukses mengamati
monyet bermain video game karena microchip yang ditanam di dalam otaknya.
Salah satu rahsia kejayaan Elon Musk ternyata ada pada cara berpikirnya. “First
Principle” merupakan filosofi kuno yang ia terapkan. Dicetuskan oleh Aristoteles yang percaya
bahwa kita belajar lebih banyak dengan memahami prinsip-prinsip dasar dari suatu subjek [prinsip
utama atau asal dari segala sesuatu]. Di Silicon Valley, pendekatan ini populer digunakan sebagai
strategi pengambilan keputusan. Meskipun sebagian besar dari kita memikirkan masalah
berdasarkan pengetahuan umum tentangnya, memulai dari awal untuk mendapatkan akar masalah
dapat membantu kita melihatnya dari sudut pandang yang baru.
Menurut Reid Hoffman (Founder LinkedIn) dalam salah satu episode podcastnya, Master of Scale,
First Principle Thinking adalah sebuah gagasan bahwa semua yang kita lakukan didukung oleh
keyakinan mendasar atau prinsip utama. Alih-alih mengikuti arahan atau berpegang teguh pada
suatu proses, seorang yang berpikir First Principle akan terus-menerus bertanya, “Apa yang terbaik
untuk perusahaan?” dan, “Tidak bisakah kita melakukannya dengan cara lain?”. Ide dari First
Principle Thinking adalah untuk memecah masalah yang rumit menjadi elemen-elemen dasar dan
kemudian menyusunnya kembali dari awal. Ini adalah salah satu cara terbaik untuk belajar berpikir
sendiri dan membuka potensi kreatif kita.
Bagi Elon, First Principle Thinking berarti meringkas segalanya menjadi “kebenaran yang paling
mendasar” dan kemudian menalar dari sana.
“We get through life by reasoning by analogy, which essentially means copying what other people
do with slight variations. And you have to do that. Otherwise, mentally, you wouldn’t be able to
get through the day. But when you want to do something new, you have to apply the [first
principles] approach.”
— Elon Musk, at a TED conference in 2013
Bernalar dengan First Principle vs Analogi
Sebelum membedah bagaimana kerangka berpikir First Principle, kita ketahui terlebih dahulu
perbedaan bernalar dengan analogi dan First Principle. Dalam laman MARAY, First Principles
Thinking: The Definitive Guide, Ayk Martirosyan menuliskan beberapa perbandingan antara
pemikiran analogi dan First Principle yakni pelatih dan pencuri permainan, koki dan juru masak, atau
arsitek dan juru gambar. Menurut Ayk, dari contoh tersebut kita bisa melihat petunjuknya. Yang
pertama membangun sesuatu yang unik dan yang terakhir mengikuti instruksi.
“Not everyone that’s a coach is really a coach. Some of them are just play stealers.”
— Mike Lombardi, First Principles: The Building Blocks of True Knowledge
Dijelaskan lebih detail pada artikel First Principles: The Building Blocks of True Knowledge, bahwa
dalam kasus pelatih dengan si pencuri permainan, Elon Musk akan mengidentifikasi pencuri
permainan sebagai orang yang bernalar dengan analogi, dan pelatih sebagai seseorang yang
bernalar dengan First Principle. Ketika kita menjalankan sebuah tim, kita menginginkan seorang
pelatih yang bertanggung jawab dan bukan seorang pencuri permainan. Namun kenyataannya kita
semua berada pada spektrum antara pelatih dan si pencuri permainan. Kita bernalar dengan First
Principle, dengan analogi, atau perpaduan keduanya.
Pendapat lain yang disampaikan dalam artikel tersebut yakni ketika kita mengambil apa yang sudah
ada dan memperbaikinya, artinya kita berada dalam bayang-bayang orang lain. Analogi memang
bermanfaat, membuat masalah yang kompleks lebih mudah untuk dikomunikasikan dan
meningkatkan pemahaman. Namun, mereka membatasi keyakinan kita tentang apa yang mungkin
dan memungkinkan orang untuk berdebat tanpa pernah mengungkap pemikiran kita. Berbagai
analogi menggerakkan kita untuk melihat masalah dengan cara yang sama seperti orang lain melihat
masalah.
Satu hal yang perlu kita ingat juga bahwa analogi tidak bisa menggantikan pemahaman. Meskipun
lebih mudah bagi otak kita untuk bernalar dengan analogi, kita lebih cenderung mendapatkan
jawaban yang lebih baik saat kita bernalar dengan First Principle. Inilah yang menjadikannya salah
satu sumber pemikiran kreatif terbaik. Berpikir dalam First Principle memungkinkan kita beradaptasi
dengan lingkungan yang berubah, menghadapi kenyataan, dan meraih peluang yang tidak dapat
dilihat orang lain.
Adapun Ayk Martirosyan dalam tulisannya menambahkan bahwa sejak zaman kuno pengetahuan
dan kebijaksanaan diturunkan dari satu generasi ke generasi lainnya. Hal-hal tidak banyak berubah,
dan tidak didorong untuk mengambil risiko dan berpikir secara berbeda. Sementara di dunia yang
berubah cepat, sekarang lebih aman untuk mengeksplorasi dan mengambil risiko. Jika kita ingin
menemukan sesuatu yang baru, kita harus mengubah cara berpikir kita dan mengajukan pertanyaan
untuk menemukan sesuatu yang berwawasan dan rahasia.
Banyak produk, proyek, dan bisnis dirancang dengan analogi. Misalnya, ketika arsitek merancang
ruang, mereka menggunakan proyek yang dibangun sebelumnya sebagai dasar pekerjaan mereka.
Ada beberapa alasan untuk ini. Menurut Ayk, pertama, bangunan adalah entitas yang kompleks dan
mahal. Untuk membenarkan keputusan, kita memerlukan bukti bahwa solusi telah berhasil
sebelumnya dan akan berhasil di masa mendatang. Kedua, hal tersebut adalah hal termudah untuk
dilakukan. Ambil beberapa proyek yang sukses, gabungkan mereka dan kita akan memiliki sesuatu
yang “baru”. Ketiga, sebagian besar arsitek, dan orang pada umumnya, tidak diajari cara
mendesain from the ground up (membangun dari nol).
SpaceX dibangun dari nol. Elon Musk mengambil masalah yang ada, mendekonstruksinya,
menyingkirkan asumsi, dan membangun ide dari fondasinya.
Kerangka Pikir First Principle
Untuk mengubah pemikiran kita dari analogi ke First Principle, kita harus dengan sengaja
mempraktikkan dan mengintegrasikan frameworks ke dalam pemikiran kita. Berikut saya rangkum
3 frameworks pada tulisan Ayk Martirosyan yang akan membantu kita untuk mulai berlatih First
Principles Thinking:
Pertama: Socratic Questioning
1. Memperjelas pemikiran kita dan menjelaskan asal mula idea kita. Mengapa saya berpikir
demikian? Apa sebenarnya yang saya pikirkan?
2. Asumsi yang menantang(andaian yg mencabar). Bagaimana saya tahu ini benar? Bagaimana
jika saya berpikir sebaliknya?
3. Cari bukti. Mengapa menurut saya ini benar? Apa sumbernya?
4. Pertimbangkan perspektif alternatif. Apa yang mungkin dipikirkan orang lain? Bagaimana
saya tahu saya benar?
5. Periksalah konsekuensi(akibatnya) dan implikasinya. Bagaimana jika saya salah? Apa
konsekuensinya jika saya?
6. Pertanyakan pertanyaan asli. Mengapa saya berpikir demikian? Apakah saya benar?
Kesimpulan apa yang bisa saya tarik dari proses penalaran?
Hal ini dapat membantu kita mengetahui beberapa hal penting. Pertama, temukan asal mula ide
kita. Apakah itu berdasarkan asumsi kita? Dapatkah kita menemukan data untuk membuktikan
kelayakannya? Kedua, pertimbangkan perspektif yang berbeda secara simetris untuk memahami
kemungkinan konsekuensi. Terakhir, simpulkan dan lanjutkan dari sana.
Kedua: Kerangka Penalaran First Principle oleh Elon Musk
Elon Musk adalah salah satu orang pertama yang mempopulerkan penalaran dari First Principle.
Pendekatan ini membuatnya menemukan peluang untuk perusahaan barunya SpaceX dan Tesla,
yang menjadikannya orang terkaya di dunia pada tahun 2021. Elon baru memulai SpaceX ketika
seluruh industri kedirgantaraan bergeser. Sebelumnya, setiap perusahaan mengambil pendekatan
perubahan dan peningkatan bertahap (incremental change and improvement) sebelum
intervensinya.
Untuk menambah wawasan, dia mengajukan pertanyaan-pertanyaan berikut:

Apa masalahnya?

Kenapa mahal?

Apa yang dapat saya lakukan secara berbeda?

Apa yang kita tahu itu benar?

Apa hambatannya?
Tidak ada yang berasumsi untuk mengurangi biaya produksi dan peluncuran roket. Alasan First
Principle membuatnya menemukan bahwa biaya produksi dapat dikurangi secara signifikan. Dia
mendekonstruksi masalah menjadi prinsip dasarnya dan membangun solusinya dari bawah ke atas.
3 Langkah Kerangka Berpikir Elon Musk:
1. Identifikasi asumsi saat ini.
2. Memecah masalah menjadi prinsip dasarnya.
3. Ciptakan solusi baru dari fakta yang ditemukan.
Berikut saya ambil contoh penerapannya dari tulisan Mayo Oshin, Elon Musks’ “3-Step” First
Principles Thinking: How to Think and Solve Difficult Problems Like a Genius, bagaimana bernalar
dengan kerangka pikir Elon:
Asumsi: “Mengembangkan bisnis saya akan menghabiskan terlalu banyak uang.”
First Principles Thinking:
- Apa yang kita butuhkan untuk menumbuhkan bisnis yang menguntungkan?Saya perlu menjual
produk atau layanan ke lebih banyak pelanggan.
- Apakah harus mengeluarkan banyak uang untuk menjual ke pelanggan baru? Belum tentu, tetapi
saya mungkin memerlukan akses ke pelanggan baru ini dengan harga murah.
- Siapa yang memiliki akses ini dan bagaimana kita dapat membuat kesepakatan “win-win”? Saya
rasa saya dapat bermitra dengan bisnis lain yang melayani pelanggan yang sama dan membagi
keuntungan 50:50. Menarik.
Kerangka kerja ini menyediakan struktur yang kokoh untuk mendekonstruksi masalah dan menguji
solusi yang berbeda. Jika kita punya ide, coba terapkan kerangka Elon untuk mendapatkan wawasan
dan menemukan rahasia yang tidak memungkinkan untuk berpikir dengan analogi.
Ketiga: Kerangka 5 Whys
Anak-anak secara alami berpikir dengan First Principle. Sama seperti kita, mereka ingin memahami
apa yang terjadi di dunia. Mereka mengajukan pertanyaan sampai mereka mengerti dan memahami
dasarnya. Sayangnya, sebagian besar orang tua merasa kesal dengan pertanyaan yang terusmenerus. Mereka juga tidak mengetahui jawaban yang tepat atau berpikir bahwa seorang anak tidak
dapat memahami kompleksitas dunia. Oleh karena itu, jawaban paling populer di kalangan orang tua
adalah “Karena saya berkata begitu”, atau “Karena memang begitulah cara kerjanya.” Padahal
sebenarnya anak-anak hanya mencoba memahami mengapa orang dewasa mengatakan sesuatu
atau mengapa mereka ingin mereka melakukan sesuatu.
“To understand is to know what to do.”
— Wittgenstein
Ayk Martirosyan mengaku sering menggunakan “5 Whys” dalam psikologi untuk mengetahui alasan
sebenarnya di balik sesuatu yang tidak jelas atau kompleks. Misalnya, ketika dia merasakan emosi
negatif, dia mulai mempertanyakan dirinya sendiri untuk mempelajari mengapa dia berperilaku
seperti itu. Hal ini adalah cara berpikir yang ampuh. Begitu kita menjadikannya kebiasaan, kita akan
belajar menerapkannya di bidang lain dalam hidup kita.
Beberapa Hal yang Membatasi kita Menerapkan First Principle dalam Kehidupan Sehari-hari
Menurut artikel First Principles: The Building Blocks of True Knowledge, ada beberapa hal yang
menjadi kepercayaan kita dan sering kita katakan kepada diri sendiri. Tanpa disadari hal ini yang
membatasi kita dari pemikiran First Principle. Berikut penjabarannya:
“Aku tidak memiliki ingatan yang baik.”
Orang-orang memiliki ingatan yang jauh lebih baik daripada yang mereka kira. Dengan mengatakan
bahwa kita tidak memiliki ingatan yang baik hanyalah alasan untuk membiarkan kita lupa.
Mengambil pendekatan First Principle berarti menanyakan berapa banyak informasi yang dapat kita
simpan dalam pikiran kita. Jawabannya adalah “lebih dari yang kita pikirkan”. Sekarang setelah kita
tahu bahwa mungkin untuk memasukkan lebih banyak ke dalam otak, kita dapat mengubah masalah
menjadi menemukan cara paling optimal untuk menyimpan informasi di otak kita.
“Ada terlalu banyak informasi di luar sana.”
Banyak investor profesional ketika mengonsumsi informasi termasuk dalam dua kategori. Jenis
investor pertama mengatakan terlalu banyak informasi untuk dikonsumsi. Mereka menghabiskan
hari-hari mereka membaca setiap siaran pers, artikel, dan blogger mengomentari posisi yang mereka
pegang. Mereka bertanya-tanya apa yang mereka lewatkan. Jenis investor kedua menyadari bahwa
membaca segala sesuatu hanya tidak akan berkelanjutan, membuat stres dan membuat mereka
cenderung menilai terlalu tinggi terhadap informasi yang telah menghabiskan banyak waktu mereka.
Para investor ini, sebaliknya, berusaha memahami variabel-variabel yang akan memengaruhi
investasi mereka. Meskipun mungkin ada ratusan, biasanya ada tiga hingga lima variabel yang benarbenar akan berpengaruh. Para investor tidak perlu membaca semuanya, mereka hanya
memerhatikan variabel-variabel ini.
“Semua ide bagus sudah diambil.”
Cara umum orang membatasi apa yang mungkin adalah dengan mengatakan kepada diri sendiri
bahwa semua ide bagus sudah diambil. Namun, orang-orang telah mengatakan ini selama ratusan
tahun, kenyataannya banyak perusahaan yang terus memulai dan bersaing dengan ide, variasi, dan
strategi yang berbeda.
“Kita harus bergerak dulu.”
Pernyataan ini juga seringkali digaungkan oleh banyak orang. Jawabannya adalah tidak hitam putih
seperti pernyataan itu sendiri. iPhone bukanlah yang pertama, dia hanya lebih baik. Microsoft
bukanlah yang pertama menjual sistem operasi; dia hanya model bisnis yang lebih baik. Ada banyak
bukti yang menunjukkan bahwa penggerak pertama dalam bisnis lebih cenderung gagal daripada
yang terlambat. Namun mitos tentang perlunya “bergerak lebih dulu” terus ada. Kita harus
memecah setiap situasi menjadi beberapa bagian dan melihat kemungkinannya. Itu adalah hasil dari
pemikiran First Principle.
“Saya tidak bisa melakukannya, hal itu belum pernah dilakukan sebelumnya.”
Orang-orang seperti Elon Musk terus-menerus melakukan banyak hal yang belum pernah dilakukan
sebelumnya. Pemikiran seperti ini dapat dianalogikan dengan melihat kembali sejarah dan
bangunan, katakanlah tembok banjir, kita dapat melihat kembali berdasarkan banjir terparah yang
pernah terjadi sebelumnya. Taruhan yang lebih baik adalah melihat apa yang bisa terjadi dan
merencanakannya.
Melatih First Principles Thinking memang memungkinkan kita untuk membangun semuanya dari
awal, dari dasar, dari nol. Dan tentunya akan membutuhkan banyak usaha dan alokasi waktu kita.
Hal inilah penyebab masih sangat sedikit orang yang mau melakukannya. Menutup tulisan ini, Bapak
Elon pernah berkata bahwa setiap orang sebenarnya bisa belajar lebih banyak dari yang mereka
kira. Jangan mudah berputus asa, tetaplah semangat kawan!
Download