Uploaded by mithaamenoraaa

Referat pertusis

advertisement
Referat
PERTUSIS
Oleh:
Dwi Budi Narityastuti
G99141166 / E-04-2015
Isfalia Muftiani
G99131045 / E-06-2015
Arwindya Galih D.
G99142063 / E-16-2015
Riris Arizka Wahyu K.
G99142065 / E-18-2015
Firza Fatchya
G99141117 / F-16-2015
Kevin Wahyudi P
G99141118 / F-17-2015
Pembimbing:
dr. H. Rustam Siregar, Sp. A
KEPANITERAAN KLINIK SMF ILMU KESEHATAN ANAK
FAKULTAS KEDOKTERAN UNS/ RSUD DR MOEWARDI
SURAKARTA
2015
BAB I
PENDAHULUAN
Pertusis atau “batuk rejan” atau “batuk 100 hari” atau “whooping
cough” merupakan salah satu penyakit menular saluran pernapasan yang sudah
diketahui adanya sejak tahun 1500-an. Penyebab tersering dari pertusis adalah
bakteri gram (-) Bordetella pertussis.
Di seluruh dunia insidensi pertussis banyak didapatkan pada bayi dan
anak kurang dari 5 tahun, meskipun anak yang lebih besar dan orang dewasa
masih mungkin terinfeksi oleh B. pertussis.Insidensi terutama didapatkan pada
bayi atau anak yang belum diimunisasi.
Dahulu pertusis adalah penyakit yang sangat epidemic karena
menyerang bukan hanya negara-negara berkembang namun juga beberapa bagian
dari negara maju. Namun setelah digalakkannya vaksinasi untuk pertusis, angka
kematian dapat ditekan, dengan semakin berkembangnya ilmu pengetahuan dan
teknologipertusis diharapkan tidak ditemukan lagi, meskipun ada kasusnya namun
tidak signifikan.
Dengan mendiagnosa secara dini kasus pertusis, dari anamnesis,
pemeriksaan fisik, manifestasiklinis, fotorontgen, danpemeriksaanpenunjang
lainnya, diharapkan para klinisi mampu memberikan penanganan yang tepat dan
cepat sehingga derajat penyakit pertusis tidak menimbulkan komplikasi yang lebih
lanjut.
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1. Definisi
Pertusis dikenal dengan whooping cough atau batuk rejan yang yang
banyak menyerang anak balita dengan kematian yang tertinggi pada anak usia di
bawah enam bulan yang disebabkan infeksi Bordetella pertusis. Penyakit ini di
tandai oleh suatu sindrom yang terdiri dari batuk yang sangat spasmodik dan
paroksimal disertai nada yang meninggi , karena penderita berupaya keras untuk
menarik nafas sehingga pada akhir batuk sering di sertai bunyi yang khas
(whoop), sehingga penyakit ini disebut Whooping cough.
2.2. Etiologi
Pertusis pertama kali dapat di isolasi pada tahun 1900 oleh Bordet dan
Gengou, kemudian pada tahun 1906 kuman pertusis baru dapat dikembangkan
dalam media buatan. Genus Bordetella mempunyai 4 spesies yaitu B. pertusis,
B.parapertusis, B.bronkiseptika, dan B. avium. Penyebab pertusis adalah
Bordetella pertusis dan perlu dibedakan dengan sindrom pertusis yang disebabkan
oleh Bordetella parapertusis dan Adenovirus (tipe1,2,3 dan 5). Bordetella pertusis
termasuk kokobasilus, Gram negatif, kecil, ovoid, ukuran panjang 0,5 – 1 um dan
diameter 0,2 – 0,3 um, tidak bergerak, tidak berspora. Dengan pewarnaan toloidin
biru, dapat terlihat granula bipolar metakromatik dan mempunyai kapsul. Untuk
melakukan biakan Bordetella pertusis, diperlukan suatu media pembenihan yang
disebut Bordet Gengou (potato blood glycerol agar) yang ditambah penisilin G
0,5 ug/ml untuk menghambat pertumbuhan organisme lain. Dengan sifat – sifat
pertumbuhan kuman aerob murni, membentuk asam, tidak membentuk gas pada
media yang mengandung glukosa dan laktosa, sering menimbulkan hemolisis.
Organisme yang didapatkan umumnya tipe virulen (disebut fase 1). Pasase
dalam biakan dapat merangsang pembentukan varian yang avirulen (fase 2, 3 atau
4). Strain 1 berperan untuk penularan penyakit dan menghasilkan vaksin yang
efektif. Bordetella pertusis dapat mati dengan pemanasan pada suhu 500C selama
setengah jam, tetapi bertahan pada suhu rendah (00 – 100C).
Faktor-faktor virulensi Bordetella pertusis :
 Toksin pertussis: histamine sensitizing factor (HSF), lymphocytosis
promoting factor, Islet activating protein (IAP).
 Adenilat siklase luar sel.
 Hemaglutinin (HA): F-HA (filamentous-HA) , PT-HA (pertussis toxinHA).
 Toksin tak stabil panas (heat labile toxin).
Secara morfologis terdapat beberapa kuman yang menyerupai Bodetella
Pertusis seperti Bordetella Parapertusis dan Bordetella Bronchoseptica. Untuk
membedakan jenis – jenis kuman ini, maka di tentukan dengan reaksi aglutinasi
yang khas atau tes tertentu.
2.3. Epidemiologi
Epidemi penyakit ini pernah terjadi di beberapa Negara, seperti amerika
serikat selama tahun 1977 – 1980 terdapat 102.500 penderita pertusis. Di Jepang
tahun 1947 terdapat 152.600 pendeirta dengan kematian 17.00 orang. Pada tahun
1983 di Indonesia di perkirakan 819.500 penderita dengan kematian 23.100 orang.
Data yang diambil dari profil kesehatan jawa barat 193, jumlah pertusis tahun
1990 adalah 4.970 kasus dengan CFR (case fatality rate) 0,20%, menurun menjadi
2.752 kasus pada tahun 1991 dengan CFR 0%, kemudian turun lagi menjadi 1.379
kasus dengan CFR 0% pada tahun 1992. Pada tahun 1999, diperkirakan sekitar
48,5 juta kasus pertusis dilaporkan terjadi pada anak-anak di seluruh dunia. WHO
memperkirakan sekitar 600.000 kematian setiap tahun disebabkan oleh pertusis,
terutama pada bayi yang tidak diimunisasi.
Pertusis lebih sering menyerang anak wanita dari pada anak pria. Banyak
peneliti mengemukakan bahwa bayi kulit lebih hitam pada usia muda mempunyai
insiden lebih tinggi daripada bayi kulit putih, diduga perbedaan rasial ini
dihubungkan dengan tingkat kekebalan.
2.4. Patofisiologi
Bordetella pertusis setelah ditularkan melalui sekresi udara pernapasan
kemudian melekat pada silia epitel saluran pernapasan. Mekanisme pathogenesis
infeksi oleh Bordetella pertusis terjadi melalui empat tingkatan yaitu perlekatan,
perlawanan terhadap mekanisme pertahanan pejamu, kerusakan local dan
akhirnya timbul penyakit sistemik.
Filamentous Hemaglutinin (FHA), Lymphosithosis Promoting Factor
(LPF)/ Pertusis Toxin (PT) dan protein 69-Kd berperan pada perlekatan
Bordetella pertusis pada silia. Setelah terjadi perlekatan, Bordetella pertusis,
kemudian bermultiplikasidan menyebar ke seluruh permukaan epitel saluran
napas.
Proses ini tidak invasif oleh karena pada pertusis tidak terjadi bakteremia.
Selama pertumbuhan Bordetella pertusis, maka akan menghasilkan toksin yang
akan menyebabkan penyakit yang kita kenal dengan whooping cough.
Toksin terpenting yang dapat menyebabkan penyakit disebabkan karena
pertusis toxin. Toksin pertusis mempunyaiu 2 subunit yaitu A dan B. Toksin sub
unit B selanjutnya berikatan engan reseptor sel target kemudian menghasilkan
subunit A yang aktif pada daerah aktivasi enzim membrane sel. Efek LPF
menghambat migrasi limfosit dan makrofag ke daerah infeksi.
Toxin mediated adenosine diphosphate (ADP) mempunyai efek mengatur
sintesis protein dalam membrane sitoplasma, berakibat terjadi perubahan fungsi
fisiologis dari sel target termasuk lifosit (menjadi lemah dan mati), meningkatkan
pengeluaran histamine dan serotonin, efek memblokir beta adrenergic dan
meningkatkan aktifitas insulin, sehingga akan menurunkn konsentrasi gula darah.
Toksin menyebabkan peradangan ringan dengan hyperplasia jaringan
limfoid peribronkial dan meningkatkan jumlah mukos pada permukaan silia, maka
fungsi silia sebagai pembersih terganggu, sehingga mudah terjadi infeksi sekunder
(tersering oleh Streptococcus pneumonia, H. influenzae dan Staphylococcus
aureus ). Penumpukan mucus akan menimbulkan plug yang dapat menyebabkan
obstruksi dan kolaps paru.
Hipoksemia dan sianosis disebabkan oleh gangguan pertukaran oksigenasi
pada saat ventilasi dan timbulnya apnea saat terserang batuk. Terdapat perbedaan
pendapat mengenai kerusakan susunan saraf pusat, apakah akibat pengaruh
langsung toksin ataukah sekunder sebagai akibat anoksia.
Terjadi perubahan fungsi sel yang reversible, pemulihan tampak apabila
sel mengalami regenerasi, hal ini dapat menerangkan mengapa kurangnya efek
antibiotic terhadap proses penyakit. Namun terkadang Bordetella pertusis hanya
menyebabkan infeksi yang ringan, karena tidak menghasilkan toksin pertusis.
2.5. Manifestasi klinis
Beberapa faktor diketahui berpengaruh terhadap manifestasi klinis pada
infeksi Bordetella pertussis seperti usia, riwayat imunisasi atau infeksi
sebelumnya, dan pengobatan antibiotic. Beberapa faktor tambahan lain yang
mempengaruhi manifestasi klinis adalah jumlah organisme pada paparan, imunitas
individu, dan genotip organisme.
Masa inkubasi pertusis 6-20 hari, rata-rata 7 hari, sedangkan perjalanan
penyakit ini berlangsung antara 6 – 8 minggu atau lebih. Gejala timbul dalam
waktu 7-10 hari setelah terinfeksi. Bakteri menginfeksi lapisan tenggorokan,
trakea dan saluran udara sehingga pembentukan lendir semakin banyak.
Gejala klasik sering muncul pada infeksi primer pada anak dengan
imunisasi tidak lengkap. Gejala muncul kurang kebih 6-12 minggu dengan 3
tahapan:
1. Tahap Kataral
Mulai terjadi secara bertahap dalam waktu 7-10 hari setelah
terinfeksi, ciri-cirinya menyerupai flu ringan :
 Bersin-bersin
 Mata berair
 Nafsu makan berkurang
 Lesu
 Batuk (pada awalnya hanya timbul di malam hari kemudian terjadi
sepanjang hari)
2. Tahap Paroksismal
Mulai timbul dalam waktu 10-14 hari (setelah timbulnya gejala
awal) 5-15 kali batuk diikuti dengan menghirup nafas dalam dengan pada
tinggi. Batuk bisa disertai pengeluaran sejumlah besar lendir vang biasanya
ditelan oleh bayi / anak-anak atau tampak sebagai gelembung udara di
hidungnya).
Muka anak akan merah atau sianosis, mata menonjol, lidah
menjulur, lakrimasi, salivasi dan distensi vena leher selama serangan.
Episode batuk-batuk yang paroksimal dapat terjadi lagi sampai obstruksi
“mucous plug” pada saluran nafas menghilang.
Pada stadium paroksismal dapat terjadi petekia pada kepala dan leher
atau perdarahan konjungtiva.Batuk atau lendir yang kental sering
merangsang terjadinya muntah. Serangan batuk bisa diakhiri oleh
penurunan kesadaran yang bersifat sementara.
Vomitus sesudah batuk dengan paroksimal adalah cukup khas
sehingga anak dicurigai menderita pertussis walaupun tidak ada “whoop”.
Anak akan terlihat apatis dan berat badan menurun. Pada bayi, apnea (henti
nafas) dan tersedak lebih sering terjadi dibandingkan dengan tarikan nafas
yang bernada tinggi.
3. Tahap Konvalesen
Mulai terjadi dalam waktu 4-6 minggu setelah gejala awal. Batuk
semakin berkurang, muntah juga berkurang, anak tampak merasa lebih
baik. Kadang batuk terjadi selama berbulan-bulan, biasanya akibat iritasi
saluran pernafasan.
Terdapat beberapa indikator kuat pertussis yang berbeda dari setiap
kelompok usia. Pada kelompok infant, gejala seperti coriza dan batuk
dengan tidak ada demam biasanya tidak nampak. Komplikasi berat seperti
apnea, ensefalopati, dan pneumonia sering muncul pada kelompok ini. Pada
sebuah penelitian mengenai komplikasi pertussis, 75% infant < 6 bulan
didiagnosa dengan pneumonia, 25% dengan apnea, 14% dengan kejang,
dan 5% dengan ensefalopati.
Bagan 1. Manifestasi klinis pertussis sesuai usia
Pada usia sekolah, kebanyakan pada anak yang telah divaksinasi
menunjukkan gejala khas pertusis seperti batuk diikuti suara ‘whoop’ saat
inpirasi dan muntah. Komplikasi utama kelompok usia ini adalah
pneumoniadan otitis media.
Pada usia remaja dan dewasa, 23%-28% kasus dapat menimbulkan
komplikasi seperti: penurunan berat badan, kejang, sinkop, pneumonia,
otitis media, inkontinensia, pneumothorax, fraktur kosta, dan hernia.
2.6. Diagnosis
Anamnesis dan Pemeriksaan Fisis
- Kontak dengan penderita pertusis dan belum diimunisasi/imunisasi tidak
adekuat
- Tanda dan gejala klinis tergantung dari stadium:
1. Stadium kataral
Gejala klinisnya minimal dengan/tanpa demam; rinorea; anoreksia;
frekuensi batuk bertambah.
2. Stadium paroksismal
Batuk paroksismal yang dicetuskan oleh pemberian makan (bayi)
dan aktivitas; fase inspiratori batuk atau batuk rejan (inspiratory
whooping); post-tussive vomiting. Dapat pula dijumpai: muka merah
atau sianosis; mata menonjol; lidah menjulur; lakrimasi; hipersalivasi;
distensi vena leher selama serangan; apatis; penurunan berat badan
3. Stadium konvalesens
Gejala akan berkurang dalam beberapa minggu sampai dengan
beberapa bulan; dapat terjadi petekia pada kepala/leher, perdarahan
konjungtiva, dan terdengar crackles difus.
-Bayi <6 bulan gejalanya tidak khas, mungkin berupa tanda dan gejala:

Hipoksia yang terlihat lebih hebat dibandingkan gambaran klinis

Muntah-muntah sampai menimbulkan dehidrasi

Kadang hanya menunjukkan tanda dan gejala sianosis dan apneic
spell, tanpa disertai whoop
2.7. Pemeriksaan penunjang

Pemeriksaan Laboratorium
Pada pemeriksaan ini didapatkan leukositosis (20.000-50.000/mm3 )
dengan limfositosis absolut yang khas pada akhir stadium kataral dan selama
stadium proksismal. Pada bayu jumlah leukositosis tidak menolong untuk
diagnosa, oleh karena respon limfositosis juga terjadi pada penyakit lain.
Isolasi B. perthussis dari sekret nasofaring dipakai untuk membuat
diagnosis pertusis pada media khusus Bordet-gengou. Biakan positif dari
stadium kataral 95%-100%, stadium paroksismal 94% pada minggu ke-3
dan menurun sampai 20% untuk waktu berikutnya.
Dengan metode PCR yang lebih sensitif dibanding pemeriksaan kultur
untuk mendeteksi B. perthussis, terutama setelah 3-4 minggu setelah batuk
dan sudah diberikan pengobatan antibiotik. PCR saat ini merupakan pilihan
yang paling tepat karena nilai sensitifitasnya tinggi. Tes serologi berguna
untuk stadium lanjut penyakit dan untuk menentukan adanya infeksi pada
individu dengan biakan. Cara ELISA dapat dipakai untuk menentukan IgM,
IgG, dan IgA serum terhadap FHA dan PT. Nilai IgM serum FHA dan PT
menggambarkan sistem imun primer baik disebabkan penyakit atau
vaksinasi. IgG toksin pertusis merupakan tes yang paling sensitif dan
spesifik untuk mengetahui infeksi alami dan tidak tampak setelah imunisasi
pertusis.
 Pemeriksaan Foto Thorax
Pemeriksaan lainnya yaitu foto thorax dapat memperlihatkan infiltrat
perihiler, atelektasis, atau emphisema.
2.8. Diagnosa Banding
Diagnosis banding pertusis pada bayi perlu dipikirkan bronkiolitis,
pneumonia bakterial, sistik fibrosis, tuberkulosis dan penyakit lain yang
menyebabkan limfadenopati dengan penekanan diluar trakea dan bronkus.
1.
Bronkiolitis (RSV) pada bayi < 6 bulan
2.
Asma
3.
Obstruksi di trakea, benda asing, penekanan dari kelenjar lkimfe hilus karena
TBC atau tumor mediastinal
4.
Pneumonia
5.
Leukemia akut (Reaksi lukomoid), pada pertusis terjadi peningkatan limfosit
bukan limfoblas
Pada umumnya pertusis dapat dibedakan dari gejala klinis dan laboratorium.
Benda asing juga dapat menyebabkan batuk paroksismal, tetapi biasanya
gejalanya mendadak dan dapat dibedakan dengan pemeriksaan radiologi dan
endoskopi. Infeksi B. parapertussis, B. bronkiseptika, dan adenovirus dapat
menyerupai sindrom klinis B.pertussis, dapat dibedakan dengan isolasi kuman
penyebab.
2.9. Penatalaksanaan
Dalam waktu 3-4 minggu setelah timbul onset gejala, 80-90% pasien akan
secara spontan terbebas dari B. pertussis pada daerah nasofaring. Ketika pertusis
dikenali lebih dini dan
pemberian antibiotik dilakukan pada stadium awal,
penyakit ini akan tereliminasi sempurna. Untuk membatasi penyebaran infeksi,
terutama pada bayi, antibiotik direkomendasikan meskipun secara alamiah, pasien
jarang akan terkena infeksi.
Golongan makrolida adalah antibiotik pilihan utama untuk pengobatan
pertusis. Terdapat sangat sedikit publikasi yang menunjukkan resistensi terhadap
golongan makrolida sehingga tes sensitivitas tidak perlu dilakukan dalam hal ini.
Eritromisin, azitromisin, dan claritromisin digunakan sebagai antibiotik lini
pertama menurut American Academy of Pediatrics.
Tabel 2. Rekomendasi CDC untuk antibiotik pada pertusis
Obat
Dosis
Eritromisin
Anak:
Indikasi
Kontraindikasi
40-50 Terapi
mg/kg per hari
pilihan Intoleransi
pertama
pada
makrolida, usia <2
minggu
Azitromisin
10-12 mg/kg per Intoleransi
pada Intoleransi
hari
atau makrolida
eritromisin
bayi
usia
pada
<2
minggu
Claritromisin
15-20 mg/kg per Intoleransi
pada Intoleransi
hari
atau makrolida
eritromisin
bayi
usia
pada
<2
minggu
Trimetoprim-
TMP 8 mg/kg Hipersensitivitas
Kehamilan,
sulfametoksazole
dan
<2 bulan
(TMP-SXT)
mg/kg per hari
SXT
40 terhadap makrolida
usia
Eritromisin dapat digunakan untuk terapi pertusis pada bayi usia lebih dari
1 bulan, anak-anak, dan dewasa. Iritasi traktus gastrointestinal, efek samping
paling sering, dapat memicu terjadinya distress pencernaan, nyeri perut, nausea,
muntah, dan diare. Efek samping yang terjadi terkait dengan dosis yang digunakan
dan dapat diminimalisasi dengan penggunaan tablet salut enterik atau derivat ester
dengan makanan.
Azitromisin lebih sering digunakan dibandingkan yang lain karena hanya
sekali penggunaan dalam sehari. Efek samping meliputi nyeri perut, nausea,
muntah, sakit kepala, dan diare. Insidensi terjadinya efek samping dilaporkan
lebih rendah dibandingkan pemakaian eritromisin. Pada studi dengan 477 pasien
pediatri, 19% mengalami efek samping karena azitromisin dan 41% yang
menggunakan eritromisin. Pasien juga diawasi penggunaan antacid yang
mengandung alumunium maupun magnesium karena dapat menghambat absorpsi
azitromisin.
Claritromisin mirip eritromisin secara sifat kimiawi dan metabolisme.
Akan tetapi tidak dianjurkan untuk bayi kurang dari 1 bulan karena potensial
terjadinya infantile hypertrophic pyloric stenosis. Efek samping obat ini mirip
dengan makrolida lain yaitu distress lambung, nausea, muntah, dan diare. Pada
kasus disfungsi renal, dosis claritromisin harus dikurangi dan frekuensi pemberian
juga dikurangi.
Trimetoprim-sulfametoksazole digunakan untuk pasien usia 2 bulan ke
atas dimana golongan makrolida menjadi kontraindikasi atau tidak toleransi. Obat
ini dapat dipakai pada kasus resisten makrolida. Efek samping yang muncul antara
lain hipersensitivitas kulit dan distress saluran cerna. Pasien diawasi kecukupan
cairan tubuh untuk mencegah kristaluria dan nefrolitiasis.
Agen antibiotic lain tidak efektif secara klinis untuk mengobati pertusis.
Amoxicillin dan ampicilin tidak efektif membersihkan B. pertussis dalam
nasofaring yang kemungkinan disebabkan penetrasi yang lemah pada sekret
respiratori. Tetrasiklin, kloramfenikol, dan fluorokuinolon memiliki aktivitas in
vitro tetapi risiko terjadinya efek samping lebih besar dibandingkan efektivitas
melawan kuman pertusis.
Studi saat ini tentang immunoglobulin menilai rerata perkembangan
dengan pengukuran jumlah episode batuk paroksismal (>8 kali batuk dalam 10
detik) pda bayi rawat inap di rumah sakit. Subjek secara random dipilih dan
diberikan infuse tunggal intravena berupa immunoglobulin. Hasil yang didapat
adalah perbedaan yang tidak signifikan pada rerata perkembangan atau jumlah
episode batuk per jam antara placebo dan subjek perlakuan.
Pencegahan yang dapat dilakukan adalah dengan pemberian vaksin
pertusis. Virulensi bakteri menjadi target utama dari vaksin. Vaksin aseluler
diperkenalkan sekitar tahun 1990 karena heterogenitas vaksin whole cell dan
terkait dengan tingginya insidensi efek samping. Vaksin saai ini untuk anak
adalah kombinasi difteri, tetanus, dan pertusis aseluler (DTaP). Rekomendasi
pemberian vaksin di Amerika untuk bayi dan anak-anak adalah 5 seri yaitu usia 2,
4, dan 6 bulan, serta booster pada usia 15-18 bulan dan 4-6 tahun. Efek samping
paling sering adalah demam dan eritem pada lokasi injeksi.
Pemberian percepatan vaksin bagi anak usia kurang dari 7 tahun yang
tidak mendapatkan vaksinasi primer lengkap direkomendasikan, dan dosis vaksin
yang diberikan pada awal usia 6 minggu. Kontak dekat dengan penderita pertusis
harus mendapatkan antibiotik profilaksis seperti yang tercantum pada tabel sesuai
rekomendasi CDC. Eritromisin menjadi pilihan utama kecuali pada bayi usia <2
minggu dan terapi ini dilanjutkan selama 14 hari untuk mencegah pneumonia
terkait hospitalisasi. Pasien yang intoleransi terhadap eritromisin dapat diberikan
azitromisin atau claritromisin. Untuk pasien yang intoleransi pada makrolida
dapat menerima antibiotik TMP-SXT. Pasien dianggap tidak terpapar selama 5
hari setelah terapi antibiotik atau 21 hari setelah onset batuk jika tidak bisa
mendapatkan antibiotik. Di samping bukti bahwa antibiotik profilaksis sukses
dalam mengontrol kejadian luar biasa pertusis, efektivitas terapi eritromisin dalam
mencegah kasus sekunder dari pertusis dianggap baik.
Tujuan utama terkait dengan pertusis adalah mengurangi insidensi pada
bayi usia muda karena kejadian pertusis pada usia tersebut paling parah dan dapat
menjadi fatal. Percobaan klinis pemberian vaksinasi maternal dapat menentukan
derajat proteksi bagi fetus dan risiko pada bayi terlepas dari jadwal rutin untuk
imunisasi aktif. Karena presentasi klinis dari pertusis telah berubah akibat
pemberian
vaksin,
penyakit
ini
telah
tidak
terdiagnosa
dengan
baik.
Perkembangan metode diagnostik yang sensitif dan standard sangat diperlukan.
2.10. Prognosis
Angka kematian karena pertussis telah menurun menjadi 10/1000
kasus.Rasio kasus kematian bayi < 2 bulan adalah 1,8 % selama tahun 2000-2004
di USA. Persentase rawat inap pada dewasa sebesar 3 % (12% dewasa tua).
Tingkat berkembangnya menjadi pneumonia hingga 5 % dan mengalami patah
tulang rusuk sampai 4%. Kebanyakan kematian disebabkan oleh ensefalopati dan
pneumonia atau komplikasi paru-paru lain.
BAB III
Kesimpulan
Pertusis merupakan salah satu penyakit menular yang menyerang saluran
pernapasan bagian atas, yang disebabkan oleh Bordetella pertussis. Penyakit ini di
tandai dengan batuk yang spasmodik dan paroksimal disertai nada yang meninggi,
pada akhir batuk sering di sertai bunyi yang khas (whoop), sehingga penyakit ini
disebut Whooping cough
Pertusis sering menyerang bayi dan anak-anak kurang dari 5 tahun, terutama
yang belum diimunisasi lebih rentan, demikian juga dengan anak lebih dari 12
tahun dan orang dewasa.
Stadium penyakit pertusis meliputi 3 stadium yaitu kataral, paroxismal, dan
konvalesen.
Diagnosa pertusis dengan gejala klinis memuncak pada stadium
paroksismal, riwayat kontak dengan penderita pertusis, kultur apus nasofaring,
ELISA, foto thorax.
Terapi yang dapat diberikan antibiotik eritromisin 40-50mg/kgBB/hari
dibagi 4 dosis selama 14 hari, dan suportif.
Prognosis baik setelah dilakukan pemberian imunisasi. Kematian biasanya
terjadi karena ensefalopati dan pneumonia atau komplikasi penyakit paru yang
lainnya.
Daftar pustaka
Bayhan GI, Tanir G, Nar-Otqun S, et al. (2012). The clinical characteristics and
treatment of pertussis patients in tertiary center over a four-year period.
Turk J Pediatr, 54 (6): 596-604.
Campbell P, McIntyre P, Quinn H, Hueston L, Gilbert GL, McVernon J (2012).
Increased Population Prevalence of Low Pertussis Toxin Antibody Levels
in Young Children Preceding a Record Pertussis Epidemic in Australia.
Plos One : 7 : 35874
Cherry JD, Heininger U, Richards DM, Storsaeter J, Gustafsson L, Ljungman M
(2010). Antibody Response Patterns to Bordetella pertussis Antigens in
Vaccinated (Primed) and Unvaccinated (Unprimed) Young Children with
Pertussis. Clinical and Vaccine Immunology, p. 741–747
Cherry JD (2015). The present and future control of pertussis. Clinical Infectious
Disease, 51 (6): 663-667.
Cherry JD. (2005). The epidemiology of pertussis: a comparison of the
epidemiology of the disease pertussis with the epidemiology of Bordetella
pertussis infection. Pediatrics :115:1422-1427
Cherry D. J et al (2012). Clinical Definitions of Pertussis: Summary of a Global
Pertussis Initiative Roundtable Meeting, February 2011. CID: 2012:54
Chiappini E, Stival A, Galli L, Martino M (2013). Pertussis re-emergence in the
post-vaccination era. BMC Infectious Diseases 2013, 13:151
Clark TA (2014). Changing Pertussis Epidemiology: Everything Old is New
Again. The Journal of Infectious Diseases 2014;209:978–81
Gabutti G and Rota MC (2012). Pertussis: A Review of Disease Epidemiology
Worldwide and in Italy. Int. J. Environ. Res. Public Health 2012, 9, 46264638
Greeff SC, Mooi FR, Westerhof A, et al. (2010). Pertussis disease burden in the
household: How to protect young infants. Clinical Infectious Disease, 50
(10): 1339-1345.
Helen, et all (2010). Impact of Rapid Leukodepletion on the Outcome of Severe
Clinical Pertussis in Young Infants.Pediatrics 10.1542/peds.
Hewlett EL et al (2014). Pertussis Pathogenesis—What We Know and What We
Don’t Know. The Journal of Infectious Diseases 2014;209:982–5
Hoo R, et al. (2014) Evidence for a Role of the Polysaccharide Capsule Transport
Proteins in Pertussis Pathogenesis. PLoS ONE 9(12): e115243.
James, et all (2011). Clinical Definitions of Pertussis: Summary of a Global
Pertussis Initiative Roundtable Meeting. Oxford University Press: Clinical
Infectious Diseases
James
D,
Cherry
MD
(2011).
Why
Do
Pertussis
Vaccines
Fail?.Pediatrics10.1542/peds
Jeffrey A, et al. (2014). Bordetella pertussis pathogenesis: current and future
challenges. Nat Rev Microbiol; 12(4): 274–288
Klein NP, Bartlett J, Rowhani-Rahbar A, Fireman B, Baxter R (2012). Waning
Protection after Fifth Dose of Acellular Pertussis Vaccine in Children. The
New England Journal of Medicine : 367:1012-9.
Marion et all. (2008). Pertussis: Not Only a Disease of Childhood.
DeutschesÄrzteblatt International2008; 105(37).
Mattoo S, et l. (2005). Molecular Pathogenesis, Epidemiology, and Clinical
Manifestations of Respiratory Infections Due to Bordetella pertussis and
Other Bordetella Subspecies. Clinical, p. 326–382 Vol. 18, No. 2
Melvin et al. (2014). Bordetella pertussis
pathogenesis: current and future
challenges. Nat Rev Microbiol; 12(4): 274–288.
Milcarek (2006). Live Attenuated B. pertussis as a Single-Dose Nasal Vaccine
against Whooping Cough. Plos one; 2:7
Naoyuki, et all (2013). Diagnostic value of symptoms and laboratory data for
pertussis in adolescent and adult patients.BMC Infectious Diseases
Nataprawira HM, Somasetia DH, Sudarwati S, et al. (2013). Critical pertussis in a
young infant requiring mechanical ventilation. Hindawi publishing
corporation, 2013: 1-3.
Nataprawira HM dan Phangkawira E (2015). A Retrospective Study of Acute
Pertussis in Hasan Sadikin Hospital-Indonesia. Journal of Acute Disease
(2015)147-151
Norman et al (2014). Whooping cough in school age children presenting with
persistent cough in UK primary care after introduction of the preschool
pertussis booster vaccination: prospective cohort study. BMJ; 348:93668
O. Zachariadis, et al. (2006). T Cells Regulate the Early Inflammatory Response
to Bordetella pertussis Infection in the Murine Respiratory Tract. Infection
And Immunity, Mar.,Vol 73. pg: 1837–1845.
Pittet et al. (2014). Diagnosis of Whooping Cough in Switzerland: Differentiating
Bordetella pertussis from Bordetella holmesii by Polymerase Chain
Reaction. Plos one; 9: 2
Preston A, (2005). Bordetella pertussis: the intersection of genomics and
pathobiology. CMAJ. Page: 173 (1).
Robert M, et al. (1987). Mechanisms of Bacterial Pathogenicity That Involve
Production of Calmodulin-Sensitive Adenylate Cyclases. Microbiology
Reviews, p. 60-65 Vol. 51, No. 1
Romero (2013). The Bordetella pertussis Type III Secretion System Tip Complex
Protein Bsp22 Is Not a Protective Antigen and Fails To Elicit Serum
Antibody Responses during Infection of Humans and Mice. IAI ; 81:8
Tozzi AE, Celentano LP, Atti ML, Salmaso S (2005). Diagnosis and management
of pertussis. CMAJ, 172 (4): 509-515.
Valentini et al. (2015). Serum reactome induced by Bordetella pertussis infection
and Pertussis vaccines: qualitative differences in serum antibody
recognition patterns revealed by peptide microarray analysis. BMC
Immunology 16:40
Zamir CS, Shoob H, Abramson N, Zentner G (2010). The impact of additional
pertussis vaccine doses on disease incidence in children and infants.
Vaccine 29 (2011) 207–211
Download