Referat PERTUSIS Oleh: Dwi Budi Narityastuti G99141166 / E-04-2015 Isfalia Muftiani G99131045 / E-06-2015 Arwindya Galih D. G99142063 / E-16-2015 Riris Arizka Wahyu K. G99142065 / E-18-2015 Firza Fatchya G99141117 / F-16-2015 Kevin Wahyudi P G99141118 / F-17-2015 Pembimbing: dr. H. Rustam Siregar, Sp. A KEPANITERAAN KLINIK SMF ILMU KESEHATAN ANAK FAKULTAS KEDOKTERAN UNS/ RSUD DR MOEWARDI SURAKARTA 2015 BAB I PENDAHULUAN Pertusis atau “batuk rejan” atau “batuk 100 hari” atau “whooping cough” merupakan salah satu penyakit menular saluran pernapasan yang sudah diketahui adanya sejak tahun 1500-an. Penyebab tersering dari pertusis adalah bakteri gram (-) Bordetella pertussis. Di seluruh dunia insidensi pertussis banyak didapatkan pada bayi dan anak kurang dari 5 tahun, meskipun anak yang lebih besar dan orang dewasa masih mungkin terinfeksi oleh B. pertussis.Insidensi terutama didapatkan pada bayi atau anak yang belum diimunisasi. Dahulu pertusis adalah penyakit yang sangat epidemic karena menyerang bukan hanya negara-negara berkembang namun juga beberapa bagian dari negara maju. Namun setelah digalakkannya vaksinasi untuk pertusis, angka kematian dapat ditekan, dengan semakin berkembangnya ilmu pengetahuan dan teknologipertusis diharapkan tidak ditemukan lagi, meskipun ada kasusnya namun tidak signifikan. Dengan mendiagnosa secara dini kasus pertusis, dari anamnesis, pemeriksaan fisik, manifestasiklinis, fotorontgen, danpemeriksaanpenunjang lainnya, diharapkan para klinisi mampu memberikan penanganan yang tepat dan cepat sehingga derajat penyakit pertusis tidak menimbulkan komplikasi yang lebih lanjut. BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Definisi Pertusis dikenal dengan whooping cough atau batuk rejan yang yang banyak menyerang anak balita dengan kematian yang tertinggi pada anak usia di bawah enam bulan yang disebabkan infeksi Bordetella pertusis. Penyakit ini di tandai oleh suatu sindrom yang terdiri dari batuk yang sangat spasmodik dan paroksimal disertai nada yang meninggi , karena penderita berupaya keras untuk menarik nafas sehingga pada akhir batuk sering di sertai bunyi yang khas (whoop), sehingga penyakit ini disebut Whooping cough. 2.2. Etiologi Pertusis pertama kali dapat di isolasi pada tahun 1900 oleh Bordet dan Gengou, kemudian pada tahun 1906 kuman pertusis baru dapat dikembangkan dalam media buatan. Genus Bordetella mempunyai 4 spesies yaitu B. pertusis, B.parapertusis, B.bronkiseptika, dan B. avium. Penyebab pertusis adalah Bordetella pertusis dan perlu dibedakan dengan sindrom pertusis yang disebabkan oleh Bordetella parapertusis dan Adenovirus (tipe1,2,3 dan 5). Bordetella pertusis termasuk kokobasilus, Gram negatif, kecil, ovoid, ukuran panjang 0,5 – 1 um dan diameter 0,2 – 0,3 um, tidak bergerak, tidak berspora. Dengan pewarnaan toloidin biru, dapat terlihat granula bipolar metakromatik dan mempunyai kapsul. Untuk melakukan biakan Bordetella pertusis, diperlukan suatu media pembenihan yang disebut Bordet Gengou (potato blood glycerol agar) yang ditambah penisilin G 0,5 ug/ml untuk menghambat pertumbuhan organisme lain. Dengan sifat – sifat pertumbuhan kuman aerob murni, membentuk asam, tidak membentuk gas pada media yang mengandung glukosa dan laktosa, sering menimbulkan hemolisis. Organisme yang didapatkan umumnya tipe virulen (disebut fase 1). Pasase dalam biakan dapat merangsang pembentukan varian yang avirulen (fase 2, 3 atau 4). Strain 1 berperan untuk penularan penyakit dan menghasilkan vaksin yang efektif. Bordetella pertusis dapat mati dengan pemanasan pada suhu 500C selama setengah jam, tetapi bertahan pada suhu rendah (00 – 100C). Faktor-faktor virulensi Bordetella pertusis : Toksin pertussis: histamine sensitizing factor (HSF), lymphocytosis promoting factor, Islet activating protein (IAP). Adenilat siklase luar sel. Hemaglutinin (HA): F-HA (filamentous-HA) , PT-HA (pertussis toxinHA). Toksin tak stabil panas (heat labile toxin). Secara morfologis terdapat beberapa kuman yang menyerupai Bodetella Pertusis seperti Bordetella Parapertusis dan Bordetella Bronchoseptica. Untuk membedakan jenis – jenis kuman ini, maka di tentukan dengan reaksi aglutinasi yang khas atau tes tertentu. 2.3. Epidemiologi Epidemi penyakit ini pernah terjadi di beberapa Negara, seperti amerika serikat selama tahun 1977 – 1980 terdapat 102.500 penderita pertusis. Di Jepang tahun 1947 terdapat 152.600 pendeirta dengan kematian 17.00 orang. Pada tahun 1983 di Indonesia di perkirakan 819.500 penderita dengan kematian 23.100 orang. Data yang diambil dari profil kesehatan jawa barat 193, jumlah pertusis tahun 1990 adalah 4.970 kasus dengan CFR (case fatality rate) 0,20%, menurun menjadi 2.752 kasus pada tahun 1991 dengan CFR 0%, kemudian turun lagi menjadi 1.379 kasus dengan CFR 0% pada tahun 1992. Pada tahun 1999, diperkirakan sekitar 48,5 juta kasus pertusis dilaporkan terjadi pada anak-anak di seluruh dunia. WHO memperkirakan sekitar 600.000 kematian setiap tahun disebabkan oleh pertusis, terutama pada bayi yang tidak diimunisasi. Pertusis lebih sering menyerang anak wanita dari pada anak pria. Banyak peneliti mengemukakan bahwa bayi kulit lebih hitam pada usia muda mempunyai insiden lebih tinggi daripada bayi kulit putih, diduga perbedaan rasial ini dihubungkan dengan tingkat kekebalan. 2.4. Patofisiologi Bordetella pertusis setelah ditularkan melalui sekresi udara pernapasan kemudian melekat pada silia epitel saluran pernapasan. Mekanisme pathogenesis infeksi oleh Bordetella pertusis terjadi melalui empat tingkatan yaitu perlekatan, perlawanan terhadap mekanisme pertahanan pejamu, kerusakan local dan akhirnya timbul penyakit sistemik. Filamentous Hemaglutinin (FHA), Lymphosithosis Promoting Factor (LPF)/ Pertusis Toxin (PT) dan protein 69-Kd berperan pada perlekatan Bordetella pertusis pada silia. Setelah terjadi perlekatan, Bordetella pertusis, kemudian bermultiplikasidan menyebar ke seluruh permukaan epitel saluran napas. Proses ini tidak invasif oleh karena pada pertusis tidak terjadi bakteremia. Selama pertumbuhan Bordetella pertusis, maka akan menghasilkan toksin yang akan menyebabkan penyakit yang kita kenal dengan whooping cough. Toksin terpenting yang dapat menyebabkan penyakit disebabkan karena pertusis toxin. Toksin pertusis mempunyaiu 2 subunit yaitu A dan B. Toksin sub unit B selanjutnya berikatan engan reseptor sel target kemudian menghasilkan subunit A yang aktif pada daerah aktivasi enzim membrane sel. Efek LPF menghambat migrasi limfosit dan makrofag ke daerah infeksi. Toxin mediated adenosine diphosphate (ADP) mempunyai efek mengatur sintesis protein dalam membrane sitoplasma, berakibat terjadi perubahan fungsi fisiologis dari sel target termasuk lifosit (menjadi lemah dan mati), meningkatkan pengeluaran histamine dan serotonin, efek memblokir beta adrenergic dan meningkatkan aktifitas insulin, sehingga akan menurunkn konsentrasi gula darah. Toksin menyebabkan peradangan ringan dengan hyperplasia jaringan limfoid peribronkial dan meningkatkan jumlah mukos pada permukaan silia, maka fungsi silia sebagai pembersih terganggu, sehingga mudah terjadi infeksi sekunder (tersering oleh Streptococcus pneumonia, H. influenzae dan Staphylococcus aureus ). Penumpukan mucus akan menimbulkan plug yang dapat menyebabkan obstruksi dan kolaps paru. Hipoksemia dan sianosis disebabkan oleh gangguan pertukaran oksigenasi pada saat ventilasi dan timbulnya apnea saat terserang batuk. Terdapat perbedaan pendapat mengenai kerusakan susunan saraf pusat, apakah akibat pengaruh langsung toksin ataukah sekunder sebagai akibat anoksia. Terjadi perubahan fungsi sel yang reversible, pemulihan tampak apabila sel mengalami regenerasi, hal ini dapat menerangkan mengapa kurangnya efek antibiotic terhadap proses penyakit. Namun terkadang Bordetella pertusis hanya menyebabkan infeksi yang ringan, karena tidak menghasilkan toksin pertusis. 2.5. Manifestasi klinis Beberapa faktor diketahui berpengaruh terhadap manifestasi klinis pada infeksi Bordetella pertussis seperti usia, riwayat imunisasi atau infeksi sebelumnya, dan pengobatan antibiotic. Beberapa faktor tambahan lain yang mempengaruhi manifestasi klinis adalah jumlah organisme pada paparan, imunitas individu, dan genotip organisme. Masa inkubasi pertusis 6-20 hari, rata-rata 7 hari, sedangkan perjalanan penyakit ini berlangsung antara 6 – 8 minggu atau lebih. Gejala timbul dalam waktu 7-10 hari setelah terinfeksi. Bakteri menginfeksi lapisan tenggorokan, trakea dan saluran udara sehingga pembentukan lendir semakin banyak. Gejala klasik sering muncul pada infeksi primer pada anak dengan imunisasi tidak lengkap. Gejala muncul kurang kebih 6-12 minggu dengan 3 tahapan: 1. Tahap Kataral Mulai terjadi secara bertahap dalam waktu 7-10 hari setelah terinfeksi, ciri-cirinya menyerupai flu ringan : Bersin-bersin Mata berair Nafsu makan berkurang Lesu Batuk (pada awalnya hanya timbul di malam hari kemudian terjadi sepanjang hari) 2. Tahap Paroksismal Mulai timbul dalam waktu 10-14 hari (setelah timbulnya gejala awal) 5-15 kali batuk diikuti dengan menghirup nafas dalam dengan pada tinggi. Batuk bisa disertai pengeluaran sejumlah besar lendir vang biasanya ditelan oleh bayi / anak-anak atau tampak sebagai gelembung udara di hidungnya). Muka anak akan merah atau sianosis, mata menonjol, lidah menjulur, lakrimasi, salivasi dan distensi vena leher selama serangan. Episode batuk-batuk yang paroksimal dapat terjadi lagi sampai obstruksi “mucous plug” pada saluran nafas menghilang. Pada stadium paroksismal dapat terjadi petekia pada kepala dan leher atau perdarahan konjungtiva.Batuk atau lendir yang kental sering merangsang terjadinya muntah. Serangan batuk bisa diakhiri oleh penurunan kesadaran yang bersifat sementara. Vomitus sesudah batuk dengan paroksimal adalah cukup khas sehingga anak dicurigai menderita pertussis walaupun tidak ada “whoop”. Anak akan terlihat apatis dan berat badan menurun. Pada bayi, apnea (henti nafas) dan tersedak lebih sering terjadi dibandingkan dengan tarikan nafas yang bernada tinggi. 3. Tahap Konvalesen Mulai terjadi dalam waktu 4-6 minggu setelah gejala awal. Batuk semakin berkurang, muntah juga berkurang, anak tampak merasa lebih baik. Kadang batuk terjadi selama berbulan-bulan, biasanya akibat iritasi saluran pernafasan. Terdapat beberapa indikator kuat pertussis yang berbeda dari setiap kelompok usia. Pada kelompok infant, gejala seperti coriza dan batuk dengan tidak ada demam biasanya tidak nampak. Komplikasi berat seperti apnea, ensefalopati, dan pneumonia sering muncul pada kelompok ini. Pada sebuah penelitian mengenai komplikasi pertussis, 75% infant < 6 bulan didiagnosa dengan pneumonia, 25% dengan apnea, 14% dengan kejang, dan 5% dengan ensefalopati. Bagan 1. Manifestasi klinis pertussis sesuai usia Pada usia sekolah, kebanyakan pada anak yang telah divaksinasi menunjukkan gejala khas pertusis seperti batuk diikuti suara ‘whoop’ saat inpirasi dan muntah. Komplikasi utama kelompok usia ini adalah pneumoniadan otitis media. Pada usia remaja dan dewasa, 23%-28% kasus dapat menimbulkan komplikasi seperti: penurunan berat badan, kejang, sinkop, pneumonia, otitis media, inkontinensia, pneumothorax, fraktur kosta, dan hernia. 2.6. Diagnosis Anamnesis dan Pemeriksaan Fisis - Kontak dengan penderita pertusis dan belum diimunisasi/imunisasi tidak adekuat - Tanda dan gejala klinis tergantung dari stadium: 1. Stadium kataral Gejala klinisnya minimal dengan/tanpa demam; rinorea; anoreksia; frekuensi batuk bertambah. 2. Stadium paroksismal Batuk paroksismal yang dicetuskan oleh pemberian makan (bayi) dan aktivitas; fase inspiratori batuk atau batuk rejan (inspiratory whooping); post-tussive vomiting. Dapat pula dijumpai: muka merah atau sianosis; mata menonjol; lidah menjulur; lakrimasi; hipersalivasi; distensi vena leher selama serangan; apatis; penurunan berat badan 3. Stadium konvalesens Gejala akan berkurang dalam beberapa minggu sampai dengan beberapa bulan; dapat terjadi petekia pada kepala/leher, perdarahan konjungtiva, dan terdengar crackles difus. -Bayi <6 bulan gejalanya tidak khas, mungkin berupa tanda dan gejala: Hipoksia yang terlihat lebih hebat dibandingkan gambaran klinis Muntah-muntah sampai menimbulkan dehidrasi Kadang hanya menunjukkan tanda dan gejala sianosis dan apneic spell, tanpa disertai whoop 2.7. Pemeriksaan penunjang Pemeriksaan Laboratorium Pada pemeriksaan ini didapatkan leukositosis (20.000-50.000/mm3 ) dengan limfositosis absolut yang khas pada akhir stadium kataral dan selama stadium proksismal. Pada bayu jumlah leukositosis tidak menolong untuk diagnosa, oleh karena respon limfositosis juga terjadi pada penyakit lain. Isolasi B. perthussis dari sekret nasofaring dipakai untuk membuat diagnosis pertusis pada media khusus Bordet-gengou. Biakan positif dari stadium kataral 95%-100%, stadium paroksismal 94% pada minggu ke-3 dan menurun sampai 20% untuk waktu berikutnya. Dengan metode PCR yang lebih sensitif dibanding pemeriksaan kultur untuk mendeteksi B. perthussis, terutama setelah 3-4 minggu setelah batuk dan sudah diberikan pengobatan antibiotik. PCR saat ini merupakan pilihan yang paling tepat karena nilai sensitifitasnya tinggi. Tes serologi berguna untuk stadium lanjut penyakit dan untuk menentukan adanya infeksi pada individu dengan biakan. Cara ELISA dapat dipakai untuk menentukan IgM, IgG, dan IgA serum terhadap FHA dan PT. Nilai IgM serum FHA dan PT menggambarkan sistem imun primer baik disebabkan penyakit atau vaksinasi. IgG toksin pertusis merupakan tes yang paling sensitif dan spesifik untuk mengetahui infeksi alami dan tidak tampak setelah imunisasi pertusis. Pemeriksaan Foto Thorax Pemeriksaan lainnya yaitu foto thorax dapat memperlihatkan infiltrat perihiler, atelektasis, atau emphisema. 2.8. Diagnosa Banding Diagnosis banding pertusis pada bayi perlu dipikirkan bronkiolitis, pneumonia bakterial, sistik fibrosis, tuberkulosis dan penyakit lain yang menyebabkan limfadenopati dengan penekanan diluar trakea dan bronkus. 1. Bronkiolitis (RSV) pada bayi < 6 bulan 2. Asma 3. Obstruksi di trakea, benda asing, penekanan dari kelenjar lkimfe hilus karena TBC atau tumor mediastinal 4. Pneumonia 5. Leukemia akut (Reaksi lukomoid), pada pertusis terjadi peningkatan limfosit bukan limfoblas Pada umumnya pertusis dapat dibedakan dari gejala klinis dan laboratorium. Benda asing juga dapat menyebabkan batuk paroksismal, tetapi biasanya gejalanya mendadak dan dapat dibedakan dengan pemeriksaan radiologi dan endoskopi. Infeksi B. parapertussis, B. bronkiseptika, dan adenovirus dapat menyerupai sindrom klinis B.pertussis, dapat dibedakan dengan isolasi kuman penyebab. 2.9. Penatalaksanaan Dalam waktu 3-4 minggu setelah timbul onset gejala, 80-90% pasien akan secara spontan terbebas dari B. pertussis pada daerah nasofaring. Ketika pertusis dikenali lebih dini dan pemberian antibiotik dilakukan pada stadium awal, penyakit ini akan tereliminasi sempurna. Untuk membatasi penyebaran infeksi, terutama pada bayi, antibiotik direkomendasikan meskipun secara alamiah, pasien jarang akan terkena infeksi. Golongan makrolida adalah antibiotik pilihan utama untuk pengobatan pertusis. Terdapat sangat sedikit publikasi yang menunjukkan resistensi terhadap golongan makrolida sehingga tes sensitivitas tidak perlu dilakukan dalam hal ini. Eritromisin, azitromisin, dan claritromisin digunakan sebagai antibiotik lini pertama menurut American Academy of Pediatrics. Tabel 2. Rekomendasi CDC untuk antibiotik pada pertusis Obat Dosis Eritromisin Anak: Indikasi Kontraindikasi 40-50 Terapi mg/kg per hari pilihan Intoleransi pertama pada makrolida, usia <2 minggu Azitromisin 10-12 mg/kg per Intoleransi pada Intoleransi hari atau makrolida eritromisin bayi usia pada <2 minggu Claritromisin 15-20 mg/kg per Intoleransi pada Intoleransi hari atau makrolida eritromisin bayi usia pada <2 minggu Trimetoprim- TMP 8 mg/kg Hipersensitivitas Kehamilan, sulfametoksazole dan <2 bulan (TMP-SXT) mg/kg per hari SXT 40 terhadap makrolida usia Eritromisin dapat digunakan untuk terapi pertusis pada bayi usia lebih dari 1 bulan, anak-anak, dan dewasa. Iritasi traktus gastrointestinal, efek samping paling sering, dapat memicu terjadinya distress pencernaan, nyeri perut, nausea, muntah, dan diare. Efek samping yang terjadi terkait dengan dosis yang digunakan dan dapat diminimalisasi dengan penggunaan tablet salut enterik atau derivat ester dengan makanan. Azitromisin lebih sering digunakan dibandingkan yang lain karena hanya sekali penggunaan dalam sehari. Efek samping meliputi nyeri perut, nausea, muntah, sakit kepala, dan diare. Insidensi terjadinya efek samping dilaporkan lebih rendah dibandingkan pemakaian eritromisin. Pada studi dengan 477 pasien pediatri, 19% mengalami efek samping karena azitromisin dan 41% yang menggunakan eritromisin. Pasien juga diawasi penggunaan antacid yang mengandung alumunium maupun magnesium karena dapat menghambat absorpsi azitromisin. Claritromisin mirip eritromisin secara sifat kimiawi dan metabolisme. Akan tetapi tidak dianjurkan untuk bayi kurang dari 1 bulan karena potensial terjadinya infantile hypertrophic pyloric stenosis. Efek samping obat ini mirip dengan makrolida lain yaitu distress lambung, nausea, muntah, dan diare. Pada kasus disfungsi renal, dosis claritromisin harus dikurangi dan frekuensi pemberian juga dikurangi. Trimetoprim-sulfametoksazole digunakan untuk pasien usia 2 bulan ke atas dimana golongan makrolida menjadi kontraindikasi atau tidak toleransi. Obat ini dapat dipakai pada kasus resisten makrolida. Efek samping yang muncul antara lain hipersensitivitas kulit dan distress saluran cerna. Pasien diawasi kecukupan cairan tubuh untuk mencegah kristaluria dan nefrolitiasis. Agen antibiotic lain tidak efektif secara klinis untuk mengobati pertusis. Amoxicillin dan ampicilin tidak efektif membersihkan B. pertussis dalam nasofaring yang kemungkinan disebabkan penetrasi yang lemah pada sekret respiratori. Tetrasiklin, kloramfenikol, dan fluorokuinolon memiliki aktivitas in vitro tetapi risiko terjadinya efek samping lebih besar dibandingkan efektivitas melawan kuman pertusis. Studi saat ini tentang immunoglobulin menilai rerata perkembangan dengan pengukuran jumlah episode batuk paroksismal (>8 kali batuk dalam 10 detik) pda bayi rawat inap di rumah sakit. Subjek secara random dipilih dan diberikan infuse tunggal intravena berupa immunoglobulin. Hasil yang didapat adalah perbedaan yang tidak signifikan pada rerata perkembangan atau jumlah episode batuk per jam antara placebo dan subjek perlakuan. Pencegahan yang dapat dilakukan adalah dengan pemberian vaksin pertusis. Virulensi bakteri menjadi target utama dari vaksin. Vaksin aseluler diperkenalkan sekitar tahun 1990 karena heterogenitas vaksin whole cell dan terkait dengan tingginya insidensi efek samping. Vaksin saai ini untuk anak adalah kombinasi difteri, tetanus, dan pertusis aseluler (DTaP). Rekomendasi pemberian vaksin di Amerika untuk bayi dan anak-anak adalah 5 seri yaitu usia 2, 4, dan 6 bulan, serta booster pada usia 15-18 bulan dan 4-6 tahun. Efek samping paling sering adalah demam dan eritem pada lokasi injeksi. Pemberian percepatan vaksin bagi anak usia kurang dari 7 tahun yang tidak mendapatkan vaksinasi primer lengkap direkomendasikan, dan dosis vaksin yang diberikan pada awal usia 6 minggu. Kontak dekat dengan penderita pertusis harus mendapatkan antibiotik profilaksis seperti yang tercantum pada tabel sesuai rekomendasi CDC. Eritromisin menjadi pilihan utama kecuali pada bayi usia <2 minggu dan terapi ini dilanjutkan selama 14 hari untuk mencegah pneumonia terkait hospitalisasi. Pasien yang intoleransi terhadap eritromisin dapat diberikan azitromisin atau claritromisin. Untuk pasien yang intoleransi pada makrolida dapat menerima antibiotik TMP-SXT. Pasien dianggap tidak terpapar selama 5 hari setelah terapi antibiotik atau 21 hari setelah onset batuk jika tidak bisa mendapatkan antibiotik. Di samping bukti bahwa antibiotik profilaksis sukses dalam mengontrol kejadian luar biasa pertusis, efektivitas terapi eritromisin dalam mencegah kasus sekunder dari pertusis dianggap baik. Tujuan utama terkait dengan pertusis adalah mengurangi insidensi pada bayi usia muda karena kejadian pertusis pada usia tersebut paling parah dan dapat menjadi fatal. Percobaan klinis pemberian vaksinasi maternal dapat menentukan derajat proteksi bagi fetus dan risiko pada bayi terlepas dari jadwal rutin untuk imunisasi aktif. Karena presentasi klinis dari pertusis telah berubah akibat pemberian vaksin, penyakit ini telah tidak terdiagnosa dengan baik. Perkembangan metode diagnostik yang sensitif dan standard sangat diperlukan. 2.10. Prognosis Angka kematian karena pertussis telah menurun menjadi 10/1000 kasus.Rasio kasus kematian bayi < 2 bulan adalah 1,8 % selama tahun 2000-2004 di USA. Persentase rawat inap pada dewasa sebesar 3 % (12% dewasa tua). Tingkat berkembangnya menjadi pneumonia hingga 5 % dan mengalami patah tulang rusuk sampai 4%. Kebanyakan kematian disebabkan oleh ensefalopati dan pneumonia atau komplikasi paru-paru lain. BAB III Kesimpulan Pertusis merupakan salah satu penyakit menular yang menyerang saluran pernapasan bagian atas, yang disebabkan oleh Bordetella pertussis. Penyakit ini di tandai dengan batuk yang spasmodik dan paroksimal disertai nada yang meninggi, pada akhir batuk sering di sertai bunyi yang khas (whoop), sehingga penyakit ini disebut Whooping cough Pertusis sering menyerang bayi dan anak-anak kurang dari 5 tahun, terutama yang belum diimunisasi lebih rentan, demikian juga dengan anak lebih dari 12 tahun dan orang dewasa. Stadium penyakit pertusis meliputi 3 stadium yaitu kataral, paroxismal, dan konvalesen. Diagnosa pertusis dengan gejala klinis memuncak pada stadium paroksismal, riwayat kontak dengan penderita pertusis, kultur apus nasofaring, ELISA, foto thorax. Terapi yang dapat diberikan antibiotik eritromisin 40-50mg/kgBB/hari dibagi 4 dosis selama 14 hari, dan suportif. Prognosis baik setelah dilakukan pemberian imunisasi. Kematian biasanya terjadi karena ensefalopati dan pneumonia atau komplikasi penyakit paru yang lainnya. Daftar pustaka Bayhan GI, Tanir G, Nar-Otqun S, et al. (2012). The clinical characteristics and treatment of pertussis patients in tertiary center over a four-year period. Turk J Pediatr, 54 (6): 596-604. Campbell P, McIntyre P, Quinn H, Hueston L, Gilbert GL, McVernon J (2012). Increased Population Prevalence of Low Pertussis Toxin Antibody Levels in Young Children Preceding a Record Pertussis Epidemic in Australia. Plos One : 7 : 35874 Cherry JD, Heininger U, Richards DM, Storsaeter J, Gustafsson L, Ljungman M (2010). Antibody Response Patterns to Bordetella pertussis Antigens in Vaccinated (Primed) and Unvaccinated (Unprimed) Young Children with Pertussis. Clinical and Vaccine Immunology, p. 741–747 Cherry JD (2015). The present and future control of pertussis. Clinical Infectious Disease, 51 (6): 663-667. Cherry JD. (2005). The epidemiology of pertussis: a comparison of the epidemiology of the disease pertussis with the epidemiology of Bordetella pertussis infection. Pediatrics :115:1422-1427 Cherry D. J et al (2012). Clinical Definitions of Pertussis: Summary of a Global Pertussis Initiative Roundtable Meeting, February 2011. CID: 2012:54 Chiappini E, Stival A, Galli L, Martino M (2013). Pertussis re-emergence in the post-vaccination era. BMC Infectious Diseases 2013, 13:151 Clark TA (2014). Changing Pertussis Epidemiology: Everything Old is New Again. The Journal of Infectious Diseases 2014;209:978–81 Gabutti G and Rota MC (2012). Pertussis: A Review of Disease Epidemiology Worldwide and in Italy. Int. J. Environ. Res. Public Health 2012, 9, 46264638 Greeff SC, Mooi FR, Westerhof A, et al. (2010). Pertussis disease burden in the household: How to protect young infants. Clinical Infectious Disease, 50 (10): 1339-1345. Helen, et all (2010). Impact of Rapid Leukodepletion on the Outcome of Severe Clinical Pertussis in Young Infants.Pediatrics 10.1542/peds. Hewlett EL et al (2014). Pertussis Pathogenesis—What We Know and What We Don’t Know. The Journal of Infectious Diseases 2014;209:982–5 Hoo R, et al. (2014) Evidence for a Role of the Polysaccharide Capsule Transport Proteins in Pertussis Pathogenesis. PLoS ONE 9(12): e115243. James, et all (2011). Clinical Definitions of Pertussis: Summary of a Global Pertussis Initiative Roundtable Meeting. Oxford University Press: Clinical Infectious Diseases James D, Cherry MD (2011). Why Do Pertussis Vaccines Fail?.Pediatrics10.1542/peds Jeffrey A, et al. (2014). Bordetella pertussis pathogenesis: current and future challenges. Nat Rev Microbiol; 12(4): 274–288 Klein NP, Bartlett J, Rowhani-Rahbar A, Fireman B, Baxter R (2012). Waning Protection after Fifth Dose of Acellular Pertussis Vaccine in Children. The New England Journal of Medicine : 367:1012-9. Marion et all. (2008). Pertussis: Not Only a Disease of Childhood. DeutschesÄrzteblatt International2008; 105(37). Mattoo S, et l. (2005). Molecular Pathogenesis, Epidemiology, and Clinical Manifestations of Respiratory Infections Due to Bordetella pertussis and Other Bordetella Subspecies. Clinical, p. 326–382 Vol. 18, No. 2 Melvin et al. (2014). Bordetella pertussis pathogenesis: current and future challenges. Nat Rev Microbiol; 12(4): 274–288. Milcarek (2006). Live Attenuated B. pertussis as a Single-Dose Nasal Vaccine against Whooping Cough. Plos one; 2:7 Naoyuki, et all (2013). Diagnostic value of symptoms and laboratory data for pertussis in adolescent and adult patients.BMC Infectious Diseases Nataprawira HM, Somasetia DH, Sudarwati S, et al. (2013). Critical pertussis in a young infant requiring mechanical ventilation. Hindawi publishing corporation, 2013: 1-3. Nataprawira HM dan Phangkawira E (2015). A Retrospective Study of Acute Pertussis in Hasan Sadikin Hospital-Indonesia. Journal of Acute Disease (2015)147-151 Norman et al (2014). Whooping cough in school age children presenting with persistent cough in UK primary care after introduction of the preschool pertussis booster vaccination: prospective cohort study. BMJ; 348:93668 O. Zachariadis, et al. (2006). T Cells Regulate the Early Inflammatory Response to Bordetella pertussis Infection in the Murine Respiratory Tract. Infection And Immunity, Mar.,Vol 73. pg: 1837–1845. Pittet et al. (2014). Diagnosis of Whooping Cough in Switzerland: Differentiating Bordetella pertussis from Bordetella holmesii by Polymerase Chain Reaction. Plos one; 9: 2 Preston A, (2005). Bordetella pertussis: the intersection of genomics and pathobiology. CMAJ. Page: 173 (1). Robert M, et al. (1987). Mechanisms of Bacterial Pathogenicity That Involve Production of Calmodulin-Sensitive Adenylate Cyclases. Microbiology Reviews, p. 60-65 Vol. 51, No. 1 Romero (2013). The Bordetella pertussis Type III Secretion System Tip Complex Protein Bsp22 Is Not a Protective Antigen and Fails To Elicit Serum Antibody Responses during Infection of Humans and Mice. IAI ; 81:8 Tozzi AE, Celentano LP, Atti ML, Salmaso S (2005). Diagnosis and management of pertussis. CMAJ, 172 (4): 509-515. Valentini et al. (2015). Serum reactome induced by Bordetella pertussis infection and Pertussis vaccines: qualitative differences in serum antibody recognition patterns revealed by peptide microarray analysis. BMC Immunology 16:40 Zamir CS, Shoob H, Abramson N, Zentner G (2010). The impact of additional pertussis vaccine doses on disease incidence in children and infants. Vaccine 29 (2011) 207–211