BAB I PENDAHULUAN Bidang obstetri banyak berhubungan dengan masalah perdarahan. Meskipun pelayanan rumah sakit dalam hal ketersediaan darah untuk transfusi telah dapat menurunkan angka kematian maternal, kematian akibat perdarahan masih merupakan penyebab utama dari kematian maternal.(1) Jika kita berbicara tentang persalinan sudah pasti berhubungan dengan perdarahan, karena semua persalinan baik pervaginam ataupun perabdominal (sectio cesarea ) selalu disertai perdarahan. Pada persalinan pervaginam perdarahan dapat terjadi sebelum, selama ataupun sesudah persalinan. Perdarahan bersama-sama infeksi dan gestosis merupakan tiga besar (2,3) penyebab utama langsung dari kematianmaternal. Secara global insidens kematian maternal masih sangat tinggi, mencapai 800 jiwa per hari. Pada tahun 2010 silam, tercatat sekitar 287.000 kasus kematian maternal, 99% (284.000) diantaranya terjadi di negara-negara berkembang terutama kawasan Afrika sub-Sahara dan Asia Selatan. Tercatat dua negara dengan insidens kematian maternal tertinggi masing-masing India 19% (56.000 kasus) dan Nigeria 14% (40.000 kasus). Tujuh negara berikutnya meliputi Kongo (15.000 kasus), Pakistan (12.000 kasus), Sudan (10.000 kasus), Indonesia (9.600 kasus), Ethiopia (9.000 kasus), Tanzania (8.500 kasus) and Bangladesh (7.200 kasus)(.1,2) Kematian maternal adalah kematian seorang wanita waktu hamil atau dalam 42 hari sesudah berakhirnya kehamilan oleh sebab apapun, terlepas dari tuanya kehamilan dan tindakan yang dilakukan untuk mengakhiri kehamilan. Sebab-sebab kematian ini dapat dibagi dalam 2 golongan, yakni yang langsung disebabkan oleh komplikasi-komplikasi kehamilan, persalinan dan nifas, dan 1 (3) sebab-sebab lain sepertipenyakit jantung, kanker, dan lain sebagainya. Suatu perdarahan dikatakan fisiologis apabila hilangnya darah tidak melebihi 500 cc pada persalinan pervaginam dan tidak lebih dari 1000 cc pada sectio cesarea. Perlu diingat bahwa perdarahan yang terlihat pada waktu persalinan sebenarnya hanyalah setengah dari perdarahan yang sebenarnya. Seringkali sectio cesarea menyebabkan perdarahan yang lebih banyak, harus diingat kalau narkotik akan mengurangi efek vasokonstriksi dari pembuluh darah(3,4) 2 BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. DEFINISI Perdarahan pasca persalinan adalah perdarahan atau hilangnya darah 500 cc atau lebih yang terjadi setelah anak lahir. Perdarahan dapat terjadi (1,2) sebelum, selama, atau sesudah lahirnya plasenta. Definisi lain menyebutkan Perdarahan Pasca Persalinan adalah (2) perdarahan 500 cc atau lebih yang terjadi setelah plasenta lahir. B. EPIDEMIOLOGI Angka kejadian perdarahan postpartum setelah persalinan pervaginam yaitu 5-8 %. Perdarahan postpartum adalah penyebab paling umum perdarahan yang berlebihan pada kehamilan, dan hampir semua tranfusi pada wanita hamil dilakukan untuk menggantikan darah yang hilang setelah persalinan.(3) Di negara kurang berkembang merupakan penyebab utama dari kematian maternal hal ini disebabkan kurangnya tenaga kesehatan yang memadai, kurangnya layanan transfusi, kurangnya layanan operasi(2,4) C. KLASIFIKASI Berdasarkan onset perdarahan, diklasifikasikan menjadi perdarahan postpartum dini dan lanjut. (3) Menurut waktu terjadinya dibagi atas dua bagian : a. Perdarahan post partum primer (early postpartum hemorrhage) yang terjadi dalam 24 jam setelah anak lahir. b. Perdarahan postpartum sekunder (late postpartum hemorrhage) yang terjadi antara 24 jam dan 6 minggu setelah anak lahir. 3 Klasifikasi berdasarkan tanda dan gejala klinis sebetulnya bersesuaian dengan persentase volume kehilangan darah Klinis Tekanan darah Palpitasi, takikardi, dizziness Lemah, takikardia, berkeringat Gelisah, pucat, oligouria Pingsan, anuria, takipneu Normal Menurun 70-80 50-70 Defisit Volume % 10-15 15-20 20-25 25-30 Cc 500-1000 1000-1500 1500-2000 2000-2500 D. ETIOLOGI Banyak faktor potensial yang dapat menyebabkan hemorrhage postpartum, faktor-faktor yang menyebabkan hemorrhage postpartum adalah atonia uteri, perlukaan jalan lahir, retensio plasenta, sisa plasenta, kelainan (4,5) pembekuan darah. 1. Tonus a. Atonia uteri Atonia uteri adalah suatu keadaan dimana uterus gagal untuk berkontraksi dan mengecil sesudah janin keluar dari rahim.(3,4,5,6) Perdarahan postpartum secara fisiologis di control oleh kontraksi seratserat myometrium terutama yang berada disekitar pembuluh darah yang mensuplai darah pada tempat perlengketan plasenta. Atonia uteri terjadi ketika myometrium tidak dapat berkontraksi. Pada perdarahan karena atonia uteri, uterus membesar dan lembek pada palpusi. Atonia uteri juga dapat timbul karena salah penanganan kala III persalinan, dengan memijat uterus dan mendorongnya kebawah dalam usaha melahirkan plasenta, sedang sebenarnya bukan terlepas dari uterus. Atonia uteri merupakan penyebab utama perdarahan postpartum.(4,5,7) Disamping menyebabkan kematian, perdarahan postpartum memperbesar kemungkinan infeksi puerperal karena daya tahan penderita berkurang. Perdarahan yang banyak bisa menyebabkan “ Sindroma 4 Sheehan “ sebagai akibat sehingga terjadi nekrosis pada hipofisis pars anterior insufiensi bagian tersebut dengan gejala : astenia, hipotensi, dengan anemia, turunnya berat badan sampai menimbulkan kakeksia, penurunan fungsi seksual dengan atrofi alat-alat genital, kehilangan rambut pubis dan ketiak, penurunan metabolisme dengan hipotensi, amenorea dan kehilangan fungsi laktasi.(4,5,7) Beberapa hal yang dapat mencetuskan terjadinya atonia meliputi : (3,9,10) a. Manipulasi uterus yang berlebihan b. General anestesi (pada persalinan dengan operasi) c. Uterus yang teregang berlebihan d. Kehamilan kembar. e. Fetal macrosomia ( berat janin antara 4500 – 5000 gram ) f. Polyhydramnion g. Kehamilan lewat waktu, h. Partus lama i. Grande multipara (fibrosis otot - otot uterus ), j. Anestesi yang dalam k. Infeksi uterus ( chorioamnionitis, endomyometritis, septicemia ), l. Plasenta previa, m. Solutio plasenta, 5 2. Tissue (3) a. Retensio plasenta b. Sisa plasenta c. Plasenta acreta dan variasinya Apabila plasenta belum lahir setengah jam setelah janin lahir, hal itu dinamakan retensio plasenta. Hal ini bisa disebabkan karena : plasenta belum lepas dari dinding uterus atau plasenta sudah lepas akan tetapi belum dilahirkan.(3) Jika plasenta belum lepas sama sekali, tidak terjadi perdarahan, tapi apabila terlepas sebagian maka akan terjadi perdarahan yang merupakan indikasi untuk mengeluarkannya. Plasenta belum lepas dari dinding uterus karena: (4,5) - kontraksi uterus kurang kuat untuk melepaskan plasenta ( plasenta adhesive. - Plasenta melekat erat pada dinding uterus oleh sebab vilis komalis menembus desidva sampai miometrium – sampai dibawah peritoneum ( plasenta akreta – perkreta ). - Plasenta yang sudah lepas dari dinding uterus akan tetapi belum keluar disebabkan oleh tidak adanya usaha untuk melahirkan atau karena salah penanganan kala III. Sehingga terjadi lingkaran konstriksi pada bagian bawah uterus yang menghalangi keluarnya plasenta ( inkarserasio plasenta ).(6,7) Sisa plasenta yang tertinggal merupakan penyebab 20-25 % dari kasus perdarahan postpartum. Penemuan Ultrasonografi adanya masa uterus yang echogenic mendukung diagnosa retensio sisa plasenta. Hal ini bisa digunakan jika perdarahan beberapa jam setelah persalinan ataupun pada late postpartum hemorraghe. Apabila didapatkan cavum uteri kosong tidak perlu dilakukan dilatasi dan curettage.(3) 6 3. Trauma Sekitar 20% kasus hemorraghe postpartum disebabkan oleh trauma jalan lahir.(3,8,9) a. Ruptur uterus b. Inversi uterus c. Perlukaan jalan lahir d. Vaginal hematom Ruptur spontan uterus jarang terjadi, faktor resiko yang bisa menyebabkan antara lain grande multipara, malpresentasi, riwayat operasi uterus sebelumnya, dan persalinan dengan induksi oxytosin. Repture uterus sering terjadi akibat jaringan parut section secarea sebelumnya.(3) Laserasi dapat mengenai uterus, cervix, vagina, atau vulva, dan biasanya terjadi karena persalinan secara operasi ataupun persalinan pervaginam dengan bayi besar, terminasi kehamilan dengan vacuum atau forcep, walau begitu laserasi bisa terjadi pada sembarang persalinan. darah dibawah mukosa vagina dan vulva akan menyebabkan hematom, perdarahan akan tersamarkan dan dapat menjadi berbahaya karena tidak akan terdeteksi selama beberapa jam dan bisa menyebabkan terjadinya syok. Episiotomi dapat menyebabkan perdarahan yang berlebihan jika mengenai artery atau vena yang besar, jika episitomi luas, jika ada penundaan antara episitomi dan persalinan, atau jika ada penundaan antara persalinan dan perbaikan episitomi.(3,6) Perdarahan yang terus terjadi ( terutama merah menyala ) dan kontraksi uterus baik akan mengarah pada perdarahan dari laserasi ataupun episitomi. Ketika laserasi cervix atau vagina diketahui sebagai penyebab perdarahan maka repair adalah solusi terbaik. Pada inversion uteri bagian atas uterus memasuki kovum uteri, sehingga tundus uteri sebelah dalam menonjol kedalam kavum uteri. 7 Peristiwa ini terjadi tiba-tiba dalam kala III atau segera setelah plasenta keluar. Inversio uteri dapat dibagi (6,7,9) - Fundus uteri menonjol kedalam kavum uteri tetapi belum keluar dari ruang tersebut. - korpus uteri yang terbalik sudah masuk ke dalam vagina - Uterus dengan vagina semuanya terbalik, untuk sebagian besar terletak diluar vagina. Tindakan yang dapat menyebabkan inversion uteri ialah perasat crede pada korpus uteri yang tidak berkontraksi baik dan tarikan pada tali pusat dengan plasenta yang belum lepas dari dinding uterus.(3,6) Pada penderita dengan syok perdarahan dan fundus uteri tidak ditemukan pada tempat yang lazim pada kala III atau setelah persalinan selesai. Pemeriksaan dalam dapat menunjukkan tumor yang lunak diatas servix uteri atau dalam vagina. Kelainan tersebut dapat menyebabkan keadaan gawatdengan angka kematian tinggi ( 15 – 70 % ). Reposisi secepat mungkin memberi harapan yang terbaik untuk keselamatan penderita. 4. Thrombin : Kelainan pembekuan darah Gejala-gejala kelainan pembekuan darah bisa berupa penyakit keturunan ataupun didapat, kelainan pembekuan darah bisa berupa :(3,6) a. Hipofibrinogenemia, b. Trombositopenia c. Idiopathic trombocytopenic purpura d. HELLP syndrome ( hemolysis, elevated liver enzymes, and low platelet count ), e. Disseminated Intravaskuler Coagulation, 8 f. Dilutional coagulopathy bisa terjadi pada transfusi darah lebih dari 8 unit karena darah donor biasanya tidak fresh sehingga komponen fibrin dan trombosit sudah rusak. Perdarahan postpartum akibat gangguan koagulasi dicurigai bila penyebab yang lain dapat disingkirkan, apalagi disertai riwayat mengalami hal yang sama pada persalinan sebelumnya (3,4,9) Perdarahan postpartum sekunder disebabkan oleh infeksi uterus, sisa plasenta, abnormalitas involusi uterus, atau oleh penyebab primer di atas tetapi terlambat diidentifikasi. Tidak jarang perdarahan postpartum sekunder bersifat mengancam jiwa jika tidak dikenali dan ditangani segera.(9) D. FAKTOR RESIKO Riwayat hemorraghe postpartum pada persalinan sebelumnya merupakan faktor resiko paling besar untuk terjadinya hemorraghe postpartum sehingga segala upaya harus dilakukan untuk menentukan keparahan dan penyebabnya. Beberapa faktor lain yang perlu kita ketahui karena dapat menyebabkan terjadinya hemorraghe postpartum (3,6,9): 1. Grande multipara 2. Perpanjangan persalinan 3. Chorioamnionitis 4. Kehamilan multiple 5. Injeksi Magnesium sulfat 6. Perpanjangan pemberian oxytocin E. DIAGNOSIS 9 Hemorraghe postpartum digunakan untuk persalinan dengan umur kehamilan lebih dari 20 minggu, karena apabila umur kehamilan kurang dari 20 minggu disebut sebagai aborsi spontan. (9) Beberapa gejala yang bisa menunjukkan hemorraghe postpartum : 1. Perdarahan yang tidak dapat dikontrol 2. Penurunan tekanan darah 3. Peningkatan detak jantung 4. Penurunan hitung sel darah merah ( hematocrit ) 5. Pembengkakan dan nyeri pada jaringan daerah vagina dan sekitar perineum Tidak perlu mengukur jumlah perdarahan sebanyak definisi (>500 cc pada persalinan pervaginam atau >1000 cc pada persalinan perabdominal) untuk memulai penanganan perdarahan postpartum sebab menghentikan perdarahan lebih dini akan memberikan prognosis lebih baik. Lagipula, perdarahan postpartum bukanlah diagnosis melainkan sebuah kondisi yang harus dicari penyebabnya, misalnya karena atonia uteri, robekan jalan lahir, sisa plasenta, gangguan koagulasi, atau penyebab lain (3). Tabel 3. Diagnosis Perdarahan Postpartum Gejala dan tanda yang selalu ada Uterus tidak berkontraksi (teraba lunak) Perdarahan segera Uterus berkontraksi baik Plasenta lahir lengkap Tampak laserasi Perdarahan segar dan pulsatif Perdarahan segera (pervaginam atau intraabdominal) Nyeri perut hebat Plasenta belum lahir setelah Gejala dan tanda yang kadangkadang ada Syok Diagnosis Pucat Lemah Menggigil Robekan jalan lahir Syok Nyeri tekan perut Ruptur uteri Tali pusat putus Retensio 10 Atonia uteri 30 menit Uterus berkontraksi baik Perdarahan segera Plasenta atau sebagian selaput lahir tidak lengkap Perdarahan segera Uterus tidak teraba Lumen vagina terisi massa Nyeri Perdarahan segera Subinvolusi uterus Nyeri tekan perut bawah Onset > 24 jam pasca persalinan Perdarahan bervariasi (ringan atau berat, terus menerus atau tidak teratur, berbau) Inversio uteri Perdarahan lanjutan plasenta Uterus berkontraksi tetapi tinggi fundus tidak berkurang Syok neurogenik Pucat dan limbung Sisa plasenta Anemia Demam Perdarahan terlambat Endometritis Sisa plasenta terinfeksi Inversio uteri Perdarahan postpartum dapat berupa perdarahan yang hebat dan menakutkan sehingga dalam waktu singkat ibu dapat jatuh kedalam keadaan syok. Atau dapat berupa perdarahan yang merembes perlahan-lahan tapi terjadi terus menerus sehingga akhirnya menjadi banyak dan menyebabkan ibu lemas (4) ataupun jatuh kedalam syok. Pada perdarahan melebihi 20% volume total, timbul gejala penurunan tekanan darah, nadi dan napas cepat, pucat, extremitas dingin, sampai terjadi syok. tekanan darah, nadi dan napas cepat, pucat, extremitas dingin, sampai terjadi syok.(3) Pada perdarahan sebelum plasenta lahir biasanya disebabkan retensio plasenta atau laserasi jalan lahir, bila karena retensio plasenta maka perdarahan akan berhenti setelah plasenta lahir. Pada perdarahan yang terjadi setelah plasenta lahir perlu dibedakan sebabnya antara atonia uteri, sisa plasenta, atau trauma jalan lahir. Pada pemeriksaan obstretik kontraksi uterus akan 11 lembek dan membesar jika ada atonia uteri. Bila kontraksi uterus baik dilakukan eksplorasi untuk mengetahui adanya sisa plasenta atau laserasi jalan lahir. Perdarahan akibat gangguan koagulasi baru dicurigai bila penyebab yang lain dapat disingkirkan apalagi disertai riwayat hal yang sama pada persalinan sebelumnya, tendensi perdarahan pada bekas jahitan, bekas suntikan, atau timbul hematoma. Pada pemeriksaan penunjang ditemukan hasil faal hemostasis abnormal. Waktu perdarahan dan waktu pembekuan memanjang, trombositopenia, terjadi hipofibrinogenemia, dan terdeteksi adanya FDP (Fibrin Degradation Product). Predisposisi terjadinya hal ini adalah solusio plasenta, kematian janin dalam rahim, eklampsia, emboli cairan ketuban, dan sepsis (3). Berikut langkah-langkah sistematik untuk mendiagnosa perdarahan (4) postpartum. 1. Palpasi uterus : bagaimana kontraksi uterus dan tinggi fundus uteri 2. Memeriksa plasenta dan ketuban : apakah lengkap atau tidak 3. Lakukan ekplorasi kavum uteri untuk mencari : a. Sisa plasenta dan ketuban b. Robekan rahim c. Plasenta succenturiata 4. Inspekulo : untuk melihat robekan pada cervix, vagina, dan varises yang pecah. F. Manajemen Perdarahan Postpartum Secara umumnya, bila terdapat perdarahan yang abnormal, apalagi telah menyebabkan perubahan tanda vital (seperti kesadaran menurun, pucat, limbung, berkeringat dingin, sesak napas, tekanan darah < 90 mmHg, atau nadi > 100x per menit), maka penanganan harus segera dilakukan, 12 demikian halnya pada perdarahan postpartum. Ada empat komponen yang harus dilakukan secara simultan yaitu, komunikasi, resusitasi, monitoring dan investigasi, dan menghentikan penyebab perdarahan (3). Komunikasi bermakna meminta bantuan, memobilisasi seluruh tenaga yang ada dan mempersiapkan fasilitas tindakan gawat darurat. Komunikasi dengan pasien dan keluarganya juga penting seputar kondisi pasien dan tindakan yang akan dilakukan (3) Tujuan utama pertrolongan pada pasien dengan perdarahan postpartum adalah menemukan dan menghentikan penyebab dari perdarahan secepat mungkin. (11) Terapi pada pasien dengan hemorraghe postpartum mempunyai 2 (9) bagian pokok : 1. Resusitasi dan manajemen yang baik terhadap perdarahan . Resusitasi dilakukan dengan pendekatan ABC. Jalan napas (airway) dipastikan bebas dan pernapasan (breathing) dengan. Akses sirkulasi (circulation) a) oksigen konsentrasi tinggi (10-15 liter per menit) via facemask b) Pemberian cairan : berikan normal saline atau ringer lactate c) Transfusi darah : bisa berupa whole blood ataupun packed red cell d) Evaluasi pemberian cairan dengan memantau produksi urine (dikatakan perfusi cairan ke ginjal adekuat bila produksi urin dalam 1jam 30 cc atau lebih) 2. Manajemen penyebab hemorraghe postpartum Tentukan penyebab hemorraghe postpartum : a. Atonia uteri 13 Periksa ukuran dan tonus uterus dengan meletakkan satu tangan di fundus uteri dan lakukan massase untuk mengeluarkan bekuan darah di uterus dan vagina. Atonia uteri. Ketika diagnosis atonia uteri ditegakkan segera lakukan kompresi bimanual interna dan pastikan vesica urinaria dalam keadaan kosong. Satu tangan pada dinding perut menahan bagian posterior uterus, tangan yang lain pada korpus anterior dari vagina, keduanya ditekan untuk mengkompresi uterus. Jika uterus berkontraksi keluarkan tangan setelah 1-2 menit. Jika tidak, teruskan kompresi bimanual interna hingga 5 menit 19. Gambar 1. Kompresi bimanual interna (dikutip dari kepustakaan no. 4) Jika kompresi bimanual interna tidak berhasil, minta bantuan orang lain melakukan kompresi bimanual eksterna sambil melakukan tahap penatalaksanaan atonia uteri selanjutnya jika penolong hanya seorang diri. Kompresi bimanual eksterna dilakukan dengan meletakkan satu tangan pada dinding perut, sedapat mungkin meraba bagian belakang uterus, tangan yang lain terkepal pada bagian depan korpus uteri, kemudian jepit uterus di antara kedua tangan tersebut. (4) 14 Gambar 2. Kompresi bimanual eksterna (dikutip dari kepustakaan no. 10) Langkah selanjutnya adalah pemberian uterotonika berupa injeksi metilergometrin 0,2 mg intramuskular dan pemberian drips oksitosin 20 IU dalam 500 cc larutan Ringer Laktat. Kepustakaan lain menganjurkan pemberian misoprostol sebagai alternatif, dosisnya bervariasi dari 200 hingga 1000 mcg, diberikan per oral atau per rectal (4). Bila atonia tidak teratasi rujuk segera ke rumah sakit sambil meneruskan pemberian cairan intravena dan kompresi aorta abdominalis hingga ibu mencapai tempat tujuan. (11) Gambar 3. Kompresi aorta abdominalis (dikutip dari kepustakaan no. 10) Beberapa kepustakaan menganjurkan tamponade uterus misalnya dengan balon untuk mengurangi bahkan menghentikan perdarahan. Berbagai tipe kateter berbalon dapat digunakan misalnya kateter Foley, Rusch, SOS Bakri, Sengstaken-Blakemore, atau menggunakan kondom dan handscoen steril. Tampon kasa uterovaginal tidak dianjurkan lagi (3,5,8). 15 Gambar 4. A. Tampon balon hanscoen B. Tampon SOS Bakri (dikutip dari kepustakaan no. 10) Di rumah sakit rujukan, ketika perdarahan masih terus berlangsung maka segera dimulai tindakan operatif, mulai dari ligasi arteri uterina, ligasi arteri ovarika, suturing hemostatis, hingga histerektomi bila perlu. (4,11). Gambar 5 Ligasi arteri uterina (dikutip dari kepustakaan no.4) Suturing hemostatik, salah satunya metode B-Lynch, terbukti efektif mengontrol perdarahan pada atonia uteri dan mengurangi angka histerektomi. Prinsip metode ini adalah kompresi uterus difus. Metode B-Lynch mengkompresi uterus pada bagian anterior dan posterior dengan dua jahitan jelujur vertikal menggunakan benang kromik (4). 16 Gambar 6. B-Lynch suturing (dikutip dari kepustakaan no. 8) Metode definitif menghentikan perdarahan postpartum adalah histerektomi. Histerektomi merupakan langkah terakhir ketika berbagai metode gagal. Histerektomi tanpa terapi bedah alternatif terlebih dahulu mungkin saja dilakukan dengan mempertimbangkan keselamatan ibu. (8) a. Retensi atau sisa plasenta Kontraksi uterus yang efektif akan terjadi ketika plasenta mengalami ekspulsi komplit termasuk tanpa bekuan darah di cavum uteri. Pada retensio plasenta, sepanjang plasenta belum terlepas, maka tidak akan menimbulkan perdarahan. Pengeluaran plasenta dilakukan dengan manual plasenta. Bila sebagian plasenta telah terlepas dan menimbulkan perdarahan yang cukup banyak segera antisipasi dengan manual plasenta. (3,6,9) Gambar 7. Manual plasenta (dikutip dari kepustakaan no 4) 17 Sisa plasenta dan bekuan darah diduga bila kotiledon dan selaput ketuban lahir tidak lengkap pada pemeriksaan plasenta, kontraksi baik, robekan jalan lahir telah dijahit, tetapi masih ada perdarahan dari ostium uteri eksternum. Sisa plasenta dapat dikeluarkan secara manual, kecuali pada kondisi plasenta akreta, inkreta, dan perkreta. Untuk memastikan adanya sisa plasenta dapat dilakukan eksplorasi dengan tangan, kuret, atau ultrasonografi. (3) b. Robekan jalan lahir Robekan perineum, vagina, hingga serviks umumnya mudah diidentifikasi dengan inspeksi dan inspekulo. Semua sumber perdarahan yang terbuka harus diklem, diikat, dan luka ditutup dengan catgut lapis demi lapis sampai perdarahan berhenti. Umumnya penjahitan dilakukan dengan anestesi lokal, kecuali bila penderita sangat kesakitan dan tidak kooperatif, dapat dilakukan konsultasi dengan sejawat anestesi untuk ketenangan dan keamanan saat hemostasis (3). Ruptur uteri dan robekan jalan lahir yang luas, dalam serta melibatkan struktur sekitar misalnya rektum dan vesika urinaria, membutuhkan intervensi bedah. (5) c. Gangguan koagulasi Jika manual eksplorasi telah menyingkirkan adanya rupture uteri, sisa plasenta dan perlukaan jalan lahir disertai kontraksi uterus yang baik mak kecurigaan penyebab perdarahan adalah gangguan pembekuan darah. Lanjutkan dengan pemberian product darah pengganti ( trombosit,fibrinogen). Terapi yang dilakukan adalah dengan transfusi darah dan produknya seperti plasma beku segar, trombosit, fibrinogen dan heparinisasi atau pemberian EACA (epsilon amino caproic acid) (3). d. Terapi pembedahan 1 ) Laparatomi 18 Pemilihan jenis irisan vertical ataupun horizontal (Pfannenstiel) adalah tergantung operator. Begitu masuk bersihkan darah bebas untuk memudahkan mengeksplorasiuterus dan jaringan sekitarnya untuk mencari tempat rupture uteri ataupun hematom. Reparasi tergantung tebal tipisnya rupture. Pastikan reparasi benar- benar menghentikan perdarahan dan tidak ada perdarahan dalam karena hanya akan menyebabkan perdarahan keluar lewat vagina. Pemasangan drainase apabila perlu. Apabila setelah pembedahan ditemukan uterus intact dan tidak ada perlukaan ataupun rupture lakukan kompresi bimanual disertai pemberian uterotonica. 2) Ligasi arteri a) Ligasi uteri uterine Prosedur sederhana dan efektif menghentikan perdarahan yang berasal dari uterus karena uteri ini mensuplai 90% darah yang mengalir ke uterus. Tidak ada gangguan aliran menstruasi dan kesuburan. b) Ligasi arteri ovarii Mudah dilakukan tapi kurang sebanding dengan hasil yang diberikan c) Ligasi arteri iliaca interna Efektif mengurangi perdarahan yang bersumber dari semua traktus genetalia dengan mengurangi tekanan darah dan circulasi darah sekitar pelvis. Apabila tidak berhasil menghentikan perdarahan, pilihan berikutnya adalah histerektomi. 3. Histerektomi Merupakan tindakan curative dalam menghentikan perdarahan yang berasal dari uterus. Total histerektomi dianggap lebih baik dalam kasus ini walaupun subtotal histerektomi lebih mudah dilakukan, hal ini disebabkan subtotal histerektomi tidak begitu efektif menghentikan perdarahan apabila berasal dari segmen bawah rahim, servix, fornix vagina. 19 G. Pencegahan Pencegahan merupakan tindakan terbaik, dan identifikasi berbagai faktor resiko merupakan salah satu langkah mengantisipasi perdarahan postpartum. Stratifikasi kehamilan berdasarkan resiko memudahkan penataan strategi pelayanan kesehatan terhadap ibu hamil sesuai jenjang fasilitas rujukan. Berbagai hal dapat dilakukan dalam rangka mengantisipasi hal tersebut, antara lain: 1. Mengoptimalkan kondisi ibu sebelum hamil dan sebelum bersalin, misalnya mengatasi anemia, mengobati penyakit kronis, memperbaiki keadaan umum dan lain-lain. 2. Mengidentifikasi faktor resiko perdarahan postpartum baik antepartum maupun intrapartum, sehingga kehamilan beresiko tinggi segera dapat ditolong oleh tenaga kesehatan terlatih di tempat rujukan dengan fasilitas memadai. 3. Membekali diri dengan penguasaan langkah-langkah pertolongan pertama perdarahan postpartum, dan mengadakan rujukan sebagaimana mestinya.(3,8) Saat persalinan berlangsung, berbagai riset membuktikan manajemen aktif kala tiga berhasil menurunkan insidens perdarahan postpartum. Manajemen aktif kala tiga mencakup: pemberian uterotonika dalam 1 menit pertama setelah bayi lahir, penegangan tali pusat terkendali disertai penekanan uterus ke arah dorsokranial (manuver Brandt-Andrew), dan masase uterus melalui dinding abdomen pasca kelahiran plasenta. Kombinasi ketiga tindakan tersebut bertujuan menghasilkan kontraksi uterus yang baik sehingga mempersingkat waktu dan mengurangi perdarahan pada kala tiga persalinan dibanding manajemen pasif (fisiologis), termasuk mengurangi permintaan transfusi, dan menurunkan angka kematian maternal. Tertinggalnya sisa plasenta dan bekuan darah dalam kavum uteri dapat dicegah dengan melakukan pemeriksaan kelengkapan plasenta dan segera mengevakuasinya secara manual bila ditemukan (3,10) 20 Gambar 8. Memeriksa kelengkapan plasenta (dikutip dari kepustakaan no 10) Robekan jalan lahir dapat dicegah dengan menghindari pimpinan persalinan pada saat pembukaan serviks belum lengkap, menghindari pertolongan persalinan yang manipulatif dan traumatik. Robekan jalan lahir dapat terjadi saat kepala dan bahu dilahirkan terlalu cepat dan tidak terkendali. Pengendalian kecepatan dan pengaturan diameter kepala saat melewati introitus dengan menyokong perineum dan mengendalikan keluarnya kepala bayi secara bertahap dan hati-hati dapat mengurangi regangan berlebihan pada vagina dan perineum. Episiotomi rutin untuk mencegah robekan berlebihan pada perineum tidak didukung oleh bukti-bukti ilmiah yang cukup sehingga tidak dianjurkan sebab justru meningkatkan resiko robekan derajat tiga atau empat, meningkatkan jumlah darah yang hilang dan resiko hematom (12) 21 22