REFERENSI ARTIKEL HIPERPLASIA ENDOMETRIUM Araafi Hariza Mahandaru PPDS I ILMU OBSTETRI DAN GINEKOLOGI FAKULTAS KEDOKTERAN UNS / RSUD DR. MOEWARDI SURAKARTA i DAFTAR ISI HALAMAN JUDUL .............................................................................................. i DAFTAR ISI .......................................................................................................... ii A. PENDAHULUAN .............................. Ошибка! Закладка не определена. B. EPIDEMIOLOGI........................................................................................... 2 C. ETIOLOGI DAN FAKTOR RISIKO ............................................................ 2 D. MANIFESTASI KLINIS ............................................................................... 3 E. PEMERIKSAAN PENUNJANG .................................................................. 4 F. HISTOPATOLOGI........................................................................................ 5 G. KLASIFIKASI HIPERPLASIA ENDOMETRIUM ..................................... 7 H. TATALAKSANA........................................................................................ 10 I. KOMPLIKASI............................................................................................. 14 J. PROGNOSIS ............................................................................................... 14 DAFTAR PUSTAKA ...........................................................................................15 ii A. PENDAHULUAN Kanker endometrium merupakan penyakit kanker urutan keenam dari seluruh kanker yang paling sering didiagnosis di seluruh dunia.1 Kanker endometrium memiliki insidensi tertinggi terutama di negara maju, termasuk Amerika Serikat dan Eropa.2 Insiden kanker endometrium telah meningkat di banyak negara selama beberapa dekade terakhir, tak terkecuali ASEAN sebagai negara berkembang. Total kasus endometrium baru di wilayah ASEAN pada tahun 2018 sebanyak 20.796 kasus. Tingkat insidensi tertinggi didominasi oleh Indonesia dengan 6.745 kasus.1 Peningkatan ini diduga akibat meningkatnya prevalensi obesitas serta pergeseran pola reproduksi wanita.3 Tahapan awal kanker endometrium adalah hiperplasia endometrium. Hiperplasia endometrium didiagnosis berdasarkan pengamatan histologis yang dibuktikan dengan adanya proliferasi kelenjar endometrium yang menghasilkan peningkatan rasio gland-to-stroma.4 Perkembangan hiperplasia endometrium menjadi kanker endometrium bergantung pada faktor-faktor seperti derajat kelainan arsitektural dan ada atau tidak adanya sel dengan inti nukleus atipia. Hiperplasia endomterium diduga disebabkan oleh kombinasi tingkat estrogen yang tinggi dan tingkat progesteron yang tidak mencukupi. Stimulasi estrogenik yang tidak seimbang pada endometrium menyebabkan perubahan epitel kelenjar proliferatif, termasuk remodeling kelenjar, menghasilkan kelenjar yang bentuknya bervariasi dan tidak teratur. Faktor risiko pengembangan hiperplasia endometrium antara lain obesitas, terapi estrogen yang tidak seimbang, pengobatan tamoxifen, PCOS, dan nulliparitas.5 Terdapat berbagai metode tatalaksana hiperplasia endometrium mulai dari pengobatan konservatif (non-bedah), serta biopsi dan tatalaksana bedah.6 Pengetahuan mendalam tentang hiperplasia endometrium merupakan kewajiban dokter spesialis obstetri dan ginekologi untuk dapat menginformasikan serta melakukan pengambilan keputusan bersama mengenai strategi manajemen klinis yang paling tepat. 1 B. EPIDEMIOLOGI Keganasan endometrium adalah kanker ginekologi yang paling umum di Amerika Serikat.7 Kanker endometrium menempati urutan keempat pada wanita di Amerika Serikat. Sebanyak 63.230 wanita didiagnosis dan 11.350 wanita meninggal karena keganasan ini pada tahun 2018. Insiden hiperplasia endometrium diperkirakan tiga kali lipat dari jumlah kasus kanker endometrium.7 Hiperplasia endometrium dianggap sebagai prekursor kanker endometrium, dan jika diketahui lebih awal, pencegahan perkembangan kanker dapat dilakukan. Sebuah penelitian epidemiologi menyebutkan bahwa wanita yang mendapat diagnosis hiperplasia endometrium tanpa atipia berada pada rentang 50-54 tahun. Hiperplasia endometrium dengan atipia paling sering terlihat pada kelompok usia 60-64 tahun, dan penyakit ini cukup jarang ditemukan di bawah usia 30 tahun.8 C. ETIOLOGI DAN FAKTOR RISIKO Etiologi utama hyperplasia endometrium diduga akibat paparan kronis estrogen disertai dengan defisiensi progesteron. Penyebab peningkatan estrogen dapat disebabkan oleh faktor endogen dan eksogen.9 Faktor risiko hiperplasia endometrium terdiri atas faktor menstruasi ( usia yang lebih tua atau pasca menopause, nuliparitas atau infertilitas, menopause dini, anovulasi, transisi menopause dan / atau sindrom ovarium polikistik), faktor iatrogenik (terapi estrogen eksogen yang tidak diseimbangi oleh progesteron); dan faktor komorbiditas (misalnya, diabetes, hipertensi, atau sindrom Lynch).10 Obesitas juga dikaitkan dengan peningkatan risiko hiperplasia endomterium. Selain peningkatan kadar estrogen, obesitas menyebabkan peradangan kronis yang dapat meningkatkan hiperplasia dan perkembangan kanker.11 Wanita dengan obesitas (indeks massa tubuh [BMI]> 30 kg / m2) memiliki resiko peningkatan hiperplasia endometrium atipia hampir 4 kali lipat dibandingkan dengan wanita non-obese. Wanita dengan BMI 40 kg / m2 menunjukkan peningkatan risiko hiperplasia endometrium atipia 13 kali lipat dan peningkatan risiko hiperplasia endometrium non-atipia sebesar 23 kali lipat.12 2 Modulator reseptor estrogen selektif yaitu tamoxifen diduga juga berkontribusi sebagai faktor risiko utama dalam hiperplasia endomterium. Tamoxifen adalah agen endokrin utama yang digunakan untuk mengobati kanker payudara primer dan lanjutan dengan ERα-positif.13 Dalam uji randomisasi tertutup, pengobatan tamoxifen terbukti berpotensi menyebabkan histologi endometrium abnormal, proliferasi, polip, atau sel mitosis pada 39% wanita, sementara 16% wanita menunjukkan kondisi hiperplastik atipia. Pengobatan Tamoxifen dapat menyebabkan ketebalan dan polip endometrium, menyebabkan lapisan endometrium tidak teratur yang berhubungan dengan neoplasia endometrium.14 Untuk mempermudah mengingat faktor risiko hiperplasia endometrium, terdapat beberapa mnemonic atau singkatan, seperti 4F (Female, Fourty, Fat, Fertile), OLD-AUNT (Obesity, Late menopause, Diabetes mellitus – cAncer ovarian/breast/colon, Unopposed estrogen, Nulliparity, Tamoxifen). D. MANIFESTASI KLINIS Pada wanita pramenopause, gejala hiperplasia endometrium antara lain perdarahan abnormal uterus (misalnya, gangguan pada keteraturan, frekuensi, durasi, dan perdarahan menstruasi yang berat) serta perdarahan intermenstrual.15 Dalam sebuah penelitian sistematis, didapati wanita pramenopause memiliki risiko karsinoma endometrium lebih tinggi pada gejala perdarahan intermenstrual dibandingkan dengan gejala perdarahan menstruasi yang berat. Untuk wanita pascamenopause, gejala pendarahan harus diamati dan pemeriksaan lebih lanjut dibutuhkan untuk menyingkirkan kecurigaan hiperplasia endometrium.16 Pasien dengan hiperplasia endometrium dapat datang dengan menoragia, sehingga pasien dapat terlihat pucat dan lemas. Pemeriksaan payudara harus dilakukan untuk menyingkirkan adanya lesi yang mencurigakan. Pemeriksaan pabdomen perlu dilakukan untuk mencari bekas luka dan benjolan perut (fibroid yang berdampingan, kista ovarium, dan kelainan intraperitoneal). Pemeriksaan genitalia harus dilakukan untuk menyingkirkan kemungkinan kelainan vulva, serviks, uterus, dan / atau ovarium.17 Pemeriksaan uterus 3 bimanual harus dilakukan, diikuti dengan pemeriksaan spekulum untuk pemeriksaan Pap dan biopsi endometrium.18,19 E. PEMERIKSAAN PENUNJANG Terdapat beberapa pilihan pemeriksaan untuk menegakkan diagnosis hiperplasia endometrium 1. Biopsi endometrium Pengambilan sampel endometrium harus dilakukan terutama untuk perdarahan abnormal pada wanita usia 40 atau lebih, serta pada mereka yang tidak respon terapi medis, dan pada wanita usia yang relatif muda.18 Pengambilan spesimen jaringan endometrium dapat dilakukan pada pasien rawat jalan dengan menggunakan miniatur alat penghisap yang dirancang untuk mengikis dan / atau menyedot jaringan endometrium secara radikal dari rongga rahim atau pada pasien rawat inap dengan metode dilatasi dan kuretase yang dilakukan dengan anestesi umum. Pengambilan sampel endometrium merupakan langkah penting dalam memantau regresi, persistensi, atau progresi.20 2. Ultrasonografi transvaginal Ultrasonografi (USG) transvaginal dapat digunakan untuk menyingkirkan diagnosis hiperplasia endometrium pada wanita pra dan pascamenopause dengan mengukur ketebalan endometrium, jika histerokopi tidak dapat dilakukan. Ketebalan endometrium diukur sebagai ketebalan anterior-posterior maksimum dari gema endometrium pada tampilan transvaginal sumbu panjang uterus (Gambar 1). Laporan terdahulu membandingkan ultrasonografi transvaginal dengan pengambilan sampel endometrium secara konsisten menemukan bahwa ketebalan endometrium 4-5 mm atau kurang pada wanita dengan perdarahan pascamenopause dapat digunakan untuk menyingkirkan kanker endometrium dengan nilai prediksi negatif lebih dari 99% untuk kanker endometrium.21 4 Gambar 1. Pengukuran Ketebalan Endometrium menggunakan USG Transvaginal.21 Ketebalan endometrium diukur pada bagian endometrium yang paling tebal sebagai jarak antara batas ekogenik (kaliper) tegak lurus dengan bidang longitudinal garis tengah rahim. 3. Histeroskopi Visualisasi dan biopsi langsung dari rongga rahim menggunakan histeroskopi harus dilakukan terutama jika hiperplasia endometrium telah didiagnosis dalam polip atau lesi fokal diskrit lainnya. Histerokopi memiliki sensitivitas lebih tinggi pada pasien dengan penebalan endometrium pasca menopause. Akurasi diagnostik histeroskopi dalam diagnosis dan prediksi hiperplasia endometrium tergolong tinggi yaitu 90.4%.22 F. HISTOPATOLOGI Dalam siklus menstruasi normal, estrogen merangsang proses proliferasi endometrium. Setelah ovulasi pada fase luteal, endometrium menunjukkan perubahan sekretori akibat pengaruh progesteron. Pada fase folikuler, jaringan endometrium normal tidak menunjukkan jaringan kelenjar yang berdesakdesakan, dan rasio kelenjar terhadap stroma kurang dari 50%. Pada fase sekretorik, kelenjar endometrium normal dapat menunjukkan gambaran seperti 5 kepadatan minimal dan sedikit peningkatan rasio kelenjar terhadap stroma. Terlepas dari ciri-ciri ini, kelenjar endometrium diatur dan sel-sel kelenjar tidak menunjukkan mitosis.17 Penjelasan terkait histopatologi dapat dibagi menjadi berikut: 1. Gambaran Makroskopis Hiperplasia endometrium biasanya tampak sebagai garis endometrium yang menebal pada USG transvaginal dan berupa peningkatan volume jaringan endometrium pada histeroskopi atau kuretase. Meskipun hiperplasia dapat dikaitkan dengan jaringan endometrium yang melimpah, jumlahnya biasanya tidak lebih banyak daripada yang diamati pada endometrium fase sekretori normal dengan penampilan berupa jaringan difus, agak polipoid, cokelat, dan beludru. Dalam beberapa kasus, hiperplasia terlokalisasi dapat menyerupai polip, muncul di belakang polip, atau melibatkan adenomiosis, termasuk bagian fokus dalam (bagian luar miometrium).23 2. Gambaran Mikroskopis Pada hiperplasia endometrium tanpa atipia, rasio kelenjar terhadap stroma meningkat menjadi lebih dari 50%. Kelenjar endometrium dapat menunjukkan crowding ringan, dilatasi kistik dengan sedikit pembengkakan dan mitosis, namun tanpa disertai bentukan atypia (Gambar 1).17,23 Gambar 1. Hiperplasia Endometrium tanpa Atipia23 6 Pada hiperplasia endometrium dengan atipia, rasio kelenjar terhadap stroma meningkat sangat jauh dan disertai disorganisasi kelenjar dengan pengeluaran luminal, mitosis seluler, dan atipia nukleus. Perbedaan antara proliferasi ganas dan non-ganas cenderung sulit ditemukan pada spesimen non-histerektomi. Dalam kondisi ini, tanda proliferasi ganas dapat ditunjukkan dengan adanya bentukan cribriform dan pola seperti labirin. 17,23 Gambar 2. Hiperplasia Endometrium dengan Atipia23 Panah hitam nukleolus yang berbeda, pleomorfisme inti, membran inti tidak beraturan, dan kromatin yang tersebar atau menggumpal. 4. KLASIFIKASI HIPERPLASIA ENDOMETRIUM Terdapat dua sistem klasifikasi yang umum digunakan untuk mengklasifikasikan hiperplasia endometrium, yaitu klasifikasi World Health Organization (WHO) dan klasifikasi endometrial intraepithelial neoplasia (EIN) (Tabel 1). Sistem klasifikasi WHO merupakan sistem yang paling umum digunakan dengan menggunakan kompleksitas seluler, kepadatan kelenjar endometrium dan adanya atipia sitologis untuk mengkategorikan patologi sebagai hiperplasia sederhana atau kompleks, dengan atau tanpa atipia.10 7 Tabel 1. Sistem Klasifikasi Hiperplasia Endometrium10 1. Klasifikasi WHO 1994 dan 2014 Pada klasifikasi WHO tahun 1994 terdapat empat kategori hiperplasia endometrium, yaitu hiperplasia sederhana tanpa atipia, hiperplasia kompleks tanpa atipia, hiperplasia atipikal sederhana, dan hiperplasia atipikal kompleks.24 a. Hiperplasia sederhana tanpa atipia Hiperplasia sederhana ditandai dengan kelenjar yang padat, berdilatasi secara kistik, ukuran variabel yang dipisahkan oleh stroma intervensi normal. Sel bersilia seringkali cukup menonjol dan mungkin terjadi metaplasia morular skuamosa. b. Hiperplasia kompleks tanpa atypia Hiperplasia kompleks tanpa atipia tampak sebagai kelenjar dengan arsitektur abnormal dan tidak teratur dengan latar belakang stroma yang umumnya kurang menonjol dibandingkan dengan hiperplasia sederhana. c. Hiperplasia atipia sederhana Penemuan kelenjar endometrium yang menunjukkan atipia sitologi tanpa adanya kompleksitas arsitektural yang jarang ditemukan. d. Hiperplasia atipia kompleks 8 Sebagian besar kasus hiperplasia endometrium atipikal termasuk dalam kategori ini, yang dibedakan dari hiperplasia non atipikal kompleks hanya berdasarkan kelainan sitologi. Tidak seperti nukleus oval dan halus yang terlihat pada hiperplasia non-atipikal, nukleus atipikal lebih bulat dan mungkin memiliki membran tidak beraturan. Kromatin sering tersebar tidak merata dan menggumpal, memberikan tampilan vesikuler, dan nukleolus yang membesar terlihat (mungkin kriteria yang paling dapat direproduksi untuk hiperplasia endometrium atipikal). Klasifikasi WHO tahun 2014 lebih sederhana dibandingkan klasifikasi WHO tahun 1994, dimana hanya memuat dua kategori hyperplasia endometrium yaitu:25 a. Hiperplasia tanpa atipia b. Hiperplasia dengan atipia / endometrioid intraepithelial neoplasia 2. Klasifikasi EIN Sistem klasifikasi WHO telah terbukti berguna secara klinis tetapi tetap merupakan klasifikasi yang tidak sempurna untuk mengidentifikasi lesi prakanker. Kekurangan sistem WHO telah mendorong pengembangan skema alternatif yang mencoba mengenali lesi endometrium prakanker dengan lebih baik, yang paling terkenal adalah sistem EIN. Dasar molekuler dari sistem EIN bertumpu pada serangkaian penelitian yang menganalisis ekspresi fosfatase dan tensin homolog (PTEN) di kelenjar endometrium. Ekspresi PTEN awalnya tampak mirip berkorelasi dengan perkembangan adenokarsinoma endometrioid.23,26 Dalam praktiknya, kriteria untuk diagnosis EIN tidak sepenuhnya berbeda dengan yang digunakan dalam sistem WHO dan berpusat pada proporsi relatif jaringan yang ditempati oleh kelenjar dan stroma. Sistem EIN ini dihitung sebagai skor "persentase volume stroma" (VPS) dan batas 55% digunakan untuk diagnosis hiperplasia atau prakanker (fokus harus diukur 1 mm). Namun, sistem ini mengakui bahwa kondisi jinak, seperti 9 polip, basalis normal, dan endometrium sekretori, mungkin juga memiliki skor VPS di bawah nilai yang ditentukan, sehingga penilaian morfologi yang cermat juga masih diperlukan.24 5. TATALAKSANA Hingga saat ini belum terdapat pengobatan yang bonafid pada hiperplasia endometrium, namun sebagian besar pedoman saat ini merekomendasikan terapi hormon (termasuk penggunaan progestin, hormon pelepas gonadotropin (GnRH) atau analognya atau perawatan bedah. Kriteria pemilihan pengobatan didasarkan pada usia pasien, status sitologi (ada tidaknya atipia) dan status kesuburan. Hiperplasia tanpa atipia dapat merespon dengan baik pada pengobatan progestin. Namun, wanita dengan hiperplasia endometrium atipia atau hiperplasia endometrium persisten tanpa atipia yang bergejala disarankan untuk menjalani operasi histerektomi. Wanita yang masih berharap untuk melahirkan, terapi hiperplasia endometrium merupakan tantangan, dimana perawatan cenderung pada tatalaksana konservatif terlepas dari apakah hiperplasia tersebut dengan atau tanpa atipia.10 Gambar 3. Manajemen Terapi Hiperplasia Endometrium10 10 Terdapat panduan lain oleh Royal College of Obstetricians & Gynecologists yang menekankan manajemen hiperplasia endometrium berdasarkan klasifikasi WHO tahun 2014. 17 Gambar 4. Algoritma Hiperplasia Endometrium17 11 a. Tatalaksana Hiperplasia Endometrium tanpa Atipia Pasien harus diberikan pengertian bahwa risiko hiperplasia endometrium tanpa atipia yang berkembang menjadi kanker endometrium adalah kurang dari 5% selama 20 tahun dan sebagian besar kasus hiperplasia endometrium tanpa atipia akan menurun secara spontan selama masa follow-up. Observasi dan pengambilan biopsi saja (tanpa terapi lain) dapat dilakukan jika kondisi klinis pasien memungkinkan. Pengobatan progestogen diindikasikan pada wanita yang tidak mengalami penurunan kondisi setelah observasi dan pada wanita bergejala dengan perdarahan uterus abnormal.17 Progestogen intrauterin oral dan lokal (levonorgestrel-releasing intrauterine system / [LNG-IUS]) secara kontinyu efektif dalam pengobatan hiperplasia endometrium tanpa atipia. LNG-IUS harus menjadi pengobatan medis lini pertama karena dibandingkan dengan progestogen oral, LNGIUS memiliki tingkat regresi penyakit yang lebih tinggi dengan profil perdarahan yang lebih baik dan dikaitkan dengan efek samping yang lebih sedikit. Progestogen kontinyu sebaiknya digunakan dalam pengobatan klinis (medroksiprogesteron 10-20 mg / hari atau noretisteron 10–15 mg / hari) untuk wanita yang tidak respon LNG-IUS. Progestogen siklik sebaiknya tidak digunakan karena kurang efektif dalam menginduksi regresi hiperplasia endometrium tanpa atipia dibandingkan dengan progestogen oral berkelanjutan atau LNG-IUS.17 Pengobatan dengan progestogen oral atau LNG-IUS harus dilakukan selama minimal 6 bulan untuk menginduksi regresi histologis hiperplasia endometrium tanpa atipia. Jika efek samping dapat ditoleransi dan pasien tidak berencana hamil, wanita harus didorong untuk mempertahankan LNGIUS hingga 5 tahun karena efektif mengurangi risiko kambuh. Setidaknya dua biopsi negatif pada enam bulan berturut-turut harus dilakukan sebelum pasien menghentikan semua pengobatan. Pada wanita dengan risiko kambuh yang lebih tinggi, seperti wanita dengan BMI 35 atau lebih besar atau mereka yang diobati dengan progestogen oral, direkomendasikan untuk melakukan biopsi endometrium setiap 6 bulan. Setelah diperoleh dua biopsi 12 endometrium negatif berturut-turut, maka tindak lanjut jangka panjang harus dipertimbangkan dengan rencana biopsi endometrium tahunan.17 Histerektomi bukanlah pengobatan lini pertama pada hiperplasia tanpa atipia. Terapi progestogen harus diutamakan karena menyebabkan remisi histologis dan simptomatik pada sebagian besar wanita dan menghindari morbiditas yang terkait dengan pembedahan besar. Histerektomi diindikasikan pada wanita yang tidak ingin mempertahankan kesuburannya dan saat hiperplasia tanpa atipia berkembang menjadi hiperplasia atipia selama masa tindak lanjut, saat tidak didapatkan regresi histologis hiperplasia meskipun 12 bulan pengobatan, saat didapatkan kekambuhan hiperplasia endometrium setelah menyelesaikan pengobatan progestogen, saat masih didapatkan gejala perdarahan, atau saat wanita menolak untuk mematuhi pengobatan medis.17 Wanita pascamenopause disarankan untuk dilakukan salpingoooforektomi bilateral bersama dengan histerektomi total untuk mengurangi risiko keganasan ovarium di masa mendatang. Pendekatan laparoskopi untuk histerektomi total lebih disukai daripada pendekatan abdomen karena berhubungan dengan masa rawat inap yang lebih singkat, nyeri pasca operasi yang lebih sedikit, dan masa pemulihan yang lebih cepat.17 b. Tatalaksana Hiperplasia Endometrium dengan Atipia Wanita dengan hiperplasia atipia harus menjalani histerektomi total karena risiko keganasan. Wanita pascamenopause dengan hiperplasia atipia harus ditawarkan salpingo-ooforektomi bilateral bersamaan dengan histerektomi total. Ablasi endometrium tidak dianjurkan karena kerusakan endometrium yang lengkap dan persisten tidak dapat dipastikan dan pembentukan adhesi intrauterin dapat menghalangi pertumbuhan histologis endometrium.17 Wanita yang ingin mempertahankan kesuburannya harus diberikan penjelasan tentang risiko keganasan dan kemungkinan perkembangan selanjutnya menjadi kanker endometrium. Penyelidikan pra-pengobatan harus dilakukan untuk menyingkirkan kanker endometrium invasif atau 13 kanker ovarium yang sudah ada. Hasil histologi, pencitraan dan penanda tumor harus ditinjau dalam manajemen multidisiplin. Pengobatan lini pertama dengan LNG-IUS harus direkomendasikan, dengan progestogen oral sebagai alternatif terbaik kedua. Setelah kesuburan tidak lagi diperlukan, histerektomi harus ditawarkan mengingat risiko kambuh penyakit yang tinggi.17 Surveilans endometrium rutin harus dilakukan dan mencakup biopsi endometrium. Jadwal kunjungan harus bersifat individual dan responsif terhadap perubahan kondisi klinis wanita. Interval pemeriksaan harus setiap 3 bulan sampai diperoleh dua biopsi negatif berturut-turut. Pada wanita asimtomatik dan bukti regresi penyakit histologis, tatalaksana jangka panjang berdasarkan minimal dua biopsi endometrium negatif berturutturut, dan biopsi endometrium setiap 6-12 bulan direkomendasikan sampai histerektomi dilakukan.17 6. KOMPLIKASI Perubahan signifikan hiperplasia endometrium adalah perubahan menjadi prekursor adenokarsinoma endometrium. Kehadiran atypia / EIN memiliki risiko yang lebih tinggi untuk berkembang menjadi keganasan invasif - setinggi 27,5% jika tidak dilakukan pengobatan.27 7. PROGNOSIS Progestogen menyebabkan perubahan sekresi di endometrium dan mengimbangi efek stimulasi estrogen. Beberapa penelitian menunjukkan terapi progestogen menyebabkan tingkat regresi yang tinggi pada hiperplasia tanpa atipia (89% hingga 96%). Adanya neoplasia intraepitel endometrium menyebabkan terjadi penurunan tingkat keberhasilan terapi.28 Risiko perkembangan menjadi kanker endometrium menurut klasifikasi hiperplasia endometrium WHO 2004 adalah sebagai berikut: hiperplasia sederhana tanpa atipia sebesar 1%, hiperplasia kompleks tanpa atipia 3%, hiperplasia sederhana dengan atipia 8%, hiperplasia kompleks tanpa atipia 29%.29 14 DAFTAR PUSTAKA 1. Bray F, Ferlay J, Soerjomataram I, Siegel RL, Torre LA, Jemal A. Global cancer statistics 2018: GLOBOCAN estimates of incidence and mortality worldwide for 36 cancers in 185 countries. CA Cancer J Clin [Internet]. November 2018 [dikutip 8 April 2021];68(6):394–424. Tersedia pada: https://pubmed.ncbi.nlm.nih.gov/30207593/ 2. Lortet-Tieulent J, Ferlay J, Bray F, Jemal A. International patterns and trends in endometrial cancer incidence, 1978-2013. J Natl Cancer Inst [Internet]. 1 April 2018 [dikutip 8 April 2021];110(4):354–61. Tersedia pada: https://pubmed.ncbi.nlm.nih.gov/29045681/ 3. Morice P, Leary A, Creutzberg C, Abu-Rustum N, Darai E. Endometrial cancer. Lancet [Internet]. 12 Maret 2021];387(10023):1094–108. 2016 [dikutip Tersedia 8 April pada: https://pubmed.ncbi.nlm.nih.gov/26354523/ 4. Vajpeyi R. WHO Classification of Tumours: Pathology and Genetics of Tumours of the Breast and Female Genital Organs. J Clin Pathol [Internet]. 2005 [dikutip 8 April 2021];58(6):672. Tersedia pada: /pmc/articles/PMC1770678/ 5. Ricci E, Moroni S, Parazzini F, Surace M, Benzi G, Salerio B, et al. Risk factors for endometrial hyperplasia: Results from a case-control study. Int J Gynecol Cancer [Internet]. 2002 [dikutip 8 April 2021];12(3):257–60. Tersedia pada: https://pubmed.ncbi.nlm.nih.gov/12060446/ 6. Braun MM, Grumbo RJ. Diagnosis and Management of Endometrial Cancer. Am Fam Physician [Internet]. 15 Maret 2016 [dikutip 8 April 2021];93(6):468–74. Tersedia pada: www.aafp.org/afp. 7. Siegel RL, Miller KD, Jemal A. Cancer statistics, 2018. CA Cancer J Clin [Internet]. Januari 2018 [dikutip 8 April 2021];68(1):7–30. Tersedia pada: https://pubmed.ncbi.nlm.nih.gov/29313949/ 8. Reed SD, Newton KM, Clinton WL, Epplein M, Garcia R, Allison K, et al. Incidence of endometrial hyperplasia. Am J Obstet Gynecol [Internet]. 1 Juni 2009 [dikutip 8 April 2021];200(6):678.e1-678.e6. Tersedia pada: 15 http://www.ajog.org/article/S0002937809002233/fulltext 9. van der Meer ACL, Hanna LS. Development of endometrioid adenocarcinoma despite Levonorgestrel-releasing intrauterine system: a case report with discussion and review of the RCOG/BSGE Guideline on the Management of Endometrial Hyperplasia. Clin Obes [Internet]. 1 Februari 2017 [dikutip 8 April 2021];7(1):54–7. Tersedia pada: http://doi.wiley.com/10.1111/cob.12168 10. Chandra V, Kim JJ, Benbrook DM, Dwivedi A, Rai R. Therapeutic options for management of endometrial hyperplasia. J Gynecol Oncol [Internet]. 1 Januari 2016 [dikutip 8 April 2021];27(1). Tersedia pada: https://pubmed.ncbi.nlm.nih.gov/26463434/ 11. Nieman KM, Romero IL, Van Houten B, Lengyel E. Adipose tissue and adipocytes support tumorigenesis and metastasis. Biochim Biophys Acta Mol Cell Biol Lipids [Internet]. 2013 [dikutip 8 April 2021];1831(10):1533– 41. Tersedia pada: https://pubmed.ncbi.nlm.nih.gov/23500888/ 12. Epplein M, Reed SD, Voigt LF, Newton KM, Holt VL, Weiss NS. Risk of complex and atypical endometrial hyperplasia in relation to anthropometric measures and reproductive history. Am J Epidemiol [Internet]. September 2008 [dikutip 8 April 2021];168(6):563–70. Tersedia pada: https://pubmed.ncbi.nlm.nih.gov/18682485/ 13. Vollmer G. Endometrial cancer: Experimental models useful for studies on molecular aspects of endometrial cancer and carcinogenesis. Endocr Relat Cancer [Internet]. Maret 2003 [dikutip 8 April 2021];10(1):23–42. Tersedia pada: https://pubmed.ncbi.nlm.nih.gov/12653669/ 14. Brown K. Is tamoxifen a genotoxic carcinogen in women? Mutagenesis. September 2009;24(5):391–404. 15. Fraser IS, Critchley HOD, Broder M, Munro MG. The FIGO recommendations on terminologies and definitions for normal and abnormal uterine bleeding. Semin Reprod Med [Internet]. 2011 [dikutip 8 April 2021];29(5):383–90. Tersedia pada: https://pubmed.ncbi.nlm.nih.gov/22065325/ 16. Pennant ME, Mehta R, Moody P, Hackett G, Prentice A, Sharp SJ, et al. 16 Premenopausal abnormal uterine bleeding and risk of endometrial cancer. BJOG An Int J Obstet Gynaecol [Internet]. 1 Februari 2017 [dikutip 8 April 2021];124(3):404–11. Tersedia pada: https://pubmed.ncbi.nlm.nih.gov/27766759/ 17. Williams K, Ko E. Endometrial hyperplasia. In: Handbook of Gynecology [Internet]. Springer International Publishing; 2017 [dikutip 8 April 2021]. hal. 877–91. Tersedia pada: https://www.ncbi.nlm.nih.gov/books/NBK560693/ 18. Iram S, Musonda P, Ewies AAA. Premenopausal bleeding: When should the endometrium be investigated?-A retrospective non-comparative study of 3006 women. Eur J Obstet Gynecol Reprod Biol [Internet]. 2010 [dikutip 8 April 2021];148(1):86–9. Tersedia pada: https://pubmed.ncbi.nlm.nih.gov/19853362/ 19. Wise MR, Gill P, Lensen S, Thompson JMD, Farquhar CM. Body mass index trumps age in decision for endometrial biopsy: cohort study of symptomatic premenopausal women. Am J Obstet Gynecol [Internet]. 1 November 2016 [dikutip 8 April 2021];215(5):598.e1-598.e8. Tersedia pada: https://pubmed.ncbi.nlm.nih.gov/27287687/ 20. British Society for Gynaecological Endoscopy. Management of Endometrial Hyperplasia Green-top Guideline No. 67 RCOG/BSGE Joint Guideline |. 2016 Feb. 21. Committee on Gynecologic Practice. The Role of Transvaginal Ultrasonography in Evaluating the Endometrium of Women With Postmenopausal Bleeding. Vol. 131. 2018 Mei. 22. de Franciscis P, Riemma G, Schiattarella A, Cobellis L, Guadagno M, Vitale SG, et al. Concordance between the hysteroscopic diagnosis of endometrial hyperplasia and histopathological examination. Diagnostics [Internet]. 1 Desember 2019 [dikutip 9 April 2021];9(4). Tersedia pada: /pmc/articles/PMC6963519/ 23. Mills AM, Longacre TA. Endometrial hyperplasia. Semin Diagn Pathol [Internet]. November 2010 [dikutip 8 April 2021];27(4):199–214. Tersedia pada: https://linkinghub.elsevier.com/retrieve/pii/S0740257010000997 17 24. Kurman RJ, Kaminski PF, Norris HJ. The behavior of endometrial hyperplasia. A long‐term study of “untreated” hyperplasia in 170 patients. Cancer [Internet]. 1985 [dikutip 8 April 2021];56(2):403–12. Tersedia pada: https://pubmed.ncbi.nlm.nih.gov/4005805/ 25. Emons G, Beckmann MW, Schmidt D, Mallmann P. New WHO Classification of Endometrial Hyperplasias. Geburtshilfe Frauenheilkd [Internet]. 2015 [dikutip 8 April 2021];75(2):135–6. Tersedia pada: https://pubmed.ncbi.nlm.nih.gov/25797956/ 26. Mutter GL. Endometrial intraepithelial neoplasia (EIN): Will it bring order to chaos? Gynecol Oncol [Internet]. 2000 [dikutip 8 April 2021];76(3):287– 90. Tersedia pada: https://pubmed.ncbi.nlm.nih.gov/10684697/ 27. Lacey J V., Sherman ME, Rush BB, Ronnett BM, Ioffe OB, Duggan MA, et al. Absolute risk of endometrial carcinoma during 20-year follow-up among women with endometrial hyperplasia. J Clin Oncol [Internet]. 10 Februari 2010 [dikutip 8 April 2021];28(5):788–92. Tersedia pada: https://pubmed.ncbi.nlm.nih.gov/20065186/ 28. Gallos ID, Shehmar M, Thangaratinam S, Papapostolou TK, Coomarasamy A, Gupta JK. Oral progestogens vs levonorgestrel-releasing intrauterine system for endometrial hyperplasia: A systematic review and metaanalysis. Am J Obstet Gynecol [Internet]. 2010 [dikutip 8 April 2021];203(6):547.e1547.e10. Tersedia pada: https://pubmed.ncbi.nlm.nih.gov/20934679/ 29. Doherty MT, Sanni OB, Coleman HG, Cardwell CR, McCluggage WG, Quinn D, et al. Concurrent and future risk of endometrial cancer in women with endometrial hyperplasia: A systematic review and meta-analysis. Beiki O, editor. PLoS One [Internet]. 28 April 2020 [dikutip 9 April 2021];15(4):e0232231. Tersedia pada: https://dx.plos.org/10.1371/journal.pone.0232231 18