Uploaded by veranidwitasari

Endometrial Hyperplasia

advertisement
REFERENSI ARTIKEL
HIPERPLASIA ENDOMETRIUM
Araafi Hariza Mahandaru
PPDS I ILMU OBSTETRI DAN GINEKOLOGI
FAKULTAS KEDOKTERAN UNS / RSUD DR. MOEWARDI
SURAKARTA
i
DAFTAR ISI
HALAMAN JUDUL .............................................................................................. i
DAFTAR ISI .......................................................................................................... ii
A. PENDAHULUAN .............................. Ошибка! Закладка не определена.
B. EPIDEMIOLOGI........................................................................................... 2
C. ETIOLOGI DAN FAKTOR RISIKO ............................................................ 2
D. MANIFESTASI KLINIS ............................................................................... 3
E. PEMERIKSAAN PENUNJANG .................................................................. 4
F. HISTOPATOLOGI........................................................................................ 5
G. KLASIFIKASI HIPERPLASIA ENDOMETRIUM ..................................... 7
H. TATALAKSANA........................................................................................ 10
I. KOMPLIKASI............................................................................................. 14
J. PROGNOSIS ............................................................................................... 14
DAFTAR PUSTAKA ...........................................................................................15
ii
A. PENDAHULUAN
Kanker endometrium merupakan penyakit kanker urutan keenam dari
seluruh kanker yang paling sering didiagnosis di seluruh dunia.1 Kanker
endometrium memiliki insidensi tertinggi terutama di negara maju, termasuk
Amerika Serikat dan Eropa.2 Insiden kanker endometrium telah meningkat di
banyak negara selama beberapa dekade terakhir, tak terkecuali ASEAN
sebagai negara berkembang. Total kasus endometrium baru di wilayah ASEAN
pada tahun 2018 sebanyak 20.796 kasus. Tingkat insidensi tertinggi didominasi
oleh Indonesia dengan 6.745 kasus.1 Peningkatan ini diduga akibat
meningkatnya prevalensi obesitas serta pergeseran pola reproduksi wanita.3
Tahapan awal kanker endometrium adalah hiperplasia endometrium.
Hiperplasia endometrium didiagnosis berdasarkan pengamatan histologis yang
dibuktikan
dengan
adanya
proliferasi
kelenjar
endometrium
yang
menghasilkan peningkatan rasio gland-to-stroma.4 Perkembangan hiperplasia
endometrium menjadi kanker endometrium bergantung pada faktor-faktor
seperti derajat kelainan arsitektural dan ada atau tidak adanya sel dengan inti
nukleus atipia. Hiperplasia endomterium diduga disebabkan oleh kombinasi
tingkat estrogen yang tinggi dan tingkat progesteron yang tidak mencukupi.
Stimulasi estrogenik yang tidak seimbang pada endometrium menyebabkan
perubahan epitel kelenjar proliferatif, termasuk remodeling kelenjar,
menghasilkan kelenjar yang bentuknya bervariasi dan tidak teratur. Faktor
risiko pengembangan hiperplasia endometrium antara lain obesitas, terapi
estrogen yang tidak seimbang, pengobatan tamoxifen, PCOS, dan nulliparitas.5
Terdapat berbagai metode tatalaksana hiperplasia endometrium mulai
dari pengobatan konservatif (non-bedah), serta biopsi dan tatalaksana bedah.6
Pengetahuan mendalam tentang hiperplasia endometrium merupakan
kewajiban
dokter
spesialis
obstetri
dan
ginekologi
untuk
dapat
menginformasikan serta melakukan pengambilan keputusan bersama
mengenai strategi manajemen klinis yang paling tepat.
1
B. EPIDEMIOLOGI
Keganasan endometrium adalah kanker ginekologi yang paling umum di
Amerika Serikat.7 Kanker endometrium menempati urutan keempat pada
wanita di Amerika Serikat. Sebanyak 63.230 wanita didiagnosis dan 11.350
wanita meninggal karena keganasan ini pada tahun 2018. Insiden hiperplasia
endometrium diperkirakan tiga kali lipat dari jumlah kasus kanker
endometrium.7 Hiperplasia endometrium dianggap sebagai prekursor kanker
endometrium, dan jika diketahui lebih awal, pencegahan perkembangan kanker
dapat dilakukan. Sebuah penelitian epidemiologi menyebutkan bahwa wanita
yang mendapat diagnosis hiperplasia endometrium tanpa atipia berada pada
rentang 50-54 tahun. Hiperplasia endometrium dengan atipia paling sering
terlihat pada kelompok usia 60-64 tahun, dan penyakit ini cukup jarang
ditemukan di bawah usia 30 tahun.8
C. ETIOLOGI DAN FAKTOR RISIKO
Etiologi utama hyperplasia endometrium diduga akibat paparan kronis
estrogen disertai dengan defisiensi progesteron. Penyebab peningkatan
estrogen dapat disebabkan oleh faktor endogen dan eksogen.9 Faktor risiko
hiperplasia endometrium terdiri atas faktor menstruasi ( usia yang lebih tua atau
pasca menopause, nuliparitas atau infertilitas, menopause dini, anovulasi,
transisi menopause dan / atau sindrom ovarium polikistik), faktor iatrogenik
(terapi estrogen eksogen yang tidak diseimbangi oleh progesteron); dan faktor
komorbiditas (misalnya, diabetes, hipertensi, atau sindrom Lynch).10
Obesitas
juga
dikaitkan
dengan
peningkatan
risiko
hiperplasia
endomterium. Selain peningkatan kadar estrogen, obesitas menyebabkan
peradangan kronis yang dapat meningkatkan hiperplasia dan perkembangan
kanker.11 Wanita dengan obesitas (indeks massa tubuh [BMI]> 30 kg / m2)
memiliki resiko peningkatan hiperplasia endometrium atipia hampir 4 kali lipat
dibandingkan dengan wanita non-obese. Wanita dengan BMI 40 kg / m2
menunjukkan peningkatan risiko hiperplasia endometrium atipia 13 kali lipat
dan peningkatan risiko hiperplasia endometrium non-atipia sebesar 23 kali
lipat.12
2
Modulator reseptor estrogen selektif yaitu tamoxifen diduga juga
berkontribusi sebagai faktor risiko utama dalam hiperplasia endomterium.
Tamoxifen adalah agen endokrin utama yang digunakan untuk mengobati
kanker payudara primer dan lanjutan dengan ERα-positif.13 Dalam uji
randomisasi tertutup, pengobatan tamoxifen terbukti berpotensi menyebabkan
histologi endometrium abnormal, proliferasi, polip, atau sel mitosis pada 39%
wanita, sementara 16% wanita menunjukkan kondisi hiperplastik atipia.
Pengobatan Tamoxifen dapat menyebabkan ketebalan dan polip endometrium,
menyebabkan lapisan endometrium tidak teratur yang berhubungan dengan
neoplasia endometrium.14
Untuk mempermudah mengingat faktor risiko hiperplasia endometrium,
terdapat beberapa mnemonic atau singkatan, seperti 4F (Female, Fourty, Fat,
Fertile), OLD-AUNT (Obesity, Late menopause, Diabetes mellitus – cAncer
ovarian/breast/colon, Unopposed estrogen, Nulliparity, Tamoxifen).
D. MANIFESTASI KLINIS
Pada wanita pramenopause, gejala hiperplasia endometrium antara lain
perdarahan abnormal uterus (misalnya, gangguan pada keteraturan, frekuensi,
durasi,
dan
perdarahan
menstruasi
yang
berat)
serta
perdarahan
intermenstrual.15 Dalam sebuah penelitian sistematis, didapati wanita
pramenopause memiliki risiko karsinoma endometrium lebih tinggi pada gejala
perdarahan intermenstrual dibandingkan dengan gejala perdarahan menstruasi
yang berat. Untuk wanita pascamenopause, gejala pendarahan harus diamati
dan pemeriksaan lebih lanjut dibutuhkan untuk menyingkirkan kecurigaan
hiperplasia endometrium.16
Pasien dengan hiperplasia endometrium dapat datang dengan menoragia,
sehingga pasien dapat terlihat pucat dan lemas. Pemeriksaan payudara harus
dilakukan untuk menyingkirkan adanya lesi yang mencurigakan. Pemeriksaan
pabdomen perlu dilakukan untuk mencari bekas luka dan benjolan perut
(fibroid yang berdampingan, kista ovarium, dan kelainan intraperitoneal).
Pemeriksaan genitalia harus dilakukan untuk menyingkirkan kemungkinan
kelainan vulva, serviks, uterus, dan / atau ovarium.17 Pemeriksaan uterus
3
bimanual harus dilakukan, diikuti dengan pemeriksaan spekulum untuk
pemeriksaan Pap dan biopsi endometrium.18,19
E. PEMERIKSAAN PENUNJANG
Terdapat beberapa pilihan pemeriksaan untuk menegakkan diagnosis
hiperplasia endometrium
1. Biopsi endometrium
Pengambilan sampel endometrium harus dilakukan terutama untuk
perdarahan abnormal pada wanita usia 40 atau lebih, serta pada mereka yang
tidak respon terapi medis, dan pada wanita usia yang relatif muda.18
Pengambilan spesimen jaringan endometrium dapat dilakukan pada pasien
rawat jalan dengan menggunakan miniatur alat penghisap yang dirancang
untuk mengikis dan / atau menyedot jaringan endometrium secara radikal
dari rongga rahim atau pada pasien rawat inap dengan metode dilatasi dan
kuretase yang dilakukan dengan anestesi umum. Pengambilan sampel
endometrium merupakan langkah penting dalam memantau regresi,
persistensi, atau progresi.20
2. Ultrasonografi transvaginal
Ultrasonografi
(USG)
transvaginal
dapat
digunakan
untuk
menyingkirkan diagnosis hiperplasia endometrium pada wanita pra dan
pascamenopause
dengan
mengukur
ketebalan
endometrium,
jika
histerokopi tidak dapat dilakukan. Ketebalan endometrium diukur sebagai
ketebalan anterior-posterior maksimum dari gema endometrium pada
tampilan transvaginal sumbu panjang uterus (Gambar 1). Laporan terdahulu
membandingkan ultrasonografi transvaginal dengan pengambilan sampel
endometrium secara konsisten menemukan bahwa ketebalan endometrium
4-5 mm atau kurang pada wanita dengan perdarahan pascamenopause dapat
digunakan untuk menyingkirkan kanker endometrium dengan nilai prediksi
negatif lebih dari 99% untuk kanker endometrium.21
4
Gambar 1. Pengukuran Ketebalan Endometrium menggunakan
USG Transvaginal.21
Ketebalan endometrium diukur pada bagian endometrium yang paling
tebal sebagai jarak antara batas ekogenik (kaliper) tegak lurus dengan bidang
longitudinal garis tengah rahim.
3. Histeroskopi
Visualisasi dan biopsi langsung dari rongga rahim menggunakan
histeroskopi harus dilakukan terutama jika hiperplasia endometrium telah
didiagnosis dalam polip atau lesi fokal diskrit lainnya. Histerokopi memiliki
sensitivitas lebih tinggi pada pasien dengan penebalan endometrium pasca
menopause. Akurasi diagnostik histeroskopi dalam diagnosis dan prediksi
hiperplasia endometrium tergolong tinggi yaitu 90.4%.22
F. HISTOPATOLOGI
Dalam siklus menstruasi normal, estrogen merangsang proses proliferasi
endometrium. Setelah ovulasi pada fase luteal, endometrium menunjukkan
perubahan sekretori akibat pengaruh progesteron. Pada fase folikuler, jaringan
endometrium normal tidak menunjukkan jaringan kelenjar yang berdesakdesakan, dan rasio kelenjar terhadap stroma kurang dari 50%. Pada fase
sekretorik, kelenjar endometrium normal dapat menunjukkan gambaran seperti
5
kepadatan minimal dan sedikit peningkatan rasio kelenjar terhadap stroma.
Terlepas dari ciri-ciri ini, kelenjar endometrium diatur dan sel-sel kelenjar tidak
menunjukkan mitosis.17 Penjelasan terkait histopatologi dapat dibagi menjadi
berikut:
1. Gambaran Makroskopis
Hiperplasia
endometrium
biasanya
tampak
sebagai
garis
endometrium yang menebal pada USG transvaginal dan berupa peningkatan
volume jaringan endometrium pada histeroskopi atau kuretase. Meskipun
hiperplasia dapat dikaitkan dengan jaringan endometrium yang melimpah,
jumlahnya biasanya tidak lebih banyak daripada yang diamati pada
endometrium fase sekretori normal dengan penampilan berupa jaringan
difus, agak polipoid, cokelat, dan beludru. Dalam beberapa kasus,
hiperplasia terlokalisasi dapat menyerupai polip, muncul di belakang polip,
atau melibatkan adenomiosis, termasuk bagian fokus dalam (bagian luar
miometrium).23
2. Gambaran Mikroskopis
Pada hiperplasia endometrium tanpa atipia, rasio kelenjar terhadap
stroma meningkat menjadi lebih dari 50%. Kelenjar endometrium dapat
menunjukkan crowding ringan, dilatasi kistik dengan sedikit pembengkakan
dan mitosis, namun tanpa disertai bentukan atypia (Gambar 1).17,23
Gambar 1. Hiperplasia Endometrium tanpa Atipia23
6
Pada hiperplasia endometrium dengan atipia, rasio kelenjar terhadap
stroma meningkat sangat jauh dan disertai disorganisasi kelenjar dengan
pengeluaran luminal, mitosis seluler, dan atipia nukleus. Perbedaan antara
proliferasi ganas dan non-ganas cenderung sulit ditemukan pada spesimen
non-histerektomi. Dalam kondisi ini, tanda proliferasi ganas dapat
ditunjukkan dengan adanya bentukan cribriform dan pola seperti labirin.
17,23
Gambar 2. Hiperplasia Endometrium dengan Atipia23
Panah hitam nukleolus yang berbeda, pleomorfisme inti, membran inti
tidak beraturan, dan kromatin yang tersebar atau menggumpal.
4. KLASIFIKASI HIPERPLASIA ENDOMETRIUM
Terdapat dua sistem klasifikasi
yang umum digunakan
untuk
mengklasifikasikan hiperplasia endometrium, yaitu klasifikasi World Health
Organization (WHO) dan klasifikasi endometrial intraepithelial neoplasia
(EIN) (Tabel 1). Sistem klasifikasi WHO merupakan sistem yang paling umum
digunakan dengan menggunakan kompleksitas seluler, kepadatan kelenjar
endometrium dan adanya atipia sitologis untuk mengkategorikan patologi
sebagai hiperplasia sederhana atau kompleks, dengan atau tanpa atipia.10
7
Tabel 1. Sistem Klasifikasi Hiperplasia Endometrium10
1. Klasifikasi WHO 1994 dan 2014
Pada klasifikasi WHO tahun 1994 terdapat empat kategori hiperplasia
endometrium, yaitu hiperplasia sederhana tanpa atipia, hiperplasia
kompleks tanpa atipia, hiperplasia atipikal sederhana, dan hiperplasia
atipikal kompleks.24
a. Hiperplasia sederhana tanpa atipia
Hiperplasia sederhana ditandai dengan kelenjar yang padat, berdilatasi
secara kistik, ukuran variabel yang dipisahkan oleh stroma intervensi
normal. Sel bersilia seringkali cukup menonjol dan mungkin terjadi
metaplasia morular skuamosa.
b. Hiperplasia kompleks tanpa atypia
Hiperplasia kompleks tanpa atipia tampak sebagai kelenjar dengan
arsitektur abnormal dan tidak teratur dengan latar belakang stroma
yang umumnya kurang menonjol dibandingkan dengan hiperplasia
sederhana.
c. Hiperplasia atipia sederhana
Penemuan kelenjar endometrium yang menunjukkan atipia sitologi
tanpa adanya kompleksitas arsitektural yang jarang ditemukan.
d. Hiperplasia atipia kompleks
8
Sebagian besar kasus hiperplasia endometrium atipikal termasuk dalam
kategori ini, yang dibedakan dari hiperplasia non atipikal kompleks
hanya berdasarkan kelainan sitologi. Tidak seperti nukleus oval dan
halus yang terlihat pada hiperplasia non-atipikal, nukleus atipikal lebih
bulat dan mungkin memiliki membran tidak beraturan. Kromatin sering
tersebar tidak merata dan menggumpal, memberikan tampilan
vesikuler, dan nukleolus yang membesar terlihat (mungkin kriteria
yang paling dapat direproduksi untuk hiperplasia endometrium
atipikal).
Klasifikasi WHO tahun 2014 lebih sederhana dibandingkan klasifikasi
WHO tahun 1994, dimana hanya memuat dua kategori hyperplasia
endometrium yaitu:25
a. Hiperplasia tanpa atipia
b. Hiperplasia dengan atipia / endometrioid intraepithelial neoplasia
2. Klasifikasi EIN
Sistem klasifikasi WHO telah terbukti berguna secara klinis tetapi
tetap merupakan klasifikasi yang tidak sempurna untuk mengidentifikasi
lesi prakanker. Kekurangan sistem WHO telah mendorong pengembangan
skema alternatif yang mencoba mengenali lesi endometrium prakanker
dengan lebih baik, yang paling terkenal adalah sistem EIN. Dasar
molekuler dari sistem EIN bertumpu pada serangkaian penelitian yang
menganalisis ekspresi fosfatase dan tensin homolog (PTEN) di kelenjar
endometrium. Ekspresi PTEN awalnya tampak mirip berkorelasi dengan
perkembangan adenokarsinoma endometrioid.23,26
Dalam praktiknya, kriteria untuk diagnosis EIN tidak sepenuhnya
berbeda dengan yang digunakan dalam sistem WHO dan berpusat pada
proporsi relatif jaringan yang ditempati oleh kelenjar dan stroma. Sistem
EIN ini dihitung sebagai skor "persentase volume stroma" (VPS) dan batas
55% digunakan untuk diagnosis hiperplasia atau prakanker (fokus harus
diukur 1 mm). Namun, sistem ini mengakui bahwa kondisi jinak, seperti
9
polip, basalis normal, dan endometrium sekretori, mungkin juga memiliki
skor VPS di bawah nilai yang ditentukan, sehingga penilaian morfologi
yang cermat juga masih diperlukan.24
5. TATALAKSANA
Hingga saat ini belum terdapat pengobatan yang bonafid pada hiperplasia
endometrium, namun sebagian besar pedoman saat ini merekomendasikan
terapi hormon (termasuk penggunaan progestin, hormon pelepas gonadotropin
(GnRH) atau analognya atau perawatan bedah. Kriteria pemilihan pengobatan
didasarkan pada usia pasien, status sitologi (ada tidaknya atipia) dan status
kesuburan. Hiperplasia tanpa atipia dapat merespon dengan baik pada
pengobatan progestin. Namun, wanita dengan hiperplasia endometrium atipia
atau hiperplasia endometrium persisten tanpa atipia yang bergejala disarankan
untuk menjalani operasi histerektomi. Wanita yang masih berharap untuk
melahirkan, terapi hiperplasia endometrium merupakan tantangan, dimana
perawatan cenderung pada tatalaksana konservatif terlepas dari apakah
hiperplasia tersebut dengan atau tanpa atipia.10
Gambar 3. Manajemen Terapi Hiperplasia Endometrium10
10
Terdapat panduan lain oleh Royal College of Obstetricians & Gynecologists
yang
menekankan
manajemen
hiperplasia
endometrium
berdasarkan
klasifikasi WHO tahun 2014. 17
Gambar 4. Algoritma Hiperplasia Endometrium17
11
a.
Tatalaksana Hiperplasia Endometrium tanpa Atipia
Pasien harus diberikan pengertian bahwa risiko hiperplasia
endometrium tanpa atipia yang berkembang menjadi kanker endometrium
adalah kurang dari 5% selama 20 tahun dan sebagian besar kasus hiperplasia
endometrium tanpa atipia akan menurun secara spontan selama masa
follow-up. Observasi dan pengambilan biopsi saja (tanpa terapi lain) dapat
dilakukan jika kondisi klinis pasien memungkinkan. Pengobatan
progestogen diindikasikan pada wanita yang tidak mengalami penurunan
kondisi setelah observasi dan pada wanita bergejala dengan perdarahan
uterus abnormal.17
Progestogen intrauterin oral dan lokal (levonorgestrel-releasing
intrauterine system / [LNG-IUS]) secara kontinyu efektif dalam pengobatan
hiperplasia endometrium tanpa atipia. LNG-IUS harus menjadi pengobatan
medis lini pertama karena dibandingkan dengan progestogen oral, LNGIUS memiliki tingkat regresi penyakit yang lebih tinggi dengan profil
perdarahan yang lebih baik dan dikaitkan dengan efek samping yang lebih
sedikit. Progestogen kontinyu sebaiknya digunakan dalam pengobatan
klinis (medroksiprogesteron 10-20 mg / hari atau noretisteron 10–15 mg /
hari) untuk wanita yang tidak respon LNG-IUS. Progestogen siklik
sebaiknya tidak digunakan karena kurang efektif dalam menginduksi regresi
hiperplasia endometrium tanpa atipia dibandingkan dengan progestogen
oral berkelanjutan atau LNG-IUS.17
Pengobatan dengan progestogen oral atau LNG-IUS harus dilakukan
selama minimal 6 bulan untuk menginduksi regresi histologis hiperplasia
endometrium tanpa atipia. Jika efek samping dapat ditoleransi dan pasien
tidak berencana hamil, wanita harus didorong untuk mempertahankan LNGIUS hingga 5 tahun karena efektif mengurangi risiko kambuh. Setidaknya
dua biopsi negatif pada enam bulan berturut-turut harus dilakukan sebelum
pasien menghentikan semua pengobatan. Pada wanita dengan risiko
kambuh yang lebih tinggi, seperti wanita dengan BMI 35 atau lebih besar
atau mereka yang diobati dengan progestogen oral, direkomendasikan untuk
melakukan biopsi endometrium setiap 6 bulan. Setelah diperoleh dua biopsi
12
endometrium negatif berturut-turut, maka tindak lanjut jangka panjang
harus dipertimbangkan dengan rencana biopsi endometrium tahunan.17
Histerektomi bukanlah pengobatan lini pertama pada hiperplasia
tanpa atipia. Terapi progestogen harus diutamakan karena menyebabkan
remisi histologis dan simptomatik pada sebagian besar wanita dan
menghindari morbiditas
yang terkait
dengan pembedahan besar.
Histerektomi diindikasikan pada wanita yang tidak ingin mempertahankan
kesuburannya dan saat hiperplasia tanpa atipia berkembang menjadi
hiperplasia atipia selama masa tindak lanjut, saat tidak didapatkan regresi
histologis hiperplasia meskipun 12 bulan pengobatan, saat didapatkan
kekambuhan hiperplasia endometrium setelah menyelesaikan pengobatan
progestogen, saat masih didapatkan gejala perdarahan, atau saat wanita
menolak untuk mematuhi pengobatan medis.17
Wanita pascamenopause disarankan untuk dilakukan salpingoooforektomi bilateral bersama dengan histerektomi total untuk mengurangi
risiko keganasan ovarium di masa mendatang. Pendekatan laparoskopi
untuk histerektomi total lebih disukai daripada pendekatan abdomen karena
berhubungan dengan masa rawat inap yang lebih singkat, nyeri pasca
operasi yang lebih sedikit, dan masa pemulihan yang lebih cepat.17
b.
Tatalaksana Hiperplasia Endometrium dengan Atipia
Wanita dengan hiperplasia atipia harus menjalani histerektomi total
karena risiko keganasan. Wanita pascamenopause dengan hiperplasia atipia
harus ditawarkan salpingo-ooforektomi bilateral bersamaan dengan
histerektomi total. Ablasi endometrium tidak dianjurkan karena kerusakan
endometrium yang lengkap dan persisten tidak dapat dipastikan dan
pembentukan adhesi intrauterin dapat menghalangi pertumbuhan histologis
endometrium.17
Wanita yang ingin mempertahankan kesuburannya harus diberikan
penjelasan tentang risiko keganasan dan kemungkinan perkembangan
selanjutnya menjadi kanker endometrium. Penyelidikan pra-pengobatan
harus dilakukan untuk menyingkirkan kanker endometrium invasif atau
13
kanker ovarium yang sudah ada. Hasil histologi, pencitraan dan penanda
tumor harus ditinjau dalam manajemen multidisiplin. Pengobatan lini
pertama dengan LNG-IUS harus direkomendasikan, dengan progestogen
oral sebagai alternatif terbaik kedua. Setelah kesuburan tidak lagi
diperlukan, histerektomi harus ditawarkan mengingat risiko kambuh
penyakit yang tinggi.17
Surveilans endometrium rutin harus dilakukan dan mencakup biopsi
endometrium. Jadwal kunjungan harus bersifat individual dan responsif
terhadap perubahan kondisi klinis wanita. Interval pemeriksaan harus setiap
3 bulan sampai diperoleh dua biopsi negatif berturut-turut. Pada wanita
asimtomatik dan bukti regresi penyakit histologis, tatalaksana jangka
panjang berdasarkan minimal dua biopsi endometrium negatif berturutturut, dan biopsi endometrium setiap 6-12 bulan direkomendasikan sampai
histerektomi dilakukan.17
6. KOMPLIKASI
Perubahan signifikan hiperplasia endometrium adalah perubahan
menjadi prekursor adenokarsinoma endometrium. Kehadiran atypia / EIN
memiliki risiko yang lebih tinggi untuk berkembang menjadi keganasan invasif
- setinggi 27,5% jika tidak dilakukan pengobatan.27
7. PROGNOSIS
Progestogen menyebabkan perubahan sekresi di endometrium dan
mengimbangi efek stimulasi estrogen. Beberapa penelitian menunjukkan terapi
progestogen menyebabkan tingkat regresi yang tinggi pada hiperplasia tanpa
atipia (89% hingga 96%). Adanya neoplasia intraepitel endometrium
menyebabkan terjadi penurunan tingkat keberhasilan terapi.28 Risiko
perkembangan menjadi kanker endometrium menurut klasifikasi hiperplasia
endometrium WHO 2004 adalah sebagai berikut: hiperplasia sederhana tanpa
atipia sebesar 1%, hiperplasia kompleks tanpa atipia 3%, hiperplasia sederhana
dengan atipia 8%, hiperplasia kompleks tanpa atipia 29%.29
14
DAFTAR PUSTAKA
1.
Bray F, Ferlay J, Soerjomataram I, Siegel RL, Torre LA, Jemal A. Global
cancer statistics 2018: GLOBOCAN estimates of incidence and mortality
worldwide for 36 cancers in 185 countries. CA Cancer J Clin [Internet].
November 2018 [dikutip 8 April 2021];68(6):394–424. Tersedia pada:
https://pubmed.ncbi.nlm.nih.gov/30207593/
2.
Lortet-Tieulent J, Ferlay J, Bray F, Jemal A. International patterns and trends
in endometrial cancer incidence, 1978-2013. J Natl Cancer Inst [Internet]. 1
April 2018 [dikutip 8 April 2021];110(4):354–61. Tersedia pada:
https://pubmed.ncbi.nlm.nih.gov/29045681/
3.
Morice P, Leary A, Creutzberg C, Abu-Rustum N, Darai E. Endometrial
cancer.
Lancet
[Internet].
12
Maret
2021];387(10023):1094–108.
2016
[dikutip
Tersedia
8
April
pada:
https://pubmed.ncbi.nlm.nih.gov/26354523/
4.
Vajpeyi R. WHO Classification of Tumours: Pathology and Genetics of
Tumours of the Breast and Female Genital Organs. J Clin Pathol [Internet].
2005
[dikutip
8
April
2021];58(6):672.
Tersedia
pada:
/pmc/articles/PMC1770678/
5.
Ricci E, Moroni S, Parazzini F, Surace M, Benzi G, Salerio B, et al. Risk
factors for endometrial hyperplasia: Results from a case-control study. Int J
Gynecol Cancer [Internet]. 2002 [dikutip 8 April 2021];12(3):257–60.
Tersedia pada: https://pubmed.ncbi.nlm.nih.gov/12060446/
6.
Braun MM, Grumbo RJ. Diagnosis and Management of Endometrial Cancer.
Am Fam Physician [Internet]. 15 Maret 2016 [dikutip 8 April
2021];93(6):468–74. Tersedia pada: www.aafp.org/afp.
7.
Siegel RL, Miller KD, Jemal A. Cancer statistics, 2018. CA Cancer J Clin
[Internet]. Januari 2018 [dikutip 8 April 2021];68(1):7–30. Tersedia pada:
https://pubmed.ncbi.nlm.nih.gov/29313949/
8.
Reed SD, Newton KM, Clinton WL, Epplein M, Garcia R, Allison K, et al.
Incidence of endometrial hyperplasia. Am J Obstet Gynecol [Internet]. 1 Juni
2009 [dikutip 8 April 2021];200(6):678.e1-678.e6. Tersedia pada:
15
http://www.ajog.org/article/S0002937809002233/fulltext
9.
van der Meer ACL, Hanna LS. Development of endometrioid
adenocarcinoma despite Levonorgestrel-releasing intrauterine system: a case
report with discussion and review of the RCOG/BSGE Guideline on the
Management of Endometrial Hyperplasia. Clin Obes [Internet]. 1 Februari
2017
[dikutip
8
April
2021];7(1):54–7.
Tersedia
pada:
http://doi.wiley.com/10.1111/cob.12168
10.
Chandra V, Kim JJ, Benbrook DM, Dwivedi A, Rai R. Therapeutic options
for management of endometrial hyperplasia. J Gynecol Oncol [Internet]. 1
Januari
2016
[dikutip
8
April
2021];27(1).
Tersedia
pada:
https://pubmed.ncbi.nlm.nih.gov/26463434/
11.
Nieman KM, Romero IL, Van Houten B, Lengyel E. Adipose tissue and
adipocytes support tumorigenesis and metastasis. Biochim Biophys Acta Mol Cell Biol Lipids [Internet]. 2013 [dikutip 8 April 2021];1831(10):1533–
41. Tersedia pada: https://pubmed.ncbi.nlm.nih.gov/23500888/
12.
Epplein M, Reed SD, Voigt LF, Newton KM, Holt VL, Weiss NS. Risk of
complex and atypical endometrial hyperplasia in relation to anthropometric
measures and reproductive history. Am J Epidemiol [Internet]. September
2008
[dikutip
8
April
2021];168(6):563–70.
Tersedia
pada:
https://pubmed.ncbi.nlm.nih.gov/18682485/
13.
Vollmer G. Endometrial cancer: Experimental models useful for studies on
molecular aspects of endometrial cancer and carcinogenesis. Endocr Relat
Cancer [Internet]. Maret 2003 [dikutip 8 April 2021];10(1):23–42. Tersedia
pada: https://pubmed.ncbi.nlm.nih.gov/12653669/
14.
Brown K. Is tamoxifen a genotoxic carcinogen in women? Mutagenesis.
September 2009;24(5):391–404.
15.
Fraser IS, Critchley HOD, Broder M, Munro MG. The FIGO
recommendations on terminologies and definitions for normal and abnormal
uterine bleeding. Semin Reprod Med [Internet]. 2011 [dikutip 8 April
2021];29(5):383–90.
Tersedia
pada:
https://pubmed.ncbi.nlm.nih.gov/22065325/
16.
Pennant ME, Mehta R, Moody P, Hackett G, Prentice A, Sharp SJ, et al.
16
Premenopausal abnormal uterine bleeding and risk of endometrial cancer.
BJOG An Int J Obstet Gynaecol [Internet]. 1 Februari 2017 [dikutip 8 April
2021];124(3):404–11.
Tersedia
pada:
https://pubmed.ncbi.nlm.nih.gov/27766759/
17.
Williams K, Ko E. Endometrial hyperplasia. In: Handbook of Gynecology
[Internet]. Springer International Publishing; 2017 [dikutip 8 April 2021].
hal.
877–91.
Tersedia
pada:
https://www.ncbi.nlm.nih.gov/books/NBK560693/
18.
Iram S, Musonda P, Ewies AAA. Premenopausal bleeding: When should the
endometrium be investigated?-A retrospective non-comparative study of
3006 women. Eur J Obstet Gynecol Reprod Biol [Internet]. 2010 [dikutip 8
April
2021];148(1):86–9.
Tersedia
pada:
https://pubmed.ncbi.nlm.nih.gov/19853362/
19.
Wise MR, Gill P, Lensen S, Thompson JMD, Farquhar CM. Body mass
index trumps age in decision for endometrial biopsy: cohort study of
symptomatic premenopausal women. Am J Obstet Gynecol [Internet]. 1
November 2016 [dikutip 8 April 2021];215(5):598.e1-598.e8. Tersedia
pada: https://pubmed.ncbi.nlm.nih.gov/27287687/
20.
British Society for Gynaecological Endoscopy. Management of Endometrial
Hyperplasia Green-top Guideline No. 67 RCOG/BSGE Joint Guideline |.
2016 Feb.
21.
Committee on Gynecologic Practice. The Role of Transvaginal
Ultrasonography in Evaluating the Endometrium of Women With
Postmenopausal Bleeding. Vol. 131. 2018 Mei.
22.
de Franciscis P, Riemma G, Schiattarella A, Cobellis L, Guadagno M, Vitale
SG, et al. Concordance between the hysteroscopic diagnosis of endometrial
hyperplasia and histopathological examination. Diagnostics [Internet]. 1
Desember
2019
[dikutip
9
April
2021];9(4).
Tersedia
pada:
/pmc/articles/PMC6963519/
23.
Mills AM, Longacre TA. Endometrial hyperplasia. Semin Diagn Pathol
[Internet]. November 2010 [dikutip 8 April 2021];27(4):199–214. Tersedia
pada: https://linkinghub.elsevier.com/retrieve/pii/S0740257010000997
17
24.
Kurman RJ, Kaminski PF, Norris HJ. The behavior of endometrial
hyperplasia. A long‐term study of “untreated” hyperplasia in 170 patients.
Cancer [Internet]. 1985 [dikutip 8 April 2021];56(2):403–12. Tersedia pada:
https://pubmed.ncbi.nlm.nih.gov/4005805/
25.
Emons G, Beckmann MW, Schmidt D, Mallmann P. New WHO
Classification of Endometrial Hyperplasias. Geburtshilfe Frauenheilkd
[Internet]. 2015 [dikutip 8 April 2021];75(2):135–6. Tersedia pada:
https://pubmed.ncbi.nlm.nih.gov/25797956/
26.
Mutter GL. Endometrial intraepithelial neoplasia (EIN): Will it bring order
to chaos? Gynecol Oncol [Internet]. 2000 [dikutip 8 April 2021];76(3):287–
90. Tersedia pada: https://pubmed.ncbi.nlm.nih.gov/10684697/
27.
Lacey J V., Sherman ME, Rush BB, Ronnett BM, Ioffe OB, Duggan MA, et
al. Absolute risk of endometrial carcinoma during 20-year follow-up among
women with endometrial hyperplasia. J Clin Oncol [Internet]. 10 Februari
2010
[dikutip
8
April
2021];28(5):788–92.
Tersedia
pada:
https://pubmed.ncbi.nlm.nih.gov/20065186/
28.
Gallos ID, Shehmar M, Thangaratinam S, Papapostolou TK, Coomarasamy
A, Gupta JK. Oral progestogens vs levonorgestrel-releasing intrauterine
system for endometrial hyperplasia: A systematic review and metaanalysis.
Am J Obstet Gynecol [Internet]. 2010 [dikutip 8 April 2021];203(6):547.e1547.e10. Tersedia pada: https://pubmed.ncbi.nlm.nih.gov/20934679/
29.
Doherty MT, Sanni OB, Coleman HG, Cardwell CR, McCluggage WG,
Quinn D, et al. Concurrent and future risk of endometrial cancer in women
with endometrial hyperplasia: A systematic review and meta-analysis. Beiki
O, editor. PLoS One [Internet]. 28 April 2020 [dikutip 9 April
2021];15(4):e0232231.
Tersedia
pada:
https://dx.plos.org/10.1371/journal.pone.0232231
18
Download