MAKALAH PEMERIKSAAN SEROLOGI TERAPAN SIPILIS Disusun Oleh : 1. 2. 3. 4. 5. Musholli Himmatun Nabilah Novi Ersanto Agil Saputra Rizka Khoirunnisa Baiq Nasha Islaeli 012014153001 012014153004 012014153006 012024153010 012024153011 PROGRAM PENDIDIKAN PASCASARJANA PEMINATAN KEDOKTERAN LABORATORIUM MAGISTER ILMU KEDOKTERAN DASAR FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS AIRLANGGA 2021 KATA PENGANTAR Puji syukur kehadirat Allah Subhanahuwata’ala, atas nikmat dan rahmatNya sehingga kami dapat menyelesaikan Makalah Sifilis. Makalah ini kami susun guna memenuhi tugas mata kuliah Pemeriksaan Serologi Terapan. Semoga Allah Subhanahuwata’ala selalu melimpahkan rahmat, kesehatan, karunia dan keberkahan di dunia dan di akhirat atas budi baik yang telah diberikan kepada penulis : Terselesainya penyusunan Makalah Sifilis ini tentunya tidak lepas dari bantuan dan dukungan berbagai pihak. Oleh karena itu, pada kesempatan ini penulis menyampaikan ucapan terima kasih kepada: 1. Prof. Dr. Ariyati, dr. MS, Sp.PK.(K) selaku dosen mata kuliah Pemeriksaan Serologi Terapan. 2. Teman – teman Spesialis 1 Patologi Klinik Fakultas Kedokteran Universitas Airlangga. 3. Teman – teman Magister Ilmu Kedokteran Dasar Peminatan Kedokteran Laaboratorium Fakultas Kedokteran Universitas Airlangga. Akhir kata kami berharap semoga makalah ini bermanfaat bagi semua pihak. Kami menyadari bahwa makalah ini masih belum sempurna, oleh karena itu kami mengharap kritik dan saran yang bersifat membangun demi sempurnanya makalah ini. Surabaya, 08 Mei 2021 Tim Penulis ii DAFTAR ISI Kata Pengantar Daftar Isi Daftar Tabel Daftar Gambar BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang 1.2 Rumusan Masalah 1.3 Tujuan BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Struktur dan Morfologi Treponema pallidum 2.2 Sifilis 2.3 Patogenesis dan Respon Imun Terhadap Treponema pallidum 2.4 Pemeriksaan Laboratorium Sifilis BAB III PENUTUP 3.1 Kesimpulan 3.2 Saran DAFTAR PUSTAKA iii ii iii iv v 1 3 4 5 7 13 16 49 49 50 DAFTAR TABEL Tabel 2.1 Taksonomi dari Treponema pallidum penyebab sifilis Tabel 2.2 Gejala dan tanda sifilis Tabel 2.3 Laporan hasil RPR uji semi kuantitatif Tabel 2.4 Laporan hasil VDRL Kuantitatif Tabel 2.5 Laporan Hasil Pembacaan Tabel 2.6 Kriteria Menentukan Derajat Aglutinasi Tabel 2.7 Laporan Hasil Pembacaan FTA-ABS Tabel 2.8 Interpretasi Pemeriksaan Serologi Pada Sifilis iv 5 12 25 28 32 35 37 45 DAFTAR GAMBAR Gambar 2.1 Citra Mikrograf elektron Treponema pallidum bakteri penyebab sifilis Gambar 2.2 Respon antibodi terhadap infeksi Treponemal Pallidum Gambar 2.3 Pemeriksaan Mikroskop Lapangan gelap ditemukan Spirochetes Gambar 2.4 Pemeriksaan DFA-TP Gambar 2.5 Pemeriksaan mikroskop elektron v 6 15 18 18 19 BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Sifilis merupakan salah satu penyakit infeksi menular seksual yang disebabkan oleh bakteri Treponema pallidum. Sifilis pertama kali ditemukan di benua Eropa pada abad XV. Penyakit sifilis telah menyebar ke seluruh negara di dunia. Pada abad XX, insiden dan prevalensi sifilis telah menurun, namun sejak tahun 2000 beberapa negara di Amerika, Eropa, dan Inggris melaporkan peningkatan kasus sifilis primer dan sekunder (Turner et al., 2006). Sifilis merupakan penyakit kronis dan bersifat sistemik yang disebabkan oleh Treponema palidum. Penularan sifilis melalui hubungan seksual. Penularan juga dapat terjadi secara vertikal dari ibu kepada janin dalam kandungan atau saat kelahiran, melalui produk darah atautransfer jaringan yang telah tercemar, kadang-kadang dapat ditularkan melalui alat kesehatan (Depkes RI, 2011; Jesus, 2013). Penyakit sifilis menyerang seluruh organ tubuh dan dapat menyebabkan kematian (Mutia, 2019). Angka kejadian sifilis mencapai 90% di negara-negara berkembang. World Health Organization (WHO) memperkirakan sebesar 12 juta kasus baru terjadi di Afrika, Asia Selatan, Asia Tenggara, Amerika Latin dan Caribbean. Angka kejadian sifilis di Indonesia berdasarkan laporan Survey Terpadu dan Biologis Perilaku (STBP) tahun 2011 Kementrian Kesehatan RI terjadi peningkatan angka kejadian sifilis di tahun 2011 dibandingkan tahun 2007 terhadap populasi paling beresiko didapatkan peningkatan prevalensi sifilis.2 Pada kelompok pengguna napza suntik/penasun didapatkan peningkatan prevalensi sebesar 2% (1% menjadi 1 2 3%), kelompok waria 1% (27% menjadi 28%), dan kelompok laki-laki yang berhubungan seks dengan laki-laki/LSL 9% (4% menjadi 13%). Dari survei yang dilakukan di 23 kota besar di Indonesia didapatkan prevalensi sifilis tertinggi pada waria (25%), kemudian diikuti wanita penjaja seks langsung/WPSL (10%), LSL (9%), warga binaan pemasyarakatan/WBP (5%), pria potensial risti (4%), wanita penjaja seks tidak langsung/ WPSTL (3%), dan penasun (2%). Begitu pula di Jakarta, prevalensi tertinggi terdapat pada waria (31.2%) (STBP, 2011). Treponema pallidum merupakan patogen penyebab sifilis. Treponema pallidum subspesies pallidium pertama kali teridentifikasi sebagai penyebab sifilis pada tahun 1905 oleh Schaudinn dan Hoffmann. Schaudin memberi nama organisme ini dari bahasa Yunani trepo dan nema, dengan kata pallida dari bahasa Latin (Win et al., 2006; Franzen et al., 2008). Invasi Treponema pallidum akan menimbulkan infeksi lokal dan berkembang cepat menjadi sistemik serta dapat mengancam jiwa. Dalam menegakkan diagnosis sifilis sangat diperlukan pemeriksaan penunjang laboratorium karena manifestasi klinis sifilis sangat bervariasi dan menyerupai banyak penyakit lain (Turner et al., 2006). Skrining dan diagnosis sifilis di Indonesia dilakukan dengan pemeriksaan serologis non spesifik treponema dan dilanjutkan dengan pemeriksaan serologis spesifik treponema. Jika hasil pemeriksaan serologis non spesifik treponema reaktif, pemeriksaan dilanjutkan dengan pemeriksaan serologis spesifik treponema. Jika hasil pemeriksaan serologis spesifik treponema reaktif, pemeriksaan titer Rapid Plasma Reagin (RPR) dilakukan untuk menentukan infeksi sifilis berada di stadium aktif atau laten (Banguna, 2021). Pemeriksaan serologis non spesifik treponema terdiri atas RPR dan Venereal Disease Research Laboratory (VDRL). Pemeriksaan ini mendeteksi antibodi IgG dan IgM terhadap materi lipid yang dilepaskan sel inang yang rusak dan Treponema pallidum (T. Pallidum). Penggunaan pemeriksaan ini untuk deteksi infeksi dan reinfeksi sifilis yang aktif, serta mengamati respon dari pengobatan. Hasil pemeriksaan dapat disajikan secara kualitatif sebagai reaktif atau non reaktif ataupun kuantitatif sebagai hasil reaktif dengan titer mulai dari 1:1, 1:2, 1:4, dan seterusnya (Kemenkes RI, 2013). Pemeriksaan serologis spesifik treponema, terdiri atas Treponema Pallidum Haemagglutination Assay (TPHA), Treponema Pallidum Particle Agglutination Assay (TP-PA), Treponema Pallidum Rapid (TP Rapid), dan Fluorescent Treponemal Antibody Absorption (FTA-ABS). Pemeriksaan ini mendeteksi antibodi terhadap T. pallidum. Hasil reaktif pada pemeriksaan serologis spesifik treponema menunjukkan pernah atau sementara mengalami infeksi treponema (Tuddenham et al., 2019; Banguna 2021). 1.2. Rumusan Masalah 2. Apa yang dimaksud dengan sifilis dan apa yang menjadi penyebab sifilis ? 3. Apa saja klasifikasi dari sifilis ? 4. Apa tanda dan gejala yang ditimbulkan penyakit sifilis ? 5. Bagaimana penyebaran infeksi sifilis ? 6. Bagaimana penegakan diagnosa penyakit sifilis ? 7. Apa saja jenis pemeriksaan yang dapat digunakan untuk menegakkan diagnosa penyakit sifilis ? 3 1.3. Tujuan 2. Mengetahui tentang penyakit sifilis dan penyebabnya. 3. Mengetahui klasifikasi penyakit sifilis. 4. Mengetahui tanda dan gejala yang ditimbulkan oleh penyakit sifilis. 5. Menyetahui penyebaran infeksi sifilis. 6. Mengetahui penegakan diagnosa penyakit sifilis. 7. Mengetahui jenis pemeriksaan yang tepat untu menegakkan diagnosa penyakit sifilis 4 BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Struktur dan Morfologi Treponema pallidum Nama Treponema diambil dari bahasa Yunani yaitu, trepo dan nema yang artinya turning thread (benang bergulung). Treponema pallidum merupakan salah satu bakteri spirochaeta. Bakteri ini berbentuk spiral. Terdapat empat subspesies, yaitu Treponema pallidum pallidum, yang menyebabkan sifilis, Treponema pallidum pertenue, yang menyebabkan yaws, Treponema pallidum carateum,yang menyebabkan pinta dan Treponema pallidum endemicum yang menyebabkan sifilis endemik (Jawetz, et al, 2004). Treponema pallidum merupakan spesies Treponema dari famili Spirochaeta, ordo Spirochaetales. Taksonomi Treponema pallidum yang menyebabkan sifilis dapat dilihat pada tabel 2.1. Tabel 2.1 Taksonomi dari Treponema palidum penyebab sifilis 1 2 3 4 5 6 7 Kingdom Bacteria Phylum Spirochaetes Ordo Spirochaetales Family Spirochaetaceae Genus Treponema Spesies T. pallidum Subspesies Pallidum (Jesus MPD et al., 2013). Treponema pallidum merupakan bakteri gram negatif berbentuk spiral yang tipis dan ramping dengan panjang antara 5-15 µm dan diameter antara 0,09 – 0,18 µm. Terdapat dua lapisan, sitoplasma merupakan lapisan dalam yang mengandung mesosom, vakuol ribosom dan bahan nukleoid, serta lapisan luar yaitu bahan mucoid (Holmes KX et al., 2008; Klausner et al., 2007). Lengkung spiralnya secara 5 6 teratur terpisah satu dengan lainnya dengan jarak 1 µm, dan rata-rata setiap kuman terdiri dari 8-14 lengkung sprial dengan bagian ujung yang meruncing. Organisme ini aktif bergerak, berotasi hingga 900 dengan cepat di sekitar endoflagelnya bahkan setelah menempel pada sel melalui ujungnya yang lancip. Gambar 2.1. Citra mikrograf elektron Treponema pallidum, bakteri penyebab sifilis (Wikipedia, 2020). Struktur dinding bakteri ini terdiri atas membran luar, ruang sitoplasma, lapisan peptidoglikan yang tipis yang berfungsi sebagai penopang struktur sel, dan membran sitoplasma. Membran luar Treponema pallidum tidak mengandung lipopolisakarida (LPS) karena tidak ditemukan gen yang mengkode biosintesis LPS pada genom bakteri. Jumlah protein transmembran pada membran luar Treponema pallidum 100x lebih sedikit dibandingkan dengan Spirochaeta lain. Konsentrasi protein yang rendah ini diduga menyebabkan Treponema pallidum dapat menghindar dari respons imun pejamu. Membran sitoplasma mengandung banyak lipoprotein dengan konsentrasi yang tinggi dan bersifat imunogenik.Terdapat flagel periplasmik (biasa disebut endoflagel) pada ruang periplasma yang memungkinkan 7 gerakan seperti alat pembuka sumbat botol (corkscrew motility) yang merupakan karakteristik Treponema pallidum. Filamen flagel memiliki sarung atau selubung dan struktur inti yang terdiri dari sedikitnya empat polipeptida utama (Norris, 1993; Efrida dan Elvinawaty, 2014; Fraser at al, 1998). Struktur genetik Treponema pallidum tersusun dari satu untai DNA rantai ganda berbentuk sirkuler. Genom Treponema pallidum terdiri dari sekitar1,14 rb bp. Analisis sekuens genom Treponema pallidum membuktikan bahwa bakteri ini tidak memiliki elemen genetic transposable maupun elemen ekstrakromosom, misalnya plasmid, bakteriofaga dan transposon yang dapat melakukan transfer gen horizontal yang berperan pada penyebaran resistensi. Komponen basa DNA pada genom bersifat stabil (Turner, 2006; LaFond & Lukehart, 2006; Stamm, 2010). Treponem pallidum merupakan salah satu bakteri yang patogen terhadap manusia (parasit obligat intraseluler). Bakteri ini bersifat mikroaerofilik (membutuhkan oksigen hanya dalam konsentrasi rendah (20%), mempunyai waktu generasi yang panjang (30-33 jam), dan kemampuan metabolisme yang minimal serta sangat bergantung pada pejamu. Oleh sebab itu, mikroorganisme ini tidak bisa hidup di luar tubuh manusia dan kemampuan infeksinya akan hilang dalam beberapa jam secara in vitro (Prince & Wilson, 2006). 2.2 Sifilis Penyebaran sifilis didunia telah menjadi masalah kesehatan yang besar dan umum, dengan jumlah kasus 12 juta per-tahun (Ryan, 2004). Hasil penelitian Direktorat Jenderal Pemasyarakatan Kementerian Hukum dan HAM, 24 lapas dan 8 rutan di Indonesia, dari 900 narapidana laki-laki dan 402 narapidana perempuan di tahun 2010, didapatkan prevalensi sifilis 8,5% pada responden perempuan dan 5,1% pada responden laki-laki (Aman, 2012). Sifilis merupakan infeksi sistemik yang disebabkan oleh spirochaete, Treponema pallidum subspesies pallidum dan merupakan salah satu penyakit menular seksual yang sangat infeksius. Selain sifilis, terdapat tiga jenis infeksi lain pada manusia yang disebabkan oleh treponema, yaitu: non venereal endemic syphilis (telah eradikasi), frambusia (T. pertenue), dan pinta (T. careteum di Amerika Selatan). Sifilis secara umum dapat dibedakan menjadi dua: yaitu sifilis kongenital (ditularkan dari ibu ke janin selama dalam kandungan) dan sifilis yang didapat / acquired (ditularkan melalui hubungan seks atau jarum suntik dan produk darah yang tercemar) (Kemenkes RI, 2013). 2.2.1 Manifetasi Klinis Sifilis merupakan penyakit multistadium. Sifilis yang tidak diobati akan melalui dua stadium utama, yaitu sifilis dini dan sifilis lanjut. Sifilis dini terdiri atas sifilis primer, sekunder, dan laten dini, sedangkan sifilis lanjut terdiri atas sifilis laten lanjut dan tersier (Sanchez, 2008; Arya, 1998). Lebih jelas Holmes et al. (2008) menambahkan bahwa sifilis dalam perjalanannya dibagi menjadi tiga stadium yaitu sifilis stadium primer, sekunder dan tersier yang terpisah oleh fase laten dimana waktu bervariasi, tanpa tanda klinis infeksi. Interval antara stadium primer dan sekunder berkisar dari beberapa minggu sampai beberapa bulan. Interval antara stadium sekunder dan tersier biasanya lebih dari satu tahun. Berikut diuraikan beberapa stadium pada sifilis : 9 a. Sifilis Primer Manifestasi klinis awal sifilis adalah papul kecil soliter, kemudian dalam satu sampai beberapa minggu, papul ini berkembang menjadi ulkus. Lesi klasik dari sifilis primer disebut dengan chancre, ulkus yang keras dengan dasar yang bersih, tunggal, tidak nyeri, merah dan berbatas tegas. Chancre dapat ditemukan dimana saja tetapi paling sering di penis, serviks, dinding vagina, rektum dan anus. Dasar chancre banyak mengandung kuman treponema yang dapat dilihat dengan mikroskop lapangan gelap atau imunofluresen pada sediaan kerokan chancre (Prince dan Wilson, 2006). Chancre sífilis primer sering terjadi pada genitalia, perineal, atau anus dikarenakan penularan paling sering melalui hubungan seksual, tetapi bagian tubuh yang lain dapat juga terkena. Ulkus jarang terlihat pada genitalia eksterna wanita, karena lesi sering pada vagina atau serviks. Dengan menggunakan spekulum, akan terlihat lesi di serviks berupa erosi atau ulserasi yang dalam. Tanpa pengobatan lesi primer akan sembuh spontan dalam waktu 3 sampai 6 pekan. Diagnosis banding sifilis primer yaitu ulkus mole yang disebabkan Haemophilus ducreyi, limfogranuloma venereum, trauma pada penis, fixed drug eruption, herpes genitalis (Holmes et al., 2008; Klausner dan Hook., 2007; Devi dan Hendra, 2014). b. Sifilis Sekunder Manifestasi akan timbul pada beberapa minggu atau bulan, muncul gejala sistemik berupa demam yang tidak terlalu tinggi, malaise, sakit kepala, adenopati, dan lesi kulit atau mukosa. Lesi sekunder yang terjadi merupakan manifestasi penyebaran Treponema pallidum secara hematogen dan limfogen. Apabila tidak 10 diobati, gejala sifilis sekunder akan mulai timbul dalam 2 sampai 6 bulan setelah pajanan, 2 sampai 8 minggu setelah chancre muncul. Sifilis sekunder adalah penyakit sistemik dengan treponema yang menyebar dari chancre dan kelenjar limfe ke dalam aliran darah dan ke seluruh tubuh, dan menimbulkan beragam gejala yang jauh dari lokasi infeksi semula. Sistem yang paling sering terkena adalah kulit, limfe, saluran cerna, tulang, ginjal, mata, dan susunan saraf pusat (Cherneskle et al., 2006 at Devi dan Hendra, 2014). Tanda tersering pada sifilis sekunder adalah ruam kulit makulopapular yang terjadi pada 50% - 70% kasus. Lesi biasanya simetris, tidak gatal dan dapat meluas. Treponema pallidum dapat menginfeksi folikel rambut yang menyebabkan alopesia pada kulit kepala. Bersamaan dengan munculnya lesi sekunder, sekitar 10% pasien mengidap kondiloma lata. Lesinya berukuran besar, muncul di daerah yang hangat dan lembab termasuk di perineum dan anus. Inflamasi lokal dapat terjadi di daerah membran mukosa mulut, lidah dan genital. Pada kasus yang jarang bisa ditemukan sifilis sekunder disertai dengan kelainan lambung, ginjal dan hepatitis. Treponema pallidum telah ditemukan pada sampel biopsi hati yang diambil dari pasien dengan sifilis sekunder. Glomerulonefritis terjadi karena kompleks antigen treponemaimunoglobulin yang berada pada glomeruli yang menyebabkan kerusakan ginjal. Sekitar 5% pasien dengan sifilis sekunder memperlihatkan gejala neurosifilis termasuk meningitis dan penyakit mata (Kingston et al.,2015; Prince dan Wilson, 2006; Musher, 2008; Erick, 2016). c. Sifilis Laten 11 Sifilis laten atau asimtomatik adalah periode hilangnya gejala klinis sifilis sekunder sampai diberikan terapi atau gejala klinik tersier muncul. Sifilis laten dibagi lagi menjadi dua bagian yaitu sifilis laten dini dan lanjut. Pembagian berdasarkan waktu relaps infeksi mukokutaneus secara spontan pada pasien yang tidak diobati. Sekitar 90% infeksi berulang muncul dalam satu tahun, 94% muncul dalam dua tahun dan dorman selama empat tahun. Sifilis laten dini terjadi kurang satu tahun setelah infeksi sifilis sekunder, 25% diantaranya mengalami relaps sifilis sekunder yang menular, sedangkan sifilis laten lanjut muncul setelah satu tahun. Relaps ini dapat terus timbul sampai 5 tahun. Pasien dengan sifilis laten dini dianggap lebih menular dari sifilis laten lanjut. Pemeriksaaan serologi pada stadium laten lanjut adalah positif, tetapi penularan secara seksual tidak (Prince dan Wilson, 2006). d. Sifilis Tersier Sifilis tersier dapat muncul sekitar 3-15 tahun setelah infeksi awal dan dapat dibagi dalam tiga bentuk yaitu, sifilis gumatous sebanyak 15%, neurosifilis lanjut (6,5%) dan sifilis kardiovaskular sebanyak 10%. Karakteristik pada stadium ini ditandai dengan adanya guma kronik, lembut, seperti tumor yang inflamasi dengan ukuran yang berbeda-beda. Guma ini biasanya mengenai kulit, tulang dan hati tetapi dapat juga muncul dibagian lain (Pommerville, 2010). Guma merupakan lesi yang granulomatous, nodular dengan nekrosis sentral, muncul paling cepat setelah dua tahun infeksi awal, meskipun guma bisa juga muncul lebih lambat. Lesi ini bersifat merusak biasanya mengenai kulit dan tulang, meskipun bisa juga muncul di hati, jantung, otak, lambung dan traktus respiratorius 12 atas. Lesi jarang yang sembuh spontan tetapi dapat sembuh secara cepat dengan terapi antibiotik yang tepat. Guma biasanya tidak menyebabkan komplikasi yang serius, disebut dengan sifilis benigna lanjut (late benign syphilis) (Win et al.,2006; Lukehart dan Lofrand, 2006 at Efrida dan Elvinawaty, 2014). Pada perjalanan penyakit neurosifilis dapat asimptomatik dan sangat jarang terjadi dalam bentuk murni. Pada semua jenis neurosifilis, terjadi perubahan berupa endarteritis obliterans pada ujung pembuluh darah disertai degenerasi parenkimatosa yang mungkin sudah atau belum menunjukkan gejala saat pemeriksaan. Sifilis kardiovaskular disebabkan terutama karena nekrosis aorta yang berlanjut ke katup. Tanda-tanda sifilis kardiovaskuler adalah insufisiensi aorta atau aneurisma, berbentuk kantong pada aorta torakal. Bila komplikasi ini telah lanjut, akan sangat mudah dikenal (Holmes et al., 2008). Sifilis kardiovaskular disebabkan terutama karena nekrosis aorta yang berlanjut ke katup. Tanda-tanda sifilis kardiovaskuler adalah insufisiensi aorta atau aneurisma, berbentuk kantong pada aorta torakal. Bila komplikasi ini telah lanjut, akan sangat mudah dikenal (Holmes et al.,2008). Tabel 2.2 Gejala dan tanda Sifilis pada dewasa Stadium Manifestasi Klinis Ulkus/luka/tukak, biasanya soliter, tidak nyeri, batasnya Primer tegas, ada indurasi dengan pembesaran kelenjar getah bening regional (limfadenopati) Bercak merah polimorfik biasanya di telapak tangan dan telapak khaki, lesi kulit papuloskuamosa dan mukosa, Sekunder demam, malaise, limfadenopati generalisata, kondiloma lata, patchy alopecia, meningitis, uveitis, retinitis Durasi 3 minggu 2 – 12 minggu Laten Asimtomatik Dini<1tahun Lanjut>1tahun Tersier Gumma Destruksi jaringan di organ dan lokasi yang terinfeksi 1 – 46 Tahun 13 Sifilis kardiovaskuler Aneurisma aorta, regurgitasi aorta, stenosis osteum 10 – 30 Tahun Bervariasi dari asimtomatis sampai nyeri kepala, vertigo, perubahan kepribadian, demensia, ataksia, pupil Argyll >2 – 20 Tahun Robertson (Kemenkes RI, 2013). Neurosifilis 2.3 Patogenesis dan Respon Imun Terhadap Treponema pallidum Penularan bakteri ini biasanya melalui hubungan seksual (membran mukosa vagina dan uretra), kontak langsung dengan lesi/luka yang terinfeksi atau dari ibu yang menderita sifilis ke janinnya melalui plasenta pada stadium akhir kehamilan. Treponema pallidum masuk dengan cepat melalui permukaan mukosa atau kulit yang tidak utuh pada tempat yang mengalami trauma. Sebagian organisme akan bermultiplikasi di tempat masuknya, sebagian lagi masuk ke dalam sistem limfatik menuju nodul limfatik regioner, dan melalui pembuluh darah akan menyebar ke seluruh bagian tubuh. Bakteri ini bergerak masuk keruang intersisial jaringan dengan cara gerakan cork-screw (seperti membuka tutup botol). Beberapa jam setelah terpapar terjadi infeksi sistemik meskipun gejala klinis dan serologi belum terlihat pada saat itu. Waktu berkembangbiak Treponema pallidum selama masa aktif penyakit secara invivo berkisar antara 30-33 jam (Lukehart, 2005; Brown, 2010 at Devi dan Hendra, 2014). Setelah masa inkubasi selama 10-90 hari (rata-rata tiga minggu), timbul lesi primer pada tempat inokulasi berupa suatu ulkus durum atau chancre. Lesi berawal sebagai makula kemerahan yang berkembang menjadi papula dan mengalami ulserasi dibagian tengah. Ulkus biasanya tunggal, berbentuk bulat atau lonjong, dengan diameter 1-2 cm, berbatas tegas, tepi sedikit meninggi, berindurasi, tidak 14 terasa nyeri, kecuali bila terjadi infeksi sekunder. Ulkus yang tidak diobati dapat menetap selama 1-6 minggu dan menghilang secara spontan, sedangkan lesi yang diobati akan sembuh dalam waktu 1-2 minggu tanpa meninggalkan jaringan parut. Pada pria, ulkus sering terdapat di penis, sedangkan pada wanita ditemukan di serviks, labia dan fourchette (Ain dkk., 2018). Pada tempat masuknya, kuman mengadakan multifikasi dan tubuh akan bereaksi dengan timbulnya infiltrat yang terdiri atas limfosit, makrofag dan sel plasma yang secara klinis dapat dilihat sebagai papul. Reaksi radang tersebut tidak hanya terbatas di tempat masuknya kuman tetapi juga di daerah perivaskuler (Treponema pallidum berada diantara endotel kapiler dan jaringan sekitar), hal ini mengakibatkan hipertrofi endotel yang dapat menimbulkan obliterasi lumen kapiler (endarteritis obliterans). Kerusakan vaskular ini mengakibatkan aliran darah pada daerah papula tersebut berkurang sehingga terjadi erosi atau ulkus dan keadaan ini disebut chancre (Plorde, 1994; Gyuman, 1992 at Devi dan Hendra, 2014). Suatu infeksi oleh suatu mikroorganisme umumnya akan membangkitkan pembentukan antibodi pada tubuh penderita. Demikian pula halnya pada infeksi dengan T.pallidum. Pembentukan antibodi terhadap sifilis dimulai pada akhir stadium pertama atau permulaan stadium kedua, tetapi kadarnya amat rendah dan seringkali memberikan hasil negatif pada uji serologis. Hal ini terutama disebabkan oleh karena T.pallidum diliputi oleh suatu selaput mukoid yang menyebabkan kuman ini menjadi kebal terhadap fagositosis. Setelah kuman ini agak lama berada dalam tubuh atau telah menyebar ke kelenjar limfe ragional (akhir stadium pertama), antibodi humoral baru mulai dibentuk. Titer antibodi selanjutnya akan 15 terus meningkat dan mencapai puncak pada stadium kedua untuk selanjutnya menurun sedikit demi sedikit pada stadium laten dan menunjukkan titer yang agak rendah (tetapi masih positif) (Handojo, 2004). Uji serologis masih akan negatif ketika ulkus pertama kali muncul dan baru akan reaktif setelah satu sampai empat minggu berikutnya. Perjalanan penyakit menuju ke tingkat laten tidak ditemukan tanda-tanda klinis, kecuali hasil pemeriksaan serologis yang reaktif. Masa laten dapat berlangsung bertahun-tahun atau seumur hidup (Klausner & Hook, 2007; Departement of Health and Human Services Centers for Disease Control and Prevention, 2010). Kadar beberapa antibodi Treponemal selama perjalanan penyakit Sifilis dapat dilihat pada gambar dibawah ini: Gambar 2.2 Respon antibodi terhadap infeksi Treponemal Pallidum Antibodi terhadap bakteri Treponemal Pallidum dapat ditemukan dalam darah saat infeksi sudah lebih dari 4 minggu. Meningkat pada 3 bulan pertama pada infeksi yang tidak diobati kemudian menurun seiring dengan 16 lamanya infeksi. Kinetik kadar IgG berbeda dengan kinetik kadar antibodi IgM, oleh karena itu kinetik antibodi IgG harus dibedakan antara infeksi primer, sekunder, laten, dan tersier. Pada infeksi primer, IgM meningkat pada minggu ke 12 atau bulan ke 3 dan kadar tetap tinggi sampai bulan ke 9. Kemudian mengalami penurunan setelah lebih dari 9 bulan. Penurunan kadar IgM ini terjadi secara bertahap mulai dari infeksi sekunder (bertahan selama 1 tahun), infeksi laten ( bertahan selama 6 bulan), dan infeki tersier (bertahan sampai bertahuntahun). Dari hal tersebut, dapat disimpulkan bahwa kadar antibodi IgM untuk infeksi Treponemal Pallidum mampu bertahan sampai bertahuntahun tergantung dari stadium infeksinya dan kadar IgM tertinggi terjadi pada infeksi primer yang mulai memasuki stadium infeksi sekunder. Kadar antibodi IgG juga tinggi pada infeksi primer yang mulai memasuki stadium infeksi sekunder (bulan ke-9) namun kadar IgG ini jauh lebih tinggi daripada IgM. Penurunan kadar pada tiap stadium infeksi tidak terlalu banyak, sehingga antibodi IgG masih dapat dideteksi walaupun infeksi sudah memasuki stadium tersier (bertahun-tahun). 2.4 Pemeriksaan Laboratorium Sifilis Untuk menegakkan diagnosis sifilis, diagnosis klinis harus dikonfirmasi dengan pemeriksaan laboratorium. Gold standar untuk diagnosis sifilis adalah kultur secara invivo dengan menginokulasikan sampel pada testis kelinci, namun prosedur ini butuh biaya besar dan waktu yang lama sampai beberapa bulan, sehingga kultur hanya dipakai dalam hal penelitian saja. Walaupun Treponema pallidum tidak dapat dikultur in vitro, ada beberapa tes yang dapat secara langsung maupun tidak langsung mendeteksi Treponema pallidum. Secara garis besar pemeriksaan laboratorium untuk sifilis terbagi menjadi tiga kategori yakni, pemeriksaan mikroskopik langsung pada sifilis stadium dini, pemeriksaan 17 berdasarkan metode biologi molekuler (PCR) dan pemeriksaan serologis. Sampai saat ini, belum ada uji tunggal yang optimal untuk diagnosis sifilis. 2.4.1 Pemeriksaan Mikroskopik Sifilis Deteksi langsung Treponema pallidum salah satunya dapat dilakukan dengan pemeriksaan mikroskopis. Uji deteksi Treponema pallidum secara langsung dapat bermanfaat pada sifilis primer karena antibodi belum dapat dideteksi dengan uji serologi pada stadium dini. Pemeriksaan mikroskopik bertujuan untuk melihat Treponema pallidum yang berukuran sangat kecil (5-15μm) dibandingkan bakteri lain. Bentuknya yang tipis menyebabkan diperlukannya mikroskop khusus dan pewarnaan tertentu. Pemeriksaan dapat dilakukan dengan mikroskop lapangan gelap, mikroskop imunofluoresens (DFA-TP/ Direct fluorescent antibodyTreponema pallidum), atau mikroskop elektron dengan pewarnaan perak atau pewarnaan negatif. Spesimen yang dapat digunakan untuk pemerikasaan mikroskopik yaitu eksudat dari lesi sifilis. Pemeriksaan mikroskopik dapat mendeteksi Treponema pallidum berdasarkan karakteristik morfologi dengan cepat. Keterbatasan pemeriksaan mikroskopik ini adalah tidak bisa membedakan spesies Treponema (Turner, 2006; Lafond & Lukehart, 2006). 18 Gambar 2.3. Pemeriksaan mikroskop lapangan gelap ditemukan Spirochetes (Arief & Hutomo, 2010). Gambar 2.4. Pemeriksaan DFA-TP (Acharya Tankeswar, 2013) 19 Gambar 2.5. Pemeriksaan mikroskop elektron (Kemenkes RI, 2013) 2.4.2 Pemeriksaan Molekuler PCR Sifilis Reaksi berantai polimerase atau dikenal sebagai PCR (polymerase chain reaction) merupakan proses sintesis enzimatik untuk mengamplifikasi nukleotida secara in vitro tanpa menggunakan organisme. Dasar pemeriksaan PCR Treponema pallidum adalah mengamplifikasi sekuens tertentu sebagai gen target yang spesifik genom Treponema pallidum. Uji PCR dapat mendeteksi Treponema pallidum menggunakan beberapa gen target, misalnya tmpA (protein membran 45 kDa), bmp (protein membran 39 kDa), tpp47 (protein membran 47 kDa), PolA (DNA polymerase I), tmpC (protein membran 35 kDa) dan 16S rRNA Treponema pallidum. Studi uji PCR Treponema pallidum yang telah dipublikasi antara lain dengan PCR konvensional, Real-time PCR, Reverse transcriptase PCR, nested PCR dan multiplex PCR. Uji PCR Treponema pallidum dapat menggunakan berbagai jenis spesimen klinis pasien yang disesuaikan dengan perjalanan penyakit sifilis, misalnya eksudat lesi yang diambil dengan kapas usap pada sifilis stadium primer dan sekunder, darah atau komponen darah untuk sifilis semua stadium, cairan 20 serebrospinal dan cairan sendi (Sato, 2011; Uprety et al., 2016; Valones et al., 2009). 2.4.3 Uji serologi Sifilis Deteksi Treponema pallidum secara tidak langsung dilakukan dengan pemeriksaan serologi. Pemeriksaan serologi biasanya dilakukan pada pasien sifilis laten dan sifilis stadium tersier, karena pada keadaan tersebut lesi pada kulit dan mukosa tidak ditemukan lagi. Pemeriksaan serologi ini berguna untuk mendeteksi antibodi terhadap Treponema pallidum (Ratnam, 2005). Pemeriksaan serologi dapat mendeteksi antibodi pada semua stadium sifilis, sehingga digunakan untuk berbagai tujuan. Tujuan pemeriksaan serologi antara lain untuk skrining pada populasi berisiko rendah (ibu hamil, darah donor), skrining pada populasi berisiko tinggi (SIDA, LSL), dan uji diagnostik pada pasien dengan gejala dan manifestasi sifilis untuk mengetahui stadium penyakit dan memantau respons terapi. Spesimen yang digunakan untuk pemeriksaan serologi yaitu komponen serum atau plasma dari darah pasien yang diambil melalui pembuluh darah vena. Saat ini terdapat 2 jenis pemeriksaan serologi yaitu uji nontreponema dan uji konfirmasi treponema. Uji serologi terhadap sifilis dimulai dengan uji penyaring menggunakan antigen nontreponema, Apabila dengan pengujian ini yang kemudian diulang diperoleh hasil nonreaktif, kemungkinan penderita tidak menderita sifilis. Namun apabila diduga penderita menderita sifilis laten atau lanjut, hendaknya dilakukan dengan tes konfirmasi yaitu uji treponema. Dalam menilai hasil uji serologi terhadap sifilis, perlu dipertimbangkan beberapa penyakitinfeksi treponemal yang bukan venereal, 21 seperti Yaws (frambusia) yang disebabkan T. pertenue dan pinta (patek) akibat T (Immunoserologi RI). 2.4.3.1 Uji Serologi Nontreponema Uji nontreponema bertujuan mendeteksi antibodi pada penderita terhadap antigen yang terdiri dari kardiolipin, kolesterol, dan lesitin yang sudah terstandardisasi (Ratna, 2005). Antibodi IgG dan IgM dapat dideteksi dengan uji nontreponema setelah 3-5 minggu infeksi. Uji nontreponema mudah dan cepat dilakukan serta tidak mahal. Hasil uji nontreponema menunjukkan penyakit yang aktif. Sensitivitas uji nontreponema mencapai 100% pada sifilis stadium sekunder. Kelemahan uji nontreponema yaitu sensitivitas yang kurang baik pada sifilis stadium primer dan laten. Uji serologis yang termasuk dalam kelompok ini mendeteksi imunoglobulin yang merupakan antibodi yang timbul sebagai respons terhadap komponen lipid dan protein kuman atau karena kerusakan jaringan. Selain dapat timbul sebagai reaksi terhadap infeksi sifilis, antibodi ini juga dapat timbul pada berbagai kondisi lain, seperti pada infeksi akut (misalnya: infeksi virus akut) dan penyakit kronis (misalnya: penyakit otoimun kronis). Adanya berbagai kondisi diatas menyebabkan tes ini bersifat non-spesifik, dan bisa menunjukkan hasil positif palsu, untuk itu perlu dikonfirmasi dengan tes Treponemal yang lebih spesifik (Ratna, 2005; Turner, 2006; Sanchez, 2008; Sato, 2011). Uji serologi nontreponemal dipakai untuk mendeteksi infeksi dan reinfeksi yang bersifat aktif, dan memantau keberhasilan terapi. Karena tes non spesifik ini jauh lebih murah dibandingkan tes spesifik treponema, maka tes ini sering dipakai untuk skrining. Jika tes non spesifik menunjukkan hasil reaktif, selanjutnya barulah 22 dilakukan tes spesifik treponema, untuk menghemat biaya. Untuk mengetahui stadium sifilis dan memantau respons terapi diperlukan uji nontreponema secara kuantitatif. Yang termasuk uji nontreponema yaitu Venereal Disease Research Laboratory (VDRL) dan Rapid Plasma Reagin (RPR). Uji nontreponema yang lazim digunakan yaitu uji flokulasi RPR (Rapid Plasma Reagin) (Kemenkes RI, 2013; Turner, 2006). a. Rapid Plasma Regin (RPR) Uji flokulasi RPR digunakan untuk menentukan antibodi non-treponemal (reagin). Reagin adalah antibodi non treponemal yang dibentuk pada orang yang terinfeksi sifilis. Prinsip uji ini menggunakan antigen berupa suspensi karbon partikulat yang dilapisi dengan cardiolipin dan kemudian dapat membentuk aglutinasi terhadap reagin yang terdapat dalam serum pasien. Reaksi aglutinasi ditunjukkan dengan adanya bentuk flokulasi hitam yang dapat dilihat secara makroskopik dan menunjukkan adanya antibodi tersebut dalam sampel yang diuji. Reagin mempunyai daya sifat mengubah daya larut antigen sehingga timbul flokulasi. Antigen yang digunakan pada pengujian ini terdiri dari cardiolipin dan lechitin yang diekstraksi dari jantung sapi dan dimurnikan kemudian disuspensikan didalam alcohol. Untuk mempermudah reaksi, ke dalam suspensi antigen dalam alkohol ditambahkan kolesterol. Pengambilan Spesimen dan Penanganannya : Spesimen dapat berupa serum ataupun plasma EDTA Sentrifus sampel dengan kecepatan 1000-2000x g selama 5 menit pada suhu ruangan. 23 Simpan serum di suhu refrigerator (20-80 C) jika pemeriksaan dtunda. Jika ditunda lebih dari 5 hari, spesimen dibekukan pada suhu -200C atau lebih rendah. Hindari pengulangan freeze-thawing spesimen. Spesimen harus berada di suhu 230C – 290C; 730 F – 850F pada saat pemeriksaan dilakukan. Komposisi : Antigen Carbon RPR : Suspensi karbon yang stabil dilapisi dengan cardiolipin-cholesterol Natrium azida 0.95 g/L Kontrol positif : Serum manusia Natrium azida 0.95 g/L Kontrol negatif: Serum hewan Natrium azida 0.95 g/L Alat : Jarum Disposibel 16 µL ( jarum hipodermik) Slide uji dengan latar belakang putih. Dropstirer/ pengaduk dan penetes. Prosedur Pemeriksaan: Uji kualitatif : 1. Letakkan dan hangatkan reagen dan sampel pada suhu kamar. 2. Letakkan 50µl (1 tetes) sampel dan 1 tetes kontrol positif dan kontrol negatif pada lingkaran slide dengan latar putih. 24 3. Homogenkan carbon antigen secara perlahan. 4. Ratakan dan lebarkan sampel di setiap lingkaran menggunakan stirer. 5. Tambahkan 1 tetes antigen (menggunakan jarum hipodermik yang terpasang pada botol penetes) pada setiap lingkaran. 6. Putar slide/kartu menggunakan rotator pada kecepatan 100 rpm selama 8 menit Uji Semi-kuantitatif : 1. Tambahkan 50 µL saline ke dalam lingkaran 2, 3, 4, dan 5 menggunakan pipet semiotomatis. Saline jangan diratakan. 2. Tambahkan 50 µL sampel pasien ke dalam lingkaran 1 dan 2. 3. Campur saline dan sampel dalam lingkaran 2 dengan cara menghomogenkan naikturun secara perlahan untuk menghindari adanya gelembung. 4. Pindahkan campuran 50 µL dari lingkaran 2 ke saline yang ada pada lingkaran 3. 5. Lakukan pengenceran serial yang sama sampai lingkaran terakhir. 6. Ratakan sampel yang sudah diencerkan di seluruh area dari setiap lingkaran dimulai dari lingkaran 5 & mundur secara berurutan sampai sampel di lingkaran 1. 7. Lanjutkan dengan tes kualitatif dari prosedur 5. Kontrol kualitas: Setiap tes yang dilakukan harus disertai dengan kontrol positif dan control negatif. Pembacaan dan Interpretasi hasil: Hasil pemeriksaaan dapat diamati secara makroskopik, apakah ada atau tidak gumpalan/ flokulasi sesaat setelah slide diambil dari rotator. Pembacaan dihitung dan dilaporkan menurut kriteria sebagai berikut: 25 Tabel 2.3 Laporan Hasil RPR Uji Semi-Kuantitatif Flokulasi Yang Terlihat Pembacaan Flokulasi sedang dan besar Flokulasi kecil R (Reaktif) Tidak ada flokulasi N ( Negatif) W (Weak reaktif) Hasil Reaktif Sedikit Reaktif Non-reaktif (Kemenkes RI, 2018) b. Venereal Disease Research Laboratory (VDRL) Uji VDRL dilakukan untuk mengukur antibodi IgM dan IgG terhadap materi lipoidal (bahan yang dihasilkan dari sel host yang rusak). Antibodi antilipoidal adalah antibodi yang tidak hanya berasal dari sifilis atau penyakit yang disebabkan oleh treponema lainnya, tetapi dapat juga berasal dari hasil respons terhadap penyakit nontreponema, baik akut ataupun kronik yang menimbulkan kerusakan jaringan (Ratnam, 2005). Prinsip uji VDRL menggunakan pemeriksaan slide microflocculation untuk sifilis dengan antigen yang terdiri dari kardiolipin, lesitin, dan kolesterol. Antigen tersebut disuspensikan dalam cairan bufer salin yang kemudian membentuk flocculates ketika digabungkan dengan antibodi lipoidal pada serum atau cairan serebrospinal pasien sifilis (Ratnam, 2005). Pengambilan Spesimen dan Penanganannya : 1. Hanya serum dan cairan serebrospinal yang digunakan sebagai spesimen. 2. Spesimen dimasukkan kedalam tabung yang bersih, kering, dan tanpa antikoagulan. 3. Setiap tabung spesimen diberi label identitas pasien dan tanggal. Serum : 1. Spesimen dibiarkan pada suhu ruangan sekitar 20 menit (membeku). 26 2. Spesimen disentrifus 1000-1200 g selama 5 menit sampai terbentuk elemen sedimen sel. 3. Serum dipindahkan ke tabung yang bersih, kering dan telah diberi label. 4. Spesimen dipanaskan dengan suhu 560C dalam water bath selama 30 menit pada saat pemeriksaan. 5. Jika pemeriksaan spesimen ditunda lebih dari 4 jam, spesimen dipanaskan kembali pada suhu 56 derajat C dalam water bath selama 10 menit. 6. Spesimen harus berada di suhu ruangan, 23-29 derajat C (73-85 derajat F) pada saat pemeriksaan berlangsung. 7. Jika pemeriksaan ditunda lebih dari 4 jam, tabung spesimen ditutup dan disimpan pada refrigerator dengan suhu 2-8 derajat C. Jika pemeriksaan ditunda lebih dari 5 hari, spesimen dibekukan pada suhu dibawah -20 derajat C. Hindari freezing-thawing spesimen. Prosedur Pemeriksaan Kualitatif Untuk Serum : 1. Suspensi antigen VDRL yang baru disiapkan untuk setiap pemeriksaan. Temperatur buffer salin, antigen, kontrol, spesimen, dan peralatan lainnya harus diantara 230 -290C (730 -850 F). 2. Serum diambil sebanyak 50 µl dengan pipet, kemudian letakkan diatas paraffin atau ceramicringed slide. 3. Suspensi antigen VDRL secara perlahan-lahan disuspensikan kembali, kemudian diteteskan 17 µl ke masing-masing ceramic-ringedslide yang berisi serum. 27 4. Ceramic-ringed slide diletakkan diatas rotator, kemudian dipusing selama 4 menit pada 180 ± 2 rpm. 5. Segera setelah pemusingan,slidediangkat dari rotator dan langsung dibaca hasilnya. 6. Slide dibaca secara mikroskopis dengan pembesaran 100x Interpretasi Hasil : 1. Gumpalan medium atau besar: reaktif (R) 2. Gumpalan kecil: reaktif lemah (W) 3. Tidak ada gumpalan/sedikit butiran: tidak reaktif (N) Prosedur Pemeriksaan Kuantitatif : 1. Serum sampel diencerkan 1:8 sebanyak 3 serum spesimen diatas slide 2. Larutan saline 0,9% 50 µl diletakkan pada lingkaran 2 sampai 4, jangan diaduk. 3. Serum diambil sebanyak 50 µl menggunakan pipet, kemudiaan diletakkan diatas lingkaran 1 dan 50 µl serum di lingkaran 2. 4. Larutan salin dan serum di lingkaran 2 dihomogenkan dengan mikropipet sebanyak 8x. 5. Ambil 50 µl dari lingkaran 2 (1:2), diletakkan ke lingkaran 3, kemudian dihomogenkan. 6. Ambil 50 µl dari lingkaran 3 diletakkan ke lingkaran 4, homogenkan. Ambil 50 µl dari lingkaran 4 dan dibuang. 7. Suspensi antigen diteteskan sebanyak 17 µl pada setiap lingkaran. 8. Letakkan sliden di atas rotator. Pusing slide selama 4 menit pada 180 ± 2 rpm. 28 9. Setelah pemusingan, slide langsung dibaca. 10. Jika hasil pengenceran 1:8 reaktif, lanjutkan pemeriksaan: a. 0,1 ml serum, 0,7 ml larutan saline 0,9% dihomogenkan di dalam tabung reaksi (pengenceran 1: 8). b. 50 µl larutan saline 0,9% diletakkan di atas slide lingkaran 2,3, dan 4. c. Ambil 50 µl dari larutan pengenceran 1:8, letakkan ke lingkaran 1 dan 2. d. Lakukan proses pengenceran mulai dari lingkaran 2, mengacu pada keterangan nomor 5-10. e. Periksa dengan segera menggunakan mikroskop pembesaran 100x sama seperti pemeriksaan secara kualitatif. f. Laporkan hasil dengan penngenceran tertinggi yang memberikan hasil reaktif bukan reaktif lemah, yang dapat dilihat pada tabel 2.3. Tabel 2.4 Laporan Hasil VDRL Kuantitatif Pengenceran serum Tidak 1:2 1:4 1:8 1:16 diencerkan (1:1) R L N N N R R L N N R R R L N L L R R L N L R R R L N N N N Hasil 1:32 N N N N N N Reaktif, tidak diencerkan, 1 pengenceran Reaktif, 1:2 pengenceran, 2 pengenceran Reaktif, 1:4 pengenceran, 4 pengenceran Reaktif, 1:8 pengenceran, 8 pengenceran Reakti, 1:16 pengenceran, 16 pengenceran Reaktif lemah, tidak diencerkan, 1 pengenceran (Efrida dan Elvinawaty, 2014) Interpretasi Hasil : 1. Untuk mendiagnosis sifilis, hasil pemeriksaan VDRL reaktif harus digabung dengan pemeriksaan treponema reaktif lainya seperti fluorescent treponemal 29 antibody absorption danmicrohemagglutination assay for antibodies to Treponema pallidum. 2. Hasil VDRL reaktif dapat bermakna infeksi baru atau lama dengan treponema patogen, meskipun hasil reaksi positif palsu dapat juga terjadi. Hasil reaksi positif palsu dapat disebabkan oleh kesalahan laboratorium dan serum antibodi yang tidak ada hubungannya dengan sifilis. 3. Hasil VDRL nonreaktif tanpa gejala klinik sifilis dapat berarti tidak terinfeksi sifilis dan pengobatan yang efektif. Apabila hasil VDRL nonreaktif disertai dengan gejala klinik sifilis, dapat berarti sifilis primer dini, reaksi prozone pada sifilis sekunder. Inkubasi dari infeksi sifilis tidak dapat disingkirkan dari hasil VDRL nonreaktif. 2.4.3.2 Uji Serologi Treponema Uji Treponema mengukur kadar antibodi spesifik yang timbul sebagai respons terhadap komponen antigenik Treponema pallidum. Uji Treponema digunakan sebagai uji konfirmasi bila uji nontreponema menunjukkan hasil reaktif. Uji ini memiliki spesifitas dan sensitifitas yang lebih baik daripada uji nontreponema. Uji Treponema jarang memberikan hasil negatif palsu. Uji ini dapat menunjukkan hasil positif / reaktif seumur hidup walaupun terapi sifilis telah berhasil. Uji jenis ini tidak dapat digunakan untuk membedakan antara infeksi aktif dan infeksi yang telah diterapi secara adekuat. Uji ini hanya menunjukkan bahwa seseorang pernah terinfeksi treponema, namun tidak dapat menunjukkan apakah seseorang sedang mengalami infeksi aktif. Uji ini juga tidak dapat membeakan infeksi T.Pallidum dari infeksi treponema lainnya. Hasil positif palsu ditemukan 30 pada infeksi oleh Treponema lainnya, misalnya Treponema pallidum subspesies pertenue, Treponema pallidum subspesies carateum, Treponema pallidum subspecies endemicum. Anamnesis mengenai perilaku seksual, riwayat pajanan dan riwayat perjalanan ke daerah endemis treponematosis lainnya dibutuhkan untuk menentukan diagnosis banding. Uji serologis treponema diantaranya meliputi, Treponema pallidum hemaglutination assay (TPHA), Treponema pallidum particle agglutination (TP-PA), Fluorescent treponemal antibody-absorption (FTA-Abs), Enzyme Immunoassay (EIA) dan Treponema pallidum rapid (TP Rapid) (Neura, 2011; Sena dkk., 2010). a. Treponema Palidum Haemagglutination Assay (TPHA) Uji TPHA digunakan untuk mendeteksi antibodi Treponema pallidum didalam serum dan plasma manusia dengan metode indirek hemaglutinasi (IHA). Prinsip uji ini menggunakan eritrosit burung yang dilapisi dengan komponen antigen patogen T. pallidum (Nichol’s strain) sebagai pembawa antigen untuk mendeteksi adanya antibodi T. pallidum dalam serum atau plasma pasien, hasil positif ditunjukkan dengan terbentuknya aglutinasi spesifik untuk T.pallidum yang memperlihatkan pola karakteristik di dasar plate microtiter. Reaksi non-spesifik dapat terjadi dan dapat dideteksi menggunakan sel kontrol dengan komposisi eritrosit burung yang tidak dilapisi dengan antigen T. pallidum. Reaksi nonspesifik dapat juga diserap dan dihilangkan menggunakan kontrol ini. Hasil uji didapat setelah waktu inkubasi dalam waktu 45-60 menit dan pola aglutinasi sel keduanya mudah di baca dan tahan lama. Kit uji TPHA telah memperlihatkan kemudahan dan 31 tes spesifik untuk mendiagnosis infeksi Treponema, memiliki spesifisitas mirip dengan tes TPI dan sensitivitas sebanding dengan tes FTA-ABS, dan hanya membutuhkan peralatan laboratorium sederhana serta mudah untuk dikerjakan. Komposisi TPHA 1. Sel uji : eritrosit avian (burung) dilapisi dengan antigen T.pallidum 2. Sel kontrol : eritrosit avian (burung) 3. Kontrol positif : Serum positif dengan pengenceran 1:20. 4. Kontrol negatif : Serum negatif Buffer pengecer Prosedur Pemeriksaan Uji Kualitatif : Setiap sampel membutuhkan 3 sumur plate mikrotitrasi. 1. Masukkan 190ul pengencer di sumur no.1 2. Tambahkan 10ul serum di sumur no.1 3. Dengan menggunakan mikropipet,campurkan/homogenkan isi sumur 1 dan pindahkan sebanyak 25ul ke sumur no.2 dan 25 uL ke sumur no.3 4. Pastikan bahwa sel uji/tes dan sel kontrol tersuspensi dengan baik. Tambahkan 75ul sel kontrol ke sumur 2. Tambahkan 75ul sel uji/tes ke sumur 3 5. Goyangkan mikroplate secara perlahan untuk menghomogenkan. 6. Inkubasi 45-60 menit pada suhu kamar 7. Hal yang perlu diperhatikan adalah menghindarkan mikroplate dari panas, sinar matahari langsung dan sumber getaran 32 8. Pembacaan hasil setelah inkubasi dan hasil tetap stabil selama 24 jam jika plate tertutup. Uji Kuantitatif : Setiap sampel membutuhkan 8 sumur plate mikrotitrasi, diberi label dari A sampai H. 1. Tambahkan 25ul pengencer pada sumur B sampai ke H . 2. Sebanyak 25ul serum pengenceran 1:20 dipindahkan dari tes skrining/ kualitatif untuk sumur A dan B 3. Dipipet 25ul serum diencerkan dari sumur B dan serial diencerkan dari sumur B ke H dan membuang 25ul serum diencerkan dari sumur H 4. Dipastikan bahwa sel-sel uji sudah secara menyeluruh disuspensi. Tambahkan 75ul sel uji/tes ke sumur A ke H. Ini akan memberikan pengenceran serum 1/80 di sumur A sampai 1/10240 sumur H 5. Homogenisasi mikroplate secara perlahan hingga isi tercampur menyeluruh 6. Inkubasi 45-60 menit pada suhu kamar. Hindari plate dari panas, sinar matahari langsung dan sumber getaran. 7. Pembacaan hasil. Hasil tetap stabil selama 24 jam jika plate tertutup dan tindakan pencegahan di atas. Tabel 2.5 Laporan Hasil Pembacaan Hasil Positif Kuat Positif Lemah Tak Tentu Sel Tes Sel Kontrol Aglutinasi penuh menutupi dasar Tidak terjadi sumur aglutinasi Aglutinasi menutupi 1,3 dari dasar Tidak terjadi sumur aglutinasi Gumpalan merah menunjukkan pusat Tidak terjadi yang jelas aglutinasi 33 Tidak terdapat aglutinasi (eritrosit Tidak terjadi tersusun kompak didasar sumur) aglutinasi Non-Spesifik Reaksi positif Reaksi positif (Kemenkes RI, 2018). Negatif Interpretasi Hasil : 1. Reaksi positif yang kuat dapat menunjukkan aglutinasi di dasar sel. 2. Ketika sumur uji adalah positif, sumur kontrol juga harus diamati. Sel-sel kontrol harus mengendap kompak. Kontrol sel tidak boleh digunakan sebagai pembanding untuk pola 3. serum non-reaktif karena sel kontrol memberikan pola yang lebih kompak daripada sel tes. 4. Aglutinasi di sumur sel kontrol juga menunjukkan adanya aglutinin nonspesifik dalam sampel, pengujian harus dilaporkan invalid. Pada serum yg memberikan hasil ini dapat diserap dengan menggunakan sel kontrol seperti yang dijelaskan dengan cara absorpsi non-spesifik. b. Treponema pallidum Particle Agglutination (TP-PA) Pemeriksaan TP-PA merupakan salah satu jenis pemeriksaan serologi untuk mendeteksi antibodi beberapa spesies dan subspesies treponema patogenik penyebab sifilis, yaws, pinta, bejel. Pemeriksaan dengan metode ini digunakan sebagai pemeriksaan konfirmasi, pengganti pemeriksaan dengan microhemagglutination assay for antibodies to Treponema pallidum (MHA-TP). Prinsip uji TP-PA adalah aglutinasi pasif berdasarkan aglutinasi partikel gel yang disensitisasi dengan antigen Treponema pallidum oleh antibodi serum pasien. Serum yang mengandung antibodi terhadap treponema patogen bereaksi 34 dengan partikel gel yang disensitisasi dengan sonicated Treponema pallidum, Nichols strain (antigen), untuk membentuk anyaman aglutinasi partikel gel yang halus didalam microtiter tray well. Jika antibodi tidak ada, maka partikel akan berada pada bagian bawah tray well, membentuk tonjolan padat yang tidak beraglutinasi. Prosedur Pemeriksaan Uji Kualitatif : 1. Baris pertama dari microplate, 100 µL diluent sampel pada well 1, dan 25 µL pada well 2 sampai 4, termasuk kontrol nonreaktif. 2. Tambahkan 25 µL sampel pada well 1, homogenkan. Ambil 25 µL pindahkan ke well 2, homogenkan. Lanjutkan sampai well 4. Buang 25 µL dari well 4. 3. Periksa sampel serum pasien dan kontrol. Sisa serum sampel simpan disuhu -20 sampai -80 C. 4. Untuk kontrol reaktif, siapkan pengenceran ganda dengan diluent sampel untuk melewati endpoint titer (contoh 1:80, 1:160, 1:320, 1:640). Pada baris pertama tray, letakkan 100 µL diluent sampel pada well A1 dan 25 µL pada well A2 sampai A10. Tambahkan 25 µL serum kontrol reaktif pada well A1, homogenkan. Ambil 25 µL dari well A1, pindahkan ke well A2, lanjutkan sampai well A10. 5. 25 µL diluent sampel pada well11 dan A12. Ini merupakan kontrol reagen. Tambahkan partikel gelatin yang disensitisasi pada baris A, well A4 sampai A10 dan well A11. Tambahkan 25 µL larutan kerja eritrosit yang disensitisasi ke empat well sampel serum pasien dan kontrol nonreaktif. 35 6. 25 µL partikel gelatin yang tidak disensitisasi pada well A3, A12, dan ketiga well sampel pasien dan kontrol non reaktif. 7. Inkubasi tray pada suhu 180-300 C selama 2 jam. Uji Kuantitatif : Sampel dengan aglutinasi yang tidak spesifik pada kontrol partikel yang tidak disensitisasi dikonfirmasi dengan pemeriksaan kuantitatif. 1. Sampel diluent 100 µL diletakkan pada baris pertama well dan 25 µL pada well 2 sampai 12. 2. Serum 25 µL ditambahkan pada well pertama, kemudian dihomogenkan. 3. Serum diluent 25 µL dipindahkan dari well pertama ke well 2, homogenkan. Dari well 2 diambil 25 µL dipindahkan ke well 3. Lanjutkan prosedur tersebut sampai well 12. Dari well 12 diambil 25 µL, kemudian dibuang. 4. Partikel yang tidak disensitisasi 25 µL diletakkan pada well 3, dan 25 µL partikel yang disensitisasi pada well 4. 5. Homogenkan dengan alat automatik vibrator selama 30 detik. Tutup plate dan diinkubasi selama 2 jam. Baca hasil titer. Tabel 2.6. Kriteria Menentukan Derajat Aglutinasi Derajat Aglutinasi Pembacaan Partikel aglutinasi menyebar, tidak beraturan 2+ menutupi dasar well Membentuk cincin besar, degan pinggir luar 1+ yang kasar dan aglutinasi periperal Konsentrasi partikel membentuk cincin yang + padat, pinggir luar yang halus Konsentrat partikel membentuk bulatan seperti tombol dibagian tengah well dengan pinggir luar yang halus (Larsen et al., 1995). Interpretasi Reaktif Reaktif Indeterminate Nonreaktif 36 Pembacaan dan Pelaporan Hasil : 1. Pola pengendapan partikel gelatin dibaca dengan skor aglutinasi yaitu skala sampai 2+ seperti pada tabel 4. 2. Pengenceran terakhir dari kontrol reaktif adalah 1+ (pembacaan pengenceran terakhir). Pengenceran serum akhir didapatkan setelah penambahan semua reagen. 3. Serum kontrol nonreaktif tidak akan bereaksi pada pengenceran 1:80 dengan sel yang disensitisasi. 4. Fluorescent Treponemal Antibody Absorption (FTA-ABS) Prinsip uji FTA-ABS menggunakan teknik antibodi flouresens secara tidak langsung sebagai pemeriksaan konfirmasi terhadap sifilis. Pemeriksaan ini menggunakan antigen Treponema pallidum subsp. Pallidum (strain Nichols). Serum pasien yang telah diencerkan 1:5 dengan sorbent (ekstrak dari kultur Treponema phagedenis, Reiter treponema) selanjutnya ditempelkan di atas slide yang sebelumnya telah difiksasi dengan Treponema pallidum. Jika serum pasien mengandung antibodi, maka antibodi tersebut akan melapisi treponema. Setelah Fluorescein isothiocyanate (FITC)-labeled antihuman immunoglobulin ditambahkan, akan terbentuk ikatan dengan antibodi IgG dan IgM pasien yang melekat pada Treponema pallidum. Ikatan ini akan terlihat dan diperiksa dibawah mikroskop fluoresens. Sampel : Sampel yang umum digunakan dalam uji ini adalah serum, namun bisa juga diambil dari cairan spinal. 37 Prosedur Pemeriksaan : Mula-mula Serum pasien diencerkan terlebih dahulu 1:5 dengan sorbent (ekstrak kultur Treponema reiter nonpatogen) untuk menghilangkan anti treponemal antibodi nonspesifik yang dihasilkan oleh sebagian individu untuk merespons treponema nonpatogen. Kemudian sel substrat direaksikan dengan serum pasien. Serum diletakkan diatas kaca objek yang telah difiksasi dengan sel Treponema pallidum yang sudah mati. Jika antibodi Treponema pallidum ada pada serum pasien, antibodi tersebut akan melapisi sel Treponema pallidum yang sudah terfiksasi pada slide. Langkah terakhir, antiimunoglobulin manusia yang telah dilabel dengan zat warna flouresens seperti fluorescein isothiocyanate (FITC), ditambahkan pada sediaan dan akan berikatan dengan beberapa antibodi pasien yang sudah melekat pada substrat sel Treponema pallidum. Jika pasien sudah pernah terinfeksi sifilis, spirokaeta akan terwarnai dan terlihat ketika diperiksa dengan mikroskop flouresens. Intensitas warna dinilai dengan skala negatif (tidak ada flouresen), +1 sampai +4. Spesimen dengan reaksi minimal (dibaca +1) harus diperiksa ulang. Tabel 2.7. Laporan Hasil Pemeriksaan FTA-ABS Uji Awal Uji Ulang 4+ 3+ 2+ 1+ >1+ 1+ <1+ <1+ N (Larsen et al., 1995). Hasil Reaktif Reaktif Reaktif Reaktif Minimal reaktif* Nonreaktif Nonreaktif Nonreaktif 38 *Tanpa adanya riwayat klinik infeksi treponema, hasil pemeriksaan ini diragukan. Spesimen kedua harus diperiksa 1-2 minggu setelah pemeriksaan spesimen awal dan dianjurkan kelaboratorium untuk pemeriksaan serologi lainnya. Interpretasi Hasil : Pemeriksaan FTA-ABS tidak dilakukan sebagai pemeriksaan rutin atau skrining. Sangat penting membedakan hasil positif nontreponemal dengan positif palsu nontreponemal, dan untuk mendiagnosis sifilis late atau late laten. Hasil pemeriksaan FTA-ABS reaktif, berarti infeksi treponema patogenik baru atau lama. Hasil FTA-ABS nonreaktif mengandung arti pemeriksaan nontreponemal reaktif adalah reaksi positif palsu. c. Enzyme Immunoassay (EIA) Sifilis EIA test kit merupakan pemeriksaan dengan metode enzyme immunoassay dan merupakan immunoassay generasi kedua yang mendeteksi secara kualitatif kehadiran antibodi total terhadap Treponema pallidum (IgG, IgM dan IgA) pada serum atau plasma manusia. Tes ini digunakan untuk skrining pada sifilis. Tes ini menggunakan antigen TP rekombinan untuk mendeteksi secara selektif Antibodi TP dalam serum atau plasma. Prinsip : Kit uji EIA sifilis menggunakan enzyme immunoassay kualitatif fase padat yang didasarkan pada prinsip sandwich untuk mendeteksi antibodi total (IgG, IgM dan IgA) terhadap TP pada serum atau plasma manusia. Plate mikrowell dilapisi dengan antigen TP rekombinan. Selama pengujian, spesimen dan konjugat (antigen 39 TP berlabel enzim) ditambahkan pada mikrowell yang dilapisi antigen TP rekombinan dan diinkubasi. Jika spesimen mengandung antibodi terhadap TP, ia akan berikatan dengan antigen yang dilekatkan pada pelat mikrowell dan secara bersamaan mengikat konjugat, membentuk kompleks. Setelah diinkubasi, dilakukan pencucian untuk menghilangkan sisa-sisa material yang tidak terikat. Selanjutnya substrat A dan B ditambahkan pada mikrowell dan diinkubasi membentuk produk berwarna biru pada spesimen yang mengandung antibodi TP. Larutan asam sulfat kemudian ditambahkan ke microwell untuk menghentikan reaksi dan menghasilkan perubahan warna dari biru menjadi kuning. Intensitas warna yang terbentuk, sesuai dengan jumlah antibodi T. Pallidum yang ada dalam spesimen dan diukur dengan microplate reader panjang gelombang pada 450/630700 nm atau 450 nm. Pengumpulan dan Persiapan Spesimen 1. Kit Tes EIA Sifilis dapat dilakukan hanya dengan menggunakan serum atau plasma manusia didapat dari whole blood venipuncture. 2. Tabung pengumpul dengan EDTA, natrium heparin, dan ACD dapat digunakan untuk mengumpulkan spesimen berupa whole blood dan plasma venipuncture. 3. Pisahkan serum atau plasma dari darah secepat mungkin untuk menhindari hemolisis. Sampel yang sangat hemolitik, lipemik, atau keruh tidak boleh digunakan. Spesimen dengan partikulat luas harus diklarifikasi dengan sentrifugasi sebelum digunakan. Jangan gunakan spesimen dengan partikel fibrin atau yang terkontaminasi dengan mikroba. 40 4. Jangan biarkan spesimen berada pada suhu kamar dalam waktu lama. Spesimen serum dan plasma dapat disimpan hingga 7 hari sebelum dilakukan pengujian pada suhu 2-8°C. Pada penyimpanan jangka panjang, spesimen harus dibekukan di bawah -20oC. 5. Sebelum dilakukan pengujian, letakkan spesimen dari tempat penyimpanan pada suhu kamar. Spesimen yang beku haru benar-benar dicarikan dan dihomogenkan dengan baik sebelum dilakukan pengujian. Spesimen tidak boleh dibekukan dan dicarikan berulang kali. 6. Jika spesimen akan dikirim, spesimen harus dikemas sesuai ketentuan lokal yang berlaku yang, mencakup pengangkutan etiologic agents. Prosedur Pemeriksaan : Sebelum dilakukan pengujian, biarkan reagen dan spesimen pada suhu kamar (15-300C). Lakukan pemeriksaan sesuai prosedur yang berlaku. Pengujian harus dilakukan sesuai batas waktu yang berlaku. Tambahkan kontrol pada well A1, dan selanjutnya lakukan langkah-langkah sebagai berikut : 1. Siapkan Working Wash Buffer dengan pengenceran konsentrasi 1: 25 2. Sisakan well A1 sebagai blank well. 3. Pada well B1 dan C1 : tambahkan 50 µL kontrol negatif, Pada well D1 dan E1 : tambahkan 50 µL kontrol positif, dimulai pada F1 : tambahkan 50 µL spesimen. Pindah dan simpan strip yang tidak digunakan pada suhu 28 ° C. 4. Tambahkan 50 µL konjugat pada setiap well, kecuali pada blank well. 41 5. Homogenkan campuran dengan baik pada flat bench sekitar 30 detik. Kemudian tutup plate microwell dengan sealer plate dan inkubasi pada suhu 370C sekitar 60 menit. 6. Pindahkan sealer plate, kemudian lakukan pencucian 5 kali dengan 350 µL working wash buffer pada setiap well. 7. Tambahkan 50 µL substrat A dan 50 µL substrat B pada setiap well, homogenkan dan tutup plate microwell dengan plate sealer dan inkubasi pada 370C sekitar 15 menit 8. Pindahkan plate sealer dan selanjutnya tambahkan 50 µL stop solution pada setiap well. 9. Baca tiap well pada panjang gelombang 450/630 – 700 nm dalam 30 menit. Interpretasi Hasil 1. Non-Reaktif : Spesimen dengan absorbansi lebih rendah atau kurang dari nilai cut-off dianggap non-reaktif untuk antibodi terhadap T. Pallidum, dan dapat dianggap negatif. 2. Reaktif :* Spesimen dengan absorbansi lebih besar dari atau sama dengan nilai cut-off dianggap reaktif initially untuk antibodi terhadap T. Pallidum. Spesimen harus diuji ulang (duplo) sebelum dilakukan interpretasi akhir. Spesimen yang reaktif pada setidaknya satu dari tes yang diulang dianggap reaktif repeatedly dan harus dikonfirmasi menggunakan uji konfirmasi. Spesimen yang nonreaktif pada kedua tes ulang yang dilakukan maka dianggap non-reaktif. *NOTE: Spesimen dengan nilai berkisar ±10% dari nilai Cut-Off harus dilakukan dua kali test pengulangan (duplo) untuk interpretasi akhir. 42 Sensitifitas dan Spesifisitas Kit uji EIA Sifilis dapat mengidentifikasi dengan benar spesimen pada panel serokonversi dan telah dilakukan pembandingan dengan uji Sifilis TPPA komersial menggunakan spesimen klinis. Hasil penelitian menunjukkan bahwa sensitivitas klinik dan spesifisitas klinis terhadap antibodi total sifilis dengan kit uji EIA secara berturut turut adalah > 99,9% dan 99,9% (Linier Chemicals L.S). d. Treponema pallidum rapid (TP Rapid) Uji TP Rapid menggunakan prinsip immunochromatography assay yang merupakan penggabungan antara metode immunoassay dan kromatografi dengan mendeteksi antibodi IgG dan IgM terhadap antigen syphilis pada sampel berupa serum, plasma atau whole blood. Strip tes terdiri dari: 1) Pad konjugat warna merah anggur yang mengandung konjugat berupa antigen Tp rekombinan dan IgG kelinci rekombinan yang dilapisi dengan koloid emas, 2) strip membran nitroselulosa yang mengandung sebuah garis tes (T) dan garis kontrol (C). Garis T pra-dilapisi dengan antigen non-terkonjugasi Tp rekombinan, dan garis C pra-dilapisi dengan antibodi kambing anti-kelinci IgG. Antibodi T.pallidum pada spesimen yang diteteskan pada sumur sampel bermigrasi secara kapiler dan berikatan dengan konjugat (berlabel koloid emas), kemudian kompleks antibodi-konjugat yang terbentuk berjalan dengan prinsip imunokromatografi menuju daerah uji dan ditangkap oleh antigen yang dilekatkan di fase padat nitroselulosa dan membentuk garis T berwarna yang menunjukkan hasil positif antibodi T. Pallidum. Tidak terbentuknya warna pada garis T 43 menunjukkan hasil negatif. Setiap kali tes dilakukan, pastikan terbentuk garis berwarna pada garis control (C) ntuk memastikan ke-validan hasil tes, jika tidak terbentuk garis berwarna pada garis C maka pemeriksaan terhadap spesimen uji harus diulang. Penggunan rapid test ini sangat mudah dan memberikan hasil dalam waktu yang relatif singkat yaitu sekitar 10-15 menit. Penggunaan rapid test sifilis dianggap dapat meningkatkan akses skrining sifilis. Walaupun demikian, rapid test yang ada saat ini tidak dapat membedakan infeksi aktif dengan non aktif. Persiapan Reagen dan Penyimpanan Seluruh reagen siap digunakan sebagaimana disediakan. Simpan barang tidak terpakai pada 2ºC-30ºC tanpa dibuka. Jika disimpan pada 2ºC-8ºC pastikan alat diseimbangkan ke suhu ruangan sebelum pemakaian. Alat tes akan stabil sampai dengan tanggal kadaluarsa yang tertera. Jangan dibekukan atau mempaparkan pada suhu diatas 30ºC. Paket tabung harus digunakan dalam waktu 25 hari sejak pertama kali dibuka. Tutup tabung SEGERA setelah perangkat diambil dan tempatkan tabung kembali di bawah kondisi penyimpanan aslinya (Anonim, 2012 at Katalog Biotech Answer Syiphilis Ab Rapid Tes). Prosedur Pemeriksaan 1. Bawa spesimen dan uji komponen untuk suhu kamar jika didinginkan atau dibekukan. Campur spesimen dengan baik sebelum assay ketika sudah cair. 2. Kumpulkan setidaknya 150-200 uL atau 3-4 tetes serum atau plasma dalam wadah sampel. 44 3. Untuk paket tabung: a. Pertama kali tabung baru digunakan, tuliskan tanggal pembukaan bersama dengan tanggal kedaluwarsa yang diperkirakan pada label tabung. b. Bila sudah siap untuk menggunakan keluarkan jumlah yang diinginkan dari tabung. c. Segera tutup tabung untuk mencegah kontaminasi dan kelembaban. Untuk kotak paket kit: a. Ambil jumlah yang diinginkan dari kantong disegel. b. Bila sudah siap untuk menguji, buka kantong pada ujungnya dan keluarkan strip. 4. Celupkan strip ke dalam spesimen untuk setidaknya 10 detik. 5. Keluarkan strip dari spesimen, dan letakkan di permukaan yang datar dan kering. 6. Baca hasil tes di 5 -10 menit. hasil positif bisa terlihat sesingkat 1 menit. Jangan membaca hasil setelah 10 menit. Interpretasi Hasil : 1. Hasil Negatif: Jika hanya C garis terlihat, tes menunjukkan bahwa tidak terdeteksi anti-Tp antibodi hadir dalam spesimen. hasilnya negatif atau nonreaktif. 2. Hasil Positif: Jika kedua garis C dan T terlihat, tes menunjukkan untuk Kehadiran antibodi anti-Tp dalam spesimen. hasilnya positif atau reaktif. Sampel dengan hasil positif atau reaktif harus dikonfirmasi dengan metode pengujian alternatif (s) seperti tes TPHA dan temuan klinis sebelum membuat keputusan diagnostik. 3. Invalid: Jika tidak ada garis C terlihat, assay tidak valid terlepas dari perkembangan warna pada garis T seperti yang ditunjukkan di bawah ini. 45 Ulangi assay dengan perangkat baru (Katalog Biotech Answer Syiphilis Ab Rapid Tes, 2012). 5. Interpretasi Pemeriksaan Serologi Pada Sifilis Terdapat berbagai interpretasi terhadap hasil pemeriksaan tes serologi sifilis antara tes treponema dan non treponema, interpretasi tersebut dapat dilihat pada tabel 2.8. Interpretasi Pemeriksaan Serologi Pada Sifilis Interpretasi tes serologi pada sifilis Tes Treponemal Tes Non Treponemal Interpretasi Non-reaktif Non-reaktifa 1. Tidak terdapat bukti infeksi sifilis 2. Infeksi sifilis sangat dini, sebelum serokonversi Reaktifb Non-reaktif 1. Pernah terinfeksi sifilis dan telah diobati sebelumnya 2. Infeksi sifilis yang tidak diobati 3. False-positive pada tes treponemalc Reaktif Reaktif dengan atau 1. Infeksi sifilis aktif tanpa pengukuran titer 2. Infeksi sifilis yang baru diobati dengan titer nontreponemal yang belum reaktif 3. Pengobatan sifilis dengan titer yang persistend a Non-reaktif Reaktif 1. False-positive test treponemal (Andres et al., 2013) Keterangan : 1. Biasanya tidak dilakukan jika tes treponemal awal negatif 46 2. Dengan dua metode berbeda jika tes nontreponemal negatif 3. Sring terlihat diantara imigran afrika dengan paparan treponematosis endemik sebelumnya 4. Biasanya pengobatan dianggap berhasil dengan penurunan titer empat kali lipat (contoh : dari 1:32 menjadi 1:8) 6. Algoritma Pemeriksaan Sifilis (Traditional dan Reverse Algoritma) Deteksi terhadap sifilis dilakukan dengan tes serologi yang mendeteksi antibodi terhadap treponemal dan nontreponemal. Urutan pengujian yang dilakukan membedakan deteksi sifilis ini menjadi dua algoritma yakni, traditional algoritma dan reverse algoritma. Kedua algoritma pemeriksaan sifilis ini dapat dilihat pada skema 6.1. 47 Skrining Skema 6.1. Traditional dan reverse algoritma pada pemeriksaan Sifilis Traditional Reverse Tes nontreponemal (RPR, VDRL, dsb) Tes treponemal automatis (EIA, CIA dsb) Positif (+) Negatif (-) Negatif (-) (menunjukkan negatif sifilis) Positif (+) Negatif (-) (menunjukkan sifilis aktif/lampau) Tes treponemal (TPPA, FTAAbs, dsb) Tes treponemal ke-2 untuk konfirmasi discordant samples Konfirmasi Positif (+) Negatif (-) Tes nontreponemal (RPR kuantitatif, dsb) Tes treponemal (TPPA, FTAAbs, dsb) (menunjukkan sifilis aktif/lampau) Positif (+) Positif (+) (menunjukkan sifilis aktif/lampau) (CDC, 2011) Negatif (-) (menunjukkan negatif sifilis) 48 Berdasarkan skema algoritma pemeriksaan diatas, pada traditional algoritma, tes nontreponemal (misalnya RPR atau VDRL) digunakan sebagai skrining awal, jika sampel reaktif barulah dikonfirmasi dengan tes treponemal. Sebaliknya, pada reverse algoritma uji treponemal digunakan untuk skrining dan jika sampel reaktif barulah dilanjutkan dengan uji nontreponemal. Hasil yang berbeda antara skrining treponema dan uji nontreponemal diselesaikan dengan uji konfirmasi treponemal kedua (misalnya, TPPA) yang lebih utama dalam mendeteksi antigen yang berbeda dibanding skrining treponemal. Tidak ada standar emas untuk pengujian serologi sifilis, oleh sebab itu semua hasil tes harus dikorelasikan dengan presentasi klinis untuk menegakkan diagnosis sifilis. BAB III PENUTUP 3.1.Kesimpulan Hubungan seksual dapat menularkan berbagai macam penyakit, salah satunya yaitu sifilis. Selain itu sifilis dapat ditularkan secara vertikal dari ibu ke janin, melalui transfusi darah, alat kesehatan yang terkontaminasi dan lainnya. Sifilis memiliki tiga stadium yaitu stadium primer, skunder dan tersier. Diantara ketiga stadium tersebut terdapat stadium laten dimana tidak menimbulkan gejala klinis namun pada pemeriksaan laboratorium menunjukan hasil positif. Penegakan diagnosis sifilis dengan anamnesis, pemeriksaan fisik dan pemeriksaan penunjang. Pemeriksaan penunjang pada sifilis berupa pemeriksaan mikroskopis dan uji serologis. Uji serologi dibagi dalam dua kategori yaitu uji nontreponemal untuk skrining dan uji treponemal untuk konfirmasi 3.2.Saran Demi kesempurnaan penulisan makalah ini tentang sifilis pada kesempatan berikutnya, maka penulis ingin menyampaikan saran yang dapat digunakan sebagai acuan kelengkapan makalah yakni makalah harus dilengkapi dengan kajian literatur tambahan mengenai mekanisnme pertahahan tubuh terhadap serangan dari Traponema pallidium dan pengobatan dari sifilis. 49 DAFTAR PUSTAKA Ain, H., Ayu, Nur., Rachmatdinata., Djajakusumah, Toni S. (2013). Koinfeksi Sifilis Sekunder dan HIV pada Seorang Laki suka Laki. Global Medical and Health Communication Journal. Aman M. (2010). Penelitian Prevalensi HIV dan Sifilis serta Prilaku Berisiko Terinfeksi HIV pada Narapidana di Lapas/Rutan di Indonesia. Direktorat Jenderal Pemasyarakatan Kementerian Hukum dan HAM. Arief L, Indiarsa., Hutomo, Marsudi. (2010). Sifilis Sekunder dengan Manifestasi Klinis Kondilomata. Jurnal Berkala Ilmu Kesehatan Kulit dan Kelamin. Arya OP. (1998). Sexually Transmitted Infections And AIDS In The Tropics. New York : CABI Publishers. Baguna, T., Niode, N. J., & Pandaleke, H. E. (2021). Efektivitas Pemeriksaan Serologis Sifilis. e-CliniC, 9(1). Brown WJ. Biology of treponema pallidum. In: Pathophysiology of Syphilis, HealthGuidance, HYPERLINK http://www. healthguidance.org Centers for Disease Control and Prevention (CDC). (2011). Discordant results from reverse sequence syphilis screening--five laboratories, United States, 2006-2010. MMWR Morb Mortal Wkly. Cherneskle T, Augenbraun M, Blank S, Dunn A, Friedenberg E, Hermoso A, et al. an Update and Riview of the Diagnosis and Management of Syphilis. NYC Health. p15-17 Departemen Kesehatan RI. Pedoman Nasional Penanganan Infeksi Menular Seksual. Kementrian Kesehatan RI Dirjen PP dan PL. 2011. Department of Health and Human services Centers for Disease Control and Prevention. (2010). Sexually Transmitted Disease Treatment Guidelines. MMWR. Department of Health and Human services Centers for Disease Control and Prevention. Sexually Transmitted Disease Treatment Guidelines, 2010. MMWR 2010;59 (No. RR-12): 26-39 50 51 Devi Putri Amalia Suryani, Hendra Tarigan Sibero. Syphilis. Medical Journal of Lampung University Vol.3 No. 7, 2014. http://juke.kedokteran.unila.ac.id/index.php/majority/article/viewFile/470 /573 Franzen C. Syphilis in composers and musicians—Mozart, Beethoven, Paganini, Schubert, Schumann, Smetana. Eur J Clin Microbiol Infect Dis. 2008;(27):1151–7. Guyman LT. Treponema pallidum. In: The Spirochetes, Zinsser Microbiology, 20th ed, editors Joklik WK, Willett HP, Amos DB, Wilfert CM, Appleton & Lange, California. 1992. Hlm. 657-66 Handojo Indro. 2004. Imunoasay Terapan Pada Beberapa Penyakit Infeksi. Surabaya : Airlangga University Press. Holmes KX, Sparling PF, Stam WE, Piot P, Wasserheit J, Corey L, et al. In: Sexually Transmitted Disease 4rd. New York: McGraw Hill. 2008. p661 – 84 Jawetz, Melnick, Adelberg. Spiroketa & mikroorganisme spiral lainnya Dalam: Mikrobiologi Kedokteran, 23th ed, Penerbit Buku Kedokteran EGC, Jakarta. 2004. hlm. 338-42. Jesus MBD, Ehlers MM, Dreyer W, Kock NM. Mini Riview: Syphilis. J FORTAMex. 2013. p1787-1798. Jesus MBD, Ehlers MM, Dreyer W, Kock NM. Mini Riview: Syphilis. J FORTAMex. 2013. p1787-1798 Kementerian Kesehatan Republik Indonesia. Pedoman Tata Laksana Sifilis Untuk Pengendalian Sifilis di Layanan Kesehatan Dasar. Jakarta: Direktorat Jenderal Pengendalian Penyakit dan Penyehatan Lingkungan, 2013;p. 1. Kementerian Kesehatan Republik Indonesia. Pedoman tata laksana sifilis untuk pengendalian sifilis di layanan kesehatan dasar. Kementrian Kesehatan RI 2013. https://siha.kemkes.go.id/portal/files_upload/PEDOMAN_TATALAKS ANA_SIFILIS_PUSKESMAS___merah_ok.pdf 52 Kingston M, French P, Higgins S et al. UK national guidelines on the management of syphilis 2015. Intional Journal of STD and AIDS OnlineFirst, published on December 31, 2015. Doi:10.1177/0956462415624059. Klausner JD, Hook EW. Current Diagnosis & Treatment Sexually Transmitted Disease. New York:McGraw Hill Companies, 2007. Lafond RE, Lukehart SA. biological basis for syphilis. Clin. Microbiol. Rev.2006;(19): 29 LaFond, RE., Lukehart, SA. (2006). Biological basis for syphilis. Clin Microbiol Rev. Larsen SA, Steiner BM, Rudolph AH. Laboratory diagnosis and interpretation of tests for syphilis. Clinical Microbiology Reviews. 1995; (8): 1–21. Liu A, Zang W, Yuan L, Chai Y, Wang S. Latent syphilis among patients in an Urban Area of China. Glob J Health Sci 2014;7(3):249–53. Lukehart SA. Syphilis. In: Spirochetal Diseases, Harrison’s Principles of Internal Medicine, editors Kasper DL, fauci AS, Longo DL, Braunwald E, Jameson JL, 16th ed, McGraw Hills, New York. 2005.p: 977-988 Muhamad Caesario Liazmi,Jundi Fathan Mubina. Hubungan Antara Sifilis Dengan Human Immunodeficiency Virus (Hiv)/ Acquired Immunodeficiency Syndrome (Aids). Jurnal Penelitian Perawat Profesional Vol.2 No.1. eISSN 2715-6885; p-ISSN 2714-9757. 2020. http://jurnal.globalhealthsciencegroup.com/index.php/JPPP/article/view/3 9/31 Musher, D.M. Neurosyphilis: Diagnosis and Response to Treatment. CID. 2008; 47: 900-902. Mutia, C. M. (2019). Patogenesis dan pemeriksaan penunjang penyakit sifilis yang disesbabkan treponema pallidum (studi pustaka). SKRIPSI-2005. Neuza SS. (2011). Laboratorial Diagnosis Of Syphilis. Croatia: InTech Inc. Norris SJ. Polypeptides of treponema pallidum: progress toward understanding their structural, functional, and immunelogic rolest’ in Microbiological Reviews. 1993; (57):750- 79. 53 Peeling RW, Mabey D, Kamb ML, Chen X, Benzaken AS. Syphilis. Nat Rev Dis Primers 2017; 3:17073. 8. Plorde JJ. Treponemain Spirochetes, Sherris Medical Microbiology An Introduction to Infectious Diseases, 3th ed, editor Ryan KJ, Printice Hall International Inc. 1994. p; 385-90 25. Pommerville JC. Syphilis is a chronic infection disease. In: Alcamo’s Fundamentals of Microbiology, Body Systems Edition, Jones and Bartlett Publishers. 2010. Hlm 822-5. Prince SA, Wilson LM. Sifilis dalam Patofisiologi Konsep Klinis Proses-Proses Penyakit, 6th, Penerbit Buku Kedokteran EGC, Jakarta. 2006.hlm. 133840 Ratnam S. The laboratory diagnosis of syphilis. Can J Infect Dis Med Microbiol, Canadian STI Best Practice Laboratory Guidelines. 2005; (16): No. 1 Ryan KJ. (2004). Spirochetes, in Sherris Medical Microbiology, 4th ed. New York : Mcgraw-Hill Medical Publishing Division. Sanchez MR. (2008). Fitzpatrick’s Dermatology In General Medicine. New York; McGraw-HillIncorporation. Sanchez, MR. (2008). Sexually Transmitted Diseases. USA; The McGraw-Hill Companies, Inc. Sato NS. (2011). Laboratorial Diagnosis Of Syphilis, Syphilis - Recognition, Description And Diagnosis. Croatia: Intech. Sato, NS. (2011). Laboratorial diagnosis of syphilis “Syphilis-recognition, description and diagnosis. Croatia: INTECH. Sena, AC., White, BL., Sparling, PF. (2010). Novel Treponema pallidum Serologic Tests: A Paradigm Shift In Syphilis Screening For The 21st Century.Clin Infect Dis. Sokolovskiy E, Frigo N, Rotanov S, Savicheva A, Dolia O, Kitajeva N, et al. Guidelines fot the laboratory diagnosis of syphilis in East European countries. J EADV. 2009;23(1):623-32. Stamm LV. (2010). Global challenge of antibioticresistant Treponema pallidum. Antimicrob Agents Chemother. 54 STBP 2011 : Surveilans terpadu biologi perilaku. Jakarta: Kementerian Kesehatan Republik Indonesia Dirjen Pengendalian Penyakit dan Penyehatan Lingkungan; 2011. The Gobal Library of Women’s Medicine. Syphilis. 2009. http://www.glowm.com/section_view/ heading/Syphilis/item/30 Tuddenham SA, Zenilman JM. Syphilis. In: Kang S, Amagai M, Bruckner AL, Enk AH, Margolis DJ, McMichael AJ, et al, editors. Fitzpatrick’s Dermatology (9th ed). New York: McGraw Hill Education, 2019; p. 3145-72. Turner AJL. Treponemes. In: Gillespie SH, Hawkey PM, editors. Principles and practice of clinical bacteriology 2ed. UK: John Wiley & Sons, Ltd; 2006. p. 503-10. Winn W, Allen S, Janda W, Koneman E, Procop G, Schreckenberger P, Woods G. Spirochetal infections, in Koneman’s Color Atlas and Textbook of Diagnostic 586 Jurnal Kesehatan Andalas. 2014; 3(3) Microbiology, 7th ed, Lippincott Williams & Wilkins. 2006. hlm. 1125-34. Uprety, S., Vinay, K., De, D., Handa, S., Saikia, U. (2016). Hypopigmented Patches On A Young Man. Clinical and Experimental Dermatology. Valones, MAA., Guimarães, RL., Brandão, LAC., Souza, PREd., Carvalho, AdAT., Crovela, S. (2009). Principles and applications of polymerase chain reaction in medical diagnostic fields : a review Brazilian. Journal of Microbiology.