Uploaded by Sindanita Yulianty

Esai Biosistematika, evolusi & covid19 - Sindanita 1906885

advertisement
Sindanita Yulianty 1906885
Esai Biosistematika dan Evolusi
(Mei 2020)
Biosistematika, Evolusi dan Covid-19
Dosen pengampu: Prof. Topik Hidayat, M.Si., Ph.D.
Saat melihat istilah ‘biosistematika’ mungkin terasa kurang familiar di telinga kita dalam
kehidupan sehari-hari dibandingkan dengan kata ‘evolusi’. Namun tanpa kita sadari ternyata
biosistematika dan evolusi dekat dengan kehidupan kita. Salah satunya dalam masalah yang
sedang kita hadapi yaitu Covid-19. Namun sebelum membahas lebih jauh terlebih dahulu kita
akan mengenal tentang biosistematika dan evolusi.
Apa itu biosistematika?
Bayangkan jika kita memiliki toko swalayan, terdapat banyak sekali produk yang dijual,
tentu akan lebih mudah menemukan suatu produk saat semua produk itu disusun rapi di rak
berdasarkan kelompok tertentu. Misalnya kita memiliki produk baru untuk dijual, tentu kita
akan melihat jenis produk itu dan mencocokkan manakah rak produk yang sesuai dengan
produk baru tersebut berdasarkan kesamaan tertentu. Selain itu dengan melihat informasi
produk tersebut juga kita bisa mengetahui waktu dan tempat produk tersebut diproduksi,
ataupun tanggal kedaluwarsanya.
Begitu pula dengan biologi, karena banyaknya jenis organisme di bumi ini maka dibutuhkan
alat untuk mempelajarinya, disinilah biosistematika berperan. Dalam biosistematika, taksonomi
atau pengelompokkan digunakan untuk mempermudah mempelajari keanekaragaman jenis
organisme hidup di bumi. Dengan pengelompokkan akan mempermudah kita saat menemukan
jenis organisme baru serta menemukan kekerabatannya.
Biosistematika ibarat ‘mesin waktu’ untuk merekonstruksi proses evolusi yang terjadi.
Tujuan utama biosistematika yaitu menentukan pohon filogenetik, yaitu berupa bagan dengan
cabang-cabang untuk menggambarkan urutan kemunculan kelompok organisme sejak masa
lampau hingga saat ini. Melalui informasi keanekaragaman organisme kita dapat melakukan
estimasi waktu kemunculan dan kepunahan organisme tertentu dan proses evolusinya dari
waktu ke waktu. Sehingga secara singkat biosistematika dapat diartikan sebagai cabang ilmu
biologi yang mempelajari tentang keanekaragaman, pengelompokkan, hubungan kekerabatan
dan evolusi organisme hidup.
Evolusi, mutasi dan keanekaragaman
Ketika melihat kata ‘evolusi’ mungkin sebagian besar orang akan teringat pada teori
Charles Darwin dan teorinya yang terkenal yaitu seleksi alam. Evolusi secara sederhana artinya
perubahan dalam kurun waktu yang lama. Evolusi terjadi pada seluruh organisme, tidak hanya
organisme berukuran besar saja, namun hingga organisme terkecil, bahkan materi non seluler
Sindanita Yulianty 1906885
seperti virus. Semua organisme yang ada saat ini merupakan ‘produk evolusi’ karena telah
mampu bertahan dari berbagai peristiwa kepunahan di bumi. Semua organisme mengalami
proses evolusi agar ia tetap dapat beradaptasi terhadap lingkungan. Proses evolusi terus
berlanjut dan detik ini pun semua organisme tengah menjalaninya. Hal ini dilakukan agar dapat
bertahan hidup di lingkungan yang juga berubah dari waktu ke waktu.
Layaknya produk di toko swalayan, lingkungan tempat kita menyimpan produk tersebut
tentu memengaruhi ketahanan dan kualitasnya. Jika es krim disimpan di pendingin tentu akan
bertahan lebih baik dalam kondisi yang lama, namun kualitas dan ketahanannya akan
berkurang saat kita simpan di luar pendingin. Analogi tersebut berlaku sama dengan organisme.
Setiap organisme memiliki lingkungan tertentu untuk hidup dengan baik. Lingkungan
mengalami perubahan dari waktu ke waktu, maka hal ini menjadi tantangan bagi organisme.
Saat karakter suatu organisme tidak sesuai dengan lingkungannya, maka perlahan ia akan
mengalami kesulitan untuk bertahan hidup. Tapi jika terjadi mutasi/perubahan materi genetik
diantara organisme tersebut sehingga memiliki karakter yang mendukungnya untuk bertahan di
lingkungan, maka ia akan selamat dari kepunahan. Disinilah proses seleksi alam terjadi,
organisme dengan karakter yang sesuai akan 'lolos seleksi' sehingga dapat bertahan hidup.
Kemudian karakter tersebut akan diwariskan melalui materi genetik pada keturunannya.
Organisme yang selamat ini merupakan hasil mutasi dan memiliki karakter yang berbeda
dari nenek moyangnya, maka pada pohon filogenetik digambarkan dengan
percabangan/divergensi. Peristiwa ini mendorong terjadinya spesiasi atau terbentuknya spesies
baru. Perubahan terus berlanjut di generasi setelahnya, sehingga seiring berjalannya waktu
menghasilkan berbagai jenis organisme meski awalnya berasal dari satu nenek moyang yang
sama. Proses inilah yang menyebabkan keanekaragaman organisme di bumi.
Materi genetik: kunci mesin waktu
Manusia sering menggunakan bukti fosil dan bukti peninggalan lainnya untuk mengetahui
sejarah dan peristiwa masa lampau. Pada bidang biologi, tidak semua organisme meninggalkan
jejak berupa tulang belulang. Maka untuk membuat pohon filogenetik dan mempelajari proses
evolusi tidak cukup dengan menggunakan bukti fosil saja, disini kunci utamanya yaitu materi
genetik karena selalu diwariskan dari induk ke keturunannya hingga saat ini.
Semua karakter pada organisme dikode dalam materi genetik, yaitu DNA berupa untai
ganda berpilin, maupun RNA yang berupa untai tunggal. Materi genetik diturunkan dari induk
ke keturunannya melalui proses reproduksi. Meskipun setiap individu memiliki urutan kode
genetik yang berbeda namun bagian tertentu pada materi genetik cenderung tidak banyak
berubah atau mengalami sedikit perubahan secara konstan. Sehingga dengan statistika
menggunakan data materi genetik dan mencocokkannya dengan bukti peninggalan lainnya kita
Sindanita Yulianty 1906885
dapat menelusuri waktu dan tempat terjadinya divergensi, spesiasi dan proses evolusinya dari
waktu ke waktu. Pengolahan data materi genetik ini dibantu dengan teknologi komputer,
biasanya bidang ini disebut sebagai Bioinformatika.
Barcode organisme
Setiap produk dalam toko swalayan memiliki identitas berupa barcode agar mudah dikenali
di mesin kasir. Komputer pada kasir memiliki database/basis data dari semua barcode tersebut,
segala informasi produk dapat terlihat dengan memindai barcode produk. Begitu pula dengan
organisme, setiap kelompok organisme memiliki barcode-nya masing-masing berupa DNA
barcode. Bioinformatika dalam analogi tadi ibarat komputer untuk mengolah data DNA, dan
semua informasi disimpan dalam basis data DNA. Beberapa basis data misalnya Genbank
National Center of Biotechnology Information (NCBI), European Moleculer Biology Laboratory
(EMBL) dan DNA Data Bank of Japan (DDBJ). Selain menyimpan data DNA, basis data ini juga
menyimpan data RNA dan protein organisme. Pembaharuan data pada basis data dilakukan
terus menerus karena organisme mengalami perubahan dari waktu ke waktu dan memiliki
banyak variasi urutan sikuens DNA.
Data-data pada basis data akan sangat berperan dalam biosistematika dan berbagai bidang
ilmu lainnya, salah satunya dalam diagnosis virus. Basis data penting untuk mengidentifikasi
suatu virus. Banyaknya data virus dan variasinya dalam basis data akan memudahkan dalam
diagnosis virus pada pasien. Misalnya saat akan mendiagnosis virus Covid-19, sampel DNA dari
pasien akan diambil dan dibaca menggunakan software. Setelah itu dilakukan analisis sekuens
DNA pada pasien dengan melakukan homology alignment / dicari kemiripannya dengan
sekuens virus Covid-19 pada basis data. Apabila memiliki kesamaan maka dapat diambil
kesimpulan bahwa terdapat virus Covid-19 dalam pasien tersebut. Jika terdapat beberapa
perbedaan dengan data virus yang sudah ada maka akan dilakukan penelusuran lebih lanjut
untuk melihat apakah virus tersebut telah mengalami mutasi. Data ini kemudian akan disimpan
dalam basis data.
Mutasi: ‘hulu ledak’ Covid-19
Saat ini dunia tengah berjuang menghadapi pandemi penyakit Covid-19 yang disebabkan
oleh Novel Coronavirus (2019-nCoV) atau SARS-CoV-2. Titik awal dari pandemi global ini yaitu
mutasi pada Coronavirus. Studi menemukan bahwa SARS-CoV-2 memiliki kesamaan kode
genetik sebesar 97% dengan virus Corona RmYN02 yang umumnya terdapat pada kelelawar di
Provinsi Yunan, China, antara bulan Mei-Oktober 2019[1]. Mutasi yang terjadi pada virus
tersebut menyebabkan ‘genetic jump’ dari hewan ke manusia. Berpindahnya inang seperti ini
pernah terjadi sebelumnya, misalnya virus Ebola dan Severe Acute Respiratory Syndrome
(SARS-CoV) yang juga berasal dari kelelawar. Virus Middle East Respiratory Syndrome (MERS-
Sindanita Yulianty 1906885
CoV) juga merupakan corona virus, pertama kali berpindah dari kelelawar ke unta dan
terdeteksi berpindah ke manusia pada tahun 2012. Dibandingkan dengan virus 2002 SARS-CoV
dan 2012 MERS-CoV, virus SARS-CoV-2 menyebar dengan sangat cepat. MERS membutuhkan
waktu sekitar 2,5 tahun untuk menginfeksi 1000 orang, SARS menginfeksi jumlah yang sama
dalam waktu 4 bulan, namun bagi virus SARS-CoV-2 hanya butuh waktu 48 hari saja [2]. Fakta ini
menunjukkan bahwa mutasi dapat menyebabkan perubahan karakter dan perilaku suatu virus.
SARS Cov-2 = virus RNA = musuh baru?
Virus Covid-19 termasuk dalam virus RNA, artinya materi genetiknya berupa untai tunggal.
Virus RNA lebih mudah mengalami mutasi dibandingkan virus DNA. Penelitian dari University
College London’s Genetics Institute menemukan bahwa terdapat hampir 200 mutasi genetik
yang secara berulangkali terjadi pada virus Covid-19 selama penyebarannya di manusia [3].
Ilmuwan telah meneliti 13000 sampel di Britania sejak pertengahan Maret dan menemukan
bahwa mutasi baru muncul kurang lebih dua kali dalam sebulan [4]. Maka informasi pada basis
data harus selalu diperbaharui agar relevan dengan virus terbaru. Biosistematika berperan
melakukan penyusunan filogenetik virus, agar kita tahu sejauh mana perkembangan, asal usul
dan variasi apa saja yang dimiliki oleh ‘musuh’ kita.
Laju mutasi penting karena semakin cepat virus bermutasi maka semakin cepat virus
berubah tingkah lakunya. Virus yang memiliki laju mutasi yang tinggi akan lebih sulit untuk
membuat vaksinnya karena bisa saja bagian virus telah berubah saat vaksin selesai dibuat [4].
Akankah mutasi membuat virus semakin berbahaya? Menurut Dr. Benjamin Neuman, kepala
Texas A&M University-Texarkana bahwa hampir semua mutasi akan membuat sebagian virus
bekerja lebih lemah dari sebelumnya. Kasus yang terjadi di Italia dan juga New York,
menunjukkan tidak lebih menular atau fatal daripada untai RNA asli yang muncul di Wuhan,
pada akhir Desember. Meskipun masih ada virus dapat bermutasi menjadi lebih agresif, namun
kemungkinan ini sangat langka, virus RNA lebih cenderung bermutasi menjadi versi yang lebih
lemah [5]. Tingginya mutasi pada virus membuat ilmuwan memfokuskan penelitian vaksin pada
bagian yang kemungkinan mutasinya lebih kecil, sehingga vaksin dapat efektif untuk jangka
panjang[3]. Biasanya versi virus yang lebih tua akan mewariskan karakter kekebalan yang sama
terhadap seluruh kelompok varian keturunannya. Dr. Mark Schleiss, seorang spesialis penyakit
menular Institute for Molecular Virology di University of Minnesota mengatakan bahwa analogi
untuk COVID-19 adalah penyakit gondong. Selama lebih dari 45 tahun, kita telah memiliki
vaksin yang sangat efektif untuk campak, gondong, dan rubella (yang juga merupakan virus
RNA) [5]. Maka biosistematika berperan penting dalam menyusun filogenetik untuk dapat
mengidentifikasi nenek moyang Covid-19, mengidentifikasi perubahannya dan sejauh mana
virus berevolusi. Saat terjadi perubahan atau muncul variasi baru maka ilmuwan dapat
memantau pula seberapa efektif vaksin tersebut.
Sindanita Yulianty 1906885
Peta penyebaran virus
Mutasi tidak berhenti setelah virus berpindah dari hewan ke manusia. Begitu pula dengan
virus Covid-19, setelah berada di dalam tubuh manusia terjadi mutasi sehingga virus dapat
berpindah antar manusia. Meskipun beragam, kode genetik virus Covid-19 dari seluruh dunia
menunjukkan virus ini terbagi menjadi beberapa kelompok. Peneliti dari Jerman pada bulan
April mengidentifikasi terdapat tiga kelompok besar yaitu A, B dan C. Kelompok A dan C banyak
ditemui di Eropa dan Amerika sedangkan kelompok B lebih banyak ditemukan di Timur Asia,
selain itu terdapat beberapa kelompok kecil lainnya. Namun saat ditelusuri lebih lanjut dan
disusun filogenetiknya semua virus tersebut berasal dari daerah asal yaitu Wuhan atau utara
Italia[4].
Karena semua orang belum pernah terkena virus ini, artinya semua orang berpotensi untuk
terinfeksi. Melihat penyebaran yang sangat cepat, maka sebisa mungkin kita mengurangi
penularan antar sesama manusia, baik dengan mencuci tangan maupun menjaga jarak, tinggal
di rumah dan menjauhi zona merah. Semenjak pandemi Covid-19, data penyebaran virus
sangatlah penting. Dengan melihat peta penyebarannya kita tahu daerah mana saja yang sudah
terpapar virus ini dan berusaha untuk melacak siapa saja yang sudah terinfeksi sehingga kita
dapat mengurangi kemungkinan tertular virus dengan cara atau bentuk apa pun. Tersedianya
peta persebaran ini berkat bioinformatika dan berbagai bidang lainnya yang terus
memperbaharui data persebaran Covid-19 dari waktu ke waktu.
Biosistematika dan evolusi, apakah penting dalam pandemi Covid-19?
Meski awalnya terdengar asing, namun ternyata biosistematika dan evolusi dekat dengan
kehidupan kita. Dengan biosistematika dan evolusi kita mengetahui berbagai keanekaragaman
virus, bagaimana kekerabatan virus tersebut, waktu kemunculan, asal usul virus, dan proses
evolusinya. Selain itu juga berperan dalam mendiagnosis virus dan mengenali berbagai variasi
serta perubahannya dari waktu ke waktu. Dengan mengetahui karakter dan kekerabatan antar
virus kita dapat mencari kelemahan virus untuk mengembangkan vaksin yang efektif untuk
jangka waktu yang panjang.
Lalu bagaimana jika kita menghadapi Covid-19 tanpa biosistematika dan evolusi? Tentu
ceritanya akan berbeda.
Sumber Bacaan:
[1] Woodward, Aylin. (2020). Scientists found an even closer match between the new
coronavirus and a virus in bats — more evidence that it jumped naturally, like other viruses.
[Online] https://www.businessinsider.sg/coronavirus-natural-jump-from-bats-more-likelythan-lab-leak-2020-4?r=US&IR=T
Sindanita Yulianty 1906885
[2] Kamel Boulos, M. N., & Geraghty, E. M. (2020). Geographical tracking and mapping of
coronavirus disease COVID-19/severe acute respiratory syndrome coronavirus 2 (SARSCoV-2) epidemic and associated events around the world: how 21st century GIS
technologies are supporting the global fight against outbreaks and epidemics. International
journal of health geographics, 19(1), 8. https://doi.org/10.1186/s12942-020-00202-8
[3] Kelland, Kate. (2020). Genetic mutation study finds new coronavirus spread swiftly in late
2019. [Online] https://www.thejakartapost.com/life/2020/05/07/genetic-mutation-studyfinds-new-coronavirus-spread-swiftly-in-late-2019.html
[4]
Sample,
Ian.,
Nicola
Davis.
(2020).
Will
Covid-19
mutate
into
a
more
dangerous
virus?.
[Online]
https://www.theguardian.com/world/2020/may/10/will-covid-19-mutate-into-a-moredangerous-virus
[5] Ries, Julia. (2020). COVID-19 Will Mutate — What That Means for a Vaccine. [Online]
https://www.healthline.com/health-news/what-to-know-about-mutation-and-covid-19#What-thismeans-for-a-vaccine
Download