Uploaded by kirokirokiro869

PUTUSNYA PERKAWINAN

advertisement
BAB 10
PUTUSNYA PERKAWINAN
Suatu perkawinan dapat putus dan berakhir karena
beberapa hal, yaitu karena terjadinya talak yang
dijatuhkan oleh suami terhadap istrinya, atau karena
perceraian yang terjadi antara keduanya, atau karena
sebab-sebab lain. Hal-hal yang menyebabkan putusnya
perkawinan itu akan dijelaskan berikut ini.
A. TALAK
1. Pengertian Talak
Talak terambil dari kata “ithlaq” menurut
Bahasa
artinya
“melepaskan
atau
meninggalkan. Menurut istilah syara’, talak
yaitu:
َ ِ‫َح ُّل َرب‬
َّ ‫عَل قَ ِة‬
َّ ‫ط ِة‬
َ ‫الز َواجِ َواِ ن َها ُء ال‬
‫الز و ِجيَّ ِة‬
“Melepas tali perkawinan dan mengakhiri
hubungan suami istri”
Al-Jaziry mendefinisikan:
َّ َ ‫ا‬
‫ص‬
ٍ ‫صو‬
ُ ‫صانَ َحلَّ ِه بِلَفظٍ َمخ‬
َ ‫لط ََل ُق اِزَ الَة ُ النَّكَحِ اَو نُق‬
Talak ialah menghilangkan ikatan perkawinan
atau mengurangi pelepasan ikatannya dengan
menggunakan kata-kata tertentu.
Menurut Abu Zakaria AL-Anshari, talak
ialah:
َّ ِ‫َاح ِب َلفظ‬
‫ق َونَح ِوه‬
َ ‫َح ُّل‬
ِ ‫الط َلَل‬
ِ ‫عق ِد النَّك‬
Melepas tali akad nikah dengan kata talak dan
yang semacamnya.
Jadi, talak itu ialah menghilangkan
ikatan perkawinan sehingga setelah hilangnya
ikatan perkawinan itu istri tidak lagi halal bagi
suaminya, dan ini terjadi dalam hal talak ba’in,
sedangkan arti mengurangi pelepasan ikatan
perkawinan ialah berkurangnya hak talak bagi
suami yang mengakibatkan jumlah talak
manjadi hak suami dari tiga menjadi dua, dari
dua menjadi satu dan dari satu menjadi hilang
hak talak itu, yaitu terjadi dalam talak raj’i.
2. Macam-macam Talak.
Ditinjau dari segi waktu dijatuhkannya
talak itu, mala talak dibagi menjadi tiga
macam, sebagai berikut:
a. Talak Sunni, yaitu talak yang dijatuhkan
sesuai dengan tuntunan sunah. Dikatakan
talak sunni jika memenuhi empat syarat:
1. Istri yang ditalak sudah pernah digauli,
bila talak dijatuhkan terhadap istri
yang belum pernah digauli, tidak
termasuk talak sunni.
2. Istri dapat segera melakukan iddah
suci setelah ditalak, yaitu dalam
keadaan suci dari haid. Menurut ulama
Syafi’iyah, perhitungan iddah bagi
wanita berhaid ialah tiga kali suci,
bukan tiga kali haid. Talak terhadap
istri
yang
telah
lepas
haid
(menopause) atau belum pernah haid,
atau sedang hamil, atau talak karena
suami meminta tebusan (khulu’), atau
ketika istri dalam haid, semuanya tidak
temasuk dalam talak sunni.
3. Talak itu dijatuhkan ketika istri dalam
keadaan suci, baik di permulaan, di
pertengahan maupun di akhir suci,
kendati beberapa saat lalu datang
haid.
4. Suami tidak pernah menggauli istri
selama masa suci dimana talak itu
dijatuhkan. Talak yang dijatuhkan oleh
suami ketika istri dalam keadaan suci
dari haid tetapi pernah digauli, tidak
termasuk talak sunni.
b. Talak Bid’i, yaitu talak yang dijatuhkan
tidak sesuai atau bertentangan dengan
tuntunan
sunnah,
tidak
memenuhi
ssyarat-syarat talak sunni. Termasuk talak
bid’i ialah:
1. Talak yang dijatuhkan terhadap istri
pada waktu haid (menstruasi), baik di
permulaan
haid
maupun
di
pertengahannya.
2. Talak yang dijatuhkan terhadap istri
dalam keadaan suci tetapi pernah
digauli oleh suaminya dalam keadaan
suci dimaksud.
c. Talak la sunni wala bid’i, yaitu talak yang
tidak termasuk kategori talak sunni dan
tidak pula termasuk talak bid’i, yaitu:
1. Talak yang dijatuhkan terhadap istri
yang belum pernah digauli.
2. Talak yang dijatuhkan terhadap istri
yang belum pernah haid, atau istri
yang telah lepas haid.
3. Talak yang dijatuhkan terhadap istri
yang sedang hamil.
Ditinjau dari segi tegas dan tidaknya
kata-kata yang dipergunakan sebagai
ucapan talak, maka talak dibagi menjadi
dua macam, sebagai berikut:
a. Talak Sharih, yaitu talak dengan
mempergunakan
kata-kata
yang
jelas dan tegas, dapat dipahami
sebagai pernyataan talak atau cerai
seketika diucapkan, tidak mungkin
dipahami lagi.
Imam
Syafi’i
mengatakan
bahwa kata-kata yang dipergunakan
untuk talak sharih ada tiga, yaitu
talak, firaq, dan sarah, ketiga ayat itu
disebut dalam Al-Quran dan Hadits.
Ahl
al-Zhahiriyah
berkata
bahwa talak tidak jatuh kecuali
dengan mempergunakan salah satu
dari tiga kata tersebut, karena syara’
telah mempergunakan kata-kata ini,
padahal talak adalah perbuatan
ibadah,
karenanya
mempergunakan
telah
ditetapkan
diisyaratkan
kata-kata
oleh
yang
syara’.
Beberapa contoh talak sharih ialah
seperti
suami
berkata
kepada
istrinya:
1. Engkau saya talak sekarang juga.
Engkau saya cerai sekarang juga.
2. Engkau saya firaq sekarang juga.
Engkau saya pisahkan sekarang
juga.
3. Engkau saya sarah sekarang juga.
Engkau saya lepas sekarang juga.
Apabila suami menjatuhkan
talak terhadap istrinya dengan talak
sharih maka menjadi jatuhlah talak
itu dengan sendirinya, sepanjang
ucapan
itu
dinyatakan
dalam
keadaan sadar dan atas kemauan
sendiri.
b. Talak Kinayah, yaitu talak dengan
mempergunakan kata-kata sindiran,
atau samar-samar, seperti suami
berkata kepada istrinya:
1. Engkau sekarang telah jauh dari
diriku.
2. Selesaikan
sendiri
segala
urusanmu.
3. Janganlah engkau mendekati
aku lagi.
4. Keluarlah engkau dari rumah ini
sekarang juga.
5. Pergilah engkau dari tempat ini
sekarang juga.
6. Susullah keluargamu sekarang
juga.
7. Pulanglah
ke
rumah orang
tuamu sekarang.
8. Beriddahlah
engkau
dan
bersihkan kandungannmu itu.
9. Saya sekarang telah sendirian
dan hidup membujang.
10. Engkau sekarang telah bebas
merdeka, hidup sendirian.
Ucapan-ucapan
tersebut
mengandung kemungkinan cerai dan
mengandung kemungkinan lain.
Tentang kedudukan talak dengan
kata-kata kinayah atau sindiran ini
sebagaimana
Taqiyuddin
dikemukakan
Al-Husaini,
oleh
bergantung
kepada niat suami. Artinya, jika suami
dengan kata-kata tersebut bermaksud
menjatuhkan
talak,
maka
menjadi
jatuhlah talak itu, dan jika suami dengan
kata-kata itu tersebut tidak bermaksud
menjatuhkan talak maka talak itu tidak
jatuh.
Ditinjau dari segi ada atai tidak
adanya
kemungkinan
bekas
suami
merujuk kembali bekas istri, maka talak
dibagi menjadi dua macam, sebagai
berikut:
a. Talak
Raj’i,
yaitu
talak
yang
dijatuhkan suami terhadap istrinya
yang pernah digauli, bukan karena
memperoleh ganti harta dari istri,
talak yang pertama kali dijatuhkan
atau yang kedua kalinya.
Dr.
As-Siba’i
mengatakan
bahwa talak raj’i adalah talak yang
untuk
kembalinya
kepada
bekas
memerlukan
bekas
suami
istri
tidak
pembaruan
akad
nikah, tidak memerlukan mahar,
serta
tidak
memerlukan
persaksian.
Setelah terjadi talak raj’i maka
istri wajib beriddah, hanya bila
kemudian suami hendak kembali
kepada
bekas
istri
sebelum
berkahir masa iddah, maka hal itu
dapat
dilakukan
dengan
menyatakan rujuk, tetepi ika dalam
masa iddah tersebut bekas suami
tidak menyatakan rujuk terhadap
bekas
istrinya,
maka
dengan
berakhirnya
masa
iddah
itu
kedudukan talak menjadi talak
ba’in;
kemudian
jika
sesudah
berakhirnya masa iddah itu suami
ingin kembali kepada bekas istrinya
maka wajib dilakukan dengan akad
nikah baru dan dengan mahar yang
baru pula.
Talak raj’i hanya terjadi pada
talak pertama dan kedua saja,
berdasarkan firman Allah dalam
surat Al-Baqarah ayat 229:
ٌۢ ‫س‬
َّ َ ‫ا‬
‫اك بِ َمع ُروفٍ اَو ت َس ِري ٌۢح‬
َ ‫لط ََل ُق َم َّر ٰت ِن ۖ فَاِم‬
‫ان‬
َ ‫ِباِح‬
ٍ ‫س‬
Talak (yang dapat dirujuk) dua kali.
Setelah itu noleh rujuk lagi dengan
cara
yang
makruf
atau
menceraikan dengan cara yang
baik.
Ayat
ini
memberi
makna
bahwa talak yang disyariatkan Allah
ialah talak yang dijatuhkan oleh
suami
satu
demi
satu,
tidak
sekaligus, dan bahwa suami boleh
memelihara kembali bekas istrinya
setelah talak pertama dengan cara
yang baik, demikian pula setelah
talak kedua. Arti kembali ialah
dengan
merujuknya
dan
mngembalikannya ke dalam ikatan
perkawinan
dan
berhak
mengumpuli dan mempergaulinya
dengan
cara
yang
baik.
Hak
merujuk hanya terdapat dalam
talak raj’i saja.
b. Talak ba’in, yaitu talak yang tidak
memberi hak merujuk bekas suami
terhadap bekas istrinya. Untuk
mengembalikan bekas istri ke
dalam ikatan perkawinan dengan
bekas suami harus melalui akad
nikah baru, lengkap dengan rukun
dan syarat-syaratnya.
Talak ba’in ada dua macam, yaitu
talak ba’in sughro dan talak ba’in
kubro.
-
Talak ba’in shugro ialah talak
ba’in
yang
pemilikan
menghilangkan
bekas
suami
terhadap bekas istri tetapi
tidak
menghilangkan
kehalalan bekas suami untuk
kawin kembali dengan bekas
istri. Artinya, bekas suami
boleh mengadakan akad nikah
baru dengan bekas istri, baik
dalam masa iddahnya maupun
sesudah
berakhir
masa
iddahnya. Termasuk dalam
talak ba’in shugro ialah:
1) Talak sebelum berkumpul
2) Talak
dengan
penggantian harta atau
yang disebut khulu’
3) Talak karena aib (cacat
badan),
karena
salah
seorang dipenjara, talak
karena
penganiayaan,
atau yang semacamnya.
-
Talak ba’in kubro, yaitu talak
yang
menghilangkan
pemilikan
bekas
suami
terhadap bekas istri serta
menghilangkan
kehalalan
bekas suami unutk kawin
kembali dengan bekas istrinya,
kecuali setelah bekas istri itu
kawin dengan laki-laki lain,
telah
berkumpul
dengan
suami kedua itu serta telah
bercerai
selesai
wajar
dan
telah
menjalankan
masa
iddahnya. Talak ba’in kubro
terjadi pada talak yang ketiga.
Hal ini sesuai dengan firman
Allah dalam surat Al-Baqarah
ayat 230:
َ ‫فَاِن‬
‫طلَّقَ َها فَ ََل تَحِ ُّل لَ ٗه مِ ٌۢن َبع ُد َحتّٰى ت َن ِك َح‬
‫زَ و ًجا غَي َر ٗه‬
Kemudian
jika
suami
mentalaknya (sesudah talak
yang
kedua),
maka
perempuan itu tidak halal lagi
baginya, sampai dia kawin
dengan suami yang lain.
Ditinjau dari segi cara suami
menyampaikan
talak
terhadap
istrinya,
ada
beberapa
talak
macam, yaitu sebagai berikut:
a. Talak dengan ucapan, yaitu
talak yang disampaikan oleh
suami
dengan
ucapan
dihadapan istrinya dan istri
mendengar secara langsung
ucapan suaminya itu.
b. Talak dengan tulisan, yaitu
talak yang disampaikan oleh
suami secara tertulis lalu
disampaikan kepada istrinya,
kemudian istri membacanya
dan
memahami
maksudnya.
isi
Talak
dinyatakan
secara
dan
yang
tertulis
dapat dipandang jatuh (sah),
meski
dapat
yang
bersangkutan
mengucapkannya.
Sebagaimana talak dengan
ucapan ada talak sharih dan
talak kinayah, maka talak
dengan tulisan demikian pula.
Talak sharih jatuh dengan
semata-mata
pernyataan
talak, sedangkan talak kinayah
bergantung pada niat suami.
c. Talak dengan isyarat, yaitu
talak yang dilakukan dalam
bentuk isyarat oleh suami
yang tuna wicara. Isyarat ,bagi
suami yang tuna wicara (bisu)
dapat dipandang sebagai alat
komunikasi
untuk
memberikan pengertian dan
menyampaikan maksud dan isi
hati. Oleh karena itu, isyarat
baginya sama dengan ucapan
bagi yang dapat berbicara
dalam
menjatuhkan
talak,
sepanjang isyarat itulah satusatunya
jalan
untuk
menyampaikan maksud yang
terkandung dalam hatinya.
Sebagian
fuqaha
mensyaratkan bahwa untuk
sahnya talak dengan isyarat
bagi orang tuna wicara itu ia
adalah buta huruf. Jika yang
bersangkutan
mengenal
tulisan dan dapat menulis,
maka talak
baginya tidak
cukup dengan isyarat, karena
tulisan
itu
lebih
menunjukkan
dapat
maksud
ketimbang isyarat, dan tidak
beralih tulisan ke isyarat,
kecuali darurat, yakni tidak
dapat menulis.
d. Talak dengan utusan, yaitu
talak yang disampaikan oelh
suami kepada istrinya melalui
perantaraan
sebagai
orang
utusan
lain
untuk
menyampaikan maksud suami
itu kepada istrinya yang tidak
berada
dihadapan
bahwa
suami
suami
mentalak
istrinya. Dalam hal ini utusan
berkedudukan sebagai wakil
suami
untuk
menjatuhkan
talak suami dan melaksanakan
talak itu.
3. Rukun dan Syarat Talak
Rukun talak ialah unsur pokok yang harus
ada dalam talak dan terwujudnya talak
bergantung ada dan lengkapnya unsur-unsur
yang dimaksud. Rukun talak ada empat,
sebagai berikut:
a. Suami. Suami adalah yang memiliki hak
talak dan berhak menjatuhkannya, selain
suami tidak berhak menjatuhkannya.
Oleh
karena
talak
itu
bersifat
menghilangkan ikatan perkawinan, maka
talak tidak mungkin terwujud kecuali
setelah nyata adanya akad perkawinan
yang sah.
Abu Ya’la dan Al-Hakim meriwayatkan
hadits
dari
Jabir bahwa
Rasulullah
bersabda :
َ
ٍ‫طَلَقَ االً بـَع َد نِكَاحِ َوالَ عِتقَ اِالَ بـَع َد مِ لك‬
Tidak ada talak kecuali setelah akad
perkawinan dan tidak ada pemerdekaan
kecuali setelah ada pemilikan.
Abu daud dan Al-Tirmidzi meriwayatkan
hadits dari Ami ibn Syu’aib bahwa
rasulullah bersabda:
ُ‫الَنَ َذ َر الِب ِن ا َ َد َم فِي َما الَ يم ِلكُ َوالَ عِتقَ فِي َما الَ ي َم ِلك‬
َ َ‫َو ال‬
ُ‫طَلَقَ فِي َما الَ ي َم ِلك‬
Tidak ada nazar bagi anak Adam
(manusia) tentang hal yang baik
dimiliki, tidak ada pemerdekaan budak
dalam hal tidak dimiliki, dan tidak ada
talak dalam hal yang tidak dimiliki.
Untuk sahnya talak, suami yang
menjatuhkan talak diisyaratkan:
1. Berakal. Suami yang gila tidak sah
menjatuhkan talak. Yang dimaksud
dengan gila dalam hal ini ialah
hilang akal atau rusak akal karena
sakit, termasuk ke dalamnya sakit
pitam, hilang akal karena sakit
panas atau sakit ingatan karena
rusak syaraf otaknya.
2. Baligh. Tidak dipandang jatuh talak
yang dinyatakan oleh orang yang
belum dewasa. Dalam hal ini ulama
Hanabilah mengatakan bahwa talak
oleh anak yang sudah mumayyiz
kendati umur anak itu kurang dari
10 tahun asalkan ia telah mengenal
arti
talak
dan
mengetahui
akibatnya, talak dipandang jatuh.
3. Atas
kemauan
sendiri.
Yang
dimaksud atas kemauan sendiri
disini ialah kehendak pada suami
diri suami untuk menjatuhkan talak
itu dan dijatuhkan atas pilihan
sendiri, bukan dipaksa orang lain.
Kehendak dan kesukarelaan
melakukan
dasar
taklif
perbuatan
dan
menjadi
pertanggung
jawaban. Oleh karena itu, orang
yang dipaksa melakukan sesuatu
(dalam hal ini menjatuhkan talak)
tidak
bertanggung
jawab
atas
perbuatannya. Hal ini sesuai dengan
sabda Rasulullah:
َ ‫تى اَلخ‬
َّ ‫طا َو‬
‫الن س‬
َّ ‫ا َِّن‬
َ ‫ض َع‬
َ ‫َّللا َو‬
ِ ‫عن ا ُ َّم‬
‫ع َلي ِه‬
َ ‫يِانَ َو َمااس ت َك ِر هُوا‬
Sungguh Allah melepaskan dari
umatku tanggung jawabdari dosa
silap, lupa dan sesuatu yang
dipaksakan kepadanya.
b. Istri. Masing-masing suami hanya berhak
menjatuhkan talak terhadap istrinya
sendiri. Tidak dipandang jatuh talak yang
dijatuhkan terhadap istri orang lain.
Untuk sahnya talak, bagi istri yang
ditalak diisyaratkan sebagai berikut:
1. Istri itu masih tetap berada dalam
perlindungan kekuasaan suami. Istri
yang menjalin masa iddah talak raj’i
dari suaminya oleh hukum Islam
dipandang masih berada dalam
perlindungan
kekuasaan
suami.
Karenanya bila dalam masa itu suami
menjatuhkan talak lagi, dipandang
jatuh talaknya sehingga menambah
jumlah talak yang dijatuhkan dan
mengurangi hak talak yang dimiliki
suami. Dalam hal talak ba’in, bekas
suami tidak berhak menjatuhkan
talak lagi terhadap bekas istrinya
meski dalam masa iddahnya, karena
dengan talak ba’in itu bekas istri
tidak lagi berada dalam perlindungan
kekuasaan bekas suami.
2. Kedudukan istri yang ditalak itu
harus
berdasarkan
atas
akad
perkawinan yang sah. Jika ia menjadi
istri dengan akad nikah yang batil,
seperti akad nikah terhaddap wanita
dalam masa iddahnya, atau akad
nikah dengan perempuan saudara
istrinya
(memadu
antara
dua
perempuan bersaudara), atau akad
nikah dengan anak tirinya padahal
suami pernah menggauli ibu anak
tirinya itu dan anak tiri itu berada
dalam pemeliharaannya, maka talak
yang demikian itu tidak dipandang
ada.
c. Sighat Talak
Sighat
talak ialah kata-kata yang
diucapkan oleh suami terhadp istrinya yang
menunjukkan talak, baik itu berupa sharih
(jelas) maupun kinayah (sindiran), baik
berupa ucapan/lisan, tulisan, isyarat, bagi
suami
tuna
wicara
ataupun
dengan
suruhan orang lain.
Talak
tidak
pernuatan
menunjukkan
suami
dipandang
suami
jatuh
jika
terhadap
istrinya
kemarahannya,
semisal
memarahi
istri,
memukulnya,
mengantarkannya ke rumah orang tuanya,
menyerahkan barang-barangnya, tanpa
disertai pernyataan talak, maka yang
demikian bukan talak. Demikian pula niat
talak atau masih berada dalam pikiran dan
angan-angan,
tidak
diucapkan,
tidak
dipandang sebagai talak. Pembicaraan
suami tentang talak tetapi tidak ditujukan
terhadap istrinya juga tidak dipandang
sebagai talak.
d. Qashdu (Sengaja), artinya bahwa dengan
ucapan talak itu memang dimaksudkan
oleh yang mengucapkannya untuk talak,
bukan unutk maksud lain. Oleh karena itu,
salah ucap yang tidak dimaksud untuk talak
dipandang tidak jatuh talak, seperti suami
memberikan
istrinyam,
sebuah
semestinya
salak
ia
kepada
mengatakan
kepada istrinya itu kata-kata: “Ini sebuah
salak untukmu”, tetapi keliru ucapan,
berbunyi: “Ini sebuah talak untukmu”,
maka talak tidak dipandang jatuh.
4. Talak di Tangan Suami
Hukum Islam menetapkan hak talak bagi
suami dan suamilah yang memegang kendali
talak, karena suami dipandang telah mampu
memelihara kelangsungan hidup bersama.
Suami diberi beban membayar mahar dan
memikul nafkah istri dan anak-anaknya.
Demikian pula suami diwajibkan mejamin
nafkah istri selama ia menjalankan mas
iddahnya. Hal-hal tersebut menjadi pengikat
bagi suami untuk tidak menjatuhkan talak
dengan sesuka hati.
Pada
umumnya,
suami
dengan
pertimbangan akal dan bakat pembawaannya,
lebih tabah menghadapi apa yang kurang
menyenangkan ketimbang istri. Biasanya
suami tidak cepa-cepat menjatuhkan talak
karena sesuatu yang menimbulkan amarah
emosinya, atau karena sesuatu keburukan
pada diri istri yang memberatkan tanggung
jawab suami. Hal ini berbeda dengan istri,
biasanya wanita itu lebih menonjol sikap
emosionalnya,
kurang
menonjol
sikap
rohaniahnya, cepat marah, kurang tahan
menderita, mudah susah dan gelisah, dan jika
bercerai bekas istri tidak menanggung beban
materil terhadap bekas suaminya, tidak wajib
membayar mahar, sehingga andaikata talak
menjadi hak berada di tangan istri, maka besar
kemungkinan
istri
akan
lebih
mudah
menjatuhkan talak karena sesuatu sebab yang
kecil.
Al-Jurjawi mengemukakan bahwa wanita itu
biasanya lebih mudah goncang pendapatnya
menghadapi uji coba dan kesulitan hidup,
kurang teguh dalam menghadapi ha-hal yang
tidak disenangi. Biasanya wanita lebih mudah
gembira
dan
mudah
menjadi
susah.
Menjadikan hak talak di tangan suami akan
lebih melastarikan hisup suami istri ketimbang
hak talak itu di tangan istri
Dalam pada itu suami sebagai penanggung
jawab kebutuhan materil rumah tangga dan
menjadi pemimpin keluarga. Pada umumnya,
istri lebih tamak harta, sehingga andaikata hak
talak diserahkan kepada kebijaksanaan istri,
maka istri akan lebih senang berganti suami
hanya untuk menjamin hidup yang lebih baik
dan nafkah yang lebih besar dari suami yang
kedua, dan masa iddah masih memperoleh
jaminan nafkah dari bekas suami pertama.
Demikian pula halnya jika hak talak itu
berada di tangan suami dan istri secara sama,
artinya suami berhak menjatuhkan talak dan
demikian pula istri, maka persoalannya
menjadi lebih buruk dan lebih fatal, karena jika
terjadi perselisihan sedikit saja maka istri akan
cepat-cepat menjatuhkan talak. Oleh karena
itu, dijadikannya talak di tangan suami
mengandung hikmah yang besar. Kendati talak
di tangan suami saja masih banyak istri yang
mengadukan gugatan cerai lewat Pengadilan
Agama,
apalagi
kalua
istri
diberi
hak
menjatuhkan talak, maka bencana perceraian
akan melanda dimana-mana.
Dalam hal kekuasaan talak di tangan suami
itu, istri tidak perlu berkecil hati dan khawatir
akan kesewang-wenangan suami, karena
hukum Islam memberi kesempatan istri untuk
meminta talak kepada suaminya dengan
mengembalikan mahar atau menyerahkan
sejumlah harta tertentu kepada suami sebagai
ganti rugi agar suami dapat memperoleh istri
yang lain, kemudian atas dasar itu suami
menjatuhkan talak. Inilah yang disebut dengan
istilah khulu’ (talak tebus).
Juga
hukum
Islam
tidak
menutup
kemungkinan bagi istri untuk menyelamatkan
diri dari penderitaan yang menimpa dirinya
sehingga menimbulkan mudharat beginya bila
perkawinan
dilanjutkan,
seperti
suami
menderita sakit yang wajib dijauhi, suami
berperangai buruk, atau sebab-sebab lain
semacam itu, sehingga istri selalu merasa
tersiksa hidup bersama suaminya, maka istri
boleh mengajukan gugatan cerai kepada
Pengadilan
menceraikan
Agama,
kemudian
Hakim
antara
keduanya
melalui
keputusan pengadilan.
5. Persaksian Talak
Kebanyakan fuqaha berpendapat bahwa
talak itu dapat terjadi tanpa persaksian, yakni
dipandang sah oleh hukum Islam suami
menjatuhkan talak terhadap istrinya tanpa
kehadiran dan kesaksian dua orang saksi,
karena talak itu menjadi hak suami sehingga
suami berhak sewaktu-waktu menggunakan
haknya itu tanpa harus menghadirkan dua
orang saksi, dan sahnya talak itu tidak
bergantung kepada kehadiran saksi.
Menurut ketentuan hukum Islam, talak
adalah termasuk salah satu hak suami, Allah
menjadikan hak talak di tangan suami, tidak
menjadikan hak talak itu di tangan orang lain,
baik itu orang lain itu istri, saksi ataupun
pengadilan. Firman Allah dalam surat Al-Ahzab
ayat 49 menyatakan sebagai berikut:
َ ‫ت ث ُ َّم‬
…‫طلَّقت ُ ُموه َُّن‬
ِ ‫ٰ ٰٓياَيُّ َها الَّذِينَ ٰا َمنُ ٰٓوا اِذَا نَكَحت ُ ُم ال ُمؤمِ ٰن‬
Hai orang-orang yang beriman, jika kamu
menikahi
permpuan-perempuan
yang
beriman,
kemudian
kamu
mentalak
(menceraikan) meraka….
Ayat ini menyatakan bahwa kaum laki-laki
itu menikahi wanita lalu wanita itu menjadi
istrinya yang berada dalam kekuasaannya,
berkewajiban
memeliharanya,
sekiranya
berkeberatan menunaikan kewajibannya itu
maka suami berhak melepaskannya, sehingga
aktivitas menikahi bermula dari pihak suami,
demikian pula inisiatif talak dan hak mentalak
berada ditangan suami. Firman Allah dalam
surat Al-Baqarah ayat 231 menyatakan:
َ ‫َواِذَا‬
… ٍ‫س ۤا َء فَبَلَغنَ ا َ َجلَ ُه َّن فَاَم ِس ُكوه َُّن بِ َمع ُروف‬
َ ِ‫طلَّقت ُ ُم الن‬
Apabila kamu mentalak istri-istrimu, lalu
(dekat) sampai iddahnya, maka rujukilah
mereka dengan cara yang makruf, atau
ceraikanlah dengan cara yang makruf pula…
Ibnu Qayyim berkata bahwa talak itu
menjadi hak bagi orang yang menikahi, karena
itulah yang berhak menahan istri, yakni
merujuknya.
Suami
tidak
memerlukan
persaksian untuk mempergunakan haknya.
Tidak ada riwayat dari Rasulullah dan para
sahabatnya sesuatu yang menjadi dalil dan
alasan disyari’atkannya persaksian talak.
Dalam hal ini fuqaha Syi’ah Imamiyah
berbeda pendapat dengan fuqaha jumhur,
yaitu mereka (Syi’ah Imamiyah) berpendapat
bahwa persaksian dalam talak adalah syarat
sahnya talak. Alasan mereka ialah firman Allah
dalam surat At-Talak ayat 2:
َّ ‫عد ٍل ِمن ُكم َواَقِي ُموا ال‬
‫ش َها َدة َ ِ ّٰلِل‬
َ ‫َّواَش ِهدُوا ذَ َوي‬
Dan persaksikanlah dengan dua orang orang
saksi yang adil di antara kamu dan hendaklah
kamu tegakkan kesaksian itu karena Allah.
Al-Thabarani menuturkan bahwa zahir ayat
memerintahkan adanya persaksian untuk
taklak, dalam hal yang demikian juga
diriwayatkan
oleh
imam-imam
ahlulbait
seluruhnya dan bahwa hal itu menunjuk wajib
serta menjadi syarat sahnya talak.
Diantara
sahabat
yang
berpendapat
wajibnya persaksian dalam talak dan menjadi
syarat sahnya talak ialah Ali bin Abi Thalib dan
Imran bin Husein. Dari tabi’in ialah Al-Imam
Muhammad Al-Baqir, Ja’far Ash Shadiq, ‘Atho,
Ibnu Juraij dan Ibnu Sirin.
Diriwayatkan dari Ali bin Abi Thalib bahwa
beliau berkata kepada orang yang bertanya
tentang talak: Apakah talakmu telah engkau
persaksikan di hadapan dua orang saksi yang
adil sebagaimana Allah memerintahkannya?
Orang itu menjawab: Tidak. Maka Ali bin Abi
Thalib berkata: Pergilah engkau, talakmu itu
bukan talak yang sebenarnya.
Dalam hal persaksian talak ini rupanya
Pemerintah Republik Indonesia cenderung
kepada keharusan adanya persaksian talak
dimaksud. Hal ini dapat dilihat pada pasal 39
Undang-undang No.1 tahun 1974 tetntang
perkawinan
yang
menyatakan
bahwa
“perceraian hanya dapat dilakukan di depan
Sidang
Pengadilan
yang
berwenang”,
kemudian pasal 14 Peraturan Pemerintah No.9
tahun 1975 menyatakan bahwa “suami yang
telah melangsungkan perkawinan menurut
Agama Islam, yang akan menceraikan istrinya,
harus mengajukan surat kepada Pengadilan di
tempat tinggalnya, yang berisi pemberitahuan
bahwa dia bermaksud menceraikan istrinya
disertai dengan alasan-alasan serta meminta
kepada Pengadilan agar diadakan sidang unutk
keperluan itu.
Selanjutnya, pasal 16 Peraturan Pemerintah
ini menyatakan bahwa Pengadilan hanya
memutuskan
untuk
mengadakan
sidang
Pengadilan untuk menyaksikan perceraian
yang dimaksud dalam pasal apabila memang
terdapat
alasan-alasan
yang
cukup
sebagaimana dimaksud dalam pasal 19
Peraturan Pemerintah ini, dan Pengadilan
berpendapat
bahwa
antara
suami
istri
bersangkutan tidak mungkin didamaikan
untuk hidup rukun lagi dalam rumah tangga.
6. Hukum Menjatuhkan Talak
Stabilitas rumah tangga dan kontinuitas
kehidupan suami istri adalah tujuan utama
adanya perkawinan dan hal ini sangat
diperhatikan
oleh
syari’at
Islam.
Akad
perkawinan dimaksudkan untuk selama hidup,
agar dengan demikian suami istri menjadikan
rumah tangga sebagai tempat berteduh yang
nyaman
dan
permanen
agar
dalam
perlindungan rumah tangganya itu kedua
suami istri dapat menciptakan iklim rumah
tangga yang memungkinkan terwujudnya dan
terpeliharanya anak keturunan dengan sebaikbaiknya.
Untuk itu maka syari’at Islam menjadikan
pertalian suami istri dalam ikatan perkawinan
sebagai pertalian yang suci dan kokoh,
sebagaimana
Al-Quran
memberi
istilah
pertalian itu dengan mitsaq ghalizh (janji
kukuh). Firman Allah dalam surat An-Nisa’ ayat
21 menyatakan:
ً ‫غلِي‬
‫ظا‬
َ ‫َّواَخَذنَ مِ ن ُكم ِميثَاقًا‬
Dan mereka (istri-istrimu) telah mengambil
dari kamu janji yang kuat.
Oleh
karena
memelihara
itu
suami
terhubungnya
istri
tali
wajib
pengikat
perkawinan itu, dan tidak sepantasnya mereka
berusaha merusak dan memutuskan tali
pengikat tersebut. Meskipun suami oleh
hukum Islam diberi menjatuhkan talak, namun
tidak dibenarkan suami menggunakan hak itu
dengan gegabah dan sesuka hati, apalagi
hanya menurutkan hawa nafsunya.
Menjatuhkan talak tanpa alasan dan sebab
yang dibenarkan adalah termasuk perbuatan
tercela, terkutuk dan dibenci oleh Allah.
Rasulullah bersabda:
َّ َ ‫َّللاِ ا‬
‫لط ََل ُق‬
َّ َ ‫َض اَل َح ََل ِل عِن َد‬
ُ ‫أَبغ‬
Perkara halal yang paling dibenci Allah ialah
menjatuhkan talak.
Hadits ini menjadi dalil bahwa diantara jalan
halal itu ada yang dimurkai Allah jika tidak
dipergunakan sebagaimana mestinya dan yang
paling dimurkai pelakunya tanpa alasan yang
dibenarkan ialah perbuatan menjatuhkan
talak. Maka menjatuhkan talak itu sama sekali
tidak ada pahalanya dan tidak dipandang
sebagai perbuatan ibadah. Hadits ini juga
menjadi dalil bahwa suami wajib selalu
menjauhkan diri dari menjatuhkan talak selagi
masih ada jalan untuk menghindarkannya.
Suami hanya dibenarkan menjatuhan talak jika
terpaksa,
tidak
ada
jalan
menghindarinya, dan talak
lain
untuk
itulah salah
satunya jalan terciptanya kemaslahatan.
Istri yang meminta talak kepada suaminya
tanpa sebab dan alasan yang dibenarkan
adalah perbuatan tercela, sebagai mana sabda
Rasulullah:
َ ‫سأَلَت زَ و َج َها‬
‫علَي َها‬
َ ‫ط ََلقًا مِ ن غَي ِر بَأ ٍس فَ َح َرا ُم‬
َ ٍ‫اَيُّ َما ام َرأَة‬
.‫َرائِ َحةُ ال َجنَّ ِة‬
Manakala istri menuntut cerai dari suaminya
tanpa alasan, maka haram baginya bau surga.
Para fuqaha berbeda pendapat tentang
hukum asal menjatuhkan talak oleh suami.
Yang paling tepat diantara pendapat itu ialah
pendapat yang mengatakan bahwa suami
diharamkan menjatuhkan talak kecuali karena
darurat (terpaksa). Pendapat itu dikemukakan
oleh
ulama
Hanafiyah
dan
Hanabilah.
Alasannya ialah hadits yang menyatakan:
‫ق‬
ٍ ‫ق مِ ط ََل‬
ٍ ‫َل َعنَ هللاُ كُ َّل ذَ َّوا‬
Allah mengutuk suami tukang pencicip lagi
suka mentalak istri.
Mereka
ini
juga
beralasan
bahwa
menjatuhkan talak berarti mengkufuri nikmat
Allah, sebab perkawinan itu termasuk nikmat
dan anugerah Allah, padahal mengkufuri
nikmat Allah itu dilarang. Oleh karena itu,
menjatuhkan talak tidak boleh, kecuali karena
darurat (terpaksa).
Diantara darurat yang mebolehkan suami
menjatuhkan talak ialah keraguan suami
terhadap perilaku istri, tertanam tidak senang
di hati suami terhadap istri. Apabila tidak ada
hajat yang mengharuskan adanya talak,
menjadikan perbuatannya itu mengkufuri
nikmat Allah, maka talak dalam keadaan
demikian dilarang.
Syara’ menjadikan talak sebagai jalan yang
sah unutk bercerai suami istri, namun syara’
membenci terjadinya perbuatan ini dan tidak
direstui dijatuhkannya talalk tanpa sebab atau
alasan. Adapun sebab-sebab dan alasanalasan untuk jatuhnya talak itu adakalanya
menyebabkan
kedudukan
hukum
talak
menjadi wajib, adakalanya menjadi haram,
adakalanya menjadi musibah dan adakalanya
menjadi sunat.
Talak menjadi wajib bagi suami atas
permintaan istri dalam hal suami tidak mampu
menunaikan hak-hak istri serta menunaikan
kewajibannya sebagai suami, seperti suami
tidak mampu mendatangi istri. Dalam hal ini
istri berhak menuntut talak dari suaminya dan
suaminya wajib memenuhi tuntutan istri,
jangan membiarkan istri terkatung-katung
ibarat orang yang digantung, yakni tidak
dilepaskan tetapi tidak dijamin hak-haknya.
Ulama Hanabilah mewajibkan talak dalam
hal terjadi kasus syiqaq jika kedua hakam
berpendapat bahwa talak itualah satu-satunya
jalan untuk mengakhiri persengkataan suami
istri. Demikian pula dalam kasus ila, yakni
suami bersumpah tidak akan mencampuri
istrinya dan telah berlalu masa empat bulan
setelah sumpah tersebut si suami tidak
mencabut sumpahnya itu, berdasarkan firman
Allah dalam surat Al-Baqarah ayat 226-227:
‫ُّص اَربَعَ ِة اَش ُه ٍۚ ٍر فَاِن فَ ۤا ُءو فَا َِّن‬
ُ ‫س ۤا ِٕى ِهم ت ََرب‬
َ ِ‫ِللَّذِينَ يُؤلُونَ مِ ن ن‬
َّ ‫عزَ ُموا‬
‫علِيم‬
َ ‫َّللا‬
َ ‫سمِ يع‬
َ ‫ َواِن‬. ‫غفُور َّرحِ يم‬
َ ‫َّللا‬
َ ّٰ ‫الط ََلقَ فَا َِّن‬
َ ّٰ
Kepada orang-orang yang meng-ila istrinya
diberi tanggguh empat bulan (lamanya).
Kemudian jika mereka kembali (kepada
istrinya)
maka
sungguh
Allah
Maha
Pengampun lagi Maha Penyayang. Dan jika
mereka berazam (bertetap hati) talak, maka
sungguh Allah Maha Mendengar lagi Maha
Tahu.
Meng-ila istri maksudnya bersumpah tidak
akan mencampuri istri. Dengan sumpah ini
seorang
istri
menderita
karena
tidak
disetubuhi dan tidak pula diceraikan. Setalah
empat bulan berselang sumpah suami tidak
hendak
kembali
kepada
istrinya,
maka
wajiblah ia menjatuhkan talaknya, agar
dengan demikian istri tidak terkatung-katung
seperti orang yang digantung, sedangkan jika
suami berkehendak kembali lagi, maka ia wajib
membayar kafarah sumpah.
Talak itu diharamkan jika dengan talak itu
kemudian suami berlaku serong, baik dengan
bekas istrinya ataupun dengan wanita lain,
suami diharamkan menjatuhkan talak jika hal
itu mengakibatkan terjatuhnya suami ke
dalam perbuatan haram.
Sayyid Sabiq mengemukakan bahwa talak
diharamkan jika tidak ada keperluan untuk itu,
karena talak yang demikian menimbulkan
mudharat, baik bagi suami maupun diri istri,
serta melenyapkan kemaslahatan kedua suami
istri itu tanpa alasan. Talak yang demikian ini
bertentangan dengan sabda Rasulullah:
‫ار‬
ِ َ‫ض َر َر َوال‬
َ َ‫ال‬
َ ‫ض َر‬
Tidak boleh timbul mudharat dan tidak boleh
saling menimbulkan mudharat.
Dalam riwayat lain dikatan bahwa talak
tanpa sebab adalah makruh hukumnya,
berdasarkan hadits yang menetapkan bahwa
talak merupakan jalan yang halal yang paling
dibenci oleh Allah, yakni dibenci jika tidak ada
sebab yang dibenarkan, sedangkan Nabi
menamakannya halal (tidak haram), juga
karena talak itu menghilangkan perkawinan
yang di dalamnya terkandung kemaslahatankemaslahatan yang disunatkan, sehingga talak
itu hukumnya makruh.
Talak itu mubah hukumnya (dibolehkan)
ketika ada keperluan untuk itu, yakni karena
jeleknya perilaku istri, bukannya sikap istri
terhadap suami, atau suami menderita
madharat lantaran tingkah laku istri, atau
suami tidak mencapai tujuan perkawinan dari
istri.
Talak disunatkan jika istri rusak moralnya,
berbuat zina, atau melanggar laranganlarangan
agama,
atau
kewajiban-kewajiban
meninggalkan
agama
seperti
meninggalkan shalat, puasa, istri tidak ‘afifah
(menjaga diri, berlaku terhormat). Dalam hal
ini
ulama
Hanabilah
mempunyai
dua
pendapat, pertama sunat hukumnya dan yang
kedua wajib hukumnya. Dinukilkan dari Imam
Ahmad bahwa mentalak istri yang demikian ini
adalah wajib, terutama jika istri berbuat zina,
atau meninggalkan shalat, atau meinggalkan
puasa. Menurut beliau, tidak seyogyanya istri
yang demikian dipelihara terus, karena akan
menurunkan maratabat agama, mengganggu
tempat tidur suami, dan tidak terjamin
keamanan anak yang dilahirkan.
7. Hikmah Talak
Allah Yang Maha Bijaksana menghalalkan
talak
tapi membencinya,
kecuali
untuk
kepentingan suami, istri atau keduanya, atau
untuk kepentingan keturunannya. Dalam
masalah ini mengandung dua hal yang
merupakan sebab terjadinya talak:
a. Kemandulan. Kalau seorang laki-laki
mandul, maka ia tidak akan mempunyai
anak
padahal
anak
merupakan
keutamaan perkawinan. Dengan anak,
keturunan dunia menjadi makmur. Begitu
pula dengan perempuan, apabila mandul,
maka keberadaanya Bersama suami akan
mengeruhkan
kejernihan
kehidupan.
Maka talak mempunyai faedah bagi suami
bila istri mandul. Juga berfaedah bagi istri
jika suami mandul. Sebab diantara tujuan
yang mendorong untuk kawin adalah
terwujudnya keturunan.
Kita melihat, banyak diantara orang
yang mandul meskipun dulunya penuh
dengan cinta kasih dan penuh dengan
faktor penyebab kebahagiaan dan
kekayaan
memperkuat
hubungan
mereka berdua namun kenikmatan
berupa anak tidak pernah mereka
rasakan. Padahal kamu tahu bahwa
diantara kesempurnaan kebahagiaan
dunia
adalah
keturunan,
bahkan
keturunan merupakan terpenting bagi
suami istri, sebagaimana firman Allah:
(٤٦:‫اَل َما ُل َوالبَنُونَ ِزينَةُ ال َحيٰ وةِ الدُّنيَ ٍۚا…)الكهفي‬
Harta dan anak-anak adalah perhiasan
kehidupan dunia….
b. Terjadinya
perbedaan
dan
pertentangan kemarahan, dan segala
yang mengingkari cinta diantara suami
istri. Kalah cinta kasih sudah hilang akan
berubahlah
pilar-pilar
perkawinan.
Mereka jatuh je lembah kehidupan yang
susah dan pemikiran yang bimbang
karena pada dasarnya persatuan dan
kekompakan
dalam
merupakan
kunci
kebahagiaan
serta
segala
hal
kesuksesan
dan
sumber
segala
kesenangan. Lain halnya kalau ada
tabiat yang berbeda dan hati yang tidak
Bersatu,
maka
menghilangkan
talak
kesengsaraan
akan
bagi
kedua belah pihak.
Kita mendengar dan menyaksikan
seseorang
dari
orang-orang
tidak
mungkin
talak
disebabkan
oelah
larangan agama atau bukan. Kita
menyaksikan
pula
orang
yang
meninggalkan negerinya padahal dia
mulia di sana. Kita menyaksikan orang
atau aliran lain karena lari dari
kehidupan perkawinan yang sangat
sulit. Banyak pula terjadi perselisihan
antara suami istri hinggga berkobarkobarlah
api
pertengkaran
dan
percekcokan antara keduanya hingga
rusaklah aturan keluargaan semua
berada dalam kejahatan.
Ketika terjadi pertentangan dan
pertengkaran antara suami istri, maka
akan menimbulkan bahaya besar bagi
anak-anak. Mereka akan berada dalam
kegoncangan, sebab kalau condong
kepada
ibu
mereka
takut
untuk
condong kepada bapak, begitu juga
sebaliknya. Keadaan seperti ini akan
menanamkan bibit cinta dan benci
sekaligus sehingga rusaklah akhlak dan
adab mereka. Inilah asal mula penyakit
dan penyebab kecelakaan.
Bangsa-bangsa maju dengan sinar
ilmu
pengetahuan
serta
pemeluk
agama lain telah mengakui adanya
hikmah
yang
menetapkan
nyata
adanya
ini,
lantas
kebijaksanaan
talak di dalam pengadilan. Negara maju
yang
pertama
mengakui
adalah
Amerika Serikat. Betapa agung agama
Islam dan betapa Maha Bijaksananya
Tuhan.
B. PERCERAIAN
Suatu perkawinan menjadi putus antara lain
karena perceraian. Dalam hukum Islam, perceraian
terjadi karena terjadinya khulu’, zhihar, ila’ dan
li’an. Berikut penjelasannya masing-masingnya:
1. Khulu’ dan Hikmahnya
Menurut para fuqaha, khulu’ kadang
dimaksudkan makna yang umum, yakni
perceraian dengan disertai sejumlah harta
sebagai ‘iwadh uang diberikan oleh istri
kepada suami untuk menebus diri agar
terlepas dari ikatan perkawinan, baik dengan
kala khulu’, mubara’ah maupun talak. Kadang
dimaksudkan makna yang khusus, yaitu talak
atas dasar ‘iwadh sebagai tebusan dari istri
dengan kata-kata khulu’ (pelepasan) atau yang
semakna seperti mubara’ah (pembebasan).
Hukum Islam memberi jalan kepada istri
yang menghendaki perceraian dengan
mengajukan khulu’, sebagaimana hukum
Islam memberi jalan kepada suami untuk
menceraikan istrinya dengan jalan talak.
Dasar hukum disyari’atkannya khulu’
ialah firman Allah dalam surat Al-Baqarah
ayat 229:
ٰٓ َّ ‫َو َال يَحِ ُّل لَ ُكم اَن ت َأ ُخذُوا مِ َّما ٰٓ ٰات َيت ُ ُموه َُّن شَيـًٔا ا‬
‫ِال اَن يَّخَافَا ٰٓ ا َ َّال‬
‫َّللاِ ۙ فَ ََل ُجنَا َح‬
ّٰ ‫َّللاِ ۗ فَاِن خِ فتُم ا َ َّال يُقِي َما ُحدُو َد‬
ّٰ ‫يُقِي َما ُحدُو َد‬
‫َّللاِ فَ ََل ت َعتَدُوهَا ٍَۚو َمن‬
ّٰ ‫ع َلي ِه َما فِي َما افت َ َدت بِ ٖه ۗ تِلكَ ُحدُو ُد‬
َ
ۤ
ٰ ُ ‫َّللا فَا‬
ّٰ ‫ولىِٕكَ ُه ُم‬
ِ ّٰ ‫يَّتَعَ َّد ُحدُو َد‬
َ‫الظ ِل ُمون‬
Tidak halal bagi kamu mengambil kembali
sesuatu yang telah kamu berikan kepada
mereka (istri) kecuali kalau keduanya
khawatir tidak akan dapat menjalankan
hukum-hukum Allah. Jika kamu khawatir
bahwa keduanya tidak dapat menjalankan
hukum-hukum Allah, maka tidak ada dosa
atas keduanya tentang bayaran yang
diberikan oleh istri unutk menebus dirinya.
Itulah hukum-hukum Allah maka janganlah
kamu melanggarnya. Barang siapa yang
melanggar hukum-hukum Allah, mereka
itulah orang-orang yang aniaya.
Sebagai dasar hukum dari hadits,
sebagaimana dikemukakan oleh Al-Shan’ani
bahwa istri Tsabit bin Qais nin Syams
bernama
Jamilah
datang
menghadap
Rasulullah mengadukan perihal dirinya
sehubungan dengan suaminya, sebagai
berikut:
‫ق‬
ُ ‫ار‬
ِ ‫سو َل اهللا ثَا‬
َ ‫ب‬
َ ‫عي‬
َ َ ‫ب تُ بنُ قـَي ٍس َما أ‬
َ َ‫ي‬
ِ ُ‫فى ُخل‬
ِ ‫علَي ِه‬
‫فى الِس الَ ِم‬
ِ ‫َوالَ دِي ِن َولَكِن أَك َرهُ ال ُكف َر‬
Ya Rasulullah, terhadap Tsabit bin Qais
saya tidak mencelanya tentang budi pekerti
dan agamanya namun saya membenci
kekufuran (terhadap suami) dalam Islam.
Terhadap
pengaduan
Jamilah
ini
Rasulullah bersabda kepadanya:
‫علَي ِه َحدِيـقَتَهُ؟‬
َ َ‫أَت ُ ِريدِن‬
Bersediakah engkau mengembalikan kebun
kepadanya (Tsabit)?.
Jamilah
menjawab:
Ya
(bersedia).
Kemudian Rasulullah memanggil Tsabit lalu
bersabda kepadanya:
ً‫ط ِل قَ َها ت َطلِيقة‬
َ ‫اِق ِب ِل ال َحدِيـقَةَ َو‬
Terimalah kebun itu dan ceraikanlah ia
(istrimu) satu talak.
Firman Allah dan hadits Rasulullah
tersebut
diatas
menjadi
dalil
disyari’atkannya khulu’ dan sahnya terjadi
khulu’ antara suami istri.
Para
fuqaha
berselisih
pendapat
tentang apakah untuk sahnya khulu’ itu
disyari’atkan istri harus nusyuz atau tidak?
Menurut zhahir hadits, demikian pula
golongan Zahiriyah dan pendapat Ibnul
Mundzir, bahwa untuk sahnya khulu’
haruslah istri nusyus, berdasarkan hadits
tersebut bahwa istri pewaris meminta cerai
berarti
dalam
keadaan
nusyuz.
Juga
berdasarkan firman Allah dalam surat AlBaqarah ayat 229:
ٰٓ َّ ‫ا‬
ِ‫َّللا‬
ّٰ ‫ِال اَن يَّخَافَا ٰٓ ا َ َّال يُقِي َما ُحدُو َد‬
Kecuali jika keduanya khawatir tidak akan
dapat menjalankan hukum-hukum Allah.
Demikian pula firman Allah dalam surat
An-Nisa’ ayat 19:
ٰٓ َّ ‫ا‬
‫ش ٍة ُّمبَ ِينَ ٍة‬
َ ِ‫ِال اَن يَّأتِينَ ِبفَاح‬
Kecuali jika mereka (istri-istri) melakukan
perbuatan keji yang nyata.
Al-Syafi’i, Abu Hanifah dan kebanyakan
ahli ilmu berpendapat bahwa khulu’ itu sah
dilakukan meski istri tidak dalam keadaan
nusyuz, dan khulu’ itu sah dengan saling
kerelaan
antara
suami
istri
kendati
keduanya dalam keadaan biasa dan baikbaik saja. ‘Iwadh sebagai tebusan itu halal
bagi suami, berdasarkan firman Allah dalam
surat An-Nisa’ ayat 4:
‫سا فَ ُكلُوهُ َهن ِۤيـًٔا َّم ِر ۤيـًٔا‬
ً ‫عن شَيءٍ ِمنه ُ نَف‬
َ ‫فَاِن طِ بنَ لَ ُكم‬
Kemudian
jika
mereka
(istri-istri)
menyerahkan kepadanya sebagian dari
maskawin itu dengan senang hati maka
makanlah (ambillah) pemberian itu (sebagai
makanan) yang sedap lagi baik akibatnya.
Mereka menyatakan bahwa dalam
hadits Tsabit tersebut tidak ada petunjuk
yang mensyaratkan nusyuz itu, sedangkan
ayat
dimaksud
hanya
mengandung
kemungkinan belaka, yaitu dugaan dan
perkiraan yang mungkin akan terjadi di
masa akan datang. Hadits Tsabit itu juga
menjadi petunjuk bahwa yang diambil oleh
suami dari istrinya sebagai ‘iwadh (tebusan)
itu ialah apa yang telah diberikannya, tanpa
meminta imbalan apa-apa.
Adanya Lembaga-lembaga ta’liq talak
yang diucapkan oleh suami setelah akad
nikah dengan menggantungkan talak itu
atas pengaduan istri jika suami melalaikan
kewajibannya,
disertai
sejumlah
uang
sebagai ‘iwadh yang relative kecil adalah
dimaksudkan untuk melindungi istri untuk
melakukan
khulu’
jika
keadaan
memerlukan.
Sebagaimana talak itu status hukumnya
boleh jadi menjadi wajib, adakalanya
menjadi
haram,
adakalanya
menjadi
makruh, adakalanya menjadi sunnat dan
adakalanya menjadi mubah, sesuai dengan
kondisinya, maka demikian pula hukum
melakukan khulu’.
Khulu’ itu wajib dilakukan ketika
permintaan istri karena suami tidak mau
memberi nafkah atau menggauli istri,
sedangkan istri menjadi tersiksa. Khulu’ itu
hukumnya haram jika dimaksudkan untuk
menyengsarakan istri dan anak-anaknya.
Khulu’ itu dibolehkan (mubah) ketika ada
keperluan
yang
membolehkan
istri
menempuh jalan ini. Khulu’ menjadi makruh
hukumnya jika tidak ada ada keperluan
untuk itu, dan menjadi sunnat hukumnya
jika
dimaksudkan
untuk
mencapai
kemaslahatan yang lebih memadai bagi
keduanya.
Hukum
asal
khulu’,
ada
yang
berpendapat dilarang (haram) ada yang
mengatakan
makruh,
dan
ada
yang
mengatakan haram kecuali karena darurat.
Ulama
Syafi’iyah
berpendapat
bahwa
hukum asal melekukan khulu’ itu makruh,
hanya dia menjadi sunnat hukumya bila istri
ternyata tidak baik dalam bergaul terhadap
suaminya. Khulu’ itu tidak dapat menjadi
haram dan tidak dapat pula menjadi wajib.
Perbedaan khulu’ dan talak dalam hal
waktu dijatuhkannya ialah bahwa khulu’
boleh terjadi di waktu mana tidak boleh
terjadi talak, sehingga khulu’ boleh terjadi
ketika istri sedang haid, nifas, atau dalam
keadaan suci yang telah digauli. Dalam hal
ini Imam Malik berpendapat bahwa tidak
sah terjadi khulu’ pada waktu tidak boleh
terjadi talak.
Tentang status perceraian karena khulu’
dapat dikemukakan bahwa bila seorang
suami telah melakukan khulu’ terhadap
istrinya, maka dengan khulu’ itu bekas istri
menguasai dirinya secara penuh, suami
tidak berhak merujuknya kembali, segala
urusan bekas istri berada di tangannya
sendiri, sebab ia telah menyerahkan
sejumlah
harta
kepada
suami
guna
pelepasan dirinya itu. Oleh karena itu,
status perceraian karena khulu’ adalah
sebagai talak ba’in bagi istri, sehingga meski
kemudian suami bersedia mengembalikan
‘iwadh yang telah diterimakan kepadanya
itu, namun suami tetap tidak berhak
merujuk bekas istrinya, dan meskipun bekas
istri rela untuk menerima kembali ‘iwadh
yang dimaksud. Bila bekas istri bersedia,
maka bekas suami yang telah mengkhulu’
itu boleh mengadakan akad nikah baru
dengan bekas istrinya itu dengan rukun dan
syarat sebagai lazimnya akad nikah.
Mengenai hikmah khulu’, Al-Jurjawi
menuturkan.
Khulu’ sendiri sebenarnya dibenci oleh
syari’at yang mulia seperti halnya talak.
Semua akal dan perasaan sehat menolak
khulu’, hanya saja Allah Yang Maha
Bijaksana
memperbolehkannnya
untuk
menolak bahaya ketika tidak mampu
menegakkan hukum-hukum Allah.
Penjelasannya, kalau terjadi peselisihan
antara suami istri, maka perselisihan itu
menyebabkan
masing-masing
ingin
berpisah dari yang lain. Mungkin istri sudah
tidak kuat lagi bergaul dengan suaminya dan
ingin berpisah. Maka tiada jalan penyelamat
kecuali
dengan
khulu’,
yaitu
dengan
membayar sejumlah uang agar suami
mentalaknya sehingga dia selamat dari
beban perkawinan, kalau suaminya mau
mengabulkan permintaan istri tersebut.
Karena istri punya hak maskawin
dengan ganti menyerahkan dirinya kepada
suami,
maka
digunakan
sekarang
untuk
haknya
menebus
yang
dirinya
mengambil hak dari suami kepada suami.
Allah mengingkari perbuatan itu dengan
firman-Nya:
َ‫ض َّواَخَذن‬
ُ ‫ف ت َأ ُخذُونَهٗ َوقَد اَفضٰ ى بَع‬
ٍ ‫ض ُكم ا ِٰلى بَع‬
َ ‫َوكَي‬
ً ‫غلِي‬
(٢١:‫ظا )النسآء‬
َ ‫مِ ن ُكم ِميثَاقًا‬
Bagaimana kamu akan mengambilnya
kembali padahal sebagian kamu telah
bergaul (bercampur) dengan yang lain
sebagai suami istri. Dan mereka (istriistrimu)
telah
mengambil
dari
kamu
perjanjian yang kuat.
Hikmah yang terkandung di dalamnya
sebagaimana telah disebutkan adalah untuk
menolak bahaya, yaitu apabila perpecahan
antara suami istri telah memuncak dan
dikhawatirkan
keduanya
tidak
dapat
menjaga syarat-syarat dalam kehidupan
suami istri, maka khulu’ dengan cara-cara
yang telah ditetapkan oleh Allah Yang Maha
Bijaksana merupakan penolak terjadinya
permusuhan
dan
untuk
menegakkan
hukum-hukum Allah. Oleh Karena itu, Allah
berfirman:
‫علَي ِه َما فِي َما افت َ َدت‬
ّٰ ‫فَاِن خِ فتُم ا َ َّال يُقِي َما ُحدُو َد‬
َ ‫َّللاِ ۙ فَ ََل ُجنَا َح‬
(٢٢٩:‫َّللاِ فَ ََل ت َعتَدُوهَا) البقرة‬
ّٰ ‫ِب ٖه ۗ تِلكَ ُحدُو ُد‬
Jika kamu khawatir bahwa keduanya (suami
istri) tidak dapat ,menjalankan hukumhukum Allah, maka tidak ada dosa atas
keduanya tentang bayaran yang diberikan
oleh istri untuk menebus dirinya. Itulah
hukum-hukum Allah. Maka janganlah kamu
melanggarnya.
2. Zhihar dan Hikmahnya.
Menurut bahasa Arab, kata zhihar
terambil dari kata zhahrun yang bermakna
pungung.
Dalam
kaitannya
dengan
hubungan suami istri, zhihar adalah ucapan
suami
kepada
menyerupakan
istrinya
punggung
yang
istri
berisi
dengan
punggung ibu suami, seperti ucapan suami
kepada istrinya: “Engkau bagiku adalah
seperti punggung ibuku”.
Ucapan
zhihar
di
masa
jahiliyah
dipergunakan oleh suami yang bermaksud
mengharamkan menyetubuhi istri dan
berakibat menjadi haramnya istri itu bagi
suami dan laki-laki selainnya, untuk selamalamanya.
Syari’at
Islam
datang
untuk
memperbaiki masyarakat, mendidiknya dan
mensterilkannya
menuju
kemaslahatan
hidup. Hukum Islam menjadikan ucapan
zhihar itu berakibat hukum yang bersifat
duniawi dan ukhrawi. Akibat hukum zhihar
yang
bersifat
duniawi
ialah
menjadi
haramnya suami menggauli istrinya yang
dizhihar
sampai
suami
melaksanakan
kaffarah zhihar sebagai pendidikan baginya
agar tidak mengulang perkataan dan
sikapnya yang buruk itu. Sedangkan yang
bersifat ukhrawi ialah bahwa zhihar itu
perbuatan
dosa,
orang
yang
mengucapkannya berarti berbuat dosa, dan
untuk membersihkannya wajib bartaubat
dan memohon ampunan Allah.
Sebagai
dasar
hukum
adanya
pengaturan zhihar ialah firman Allah surat
Al-Mujadilah ayat 2-4 dan surat Al-Ahzab
ayat 4.
Firman Allah dalam surat Al Mujadilah
ayat 2-4:
‫س ۤا ِٕى ِهم َّما ه َُّن ا ُ َّمهٰ تِ ِه ۗم اِن ا ُ َّمهٰ ت ُ ُهم‬
َ ِ‫اَلَّذِينَ ي ُٰظ ِه ُرونَ مِ ن ُكم مِ ن ن‬
ۤ
‫ا َِّال الّٰـِي َولَدنَ ُه ۗم َواِنَّ ُهم لَ َيقُولُونَ ُمنك ًَرا مِ نَ القَو ِل َو ُزو ًر ۗا‬
‫غفُور‬
َ ‫َّللاَ لَ َعفُ ٌّو‬
ّٰ ‫َوا َِّن‬
Orang-orang yang menzhihar di diantara
kamu terhadap istrinya (perbuatan mereka
itu tidak benar, karena) tiadalah mereka itu
ibu-ibu mereka. Ibu-ibu mereka tiada lain
hanyalah wanita yang melahirkan mereka.
Dan
sesungguhnya
mereka
sungguh-
sungguh mengucapkan suatu perkataan
yang munkar dan dusta. Dan sesungguhnya
Allah Maha Pemaaf lagi Maha Pengampun.
‫س ۤا ِٕى ِهم ث ُ َّم َيعُودُونَ ِل َما َقالُوا فَت َح ِري ُر‬
َ ‫َوا َّلذِينَ ي ُٰظ ِه ُرونَ مِ ن ِن‬
َ‫َّللاُ بِ َما ت َع َملُون‬
ّٰ ‫عظُونَ بِ ٖ ۗه َو‬
َ ‫َرقَبَ ٍة مِن قَب ِل اَن يَّت َ َم ۤاس َّۗا ٰذ ِل ُكم تُو‬
‫صيَا ُم شَه َري ِن ُمتَت َابِ َعي ِن مِ ن قَب ِل اَن‬
ِ َ‫ فَ َمن لَّم يَ ِجد ف‬.‫َخبِير‬
‫يَّت َ َم ۤاس َّۗا فَ َمن لَّم يَستَطِ ع فَاِطعَا ُم سِتِينَ مِ سكِينً ۗا ٰذلِكَ ِلتُؤمِ نُوا‬
ِ ّٰ ِ‫ب‬
‫عذَاب اَلِيم‬
ُ ‫الِل َو َر‬
ّٰ ‫سول ٖ ِۗه َوتِلكَ ُحدُو ُد‬
َ َ‫َّللاِ َۗولِل ٰكف ِِرين‬
Orang-orang yang menzhihar istri mereka,
kemudian mereka hendak menarik kembali
apa yang mereka ucapkan, maka (wajib
atasnya) memerdekakan seorang budak
sebelum kedua suami istri itu bercampur.
Demikianlah yang diajarkan kepadamu, dan
Allah Maha Mengetahui apa yang kamu
kerjakan.
Barangsiapa
mendapatkan
(budak),
yang
tidak
maka
(wajib
atasnya) memberi makan enam puluh orang
miskin. Demikianlah supaya kamu beriman
kepada Allah dan Rasul-Nya. Dan itulah
hukum-hukum Allah, dan bagi orang-orang
kafir ada siksaan yang sangat pedih.
Sebab turunnya ayat zhihar ini ialah
kasus soal wanita yang bernama Khaulah
binti Tsa’labah yang dizhiharkan oleh
suaminya Aus bin Shomit, yaitu dengan
mengatakan kepada istrinya: “Kamu bagiku
sudah seperti punggung ibuku”, dengan
maksud ia tidak boleh menggauli istrinya
sebagaimana tidak boleh menggauli ibunya.
Menurut adat jahiliyah, kalimat zhihar
seperti sudah sama dengan mentalak istri.
Kemudian Khaulah mengadukan halnya
kepada Rasulullah dan beliau menjawab
bahwa hal ini belum ada keputusan Allah.
Pada riwayat lain beliau mengatakan:
“Engkau telah diharamkan bersetubuh
dengannya”.
Lalu
Khaulah
berkata:
“Suamiku belum menyebut kata-kata talak”.
Berulang kali Khaulah mendesak kepada
Rasulullah
supaya
menetapkan
suatu
keputusan dalam hal ini, sehingga kemudian
turunlah ayat 1 Al-Mujadilah dan ayat-ayat
berikutnya.
Firman Allah dalam surat Al-Ahzab ayat
4 menyatakan:
‫َّللاُ ل َِر ُج ٍل مِن قَل َبي ِن فِي َجوف ِٖه ٍَۚو َما َجعَ َل اَز َوا َج ُك ُم‬
ّٰ ‫َما َج َع َل‬
‫الّٰ ۤـِٕي ت ُ ٰظ ِه ُرونَ مِ ن ُه َّن ا ُ َّمهٰ تِ ُكم ٍَۚو َما َجعَ َل اَد ِعيَ ۤا َء ُكم اَبن َۤا َء ُك ۗم‬
‫سبِي َل‬
َّ ‫َّللاُ يَقُو ُل ال َح َّق َوه َُو يَهدِى ال‬
ّٰ ‫ٰذ ِل ُكم قَولُ ُكم بِاَف َوا ِه ُكم َۗو‬
Allah sekali-kali tidak menjadikan bagi
seseorang dua buah hati dalam rongganya.
Dia tidak menjadikan istri-istri yang kamu
zhihar itu sebagai ibumu. Dan Dia tidak
menjadikan anak-anak angkatmu sebagai
anak-anak kandungmu. Yang demikian itu
hanyalah perkataan di mulut saja. Dan Allah
mengatakan yang sebenarnya dan Dia
menunjukkan jalan (yang benar).
Menurut istilah hukum Islam, zhihar
dapat dirumuskan dengan: “ucapan kasar
yang dilontarkan oleh suami kepada istrinya
dengan menyerupakan istri itu dengan ibu
atau mahram suami sehingga dengan
ucapan
itu
dimaksudkan
untuk
mengharamkan istri bagi suaminya”.
Apabila
terhadap
suami
menyatakan
isrtinya
maka
zhihar
berlakulah
ketentuan sebagai berikut:
a. Bila suami menyesali ucapannya dan
berpendapat bahwa hidup kembali
dengan istrinya itu akan mendatangkan
manfaat serta akan terbina hubungan
normal dan baik, maka hendaknya
suami mencabut kembali zhiharnya itu
seraya mengembalikan istrinya ke
pangkuannya, saling memafkan atas
apa yang telah terjadi, saling berjanji
akan
memperbaiki
hubungan
selanjutnya. Dalam pada itu sebelum
suami
menggauli
istrinya
maka
diwajibkan membayar kaffarah zhihar
berupa:
1. Memerdekakan
seorang
budak
sahaya yang beriman. Kalau suami
tidak kuasa mewujudkannya atau
tidak
menemukannya,
maka
dilakukan dengan:
2. Berpuasa dua bulan berturut-turut,
yaitu 60 hari, tanpa diselingi
berbuka satu hari pun dalam 60 hari
itu. Kalau suami ternyata tidak
mampu berpuasa berturut-turut,
maka dapat diganti dengan:
3. Memberi
makan
secukupnya
kepada 60 orang miskin.
b. Bila
suami
berpendapat
bahwa
memperbaiki hubungan suami istri
tidak
akan
menurut
memungkinkan,
pertimbangannya
dan
bahwa
bercerai itulah jalan yang paling baik,
maka hendaklah suami menjatuhkan
talak kepada istrinya, agar dengan
demikian tidak menyiksa istrinya lebih
lama lagi. Kedudukan perceraian dalam
kasus zhihar adalah termasuk ba’in,
artinya bekas suami tidak berhak
merujuk bekas istrinya, dia hanya dapat
kembali menjadi suami istri dengan
akad perkawinan baru.
c. Bila
setelah
suami
menzhiharnya
merasa tidak aman dari perbuatan
suaminya, hendaklah istri mengadukan
halnya kepada hakim, lalu hakim
memisah tempat suami dengan istrinya
sementara
menunggu
penyelesaian
kasus zhihar ini, sedangkan jika istri
merasa aman dari tindakan suami
terhadapnya,
dan
terjamin
suami
mematuhi hukum-hukum Alllah, maka
tidak ada halangan istri tetap serumah
dengan suaminya.
d. Kalau ternyata suami tidak mencabut
kembali zhiharnya dan tidak mau
menceraikan istrinya, berarti ada unsur
kesengajaan
suami
menelantarkan
istrinya dan melanggar hukum Allah,
mereka setelah berlalu masa empat
bulan atau 120 hari sejak zhihar
diucapkan, maka hakim menceraikan
antara keduanya, dan menjadi ba’inlah
perceraian mereka ini.
Dalam masalah zhihar ada dua hikmah
yang terkandung:
1. Hikmah sebagai hukuman, yaitu
karena dia mewajibkan atas dirinya
sendiri suatu yang tidak berlaku
pada orang lain, dan membawa
kepada dosa dari penginggalan
kaum Jahiliyah tanpa ada ketentuan
hukum yang mewajibkan.
2. Hikmah kafarat (denda). Sangsi itu
ada dua bentuk: Bisa jadi sangsi
berupa harta dan bisa jadi berupa
sangsi
badan.
Memerdekakan
budak dan memberi makan 60
orang miskin adalah sangsi harta
yang di dalamnya mengandung
kesengsaraan pada jiwa hingga
akhirnya enggan untuk mengulangi
perbuatannya lagi. Sementara itu,
puasa dua bulan (60 hari) berturutturut
tanpa
berhenti
adalah
mengandung kesengsaraan juga,
yaitu sangsi badan pada satu sisi
dan ibadah pada sisi lain.
Hikmah yang dimaksud dari itu
semua adalah untuk mengingatkan
dan
mendidik
agar
jangan
melakukan zhihar lagi. Di samping
itu, untuk menentang kebiasaan
kaum jahiliyah yang mereka itu
menzhihar istri-istri mereka secara
terus-menerus.
Islam
datang
dengan membawa rahmat dan
kasih sayang, maka pikirkanlah
betapa nikmat Allah Yang Maha
Tinggi.
3. Ila dan Hikmahnya
Kata “ila” menurut Bahasa merupakan
masdr dari kata “ala-ykli-laan” sewazan
dengan a’tha yu’thi itha’an, yang artinya
sumpah.
Menurut istilah hukum Islam, Ila’ ialah
“sumpah suami dengan menyebut nama
Allah atau sifat-Nya yang tertuju kepada
istrinya untuk tidak mendekati istrinya itu,
baik secara mutlak maupun dibatasi dengan
ucapan selamanya, atau dibatasi empat
bulan atau lebih”.
Beberapa contoh ila’ adalah ucapan
suami kepada istri sebagai berikut:
a. Demi Allah, saya tidak akan menggauli
istriku
b. Demi kekuasaan Allah, saya tidak akan
mencampuri istriku selama lima bulan
c. Demi Allah, saya tidak akan mendekati
istriku selamanya.
Dasar hukum pengaturan ila’ ialah
firman Allah surat Al-Baqarah ayat 226-227:
‫ُّص اَر َب َع ِة اَش ُه ٍۚ ٍر فَاِن فَ ۤا ُءو فَا َِّن‬
ُ ‫س ۤا ِٕى ِهم ت ََرب‬
َ ِ‫ِللَّذِينَ يُؤلُونَ مِ ن ن‬
َّ ‫عزَ ُموا‬
‫علِيم‬
َ ‫َّللا‬
َ ‫سمِ يع‬
َ ‫ َواِن‬. ‫غفُور َّرحِ يم‬
َ ‫َّللا‬
َ ّٰ ‫الط ََلقَ فَا َِّن‬
َ ّٰ
Kepada orang-orang yang meng-ila’ istrinya
diberi tangguh empat bulan (lamanya).
Kemudian jika mereka kembali (kepada
istrinya), maka sesungguhnya Allah Maha
Pengampun lagi Maha Penyayang. Dan jika
mereka ber’azam (bertetap hati untuk)
talak, maka sesungguhnya Allah Maha
mendengar lagi Maha Tahu.
Allah menentukan batas waktu empat
bulan bagi suami yang meng-ila’ istrinya
mengandung hikmah pengajaran bagi suami
maupun bagi istri. Suami menyatakan ila’
kepada istrinya pastilah karena sesuatu
kebencian yang timbul antara keduanya.
Bagi suami yang meng-ila’ istrinya lalu
diwajibkan menjauhinya selama empat
bulan itu menimbulkan kerinduan terhadap
istri, lalu menyesali sikapnya yang sudah
lalu, memperbaiki diri sebagai bekal sikap
yang sudah lalu; memperbaiki diri sebagai
bekal sikap yang lebih baik ketimbang masamasa sebelumnya. Dalam hal ini jika
kemudian suami berbaik kembali kepada
istrinya diwajibkan membayar kaffarah
sumpah karena telah mempergunakan
nama Allah untuk keperluan dirinya.
Kaffarah sumpah itu berupa:
a. Menjamu/menjamin makan 10 orang
miskin, atau
b. Memberi pakaian kepada 10 orang
miskin,
c. Memerdekakan seorang budak.
Kalau tidak melakukan salah satu dari
tiga hal tersebut, maka kaffarahnya ialah
berpusa selama tiga hari berturut-turut,
berdasarkan firman Allah dalam surat AlMa’idah ayat 89:
‫عقَّدت ُّ ُم‬
ّٰ ‫َال ي َُؤاخِ ذُ ُك ُم‬
َ ‫َّللاُ ِباللَّغ ِو ف ِٰٓي اَي َمانِ ُكم َو ٰلكِن ي َُّؤاخِ ذُ ُكم ِب َما‬
ٍۚ ‫االَي َم‬
‫سطِ َما‬
َ ‫ارت ُ ٗ ٰٓه اِطعَا ُم‬
َ ‫عش ََرةِ َمسٰ كِينَ مِ ن اَو‬
َ ‫انَ فَ َك َّف‬
‫تُط ِع ُمونَ اَهلِي ُكم اَو كِس َوت ُ ُهم اَو ت َح ِري ُر َرقَبَ ٍة ۗفَ َمن لَّم يَ ِجد‬
ُ َ‫ارة ُ اَي َما ِن ُكم اِذَا َحلَفتُم َۗواحف‬
‫ظ ٰٓوا‬
ِ َ‫ف‬
َ َّ‫ص َيا ُم ث َ ٰلث َ ِة اَي ٍَّام ٰۗذلِكَ َكف‬
َ‫َّللاُ لَ ُكم ٰايٰ ت ِٖه لَ َعلَّ ُكم ت َش ُك ُرون‬
ّٰ ُ‫اَي َمانَ ُكم ۗ ك َٰذلِكَ يُبَ ِين‬
Allah tidak menghukum kamu disebabkan
sumpah-sumpahmu yang tidak dimaksud
(untuk sumpah), tetapi Dia menghukum
kamu disebabkan sumpah-sumpah yang
kamu sengaja, maka kaffarah melanggar
sumpah itu adalah memberi makan 10
orang miskni, yakni dari makanan yang
biasa kamu berikan kepada keluargamu,
atau memberi pakaian kepada mereka,
atau
memedekakan
seorang
budak.
Barangsiapa yang tidak sanggup melakukan
demikian maka kaffaratnya ialah puasa
selama tiga hari. Yang kamu bersumpah,
dan jagalah sumpahmu. Demikian Allah
menerangkan kepadamu hukum-hukumnya
agar kamu bersyukur.
Bila setelah menunggu empat bulan
kebencian hati suami tidak berubah atau
teroengaruh atau melunak serta tetap
melunak tidak mempedulikan istrinya, maka
suami dapat menjatuhkan talak.
Bagi istri yang di-ila’ oleh suaminya,
pengucilan oleh suaminya selama empat
bulan itu menjadi sarana Pendidikan
baginya, memberi kesempatan memikirkan
sikap non simpatiknya yang telah lalu,
menyadari kekurangannya dalam melayani
suami selama ini, mencari sebab musabab
suami sampai bersikap benci kepadanya
menjadi obat mujarab untuk memperbaiki
sikap masa-masa selanjutnya.
Setelah berlalu empat bulan terhitung
sejak suami menyatakan sumpah ila’ itu
ternyata suami tidak mencabut kembali
sumpahnya, berarti selama waktu itu tidak
ada perubahan ke arah perbaikan, maka
berarti suami menghendaki perceraian.
Dengan berlalunya masa empat bulan
tersebut
keduanya,
terjadilah
baik
perceraian
dengan
jalan
antara
suami
menjatuhkan talak terhadap istrinya, atau
istri mengadukan hal kepada hakim, lalu
hakim menetapkan terjadinya perceraian
itu.
Hikmah diberlakukan masa 4 bulan
mempunyai beberapa hikmah:
a. Dalam masa 4 bulan memungkinkan
jiwa untuk mengembalikan diri dari
menggauli istri. Begitu juga sang istri,
dia tidak mampu lagi untuk bertahan
lebih dari masa itu dalam menggauli
suami.
b. Dalam masa itu ada kesempatan untuk
menjaga kehormatan diri. Lebih dari
masa itu mungkin saja keduanya tidak
lagi mampu menjaga kehormatannya
inilah hikmah yang tegas.
Diriwayatkan dari Ibnu Abbas berkata:
Ila’nya orang jahiliyah itu lamanya setahun,
dua tahun, bahkan lebih. Maka Allah
memberikan batasan waktu selama 4 bulan.
Barangsiapa yang ila’nya kurang dari 4 bulan
maka itu bukan ila’.
4. Li’an dan Hikmahnya
Kata “li’an” terambil dari kata al-la’nu,
nu, yang artinya jauh dan laknat atau
kutukan. Disebut demikian karena suami
yang saling berli’an itu berakibat saling
dijauhkan oleh hukum dan diharamkan
berkumpul sebagai suami istri untuk
selama-lamanya,
atau
karena
yang
bersumpah li’an itu dalam kesaksiannya
yang
kelima
menerima
menyatakan
laknat
(kutuk)
bersedia
Allah
jika
pernyataannya tidak benar.
Menurut istilah hukum Islam, li’an ialah
sumpah yang diucapkan suami ketika ia
menuduh istrinya berbuat zina dengan
empat kali kesaksian bahwa ia termasuk
orang yang benar dalam tuduhannya,
kemudian pada sumpah kesaksian kelima
disertai persyaratan bahwa ia bersedia
menerima laknat Allah jika ia berdusta
dalam tuduhannya itu.
Dasar hukum pengaturan li’an bagi
suami yang menuduh istrinya berbuat zina
ialah firman Allah surat An-Nur ayat 6-7:
ٰٓ َّ ‫ش َه َد ۤا ُء ا‬
ُ ‫َوا َّلذِينَ َير ُمونَ اَز َوا َج ُهم َولَم َي ُكن لَّ ُهم‬
‫س ُهم‬
ُ ُ‫ِال اَنف‬
ِ ّٰ ‫ت ِب‬
. َ‫ص ِدقِين‬
ٍ ٌۢ ‫ش َها َدة ُ ا َ َح ِدهِم اَر َب ُع شَهٰ ٰد‬
َ ‫َف‬
ّٰ ‫الِل ۙ ِانَّهٗ لَمِ نَ ال‬
َ‫علَي ِه اِن َكانَ مِ نَ ال ٰك ِذ ِبين‬
ّٰ َ‫سةُ ا َ َّن لَعنَت‬
َ ِ‫َّللا‬
َ ِ‫َوالخَام‬
Orang-orang
yang
menuduh
istrinya
(berzina) padahal mereka tidak mempunyai
saksi-saksi selain diri mereka sendiri, maka
persaksian orang itu ialah empat kali
bersumpah dengan nama Allah, bahwa
sesungguhnya dia termasuk orang-orang
yang benar. Dan (sumpah) yang kelima,
bahwa laknat Allah akan ditimpakan
kepadanya jika ia termasuk orang-orang
yang berdusta.
Terhadap tuduhan suami itu, istri dapat
menyangkalnya dengan sumpah kesaksian
sebanyak empat kali bahwa suami itu
berdusta dalam tuduhannya, dan pada
sumpah kesaksiannya yang kelima disertai
pernyataan bahwa ia bersedia menerima
marah dari Allah jika suami benar dlam
tuduhannya. Hal ini sesuai dengan firman
Allah dalam surat An-Nur ayat 8-9:
ٍ ٌۢ ‫اب اَن ت َش َه َد اَربَ َع شَهٰ ٰد‬
َ‫الِلِ اِنَّ ٗه لَمِن‬
ّٰ ِ‫ت ب‬
َ َ‫عن َها العَذ‬
َ ‫َويَد َرؤُا‬
َ ‫سةَ ا َ َّن‬
َ‫علَي َها ٰٓ اِن َكانَ مِ ن‬
ّٰ ‫ب‬
َ ِ‫َّللا‬
َ ‫ض‬
َ ‫غ‬
َ ِ‫ َوالخَام‬. َ‫ال ٰك ِذ ِبين‬
َ‫ص ِدقِين‬
ّٰ ‫ال‬
Istrinya itu dapat dihindarkan dari hukuman
oleh sumpahnya sebanyak empat kali atas
nama Allah bahwa suaminya itu sungguhsungguh termasuk orang-orang yang dusta.
Dan (sumpah) yang kelima, bahwa murka
Allah (akan ditimpakan) atas dirinya jika
suaminya itu termasuk orang-oarng yang
benar.
Dengan terjadinya sumpah li’an ini
maka terjadilah perceraian antar suami istri
tersebut dan antara keduanya tidak boleh
terjadi perkawinan kembali untuk selamalamanya.
Diriwayatkan dari Ibnu Abbas bahwa
Nabi bersabda:
ُ‫ع َمت َ َيَل اَقَّ َرفـَـت اَذ ِ ا نا َ نِع َلَتم ََل‬
َ ‫ا ًد َبأ ن ِا‬
Dua suami istri yang telah saling berli’an itu
setelah bercerai tidak boleh berkumpul
untuk selamanya.
Menurut Al-Juwairi, dalam sumpah li’an
terkandung beberapa hikmah antara lain:
a. Suatu pernikahan dan fungsi wanita
sebagai istri bagi suami tidak akan
sempurna
kecuali
keserasian
dan
dengan
saling
adanya
menyayangi
antara keduanya. Tetapi apabila sudah
terdapat tuduhan zina dan melukai istri
dengan kekejian, maka dada mereka
akan sempit dan hilanglah kepercayaan
dari istri sehingga mereka berdua hidup
dalam kedengkian yang tentu akan
membawa akibat jelek.
b. Melarang dan memperingatkan suamiistri agar jangan melakukan perlakuan
buruk yang akan mengurangi kemuliaan
itu.
c. Menjaga kehormatannya dari kehinaan
pelacuran yang tidak pernah hilang
pengaruhnya siang dan malam.
C. SEBAB-SEBAB YANG LAIN
1. Putusnya Perkawinan Sebab Syiqaq
Syiqaq adalah krisis memuncak yang
terjadi antara suami istri sedemikian rupa,
sehingga
antar
suami
istri
terjadi
pertentangan pendapat dan pertengkaran,
menjadi dua pihak yang tidak mungkin
dipertemukan dan kedua belah pihak tidak
dapat mengatasinya.
Firman Allah dalam surat An-Nisa’ ayat
35 menyatakan:
‫َواِن خِ فتُم ِشقَاقَ َبينِ ِه َما فَاب َعثُوا َح َك ًما مِ ن اَهل ِٖه َو َح َك ًما مِ ن‬
َ‫َّللاَ َكان‬
ّٰ ‫َّللاُ بَينَ ُه َما ۗ ا َِّن‬
ّٰ ‫ق‬
ِ ِ‫اَه ِل َها ٍۚ اِن ي ُِّري َدآ اِص ََل ًحا ي َُّوف‬
‫علِي ًما َخبِي ًرا‬
َ
Dan jika kamu khawatirkan ada syiqaq
(persengketaan) antara keduanya, maka
kirimlah seorang hakam dari keluarga lakilaki dan seorang hakam dari keluarga
perempuan.
Jika
kedua
hakam
itu
bermaksud mengadakan perbaikan, niscaya
Allah memberi taufik kepada suami istri itu.
Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui lagi
Maha Mengenal.
Menurut firman Allah tersebut, jika
terjadi kasus syiqaq antar suami istri, maka
diutusn seorang hakam dari pihak suami
dan seorang hakam dari pihak istri untuk
mengadakan penelitian dan penyelidikan
tentang sabab musabab terjadi syiqaq
dimaksud serta berusaha mendamaikannya,
atau
mengambil
prakarsa
putusnya
perkawinan kalau sekiranya jalan inilah yang
sebaik-baiknya.
Terhadap kasus syiqaq ini, bertugas
menyelidiki
dan
permasalahannya,
timbulnya
mencari
hakikat
sebab
musabab
persengketaan,
berusaha
seberapa mungkin untuk mendamaikan
kembali agar suami istri kembali hidup
Bersama dengan sebaik-baiknya, kemudian
jika jalan perdamaian itu tidak mungkin
ditempuh, maka kedua hakam berhak
mengambil inisiatif untuk menceraikannya,
kemudia atas dasar prakarsa hakam ini
maka
hakim
dengan
keputusannya
menetapkan perceraian tersebut.
Kedudukan cerai sebab kasus syiqaq
adalah bersifat ba’in. Artinya antara bekas
suami istri hanya dapat kembali sebagai
suami istri dengan akad nikah yang baru.
2. Putusnya Perkawinan sebab Pembatalan
Jika suatu akad perkawinan telah
dilaksanakan dan dalam pelaksanaannya
ternyata terdapat larangan perkawinan
antar suami istri semisal karena pertalian
darah, pertalian susuan, pertalian semenda,
atau terdapat hal-hal yang bertentangan
dengan ketentuan hukum seperti tidak
terpenuhinya hukum atau syaratnya, maka
perkawinan menjadi batal demi hukum
melalui
proses
pengadilan,
hakim
membatalkan perkawinan dimaksud.
Mengenai
perkawinan
hal
ini,
ihwal
pembatalan
berdasarkan
Undang-
undang Nomor 1 tahun 1974 tentang
perkawinan Bab IV pasal 22 sampai 28
memuat ketentuan yang isi pokoknya
sebagai berikut:
a. Perkawinan dapat dibatalkan, apabila
para pihak tidak memenuhi syaratsyarat
untuk
melangsungkan
perkawinan, salah satu pihak masih
terkait
oleh
perkawinan
yang
mendahuluinya,
dilangsungkan
Pencatat
perkawinan
di
muka
Perkawinan
Pegawai
yang
tidak
berwenang, wali nikah tidak sah, tanpa
hadirnya
dua
saksi,
perkawinan
dilakukan di bawah ancaman yang
melanggar hukum, terjadi salah sangka
mengenai diri suami atau istri.
b. Yang dapat mengajukan pembatalan
perkawinan ialah para keluarga dalam
garis lurus ke atas dari suami atau istri,
pejabat yang berwenang, pejabat yang
ditunjuk,
orang
yang
masih
ada
perikatan perkawinan dengan salah
satu dari kedua belah pihak, jaksa, dan
suami atau istri.
c. Permohonan pembatalan perkawinan
diajukan ke Pengadilan dalam daerah
hukum
di
mana
perkawinan
dilangsungkan, atau di tempat tinggal
kedua suami istri, suami atau istri.
d. Batalnya perkawinan dimulai setelah
keputusan
Pengadilan
mempunyai
kekuatan hukum yang tetap, dan
berlaku sejak saat berlangsungnya akad
perkawinan. Keputusan tidak berlaku
surut terhadap:
1. Anak-anak yang dilahirkan dari
perkawinan tersebut.
2. Suami atau istri yang bertindak
dengan
I’itkad
baik,
kecuali
terhadap harta bersama.
3. Orang-orang
sepanjang
hak-hak
ketiga
mereka
dengan
sebelum
lainnya
memperoleh
I’tikad
keputusan
baik
tentang
pembatalan mempunyai kekuatan
yang tetap.
3. Putusnya Perkawinan sebab Fasakh
Hukum Islam mewajibkan suami untuk
menunaikan hak-hak istri dan memelihara
istri dengan sebaik-baiknya, tidak boleh
menganiaya istrinya dan menimbulkan
kemadharatan terhadapnya. Suami dilarang
menyengsarakan
kehidupan
istri
dan
menyia-nyiakan haknya. Firman Allah surat
Al-Baqarah ayat 231 menyatakan:
‫س ِر ُحوه َُّن بِ َمع ُروفٍۗ َو َال‬
َ ‫فَاَم ِس ُكوه َُّن ِب َمع ُروفٍ اَو‬
‫ارا ِلت َعتَدُوا‬
ً ‫ض َر‬
ِ ‫تُم ِس ُكوه َُّن‬
Maka peliharalah (rujukilah) mereka (istriistri) dengan cara yang ma’ruf (baik) atau
lepaskanlah (ceraikanlah) mereka (istr-istri)
dengan yang ma’ruf (baik) pula. Janganlah
kamu pelihara (rujuki) mereka untuk
memberi kemadharatan, karena dengan
demikian kamu menganiaya mereka.
Hukum
Islam
tidak
menghendaki
adanya kemadharatan dan melarang saling
menimbulkan kemadharatan. Dalam suatu
hadits
dinyatakan
bahwa
Rasulullah
bersabda:
‫ار‬
ِ َ‫ض َر َر َوال‬
َ َ‫ال‬
َ ‫ض َر‬
Tidak boleh ada kemadharatan dan tidak
boleh saling menimbulkan kemadharatan
Menurut kaidah Hukum Islam, bahwa
setiap kemadharatan itu wajib dihilangkan,
sebagaimana kaidah fiqhiyah menyatakan:
‫الض ََّر ُر يُزَ ا ُل‬
Kemadharatan itu wajib dihilangkan.
Berdasarkan firman Allah, hadits dan
kaidah tersebut para fuqaha’ menetapkan
bahwa jika dalam kehidupan suami-istri
terjadi keadaan, sifat atau sikap yang
meinmbulkan pada salah satu pihak yang
menderita madharat dapat mengambil
prakarsa untuk putusnya perkawinann,
kemudian
hakim
memfasakhkan
perkawinann atas dasar pengaduan pihak
yang menderita tersebut.
Dengan keputusan Pengadilan atas
dasar pengaduan karena kesengsaraan yang
menimpa atau kemadharatan yang diderita,
maka
perkawinan
dapat
difasakhkan.
Beberapa alasan fasakh, yaitu:
a. Tidak adanya nafkah bagi istri
Imam Malik, Asy Syafi’I dan Ahmad
berpendapat
bahwa
menetapkan
putusnya
hakim
boleh
perkawinan
kerana suami tidak memberi nafkah
kepada istri, baik karena memang tidak
ada lagi nafkah itu atau suami menolak
memberi nafkah. Tidak memberi nafkah
istri dan menelantarkan istri tanpa
diberi nafkah serta tidak dicerai adalah
perbuatan yang menyakitkan hati dan
meyengsarakannya,
menimbulkan
kemadharatan,
berarti
maka
hakim harus berusaha menghilangkan
perbuatan yang menyakitkan hati dan
menyengsarakan itu.
b. Terjadinya cacat atau penyakit.
Jika terjadi cacat atau penyakit
pada salah satu pihak baik suami
maupun istri sedemikian rupa sehingga
mengganggu
kelestarian
hubungan
suami istri sebagaimana mestinya, atau
menimbulkan penderitaan batin pihak
yang satunya, atau membahayakan
hidupnya, atau mengancam jiwanya,
maka
yang
bersangkutan
berhak
mengadukan halnya kepada hakim,
kemudian pengadilan memfasakhkan
perkawinan mereka.
Cacat atau penyakit dimaksud
meliputi cacat jiwa, seperti gila, cacat
mental seperti penjudi, pemabuk, cacat
tubuh seperti penyakit lepra, dan cacat
kelamin seperti penyakit pada alat
kelamin, terpotongnya alat kelamin,
lemah syahwat, dan lain sebagainya
sehingga mengganggu dan menghalangi
hubungan sebagai suami istri.
c. Penderitaan yang menimpa istri
Istri yang menderita fisik atau
batin karena tingkah suaminya, semisal
suaminya menyakiti badan istri dan
menyengsarakannya,
menghilang
suami
tidak
pergi
diketahui
keberadaannya, suami dihukum penjara
dan lain sebagainya, sehingga istri
menderita lahir batin, maka dalam hal
ini istri berhak mengadukan halnya
kepada hakim, kemudian pengadilan
memutuskan perkawinannya.
4. Putusnya Perkawinan sebab Meninggal
Dunia
Jika salah seorang dari suami atau istri
meninggal dunia, atau kedua suami istri itu
bersama-sama meninggal dunia, semisal
suami istri bersama-sama dalam kapal yang
kemudian tenggelam bersama ke dalam
laut, terbakarnya rumah yang menjadi
tempet tinggal bersama, terjatuhnya kapal
terbang yang ditumpangi bersama suami
istri dan lain sebagainya, maka akan menjadi
putuslah perkawinan mereka.
Dimaksudkan
dengan
mati
yang
menjadi sebuah putusnya perkawinan
dalam hal ini meliputi baik mati secara fisik,
yakni
memang
dengan
kematian
itu
diketahui jenazahnya, sehingga kematian
secara biologis, maupun kematian secara
yuridis, yaitu dalam kasus suami yang
mafqud (hilang tidak diketahui apakah ia
masih hidup atau sudah meninggal), lalu
melalui proses pengadilan hakim dapat
menetapkan kematian suami tersebut.
Mengenai
putusnya
perkawinan,
Undang-undang No.1 tahun 1974 Bab VII
pasal 38 dikenal adanya tiga macam cara
putusnya perkawinan, yaitu :kematian,
perceraian dan keputusan pengadilan.
Pasal
39
UU
No.1
tahun
1974
menegaskan bahwa perceraian hanya dapat
dilakukan dengan sidang pengadilan setelah
pengadilan yang bersangkutan berusaha
dan tidak berhasil mendamaikan antara
kedua belah pihak, dan untuk melakukan
perceraian harus ada alasan yang cukup
sehingga dapat dijadikan landasan yang
wajar bahwa antara suami dan istri tidak
ada harapan lagi untuk hidup bersama
sebagai suami istri.
Alasan dimaksud dalam pasal 39 UU
No.1 tahun 1974 inin diperinci lebih lanjut
dalam pasal 19 Peraturan Pemerintah No.9
tahun 1975, yaitu ada enam alasan untuk
perceraian, sebagai berikut:
a. Salah satu pihak berbuat zina, atau
menjadi pemabuk, penjudi, dan lain
sebaginya yang sukar disembuhkan.
b. Salah satu pihak meinggalkan yang lain
selama dua tahun berturut-turut tanpa
izin pihak lain dan tanpa alasan yang sah
atau
karena
kemampuannya.
hal
lain
di
luar
c. Salah satu pihak mendapat hukuman
penjara 5 tahun atau hukuman yang
lebih
berat
setelah
perkawinan
berlangsung.
d. Salah satu pihak melakukan kekejaman
atau
penganiayaan
berat
yang
membahayakan pihak lain.
e. Salah satu pihak medapat cacat badan
atau penyakit dengan akibat tidak dapat
menjalankan
kewajibannya
sebagai
suami/istri.
f.
Antara suami dan istri terus-menerus
terjadi perselisihan dan pertengkaran
dan tidak ada harapan akan hidup rukun
lagi dalam rumah tangga.
Tentang cara mengajukan, memeriksa
dan menyelesaikan gugatan perceraian oleh
pengadilan, diatur lebih lanjut dalam
Peraturan Pemerintah No.9 tahun 1975
pasal 20 sampai dengan 36.
Bagi warga negara Republik Indonesia
yang melaksanakan perkawinan menurut
agama Islam, terdapat kemungkinan cara
perceraian atas pengaduan pihak istri
karena suami melanggar ta’lik talak yang
dinyatakan oleh suami segera setelah
terjadi akad perkawinan, yaitu pernyataan
suami bahwa sewaktu-waktu suami:
a. Meninggalkan pergi istrinya dalam masa
enam bulan berturut-turut.
b. Atau
suami
tidak
memenuhi
kewajibannya sebagai suami memberi
nafkah kepada istrinya dalam masa tiga
bulan berturut-turut.
c. Atau suami menyakiti istrinya dengan
memukul.
d. Atau suami menambang istrinya dalam
masa tiga bulan berturut-turut.
Lalu istri tidak rela dan mengadukan
halnya kepada pengadilan berhak mengusut
hal tersebut, dan pengaduannya dibenarkan
serta diterima oleh pengadilan itu, serta istri
membayar sejumlah uang sebagai ‘iwadh
(pergantian atau tebusan), maka jatuhlah
talak satu suami kepada istrnya itu.
Ta’lik talak dikembangkan sebagai jalan
bagi istri untuk memutuskan perkawinan
lewat pengadilan dengan alasan-alasan
sebagaimana dinyatakan oleh suaminya itu.
Tentang
Kompilasi
putusnya
Hukum
Islam
perkawinan,
secara
rinci
menjelaskan sebagai berikut:
PUTUSNYA PERKAWINAN
Bagian Kesatu
Umum
Pasal 113
Perkawinan
dapat
putus
karena:
a.
kematian, b. perceraian, c. atas putusan
pengadilan
Pasal 114
Putusnya perkawinan yang disebabkan
karena perceraian dapat terjadi karena talak
atau berdasarkan gugatan perceraian.
Pasal 115
Perceraian hanya dapat dilakukan di depan
sidang
Pengadilan
Agama
setelah
Pengadian Agama tersebut berusaha dan
tidak berhasil mendamaikan kedua belah
pihak.
Pasal 116
Perceraian dapat terjadi karena alasan atau
alasa-alasan:
a. Salah satu pihak berbuat zina, atau
menjadi pemabuk, penjudi, dan lain
sebaginya yang sukar disembuhkan.
b. Salah satu pihak meinggalkan yang lain
selama dua tahun berturut-turut tanpa
izin pihak lain dan tanpa alasan yang sah
atau
karena
kemampuannya.
hal
lain
di
luar
c. Salah satu pihak mendapat hukuman
penjara 5 (lima) tahun atau hukuman
yang lebih berat setelah perkawinan
berlangsung.
d. Salah satu pihak melakukan kekejaman
atau
penganiayaan
berat
yang
membahayakan pihak lain.
e. Salah satu pihak mendapat cacat badan
atau penyakit dengan akibat tidak dapat
menjalankan
kewajibannya
sebagai
suami/istri.
f.
Antara suami dan istri terus-menerus
terjadi perselisihan dan pertengkaran
dan tidak ada harapan akan hidup rukun
lagi dalam rumah tangga.
g. Suami melanggar ta’lik talak.
h. Peralihan agama atau murtad yang
menyebabkan
terjadinya
ketidakrukunan dalam rumah tangga.
Pasal 117
Talak adalah ikrar suami dihadapan siang
Pengadilan Agama yang menjadi salah satu
sebab putusnya perkawinan, dengan cara
sebagaimana dimaksud dalam pasal 129,
130 dan 131.
Pasal 118
Talak Raj’i adalah talak kesatu atau kedua,
di mana suami berhak rujuk selam istri
dalam masa iddah.
Pasal 119
1. Talak Ba’in Shugra adalah hak talak
tidak boleh dirujuk tapi boleh akad
nikah baru dengan bekas suaminya
meskipun dalam masa iddah.
2. Talak
Ba’in
Shugra
sebagaimana
tersebut pada ayat (1) adalah:
a. Talak yang terjadi qabla-dhukul;
b. Talak dengan tebusan taau kulu’;
c. Talak
yang
dijatuhkan
oleh
Pengadilan Agama.
Pasal 120
Talak Ba’in Kubra adalah talak yang terjadi
untuk ketiga kalinya. Talak jenis ini tidak
dapat dirujuk dan tidak dapat dinikahkan
kembali, kecuali apabila pernikahan itu
dilakukan setelah bekas istri menikah
dengan orang lain dan kemudian terjadi
perceraian ba’da al-dukhul dan habis masa
iddahnya.
Pasal 121
Talak sunni yang dibolehkan, yaitu talak
yang dijatuhkan terhadap istri yang sedang
suci dan tidak dicampuri dalam waktu suci
tersebut.
Pasal 122
Talak bid’i adalah talak yang dilarang, yaitu
tlak yang dijatuhkan pada waktu istri dalam
keadaan haid, atau istri dalam keadaan suci
tapi sudah dicampuri pada waktu suci
tersebut.
Pasal 123
Perceraian itu terjadi terhitung pada saat
perceraian itu dinyatakan di depan sidang
Pengadilan.
Pasal 124
Khulu’ harus berdasarkan atas perceraian
sesuai dengan ketentuan pasal 116.
Pasal 125
Li’ah menyebabkan putusnya perkawinan
antara suami istri untuk selama-lamanya.
Pasal 126
Li’ah terjadi karena suami menuduh istri
mberbuaut zina dan atau mengingkari anak
dalam kandungan atau yang sudah lahir dari
istrinya, sedangkan istri menolak tuduhan
san atau pengingkaran tersebut.
Pasal 127
Tata cara Li’an diatur sebagai berikut:
a. Suami bersumpah empat kali dengan
kata
tuduhan
zina
dan
atau
pengingkaran anak tersebut, diikuti
sumpah
kelima
dengan
kata-kata:
“Laknat Allah atas sirinya apabila
tuduhan
dan
atau
pengingkaran
tersebut dusta”.
b. Istri
menolak
tuduhan
dan
atau
pengingkaran tersebut dengan sumpah
empat kali dengan kata ‘tuduhan dan
atau pengingkran tersebut tidak benar”,
diikuti sumpah kelima dengan kata-kata
“murka Allah atas dirinya bila tuduhan
dan atau pengingkaran tersebut benar”.
c. Tata cara huruf a dan b tersebut
mertupakan satu kesatuan yang tak
terpisahkan.
d. Apabila tata cara huruf a tidak diikuti
dengan tata cara huruf b maka
diangggap tidak terjadi li’an.
Pasal 128
Li’an hanya sah apabila dilakukan di
hadapan sidang Pengadilan Agama.
Bagian Kedua
Tata Cara Perceraian
Pasal 129
Seorang suami yang akan menjatuhkan
talak
kepada
istrinya
mengajukan
permohonan, baik lisan maupun tertulis
kepada
Pengadilan
Agama
yang
memwilayahi tempat tinggal istri disertai
dengan alasan serta meminta agar diadakan
sidang untuk keperluan itu.
Pasal 130
Pengadilan Agama dapat mengabulkan atau
menolak
permohonan
tersebut,
dan
terhadap keputusan tersebut dapat diminta
upaya hukum banding dan kasasi.
Pasal 131
1. Pengadilan Agama yang bersangkutan
mempelajari permohonan dimaksud
pasal 129 dan dalam waktu selambatlambatnya tiga puluh hari memanggil
pemohon dan istrinya untuk menerima
penjelasan tentang segala sesuatu yang
berhubungan
dengan
maksud
menjatuhkan talak.
2. Setelah
Pengadilan
Agama
tidak
berhasil menasihati kedua belah pihak
dan ternyata cukup alasan untuk
menjatuhkan
talak
serta
yang
bersangkutan tidak mungkin lagi hidup
rukun dalam rumah tangga, Pengadilan
Agama
tentang
menjatuhkan
izin
bagi
keputusannya
suami
untuk
mengikrarkan talak.
3. Setelah
kekuatan
keputusan
hukum
mempunyai
tetap,
suami
mengikrarkan talaknya di depan sidang
Pangadilan Agama, di hadiri oleh istri
atau kuasanya.
4. Bila suami tidak mengucapkan ikrar
talak dalam tempo 6 (enam) bulan
terhitung sejak putusan Pengadilan
Agama tentang izin ikrar talak baginya
mempunyai kekuatan hukum yang
tetap,
maka
hak
suami
unutk
mengikrarkan talak gugur dan ikatan
perkawinan tetap utuh.
5. Setelah sidang penyaksian ikrar talak
Pengadilan
Agama
memmbuat
penetapan tentang terjadinya talak
rangkap empat yang merupakan bukti
perceraian bagi bekas suami dan istri.
Helai pertama beserta surat ikrar talak
dikirimkan kepada Pegawai Pencatat
Nikah yang memwilayahi tempat tinggal
suami untuk diadakan pencatatan, helai
kedua
dan
ketiga
masing-masing
diberikan kepada mantan suami istri,
dan helai keempat disimpan oleh
Pengadilan Agama.
Pasal 132
1. Gugatan perceraian diajukan oleh istri
atau
kuasanya
Agama,
yang
kepada
Pengadilan
daerah
hukumnya
memwilayahi tempat tinggal penggugat
kecuali istri meninggalkan kediaman
bersama tanpa izin suami.
2. Dalam
hal
kediaman
Pengadilan
tergugat
di
luar
bertempat
negeri,
Agama
Ketua
memberitahu
gugatan tersebut kepada tergugat
melalui Perwakilan Republik Indonesia
setempat.
Pasal 133
1. Gugatan perceraian karena alasan
tersebut dalam pasal 116 huruf b, dapat
diajukan
setelah
tahunterhitung
lapau
sejak
2
(dua)
tergugat
meninggalkan rumah.
2. Gugatan
tergugat
dapat
diterima
menyatakan
apabila
atau
menunjukkan sikap tidak mau lagi
kembali ke rumah kediaman bersama.
Pasal 134
Gugatan perceraian karena alasan tersebut
dalam pasal 116 huruf f, dapat diterima
apabila telah cukup jelas bagi Pengadilan
Agama mengenai sebab-sebab perselisihan
dan
pertengkaran
itu
dan
setelah
mendengar pihak keluarga serta orangorang yang dekat dengan suami istri
tersebut.
Pasal 135
Gugatan perceraian karena alasan suami
mendapat hukuman penjara 5 (lima tahun)
atau hukuman yang lebih berat sebagai
dimaksud dalam pasal 116 huruf c, maka
untuk mendapatkan putusan perceraian
sebagai
bukti
penggugat
cukup
menyampaikan Salinan putusan Pengadilan
yang
memutuskan
keterangan
yang
perkara
menyatakan
disertai
bahwa
putusan itu telah mempunyai kekuatan
hukum tetap.
Pasal 136
1. Selama
berlangsungnya
perceraian
atau
gugatan
permohonan
penggugat atau tergugat berdasarkan
pertimbangan bahaya yang mungkin
ditimbulkan, Pengadilan Agama dapat
mengizinkan suami istri tersebut untuk
tidak tinggal dalam satu rumah.
2. Selama
berlangsungnya
perceraian
atau
gugatan
permohonan
penggugat atau tergugat, Pengadilan
Agama dapat:
a. Menentukan nafkah yang harus
ditangggung oleh suami.
b. Menentukan hal-hal yang perlu
untuk
menjamin
terpeliharanya
barang-barang yang menjadi hak
bersama suami istri atau barang-
barang yang menjadi hak suami
atau barang-barang yang menjadi
hak istri.
Pasal 137
Gugatan perceraian gugur apabila suami
atau istri meninggal sebelum adanya
putusan
Pengadilan
Agama
mengenai
gugatan perceraian itu.
Pasal 138
1. Setiap kali diadakan sidang Pengadilan
Agama
yang
memeriksa
gugatan
perceraian, baik penggugat maupun
tergugat, atau kuasa mereka akan
dipanggil untuk menghadiri sidang
tersebut.
2. Panggilan untuk menghadiri sidang
sebagaimana tersebut dalam ayat (1)
dilakukan oleh petugas yang ditunjuk
oleh Ketua Pengadilan Agama.
3. Panggilan disampaikan kepada pribadi
yang
bersangkutan.
Apabila
yang
bersangkutan tidak dapat dijumpai,
panggilan disampaikan melalui Lurah
atau yang sederajat.
4. Panggilan sebagai tersebut dalam ayat
(1) dilakukan dan disampaikan secara
patut
dan
sudah
diterima
oleh
penggugat maupun tergugat atau kuasa
mereka selambat-lambatnya 3 (tiga)
hari sebelum sidang dibuka.
5. Panggilan kepada tergugat dilampiri
dengan Salinan surat gugatan.
Pasal 139
1. Apabila tempat kediaman tergugat
tidak
jelas
atau
tergugat
tidak
mempunyai tempat kediaman tetap,
panggilan
dilakukan
dengan
cara
menempelkan gugatan pada papan
pengumuman di Pengadilan Agama dan
mengumumkannya melalui satu atau
beberapa surat kabar atau mass media
lain yang ditetapkan oleh Pengadilan
Agama.
2. Pengumuman melalui surat kabar atau
surat-surat kabar atau mass media
tersebut dalam ayat (1) dilakukan
sebanyak 2 (dua) kali dengan tenggang
waktu satu bukan antara pengumuman
pertama dan kedua.
3. Tenggang
waktu
antara
panggilan
terakhir sebagaimana dimaksud pada
ayat (2) dengan persidangan ditetapkan
sekurang-kurangnya 3 (tiga) bulan.
4. Dalam
hasil
sudah
dilakukan
sebagaimana dimaksud dalam ayat (2)
dan tergugat atau kuasanya tetap tidak
hadir, gugatan diterima tanpa hadirnya
tergugat, kecuali apabila gugatan itu
tanpa hak atau tidak beralasan.
Pasal 140
Apabila tertugat berada dalam keadaan
sebagaimana dimaksud dalam pasal 132
ayat (2), panggilan disampaikan melalui
perwakilan Republik Indonesia setempat.
Pasal 141
1. Pemeriksaan
dilakukan
gugatan
oleh
Hakim
perceraian
selambat-
lambatnya 30 (tiga puluh) hari setelah
diterimanya berkas atau surat gugatan
perceraian.
2. Dalam
menetapkan
waktu
sidang
gugatan perceraian perlu diperhatikan
tetntang
waktu
pemanggilan
dan
diterimanya penggilan tersebut oleh
penggugat atau tergugat atau kuasa
mereka.
3. Apabila tergugat dalam keadaan seperti
tersebut dalam pasal 116 huruf b,
sidang pemeriksaan gugatan perceraian
ditetapkan
(enam)
sekurang-kurangnya
bulan
terhitung
6
sejak
dimasukkannya
gugatan
perceraian
pada Kepanitraan Pengadilan Agama.
Pasal 142
1. Pada sidang pemeriksaan gugatan
perceraian, suami istri datang sendiri
atau mewakilkan kepada kuasanya.
2. Kepentingan pemeriksaan Hakim dapat
memerintahkan
yang
bersangkutan
untuk hadir sendiri.
Pasal 143
1. Dalam pemeriksaan gugatan, Hakim
berusaha mendamaikan kedua belah
pihak,
2. Semala perkara belum diputuskan,
usaha mendamaikan dapat dilakukan
setiap sidang permeriksaan.
Pasal 144
Apabila terjadi perdamaian maka tidak
dapat diajukan gugatan perceraian baru
berdasarkan alasan atau alasan-alasan yang
ada sebelum perdamaian dan diketahui
oleh penggugat pada waktu dicapainya
perdamaian.
Pasal 145
Apabila tidak dapat dicapai perdamaian,
pemeriksaan gugatan perceraian dilakukan
dalam sidang tertutup.
Pasal 146
1. Putusan mengenai gugatan perceraian
dilakukan dalam sidang terbuka
2. Suatu perceraian diangggap terjadi
neserta akibat-akibat terhitung sejak
jatuhnya putusan Pengadilan Agama
yang telah mempunyai kekuatan hukum
yang tetap.
Pasal 147
1. Setelah perkaran itu diputuskan maka
Panitera
Pengadilan
Agama
menyampaikan Salinan surat putusan
tersebut kepada mantan suami istri
atau kuasa dengan menarik Kutipan
Akta Nikah dari masing-masing yang
bersangkutan.
2. Panitera
Pengadilan
Agama
berkewajiban mengirimkan satu helai
Salinan putusan Pengadilan Agama yang
telah mempunyai kekuatan hukum yang
tetap tanpa bermaterai kepada Pegawai
Pncatat
Nikah
yang
memwilayahi
tempat tingal istri untuk diadakan
pencatatan.
3. Panitera
Pengadilan
Agama
mengirimkan Surat Keterangan kepad
masing-masing
suami
istri
atau
kuasanya bahwa putusan tersebut ayat
(1) telah mempunyai kekuatan hukum
yang tetap dan merupakan bukti
perceraian bagi suami dan bekas istri.
4. Penitera Pengadilan Agama membuat
catatan dalam ruang yang tersedia pada
kutipan Akta Nikah yang bersangkutan
bahwa meraka telah bercerai.
Catatan
tersebut
terjadinya
berisi
perceraian,
tempat
tanggal
perceraian, nomor dan tanggal surat
putusan serta tanda tangan Panitera.
5. Apabila Pegawai Pencata Nikah yang
memwilayahi
tempat
tinggal
istri
berbeda dengan Pegawai Pencatat
Nikah
tempat
pernikahan
mereka
dilangsungkan, maka satu helai Salinan
putusan
Pengadilan
Agama
sebagaimana dimaksud dalam ayat (2)
dikirimkan kepada Pegawai Pencatat
Nikah
yang
memwilayahi
tempat
perkawinan dilangsungkan, dan bagi
perkawinan yang dilangsungkan di luar
negeri, salinan itu disampaikan kepada
Pegawai Pencatat Nikah di Jakarta.
6. Kelalaian mengirimkan Salinan putusan
tersebut
dalam
ayat
(1) menjadi
tanggung
jawab
Panitera
yang
bersangkutan, apabila yang demikian
itu mengakibatkan kerugian bagi bekas
suami atau istri atau keduanya.
Pasal 148
1. Seorang istri yang mengajukan gugatan
perceraian
dengan
menyampaikan
kepada
khulu’,
permohonannya
Pengadilan
memwilayahi
jalan
Agama
tempat
yang
tinggalnya
disertai alasan atau alasan-alasannya.
2. Pengadilan Agama selambat-lambatnya
satu
bulan
suaminya
memanggil
untuk
istri
dan
didengar
keterangannnya masing-masing.
3. Dalam persidangan tersebut Pengadilan
Agama memberikan penjelasan tetnang
akibat khulu’, dan memberikan nasihatnasihatnya.
4. Setelah kedua belah pihak sepakat
tentang besarnya iwadh atau tebusan,
maka Pengadilan Agama memberikan
penetapan tentang izin bagi suami
untuk mengikrarkan talaknya di depan
sidang Pengadilan Agama.
Terhadap penetapan itu tidak dapat
dilakukan upaya banding dan kasasi.
5. Penyelesaian
selanjutnya
ditempuh
sebagaimana yang diatur dalam pasal
131 ayat (5).
6. Dalam hal tidak tercapai kesepakatan
tentang besarnya tebusan atau ‘iwadh,
Pengadilan Agama memeriksa dan
memutuskan sebagai perkara biasa.
Download