BAB 10 PUTUSNYA PERKAWINAN Suatu perkawinan dapat putus dan berakhir karena beberapa hal, yaitu karena terjadinya talak yang dijatuhkan oleh suami terhadap istrinya, atau karena perceraian yang terjadi antara keduanya, atau karena sebab-sebab lain. Hal-hal yang menyebabkan putusnya perkawinan itu akan dijelaskan berikut ini. A. TALAK 1. Pengertian Talak Talak terambil dari kata “ithlaq” menurut Bahasa artinya “melepaskan atau meninggalkan. Menurut istilah syara’, talak yaitu: َ َِح ُّل َرب َّ عَل قَ ِة َّ ط ِة َ الز َواجِ َواِ ن َها ُء ال الز و ِجيَّ ِة “Melepas tali perkawinan dan mengakhiri hubungan suami istri” Al-Jaziry mendefinisikan: َّ َ ا ص ٍ صو ُ صانَ َحلَّ ِه بِلَفظٍ َمخ َ لط ََل ُق اِزَ الَة ُ النَّكَحِ اَو نُق Talak ialah menghilangkan ikatan perkawinan atau mengurangi pelepasan ikatannya dengan menggunakan kata-kata tertentu. Menurut Abu Zakaria AL-Anshari, talak ialah: َّ َِاح ِب َلفظ ق َونَح ِوه َ َح ُّل ِ الط َلَل ِ عق ِد النَّك Melepas tali akad nikah dengan kata talak dan yang semacamnya. Jadi, talak itu ialah menghilangkan ikatan perkawinan sehingga setelah hilangnya ikatan perkawinan itu istri tidak lagi halal bagi suaminya, dan ini terjadi dalam hal talak ba’in, sedangkan arti mengurangi pelepasan ikatan perkawinan ialah berkurangnya hak talak bagi suami yang mengakibatkan jumlah talak manjadi hak suami dari tiga menjadi dua, dari dua menjadi satu dan dari satu menjadi hilang hak talak itu, yaitu terjadi dalam talak raj’i. 2. Macam-macam Talak. Ditinjau dari segi waktu dijatuhkannya talak itu, mala talak dibagi menjadi tiga macam, sebagai berikut: a. Talak Sunni, yaitu talak yang dijatuhkan sesuai dengan tuntunan sunah. Dikatakan talak sunni jika memenuhi empat syarat: 1. Istri yang ditalak sudah pernah digauli, bila talak dijatuhkan terhadap istri yang belum pernah digauli, tidak termasuk talak sunni. 2. Istri dapat segera melakukan iddah suci setelah ditalak, yaitu dalam keadaan suci dari haid. Menurut ulama Syafi’iyah, perhitungan iddah bagi wanita berhaid ialah tiga kali suci, bukan tiga kali haid. Talak terhadap istri yang telah lepas haid (menopause) atau belum pernah haid, atau sedang hamil, atau talak karena suami meminta tebusan (khulu’), atau ketika istri dalam haid, semuanya tidak temasuk dalam talak sunni. 3. Talak itu dijatuhkan ketika istri dalam keadaan suci, baik di permulaan, di pertengahan maupun di akhir suci, kendati beberapa saat lalu datang haid. 4. Suami tidak pernah menggauli istri selama masa suci dimana talak itu dijatuhkan. Talak yang dijatuhkan oleh suami ketika istri dalam keadaan suci dari haid tetapi pernah digauli, tidak termasuk talak sunni. b. Talak Bid’i, yaitu talak yang dijatuhkan tidak sesuai atau bertentangan dengan tuntunan sunnah, tidak memenuhi ssyarat-syarat talak sunni. Termasuk talak bid’i ialah: 1. Talak yang dijatuhkan terhadap istri pada waktu haid (menstruasi), baik di permulaan haid maupun di pertengahannya. 2. Talak yang dijatuhkan terhadap istri dalam keadaan suci tetapi pernah digauli oleh suaminya dalam keadaan suci dimaksud. c. Talak la sunni wala bid’i, yaitu talak yang tidak termasuk kategori talak sunni dan tidak pula termasuk talak bid’i, yaitu: 1. Talak yang dijatuhkan terhadap istri yang belum pernah digauli. 2. Talak yang dijatuhkan terhadap istri yang belum pernah haid, atau istri yang telah lepas haid. 3. Talak yang dijatuhkan terhadap istri yang sedang hamil. Ditinjau dari segi tegas dan tidaknya kata-kata yang dipergunakan sebagai ucapan talak, maka talak dibagi menjadi dua macam, sebagai berikut: a. Talak Sharih, yaitu talak dengan mempergunakan kata-kata yang jelas dan tegas, dapat dipahami sebagai pernyataan talak atau cerai seketika diucapkan, tidak mungkin dipahami lagi. Imam Syafi’i mengatakan bahwa kata-kata yang dipergunakan untuk talak sharih ada tiga, yaitu talak, firaq, dan sarah, ketiga ayat itu disebut dalam Al-Quran dan Hadits. Ahl al-Zhahiriyah berkata bahwa talak tidak jatuh kecuali dengan mempergunakan salah satu dari tiga kata tersebut, karena syara’ telah mempergunakan kata-kata ini, padahal talak adalah perbuatan ibadah, karenanya mempergunakan telah ditetapkan diisyaratkan kata-kata oleh yang syara’. Beberapa contoh talak sharih ialah seperti suami berkata kepada istrinya: 1. Engkau saya talak sekarang juga. Engkau saya cerai sekarang juga. 2. Engkau saya firaq sekarang juga. Engkau saya pisahkan sekarang juga. 3. Engkau saya sarah sekarang juga. Engkau saya lepas sekarang juga. Apabila suami menjatuhkan talak terhadap istrinya dengan talak sharih maka menjadi jatuhlah talak itu dengan sendirinya, sepanjang ucapan itu dinyatakan dalam keadaan sadar dan atas kemauan sendiri. b. Talak Kinayah, yaitu talak dengan mempergunakan kata-kata sindiran, atau samar-samar, seperti suami berkata kepada istrinya: 1. Engkau sekarang telah jauh dari diriku. 2. Selesaikan sendiri segala urusanmu. 3. Janganlah engkau mendekati aku lagi. 4. Keluarlah engkau dari rumah ini sekarang juga. 5. Pergilah engkau dari tempat ini sekarang juga. 6. Susullah keluargamu sekarang juga. 7. Pulanglah ke rumah orang tuamu sekarang. 8. Beriddahlah engkau dan bersihkan kandungannmu itu. 9. Saya sekarang telah sendirian dan hidup membujang. 10. Engkau sekarang telah bebas merdeka, hidup sendirian. Ucapan-ucapan tersebut mengandung kemungkinan cerai dan mengandung kemungkinan lain. Tentang kedudukan talak dengan kata-kata kinayah atau sindiran ini sebagaimana Taqiyuddin dikemukakan Al-Husaini, oleh bergantung kepada niat suami. Artinya, jika suami dengan kata-kata tersebut bermaksud menjatuhkan talak, maka menjadi jatuhlah talak itu, dan jika suami dengan kata-kata itu tersebut tidak bermaksud menjatuhkan talak maka talak itu tidak jatuh. Ditinjau dari segi ada atai tidak adanya kemungkinan bekas suami merujuk kembali bekas istri, maka talak dibagi menjadi dua macam, sebagai berikut: a. Talak Raj’i, yaitu talak yang dijatuhkan suami terhadap istrinya yang pernah digauli, bukan karena memperoleh ganti harta dari istri, talak yang pertama kali dijatuhkan atau yang kedua kalinya. Dr. As-Siba’i mengatakan bahwa talak raj’i adalah talak yang untuk kembalinya kepada bekas memerlukan bekas suami istri tidak pembaruan akad nikah, tidak memerlukan mahar, serta tidak memerlukan persaksian. Setelah terjadi talak raj’i maka istri wajib beriddah, hanya bila kemudian suami hendak kembali kepada bekas istri sebelum berkahir masa iddah, maka hal itu dapat dilakukan dengan menyatakan rujuk, tetepi ika dalam masa iddah tersebut bekas suami tidak menyatakan rujuk terhadap bekas istrinya, maka dengan berakhirnya masa iddah itu kedudukan talak menjadi talak ba’in; kemudian jika sesudah berakhirnya masa iddah itu suami ingin kembali kepada bekas istrinya maka wajib dilakukan dengan akad nikah baru dan dengan mahar yang baru pula. Talak raj’i hanya terjadi pada talak pertama dan kedua saja, berdasarkan firman Allah dalam surat Al-Baqarah ayat 229: ٌۢ س َّ َ ا اك بِ َمع ُروفٍ اَو ت َس ِري ٌۢح َ لط ََل ُق َم َّر ٰت ِن ۖ فَاِم ان َ ِباِح ٍ س Talak (yang dapat dirujuk) dua kali. Setelah itu noleh rujuk lagi dengan cara yang makruf atau menceraikan dengan cara yang baik. Ayat ini memberi makna bahwa talak yang disyariatkan Allah ialah talak yang dijatuhkan oleh suami satu demi satu, tidak sekaligus, dan bahwa suami boleh memelihara kembali bekas istrinya setelah talak pertama dengan cara yang baik, demikian pula setelah talak kedua. Arti kembali ialah dengan merujuknya dan mngembalikannya ke dalam ikatan perkawinan dan berhak mengumpuli dan mempergaulinya dengan cara yang baik. Hak merujuk hanya terdapat dalam talak raj’i saja. b. Talak ba’in, yaitu talak yang tidak memberi hak merujuk bekas suami terhadap bekas istrinya. Untuk mengembalikan bekas istri ke dalam ikatan perkawinan dengan bekas suami harus melalui akad nikah baru, lengkap dengan rukun dan syarat-syaratnya. Talak ba’in ada dua macam, yaitu talak ba’in sughro dan talak ba’in kubro. - Talak ba’in shugro ialah talak ba’in yang pemilikan menghilangkan bekas suami terhadap bekas istri tetapi tidak menghilangkan kehalalan bekas suami untuk kawin kembali dengan bekas istri. Artinya, bekas suami boleh mengadakan akad nikah baru dengan bekas istri, baik dalam masa iddahnya maupun sesudah berakhir masa iddahnya. Termasuk dalam talak ba’in shugro ialah: 1) Talak sebelum berkumpul 2) Talak dengan penggantian harta atau yang disebut khulu’ 3) Talak karena aib (cacat badan), karena salah seorang dipenjara, talak karena penganiayaan, atau yang semacamnya. - Talak ba’in kubro, yaitu talak yang menghilangkan pemilikan bekas suami terhadap bekas istri serta menghilangkan kehalalan bekas suami unutk kawin kembali dengan bekas istrinya, kecuali setelah bekas istri itu kawin dengan laki-laki lain, telah berkumpul dengan suami kedua itu serta telah bercerai selesai wajar dan telah menjalankan masa iddahnya. Talak ba’in kubro terjadi pada talak yang ketiga. Hal ini sesuai dengan firman Allah dalam surat Al-Baqarah ayat 230: َ فَاِن طلَّقَ َها فَ ََل تَحِ ُّل لَ ٗه مِ ٌۢن َبع ُد َحتّٰى ت َن ِك َح زَ و ًجا غَي َر ٗه Kemudian jika suami mentalaknya (sesudah talak yang kedua), maka perempuan itu tidak halal lagi baginya, sampai dia kawin dengan suami yang lain. Ditinjau dari segi cara suami menyampaikan talak terhadap istrinya, ada beberapa talak macam, yaitu sebagai berikut: a. Talak dengan ucapan, yaitu talak yang disampaikan oleh suami dengan ucapan dihadapan istrinya dan istri mendengar secara langsung ucapan suaminya itu. b. Talak dengan tulisan, yaitu talak yang disampaikan oleh suami secara tertulis lalu disampaikan kepada istrinya, kemudian istri membacanya dan memahami maksudnya. isi Talak dinyatakan secara dan yang tertulis dapat dipandang jatuh (sah), meski dapat yang bersangkutan mengucapkannya. Sebagaimana talak dengan ucapan ada talak sharih dan talak kinayah, maka talak dengan tulisan demikian pula. Talak sharih jatuh dengan semata-mata pernyataan talak, sedangkan talak kinayah bergantung pada niat suami. c. Talak dengan isyarat, yaitu talak yang dilakukan dalam bentuk isyarat oleh suami yang tuna wicara. Isyarat ,bagi suami yang tuna wicara (bisu) dapat dipandang sebagai alat komunikasi untuk memberikan pengertian dan menyampaikan maksud dan isi hati. Oleh karena itu, isyarat baginya sama dengan ucapan bagi yang dapat berbicara dalam menjatuhkan talak, sepanjang isyarat itulah satusatunya jalan untuk menyampaikan maksud yang terkandung dalam hatinya. Sebagian fuqaha mensyaratkan bahwa untuk sahnya talak dengan isyarat bagi orang tuna wicara itu ia adalah buta huruf. Jika yang bersangkutan mengenal tulisan dan dapat menulis, maka talak baginya tidak cukup dengan isyarat, karena tulisan itu lebih menunjukkan dapat maksud ketimbang isyarat, dan tidak beralih tulisan ke isyarat, kecuali darurat, yakni tidak dapat menulis. d. Talak dengan utusan, yaitu talak yang disampaikan oelh suami kepada istrinya melalui perantaraan sebagai orang utusan lain untuk menyampaikan maksud suami itu kepada istrinya yang tidak berada dihadapan bahwa suami suami mentalak istrinya. Dalam hal ini utusan berkedudukan sebagai wakil suami untuk menjatuhkan talak suami dan melaksanakan talak itu. 3. Rukun dan Syarat Talak Rukun talak ialah unsur pokok yang harus ada dalam talak dan terwujudnya talak bergantung ada dan lengkapnya unsur-unsur yang dimaksud. Rukun talak ada empat, sebagai berikut: a. Suami. Suami adalah yang memiliki hak talak dan berhak menjatuhkannya, selain suami tidak berhak menjatuhkannya. Oleh karena talak itu bersifat menghilangkan ikatan perkawinan, maka talak tidak mungkin terwujud kecuali setelah nyata adanya akad perkawinan yang sah. Abu Ya’la dan Al-Hakim meriwayatkan hadits dari Jabir bahwa Rasulullah bersabda : َ ٍطَلَقَ االً بـَع َد نِكَاحِ َوالَ عِتقَ اِالَ بـَع َد مِ لك Tidak ada talak kecuali setelah akad perkawinan dan tidak ada pemerdekaan kecuali setelah ada pemilikan. Abu daud dan Al-Tirmidzi meriwayatkan hadits dari Ami ibn Syu’aib bahwa rasulullah bersabda: ُالَنَ َذ َر الِب ِن ا َ َد َم فِي َما الَ يم ِلكُ َوالَ عِتقَ فِي َما الَ ي َم ِلك َ ََو ال ُطَلَقَ فِي َما الَ ي َم ِلك Tidak ada nazar bagi anak Adam (manusia) tentang hal yang baik dimiliki, tidak ada pemerdekaan budak dalam hal tidak dimiliki, dan tidak ada talak dalam hal yang tidak dimiliki. Untuk sahnya talak, suami yang menjatuhkan talak diisyaratkan: 1. Berakal. Suami yang gila tidak sah menjatuhkan talak. Yang dimaksud dengan gila dalam hal ini ialah hilang akal atau rusak akal karena sakit, termasuk ke dalamnya sakit pitam, hilang akal karena sakit panas atau sakit ingatan karena rusak syaraf otaknya. 2. Baligh. Tidak dipandang jatuh talak yang dinyatakan oleh orang yang belum dewasa. Dalam hal ini ulama Hanabilah mengatakan bahwa talak oleh anak yang sudah mumayyiz kendati umur anak itu kurang dari 10 tahun asalkan ia telah mengenal arti talak dan mengetahui akibatnya, talak dipandang jatuh. 3. Atas kemauan sendiri. Yang dimaksud atas kemauan sendiri disini ialah kehendak pada suami diri suami untuk menjatuhkan talak itu dan dijatuhkan atas pilihan sendiri, bukan dipaksa orang lain. Kehendak dan kesukarelaan melakukan dasar taklif perbuatan dan menjadi pertanggung jawaban. Oleh karena itu, orang yang dipaksa melakukan sesuatu (dalam hal ini menjatuhkan talak) tidak bertanggung jawab atas perbuatannya. Hal ini sesuai dengan sabda Rasulullah: َ تى اَلخ َّ طا َو الن س َّ ا َِّن َ ض َع َ َّللا َو ِ عن ا ُ َّم ع َلي ِه َ يِانَ َو َمااس ت َك ِر هُوا Sungguh Allah melepaskan dari umatku tanggung jawabdari dosa silap, lupa dan sesuatu yang dipaksakan kepadanya. b. Istri. Masing-masing suami hanya berhak menjatuhkan talak terhadap istrinya sendiri. Tidak dipandang jatuh talak yang dijatuhkan terhadap istri orang lain. Untuk sahnya talak, bagi istri yang ditalak diisyaratkan sebagai berikut: 1. Istri itu masih tetap berada dalam perlindungan kekuasaan suami. Istri yang menjalin masa iddah talak raj’i dari suaminya oleh hukum Islam dipandang masih berada dalam perlindungan kekuasaan suami. Karenanya bila dalam masa itu suami menjatuhkan talak lagi, dipandang jatuh talaknya sehingga menambah jumlah talak yang dijatuhkan dan mengurangi hak talak yang dimiliki suami. Dalam hal talak ba’in, bekas suami tidak berhak menjatuhkan talak lagi terhadap bekas istrinya meski dalam masa iddahnya, karena dengan talak ba’in itu bekas istri tidak lagi berada dalam perlindungan kekuasaan bekas suami. 2. Kedudukan istri yang ditalak itu harus berdasarkan atas akad perkawinan yang sah. Jika ia menjadi istri dengan akad nikah yang batil, seperti akad nikah terhaddap wanita dalam masa iddahnya, atau akad nikah dengan perempuan saudara istrinya (memadu antara dua perempuan bersaudara), atau akad nikah dengan anak tirinya padahal suami pernah menggauli ibu anak tirinya itu dan anak tiri itu berada dalam pemeliharaannya, maka talak yang demikian itu tidak dipandang ada. c. Sighat Talak Sighat talak ialah kata-kata yang diucapkan oleh suami terhadp istrinya yang menunjukkan talak, baik itu berupa sharih (jelas) maupun kinayah (sindiran), baik berupa ucapan/lisan, tulisan, isyarat, bagi suami tuna wicara ataupun dengan suruhan orang lain. Talak tidak pernuatan menunjukkan suami dipandang suami jatuh jika terhadap istrinya kemarahannya, semisal memarahi istri, memukulnya, mengantarkannya ke rumah orang tuanya, menyerahkan barang-barangnya, tanpa disertai pernyataan talak, maka yang demikian bukan talak. Demikian pula niat talak atau masih berada dalam pikiran dan angan-angan, tidak diucapkan, tidak dipandang sebagai talak. Pembicaraan suami tentang talak tetapi tidak ditujukan terhadap istrinya juga tidak dipandang sebagai talak. d. Qashdu (Sengaja), artinya bahwa dengan ucapan talak itu memang dimaksudkan oleh yang mengucapkannya untuk talak, bukan unutk maksud lain. Oleh karena itu, salah ucap yang tidak dimaksud untuk talak dipandang tidak jatuh talak, seperti suami memberikan istrinyam, sebuah semestinya salak ia kepada mengatakan kepada istrinya itu kata-kata: “Ini sebuah salak untukmu”, tetapi keliru ucapan, berbunyi: “Ini sebuah talak untukmu”, maka talak tidak dipandang jatuh. 4. Talak di Tangan Suami Hukum Islam menetapkan hak talak bagi suami dan suamilah yang memegang kendali talak, karena suami dipandang telah mampu memelihara kelangsungan hidup bersama. Suami diberi beban membayar mahar dan memikul nafkah istri dan anak-anaknya. Demikian pula suami diwajibkan mejamin nafkah istri selama ia menjalankan mas iddahnya. Hal-hal tersebut menjadi pengikat bagi suami untuk tidak menjatuhkan talak dengan sesuka hati. Pada umumnya, suami dengan pertimbangan akal dan bakat pembawaannya, lebih tabah menghadapi apa yang kurang menyenangkan ketimbang istri. Biasanya suami tidak cepa-cepat menjatuhkan talak karena sesuatu yang menimbulkan amarah emosinya, atau karena sesuatu keburukan pada diri istri yang memberatkan tanggung jawab suami. Hal ini berbeda dengan istri, biasanya wanita itu lebih menonjol sikap emosionalnya, kurang menonjol sikap rohaniahnya, cepat marah, kurang tahan menderita, mudah susah dan gelisah, dan jika bercerai bekas istri tidak menanggung beban materil terhadap bekas suaminya, tidak wajib membayar mahar, sehingga andaikata talak menjadi hak berada di tangan istri, maka besar kemungkinan istri akan lebih mudah menjatuhkan talak karena sesuatu sebab yang kecil. Al-Jurjawi mengemukakan bahwa wanita itu biasanya lebih mudah goncang pendapatnya menghadapi uji coba dan kesulitan hidup, kurang teguh dalam menghadapi ha-hal yang tidak disenangi. Biasanya wanita lebih mudah gembira dan mudah menjadi susah. Menjadikan hak talak di tangan suami akan lebih melastarikan hisup suami istri ketimbang hak talak itu di tangan istri Dalam pada itu suami sebagai penanggung jawab kebutuhan materil rumah tangga dan menjadi pemimpin keluarga. Pada umumnya, istri lebih tamak harta, sehingga andaikata hak talak diserahkan kepada kebijaksanaan istri, maka istri akan lebih senang berganti suami hanya untuk menjamin hidup yang lebih baik dan nafkah yang lebih besar dari suami yang kedua, dan masa iddah masih memperoleh jaminan nafkah dari bekas suami pertama. Demikian pula halnya jika hak talak itu berada di tangan suami dan istri secara sama, artinya suami berhak menjatuhkan talak dan demikian pula istri, maka persoalannya menjadi lebih buruk dan lebih fatal, karena jika terjadi perselisihan sedikit saja maka istri akan cepat-cepat menjatuhkan talak. Oleh karena itu, dijadikannya talak di tangan suami mengandung hikmah yang besar. Kendati talak di tangan suami saja masih banyak istri yang mengadukan gugatan cerai lewat Pengadilan Agama, apalagi kalua istri diberi hak menjatuhkan talak, maka bencana perceraian akan melanda dimana-mana. Dalam hal kekuasaan talak di tangan suami itu, istri tidak perlu berkecil hati dan khawatir akan kesewang-wenangan suami, karena hukum Islam memberi kesempatan istri untuk meminta talak kepada suaminya dengan mengembalikan mahar atau menyerahkan sejumlah harta tertentu kepada suami sebagai ganti rugi agar suami dapat memperoleh istri yang lain, kemudian atas dasar itu suami menjatuhkan talak. Inilah yang disebut dengan istilah khulu’ (talak tebus). Juga hukum Islam tidak menutup kemungkinan bagi istri untuk menyelamatkan diri dari penderitaan yang menimpa dirinya sehingga menimbulkan mudharat beginya bila perkawinan dilanjutkan, seperti suami menderita sakit yang wajib dijauhi, suami berperangai buruk, atau sebab-sebab lain semacam itu, sehingga istri selalu merasa tersiksa hidup bersama suaminya, maka istri boleh mengajukan gugatan cerai kepada Pengadilan menceraikan Agama, kemudian Hakim antara keduanya melalui keputusan pengadilan. 5. Persaksian Talak Kebanyakan fuqaha berpendapat bahwa talak itu dapat terjadi tanpa persaksian, yakni dipandang sah oleh hukum Islam suami menjatuhkan talak terhadap istrinya tanpa kehadiran dan kesaksian dua orang saksi, karena talak itu menjadi hak suami sehingga suami berhak sewaktu-waktu menggunakan haknya itu tanpa harus menghadirkan dua orang saksi, dan sahnya talak itu tidak bergantung kepada kehadiran saksi. Menurut ketentuan hukum Islam, talak adalah termasuk salah satu hak suami, Allah menjadikan hak talak di tangan suami, tidak menjadikan hak talak itu di tangan orang lain, baik itu orang lain itu istri, saksi ataupun pengadilan. Firman Allah dalam surat Al-Ahzab ayat 49 menyatakan sebagai berikut: َ ت ث ُ َّم …طلَّقت ُ ُموه َُّن ِ ٰ ٰٓياَيُّ َها الَّذِينَ ٰا َمنُ ٰٓوا اِذَا نَكَحت ُ ُم ال ُمؤمِ ٰن Hai orang-orang yang beriman, jika kamu menikahi permpuan-perempuan yang beriman, kemudian kamu mentalak (menceraikan) meraka…. Ayat ini menyatakan bahwa kaum laki-laki itu menikahi wanita lalu wanita itu menjadi istrinya yang berada dalam kekuasaannya, berkewajiban memeliharanya, sekiranya berkeberatan menunaikan kewajibannya itu maka suami berhak melepaskannya, sehingga aktivitas menikahi bermula dari pihak suami, demikian pula inisiatif talak dan hak mentalak berada ditangan suami. Firman Allah dalam surat Al-Baqarah ayat 231 menyatakan: َ َواِذَا … ٍس ۤا َء فَبَلَغنَ ا َ َجلَ ُه َّن فَاَم ِس ُكوه َُّن بِ َمع ُروف َ ِطلَّقت ُ ُم الن Apabila kamu mentalak istri-istrimu, lalu (dekat) sampai iddahnya, maka rujukilah mereka dengan cara yang makruf, atau ceraikanlah dengan cara yang makruf pula… Ibnu Qayyim berkata bahwa talak itu menjadi hak bagi orang yang menikahi, karena itulah yang berhak menahan istri, yakni merujuknya. Suami tidak memerlukan persaksian untuk mempergunakan haknya. Tidak ada riwayat dari Rasulullah dan para sahabatnya sesuatu yang menjadi dalil dan alasan disyari’atkannya persaksian talak. Dalam hal ini fuqaha Syi’ah Imamiyah berbeda pendapat dengan fuqaha jumhur, yaitu mereka (Syi’ah Imamiyah) berpendapat bahwa persaksian dalam talak adalah syarat sahnya talak. Alasan mereka ialah firman Allah dalam surat At-Talak ayat 2: َّ عد ٍل ِمن ُكم َواَقِي ُموا ال ش َها َدة َ ِ ّٰلِل َ َّواَش ِهدُوا ذَ َوي Dan persaksikanlah dengan dua orang orang saksi yang adil di antara kamu dan hendaklah kamu tegakkan kesaksian itu karena Allah. Al-Thabarani menuturkan bahwa zahir ayat memerintahkan adanya persaksian untuk taklak, dalam hal yang demikian juga diriwayatkan oleh imam-imam ahlulbait seluruhnya dan bahwa hal itu menunjuk wajib serta menjadi syarat sahnya talak. Diantara sahabat yang berpendapat wajibnya persaksian dalam talak dan menjadi syarat sahnya talak ialah Ali bin Abi Thalib dan Imran bin Husein. Dari tabi’in ialah Al-Imam Muhammad Al-Baqir, Ja’far Ash Shadiq, ‘Atho, Ibnu Juraij dan Ibnu Sirin. Diriwayatkan dari Ali bin Abi Thalib bahwa beliau berkata kepada orang yang bertanya tentang talak: Apakah talakmu telah engkau persaksikan di hadapan dua orang saksi yang adil sebagaimana Allah memerintahkannya? Orang itu menjawab: Tidak. Maka Ali bin Abi Thalib berkata: Pergilah engkau, talakmu itu bukan talak yang sebenarnya. Dalam hal persaksian talak ini rupanya Pemerintah Republik Indonesia cenderung kepada keharusan adanya persaksian talak dimaksud. Hal ini dapat dilihat pada pasal 39 Undang-undang No.1 tahun 1974 tetntang perkawinan yang menyatakan bahwa “perceraian hanya dapat dilakukan di depan Sidang Pengadilan yang berwenang”, kemudian pasal 14 Peraturan Pemerintah No.9 tahun 1975 menyatakan bahwa “suami yang telah melangsungkan perkawinan menurut Agama Islam, yang akan menceraikan istrinya, harus mengajukan surat kepada Pengadilan di tempat tinggalnya, yang berisi pemberitahuan bahwa dia bermaksud menceraikan istrinya disertai dengan alasan-alasan serta meminta kepada Pengadilan agar diadakan sidang unutk keperluan itu. Selanjutnya, pasal 16 Peraturan Pemerintah ini menyatakan bahwa Pengadilan hanya memutuskan untuk mengadakan sidang Pengadilan untuk menyaksikan perceraian yang dimaksud dalam pasal apabila memang terdapat alasan-alasan yang cukup sebagaimana dimaksud dalam pasal 19 Peraturan Pemerintah ini, dan Pengadilan berpendapat bahwa antara suami istri bersangkutan tidak mungkin didamaikan untuk hidup rukun lagi dalam rumah tangga. 6. Hukum Menjatuhkan Talak Stabilitas rumah tangga dan kontinuitas kehidupan suami istri adalah tujuan utama adanya perkawinan dan hal ini sangat diperhatikan oleh syari’at Islam. Akad perkawinan dimaksudkan untuk selama hidup, agar dengan demikian suami istri menjadikan rumah tangga sebagai tempat berteduh yang nyaman dan permanen agar dalam perlindungan rumah tangganya itu kedua suami istri dapat menciptakan iklim rumah tangga yang memungkinkan terwujudnya dan terpeliharanya anak keturunan dengan sebaikbaiknya. Untuk itu maka syari’at Islam menjadikan pertalian suami istri dalam ikatan perkawinan sebagai pertalian yang suci dan kokoh, sebagaimana Al-Quran memberi istilah pertalian itu dengan mitsaq ghalizh (janji kukuh). Firman Allah dalam surat An-Nisa’ ayat 21 menyatakan: ً غلِي ظا َ َّواَخَذنَ مِ ن ُكم ِميثَاقًا Dan mereka (istri-istrimu) telah mengambil dari kamu janji yang kuat. Oleh karena memelihara itu suami terhubungnya istri tali wajib pengikat perkawinan itu, dan tidak sepantasnya mereka berusaha merusak dan memutuskan tali pengikat tersebut. Meskipun suami oleh hukum Islam diberi menjatuhkan talak, namun tidak dibenarkan suami menggunakan hak itu dengan gegabah dan sesuka hati, apalagi hanya menurutkan hawa nafsunya. Menjatuhkan talak tanpa alasan dan sebab yang dibenarkan adalah termasuk perbuatan tercela, terkutuk dan dibenci oleh Allah. Rasulullah bersabda: َّ َ َّللاِ ا لط ََل ُق َّ َ َض اَل َح ََل ِل عِن َد ُ أَبغ Perkara halal yang paling dibenci Allah ialah menjatuhkan talak. Hadits ini menjadi dalil bahwa diantara jalan halal itu ada yang dimurkai Allah jika tidak dipergunakan sebagaimana mestinya dan yang paling dimurkai pelakunya tanpa alasan yang dibenarkan ialah perbuatan menjatuhkan talak. Maka menjatuhkan talak itu sama sekali tidak ada pahalanya dan tidak dipandang sebagai perbuatan ibadah. Hadits ini juga menjadi dalil bahwa suami wajib selalu menjauhkan diri dari menjatuhkan talak selagi masih ada jalan untuk menghindarkannya. Suami hanya dibenarkan menjatuhan talak jika terpaksa, tidak ada jalan menghindarinya, dan talak lain untuk itulah salah satunya jalan terciptanya kemaslahatan. Istri yang meminta talak kepada suaminya tanpa sebab dan alasan yang dibenarkan adalah perbuatan tercela, sebagai mana sabda Rasulullah: َ سأَلَت زَ و َج َها علَي َها َ ط ََلقًا مِ ن غَي ِر بَأ ٍس فَ َح َرا ُم َ ٍاَيُّ َما ام َرأَة .َرائِ َحةُ ال َجنَّ ِة Manakala istri menuntut cerai dari suaminya tanpa alasan, maka haram baginya bau surga. Para fuqaha berbeda pendapat tentang hukum asal menjatuhkan talak oleh suami. Yang paling tepat diantara pendapat itu ialah pendapat yang mengatakan bahwa suami diharamkan menjatuhkan talak kecuali karena darurat (terpaksa). Pendapat itu dikemukakan oleh ulama Hanafiyah dan Hanabilah. Alasannya ialah hadits yang menyatakan: ق ٍ ق مِ ط ََل ٍ َل َعنَ هللاُ كُ َّل ذَ َّوا Allah mengutuk suami tukang pencicip lagi suka mentalak istri. Mereka ini juga beralasan bahwa menjatuhkan talak berarti mengkufuri nikmat Allah, sebab perkawinan itu termasuk nikmat dan anugerah Allah, padahal mengkufuri nikmat Allah itu dilarang. Oleh karena itu, menjatuhkan talak tidak boleh, kecuali karena darurat (terpaksa). Diantara darurat yang mebolehkan suami menjatuhkan talak ialah keraguan suami terhadap perilaku istri, tertanam tidak senang di hati suami terhadap istri. Apabila tidak ada hajat yang mengharuskan adanya talak, menjadikan perbuatannya itu mengkufuri nikmat Allah, maka talak dalam keadaan demikian dilarang. Syara’ menjadikan talak sebagai jalan yang sah unutk bercerai suami istri, namun syara’ membenci terjadinya perbuatan ini dan tidak direstui dijatuhkannya talalk tanpa sebab atau alasan. Adapun sebab-sebab dan alasanalasan untuk jatuhnya talak itu adakalanya menyebabkan kedudukan hukum talak menjadi wajib, adakalanya menjadi haram, adakalanya menjadi musibah dan adakalanya menjadi sunat. Talak menjadi wajib bagi suami atas permintaan istri dalam hal suami tidak mampu menunaikan hak-hak istri serta menunaikan kewajibannya sebagai suami, seperti suami tidak mampu mendatangi istri. Dalam hal ini istri berhak menuntut talak dari suaminya dan suaminya wajib memenuhi tuntutan istri, jangan membiarkan istri terkatung-katung ibarat orang yang digantung, yakni tidak dilepaskan tetapi tidak dijamin hak-haknya. Ulama Hanabilah mewajibkan talak dalam hal terjadi kasus syiqaq jika kedua hakam berpendapat bahwa talak itualah satu-satunya jalan untuk mengakhiri persengkataan suami istri. Demikian pula dalam kasus ila, yakni suami bersumpah tidak akan mencampuri istrinya dan telah berlalu masa empat bulan setelah sumpah tersebut si suami tidak mencabut sumpahnya itu, berdasarkan firman Allah dalam surat Al-Baqarah ayat 226-227: ُّص اَربَعَ ِة اَش ُه ٍۚ ٍر فَاِن فَ ۤا ُءو فَا َِّن ُ س ۤا ِٕى ِهم ت ََرب َ ِِللَّذِينَ يُؤلُونَ مِ ن ن َّ عزَ ُموا علِيم َ َّللا َ سمِ يع َ َواِن. غفُور َّرحِ يم َ َّللا َ ّٰ الط ََلقَ فَا َِّن َ ّٰ Kepada orang-orang yang meng-ila istrinya diberi tanggguh empat bulan (lamanya). Kemudian jika mereka kembali (kepada istrinya) maka sungguh Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang. Dan jika mereka berazam (bertetap hati) talak, maka sungguh Allah Maha Mendengar lagi Maha Tahu. Meng-ila istri maksudnya bersumpah tidak akan mencampuri istri. Dengan sumpah ini seorang istri menderita karena tidak disetubuhi dan tidak pula diceraikan. Setalah empat bulan berselang sumpah suami tidak hendak kembali kepada istrinya, maka wajiblah ia menjatuhkan talaknya, agar dengan demikian istri tidak terkatung-katung seperti orang yang digantung, sedangkan jika suami berkehendak kembali lagi, maka ia wajib membayar kafarah sumpah. Talak itu diharamkan jika dengan talak itu kemudian suami berlaku serong, baik dengan bekas istrinya ataupun dengan wanita lain, suami diharamkan menjatuhkan talak jika hal itu mengakibatkan terjatuhnya suami ke dalam perbuatan haram. Sayyid Sabiq mengemukakan bahwa talak diharamkan jika tidak ada keperluan untuk itu, karena talak yang demikian menimbulkan mudharat, baik bagi suami maupun diri istri, serta melenyapkan kemaslahatan kedua suami istri itu tanpa alasan. Talak yang demikian ini bertentangan dengan sabda Rasulullah: ار ِ َض َر َر َوال َ َال َ ض َر Tidak boleh timbul mudharat dan tidak boleh saling menimbulkan mudharat. Dalam riwayat lain dikatan bahwa talak tanpa sebab adalah makruh hukumnya, berdasarkan hadits yang menetapkan bahwa talak merupakan jalan yang halal yang paling dibenci oleh Allah, yakni dibenci jika tidak ada sebab yang dibenarkan, sedangkan Nabi menamakannya halal (tidak haram), juga karena talak itu menghilangkan perkawinan yang di dalamnya terkandung kemaslahatankemaslahatan yang disunatkan, sehingga talak itu hukumnya makruh. Talak itu mubah hukumnya (dibolehkan) ketika ada keperluan untuk itu, yakni karena jeleknya perilaku istri, bukannya sikap istri terhadap suami, atau suami menderita madharat lantaran tingkah laku istri, atau suami tidak mencapai tujuan perkawinan dari istri. Talak disunatkan jika istri rusak moralnya, berbuat zina, atau melanggar laranganlarangan agama, atau kewajiban-kewajiban meninggalkan agama seperti meninggalkan shalat, puasa, istri tidak ‘afifah (menjaga diri, berlaku terhormat). Dalam hal ini ulama Hanabilah mempunyai dua pendapat, pertama sunat hukumnya dan yang kedua wajib hukumnya. Dinukilkan dari Imam Ahmad bahwa mentalak istri yang demikian ini adalah wajib, terutama jika istri berbuat zina, atau meninggalkan shalat, atau meinggalkan puasa. Menurut beliau, tidak seyogyanya istri yang demikian dipelihara terus, karena akan menurunkan maratabat agama, mengganggu tempat tidur suami, dan tidak terjamin keamanan anak yang dilahirkan. 7. Hikmah Talak Allah Yang Maha Bijaksana menghalalkan talak tapi membencinya, kecuali untuk kepentingan suami, istri atau keduanya, atau untuk kepentingan keturunannya. Dalam masalah ini mengandung dua hal yang merupakan sebab terjadinya talak: a. Kemandulan. Kalau seorang laki-laki mandul, maka ia tidak akan mempunyai anak padahal anak merupakan keutamaan perkawinan. Dengan anak, keturunan dunia menjadi makmur. Begitu pula dengan perempuan, apabila mandul, maka keberadaanya Bersama suami akan mengeruhkan kejernihan kehidupan. Maka talak mempunyai faedah bagi suami bila istri mandul. Juga berfaedah bagi istri jika suami mandul. Sebab diantara tujuan yang mendorong untuk kawin adalah terwujudnya keturunan. Kita melihat, banyak diantara orang yang mandul meskipun dulunya penuh dengan cinta kasih dan penuh dengan faktor penyebab kebahagiaan dan kekayaan memperkuat hubungan mereka berdua namun kenikmatan berupa anak tidak pernah mereka rasakan. Padahal kamu tahu bahwa diantara kesempurnaan kebahagiaan dunia adalah keturunan, bahkan keturunan merupakan terpenting bagi suami istri, sebagaimana firman Allah: (٤٦:اَل َما ُل َوالبَنُونَ ِزينَةُ ال َحيٰ وةِ الدُّنيَ ٍۚا…)الكهفي Harta dan anak-anak adalah perhiasan kehidupan dunia…. b. Terjadinya perbedaan dan pertentangan kemarahan, dan segala yang mengingkari cinta diantara suami istri. Kalah cinta kasih sudah hilang akan berubahlah pilar-pilar perkawinan. Mereka jatuh je lembah kehidupan yang susah dan pemikiran yang bimbang karena pada dasarnya persatuan dan kekompakan dalam merupakan kunci kebahagiaan serta segala hal kesuksesan dan sumber segala kesenangan. Lain halnya kalau ada tabiat yang berbeda dan hati yang tidak Bersatu, maka menghilangkan talak kesengsaraan akan bagi kedua belah pihak. Kita mendengar dan menyaksikan seseorang dari orang-orang tidak mungkin talak disebabkan oelah larangan agama atau bukan. Kita menyaksikan pula orang yang meninggalkan negerinya padahal dia mulia di sana. Kita menyaksikan orang atau aliran lain karena lari dari kehidupan perkawinan yang sangat sulit. Banyak pula terjadi perselisihan antara suami istri hinggga berkobarkobarlah api pertengkaran dan percekcokan antara keduanya hingga rusaklah aturan keluargaan semua berada dalam kejahatan. Ketika terjadi pertentangan dan pertengkaran antara suami istri, maka akan menimbulkan bahaya besar bagi anak-anak. Mereka akan berada dalam kegoncangan, sebab kalau condong kepada ibu mereka takut untuk condong kepada bapak, begitu juga sebaliknya. Keadaan seperti ini akan menanamkan bibit cinta dan benci sekaligus sehingga rusaklah akhlak dan adab mereka. Inilah asal mula penyakit dan penyebab kecelakaan. Bangsa-bangsa maju dengan sinar ilmu pengetahuan serta pemeluk agama lain telah mengakui adanya hikmah yang menetapkan nyata adanya ini, lantas kebijaksanaan talak di dalam pengadilan. Negara maju yang pertama mengakui adalah Amerika Serikat. Betapa agung agama Islam dan betapa Maha Bijaksananya Tuhan. B. PERCERAIAN Suatu perkawinan menjadi putus antara lain karena perceraian. Dalam hukum Islam, perceraian terjadi karena terjadinya khulu’, zhihar, ila’ dan li’an. Berikut penjelasannya masing-masingnya: 1. Khulu’ dan Hikmahnya Menurut para fuqaha, khulu’ kadang dimaksudkan makna yang umum, yakni perceraian dengan disertai sejumlah harta sebagai ‘iwadh uang diberikan oleh istri kepada suami untuk menebus diri agar terlepas dari ikatan perkawinan, baik dengan kala khulu’, mubara’ah maupun talak. Kadang dimaksudkan makna yang khusus, yaitu talak atas dasar ‘iwadh sebagai tebusan dari istri dengan kata-kata khulu’ (pelepasan) atau yang semakna seperti mubara’ah (pembebasan). Hukum Islam memberi jalan kepada istri yang menghendaki perceraian dengan mengajukan khulu’, sebagaimana hukum Islam memberi jalan kepada suami untuk menceraikan istrinya dengan jalan talak. Dasar hukum disyari’atkannya khulu’ ialah firman Allah dalam surat Al-Baqarah ayat 229: ٰٓ َّ َو َال يَحِ ُّل لَ ُكم اَن ت َأ ُخذُوا مِ َّما ٰٓ ٰات َيت ُ ُموه َُّن شَيـًٔا ا ِال اَن يَّخَافَا ٰٓ ا َ َّال َّللاِ ۙ فَ ََل ُجنَا َح ّٰ َّللاِ ۗ فَاِن خِ فتُم ا َ َّال يُقِي َما ُحدُو َد ّٰ يُقِي َما ُحدُو َد َّللاِ فَ ََل ت َعتَدُوهَا ٍَۚو َمن ّٰ ع َلي ِه َما فِي َما افت َ َدت بِ ٖه ۗ تِلكَ ُحدُو ُد َ ۤ ٰ ُ َّللا فَا ّٰ ولىِٕكَ ُه ُم ِ ّٰ يَّتَعَ َّد ُحدُو َد َالظ ِل ُمون Tidak halal bagi kamu mengambil kembali sesuatu yang telah kamu berikan kepada mereka (istri) kecuali kalau keduanya khawatir tidak akan dapat menjalankan hukum-hukum Allah. Jika kamu khawatir bahwa keduanya tidak dapat menjalankan hukum-hukum Allah, maka tidak ada dosa atas keduanya tentang bayaran yang diberikan oleh istri unutk menebus dirinya. Itulah hukum-hukum Allah maka janganlah kamu melanggarnya. Barang siapa yang melanggar hukum-hukum Allah, mereka itulah orang-orang yang aniaya. Sebagai dasar hukum dari hadits, sebagaimana dikemukakan oleh Al-Shan’ani bahwa istri Tsabit bin Qais nin Syams bernama Jamilah datang menghadap Rasulullah mengadukan perihal dirinya sehubungan dengan suaminya, sebagai berikut: ق ُ ار ِ سو َل اهللا ثَا َ ب َ عي َ َ ب تُ بنُ قـَي ٍس َما أ َ َي ِ ُفى ُخل ِ علَي ِه فى الِس الَ ِم ِ َوالَ دِي ِن َولَكِن أَك َرهُ ال ُكف َر Ya Rasulullah, terhadap Tsabit bin Qais saya tidak mencelanya tentang budi pekerti dan agamanya namun saya membenci kekufuran (terhadap suami) dalam Islam. Terhadap pengaduan Jamilah ini Rasulullah bersabda kepadanya: علَي ِه َحدِيـقَتَهُ؟ َ َأَت ُ ِريدِن Bersediakah engkau mengembalikan kebun kepadanya (Tsabit)?. Jamilah menjawab: Ya (bersedia). Kemudian Rasulullah memanggil Tsabit lalu bersabda kepadanya: ًط ِل قَ َها ت َطلِيقة َ اِق ِب ِل ال َحدِيـقَةَ َو Terimalah kebun itu dan ceraikanlah ia (istrimu) satu talak. Firman Allah dan hadits Rasulullah tersebut diatas menjadi dalil disyari’atkannya khulu’ dan sahnya terjadi khulu’ antara suami istri. Para fuqaha berselisih pendapat tentang apakah untuk sahnya khulu’ itu disyari’atkan istri harus nusyuz atau tidak? Menurut zhahir hadits, demikian pula golongan Zahiriyah dan pendapat Ibnul Mundzir, bahwa untuk sahnya khulu’ haruslah istri nusyus, berdasarkan hadits tersebut bahwa istri pewaris meminta cerai berarti dalam keadaan nusyuz. Juga berdasarkan firman Allah dalam surat AlBaqarah ayat 229: ٰٓ َّ ا َِّللا ّٰ ِال اَن يَّخَافَا ٰٓ ا َ َّال يُقِي َما ُحدُو َد Kecuali jika keduanya khawatir tidak akan dapat menjalankan hukum-hukum Allah. Demikian pula firman Allah dalam surat An-Nisa’ ayat 19: ٰٓ َّ ا ش ٍة ُّمبَ ِينَ ٍة َ ِِال اَن يَّأتِينَ ِبفَاح Kecuali jika mereka (istri-istri) melakukan perbuatan keji yang nyata. Al-Syafi’i, Abu Hanifah dan kebanyakan ahli ilmu berpendapat bahwa khulu’ itu sah dilakukan meski istri tidak dalam keadaan nusyuz, dan khulu’ itu sah dengan saling kerelaan antara suami istri kendati keduanya dalam keadaan biasa dan baikbaik saja. ‘Iwadh sebagai tebusan itu halal bagi suami, berdasarkan firman Allah dalam surat An-Nisa’ ayat 4: سا فَ ُكلُوهُ َهن ِۤيـًٔا َّم ِر ۤيـًٔا ً عن شَيءٍ ِمنه ُ نَف َ فَاِن طِ بنَ لَ ُكم Kemudian jika mereka (istri-istri) menyerahkan kepadanya sebagian dari maskawin itu dengan senang hati maka makanlah (ambillah) pemberian itu (sebagai makanan) yang sedap lagi baik akibatnya. Mereka menyatakan bahwa dalam hadits Tsabit tersebut tidak ada petunjuk yang mensyaratkan nusyuz itu, sedangkan ayat dimaksud hanya mengandung kemungkinan belaka, yaitu dugaan dan perkiraan yang mungkin akan terjadi di masa akan datang. Hadits Tsabit itu juga menjadi petunjuk bahwa yang diambil oleh suami dari istrinya sebagai ‘iwadh (tebusan) itu ialah apa yang telah diberikannya, tanpa meminta imbalan apa-apa. Adanya Lembaga-lembaga ta’liq talak yang diucapkan oleh suami setelah akad nikah dengan menggantungkan talak itu atas pengaduan istri jika suami melalaikan kewajibannya, disertai sejumlah uang sebagai ‘iwadh yang relative kecil adalah dimaksudkan untuk melindungi istri untuk melakukan khulu’ jika keadaan memerlukan. Sebagaimana talak itu status hukumnya boleh jadi menjadi wajib, adakalanya menjadi haram, adakalanya menjadi makruh, adakalanya menjadi sunnat dan adakalanya menjadi mubah, sesuai dengan kondisinya, maka demikian pula hukum melakukan khulu’. Khulu’ itu wajib dilakukan ketika permintaan istri karena suami tidak mau memberi nafkah atau menggauli istri, sedangkan istri menjadi tersiksa. Khulu’ itu hukumnya haram jika dimaksudkan untuk menyengsarakan istri dan anak-anaknya. Khulu’ itu dibolehkan (mubah) ketika ada keperluan yang membolehkan istri menempuh jalan ini. Khulu’ menjadi makruh hukumnya jika tidak ada ada keperluan untuk itu, dan menjadi sunnat hukumnya jika dimaksudkan untuk mencapai kemaslahatan yang lebih memadai bagi keduanya. Hukum asal khulu’, ada yang berpendapat dilarang (haram) ada yang mengatakan makruh, dan ada yang mengatakan haram kecuali karena darurat. Ulama Syafi’iyah berpendapat bahwa hukum asal melekukan khulu’ itu makruh, hanya dia menjadi sunnat hukumya bila istri ternyata tidak baik dalam bergaul terhadap suaminya. Khulu’ itu tidak dapat menjadi haram dan tidak dapat pula menjadi wajib. Perbedaan khulu’ dan talak dalam hal waktu dijatuhkannya ialah bahwa khulu’ boleh terjadi di waktu mana tidak boleh terjadi talak, sehingga khulu’ boleh terjadi ketika istri sedang haid, nifas, atau dalam keadaan suci yang telah digauli. Dalam hal ini Imam Malik berpendapat bahwa tidak sah terjadi khulu’ pada waktu tidak boleh terjadi talak. Tentang status perceraian karena khulu’ dapat dikemukakan bahwa bila seorang suami telah melakukan khulu’ terhadap istrinya, maka dengan khulu’ itu bekas istri menguasai dirinya secara penuh, suami tidak berhak merujuknya kembali, segala urusan bekas istri berada di tangannya sendiri, sebab ia telah menyerahkan sejumlah harta kepada suami guna pelepasan dirinya itu. Oleh karena itu, status perceraian karena khulu’ adalah sebagai talak ba’in bagi istri, sehingga meski kemudian suami bersedia mengembalikan ‘iwadh yang telah diterimakan kepadanya itu, namun suami tetap tidak berhak merujuk bekas istrinya, dan meskipun bekas istri rela untuk menerima kembali ‘iwadh yang dimaksud. Bila bekas istri bersedia, maka bekas suami yang telah mengkhulu’ itu boleh mengadakan akad nikah baru dengan bekas istrinya itu dengan rukun dan syarat sebagai lazimnya akad nikah. Mengenai hikmah khulu’, Al-Jurjawi menuturkan. Khulu’ sendiri sebenarnya dibenci oleh syari’at yang mulia seperti halnya talak. Semua akal dan perasaan sehat menolak khulu’, hanya saja Allah Yang Maha Bijaksana memperbolehkannnya untuk menolak bahaya ketika tidak mampu menegakkan hukum-hukum Allah. Penjelasannya, kalau terjadi peselisihan antara suami istri, maka perselisihan itu menyebabkan masing-masing ingin berpisah dari yang lain. Mungkin istri sudah tidak kuat lagi bergaul dengan suaminya dan ingin berpisah. Maka tiada jalan penyelamat kecuali dengan khulu’, yaitu dengan membayar sejumlah uang agar suami mentalaknya sehingga dia selamat dari beban perkawinan, kalau suaminya mau mengabulkan permintaan istri tersebut. Karena istri punya hak maskawin dengan ganti menyerahkan dirinya kepada suami, maka digunakan sekarang untuk haknya menebus yang dirinya mengambil hak dari suami kepada suami. Allah mengingkari perbuatan itu dengan firman-Nya: َض َّواَخَذن ُ ف ت َأ ُخذُونَهٗ َوقَد اَفضٰ ى بَع ٍ ض ُكم ا ِٰلى بَع َ َوكَي ً غلِي (٢١:ظا )النسآء َ مِ ن ُكم ِميثَاقًا Bagaimana kamu akan mengambilnya kembali padahal sebagian kamu telah bergaul (bercampur) dengan yang lain sebagai suami istri. Dan mereka (istriistrimu) telah mengambil dari kamu perjanjian yang kuat. Hikmah yang terkandung di dalamnya sebagaimana telah disebutkan adalah untuk menolak bahaya, yaitu apabila perpecahan antara suami istri telah memuncak dan dikhawatirkan keduanya tidak dapat menjaga syarat-syarat dalam kehidupan suami istri, maka khulu’ dengan cara-cara yang telah ditetapkan oleh Allah Yang Maha Bijaksana merupakan penolak terjadinya permusuhan dan untuk menegakkan hukum-hukum Allah. Oleh Karena itu, Allah berfirman: علَي ِه َما فِي َما افت َ َدت ّٰ فَاِن خِ فتُم ا َ َّال يُقِي َما ُحدُو َد َ َّللاِ ۙ فَ ََل ُجنَا َح (٢٢٩:َّللاِ فَ ََل ت َعتَدُوهَا) البقرة ّٰ ِب ٖه ۗ تِلكَ ُحدُو ُد Jika kamu khawatir bahwa keduanya (suami istri) tidak dapat ,menjalankan hukumhukum Allah, maka tidak ada dosa atas keduanya tentang bayaran yang diberikan oleh istri untuk menebus dirinya. Itulah hukum-hukum Allah. Maka janganlah kamu melanggarnya. 2. Zhihar dan Hikmahnya. Menurut bahasa Arab, kata zhihar terambil dari kata zhahrun yang bermakna pungung. Dalam kaitannya dengan hubungan suami istri, zhihar adalah ucapan suami kepada menyerupakan istrinya punggung yang istri berisi dengan punggung ibu suami, seperti ucapan suami kepada istrinya: “Engkau bagiku adalah seperti punggung ibuku”. Ucapan zhihar di masa jahiliyah dipergunakan oleh suami yang bermaksud mengharamkan menyetubuhi istri dan berakibat menjadi haramnya istri itu bagi suami dan laki-laki selainnya, untuk selamalamanya. Syari’at Islam datang untuk memperbaiki masyarakat, mendidiknya dan mensterilkannya menuju kemaslahatan hidup. Hukum Islam menjadikan ucapan zhihar itu berakibat hukum yang bersifat duniawi dan ukhrawi. Akibat hukum zhihar yang bersifat duniawi ialah menjadi haramnya suami menggauli istrinya yang dizhihar sampai suami melaksanakan kaffarah zhihar sebagai pendidikan baginya agar tidak mengulang perkataan dan sikapnya yang buruk itu. Sedangkan yang bersifat ukhrawi ialah bahwa zhihar itu perbuatan dosa, orang yang mengucapkannya berarti berbuat dosa, dan untuk membersihkannya wajib bartaubat dan memohon ampunan Allah. Sebagai dasar hukum adanya pengaturan zhihar ialah firman Allah surat Al-Mujadilah ayat 2-4 dan surat Al-Ahzab ayat 4. Firman Allah dalam surat Al Mujadilah ayat 2-4: س ۤا ِٕى ِهم َّما ه َُّن ا ُ َّمهٰ تِ ِه ۗم اِن ا ُ َّمهٰ ت ُ ُهم َ ِاَلَّذِينَ ي ُٰظ ِه ُرونَ مِ ن ُكم مِ ن ن ۤ ا َِّال الّٰـِي َولَدنَ ُه ۗم َواِنَّ ُهم لَ َيقُولُونَ ُمنك ًَرا مِ نَ القَو ِل َو ُزو ًر ۗا غفُور َ َّللاَ لَ َعفُ ٌّو ّٰ َوا َِّن Orang-orang yang menzhihar di diantara kamu terhadap istrinya (perbuatan mereka itu tidak benar, karena) tiadalah mereka itu ibu-ibu mereka. Ibu-ibu mereka tiada lain hanyalah wanita yang melahirkan mereka. Dan sesungguhnya mereka sungguh- sungguh mengucapkan suatu perkataan yang munkar dan dusta. Dan sesungguhnya Allah Maha Pemaaf lagi Maha Pengampun. س ۤا ِٕى ِهم ث ُ َّم َيعُودُونَ ِل َما َقالُوا فَت َح ِري ُر َ َوا َّلذِينَ ي ُٰظ ِه ُرونَ مِ ن ِن ََّللاُ بِ َما ت َع َملُون ّٰ عظُونَ بِ ٖ ۗه َو َ َرقَبَ ٍة مِن قَب ِل اَن يَّت َ َم ۤاس َّۗا ٰذ ِل ُكم تُو صيَا ُم شَه َري ِن ُمتَت َابِ َعي ِن مِ ن قَب ِل اَن ِ َ فَ َمن لَّم يَ ِجد ف.َخبِير يَّت َ َم ۤاس َّۗا فَ َمن لَّم يَستَطِ ع فَاِطعَا ُم سِتِينَ مِ سكِينً ۗا ٰذلِكَ ِلتُؤمِ نُوا ِ ّٰ ِب عذَاب اَلِيم ُ الِل َو َر ّٰ سول ٖ ِۗه َوتِلكَ ُحدُو ُد َ ََّللاِ َۗولِل ٰكف ِِرين Orang-orang yang menzhihar istri mereka, kemudian mereka hendak menarik kembali apa yang mereka ucapkan, maka (wajib atasnya) memerdekakan seorang budak sebelum kedua suami istri itu bercampur. Demikianlah yang diajarkan kepadamu, dan Allah Maha Mengetahui apa yang kamu kerjakan. Barangsiapa mendapatkan (budak), yang tidak maka (wajib atasnya) memberi makan enam puluh orang miskin. Demikianlah supaya kamu beriman kepada Allah dan Rasul-Nya. Dan itulah hukum-hukum Allah, dan bagi orang-orang kafir ada siksaan yang sangat pedih. Sebab turunnya ayat zhihar ini ialah kasus soal wanita yang bernama Khaulah binti Tsa’labah yang dizhiharkan oleh suaminya Aus bin Shomit, yaitu dengan mengatakan kepada istrinya: “Kamu bagiku sudah seperti punggung ibuku”, dengan maksud ia tidak boleh menggauli istrinya sebagaimana tidak boleh menggauli ibunya. Menurut adat jahiliyah, kalimat zhihar seperti sudah sama dengan mentalak istri. Kemudian Khaulah mengadukan halnya kepada Rasulullah dan beliau menjawab bahwa hal ini belum ada keputusan Allah. Pada riwayat lain beliau mengatakan: “Engkau telah diharamkan bersetubuh dengannya”. Lalu Khaulah berkata: “Suamiku belum menyebut kata-kata talak”. Berulang kali Khaulah mendesak kepada Rasulullah supaya menetapkan suatu keputusan dalam hal ini, sehingga kemudian turunlah ayat 1 Al-Mujadilah dan ayat-ayat berikutnya. Firman Allah dalam surat Al-Ahzab ayat 4 menyatakan: َّللاُ ل َِر ُج ٍل مِن قَل َبي ِن فِي َجوف ِٖه ٍَۚو َما َجعَ َل اَز َوا َج ُك ُم ّٰ َما َج َع َل الّٰ ۤـِٕي ت ُ ٰظ ِه ُرونَ مِ ن ُه َّن ا ُ َّمهٰ تِ ُكم ٍَۚو َما َجعَ َل اَد ِعيَ ۤا َء ُكم اَبن َۤا َء ُك ۗم سبِي َل َّ َّللاُ يَقُو ُل ال َح َّق َوه َُو يَهدِى ال ّٰ ٰذ ِل ُكم قَولُ ُكم بِاَف َوا ِه ُكم َۗو Allah sekali-kali tidak menjadikan bagi seseorang dua buah hati dalam rongganya. Dia tidak menjadikan istri-istri yang kamu zhihar itu sebagai ibumu. Dan Dia tidak menjadikan anak-anak angkatmu sebagai anak-anak kandungmu. Yang demikian itu hanyalah perkataan di mulut saja. Dan Allah mengatakan yang sebenarnya dan Dia menunjukkan jalan (yang benar). Menurut istilah hukum Islam, zhihar dapat dirumuskan dengan: “ucapan kasar yang dilontarkan oleh suami kepada istrinya dengan menyerupakan istri itu dengan ibu atau mahram suami sehingga dengan ucapan itu dimaksudkan untuk mengharamkan istri bagi suaminya”. Apabila terhadap suami menyatakan isrtinya maka zhihar berlakulah ketentuan sebagai berikut: a. Bila suami menyesali ucapannya dan berpendapat bahwa hidup kembali dengan istrinya itu akan mendatangkan manfaat serta akan terbina hubungan normal dan baik, maka hendaknya suami mencabut kembali zhiharnya itu seraya mengembalikan istrinya ke pangkuannya, saling memafkan atas apa yang telah terjadi, saling berjanji akan memperbaiki hubungan selanjutnya. Dalam pada itu sebelum suami menggauli istrinya maka diwajibkan membayar kaffarah zhihar berupa: 1. Memerdekakan seorang budak sahaya yang beriman. Kalau suami tidak kuasa mewujudkannya atau tidak menemukannya, maka dilakukan dengan: 2. Berpuasa dua bulan berturut-turut, yaitu 60 hari, tanpa diselingi berbuka satu hari pun dalam 60 hari itu. Kalau suami ternyata tidak mampu berpuasa berturut-turut, maka dapat diganti dengan: 3. Memberi makan secukupnya kepada 60 orang miskin. b. Bila suami berpendapat bahwa memperbaiki hubungan suami istri tidak akan menurut memungkinkan, pertimbangannya dan bahwa bercerai itulah jalan yang paling baik, maka hendaklah suami menjatuhkan talak kepada istrinya, agar dengan demikian tidak menyiksa istrinya lebih lama lagi. Kedudukan perceraian dalam kasus zhihar adalah termasuk ba’in, artinya bekas suami tidak berhak merujuk bekas istrinya, dia hanya dapat kembali menjadi suami istri dengan akad perkawinan baru. c. Bila setelah suami menzhiharnya merasa tidak aman dari perbuatan suaminya, hendaklah istri mengadukan halnya kepada hakim, lalu hakim memisah tempat suami dengan istrinya sementara menunggu penyelesaian kasus zhihar ini, sedangkan jika istri merasa aman dari tindakan suami terhadapnya, dan terjamin suami mematuhi hukum-hukum Alllah, maka tidak ada halangan istri tetap serumah dengan suaminya. d. Kalau ternyata suami tidak mencabut kembali zhiharnya dan tidak mau menceraikan istrinya, berarti ada unsur kesengajaan suami menelantarkan istrinya dan melanggar hukum Allah, mereka setelah berlalu masa empat bulan atau 120 hari sejak zhihar diucapkan, maka hakim menceraikan antara keduanya, dan menjadi ba’inlah perceraian mereka ini. Dalam masalah zhihar ada dua hikmah yang terkandung: 1. Hikmah sebagai hukuman, yaitu karena dia mewajibkan atas dirinya sendiri suatu yang tidak berlaku pada orang lain, dan membawa kepada dosa dari penginggalan kaum Jahiliyah tanpa ada ketentuan hukum yang mewajibkan. 2. Hikmah kafarat (denda). Sangsi itu ada dua bentuk: Bisa jadi sangsi berupa harta dan bisa jadi berupa sangsi badan. Memerdekakan budak dan memberi makan 60 orang miskin adalah sangsi harta yang di dalamnya mengandung kesengsaraan pada jiwa hingga akhirnya enggan untuk mengulangi perbuatannya lagi. Sementara itu, puasa dua bulan (60 hari) berturutturut tanpa berhenti adalah mengandung kesengsaraan juga, yaitu sangsi badan pada satu sisi dan ibadah pada sisi lain. Hikmah yang dimaksud dari itu semua adalah untuk mengingatkan dan mendidik agar jangan melakukan zhihar lagi. Di samping itu, untuk menentang kebiasaan kaum jahiliyah yang mereka itu menzhihar istri-istri mereka secara terus-menerus. Islam datang dengan membawa rahmat dan kasih sayang, maka pikirkanlah betapa nikmat Allah Yang Maha Tinggi. 3. Ila dan Hikmahnya Kata “ila” menurut Bahasa merupakan masdr dari kata “ala-ykli-laan” sewazan dengan a’tha yu’thi itha’an, yang artinya sumpah. Menurut istilah hukum Islam, Ila’ ialah “sumpah suami dengan menyebut nama Allah atau sifat-Nya yang tertuju kepada istrinya untuk tidak mendekati istrinya itu, baik secara mutlak maupun dibatasi dengan ucapan selamanya, atau dibatasi empat bulan atau lebih”. Beberapa contoh ila’ adalah ucapan suami kepada istri sebagai berikut: a. Demi Allah, saya tidak akan menggauli istriku b. Demi kekuasaan Allah, saya tidak akan mencampuri istriku selama lima bulan c. Demi Allah, saya tidak akan mendekati istriku selamanya. Dasar hukum pengaturan ila’ ialah firman Allah surat Al-Baqarah ayat 226-227: ُّص اَر َب َع ِة اَش ُه ٍۚ ٍر فَاِن فَ ۤا ُءو فَا َِّن ُ س ۤا ِٕى ِهم ت ََرب َ ِِللَّذِينَ يُؤلُونَ مِ ن ن َّ عزَ ُموا علِيم َ َّللا َ سمِ يع َ َواِن. غفُور َّرحِ يم َ َّللا َ ّٰ الط ََلقَ فَا َِّن َ ّٰ Kepada orang-orang yang meng-ila’ istrinya diberi tangguh empat bulan (lamanya). Kemudian jika mereka kembali (kepada istrinya), maka sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang. Dan jika mereka ber’azam (bertetap hati untuk) talak, maka sesungguhnya Allah Maha mendengar lagi Maha Tahu. Allah menentukan batas waktu empat bulan bagi suami yang meng-ila’ istrinya mengandung hikmah pengajaran bagi suami maupun bagi istri. Suami menyatakan ila’ kepada istrinya pastilah karena sesuatu kebencian yang timbul antara keduanya. Bagi suami yang meng-ila’ istrinya lalu diwajibkan menjauhinya selama empat bulan itu menimbulkan kerinduan terhadap istri, lalu menyesali sikapnya yang sudah lalu, memperbaiki diri sebagai bekal sikap yang sudah lalu; memperbaiki diri sebagai bekal sikap yang lebih baik ketimbang masamasa sebelumnya. Dalam hal ini jika kemudian suami berbaik kembali kepada istrinya diwajibkan membayar kaffarah sumpah karena telah mempergunakan nama Allah untuk keperluan dirinya. Kaffarah sumpah itu berupa: a. Menjamu/menjamin makan 10 orang miskin, atau b. Memberi pakaian kepada 10 orang miskin, c. Memerdekakan seorang budak. Kalau tidak melakukan salah satu dari tiga hal tersebut, maka kaffarahnya ialah berpusa selama tiga hari berturut-turut, berdasarkan firman Allah dalam surat AlMa’idah ayat 89: عقَّدت ُّ ُم ّٰ َال ي َُؤاخِ ذُ ُك ُم َ َّللاُ ِباللَّغ ِو ف ِٰٓي اَي َمانِ ُكم َو ٰلكِن ي َُّؤاخِ ذُ ُكم ِب َما ٍۚ االَي َم سطِ َما َ ارت ُ ٗ ٰٓه اِطعَا ُم َ عش ََرةِ َمسٰ كِينَ مِ ن اَو َ انَ فَ َك َّف تُط ِع ُمونَ اَهلِي ُكم اَو كِس َوت ُ ُهم اَو ت َح ِري ُر َرقَبَ ٍة ۗفَ َمن لَّم يَ ِجد ُ َارة ُ اَي َما ِن ُكم اِذَا َحلَفتُم َۗواحف ظ ٰٓوا ِ َف َ َّص َيا ُم ث َ ٰلث َ ِة اَي ٍَّام ٰۗذلِكَ َكف ََّللاُ لَ ُكم ٰايٰ ت ِٖه لَ َعلَّ ُكم ت َش ُك ُرون ّٰ ُاَي َمانَ ُكم ۗ ك َٰذلِكَ يُبَ ِين Allah tidak menghukum kamu disebabkan sumpah-sumpahmu yang tidak dimaksud (untuk sumpah), tetapi Dia menghukum kamu disebabkan sumpah-sumpah yang kamu sengaja, maka kaffarah melanggar sumpah itu adalah memberi makan 10 orang miskni, yakni dari makanan yang biasa kamu berikan kepada keluargamu, atau memberi pakaian kepada mereka, atau memedekakan seorang budak. Barangsiapa yang tidak sanggup melakukan demikian maka kaffaratnya ialah puasa selama tiga hari. Yang kamu bersumpah, dan jagalah sumpahmu. Demikian Allah menerangkan kepadamu hukum-hukumnya agar kamu bersyukur. Bila setelah menunggu empat bulan kebencian hati suami tidak berubah atau teroengaruh atau melunak serta tetap melunak tidak mempedulikan istrinya, maka suami dapat menjatuhkan talak. Bagi istri yang di-ila’ oleh suaminya, pengucilan oleh suaminya selama empat bulan itu menjadi sarana Pendidikan baginya, memberi kesempatan memikirkan sikap non simpatiknya yang telah lalu, menyadari kekurangannya dalam melayani suami selama ini, mencari sebab musabab suami sampai bersikap benci kepadanya menjadi obat mujarab untuk memperbaiki sikap masa-masa selanjutnya. Setelah berlalu empat bulan terhitung sejak suami menyatakan sumpah ila’ itu ternyata suami tidak mencabut kembali sumpahnya, berarti selama waktu itu tidak ada perubahan ke arah perbaikan, maka berarti suami menghendaki perceraian. Dengan berlalunya masa empat bulan tersebut keduanya, terjadilah baik perceraian dengan jalan antara suami menjatuhkan talak terhadap istrinya, atau istri mengadukan hal kepada hakim, lalu hakim menetapkan terjadinya perceraian itu. Hikmah diberlakukan masa 4 bulan mempunyai beberapa hikmah: a. Dalam masa 4 bulan memungkinkan jiwa untuk mengembalikan diri dari menggauli istri. Begitu juga sang istri, dia tidak mampu lagi untuk bertahan lebih dari masa itu dalam menggauli suami. b. Dalam masa itu ada kesempatan untuk menjaga kehormatan diri. Lebih dari masa itu mungkin saja keduanya tidak lagi mampu menjaga kehormatannya inilah hikmah yang tegas. Diriwayatkan dari Ibnu Abbas berkata: Ila’nya orang jahiliyah itu lamanya setahun, dua tahun, bahkan lebih. Maka Allah memberikan batasan waktu selama 4 bulan. Barangsiapa yang ila’nya kurang dari 4 bulan maka itu bukan ila’. 4. Li’an dan Hikmahnya Kata “li’an” terambil dari kata al-la’nu, nu, yang artinya jauh dan laknat atau kutukan. Disebut demikian karena suami yang saling berli’an itu berakibat saling dijauhkan oleh hukum dan diharamkan berkumpul sebagai suami istri untuk selama-lamanya, atau karena yang bersumpah li’an itu dalam kesaksiannya yang kelima menerima menyatakan laknat (kutuk) bersedia Allah jika pernyataannya tidak benar. Menurut istilah hukum Islam, li’an ialah sumpah yang diucapkan suami ketika ia menuduh istrinya berbuat zina dengan empat kali kesaksian bahwa ia termasuk orang yang benar dalam tuduhannya, kemudian pada sumpah kesaksian kelima disertai persyaratan bahwa ia bersedia menerima laknat Allah jika ia berdusta dalam tuduhannya itu. Dasar hukum pengaturan li’an bagi suami yang menuduh istrinya berbuat zina ialah firman Allah surat An-Nur ayat 6-7: ٰٓ َّ ش َه َد ۤا ُء ا ُ َوا َّلذِينَ َير ُمونَ اَز َوا َج ُهم َولَم َي ُكن لَّ ُهم س ُهم ُ ُِال اَنف ِ ّٰ ت ِب . َص ِدقِين ٍ ٌۢ ش َها َدة ُ ا َ َح ِدهِم اَر َب ُع شَهٰ ٰد َ َف ّٰ الِل ۙ ِانَّهٗ لَمِ نَ ال َعلَي ِه اِن َكانَ مِ نَ ال ٰك ِذ ِبين ّٰ َسةُ ا َ َّن لَعنَت َ َِّللا َ َِوالخَام Orang-orang yang menuduh istrinya (berzina) padahal mereka tidak mempunyai saksi-saksi selain diri mereka sendiri, maka persaksian orang itu ialah empat kali bersumpah dengan nama Allah, bahwa sesungguhnya dia termasuk orang-orang yang benar. Dan (sumpah) yang kelima, bahwa laknat Allah akan ditimpakan kepadanya jika ia termasuk orang-orang yang berdusta. Terhadap tuduhan suami itu, istri dapat menyangkalnya dengan sumpah kesaksian sebanyak empat kali bahwa suami itu berdusta dalam tuduhannya, dan pada sumpah kesaksiannya yang kelima disertai pernyataan bahwa ia bersedia menerima marah dari Allah jika suami benar dlam tuduhannya. Hal ini sesuai dengan firman Allah dalam surat An-Nur ayat 8-9: ٍ ٌۢ اب اَن ت َش َه َد اَربَ َع شَهٰ ٰد َالِلِ اِنَّ ٗه لَمِن ّٰ ِت ب َ َعن َها العَذ َ َويَد َرؤُا َ سةَ ا َ َّن َعلَي َها ٰٓ اِن َكانَ مِ ن ّٰ ب َ َِّللا َ ض َ غ َ ِ َوالخَام. َال ٰك ِذ ِبين َص ِدقِين ّٰ ال Istrinya itu dapat dihindarkan dari hukuman oleh sumpahnya sebanyak empat kali atas nama Allah bahwa suaminya itu sungguhsungguh termasuk orang-orang yang dusta. Dan (sumpah) yang kelima, bahwa murka Allah (akan ditimpakan) atas dirinya jika suaminya itu termasuk orang-oarng yang benar. Dengan terjadinya sumpah li’an ini maka terjadilah perceraian antar suami istri tersebut dan antara keduanya tidak boleh terjadi perkawinan kembali untuk selamalamanya. Diriwayatkan dari Ibnu Abbas bahwa Nabi bersabda: ُع َمت َ َيَل اَقَّ َرفـَـت اَذ ِ ا نا َ نِع َلَتم ََل َ ا ًد َبأ ن ِا Dua suami istri yang telah saling berli’an itu setelah bercerai tidak boleh berkumpul untuk selamanya. Menurut Al-Juwairi, dalam sumpah li’an terkandung beberapa hikmah antara lain: a. Suatu pernikahan dan fungsi wanita sebagai istri bagi suami tidak akan sempurna kecuali keserasian dan dengan saling adanya menyayangi antara keduanya. Tetapi apabila sudah terdapat tuduhan zina dan melukai istri dengan kekejian, maka dada mereka akan sempit dan hilanglah kepercayaan dari istri sehingga mereka berdua hidup dalam kedengkian yang tentu akan membawa akibat jelek. b. Melarang dan memperingatkan suamiistri agar jangan melakukan perlakuan buruk yang akan mengurangi kemuliaan itu. c. Menjaga kehormatannya dari kehinaan pelacuran yang tidak pernah hilang pengaruhnya siang dan malam. C. SEBAB-SEBAB YANG LAIN 1. Putusnya Perkawinan Sebab Syiqaq Syiqaq adalah krisis memuncak yang terjadi antara suami istri sedemikian rupa, sehingga antar suami istri terjadi pertentangan pendapat dan pertengkaran, menjadi dua pihak yang tidak mungkin dipertemukan dan kedua belah pihak tidak dapat mengatasinya. Firman Allah dalam surat An-Nisa’ ayat 35 menyatakan: َواِن خِ فتُم ِشقَاقَ َبينِ ِه َما فَاب َعثُوا َح َك ًما مِ ن اَهل ِٖه َو َح َك ًما مِ ن ََّللاَ َكان ّٰ َّللاُ بَينَ ُه َما ۗ ا َِّن ّٰ ق ِ ِاَه ِل َها ٍۚ اِن ي ُِّري َدآ اِص ََل ًحا ي َُّوف علِي ًما َخبِي ًرا َ Dan jika kamu khawatirkan ada syiqaq (persengketaan) antara keduanya, maka kirimlah seorang hakam dari keluarga lakilaki dan seorang hakam dari keluarga perempuan. Jika kedua hakam itu bermaksud mengadakan perbaikan, niscaya Allah memberi taufik kepada suami istri itu. Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui lagi Maha Mengenal. Menurut firman Allah tersebut, jika terjadi kasus syiqaq antar suami istri, maka diutusn seorang hakam dari pihak suami dan seorang hakam dari pihak istri untuk mengadakan penelitian dan penyelidikan tentang sabab musabab terjadi syiqaq dimaksud serta berusaha mendamaikannya, atau mengambil prakarsa putusnya perkawinan kalau sekiranya jalan inilah yang sebaik-baiknya. Terhadap kasus syiqaq ini, bertugas menyelidiki dan permasalahannya, timbulnya mencari hakikat sebab musabab persengketaan, berusaha seberapa mungkin untuk mendamaikan kembali agar suami istri kembali hidup Bersama dengan sebaik-baiknya, kemudian jika jalan perdamaian itu tidak mungkin ditempuh, maka kedua hakam berhak mengambil inisiatif untuk menceraikannya, kemudia atas dasar prakarsa hakam ini maka hakim dengan keputusannya menetapkan perceraian tersebut. Kedudukan cerai sebab kasus syiqaq adalah bersifat ba’in. Artinya antara bekas suami istri hanya dapat kembali sebagai suami istri dengan akad nikah yang baru. 2. Putusnya Perkawinan sebab Pembatalan Jika suatu akad perkawinan telah dilaksanakan dan dalam pelaksanaannya ternyata terdapat larangan perkawinan antar suami istri semisal karena pertalian darah, pertalian susuan, pertalian semenda, atau terdapat hal-hal yang bertentangan dengan ketentuan hukum seperti tidak terpenuhinya hukum atau syaratnya, maka perkawinan menjadi batal demi hukum melalui proses pengadilan, hakim membatalkan perkawinan dimaksud. Mengenai perkawinan hal ini, ihwal pembatalan berdasarkan Undang- undang Nomor 1 tahun 1974 tentang perkawinan Bab IV pasal 22 sampai 28 memuat ketentuan yang isi pokoknya sebagai berikut: a. Perkawinan dapat dibatalkan, apabila para pihak tidak memenuhi syaratsyarat untuk melangsungkan perkawinan, salah satu pihak masih terkait oleh perkawinan yang mendahuluinya, dilangsungkan Pencatat perkawinan di muka Perkawinan Pegawai yang tidak berwenang, wali nikah tidak sah, tanpa hadirnya dua saksi, perkawinan dilakukan di bawah ancaman yang melanggar hukum, terjadi salah sangka mengenai diri suami atau istri. b. Yang dapat mengajukan pembatalan perkawinan ialah para keluarga dalam garis lurus ke atas dari suami atau istri, pejabat yang berwenang, pejabat yang ditunjuk, orang yang masih ada perikatan perkawinan dengan salah satu dari kedua belah pihak, jaksa, dan suami atau istri. c. Permohonan pembatalan perkawinan diajukan ke Pengadilan dalam daerah hukum di mana perkawinan dilangsungkan, atau di tempat tinggal kedua suami istri, suami atau istri. d. Batalnya perkawinan dimulai setelah keputusan Pengadilan mempunyai kekuatan hukum yang tetap, dan berlaku sejak saat berlangsungnya akad perkawinan. Keputusan tidak berlaku surut terhadap: 1. Anak-anak yang dilahirkan dari perkawinan tersebut. 2. Suami atau istri yang bertindak dengan I’itkad baik, kecuali terhadap harta bersama. 3. Orang-orang sepanjang hak-hak ketiga mereka dengan sebelum lainnya memperoleh I’tikad keputusan baik tentang pembatalan mempunyai kekuatan yang tetap. 3. Putusnya Perkawinan sebab Fasakh Hukum Islam mewajibkan suami untuk menunaikan hak-hak istri dan memelihara istri dengan sebaik-baiknya, tidak boleh menganiaya istrinya dan menimbulkan kemadharatan terhadapnya. Suami dilarang menyengsarakan kehidupan istri dan menyia-nyiakan haknya. Firman Allah surat Al-Baqarah ayat 231 menyatakan: س ِر ُحوه َُّن بِ َمع ُروفٍۗ َو َال َ فَاَم ِس ُكوه َُّن ِب َمع ُروفٍ اَو ارا ِلت َعتَدُوا ً ض َر ِ تُم ِس ُكوه َُّن Maka peliharalah (rujukilah) mereka (istriistri) dengan cara yang ma’ruf (baik) atau lepaskanlah (ceraikanlah) mereka (istr-istri) dengan yang ma’ruf (baik) pula. Janganlah kamu pelihara (rujuki) mereka untuk memberi kemadharatan, karena dengan demikian kamu menganiaya mereka. Hukum Islam tidak menghendaki adanya kemadharatan dan melarang saling menimbulkan kemadharatan. Dalam suatu hadits dinyatakan bahwa Rasulullah bersabda: ار ِ َض َر َر َوال َ َال َ ض َر Tidak boleh ada kemadharatan dan tidak boleh saling menimbulkan kemadharatan Menurut kaidah Hukum Islam, bahwa setiap kemadharatan itu wajib dihilangkan, sebagaimana kaidah fiqhiyah menyatakan: الض ََّر ُر يُزَ ا ُل Kemadharatan itu wajib dihilangkan. Berdasarkan firman Allah, hadits dan kaidah tersebut para fuqaha’ menetapkan bahwa jika dalam kehidupan suami-istri terjadi keadaan, sifat atau sikap yang meinmbulkan pada salah satu pihak yang menderita madharat dapat mengambil prakarsa untuk putusnya perkawinann, kemudian hakim memfasakhkan perkawinann atas dasar pengaduan pihak yang menderita tersebut. Dengan keputusan Pengadilan atas dasar pengaduan karena kesengsaraan yang menimpa atau kemadharatan yang diderita, maka perkawinan dapat difasakhkan. Beberapa alasan fasakh, yaitu: a. Tidak adanya nafkah bagi istri Imam Malik, Asy Syafi’I dan Ahmad berpendapat bahwa menetapkan putusnya hakim boleh perkawinan kerana suami tidak memberi nafkah kepada istri, baik karena memang tidak ada lagi nafkah itu atau suami menolak memberi nafkah. Tidak memberi nafkah istri dan menelantarkan istri tanpa diberi nafkah serta tidak dicerai adalah perbuatan yang menyakitkan hati dan meyengsarakannya, menimbulkan kemadharatan, berarti maka hakim harus berusaha menghilangkan perbuatan yang menyakitkan hati dan menyengsarakan itu. b. Terjadinya cacat atau penyakit. Jika terjadi cacat atau penyakit pada salah satu pihak baik suami maupun istri sedemikian rupa sehingga mengganggu kelestarian hubungan suami istri sebagaimana mestinya, atau menimbulkan penderitaan batin pihak yang satunya, atau membahayakan hidupnya, atau mengancam jiwanya, maka yang bersangkutan berhak mengadukan halnya kepada hakim, kemudian pengadilan memfasakhkan perkawinan mereka. Cacat atau penyakit dimaksud meliputi cacat jiwa, seperti gila, cacat mental seperti penjudi, pemabuk, cacat tubuh seperti penyakit lepra, dan cacat kelamin seperti penyakit pada alat kelamin, terpotongnya alat kelamin, lemah syahwat, dan lain sebagainya sehingga mengganggu dan menghalangi hubungan sebagai suami istri. c. Penderitaan yang menimpa istri Istri yang menderita fisik atau batin karena tingkah suaminya, semisal suaminya menyakiti badan istri dan menyengsarakannya, menghilang suami tidak pergi diketahui keberadaannya, suami dihukum penjara dan lain sebagainya, sehingga istri menderita lahir batin, maka dalam hal ini istri berhak mengadukan halnya kepada hakim, kemudian pengadilan memutuskan perkawinannya. 4. Putusnya Perkawinan sebab Meninggal Dunia Jika salah seorang dari suami atau istri meninggal dunia, atau kedua suami istri itu bersama-sama meninggal dunia, semisal suami istri bersama-sama dalam kapal yang kemudian tenggelam bersama ke dalam laut, terbakarnya rumah yang menjadi tempet tinggal bersama, terjatuhnya kapal terbang yang ditumpangi bersama suami istri dan lain sebagainya, maka akan menjadi putuslah perkawinan mereka. Dimaksudkan dengan mati yang menjadi sebuah putusnya perkawinan dalam hal ini meliputi baik mati secara fisik, yakni memang dengan kematian itu diketahui jenazahnya, sehingga kematian secara biologis, maupun kematian secara yuridis, yaitu dalam kasus suami yang mafqud (hilang tidak diketahui apakah ia masih hidup atau sudah meninggal), lalu melalui proses pengadilan hakim dapat menetapkan kematian suami tersebut. Mengenai putusnya perkawinan, Undang-undang No.1 tahun 1974 Bab VII pasal 38 dikenal adanya tiga macam cara putusnya perkawinan, yaitu :kematian, perceraian dan keputusan pengadilan. Pasal 39 UU No.1 tahun 1974 menegaskan bahwa perceraian hanya dapat dilakukan dengan sidang pengadilan setelah pengadilan yang bersangkutan berusaha dan tidak berhasil mendamaikan antara kedua belah pihak, dan untuk melakukan perceraian harus ada alasan yang cukup sehingga dapat dijadikan landasan yang wajar bahwa antara suami dan istri tidak ada harapan lagi untuk hidup bersama sebagai suami istri. Alasan dimaksud dalam pasal 39 UU No.1 tahun 1974 inin diperinci lebih lanjut dalam pasal 19 Peraturan Pemerintah No.9 tahun 1975, yaitu ada enam alasan untuk perceraian, sebagai berikut: a. Salah satu pihak berbuat zina, atau menjadi pemabuk, penjudi, dan lain sebaginya yang sukar disembuhkan. b. Salah satu pihak meinggalkan yang lain selama dua tahun berturut-turut tanpa izin pihak lain dan tanpa alasan yang sah atau karena kemampuannya. hal lain di luar c. Salah satu pihak mendapat hukuman penjara 5 tahun atau hukuman yang lebih berat setelah perkawinan berlangsung. d. Salah satu pihak melakukan kekejaman atau penganiayaan berat yang membahayakan pihak lain. e. Salah satu pihak medapat cacat badan atau penyakit dengan akibat tidak dapat menjalankan kewajibannya sebagai suami/istri. f. Antara suami dan istri terus-menerus terjadi perselisihan dan pertengkaran dan tidak ada harapan akan hidup rukun lagi dalam rumah tangga. Tentang cara mengajukan, memeriksa dan menyelesaikan gugatan perceraian oleh pengadilan, diatur lebih lanjut dalam Peraturan Pemerintah No.9 tahun 1975 pasal 20 sampai dengan 36. Bagi warga negara Republik Indonesia yang melaksanakan perkawinan menurut agama Islam, terdapat kemungkinan cara perceraian atas pengaduan pihak istri karena suami melanggar ta’lik talak yang dinyatakan oleh suami segera setelah terjadi akad perkawinan, yaitu pernyataan suami bahwa sewaktu-waktu suami: a. Meninggalkan pergi istrinya dalam masa enam bulan berturut-turut. b. Atau suami tidak memenuhi kewajibannya sebagai suami memberi nafkah kepada istrinya dalam masa tiga bulan berturut-turut. c. Atau suami menyakiti istrinya dengan memukul. d. Atau suami menambang istrinya dalam masa tiga bulan berturut-turut. Lalu istri tidak rela dan mengadukan halnya kepada pengadilan berhak mengusut hal tersebut, dan pengaduannya dibenarkan serta diterima oleh pengadilan itu, serta istri membayar sejumlah uang sebagai ‘iwadh (pergantian atau tebusan), maka jatuhlah talak satu suami kepada istrnya itu. Ta’lik talak dikembangkan sebagai jalan bagi istri untuk memutuskan perkawinan lewat pengadilan dengan alasan-alasan sebagaimana dinyatakan oleh suaminya itu. Tentang Kompilasi putusnya Hukum Islam perkawinan, secara rinci menjelaskan sebagai berikut: PUTUSNYA PERKAWINAN Bagian Kesatu Umum Pasal 113 Perkawinan dapat putus karena: a. kematian, b. perceraian, c. atas putusan pengadilan Pasal 114 Putusnya perkawinan yang disebabkan karena perceraian dapat terjadi karena talak atau berdasarkan gugatan perceraian. Pasal 115 Perceraian hanya dapat dilakukan di depan sidang Pengadilan Agama setelah Pengadian Agama tersebut berusaha dan tidak berhasil mendamaikan kedua belah pihak. Pasal 116 Perceraian dapat terjadi karena alasan atau alasa-alasan: a. Salah satu pihak berbuat zina, atau menjadi pemabuk, penjudi, dan lain sebaginya yang sukar disembuhkan. b. Salah satu pihak meinggalkan yang lain selama dua tahun berturut-turut tanpa izin pihak lain dan tanpa alasan yang sah atau karena kemampuannya. hal lain di luar c. Salah satu pihak mendapat hukuman penjara 5 (lima) tahun atau hukuman yang lebih berat setelah perkawinan berlangsung. d. Salah satu pihak melakukan kekejaman atau penganiayaan berat yang membahayakan pihak lain. e. Salah satu pihak mendapat cacat badan atau penyakit dengan akibat tidak dapat menjalankan kewajibannya sebagai suami/istri. f. Antara suami dan istri terus-menerus terjadi perselisihan dan pertengkaran dan tidak ada harapan akan hidup rukun lagi dalam rumah tangga. g. Suami melanggar ta’lik talak. h. Peralihan agama atau murtad yang menyebabkan terjadinya ketidakrukunan dalam rumah tangga. Pasal 117 Talak adalah ikrar suami dihadapan siang Pengadilan Agama yang menjadi salah satu sebab putusnya perkawinan, dengan cara sebagaimana dimaksud dalam pasal 129, 130 dan 131. Pasal 118 Talak Raj’i adalah talak kesatu atau kedua, di mana suami berhak rujuk selam istri dalam masa iddah. Pasal 119 1. Talak Ba’in Shugra adalah hak talak tidak boleh dirujuk tapi boleh akad nikah baru dengan bekas suaminya meskipun dalam masa iddah. 2. Talak Ba’in Shugra sebagaimana tersebut pada ayat (1) adalah: a. Talak yang terjadi qabla-dhukul; b. Talak dengan tebusan taau kulu’; c. Talak yang dijatuhkan oleh Pengadilan Agama. Pasal 120 Talak Ba’in Kubra adalah talak yang terjadi untuk ketiga kalinya. Talak jenis ini tidak dapat dirujuk dan tidak dapat dinikahkan kembali, kecuali apabila pernikahan itu dilakukan setelah bekas istri menikah dengan orang lain dan kemudian terjadi perceraian ba’da al-dukhul dan habis masa iddahnya. Pasal 121 Talak sunni yang dibolehkan, yaitu talak yang dijatuhkan terhadap istri yang sedang suci dan tidak dicampuri dalam waktu suci tersebut. Pasal 122 Talak bid’i adalah talak yang dilarang, yaitu tlak yang dijatuhkan pada waktu istri dalam keadaan haid, atau istri dalam keadaan suci tapi sudah dicampuri pada waktu suci tersebut. Pasal 123 Perceraian itu terjadi terhitung pada saat perceraian itu dinyatakan di depan sidang Pengadilan. Pasal 124 Khulu’ harus berdasarkan atas perceraian sesuai dengan ketentuan pasal 116. Pasal 125 Li’ah menyebabkan putusnya perkawinan antara suami istri untuk selama-lamanya. Pasal 126 Li’ah terjadi karena suami menuduh istri mberbuaut zina dan atau mengingkari anak dalam kandungan atau yang sudah lahir dari istrinya, sedangkan istri menolak tuduhan san atau pengingkaran tersebut. Pasal 127 Tata cara Li’an diatur sebagai berikut: a. Suami bersumpah empat kali dengan kata tuduhan zina dan atau pengingkaran anak tersebut, diikuti sumpah kelima dengan kata-kata: “Laknat Allah atas sirinya apabila tuduhan dan atau pengingkaran tersebut dusta”. b. Istri menolak tuduhan dan atau pengingkaran tersebut dengan sumpah empat kali dengan kata ‘tuduhan dan atau pengingkran tersebut tidak benar”, diikuti sumpah kelima dengan kata-kata “murka Allah atas dirinya bila tuduhan dan atau pengingkaran tersebut benar”. c. Tata cara huruf a dan b tersebut mertupakan satu kesatuan yang tak terpisahkan. d. Apabila tata cara huruf a tidak diikuti dengan tata cara huruf b maka diangggap tidak terjadi li’an. Pasal 128 Li’an hanya sah apabila dilakukan di hadapan sidang Pengadilan Agama. Bagian Kedua Tata Cara Perceraian Pasal 129 Seorang suami yang akan menjatuhkan talak kepada istrinya mengajukan permohonan, baik lisan maupun tertulis kepada Pengadilan Agama yang memwilayahi tempat tinggal istri disertai dengan alasan serta meminta agar diadakan sidang untuk keperluan itu. Pasal 130 Pengadilan Agama dapat mengabulkan atau menolak permohonan tersebut, dan terhadap keputusan tersebut dapat diminta upaya hukum banding dan kasasi. Pasal 131 1. Pengadilan Agama yang bersangkutan mempelajari permohonan dimaksud pasal 129 dan dalam waktu selambatlambatnya tiga puluh hari memanggil pemohon dan istrinya untuk menerima penjelasan tentang segala sesuatu yang berhubungan dengan maksud menjatuhkan talak. 2. Setelah Pengadilan Agama tidak berhasil menasihati kedua belah pihak dan ternyata cukup alasan untuk menjatuhkan talak serta yang bersangkutan tidak mungkin lagi hidup rukun dalam rumah tangga, Pengadilan Agama tentang menjatuhkan izin bagi keputusannya suami untuk mengikrarkan talak. 3. Setelah kekuatan keputusan hukum mempunyai tetap, suami mengikrarkan talaknya di depan sidang Pangadilan Agama, di hadiri oleh istri atau kuasanya. 4. Bila suami tidak mengucapkan ikrar talak dalam tempo 6 (enam) bulan terhitung sejak putusan Pengadilan Agama tentang izin ikrar talak baginya mempunyai kekuatan hukum yang tetap, maka hak suami unutk mengikrarkan talak gugur dan ikatan perkawinan tetap utuh. 5. Setelah sidang penyaksian ikrar talak Pengadilan Agama memmbuat penetapan tentang terjadinya talak rangkap empat yang merupakan bukti perceraian bagi bekas suami dan istri. Helai pertama beserta surat ikrar talak dikirimkan kepada Pegawai Pencatat Nikah yang memwilayahi tempat tinggal suami untuk diadakan pencatatan, helai kedua dan ketiga masing-masing diberikan kepada mantan suami istri, dan helai keempat disimpan oleh Pengadilan Agama. Pasal 132 1. Gugatan perceraian diajukan oleh istri atau kuasanya Agama, yang kepada Pengadilan daerah hukumnya memwilayahi tempat tinggal penggugat kecuali istri meninggalkan kediaman bersama tanpa izin suami. 2. Dalam hal kediaman Pengadilan tergugat di luar bertempat negeri, Agama Ketua memberitahu gugatan tersebut kepada tergugat melalui Perwakilan Republik Indonesia setempat. Pasal 133 1. Gugatan perceraian karena alasan tersebut dalam pasal 116 huruf b, dapat diajukan setelah tahunterhitung lapau sejak 2 (dua) tergugat meninggalkan rumah. 2. Gugatan tergugat dapat diterima menyatakan apabila atau menunjukkan sikap tidak mau lagi kembali ke rumah kediaman bersama. Pasal 134 Gugatan perceraian karena alasan tersebut dalam pasal 116 huruf f, dapat diterima apabila telah cukup jelas bagi Pengadilan Agama mengenai sebab-sebab perselisihan dan pertengkaran itu dan setelah mendengar pihak keluarga serta orangorang yang dekat dengan suami istri tersebut. Pasal 135 Gugatan perceraian karena alasan suami mendapat hukuman penjara 5 (lima tahun) atau hukuman yang lebih berat sebagai dimaksud dalam pasal 116 huruf c, maka untuk mendapatkan putusan perceraian sebagai bukti penggugat cukup menyampaikan Salinan putusan Pengadilan yang memutuskan keterangan yang perkara menyatakan disertai bahwa putusan itu telah mempunyai kekuatan hukum tetap. Pasal 136 1. Selama berlangsungnya perceraian atau gugatan permohonan penggugat atau tergugat berdasarkan pertimbangan bahaya yang mungkin ditimbulkan, Pengadilan Agama dapat mengizinkan suami istri tersebut untuk tidak tinggal dalam satu rumah. 2. Selama berlangsungnya perceraian atau gugatan permohonan penggugat atau tergugat, Pengadilan Agama dapat: a. Menentukan nafkah yang harus ditangggung oleh suami. b. Menentukan hal-hal yang perlu untuk menjamin terpeliharanya barang-barang yang menjadi hak bersama suami istri atau barang- barang yang menjadi hak suami atau barang-barang yang menjadi hak istri. Pasal 137 Gugatan perceraian gugur apabila suami atau istri meninggal sebelum adanya putusan Pengadilan Agama mengenai gugatan perceraian itu. Pasal 138 1. Setiap kali diadakan sidang Pengadilan Agama yang memeriksa gugatan perceraian, baik penggugat maupun tergugat, atau kuasa mereka akan dipanggil untuk menghadiri sidang tersebut. 2. Panggilan untuk menghadiri sidang sebagaimana tersebut dalam ayat (1) dilakukan oleh petugas yang ditunjuk oleh Ketua Pengadilan Agama. 3. Panggilan disampaikan kepada pribadi yang bersangkutan. Apabila yang bersangkutan tidak dapat dijumpai, panggilan disampaikan melalui Lurah atau yang sederajat. 4. Panggilan sebagai tersebut dalam ayat (1) dilakukan dan disampaikan secara patut dan sudah diterima oleh penggugat maupun tergugat atau kuasa mereka selambat-lambatnya 3 (tiga) hari sebelum sidang dibuka. 5. Panggilan kepada tergugat dilampiri dengan Salinan surat gugatan. Pasal 139 1. Apabila tempat kediaman tergugat tidak jelas atau tergugat tidak mempunyai tempat kediaman tetap, panggilan dilakukan dengan cara menempelkan gugatan pada papan pengumuman di Pengadilan Agama dan mengumumkannya melalui satu atau beberapa surat kabar atau mass media lain yang ditetapkan oleh Pengadilan Agama. 2. Pengumuman melalui surat kabar atau surat-surat kabar atau mass media tersebut dalam ayat (1) dilakukan sebanyak 2 (dua) kali dengan tenggang waktu satu bukan antara pengumuman pertama dan kedua. 3. Tenggang waktu antara panggilan terakhir sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dengan persidangan ditetapkan sekurang-kurangnya 3 (tiga) bulan. 4. Dalam hasil sudah dilakukan sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) dan tergugat atau kuasanya tetap tidak hadir, gugatan diterima tanpa hadirnya tergugat, kecuali apabila gugatan itu tanpa hak atau tidak beralasan. Pasal 140 Apabila tertugat berada dalam keadaan sebagaimana dimaksud dalam pasal 132 ayat (2), panggilan disampaikan melalui perwakilan Republik Indonesia setempat. Pasal 141 1. Pemeriksaan dilakukan gugatan oleh Hakim perceraian selambat- lambatnya 30 (tiga puluh) hari setelah diterimanya berkas atau surat gugatan perceraian. 2. Dalam menetapkan waktu sidang gugatan perceraian perlu diperhatikan tetntang waktu pemanggilan dan diterimanya penggilan tersebut oleh penggugat atau tergugat atau kuasa mereka. 3. Apabila tergugat dalam keadaan seperti tersebut dalam pasal 116 huruf b, sidang pemeriksaan gugatan perceraian ditetapkan (enam) sekurang-kurangnya bulan terhitung 6 sejak dimasukkannya gugatan perceraian pada Kepanitraan Pengadilan Agama. Pasal 142 1. Pada sidang pemeriksaan gugatan perceraian, suami istri datang sendiri atau mewakilkan kepada kuasanya. 2. Kepentingan pemeriksaan Hakim dapat memerintahkan yang bersangkutan untuk hadir sendiri. Pasal 143 1. Dalam pemeriksaan gugatan, Hakim berusaha mendamaikan kedua belah pihak, 2. Semala perkara belum diputuskan, usaha mendamaikan dapat dilakukan setiap sidang permeriksaan. Pasal 144 Apabila terjadi perdamaian maka tidak dapat diajukan gugatan perceraian baru berdasarkan alasan atau alasan-alasan yang ada sebelum perdamaian dan diketahui oleh penggugat pada waktu dicapainya perdamaian. Pasal 145 Apabila tidak dapat dicapai perdamaian, pemeriksaan gugatan perceraian dilakukan dalam sidang tertutup. Pasal 146 1. Putusan mengenai gugatan perceraian dilakukan dalam sidang terbuka 2. Suatu perceraian diangggap terjadi neserta akibat-akibat terhitung sejak jatuhnya putusan Pengadilan Agama yang telah mempunyai kekuatan hukum yang tetap. Pasal 147 1. Setelah perkaran itu diputuskan maka Panitera Pengadilan Agama menyampaikan Salinan surat putusan tersebut kepada mantan suami istri atau kuasa dengan menarik Kutipan Akta Nikah dari masing-masing yang bersangkutan. 2. Panitera Pengadilan Agama berkewajiban mengirimkan satu helai Salinan putusan Pengadilan Agama yang telah mempunyai kekuatan hukum yang tetap tanpa bermaterai kepada Pegawai Pncatat Nikah yang memwilayahi tempat tingal istri untuk diadakan pencatatan. 3. Panitera Pengadilan Agama mengirimkan Surat Keterangan kepad masing-masing suami istri atau kuasanya bahwa putusan tersebut ayat (1) telah mempunyai kekuatan hukum yang tetap dan merupakan bukti perceraian bagi suami dan bekas istri. 4. Penitera Pengadilan Agama membuat catatan dalam ruang yang tersedia pada kutipan Akta Nikah yang bersangkutan bahwa meraka telah bercerai. Catatan tersebut terjadinya berisi perceraian, tempat tanggal perceraian, nomor dan tanggal surat putusan serta tanda tangan Panitera. 5. Apabila Pegawai Pencata Nikah yang memwilayahi tempat tinggal istri berbeda dengan Pegawai Pencatat Nikah tempat pernikahan mereka dilangsungkan, maka satu helai Salinan putusan Pengadilan Agama sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) dikirimkan kepada Pegawai Pencatat Nikah yang memwilayahi tempat perkawinan dilangsungkan, dan bagi perkawinan yang dilangsungkan di luar negeri, salinan itu disampaikan kepada Pegawai Pencatat Nikah di Jakarta. 6. Kelalaian mengirimkan Salinan putusan tersebut dalam ayat (1) menjadi tanggung jawab Panitera yang bersangkutan, apabila yang demikian itu mengakibatkan kerugian bagi bekas suami atau istri atau keduanya. Pasal 148 1. Seorang istri yang mengajukan gugatan perceraian dengan menyampaikan kepada khulu’, permohonannya Pengadilan memwilayahi jalan Agama tempat yang tinggalnya disertai alasan atau alasan-alasannya. 2. Pengadilan Agama selambat-lambatnya satu bulan suaminya memanggil untuk istri dan didengar keterangannnya masing-masing. 3. Dalam persidangan tersebut Pengadilan Agama memberikan penjelasan tetnang akibat khulu’, dan memberikan nasihatnasihatnya. 4. Setelah kedua belah pihak sepakat tentang besarnya iwadh atau tebusan, maka Pengadilan Agama memberikan penetapan tentang izin bagi suami untuk mengikrarkan talaknya di depan sidang Pengadilan Agama. Terhadap penetapan itu tidak dapat dilakukan upaya banding dan kasasi. 5. Penyelesaian selanjutnya ditempuh sebagaimana yang diatur dalam pasal 131 ayat (5). 6. Dalam hal tidak tercapai kesepakatan tentang besarnya tebusan atau ‘iwadh, Pengadilan Agama memeriksa dan memutuskan sebagai perkara biasa.