Wawasan GULA RAFINASI VS GULA RAKYAT DI PASAR KONSUMEN Avif Haryana Bagus Wicaksono Ahli Peneliti Pertama, Pusat Kebijakan Perdagangan Ahli Peneliti Pertama dan Kasubbid Sarana Perdagangan Gula merupakan salah satu komoditi yang penting dan strategis bagi masyarakat yang tidak hanya dibutuhkan oleh konsumen sebagai pengguna akhir namun juga di kalangan industri atau produsen sebagai salah satu bahan baku. Disamping itu industri gula merupakan sumber pendapatan dan kehidupan sekitar satu juta petani dan hampir dua juta tenaga kerja yang terlibat langsung dalam sistem industri tersebut. Dalam konteks perdagangan internasional gula merupakan salah satu komoditas pertanian yang telah ditetapkan Indonesia sebagai komoditas khusus (special products) dalam forum perundingan Organisasi Perdagangan Dunia (WTO), bersama beras, jagung dan kedelai. Karena penting dan strategisnya komoditi gula, maka dinamika produksi, konsumsi, dan harga akan berpengaruh baik langsung maupun tidak langsung parameter ekonomi seperti inflasi, kesempatan kerja, pendapatan dan bahkan kesejahteraan petani dan masyarakat. Maka dari itu kebijakan pemerintah yang berkaitan dengan komoditi tersebut merupakan aspek yang sangat penting baik bagi masyarakat produsen, konsumen maupun perkembangan daya saing komoditi gula (Wibowo, 2012). Berdasarkan SK Memperindag RI No. 527/MPP/Kep/9/2004 Tentang Ketentuan Impor Gula, pasar gula di Indonesia dikelompokkan menjadi dua, pertama adalah pasar gula kristal rafinasi (GKR) yang ditujukan untuk konsumsi industri yang kedua pasar gula kristal putih (GKP) yang ditujukan untuk konsumsi langsung masyarakat. Meskipun segmentasi pasar gula telah diatur secara tegas dalam SK Menperindag diatas, namun merembesnya gula kristal rafinasi ke pasar gula putih akhir-akhir ini menjadi isu yang hangat seiring dengan dimulainya musim giling tebu oleh pabrik gula-pabrik gula di dalam negeri. Hal ini diidentifikasi dengan masih tingginya stok gula kristal putih pada akhir tahun 2014 sebesar 1,16 juta ton yang tidak terserap oleh pasar alias tidak laku terjual di pasar konsumen. Dugaan tersebut seolah-olah diperkuat dengan masih adanya stok GKR sebesar 37,7 ribu ton di akhir tahun 2014. Dengan stok tersebut, para stakeholder industri GKP baik petani maupun industri gula berpendapat bahwa telah terjadi rembesan GKR sehingga gula petani dan pedagang tidak terserap pasar. Gula Kristal Putih dan Gula Kristal Rafinasi Gula kristal putih (plantation white sugar) adalah gula yang dapat dikonsumsi langsung oleh masyarakat yang dihasilkan dari pengolahan tebu yang meliputi tahapan : ekstraksi, pemurnian, evaporasi, MEDIA PUSDIKLAT 33 penyaringan dengan sentrifugasi, pengeringan dan pengemasan. Proses tersebut pada dasarnya adalah proses pemisahan/pemurnian sukrosa dari bahan-bahan non sukrosa pada tebu, kemudian diikuti dengan proses pengkristalan sukrosa. Produsen GKP terdiri atas pabrik gula (PG) milik negara dan PG milik swasta. Seluruh PG milik negara hanya memproduksi GKP berbasis tebu, sedangkan PG swasta selain menghasilkan GKP juga menghasilkan GKR. PG berbasis tebu milik negara berperan sebagai pengolah tebu petani dengan sistem bagi hasil karena kebun tebu yang dikelola sendiri relatif sempit dibandingkan kapasitas giling yang ada, sedangkan PG swasta mengolah tebu yang berasal dari kebun milik sendiri yang terintegrasi dengan PG. Produsen GKP di Indonesia tergabung ke dalam Asosiasi Gula Indonesia (AGI) sebagaimana ditunjukkan pada Tabel 1. Tabel Produsen Gula di Indonesia Produsen Gula Kristal Putih (Anggota AGI) BUMN Swasta Produsen Gula Kristal Rafinasi (Anggota AGRI) 1. PTPN II, Medan 1. PT. PG Madu Baru, Yogyakarta 1. PT. Angels Product, Serang 2. PTPN IX, Semarang 2. PT. Kebon Agung , Malang 2. PT. Jawamanis Rafinasi, Cilegon 3. PTPN X, Surabaya 3. PT. Industri Gula Nusantara, 3. PT. Sentra Usahatama Jaya, Cilegon 4. PTPN XI, Surabaya Kendal 5. PTPN XIV, Makassar 4. PT. PG Candi Baru 6. PT. RNI I, Surabaya 5. PT. Gunung Madu Plantations, 7. PT. RNI II, Cirebon Lampung 4. PT. Permata Dunia Sukses Utama, Serang 5. PT. Dharmapala Usaha Sukses, Cilacap 6. PT. Sugar Group, Lampung 6. PT. Sugar Labinta, Lampung 7. PT. P G Gorontalo, Gorontalo 7. PT. Makassar Tene, Makassar 8. PT. Laju Perdana Indah, Palembang 8. PT. Duta Sugar International, Serang Sumber: AGI dan AGRI, 2015 Berbeda dengan gula kristal putih, gula rafinasi (refined sugar) dihasilkan dari pengolahan gula mentah (raw sugar) yang umumnya belum layak dikonsumsi secara langsung. Bahan 34 MEDIA PUSDIKLAT baku gula kristal rafinasi yang berupa gula mentah diperoleh melalui impor dengan pos tarif/HS. 1701.11.00.00 dan 1701.12.00.00. Gula kristal mentah/gula kasar (raw sugar) ini hanya dapat diimpor oleh perusahaan yang telah mendapat izin (pengakuan) sebagai Importir Produsen (IP) Gula dan hanya dipergunakan sebagai bahan baku dalam proses produksi untuk menghasilkan gula kristal rafinasi dan dilarang diperdagangkan dan dipindahtangankan. Tingkat konversi gula kasar menjadi gula rafinasi pada pabrik gula rafinasi adalah sekitar 94%, artinya dalam 100 gram gula kasar yang akan menjadi gula kristal rafinasi adalah sekitar 94 gram. Gula kristal rafinasi hasil industri yang dimiliki IP Gula yang sumber bahan bakunya berupa gula kristal mentah/gula kasar (raw sugar) impor hanya dapat diperjualbelikan atau didistribusikan kepada industri dan dilarang diperdagangkan ke pasar di dalam negeri. Produsen gula rafinasi tergabung kedalam sebuah asosiasi yang bernama Asosiasi Gula Rafinasi Indonesia (AGRI) sebagaimana ditunjukkan pada Tabel 1. Asosiasi ini beranggotakan perusahaan gula rafinasi yang sekaligus merupakan pemegang izin importir produsen (IP) gula mentah untuk diproses menjadi gula rafinasi. Kebijakan Tata Niaga Gula Dalam rangka melindungi harga gula kristal putih domestik, perdagangan gula mulai diatur dengan SK Menperindag No.643/MPP/Kep/9/2002 tanggal 23 September 2002 tentang Tata Niaga Impor Gula. Masa ini merupakan masa dimulainya pengendalian impor gula. Peraturan tersebut mengatur bahwa gula kristal mentah dan gula kristal rafinasi hanya boleh diimpor oleh IP dan hanya dimaksudkan untuk memenuhi kebutuhan industri dari IP tersebut, bukan untuk diperdagangkan. Di sisi lain, impor gula kristal putih hanya dapat dilaksanakan oleh perusahaan yang telah mendapat penunjukan sebagai Importir Terdaftar (IT) Gula. Untuk menjadi IT, bahan baku dari PG milik IT minimal Wawasan 2. Agar produsen gula rafinasi, distributor di semua lini, perusahaan makanan dan minuman (menengah, UKM dan industri rumah tangga), dan aparat pengawasan mempunyai pemahaman yang sama mengenai sistem distribusi yang berlaku. Dalam surat Menperdag No.111/2009 itu disebutkan bahwa dalam memenuhi kebutuhan gula rafinasi untuk industri pengguna atau industri makanan dan minuman, setiap produsen gula rafinasi dapat menunjuk distributor secara resmi, selanjutnya distributor dapat menunjuk pula sub distributor secara resmi. Distributor yang tidak memiliki surat penunjukan atau pengangkatan dari produsen gula rafinasi dilarang mendistribusikan atau memperdagangkan gula rafinasi. Hal yang sama juga berlaku bagi sub distributor. 75 persen berasal dari petani tebu atau merupakan hasil kerjasama dengan petani setempat. Pengaturan penting lainnya dari kebijakan tersebut adalah bahwa impor gula akan diijinkan bila harga gula di tingkat petani mencapai minimal Rp 3.100/kg. Kebijakan ini diharapkan mampu meningkatkan harga di dalam negeri sehingga memperbaiki pendapatan produsen. Kebijakan tersebut kemudian direvisi dengan Keputusan Menteri Perindustrian dan Perdagangan No.527/MPP/Kep/9/2004 tentang Ketentuan Impor Gula dengan merubah harga gula ditingkat petani sebesar Rp 3.410/kg. Revisi pada peraturan ini juga dengan menambahkan persayaratan impor GKP lainnya yaitu bahwa impor hanya bisa dilaksanakan apabila produksi dan atau persediaan GKP di dalam negeri tidak mencukupi kebutuhan dan pelaksanaanya di luar masa 1 bulan sebelum musim giling tebu rakyat; musim giling tebu rakyat; dan dua bulan setelah musim giling tebu rakyat. Selanjutnnya seiring berjalannya waktu dan meningkatnya biaya sarana produksi pertanian, penetapan harga gula di tingkat petani terus direvisi dengan beberapa peraturan. Revisi terakhir terdapat dalam Peraturan Permendag No. 45/MDAG/PER/8/2014 tanggal 7 Agustus 2014 dimana harga patokan petani ditetapkan sebesar Rp 8500,00. tersebut juga ditegaskan bahwa semua industri Terkait dengan distribusi gula rafinasi, pengguna GKR, baik industri besar, menengah, Kementerian Perdagangan mengeluarkan kecil maupun industri rumahan dapat revisi tentang petunjuk pendistribusian gula memperoleh GKR secara langsung dari rafinasi melalui surat Menteri Perdagangan produsen GKR ataupun melalui distributor atau kepada produsen gula rafinasi No.111/M- subdistributor (Media Industri, 2009). Melalui surat tersebut diharapkan tidak ada lagi ketidakjelasan, khususnya tentang IKM dan industri rumahan yang sebelumnya menjadi bahan perselisihan antara Asosiasi Petani Tebu Rakyat Indonesia (APTRI) yang didukung kalangan produsen gula Kristal putih (GKP) dengan kalangan pelaku usaha industri GKR yang tergabung dalam Asosiasi Gula Rafinasi Indonesia AGRI). Melalui surat DAG/2/2009. Revisi tersebut dilakukan dalam rangka (Wahyuni dkk, 2009): 1. Memberi kepastian dan kejelasan bagi semua Rembesan Gula Kristal Rafinasi dan Solusinya pihak yang terlibat perihal distribusi gula rafinasi yang sesuai dengan kebijakan pemerintah, sehingga tidak menganggu penyaluran gula rafinasi sesuai peruntukan, yaitu untuk industri, dan juga tidak menganggu pasar gula kristal putih; Rembesan gula rafinasi selalu menjadi isu utama terutama jika dikaitkan dengan fakta bahwa stok gula kristal putih yang tidak terserap pasar cukup besar terutama pada saat MEDIA PUSDIKLAT 35 Wawasan dimulainya musim giling. Terkait dengan hal konsumen sebesar 199,5 ribu ton (11,16 %). tersebut, pemerintah melalui Kementerian Sebagai langkah tindak lanjut, Kemendag telah Perdagangan telah menyelesaikan proses mengambil kebijakan baik dari sisi importasi verifikasi distribusi gula rafinasi 2014. Menurut dan dari sisi distribusi yang dituangkan dalam Mendag, verifikasi dilakukan dalam rangka Surat Mendag kepada 11 Produsen Gula melihat kepatuhan produsen gula rafinasi Rafinasi Nomor 1300/M-DAG/SD/12/2014. terhadap ketentuan pendistribusian gula Dari sisi importasi, basis persetujuan impor raw rafinasi. Dalam pelaksanaan verifikasi sugar didasarkan pada supply chain dan distribusi gula rafinasi tahun 2014, Kemendag mekanisme kontrak antara industri rafinasi bekerja sama dengan surveyor independen dengan industri mamin sesuai dengan melakukan penelusuran terhadap penyaluran rekomendasi dari Kementerian Perindustrian gula rafinasi oleh 11 produsen, 52 distributor, 88 ke Kementerian Perdagangan. Lebih lanjut, subdistributor, 108 industri makanan minuman, persetujuan Impor kepada pabrik gula rafinasi serta 3112 pengecer gula di 366 pasar di 34 diberikan per triwulan dan akan dilakukan Provinsi pada periode Januari-September evaluasi untuk pemberian izin triwulan 2014. berikutnya. Adapun dari sisi distribusi, telah dilakukan pencabutan Surat Mendag Nomor 111 Tahun 2009 yang mengatur mengenai distribusi gula rafinasi melalui distributor. Kemendag mendorong produsen untuk menyalurkan langsung gula rafinasi kepada industri pengguna minimal 85% dan membatasi penyaluran gula rafinasi dari produsen melalui distributor maksimal 15% dari total penyaluran produsen. Selain itu, akan dilakukan registrasi terhadap distributor/penyalur gula rafinasi. Hal ini untuk lebih memberikan kepastian usaha Hasil verifikasi menunjukkan bahwa bagi petani bahwa pengawasan terhadap GKR terdapat jumlah gula rafinasi yang disalurkan sudah dilakukan secara optimal dengan oleh 11 produsen pada periode Januari - Juli perbaikan-perbaikan yang essential dan 2014 sebesar 1,7 juta ton. Dari jumlah tersebut, mendasar. jumlah yang disalurkan kepada industri Namun perlu juga dipertimbangkan bahwa makanan dan minuman sebesar 1,588 juta ton menumpuknya stok GKP tidak serta merta (88,84%), sedangkan sisanya sebesar 199,5 disebabkan oleh rembesan. Tingginya ribu ton (11,16 %) terindikasi tidak sesuai GKP di awal musim giling bisa juga disebabkan peruntukan atau dengan kata lain terdapat oleh perubahan konsumsi GKP yang mulai rembesan menurun 36 gula kristal rafinasi MEDIA PUSDIKLAT ke gula seiring dengan stok perubahan pola Wawasan konsumsi masyarakat. Sebagai contoh, tingkat konsumsi per kapita gula pasir menunjukkan tren menurun sebesar 3,2% dari sebesar 8,8 kg/kap/tahun pada tahun 1996 menjadi hanya sekitar 7 kg/kapita/tahun pada 2011. Bahkan pada tahun 2030, perkiraan konsumsi gula pasir hanya sekitar 1,2 juta ton, jauh lebih kecil dari tingkat produksi (Puska dagri, 2013). Kebijakan Pro Produktivitas dan Kualitas Berdasarkan hal tersebut, Pemerintah memang tetap perlu memastikan keberlangsungan industri gula nasional melalui pemberian insentif bagi produsen lokal agar terus meningkatkan produksinya hingga tercapai swasembada gula. Beberapa hal seperti penetapan Harga Patokan Petani (HPP) yang menyesuaikan biaya produksi dan keuntungan bagi petani tetap dilakukan dengan terus mendorong petani dan pabrik gula untuk memperbaiki kualitas tebu yang diolah dan dihasilkan. Skema insentif yang dijalankan pemerintah juga perlu didukung dengan kepastian pasar bagi petani yang tentunya harus berbasis pada pengendalian harga. Dalam hal ini, pemerintah perlu mulai mempertimbangkan pengadaan stok yang pada satu sisi berfungsi sebagai pengendalian harga di tingkat eceran, namun di sisi lain juga menjamin kepastian pasar bagi produsen karena pengadaannya diutamakan dari dalam negeri. Kebijakan insentif harga juga perlu didukung dengan kebijakan lain yang mendukung efisiensi budidaya (on farm) dan kinerja pabrik melalui peningkatan produktivitas (rendemen). Sebagai contoh, program bongka ratoon harus terus diupayakan melalui skema Bantuan Sosial (Bansos) yang diharapkan bisa mencapai 30 ribu hektar. Bongkar ratoon merupakan cara yang cukup efektif dalam perbaikan rendemen dari sisi on farm karena bibit tanaman yang sudah tua diganti dengan bibit yang masih baru dengan varietas unggul. Program ini juga memiliki keunggulan karena tidak memerlukan kapasitas giling dan biaya angkut sehingga tidak berdampak pada peningkatan biaya budidaya secara signifikan. Hanya saja, pelaksanaan bongkar ratoon harus lebih memperhatikan masa tanam tebu, jadwal panen, dan lelang gula sehingga bisa lebih optimal. Selain itu, peningkatan produksi juga perlu dilakukan dengan membuka lahan baru. Secara ketentuan, pemerintah bisa berinisiatif untuk mengajak pelaku usaha ikut berinvestasi. Kebijakan yang mendorong industri gula rafinasi yang selama ini bergantung pada raw sugar impor untuk membuka lahan tebu perlu menjadi “panglima” dalam meredam gejolak. Hal ini akan berdampak baik dalam penciptaan stabilitas pasar gula yang selama ini seolaholah terdapat dua kubu (GKP dan GKR) yang pada akhirnya akan memperbaiki iklim investasi. Dalam hal ini, skema public private partnership perlu dikedepankan dimana pemerintah bertanggung jawab dalam pencarian lahan dan lokasi baru sementara industri gula rafinasi bertanggung jawab dalam hal pengelolaan dan transfer teknologi. Lembaga penelitian dan pengembangan seperti Pusat Penelitian Perkebunan Gula Indonesia (P3GI) bisa dioptimalkan dalam membantu penyediaan bibit dengan varietas unggul. Sehingga ke depan, segmentasi gula dari sisi hulu terjadi dengan sendirinya, dan yang lebih penting didasari oleh perbaikan produksi dan produktivitas tebu. Namun demikian, pemerintah juga perlu memberikan perhatian yang lebih serius MEDIA PUSDIKLAT 37 terhadap peningkatan kualitas GKP, guna menjawab selera masyarakat yang mulai menunjukkan perubahan. Dapat dimaklumi jika masyarakat lebih memilih GKR yang “merembes” ke pasar konsumsi karena tekstur GKR yang lebih halus dan putih. Tingginya kualitas GKR dibandingkan GKP tidak terlepas dari komitmen pabrik rafinasi untuk menghasilkan GKR yang bermutu sesuai dengan Standard Nasional Indonesia (SNI). Oleh karena itu, keberpihakan pemerintah seharusnya bersifat imparsial dimana ketentuan mutu produk gula harus setara antara GKP dan GKR. Pemberlakuan SNI GKP secara wajib mutlak diperlukan sebagai pemenuhan hak - hak konsumen dalam mengkonsumsi gula yang lebih bersih dan sehat. Kebijakan yang berorientasi pada peningkatan produktvitas dan pengelolaan stok pemerintah juga perlu menjadi bagian dalam perlindungan konsumen dalam hal keterjangkauan harga. Skema pembelian gula dari petani GKP dalam rangka pengelolaan stok pemerintah harus didasarkan pada mutu yang terstandar. Dengan cara ini, pemerintah tidak hanya fokus pada kepastian pasar bagi petani, namun juga perbaikan mutu dan pengendalian harga yang menguntungkan konsumen, sehingga seluruh stakeholder pergulaan dapat menerima manfaat terbaik. dalam hal kebijakan pengawasan pasar gula. Oleh karena itu, kebijakan yang mengarah pada pasar gula yang tunggal merupakan keniscayaan. Beberapa kebijakan yang disebutkan sebelumnya seperti peningkatan produktivitas melalui insentif harga, bongkar ratoon, public private partnership yang melibatkan industri rafinasi untuk mengolah lahan tebu, serta mendorong perbaikan mutu GKP merupakan langkah kebijakan yang efektif dalam mencapai swasembada gula. Peran pemerintah dalam hal pengelolaan stok juga diperlukan untuk menjamin kelangsungan usaha tani dan keberdayaan konsumen. Pada akhirnya, masyarakat (society) akan memperoleh manfaat yang optimal dari ekonomi pergulaan sehingga gejolak antara GKR dan Gula Rakyat (GKP) akan berakhir dengan sendirinya. Sumber : 1. Media Industri, No. 01-2009 2. Wahyuni dkk (2009), Industri dan Perdagangan Gula di Indonesia: Pembelajaran dari Zaman Penjajahan-Sekarang, Forum Penelitian Agro Ekonomi. Volume 27 No. 2, Desember 2009 : 151 - 167 Pasar Gula Tunggal Dalam teori ekonomi, dualisme pasar akan menimbulkan distorsi yang berujung pada inefisensi pasar. Kebijakan yang hanya berpihak pada insentif harga gula akan semakin meningkatkan inefisiensi dan menyebabkan distorsi pasar terjadi dengan sendirinya. Implikasinya, pemerintah akan memerlukan usaha dan biaya yang lebih besar 38 MEDIA PUSDIKLAT 3. Wibowo, Rudi (2012), Ekonomi Gula Indonesia: Prospek Industri Berbasis Tebu, dalam bunga rampai Ekonomi Gula, Perhimpunan Ekonomi Gula Indonesia (PERHEPI), PT Gramedia Pustaka Utama: 2012 4. http://asosiasigulaindonesia.org/ 5. http://www.agrirafinasi.org/ 6. http://www.kemendag.go.id