Uploaded by Avif Haryana

1.Majalah Media Pusdiklat ( Kebijakan & Wawasan) (28 - 47).6-11

advertisement
Wawasan
GULA RAFINASI VS GULA RAKYAT
DI PASAR KONSUMEN
Avif Haryana
Bagus Wicaksono
Ahli Peneliti Pertama,
Pusat Kebijakan Perdagangan
Ahli Peneliti Pertama dan
Kasubbid Sarana Perdagangan
Gula merupakan salah satu komoditi yang
penting dan strategis bagi masyarakat yang
tidak hanya dibutuhkan oleh konsumen
sebagai pengguna akhir namun juga di
kalangan industri atau produsen sebagai salah
satu bahan baku. Disamping itu industri gula
merupakan sumber pendapatan dan
kehidupan sekitar satu juta petani dan hampir
dua juta tenaga kerja yang terlibat langsung
dalam sistem industri tersebut. Dalam konteks
perdagangan internasional gula merupakan
salah satu komoditas pertanian yang telah
ditetapkan Indonesia sebagai komoditas
khusus (special products) dalam forum
perundingan Organisasi Perdagangan Dunia
(WTO), bersama beras, jagung dan kedelai.
Karena penting dan strategisnya komoditi gula,
maka dinamika produksi, konsumsi, dan harga
akan berpengaruh baik langsung maupun tidak
langsung parameter ekonomi seperti inflasi,
kesempatan kerja, pendapatan dan bahkan
kesejahteraan petani dan masyarakat. Maka
dari itu kebijakan pemerintah yang berkaitan
dengan komoditi tersebut merupakan aspek
yang sangat penting baik bagi masyarakat
produsen, konsumen maupun perkembangan
daya saing komoditi gula (Wibowo, 2012).
Berdasarkan SK Memperindag RI No.
527/MPP/Kep/9/2004 Tentang Ketentuan
Impor Gula, pasar gula di Indonesia
dikelompokkan menjadi dua, pertama
adalah pasar gula kristal rafinasi (GKR) yang
ditujukan untuk konsumsi industri yang kedua
pasar gula kristal putih (GKP) yang ditujukan
untuk konsumsi langsung masyarakat.
Meskipun segmentasi pasar gula telah diatur
secara tegas dalam SK Menperindag diatas,
namun merembesnya gula kristal rafinasi ke
pasar gula putih akhir-akhir ini menjadi isu yang
hangat seiring dengan dimulainya musim giling
tebu oleh pabrik gula-pabrik gula di dalam
negeri. Hal ini diidentifikasi dengan masih
tingginya stok gula kristal putih pada akhir
tahun 2014 sebesar 1,16 juta ton yang tidak
terserap oleh pasar alias tidak laku terjual di
pasar konsumen. Dugaan tersebut seolah-olah
diperkuat dengan masih adanya stok GKR
sebesar 37,7 ribu ton di akhir tahun 2014.
Dengan stok tersebut, para stakeholder industri
GKP baik petani maupun industri gula
berpendapat bahwa telah terjadi rembesan
GKR sehingga gula petani dan pedagang tidak
terserap pasar.
Gula Kristal Putih dan Gula Kristal Rafinasi
Gula kristal putih (plantation white sugar)
adalah gula yang dapat dikonsumsi langsung
oleh
masyarakat yang dihasilkan dari
pengolahan tebu yang meliputi tahapan :
ekstraksi,
pemurnian,
evaporasi,
MEDIA PUSDIKLAT
33
penyaringan dengan sentrifugasi, pengeringan
dan pengemasan. Proses tersebut pada
dasarnya adalah proses pemisahan/pemurnian
sukrosa dari bahan-bahan non sukrosa pada
tebu, kemudian diikuti dengan proses
pengkristalan sukrosa.
Produsen GKP terdiri atas pabrik gula (PG)
milik negara dan PG milik swasta. Seluruh PG
milik negara hanya memproduksi GKP berbasis
tebu, sedangkan PG swasta selain
menghasilkan GKP juga menghasilkan GKR.
PG berbasis tebu milik negara berperan
sebagai pengolah tebu petani dengan sistem
bagi hasil karena kebun tebu yang dikelola
sendiri relatif sempit dibandingkan kapasitas
giling yang ada, sedangkan PG swasta
mengolah tebu yang berasal dari kebun milik
sendiri yang terintegrasi dengan PG. Produsen
GKP di Indonesia tergabung ke dalam Asosiasi
Gula Indonesia (AGI) sebagaimana
ditunjukkan pada Tabel 1.
Tabel Produsen Gula di Indonesia
Produsen Gula Kristal Putih (Anggota AGI)
BUMN
Swasta
Produsen Gula Kristal Rafinasi
(Anggota AGRI)
1. PTPN II, Medan
1. PT. PG Madu Baru, Yogyakarta
1. PT. Angels Product, Serang
2. PTPN IX, Semarang
2. PT. Kebon Agung , Malang
2. PT. Jawamanis Rafinasi, Cilegon
3. PTPN X, Surabaya
3. PT. Industri Gula Nusantara,
3. PT. Sentra Usahatama Jaya, Cilegon
4. PTPN XI, Surabaya
Kendal
5. PTPN XIV, Makassar
4. PT. PG Candi Baru
6. PT. RNI I, Surabaya
5. PT. Gunung Madu Plantations,
7. PT. RNI II, Cirebon
Lampung
4. PT. Permata Dunia Sukses Utama,
Serang
5. PT. Dharmapala Usaha Sukses,
Cilacap
6. PT. Sugar Group, Lampung
6. PT. Sugar Labinta, Lampung
7. PT. P G Gorontalo, Gorontalo
7. PT. Makassar Tene, Makassar
8. PT. Laju Perdana Indah,
Palembang
8. PT. Duta Sugar International, Serang
Sumber: AGI dan AGRI, 2015
Berbeda dengan gula kristal putih, gula rafinasi
(refined sugar) dihasilkan dari pengolahan gula
mentah (raw sugar) yang umumnya belum
layak dikonsumsi secara langsung. Bahan
34
MEDIA PUSDIKLAT
baku gula kristal rafinasi yang berupa gula
mentah diperoleh melalui impor dengan pos
tarif/HS. 1701.11.00.00 dan 1701.12.00.00.
Gula kristal mentah/gula kasar (raw sugar) ini
hanya dapat diimpor oleh perusahaan yang
telah mendapat izin (pengakuan) sebagai
Importir Produsen (IP) Gula dan hanya
dipergunakan sebagai bahan baku dalam
proses produksi untuk menghasilkan gula
kristal rafinasi dan dilarang diperdagangkan
dan dipindahtangankan. Tingkat konversi gula
kasar menjadi gula rafinasi pada pabrik gula
rafinasi adalah sekitar 94%, artinya dalam 100
gram gula kasar yang akan menjadi gula kristal
rafinasi adalah sekitar 94 gram. Gula kristal
rafinasi hasil industri yang dimiliki IP Gula yang
sumber bahan bakunya berupa gula kristal
mentah/gula kasar (raw sugar) impor hanya
dapat diperjualbelikan atau didistribusikan
kepada industri dan dilarang diperdagangkan
ke pasar di dalam negeri.
Produsen gula rafinasi tergabung kedalam
sebuah asosiasi yang bernama Asosiasi Gula
Rafinasi Indonesia (AGRI) sebagaimana
ditunjukkan pada Tabel 1. Asosiasi ini
beranggotakan perusahaan gula rafinasi yang
sekaligus merupakan pemegang izin importir
produsen (IP) gula mentah untuk diproses
menjadi gula rafinasi.
Kebijakan Tata Niaga Gula
Dalam rangka melindungi harga gula
kristal putih domestik, perdagangan gula
mulai diatur dengan
SK Menperindag
No.643/MPP/Kep/9/2002 tanggal 23
September 2002 tentang Tata Niaga Impor
Gula. Masa ini merupakan masa dimulainya
pengendalian impor gula. Peraturan tersebut
mengatur bahwa gula kristal mentah dan gula
kristal rafinasi hanya boleh diimpor oleh IP dan
hanya dimaksudkan untuk memenuhi
kebutuhan industri dari IP tersebut, bukan
untuk diperdagangkan. Di sisi lain, impor gula
kristal putih hanya dapat dilaksanakan oleh
perusahaan yang telah mendapat penunjukan
sebagai Importir Terdaftar (IT) Gula. Untuk
menjadi IT, bahan baku dari PG milik IT minimal
Wawasan
2. Agar produsen gula rafinasi, distributor di semua
lini, perusahaan makanan dan minuman
(menengah, UKM dan industri rumah tangga),
dan aparat pengawasan mempunyai
pemahaman yang sama mengenai sistem
distribusi yang berlaku. Dalam surat Menperdag
No.111/2009 itu disebutkan bahwa dalam
memenuhi kebutuhan gula rafinasi untuk industri
pengguna atau industri makanan dan minuman,
setiap produsen gula rafinasi dapat menunjuk
distributor secara resmi, selanjutnya distributor
dapat menunjuk pula sub distributor secara
resmi. Distributor yang tidak memiliki surat
penunjukan atau pengangkatan dari produsen
gula
rafinasi
dilarang mendistribusikan
atau memperdagangkan gula rafinasi. Hal yang
sama juga berlaku bagi sub distributor.
75 persen berasal dari petani tebu atau
merupakan hasil kerjasama dengan petani
setempat.
Pengaturan penting lainnya dari kebijakan
tersebut adalah bahwa impor gula akan
diijinkan bila harga gula di tingkat petani
mencapai minimal Rp 3.100/kg. Kebijakan ini
diharapkan mampu meningkatkan harga di
dalam negeri sehingga memperbaiki
pendapatan produsen. Kebijakan tersebut
kemudian direvisi dengan Keputusan Menteri
Perindustrian dan Perdagangan
No.527/MPP/Kep/9/2004 tentang Ketentuan
Impor Gula dengan merubah harga gula
ditingkat petani sebesar Rp 3.410/kg. Revisi
pada peraturan ini juga dengan menambahkan
persayaratan impor GKP lainnya yaitu bahwa
impor hanya bisa dilaksanakan apabila
produksi dan atau persediaan GKP di dalam
negeri tidak mencukupi kebutuhan dan
pelaksanaanya di luar masa 1 bulan sebelum
musim giling tebu rakyat; musim giling tebu
rakyat; dan dua bulan setelah musim giling tebu
rakyat. Selanjutnnya seiring berjalannya waktu
dan meningkatnya biaya sarana produksi
pertanian, penetapan harga gula di tingkat
petani terus direvisi dengan beberapa
peraturan. Revisi terakhir terdapat dalam
Peraturan Permendag No. 45/MDAG/PER/8/2014 tanggal 7 Agustus 2014
dimana harga patokan petani ditetapkan
sebesar Rp 8500,00.
tersebut juga ditegaskan bahwa semua industri
Terkait dengan distribusi gula rafinasi,
pengguna GKR, baik industri besar, menengah,
Kementerian Perdagangan mengeluarkan
kecil maupun industri rumahan dapat
revisi tentang petunjuk pendistribusian gula
memperoleh GKR secara langsung dari
rafinasi melalui surat Menteri Perdagangan
produsen GKR ataupun melalui distributor atau
kepada produsen gula rafinasi No.111/M-
subdistributor (Media Industri, 2009).
Melalui surat tersebut diharapkan tidak ada
lagi ketidakjelasan, khususnya tentang IKM
dan industri rumahan yang sebelumnya
menjadi bahan perselisihan antara Asosiasi
Petani Tebu Rakyat Indonesia (APTRI) yang
didukung kalangan produsen gula Kristal putih
(GKP) dengan kalangan pelaku usaha industri
GKR yang tergabung dalam Asosiasi Gula
Rafinasi Indonesia AGRI). Melalui surat
DAG/2/2009. Revisi tersebut dilakukan dalam
rangka (Wahyuni dkk, 2009):
1. Memberi kepastian dan kejelasan bagi semua
Rembesan Gula Kristal Rafinasi dan
Solusinya
pihak yang terlibat perihal distribusi gula
rafinasi yang sesuai dengan kebijakan
pemerintah, sehingga tidak menganggu
penyaluran gula rafinasi sesuai peruntukan,
yaitu untuk industri, dan juga tidak menganggu
pasar gula kristal putih;
Rembesan gula rafinasi selalu menjadi isu
utama terutama jika dikaitkan dengan fakta
bahwa stok gula kristal putih yang tidak
terserap pasar cukup besar terutama pada saat
MEDIA PUSDIKLAT
35
Wawasan
dimulainya musim giling. Terkait dengan hal
konsumen sebesar 199,5 ribu ton (11,16 %).
tersebut, pemerintah melalui Kementerian
Sebagai langkah tindak lanjut, Kemendag telah
Perdagangan telah menyelesaikan proses
mengambil kebijakan baik dari sisi importasi
verifikasi distribusi gula rafinasi 2014. Menurut
dan dari sisi distribusi yang dituangkan dalam
Mendag, verifikasi dilakukan dalam rangka
Surat Mendag kepada 11 Produsen Gula
melihat kepatuhan produsen gula rafinasi
Rafinasi Nomor 1300/M-DAG/SD/12/2014.
terhadap ketentuan pendistribusian gula
Dari sisi importasi, basis persetujuan impor raw
rafinasi. Dalam pelaksanaan verifikasi
sugar didasarkan pada supply chain dan
distribusi gula rafinasi tahun 2014, Kemendag
mekanisme kontrak antara industri rafinasi
bekerja sama dengan surveyor independen
dengan industri mamin sesuai dengan
melakukan penelusuran terhadap penyaluran
rekomendasi dari Kementerian Perindustrian
gula rafinasi oleh 11 produsen, 52 distributor, 88
ke Kementerian Perdagangan. Lebih lanjut,
subdistributor, 108 industri makanan minuman,
persetujuan Impor kepada pabrik gula rafinasi
serta 3112 pengecer gula di 366 pasar di 34
diberikan per triwulan dan akan dilakukan
Provinsi pada periode Januari-September
evaluasi untuk pemberian izin triwulan
2014.
berikutnya.
Adapun dari sisi distribusi, telah dilakukan
pencabutan Surat Mendag Nomor 111 Tahun
2009 yang mengatur mengenai distribusi gula
rafinasi melalui distributor. Kemendag
mendorong produsen untuk menyalurkan
langsung
gula
rafinasi
kepada
industri
pengguna minimal 85% dan membatasi
penyaluran gula rafinasi dari produsen melalui
distributor maksimal 15% dari total penyaluran
produsen. Selain itu, akan dilakukan registrasi
terhadap distributor/penyalur gula rafinasi. Hal
ini untuk lebih memberikan kepastian usaha
Hasil verifikasi menunjukkan bahwa
bagi petani bahwa pengawasan terhadap GKR
terdapat jumlah gula rafinasi yang disalurkan
sudah dilakukan secara optimal dengan
oleh 11 produsen pada periode Januari - Juli
perbaikan-perbaikan yang essential dan
2014 sebesar 1,7 juta ton. Dari jumlah tersebut,
mendasar.
jumlah yang disalurkan kepada industri
Namun perlu juga dipertimbangkan bahwa
makanan dan minuman sebesar 1,588 juta ton
menumpuknya stok GKP tidak serta merta
(88,84%), sedangkan sisanya sebesar 199,5
disebabkan oleh rembesan. Tingginya
ribu ton (11,16 %) terindikasi tidak sesuai
GKP di awal musim giling bisa juga disebabkan
peruntukan atau dengan kata lain terdapat
oleh perubahan konsumsi GKP yang mulai
rembesan
menurun
36
gula
kristal
rafinasi
MEDIA PUSDIKLAT
ke
gula
seiring dengan
stok
perubahan pola
Wawasan
konsumsi masyarakat. Sebagai contoh, tingkat
konsumsi per kapita gula pasir menunjukkan
tren menurun sebesar 3,2% dari sebesar 8,8
kg/kap/tahun pada tahun 1996 menjadi hanya
sekitar 7 kg/kapita/tahun pada 2011. Bahkan
pada tahun 2030, perkiraan konsumsi gula
pasir hanya sekitar 1,2 juta ton, jauh lebih kecil
dari tingkat produksi (Puska dagri, 2013).
Kebijakan Pro Produktivitas dan Kualitas
Berdasarkan hal tersebut, Pemerintah
memang
tetap
perlu
memastikan
keberlangsungan industri gula nasional melalui
pemberian insentif bagi produsen lokal agar
terus meningkatkan produksinya hingga
tercapai swasembada gula. Beberapa hal
seperti penetapan Harga Patokan Petani (HPP)
yang menyesuaikan biaya produksi dan
keuntungan bagi petani tetap dilakukan dengan
terus mendorong petani dan pabrik gula untuk
memperbaiki kualitas tebu yang diolah dan
dihasilkan.
Skema insentif yang dijalankan pemerintah
juga perlu didukung dengan kepastian pasar
bagi petani yang tentunya harus berbasis pada
pengendalian harga. Dalam hal ini, pemerintah
perlu mulai mempertimbangkan pengadaan
stok yang pada satu sisi berfungsi sebagai
pengendalian harga di tingkat eceran, namun di
sisi lain juga menjamin kepastian pasar bagi
produsen karena pengadaannya diutamakan
dari dalam negeri.
Kebijakan insentif harga juga perlu
didukung dengan kebijakan lain yang
mendukung efisiensi budidaya (on farm) dan
kinerja pabrik melalui peningkatan
produktivitas (rendemen). Sebagai contoh,
program bongka ratoon harus terus diupayakan
melalui skema Bantuan Sosial (Bansos) yang
diharapkan bisa mencapai 30 ribu hektar.
Bongkar ratoon merupakan cara yang
cukup efektif dalam perbaikan rendemen dari
sisi on farm karena bibit tanaman yang sudah
tua diganti dengan bibit yang masih baru
dengan varietas unggul. Program ini juga
memiliki keunggulan karena tidak memerlukan
kapasitas giling dan biaya angkut sehingga
tidak berdampak pada peningkatan biaya
budidaya secara signifikan. Hanya saja,
pelaksanaan bongkar ratoon harus lebih
memperhatikan masa tanam tebu, jadwal
panen, dan lelang gula sehingga bisa lebih
optimal. Selain itu, peningkatan produksi juga
perlu dilakukan dengan membuka lahan baru.
Secara ketentuan, pemerintah bisa berinisiatif
untuk mengajak pelaku usaha ikut berinvestasi.
Kebijakan yang mendorong industri gula
rafinasi yang selama ini bergantung pada raw
sugar impor untuk membuka lahan tebu perlu
menjadi “panglima” dalam meredam gejolak.
Hal ini akan berdampak baik dalam penciptaan
stabilitas pasar gula yang selama ini seolaholah terdapat dua kubu (GKP dan GKR) yang
pada akhirnya akan memperbaiki iklim
investasi. Dalam hal ini, skema public private
partnership perlu dikedepankan dimana
pemerintah bertanggung jawab dalam
pencarian lahan dan lokasi baru sementara
industri gula rafinasi bertanggung jawab dalam
hal pengelolaan dan transfer teknologi.
Lembaga penelitian dan pengembangan
seperti Pusat Penelitian Perkebunan Gula
Indonesia (P3GI) bisa dioptimalkan dalam
membantu penyediaan bibit dengan varietas
unggul. Sehingga ke depan, segmentasi gula
dari sisi hulu terjadi dengan sendirinya, dan
yang lebih penting didasari oleh perbaikan
produksi dan produktivitas tebu.
Namun demikian, pemerintah juga perlu
memberikan perhatian yang lebih serius
MEDIA PUSDIKLAT
37
terhadap peningkatan kualitas GKP, guna
menjawab selera masyarakat yang mulai
menunjukkan perubahan. Dapat dimaklumi jika
masyarakat lebih memilih GKR yang
“merembes” ke pasar konsumsi karena tekstur
GKR yang lebih halus dan putih. Tingginya
kualitas GKR dibandingkan GKP tidak terlepas
dari komitmen pabrik rafinasi untuk
menghasilkan GKR yang bermutu sesuai
dengan Standard Nasional Indonesia (SNI).
Oleh karena itu, keberpihakan pemerintah
seharusnya bersifat imparsial dimana
ketentuan mutu produk gula harus setara
antara GKP dan GKR. Pemberlakuan SNI GKP
secara wajib mutlak diperlukan sebagai
pemenuhan hak - hak konsumen dalam
mengkonsumsi gula yang lebih bersih dan
sehat. Kebijakan yang berorientasi pada
peningkatan produktvitas dan pengelolaan stok
pemerintah juga perlu menjadi bagian dalam
perlindungan konsumen dalam hal
keterjangkauan harga. Skema pembelian gula
dari petani GKP dalam rangka pengelolaan stok
pemerintah harus didasarkan pada mutu yang
terstandar. Dengan cara ini, pemerintah tidak
hanya fokus pada kepastian pasar bagi petani,
namun juga perbaikan mutu dan pengendalian
harga yang menguntungkan konsumen,
sehingga seluruh stakeholder pergulaan dapat
menerima manfaat terbaik.
dalam hal kebijakan pengawasan pasar gula.
Oleh karena itu, kebijakan yang mengarah
pada pasar gula yang tunggal merupakan
keniscayaan. Beberapa kebijakan yang
disebutkan sebelumnya seperti peningkatan
produktivitas melalui insentif harga, bongkar
ratoon,
public
private
partnership
yang
melibatkan industri rafinasi untuk mengolah
lahan tebu, serta mendorong perbaikan mutu
GKP merupakan langkah kebijakan yang efektif
dalam mencapai swasembada gula. Peran
pemerintah dalam hal pengelolaan stok juga
diperlukan untuk menjamin kelangsungan
usaha tani dan keberdayaan konsumen.
Pada akhirnya, masyarakat (society) akan
memperoleh manfaat yang optimal dari
ekonomi pergulaan sehingga gejolak antara
GKR dan Gula Rakyat (GKP) akan berakhir
dengan sendirinya.
Sumber :
1. Media Industri, No. 01-2009
2. Wahyuni dkk (2009), Industri dan Perdagangan
Gula di Indonesia: Pembelajaran dari Zaman
Penjajahan-Sekarang, Forum Penelitian Agro
Ekonomi. Volume 27 No. 2, Desember 2009 : 151
- 167
Pasar Gula Tunggal
Dalam teori ekonomi, dualisme pasar akan
menimbulkan distorsi yang berujung pada
inefisensi pasar. Kebijakan yang hanya
berpihak pada insentif harga gula akan
semakin meningkatkan inefisiensi dan
menyebabkan distorsi pasar terjadi dengan
sendirinya. Implikasinya, pemerintah akan
memerlukan usaha dan biaya yang lebih besar
38
MEDIA PUSDIKLAT
3. Wibowo, Rudi (2012), Ekonomi Gula Indonesia:
Prospek Industri Berbasis Tebu, dalam bunga
rampai Ekonomi Gula, Perhimpunan Ekonomi
Gula Indonesia (PERHEPI), PT Gramedia
Pustaka Utama: 2012
4. http://asosiasigulaindonesia.org/
5. http://www.agrirafinasi.org/
6. http://www.kemendag.go.id
Download