Tabel 3. Kinerja Logistics Environment Uraian Indonesia Singapura Jarak ekspor melalui pelabuhan/ bandara1 133 Km Lead time ekspor melalui pelabuhan/ bandara Jarak impor melalui pelabuhan/ bandara2 31 Km 75 Km 25 Km 3 hari 2 hari 3 hari 1 hari 126 Km 35 Km 300 Km 25 Km Lead time impor melalui pelabuhan/ bandara 5 hari 2 hari 7 hari 1 hari 80% 86,66% 82,5% 92,5% Jumlah unit pengurusan ekspor 2 2 N/A 1 Jumlah unit pengurusan impor 2 2 N/A 1 Jumlah dokumen ekspor 4 1 N/A 2 Jumlah dokumen impor 3 1 N/A 1 Waktu clearance tanpa pemeriksaan fisik barang 2 hari N/A N/A 1 Waktu clearance dengan pemeriksaan fisik barang 4 hari 1 N/A 2 88,89% 100% N/A 100% 100% 80% N/A N/A Tingkat pengiriman memenuhi kriteria kualitas Dokumen Pemberitahuan Pabean yang dikirim dan diproses secara online Importir yang menggunakan Jasa Pengusaha Pengurusan Jasa Kepabeanan Sumber: lpi.worldbank.org (2016) Tabel 4. Kinerja Institusi Kelembagaan Indonesia Tingkat Biaya Singapura Malaysia Thailand % Responden yang menjawab tinggi/sangat tinggi Biaya di pelabuhan 30% 63,64% 0% 0% Biaya di bandara 30% 27,27% 100% 0% Tarif transportasi darat 40% 50% 0% 0% Tarif transportasi kereta api 20% 33,33% 0% 0% Tarif pergudangan 30% 72,73% 0% 100% Kualitas infrastruktur transportasi% Responden yang menjawab rendah/sangat rendah dan perdagangan Pelabuhan 50% 0% 0% 0% Bandara 40% 0% 0% 0% Jalan darat 60% 0% 0% 0% Kereta api 50% 40% 0% 100% Pergudangan 40% 0% 100% 0% Telekomunikasi/TI 40% 0% 100% 0% Tingkat Kualitas Layanan% Responden yang menjawab tinggi/sangat tinggi 1 Badan Pengkajian dan Pengembangan Perdagangan Malaysia Thailand Jalan darat 30% 63,64% 100% Kereta api 30% 30% 100% 0% 0% Transportasi udara 40% 90,91% 100% 100% Distribusi dan Pergudangan 50% 81,82% 100% 0% Freight forwarders 30% 81,82% 100% 0% PPJK 40% 100% 100% 0% Sumber: Double P Orange (2017) KINERJA LOGISTIK INDONESIA 2016 Kinerja logistik domestik diukur berdasarkan aspek infrastruktur, pelayanan, prosedur dan waktu di perbatasan dan realibilitas rantai pasok (Arvis, et al., 2016). Kinerja logistik tingkat domestik Indonesia 2016 dilihat dari kondisi logistik dan institusi kelembagaan seperti yang ditunjukkan pada Tabel 3 dan Tabel 4. Berdasarkan Tabel 3 dan 4, bisa diidentifikasi beberapa kelemahan kinerja logistik Indonesia di tingkat domestik. Jika dilihat dari jarak yang harus ditempuh untuk melaksanakan ekspor atau impor yang masih relatif jauh, data yang disajikan dalam Tabel 3 mengindikasikan bahwa integrasi antara kawasan industri dengan infrastruktur pelabuhan atau bandara masih lemah. Lead time, jumlah dokumen, dan waktu clearance baik untuk ekspor maupun impor yang relatif tinggi mengindikasikan prosedur ekspor impor dan manajemen perbatasan baik dari segi dokumen maupun operasional di Indonesia masih perlu diperbaiki. Pada Tabel 4 dapat dilihat bahwa kualitas layanan dari institusi pendukung logistik dan perdagangan di Indonesia masih rendah dan memerlukan perbaikan yang terindikasi dari rendahnya jumlah responden yang menjawab tinggi/sangat tinggi ketika memberikan respon tingkat kualitas layanan untuk jalan darat, kereta api, transportasi udara, distribusi pergudangan, freight forwarders dan PPJK. Jika fungsi logistik berjalan dengan baik maka akan mendorong kinerja perdagangan. Sebaliknya, jika fungsi logistik tidak efektif dan efisien maka akan menghambat kinerja perdagangan. Indikator-indikator LPI diatas dapat mencerminkan tingkat kelancaran arus barang, arus informasi dan juga arus uang yang timbul karena transaksi perdagangan antara penjual dan pembeli di suatu negara. Untuk memperlancar arus perdagangan baik tingkat domestik maupun internasional dan agar bisa terus bersaing dengan negara-negara lainnya, para pemangku kepentingan di Indonesia perlu memperbaiki indikator-indikator LPI yang bernilai rendah. (Avif Haryana) Kinerja logistik suatu negara dalam mendukung perdagangan, baik domestik maupun internasional sangat penting bagi pertumbuhan ekonomi dan daya saing. Saat ini sektor logistik sudah dianggap sebagai salah satu pilar pertumbuhan ekonomi, termasuk bagi Indonesia. Logistik merupakan bagian dari manajemen rantai pasok yang menangani arus barang, arus informasi dan arus uang secara aman, efektif dan efisien mulai dari titik asal sampai dengan titik tujuan melalui serangkaian proses pengadaan, penyimpanan, transportasi, distribusi dan pelayanan pengantaran sesuai dengan jenis, kualitas, jumlah, waktu dan tempat yang dikehendaki konsumen (Ditjen PDN Kemendag, 2015). Para pemangku kebijakan baik di negara maju maupun negara berkembang, semakin memahami pentingnya penerapan kebijakan yang harmonis dan konsisten dalam mendorong kinerja rantai pasok sebagai motor penggerak pertumbuhan ekonomi (Arvis, et al., 2016). Sistem logistik yang efisien dan berkinerja baik merupakan faktor kunci dari pertumbuhan ekonomi yang berkelanjutan (Havenga, 2010). Pernyataan ini diperkuat dengan penelitian Popescu dan Sipos (2014) yang mencoba menganalisis hubungan antara kinerja logistik dengan PDB di 28 negara Uni Eropa. Penelitian tersebut dalam analisnya menggunakan dua indikator, yaitu Logistics Performance Index (LPI) tahun 2007 - 2014 dengan data PDB per kapita pada tahun yang bersangkutan. Hasil analisis dengan model ekonometri menunjukkan bahwa terdapat hubungan yang cukup kuat antara LPI dan PDB per kapita di negara-negara Uni Eropa. Negara-negara dengan PDB per kapita yang rendah cenderung mempunyai kinerja logistik yang rendah dan masih memerlukan perbaikan pada aspek pembentuk kinerja logistik dalam LPI. Kinerja Logistik Indonesia Jika dilihat dari biaya logistik nasional, kajian Bank Dunia bekerjasama dengan Pusat Kajian Logistik ITB pada tahun 2013, menunjukkan bahwa ratarata biaya logistik Indonesia selama tahun 2004-2011 mencapai 26,64% dari PDB. Dari biaya logistik tersebut komponen biaya angkutan memberikan kontribusi terbesar (12,04% dari PDB), sedangkan komponen biaya administrasi memberikan kontribusi terendah (4,52% dari PDB) dan kontribusi biaya persediaan berada di urutan menengah (9,47% dari PDB). Biaya angkutan didominasi oleh angkutan darat (72,21%); angkutan kereta api (hanya 0,51%) memberikan kontribusi terendah, sedangkan biaya persediaan didominasi oleh biaya penyimpanan/holding cost (49,37%). Selain tingkat biaya logistik, salah satu ukuran kinerja logistik suatu negara yang umum dipakai adalah Logistics Performance Index (LPI). LPI merupakan benchmarking tools yang Jarak rata-rata dari gudang eksportir/importir ke pelabuhan atau bandara. Sumber : Double P Orange (2017) dikembangkan oleh World Bank untuk mengukur kinerja rantai pasok dalam suatu negara dan diperingkat bersama negara-negara lainnya. Skor LPI Indonesia 2016 LPI dirilis pertama kali pada tahun 2007 dan surveinya diperbaharui secara berkala tiap dua tahun sekali mulai tahun 2010. Perkembangan skor dan peringkat LPI Indonesia mengalami pasang surut sebagaimana terlihat pada Gambar 2. Pada tahun 2010 skor dan peringkat mengalami penurunan cukup tajam, dari peringkat ke-43 dengan skor 3,01 di tahun 2007 menjadi peringkat ke-75 dengan skor 2,76 di tahun 2010 (rentang skala skor LPI adalah 1-5, dengan 5 skala tertinggi). Namun demikian, penurunan skor dan peringkat LPI di tahun 2010 seakan-akan menjadi momentum perbaikan kinerja logistik Indonesia. Hal ini diantaranya dibuktikan dengan keseriusan pemerintah untuk membangun sebuah kerangka kerja yang terperinci tentang sistem logistik Indonesia, yang pada akhirnya berhasil diselesaikan dan diterbitkan dengan Peraturan Presiden Republik Indonesia No.26 Tahun 2012 Tentang Cetak Biru Sistem Logistik Nasional. Selanjutnya, pada survei LPI tahun 2012 dan 2014 skor dan peringkat LPI Indonesia menunjukkan tren perbaikan. Tahun Skor LPI Rank LPI Kinerja Logistik Indonesia Skor LPI Internasional 2014 3,01 43 - 2010 2,76 75 ↓0,25 2012 2,94 59 ↑0,18 2014 3,08 53 ↑0,14 2016 2,98 63 ↓0,10 2,98 ↓ Sumber: www.panoramio.com (2017) 0,10 Kepabeanan 2,87 2,69 ↓ 0,18 Kompetensi Jasa Logistik 3,21 3 ↓ 0,21 Infrastruktur 2,92 2,65 ↓ 0,27 Ketepatan Waktu 3,53 3,46 ↓ 0,07 Pengiriman Internasional 2,87 2,9 ↑ 0,03 Pencarian Barang 3,11 3,19 ↑ 0,08 Gambar 4. Skor LPI Indonesia Dibanding Negara-Negara ASEAN Tahun 2016 Sumber: lpi.worldbank.org (2016), diolah Jika dibandingkan dengan Singapura, Malaysia dan Thailand, peringkat LPI Indonesia lebih rendah dengan perbedaan skor yang cukup jauh. Dari keenam dimensi penyusun skor LPI mulai dari kepabeanan hingga pencarian barang, tidak ada satu pun dimensi skor LPI Indonesia yang lebih unggul dari dimensi skor LPI di ketiga negara tersebut. Jika dilihat dari masalah paling mendasar yaitu infrastruktur, kondisi infrastruktur logistik Indonesia masih relatif tertinggal dengan ketiga negara ASEAN tersebut. Secara lebih rinci berdasarkan The Perkembangan Skor dan Peringkat LPI Indonesia, 2007 -2016. Sumber: lpi.worldbank.org (2016), diolah Berdasarkan hasil survei LPI 2016, skor dan peringkat LPI Indonesia kembali mengalami penurunan dibandingkan dengan penilaian pada periode sebelumnya di tahun 2014. Meskipun penurunan skor dan peringkat LPI 2016 tidak setajam penurunan di tahun 2010, turunnya peringkat Indonesia dalam survei LPI 2016 tetap perlu mendapatkan perhatian oleh para pemangku kebijakan. Dari 160 negara yang disurvei, Indonesia mendapatkan peringkat ke-63 dengan skor 2,98, mengalami penurunan dibandingkan hasil survei periode sebelumnya di tahun 2014, di mana saat itu Indonesia mendapatkan peringkat ke-53 dengan skor 3,08. Penurunan skor LPI Indonesia terjadi pada hampir semua komponen, kecuali Pengiriman Internasional dan Pencarian Barang. Dari enam komponen skor LPI Indonesia 2016, tiga komponen (kompetensi jasa logistik, pencarian barang, dan ketepatan waktu) mempunyai skor di atas 3 dan tiga dimiliki oleh Jerman sebesar 4,23, Indonesia mendapatkan nilai 61,5% sedangkan Vietnam 61,3% sehingga Indonesia menempati peringkat lebih tinggi dibandingkan dengan Vietnam. Data mengenai skor LPI Indonesia dibandingkan dengan negara-negara ASEAN ditunjukkan pada Gambar 4. 2016naik/turun 3,08 Naik/Turun Skor LPI 2007 Gambar 2. dimensi lainnya (kepabeanan, infrastruktur, dan pengiriman internasional) di bawah 3 (supplychainindonesia.com, 2016). Adapun nilai terendah terjadi pada komponen infrastruktur yang menandakan bahwa kurangnya kualitas dan kuantitas infrastruktur merupakan salah satu penghambat efisiensi logistik dan daya saing di Indonesia. Infrastruktur memang menjadi salah satu masalah mendasar di Indonesia, terutama menyangkut jumlah, kapasitas, dan penyebarannya (supplychainindonesia.com, 2016). Perbandingan skor LPI Indonesia tahun 2014 dan 2016 ditunjukkan pada Gambar 3. Gambar 3. Skor LPI Indonesia Tahun 2016 dan 2014. Sumber: lpi.worldbank.org (2016), diolah Skor LPI Indonesia Dibandingkan dengan Negara-Negara di ASEAN Gambar 4 menunjukkan data mengenai skor LPI Indonesia dibandingkan dengan negara-negara ASEAN. Berdasarkan data tersebut, Indonesia berada di posisi ke-4 di tingkat ASEAN, jauh lebih unggul dari Kamboja, Myanmar dan Laos, bersaing ketat tetapi masih lebih unggul dibanding dengan Vietnam, Brunei Darussalam dan Filipina. Bahkan, Jika dibandingkan dengan Vietnam, Indonesia mempunyai skor LPI yang sama yaitu sebesar 2,98, namun jika dihitung berdasarkan persentase terhadap skor LPI tertinggi 2016 yang Global Competitiveness Report 2015-2016, kualitas infrastruktur transportasi/ logistik Indonesia terutama kualitas jalan, transportasi udara dan pelabuhan lebih rendah dibandingkan dengan Singapura, Malaysia dan Thailand, kecuali untuk kualitas jalur kereta api Indonesia lebih baik dibandingkan Thailand, sebagaimana ditunjukkan pada Tabel 2. Tabel 2. Kualitas Infastruktur Transportasi/Logistik Indonesia Dibandingkan Singapura, Malaysia dan Thailand Negara Jalan Darat Singapura Malaysia Thailand Indonesia 6,2 5,7 4,4 3,7 Jalur Kereta Api Transportasi Udara Pelabuhan 5,7 5,1 2,4 3,6 6,8 5,7 5,1 4,4 6,7 5,6 4,5 3,8 Sumber: The Global Competitiveness Report 2015-2016 (2016) Dari aspek teknologi informasi dan komunikasi, di Indonesia saat ini masih terdapat kendala dalam penerapan Indonesia National Single Window (INSW) yang belum terintegrasi secara menyeluruh dan independen. Di antara Kementerian/Lembaga di Indonesia belum terdapat sebuah referensi tunggal (single references) terutama dalam pendefinisian risiko nasional dan persyaratan/rekomendasi ekspor impor yang masih terpisah-pisah antar Kementerian dan Lembaga. Adapun di Singapura, Malaysia dan Thailand sudah terdapat sistem NSW yang mampu memfasilitasi pertukaran data antar institusi baik institusi pemerintah maupun swasta. Sistem tersebut adalah Tradenet®, sistem NSW Singapura berbasis electronic data interchange (EDI) yang memungkinkan berbagai pihak baik sektor pemerintah maupun swasta untuk bertukar informasi dan perdagangan yang terstruktur secara elektronik. Tradenet® mampu mengintegrasikan prosedur pemrosesan dokumen ekspor, impor dan transhipment. Di Malaysia terdapat portal NSW yang diberi nama myTRADELINK yang menyediakan rujukan tunggal bagi semua pihak yang terkait dalam komunitas perdagangan untuk bertukar dokumen yang dibutuhkan untuk memenuhi regulasi perdagangan terkait dengan ekspor, impor dan transit yang dapat diakses dimana saja dan kapan saja. Sementara di Thailand telah terdapat sistem NSW yang memungkinkan integrasi dan berbagi data serta informasi secara G2G (antar lembaga pemerintah), G2B (antara pemerintah dan pelaku usaha) dan B2B (antar pelaku usaha) dalam bidang ekspor, impor dan logistik. Sistem tersebut juga memfasilitasi proses berbagi data dan informasi lintasbatas antara pemerintah dengan sektor bisnis baik di Thailand maupun di negara lain (asw.asean.org, 2017). LPI Domestik Indonesia Hasil survei LPI Domestik memperlihatkan secara detail mengenai lingkungan logistik negara, proses logistik dan institusinya, serta kinerja dari segi waktu dan biaya jika ada. Untuk mendapatkan data ini, para pelaku profesional logistik yang disurvei menilai lingkungan logistik di negara mereka sendiri. Pendekatan yang ditempuh adalah dengan melihat kendala logistik dalam suatu negara dan bukan hanya melihat dari pintu masuknya seperti pelabuhan dan daerah perbatasan.