Uploaded by Avif Haryana

3. Jurnal PLB Pusdiklat

advertisement
Volume : 1 No: 1
ISSN
: 2548-3137
e-ISSN : 2548-3145
ii
Volume 1 Nomor 1 tahun 2016
ISSN : 2548-3137
e-ISSN : 2548-3145
REDAKSI
JURNAL PUSDIKLAT PERDAGANGAN
Jaringan Informasi Diklat dan Kebijakan Perdagangan
Diterbitkan oleh Pusat Pendidikan dan Pelatihan Perdagangan,
Kementerian Perdagangan RI dua kali setahun.
Penanggung Jawab :
R. Sapuratwi, S.Sos, M.Si
Pemimpin Redaksi :
Drs. M.Hadi Adji Susanto, MM
Editor :
Sunang Kori, SE, MM
Mitra Bestari :
Dr. Parluhutan Tado Sianturi, SE
Dr. Teja Primawati Utami, S.TP, MM
Dr. Miftah Farid, S.Tp, MSE
Dr. Azis Muslim, ST, MSE
Dudi Adi Firmansyah, Ph.d
Dr. Sukoco, S.Tp, MSE
Dr. Wahyu Widji Pamungkas, S.KOM, MM
Design Grafis :
Nasrudin
Fotografer :
Suaip Rizal, ST
Penerbit :
Pusat Pendidikan dan Pelatihan Perdagangan
Alamat :
Gedung Pusdiklat Perdagangan, Jalan Abdul Wahab No. 8, Cinangka,
Sawangan, Depok, Jawa Barat
Telp/fax : 021-7422570, e-mail : jurnal.pusdiklatdag@gmail.com
ii
Volume 1 Nomor 1 tahun 2016
ISSN : 2548-3137
e-ISSN : 2548-3145
PENGANTAR
REDAKSI
Jurnal Pusdiklat Perdagangan merupakan jurnal ilmiah yang diterbitkan oleh
Pusat Pendidikan dan Pelatihan Perdagangan, Kementerian Perdagangan. Maksud
dan tujuan diterbitkannya Jurnal Pusdiklat Perdagangan adalah sebagai sarana
pertukaran ilmu pengetahuan dan informasi yang berkaitan dengan pendidikan dan
pelatihan aparatur dan non aparatur, keilmuan di bidang perdagangan dan kebijakan di
sektor perdagangan. Jurnal ini diharapkan dapat menumbuhkan kreativitas dan
pertukaran gagasan para widyaiswara, peneliti, akademisi dan pemangku kebijakan
sektor perdagangan. Jurnal Pusdiklat Perdagangan berisi pokok-pokok permasalahan
baik dalam pengembangan kerangka teoritis, implementasi maupun pengembangan
sistem pendidikan dan pelatihan perdagangan serta pengkajian kebijakan di sektor
perdagangan secara keseluruhan. Dalam Vol. 1 No.1, Desember 2016 Jurnal
Cendekia Niaga memuat 14 tulisan ilmiah. Diharapkan setiap naskah yang diterbitkan
didalam jurnal ini memberikan kontribusi yang nyata bagi peningkatan sumberdaya
penelitian didalam bidang ilmu pendidikan dan perdagangan.
Tim redaksi membuka pintu lebih lanjut untuk masukan baik kritik, saran dan
pembahasan. Semoga jurnal Pusdiklat Perdagangan dapat bermanfaat bagi kita
semua
Selamat menyimak dan semoga bermanfaat.
Salam redaksi
iii
Peran Pusat Logistik Berikat (Plb) Dalam ..., Aviv Haryana
PERAN PUSAT LOGISTIK BERIKAT (PLB) DALAM MENURUNKAN DWELLING
TIME DI PELABUHAN INDONESIA
The Role of Bonded Logistic Center (BLC) in Reducing Dwelling Time on
The Indonesian Port
Avif Haryana
Badan Pengkajian dan Pengembangan Perdagangan
Kementerian Perdagangan
Jl. M.I Ridwan Rais No. 5 Jakarta Pusat
Pos-el: vifhary@gmail.com,
ABSTRACT:In March 2016 the government has inaugurated the operation of Bonded Logistics
Center (BLC). BLC incentives are expected to be able to reduce logistics costs by lowering
national dwelling time on ports and make the warehouses closer to the industry. This study
aimed to analyze the differences between the dwelling time of import using PIB form and the
dwelling time of imports to be dumped in the BLC using BC 1.6 form. Based on the results of
interviews with PT TMMIN along with document and container flow analysis indicate that using
BC 1.6 forms,dwelling time will be cut as a result of the postponement of the payment of
customs duties, fulfilment of import permits and examination of containers and its documents.
Keywords:bonded logistic center, port, dwelling time, logistic cost
ABSTRAK: Pemerintah pada Bulan Maret 2016 telah meresmikan beroperasinya Pusat
Logistik Berikat (PLB). Insentif PLB diharapkan akan mampu mengurangi biaya logistik nasional
dengan menurunan dwelling time di pelabuhan dan mendekatkan gudang bahan baku ke
industri. Penelitian ini bertujuan untuk menganalisis perbedaan dwelling time antara importasi
barang untuk dipakai dengan formulir PIB dan importasi barang untuk ditimbun di PLB dengan
formulir BC 1.6. Berdasarkan hasil wawancara dengan PT TMMIN serta analisis alur dokumen
dan peti kemas menunjukkan bahwa dengan formulir BC 1.6 dwelling time akan terpangkas
dengan penundaan proses pembayaran bea masuk, pemenuhan syarat aturan pembatasan
dan pemeriksaan dokumen dan fisik peti kemas.
Kata Kunci: pusat logistik berikat, pelabuhan, dwelling time, biaya logistik
PENDAHULUAN
Turunnya peringkat Indonesia dalam
survei Logistic Performance Indeks (LPI)
2016 perlu mendapatkan perhatian oleh
para pemangku kebijakan. Dari 160
negara
yang
disurvei,
Indonesia
mendapatkan peringkat ke-63 dengan
skor 2,98, mengalami penurunan
dibandingkan hasil survei periode
sebelumnya di tahun 2014 dimana saat
itu Indonesia mendapatkan peringkat
ke-53 dengan skor 3,08 (rentang skala
1-5, dengan 5 skala tertinggi). LPI
merupakan benchmarking tools yang
dikembangkan oleh World Bank yang
mengukur kinerja rantai pasok dalam
suatu negara dengan dibandingkan dan
diperingkat bersama negara-negara
lainnya. LPI memberikan gambaran
kinerja logistik yang komprehensif
mencakup prosedur kepabeanan, biaya
logistik, kualitas infrastruktur dalam
melacak pengiriman, ketepatan waktu
sampai ke tujuan dan kompetensi
industri logistik nasional (World Bank,
2007). Penurunan skor LPI ini sempat
dipertanyakan banyak pihak, mengingat
semenjak masa pemerintahan Kabinet
Kerja banyak kebijakan pembenahan
logistik nasional diluncurkan, antara lain
seperti Tol Laut, Gerai Maritim,
pengembangan Indonesia Nasional
Single Window (INSW) Generasi-2,
Beyond Cabotage,
mega proyek
infrastruktur logistik dan pengembangan
Pusat Logistik Berikat (PLB). Dari
beberapa diskusi1 terungkap bahwa skor
1
Sebagaiman disampaikan oleh Daniel
Alexander Van Tuijil dari World Bank dalam
seminar Jakarta International Logistics Summit
(JILSE) bulan Oktober 2016.
1
Jurnal Cendekia Niaga, Vol. 1 No. 1, DESEMBER 2016 : 1-10
LPI
2016
belum
mengakomodir
perkembangan terkini sektor logistik di
Indonesia.
Efisiensi prosedur kepabeanan
di pelabuhan merupakan salah satu
komponen penilaian LPI. Pelabuhan
merupakan titik simpul (node) dalam
rantai pasok global, sehingga kinerja
suatu rantai pasok global juga
ditentukan oleh kinerja pelabuhan dalam
rantai pasokan tersebut. Salah satu
aspek kinerja pelabuhan yang akhirakhir ini hangat diperbincangkan adalah
dwelling time.
sumber: (PT Pelabuhan Indonesia, 2016)
Gambar 1 Data Rata-Rata Bulanan
Dwelling Time (Hari) di 4 Terminal Peti
Kemas Pelabuhan Tanjung Priok Tahun
2015
Menurut Pengelola Portal Indonesia
National Single Window (PP INSW)
dwelling time adalah waktu tunggu yang
dibutuhkan mulai saat peti kemas
diturunkan dari sarana pengangkut
hingga keluar dari area pelabuhan. Isu
dwelling time menjadi mengemuka di
pertengahan tahun 2015 menyusul
kekecewaan Presiden Joko Widodo
terhadap masa tunggu bongkar muat di
Pelabuhan Tanjung Priok Jakarta,
dimana waktu tunggu bongkar muat
untuk barang tertentu memakan waktu
5,5 hari dan 20 – 30 hari untuk barang
jenis bahan berbahaya dan beracun
(B3). Presiden sempat menyebut
dwelling time di Pelabuhan Tanjung
Priok terlama di Asia (Lumanauw,
2015). Data dwelling time di Pelabuhan
Tanjung Priok tahun 2015 ditunjukkan
oleh Gambar 1. Dengan lamanya
dwelling time proses pengadaan bahan
baku dan bahan penolong yang berasal
dari luar negeri (impor) akan terhambat
dan berdampak pada biaya peningkatan
biaya logistik terutama pada biaya
pengadaan (procurement) dan biaya
penyimpanan bahan baku (holding
cost). Pada akhirnya, biaya logistik yang
tinggi akan berdampak pada produksi
yang tidak efisien dan rendahnya daya
saing.
Pada
akhir
tahun
2015,
pemerintah melakukan terobosan di
bidang
logistik
yaitu
dengan
meluncurkan
kebijakan
pemberian
insentif untuk pengembangan kawasan
Pusat Logistik Berikat (PLB). Kebijakan
ini merupakan bagian dari paket
kebijakan ekonomi tahap ke-2 atau yang
dikenal
dengan
paket
kebijakan
ekonomi Jokowi jilid 2 yang diluncurkan
tanggal
29
September
2015.
Berdasarkan PP No. 85 Tahun 2015
Tentang Perubahan atas PP No. 32
Tahun
2009
Tentang
Tempat
Penimbunan Berikat, definisi PLB
adalah
bangunan,
tempat,
atau
kawasan
yang
digunakan
untuk
menimbun barang asal luar daerah
pabean dan/atau barang yang berasal
dari tempat lain dalam daerah pabean
dengan fasilitas penangguhan bea
masuk, dapat disertai 1 (satu) atau lebih
kegiatan sederhana dalam jangka waktu
tertentu untuk dikeluarkan kembali.
2
Peran Pusat Logistik Berikat (Plb) Dalam ..., Aviv Haryana
Esensi dari kebijakan ini yaitu
menciptakan gudang penimbunan di
dalam negeri untuk barang impor
terutama bahan baku dan bahan
penolong yang berlokasi di kawasan
dekat dengan industri dengan insentif
penundaan bea masuk dan pajak serta
belum
diberlakukan
ketentuan
pembatasan saat pemasukan barang.
PLB merupakan salah satu
bentuk Tempat Penimbunan Berikat
(TPB)
yang
dikembangkan
dan
diperluas fungsinya. Sebelum kebijakan
insentif PLB diluncurkan, sudah ada
jenis TPB lainnya yang juga mendapat
fasilitas penundaan bea masuk dan
pajak sebagaimana diatur dalam PP
No. 32 Tahun 2009 yang sudah dirubah
yaitu: 1. Gudang Berikat; 2. Kawasan
Berikat; 3. Tempat Penyelenggaraan
Pameran Berikat; 4. Toko Bebas Bea; 5.
Tempat Lelang Berikat. 6; dan 7.
Kawasan Daur Ulang Berikat. Adapun
keistimewaan PLB dibandingkan TPB
lainnya antara lain (Supomo, 2016):
1. Kepemilikan barang yang ditimbun
bisa milik sendiri, konsinyasi atau
titipan.
2. Waktu masa timbun sampai dengan
3 tahun dan bisa diperpanjang jika
barang yang ditimbun merupakan
barang
untuk
keperluan:
a).
Operasional minyak dan/atau gas
bumi; b). Pertambangan; c). Industri
tertentu; d). Industri lainnya dengan
izin Kepala Kantor Pabean.
3. Digunakan nilai pabean (NP) saat
pengeluaran.
4. Asal dan tujuan pengeluaran barang
fleksibel (one to many, many to one,
many to many)
5. Jangka waktu izin seumur hidup
sampai dicabut.
6. Certificate of Origin (CoO)/ Surat
Keterangan Asal (SKA) diterima dan
bisa dikeluarkan secara parsial
7. Pemeriksaan oleh surveyor bisa
dilaksanakan di dalam PLB.
Kebijakan insentif PLB direspon
dengan antusias oleh para stake holder
baik oleh kementerian dan lembaga
selaku pembuat regulasi pendukung
maupun oleh pelaku usaha selaku
penerima manfaat kebijakan ini. Sampai
dengan akhir bulan Oktober 2016,
terdapat 28 PLB yang sudah diresmikan
dan diprediksi akan terus bertambah
mengingat besarnya animo pelaku
usaha terhadap kebijakan ini. Dari sisi
regulasi pemerintah telah meluncurkan
beberapa regulasi untuk mendukung
operasional PLB yaitu:
1. Peraturan Pemerintah No. 85 Tahun
2015 Tentang Perubahan atas PP
No. 32 Tahun 2009 Tentang Tempat
Penimbunan Berikat.
2. Peraturan
Menteri
Keuangan
Republik
Indonesia
No.
272/PMK.04/2015 Tentang Pusat
Logistik Berikat.
3. Peraturan Menteri Perdagangan No.
64/M-DAG/PER/9/2016
Tentang
Ketentuan
Pemasukan
dan
Pengeluaran Barang Asal Luar
Daerah Pabean Ke dan Dari Pusat
Logistik Logistik Berikat.
4. Peraturan Direktur Jenderal Bea dan
Cukai No. PER-01/BC/2016 Tentang
Tata Laksana Pusat Logistik Berikat.
5. Peraturan Direktur Jenderal Bea dan
Cukai No. PER-02/BC/2016 Tentang
Tata Laksana Pengeluaran Barang
Impor dari Kawasan Pabean untuk
Ditimbun di Pusat Logistik Berikat.
6. Peraturan Direktur Jenderal Bea dan
Cukai No. PER-03/BC/2016 Tentang
Tata Laksana Pengeluaran Barang
Impor dari Pusat Logistik Berikat
untuk Diimpor untuk Dipakai.
Presiden berharap pembentukan
PLB menjadi solusi dari permasalahan
logistik nasional. Dengan adanya PLB,
pemerintah meyakini
biaya logistik
nasional akan turun, dwelling time di
pelabuhan semakin cepat, serta dapat
menarik investasi untuk pertumbuhan
ekonomi nasional (Setkab, 2016). Selain
itu pemerintah juga berharap fasilitas
PLB
dapat
dioptimalkan
oleh
perusahaan untuk mengembangkan
usahanya dan memperluas jaringan
pasokannya sehingga bisa mewujudkan
cita-cita Indonesia sebagai Hub Logistik
di Asia Pasifik (Kemenkeu, 2016).
Kebijakan
PLB
merupakan
3
Jurnal Cendekia Niaga, Vol. 1 No. 1, DESEMBER 2016 : 1-10
kebijakan nasional dan bukan hanya
merupakan
kebijakan
Kementerian/Lembaga
tertentu.
Berbagai
analisis
dan
tinjauan
komprehensif harus dilakukan untuk
mengawal, dan memberikan masukan
terkait kebijakan PLB supaya diperoleh
output dan outcome yang diharapkan.
Penelitian ini merupakan tinjauan yang
komprehensif mengapa dwelling time
bisa dipersingkat. Tulisan ini akan
menganalisis kebijakan PLB khususnya
dampak
yang
ditimbulkan dalam
mengurangi dwelling time di pelabuhan
di Indonesia.
METODOLOGI
Tulisan ini menggunakan analisis
deskriptif kualitatif dimulai dengan (i)
menjelaskan insentif yang ditawarkan
oleh PLB terhadap barang impor (ii)
mendeskripsikan
dan menganalisis
proses pergerakan peti kemas di
pelabuhan dan dwelling time; (iii)
menganalisis dampak pemanfaatan PLB
terhadap dwelling time di pelabuhan.
Dugaan/pernyaatan sementara tulisan
ini adalah bahwa implementasi PLB
akan mempersingkat dwelling time di
pelabuhan.
Data yang digunakan dalam
penulisan ini merupakan data primer
dan sekunder. Data primer diperoleh
dari pengusaha yang telah menerapkan
PLB dengan cara wawancara pada saat
acara pameran Indonesia Transport,
Supply Chain and Logistic (ITSCL) di
Jakarta International Expo Kemayoran
tanggal
19 – 21 Oktober 2016. Data sekunder
diperoleh
dari
literatur-literatur
sebelumnya,
Kementerian
Perdagangan, Dirjen Bea dan Cukai,
dan berbagai media massa baik cetak
maupun elektronik.
HASIL DAN PEMBAHASAN
Insentif Pusat Logistik Berikat (PLB)
Berdasarkan
PMK
No.272/PMK.04/2015 Tentang Pusat
Logistik Berikat dinyatakan bahwa
barang yang dimasukkan dari luar
daerah pabean (luar negeri) untuk
ditimbun di PLB mendapatkan insentif
yaitu diberikan penangguhan bea
masuk, diberikan pembebasan cukai
dan/atau tidak dipungut Pajak Dalam
Rangka Impor (PDRI). Dengan adanya
insentif tersebut bahan baku dan barang
penolong yang ditimbun di PLB
mempunyai
keistimewaan
dimana
adalah bahan baku atau barang modal
asal luar negeri yang ditimbun di PLB
sudah berada di dalam negeri namun
berstatus barang negara asal yang
belum dikenai kewajiban bea masuk,
cukai dan pajak serta belum dikenai
aturan larangan dan pembatasan
barang impor. Hal ini sebagai akibat dari
insentif penundaan bea masuk, cukai
dan/atau pajak dengan jangka waktu
sampai dengan tiga tahun. Selain itu
pemenuhan persyaratan
tentang
ketentuan pembatasan akan dipenuhi
ketika barang tersebut diimpor untuk
dipakai dari PLB.
Sumber: (Ditjen Bea Cukai, 2016)
Gambar 2. Beberapa Skema Pemasukan
dan Pengeluaran Barang Dari dan Ke
PLB.
Dalam konsep supply chain
management
(SCM),
strategi
penundaan (postponement strategy)
merupakan salah satu strategi yang
memberikan dampak yang nyata
terhadap
terhadap
keunggulan
kompetitif perusahaan dan performa
organisasi (Cheng, et al. 2010). Dengan
fasilitas penundaan pengenaan bea
masuk,
cukai
dan/atau
pajak,
pengusaha PLB bisa menyimpan bahan
4
Peran Pusat Logistik Berikat (Plb) Dalam ..., Aviv Haryana
baku atau barang penolong secara lebih
dekat dengan industri pengguna di
dalam negeri dan lebih murah karena
bea masuk, cukai dan/atau pajak belum
dipungut. Dari sisi industri pengguna,
lokasi pasokan bahan baku yang lebih
dekat
ke
sisi
hilir
akan
menyederhanakan
perencanaan
produksi,
memperkecil
lead
time
pemesanan dan pada akhirnya akan
mengurangi biaya simpan (holding cost)
karena stok bahan baku bisa diturunkan
jumlahnya.
Selain fasilitas penundaan bea
masuk dan pajak, PLB juga diberikan
fleksibilitas dalam hal pemasukan dan
pengeluaran barang (one to many,
many to one, many to many)
sebagaimana ditunjukkan oleh Gambar
2. Barang yang akan ditimbun di PLB
bukan hanya bisa berasal dari impor
(luar daerah pabean /LDP), namun bisa
juga berasal dari TPB lain, PLB di lokasi
lain (satu izin), kawasan bebas,
kawasan ekonomi khusus (KEK) dan
dari dalam negeri (tempat lain dalam
daerah pabean/TLDDP). Demikian pula
barang yang dikeluarkan dari PLB
bukan hanya bisa dikeluarkan untuk
diimpor untuk di pakai di dalam negeri
(TLDDP) tapi bisa diteruskan ke TPB
lain, PLB di lokasi lain (satu izin),
kawasan bebas, kawasan ekonomi
khusus (KEK) dan di ekspor ke negara
lain
(LDP).
Adapun
keterangan
mengenai dokumen pemberitahuan
pabean dari setiap pemindahan barang
pada Gambar 2, bisa dilihat pada Tabel
1.
Tabel 1Beberapa Dokumen
Pemberitahuan Pabean Terkait PLB
Kode
Formulir
BC 1.1
BC 1.6
BC 2.0
Keterangan
Inward manifest/manifes yang
memuat daftar muatan barang
niaga yang diangkut oleh sarana
pengangkut
saat
memasuki
kawasan pabean.
Pemberitahuan
pabean
pemasukan barang impor untuk
ditimbun di PLB
PIB
(Pemberitahuan
Impor
Barang)/ Pemberitahuan pabean
Kode
Formulir
Keterangan
untuk pengeluaran barang yang
diimpor untuk dipakai
BC 2.7
Pemberitahuan
Pengeluaran
Barang untuk Diangkut dari TPB
ke TPB lainnya
BC 2.8
PIB PLB/ Pemberitahuan pabean
untuk pengeluaran barang dari
PLB untuk diimpor untuk dipakai/
diimpor sementara
BC 3.0
PEB (Pemberitahuan Ekspor
Barang)
BC 4.0
Pemberitahuan
pemasukan
barang asal tempat lain dalam
daerah pabean ke
tempat
penimbunan berikat.
BC 4.1
Pemberitahuan
Pengeluaran
Kembali Barang Asal Tempat
Lain Dalam Daerah Pabean Dari
Tempat Penimbunan Berikat
PPB
Pemberitahuan
Pabean
PLB
pengeluaran barang dari PLB di
satu lokasi ke PLB di lokasi lain
yang
masih
satu
izin
pengusahaan.
PP-FTZ
Pemberitahuan Pabean untuk
02
pemasukan dan pengeluaran
barang ke dan dari Kawasan
Bebas dari dan ke Tempat
Penimbunan Berikat, Kawasan
Bebas lainnya, dan Kawasan
Ekonomi Khusus
Sumber:(Harahap, 2010)
Pergerakan
Pelabuhan
Peti
Kemas
Melalui
Proses
perdagangan
internasional dimulai dengan dua belah
pihak yang saling bersepakat untuk
melakukan transaksi jual beli. Setelah
eksportir di luar negeri mengapalkan
barangnya ke Indonesia, importir akan
menerima
pemberitahuan
tibanya
dokumen-dokumen pengapalan dari
opening bank (bank tempat membuka
L/C di dalam negeri) yang dikirim oleh
advising bank (bank di luar negeri).
Selanjutnya
setelah
importir
membayar/menebus dokumen-dokumen
tersebut atau rekeningnya didebit, maka
opening bank menyerahkan dokumendokumen tersebut kepada importir untuk
keperluan pengeluaran barang dari
pabean.
5
Jurnal Cendekia Niaga, Vol. 1 No. 1, DESEMBER 2016 : 1-10
BC
BC
2
1
BC
B
1
G
P
Luar
Pelabuhan/
Dwelling Time peti
Sumber: Tim INSW Kemenko Perekonomian
kemas dalam
impor (Haryana, 2012), diedit.
Gambar.3 Pergerakan Peti Kemas Impor
Peti kemas/ kargo yang diangkut
oleh kapal atau sarana pengangkut
lainnya menuju ke wilayah pabean
Indonesia akan melalui beberapa tahap
sebagaimana ditunjukkan pada Gambar.
3 sebagai berikut:
1. Kapal datang di perairan Indonesia
kemudian menunggu antrian untuk
sandar di dermaga.
2. Kapal sandar di dermaga, pihak
shipping line menyampaikan inward
manifest (manifes kedatangan sarana
pengangkut)/BC 1.1, kemudian peti
kemas di bongkar dari kapal
(unloading)
3. Peti kemas yang sudah di bongkar
kemudian ditimbun di lapangan
penumpukan container (container
yard/CY).
Importir
menyiapkan
formulir BC 2.0 pemberitahuan Impor
Barang (PIB) jika importir ingin
mengimpor barang untuk dipakai.
Jika importir ingin menimbun barang
impornya di PLB, maka formulir yang
dipakai adalah BC 1.6.Tahap ini
disebut juga tahap pre-clearance
4. Tahap
penyelesaian
kewajiban
pabean (customs clearance) yang
meliputi verifikasi dokumen oleh bea
cukai,
pemeriksaan
persyaratan
impor (larangan dan pembatasan),
pemeriksaan fisik peti kemas (khusus
jalur merah) dan penerbitan Surat
Persetujuan Pengeluaran Barang
(SPPB). Jika pelaku usaha PLB
(Penyelenggara PLB, Pengusaha
PLB, atau PDLB2) akan menimbun
barangnya di PLB (BC 1.6), proses
customs clearance akan ditunda di
PLB. Selanjutnya jika form BC 1.6
sudah diverifikasi, akan diterbitkan
SPPB PLB.
5. Pembayaran biaya penimbunan ke
operator pelabuhan (post clearance)
6. Pengeluaran
peti
kemas
dari
kawasan
pelabuhan
dan
pemasangan tanda pengaman pada
peti kemas (post clearance).
7. Penyelenggara PLB, Pengusaha
PLB, dan PDLB memasukkan barang
ke PLB dengan mencocokkan
kriteria-kriteria yang tercantum pada
SPPB PLB, kemudian melaporkan ke
Kantor Pengawas Pabean untuk
mendapatkan
SPPD
(Surat
Persetujuan Penyelesaian Dokumen)
8.
Dengan form BC 2.8, pelaku
usaha dalam industri mengimpor barang
dari PLB untuk keperluan industrinya.
Pada tahap ini pelaku usaha tersebut
membayar bea masuk, cukai dan PDRI
sesuai nilai pabeannya. Pelaku usaha
2
Penyelenggara PLB adalah badan hukum yang
menyediakan dan mengelola kawasan untuk
kegiatan pengusahaan PLB. Pengusaha PLB
adalah badan hukum yang melakukan kegiatan
pengusahaan PLB. Pengusaha di PLB (PDLB)
adalah badan usaha yang melakukan kegiatan
pengusahaan PLB yang berada di dalam PLB
milik penyelenggara PLB yang statusnya sebagai
badan usaha yang berbeda.
6
Peran Pusat Logistik Berikat (Plb) Dalam ..., Aviv Haryana
yang membeli juga mempersiapkan
persyaratan impor dari Kementerian
teknis untuk barang yang terkena aturan
pembatasan.
Dwelling time sebagaimana ditunjukkan
pada Gambar 3 merupakan waktu yang
dibutuhkan untuk melakukan kegiatan
pada nomor 3 – 6 yang terbagi menjadi
tiga tahapan yaitu: pre-clearance (nomor
3), customs clearance (nomor 4), dan
post-clearance (nomor 5 & 6).
Perbandingan Dwelling Time antara
Impor Barang dengan PIB (BC 2.0)
dan Penimbunan Ke PLB dengan BC
1.6
Berdasarkan wawancara kepada pelaku
usaha PLB yang sudah beroperasi,
kebijakan insentif PLB terbukti mampu
menurunkan dwelling time di pelabuhan.
Salah satu penyelenggara PLB untuk
sparepart kendaraan bermotor yaitu PT
Toyota Motor Manufacturing Indonesia
(TMMIN), pada awal peresmian PLB di
bulan Maret 2016 memiliki rata-rata
dwelling time untuk barang impornya
sebesar 3 hari. Dengan pemanfaatan
PLB, pada bulan Oktober 2016 dwelling
time bisa ditekan sampai dengan 1 hari
(same day), meskipun pada bulan Mei
dan Agustus 2016 sempat mengalami
kenaikan dwelling time sampai 5 hari
karena
belum
terbiasa
dengan
penerapan
sistem
baru.
Selain
berpengaruh terhadap dwelling time,
pemanfaatan PLB di PT TMMIN
memberikan manfaat lain yaitu: 1.
Menurunkan biaya logistik karena bisa
terhindar dari biaya tambahan di
pelabuhan (tarif progresif lapangan
penumpukan, over brengen dan biaya
penalti). 2. Efisiensi arus kas (cash flow)
karena penundaan pajak dan bea
masuk sampai 3 tahun 3. Fleksibilitas
logistik dan produksi karena clearance
terhadap barang impor bisa dilakukan
secara parsial dan 4. Kemudahan lain
seperti pembayaran periodik, corporate
guarantee, dan penyampaian dokumen
secara periodik.
Sebagaimana telah di jelaskan diatas
bahwa
dalam
artikel
ini
akan
dibandingkan dua cara pengeluaran
barang dari pelabuhan/kawasan pabean
untuk dimasukkan ke dalam negeri
(daerah pabean). Cara yang pertama
adalah yang sudah biasa dilakukan
oleh pelaku industri yaitu membeli
bahan baku dan bahan penolong dari
luar negeri,
kemudian memasukkan
barang tersebut ke dalam daerah
pabean Indonesia dengan tujuan untuk
dipakai untuk proses produksi di dalam
negeri. Pada cara yang pertama ini,
formulir
yang
digunakan
untuk
pemberitahuan pabean adalah formulir
BC 2.0 atau yang lazim disebut PIB
(Pemberitahuan
Impor
Barang).
Konsekuensi dari cara ini adalah pelaku
usaha/ importir harus menyelesaikan
urusan kepabeanan dan persyaratan
impor di pelabuhan terlebih dahulu. Jika
urusan dengan Bea Cukai dan
kementerian terkait belum diselesaikan,
maka barang
impor tidak
bisa
dikeluarkan dari pelabuhan/ kawasan
pabean.
Adapun pada cara yang kedua, dalam
hal ini pemerintah memberikan fasilitas
bagi importir bahan baku dan penolong
untuk membeli bahan baku dan
penolong dari luar negeri kemudian
trader memasukkan barang tersebut ke
PLB untuk ditimbun dengan fasilitasfasilitas yang sudah dipaparkan di
depan. Proses pemasukannya tetap
melalui pelabuhan. Di pelabuhan
setelah melewati proses nomor 2 & 3
pada Gambar 3, pelaku usaha PLB
mengajukan pemberitahuan pabean BC
1.6 untuk menimbun barang di PLB.
Proses selanjutnya, barang tersebut
akan dibeli oleh pelaku industri sesuai
kebutuhan proses produksi di dalam
negeri dengan pemberitahuan pabean
BC 2.8. Pada cara yang kedua ini, ada
dua formulir pemberitahuan pabean
yang digunakan yaitu formulir BC 1.6
untuk penimbunan di PLB dan formulir
B.C 2.8 untuk pembelian/impor dari PLB
di dalam negeri. Dampak positif dari
cara yang kedua ini adalah ada
sebagian proses pre-clearance dan
custom clearance (No. 3 & 4 pada
Gambar
3)
yang
ditunda
pelaksanaannya di pelabuhan yang
pada tahap selanjutnya ( No. 7 pada
7
Jurnal Cendekia Niaga, Vol. 1 No. 1, DESEMBER 2016 : 1-10
Gambar 3) proses tersebut akan
dilaksanakan di PLB ketika pelaku
industri membeli barang dari PLB.
Dengan dipindahkannya proses tersebut
ke PLB, maka dwelling time peti kemas
impor akan lebih pendek.
Sebagai ilustrasi, berikut ini adalah dua
kasus proses pengadaan bahan baku
kapas. Kasus ini hanyalah contoh
dengan tujuan untuk memudahkan
pemahaman. Dalam kasus ini importir
menyampaikan
dokumen
pemberitahuan kepabeanan secara
elektronik melalui Sistem Komputer
Pelayanan
(SKP)
di
Kantor
Kepabeanan.
a.
Kasus I
PT Jayatex selaku produsen benang
dan kain yang berlokasi di Bandung
membutuhkan bahan baku kapas untuk
produksinya.
Kebutuhan
tersebut
dipenuhi dengan cara impor kapas dari
gudang penimbunan kapas di Malaysia.
PT
Jayatex
diasumsikan
sudah
memenuhi syarat-syarat untuk menjadi
importir. Proses dwelling-nya adalah
sebagai berikut: (i) Setelah kapal yang
mengangkut kapas tiba di perairan
Indonesia dan shipping line
menyampaikan BC 1.1, peti kemas
diturunkan dari kapal dan diletakkan di
terminal penumpukan (CY). (ii) PT
jayatex selaku importir atau diwakili
oleh (Pengusaha Pengurusan Jasa
Kepabeanan (PPJK) mengisi dan
membuat PIB dalam bentuk data
elektronik dan menyampaikan data PIB
ke Kantor Pabean secara elektronik
melalui SKP. (iii) SKP di Kantor Pabean
menerima data PIB dan melakukan
penelitian kesesuaian data-data PIB. (iv)
Jika pengisian data PIB tidak sesuai,
SKP mengirimkan respon penolakan
dan PT Jayatex memperbaiki data PIB
dan mengirimkan kembali. (v)Jika hasil
penelitian
telah
sesuai,
SKP
memberikan tanggal pengajuan dan
menerbitkan kode billing pembayaran
bea masuk, cukai, dan pajak dalam
rangka impor (PDRI). (vi) PT Jayatex
melakukan pembayaran bea masuk,
cukai, dan PDRI sesuai kode billing
pembayaran di Bank Devisa. (vii)
Apabila sampai 5 (lima) hari sejak
tanggal pengajuan PIB, PT Jayatex
belum melakukan pembayaran bea
masuk, cukai, dan/atau PDRI, SKP
menerbitkan respon penolakan dan PT
Jayatex harus mengulangi pengajuan
PIB.
(viii)
Setelah
PT
Jayatex
melakukan pembayaran bea masuk,
cukai, dan PDRI, SKP melakukan
penelitian
pemenuhan
ketentuan
larangan/pembatasan atas bahan baku
kapas berdasarkan pos tarif dan/atau
uraian jumlah dan jenis barang yang
diberitahukan dalam PIB. Dalam hal ini
komoditi
kapas
terkena
aturan
pembatasan karantina tumbuhan (KT.2
dan KT.9) yang sertifikatnya diterbitkan
oleh Karantina Tumbuhan di Badan
Karantina Pertanian Indonesia sesuai
dengan PP No.14 Tahun 2002 tentang
Karantina
Tumbuhan
(ix)
Jika
berdasarkan PIB menunjukkan barang
impor wajib memenuhi ketentuan
larangan/pembatasan
dan
persyaratannya belum dipenuhi SKP
menerbitkan NPBL kepada PT. Jayatex
dengan
tembusan
kepada
unit
pengawasan, kemudian PT Jayatex
menyampaikan
dokumen
yang
dipersyaratkan di kantor Pabean. (x)
Jika hasil penelitian menunjukkan
dokumen yang dipersyaratkan telah
sesuai SKP memberikan nomor dan
tanggal
pendaftaran
PIB
dan
menetapkan jalur pengeluaran barang
impor. (xi) Berdasarkan prosedur
manajeman resiko kepabeanan, jalur
pengeluaran barang impor dibagi
menjadi tiga yaitu 1). Jalur hijau (tanpa
pemerikaan dokumen dan fisik) 2). Jalur
kuning (dengan pemeriksaan dokumen
oleh pejabat pemeriksa) 3). Jalur merah
(dengan pemeriksaan dokumen dan fisik
oleh pejabat pemeriksa ). (xii) Setelah
melewati proses penjaluran dan telah
sesuai, SKP menerbitkan mengirimkan
respon
Surat
Pemberitahuan
Pengeluaran Barang (SPPB) kepada PT
Jayatex
dan
pengusaha
Tempat
Penimbunan Sementara (TPS) yang
telah menerapkan pintu otomatis
(autogate
system)(xii)
Barang
dikeluarkan dari pelabuhan melalui pintu
otomatis atau manual untuk TPS yang
belum
8
Peran Pusat Logistik Berikat (Plb) Dalam ..., Aviv Haryana
menerapkan sistem pintu otomatis
dengan mencetak dokumen SPPB.
b.
Kasus II
PT Indo Cafco adalah pengusaha di
dalam PLB (PDLB) PT Dunia Express
Trasindo (Dunex) yang berlokasi di
Karawang, Jawa Barat. PT Indo Cafco
sudah mempunyai klien yang akan
membeli/mengimpor kapas dari PLB
yaitu PT Bhineka Karya Manunggal
yang merupakan perusahaan produsen
kapas pintalan/ benang. PT Indo Cafco
memasukkan kapas kapas ke PLB dari
penghasil kapas di Brazil. Proses
dwelling-nya adalah sebagai berikut: (i)
Setelah kapal yang mengangkut kapas
tiba di perairan Indonesia dan shipping
line menyampaikan BC 1.1, peti kemas
diturunkan dari kapal dan diletakkan di
terminal penumpukan (CY). (ii) PT Indo
Cafco atau PPJK yang mewakilinya
mengisi dan membuat formulir BC 1.6
dalam bentuk data elektronik dan
menyampaikan data BC 1.6 secara
elektronik
melalui
SKPdi
Kantor
Pengawas.
(iii)
SKP di Kantor
Pengawas menerima data BC 1.6 dan
melakukan penelitian kesesuaian datadata BC 1.6. (iv) Jika pengisian data BC
1.6 tidak sesuai, SKP mengirimkan
respon penolakan dan PT Indo Cafco
memperbaiki data PIB dan mengirimkan
kembali. (v) Jika hasil penelitian telah
sesuai, SKP di Kantor Pengawas
memberikan
nomor
dan
tanggal
pendaftaran BC 1.6, mengirimkan
respon
Surat
Pemberitahuan
Pengeluaran Barang PLB (SPPB PLB)
ke PT Indo Cafco (vi) Data BC 1.6 dan
SPPB PLB pada SKP di Kantor
Pengawas dikirimkan ke SKP di Kantor
Pembongkaran
di
TPS.(vii)
SKP
mengirimkan data SPPB PLB ke
Pengusaha TPS dan Pejabat yang
mengawasi TPS (viii) Pejabat yang
mengawasi TPS menyiapkan dan
mengadministrasikan tanda pengaman
(segel) untuk dilekatkan pada kemasan
atau peti kemas. (ix) Peti kemas
dikeluarkan dari Pelabuhan.
Pada Kasus I terdapat beberapa
prosedur yang tidak dilakukan pada
Kasus II. Hal ini karena prosedurprosedur yang tidak dilakukan tersebut
nantinya akan dilaksanakan di PLB.Jika
kita cermati lebih detail, beberapa
proses dalam pre-clearance dan custom
clearance yang ditunda/ dipindahkan ke
PLB adalah: 1. Pembayaran bea masuk,
cukai, dan pajak dalam rangka impor
sesuai kode billing pembayaran dari
SKP. Pemenuhan persyaratan impor
untuk barang yang terkena aturan
pembatasan yaitu berupa dokumen
perizinan dari Kementerian/Lembaga. 2.
Pemberian
nomor
dan
tanggal
pendaftaran PIB dan menetapkan jalur
pengeluaran barang impor berdasarkan
manajemen risiko (jalur hijau, jalur
kuning atau jalur merah) 3. Verifikasi
dokumen PIB dan dokumen pelengkap
pabean oleh pejabat pemeriksa untuk
jalur kuning dan pemeriksaan fisik untuk
jalur merah.
Dengan sistem PDE/EDI pada SKP di
Kantor Bea dan Cukai, penyampaian
dokumen dan responnya sebenarnya
tidak memakan waktu lama (+10 menit)
namun proses perlambatan terjadi
ketika importir harus: 1. Melakukan
pembayaran bea masuk, cukai dan
pajak dalam rangka impor (PDRI)
melalui bank. 2. Memenuhi persyaratan
pembatasan jika ternyata belum diurus.
3. Ditetapkan sebagai importir jalur
merah, maka harus dilakukan proses
pemeriksaan secara fisik oleh petugas
terhadap barang impor (Haryana, 2012).
KESIMPULAN
berdasarkan hasil data wawancara
kepada pengusaha PLB dan analisis
kebijakan insentif PLB diatas bisa
disimpulkan bahwa kebijakan insentif
PLB yang mulai diluncurkan pada bulan
Maret 2016 memberikan dampak positif
terhadap dwelling time di Pelabuhan.
Penurunan dwelling time terutama
disebabkan oleh pemindahan beberapa
kegiatan pada tahap pre-clearance dan
custom clearance di pelabuhan ke PLB.
Selain pengaruhnya terhadap dwelling
time kebijakan insentif PLB juga
memberikan kemudahan dan efisiensi
produksi industri nasional. Dengan
9
Jurnal Cendekia Niaga, Vol. 1 No. 1, DESEMBER 2016 : 1-10
semakin banyaknya jumlah PLB yang
beroperasi di Indonesia diharapkan
biaya logistik nasional akan semakin
turun sehingga daya saing industri
nasional akan semakin baik.
UCAPAN TERIMAKASIH
Ucapan
terimakasih
disampaikan
kepada Bapak Lian Estian selaku
General Manager Logistic Planning
Division PT TMMIN atas kesediaan dan
waktunya dalam memberikan informasi
dan data terkait dengan operasional
PLB sparepart kendaraan bermotor dari
PT TMMIN pada acara acara pameran
Indonesia Transport, Supply Chain and
Logistic (ITSCL) di Jakarta International
Expo Kemayoran tanggal 19 – 21
Oktober 2016.
DAFTAR PUSTAKA
Cheng, T.C. Edwin, Jian Li, C.L Jhonny
Wan, dan Shouyang Wang.
Postponement Strategies in
Supply Chain Management. New
York: Springer, 2010.
Ditjen Bea Cukai. “Bea Cukai
Tangerang.” April 2016. link:
goo.gl/Rpxc73 (diakses
November 9, 2016).
Harahap, Raja Martua. Sekilas Tentang
Direktorat Bea dan Cukai. 14
November 2010. http://stanbc.blogspot.co.id/2010/11/maca
m-macam-pemberitahuanpabean.html (diakses November
13, 2016).
Haryana, Avif. “Peningkatan
Pemanfaatan dan Evaluasi
Kinerja Sistem Perizinan Online
Inatrade.” Laporan Kegiatan
Magang TMI Logistik ITB Topik
Fasilitasi Perdagangan, 2012.
Kemenkeu. 11 Perusahaan Resmi Jadi
Pusat Logistik Berikat. 2016.
http://www.beacukai.go.id/berita/
-11-perusahaan-resmi-jadipusat-logistik-berikat.html
(diakses Oktober 31, 2016).
Lumanauw, Novy. “Jokowi Kecewa
Dwelling Time Priok Terlama di
Asia.” Investor Daily, 18 Juni
2015: 6.
PT Pelabuhan Indonesia. Sistem
Informasi Dwelling Time Tanjung
Priok. November 2016.
http://dwelling.indonesiaport.co.i
d/ (diakses November 14, 2016).
Setkab. Sekretariat Kabinet Republik
Indonesia. 10 Maret 2016.
http://setkab.go.id/resmikan-11pusat-logistik-presiden-jokowiberharap-logistis-ekspor-imporpindah-ke-indonesia/ (diakses
Oktober 22, 2016).
Supomo. “Peran Bea Cukai Sebagai
Regulator Utama PLB.” Warta
Bea Cukai, April 2016: 13-16.
World Bank. Connecting to Compete
Trade Logistics in the Global
Economy, The Logistics
Performance Index and Its
Indicator. Washington DC: The
World Bank, 2007.
10
Download