BAB I PENDAHULUAN LATAR BELAKANG Blount disease merupakan penyebab utama genu varum patologis pada anak.2 Blount disease (tibia vara atau osteokondrosis deformans tibia) merupakan gangguan pertumbuhan yang relatif jarang terjadi, ditandai dengan gangguan osifikasi aspek medial dari epifisis tibia proksimal.1,2 Deformitas yang terjadi secara berkelanjutan ini memiliki manifestasi berupa angulasi varus, prokurvatum (konveksitas anterior), dan torsi interna dari tibia, juga dapat disertai dengan pemendekan ekstremitas pada kasus unilateral. Hal ini dapat berakibat pada deformitas berkelanjutan dengan deviasi gaya berjalan (gait), diskrepansi panjang ekstremitas, dan artritis dini sendi lutut.3 Blount disease pertama kali dideskripsikan oleh Erlacher dan McCurdy pada tahun 1922. Kemudian, pada tahun 1935, Blount mengidentifikasi tanda klinis, radiologis, dan patologis penyakit ini dalam literatur, yang selanjutnya diberi nama Blount disease.2,4 Blount disease lebih sering terjadi pada anak perempuan dibandingkan laki-laki, dengan predisposisi pada anak berkulit hitam, obesitas, dan anak-anak keturunan Skandinavian.1,5 Gangguan ini bermanifestasi pada usia 2 tahun pada infantile type, dan setelah usia 8 tahun pada juvenile dan adolescence type. Infantile type terjadi 5 kali lebih sering dibandingkan tipe lainnya.6 Blount disease diduga terjadi akibat kombinasi antara kompresi yang berlebihan dan pembentukan tulang endokondral yang terganggu.2 Displasia lokal dari bagian medial epifisis tibia proksimal mendasari kelainan ini. Kombinasi antara berhentinya pertumbuhan bagian medial epifisis dan pertumbuhan normal pada bagian lateral mengakibatkan kelainan yang berkelanjutan.1 Manifestasi Blount disease bergantung kepada onset. Pada tahap awal, Blount disease tidak menimbulkan gejala. Pemeriksaan mengungkap adanya kelainan angulasi varus, yang lebih tampak jelas jika terjadi secara unilateral. Penatalaksaan pada tahap awal Blount disease pada anak yang berusia lebih muda ditujukan untuk mencegah progresi deformitas varus. Pada tahap ini, bidai malam (night splint) dapat membantu memperbaiki kelainan. Pada anak yang berusia lebih tua, deformitas varus tetap berkembang walaupun dengan pembidaian. Hal ini hanya dapat diperbaiki dengan tindakan operatif osteotomi tibia, yang dilakukan berulang selama masa pertumbuhan.1,7 1 ANATOMI FISIOLOGI Tibia merupakan tulang medial tungkai bawah yang besar dan berfungsi menyangga berat badan. Tibia bersendi dengan condylus femoris dan caput fibula di atas, serta dengan talus dan ujung distal fibula di bawah. Tibia mempunyai ujung atas yang melebar dan ujung bawah yang lebih kecil, serta sebuah corpus. Pada ujung atas terdapat condylus lateralis dan medialis (kadang-kaadang disebut plateau tibia lateral dan medial), yang bersendi dengan condylus lateralis dan medialis femoris dan dipisahkan oleh meniscus lateralis dan medialis. Permukaan atas facies articulares condylorum tibia terbagi atas area intercondylus anterior dan posterior, di antara kedua area ini terdapat eminentia intercondylus. Pada aspek lateral condyles lateralis terdapat facies articularis fibularis circularis yang kecil, dan bersendi dengan caput fibula. Pada aspek posterior condylus medialis terdapat insertion m.semimembranosus. Corpus tibia berbentuk segitiga pada potongan melintangnya dan mempunyai tiga margin dan tiga facies. Margin anterior dan medial, serta facies medialis diantaranya terletak subkutan. Margo anterior menonjol dan membentuk tulang kering. Pada pertemuan antara margo anterior dan ujung atas tibia terdapat tuberositas, yang merupakan tempat lekat ligamentum patella. Margo anterior di bawah membulat dan melanjutkan diri sebagai malleolus medialis. Margo lateral atau marggo interosseus memberikan tempat perlekatan untuk membrane interossea. Fascies posterior dan corpus tibia menunjukkan linea oblique yang disebut linea musculi solei, untuk tempat m.soleus.1 Proses Pertumbuhan Tulang Tulang memanjang oleh suatu proses (meliputi osifikasi endokondral) dan melebar oleh proses lainnya (meliputi osifikasi intramembranosa). 1 Proses pertambahan panjang tulang terjadi oleh karena pertumbuhan interstisial pada kartilago diikuti dengan osifikasi endokondral. Oleh karena itu, ada 2 tempat yang memungkinkan untuk pertumbuhan kartilaginosa ini, yaitu kartilago artikular dan kartilago lempeng epifisis.1 2 Gambar 1. Pertumbuhan tulang pada masa kanak-kanak (Sumber: Salter R. Textbook of Disorders and Injuries of the Muskuloskeletal System. Edisi ketiga; 1999) Kartilago artikular Kartilago artikular pada tulang panjang merupakan satu-satunya lempeng pertumbuhan untuk epifisis, sedangkan pada tulang pendek, kartilago artikular merupakan satu-satunya lempeng pertumbuhan untuk seluruh tulang. Kartilago lempeng epifisis Lempeng epifisis merupakan lempeng pertumbuhan untuk metafisis dan diafisis pada tulang panjang. Pada tempat pertumbuhan ini, keseimbangan konstan dijaga antara 2 proses berikut (1) pertumbuhan interstisial dari sel-sel kartilago pada lempeng pertumbuhan (2) kalsifikasi, kematian dan penggantian pada permukaan metafisis oleh tulang melalui proses osifikasi endokondral. 1 Empat zona pada lempeng epifisis dapat dibedakan, sebagai berikut: The zone of resting cartilage pada zona ini terdapat lapisan germinal yang merupakan daerah intertisial, yang melekat pada epifisis dengan sel-sel kondrosit muda serta pembuluh darah halus. The zone of young proliferating cartilage merupakan daerah intertisial yang paling aktif dalam zona ini dan lapisan palisade di sebelah dalam dari lapisan proliferasi. 3 The zone of maturing cartilage pada zona ini terdapat lapisan hipertrofi, kalsifikasi dan degenerasi yang merupakan daerah tulang rawan yang mengalami maturasi. The zone of calcifying cartilage merupakan daerah yang tipis dengan sel-sel kondrosit yang telah mati sebagai akibat kalsifikasi matriks. Gambar 2. Histologi dari lempemg epifisis (Sumber: Salter R. Textbook of Disorders and Injuries of the Muskuloskeletal System. Edisi ketiga; 1999) Proses pertambahan lebar tulang terjadi akibat pertumbuhan aposisional dari osteoblas pada bagian dalam periosteum dan merupakan proses osifikasi intramembranosa. Secara bersamaan, rongga medulla dari tulang juga semakin membesar melalui resorpsi osteoklas. Proses Remodelling Tulang Selama pertumbuhan memanjang tulang, maka daerah metafisis mengalami remodellling (pembentukan) dan pada saat yang bersamaan epifisis menjauhi batang tulang secara progresif. Remodeling tulang terjadi sebagai hasil proses antara deposisi dan resorpsi osteoblastik tulang secara bersamaan. 4 Proses remodeling tulang berlangsung sepanjang hidup, dimana pada anak-anak dalam masa pertumbuhan terjadi keseimbangan yang positif sedangkan pada orang dewasa terjadi keseimbangan yang negatif. Selain itu, proses remodelling tulang dapat terjadi akibat stress fisik. Tulang terdisposisi pada bagian yang mendapat stress fisik, dan teresoprsi pada bagian yang kurang mendapat stress fisik. Fenomena ini dikenal dengan nama Hukum Wolf. 1 5 BAB II BLOUNT DISEASE DEFINISI Blount disease (tibia vara atau osteokondrosis deformans tibia) adalah suatu kondisi perkembangan, yang ditandai dengan gangguan osifikasi endokondral pada bagian medial fisis (lempeng epifisis) tibia proksimal sehingga mengakibatkan deformitas multiplanar dari ekstremitas bawah. Deformitas yang terjadi secara berkelanjutan ini memiliki manifestasi berupa angulasi varus, prokurvatum (konveksitas anterior), dan torsi interna dari tibia, juga dapat disertai dengan pemendekan ekstremitas pada kasus unilateral.3 Istilah tibia vara dirasakan kurang tepat karena memiliki implikasi hanya terjadi kelainan pada plana frontal.3 Istilah osteokondrosis deformans juga kurang tepat karena menggambarkan kelainan dimana pusat osifikasi primer maupun sekunder terjadi avaskular nekrosis (sebagai penyebab terhentinya osifikasi), yang mana tidak ditemukan pada Blount disease.2 KLASIFIKASI Secara klinis, Blount disease diklasifikasikan berdasarkan onset terjadinya deformitas menjadi:3 Onset awal atau infantile type (onset pada usia <4 tahun) Onset lanjut, dibagi menjadi dua, yaitu: o Juvenile type (onset pada usia 4-10 tahun) o Adolescence type (onset pada usia >10 tahun) Gambar 3. Blount disease onset awal (Sumber: Sabharwal S. Blount disease. The Journal of Bone and Joint Surgery 2009; 91-A(7): 175876) 6 Gambar 4. Blount disease onset lanjut (Sumber: Sabharwal S. Blount disease. The Journal of Bone and Joint Surgery 2009; 91-A(7): 1758-76) EPIDEMIOLOGI Blount disease relatif jarang terjadi di dunia, namun umum terjadi di Jamaika, Pulau Indian Barat, dan Trinidad. Blount disease juga umum dijumpai pada Negara Skandinavia, Finlandia, dan Norwegia.4 Blount disease lebih sering terjadi pada anak perempuan dibandingkan laki-laki, dengan predisposisi pada anak berkulit hitam, obesitas, dan anak-anak keturunan Skandinavian.1,3 Umumnya bermanifestasi pada usia 2 tahun pada infantile type, dan setelah usia 8 tahun pada juvenile dan adolescence type.1,5 Infantile type terjadi 5 kali lebih sering dibandingkan tipe lainnya.6 ETIOLOGI Saat ini, etiologi dari Blount disease masih belum diketahui dan mungkin multifaktorial. Faktor genetik, humoral, biomekanik, dan lingkungan mempengaruhi pertumbuhan dan perkembangan fisis.2,3 Manifestasi klinis dari kedua bentuk Blount disease menunjukkan adanya alterasi dari pertumbuhan dan perkembangan normal dari anak-anak yang memiliki predisposisi secara genetik melalui cara yang berbeda namun terkait. Beberapa penelitian mencatat adanya riwayat keluarga yang positif pada individu dengan Blount disease. Sevastikoglou dan Eriksson melaporkan temuan empat individu dengan tibia vara dalam satu keluarga, dimana dua diantaranya adalah kembar identik. 7 Schoenecker, dkk juga menemukan adanya riwayat keluarga dengan tibia vara pada 14 dari 33 pasien.2 Namun begitu, bukti jelas keterkaitan genetik pada Blount disease belum ditemukan. Salah satu faktor perkembangan yang berkontribusi pada terjadinya Blount disease adalah biomekanikal yang berlebihan pada fisis tibia proksimal akibat varus stasik dan berat badan berlebih. Selain itu, berjalan terlalu dini (kurang dari 1 tahun) juga berimplikasi pada terjadinya Blount disease infantile type. Meskipun proses yang sama mungkin berimplikasi pada terjadinya Blount disease adolescence type, namun pada tipe ini tidak harus diawali dengan varus statik. Variasi pola jalan dinamis akibat melebarnya lingkar panggul atau paha berimplikasi utama terhadap terjadinya Blount disease adolescence type.2,3 PATOGENESIS Patogenesis dari kelainan tibia proksimal berkaitan dengan kompresi yang berlebihan sehingga menyebabkan inihibisi pertumbuhan, seperti yang dijelaskan oleh Prinsip HeuterVolkmann.3,8 Tekanan yang berlebih pada bagian medial dari epifisis kartilago tibia proksimal menyebabkan gangguan struktur dan fungsi kondrosit, serta menghambat osifikasi dari epifisis.2,3 Obesitas menyebabkan peningkatan kompresi terutama di bagian medial sendi lutut pada anak dengan genu varum. Dengan menggunakan elemen analisis, Cook, dkk menghitung beban pada lempeng pertumbuhan tibia proksimal selama posisi berdiri pada satu kaki, dan mencatat bahwa, pada anak berusia 5 tahun dengan obesitas, kekuatan kompresi pada angulasi varus 10° melebihi kekuatan yang diperlukan untuk menghambat pertumbuhan. Diez, dkk meneliti hubungan antara berat tubuh dengan deformitas angular pada anak berusia 15 tahun dengan Blount disease. Mereka menemukan korelasi yang signifikan antara berat badan dengan sudut tibiofemoral (r=0.75) dan mencatat hubungan yang kuat antara berat badan dengan deformitas varus pada sembilan anak dengan obesitas yang diperiksa secara terpisah.3 Menggunakan analisis gaya berjalan (gait), Gushue, dkk mempelajari efek obesitas pada masa kanak-kanak dengan biomekanika sendi lutut tiga dimensi. Dibandingkan dengan anak dengan berat badan normal, anak-anak dengan berat badan berlebih menunjukkan puncak abduksi lutut interna, selama awal posisi berdiri, yang lebih tinggi. Sabharwal, dkk melaporkan hubungan linear antara besarnya obesitas dengan deformitas radiografis biplanar pada anak dengan Blount disease onset awal dan pada pasien dengan body mass index (BMI) > 40 kg/m tanpa memandang usia terjadinya Blount disease. Meskipun memiliki BMI lebih 8 rendah, anak dengan Blount disease onset awal memiliki kelainan varus dan prokurvatum dari tibia proksimal yang lebih berat daripada remaja dengan Blount disease. Wenger, dkk mengemukakan bahwa lempeng pertumbuhan tibia proksimal merespon secara berbeda pada berbagai stadium maturitas tulang, dengan peningkatan kelenturan pada epifisis yang belum terosifikasi pada pasien yang lebih muda menyebabkan inhibisi pertumbuhan lebih daripada remaja.3 Davids dkk, meneliti deviasi gaya berjalan dan hubungannya dengan meningkatnya lingkar panggul/ paha pada obesitas remaja.3 Anak obesitas dengan paha yang besar memiliki kesulitan dalam melakukan adduksi pinggul secara adekuat, dan hal ini berakibat pada “fatthigh gait” dengan posisi varus pada lutut, sehingga meningkatkan tekanan pada bagian medial fisis tibia proksimal. Konsep ini mendukung penelitian bahwa kelainan varus yang telah ada sebelumnya tidak diperlukan untuk menginisiasi perubahan patologis pada pasien dengan Blount disease onset lanjut. Penelitian akhir-akhir ini menunjukkan bahwa obesitas remaja menurunkan isi mineral tulang hingga pada tingkat yang dapat diprediksi dengan dasar berat badan. Penelitian biokimia yang dilakukan Giwa, dkk pada anak dengan Blount disease mengungkapkan adanya hipokalsemia dan hipofosfatemia ringan, serta peningkatan aktivitas alkaline fosfatase (seperti yang terjadi pada ricketsia). Selain itu, serum cooper dan zinc juga menurun 32% dan 48% dibawah rata-rata subjek kontrol.9 Faktor-faktor tersebut selanjutnya memberikan predisposisi anak-anak obesitas dengan Blount disease untuk menderita kelainan progresif dengan bertambahnya berat badan. MANIFESTASI KLINIS Manifestasi klinis Blount disease berbeda tergantung kepada onset. Pada onset awal (infantile type), anak mulai berjalan, biasanya pada usia 9-10 bulan. Pada onset tersebut, membedakan Blount disease dengan genu varum fisiologis tidaklah mudah. Genu varum fisiologis adalah deformitas torsional yang muncul akibat posisi in utero. Kapsul panggul posterior yang sempit menyebabkan rotasi eksterna paha pada sendi panggul. Ketika dikombinasikan dengan torsi interna tibia, menghasilkan gambaran deformitas varus. Deformitas fisiologis ini biasanya menghilang pada usia 2 tahun. Berbeda dengan genu varum fisiologis, Blount disease infantile type dapat berkembang menjadi deformitas yang lebih buruk.2 9 Bentuk infantil ini lebih sering terjadi pada perempuan, berkulit hitam, dan obesitas.4 Bentuk ini lebih sering terjadi secara bilateral pada 60% kasus. Bentuk ini berkaitan dengan paruh metafisis yang lebih menonjol, torsi interna tibia, dan diskrepansi panjang kaki.2,8 Tonjolan metafisis, atau paruh dapat diraba pada aspek medial dari kondilus tibia proksimal. Pasien biasanya tidak mengeluhkan adanya nyeri.2 Namun begitu, kelainan dari ekstremitas bawahnya tampak jelas terlihat. Berbeda dengan Blount disease onset awal, pasien dengan Blount disease onset lanjut biasanya mengeluhkan nyeri pada sisi medial lutut. Pasien ini biasanya memiliki berat badan berlebih atau obesitas. Biasanya terjadi unilateral pada 80% kasus, kaki yang bersangkutan seringkali lebih pendek dibandingkan kaki yang normal sebesar 2-4 cm.8 Derajat deformitas varus biasanya tidak separah pasien dengan bentuk infantil dan biasanya tidak lebih dari 20°.2 PEMERIKSAAN PENUNJANG Laboratorium Pemeriksaan laboratorium tidak membantu dalam menegakkan diagnosis.2 Radiografi Radiografi sendi lutut penting dalam mengevaluasi dan menentukan derajat keparahan deformitas. Radiografi anteroposterior dalam posisi berdiri dari kedua ekstremitas dan radiografi lateral dari ekstremitas yang terlibat, umumnya digunakan.2,3 Plain radiograph Perubahan klasik di tibia proksimal pada Blount disease onset awal meliputi angulasi varus dari metafisis, pelebaran dan iregularitas dari aspek medial lempeng pertumbuhan, ceruk medial dan osifikasi irregular pada epifisis, dan bentuk paruh (beak) pada bagian medial epifisis.3 Langenskiold mendeskripsikan 6 stadium radiografis perubahan epifisis dan metafisis tibia proksimal pada anak dengan Blount disease onset awal:3,6,8 Stadium I : terjadi osifikasi metafisis ireguler disertai dengan protrusi dari metafisis medial. Stadium II, III, IV : terjadi progresi dari depresi ringan dari metafisis medial menjadi depresi berat (step-off). 10 Stadium V : depresi pada sisi medial dari tibia proksimal menjadi lebih tajam dan terbentuk cleft yang memisahkan kondilus medialis dan lateralis dari tibia. Stadium VI : terbentuk bony bridge yang melewati lempeng pertumbuhan. Gambar 5. Diagram 6 stadium perubahan radiografis pada Blount disease onset awal menurut Langenskiold (Sumber: Sabharwal S. Blount disease. The Journal of Bone and Joint Surgery 2009; 91-A(7): 175876) Selain klasifikasi Langenskiold, ada parameter radiografi lain yaitu sudut metafisial-diafisial, yang dapat membantu membedakan genu varum fisiologis dengan Blount disease onset awal pada anak berusia kurang dari 2 tahun.3 Perubahan awal penyakit Blount infantil dapat dinilai dengan mengukur sudut metafisial-diafisial dari proksimal tibia, yaitu sudut yang dibentuk oleh perpotongan garis tegak lurus antara aksis batang tibia dengan garis tepi lateral dan medial metafisis tibia proksimal yang normalnya antara 11-14o. 11 Gambar 6. Indeks radiografis dalam mengevaluasi genu varum pada bayi dan anak (sudut tibiofemoral) (Sumber: Sabharwal S. Blount disease. The Journal of Bone and Joint Surgery 2009; 91-A(7): 175876) DIAGNOSIS Diagnosis Blount disease ditegakkan berdasarkan riwayat penyakit (anamnesis), pemeriksaan fisik, dan pemeriksaan penunjang, terutama radiografi. Diagnosis diferensial untuk Blount disease adalah:8 Genu varum fisiologis. Biasanya kondisi ini hilang dengan sendirinya (self-limited). Ditandai dengan kelengkungan ringan dari femur dan tibia yang pada umumnya membaik pada usia 18-24 bulan. Genu varum kongenital. Angulasi dapat terjadi pada bagian tengah tibia dengan femur distal dan tibia proksimal tampak normal. Osteomielitis. Gangguan lempeng pertumbuhan sekunder dari infeksi. Deformitas traumatik. Adanya riwayat trauma yang mencederai lempeng pertumbuhan dari tibia proksimal. 12 TATA LAKSANA Tatalaksana Blount disease disesuaikan untuk setiap pasien dengan mempertimbangkan berbagai faktor, seperti: usia, beratnya deformitas, diskrepansi panjang ekstremitas, faktor psikososial, serta pengetahuan dan pengalaman dokter bedah. Pengamatan atau percobaan menggunakan brace paling sering digunakan untuk anak usia 2-5 tahun. Namun, deformitas yang progresif biasanya membutuhkan osteotomi.9 Pengobatan Non operatif Pada anak yang lebih tua dari 2 tahun, pengobatan orthotic dapat digunakan ketika deformitas meningkat atau jika anak tersebut memiliki sudut metaphyseal-diaphyseal lebih besar dari 11°. 10 Jika kelainan tersebut menetap atau meningkat menjadi stadium III atau IV dengan pengobatan brace siang hari, maka osteotomi perlu dilakukan. Jika memungkinkan, lebih baik untuk melakukan osteotomi sebelum anak berusia 4 tahun untuk mencegah kekambuhan.10 Jika deformitas parah (Langenskiold tahap V atau VI), koreksi operasi sangat penting. Perangkat orthotic tidak efektif untuk Blount disease pada remaja.11 Gambar 7. Knee-ankle-foot Orthosis (sumber: http://www.medscape.com) Sebelum usia tiga tahun, digunakan orthosis hip-knee-ankle-foot-orthosis (HKAFO) atau knee-ankle-foot-orthosis (KAFO) selama 23 jam sehari. Tulang akan diluruskan dengan brace, orthotic diganti setiap dua bulan atau lebih untuk memperbaiki posisi bowlegged. 13 Kegagalan untuk memperbaiki deformitas sering mengakibatkan kerusakan permanen pada pertumbuhan tulang. Yang kemudian dapat terjadi degenerasi sendi. Pengobatan Operatif Jika deformitas tidak membaik dengan pengobatan orthotic dan penyakit berlanjut ke tahap II atau tahap III, koreksi bedah harus dilakukan. Operasi dianjurkan untuk cacat yang semakin parah dan bisa melumpuhkan anak, atau jika anak tersebut memiliki sudut metaphyseal-diaphyseal lebih besar dari 14°. Indikasi mutlak untuk operasi adalah depresi tibialis dataran tinggi (Langenskold tahap IV), dan kelemahan ligamen lutut.12 Osteotomi merupakan tindakan bedah yang paling sering digunakan.13 Osteotomi adalah operasi bedah dimana tulang dipotong untuk memperpendek, memperpanjang, atau mengubah keselarasannya. Gambar 8. Osteotomy (Sumber: Sabharwal S. Blount Disease. The Journal of Bone and Joint Surgery 2009; 91-A(7): 175876) Dalam osteotomi, sepotong tulang berbentuk baji akan dihilangkan dari sisi medial femur (tulang paha). Setelah itu potongan tulang dimasukkan ke tibia kemudian dilakukan fiksasi. Jika fiksasi digunakan di dalam kaki, ini disebut Osteotomi fiksasi internal. Osteotomi fiksasi eksternal menggambarkan frame kawat khusus melingkar di bagian luar kaki dengan pin untuk memegang perangkat di tempat.11 14 Gambar 9. Osteotomi fiksasi internal dan osteotomy fiksasi eksternal (Sumber: Sabharwal S. Blount Disease. The Journal of Bone and Joint Surgery 2009; 91-A(7): 175876) Pada beberapa pasien dengan Blount disease adolesence, kaki membungkuk lebih pendek dari sisi normal. Operasi sederhana untuk memperbaiki sudut yang cacat tidak selalu memungkinkan. Dalam kasus seperti ini perangkat fiksasi eksternal digunakan untuk menyediakan traksi bagi memperpanjang kaki dan mengoreksi deformitas secara bertahap. Operasi ini disebut osteogenesis distraksi. Frame ini memberikan stabilitas pada pasien dan memperbaiki weight bearing. Fiksasi eksternal telah memberikan hasil yang menjanjikan pada Blount disease remaja. Gambar 10. Taylor Spatial Frame (Sumber:http://www.nationalreviewofmedicine.com/) Pilihan penatalaksanaan lainnya untuk Blount disease meliputi: observasi dengan pemeriksaan klinis dan radiografi berulang, orthosis, dan berbagai tindakan bedah, seperti 15 realignment osteotomy, lateral hemiepiphyseodesis, dan guided growth di sekitar lutut, distraksi fisis tibia proksimal asimetris bertahap, reseksi physeal bar, dan elevasi tibial plateau. 3 Tabel 1. Rekomendasi tata laksana Blount disease onset awal (Sumber: Sabharwal S. Blount disease. The Journal of Bone and Joint Surgery 2009; 91-A(7): 175876) Tabel 2. Rekomendasi tata laksana Blount disease onset lanjut (Sumber: Sabharwal S. Blount disease. The Journal of Bone and Joint Surgery 2009; 91-A(7): 175876) 16 KOMPLIKASI Blount disease berakibat pada deformitas berkelanjutan dengan deviasi gaya berjalan (gait), diskrepansi panjang ekstremitas, dan artritis dini sendi lutut.5 Ingvarsson, dkk, meneliti 49 pasien (86 lutut) dengan Blount disease onset awal; 38 lutut tidak memiliki riwayat bedah sebelumnya. Pada usia rata-rata 38 tahun, 11 (13%) lutut megalami arthritis, 9 diantaranya mengalami arthritis ringan. Dari 11 lutut dengan arthritis, 2 diantaranya diatasi secara nonoperatif dan sisa 9 lainnya diatasi secara operatif. Komplikasi yang berkaitan dengan penatalaksanaan Blount disease meliputi loss alignment, malalignment, gangguan vaskular, fraktur patologis, dan infeksi luka.14 Gambar 11. Kemungkinan deformitas berulang post-koreksi bertahap dengan fiksator ekstrena walau dengan hasil klinis yang memuaskan (Sumber: Sabharwal S. Blount disease. The Journal of Bone and Joint Surgery 2009; 91A(7): 1758-76) PROGNOSIS Berdasarkan pemeriksaan lanjut (follow up) jangka panjang pada Blount disease infantile type, Doyle, dkk menemukan bahwa hasil akhir Blount disease bergantung pada usia pasien dan keparahan deformitas pada saat intervensi.14 Dari hasil penelitian didapatkan rekurensi pada anak yang menjalani osteotomi pada usia <4 tahun dibandingkan dengan 9 dari 15 anak yang dilakukan pembedahan pada usia yang lebih tua. Selain itu, deformitas dengan stadium langenskiold <III saat dilakukan pembedahan, memiliki hasil akhir yang lebih baik. Blount disease 17 yang tidak diatasi dapat terus berkembang. Literatur mengemukakan regresi parsial atau komplit mungkin terjadi pada stadium I-IV, namun begitu, Stadium V-VI tidak menunjukkan regresi.2 Beberapa penulis melaporkan angka rekurensi >50% setelah dilakukan osteotomi valgus pada anak dengan Blount disease onset awal, dengan hasil yang lebih baik jika koreksi dilakukan sebelum anak berusia 4 tahun.5 Pada anak yang berusia lebih tua, deformitas varus tetap berkembang walaupun dengan pembidaian.1 Hal ini hanya dapat diperbaiki dengan tindakan operatif osteotomi tibia, yang dilakukan berulang selama masa pertumbuhan.1,7 18 BAB III KESIMPULAN Blount disease (tibia vara atau osteokondrosis deformans tibia) merupakan gangguan pertumbuhan yang relatif jarang terjadi, ditandai dengan gangguan osifikasi aspek medial dari fisis tibia proksimal. Secara klinis diklasifikasikan menjadi onset awal dan onset lanjut. Onset awal disebut juga infantile type. Onset lanjut selanjutnya dibagi menjadi dua, yaitu juvenile type dan adolescence type. Dari epidemiologi, Blount disease lebih sering terjadi pada anak perempuan dibandingkan laki-laki, dengan predisposisi pada anak berkulit hitam, obesitas, dan anak-anak keturunan Skandinavian. Gangguan ini bermanifestasi pada usia 2 tahun pada infantile type, dan setelah usia 8 tahun pada juvenile dan adolescence type. Infantile type terjadi 5 kali lebih sering dibandingkan tipe lainnya. Etiologi dari Blount disease saat ini masih belum diketahui dan mungkin multifaktorial. Faktor genetik, humoral, biomekanik, dan lingkungan mempengaruhi pertumbuhan dan perkembangan fisis. Blount disease diduga terjadi akibat kombinasi antara kompresi yang berlebihan dan pembentukan tulang endokondral yang terganggu, sehingga pertumbuhan bagian medial fisis terhenti dengan pertumbuhan normal pada bagian lateral, mengakibatkan kelainan yang berkelanjutan. Manifestasi klinis Blount disease berbeda tergantung kepada onset, berupa angulasi varus, prokurvatum (konveksitas anterior), dan torsi interna dari tibia, juga dapat disertai dengan pemendekan ekstremitas pada kasus unilateral. Pemeriksaan penunjang untuk Blount disease yang terpenting adalah radiografi. Tatalaksana untuk Blount disease meliputi observasi dengan pemeriksaan klinis dan radiografi berulang, orthosis, dan tindakan bedah. Untuk Blount disease onset awal, osteotomi tibia proksimal valgus sebelum usia 4 tahun direkomendasikan sebagai pilihan tatalaksana operatif, sedangkan untuk onset lanjut, osteotomi tibia proksimal dengan koreksi bertahap menjadi pilihan. Komplikasi Blount disease berupa deformitas berkelanjutan dengan deviasi gaya berjalan (gait), diskrepansi panjang ekstremitas, dan artritis dini sendi lutut. Prognosis Blount disease bergantung kepada usia dan keparahan deformitas saat dilakukan intervensi. 19 DAFTAR PUSTAKA 1. Salter R. Textbook of Disorders and Injuries of the Muskuloskeletal System. Edisi ketiga. USA: Lippincott Williams and Wilkins; 1999. 2. DeOrio M. Blount disease [Online]. [Diunduh tanggal 14 Februari 2012]. Diunduh dari http://emedicine.medscape.com/article/1250420-overview 3. Sabharwal S. Blount disease. The Journal of Bone and Joint Surgery 2009; 91-A(7): 1758-76. 4. Bateson E. The Relationship between Blount’s Disease and Bow Legs. British Journal of Radiology 1968; 41: 107-14. 5. Swiontkowski M, Stovits S. Manual of Orthopaedics. Edisi Keenam. USA: Lippincott Williams and Wilkins; 2001. 6. Solomon L, Warwick D, Nayagam S. Apley’s System of Orthopaedics and Fractures. Edisi kedelapan. USA: Arnold; 2001. 7. Skinner H. Current Diagnosis and Treatment: Orthopaedics. USA: The McGraw-Hill Companies, Inc.; 2006. 8. Taksande A, Kumar A, Vilhekar K, Chaurasiya S. Infantile Blount disease: A Case Report. Malaysian Family Physician 2009; 4(1): 30-2. 9. Bradway JK, Klassen RA, Peterson HA. Blount disease: a review of the English literature. J Pediatr Orthop. Jul-Aug 1987;7(4):472-80. 10. Doyle BS, Volk AG, Smith CF. Infantile Blount disease: long-term follow-up of surgically treated patients at skeletal maturity. J Pediatr Orthop. Jul-Aug 1996;16(4):46976. 11. A Patient’s Guide to Blount’s Disease in Children and Adolescents. Anatomy. Accessed at : http://www.concordortho.com on 12th Oct 2011 12. Tachdjian MO, ed. The foot and leg: tibia vara. In: Pediatric Orthopedics. Vol 4. Philadelphia:. WB Saunders Co;1990:2835-50. 13. Behrman, Richard E, et al. Ilmu Kesehatan Anak, edisi 15. Jakarta : EGC. 2000 14. Hensinger R. Angular Deformities of The Lower Limbs in Children. The Iowa Orthopaedic Journal 2007; 9: 16-24. 20