BAB I PENDAHULUAN 1.1 LATAR BELAKANG Akselerasi nilai- nilai hak asasi manusia dalam dunia internasional, telah secara masif menjadi sindrom yang mendeterminasi tatanan struktur, culture dan subtance dalam hubungan hukum (rechtsbetrekkingen). Yang semula hanya berpijak pada keadilan serta kepastian, kini berafiliasi dengan unsur kalkulasi kemanfaatan dalam tiap konstelasinya. Paradigma tersebut kiranya secara implikatif telah terjadi dalam sistem hukum pidana Indonesia, yang secara estafet berwajah retributive justice, kini berganti menjadi restorative justice.1 Pergerseran tersebut secara empirik telah menuntun negara untuk mereformulasi subtansi dan struktural penegak hukum dalam dimensi criminal justice system yang semula hanya terfokus pada penindakan semata menjadi pendekatan menggunakan prinsip diversi melalui kebijakan pemidanaan yang rele van (sintencing policy), baik tindakan-tindakan non-penal serta penanggulangan akibat terjadinya peristiwa pidana. 2 Resolusi dari konsep dan legal momerandum tersebut berbuah pada lahirnya Undang-Undang No. 13 Tahun 2006 tentang Perlindungan Saksi dan Korban dan Undang-Undang No. 31 Tahun 2014 tentang Perubahan Undang-Undang No. 13 Tahun 2006. Hal demikian dinilai sebagai langkah produktif dalam merestorasi keadaan di masa depan pasca terjadinya sebuah tindak pidana, di mana secara 1 Romli atamasasmita, 2017, Rekonstruksi Asas Tiada Pidana Tanpa Kesalahan, Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, hlm. 11. 2 Lihat naskah akademik Undang-Undang No. 11 tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Anak, dijelaskan bahwa dengan adanya diversi, diharapkan mampu menekan dampak buruk dari peradilan dan penempatan lembaga. Penjelasan tersebut diperkuat oleh hasil penelitian dari Muladi, R.M Jackson dan Barda Nawawi Arif yang memberikan gambaran bahwa pidana penjara mengakibatkan efek prisonisasi, mengakibatkan residivisme, bahkan makin rendah usia pelaku yang dijatuhi pidana penjara dan dibina dalam LAPAS, maka semakin besar kemungkinan untuk melakukan kejahatan lagi . 1 subtansi telah menempatkan Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban (LPSK) dalam sintesa Criminal Justice System. Namun, realisasi langkah proaktif dan produktif dalam perlindungan saksi dan korban dinilai masih secara parsial dilakukan, hal demikian kiranya dapat tergambar dalam kasus Abdul Khoir yang ditetapkan statusnya sebagai saksi pelaku (justice collaborator) oleh KPK, akan tetapi penetapan tersebut berbuah pada hukuman yang lebih berat dari requisitor penuntut umum, oleh karena hakim tipikor berpandangan bahwa Abdul Khoir adalah pelaku utama sehingga tidak selazimnya mendapat status justice collaborator kendati telah secara kooperatif bekerjasama dengan penegak hukum dalam membongkar kasus yang melibatkan dirinya. 3 Paling tidak, preseden di atas secara hipotesis dapat menjadi pukulan bagi calon peserta justice collaborator lainnya. Karena justru dinilai dapat menjadi ancaman baru atas apa yang hendak dipersaksikan dalam persidangan. Hal ini bisa menjadi arus penghambat dalam upaya merestorasi stabilitas pasca terjadinya tindak pidana. Dalam dimensi lain, penetapan status justice collaborator oleh KPK juga sering kali dinilai tidak tepat sasaran. Seperti halnya dalam kasus Nazaruddin yang terlibat dalam tindak pidana korupsi wisma atlet, proyek E-KTP serta berbagai kasus lainya, 4 kesaksian Nazaruddin kerapkali bertolak belakang dengan fakta lainnya sebagaimana dalam bantahan Yulianis terhadap kesaksian Nazaruddin serta kesaksian 3 Berdasarkan putusan pengadilan tindak pidana korupsi No. 32/Pid.Sus/TPK/2016/PN.Jkt Pst. hakim justru memberi putusan yang berat terhadap justice collaborator yang ditetapkan oleh KPK . 4 Nazaruddin terlibat berbagai kasus, di antaranya adalah kasus korupsi pembangunan wisma atlet dan divonis atas penerimaan gratifikasi dan melakukan pencucian uang, Korupsi proyek pengadaan e-KTP senilai Rp 5,9 triliun, Proyek fiktif pengadaan pesawat Merpati jenis MA 60 yang nilainya mencapai 200 juta dollar, Proyek gedung pajak senilai Rp 2,7 triliun, Proyek PLTU Kalimantan Timur senilai Rp 2,3 triliun pada 2010-2011, Proyek PLTU Riau senilai Rp 1,3 triliun, Proyek Diklat Mahkamah Konstitusi senilai Rp 200 miliar, .Proyek pembangunan gedung MK senilai Rp 300 miliar , Proyek Refinery unit RU 4 Cilacap senilai 930 juta dollar , Proyek Simulator SIM , Proyek Hambalang berkaitan Wisma Atlet, Proyek di Kementerian Pendidikan Nasional (Diknas), Korupsi pembangunan rumah sakit. Diakses dari http://nasional.kompas.com/read/2018/02/05/09230101/nazaruddinusulan-bebas-bersyarat-dan-berbagai-kasus-korupsi pada tanggal 22 Januari 2018, pukul 00.15 WIB. 2 Annas Urbaningrum dalam kesaksiaanya terhadap proyek E-KTP. Kontradiksi kesaksian tersebut telah memancing dialektika yang beragam, seperti halnya ketua LPSK Abdul Haris Semendawai yang berpendapat bahwa KPK hanya melihat SEMA No. 04 Tahun 2011 dan tidak melihat dari Undang-Undang No. 31 Tahun 2014. Serta pakar hukum pidana Romli Atmasasmita yang memberikan nada sinis kepada KPK karena penobatan Nazaruddin sebagai justice collaborator justru menafikkan perannya sebagai master main dalam berbagai kasus. 5 Anatomi demikian bermuara dari perbedaan frame dalam memahami kualifikasi saksi pelaku (justice collaborator) oleh berbagai instansi penegak hukum layaknya KPK, BNN, BNPT serta Kejaksaan. Sehingga ketentuan lebih lanjut mengenai kualifikasi saksi pelaku (justice collaborator) dan saksi mahkota (whistleblower) dituangkan dalam resultan yang diregulasikan dalam instrumen SEMA No. 04 tahun 2011 tentang Perlakuan terhadap Saksi Pelaku dan Saksi Mahkota. 6 Secara subtansi, SEMA No. 4 Tahun 2011 menegaskan bahwa syarat menjadi seorang justice collaborator ialah seseorang mengakui kejahatan yang diperbuat dan bukan merupakan pelaku mayor atau aktor intelektual kejahatan, serta memberikan kesaksian di dalam persidangan terkait keterangan dan bukti-bukti yang dengannya, penyidik mengungkap aktor-aktor mengembalikan aset-aset negara. lainnya sehingga secara efektif dapat Disamping itu, muatan dalam SEMA juga mengandung konsep reward yang didasari pada sifat rekomendasi, sehingga 5 Romli Atmasasmita memberikan keterangan bahwa dalam penetapan status justice collaborator Kasus Nazarudin itu tidak bisa dijadikan sebagai justice collaborator karena Nazarudin adalah seorang pelaku utama. Dalam keterangan Romli Atmasasmita di Berita Satu tentang permasalahan kasus Nazaruddin pada 28 Agustus 2017. 6 Dalam poin 9 SEMA No. 04 Tahun 2011 terdapat kualifikasi mengenai justice collabora tor, yaitu merupakan salah satu pelaku tindak pidana terorganisir, mengakui kejahatan y ang dilakukannya, bukan pelaku utama dalam kejahatan tersebut serta memberikan keterangan sebagai saksi dalam proses peradilan. Sema ini lahir karena tidak ada kualifikasi yang jelas mengenai justice collaborato r dalam Surat Keputusan Bersama Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia Republik Indonesia Jaksa Agung Republik Indonesia, Kepala Kepolisian Negara Republik Indonesia Komisi Pemberantasan Korupsi Republik Indonesia, Ketua Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban Republik Indonesia. 3 menempatkan kesaksian saksi pelaku sebagai pertimbangan yang dapat meringankan atau justru dapat memberatkan seperti halnya dalam kasus Abdul Khoir. Di lain sisi, regulasi SEMA a quo justru dinilai tidak sejalan dengan tesis modern hukum pidana yang berbasiskan asas legalitas dan spirit penegakkan hak asasi manusia. Karena instrumen hukum acara pidana yang secara langsung bersentuhan dan merampas hak-hak asasi manusia harus diregulasikan dalam undangundang dan tidak dapat didelegasikan ke dalam peraturan yang hierarkinya lebih rendah dari undang-undang. 7 Postulat demikian kiranya menjadi sorotan penulis dalam kaca mata kepastian hukum (legal certainty) bagi peserta justice collaborator, yang disertai critical legal studies penulis terhadap konsep reward secara rekomendasi bagi saksi pelaku. Serta dalam rangka menemukan titik konvergensi LPSK sebagai promotor menuju paradigma baru restorative justice dalam miniatur Integrated Criminal Justice System. 1.2 Rumusan Masalah Berdasarkan latar belakang diatas, rumusan masalah yang ditarik oleh penulis adalah sebagai berikut: 1. Bagaimana kepastian hukum justice collaborator dalam Integrated Criminal Justice System? 2. Apakah peran dan kewenangan LPSK saat ini sudah sesuai dengan prinsip Integrated Criminal Justice system dalam menangani justice collaborator? 3. Perlukah memberikan kewenangan LPSK untuk menjadi lembaga eksaminasi justice collaborator ? 7 Sebagaimana Putusan Mahkamah Konstitusi No. 5/PUU-VIII/2010 bahwa sesuai pendapat ahli yang bernama Ifdhal Kasim, bahwa perlindungan terhadap hak asasi manusia haruslah diatur dalam undang-undang bukan diatur oleh peraturan dibawahnya, karena hal tersebut merupakan pembatasan terhadap hak asasi manusia, pembatasan hak asasi manusia dengan undang-undang telah sesuai dengan ketentuan Pasal 28J Ayat (2) UUD 1945. 4 4. Bagaimana konsep regulasi penetapan justice collaborator dalam RKUHAP? 1.3 Tujuan Penelitian Untuk mengetahui problematika dan urgensi penetapan justice collaborator dalam integrated criminal justice system, serta untuk mengetahui Grand Design pembentukan lembaga eksaminasi justice collaborator dalam RKUHAP. 1.4 Manfaat Penelitian Diharapkan dapat menjadi pedoman bagi pemerintah dalam menentukan arah kebijakan kedepan serta menjadi bahan pembelajaran bagi akademisi dalam penetapan justice collaborator. 5 BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Integrated Criminal Justice System Integrated criminal justice system atau sistem peradilan pidana terpadu mengatur bagaimana penegakan hukum pidana dijalankan dalam suatu sistem peradilan pidana yang ada. Sistem tersebut mengatur bagaimana proses berjalannya suatu perkara mulai dari penyelidikan sampai pemasyarakatan. 8 Criminal Justice System menurut Herbert L Packer 9 merupakan perkembangan model pemidanaan di Amerika yang semula crime control model dengan ciri utama presumption of guilt (praduga bersalah) menjadi due process model yang mengedepankan presumption of innocent (praduga tidak bersalah). 10 Menurut Herman Manheim demi terciptanya sistem peradilan yang berkeadilan maka dalam menerapkan sistem peradilan pidana harus terintegrasi dan memiliki hubungan fungsional antar berbagai institusi penegak hukum yang ditransformasikan dalam bentuk integrated criminal justice system.11 Jika dilihat dalam konteks Indonesia integrated criminal justice system mengatur terkait 4 institusi penegak hukum yakni 1) Kepolisian 2) Kejaksaan 3) pengadilan/hakim 4) lembaga permasyarakatan. 12 Keempat aparatur penegak hukum 8 Thomas J Bernard dan Robin Shepard engel, 2001, “Concep tualizing Criminal Justice Theory”, Justice Quaterly, Volume 8 No.1, hlm.2. 9 Herbert L packer menjelaskan perbedaan paling fundamental antara Crime control model dan due procces model bahwa Due Procces Mod el lebih memfokuskan pada kebebasan dan hak individu dan terkait dengan pembatasan kekuasaan pemerintah sedangkan Crime justice system mengedepankan pada teori peradilan pidana yang menekankan pada pengurangan kejahatan di masyarakat melalui peningkatan kekuatan polisi dan kejaksaan. Lihat Herbert L Packer, 1968, Two Models of the Criminal Process, Stanford University Press, hlm. 1. 10 Ibid. 11 Her man Manheim berkata “ its no t th e formula tha t decide the issue, but the man who have to apply the fo rmula ” lihat Herman Mannheim, 1946, Criminal Justice and Social Reconstruction, New York: Oxford University, dalam Marwan Effendy, Sistem Peradilan Pidana, hlm. 253. 12 Romli Atmasasmita menjelaskan bahwa criminal justice system adalah suatu proses peradilan pidana yang dimulai dari penangkapan, penggeledahan, penahanan, penuntutan, dan pemeriksaan dimuka persidangan serta diakhiri dengan eksekusi putusan pengadilan oleh lembaga permasyarakatan lihat Romli Atmasasmita, 1996, Bunga Rampai Huku m Pidana, Bandung: Penerbit Bina Cipta, hlm. 17. 6 wajib tunduk atas asas due procces of law yakni setiap tindakan yang dilakukan haruslah berdasarkan atas ketentuan yang digariskan secara expresive verbis oleh perundang-undangan. 13 2.2 Kepastian hukum Gustav Radbruch berpendapat bahwa idealnya suatu huk um harus memenuhi tiga aspek krusial yang tidak dapat dihilangkan yakni keadilan (justice), kepastian (certainty) dan kemanfaatan (purpossiveness) yang kemudian dikenal dengan future legal framework atau cita hukum (recht idee). 14 Menurut Nonet dan Selznick suatu negara dalam menegakan Rule of law atau kepastian hukum tidak terlepas dari aspek keadilan dan aspek keadilan juga tidak dapat terwujud tanpa adanya kepastian hukum. 15 Kepastian hukum secara substansial kemudian dipahami sebagai setiap orang dapat menutut agar hukum dilaksanakan dan tuntutan itu pasti dipenuhi bahwa setiap pelanggaran akan dikenakan sanksi. 16 Kepastian hukum baru akan terwujud bila pemerintah negara atau stake holder mempunyai sarana suprastruktur dan infrastruktural yang baik dalam regulasi peraturan perundang-undangan dan juga harus memenuhi tiga aspek krusial agar terciptanya perlindungan terhadap hak asasi warga negara (citizen human right) yakni Non retroactive of law, accesibility and forseability of law dan assurance of the unitary interpretation of law. 17 Namun dalam implementasi kepastian hukum acap kali berkontradiksi dengan keadilan dan kemanfaatan. Oleh karena itu setiap undang- undang yang dikeluarkan harus mengutip 13 Lowell J. Howe, 1930, “The Meaning of due process of law Prior to adoption of the fourteenth Amendment”, California law review, volume 18, Issue 6 article 1, hlm. 58. 14 Arief Sidharta, 2010, Reformasi Peradilan dan Tanggung Jawab Negara, Bunga Rampai Komisi Yudisial, Putusan Hakim: Antara Keadilan, Kepastian Hukum, dan Kemanfaatan, 2010, Jakarta: Komisi Yudisial Republik Indonesia, hlm. 3. 15 Philiph Selznick, Philiph Nonet, Howard M Vollmer, 1969, Law Society And Industrial Justice, California: russel sage foundation, hlm. 11. 16 Franz Magnis Suseno, 1988, “Etika Politik:Prinsip-Prinsip Mo ral Dasa r Ken egaraan Modern” Jakarta: Gramedia, hlm. 79. 17 Hakim Konstitusi Rumania Ion Presdescu berpendapat bahwa kepastian hukum baru akan terwujud manakala hukum tersebut tidak berlaku surut (Non retroactive law), memiliki aksesibiltaas yang mudah dan kesesuaian hukum serta tidak bersifat multitafsir. Lihat dalam Ion Predescu And Maria Safta, The Priciple Of Legal Certainty, Basic For Rule Of Law Landmark Case Law, hlm. 4. https://www.ccr.ro/ccrold/publications/buletin/8/predescuen.pdf . 7 ketiga philosophy of law Gustav Radbruch baik secara substansial maupun prosedural. 18 2.3 Justice Collaborator Secara terminologi justice collaborator juga sering diartikan oleh beberapa ahli sebagai cooperative whistleblower dan participant whistleblower. 19 Semua istilah tersebut pada intinya tetap merujuk pada upaya pengungkapann tabir kejahatan yang dilakukan oleh para pelaku tindak kejahatan. 20 United Nations On Drugs and Crime (UNODC) mendeskripsikan justice collaborator sebagai seseorang yang ikut serta dalam kejahatan yang memiliki pengetahuan terkait struktur, mekanisme kerja dan kegiatan dari organisasi kejahatan terorganisir (organized crime). 21 Sedangkan Council of Europe Commite of Minister menginterpretasikan justice collaborator sebagai pelaku tindak pidana yang terlibat dalam organisasi kejahatan transnasional teroragnisir (transnational organized crime) yang berkerja sama dengan aparat penegak hukum untuk memberikan kesaksian melawan pelaku tindak pidana lainya di muka persidangan. 22 Secara ius constitutum Indonesia, justice colloborator diatur dalam Undang-Undang No. 31 Tahun 2014 tentang Perlindungan Saksi dan Korban. Selanjutnya diatur pula dalam Undang-Undang No. 7 Tahun 2006 tentang ratifikasi konvensi PBB anti korupsi dan Undang-Undang No. 5 Tahun 2009 tentang ratifikasi konvensi PBB anti kejahatan transnasional dan terorganisir. 23 18 Gustav Radbruch, Legal Philoshopy, In. The Legal Philoshophy Of Lask , Radbruch and Dabin 43, hlm. 112, lihat juga dalam Heather l eawoods, Gustav Radbruch : “An Extaordinary Legal Philoshoper” , 2000, journal and law policy volume 2489, washington university press. 19 Hariman Satria, 2016, “Menakar Perlindungan Justice Colaborato r”, Jurnal Konstitusi, Volume 13 No. 2, hlm. 445. 20 Abdul Haris Semendawai, dkk, 2011, memahami whistleblo wer, Jakarta: LPSK, hlm. xi. 21 Lihat United Nations On Drugs and Crime (UNO DC), 2008, The good practices for the protection of witnesses in criminal p rocceding involving organized crime, New York: United Nations, hlm. 19. 22 Council Of Europe, Replies to The Questionnaire on Protection of Witnesses and Peniti in Relation to Act to Terorrism, Italy: hlm. 1. 23 Lihat United Nations Convention against Corrup tion (UNCAC) dan United Nations Convention Against Transnational and Organized Crime (UNCATOC). 8 BAB III METODE PENULISAN 3.1 Pendekatan Penelitian Jenis penelitian ini adalah yuridis normative atau disebut juga penelitian hukum doktrinal, 24 adapun menurut Rommy H. Soemitro, metode yuridis normative adalah pendekatan yang menggunakan konsep legis positivis yang menyatakan bahwa hukum identik dengan norma-norma tertulis yang dibuat dan diundangkan oleh lembaga- lembaga atau pejabat yang berwenang. Selain itu konsep ini memanda ng hukum sebagai sistem normatif yang bersifat otonom, tertutup dan terlepas dari kehidupan masyarakat. 25 Metode pendekatan yang digunakan dalam penelitian ini adalah: 1) Pendekatan Perundang-undangan (statute-approach), 26 berkaitan dengan definisi justice collaborator dan mekanisme penetapan justice collaborator. 2) Pendekatan konseptual dengan (conceptual-approach), menelaah dan memahami konsep 27 Integrated Criminal Justice System dalam upaya perlindungan justice collaborator. 3) Pendekatan Komparatif (Comparative-approach). 28 Dengan membandingkan konsep LPSK di Indonesia dengan negara lain. 24 Sukismo, 2008, Karakter Penelitian Hukum No rma tif dan Sosiologis, Yogyakarta:Penerbit Puskumbangsi Leppa UGM, hlm. 8. 25 Ronny Hanitijo Soemitro, 1998, Metode Penelitian Hukum Jurimetri, Jakarta: Penerbit Ghalia Indonesia, hlm. 11. 26 Metode yang digunakan untuk mempelajari permasalahan yang ada dalam masyarakat, serta tata cara yang berlaku dalam masyarakat sehari -hari serta situasi tertentu. Tujuan dari metode deskriptif ini adalah untuk membuat ga mbaran secara sistematis, fa ktual dan akurat mengenai faktafakta, sifat-sifat, serta hubungan antar fenomena yang diteliti untuk mendapatkan suatu pemecahan. Lihat Moh. Nazir, 2005, Metode Penelitian, Jakarta: Ghalia Indonesia, hlm. 35-37. 27 Johnny Ibrahim, 2007, Teori dan Metodologi Penelitian Huku m No rma tif, Malang: Penerbit Bayumedia, hlm.391. 28 Menelaah penerapan pengaturan hukum di luar hukum Indonesia dengan pengaturan hukum Indonesia secara sistematis dan objektif, dengan cara mengumpulkan, mengevaluasi, dan 9 3.2 Jenis Bahan Hukum Adapun jenis bahan hukum yang digunakan dalam penelitian ini adalah data sekunder sebagai data utama yang terdiri dari: a. Bahan hukum primer terdiri konvensi internasional, perundangundangan, risalah dalam pembuatan perundang-undangan dan putusan-putusan hakim. b. Bahan hukum sekunder berupa literatur mengenai kedudukan lembaga perlindungan saksi dan korban dalam kerangka Integrated Criminal Justice System. c. Bahan hukum tersier berupa kamus, jurnal hukum, internet yang relevan dengan permasalahan yang dibahas dalam karya tulis ini serta pelengkap dari sumber primer dan sekunder. 3.3 Teknik Penelusuran dan Analisis Teknik penelusuran bahan hukum dalam penelitian ini dilakukan melalui studi pustaka dan internet baik berupa informasi ataupun dokumen hukum. Dalam menyusun dan menganalisis data, penulis menggunakan penalaran deduktif 29 dengan metode deskriptif. 30 Setelah proses analisis, dilakukan proses sintesis dengan menarik dan menghubungkan rumusan masalah, tujuan penulisan serta pembahasan yang dilakukan. Berikutnya ditarik simpulan yang bersifat umum kemudian direkomendasikan beberapa hal sebagai upaya transfer gagasan yang diakhiri dengan kesimpulan analisis. memverifikasikan, serta membandingkan bukti -bukti yang mendukung fakta untuk memperoleh kesimpulan 29 Langkah berpikir dengan mengumpulkan pernyataan yang bersifat umum untuk selanjutnya ditarik suatu kesimpulan yang bersifat khusus. Jujun S. Suriasumantri, 2001, Filsafat Ilmu : Sebuah Pengantar Populer, Jakarta: Pustaka Sinar Harapan, hlm. 49. 30 Metode yang digunakan untuk mempelajari permasalahan yang ada dalam masyarakat, serta tata cara yang berlaku dalam masyarakat sehari-hari serta situasi tertentu. Tujuan dari metode deskriptif ini adalah untuk membuat gambaran secara sistematis, faktual dan akurat mengenai faktafakta, sifat-sifat, serta hubungan yang antar fenomena yang diteliti untuk mendapatkan suatu pemecahan. Moh Nazir,2005, Metode Penelitian, Jakarta: Ghalia Indonesia, hlm. 35. 10 BAB IV PEMBAHASAN 4.1 Eksistensi Justice Collaborator dalam Bingkai Hukum Acara Pidana. Dalam diskursus hukum acara pidana, telah terjadi ekstensi terminologi bagi saksi yang dewasa ini disebut sebagai saksi pelaku atau “justice collaborator”. Perluasan terminologi tersebut kiranya secara imparsial didefinisikan oleh Zucarelli dalam thesis-nya yang berjudul “Handling and Protection Witnesses and Collaborations of Justice”, yaitu; 31 “Collaborators of Justice (supergrass): any person who faces criminal charges, or has been convicted of taking part in a criminal association or other criminal organization of any kind, or in offences of organised crime, but who agrees to ccooperate with criminal justice authorities, particularly by giving testimony about a criminal association or organisation, or about any offence connected with organized crime or other serious crimes (or in other words: the co-defendant who has decided to co-operate with the justice authorities and who is prepared to give testimony in court against his former associates).” Secara etimologi justice collaborator di berbagai negara di dunia kerap disebut cooperating witnesses (saksi yang bekerja sama), crown witnesses (saksi mahkota), witness collaborator (saksi yang bekerja sama), justice collaborator (saksi kolaborator) dan state witness (saksi negara), yang secara substansi, terminologi tersebut tidak terlepas dari upaya kooperatif saksi pelaku dalam membongkar kejahatan terorganisir yang melibatkan dirinya. 32 31 Fausto Zucarelli, “Handling and Pro tection Witnesses and Collabo rations of Justice, the Italian Experience”, Makalah seminar Internasional on the Protection of Whistle Blower as Justice Collaborator, Jakarta, 09 Juli 2011. 32 United Nation Office On Drugs and Crime, Op.Cit, hlm. 17. United Nation Office On Drugs and Crime (UNODC) merupakan kantor Perserikatan Bangsa -Bangsa yang didirikan pada tahun 1997, sebagai Program Pengendalian Narkoba Internasional Perserikatan Bangsa-Bangsa (UNDCP) dan 11 Paling tidak terminologi dan etimologi justice collaborator tersebut, tidak dapat dipisahkan dari historical context lahirnya justice collaborator, yang tercermin dalam kasus Joseph Valachi. Dimana tercatat pada tahun 1963, seorang mafia Amerika-Italia melakukan pengkhianatan terhadap sumpah mafia (omerta), 33 yang justru berkolaborasi dengan pihak kehakiman Amerika Serikat dalam mengungkap struktur organisasi dan agenda kriminal yang terorganisir, terstruktur, masif dalam lingkup transnasional. 34 Karena kesaksian yang diberikannya, Josep h Valachi mendapat banyak ancaman baik fisik maupun psikis, terlebih ancaman pembunuhan yang dilayangkan oleh Vito Genovese, seorang ketua dari keluarga mafia yang terkenal kejam. Bahkan secara terbuka kepala Joseph Valachi dihargai senilai $100.000 dikalangan para mafia. Sehingga, atas dasar kepentingan negara dan dibalut dengan prinsip hak asasi manusia, pemerintah Amerika memutuskan untuk memberikan perlindungan terhadap Joseph Valachi. 35 Preseden dari kasus tersebut telah mendorong masyarakat internasiona l untuk memandang secara imparsial tentang urgensitas perlindungan kesaksian dalam justice collaborator. Sebagaimana tergambar dalam deklarasi PBB tentang pemberantasan korupsi atau UNCAC ( United Nation Convention Against Corruption), yaitu; 36 Pencegahan Kejahatan dan Kejahatan, merupakan divisi Peradilan Pidana di Kantor Perserikatan Bangsa-Bangsa di Wina. 33 Ibid, hlm. 7. Lihat juga Howard Abadinsky yang menyatakan bahwa salah satu dari daftar aturan Mafia Amerika adalah setiap anggota harus menjaga mulutnya untuk tetap diam, apa yang dilihat dan didengar biarlah tetap terjaga di kepalanya, jangan pernah dibicarakan. Howard Abadinsky, 2007, Organized Crime, Nin th Edition, Belmont: Wadsworth, Cengage Learning, hlm. 93. 34 Fred Montanino, 1990, “Protecting Organized Crime Witnesses in th e United States ”, International Journal Of Comparative And Applied Criminal Justice Spring, Vol ume 14, No. 1, hlm. 128. 35 United Nation Office On Drugs and Crime, Op.cit, hlm. 7. Lihat juga lebih lanjut tentang kasus Joseph Valachi dalam The Vala chi Papers, Peter Maas, 1972, The Vala chi Papers, New York: G. P. Putnam’s Sons. Joseph Valachi merupakan seorang ahli senjata yang berasal dari Chicago yang dikenal namanya sebagai “the buster from Chicago”, lihat, Carl Sifakis, 2005, The Mafia Encyclopedia 3rd ed, Library of Congress Cataloging-in-Publication Data, hlm. 72. 36 Lihat Pasal 37 Ayat 2 United Na tion Convention Against Corruption (UNCAC) tentang Cooperation with law enforcement authorities. 12 “Each State Party shall consider providing for the possibility, in appropriate cases, of mitigating punishment of an accused person who provides substantial cooperation in the investigation or prosecution of an offence established in accordance with this Convention.” Disamping itu, ketentuan mengenai justice collaborator juga tertuang dalam United Nation Convention Against Transnational Organized Crime (UNCATOC), yang berbunyi; 37 “Each State Party shall consider providing for the possibility, in appropriate cases, of mitigating punishment of an accused person who provides substantial cooperation in the investigation or prosecution of an offence covered by this Convention.” Dalam hal ini, kedua instrumen hukum internasional tersebut telah memberikan pengaruh yang signifikan terhadap politik hukum pidana di Indonesia. Karena secara politik internasional, Pemerintah telah meratifikasi kedua konvensi tersebut dan telah ditransformasi menjadi Undang-Undang No. 7 Tahun 2006 tentang Pengesahan United Nations Convention Against Corruption tahun 2003 dan Undang-undang No. 5 Tahun 2009 tentang Pengesahan United Nations Convention Against Transnational Organized Crime. Termasuk dalam hal ini Undang-Undang No. 13 Tahun 2006 tentang Perlindungan Saksi dan Korban yang ketentuan lebih lanjutnya diregulasikan dalam SEMA No. 4 Tahun 2011 tentang Perlakuan Bagi Pelapor Tindak Pidana (Whistleblower) dan Pelaku yang Bekerjasama (Justice collabolator) dalam Perkara Tindak Pidana Tertentu. Dalam regulasi SEMA No. 4 Tahun 2011, justice collaborator diterjemahkan sebagai saksi pelaku (bukan aktor intelektual) dari tindak pidana yang terorganisir, sistematis dan merupakan kejahatan extraordinary crime, 38 di mana secara kooperatif 37 Lihat Pasal 26 Ayat 2 United Nation Convention Against Transnational Organized Crime (UNCATOC). 38 Lihat Surat Edaran Mahkamah Agung Poin 9 tentang Pedoman untuk menentukan seseorang sebagai saksi pelaku yang bekerja sama (Justice Collaborator): a. yang bersangkutan 13 mengakui kejahatan yang dilakukan dan bersedia 39 memberikan keterangan sebagai saksi serta informasi di dalam proses penyelidikan, penyidikan dan persidangan di peradilan yang secara signifikan dapat mengungkap tindak pidana, dengan maksud untuk mengungkap pelaku-pelaku lainnya yang memiliki peran yang lebih besar serta mengembalikan aset-aset atau hasil suatu tindak pidana. Kelahiran SEMA No. 04 Tahun 2011 nyatanya tidak dapat terlepas dari hasil resultan Peraturan Bersama Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia RI, Jaksa Agung Republik Indonesia, Kepala Kepolisian Negara RI, Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) RI, Ketua Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban (LPSK) RI. Pasal 7 ayat (1) tentang Perlindungan Bagi Pelapor, Saksi Pelapor dan Saksi Pelaku yang bekerjasama. 40 Di samping itu juga, keberadaan SEMA dimaksudkan untuk menginterpretasikan ketentuan justice collaborator dalam Undang-Undang No. 13 Tahun 2006 yang secara substansi masih dinilai multitafsir dalam penerapannya. Karena rumusan definisi terkait saksi tersangka yang kesaksiannya dapat dijadikan pertimbangan hakim dalam meringankan pidana masih dinilai rabun dalam implementasinya. Sebagaimana tertuang dalam pasal 10 ayat 2 :41 “Seorang saksi yang juga tersangka dalam kasus yang sama tidak dapat dibebaskan dari tuntutan pidana apabila ia terbukti secara sah dan meyakinkan bersalah tetapi kesaksiannya dapat dijadikan pertimbangan hakim dalam meringankan pidana yang akan dijatuhkan.”. Titik terang kejelasan mengenai terminologi justice collaborator dalam hukum acara pidana baru dapat secara konkrit dan spesifik tertuang dalam Undang-Undang merupakan salah satu tindak pidana tertentu sebagaimana dimaksud dalam SEMA ini, mengakui kejahatan yang dilakukannya, bukan pelaku utama dalam kejahatan tersebut. 39 Lihat Surat Edaran Mahkamah Agung Poin 9, serta memberikan keterangan sebagai saksi di dalam proses peradilan. 40 Lihat Bab IV Pasal 7 Peraturan Bersama Menteri Hukum danHak Asasi Manusia Republik Indonesia, Jaksa Agung Republik Indonesia, Kepala Kepolisian Negara Republik Indonesia, Komisi pemberantasan Korupsi Republik Indonesia, Ketua Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban Republik Indonesia. 41 Pasal 10 Ayat 2, Undang-Undang No. 13 tahun 2006 tentang Perlindungan Saksi dan Korban. 14 No. 31 tahun 2014 tentang Perubahan atas Undang-Undang No. 13 Tahun 2006 tentang Perlindungan Saksi dan Korban, yang memberikan definisi saksi pelaku (justice collaborator) dan perlindungan serta hak- hak khusus lainnya bagi saksi pelaku. Sebagaimana tertuang dalam pasal 1 ayat 2 dan pasal 10 ayat 1 UndangUndang No. 31 tahun 2014 adalah:42 “Saksi Pelaku adalah tersangka, terdakwa, atau terpidana yang bekerja sama dengan penegak hukum untuk mengungkap suatu tindak pidana dalam kasus yang sama.”. “Saksi Pelaku dapat diberikan penanganan secara khusus dalam proses pemeriksaan dan penghargaan atas kesaksian yang diberikan.”. Peraturan Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban (LPSK) No. 6 Tahun 2010 Pasal 4 ayat 3 tentang Tata Cara Pemberian Perlindungan bagi Saksi dan Korban: a. Pemohon yang datang sendiri atau melalui keluarganya; b. Melalui pejabat yang berwenang, antara lain: 1) aparat penegak hukum yang mempunyai kewenangan melakukan penyidikan; 2) instansi yang diberikan kewenangan dalam undang-undang untuk memberikan perlindungan saksi dan/atau korban; dan 3) lembaga atau komisi, yang mempunyai kewenangan untuk melindungi saksi dan/atau korban.43 Keberadaan berbagai instrumen hukum demikian tiada lain sebagai upaya memposisikan saksi pelaku (justice collaborator) sebagai komponen vital dalam sistem pembuktian tindak pidana extraordinary crime, di bawah naungan criminal justice system. Mengingat peranan saksi pelaku (justice collaborator) dewasa ini dinilai sangat mendominasi dalam pengungkapan fakta- fakta materiil di dalam 42 Pasal 1 Ayat 2, Undang-Undang No. 13 Tahun 2006 tentang Perlindungan Saksi dan Korban. Lihat Pasal 4 peraturan LPSK No. 6 tahun 2010 tentang Tata cara pemberian perlindungan saksi dan korban. 43 15 persidangan. Narasi demikian diamini Romli Atmasasmita yang mengungkapkan bahwa, sebagian alat bukti (petunjuk, surat dan dokumen elektronik) dapat memiliki nilai kekuatan pembuktian mengikat (beweis lag) jika hakim sudah meyakini bahwa alat bukti lainnya memiliki kesesuaian dengan keterangan saksi dan keterangan terdakwa. 44 Sehingga, kompleksitas regulasi yang tersegmentasi baik dalam peraturan internal penegak hukum maupun SKB mengenai penanganan justice collaborator, kiranya sangat terbuka potensi terhadap pembatasan dan perampasan hak asasi bagi saksi pelaku dalam penegakan hukumnya (law enforcemen)45 . Karena terhadap saksi pelaku terdapat hak dan kewajiban yang melekat pada dirinya, disamping ia sebagai saksi, namun disatu sisi ia merupakan terdakwa, bahkan dalam frame yang berbeda di samping ia memiliki kesalahan, namun di sisi lain ia berhak mendapatkan penghargaan. 46 Lebih lanjut, jika dipandang dari perspektif asas legalitas (principle of legality) sebagai poros utama hukum pidana materiil dan acara pidana formil, dalam pasal 3 KUHAP tertuang “Peradilan dilakukan menurut cara yang diatur dalam undangundang ini”. 47 Ketentuan ini, merupakan penegasan asas legalitas dan sekaligus sebagai pembeda dengan ketentuan hukum pidana materiil, dimana deferensi keduanya dapat terlihat dari produk undang-undang yang mengejawantahkannya. 48 Di dalam KUHP, delik pidana dapat diejawantahkan ke dalam peraturan perundang-undangan sebagaimana ditegaskan dalam pasal 15 ayat 1 Undang-Undang 44 Dalam acara Indonesia Lawyers Club “Novanto Bertahan” tanggal 14 November 2017 https://www.youtube.com/watch?v=74wB3 TfSLsY diakses pada tanggal 21 Januari 2017 pukul 2.17 WIB. 45 Pasal 7 Ayat 1 Peraturan Bersama Nomor M.HH-11.HM.03.03.th.2011, PER045/A/JA/12/2011, 1 Tahun 2011, KEPB-02/01-55/12/2011 serta 4 Tahun 2011. 46 SEMA No. 4 Tahun 2011 Poin 9 A. 47 Lihat Pasal 3 Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana. 48 Chairul Huda, 2015, Pemahaman Tentang Alat Bukti Sebagai ”Bukti Permulaan yang cukup” dan sebagai ”Bukti yang Cukup” Lihat http://hudadrchairulhudashmh.blogspot.co.id/2015/09/pemahaman-tentang-alat-bukti-sebagai.html diakses tanggal 23 Januari 2017 pukul 2.56 WIB. 16 No. 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan, namun berbeda halnya dengan konsep pidana formil, di mana konsep regulasi beracara hanya dapat dituangkan ke dalam undang-undang (strafordering heft alleen plaats op de wijze bij de wet voorzien), hal demikian secara tafsir sistematis dan historis sebagai pelaksana perintah langsung Pasal 28 J Ayat 2 UUD 1945. Dalam hal ini, penulis mencoba bercermin pada kasus Abdul Khoir, yang justru vonisnya diperberat, menjadikan kesaksian Abdul Khoir seakan “pagar makan tanaman”. Hal ini, dinilai tidak sejalan dengan prinsip hukum acara pidana “equal treatment”49 yang menempatkan posisi terdakwa sebagai subyek hukum bukan obyek hukum, dan konsep pemberian penghargaan yang didasari pada upaya restorasi menuju titik stabilitas masa depan. Karena jika menelisik hubungan justice collaborator dengan lembaga penyelidik dan penyidik tersebut didasari pada konsep simbiosis mutualisme, di mana justice collaborator berperan sebagai kolega dari para penyelidik dan penyidik sebagai penegak hukum dalam mengungkap tindak pidana luar biasa tersebut yang kesemuanya terintegrasi dalam sistem peradilan pidana terpadu (Integrated Criminal Justice System) dalam upaya mengungkap tindak pidana luar biasa. 50 Tidak hanya demikian, kelemahan dari pendayagunaan justice collaborator dapat terlihat dari adanya parameter untuk menentukan seseorang sebagai master main atau bukan, yang justru dapat dikatakan bias, karena regulasi terhadap hal demikian belum sepenuhnya tertuang dalam undang- undang. Sehingga seandainya tiap pelaku memiliki peran yang sama dengan yang lain, sangatlah sukar untuk menentukan siapa mastermain diantara mereka. Sehingga secara kognitif, penulis mencoba menyandingkan pandangan Gustav Radbruch terhadap kedudukan kepastian hukum bagi regulasi justice 49 Andi Sofyan, 2012, Hukum Acara Pidana Suatu Pengantar, Yogyakarta: Rangkang Education, hlm. 129. 50 Ruang lingkup dari Criminal Justice diakumulasikan bagai sebuah bagian yang besar dari pengetahuan yang berdasarkan empirical testing yaitu kepolisan, lembaga penegak hukum, individu dan konflik Lihat Thomas J. Bernard dan Robin Shepard Engel, Op.Cit, hlm. 3-4. 17 collaborator yang sangat krusial terhadap doktrin recht idee. Sebagaimana yang diungkapkan dalam tulisannya Statutory Lawlessness and Supra-Statutory Law (1946) 51 “Legal certainty takes a curious middle place between the other two values, purposiveness 52 and justice53 , because it is required not only for the public benefit but also for justice.” 54 Selanjutnya, Radbruch berpandangan bahwa kepastian hukum merupakan syarat yang harus dipenuhi untuk melahirkan keadilan “That the law be certain and sure, that it not be interpreted and applied one way here and now, another way elsewhere and tomorrow, is also a requirement of justice”.55 4.2 Emanasi Prinsip Due Process of Law dalam pe rlindungan saksi dan korban Dalam Hukum Acara Pidana, poros utama dan pertama yang merupakan prinsip universal dalam pengaplikasiannya adalah due process of law 56 , yakni adanya keberlangsungan hukum yang didasari dengan pondasi penjagaan marwah terhadap hak-hak seseorang, yang mana hukum dapat menjadikan manusia menjadi subjek, bukan objek. 51 Dalam tulisannya “Gesezliches Un recht und Übergesetzlich es Recht” diterbitkan pertama kali di Süddeutsche Juristen-Zeitung 1 (1946), tulisannya telah diterjemahkan dalam bahasa inggris oleh Bonnie Litschewski Paulson dan Stanley L. Paulson. 52 Asas kemanfaatan selalu disandingkan dengan keadilan yang memberikan benefit kepada masyarakat, seperti yang dikemukakan Radbruch “Of course it is true that the public b enefit, along with justice, is an objective of the law. And of course laws have value in and of themselves, even bad laws: the value, namely, of securing the la w against uncertain ty..”. Lihat Gustav Radbruch, 2006, Five Minute of Legal Philosophy (1945), Oxford Journal of Legal Studies, Volume 26, No. 1, hlm. 14. 53 Hukum adalah keadilan, dimana keadilan tidak memandang siapapun orang yang dihukum, Lihat “Law is the will to justice. Justice means: To judge without regard to th e person, to measure everyone by the same standard.. Ibid. 54 Gustav Radbruch, 2006, “Statuto ry Lawlessness and Sup ra-Statu tory Law (1946)”, Oxford Journal of Legal Studies, Vol ume 26, No. 1, hlm. 6. 55 Ibid. 56 Cikal bakal Due Process of La w tidak lepas dari sejarah Hak Asasi Manusia. Di Inggris dikenal dengan lahirnya Magna Charta (1215), disusul dengan Bill of Rights (1689), Decla ration Des Drwoit De L’Ho me et due Citoyen (1789), declaration of Independen(1878) dan Declara tion of Human Rights(1948). Lihat juga Rhonda Wasserman, 2004,Procedural Due Process a reference wide to th e united states constitution,London: GranWodd Publishing, hlm. 1-2. 18 Terminologi mengenai due process of law menurut Black’s Law Dictionary, didefinisikan sebagai: 57 ”The conduct of legal proceedings according to established rules and principles for the protection and enforcement of private rights, including notice and the right to a fair hearing before a tribunal with the power to decide the case” Terminologi due process of law juga diungkapkan oleh Daniel Webster berdasarkan kasus “Dartmouth Collage v Woodward” yaitu: 58 “a law which hears before it condems; which proceeds upon inquiry and renders judgement only after trial” Dalam istilah lain, Tobias dan Petersen berpendapat bahwa kehadiran due process of law yang berasal dari dokumen Magna Charta 59 1215 sebagai jaminan konstitusional (Constitutional Guaranty), yang dapat dikutip dari kata-katanya yaitu:60 “That no person will be deprived of live, liberty of property for reason that arbitary actions of the government” 57 Bryan A. Garner, 2009, Black’s Law Dictionary, USA: W est Group, hlm. 575. Due process of law yang terahir berdasarkan konvensi magna charta 1215 menekankan akan penting nya jaminan hak konstitusional individu atas kekuasaan yang sewenang -wenang karena tidak boleh merampas hak hidup,kekayaan dan kebebasan. Daniel Webster berdasarkan kasus Dartmouth college vs woodward berpendapat bahwa hak kebebasan dan kekayaan dari dartmouth college telah dilanggar atas perintah penggantian uang sebesar 500.000$ oleh mahkamah agung new hamshire, namun kemudian daniel webster melakukan perlawanan dengan mengajukan gugatan banding ke Supreme court AS yang kemuidan memutuskan bahwa kontrak dartmouth college adalah sah yang harus dilindungi oleh konstitusi. Lihat putusan MK no.21/PUU/XII/2014 hlm. 44. Dan lihat juga (Dartmouth College, 1 N.H. 111 [1817]. 59 Magna Carta atau Piagam Besar terlahir dari perseteruan a ntara Raja John, Paus Innocent III dan para bangsawan Inggris kelas Baron pada tahun 1215. Fungsi dari magna carta yakni menjadi perjanjian damai dan meniadakan kekuasaan absolut seorang raja. Berkat keberadaan Magna Carta, raja tak lagi bisa bertindak sewenang-wenang. Dengan kata lain, Piagam Besar itu menjadi tonggak sejarah lahirnya hak asasi manusia dan hukum konstitusional. Lihat James Maclehose, etc, 1914, Magna Carta A Commentary in The Grea t Charter of King John, London: Macmillane and Co.,LTD., hlm. 3. 60 Mardjono Reksodiputro, 2000, Jaminan Konstitusi tentang Proses Huku m yang Adil, dalam Ismail Suny, Jakarta: Sinar Harapan, hlm. 3-5. Lihat Juga Abdul Latif, 2010, “Ja minan UUD 1945 dalam Proses Hukum yang Adil”, Jurnal Konstitusi Volume 7 No. 1, hlm. 59. 58 19 Berdasarkan kompilasi pendapat mengenai definisi due process of law, dapat disimpulkan bahwa due process of law merupakan pelaksanaan proses hukum yang sesuai dengan peraturan dan asas dalam rangka menegakan hak pribadi yang adil dan layak, serta mengandung nilai- nilai yang menjamin hak- hak fundamental (fundamental rights) dalam sebuah sistem peradilan pidana (criminal justice system). Penegakan dan pelaksanaan konsep dan esensi due process of law tersebut dapat terjamin, manakala prinsip tersebut berpedoman pada pengakuan (recognized), penghormatan (to respect for), dan perlindungan (to protect) serta menjamin dengan baik hak-hak dalam sebuah sitem peradilan pidana. 61 Refleksi dari eksistensi due process of law dalam Criminal justice system dapat terlihat dalam beberapa asas-asas yang dikandungnya, yakni: 1. Asas praduga tak bersalah (Presumtion of Innocence), Asas tersebut menyatakan bahwa setiap orang yang disangka, ditangkap, ditahan dan dituntut dan atau dihadapkan di muka persidangan wajib dinyatakan tidak bersalah sampai ada putusan yang berkekuatan hukum tetap (Inkracht van gewijsde); sehingga dari profesionalitas dalam mengungkap suatu permasalahan tidak berorientasi subjektif. 62 2. Double Jeopardy / Nebis in Idem yakni tidak ada seorangpun yang dapat dihukum dengan kesalahan yang sama. 63 61 Salah satu bentuk nyata dari penerapan Due process of law adalah Pasal 56 KUHAP yang mengatur tentang hak mendapat penasihat hukum (the right to have assistance of council) dimana merupakan hak yang terlahir atas konsepsi Miranda right dan juga dalam bentuk larangan penegak hukum melakukan pemaksaan demi mendapatkan pengakuan (brutality to coerce confession) ataupun melakukan intimidasi kejiwaan (phsycological intimidation). Criminal d efendants’ rights to avoid self-incrimination and be represented by counsel are co re foundations of the U.S. legal system. These rights, provided under the Constitution’s Fifth and Sixth Amendments, are often referred to as Miranda rights. Lihat Alan Goldstein and Naomi E. Sevin Goldstein, 2010, Evaluating Capacity to Waive Miranda Rights, New York: Oxford University Press, Inc, hlm. 3. 62 International Convenant on Civil and Political Rights 1966, Pasal 14 Paragraf 2 “Everyone charged with a criminal offence shall have the righ t to be p resu med innocent until proved guilty according to la w”. 63 Peribahasa ne bis in idem berasal dari prinsip hukum romawi “nemo debet bis vexa ri pro una et eadam causa”. Asal mula dari ne bis in idem dapat kita temui di sumber Yunani, Romawi, dan alkitab. Klausul double jeopardy (the double jeopardy clause) dari amandemen ke-5 konstitusi 20 3. Asas Perlindungan Hak Asasi Manusia, yakni dalam pemeriksaan, baik tahap penyeldikan, penyidikan, maupun penuntutan di pengadilan. Tersangka atau terdakwa, bahkan saksi harus mendapat perlakuan sesuai dengan harkat martabat manusia, tidak dianggap sebagai barang atau objek yang diperiksa wujudnya (Inquisitor). 64 Titik konvergensi dari pengejawantahan asas-asas tersebut adalah adanya gambaran yang harmonis, linear dan tidak bisa dipisahkan dengan sistem peradilan pidana. Karena sejatinya, asas-asas tersebut mencerminkan perlindungan bagi hakhak pada diri seseorang yang harus dijaga dalam pelaksanaan sistem peradilan pidana. 65 Di sisi lain, sistem peradilan pidana (criminal justice system) memiliki tujuan utama yakni sebagai penopang dari hukum pidana. Di mana hukum pidana membutuhkan hukum acara untuk menjalankan proses pemidanaan guna mencari dan menemukan kebenaran materiil. 66 Sejalan dengan hal tersebut, pendekatan sistem peradilan pidana dalam perkembangannya telah bertransformasi dari asalnya retributive justice yang orientasinya hanya pada pembalasan menjadi restorative justice yang tujuannya untuk Amerika Serikat merupakan dokumen konstitusi pertama yang mencakup asas tersebut dan diilhami oleh operasi dalam hukum Inggris. Lihat juga the dissenting judgment of J. Powell in Crist v. Bretz, 1978, 437 United States Reports 28, hlm. 34–42; W. Blackstone, 1844, Commen taries (21st ed . oleh W. N. Welsby), hlm. 111; and generally J. Sigler, 1967. A History of Double Jeopardy, 7 American Journal of Legal History, hlm. 283. 64 Prinsip perlindungan hak as asi manusia (equal protection of human right) bagi saksi, korban dan pelaku dalam proses penyelidikan, penyidikan dan penuntutan terakomodir dalam asas requisitoir. Lihat Undang-undang Nomor 8 tahun 1981 tentang hukum acara pidana, Undang-undang Nomor 5 tahun 1998 tentang ratifikasi konvensi anti penyiksaan dan perlakuan lain yang kejam ,tidak manusiawi dan atau merendahkan martabat manusia, Undang-undang no 39 tahun 1999 tentang Hak asasi manusia, Undangundang no 48 tahun 2009 tentang kekuasaan kehakiman dan undang-undang no 15 tahun 2003 tentang terorisme. 65 Bagir Manan, Aktualisasi Hak Asasi Mausia, Diskusi Panel, Menyongsong Abad Ke-21 Sebagai Abad Hak Asasi Manusia, PAHAM, 1998. 66 Pendapat Van Bemmelen yang dikutip dalam buku Rd. Achmat S. Soema Dipradja, 1977, Pokok-pokok Hukum Acara Pidana, Bandung: Alumni Bandung, hlm. 16. 21 mengembalikan hak-hak dan kerugian korban, pelaku dan masyarakat yang rusak oleh kejahatan. 67 Pendekatan restorative justice tersebut dimanifestasikan dengan pranatapranata dalam hukum acara pidana yang menunjang kepada pemulihan kembali hakhak dan kerugian korban, pelaku, dan masyarakat yang rusak oleh kejahatan, sehingga berbagai macam tindak pidana dapat secara langsung dipulihkan. Hal tersebut dilihat dari pada adanya konsep perlindungan terhadap saksi dan korban. Karena korban, pelaku, perlu diberikan rehabilitasi dan dijamin hak-haknya, yang semua itu menjadi bagian dan wewenang dari lembaga baru yakni perlindungan saksi dan korban disamping dari komponen Kepolisian, Kejaksaan, Pengadilan dan Lembaga Pemasyarakatan. LPSK yang merupakan anak kandung dari rahim restorative justice telah secara konkrit memberikan dampak yang signifikan terhadap pemulihan-pemulihan berbagai peristiwa yang lahir dari tindak pidana. Seperti pemulihan hak korban, serta pengembalian aset-aset negara melalui justice collaborator. 68 Lembaga perlindungan saksi dan korban dalam sudut pandang yang global, diejawantahkan dengan nomenclatuur yang berbeda-beda, seperti halnya di Albania dikenal dengan Departement for Witness protection and justice collaborators, 69 di Italia dikenal dengan Central Protection Service, 70 sedangkan di Belanda dikenal 67 United Nations Office on Drugs and Crime (UNODC), Handbook on Restorative Justice Programmes, hlm. 9 68 Schneider berpendapat ada 5 prosedur dalam res titusi (pengembalian kerugian) pertama basic restitution, kedua expanded basic restitution, ketiga victims assistance, keempat victim assistance –offender accountability kelima community accountabilitydetterence lihat dalam Andrew karmen, 1984, crime victim an introduction to victimology, California: Books cole published company monterey, hlm. 82. 69 Lihat Undang-undang tentang perlindungan saksi dan justice collaborator Albania (Republic of Albania The Assembly Law no. 9205, dated 15/03/2004 on the justice collaborato r and witness protection) Bab tentang Badan yang bertanggung jawab untuk perlindungan saksi dan justice collaborator Pasal 3. 70 Fausto Zucarelli, Op.Cit, hlm. 4. 22 dengan Dienst getuigenbescherming van het korps landelijke politiediensten (Dinas Perlindungan saksi Kepolisian Nasional). 71 Variasi nomenclatuur lembaga perlindungan saksi dan korban di berbagai negara, sejalan dengan variasi konsep perlindungan yang dianutnya, baik dari sisi syarat untuk mendapatkan perlindungan dan juga jenis perlindungannya. Salah satu negara yang dinilai mengimplimentasikan konsep perlindungan saksi dan korbannya secara baik adalah Albania. Perlindungan saksi dan korban di Negara Albania memiliki konsep perlindungan yang jelas bagi justice collaborator, kejelasan perlindungan tersebut diatur dalam Undang-Undang Perlindungan Saksi dan Justice Collaborator Republik Albania/Republic of Albania The Assembly Law no. 9205, dated 15/03/2004 on the justice collaborator and witness protection. Dalam undang-undang tersebut, diatur mengenai tindakan, tata cara, dan prosedur perlindungan justice collaborator yang di tanggung jawabkan oleh (Departement for Witness protection and justice collaborators), dan Komisi Evaluasi Tindakan Khusus Perlindungan Saksi dan Justice Collaborator (Commission for Evaluation of Special Measures of Witness Protection and Justice Collaborators). 72 Sejalan dengan Negara Albania, Italia juga memiliki konsep yang jelas mengenai perlindungan saksi, mekanisme penetapan perlindungan justice collaborator diatur oleh tiga komisi, yakni Under-Secretary of state at the Ministry of interior (Menteri sekertaris negara di kementerian dalam negeri), Two Judges/Prosecutors (Dua Hakim atau Jaksa), dan Five Experts in the field of organized crime (Lima Ahli bidang kejahatan terorganisir). 73 Hal tersebut 71 Kitab Undang-undang Hukum Acara Pidana Belanda “Weetboek van Strafvo rdering” Bagian 4D tentang Tindakan untuk melindungi saksi, Pasal 226l Ayat 1. 72 Lihat Undang-undang tentang perlindungan saksi dan justice collaborator Albania (Republic of Albania The Assembly Law no. 9205, dated 15/03/2004 on the justice collaborato r and witness protection). 73 Fausto Zucarelli, Op.Cit, hlm. 4. 23 mengindikasikan bahwa terjadinya keharmonisan antara tiga komisi yang bertanggung jawab dalam perlindungan bagi saksi dan justice collaborator. Dilihat dari kejelasan-kejelasan mengenai regulasi justice collaborator tersebut, diatur juga konsep perlindungan mengenai kejelasan pemberian reward bagi justice collaborator. Negara yang sudah jelas menerapkan konsep pemberian reward adalah Negara Belanda. Program pemberian reward bagi justice collaborator diatur dalam Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana Belanda (Weetboek van strafvordering) Judul III, bagian 4B-4D (Pasal 226g-226l PKC), ketentuan tentang reward dikenal dengan Perjanjian Saksi (Witness Agreement) antara Jaksa Penuntut Umum dengan saksi, tujuannya adalah untuk mengumpulkan kesaksian-kesaksian yang akan dibeberkan oleh pemberi saksi mengenai kejahatan yang terorganisir dan jika kejahatan itu bisa terungkap, maka justice collaborator berhak mendapatkan reward yang dijanjikan oleh Jaksa Penuntut Umum. 74 Kejelasan regulasi pemberian reward bagi justice collaborator di Belanda tersebut berimplikasi terhadap pengembalian aset negara, dan tujuan sistem peradilan pidana semakin terjaga, serta mengalihkan fungsi penjara itu sendiri karena narapidana tidak lagi difokuskan untuk dipenjara melainkan diberikan hukuman alternative berupa sanksi sosial. 75 Oleh karena itu, penulis mencoba membuat sebuah reformulasi baru dalam rangka melindungi kepastian hukum seorang justice collaborator, yang mana dapat 74 Sebelum terjadinya Witness Agreemen ts (perjanjian saksi) Jaksa penuntut umum menginformasikan kepada hakim mengenai saksi yang beresedia bekerja sama dengan penegak hukum, Perjanjian tersebut berkaitan dengan peyampaian pernyataan saksi dalam rangka pengungkapan kejahatan terorganisir. Perjanjian bersifat tertulis antara jaksa penuntut umum dan saksi. Setelah perjanjian dibuat hakim memeriksa legalitas kesepakatan hasil perjanjian, lalu Jaksa penuntut umum memberikan keterangan kepada hakim pemeriksa dengan informasi yang dia butuhkan untuk penilaiannya. Hakim memperhitungkan kebutuhahan mendesak dan pentingnya mendapatkan pernyataan yang akan dibuat oleh saksi, setelah itu hakim memberikan pemberitahuan secara tertulis kepada jaksa penuntut umum mengenai hasil pemeriksaannya. Setelah pengangakatan tersebut dinilai secara sah, maka saksi berkewajiban memberikan kesaksiannya dalam proses persidangan. Setelah saksi memberikan keterangan secara kooperatif, maka dia berhak mendapat reward berupa pengurangan hukuman. Lihat Kitab Undang-undang Hukum Acara Pidana Belanda “Weetboek van Strafvordering” Bagian 4B tentang Komitmen terhadap saksi yang juga tersangka, Pasal 226g-226l. 75 http://internasional.kompas.com/read/2017/06/01/09330651/kekurangan.penjahat.24.p3 njara.di.belanda.tutup.sejak.2013 “Kekurangan Penjahat, 24 Penjara di Belanda tutup sejak 2013” 24 dicapai dengan melibatkan Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban (LPSK) dalam menetapkan seseorang menjadi justice collaborator dan mebuat sebuah perjanjian tertulis terkait pemberian reward kepada seorang justice collaborator. 4.3 Reformulasi kewenangan LPSK dalam sistem peradilan pidana te rpadu Pergeseran paradigma hukum pidana yang semula didasari pada konsep retributive justice menuju restorative justice telah memberikan pandangan baru terhadap formulasi formil hukum pidana yaitu berupa ketentuan acara hukum pidana yang bertujuan untuk merestorasi keadaan seperti halnya sebelum terjadi tindak pidana. 76 Manifestasi dari upaya tersebut kiranya tertera dalam konsep perlindungan terhadap saksi dan korban yang secara kooperatif memiliki sumbangsih dalam mengembalikan keadaan layaknya sebelum terjadinya suatu tindak pidana. 77 Termasuk dalam hal ini ialah justice collaborator (saksi pelaku) yang secara aktif bekerjasama dengan penegak hukum untuk membongkar sebuah tindak pidana yang terorganisir, sistematis dan mengakar serta memiliki modus operandi yang selalu berkembang. 78 Sehingga dewasa ini secara politik hukum pidana, formulasi terkait dengan konsep perlindungan saksi dan korban merupakan hal yang terbuka secara subtansial untuk dirumuskan dalam Rancangan Hukum Acara Pidana sebagaimana tertuang dalam draf RKUHAP Pasal 12 dan 40 yang berbunyi: 79 76 Sandra L.Bloom, 1999, “Resto rative vs Retributive Justice”, The Psychotherapy Review, Volume 1 Nomor 6, hlm. 259. 77 Sibusiso Ntuli & David Bruce, Witnesses in the Criminal Justice System: A repo rt on fo cus groups with detectives and prosecuto rs at Moroka Police Station and Protea Magistrates Court in Soweto “Good quality witness evidence is one of the key 'resources' which may be used to come to an understanding about the truth regarding the facts of individual cases, and to secure convictions against perpetrators. But ther e are several obstacles to ensuring the effective par ticipation of people, including victims and other persons, as witnesses in the criminal justice system.” . 78 Muhammad F.A., dkk, 2013, “The Refo rm Of Corrution In Indonesian: The Prismatic Law In The Recent Context”, Jurnal Mimbar Hukum, Volume 25 Nomor 1, hlm. 189. 79 LIhat Pasal 12 dan Pasal 40 Rancangan Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana. 25 Pasal 12 RKUHAP: (1) Setiap orang yang mengalami, melihat, menyaksikan atau menjadi korban peristiwa yang merupakan tindak pidana berhak mengajukan laporan atau pengaduan kepada penyidik baik secara lisan maupun secara tulisan. (2) Setiap orang yang mengetahui permufakatan jahat untuk melakukan tindak pidana terhadap ketentraman terhadap keamanan umum, jiwa, atau hak milik, wajib seketika itu melaporkan hal tersebut kepada penyidik. (3) Setiap pegawai negri dalam rangka melaksanakan tugasnya, yang mengetahui tentang terjadinya peristiwa tindak pidana, wajib melaporkan peristiwa tersebut kepada penyidik dalam waktu paling lama 2 (dua) hari terhitung sejak mengetahui terjadinya peristiwa tersebut. Pasal 40 RKUHAP: (1) Setiap pelapor atau pengadu sebagaimana dimaksud dalam pasal 12 ayat (1), setiap orang atau korban sebagaimana dimaksud dalam pasal 12 ayat (2), dan setiap pegawai negri sebagaimana dimaksud dalam pasal 12 ayat (3) berhak memperoleh perlindungan hukum, perlindungan fisik dan perlindungan nonfisik. (2) Perlindungan hukum sebagaimana dimaksud dalam pasal (1) berlaku juga dalam proses penuntutan dan proses pemeriksaan disidang pengadilan. (3) Jika diperlukan, perlindungan hukum dapat dilakukan secara khusus dan tanpa batas waktu. (4) Tata cara pemberian perlindungan hukum dilaksanakan berdasa rkan ketentuan Undang-undang yang berlaku. Ketentuan tersebut sejatinya diilhami dari norma- norma perlindungan saksi dan korban dalam Undang-Undang No. 31 Tahun 2014 tentang Perubahan UndangUndang No.13 Tahun 2006 tentang Perlindungan Saksi dan Korban. Dimana secara substansi menjelaskan terkait hak-hak atas perlindungan saksi dan korban serta lembaga yang berwenang dalam melindungi saksi dan korban yang patut menegakan 26 nilai dasar kepastian hukum dalam hal menjamin hak setiap seorang saksi dan korban. 80 Oleh karenanya sebagai buah fikir dari tulisan ini, penulis mencoba memberikan formulasi terhadap LPSK dalam konsepsi perlindungan saksi dan korban sebagai sumbangsih terhadap Rancangan KUHAP, yang meliputi aspek kepastian hukum dan konsep reward. 4.3.1 Kepastian Hukum bagi Seorang Justice Collaborator Kepastian hukum justice collaborator disandingkan dengan perbedaan frame para penegak hukum, seperti KPK,BNN,BNPT dan Jaksa Penuntut Umum dalam menetapkan seorang menjadi justice collaborator. Implikasi dari hal tersebut tercermin dalam kasus Abdul Khoir, di mana ia merupakan seorang justice collaborator yang diajukan KPK dalam kasus suap proyek jalan Kementerian PUPR, 81 akan tetapi berdasarkan putusan pengadilan Tipikor Nomor:32/Pid.Sus/TPK/2016/PN.Jkt Pst, Abdul Khoir ditetapkan sebagai pelaku utama (manus domina). Dampak dari kasus tersebut, kesempatan untuk terlibat menjadi justice collaborator menjadi sukar dalam bekerjasama secara kooperatif, karena regulasi yang tidak jelas yang menyebabkan kepastian hukum bagi justice collaborator hanya bersifat nisbi, padahal jika dicermati justice collaborator merupakan aktor aktif dalam upaya mengembalikan kerugian-kerugian negara sehingga merupakan elemen yang tidak dapat terpisahkan dalam merestorasi keadaan pasca peristiwa pidana. 82 Dalam konsep tersebut, justice collaborator selazimnya dipandang menjadi partner penegak hukum dalam hal penyelidikan, penyidikan, penuntutan, sehingga 80 Lihat Pasal 5, 6, 7, 10, 10A Undang-Undang No. 31 Tahun 2014 tentang Perubahan Undang-Undang No. 13 Tahun 2006 Tentang Perlindungan Saksi dan Korban . 81 Lihat putusan pengadilan Tipikor Nomor 32/Pid.Sus/TPK/2016/PN.Jkt Pst. 82 Romli Atmasasmita berpendapat bahwa Mengembalikan uang negara adalah fungsi utama sesuai dengan Pasal 2 dan 3 Undang-Undang KPK dan dua pasal tersebut menjadi tradema rk, karena korupsi menghabiskan APBN. Tercatat tahun 2009-2014 KPK menghasilkan 728 M, kejaksaan 6T, Polri 2T, Sedangkan anggaran untuk ketiga institusi penegak hukum yakni 50T. dalam acara ILC “KPK Dibidik” 2 Mei 2017. https://www.youtube.com/watch?v=jxF56jWjGpU diakses pada tanggal 12 Februari 2018 pukul 01.06 WIB. 27 hubungan yang terjalin ialah bersifat simbiosis mutualisme yang disandarkan pada timbal balik baik berupa keringanan hukuman, reward serta perlindungan yang dibalut dengan kepastian hukum dalam proses persidangan. 83 Muara dari perbedaan frame di atas, didasari pada regulasi penetapan justice collaborator yang ketentuannya hanya pada peraturan internal yang hirarkisnya di bawah undang- undang, hal tersebut dirasa kontra produktif terhadap asas legalitas, di mana sejatinya dalam asas legalitas, terutama dalam hal hukum pidana yang secara langsung bersentuhan dengan hak-hak individu, selazimnya diregulasikan dalam produk undang- undang, bukan peraturan dibawahnya. 84 Sebagaimana Putusan Mahkaman Konstitusi No. 5/PUU/VIII/2010, bahwa regulasi serta perlindungan yang secara praktis bersentuhan terhadap hak asasi manusia haruslah diatur dengan undang-undang bukan diatur oleh peraturan di bawahnya, karena hal tersebut merupakan pembatasan terhadap hak asasi manusia, pembatasan hak asasi manusia dengan undang-undang telah sesuai dengan ketentuan pasal 28J ayat (2) UUD 1945. 85 Sejalan dengan hal tersebut, Chairul Huda berpendapat bahwa peraturan yang sifatnya hukum acara pidana yang bersentuhan langsung dengan hak-hak individu tidak dapat didelegasikan kepada peraturan perundang-undangan di bawah undangundang, dikarenakan dalam hukum acara pidana terdapat proses pengurangan hak individu dalam prosedur perlindungan individu, yang semuanya dijalankan oleh aparatur peradilan pidana sehingga persyaratan pengaturannya jauh lebih ketat dari pada pembentukan delik. 86 Di samping itu, regulasi penetapan justice collaborator yang berada dalam peraturan perundang-undangan dibawah undang- undang berimplikasi pula pada timbulnya potensi abuse of power yang dimiliki oleh salah satu penegak hukum, 83 Meigi B. Barapa, 2013, “Perlindungan Hukum Terhadap Saksi dan pelapor Tindak Pidana Gratifikasi”, Jurnal Lex Et Societatis, Vol ume 1 Nomor 2, hlm. 50. 84 Lihat Pendapat ahli Charul Huda pada permohonan pengujian Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana terhadap Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 dengan Nomor 21/PUU-XII/2014. Hlm. 24. 85 Lihat putusan Mahkamah Konstitusi No. 5/PUU-VIII/2010 di bagian Menimbang untuk mendukung dalil-dalil permohonan a quo. Hal 55-57. 86 Lihat Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 21/PUU-XII/2014, hlm. 24. 28 dalam hal ini yaitu Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) sebagai lembaga superbody yang memiliki triger mecanisme, baik dalam hal penyelidikan, penyidikan dan penuntutan yang hanya dilakukan oleh satu lembaga. Berdasarkan gambaran tersebut, penulis mencoba menyandingkan adagium yang diungkapkan oleh Lord Acton, yaitu “Power tends to corrupt, and absolute power corrupt absolutely” yang artinya kekuasaan absolut dapat dijadikan sarana untuk bertindak sewenang-wenang. 87 Adagium tersebut kiranya relevan manakala disandingkan dengan KPK sebagai lembaga superbody yang tidak berelaborasi dengan penegak hukum lainnya dalam penetapan justice collaborator. Problematika yang telah dipaparkan diatas mendorong penulis untuk memformulasikan konstruksi baru mengenai lembaga eksaminasi justice collaborator kedepannya. 1 Pelaku Tindak Pidana 2 LPS K RI (Lembaga Perlindungan S aksi dan Korban) Penegak Hukum (KPK,BNN,BNPT,Jaksa) Forum (Penegak Hukum & LPSK RI) 3 Persetujuan Justice Collaborator Bagan 1.1 87 David R. Sorensen, 2013, “Power Tends to Corrupt”: Thomas Carlyle, Lord Acton, and The Legacy of Frederick The Great, Volume 29, hlm. 83. 29 Prosedur penetapan justice collaborator secara umum dimulai dari pengajuan permohonan oleh pelaku tindak pidana kepada penegak hukum. Selanjutnya, penegak hukum mengadakan sebuah forum yang melibatkan LPSK RI, dalam rangka pembahasan terkait pemberian atau penolakan status justice collaborator. Setelah itu, keputusan konkrit yang dihasilkan forum terkait penetapan justice collaborator patut disampaikan secara tertulis kepada pemohon. Formulasi yang penulis gagas didasari oleh prinsip Integrated Criminal Justice System, yang mana di dalamnya menghendaki terintegrasinya komponenkomponen dalam peradilan pidana untuk bekerjasama secara koordinatif. Doktrin Integrated Criminal Justice System merupakan sebuah konsep yang didukung oleh Integrated Approach sebagaimana pandangan Hiroshi Ishikawa, yang mengungkapkan bahwa, walaupun fungsi komponen-komponen dalam Integrated Criminal Justice System berbeda, akan tetapi harus mempunyai tujuan dan persepsi yang sama sehingga merupakan suatu yang utuh dan saling mengikat. 88 Selain itu, koordinasi juga bertujuan untuk memperjelas mekanisme antara sub-sistem penegak hukum, supaya tidak ada disharmonisasi dalam menjalankan tugas dan wewenang dalam penyelenggaraan peradilan pidana. Dalam hal ini, guna penyelenggaraan peradilan pidana yang bersinergi dan terintegritas, LPSK hadir untuk turut serta mengeksaminasi status justice collaborator dengan tujuan untuk menciptakan persamaan frame sehingga dapat terjalin koordinasi yang baik diantara para penegak hukum dalam membe rdayakan justice collaborator, serta mencegah potensi abuse of power yang dilakukan oleh salah satu penegak hukum dalam hal ini ialah KPK, di samping eksistensi justice collaborator yang merupakan elemen penting dalam rangka merealisasikan prinsip restorative justice89 . Sehingga, tahap persetujuan seseorang menjadi justice collaborator sudah 88 Faal, M, 1991, Penyaringan Perkara Pidana Oleh Polisi (Diskresi Kepolisian) , Jakarta: Pradnya Paramita, hlm. 26. 89 Ruth W. Grant, Roberth O. Keohane, “Accountability and Abuses of Power in World Politics”, Journal American Political Science Review, Volume 99 Nomor 1 Tahun 2005, hlm. 30. 30 selayaknya dilaksanakan melalui sebuah mekanisme forum yang menghasilkan kepastian hukum bagi setiap hak-hak yang dimiliki individu dalam keputusannya. 4.3.2 Reward bagi Justice Collaborator Dalam sistem peradilan pidana, justice collaborator mempunyai peran penting dalam mengungkap suatu tindak pidana, terutama tindak pidana extraordinary crime. 90 Peran penting tersebut termanifestasikan dalam kesaksian seorang justice collaborator yang terbukti menjadi kunci terungkapnya berbagai sindikat kejahatan dan merestorasi keadaan seperti sebelum terjadinya tindak pidana. Hal tersebut tercermin pada kasus Abdul Khoir, yang ditetapkan sebagai justice collaborator dalam kasus proyek kementerian PUPR oleh KPK. Di mana ia telah menyebutkan 3 orang pelaku yang bekerjasama tindak pidana korupsi, yaitu Musa Zainudin dari fraksi PKB Komisi V DPR, Andi Taufan Hiro dari anggota komisi V fraksi PAN, Amran HI Mustariy dari Kepala Balai Pelaksana Jalan Nasional (BPJN 9 Kementrian PUPR). Akan tetapi, statusnya sebagai justice collaboratror kandas manakala dia membuka keran kejahatan dan diputus hakim sebagai pelaku utama. 91 Kasus tersebut mencerminkan terbukanya kunci dari kejahatan para pelaku namun kolega penegak hukum tidak mencerminkan adanya simbiosis mutualisme dalam pemberian reward. Titik balik dari kasus tersebut bahwa tidak adanya supervisi dan koordinasi dalam melahirkan reward, Abdul Khoir hanya seperti dirampas informasi yang dimilikinya dan penegak hukum sama sekali tidak mengembalikan hak- hak yang dimilikinya, karena controlling dan pengawasan tidak sampai pada tahap yang pasti. 90 Council of Europe, 2005, Recommendation of the committee of Ministers to member states on the protection of witness and collaborato r of justice, French: Council of Europe Publishing, poin 22. 91 Berdasarkan putusan pengadilan tindak pidana korupsi Nomor : 32/Pid.Sus/TPK/2016/PN.Jkt Pst., Abdul Khoir ditetapkan sebagai pelaku utama oleh hakim walaupun sudah bersifat kooperatif dengan para penegak hukum untuk mengungkap koruptor lainnya. 31 Problematika yang telah dipaparkan diatas mendorong penulis untuk memformulasikan konstruksi baru mengenai reward bagi justice collaborator kedepannya. Justice Collaborator LPSK RI Penegak Hukum (KPK,BNN,BN PT,Jaksa) Reward Bagan 1.2 Prosedur pemberian reward kepada seorang justice collaborator dimulai dengan perundingan yang melibatkan tiga komponen yakni justice collaborator, LPSK RI dan Penengak Hukum (KPK, BNN, BNPT, Jaksa) yang kemudian menetapkan secara bersama-sama terkait reward yang akan diberikan kepada seorang justice collaborator dan menuangkannya ke dalam sebuah perjanjian tertulis. Prosedur tersebut dilaksanakan secara supervisi dan koordinasi, melalui sebuah forum antara penegak hukum, LPSK RI dan seorang justice collaborator terkait membicarakan reward yang layak diberikan baik dalam bentuk keringanan penjatuhan pidana atau pembebasan bersyarat, sehingga pemberian reward menciptakan nilai- nilai kepastian dalam manifestasi perjanjian. Formulasi yang penulis gagas agar menciptakan sebuah kondisi yang konsisten antara penegak hukum dan seorang justice collaborator, maka equivalent theory atau Teori sama nilai memberikan kontrak baru yang mengikat jika para pihaknya telah memberikan prestasi yang seimbang atau sama nilai. Kontrak baru ini sesuai dengan kondisi yang sekarang, di mana kontrak tersebut harus menciptakan kepastian hukum, 32 sehingga hak-hak karenanya dilindungi secara hukum yang sesuai dengan asas Pacta Sunt Servanda.92 92 Mochtar Kusumaatmadja, 2003, Pengantar Hukum Internasional, Bandung: Alumni Bandung, hlm. 13-15 menterjemahkan general principle of law dengan asas hukum umum, Vadross, beliau mengatakan bahwa asas pascta sunt servanda merupakan suatu asas hukum umun (general principle of la w). 33 BAB V PENUTUP 5.1 Kesimpulan 1. Perlindungan berupa kepastian hukum bagi seorang justice collaborator dinilai masih sangat minim bahkan cenderung terdistorsi. Hal ini disebabkan ketidak jelasan regulasi mekanisme penetapan justice collaborator yang terletak di dalam peraturan perundang-undangan di bawah undang-undang, seperti peraturan LPSK dan Peraturan bersama Mentri Hukum dan HAM RI, Jaksa Agung Republik Indonesia, Kapolri RI, KPK RI, Ketua LPSK RI. 2. Peran LPSK belum sesuai dengan prinsip Integrated Criminal Justice System, karena masih tersegmentasinya penetapan justice collaborator ke dalam beberapa lembaga, seperti KPK, BNN, BNPT dan Kejaksaan. Hal ini berimplikasi pada disharmonisasi pandangan para lembaga penegak hukum berkenaan dengan mekanisme penetapan justice collaborator. 3. LPSK perlu diberi kewenangan untuk menjadi lembaga eksaminasi justice collaborator, karena perlindungan kepastian hukum seorang Justice collaborator merupkan hal yang penting dan hamya bisa dilakukan apabila terdapat kejelasan terkait lembaga yang menenetukan seseorang menjadi justice collaborator. 4. Adapun konsep formulasi regulasi penetapan justice collaborator yang penulis gagas ialah diawali oleh pengajuan permohonan oleh pelaku tindak pidana kepada penegak hukum. Selanjutnya, penegak hukum mengadakan sebuah forum yang melibatkan LPSK RI didalamnya,dalam rangka pembahasan terkait pemberian atau penolakan status justice collaborator. Setelah itu, keputusan konkrit yang dihasilkan forum terkait penetapan justice collaborator patut disampaikan secara tertulis kepada pemohon. Selain itu, dalam menetapkan reward bagi seorang justice collaborator, formulasi yang 34 penulis gagas ialah dimulai dengan perundingan yang melibatkan tiga komponen yakni justice collaborator, LPSK RI dan Penengak Hukum (KPK, BNN, BNPT, Jaksa) yang kemudian menetapkan secara bersamasama terkait reward yang akan diberikan kepada seorang justice collaborator dan menuangkannya ke dalam sebuah perjanjian tertulis. 5.2 SARAN 1. Seyogyanya regulasi terkait penetapan justice collaborator dan pemberian reward diperjelas dalam suatu undang-undang, dalam hal ini Rancangan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (RKUHAP). 2. Seyogyanya Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban (LPSK) perlu dijadikan sebagai lembaga eksaminasi justice collaborator. 3. Penulis menyarankan agar pemerintah memasukan peran dan kewenangan LPSK dalam Rancangan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (RKUHAP). 35 DAFTAR PUSTAKA Buku Atamasasmita, Romli, 1996, Bunga Rampai Hukum Pidana, Bandung: Penerbit Bina Cipta. Atamasasmita, Romli, 2017, Rekonstruksi Asas Tiada Pidana Tanpa Kesalahan, Jakarta: Gramedia Pustaka Utama. Daly, Kathleen, 1999, Revisiting the Relationship between Retributive and Restorative Justice, Canberra: School of Criminology and Criminal Justice Mt Gravatt Campus Griffith University. Dipradja, Rd. Achmat S. Soema, 1977, Pokok-pokok Hukum Acara Pidana, Bandung: Alumni Bandung. Faal M, 1991, Penyaringan Perkara Pidana Oleh Polisi (Diskresi Kepolisian), Pradnya Paramita, Jakarta. Figgis, J.N and Laurence, V.R, 1907, Historical Essays and Studies, Macmillan, London. Goldstein, Alan dan Goldstein Naomi E. Sevin, 2010, Evaluating Capacity to Waive Miranda Rights, New York: Oxford University Press, Inc. Hamzah, Andi, 1985, Pengantar Hukum Acara PIdana Indonesia, Jakarta, Ghalia Indonesia. Karmen, Andrew, 1984, Crime Victim an Introduction to Victimology, California: Books Cole Published Company Monterey. Kusumaatmadja, Mochtar, 2003, Pengantar Hukum Internasional, Bandung: Alumni Bandung. Magnis, Suseno Frans, 1988, Etika Politik: Prinsip-Prinsip Moral Dasar Kenegaraan Modern, Jakarta: Gramedia. Muladi, 1995, Kapita Selekta Sistem Peradilan Pidana, Semarang: Badan Penerbit Universitas Diponegoro. 36 Maclehose James, etc. 1914, Magna Carta A Commentary in The Great Charter of King John.London: Macmillane and Co.,LTD. Nonet, Philiph, Philiph Selznick, dan Howard M Vollmer, 1969, Law Society And Industrial Justice, (Russel Sage Foundation). Reksodiputro, Mardjono, 2000, Jaminan Konstitusi tentang Proses Hukum yang Adil. Jakarta: Sinar Harapan. Semendawai, Abdul Haris, 2011, et al, memahami whistleblower,Jakarta: LPSK. Sidharta, Arief, 2010, Reformasi Peradilan dan Tanggung Jawab Negara, Bunga Rampai Komisi Yudisial, Putusan Hakim: Antara Keadilan, Kepastian Hukum, dan Kemanfaatan, Jakarta: Komisi Yudisial Republik Indonesia. Sofyan, Andi, 2012, Hukum Acara Pidana Suatu Pengantar, Yogyakarta: Rangkang Education. United Nations Office on Drugs and Crime (UNODC), 2006, Handbook on Restorative Justice Programmes, Vienna: United Nations. United Nations On Drugs And Crime (UNODC), 2008, The good practices for the protection of witnesses in criminal procceding involving organize crime, New York: United Nations. Wasserman, Rhonda, 2004, Procedural Due Process a Reference Wide to the United States Constitution, London: GranWodd Publishing. Artikel /Jurnal Abadinsky, Howard, 2007, “Organized Crime, Ninth Edition”, Belmont Wadsworth, Cengage Learning. Ansori, “Law Enforcement Criminal Acts of Corruption in The Perspective of Human Rights”, Rechtsidee, Vol. 2 No. 2, December 2015. Bernard, Thomas J dan Robin Shepard Engel, 2001, “Conceptualizing Criminal Justice Theory, Justice Quaterly”, Volume 8 Nomor 1. Blackstone W., 1844, Commentaries (21st ed. oleh W. N. Welsby). Bloom, Sandra L., 1999, “Restorative vs Retributive Justice, The Psychotherapy Review”, Vol. 1, No 6. 37 Daly Kathleen, 1999, “Revisiting the Relationship between Retributive and Restorative Justice”, Canberra: School of Criminology and Criminal Justice Mt Gravatt Campus Griffith University. F.A, Muhammad, dkk, 2013, “The Reform Of Corrution In Indonesian: The Prismatic Law In The Recent Context”, Jurnal Mimbar Hukum, Vol. 25, no. 1. Grant, W. Ruth, 2005, “Accountability and Abuse of Power in World Politics”, Journal American Political Science Review, Volume 99 No. 1. Hariman, Satria ,2016, “Menakar Perlindungan Justice Colabolator”, Jurnal Konstitusi, Volume 13, Nomor 2. Howe, Lowell J, 1930, “The Meaning of due process of law Prior to adoption of the fourteenth Amendment”, (California Law Review), volume 18, Issue 6 article 1. J. Powell in Crist v. Bretz, 1978, 437 United States Reports 28. Latif, Abdul, 2010, “Jaminan UUD 1945 dalam Proses Hukum yang Adil”, Jurnal Konstitusi Volume 7, No. 1. Mannheim, Herman, 1946, “Criminal Justice and Social Reconstruction”, (New York: Oxford University). Molan, Mike, etc, 2000, “Principle of Criminal Law”, London, Sidney, Cavendish Publishing Limited. Montanino, Fred, 1990, “Protecting Organized Crime Witnesses in the United States”, International Journal Of Comparative And Applied Criminal Justice Spring, Volume 14, No 1. Packer, Herbert L, 1968, “ Two Models of the Criminal Process”,(Stanford University Press). Radbruch, Gustav, 2006, “Five Minute of Legal Philosophy (1945)”, Oxford Journal of Legal Studies, Volume 26, No. 1. Radbruch, Gustav, 2006, “Statutory Lawlessness and Supra-Statutory Law (1946)”, Oxford Journal of Legal Studies, Volume 26, No. 1. Radbruch, Gustav , 2000, “An Extraordinary Legal Philosopher”, Washington University Journal of Law & Policy, Volume 2. 38 Sigler J, 1967, “A History of Double Jeopardy”, 7 American Journal of Legal History. Sorensen, R. David, 2013, “Power Tens to Corrupt”, Thomas Carlyle, Lord Acton, and The Legacy of Fredrick The Great, Volume 29. Makalah Supriyadi W. Eddyono, 2016, “Pengadilan Tipikor Tidak Sepakat dengan Justice Collaborator yang diajukan Jaksa KPK” Monitoring ICJR. Zucarelli ,Fausto, “Handling and Protection Witnesses and Collaborations of Justice, the Italian Experience”. Peraturan perundang-undangan Naskah akademik Undang-Undang No. 11 tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Anak. Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 5/PUU-VIII/2010 tentang Pengujian UndangUndang No. 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik. Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor Nomor 21/PUU-XII/2014 Putusan pengadilan tindak pidana korupsi Nomor : 32/Pid.Sus/TPK/2016/PN.Jkt Pst. Putusan pengadilan tindak pidana 40/PID.SUS/TPK/2016/PN.JKT.PST. korupsi Nomor : Peraturan LPSK No. 6 tahun 2010 tentang Tata cara pemberian perlindungan saksi dan korban. Undang-Undang No. 13 tahun 2006 tentang Perlindungan Saksi dan Korban. Undang- Undang No. 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana. Undang-Undang No. 31 Tahun 2014 tentang perubahan Undang-Undang No. 13 Tahun 2006 tentang Perlindungan Saksi dan Korban. Weetboek van Strafvordering Web/Internet http://huda-drchairulhudashmh.blogspot.co.id/2015/09/pemahaman-tentang-alatbukti-sebagai.html 39 http://internasional.kompas.com/read/2017/06/01/09330651/kekurangan.penjahat.24. p3njara.di.belanda.tutup.sejak.2013 https://www.youtube.com/watch?v=jxF56jWjGpU http://v1.ombudsman.go.id/index.php/berita/kliping-berita/3425-ombudsmantemukan-praktik-jual-beli-status-justice-collaborator.html http://nasional.kompas.com/read/2018/02/05/09230101/nazaruddin- usulan-bebasbersyarat-dan-berbagai-kasus-korupsi https://www.ccr.ro/ccrold/publications/buletin/8/predescuen.pdf http://nasional.kompas.com/read/2016/09/27/09344101/vonis.ringan.damayanti.dan.p engungkapan.kasus.suap.komisi.v.dpr https://www.youtube.com/watch?v=74wB3TfSLsY https://www.jpnn.com/news/profesor-romli- ungkap-kejanggalan-kasus- hukumnazaruddin?page=1 Lainnya : Garner A. Bryan, 2009, Black’s Law Dictionary, USA: West Group. Manan, Bagir, Aktualisasi Hak Asasi Manusia, Diskusi Panel, Menyongsong Abad Ke-21 Sebagai Abad Hak Asasi Manusia, PAHAM, 1998. 40 41 42 43