PASAL KARET MEMBUNGKAM DAN MEMBISUKAN KORBAN Disusun oleh : Al Amin Ashar Apa sih pasal karet itu? masyarakat Indonesia sering menyebut pasal karet karena pada pasal – pasal tertentu memiliki aturan – aturan yang memberatkan masyarakat. Bagi masyarakat Indonesia pasal karet adalah aturan yang di mana ketika diterapkan tidak mampu memberikan aturan yang jelas sehingga dapat merugikan masyarakat. Pasal – pasal yang sering disoroti sebagai pasal yang bermasalah salah satunya adalah pasal 27 undang – undang ITE, yang di mana pada pasal ini memiliki penafsiran ganda sehingga kepastian hukum tidak didapatkan dengan jelas. Padahal di Indonesia sendiri memiliki undang – undang khusus yang digunakan sebagai bukti bahwa masyarakat Indonesia memiliki kebebasan berpendapat dan berpartisipasi. Akan tetapi, dengan adanya undang – undang ITE membuat masyarakat terlihat seperti kehilangan hak kebebasan itu. Apabila kita melihat lebih dalam, sebuah undang – undang yang memiliki penafsiran ganda apabila dijalankan tentu akan memberikan sebuah ancaman kepada masyarakatnya sendiri. Masyarakat yang memiliki kebebasan untuk ikut serta menyuarakan pendapatnya menjadi seakan – akan kehilangan haknya karena suara mereka dibatasi oleh aturan – aturan tersebut. Bahaya yang ditimbulkan dari adanya sebuah undang – undang karet salah satunya adalah bahwa ketidakadilan hukum. Adanya sebuah penafsiran ganda dapat menjadikan pihak yang salah dibenarkan dan yang benar disalahkan. Kasus pelanggaran – pelanggaran di Indonesia banyak sekali tetapi hukum yang ditetapkan belum begitu baik. Masih banyak yang harus diperbaiki, sebagai negara hukum menjadi keharusan untuk pemerintah membuat aturan – aturan yang tegas dan tidak rancu. Seperti aturan yang tertuang pada pasal – pasal karet itu, apakah aturan – aturan itu tegas? Ya aturan pada pasal – pasal karet menurut saya tegas, akan tetapi kurang baik apabila diterapkan. Aturan – aturan pada pasal karet membuat masyarakat lemah semakin sengsara, mereka seperti dibisukan dan harus selalu searah dengan arus pemerintah. Bahkan pasal ini bisa dijadikan oleh penguasa untuk menindas masyarakat lemah. Masyarakat kecil dianggap seperti tidak ada, dan mereka yang duduk diatas semakin menguasai segalanya. Kembali lagi ketopik, pasal karet membungkam masyarakat yang seharunya menjadi korban? Apa anda percaya? Realita hukum di Indonesia banyak sekali masyarakat yang tak bersalah justru dijerumuskan kepenjara, bahkan masyarakat yang memberangus dan mengeploitasi tanah airnya dianggap sebagi pahlawan negara. Pasal karet tentang undang – undang ITE ini sudah menjadi sebuah permasalahan yang tidak kecil lagi. Pasal ini sudah memakan banyak korban, bahkan banyak bukti yang membuktikan bahwa mereka yang sebenarnya adalah korban justru dianggap sebagai akar dari permasalahan. Tindak pencemaran nama baik misalnya, peraturan tentang pencemaran nama baik tidak begitu baik. Undang – undang yang mengatur tentang tindak pencemaran nama baik kurang tepat. Undang – undang ini memperbolehkan semua masyarakat entah dari kalangan manapun untu menggunakan pasal tersebut. Akan tetapi, coba kita lihat lebih dalam adakah masyarakat kecil menggunakan pasal ini untuk melaporkan orang – orang besar disana? Jawaban saya, ya tentu ada. Akan tetapi, pada proses hukum dipengadilan banyak sekali orang – orang kecil yang sebenarnya adalah korban kalah dipengadilan dan akhirnya mereka dilaporkan balik. Suara – suara masyarakat dibatasi, pembungkaman kepada mereka yang menjadi korban ditindak lanjuti, dan permasalahan pada undang – undang karet semakin menjadi – jadi. Pembungkaman suara rakyat terjadi di mana – mana. Aspirasi masyarakat dianggap tidak ada. Ya, baru – baru ini kasus itu terjadi. Demonstrasi tentang omnibus law, di mana suara rakyat tidak didengarkan lagi. Hak masyarakat bersuara tidak digubris lagi dan mahasiswa – mahasiswa yang berusaha memberikan aspirasi justru ditolak tanpa henti. Suara suara mahasiswa dianggap sebagai kekerasan. Pertanyaannya kenapa pemerintah membiarkan hal seperti ini terus dan terus terjadi? Apa iya, ada kelompok tertentu dibalik terjadinya semua ini? apa iya, pasal – pasal karet adalah pasal – pasal untuk menyejahterakan kelompok tertentu dan untuk mengatrol masyarakat pada umumnya? Hal seperti ini bisa saja terjadi, Ketika suara masyrakat dibatasi otomatis masyarakat harus selalu searah dengan pemikiran orang – orang dalam pemerintah. Padahal seharusnya, pemerintah itu membutuhkan kritik, saran, aspirasi, dan suara dari rakyat demi kesejahteraan rakyat bukan justru membungkam suara rakyat demi sebuah tujuan masyarakat tertentu. Kasus permasalahan tentang undang – undang karet semakin merajalela dan terjadi dimana – mana. Laporan tentang konflik – konflik pribadi juga banyak terjadi. Pencemaran nama baik misalya, kasus pencemaraan nama baik dengan pedoman undang – undang ITE sebagai aturan pendukungnya sangat banyak terjadi. Multitafsirnya undang – undang ITE justru dimanfaatkan Sebagian oknum untuk menjatuhkan musuh – musuhnya. Pihak – pihak yang berlawanan dengan pola pikirnya dibungkam suaranya. Masyarakat yang sebenarnya korban dibalik menjadi seorang tersangka oleh undang – undang karet. Pelaporan tentang tindak pencemaran nama baik banyak sekali menuat kontraversi. Seseorang yang bersalah justru membuat laporan kepengadilan untuk melaporkan korbannya sudah menjadi hal yang biasa. Kasus – kasus seperti ini tidak lain karena adanya undang – undang karet tersebut. Penggunaan media sosial juga menjadi alasan mengapa pelanggaran undang – undang ITE semakin banyak. Media sosial memiliki jangkauan yang luas, sehingga siapa saja bisa melihat apa yang kita lakukan. Undang – undang ITE juga memperbolehkan semua orang untuk melaporkan permasalahan – permasalahan yang berkaitan dengan undang – undang ITE tersebut. Hal ini sangat memungkinkan banyak pihak yang tersinggung dengan adanya sebuah unggahan melaporkan kasus pelanggaran pencemaran nama baik. Sebuah undang – undang seharusnya memberikan kepastian hukum yang jelas sehingga dapat melindungi masyarakat dari tindakan yang meresahkan. Tetapi, undang – undang karet ini berbeda karena memiliki pengertian dan penafsiran ganda sehingga bisa saja bukannya melindungi undang – undang ini justru meresahkan dan memberatkan masyarakat itu sendiri. Undang – undang ITE yang dianggap masyarakat memberatkan adalah pasal 27, di mana dalam pasal itu ketidak jelasan hukum terpampang dengan jelas. Tetapi, melihat hal ini pemerintah membisu bahkan pemerintah seperti menutup telinga dan tak tau apa – apa. Pada tanggal 14 juli 2020 ada salah satu kasus tentang undang – undang ITE, yaitu tentang pencemaran nama baik. Pada tanggal itu, Pengadilan Negeri Medan menjatuhi hukuman 2 tahun penjara terhadap Febi Nur Amelia yang dilaporakan oleh Fitriani Manarung. Kasus ini sangan kontraversi dan bahkan menjadikan berita ini boming di mana – mana. Kontraversinya kasus karena adanya sebuah undang – undang yang memiliki aturan ganda, yaitu yang sering kita sebut undang – undang karet. Kasus Febi Nur Amelia berawal dari sebuah tindakan utang piutang, disini bukan Febi yang meminjam hutang akaan tetapi Fitriani Manarunglah yang meminjam utang kepada Febi. Aneh bukan? Sebuah tindakan meminjamkan utang justru dijebloskan kedalam sebuah penjara. Setelah Febi Nur Amelia meminjamkan utang senilai 70 juta kepada Fitriani Manarung, Fitriani Manarung justru menghindar dari Febi. Awal mula konflik pun terjadi, Ketika Febi Nur Amelia menagih utang kepada Fitriani Manarung untuk pertama kalinya pada tahun 2017. Pada saat Febi menagih utangnya, Fitrianipun berjanji untuk membayar utang – utangnya. Akan tetapi janji – janji Fitriani itu seperti hanya tipu muslihat belaka. Artinya janji – janjinya itu hanya janji – janji manis yang tidak ditepati karena pada saat itu Fitriani justru memblokir whatApp dan nomer ponsel Febi. Tindakan Fitriani Manarung ini sontak membuat Febi kehilangan komunikasi dan akses untuk menghubungi Fitriani. Pada tahun 2019, Febi Nur Amelia Kembali mempertanyakan utangnya. Pada tahun itu, Febi menagih untuk kedua kalinya. Penagian utang kali ini melalui via Instagram. Febi mengirimkan pesan ke Instagram Fitriani yang berisikan tagihan utang. Hal yang tidak biasa terjadi, justru terjadi pada kasus ini. Fitriani yang mempunyai utang kepada Febi justru mengatakan dengan tegasnya bahwa dia tidak mempunyai utang. Merasa dirinya ditipu Fitriani, Febi lalu menagih utang lagi. Kali ini, Febi menagih utang lewat strory Instagram. Pada story instagramnya tertulis penagihan utang yang sertai dengan pemberian nama Fitriani. Fitria yang melihat story Instagram Febi merasa dirinya dipermalukan oleh Febi. Akhirnya puncak permasalahan pun dating, Fitriani yang merasa malu lalu melaporkan Febi dengan tuduhan pencemaran nama baik. Lagi, lagi, dan lagi kasus ini didasarkan dengan undang – undang ITE. Dengan penafsiran ganda yang dimiliki undang – undang ini, benar saja Febi yang seharusnya korban justru dianggap sebagai terdakwa dan bahkan dijatuhi hukuman 2 tahun penjara. Sebenernya apa sih masalah dari kasus Febi ini? Melalui pasal – pasal karet yang terdapat pada undang – undang informasi dan transaksi elektronik membuat semua orang mempunyai kebebasan untuk melaporkan pihak lain yang kritiknya dianggap dapat menjatuhkan. Seseorang yang meminjamkan hutang justru dijebloskan kepengadilan oleh si peminjam uang. Lucu, tetapi inilah realita yang ada. Cuitan yang dilakukan Febi di Instagram dianggap sebagai kritik yang menjatuhkan. Dalam kasus ini terlihat bahwa undang – undang tentang Informasi dan Transaksi Elektronika sudah tidak sejalan dengan tujuan awal pembentukannya. Pasal 27 dalam UU ITE adalah pasal karet karena siapa saja bisa melaporkan, bahkan dalam pasal ini terlihat bahwah Febi yang seharusnya menjadi korban justru dilaporkan sebagai terdakwa pencemaran nama baik. Padahal jika kita tinjau lagi, Febi hanya menginginkan haknya yaitu pengembalian hutang senilai 70 juta dari Fitria Manurung. Kasus Febi Nur Amelia hanyalah salah satu gambaran dari undang – undang karet. Solusi pencegahan agar tidak terjadi lagi korban akibat adanya aturan – aturan yang memiliki penafsiran ganda adalah dengan penghapusan atau dengan diadakan pengkajian ulang (revisi). Penghapusan pasal 27 ayat 3 UU ITE yang dianggap sebagai UU karet ini sebenarnya bisa saja karena menurut saya pasal ini sudah tergantikan dengan adanya UU KUHP. Hal yang perlu dilakukan untuk mengantisipasi terjeratnya UU ITE ini adalah dengan berhati – hati dalam menggunakan media sosial khususnya dalam mengkritik. Saran saya supaya tidak terjadi penyalagunaan UU ITE Pasal 27 ayat 3 adalah Pemerintah harus mengedukasi masyarakat lebih luas dan bagi masyarakat harus lebih bijak dalam menggunakan UU supaya kedepannya tidak ada masyarakat yang dirugikan akibat adanya undang – undang karet. Bukti Mengumpulkan di Media Online : Link Artikel Bukti Pengumpulan : https://www.kompasiana.com/alaminashar7541/dashboard/preview/5fb104108ede481c5c 7e3c42?v=1605436425