Uploaded by Natasha Bella

Telekonseling

advertisement
TUGAS MANDIRI INDIVIDUAL
PELAKSANAAN TELE-KONSELING
Pesatnya perkembangan teknologi telekomunikasi di masa kini sangatlah
berguna
dalam
praktik-praktik
psikologi,
salah
satunya
tele-konseling.
Dikemukakan oleh American Psychologist (2013), bahwa kehadiran teknologi
dapat meningkatkan kesempatan klien untuk mengakses layanan psikologi.
Sementara itu, bagi psikolog, teknologi sangat membantu dalam memfasilitasi
penyampaian atau pemberian layanan-layanan psikologi melalui berbagai metode
baru, seperti, psikoedukasi daring, konseling maupun terapi dengan menggunakan
aplikasi-aplikasi video conference, ataupun penggunaan telepon dan email.
Akan tetapi, penggunaan teknologi telekomunikasi ini tidak berarti bahwa
praktik-praktik psikologi bebas dari pertimbangan etika profesional, persyaratanpersyaratan resmi layanan psikologi, ataupun pertimbangan akan kendala yang
mungkin dapat menghambat proses layanan psikologi. Justru, penggunaan
teknologi telekomunikasi membuat hal-hal tersebut perlu lebih diperhatikan dan
disesuaikan, agar layanan psikologi dapat tetap berlangsung dengan baik. Oleh
karena itu, dalam pembahasan ini akan dijelaskan beberapa hal yang perlu
diperhatikan
dalam
pelaksanaan
layanan
psikologi
melalui
teknologi
telekomunikasi, khususnya pelaksanaan tele-konseling.
I.
SEBELUM PELAKSANAAN
Hal terpenting sebelum pelaksanaan tele-konseling dilakukan yakni, konselor
perlu mengetahui identitas klien untuk menjaga keamanan klien dan menghindari
adanya hubungan ganda atau dual relationship (Kraus, Stricker, & Speyer, 2011).
Ini juga berguna untuk memastikan (memverifikasi) identitas klien ketika sesi telekonseling dimulai. Konselor juga perlu mempersiapkan metode dan teknologi
telekomunikasi apa yang tepat untuk digunakan dalam pelaksanaan tele-konseling.
Beberapa pertimbangannya yakni: kebutuhan dan preferensi klien, kompetensi atau
pemahaman klien dan konselor mengenai teknologi yang akan digunakan, potensi
manfaat dan resiko yang dapat dialami, serta permasalahan etika yang mungkin
timbul (American Psychologist, 2013).
Secara lebih spesifik—dengan mengutip dan mengadaptasi penjelasan dari
laman American Psychological Association (2020)—beberapa hal yang perlu
diperhatikan dalam mempersiapkan layanan psikologi menggunakan teknologi
telekomunikasi—dalam hal ini tele-konseling—antara lain:
1.
Kesesuaian metode layanan tele-konseling
a. Memertimbangkan status klinis dan kognitif klien: apakah klien akan
dapat berpatisipasi dalam konseling secara efektif?
b. Memastikan klien terfasilitasi oleh sumber-sumber teknologi untuk
melakukan tele-konseling, seperti, web camera, ponsel pintar, dan
sebagainya
c. Memertimbangkan kenyamanan dan kemampuan klien dalam
menggunakan teknologi
d. Memertimbangkan perlu atau tidaknya persetujuan dari orang tua atau
wali
e. Memertimbangkan keamanan dan keselamatan klien, serta kesehatan
konselor
2. Teknologi yang akan digunakan
a. Memastikan apakah platform yang akan digunakan memenuhi dan
mendukung standar-standar privasi individu
b. Memastikan konselor dan klien memiliki koneksi yang baik untuk
melakukan tele-konseling (khususnya jika menggunakan video
conference)
c. Memastikan keamanan dari koneksi internet—baik konselor maupun
klien—untuk menghindari bocornya informasi-informasi pribadi
(seperti, menggunakan password, mengatur WiFi ke mode not for
public, menggunakan antivirus untuk perangkat yang digunakan, dan
sebagainya)
d. Memerhatikan pengaturan penyimpanan data dalam perangkat konselor
3. Situasi
a. Memastikan ruangan atau lokasi yang digunakan untuk telekonseling—baik konselor maupun klien—mendukung privasi, tertutup,
dan memiliki penerangan yang cukup
b. Memposisikan kamera yang memudahkan konselor untuk melihat klien
melalui layar
c. Menyingkirkan barang-barang dari posisi penglihatan kamera yang
dapat mendistraksi proses tele-konseling
d. Memeriksa kualitas gambar dan audio. Pastikan konselor maupun klien
dapat mendengar suara satu sama lain
e. Memastikan seluruh notifikasi dalam perangkat yang digunakan oleh
konselor dan klien dalam keadaan mati
Tidak lupa, konselor juga perlu menyiapkan dokumen-dokumen informed
consent kepada klien terlebih dahulu sebelum sesi tele-konseling dilaksanakan,
serta perlu mengetahui informasi yang dapat dihubungi untuk menolong apabila
terjadi situasi krisis (seperti, kontak darurat atau rujukan-rujukan darurat). Tidak
kalah penting, konselor perlu membuat rencana cadangan atas kemungkinan
terjadinya kendala-kendala teknis. Selain itu, sebelum pelaksanaan tele-konseling,
konselor perlu berdiskusi dengan klien mengenai metode pembayaran dari layanan
tele-konseling.
II. SAAT PELAKSANAAN
Saat awal dimulainya pelaksanaan tele-konseling, konselor harus terlebih dulu
memastikan (memverifikasi) identitas klien guna memastikan bahwa orang yang
hadir dalam sesi tele-konseling tersebut memang benar-benar diri klien (Schell,
2019; American Psychologist, 2020), serta perlu mengonfirmasi lokasi dan nomor
telepon klien yang dapat dihubungi. Dijelaskan pula secara spesifik dalam laman
American Psychological Association (2020), yakni, konselor perlu mengonfirmasi
atau menegaskan kembali di awal sesi, bahwa tidak akan ada orang yang merekam
sesi tele-konseling tanpa izin.
Selama sesi tele-konseling berlangsung, perlu bagi konselor untuk tetap active
listening dan memerhatikan respon, ekspresi, maupun perilaku-perilaku non-verbal
klien, sehingga, sebisa mungkin konselor dan klien tetap memelihara kontak mata
yang baik dan berbicara dengan jelas. Dalam hal ini, konselor pun akan dapat
menyadari apabila terdapat orang lain yang berpatisipasi dalam ruang online telekonseling. Pada akhirnya, hal yang tidak kalah penting yakni, konselor harus
melaksanakan sesi tele-konseling tersebut layaknya saat pelaksanaan konseling
secara langsung.
III. SETELAH PELAKSANAAN
Dikutip dari American Mental Health Counselors Association (2015), konselor
tidak diperbolehkan untuk meninggalkan atau mengabaikan klien. Dengan
demikian, rencana untuk sesi selanjutnya perlu disusun. Akan tetapi, apabila
layanan tidak lagi diperlukan, maka, layanan dapat diakhiri. Demikian halnya
apabila konseling tidak memberi manfaat kepada klien, maka, refferal dapat
ditawarkan kepada klien.
Hal ini—apabila dikaitkan dengan tele-konseling—maka konselor perlu
menyadari apabila pada satu titik klien memerlukan pertemuan secara langsung.
Kemungkinan ini tetap ada, karena klien terkadang dapat mengalami situasi-situasi
emosional yang memerlukan penanganan lebih intensif. Konselor perlu
bertanggungjawab atas kemungkinan sedemikian rupa, dengan memertimbangkan
jarak geografis antara konselor dengan klien (Kraus, Stricker, & Speyer, 2011).
Dapat dikatakan, konselor pun perlu melakukan evaluasi setelah tele-konseling
berakhir, apakah tele-konseling dengan metode yang digunakan benar-benar tepat
dan efektif, ataukah perlu menggunakan (atau menambah) metode lain. Tidak
berhenti sampai di sana, setelah pelaksanaan tele-konseling, konselor pun harus
kembali memastikan setiap data dan informasi telah tersimpan dengan aman dan
terhindar dari malware, cookies, dan sebagainya, yang dapat merusak atau
menghilangkan data (American Psychologist, 2013).
IV. ETIKA DALAM TATA LAKSANA
Pelaksanaan tele-konseling tentu tetap terikat oleh etika dan kode-kode etik
psikologi. Beberapa hal yang perlu diperhatikan, antara lain:
1.
Kompetensi konselor
Dalam hal ini, konselor yang memanfaatkan teknologi telekomunikasi
perlu memiliki serta mengembangkan pengetahuan dan keterampilan yang
dibutuhkan. Pengembangan ini dapat dilakukan melalui beberapa hal,
seperti, mengikuti program-program pelatihan tele-konseling, membekali
diri dengan informasi-informasi (dari literatur atau hasil penelitian)
tentang panduan praktik psikologi melalui telekomunikasi serta bukti
keefektifannya, dan sebagainya (American Psychologist, 2013).
2.
Kerahasiaan data dan informasi klien (confidentiality)
Penggunaan teknologi telekomunikasi memunculkan tantangan bagi
konselor dalam menjaga kerahasiaan data dan informasi klien, karena
penggunaan teknologi memiliki resiko yang lebih besar akan kebocoran
data. Psikolog atau konselor perlu benar-benar memahami resiko tersebut
dan berupaya agar kerahasiaan tetap terjaga. Jika diperlukan, konselor
dapat berkonsultasi dengan ahli teknologi telekomunikasi terkait
pengaplikasian keamanan data (American Psychologist, 2013).
3.
Informed consent
Tele-konseling memungkinkan adanya penyesuaian informasi-informasi
yang diberikan dalam informed consent. Hal ini mencakup beberapa hal,
seperti: informasi mengenai hak-hak pasien, manfaat, resiko, dan
konsekuensi dari tele-konseling, tetap tersedianya keamanan dan
kerahasiaan akan data klien, jaminan bahwa gambar atau segala informasi
tentang klien tidak akan disebarluaskan kepada pihak lain tanpa
persetujuan klien, informasi tentang cara penyimpanan data klien dan
siapa saja yang dapat mengaksesnya, tanggung jawab konselor (Baker &
Bufka, 2011), kesepakatan tentang platform yang akan digunakan (beserta
keterangan bahwa konselor akan menjelaskan cara penggunaannya),
kesepakatan tentang teknologi serta ruang privasi yang perlu tersedia
selama sesi berlangsung, pentingnya ketepatan waktu, maupun
kesepakatan tentang rencana cadangan apabila terjadi hal-hal di luar
dugaan, seperti kendala teknis (American Psychologist, 2020).
4.
Menghindari keterlibatan relasi virtual dengan klien
Dijelaskan dalam American Mental Health Counselors Association
(2015), bahwa penting bagi konselor untuk tidak terlibat dalam relasi
secara virtual dengan klien di luar pelaksanaan tele-konseling, karena hal
ini dapat melanggar prinsip confidentiality klien. Konselor tidak
diperkenankan untuk membangun atau memiliki hubungan interaktif
antara akun pribadinya dengan akun klien di media sosial, blog, maupun
platform internet lainnya, dan memastikan agar akun pribadi terpisah
dengan akun profesional. Konselor diperbolehkan untuk mencari
informasi tentang klien melalui internet hanya untuk tujuan konseling
semata.
PUSTAKA ACUAN
Baker, D.C. & Bufka, L.F. (2011). Preparing for the telehealth world: navigating legal,
regulatory, reimbursement, and ethical issues in an electronic age. American
Psychological Association, 42(6), 405-411.
American
Counselors.
(2015).
AMHCA
code
of
ethics.
Retrieved
from
http://connections.amhca.org/HigherLogic/System/DownloadDocumentFile.ashx
?DocumentFileKey=d4e10fcb-2f3c-c701-aa1d-5d0f53b8bc14
Kraus, R., Stricker, G. & Speyer, C. (2011). Online counseling: a handbook for mental
health professionals (2nd ed.). Burlington: Academic Press.
American Psychologist. (2013). Guidelines for the practice of telepsychology.
American Psychological Association, 68(9), 791-800.
American Psychologist. (2020). Office and technology checklist for telepsychological
services. Retrieved from https://www.apa.org/practice/programs/dmhi/researchinformation/telepsychological-services-checklist
American Psychologist. (2020). Informed consent checklist for telepsychological
services. Retrieved from https://www.apa.org/practice/programs/dmhi/researchinformation/informed-consent-checklist
Schell, D. (2019). Guidelines for uses of technology in counselling and psychotherapy.
Canada: Canadian Counselling and Psychotherapy Association.
Download