TUGAS MANDIRI INDIVIDUAL PELAKSANAAN TELE-KONSELING Pesatnya perkembangan teknologi telekomunikasi di masa kini sangatlah berguna dalam praktik-praktik psikologi, salah satunya tele-konseling. Dikemukakan oleh American Psychologist (2013), bahwa kehadiran teknologi dapat meningkatkan kesempatan klien untuk mengakses layanan psikologi. Sementara itu, bagi psikolog, teknologi sangat membantu dalam memfasilitasi penyampaian atau pemberian layanan-layanan psikologi melalui berbagai metode baru, seperti, psikoedukasi daring, konseling maupun terapi dengan menggunakan aplikasi-aplikasi video conference, ataupun penggunaan telepon dan email. Akan tetapi, penggunaan teknologi telekomunikasi ini tidak berarti bahwa praktik-praktik psikologi bebas dari pertimbangan etika profesional, persyaratanpersyaratan resmi layanan psikologi, ataupun pertimbangan akan kendala yang mungkin dapat menghambat proses layanan psikologi. Justru, penggunaan teknologi telekomunikasi membuat hal-hal tersebut perlu lebih diperhatikan dan disesuaikan, agar layanan psikologi dapat tetap berlangsung dengan baik. Oleh karena itu, dalam pembahasan ini akan dijelaskan beberapa hal yang perlu diperhatikan dalam pelaksanaan layanan psikologi melalui teknologi telekomunikasi, khususnya pelaksanaan tele-konseling. I. SEBELUM PELAKSANAAN Hal terpenting sebelum pelaksanaan tele-konseling dilakukan yakni, konselor perlu mengetahui identitas klien untuk menjaga keamanan klien dan menghindari adanya hubungan ganda atau dual relationship (Kraus, Stricker, & Speyer, 2011). Ini juga berguna untuk memastikan (memverifikasi) identitas klien ketika sesi telekonseling dimulai. Konselor juga perlu mempersiapkan metode dan teknologi telekomunikasi apa yang tepat untuk digunakan dalam pelaksanaan tele-konseling. Beberapa pertimbangannya yakni: kebutuhan dan preferensi klien, kompetensi atau pemahaman klien dan konselor mengenai teknologi yang akan digunakan, potensi manfaat dan resiko yang dapat dialami, serta permasalahan etika yang mungkin timbul (American Psychologist, 2013). Secara lebih spesifik—dengan mengutip dan mengadaptasi penjelasan dari laman American Psychological Association (2020)—beberapa hal yang perlu diperhatikan dalam mempersiapkan layanan psikologi menggunakan teknologi telekomunikasi—dalam hal ini tele-konseling—antara lain: 1. Kesesuaian metode layanan tele-konseling a. Memertimbangkan status klinis dan kognitif klien: apakah klien akan dapat berpatisipasi dalam konseling secara efektif? b. Memastikan klien terfasilitasi oleh sumber-sumber teknologi untuk melakukan tele-konseling, seperti, web camera, ponsel pintar, dan sebagainya c. Memertimbangkan kenyamanan dan kemampuan klien dalam menggunakan teknologi d. Memertimbangkan perlu atau tidaknya persetujuan dari orang tua atau wali e. Memertimbangkan keamanan dan keselamatan klien, serta kesehatan konselor 2. Teknologi yang akan digunakan a. Memastikan apakah platform yang akan digunakan memenuhi dan mendukung standar-standar privasi individu b. Memastikan konselor dan klien memiliki koneksi yang baik untuk melakukan tele-konseling (khususnya jika menggunakan video conference) c. Memastikan keamanan dari koneksi internet—baik konselor maupun klien—untuk menghindari bocornya informasi-informasi pribadi (seperti, menggunakan password, mengatur WiFi ke mode not for public, menggunakan antivirus untuk perangkat yang digunakan, dan sebagainya) d. Memerhatikan pengaturan penyimpanan data dalam perangkat konselor 3. Situasi a. Memastikan ruangan atau lokasi yang digunakan untuk telekonseling—baik konselor maupun klien—mendukung privasi, tertutup, dan memiliki penerangan yang cukup b. Memposisikan kamera yang memudahkan konselor untuk melihat klien melalui layar c. Menyingkirkan barang-barang dari posisi penglihatan kamera yang dapat mendistraksi proses tele-konseling d. Memeriksa kualitas gambar dan audio. Pastikan konselor maupun klien dapat mendengar suara satu sama lain e. Memastikan seluruh notifikasi dalam perangkat yang digunakan oleh konselor dan klien dalam keadaan mati Tidak lupa, konselor juga perlu menyiapkan dokumen-dokumen informed consent kepada klien terlebih dahulu sebelum sesi tele-konseling dilaksanakan, serta perlu mengetahui informasi yang dapat dihubungi untuk menolong apabila terjadi situasi krisis (seperti, kontak darurat atau rujukan-rujukan darurat). Tidak kalah penting, konselor perlu membuat rencana cadangan atas kemungkinan terjadinya kendala-kendala teknis. Selain itu, sebelum pelaksanaan tele-konseling, konselor perlu berdiskusi dengan klien mengenai metode pembayaran dari layanan tele-konseling. II. SAAT PELAKSANAAN Saat awal dimulainya pelaksanaan tele-konseling, konselor harus terlebih dulu memastikan (memverifikasi) identitas klien guna memastikan bahwa orang yang hadir dalam sesi tele-konseling tersebut memang benar-benar diri klien (Schell, 2019; American Psychologist, 2020), serta perlu mengonfirmasi lokasi dan nomor telepon klien yang dapat dihubungi. Dijelaskan pula secara spesifik dalam laman American Psychological Association (2020), yakni, konselor perlu mengonfirmasi atau menegaskan kembali di awal sesi, bahwa tidak akan ada orang yang merekam sesi tele-konseling tanpa izin. Selama sesi tele-konseling berlangsung, perlu bagi konselor untuk tetap active listening dan memerhatikan respon, ekspresi, maupun perilaku-perilaku non-verbal klien, sehingga, sebisa mungkin konselor dan klien tetap memelihara kontak mata yang baik dan berbicara dengan jelas. Dalam hal ini, konselor pun akan dapat menyadari apabila terdapat orang lain yang berpatisipasi dalam ruang online telekonseling. Pada akhirnya, hal yang tidak kalah penting yakni, konselor harus melaksanakan sesi tele-konseling tersebut layaknya saat pelaksanaan konseling secara langsung. III. SETELAH PELAKSANAAN Dikutip dari American Mental Health Counselors Association (2015), konselor tidak diperbolehkan untuk meninggalkan atau mengabaikan klien. Dengan demikian, rencana untuk sesi selanjutnya perlu disusun. Akan tetapi, apabila layanan tidak lagi diperlukan, maka, layanan dapat diakhiri. Demikian halnya apabila konseling tidak memberi manfaat kepada klien, maka, refferal dapat ditawarkan kepada klien. Hal ini—apabila dikaitkan dengan tele-konseling—maka konselor perlu menyadari apabila pada satu titik klien memerlukan pertemuan secara langsung. Kemungkinan ini tetap ada, karena klien terkadang dapat mengalami situasi-situasi emosional yang memerlukan penanganan lebih intensif. Konselor perlu bertanggungjawab atas kemungkinan sedemikian rupa, dengan memertimbangkan jarak geografis antara konselor dengan klien (Kraus, Stricker, & Speyer, 2011). Dapat dikatakan, konselor pun perlu melakukan evaluasi setelah tele-konseling berakhir, apakah tele-konseling dengan metode yang digunakan benar-benar tepat dan efektif, ataukah perlu menggunakan (atau menambah) metode lain. Tidak berhenti sampai di sana, setelah pelaksanaan tele-konseling, konselor pun harus kembali memastikan setiap data dan informasi telah tersimpan dengan aman dan terhindar dari malware, cookies, dan sebagainya, yang dapat merusak atau menghilangkan data (American Psychologist, 2013). IV. ETIKA DALAM TATA LAKSANA Pelaksanaan tele-konseling tentu tetap terikat oleh etika dan kode-kode etik psikologi. Beberapa hal yang perlu diperhatikan, antara lain: 1. Kompetensi konselor Dalam hal ini, konselor yang memanfaatkan teknologi telekomunikasi perlu memiliki serta mengembangkan pengetahuan dan keterampilan yang dibutuhkan. Pengembangan ini dapat dilakukan melalui beberapa hal, seperti, mengikuti program-program pelatihan tele-konseling, membekali diri dengan informasi-informasi (dari literatur atau hasil penelitian) tentang panduan praktik psikologi melalui telekomunikasi serta bukti keefektifannya, dan sebagainya (American Psychologist, 2013). 2. Kerahasiaan data dan informasi klien (confidentiality) Penggunaan teknologi telekomunikasi memunculkan tantangan bagi konselor dalam menjaga kerahasiaan data dan informasi klien, karena penggunaan teknologi memiliki resiko yang lebih besar akan kebocoran data. Psikolog atau konselor perlu benar-benar memahami resiko tersebut dan berupaya agar kerahasiaan tetap terjaga. Jika diperlukan, konselor dapat berkonsultasi dengan ahli teknologi telekomunikasi terkait pengaplikasian keamanan data (American Psychologist, 2013). 3. Informed consent Tele-konseling memungkinkan adanya penyesuaian informasi-informasi yang diberikan dalam informed consent. Hal ini mencakup beberapa hal, seperti: informasi mengenai hak-hak pasien, manfaat, resiko, dan konsekuensi dari tele-konseling, tetap tersedianya keamanan dan kerahasiaan akan data klien, jaminan bahwa gambar atau segala informasi tentang klien tidak akan disebarluaskan kepada pihak lain tanpa persetujuan klien, informasi tentang cara penyimpanan data klien dan siapa saja yang dapat mengaksesnya, tanggung jawab konselor (Baker & Bufka, 2011), kesepakatan tentang platform yang akan digunakan (beserta keterangan bahwa konselor akan menjelaskan cara penggunaannya), kesepakatan tentang teknologi serta ruang privasi yang perlu tersedia selama sesi berlangsung, pentingnya ketepatan waktu, maupun kesepakatan tentang rencana cadangan apabila terjadi hal-hal di luar dugaan, seperti kendala teknis (American Psychologist, 2020). 4. Menghindari keterlibatan relasi virtual dengan klien Dijelaskan dalam American Mental Health Counselors Association (2015), bahwa penting bagi konselor untuk tidak terlibat dalam relasi secara virtual dengan klien di luar pelaksanaan tele-konseling, karena hal ini dapat melanggar prinsip confidentiality klien. Konselor tidak diperkenankan untuk membangun atau memiliki hubungan interaktif antara akun pribadinya dengan akun klien di media sosial, blog, maupun platform internet lainnya, dan memastikan agar akun pribadi terpisah dengan akun profesional. Konselor diperbolehkan untuk mencari informasi tentang klien melalui internet hanya untuk tujuan konseling semata. PUSTAKA ACUAN Baker, D.C. & Bufka, L.F. (2011). Preparing for the telehealth world: navigating legal, regulatory, reimbursement, and ethical issues in an electronic age. American Psychological Association, 42(6), 405-411. American Counselors. (2015). AMHCA code of ethics. Retrieved from http://connections.amhca.org/HigherLogic/System/DownloadDocumentFile.ashx ?DocumentFileKey=d4e10fcb-2f3c-c701-aa1d-5d0f53b8bc14 Kraus, R., Stricker, G. & Speyer, C. (2011). Online counseling: a handbook for mental health professionals (2nd ed.). Burlington: Academic Press. American Psychologist. (2013). Guidelines for the practice of telepsychology. American Psychological Association, 68(9), 791-800. American Psychologist. (2020). Office and technology checklist for telepsychological services. Retrieved from https://www.apa.org/practice/programs/dmhi/researchinformation/telepsychological-services-checklist American Psychologist. (2020). Informed consent checklist for telepsychological services. Retrieved from https://www.apa.org/practice/programs/dmhi/researchinformation/informed-consent-checklist Schell, D. (2019). Guidelines for uses of technology in counselling and psychotherapy. Canada: Canadian Counselling and Psychotherapy Association.