FINTECH LENDING DAN TEROR PRIVASI Analisis Kasus Aplikasi Pinjaman Uang Online di Indonesia A. Pendahuluan Perkembangan teknologi digital dengan berbagai inovasi aplikasi dewasa ini, tidak hanya digunakan orang untuk memudahkan proses komunikasi dan interaksi dengan sesama, tapi juga digunakan oleh banyak lembaga, khususnya lembaga keuangan, sebagai sarana untuk melebarkan cakupan bisnisnya. Banyak lembaga keuangan yang kemudian menjadikan inovasi teknologi ini sebagai cara untuk menawarkan layanan keuangan baru berbasis digital, seperti layanan pembayaran, perencanaan keuangan, riset keuangan, pinjaman uang, dan lainnya. Fenomena inilah yang kemudian lazim dikenal dengan istilah Fintech. Istilah Fintech sendiri adalah akronim dari Financial Technology, yakni lembaga atau perwakilan lembaga keuangan yang mengombinasikan layanan keuangan dengan inovasi teknologi.1 Lembaga-lembaga fintech ini umumnya berusaha untuk menarik konsumen dengan produk atau layanan keuangan yang lebih bersifat user-friendly, efisien, transparan, dan otomatis, dibandingkan dengan lembaga-lembaga keuangan formal, seperti bank-bank konvensional. Fintech juga bisa diartikan sebagai inovasi layanan keuangan berbasis teknologi yang menghasilkan model bisnis baru, aplikasi, proses, atau produk, dengan efek material yang terhubung pada pasar keuangan atau institusi, serta provisi layanan keuangan.2 Salah satu layanan fintech yang cukup populer adalah fintech lending, yakni layanan di mana ada perusahaan keuangan yang mempertemukan para pemberi pinjaman dengan para pencari pinjaman dalam satu wadah melalui aplikasi digital tertentu. Dalam hal ini, orang bisa mengajukan pinjaman dana dengan jumlah 1 Lihat Dorfleitner, G., Hornuf, L., Schmitt, M., and Weber, M., Fintech in Germany, (Switzerland AG: Springer International Publishing, 2017), p. 5. 2 Definisi ini adalah definisi fintech dari FSB (Financial Stability Board’s). Lihat Basel Committee of Banking Supervision, “Implications of Fintech Developments for Banks and Bank Supervisors,” in Bank for International Settlements, February 2018, p. 8. tertentu kepada pihak yang memberikan pinjaman melalui aplikasi tersebut. Praktik peminjaman uang ini dilakukan dengan persyaratan tertentu yang harus disetujui oleh pihak peminjam, namun umumnya dilakukan tanpa melibatkan lembaga keuangan resmi seperti perbankan, koperasi, jasa kredit, pemerintah, dan lainnya. Layanan keuangan, khususnya layanan pinjam meminjam berbasis teknologi digital ini, merupakan fenomena yang akhir-akhir ini banyak ditemui, dan cukup banyak diakses oleh masyarakat, karena kemudahan yang diberikan dalam prosesnya. Hal ini disebabkan adanya keleluasaan dalam layanan pinjaman dana yang melibatkan masyarakat, baik individu ataupun lembaga sebagai pemberi pinjaman kepada individu yang mencari pinjaman. Dalam praktiknya, calon peminjam cukup menginstal aplikasi tertentu yang sudah tersedia di playstore melalui perangkat smartphone yang dimilikinya, lalu menyiapkan persyaratan seperti lampiran identitas diri dan mengisi form tertentu, untuk kemudian mengajukan jumlah pinjaman yang diinginkan. Jika persyaratan sudah terpenuhi, maka biasanya tidak butuh waktu lama sampai pihak peminjam mendapatkan jumlah dana yang diinginkannya. Beberapa apalikasi layanan pinjaman online yang ada di Indonesia, misalnya adalah: RupiahPlus, TunaiKita, Modalku, DompetKilat, Cicil, DanaMapan, KreditPintar, Finmas, Tunaiku, PinjamYuk, RupiahCepat, EasyCash, Indodana, PinjamanGo, UangTeman, AyoRupiah, DompetCash, DoIt, BambuLoan, KreditDana, DanaRupiah, Kredivo, GoTunai, Julo, PinjamDuit, dan lainnya. Data OJK (Otoritas Jasa Keuangan) misalnya menyebutkan bahwa terdapat sekitar 54 perusahaan P2P Lending yang sudah terdaftar resmi hingga akhir tahun 2017. Jumlah ini terus bertambah, karena seperti yang dilaporkan Tirto terdapat 37 perusahaan lain yang tengah dalam proses pendaftaran, dan yang berminat untuk mendaftar sebanyak 29 perusahaan. Ajisatria Suleiman, Direktur Asosiasi Fintech Indonesia, dalam wawancaranya dengan reporter Tirto menyatakan bahwa: “ini menandakan kue pasar yang bisa digarap fintech lending masih terbuka lebar. Kita harapn layanan kredit itu bisa dirasakan ke seluruh lapisan masyarakat.”3 3 Lihat https://tirto.id/ojk-prediksi-ada-164-perusahaan-fintech-terdaftar-hingga-akhir-2018cLHx dan https://tirto.id/pinjam-meminjam-online-jadi-rentenir-digital-tanpa-aturan-bunga-cGay Pada laporan yang sama, disebutkan juga bahwa layanan fintech lending ini pada dasarnya berhasil menarik minat masyarakat luas, yang ditunjukkan dengan peningkatan jumlah peminjam ataupun pertumbuhan perusahaan pemberi pinjaman yang mendaftar ke OJK, seperti bisa dilihat pada tabel infografis berikut: Tabel: Jumlah Kreditur dan Debitur yang Memakai Jasa Fintech Lending Category Period Growth (%) December 2016 December 2017 Kreditur 1. Java 12.498 75.769 506 2. Outside Java 1.264 24.028 1.801 3. Foreign 602 1.143 90 Total 14.364 100.940 603 Debitur 1. Java 36.830 237.319 544 2. Outside Java 1.275 22.316 1.650 Total 38.105 259.635 581 (Sumber: Ringkang Gumiwang, “Fintech Lending, Pinjam Meminjam Online yang Semakin Menjamur” dalam www.tirto.id, 18 Januari 2018)4 Laporan terbaru dari OJK terkati data keuangan Fintech (P2P Lending) sampai bulan September 2018, juga menunjukkan adanya pertambahan kuantitas pemberi pinjaman (satuan akun), peminjam (satuan akun), dan akumulasi jumlah pinjaman. Berikut adalah ikhtisar data keuangan Fintech yang tercatat di OJK pada periode Juli-September 2018: Tabel: Ikhtisar Data Keuangan Fintech (P2P Lending) Description Period July August September 1. Accumulation of Lender Accounts a. Java 101,377 112,054 120,579 b. Outside Java 31,955 36,217 38,866 c. Foreign 1,693 1,790 1,852 d. Aggregate 135,025 150,061 161,297 2. Accumulation of Borrower Accounts a. Java 1,238,743 1,589,815 1,968,688 b. Outside Java 191,614 256,458 331,319 4 Lihat https://tirto.id/fintech-lending-pinjam-meminjam-online-yang-makin-menjamur-cDpo c. Aggregate 1,430,357 3. Accumulated Loan Amount 8,100,295,733,295 a. Java b. Outside Java 1,113,526,445,353 c. Aggregate 9,213,822,178,648 1,846,273 2,300,007 9,714,565,200,615 11,568,093,212,788 1,970,296,977,036 2,266,223,002,219 11,684,862,177,651 13,834,316,215,007 (Sumber: Diolah dari Otoritas Jasa Keuangan, Ikhtisar Data Keuangan September 2018, 2018)5 Berdasarkan data resmi dari OJK tersebut, dapat diketahui bahwa Fintech Lending bukan hanya menjadi fenomena akselerasi teknologi digital untuk layanan keuangan, tapi juga berhasil menarik minat masyarakat secara luas untuk ikut menikmati layanan keuangan, khususnya layanan pinjaman online. Pertumbuhan jumlah pemberi pinjaman, peminjam, serta nilai pinjaman yang ada, adalah bukti yang menunjukkan bahwa layanan ini diterima di masyarakat. Kemudahan proses pinjaman berbasis teknologi ini menjadi daya tarik tersendiri bagi masyarakat untuk baik meminjamkan dana yang dimilikinya ataupun meminjam dana dari pihak lain melalui aplikasi-aplikasi lending yang ada. Mengingat minat masyarakat yang besar terhadap layanan keuangan ini, serta jumlah akun yang terlibat ataupun akumulasi nominal pinjaman yang juga sangat besar, maka pihak OJK sendiri kemudian membuat regulasi yang mengatur tentang layanan pinjam meminjam uang secara online atau berbasis teknologi digital, yang termuat dalam Peraturan Otoritas Jasa Keuangan (OJK) No. 77 Tahun 2916. Dalam peraturan ini dimuat ketentuan tentang badan hukum, permodalan, batas maksimum pinjaman, bentuk perjanjian yang digunakan, hingga ketentuan tentang prosedur pinjam meminjam dari dan antara individu ataupun lembaga. Tujuan dari peraturan ini tentu saja memberikan payung hukum yang jelas terhadap layanan keuangan yang mulai menjamur di masyarakat, serta melindungi masyarakat dari praktikpraktik penipuan yang seringkali mengikutinya. 5 Otoritas Jasa Keuangan, Ikhtisar Data Keuangan Fintech (Peer to Peer Lending) Periode September 2018, 2018. Data diakses pada tanggal 11/12/2018 dari https://www.ojk.go.id B. Persoalan dalam Fintech Lending: Besaran Bunga dan Keberhasilan Pembayaran Pinjaman Fenomena Fintech Lending yang menarik minat masyarakat luas sebenarnya bukan tanpa alasan. Berdasarkan data OJK, kebutuhan kredit bagi para pelaku usaha kecil dan menengah mencapai 1.700 trilions per tahun. Lembaga keuangan yang ada justru hanya mampu memenuhi 700 trillions dari kebutuhan tersebut, atau hanya sekitar 41% saja.6 Kebutuhan ini belum ditambah kebutuhan di luar usaha, yang bisa saja menjadi motif seseorang dalam meminjam dana. Karena itu, ketika layanan P2P Lending ini hadir dan memiliki payung hukum yang jelas, maka masyarakat pun menerima secara terbuka kehadiran layanan ini. Faktor lainnya mengapa minat masyarakat cukup besar terhadap layanan pinjaman online ini adalah kemudahan yang diberikan karena tidak perlu mendatangi tempat atau kantor lembaga peminjam, waktu pencairan yang cukup cepat (tergantung antrian aplikasi), persyaratan pinjaman yang lebih mudah, dan batas pinjaman yang juga cukup besar untuk berbagai kebutuhan mendesak keseharian. Layanan ini bisa menjadi solusi terdepan bagi orang-orang, terutama mereka yang memiliki persoalan keuangan dan membutuhkan pinjaman dalam waktu cepat dan dengan syarat yang tidak terlalu ketat sebagaimana jika mereka harus meminjam pada lembaga-lembaga offline. Namun demikian, sebagaimana praktik pinjam meminjam yang dilakukan oleh lembaga-lembaga keuangan resmi, ada banyak kasus di mana masyarakat peminjam dana, tidak membaca ketentuan pinjaman dengan baik. Masyarakat calon peminjam pada umumnya hanya membaca persyaratan administratif, seperti pengisian data diri, penyediaan identitas diri, copy rekening, slip gaji, dan lainnya, namun kurang cermat dalam membaca besaran bunga atau nominal yang harus mereka bayar untuk melunasi pinjaman tersebut. Hal ini belum lagi ditambah dengan beberapa kasus di mana peminjam harus berhadapan dengan lembaga peminjam yang buruk. Lembaga ini menetapkan besaran bunga yang ada secara manasuka dan tidak mengikuti ketentuan yang berlaku seperti terdapat pada 6 Data terpenuhi-41/ dilansir dari http://marketeers.com/kebutuhan-kredit-umkm-di-indonesia-baru- peraturan OJK. Ironisnya, masyarakat umum juga tidak mengetahui adanya aturan tersebut. Tingkat kemudahan yang ditawarkan oleh lembaga pinjaman online dalam sistem P2P Lending ini seolah berjalan seiring dengan tingkat bunga pinjaman yang lebih besar dibandingkan dengan lembaga-lembaga keuangan offline, seperti perbankan, multifinance, koperasi, dan lainnya. Jika bunga yang dibebankan pada peminjam oleh lembaga-lembaga keuangan offline ini berkisar 1-3% per bulan atau 12-36% per tahun, maka bunga yang ditawarkan oleh lembaga-lembaga pinjaman online pada umumnya justru lebih besar dari itu. Pada beberapa kasus bahkan ada lembaga pemberi pinjaman yang menawarkan bunga 1% per hari atau 30% per bulan. Beban yang sangat berat bagi peminjam, namun justru tidak disadari oleh peminjam bersangkutan karena sudah tergiur dengan dana yang akan diterima untuk menutupi kebutuhannya. Penetapan beban bunga yang pada umumnya bersifat manasuka oleh lembaga pinjaman online ini pada umumnya terjadi karena masyarakat tidak harus memberikan jaminan apapun pada lembaga bersangkutan. Lebih dari itu, peraturan atau regulasi dari OJK sendiri tidak secara tegas menyebutkan nominal besaran bunga yang bisa diacu oleh konsumen peminjam ataupun lembaga pinjaman dalam menetapkan besaran bunga pinjaman. Direktur Pengaturan Perizinan dan Pengawasan Fintech OJK, Hendrikus Passagi, dalam wawancara yang dimuat di media Detik misalnya menjelaskan bahwa OJK memang tidak mengatur bunga pinjaman pada sistem P2P. Namun dalam ketentuan yang ada, OJK mengarahkan agar bunga disesuaikan dengan kondisi ekonomi. Keputusan ini didasarkan pada pertimbangan bahwa pengaturan bunga justru memiliki resiko tersendiri. Menurut Passagi, seorang pengusaha dengan penghasilan yang besar, yang membutuhkan pinjaman cepat untuk mengembangkan usahanya, bisa saja tidak mendapatkan pinjaman tersebut karena pemberi pinjaman tidak mau mengeluarkan pinjaman dengan bunga yang sudah ditentukan besarannya.7 7 Lihat https://finance.detik.com/moneter/d-4265331/ojk-tak-atur-bunga-pinjaman-online-inialasannya. Dalam Peraturan Otoritas Jasa Keuangan No. 77/POJK.01/2016 tentang Layanan Pinjam Meminjam Uang Berbasis Teknologi Informasi, Pasal 17, disebutkan bahwa: “Penyelenggara memberikan masukan atas suku bunga yang ditawarkan oleh Pemberi Pinjaman dan Penerima Meski tidak semua lembaga pinjaman menetapkan bunga yang mencekik, namun apa yang ditawarkan pada dasarnya tetap saja lebih besar dari bunga ratarata pinjaman pada lembaga keuangan offline, seperti perbankan. Aplikasi DuitPintar misalnya, dalam ketentuan tertulisnya menyebutkan bahwa suku bunga yang mereka tetapkan adalah 36% tahun atau 3% per bulan, denda keterlambatan sebesar Rp. 100.000,- per bulan, dan bunga keterlambatan sebesar 0,16% per hari. Beban suku bunga ini sekilas tidak berbeda jauh dengan suku bunga pinjaman yang ditawarkan oleh lembaga-lembaga keuangan offline, namun ada biaya denda dan biaya keterlambatan sebagai tambahannya. Hal yang sama juga bisa ditemukan pada lembaga pinjaman atau aplikasi Tunaiku, di mana besaran bunga yang ditetapkan adalah 3-6% per bulan (flat). Namun ada biaya tambahan yang sama seperti DuitPintar, yakni biaya denda keterlambatan sebesar Rp. 100.000,- per bulan, dan biaya keterlambatan sebesar 0,16% per hari. Pada aplikasi Tunaiku, ada juga biaya tambahan lainnya, yakni biaya Administrasi sebesar Rp. 540.000,- yang dibayarkan selama periode pinjaman. Layanan pinjaman lain yang menawarkan suku bunga dengan besaran yang bisa diperhitungkan, bisa ditemukan pada aplikasi TunaiKita, di mana mereka menetapkan suku bunga, yang mereka sebut sebagai “biaya jasa bulanan” sebesar 6-10,5% per bulan. Suku bunga ini meski lebih masuk akal dibandingkan lembaga pinjaman yang memberikan suku bunga sampai 30% per bulan, tetap saja sangat tinggi dibandingkan lembaga-lembaga offline. Pada lembaga pinjaman atau aplikasi layanan keuangan, seperti DuitPintar atau Tunaiku dengan besaran suku bunga tetap yang dimasukkan dalam perjanjian pinjaman, orang mungkin bisa berhitung kerugian dan keuntungan ketika mereka akan megajukan pinjaman ke lembaga bersangkutan. Akan tetapi, pada beberapa lembaga lainnya, masyarakat atau calon peminjam terkadang tidak bisa melakukan kalkulasi dengan baik, karena lembaga bersangkutan hanya menyebutkan suku bunga terendah yang tidak bersifat tetap. Lembaga DBS misalnya menyebutkan Pinjaman dengan mempertimbangkan kewajaran dan perkembangan perekonomian nasional.” OJK, dalam hal ini tidak memberikan batasan-batasan tetap untuk bunga yang bisa dibebankan oleh lembaga keuangan pemberi pinjaman online kepada nasabah atau konsumennya. Lihat Otoritas Jasa Keuangan, Peraturan Otoritas Jasa Keuangan No. 77/POJK.01/2016 tentang Layanan Pinjam Meminjam Uang Berbasis Teknologi Informasi, (Jakarta: OJK, 2016), hlm. 17. bahwa besaran suku bunga mereka dimulai dari 10,56% sebagai angka awal, yang pastinya akan mengalami peningkatan yang tidak bisa diperhitungkan dengan baik oleh peminjam. Beberapa peminjam, pada kasus di mana mereka tidak bisa menghitung besaran atau nominal yang harus mereka bayarkan untuk melunasi pinjaman, pada akhirnya justru harus menunggak karena nominal yang harus mereka bayar terlalu besar akibat bunga berlebih itu. Akibatnya, bukan saja bunga pinjaman yang bertambah besar, para konsumen atau peminjam ini juga mendapatkan beban tambahan berupa biaya keterlambatan yang semakin menjauhkan mereka dari kata lunas. Alih-alih mendapatkan untung dari pinjaman yang didapatkan, para konsumen justri harus merasakan kerugian dari pinjaman tersebut. Suku bunga yang tidak menentu, nominal cicilan yang melebihi kemampuan peminjam, serta adanya tambahan biaya-biaya lain jika konsumen tidak membayar tepat waktu, pada akhirnya berdampak pada kemampuan konsumen atau peminjam dalam melunasi pinjaman tersebut. Data OJK sendiri menyebutkan bahwa rata-rata kualitas pinjaman sampai dengan bulan September 2018, yakni: (1) rasio pinjaman lancar (sampai dengan 30 hari) adalah sebesar 96,73%; (2) rasio pinjaman tidak lancar (30-90 hari) sebesar 2,07%; dan (3) rasio pinjaman macet (> 90 hari) sebesar 1,20%.8 Rasio tersebut memang menyebutkan angka yang kecil untuk pinjaman yang tidak lancar atau macet, namun data ini hanya meliputi lembaga pinjaman online yang sudah terdaftar secara resmi di OJK. Lembaga keuangan yang legal ini pada dasarnya memberikan nominal pinjaman yang rendah, serta suku bunga yang tetap, di mana konsumen bisa melakukan kalkulasi dengan baik. Namun pada lembaga-lembaga atau aplikasi-apliasi P2P Lending yang tidak terdaftar resmi, justru banyak ditemui kasus-kasus di mana konsumen atau peminjam tidak bisa melunasi pinjamannya karena suku bunga yang terus meningkat, dan besaran cicilan yang juga terus membengkak. 8 Otoritas Jasa Keuangan, Ikhtisar Data Keuangan Fintech (Peer to Peer Lending) Periode September 2018, 2018. Data diakses pada tanggal 11/12/2018 dari https://www.ojk.go.id C. Penagihan dan Teror Privasi Konsumen atau peminjam yang terlibat dalam kegiatan P2P Lending melalui aplikasi-aplikasi digital, dalam praktiknya harus membayar nominal tertentu sebagai cicilan untuk melunasi pinjamannya. Lembaga peminjam, baik melalui aplikasi yang ada, ataupun melalui komunikasi langsung, biasanya akan memberitahukan tanggal jatuh tempo pembayaran, nominal cicilan yang harus dibayar, dan apa konsekuensi yang akan diterima konsumen atau peminjam jika mereka tidak membayar tepat waktu. Pada kasus-kasus di mana konsumen atau peminjam tidak mampu membayar atau menutupi cicilan atau kewajiban mereka, lembaga pinjaman ini umumnya akan melakukan komunikasi persuasif dan mengingatkan bahwa kondisi tersebut dapat membawa dampak yang buruk bagi konsumen. Namun pada beberapa kasus yang lain, pola penagihan yang dilakukan oleh lembaga peminjam justru tidak sesuai dengan prosedur atau aturan penagihan sebagaimana Surat Edaran Bank Indonesia. Salah satu kasus yang pernah diturunkan dalam investigasi Tirto misalnya adalah kasus penagihan di mana pihak pemberi pinjaman atau lembaga fintech, yakni RupiahPlus, mengakses data kontak peminjam yang terdapat di perangkat smartphonenya, untuk kemudian menghubungi salah satu kontak tersebut dan memberitahukan soal tagihan pinjaman. Orang yang dihubungi oleh pihak pemberi pinjaman (lembaga fintech), dalam hal ini justru tidak mengetahui apa-apa, karena lembaga pinjaman menghubungi orang yang terdapat dalam daftar kontak orang yang meminjam secara acak. Dalam kasus RupiahPlus, orang yang dihubungi ini adalah teman sekolah peminjam dana, yang justru tidak pernah berkomunikasi dengan peminjam. Dalam wawancaranya dengan reporter Tirto, orang yang dikontak oleh lembaga RupiahPlus merasakan kecemasan, karena tiba-tiba dilibatkan pada kasus pinjam meminjam temannya, tanpa alasan tertentu yang mendasarinya.9 RupiahPlus sendiri dalam hal ini adalah aplikasi yang dikeluarkan oleh PT. Digital Synergy Technology, untuk memberikan layanan pinjaman tanpa jaminan 9 Lihat https://tirto.id/kasus-rupiahplus-saat-urusan-utang-meneror-data-pribadi-cNVl kepada masyarakat. Lembaga ini terdaftar secara resmi dan mendapatkan pengawasan OJK sebagai salah satu lembaga fintech yang memberikan jasa P2P Lending. Bimo Adhiprabowo, Direktur RupiahPlus, Ketika dihubungi oleh pihak Tirto mengungkapkan bahwa tindakan yang dilakukannya tersebut pada dasarnya bukan merupakan bagian dari SOP (Standard Operating Procedure) penagihan kepada nasabah yang macet. Menurut Bimo, penagihan biasanya dilakukan dengan cara memberikan informasi kepada peminjam ketika cicilan yang harus dibayar peminjam akan jatuh tempo. Namun ketika debitur atau peminjam ini mangkir dari kewajibannya selama lebih dari 30 hari, maka pihak RupiahPlus akan menghubungi orang-orang yang dicantumkan sebagai emergency contact, atau jika tidak bisa juga, mereka akan menghubungi orang-orang yang terdapat dalam daftar kontak peminjam bersangkutan. Aplikasi yang memberikan layanan pinjaman ini, dengan kata lain, memiliki akses tak terbatas pada perangkat komunikasi (smartphone) masyarakat yang menginstalnya. Apa yang dilakukan oleh RupiahPlus, ketika menghubungi orang yang tidak berkaitan apa-apa seperti pada kasus tersebut, jelas merupakan tindakan yang melanggar aturan penagihan kepada nasabah sebagaimana terdapat pada Surat Edaran Bank Indonesia No. 14/17/DASP ataupun Peraturan Otoritas Jasa Keuangan No. 77/POJK.01/2016 tentang Layanan Pinjam Meminjam Uang Berbasis Teknologi Informasi. Tindakan menghubungi orang yang tidak ada sangkut pautnya dengan kasus kredit macet seperti itu, tidak hanya memberikan kecemasan dan ketakutan pada orang lain, tapi juga memberikan efek psikologis seperti rasa malu, pada peminjam karena lembaga pemberi pinjaman memberitahu orang lain akan persoalan tersebut. Ada bentuk upaya teror terhadap privasi peminjam, dan orang-orang yang terdapat dalam daftar kontak peminjam, yang dilakukan oleh lembaga pemberi pinjaman. Dalam Peraturan Otoritas Jasa Keuangan No. 77/POJK.01/2016 tentang Layanan Pinjam Meminjam Uang Berbasis Teknologi Informasi sendiri, khususnya pada Pasal 26, disebutkan bahwa pihak penyelenggara layanan pinjam meminjam wajib untuk menjaga kerahasiaan, keutuhan, dan ketersediaan data pribadi, data transaksi, dan data keuangan yang dikelolanya sejak data diperoleh hingga data tersebut dimusnahkan. Pihak penyelenggara juga berkwajiban untuk menjamin bahwa perolehan, penggunaan, pemanfaatan, dan pengungkapan data pribadi, data transaksi, dan data keuangan yang diperoleh oleh Penyelenggara berdasarkan persetujuan pemilik data pribadi, data transaksi, dan data keuangan, kecuali ditentukan lain oleh ketentuan peraturan perundang-undangan.10 Ketentuan inilah yang dilanggar oleh pihak RupiahPlus ketika menghubungi orang lain yang tidak ada sangkut pautnya dengan kasus kredit macet tersebut. Beberapa kasus yang lain juga pernah terjadi, di mana terdapat upaya-upaya atau tindakan-tindakan penagihan yang alih-alih dijalankan secara persuasif oleh lembaga pemberi pinjaman, upaya atau tindakan penagihan tersebut justru dijalankan dengan cara-cara yang memberikan rasa takut dan trauma. Padahal, akar masalahnya tidak hanya terletak pada ketidakmampuan peminjam untuk melunasi beban cicilan pinjamannya, tapi juga pada ketentuan besaran suku bunga pinjaman yang seringkali berada di luar batas kewajaran. Kasus-kasus yang terjadi dalam layanan keuangan berbasis digital, khususnya yang berkaitan dengan pinjaman online ini, seperti dicatat oleh YLKI (Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia), cukup banyak terjadi. Sepanjang awal sampai pertengahan tahun 2018 saja, terdapat 50 pengaduan tentang persoalan kredit atau pinjaman online. Apa yang dikeluhkan oleh masyarakat konsumen dalam laporan mereka ke YLKI ini umumnya adalah tindakan penagihan yang tidak etis oleh lembaga pemberi pinjaman, hingga sistem perhitungan bunga dan denda yang tidak masuk akal. Pihak YLKI sendiri, yang diwakili oleh Tulus Abadi sebagai Ketua Pengurus Hariannya, dalam wawancaranya dengan reporter yang dimuat media Detik, menyatakan bahwa kasus-kasus ini umumnya terjadi karena masyarakat konsumen meminjam dana pada lembaga keuangan yang tidak terdaftar secara resmi dan berada di bawah pengawasan OJK.11 Namun demikian, jika berkaca pada kasus RupiahPlus, yang justru sudah terdaftar secara resmi di OJK, maka pernyataan tersebut jelas layak untuk dipertanyakan. 10 Otoritas Jasa Keuangan, Peraturan Otoritas Jasa Keuangan No. 77/POJK.01/2016 tentang Layanan Pinjam Meminjam Uang Berbasis Teknologi Informasi, (Jakarta: OJK, 2016), hlm. 21. 11 Lihat https://finance.detik.com/moneter/d-4105636/ylki-sebut-banyak-aduan-soal-aplikasiutang-online. D. Sosialisasi Regulasi Fintech yang Berpihak pada Masyarakat Banyaknya persoalan yang timbul dalam konteks layanan finansial berbasis teknologi informasi, seperti layanan P2P Lending tersebut, pada akhirnya menjadi pekerjaan rumah yang harus segera diselesaikan oleh pihak-pihak terkait, seperti Otoritas Jasa Keuangan (OJK), aparatur kepolisian, hingga lembaga-lembaga atau individu yang terlibat dalam layanan tersebut. Dalam hal ini, regulasi yang mengatur secara rinci perihal tata cara pinjam meminjam seperti terdapat dalam Peraturan Otoritas Jasa Keuangan No. 77/POJK.01/2016 tentang Layanan Pinjam Meminjam Uang Berbasis Teknologi Informasi mutlak diperlukan. Namun yang lebih penting dari itu adalah bagaimana OJK, melakukan pengawasan yang ketat terhadap keberadaan lembaga-lembaga keuangan yang memberikan layanan pinjaman tanpa modal tersebut kepada masyarakat. Pengawasan ini bisa melibatkan lembaga-lembaga lain yang berwenang, untuk meminimalisir kerugian masyarakat yang timbul atas praktik finansial berbagai teknologi informasi yang tidak bertanggungjawab. Lebih dari itu, masyarakat juga harus mendapatkan informasi yang jelas tentang keberadaan lembaga-lembaga keuangan digital, terkait operasi atau layanan yang diberikan, hal-hal yang harus diperhatikan oleh konsumen ketika mereka akan meminjam dana dari lembaga bersangkutan, ataupun resiko yang mungkin dihadapi ketika masyarakat konsumen menikmati layanan tersebut. Dengan kata lain, harus ada sosialisasi regulasi terkait layanan keuangan digital atau layanan keuangan berbasis teknologi informasi ini kepada masyarakat secara luas. Tanpa adanya sosialisasi aturan tersebut, maka sebaik apapun peraturan yang ada, selalu ada celah bagi pihak-pihak yang tidak bertanggungjawab untuk melakukan tindakan-tindakan yang bisa merugikan konsumen. Selain sosialisasi aturan, masyarakat konsumen juga sebenarnya membutuhkan pendidikan yang baik untuk bisa memahami cara yang bisa dilakukan dalam mengenali lembaga-lembaga keuangan yang tidak jelas atau bisa memberikan kerugian pada masyarakat. Merujuk pada keterangan Tongam L. Tobing, Ketua Satuan Tugas Waspada Investasi OJK, lembaga keuangan abal-abal atau fintech ilegal, yang memberikan layanan yang buruk pada masyarakat, seperti pemberian pinjaman dengan suku bunga yang terlampau besar, penagihan yang tidak etis, melakukan tindakan-tindakan yang melanggar privasi peminjam, tidak memberikan layanan keamanan dan kenyamanan pada konsumen, biasanya adalah lembaga keuangan yang tidak terdaftar dan berada di bawah pengawasan OJK, tidak memberikan keterangan dan informasi terkait perusahaan secara jelas, ataupun terlalu cepat dalam menerima ajuan pinjaman tanpa analisa terlebih dahulu sebelum memutuskan untuk menerima permohonan pinjaman tersebut. Penjelasan tentang hal-hal seperti inilah yang seringkali tidak diterima oleh masyarakat konsumen, sebagai pasar yang luas untuk praktik layanan keuangan berbasis teknologi informasi ini. Namun demikian, peraturan yang ada juga harus memperhatikan keberlangsungan bentuk usaha layanan P2P Lending ini. Sebab, dalam praktiknya, bisa saja pihak konsumen yang sengaja melakukan tindakantindakan tertentu yang bisa menyebabkan kerugian pada pihak pemberi pinjaman. Pihak konsumen misalnya, bisa saja mengajukan pinjaman melalui aplikasi tertentu, dan mengakalinya dengan sengaja mengosongkan data-data penting dalam perangkat teknologi (smartphone) yang dimilikinya, sehingga ketika konsumen atau debitur tidak melaksanakan kewajibannya, lembaga pemberi pinjaman tidak dapat melakukan upaya-upaya penagihan persuasif yang harus dijalankannya. E. Penutup Layanan keuangan berbasis teknologi informasi, seperti fintech lending ini, sejatinya adalah perkembangan praktik bisnis yang niscaya seiring dengan perkembangan teknologi informasi dan komunikasi itu sendiri. Keberadaan praktik P2P Lending ini juga pada dasarnya ditujukan untuk memberikan kemudahan pada masyarakat dalam mendapatkan layanan keuangan pada saat-saat yang mendesak. Masyarakat seringkali tidak bisa mendapatkan layanan tersebut dari lembagalembaga keuangan offline, yang mewajibkan pemenuhan syarat-syarat tertentu kepada para konsumen atau nasabahnya untuk mendapatkan layanan mereka. Namun demikian, kehadiran bentuk layanan keuangan dengan platform digital yang ditujukan untuk memberikan kemudahan pada masyarakat ini, tidak boleh malah memunculkan masalah-masalah baru, seperti pada kasus-kasus yang disebutkan sebelumnya. Bagaimanapun, kehadiran lembaga-lembaga keuangan fintech yang menawarkan jasa bantuan keuangan tersebut merupakan salah satu solusi untuk menjawab kebutuhan keuangan di masyarakat. Karena itu regulasi dan pengawasan atas pelaksanaan regulasi yang mengatur layanan P2P lending ini jelas diperlukan. Jika tidak ada pengawasan yang ketat terhadap keberadaan lembagalembaga fintech tersebut, terutama lembaga-lembaga yang beroperasi secara ilegal, maka masyarakat konsumenlah yang akan mendapatkan kerugian. Berkaca pada kasus-kasus yang ada, maka sudah saatnya pula, setiap pihak yang berkepentingan dalam praktik keuangan berbasis digital seperti ini, untuk bertindak sesuai dengan kapasitasnya masing-masing, mulai dari Otoritas Jasa Keuangan, lembaga-lembaga aparatur negara terkait seperti Kementrian Keuangan, aparatur kepolisian, hingga masyarakat itu sendiri. Jika bentuk layanan seperti ini bisa dikelola dengan baik, maka ia sebenarnya bisa menjadi jalan keluar untuk menjawab persoalan kebutuhan dana di masyarakat yang tidak bisa mengandalkan pemerintah saja. References: Basel Committee of Banking Supervision, “Implications of Fintech Developments for Banks and Bank Supervisors,” in Bank for International Settlements, February 2018. Dorfleitner, G., Hornuf, L., Schmitt, M., and Weber, M., Fintech in Germany, (Switzerland AG: Springer International Publishing, 2017). http://marketeers.com/kebutuhan-kredit-umkm-di-indonesia-baru-terpenuhi-41/ https://finance.detik.com/moneter/d-4105636/ylki-sebut-banyak-aduan-soalaplikasi-utang-online. https://finance.detik.com/moneter/d-4265331/ojk-tak-atur-bunga-pinjamanonline-ini-alasannya. https://tirto.id/fintech-lending-pinjam-meminjam-online-yang-makin-menjamurcDpo https://tirto.id/kasus-rupiahplus-saat-urusan-utang-meneror-data-pribadi-cNVl https://tirto.id/ojk-prediksi-ada-164-perusahaan-fintech-terdaftar-hingga-akhir2018-cLHx https://tirto.id/pinjam-meminjam-online-jadi-rentenir-digital-tanpa-aturan-bungacGay Otoritas Jasa Keuangan, Ikhtisar Data Keuangan Fintech (Peer to Peer Lending) Periode September 2018, 2018. Otoritas Jasa Keuangan, Ikhtisar Data Keuangan Fintech (Peer to Peer Lending) Periode September 2018, 2018. Otoritas Jasa Keuangan, Peraturan Otoritas Jasa Keuangan No. 77/POJK.01/2016 tentang Layanan Pinjam Meminjam Uang Berbasis Teknologi Informasi, (Jakarta: OJK, 2016).