Uploaded by Mischely Widnijustin Saputri

jurnal hubungan antara persepsi terhadap (1)

advertisement
1
HUBUNGAN ANTARA PERSEPSI TERHADAP PENYAKIT DENGAN
TINGKAT STRES PADA PENDERITA DIABETES MELLITUS TIPE II
DI RSD DR. HARYOTO LUMAJANG
Christina Dhiyah Wulandari
(christina_dw@yahoo.com)
Sumi Lestari
Ika Herani
Program Studi Psikologi
Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik
Universitas Brawijaya
Malang
Abstract
This study aims to determine the correlation between illness perception with stress level
in people with type II diabetes mellitus in RSD Dr. Haryoto Lumajang. The number of the
sample is 100 patients with type II diabetes mellitus who are followed an outpatient in RSD
Dr. Haryoto Lumajang and not pregnant, the sampling technique is incidental sampling. Data
collection instrument consists of illness perception scale (α = 0,951) and stress scale (α =
0,949). The results show that the test assumptions are met, the data of illness perception
variable (p = 0,200) and level stress variable (p = 0,200) have a normal distribution and linear
correlation (p = 0,000). Data analysis uses the Pearson correlation product moment with
correlation value (r) 0,844 and significance (p) 0.000, which means there is a positive linear
correlation between illness perception with stress level in people with type II diabetes
mellitus in RSD Dr. Haryoto Lumajang. Illness perception contributes 71,23% on the stress
level, while the rest is 28,77% influenced by other factors.
Keywords: diabetes mellitus, illness perception, stress level
Abstrak
Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui hubungan antara persepsi terhadap penyakit
dengan tingkat stres pada penderita diabetes mellitus tipe II di RSD Dr. Haryoto Lumajang.
Sampel berjumlah 100 penderita diabetes mellitus tipe II yang mengikuti rawat jalan di RSD
Dr. Haryoto Lumajang dan tidak sedang mengandung, dengan teknik pengambilan sampel
yaitu insidental sampling. Alat pengumpulan data terdiri dari skala persepsi terhadap penyakit
(α = 0,951) dan skala stres (α = 0,949). Hasil penelitian menunjukkan bahwa uji asumsi
terpenuhi, data variabel persepsi terhadap penyakit (p = 0,200) dan variabel tingkat stres (p =
0,200) memiliki sebaran normal dan memiliki hubungan linier (p = 0,000). Analisis data
menggunakan korelasi product moment Pearson dengan nilai korelasi (r) 0,844 dan taraf
signifikansi (p) 0,000 yang berarti terdapat hubungan linier positif antara persepsi terhadap
penyakit dengan tingkat stres pada penderita diabetes mellitus tipe II di RSD Dr. Haryoto
Lumajang. Persepsi terhadap penyakit memberikan kontribusi sebesar 71,23% pada tingkat
stres, sedangkan sisanya sebesar 28,77% dipengaruhi faktor lain.
Kata kunci: diabetes mellitus, persepsi terhadap penyakit, tingkat stres
2
Latar Belakang
Diabetes mellitus merupakan salah satu jenis penyakit kronis dengan jumlah penderita
yang terus meningkat dan menjadi masalah kesehatan bagi semua negara di dunia. Menurut
World Health Organization (2006) pada tahun 2000 jumlah penderita diabetes mellitus di
seluruh dunia mencapai 171 juta jiwa dan diperkirakan akan mengalami peningkatan menjadi
366 juta jiwa pada tahun 2030.
Pada tahun 1995, Indonesia menempati peringkat ke-7 dengan jumlah penderita diabetes
mellitus sebanyak 4,5 juta jiwa. Peringkat ini diprediksi akan naik dua tingkat menjadi
peringkat ke-5 pada tahun 2025, dengan perkiraan jumlah pengidap sebanyak 12,4 juta jiwa
(Arisman, 2011).
Pusat data dan informasi Kemenkes RI (2012) juga mencatat bahwa diabetes mellitus
termasuk sepuluh besar penyakit yang menyebabkan kematian di Indonesia setelah
perdarahan intrakranial, strok, gagal ginjal, gagal jantung, dan penyakit jantung lainnya.
American Diabetes Association (2009) menjelaskan diabetes mellitus sebagai jenis
penyakit metabolik yang ditandai dengan hiperglisemia kronis yaitu tidak berfungsinya organ
tubuh terutama mata, ginjal, saraf, jantung, dan pembuluh darah akibat kerusakan sekresi
insulin, kerja insulin, ataupun keduanya, sehingga glukosa (gula darah) akan menumpuk
dalam tubuh karena tidak dapat dipecah menjadi sumber energi.
Kasus diabetes mellitus sebagian besar terbagi dalam dua kategori, yang pertama adalah
diabetes mellitus tipe I yang terdiri dari sekitar 5% sampai 10% dari jumlah penderita
diabetes mellitus di seluruh dunia dan yang kedua adalah diabetes mellitus tipe II dengan
jumlah penderita sekitar 90% sampai 95% dari jumlah penderita diabetes mellitus di seluruh
dunia dan sebagian besar penderita diabetes mellitus tipe II adalah orang yang mengalami
obesitas (ADA, 2009).
3
Kerusakan sekresi hormon insulin ataupun kerusakan kerja hormon insulin pada penderita
diabetes mellitus menyebabkan penderita harus menjaga kadar gula dalam darah dengan
mengubah pola hidupnya, terutama mengubah pola makan. Merubah pola makan dilakukan
dengan cara mengkonsumsi menu seimbang dan sesuai dengan kebutuhan kalori agar dapat
mencapai dan mempertahankan berat badan yang ideal, karena kadar gula darah akan sulit
dikendalikan jika penderita diabetes mellitus memiliki berat badan yang berlebih (Dewanti,
2010). Oleh karena penderita diabetes mellitus tipe II pada umumnya mengalami obesitas,
maka penderita diabetes mellitus tipe II memiliki tuntutan yang lebih besar jika dibandingkan
dengan penderita diabetes mellitus lain dalam mencapai berat badan ideal agar gula darah
tetap seimbang.
Kemampuan penderita diabetes mellitus untuk mengubah pola hidup sesuai dengan apa
yang seharusnya dijalani tergantung dari persepsi penderita tersebut terhadap penyakit yang
diderita. Menurut Walgito (Cahyadi, 2007) persepsi merupakan suatu proses yang didahului
oleh proses penginderaan terhadap stimulus yang kemudian diorganisasikan dan
diinterpretasikan dalam upaya memberikan suatu makna pada stimulus tersebut.
Leventhal (Ibrahim, Desa & Chiew-Tong, 2011) menjelaskan ketika seseorang
dihadapkan pada suatu penyakit akan menggambarkan penyakit tersebut sesuai dengan
pemikirannya sendiri dalam rangka untuk memahami dan menanggapi masalah yang
dihadapi. Persepsi negatif seseorang terhadap penyakit yang diderita dapat menimbulkan
ketidakbahagiaan, sehingga akan menyebabkan seseorang tersebut enggan untuk menjalani
perawatan dan pengobatan. Begitu pula sebaliknya, persepsi positif seseorang terhadap
penyakit yang diderita akan membuat seseorang menjalani perawatan dan pengobatan secara
teratur.
Pernyataan dari Leventhal didukung oleh penelitian yang dilakukan oleh Timmers,
Thong, Dekker, Boeschoten, Heijmans, Rijken, Weinman & Kaptein (2008) pada pasien
4
dialisis. Penelitian tersebut menunjukkan bahwa persepsi penyakit berkontribusi terhadap
kualitas hidup pasien. Apabila persepsi pasien terhadap penyakit yang diderita negatif, maka
kualitas hidup pasien akan rendah, sedangkan apabila persepsi pasien terhadap penyakit yang
diderita positif, maka kualitas hidup pasien akan tinggi.
Keharusan penderita diabetes mellitus dalam mengubah pola hidupnya agar gula darah
dalam tubuh tetap seimbang dapat mengakibatkan mereka rentan terhadap stres, karena stres
akan terjadi apabila seseorang merasakan adanya ketidaksesuaian antara sumber daya yang
dimiliki dengan tuntutan situasi yang harus dijalankan. Ketika tuntutan situasi dirasakan
berbeda dengan situasi sebelumnya dan terlalu berat, maka stres akan terjadi (Middlebrooks
& Audage, 2008).
Menurut Mitra (2008) tingkat stres yang tinggi dapat memicu kadar gula darah seseorang
semakin meningkat, sehingga semakin tinggi tingkat stres yang dialami oleh penderita
diabetes, maka penyakit diabetes mellitus yang diderita akan semakin bertambah buruk.
Berdasarkan uraian-uraian di atas, maka peneliti ingin melakukan penelitian tentang
hubungan antara persepsi terhadap penyakit dengan tingkat stres pada penderita diabetes
mellitus tipe II yang akan dilaksanakan di RSD Dr. Haryoto Lumajang.
Rumusan Masalah
Rumusan masalah yang diajukan dalam penelitian ini adalah apakah terdapat hubungan linier
positif antara persepsi terhadap penyakit dengan tingkat stres pada penderita diabetes mellitus
tipe II di RSD Dr. Haryoto Lumajang?
Tujuan Penelitian
Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengetahui ada atau tidaknya hubungan linier positif
antara persepsi terhadap penyakit dengan tingkat stres pada penderita diabetes mellitus di
RSD Dr. Haryoto Lumajang.
5
Landasan Teori
A. Tingkat Stres
Stres merupakan kondisi ketegangan dalam diri yang disebabkan oleh interaksi antara
individu dengan lingkungan yang bersumber pada sistem biologis, psikologis, dan sosial dari
seseorang (Sarafino dan Smith, 2011).
Patel (Utomo, 2008) menjelaskan empat tingkat stres yang umumnya dialami oleh
manusia, yaitu:
a.
Too little stress, seseorang belum mengalami tantangan yang berat dalam memenuhi
kebutuhan pribadinya.
b.
Optimum stress, seseorang mengalami kehidupan yang seimbang akibat proses
manajemen yang baik oleh dirinya.
c.
Too much stress, seseorang mengalami kelelahan fisik maupun emosional.
d.
Breakdown stress, seseorang mengalami kecenderungan neurotis yang kronis atau
munculnya rasa sakit psikosomatis.
Aspek-aspek stres menurut Sarafino dan Smith (2011) adalah sebagai berikut:
a. Biologis, yaitu reaksi fisiologis yang timbul karena adanya kondisi atau situasi yang
mengancam atau berbahaya, misalnya jantung berdetak lebih cepat dan lebih kuat, otot
lengan dan kaki gemetar.
b. Psikososial yang terdiri dari:
1) Kogntif, yaitu kerusakan proses kognitif yang menyebabkan seseorang sulit untuk
berkonsentrasi, daya ingat lemah, kesulitan dalam memecahkan masalah, tidak dapat
mengendalikan dorongan atau impuls.
2) Emosi, seseorang sering menggunakan emosi mereka untuk menilai kondisi stres yang
dialami. Reaksi emosi yang terjadi adalah ketakutan yang dapat berbentuk fobia dan
kecemasan, perasaan sedih, depresi, dan marah.
6
3) Sosial, stres dapat menyebabkan seseorang mencari kenyamanan dengan orang lain untuk
mencari dukungan. Dalam situasi stres yang lain, seseorang menjadi kurang bisa
bersosialisasi dan lebih bersikap tidak suka terhadap orang lain (sikap memusuhi) dan
menjadi tidak sensitif terhadap kebutuhan orang lain.
B. Persepsi terhadap Penyakit
Persepsi merupakan suatu proses yang melibatkan kognisi dalam penginterpretasian
terhadap informasi sensorik yang diperoleh dari pengindraan (Solso, Maclin & Maclin,
2008). Chilcot (2010) mengemukakan bahwa persepsi terhadap penyakit adalah interpretasi
yang dilakukan seseorang berkaitan dengan penyakit yang dideritanya.
Aspek-aspek dari persepsi terhadap penyakit menurut Moss-Morris dan Chalder (Ibrahim,
dkk., 2011) adalah sebagai berikut:
a. Identitas: pandangan seseorang tentang gejala yang timbul dari penyakit yang diderita.
b. Waktu: keyakinan bahwa penyakit yang diderita akan berlangsung dalam waktu yang
singkat atau berlangsung dalam waktu yang lama.
c. Konsekuensi: pandangan seseorang tentang akibat dari penyakit yang diderita.
d. Siklus: pandangan seseorang tentang penyakit yang diderita apakah penyakit tersebut akan
kambuh atau tidak.
e. Kontrol pribadi: pandangan seseorang tentang efisiensi kontrol pribadi yang dilakukan
pada penyakit yang diderita.
f. Kontrol pengobatan: pandangan seseorang tentang efisiensi pengobatan yang dilakukan
terhadap penyakit.
g. Koherensi penyakit: pemahaman seseorang tentang penyakit yang diderita.
h. Respon emosional: reaksi emosional seseorang dalam menghadapi penyakit yang diderita.
i. Penyebab: keyakinan seseorang tentang penyebab penyakit yang diderita.
7
C. Diabetes Mellitus
ADA (2009) mendefinisikan diabetes mellitus sebagai penyakit metabolik yang ditandai
oleh hiperglisemia kronis karena kerusakan sekresi insulin, kerja insulin, ataupun keduanya.
Hiperglisemia kronis pada diabetes mellitus berhubungan dengan kerusakan jangka panjang,
seperti tidak berfungsinya organ tubuh terutama mata, ginjal, saraf, jantung, dan pembuluh
darah.
ADA (2009) mengklasifikasikan penyakit diabetes mellitus ke dalam 4 kelompok, yaitu:
a. Diabates Mellitus tipe I, insulin dependent diabetes mellitus (IDMM)
b. Diabates Mellitus tipe II, non-insulin dependent diabetes mellitus (NIDDM)
c. Diabetes mellitus tipe lain atau diabetes sekunder
d. Diabetes Mellitus Kehamilan
Hipotesis Penelitian
H0 : Tidak terdapat hubungan linier positif antara persepsi terhadap penyakit dengan
tingkat stres pada penderita diabetes mellitus tipe II di RSD Dr. Haryoto Lumajang.
H1 : Terdapat hubungan linier positif antara persepsi terhadap penyakit dengan tingkat
stres pada penderita diabetes mellitus tipe II di RSD Dr. Haryoto Lumajang.
Metode Penelitian
Penelitian ini menggunakan metode penelitian kuantitatif dengan jenis penelitian
korelasional. Analisis data yang digunakan adalah korelasi product moment Pearson yang
pelaksanaannya dilakukan dengan bantuan program SPSS (Statistical Product and Service
Solution) version 16 for windows. Sampel dalam penelitian ini berjumlah 100 penderita
diabetes mellitus tipe II baik berjenis kelamin laki-laki ataupun perempuan yang menjalani
rawat jalan di RSD Dr. Haryoto Lumajang dan tidak sedang mengandung. Sampel ini diambil
dengan menggunakan teknik sampling insidental (incidental sampling).
8
Alat Ukur
A. Persepsi terhadap Penyakit
Variabel persepsi terhadap penyakit diukur menggunakan skala persepsi terhadap
penyakit yang disusun berdasarkan aspek dari Moss-Morris dan Chalder (Ibrahim, dkk.,
2011). Namun aspek penyebab tidak digunakan dalam penyusunan skala, karena menurut
Moss-Morris dan Chalder (Ibrahim, dkk. 2011) aspek penyebab digunakan untuk
mengidentifikasi penyebab dari suatu penyakit yang dipercayai oleh sekelompok orang,
bukan untuk skala. Skala ini berisi 43 pernyataan yang terdiri dari 30 aitem favorable dan 13
aitem unfavorable dengan 4 poin skala Likert, yaitu (1) sangat tidak setuju, (2) tidak setuju,
(3) setuju, (4) sangat setuju untuk aitem favorable dan sebaliknya untuk aitem unfavorable.
Semakin tinggi skor yang dihasilkan, semakin negatif persepsi terhadap penyakit yang
dimiliki.
B. Stres
Variabel tingkat stres diukur dengan menggunakan skala stres yang disusun berdasarkan
aspek stres dari Sarafino dan Smith (2011). Skala ini berisi 36 pernyataan yang terdiri dari 28
aitem favorable dan 8 aitem unfavorable dengan 4 poin skala Likert, yaitu (1) sangat tidak
setuju, (2) tidak setuju, (3) setuju, (4) sangat setuju untuk aitem favorable dan sebaliknya
untuk aitem unfavorable. Semakin tinggi skor yang dihasilkan, semakin tinggi tingkat stres
yang dialami.
Pengujian Validitas dan Reliabilitas
Penelitian ini menggunakan validitas isi yaitu: validitas muka yang didasarkan pada
penilaian terhadap format penampilan alat ukur dan validitas logik dengan menyusun blue
print dan meminta pendapat para ahli yang dilakukan melalui konsultasi dengan dosen
pembimbing. Kedua skala ini dilakukan uji coba terhadap 60 penderita diabetes mellitus tipe
II, kemudian dilakukan analisis aitem dengan cara mengukur korelasi antara aitem dengan
9
skor total. Analisis aitem ini berfungsi untuk menyeleksi aitem pada skala. Batasan yang
digunakan untuk menyeleksi aitem adalah rix = 0,30 (Sugiono, 2010).
Uji reliabilitas dari kedua skala dihitung menggunakan teknik uji reliabilitas Alpha
Cronbrach’s dengan bantuan program SPSS (Statistical Product and Service Solution)
version 16 for windows. Reliabilitas dinyatakan oleh koefisien reliabilitas (rxx’) yang
angkanya berada dalam rentang nilai 0 sampai dengan 1,00. Semakin tinggi koefisien
reliabilitas atau semakin mendekati angka 1,00, maka semakin tinggi reliabilitas (Azwar,
2010).
No.
1.
2.
Tabel 1
Rangkuman Hasil Validitas dan Reliabilitas
Skala
Jumlah Aitem
Alpha Cronbach
Persepsi terhadap Penyakit
43
0,951
Stres
36
0,949
Prosedur Penelitian
Prosedur penelitian diawali dengan pembuatan proposal penelitian yang dilanjutkan
dengan penyusunan alat ukur. Penyusunan alat ukur diawali dengan pembuatan blue print
kemudian dioperasionalisasikan dalam bentuk aitem-aitem pernyataan. Jumlah aitem pada
awal penyusunan alat ukur adalah 57 untuk skala persepsi terhadap penyakit dan 40 untuk
skala stres. Setelah dilakukan uji coba terhadap 60 penderita diabetes mellitus tipe II yang
tidak menjalani rawat jalan di RSD Dr. Haryoto Lumajang, melainkan menjalani rawat jalan
di puskesmas-puskesmas atau rumah sakit lain, aitem yang dapat digunakan adalah 43 untuk
skala persepsi terhadap penyakit dan 36 untuk skala stres. Skala yang sudah diuji coba ini
kemudian digunakan untuk mengambil data yang dilakukan dengan menyebarkan kedua
skala pada 100 penderita diabetes mellitus tipe II di RSD Dr. Haryoto Lumajang yang
memenuhi kriteria untuk dijadikan subjek penelitian. Penyebaran skala persepsi terhadap
penyakit dan skala stres dilakukan sendiri oleh peneliti secara individual.
10
Hasil Penelitian
Data penelitian yang diperoleh dari pengisian skala persepsi terhadap penyakit dan skala
stres diolah menggunakan bantuan program SPSS (Statistical Product and Service Solution)
version 16 for windows yang hasilnya dapat dilihat pada tabel 2.
Variabel
Persepsi terhadap penyakit
Tingkat stress
Tabel 2
Deskripsi Statistik
Rata-rata
Nilai
terendah
98,970
77,980
54,000
46,000
Nilai
tertinggi
Standar
Deviasi
127,000
102,000
13,895
11,183
Tabel 2 menunjukkan bahwa persepsi terhadap penyakit pada penderita diabetes mellitus tipe
II di RSD Dr. Haryoto Lumajang memiliki nilai rata-rata sebesar 98,970 dengan nilai
terendah sebesar 54,000, nilai tertinggi sebesar 127,000, dan standar deviasi sebesar 13,895.
Untuk tingkat stres yang dialami oleh penderita diabetes mellitus tipe II di RSD Dr. Haryoto
Lumajang rata-rata memiliki nilai sebesar 77,980 dengan nilai terendah sebesar 46,000, nilai
tertinggi sebesar 102,000, dan standar deviasi sebesar 11,183.
Berdasarkan deskripsi statistik, dapat dibuat suatu norma untuk pemberian makna atau
interpretasi terhadap skor skala yang diperoleh.
Tabel 3
Norma Persepsi terhadap Penyakit dan Norma Tingkat Stres
Norma
Kategorisasi Jumlah
Norma
Kategorisasi
Persepsi
(orang) Tingkat Stres
terhadap
Penyakit
x ≤ 78
Sangat Positif
7
x ≤ 62
Sangat Rendah
78 < x ≤ 99
Positif
47
62 < x ≤ 78
Rendah
99 < x < 120
Negatif
41
78 < x < 94
Tinggi
x ≥ 120
Sangat Negatif
5
x ≥ 94
Sangat Tinggi
Jumlah
(orang)
9
46
35
10
Dari tabel 3 dapat diketahui bahwa subjek yang memiliki persepsi sangat positif terhadap
penyakit diabetes mellitus yang diderita berjumlah 7 orang, sedangkan 47 orang memiliki
persepsi yang positf terhadap penyakitnya, 41 orang yang lain memiliki persepsi negatif
terhadap penyakitnya, dan yang memiliki persepsi sangat negatif terhadap penyakitnya
11
berjumlah 5 orang. Untuk tingkat stres, subjek yang mengalami tingkat stres sangat rendah
berjumlah 9 orang, sedangkan yang mengalami stres rendah berjumlah 45 orang, yang
mengalami stres tinggi berjumlah 35 orang, dan yang mengalami stres sangat tinggi
berjumlah 10 orang.
Sebelum dilakukan uji hipotesis, terlebih dahulu dilakukan uji asumsi yang terdiri dari uji
normalitas dan uji linieritas untuk mengetahui apakah data yang diperoleh termasuk dalam
sebaran normal yang diuji menggunakan teknik One Sample Kolmogorov-Smirnov Test dan
linier yang diuji dengan menggunakan uji F, sehingga uji hipotesis dapat dilakukan.
Variabel
Tabel 4
Hasil Uji Normalitas
Nilai K-S
Signifikan
(p)
Persepsi terhadap penyakit
0,060
Tingkat stress
0,050
Keterangan:
K-S
: Nilai Kolmogorov-Smirnov
0,200
0,200
Keterangan
Sebaran normal
Sebaran normal
Kedua data dikatakan memiliki sebaran normal karena memiliki nilai signifikansi lebih besar
dari 0,05, yaitu dengan nilai p = 0,200.
Tabel 5
Hasil Uji Linieritas
Persepsi terhadap penyakit * Tingkat stres
pada penderita diabetes mellitus tipe II
F
238,884
Signifikansi
0,000
Hasil uji linieritas pada variabel persepsi terhadap penyakit dengan tingkat stres pada
penderita diabetes mellitus tipe II di RSD Dr. Haryoto Lumajang diperoleh nilai F sebesar
238,884 dengan signifikansi p = 0,000. Nilai signifikansi yang kurang dari 0,05 (p < 0,05)
menunjukkan bahwa variabel persepsi terhadap penyakit memiliki hubungan yang linier
dengan variabel tingkat stres pada penderita diabetes mellitus tipe II.
Pengujian hipotesis menggunakan korelasi product moment Pearson dapat dilakukan
karena uji asumsi terpenuhi dengan hasil yang dapat dilihat pada tabel 6.
12
Variabel
Persepsi terhadap penyakit *
tingkat stress
**taraf signifikan < 0,01 (one-tale)
Tabel 6
Hasil Uji Korelasi
Korelasi
Signifikan
(r)
(p)
0,844
0,000
Koefisien Determinasi
(r2)
0,7123
Berdasarkan tabel 6 dapat diketahui bahwa persepsi terhadap penyakit berkorelasi positif
dengan tingkat stres dengan nilai korelasi 0,844 dan nilai signifikan 0,000 lebih kecil dari
0,01 (0,000 < 0,01) yang berarti signifikan secara statistik. Selain itu koefisien determinasi r2
= 0,7123 menunjukkan bahwa variasi atau perubahan-perubahan pada skor tingkat stres dapat
dijelaskan oleh persepsi terhadap penyakit sebesar 71,23% sedangkan 28,77% sisanya
dijelaskan oleh variabel lain.
Tabel 7
Hasil Uji Korelasi Aspek-Aspek Persepsi terhadap Penyakit
dengan Variabel Tingkat Stres
Dimensi
Korelasi
Koefisien
Signifikan Keterangan
(r)
Determinasi
(p)
2
(r )
Identitas * Tingkat Stres
0,742
0,5505
0,000
Signifikan
Waktu * Tingkat Stres
0,445
0,1980
0,000
Signifikan
Siklus * Tingkat Stres
0,682
0,4651
0,000
Signifikan
Konsekuensi * Tingkat Stres
0,779
0,6068
0,000
Signifikan
Kontrol Pribadi * Tingkat Stres
0,725
0,5256
0,000
Signifikan
Kontrol Pengobatan * Tingkat Stres
0,588
0,3457
0,000
Signifikan
Koherensi Penyakit * Tingkat Stres
0,496
0,2460
0,000
Signifikan
Respon Emosional * Tingkat Stres
0,483
0,2333
0,000
Signifikan
**taraf signifikan < 0,01 (one-tale)
Dari kedelapan aspek persepsi terhadap penyakit, aspek yang memiliki korelasi paling
tinggi dengan variabel tingkat stres adalah aspek konsekuensi, yaitu sebesar 0,779 dengan
koefisien determinasi 0,6068 atau 60,68%, sedangkan aspek yang memiliki korelasi paling
rendah dengan variabel tingkat stres adalah aspek waktu, yaitu sebesar 0,445 dengan
koefisien determinasi 0,1980 atau 19,80%.
13
Diskusi
Hasil penelitian yang diperoleh dari uji hipotesis menunjukkan bahwa terdapat hubungan
linier positif yang signifikan antara variabel persepsi terhadap penyakit dengan variabel
tingkat stres pada penderita diabetes mellitus tipe II di RSD Dr. Haryoto Lumajang. Semakin
tinggi skor yang diperoleh dari pengerjaan skala persepsi terhadap penyakit atau semakin
negatif persepsi terhadap penyakit maka semakin tinggi pula tingkat stres yang dialami oleh
penderita diabetes mellitus tipe II di RSD Dr. Haryoto Lumajang, sebaliknya semakin rendah
skor yang diperoleh dari pengerjaan skala persepsi terhadap penyakit atau semakin positif
persepsi terhadap penyakit, maka semakin rendah pula tingkat stres yang dialami oleh
penderita diabetes mellitus tipe II di RSD Dr. Haryoto Lumajang.
Hasil analisa secara statistik tersebut menunjukkan bahwa hipotesis yang diajukan
peneliti, yang menyatakan terdapat hubungan linier positif antara persepsi terhadap penyakit
dengan tingkat stres pada penderita diabetes mellitus tipe II di RSD Dr. Haryoto Lumajang
dapat diterima.
Berdasarkan penelitian yang dilakukan oleh Timmers, dkk. (2008) terhadap penyakit
dialisis, diketahui bahwa persepsi terhadap penyakit yang negatif akan membuat kualitas
hidup pasien dialisis rendah, dan persepsi terhadap penyakit yang positif akan membuat
kualitas hidup pasien dialisis tinggi. Dan penelitian yang dilakukan oleh Clark, dkk. (2011)
terhadap para karyawan, menunjukkan bahwa karyawan dengan tingkat stres tinggi memiliki
kualitas hidup yang rendah, sering merasa lelah, dan juga memiliki gangguan kesehatan jika
dibandingkan dengan karyawan yang memiliki tingkat stres rendah. Kualitas hidup ini
berhubungan dengan penyesuaian diri terhadap tuntutan situasi, apabila seseorang memiliki
kualitas hidup tinggi, maka seseorang tersebut dapat dengan mudah menyesuaikan diri
dengan tuntutan yang ada sehingga mengakibatkan stres yang dialami rendah, sebaliknya
seseorang yang memiliki kualitas hidup rendah, maka seseorang tersebut akan mengalami
14
kesulitan dalam menyesuaikan diri dengan tuntutan yang ada sehingga mengakibatkan stres
yang dialami tinggi.
Semakin negatif persepsi tentang penyakit yang diderita maka tuntutan situasi yang
dihadapi akan semakin besar sehingga seseorang akan mengalami kesulitan dalam
menyesuaikan diri dengan tuntutan yang diakibatkan oleh penyakit tersebut karena kualitas
hidup yang dimiliki rendah. Ketidaksanggupan seseorang menyesuaikan diri dengan tuntutan
yang ada akan menimbulkan ketegangan dalam diri dan mengakibatkan stres. Semakin lama
seseorang mengalami ketegangan dalam diri, maka semakin tinggi pula tingkat stres yang
dialami orang tersebut. Dengan kata lain semakin negatif persepsi seseorang terhadap
penyakit yang diderita, maka semakin tinggi pula tingkat stres yang dialami.
Berdasarkan hasil penelitian, diperoleh bahwa penderita diabetes mellitus tipe II di RSD
Dr. Haryoto Lumajang sebagian besar memiliki persepsi yang positif terhadap penyakitnya
dan mengalami tingkat stres yang rendah atau menurut Patel (Utomo, 2008) mengalami
optimum stress, yaitu seseorang mengalami kehidupan yang akibat proses manajemen yang
baik oleh dirinya. Persepsi yang positif terhadap penyakit yang diderita dan tingkat stres yang
rendah pada umumnya dialami oleh subjek penelitian yang menderita penyakit diabetes
mellitus tipe II dalam waktu yang lama, yaitu lebih dari 5 tahun. Hal ini menunjukkan bahwa
penderita diabetes mellitus tipe II sudah terbiasa atau sudah dapat beradaptasi dengan situasi
atau tuntutan yang harus mereka jalani, seperti melakukan kontrol gula darah setiap bulan di
rumah sakit, minum obat secara rutin, mengkonsumsi makanan sesuai yang dianjurkan ahli
gizi di rumah sakit dan tuntutan lainnya yang wajib dilakukan oleh penderita diabetes
mellitus tipe II, sehingga penderita tidak merasa terbebani dengan tuntutan dari penyakit yang
diderita tersebut. Menurut Middlebrooks & Audage (2008), ketika tuntutan situasi dirasakan
berbeda dengan situasi sebelumnya dan dinilai terlalu berat, maka stres akan terjadi. Oleh
karena penderita diabetes mellitus tipe II di RSD Dr. Haryoto Lumajang pada umumnya
15
sudah menderita penyakit tersebut dalam waktu yang lama, yaitu lebih dari 5 tahun, maka
mereka akan merasakan situasi yang dihadapi tidak terlalu berat, sebab mereka dapat
beradaptasi dengan situasi tersebut, sehingga tingkat stres yang dialami rendah.
Aspek konsekuensi memberikan sumbangan terbesar dalam korelasi terhadap tingkat
stres adalah karena ketika seseorang menganggap penyakitnya sebagai suatu hal yang normal,
maka penyakit yang diderita akan dianggap tidak membawa perubahan atau dampak yang
besar bagi kehidupan sehari-hari, mereka tetap dapat menyelesaikan pekerjaan dengan baik,
dapat beraktivitas seperti sebelumnya, dan lain sebagainya sehingga stres yang dialami akan
rendah, karena tidak ada perubahan situasi dari sebelum dan sesudah menderita penyakit. Dan
sebaliknya apabila seseorang menganggap penyakitnya sebagai suatu hal yang merugikan,
maka penyakit akan membawa dampak negatif yang besar bagi kehidupan sehari-hari, seperti
mengganggu kegiatan sehari-hari, sehingga stres yang dialami akan tinggi.
Besarnya sumbangan yang diberikan aspek konsekuensi terhadap tingkat stres sesuai
dengan pendapat yang dikemukakan oleh Ibrahim, dkk. (2011) bahwa seseorang yang
memiliki persepsi negatif terhadap penyakit yang diderita akan menganggap penyakit
tersebut sebagai sesuatu yang merugikan. Sedangkan seseorang yang memiliki persepsi
positif terhadap penyakit yang diderita, akan menganggap penyakit tersebut sebagai bagian
dari kehidupan yang normal.
Aspek waktu memberikan sumbangan terkecil bagi variabel persepsi terhadap penyakit
mengenai hubungannya dengan variabel tingkat stres disebabkan oleh pengetahuan yang
dimiliki subjek. Solso, dkk. (2008) menjelaskan bahwa persepsi dapat dipengaruhi bahkan
dapat diubah oleh pengetahuan yang dimiliki. Sebagian besar subjek adalah anggota dari
persatuan penderita diabetes mellitus (PERSADIA) yang sering mengikuti seminar tentang
diabetes yang diadakan di RSD Dr. Haryoto Lumajang, sehingga sumber info yang diperoleh
oleh tiap-tiap subjek sama, yaitu bahwa diabetes merupakan penyakit yang tidak bisa
16
disembuhkan dan sepanjang hidup mereka harus menjaga pola makan dengan mengurangi
makanan dan minuman yang manis. Dengan demikian jawaban dari pernyataan pada aspek
waktu di skala persepsi terhadap penyakit sebagian besar seragam, sehingga memberikan
pengaruh yang kecil terhadap hubungannya dengan tingkat stres yang dimiliki subjek.
Persepsi terhadap penyakit dapat digunakan untuk membimbing pasien dalam melakukan
perawatan terhadap penyakit yang diderita, seperti melakukan pengobatan dengan teratur.
Selain itu, beberapa penelitian juga menunjukkan bahwa persepsi negatif terhadap penyakit
dapat diubah menjadi persepsi yang positif. Pengubahan persepsi terhadap penyakit ini dapat
berfungsi untuk meningkatkan penyesuaian pasien terhadap penyakit yang diderita (Ibrahim,
dkk. 2011).
Saran
Penderita diabetes mellitus tipe II disarankan untuk dapat mengubah persepsi negatif
terhadap penyakit yang diderita dengan persepsi positif dengan cara mencari infomasi yang
benar tentang penyakit diabetes mellitus terutama mengenai cara mencegah naiknya kadar
gula darah. Selain itu penderita harus berusaha menerima diri apa adanya serta tidak menutup
diri, sehingga penderita akan dapat menjalani perawatan dengan baik untuk mengontrol kadar
gula darah yang dimiliki tanpa mengalami stres.
Untuk peneliti selanjutnya sebaiknya memperbanyak jumlah subjek yang hendak diteliti
sehingga didapatkan jumlah sampel yang representatif. Peneliti juga diharapkan dapat lebih
cermat dalam mengontrol faktor-faktor lain yang diperkirakan dapat mempengaruhi persepsi
terhadap penyakit dengan tingkat stres, misalnya lama (waktu) seseorang menderita suatu
penyakit.
17
Daftar Pustaka
American Diabetes Association. (2009). Diagnosis and Classification of Diabetes Mellitus.
Diabetes Care, 32 (1): S62-S67, (Online), (http://care.diabetesjournals.org/content/27/
suppl_1/s5.full.pdf, diakses atau diunduh 7 Februari 2012).
Arisman. (2011). Obesitas, Diabetes Mellitus & Dislipidemia: Konsep, Teori, dan
Penanganan Aplikatif. Jakarta: EGC.
.
Azwar, S. (2010). Penyusunan Skala Psikologi. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
Cahyadi, W. A. (2007). Hubungan antara Persepsi Terhadap Keadilan Kompensasi Dengan
Kepuasan Kerja Karyawan PT. Enseval Putera Megatrading Tbk. Cabang Semarang.
Skripsi, (Online), (http://eprints.undip.ac.id/10508/1/ Skripsi_Anton.pdf, diakses atau
diunduh 15 September 2011).
Chilcot, J. (2010). Studies of Depression and Illness Representations in End-Stage Renal
Disease.
Tesis.
(Online),
(https://uhra.herts.ac.uk/dspace/bitstream
/299/4796/1/Joseph%20Chilcot%20-%20final%20PhD%20submission.pdf,
diakses
atau diunduh 25 Januari 2012).
Clark, M.M., Warren, B.A., Hagen, P.T., Johnson, B.D., Jenkins, S.M., Werneburg, B.L., &
Olsen, K.D. (2011). Stress Level, Health Behaviors, and Quality of Life in Employees
Joining a Wellness Center. Journal of Health Promotion, 26 (1): 21-25, (Online),
(http://www.cfah.org/hbns/archives/viewSupportDoc.cfm?supportingDocID=1043,
diakses atau diunduh 2 Februari 2012).
Dewanti, S. (2010). Buku Pintar Kesehatan: Kolesterol, Dabetes Mellitus & Asam Urat.
Klaten: Kawan Kita.
Ibrahim, N., Desa, A., & Chiew-Tong, N.K. (2011). Illnes Perception and Depression in
Patients with End-Stage Renal Disease on Chronic Haemodialysis. Medwell Journal, 6
(3), 221-226, (Online), (http://docsdrive.com /pdfs/medwelljournals/sscience/2011/221226.pdf, diakses atau diunduh 25 Januari 2012).
Middlebrooks, J.S., & Audage, N.C. (2008). The Effects of Childhood Stress on Health
across
the
Lifespan,
(Online),
(http://www.cdc.gov/ncipc/pubres/pdf/childhood_stress.pdf, diakses atau diunduh 27 Januari 2012).
Mitra, A. (2008). Diabetes and Stress. Ethno-Med, 2 (2): 131-135, (Online),
(http://www.krepublishers.com/02-Journals/S-EM/EM-02-0-000-08-Web/EM-02-2000-08-Abst-PDF/EM-02-2-131-08-046-Mitra-A/EM-02-2-131-08-046-Mitra-A-Tt.
pdf, diakses atau diunduh 15 November 2011).
Pusat Data dan Informasi Kemenkes RI. (2012). Buletin Jendela Data dan Informasi
Kesehatan: Gambaran Penyakit Tidak Menular di Rumah Sakit di Indonesia Tahun
2009 dan 2010. Jakarta: Kementrian Kesehatan RI.
Sarafino, E.P., & Smith, T.W. (2011). Health Psychology: Biopsychosocial Interactions (7th
ed.). United States of Amerika: John Wiley & Sons. Inc.
18
Solso, R.L., Maclin, O.H., & Maclin. K.M. (2008). Psikologi Kognitif (8th ed.). Terjemahan
oleh Mikael Rahardanto dan Kristianto Bartuadji. Jakarta: Erlangga.
Sugiyono. (2010). Metode Penelitian Pendidikan: Pendekatan Kuantitatif, Kualitatif, dan
R&D. Bandung: Alfabeta.
Timmers, L., Thong, M., Dekker, F.W., Boeschoten, E.W., Heijmans, M., Rijken, M.,
Weinman, J., & Kaptein, A. (2008). Illness perceptions in dialysis patients and their
association with quality of life. Jurnal Psychology & Health, 23 (6): 679-690,
(Online), (http://nvl002.nivel.nl/postprint/PPpp3312.pdf, diakses atau diunduh 26
Januari 2012).
Utomo. (2008). Hubungan Antara Model-Model Coping Stres dengan Tingkat Stres pada
Mahasiswa Tahun Pertama Fakultas Psikologi Universitas Islam Negeri (UIN)
Malang. Skripsi. (tidak diterbitkan). Malang: Fakultas Psikologi Universitas Islam
Negeri.
WHO. (2006). Definition and Diagnosis of Diabetes Mellitus and Intermediate
Hyperglycemia.
Report,
(Online),
(http://www.who.int/diabetes/
publications/Definition%20and%20diagnosis%20of%20diabetes_new.pdf, diakses atau
diunduh 18 Oktober 2011).
Download