Sejarah kita telah mencatat berbagai ragam bentuk perjuangan, satu diantaranya adalah perjuangan tanpa mengangkat senjata yang juga sangat penting kita khidmati. Perjuangan di bidang pendidikan dan pers adalah satu diantaranya. Apa yang telah tokoh-tokoh nasional ini lakukan menjadi inspirasi dan teladan bagi generasi muda. Agar bangsa kita menjadi semakin maju dan berjaya kedepannya. Hal yang tepat kiranya jika para tokoh bangsa ini dipelajari dan gali kembali kiprahnya. Ada banyak tokoh nasional yang berjuang pada bidang pendidikan dan pers dan turut berpengaruh signifikan dalam mencerdaskan kehidupan berbangsa. Ide dan perjuangannya begitu monumental dan masih bias kita rasakan hingga saat ini. Para tokoh nasional dengan dedikasi tanpa kenal lelah mengorbankan harta, benda dan pikirannya demi kemerdekaan bangsa dan Negara Indonesia. Melalui buku ini kita diajak untuk kembali mengingat dan meneladani kiprah beberapa tokoh nasional secara khusus yang berasal dari Sumatera Barat dalam ranah perkembangan pendidikan dan pers di Indonesia. Ada 7 tokoh yang dimuat didalam buku ini. Semoga ini bias menjad inspirasi bagi Indonesia dan bahkan juga terdengar gaungnya hingga keluar negeri. Betapa bangganya kita sebagai anak bangsa. Petualang Literasi 7 TOKOH NASIONAL SUMATERA BARAT DI BIDANG PENDIDIKAN DAN PERS (Buku Pelajaran Sekolah untuk SMP) PURWANTO PUTRA PETUALANG LITERASI Tujuh Tokoh Nasional Sumatera Barat Di Bidang Pendidikan dan Pers (Buku Pelajaran Sekolah untuk SMP) Penulis: Purwanto Putra Editor: Renti Oktaria Desain Sampul dan Tata Letak: Tim Petualang Literasi Cetakan pertama, Juli 2019 ISBN: 978-623-91274-1-1 Penerbit: Yayasan Petualang Literasi, Depok Kantor Pusat: Jln. Cengkeh II Pondok Cina Kota Depok Redaksi Cabang: Jln. Nunyai No.59E Rajabasa - Bandarlampung petualangliterasi@gmail.com Hak cipta dilindungi undang-undang Dilarang memperbanyak isi buku ini, baik sebagian maupun seluruhnya, dalam bentuk apa pun tanpa izin tertulis dari penerbit, kecuali dalam hal pengutipan untuk keperluan penulisan artikel atau karang ilmiah dengan menyertakan sumber kutipan. Perpustakaan Nasional RI. Data Katalog dalam Terbitan (KDT) Purwanto Putra Tujuh Tokoh Nasional Sumatera Barat di Bidang Pendidikan dan Pers / Purwanto Putra; editor, Renti Oktaria. – Depok: Yayasan Petualang Literasi, 2019. 57 hlm. ; 21 cm. ISBN 978-623-91274-1-1 1.Pahlawan Sumatera Barat. I. Judul. II. Tim Petualang Literasi. 920.095 981 3 ii PENGANTAR Bismilahirahmanirahim, Bangga rasanya ketika mengingat-ingat kemajuan negara kita Indonesia. Suatu anugerah yang diberikan oleh Tuhan Yang Maha Esa melalui kerja keras diiringi doa. Saat membayangkan itu, hal yang seketika terlintas dipikiran adalah perjuangan para pahlawan bangsa tanpa kenal lelah untuk mencapai kemerdekaan Indonesia. Menjadi bangsa yang besar dan beradab. Para pahlawan bersatu dan berjuang secara bersama-sama dengan beragam cara, bersenjata atau tanpa senjata. Ada berbagai ragam perjuangan, satu di antaranya adalah perjuangan tanpa senjata yang sangat penting namun sering terlupakan adalah perjungan di bidang pendidikan dan pers. Apa yang mereka telah lakukan menjadai inspirasi dan panduan untuk kita terapkan. Agar bangsa kita menjadi semakin maju dan berjaya kedepannya. Hal yang tepat kiranya jika tokohtokoh dipelajari dan digali kembali kiprah ketokohannya. Ada banyak tokoh nasional yang berjuang pada bidang pendidikan dan pers dan berpengaruh signifikan signifikan dalam mencerdaskan bangsa. Ide dan perjuangannya begitu monumental dan beberapa masih dapat kita iii rasakan sampai saat ini. Para tokoh nasional ini dengan dedikasi tanpa kenal lelah telah mengorbankan harta dan bendanya. Melalui buku ini kita diajak untuk kembali mengingatkan dan meneladani kiprah beberapa tokoh nasional asal Sumatera Barat yang telah berjuang dan mengorbankan dirinya untuk perkembangan pendidikan dan pers di Indonesia. Ada 7 tokoh inspirasi yang kiprahnya bukan hanya di Indonesia dan bahkan juga diakui di luar negeri. Betapa bangganya kita. Penulis mengucapkan rasa hormat kepada para pembaca yang telah berkenan membaca buku ini dan Yayasan Petualang Literasi yang telah mengizinkan buku ini terbit. Semoga membawa manfaat bagi kita semua. Tarimokasih Depok, Maret 2018 iv DAFTAR ISI AGUS SALIM .................................................... 1 Masa Kecil dan Pendidikan .......................... 4 Kiprah ............................................................ 6 Akhir Hayat ................................................. 11 Penghargaan ................................................ 12 BAGINDO AZIZ CHAN ................................... 15 Masa Kecil dan Pendidikan ........................ 16 Kiprah .......................................................... 16 Akhir Hayat ................................................. 20 Penghargaan ................................................ 20 MOHAMMAD YAMIN .................................... 23 Masa Kecil dan Pendidikan ........................ 24 Kiprah .......................................................... 25 Akhir Hayat ................................................. 30 Penghargaan ................................................ 31 RAHMAH EL YUNUSIYYAH ........................ 33 Masa Kecil dan Pendidikan ........................ 34 Kiprah .......................................................... 35 Akhir Hayat ................................................. 35 Penghargaan ................................................ 37 1 RASUNA SAID................................................. 39 Masa Kecil dan Pendidikan ......................... 40 Kiprah ........................................................... 42 Akhir Hayat .................................................. 44 Penghargaan ................................................ 44 ROHANA KUDUS ........................................... 47 Masa Kecil dan Pendidikan ......................... 48 Kiprah ........................................................... 50 Akhir Hayat .................................................. 53 Penghargaan ................................................ 54 TAN MALAKA ................................................. 55 Masa Kecil dan Pendidikan ......................... 56 Kiprah ........................................................... 56 Akhir Hayat .................................................. 57 Penghargaan ................................................ 59 Daftar Pustaka ................................................. 61 2 AGUS SALIM “Sangkaan orang-orang itu sesungguhnya keliru. Pujian orang bahwa aku luar biasa pandai adalah berlebihan, karena mungkin mereka tak pernah melihat aku menekuni pelajaran di rumah." “Pelajaran di sekolah saja tidak cukup. Kita harus belajar sendiri untuk menambah pengetahuan dan pengalaman. Sekolah bukan satu-satunya tempat pendidikan, tetapi salah satu tempat pendidikan.” - Agus Salim - 3 AGUS SALIM (1884 – 1954) Masa Kecil dan Pendidikan K. H. Agus Salim lahir pada tanggal 8 Oktober 1884, di Kota Gadang, Kabupaten Agam (Bukittinggi), Sumatera Barat. Sebuah wilayah yang banyak melahirkan tokoh-tokoh intelektual di Indonesia. Haji Agus Salim lahir dengan nama Mashudul Haq yang berarti "pembela kebenaran". Ia merupakan anak keempat Sultan Moehammad Salim dari Sutan Mohamad Salim dan Siti Zainab. Ayahnya adalah seorang Hoofdjaksa (Jaksa Kepala) di Pengadilan Tinggi Riau dan daerah bawahannya. Agus Salim bisa belajar di sekolah-sekolah Belanda, selain karena dia anak yang cerdas juga karena kedudukan ayahnya. Pendidikan formal diperolehnya dari ELS dan HBS. Melalui jabatan ayahnya tersebutlah yang membuat Agus Salim bisa mendapatkan akses pendidikan ke ELS (Europeesche Lagere School), walaupun kebiasaan pada masa itu hanya menerima anakanak keturunan Eropa saja. Kemudian, ia juga berkesempatan melanjutkan ke HBS (Hogere Burger School), sekolah yang rata-rata muridnya adalah anak-anak Eropa. Agus Salim memang adalah anak yang sangat luar biasa cerdas. Kecerdasan Agus Salim 4 semasa muda bahkan sudah terkenal di seluruh Hindia Belanda. Pada usia muda, ia telah menguasai tujuh bahasa asing; Belanda, Inggris, Arab, Turki, Perancis, Jepang, dan Jerman. Pada 1903 ia lulus HBS (Hogere Burger School) atau sekolah menengah atas 5 tahun di usia 19 tahun dengan predikat lulusan terbaik HBS se-Hindia Belanda di tiga kota, yakni Surabaya, Semarang, dan Jakarta. Sebagai lulusan terbaik, ia melampaui anak-anak Eropa yang kebanyakan menjadi siswa di sekolah pemerintah Hindia Belanda tersebut. Setelah lulus Agus Salim ingin melanjutkan sekolah kedokteran di Belanda, berharap pemerintah Hindia Belanda bersedia mengabulkan permohonan beasiswanya. Ternyata permohonan itu ditolak. Dia patah arang. Tapi, kecerdasannya menarik perhatian Kartini, anak Bupati Jepara. Kartini mendapat beasiswa, namun pernikahan dan kepatuhan pada adat Jawa sehingga tak memungkinkan seorang puteri bersekolah tinggi. Maka kartini mencoba mengirim surat kepada Ny. Abendanon, istri pejabat Hindia Belanda yang menentukan pemberian beasiswa pemerintah pada Kartini. Kartini merekomendasikan Agus Salim untuk menggantikan dirinya berangkat ke Belanda mengalihkan beasiswa sebesar 4.800 gulden dari pemerintah ke Agus Salim. 5 Pemerintah akhirnya setuju. Tapi, Agus Salim menolak. Salim merasa tersinggung dengan sikap pemerintah yang diskriminatif. Ia tidak mau menerima karena berprinsip beasiswa itu bukan sebagai penghargaan atas kecerdasan dan jerih payahnya tetapi pemberian karena usul orang lain. Sehingga ia tetap menolak. “Kalau pemerintah mengirim saya karena anjuran Kartini bukan karena kemauan pemerintah sendiri, lebih baik tidak!” tegas Agus Salim. Keputusan yang diambil oleh Agus Salim juga berdasarkan pertimbangan yang diberikan Dr. Snouck Hurgronje, -seorang penasehat pemerintah kolonial Hindia Belanda untuk urusan pribumi. Ia menyarankan kepada Agus Salim agar tidak perlu menerima tawaran dari Kartini tersebut dan memberi tawaran alternative kepada Agus Salim untuk bekerja di konsulat Hindia Belanda di Jeddah, Arab Saudi. Kiprah Setelah menghadapi situasi tersebut, Agus Salim memilih berangkat ke Jedah, Arab Saudi, untuk bekerja sebagai penerjemah di konsulat Belanda. Ia berada di kota tersebut antara 19061911. Memperdalam ilmu agama Islam pada Syech Ahmad Khatib, imam Masjidil Haram yang sekaligus merupakan pamannya, serta mempelajari diplomasi. 6 Sepulang dari Jedah, pada tahun 1912 Agus Salim mendirikan sekolah dasar swasta, Hollands Inlandse School (HIS), di kampung halamannya. Di sekolah ini berlaku aturan yang istimewa. Anak-anak yang cerdas namun tidak mampu dibebaskan dari uang sekolah. Guru-gurunya pun mengajar dengan sukarela. Ia benar-benar menerapkan prinsip pengabdian. Para guru secara sukarela mengajar tanpa imbalan gaji, hanya diberi pengganti uang lelah. Kiprah Agus Salim pada masa pergerakan nasional memang lebih banyak dalam bidang politik dan diplomasi. Namun, ia juga pernah mengabdikan hidupnya di bidang pendidikan dengan mendirikan sekolah sekaligus sebagai guru di sekolah tersebut. Agus Salim tertarik membuka sekolah formal tidak lain karena ia ingin agar anak-anak Indonesia memiliki jiwa kebangsaan yang kuat. Agus Salim sangat berharap, para anak didiknya akan menjadi pemimpin bangsa ini suatu saat nanti. Meskipun pernah menjadi siswa terpintar di HBS se Hindia Belanda, khusus untuk anakanaknya Agus Salim tidak ingin anak-anaknya menimba ilmu di sekolah buatan pemerintah kolonial. Karena Agus Salim menganggap pendidikan kolonial sebagai “jalan berlumpur” 7 sehingga ia tidak mau tercebur di dalamnya. anak-anaknya ikut Semasa hidupnya ia dan keluarganya hidup berpindah-pindah rumah kontrakan saat di Surabaya, Yogyakarta, dan Jakarta. Di rumah yang sederhana dia menjadi pendidik bagi anakanaknya secara mandiri. Anak-anaknya dididik secara langsung oleh Agus Salim, Agus Salim memiliki 8 anak, dari seluruh anaknya hanya yang bungsu Abdur Rachman Ciddiq yang sempat bersekolah secara formal, itu pun setelah berakhirnya era kolonial Belanda di Indonesia. Anak-anak Agus Salim lainnya dididik sendiri di rumah. Dengan demikian, rasanya kemungkinan Agus Salim lah yang pertama menerapkan konsep home schoolling (sekolah rumah) di Indonesia. Agus Salim tidak memasukan anakanaknya ke pendidikan formal. Alasannya, karena selama hidupnya Agus Salim merasa mendapatkan pelajaran kehidupan sesungguhnya adalah saat berada luar sekolah. Pepatah Minang yang ia amalkan, Alam takambang jadi Guru belajar dari alam. Ia pernah menyatakan. ”Saya telah melalui jalan berlumpur akibat pendidikan kolonial,” sebagai bentuk protes dan penolakannya terhadap pendidikan formal 8 kolonial. Ia ingin sekolah yang mandiri sesuai kebutuhan masyarakat pribumi. Agus Salim menyadari bahwa pola berpikir seseorang akan sangat dipengaruhi oleh latar belakang hidup di lingkungannya. Secara sosialintelektual karena ia adalah anak dari pejabat pemerintah yang juga berasal dari kalangan bangsawan dan agama. Maka, sejak kecil ia hidup di lingkungan yang penuh dengan nuansa-nuansa keagamaan. Bahkan, setelah menyelesaikan studi sekolah pertengahannya di Jakarta, sembari bekerja untuk konsulat Belanda di Jeddah (1906-1909). Di sana ia juga mempelajari kembali lebih mendalam tentang Islam. Secara terbuka ia memberikan pengakuan yang kemungkinan sekaligus adalah kekhawatirannya terhadap generasi muda penerus bangsa. Ia menyatakan bahwa, “meskipun saya terlahir dalam sebuah keluarga Muslim yang taat dan mendapatkan pendidikan agama sejak dari masa kanak-kanak, namun setelah masuk sekolah Belanda saya mulai merasa kehilangan iman.” Pernah suatu ketika Jef Last, seorang wartawan yang juga mantan aktivis sosialis Belanda teman Agus Salim di Amsterdam pada tahun 1930 bertanya yang pertamakali bertemu 9 dengan, “Bagaimana mungkin Islam –putra keenam Agus Salim, Islam Basari Salim, begitu fasih berbahasa Inggris kalau dia tidak pernah disekolahkan?” Pertanyaan tersebut segera dijawab Agus Salim, dengan perumpamaan, “Apakah Anda pernah mendengar tentang sebuah sekolah di mana kuda diajari meringkik? Kuda-kuda tua meringkik sebelum kami, dan anak-anak kuda ikut meringkik. Begitu pun saya meringkik dalam bahasa Inggris dan Islam pun ikut meringkik, juga dalam bahasa Inggris.” Artinya ia menerapkan pendidikan bahas Inggris dalam interaksi kesehariaan bersama anak-anaknya. Agus Salim menerapkan metode belajar yang menyenangkan pada anak-anaknya. Proses pembelajaran tidak harus berlangsung di dalam ruangan kelas seperti halnya di sekolah formal, namun Agus Salim sering membawa anakanaknya untuk belajar di luar rumah, atau di mana saja. Dalam hal pelajaran berhitung, membaca dan menulis diberikan dalam pola bermain sehingga anak-anak Agus Salim pun dengan relatif cepat mampu menyerap materi yang disampaikan. Untuk pelajaran budi pekerti, sejarah, dan materi ilmu sosial lainnya, Agus Salim lebih sering memberikan melalui cerita dan 10 diskusi, layaknya interaksi antara ayah dan anak dalam keluarga. Selain itu, untuk melatih daya kritis anak, ia memberikan ruang kepada anak-anaknya untuk bertanya serta mengkritik. Agus Salim tidak ingin anak-anaknya hanya sekadar pasif mendengarkan tanpa adanya respon balik. Hal paling utama dalam konsep pembelajaran yang diterapkan Agus Salim kepada anak-anaknya adalah membaca. Agus Salim menjadikan kegiatan membaca sebagai kebiasaan dalam keluarga. Ia memiliki perpustakaan pribadi di rumahnya, berbagai buku tersedia termasuk buku-buku berbahasa asing. Sesuatu yang belum lumrah bagi orang-orang pada masa tersebut. Pemikirannya memang sungguh visioner. Mungkin atas dasar inilah, untuk memajukan pendidikan anak bangsa pada masa itu. Menjadi salah satu pendorong Agus Salim juga turut mendirikan sekolah dan memeberikan sumbangsih pemikiran dan tenaganya untuk mengajar di samping kesibukan utamanya di bidang politik. Akhir Hayat Begitulah, cara mendidik yang tertanam dan melekat pada diri Agus Salim. Beliau adalah orang yang pintar dari sisi akademis dan 11 penganut Islam yang taat, namun ia juga seorang moderat yang tidak melihat segala sesuatu dari sudut yang sempit. Setelah menjalani kehidupannya yang penuh prestasi dan teladan. Agus Salim menghembuskan napas terakhirnya pada 4 November 1954 di Jakarta. Meninggal pada usia 70 tahun di RSU Jakarta. Jasad beliau dimakamkan di Taman Makam Pahlawan Kalibata, Jakarta. Jenazah Agus Salim adalah yang pertama dimakamkan di Taman Makam Pahlawan (TMPN) Nasional Kalibata Jakarta. TMPN mulai dibangun tahun 1953 dan diresmikan penggunaannya pada 10 November 1954. Penghargaan Perjuangan Agus salim dalam meraih kemakmuran bagi rakyat Indonesia patut kita apresiasi bersama sebagai rasa syukur kita kepada Tuhan Yang Maha Esa. Semasa hidupnya, Agus Salim tak pernah di beri tanda jasa. Secara Anumerta kemudian ia menerima penghargaan dari pemerintah, yaitu Bintang Mahaputera Tingkat I pada tanggal 17 Agustus 1960 dan penghargaan Satyalencana Peringatan Perjuangan Kemerdekaan pada 20 Mei 1961. 12 Selanjutnya, ia dianugerahi Gelar Pahlawan Kemerdekaan Nasional oleh Presiden Soekarno. Haji Agus Salim ditetapkan sebagai salah satu Pahlawan Nasional Indonesia pada tanggal 27 Desember 1961 melalui Keppres nomor 657 tahun 1961. Kemudian, nama Agus Salim juga diabadikan sebagai nama stadion sepak bola Stadion Agus Salim. Sebuah stadion sepak bola di Kota Padang, Sumatera Barat, yang merupakan markas klub sepak bola Semen Padang dan PSP Padang. Stadion ini dinamakan sesuai nama beliau untuk menghormati jasa-jasa Haji Agus Salim. 13 14 BAGINDO AZIZ CHAN “Tidak merdeka, tanpa mereka.” “Entahlah kalau mayat saya sudah membujur, barulah Padang akan saya tinggalkan.” - Bagindo Aziz Chan - 15 BAGINDO AZIZ CHAN (1910 – 1974) Masa Kecil dan Pendidikan Bagindo Aziz Chan, dilahirkan pada 30 September 1910, di Kampung Along Laweh, Koto Padang Sumatera Barat. Ia lahir sebagai anak keempat dari enam bersaudara, buah pernikahan, dari ayahnya Bagindo Montok dengan ibunya, Djamilah. Bagindo Aziz Chan mengenyam pendidikan HIS di Padang, MULO di Surabaya, dan AMS di Batavia. Tamat dari AMS, lalu sempat dua tahun duduk di Rechtshoogeschool te Batavia (RHS). Ketika resmi menikah, sesuai dengan adat yang berlaku di daerah Pariaman, maka Aziz Chan memperoleh gelar 'Bagindo'. Kiprah Bagindo Aziz Chan merupakan Wali Kota Padang, namun sebelum itu ia sempat membuka praktik pengacara dan aktif di beberapa organisasi, di antaranya sebagai pengurus Jong Islamieten Bond pimpinan Agus Salim. Kemudian ia kembali ke kampung halamannya pada tahun 1935, Di kampung halaman Aziz Chan memulai 16 pengabdiannya sebagai guru di beberapa sekolah di Padang dan berkali-kali pindah mengajar ke luar kota. Iapun sempat aktif di Persatuan Muslim Indonesia (PERMI) hingga organisasi tersebut dibubarkan Pemerintah Kolonial Belanda pada tahun 1937. Ia terus melakukan perlawanan dalam masa bergerak tersebut. Salah satunya dengan menerbitkan surat kabar perjuangan yang bernama Republik Indonesia Jaya. Setelah 2 tahun kemerdekaan Indonesia, di tahun 1947 usaha yang dilakukan untuk mempertahankan kemerdekaan Indonesia semakin berat. Menghadapi kedatangan kembali Belanda yang membonceng pasukan Sekutu untuk menggelar operasi militer yang dikenal dengan Agresi Militer Belanda. Hal tersebut sebenarnya melanggar isi Perjanjian Linggarjati untuk melakukan gencatan senjata. Belanda mulai dengan menyerang Pulau Jawa dan Sumatera pada 21 Juli 1947. Satu di antaranya adalah Kota Padang, yang memiliki posisi strategis dan tentunya akan menguntungkan pihak Belanda jika berhasil menguasainya. Keadan dimasa itu, setelah Pemerintah Belanda meluaskan kekuasaan di Kota Padang dan sekitarnya, TRI (Tentara Republik Indonesia) 17 mundur ke daerah pedalaman, namun tempattempat penting masih dalam kekuasaan Republik Indonesia. Maka dicari siapa yang akan diangkat menjadi wali kota Padang, karena markas tentara dan Pemerintah Republik telah dipindahkan ke Bukittinggi, ketika itu hampir tidak seorang pun ada yang berani karena jabatan walikota pada masa itu penuh dengan risiko. Akhirnya dari rapat tersebut disepakatilah memilih Bagindo Aziz sebagai walikota, dengan mengucap Basmallah Aziz Chan, bersedia menerima jabatan tersebut. Penunjukkannya saat itu sempat menimbulkan pertanyaan, lebih kepada usianya yang masih sangat muda yakni 36 tahun. Beberapa pihak menilai Bagindo Aziz Chan belum terlalu berpengalaman dan terlalu beresiko menempatkannya dalam posisi Wali Kota Padang. Namun Presiden Soekarno percaya kalau Bagindo Aziz Chan ini sudah cukup mumpuni untuk memimpin Kota Padang yang saat itu berada di tengah tekanan Sekutu dan Belanda yang membonceng atas nama NICA. Pada 15 Agustus 1946, Bagindo Aziz Chan dilantik sebagai wali kota Padang, menggantikan Mr Abubakar Jaar yang pindah tugas menjadi residen di Sumatera Utara. Masa awal 18 jabatannya, Bagindo Aziz Chan sebagai perwakilan pihak Republik Indonesia bersama Gubernur Muda Dr M Djamil dan Kepala Polisi Sumatera Barat Azhari mencoba berunding dengan pihak Sekutu yang diwakili Brigadir Thomson, Mayor Fisher, dan Kapten Gilman. Untuk membicarakan masalah keamanan dan keselamatan warga kota sehubungan keberadaan pasukan Sekutu. Kesepakatan yang diambil pihak Sekutu berjanji bekerja sama dan menjaga keamanan Kota Padang. Di balik itu untuk melanggengkan kembali kekuasaanya, pihak Belanda berusaha untuk membujuk sang wali kota agar mau bekerja sama. Namun secara tegas Bagindo Aziz Chan menyatakan, ia tidak akan pernah melepaskan Kota Padang yang sedang dipimpinnya. Dampaknya, Aziz Chan menjadi sasaran tentara Belanda sebagai musuh nomor satu yang harus segera disingkirkan. Bagindo Aziz Chan merupakan orang yang memegang teguh prinsip dan bertekad menegakkan pemerintahan, meski dalam keadaan sesulit apa pun. Kegigihannya dalam mengemban tanggung jawab wali kota tergambar dalam pernyataanya, "Entahlah kalau mayat saya sudah membujur, barulah Padang akan saya tinggalkan." 19 Akhir Hayat Sebagai upaya untuk menyingkirkan Bagindo Aziz Chan, sebuah skenario disusun oleh Belanda. Aziz Chan diminta datang untuk menenangkan situasi setelah terjadinnya insiden yang yang berlangsung di Simpang Lapai Padang pada 19 Juli 1947. Insiden tersebut melibatkan seorang tentara Belanda bernama van Erp. Strategi tersebut ternyata berhasil mehilangkan Bagindo Aziz Chan. Beliau wafat akibat pukulan benda keras pada kepala kanan bagian belakang. Sementara, untuk mengelabui penyebab kematiannya, ditemukan tiga bekas tembakan di badannya yang dilakukan Belanda untuk menutupi kematiannya. Bagindo Aziz Chan dimakamkan di Taman Makam Pahlawan Bahagia Bukittinggi, Sumatera Barat. Penghargaan Dalam rangka mengenang perjuangan dan jasa-jasa Bagindo Aziz Chan, sebagai pengingat dan pelajaran bagi generasi muda, beberapa penghargaan diberikan kepada sang Bagindo Selain diabadikan menjadi nama jalan di Bukittinggi dan Padang, dibangun juga tugu Tinju atau Monumen Bagindo Aziz Chan di Kota Padang. Tugu berbentuk kepalan tangan atau 20 yang lebih dikenal dengan Tugu Simpang Tinju untuk mengenang jasa sang walikota. Karena jasa-jasanya yang begitu besar bagi negara, Bagindo Aziz Chan pada 9 November 2005, menerima Bintang Maha Putera Adipradana. Kemudian, dianugerahi Gelar Pahlawan Nasional Indonesia pada 9 November 2005 oleh pemerintah RI. Berdasarkan SK Presiden Republik Indonesia No.082/TK/Tahun 2005. Sosok pemimpin muda yang revolusioner, sikap pemberani, konsisten dalam bertindak, berpendirian teguh, dan tidak pernah gentar menghadapi musuh menjadikan Bagindo Aziz Chan sebagai tokoh yang patut diteladani. Perjuangan dan pengorbanannya akan selalu menjadi inspirasi dan semangat juang bangsa ini. 21 22 MOHAMMAD YAMIN “Cita-cita persatuan Indonesia itu bukan omong kosong, tetapi benar-benar didukung oleh kekuatan-kekuatan yang timbul pada akar sejarah bangsa kita sendiri.” - Mohammad Yamin - 23 MOHAMMAD YAMIN (1903 – 1962) Masa Kecil dan Pendidikan Mr. Mohammad Yamin lahir pada 24 Agustus 1903 di Talawi, Sawahlunto, Sumatera Barat. Mohammad Yamin merupakan anak dari pasangan, ayahnya bernama Tuanku Oesman Gelar Baginda Khatib dan Ibunya bernama Siti Saadah. Dalam riwayat pendidikanya Mr. Muhammad Yamin selalu berpindah-pindah sekolah karena pembelajaran, menurutnya apa yang ia dapatkan di sekolah tidak ada yang sesuai dengan kebutuhan dan kepribadianya. Menempuh pendidikan dasarnya di HollandschInlandsche School (HIS) Palembang. Hingga pada akhirnya ia memutuskan untuk menetap dan menyelesaikan sekolahnya di AMS (Algemene Middelbare School) yaitu sebuah Sekolah Tinggi Hukum di Yogyakarta pada tahun 1927. Menurutnya sekolah ini adalah yang paling sesuai dengan kebutuhannya, karena di sekolah ini ia dapat mempelajari apa yang menjadi minatnya, seperti budaya, bahasa, dan sejarah. Saat di AMS di Yamin mulai belajar tentang 24 purbakala dan berbagai bahasa mulai dari bahasa Yunani, bahasa Latin dan bahasa Kaei. Setelah lulus dari AMS, Yamin berniat melanjutkan pendidikannya ke Leiden, Belanda namun niat tersebut ia urungkan karena sang ayah meninggal dunia. Akhirnya Yamin melanjutkan pendidikannya di Rechtshoogeschool te Batavia yaitu Sekolah Tinggi Hukum di Jakarta (sekarang Fakultas Hukum Universitas Indonesia), pada tahun 1932 ia mendapatkan gelar Meester in de Rechten atau Sarjana Hukumnya. Pada tahun 1937, Mohammad Yamin menikah dengan Siti Sundari yaitu seorang putri bangsawan dari Kadilangu, Demak, Jawa Tengah dan dari perkawinan tersebut mereka dikaruniai seorang putra bernama Dang Rahadian Sinayangsih Yamin. Kiprah Sebagai seorang pemuda yang menyaksikan bangsanya berada di bawah kekuasaan Pemerintahan Hindia Belanda. Saat itu usianya 25 tahun. Muhammad Yamin telah berhasil mencetuskan sumpah atau ikrar pemuda yang diucapkan di malam penutupan Kongres Pemuda II pada tahun 1928. 25 Muhammad Yamin lahir pada era ketika Indonesia hanya punya dua pilihan: bersatu padu atau bercerai berai. Maka dari itu, Muhammad Yamin merupakan sosok yang sangat memperhatikan pendidikan masyarakat di Indonesia. Dalam urusan pendidikan, beberapa di antara usulan Muhammad Yamin yang diuraikan dari pemikiran-pemikiran besarnya. Hal pertama adalah mengenai garis-garis besar pendidikan dan pengajaran. Ia berpendapat bahwa pendidikan harus didasarkan pada pengajaran yang bersendikan agama. Oleh karena itu pendidikan dan pengajaran nasional harus berbasis pada agama dan kebudayaan bangsa serta menuju keselamatan dan kebahagiaan Indonesia. Pendidikan perlu diarahkan untuk mendukung adanya kebudayaan bangsa. Sehingga pendirian lembaga pendidikan harus dibuka dengan seluas-luasnya dengan melibatkan masyarakat untuk mendirikan sekolah partikelir. Kepada masyarakat yang tidak mampu harus dibebaskan dari membayar. Pemikiran kedua tentang tingkatan sekolah, menurutnya susunan sekolah harus diatur dari tingkatan sekolah rakyat sampai tingkatan sekolah menengah tinggi, dan diadakan 26 sekolah pengetahuan umum dan khusus. Selain itu, untuk mendapatkan tenaga-tenaga yang memilik kompetensi perlu didirikan sekolah kepandaian antara lain, sekolah pertanian, pertukangan, teknik, musik, kesehatan, perikanan, dan yang tidak kalah pentingya adalah bahwa untuk perluasan pendidikan didirikan sekolah-sekolah untuk mendidik guru, baik untuk guru biasa, pendidikan secara kilat, dan juga pendidikan tinggi atau universitas. Pada masa kabinet Ali Sastroamidjojo, Muhammad Yamin diangkat sebagai Menteri Pengajaran Pendidikan dan Kebudayaan. Selama menjadi Menteri Pengajaran Pendidikan dan Kebudayaan (PP dan K), Muhammad Yamin telah menetapkan dasar-dasar pengembangan pendidikan yang berpengaruh sangat signifikan. Pada masanya UU No.1 Tahun 1954 yang menetapkan bahwa UU No.4 tahun 1950 RI dahulu telah berlaku di seluruh Indonesia, hal ini untuk keseragaman dilapangan pendidikan, pengajaran dan kebudayaan. Di samping itu dalam rangka mengembangkan pendidikan yang lebih maju dan berkualitas, kementrian PP dan K yaitu Muhammad Yamin menetapkan rencana 10 tahunan (1950-1960) yang bertujuan untuk menyiapkan pondasi bagi pembangunan yang dinamakan “kewajiban belajar”. Untuk 27 mempertahankan mutu pendidikan di perguruan tinggi maka para pengajar pada sekolah lanjutan bagian atas harus mendapatkan pendidikan yangbersifat universiter. Maka dari itu, kementrian PP dan K telah menyiapkan pendirian Perguruan Tinggi Pendidikan Guru (PTPG) Mr. Muhammad Yamin adalah Menteri Pendidikan, Pengajaran dan Kebudayaan (PP dan K) Republik Indonesia 1953-1955 dan juga menjabat sebagai Ketua Jurusan Sejarah budaya Perguruan Tinggi Pendidikan Guru (PTPG) dan Fakultas Keguruan dan Ilmu PendidikanUniversitas Padjajaran (FKIP-UNPAD) Bandung tahun 1954-1962. Kemudian FKIP memisahkan diri dengan menjadi Institut Keguruan dan Ilmu Pendidikan (IKIP) Bandung pada tahun 1963 dan kemudian menjadi Universitas Pendidikan Indonesia (UPI) pada tahun 1999. Bagi kebanyakan orang pada masa awal kemerdekaan Republik Indonesia tahun 1950-an, mendirikan lembaga pendidikan guru setingkat universites bukan sesuatu yang mudah dan sangat berat, tapi pandangan tersebut tidak berlaku bagi sosok Muhammad Yamin. Kesempatan saat menjadi menteri PP dan K digunakan dengan sangat baik yaitu untuk memulai tonggak sejarah dalam dunia pendidikan guru. 28 Sebuah gagasan yang diwujudkan setelah sembilan tahun Indonesia menyatakan menjadi negara yangmerdeka. Sebelum ini pemerintah Hindia Belanda tidak suka dengan pendidikan guru, karena hal ini akan mencerdaskan kehidupan orang-orang koloni HIndia Belanda. Hingga pada akhir tahun 1940-an, belum terpikirkan untuk mendirikan pendidikan guru tingkat universitas. Mulalui Muhammad Yamin, PTPG pun hadir ditengah kebutuhan bangsa Indonesia yang mendesak akan pendidikan tinggi bagi para guru. Menurut Muhammad Yamin guru sangat berperan dalam membantu perkembangan anak didik untuk mewujudkan tujuan hidupnya secara optimal. Minat, bakat, kemampuan, dan potensipotensi yang dimiliki oleh anak didik tidak akan mencapai perkembangan yang optimal tanpa bantuan guru untuk mentumbuh kembangkannya. Mohammad Yamin pernah menduduki bebarapa jabatan sebagai menteri, diantaranya Menteri Kehakiman (1951-1952), Menteri Pengajaran, Pendidikan, dan Kebudayaan (1953– 1955), Menteri Urusan Sosial dan Budaya (19591960) 29 Akhir Hayat Mr. Moh. Yamin sempat sakit parah dan dirawat di Rumah Sakit Pusat Angkatan Darat, RSPAD Jakarta. Hingga akhirnya menghembuskan nafas terakhirnya pada tanggal 17 Oktober 1962, di umur 69 tahun. Sebelum meninggal beliau sempat menitipkan pesan kepada Chaerul Saleh yang disampainkannya ke Buya Hamka, bahwa jika wafat ia ingin dimakamkan di kampung halamannya yang telah lama tidak dikunjungi. Dari pesan yang disampaikan, ia sangat khawatir jika masyarakat Talawi tidak berkenan menerima jenazahnya. Karena ketika terjadi pergolakan di Sumatara Barat, Muhammad Yamin turut mengutuk aksi pemisahan dari wilayah dari NKRI. Sehingga, ia mengharapkan buya Hamka bisa menemaninya sampai ke dekat liang lahatnya. Buya Hamka dan Menteri Chairul Saleh lalu datang ke rumah sakit dan mendampingi beliau menjelang akhir hayatnya. Awalnya pemerintah telah mempersiapkan acara pemakaman kenegaraan di TMP Kalibata, Jakarta. Namun, karena wasiat terakhir beliau yang ingin dimakamkan di kampung halaman Talawi, Sawahlunto. Maka Presiden Soekarno memerintahkan Gubernur Sumatera Barat ketika itu Drs. Harun Zen untuk mempersiapkan upacara kenegaraan. Buya Hamka turut 30 mendampingi dan Menteri Chaerul Saleh menjadi inspektur upacaranya. Penghargaan Mr. Muhammad Yamin karena jasajasanya dianugerahi berbagai penghargaan di antaranya Gelar Pahlawan Nasional pada tahun 1973 sesuai dengan SK Presiden RI No. 088/TK/1973. Kedua, Gelar Bintang Maha Putra RI. Ketiga, Gelar Tanda Penghargaan dari Corps Polisi Militer sebagai pencipta lambang Gadjah Mada dan Pancadarma Corps. Keempat, Gelar Tanda Penghargaan Panglima Kostrad atas jasanya menciptakan Petaka Komando Strategi Angkatan Darat. Selain gelar, ia juga banyak menciptakan karya-karya, beberapa diantara karya-karyanya yang terkenal yaitu Gadjah Mada. 31 32 RAHMAH EL YUNUSIYYAH “Kalau saya tidak mulai dari sekarang, maka kaum saya akan tetap terbelakang. Saya harus mulai, dan saya yakin akan banyak pengorbanan dituntut dari diri saya” - Rahmah El Yunusiyyah - 33 RAHMAH EL YUNUSIYYAH (1900 – 1969) Masa Kecil dan Pendidikan Rahmah El Yunusiyah dilahirkan pada tanggal 20 Desember 1900 atau 1 Rajab 1318H, di Bukit Surungan, Padang Panjang, Sumatera Barat. Sebagai saksi bahwa dari sanalah calon Mujahidah lahir dan tumbuh. Merupakan anak bungsu dari lima bersaudara yang terlahir dari seorang Ayah yang bekerja sebagai Hakim dan ahli Ilmu Falak (astronomi) bernama Muhammad Yunus bin Imanuddin dengan seorang ibu bernama Rafi’ah. Masa kecil Rahmah diisi dengan pendidikan, ia mendapat pendidikan formal sekolah dasar dalam kurun waktu tiga tahun di tanah kelahirannya, Padang Panjang. Ketika ia berusia 15 tahun, ia mendapatkan pendidikan bahasa Arab dan Latin dari Diniyah School (1915) dan melalui dua orang kakaknya, Zaenuddin Labay dan Muhammad Rasyid. Hampir setiap sore, saat Rahmah sudah remaja secara rutin mengaji pada Haji Abdul Karim Amrullah yang merupakan ayah dari Haji Abdul Malik Karim Amrullah atau HAMKA di surau Jembatan Besi, Padang Panjang. Ketika memasuki usia 23 tahun, Rahmah nampak begitu istimewa untuk ukuran 34 kebanyakan perempuan seusianya. Keinginan besarnya untuk memajukan keilmuan kaumnya dan mengeluarkan kaumnya dari kebodohan begitu besar. Menurut Rahmah, perempuan memiliki peran yang penting dalam kehidupan, utamanya dalam rumah tangga. Karena rumah tangga adalah bagian dari tiang masyarakat dan masyarakat adalah tiang negara. Tentulah ia tidak mau, kaumnya yang mempunyai peran penting dalam tiang negara dan pendidikan anakanaknya tertinggal dari laki-laki. Kiprah Ia merasa risau saat melihat perempuanperempuan di daerahnya belum mendapatkan pendidikan yang sama seperti yang didapatkan laki-laki, khususnya pada pendidikan agama. Padahal Islam sendiri tidak pernah membatasi perempuan untuk menuntut ilmu. Ia gelisah, saat para perempuan masih terbelenggu oleh kebodohan dan ia mencarikan jalan keluar melalui pendidikan. Rahmah sadar bahwa hanya melalui pendidikan, cara untuk keluar dari ketertinggalan dan secara bersama-sama mencapai kemajuan. Akhir Hayat Pada 1961, Rahmah El Yunusiyyah kembali memimpin perguruannya setelah tiga 35 tahun ditinggalkannya pasca-pergolakan PRRI. Pada 1964, Rahmah mengidap sakit tumor payudara dan menjalani operasi di RS Pirngadi, Medan. Pada Desember 1967, setelah pulih dari sakit Rahmah berkunjung ke Jakarta untuk terakhir dalam rangka pembentukan Dewan Kurator Perguruan Tinggi Diniyah Putri. Pada Juli 1968, kondisi fisik yang semakin lemah, masih sempat berangkat menuju Kelantan ditemani keponakannya Isnaniah Saleh. Rahmah El Yunusiyyah menemui alumni Diniyah Putri di beberapa negara bagian Malaysia. Mereka menyinggahi Penang, Perak, Kuala Terengganu, dan Kuala Lumpur. Namun, dalam kunjungannya yang ketiga dan terakhir ke Malaysia itu, ia tidak dapat bicara banyak karena kesehatannya yang menurun. Rahmah El Yunusiyyah meninggal mendadak dalam usia 71 tahun dalam keadaan berwudu hendak salat Magrib pada 26 Februari 1969 di Padangpanjang, Sumatera Barat. Jenazahnya dimakamkan di pekuburan keluarga yang terletak di samping rumahnya. Setelah Rahmah El Yunusiyyah wafat, kepimpinan Diniyah Putri dilanjutkan oleh Isnaniah Saleh sampai 1990. Saat ini, Diniyah Putri dipimpin oleh Fauziah Fauzan sejak September 2006 dan telah memiliki jenjang pendidikan mulai dari TK hingga perguruan tinggi. 36 Penghargaan Mendapat gelar Doctor Honoris Causa dari Al Azhar University Tahun 1957. Merupakan gelar yang diberikan oleh suatu perguruan tinggi kepada yang memenuhi syarat tanpa orang tersebut perlu mengikuti dan lulus dari universitas bila seseorang telah dianggap berjasa luar biasa bagi ilmu pengetahuan dan umat manusia. Gelar yang diperoleh Rahmah El Yunusiyyah merupakan syaikkah yaitu satusatunya gelar yang pernah diberikan oleh Al Azhar untuk perempuan. Rahmah El Yunusiyyah dianugerahi gelar Bintang Mahaputera Adiparna. Merupakan penghargaan tertinggi Negara yang diakui secara nasional dan internasional diberikan kepada seseorang yang telah berjasa luar biasa dalam bidang pendidikan, ekonomi, politik, ilmu pengetahuan dan teknologi termasuk perjuangan bangsa. Penghargaan tersebut diserahkan pada 13 Agustus 2013 oleh Presiden Republik Indonesia ketika itu Dr. H. Susilo Bambang Yudhoyono di Istana Negara dan diterima oleh ahli waris sekaligus Pimpinan Diniyyah Puteri. 37 38 RASUNA SAID Bahwa seorang pelajar setidaknya perlu dilengkapi dengan berbagai macam kepandaian untuk mereka yang akan berkecimpung dalam pergerakan. - Rasuna Said - 39 RASUNA SAID (1910-1965) Masa Kecil dan Pendidikan Rasuna Said, dilahirkan pada tanggal 14 September 1910, di desa Panyinggahan Maninjau. Kabupaten Agam, Sumatera Barat. Ia lahir dari ayahnya Muhammad Said atau yang kerap disapa Haji Said saat masih muda merupakan seorang aktivis pergerakan dan pengusaha di Sumatera Barat. Lahir dan tumbuh dilingkungan keluarga yang cukup terpandang. Karena kesibukan ayahnya, sejak kecil Rasuna dibesarkan di keluarga pamannya (kakak Haji Said). Berasal dari keluarga terpandang pada masa itu, menjadikan kebutuhan pendidikannya terpenuhi dengan baik. Sekolah pertama Rasuna Said ialah Sekolah Desa yang berada di dekat tepian Danau Maninjau. Ayahnya mulai memasukkan ke sekolah tersebut pada tahun 1916. Setelah lima tahun ia menamatkan sekolah dasar kemudian melanjutkan sekolah ke Pesantren Ar-Rasyidiyah dibawah pimpinan Syekh Abdul Rasyid. Ia menjadi santri perempuan satu-satunya, karena pada masa itu mayoritas pendidikan pesantren adalah untuk anak lakilaki. Pada tahun 1923 ia malanjutkan ke Sekolah Diniyah di Padang Panjang milik Rahmah El Yunusiyyah. Namun pada 28 Juni 1926 terjadi 40 gempa disertai letusan Gunung Marapi yang sangat dahsyat di Padang Panjang. Akhirnya para siswa mesti kembali ke kampung halamannya. Rasuna Said sempat juga mengikuti sekolah yang dipimpin Haji Abdul Majid, namun hanya sebentar. Setelah itu ia meneruskan pendidikannya di Sekolah Putri (Meisjesschool) untuk memperoleh keahlian memasak, menjahit, dan urusan rumah tangga. Riwayat pendidikan Rasuna memang cukup panjang dan kaya akan pengalamanan, untuk kategori wanita dimasanya. Pada tahun 1930 Rasuna Said masuk ke sekolah Sumatra Thawalib. Sekolah pimpinan Haji Udin Rahmani, yang dirintis dari Surau Djembatan Besi. Kepribadian seorang pejuang diperoleh dari sekolah ini. Melalui latihan pidato dan debat yang wajib diikuti siswa setiap pekan. Rasuna Said memang terkenal dangan kecerdasan dan kepandaiannya, teman-temannya mengakui ia sebagai sebagai orator ulung. Bahkan jika umumnya pendidikan di Sekolah Thawalib empat tahun, namun Rasuna Said menyelesaikannya hanya dalam kurun waktu dua tahun. Pendidikan terakhirnya diselesaikan di Islamic College Padang, pada usia 23 tahun. Selama di sinilah ia aktif dalam kegiatan kepenulisan dan jurnalistik. 41 Secara penampilan, Rasuna berpenampilan sangat sederhana, sebagaimana wanita Minang pada masa itu dengan memakai baju kurung, disertai kain batik panjang, serta kerudung yang disematkan dengan peniti dengan rapi. Kiprah Kepedulian Rasuna Said pada bidang pendidikan sudah mulai tertanam saat dirinya menjadi murid di Sekolah Diniyah Padang Panjang. Sekolah tersebut memiliki budaya dimana setiap murid yang belajar harus mengajarkan ilmunya pada murid-murid di tingkat bawahnya. Ketika, ia berada di kelas lima dan enam, maka ia mendapat tugas untuk mengajar di kelas adik tingkatnya. Rasuna Said kemudian menjadi pengajar di Sekolah Diniyah Putri. Ia juga turut memberikan pendidikan politik bagi murid-muridnya sebagai upaya untuk membebaskan bangsa dari penjajahan. Namun Rahmah El Yunusiyah cemas pada perilaku murid-muridnya pasca mendapat pelajaran politik. Kemudian beberapa tokoh yang disegani berdiskusi dan memutuskan agar Rasuna Said di pindahkan dari Diniyah Putri. Perjuangan Rasuna Said di bidang pendidikan tidak sepenuhnya berhenti di Diniyah, Setelah itu dirinya memberikan Kursus Pemberantasan Buta Huruf dengan nama 42 Sekolah Menyesal, lalu membuka Sekolah Thawalib kelas Rendah di Padang dan mengajar di Sekolah Thawalib Puteri, serta memimpin Kursus Putri dan Kursus Normal di Bukittinggi. Dalam bidang jurnalistik Rasuna juga memperlihatkan ketertarikan yang tinggi. Ketika masih di Islamic College. Ia sempat terpilih sebagai pimpinan redaksi majalah “Raya”.Kemudian karir jurnalistiknya semakin terasah ketika Rasuna Said memutuskan untuk hijrah ke Medan. Ia menuangkan bakat jurnalistiknya dengan menerbitkan sekaligus sebagai pimpinan redaksi sebuah majalah bernama Menara Poetri. Majalah ini berdiri pada tahun 1937 dengan fokus bahasan tentang keputrian dan keislaman. Selain perjuangan di bidang pendidikan dan jurnalistik, ia juga aktif di bidang politik. Ia juga pernah bergabung dalam organisasi Sarekat Rakyat dan Persatuan Muslimin Indonesia (Permi) sebagai sekretaris cabang Maninjau. Bahkan karena pidatonya yang tidak menyenangkan Hindia Belanda di masa itu, mengakibatkan dirinya dipenjara selama satu tahun dua bulan di penjara Semarang, Jawa Tengah. Pada masa pendudukan Jepang berpartisipasi dalam Pemuda Nippon Raya, 43 Giyûgun, dan Komite Nasional Indonesia. Setelah masa kemerdekaan, ia aktif di parlemen sebagai wakilrakyat Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) dan Dewan Pertimbangan Agung (DPA). Sekaligus dalam organisasi Persatuan Wanita Republik Indonesia (PERWARI) sebagai pimpinan cabang Jakarta Akhir Hayat Rasuna Said telah berhasil menjalani hidup dalam tiga jaman, ia merasakan kehidupan dari masa kolonial Belanda, Jepang, sampai revolusi kemerdekaan. Ia terus aktif dalam keanggotaan Dewan Pertimbangan Agung, menghadiri dan mengisi kegiatan-kegiatan pertemuan. Ketika Rasuna Said memasuki usia 55 tahun, tanpa disadari dirinya mengidap penyakit kanker payudara. Hingga akhirnya menghembuskan nafas terakhirnya pada hari Selasa, 2 November 1965 di Jakarta. Jenazahnya dimakamkan di Taman Makam Pahlawan Kalibata. Rasuna Said, selama perjalanan hidupnya, telah banyak memberikan kontribusi bagi Indonesia, yang patut menjadi teladan bagi kita generasi muda, generasi penerus. Penghargaan Penghargaan yang diterima Rasuna Said diantaranya sebuah tanda Kehormatan 44 Satyalancana Peringatan Perjuangan Kemerdekaan dan Satyalancana Perintis. Pergerakan Kemerdekaan. Pengusulan gelar pahlawan akhirnya disahkan pada tanggal 13 Desember 1974 berdasarkan Surat Keputusan Presiden RI No. 084/TK/Tahun 1974 sebagai pahlawan pergerakan nasional. Kemudian Nama Rasuna Said juga turut diabadikan sebagai namasebuah jalan protokol. Papan nama jalan tersebut tertulis H.R. Rasuna Said di kawasan Kuningan, Jakarta Selatan. Patung berbentuk wajah Rasuna Said pun dibangun di Pasar Festival. 45 46 ROHANA KUDUS “Perputaran zaman tidak akan pernah membuat wanita menyamai laki-laki. Wanita tetaplah wanita dengan segala kemampuan dan kewajibannya. Yang harus berubah adalah wanita harus mendapat pendidikan dan perlakukan yang lebih baik. Wanita harus sehat jasmani dan rohani, berakhlak dan berbudi pekerti luhur, taat beribadah yang kesemuanya hanya akan terpenuhi dengan mempunyai ilmu pengetahuan”. - Rohana Kudus - 47 ROHANA KUDUS (1884 – 1972) Masa Kecil dan Pendidikan Rohana Kudus dilahirkan pada tanggal 20 Desember 1884, di Koto Gadang, Kabupaten Agam, Sumatera Barat. Rohana memiliki nama asli Siti Rohana. Ia lahir dari ibunya yang bernama Kiam dan ayahnya bernama Rasjad Maharaja Soetan. Rohana Kudus adalah kakak tiri dari Sutan Sjahrir, Perdana Menteri Republik Indonesia yang pertama dan juga Mak Tuo (Bibi) dari sastrawan terkenal Chairil Anwar, Pelopor Angkatan 45. Sekaligus sepupu H. Agus Salim. Rohana hidup sezaman dengan R.A Kartini, dimana akses perempuan untuk mendapat pendidikan yang baik sangat dibatasi. Rohana tidak pernah mengenyam pendidikan formal. Kecerdasan Rohana sudah terlihat menonjol sejak kecil. Meski tidak pernah mengenyam sekolah formal, keinginan dansemangat belajarnya sangat tinggi. Ayahnya, Mohammad Rasjad Maharadja Soetan seorang pegawai pemerintah Belanda dan juga pencetus Sekolah Rakyat khusus bagi pribumi di Koto Gadang. Ketika itu Rohana yang masih kecil sering dibawakan majalah-majalah berbahasa Belanda oleh ayahnya. Ia adalah orang yang cepat mengusai materi-materi seperti membaca, 48 menulis, bahasa Arab, bahasa Belanda, bahasa Melayu, dan berhitung yang diajarkan oleh ayahnya. Rohana juga berkepripadian sangat supel dan haus akan ilmu pengetahuan. Ketika ayah Rohana ditugaskan ke Alahan Panjang, mereka bertetangga dengan pejabat Belanda, yang merupakan atasan ayahnya. Ia juga sempat berteman baik dengan istri pejabat Belanda tersebut. Melalui pertemanan itu Rohana belajar materi-materi keputrian seperti menyulam, menjahit, menenun, merajut, memasak. Kemudian Rohana juga semakin mengasah kegemarannya dalam belajar, ia semakin banyak membaca majalah terbitan Belanda yang memuat berbagai hal tentang politik, gaya hidup, dan pendidikan di Eropa. Rohana juga sangat teguh dalam beragama, secara intens ia belajar agama kepada para alim ulama di surau dan masjid. Rohana kemudian berkembang menjadi seorang perempuan yang mempunyai komitmen kuat pada pendidikan terutama untuk kaum perempuan. Buah pemikirannnya terhadap emansipasi bukanlah untuk menuntut persamaan hak antara perempuan dengan laki-laki. Tetapi lebih kepada pengukuhan fungsi alamiah perempuan menurut kodratnya, agar dapat berfungsi sebagaimana mestinya. Maka secara tegas ia menyatakan 49 bahwa perempuan memerlukan pendidikan, perempuan juga butuh ilmu pengetahuan dan keterampilan. Kiprah Pada tahun 1908, di usia 24 tahun Rohana menikah dengan Abdul Kudus yang berprofesi sebagai notaris. Dari nama suaminya inilah Rohana mendapatkan nama belakang Kudus. Ia mendapat dukungan yang sangat besar dari suami dalam perjuangannya untuk merubah nasib perempuan terutama dalam hal pendidikan. Rohana merupakan penggagas berdirinya Sekolah Kerajinan Amal Setia di tahun 1911 ketika berusia 27 tahun. Sebuah prestasi yang sungguh luar biasa. Ketika itu Rohana mengundang 60 tokoh masyarakat Koto gadang, menjelaskan cita-citanya untuk mendirikan sekolah khusus perempuan. Para tokoh masyarakat sangat mengagumi visi dan misinya dan menyetujui berdirinya sekolah tersebut. Materi pelajarannya meliputi tulis-menulis, budi pekerti, dan ketrampilan lainnya. Ia juga memiliki kemampuan kewirausahaan yang sangat baik. Ia menjadikan sekolahnya berbasis industri rumah tangga serta koperasi simpan pinjam dan jual beli yang anggotanya semua perempuan. Dengan turut memasarkan hasil kerajinan muridnya ke Eropa 50 yang memang memenuhi syarat ekspor. Banyak petinggi Belanda yang kagum atas kemampuan dan kiprah Rohana. Bahkan banyak petinggi Belanda yang kagum atas kemampuan dan pencapaian Rohana. Keberhasilannya di sekolah kerajinan Amai Setia tidak lama. Pada 22 Oktober 1916 seorang muridnya menjatuhkannya dari jabatan Direktris dan Peningmeester karena tuduhan penyelewengan penggunaan keuangan. Beberapa kali ia harus menjalani persidangan di Bukittinggi didampingi suami dan dengan dukungan seluruh keluarga. Akhirnya tuduhan tersebut tidak terbukti, jabatan di sekolah Amai Setia kembali diserahkan padanya, namun secara halus ditolaknya karena dia berniat pindah ke Bukittinggi. Setelah dari Sekolah Kerajinan Amai Setia, perjuangan Rohana berlanjut lagi. Rohana ingin mewujudkan kesenangan dan cita-citanya yang lain yaitu Mendirikan surat kabar khusus perempuan. Atas dasar kegemarannya dalam membaca buku, menjadikan ia sangat tertarik dengan dunia jurnalistik. Rohana juga sering mengirimkan artikel yang mencerminkan gagasan-gagasannya. Tulisannya dikagumi banyak orang. Bahkan tidak tergambar sama sekali kalau 51 Rohana bukan seorang yang berpendidikan tinggi. Dari kesenangan membaca dan menulis inilah yang mengantarkan Rohana menjadi jurnalis perempuan pertama di Indonesia. Hingga pada akhirnya berhasil mewujudkan impiannya, mendirikan surat kabarnya sendiri Sunting Melayu pada tanggal 10 Juli 1912. Hidup di zaman ketika akses perempuan untuk mendapat pendidikan sangat dibatasi. Rohana Kudus banyak mengungkapkan ide-ide perjuangannya lewat surat kabar Sunting Melayu yang dipimpinnya. Sunting Melayu menjadi surat kabar perempuan pertama di negeri ini, yang didirikan dengan pengorbanan dan perjuangan yang penuh dedikasi oleh Rohana Kudus. Disebut sebagi surat kabar perempuan karena pemimpin redaksi, redaktur, penulis, yang semuanya adalah perempuan. Surat Kabar ini, terbit melalui kerjasama antara Rohana dengan Dt. St. Maharaja pimpinan surat kabar Utusan Melayu. Melalui korepondensi surat menyurat, ia bernegosiasi untuk meminta agar surat kabar Utusan Melayu menyediakan ruang-rubrik yang membahas masalah perempuan. Sekaligus mengajak untuk menerbitkan sebuah surat kabar khusus perempuan. Dt. St. Maharaja menyambut dengan sanngat antusias dan mendatangi Rohana ke Koto Gadang. Di sinilah mereka 52 bersepakatuntuk mendirikan perempuan Sunting Melayu langsung oleh Rohana Kudus. surat kabar yang dipmpin Bersama Sunting Melayu ini, perjuangan Rohana sebagai perempuan yang peduli terhadap kaumnya lebih terlihat lagi. Tulisan-tulisannya sangat tajam, cerdas, dan mencerminkan citacitanya untuk memajukan kaum perempuan Indonesia. Rohana berusaha merubah pandangan masyarakat umum dalam melihat perempuan sebagai makhluk kelas dua. Akhir Hayat Rohana telah banyak berjuang dan melakukan tindakan-tindakan besar, yang sangat layak untuk menjadi teladan generasi muda. Ia telah berhasil mewujudkan mimpi-mimpinya. Setelah berjuang sepanjang hidupnya, Rohana wafat, di Jakarta pada 17 Agustus 1972, di usia 88 tahun dan bertepatan dengan hari Ulang Tahun Republik Indonesia yang ke 27 tahun. Kini ia dikenal sebagai pejuang media perempuan pertama Indonesia. Namanya tetap besar walaupun tidak banyak tertulis di bukubuku pelajaran Sejarah. 53 Penghargaan Penghargaan yang diterima Rohana Kudus diantaranya penghargaan sebagai Wartawati Pertama Indonesia. Penghargaan ini diberikan oleh pemerintah Sumatera Barat pada tanggal 17 Agustus 1974. Kemudian sebagai pengghargaan sebagai Perintis Pers Indonesia. Diberikan oleh Menteri Penerangan Harmoko dalam rangka memperingati Hari Pers Nasional pada tanggal 9 Februari 1987. Penghargaan lainnya adalah, Bintang Jasa Utama. Penghargaan dari pemerintah Republik Indonesia pada yang diberikan pada tahun 2008. 54 TAN MALAKA Berpikir Besar Kemudian Bertindak “Tujuan pendidikan itu untuk mempertajam kecerdasan, memperkukuh kemauan serta memperhalus perasaan” Bila kaum muda yang telah belajar di sekolah dan menganggap dirinya terlalu tinggi dan pintar untuk melebur dengan masyarakat yang bekerja dengan cangkul dan hanya memiliki citacita yang sederhana, maka lebih baik pendidikan itu tidak diberikan sama sekali. - Tan Malaka - 55 TAN MALAKA (1897-1949) Masa Kecil dan Pendidikan Tan Malaka lahir di Nagari Pandam Gadang, Suliki Sumatera Barat, pada 2 Juni 1897. Tan Malaka dilahirkan dalam sebuah keluarga pemeluk Islam yang taat, Ayahnya HM. Rasyad dan Ibunya, Rangkayo Sinah. Bernama asli Sutan Ibrahim Gelar Datuk Sutan Malaka. Tan Malaka merupakan nama semi bangsawan yang didapatkan dari garis keturunan ibu. Ia didaftarkan ke sekolah Kweekschool pada tahun 1908, merupakan sosok cerdas. Tahun 1913, setelah lulus dari sekolah tersebut, Tan Malaka menerima gelar datuk yang diberikan pada sebuah upacara tradisional. Setelah tamat sekolah, ia melanjutkan pendidikannya di Harleem, Belanda pada 1913. Kiprah Enam tahun setelah di Belanda, pada 1919 Tan Malaka kembali ke Indonesia untuk menjadi guru bagi anak-anak kaum buruh perkebunan di Sumatera. Tahun 1921, ia mulai dekat dengan kehidupan politik. sejak saat itu ia terlibat aktif 56 dalam aksi-aksi mogok maupun perlawanan buruh di beberapa tempat. Akibatnya ia sempat dibuang ke Kupang tahun 1922. Selain itu, ia juga sempat meloloskan diri ke Filipina dan Singapura. Tan Malaka memiliki gagasan penting dalam perjuangannya yaitu dengan pemikirannya merdeka 100 persen. Tan Malaka adalah orang yang sangat cerdas, terbukti bahwa ia menguasai enam bahasa. Kepeduliaanya terhadap pendidikan juga sangat besar, hal itu terlihat dari pengabdiannya sebagai guru tanpa pamrih dan sekaligus produktif dalam menghasilkan karyakarya. Tan Malaka berjuang dan menyuarakan pikirannya melalui berbagai buku, antara lain Materialisme, Dialektika, dan Logika (Madilog;1943), Menuju Republik Indonesia (Naar de Republiek Indonesia; 1952), dan Geriliya, Politik, dan Ekonomi (Gerpolek; 1948) Semangat dan nilai-nilai perjuangan Tan Malaka harus dipelajari pelajar-pelajar di sekolah, agar sosoknya sebagai pahlawan asal Sumatera Barat yang tangguh dan konsisiten dalam menentang kolonialisme dapat menjadi inspirasi bagi anak-anak muda penerus bangsa. Akhir Hayat Perjalan hidup Tan Malaka mungkin tidak terlalu terkenal bila dibandingkan tokoh seperti Soekarno dan Mohammad Hatta. Namun, kisah- 57 kisahnya ditulis dengan sangat menarik dan rinci, oleh sejarawan Belanda, Harry Poeze dalam lima jilid buku berjudul, "Tan Malaka, Gerakan Kiri, dan Revolusi Indonesia. Rahasia kematian Tan Malaka, tersimpan tanpa diketahui selama bertahun-tahun dan baru terungkap pada 1990 dari hasil penelitian sejarawan, Harry Poeze ketika meneliti jejak Tan Malaka di daerah Kediri, Jawa Timur. Sangat tragis, ketika mengetahui bahwa Tan Malaka meninggal karena ditembak oleh Soekotjo di dekat Sungai Brantas, Desa Selopanggung, sekitar Lereng Gunung Wilis, Kediri, Jawa Timur, pada 21 Februari 1949. Keadaan politik nasional ketika itu memang sedang tidak kondusif, sehingga hal itu terjadi. Setelah menemukan makam, yang diduga di dalamnya terkubur jasad Tan Malaka, maka pada 12 November 2009 telah dilakukan penggalian dan penelitian asam inti gen (DNA) jenazahnya oleh tim forensik untuk memastikan bahwa yang terkubur itu benar seorang Tan malaka. Dan pada tanggal 21 Februari 2017, jenazah Tan Malaka secara simbolis dipindahkan dari Kediri ke Sumatera Barat. 58 Penghargaan Tan Malaka ditetapkan sebagai Pahlawan Nasional pada tanggal 28 Maret 1963 berdasarkan Keputusan Presiden RI No. 53 yang saat itu ditandatangani oleh Presiden Soekarno. Salah satu buku Tan Malaka, karya yang berjudul Dari Penjara ke Penjara yang ditulis tahun 1984 mendapat penghargaan dari majalah Tempo sebagai salah satu buku yang paling berpengaruh dan berperan dalam membangun gagasan kebangsaan. 59 60 Daftar Pustaka Hasjmy, A. (1985). Semangat Merdeka, 70 Tahun Menempuh Jalan Pergolakan dan Perjuangan Kemerdekaan. Jakarta: Bulan Bintang. Hazil Tanzil (1984) Seratus Tahun Haji Agus Salim. Jakarta: Sinar Harapan. Jahroni, Jajang. (2002), Haji Rangkayo Rasuna Said: Pejuang Politik dan Penulis Pergerakan. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama. Kamajaya. (1982). Sembilan Srikandi Pahlawan Nasional. Yogyakarta: U.P. Indonesia. Noer, Deliar. (1980). Gerakan Moderen Islam di Indonesia 1900-1942. (Jakarta: LP3ES. S Nasution. (2001). Sejarah Pendidiakan Indonesia. Jakarta: Bumi Aksara. Suhartono. (1994). Sejarah Pergerakan Nasional: dari Budi Utomo Sampai Proklamasi 19081945 Yogyakarta: Pustaka Pelajar Offset. Budilaksono, Imam. (2014). Kisah di Balik Tewasnya Tan Malaka. Jakarta: Antara News. 61 Panitia Buku Peringatan, 1996. 100 Tahun Haji Agus Salim. Jakarta: Pustaka Sinar Harapan, h. 37. Floriberta Aning, 2005. 100 Tokoh yang Mengubah Indonesia. Yogyakarta: Narasi, h. 24. 62