AGILE GOVERNANCE : TUJUH LANGKAH STRATEGIS MENGHADAPI TANTANGAN MULTIDIMENSI DI PERIODE KE TUJUH BPKP Oleh: Ide Juang Human Tito1 Abstraks BPKP menghadapi perubahan politik, ekonomi, sosio-kultural dan teknologi yang semakin cepat yang membawa konsekuensi bagi kehadiran dan kemanfaatan BPKP baik dari sisi manajemen risiko, tata kelola maupun pengendalian. Program pembangunan nasional untuk menghadapi ketidakpastian global, dan laju pertumbuhan ekonomi yang stagnan serta perubahan landscape akuntabilitas di pemerintahan pusat, daerah, desa dan korporasi negara perlu dikawal dan didampingi oleh BPKP dengan menerapkan dynamic risk asssessment dan integrated assurance. Konsep maturitas juga perlu dikembangkan menjadi efektivitas pengendalian intern mengingat opportunistic behaviour dan moral hazard telah menjadi permasalahan aksi kolektif. Agilitas organisasional BPKP yang telah terbukti di enam periode kehidupan BPKP dari tahun 1983-2019 perlu dibangun kembali untuk menghadapi tantangan di periode ketujuh ini. Hasil analisis menunjukkan perlunya melakukan tujuh langkah strategis untuk mewujudkan BPKP yang agile yaitu: 1. Mengidentifikasi perubahan lingkungan sebagai sumber risiko pembangunan nasional; 2. Mengidentifikasi tantangan yang dihadapi BPKP yang merupakan interaksi antara ketidakpastian dan tujuan BPKP; 3. Mendefinisikan makna BPKP yang agile; 4. Mengukur tingkat agilitas organisasional BPKP; 5. Menyusun strategi meningkatkan kapabilitas untuk menjadi organisasi yang agile; 6. Menyusun strategi bagaimana melakukan tugas dan fungsi BPKP secara agile; 7. Mengeksekusi strategi dalam rerangka agile governance. Ketujuh langkah strategis tersebut perlu disatukan dalam rerangka agile governance agar terjaga keseimbangan antara (i) agilitas, yaitu cepat, fleksibel dan adaptif dan (ii) stabilitas, yaitu proses bisnis yang efisien, taat pada standar serta BPKP yang terjaga independensi dan obyektivitasnya. A. Pendahuluan Teori – teori manajemen dan organisasi memandang organisasi yang berhasil adalah organisasi yang kompatibel dan harmonis dengan lingkungannya serta adaptif dengan perubahan. Banyak teori dikembangkan dengan tujuan untuk mengetahui dan menguji strategi yang tepat untuk tetap kompatibel di tengah perubahan. Agilitas organisasional merupakan salah satu konsep yang dimaksudkan untuk mewujudkan organisasi yang kompatibel dan harmonis tersebut. 1 Auditor pada Perwakilan BPKP Provinsi DKI Jakarta. Ditulis dalam rangka HUT ke 37 Tahun 2020 BPKP. 1 Internal auditing didefinisikan sebagai aktivitas yang didesain untuk menambah value. Kemampuan menciptakan, memberi dan menambah value dan meningkatkan operasi organisasi merupakan konsep fundamental alasan keberadaan dan kemanfaatan organisasi internal audit, tidak terkecuali BPKP. Definisi value dalam Pasal 1 Angka Peraturan Pemerintah Nomor 60 Tahun 2008 dioperasionalisasikan sebagai mewujudkan tata kepemerintahan yang baik. Pasal 1 Ayat (3) Peraturan Presiden Nomor 192 Tahun 2014 tentang Badan Pengawasan Keuangan dan Pembangunan menegaskan bahwa value tersebut diberikan oleh BPKP kepada Presiden. IIA menjabarkan value tersebut dalam tiga elemen ini yang saling berinterseksi: assurance, insight dan obyektivitas. Elemen value pertama adalah assurance dimana internal auditor memberikan assurans atas tata kelola, manajemen risiko dan proses pengendalian untuk membantu manajemne mencapai tujuan strategis, operasional, keuangan dan tujuan kepatuhan. Elemen value kedua, insight yaitu rekomendasi yang diberikan berdasarkan hasil analisis data dan penilaian proses bisnis. Elemen value ketiga adalah obyektivitas yaitu komitmen terhadap integritas dan akuntabilitas untuk menghasilkan nilai dari lembaga yang obyektif dan advis yang independen. Telah 37 tahun (1983 – 2020) BPKP memberikan nilai kepada Presiden maupun kepada kementerian, lembaga, pemerintah daerah dan badan usaha negara/daerah di seluruh Indonesia. Perubahan politik, ekonomi, sosio-kultural dan teknologi terjadi selama perjalanan BPKP. Sebagaimana tergambar pada Diagram 1, setelah periode ‘panggilan sejarah’ pada tahun 1936 – 1983, BPKP menapak jalan pengabdian yang dapat dibagi menjadi enam periode sebagai berikut: 1. 1983 – 1993: Penguatan independensi dengan memantapkan eksistensi, dan meletakkan dasar profesi 2 2. 1993 – 1999: Merespon perkembangan IPTEK dengan mengembangkan metodologi pengawasan dan merintis basis teknologi informasi 3. 2000 – 2006: Menjawab otonomi daerah dengan meredefinisi makna pengawasan 4. 2006 – 2010: menyesuaikan diri dengan proses reformasi tata kelola negara dengan memantapkan posisi dan merapatkan barisan 5. 2010 – 2014: Menciptakan nilai dengan menegakkan akuntabilitas dan menguatkan sistem pengendalian 6. 2015 – 2019: Periode berperan di tingkat internasional dengan memperluas peran dan menciptakan keunggulan. Diagram 1: Jalan Perubahan BPKP Sumber: Penulis BPKP telah melewati keenam masa tersebut dan hal ini menunjukkan agilitas organisasional BPKP telah terbukti. Masa kedaruratan kesehatan pandemi Covid – 19 di periode ketujuh BPKP ini kiranya menjadi saat yang tepat untuk mengajukan pertanyaan reflektif dan refleksif mendasar yaitu apa langkah yang harus dilakukan untuk dapat terus memberikan nilai bagi Presiden dalam rangka mewujudkan tata pemerintahan yang baik? 3 Sistematika pembahasan diawali dengan pentingnya menjadi organisasi yang agile kemudian dilanjutkan dengan reviu literatur mengenai definisi, karakteristik dan model agilitas organisasional. Tulisan dilanjutkan dengan usulan rerangka konseptual bagi BPKP untuk mengembangkan agilitas organisasional dan pembahasan. Simpulan disajikan di akhir tulisan. B. Reviu Literatur Untuk dapat merumuskan rerangka konseptual pengembangan agilitas organisasional di BPKP, reviu literatur difokuskan pada lima hal yaitu definisi agile dan agilitas organisasional, definisi dan karakteristik internal audi yang agile, model pengukuran agilitas organisasional, strategi mencapainya dan agile governance sebagai konsep pemadunya. 1. Agile dan Agilitas Organisasional Oxford Advanced Learner's Dictionary mendefinisikan agile yang apabila diterjemahkan dalam bahasa Indonesia dapat diartikan sebagai mampu bergerak dengan tangkas, lincah, gesit, dan berpikir cepat dan cerdas serta cekatan. Dalam konteks bisnis, agile didefinisikan sebagai cara mengelola kegiatan dimana pekerjaan dibagi dalam serangkaian tugas - tugas singkat dengan masa rehat yang teratur untuk kemudian mereviu dan merubah rencana dan mendesain ulang. Istilah agile juga merujuk pada cara bekerja dimana waktu, tempat, serta tugas dan fungsi dapat diubah berdasarkan kebutuhan, dengan fokus pada pencapaian tujuan bukan pada ketepatan metode yang digunakan. Konsep agile berkelindan dengan konsep lain seperti adaptabilitas dan fleksibilitas. Definisi agile juga beragam dimana para cendekia memandangnya dari berbagai sudut. Agile dipandang sebagai strategi, kemampuan (ability), kapasitas, kapabilitas, ataupun kapabilitas dinamis. Agilitas dapat juga dipandang sebagai strategi yang (a) memayungi (umbrella strategy) seluruh inisiatif untuk meningkatkan daya tanggap organisasi terhadap perubahan di lingkungan eksternalnya, dan (b) mencakup keseluruhan program yang meningkatkan fleksibilitas, 4 kecepatan dan kemampuan organisasi berinovasi. Di tengah keragaman tersebut, para cendekia bersepakat bahwa agilitas merupakan tahapan terkini dari evolusi yang terjadi pada prinsip dan teori- teori mengenai adaptabilitas dan fleksibilitas organisasi. (Azizsafaei, 2016) Reviu literatur mengenai definisi agile dan organisational agility disajikan secara komprehensif oleh Azizsafaei (2016). Beberapa definisi yang dipandang relevan disarikan di Tabel 1. Dari berbagai definisi tersebut, Deksnys (2018) mengidentifikasi enam elemen penting dari agilitas organisasi yaitu (a) kapabilitas organisasional; (b) kecepatan adaptasi, (c) efisiensi adaptasi, (d) respon terhadap perubahan, (e) perubahan yang tak terperkirakan, dan (f) rekonfigurasi sumber daya. Cendekia lain merumuskannya dalam bentuk sepuluh pilar, yaitu: budaya inovasi, pemberdayaan, ambiguitas, visi, manajemen perubahan, komunikasi organisasi, analisis dan respon pasar, manajemen operasi, kecairan struktural dan organisasi pembelajar (Harraf, Wanasika, Tate, & Talbott, 2015) . Tabel 1: Beberapa Definisi Agilitas Organisasional Definisi Kata Kunci Sistem manufaktur dengan kapabilitas (teknologi hard dan soft, - Kapabilitas SDM, educated management, informasi) untuk menghadapi - Kebutuhan kebutuhan pasar yang berubah dengan cepat (kecepatan, pasar fleksibilitas, pelanggan, kompetitor, pemasok, infrastruktur, responsivitas) (the Iacocca Institute, of Lehigh University (USA) (Yusuf, Sarhadi, & Gunasekaran, 1999)) Kemampuan untuk maju dan berkembang di lingkungan yang - Tak-terprediksi selalu berubah tak-terprediksi. Agilitas mencakup baik kemampuan - menginisiasi untuk menginisiasi maupun merespon. “Maju dan berkembang” maupun mengandung arti kesuksesan jangka panjang yang diperoleh dari merespon kapabilitas ofensif dan defensif. (Dove, 1993) Agile manufacturing: sintesis dari teknologi yang telah ada dan - Sintesis metode pengorganisasian produksi, dimana fleksibilitas dan - Teknologi kecepatan berperan penting. (Goldman & Nagel, 1993) - Metode Adaptasi elemen – elemen organisasi yang cepat dan proaktif - Takterekspekterhadap perubahan yang tak-terekspektasikan dan taktasikan terprediksikan (Kidd, 1994) - Takterprediksikan Kemampuan perusahaan untuk menghadapi perubahan tak- - Tak-terantisipasi terantisipasi, menangani ancaman dari lingkungan bisnis, dan - Customised mengambil manfaat dari perubahan pasar global yang sangat 5 Definisi Kata Kunci cepat dan terfragmentasi dengan menyediakan produk, layanan - menghargai dan solusi yang customised berkualitas tinggi kepada pelanggan. pengetahuan Agilitas berarti memberikan nilai kepada pelanggan, siap untuk dan keahlian perubahan, menghargai pengetahuan dan keahlian serta - Kemitraan yang membentuk kemitraan yang sejati. (Goldman, Nagel, & Preiss, sejati 1995) Kemampuan untuk menghasilkaan produk yang tepat ditempat - Tempat yang tepat di waktu yang tepat dan di harga yang tepat. (Roth, - Waktu 1996) - Harga Kemampuan untuk menghasilkan dan memasarkan produk yang - Beragam ukuran beragam, berkualitas tinggi dengan harga yang rendah, di waktu - customisation yang singkat dengan beragam ukuran, yang meningkatkan nilai kepada pelanggan secara invidual melalui customisation. (Vokurka & Fliedner, 1998) Kapabilitas untuk bertahan hidup dengan bereaksi secara cepat - Didesain oleh dan efektif terhadap perubahan pasar, digerak-arahkan oleh pelanggan produk dan jasa yang didesain oleh pelanggan (Gunasekaran, 1999) Agilitas organisasional adalah eksploitasi basis kompetitif - Integrasi sumber (kecepatan, fleksibilitas, inovasi, ke-proaktif-an, kualitas dan daya, praktik – profitabilitas) yang sukses melalui integrasi sumber daya yang praktik terbaik, tersedia dan praktik – praktik terbaik dalam lingkungan yang kaya pengetahuan dengan pengetahuan untuk menghasilkan produk dan layanan yang digerak-arahkan oleh pelanggan di pasar yang cepat berubah (Yusuf, Sarhadi, & Gunasekaran, 1999) Kemampuan organisasi untuk menghadapi perubahan tak - Eksploitasi dan terekspektasikan, agar dapat bertahan dari ancaman lingkungan mengambil bisnis yang belum pernah dihadapi sebelumnya, dan mengambil manfaat dari manfaat dari perubahan tersebut dan memandangnya sebagai perubahan peluang. Agilitas mencakup dua faktor utama (1) merespon perubahan (yang telah diantisipasi maupun yang tak terekspektasikan) secara tepat waktu, (2) eksploitasi dan mengambil manfaat dari perubahan dan memandangnya sebagai peluang (Zhang & Sharifi, 2000) (Sharifi & Zhang, 2001) Keseluruhan strategi yang fokus pada upaya untuk maju dan - Strategi berkembang dalam lingkungan yang tak terprediksi dan merespon kompleksitas yang ditimbulkan oleh perubahan yang terus terjadi. (Sanchez & Nagi, 2001) Kemampuan untuk mendeteksi dan meraih peluang pasar dengan - Ekplorasi cepat dan mengejutkan dengan menyusun pengetahuan dan aset eksploitasi yang diperlukan untuk meraih peluang tersebut. Agilitas mencakup peluang baik ekplorasi dan eksploitasi peluang. (Sambamurthy, Bharadwaj, & Grover, 2003) dan Kemampuan untuk dengan cepat merekognisi dan meraih peluang, - Kemampuan merubah arah dan menghindar dari tumbukan yang memampukan - Merekognisi organisasi untuk (a) merekognisi dan bergerak secara fleksibel, - Menginisiasi gesit dan dinamis – kompetitif dalam rangka merespon secara positif perubahan yang dilakukan oleh pihak lain, (b) menginisiasi pergeseran strategi untuk menciptakan realitas pasar yang baru. (McCann, 2004) 6 Definisi Kata Kunci Kapasitas untuk mengidentifikasi dan menangkap peluang lebih - Kapasitas cepat dari lawan. (Macias-Lizaso & Thiel, 2006) Bergerak dengan cepat, tegas dan menentukan, serta efektif dalam - Mengantisipasi, mengantisipasi, menginisiasi dan mengambil manfaat dari menginisiasi dan perubahan. (Jamrog, McCann, Lee, Morrison, Selsky, & Vickers, mengambil 2006) manfaat dari perubahan Kemampuan untuk dengan cepat dan efisien beradaptasi dan - Beradaptasi dan merespon secara proaktif terhadap perubahan dalam lingkungan merespon eksternal yang terus berlangsung dan tak terprediksi dalam rangka menangkap peluang potensial. (Sherehiy, 2008) Sumber: Penulis berdasarkan (Azizsafaei, 2016) Dalam konteks pengembangan software, agile dipandang sebagai (a) kemampuan untuk menciptakan dan merespon perubahan, dan (b) cara untuk menghadapi lingkungan yang tidak pasti dan terus berubah cepat. Kata agile mencerminkan dua konsep pokok yaitu adaptasi dan respon terhada perubahan. Agilealliance (2002) memandangnya sebagai istilah yang memayungi rerangka dan praktik yang didasarkan pada nilai – nilai yang disebut sebagai manifesto agile (lihat Diagram 2). Diagram 2: The Agile Manifesto Kami menemukan cara yang lebih baik untuk mengembangkan perangkat lunak dengan melakukan dan membantu sesama untuk menggunakannya. Melalui usaha ini kami menghargai: Individu dan interaksi lebih dari proses dan sarana perangkat lunak Perangkat lunak yang bekerja baik lebih dari dokumentasi yang menyeluruh Kolaborasi dengan mitra lebih dari negosiasi kontrak Tanggap terhadap perubahan lebih dari kepatuhan pada rencana Demikian, walaupun kami menghargai hal di sisi kanan, kami lebih mengharga hal di sisi kiri Sumber: (Agilealliance, 2002) Wyman (2018) mengkategorikan kapabilitas organisasional menjadi tiga jenis kemampuan yaitu sensing (sensitivity), securing (unity), dan shifting (fluidity). Sensing (sensitivity) adalah kemampuan mendeteksi, mengidentifikasi dan menilai peluang dan tantangan yang bersumber dari perubahan lingkungan eksternal terutama aspek kapan perubahan diperlukan (when) dan di area mana (where). Securing (atau unity) adalah 7 mobilisasi sumber daya yang masih terserak dari berbagai unit kerja dalam organisasi maupun dari luar dalam rangka menangkap peluang yang telah diidentifikasi. Shifting (fluidity) adalah kemampuan organisasi untuk bertransformasi secara internal untuk menyesuaikan diri dengan tuntutan lingkungan eksternal baik dari sisi sumber daya maupun cara kerja. Untuk menjadi organisasi yang agile, kapabilitas perlu dibangun di dua tingkat yaitu tingkat organisasi dan tingkat individu. Tabel 2 menguraikan karakteristik jenis kapabilitas di dua tingkat tersebut. Tabel 2: Karakterisitk Kapabilitas Dinamis untuk Menjadi Organisasi yang Agile Sensing Securing Shifting Level organisasi Etos start-up - Responsif terhadap lingkungan - Waktu dan talenta yang khusus didedikasikan - Terhubungan dengan radar internal dan eksternal Eksperimentasi dengan maksud dan tujuan yang jelas - Penyediaan sumber daya - Pemisahan strategi dari struktur - Kebebasan untuk menguji, belajar dan mengembangkan ide-ide baru Organisasi Dinamis - Struktur yang lebih rata dan sederhana - Tim yang beragam, fungsional dan lintas kompetensi - Arsitektur perubahan dan proses yang bersifat modular Level individual Perilaku eksplorer - Fokus pada pelanggan - Hasrat untuk selalu belajar - Berbagi pengalaman Agilitas kepemimpinan - Delegasi kewenangan - Eksekusi tidak ditunda karena politik - Keengganan birokratis Mindset wirausaha - Visi dan misi yang jelas - Mentalitas kepemilikan - Bekerja sebagai rekan kerja Sumber: (Wyman, 2018) 2. Definisi dan Karakteristik Agile Auditing dan Perbedaannya dengan Traditional Auditing Dalam konteks audit, definisi agile internal auditing dikemukakan oleh berbagai cendekia dan organisasi profesi sebagaimana diikhtisarkan 8 pada Tabel 3. Selain dipandang sebagai kapabilitas2 atau strategi, agile juga dipandang sebagai mindset. Definisi tersebut pada umumnya adalah elaborasi dari definisi dan karakteristik agiltas organisasional yang telah diuraikan sebelumnya, Tabel 3: Beberapa Definisi Audit Internal yang Agile Definisi Kata Kunci Pendekatan yang fokus pada individu dan interaksi daripada proses dan alat. Agile menekankan pada struktur iteratif yang fleksibel, efisien dan transparansi. Agile memungkinan lebih sedikit perencanaan dan lebih banyak fleksibilitas pada saat timbul suatu masalah. Agile menggunakan pendekatan kolaboratif dalam pemecahan masalah yang dapat dilaksanakan apabila ada peningkatan transparani terhadap klien dan keterlibatan seluruh tim dalam pengambilan keputusan (Hardenberg & Rubin, 2020) - Agile menganjurkan diterapkannya perencanaan adaptif, tim yang swa-pengorganisasian, pengiriman hasil audit lebih awal, fokus pada nilai, dan respon cepat atas perubahan yang terjadi. Agile menganjurkan suatu alat pengorganisasian kerja menjadi dalam bentuk interval yang lebih singkat daripada audit internal tradisional, mendorong tim untuk bekerja dalam jumlah yang sedikit secara paralel, menyampaikan value secara inkremental, untuk kemudian beralih pada bingkah pekerjaan lainnya. (Deloitte, 2020) - Fungsi internal audit yang fokus pada kebutuhan stakeholders, akselerasi siklus audit, pengurangan upaya tak bernilai, sedikit dokumentasi dan menyampaikan insight secara tepat waktu. (Deloitte, 2017) - Akselerasi siklus audit Agile IA adalah pendekatan inovatif ya ng menggunakan nilai, prinsip,dan praktik - praktik pengembangan agile software untuk mentransform cara pelaksanaan penugasan audit internal. Metodologi ini meningkatkan proposisi nilai audit internal dengan memfasilitasi pendekatan yang lebih agile untuk menghadapi risiko organisasional yang dinamis. Agile IA mencakup perbaikan proses, perencanaan iteratis berbasis tim, sprints (time-boxed work increments), rapat harian stand-up, kolaborasi dengan para pihak yang berkepentingan, dan penerbitan hasil pekerjaan secara iteratif. (Wright, 2019) - Nilai, prinsip,dan praktik - praktik pengembangan agile software Menjadikan proses internal audit lebih baik dengan mengurangi inefisiensi dengan tujuan untuk menangani dinamika risiko dengan cepat; rasionalisasi dokumentasi, rencana audit dan penilaian risiko yang cepat dan fleksibel (Blanding & Child, 2019) - Rasionalisasi dokumentasi, rencana audit dan penilaian risiko yang cepat dan fleksibel 2 - - - Fokus pada individu dan interaksi Iteratif Kolaboratif Perencanaan adaptif Tim yang swapengorganisasia n, Pengiriman hasil audit lebih awal, Fokus pada nilai Capability is the ability to develop competencies, 9 Fitur – fitur Agile Internal Audit (IA) pada umumnya mencakup antara lain fitur pada tingkat proses dan tingkat hasil. Pada tingkat proses, fitur agile IA antara lain fokus pada nilai bagi organisasi (bukan pada tujuan audit) dan meningkatkan kolaborasi dengan mitra sebagai bagian dari tim) serta perencanaan, pelaksanaan dan pelaporan yang iteratif. Selain itu, tim audit yang terorganisasi secara mandiri, kolaboratif serta bersifat lintas fungsi dan rasionalisasi dokumentasi (penyederhanaan kertas kerja). Fitur agile IA pada tingkat hasil antara lain insight audit dan respon risiko yang tepat waktu (umpan balik yang real-time) dan berkurangnya ketidaksepakatan mengenai hasil audit antara tim audit dan mitra audit (Deloitte, 2018) (Wright, 2019). 3. Model pengukuran maturitas agilitas organisasional Pengukuran agilitas organisasional diperlukan untuk dua hal utama yaitu (a) menilai kesiapan organisasi menghadapi perubahan, dan (b) mengidentifikasi area dalam organisasi yang kurang agile untuk kemudian melakukan perbaikan. Salah satu konsep pengukuran adalah tingkat maturitas. Tingkat maturitas menunjukkan kemajuan evolusioner yaitu aspek kemampuan atau ketercapaian. Model maturitas dapat diklasifikasikan ke dalam beberapa kategori, antara lain (a) model deskriptif, preskiptif atau komparatif, (b) domain proses, obyek atau manusia, (c) tingkatan organisasi, tim atau personal. Model maturitas pada umumnya terdiri dari beberapa elemen yaitu tingkatan, dimensi, elemen dan deskripsinya. Dalam bidang pengembangan software terdapat beberapa model maturitas agilitas, diantaranya adalah Agility Maturity Model, Capability Maturity Model Integration (CMMI), Maturity Model for eXtreme Programming (XPMM), Agile Maturity Model, dan Agile Adoption and Improvement Model (AAIM) (Leppanen, 2013). Salah satu model yang dipandang relevan untuk organisasi adalah the Organizational Agility Maturity (OAM) Model yang dikembangkan oleh Wendler (2014). 10 Model OAM ini terdiri dari tiga dimensi yang masing – masing dijabarkan dalam dua sub-dimensi yaitu dimensi prasyarat agilitas (nilai agile dan teknologi), dimensi agility of people (pegawai dan manajemen perubahan) dan dimensi struktur pendorong agilitas (kolaborasi dan kerjasama, dan struktur yang fleksibel). Definisi masing – masing dimensi dan sub dimensi disajikan pada Tabel 4. Tabel 4: Dimensi dan Sub Dimensi Agilitas Organisasional Dimensi / Sub Dimensi Definisi Pengukuran Prasyarat agilitas Tingkatan sampai sejauh mana para anggota organisasi berbagi nilai – nilai agile dan sampai sejauh mana organisasi mempunyai teknologi yang mendukung agilitas - Nilai agile Budaya organisasi yang berkesesuaian dengan nilai – nilai agile seperti proaktif, responsif, saling percaya, dukungan atas usulan dan keputusan oleh pegawai, memandang perubahan sebagai peluang dan kesempatan. Tingkat diseminasi nilai – nilai agile di organisasi - Teknologi Teknologi pendukung agilitas organisasional yang memampukan komunikasi lintas tingkatan dan unit kerja yang efisien, berbagi informasi, penggunaan sistem informasi dan teknologi yang terintegrasi, terstandar dan dapat dibandingkan. Tingkat diseminasi dukungan teknologi informasi Agility of People Kapabilitas yang perlu dimiliki oleh anggota organisasi untuk mentraslasikan nilai menjadi aksi agile - Tenaga kerja / pegawai Pegawai yang multi-keahlian agar dapat mengorganisasikan diri menghadapi perubahan. Pegawai juga harus mau dan mampu belajar satu dengan yang lain untuk meningkatkan diri secara berkelanjutan, berkomunikasi dengan landasan saling percaya dan bertanggung jawab. Selain itu, pegawai juga perlu mampu berpikir dan bertindak dengan selalu mempertimbangkan kualitas produk/ layanan dan pasar. Proporsi pegawai dalam organisasi yang mempunyai kapabilitas dimaksud - Manajemen perubahan Manajer yang mengatasi perubahan dengan cepat dan tepat. Manajer yang memberi informasi kepada pegawai organisasi mengenai perubahan tersebut dan menginspirasi mereka untuk menyambut perubahan tersebut. Selain itu, manajer perlu beraksi dengan visi jangka panjang dan investasi pada IT secara strategis. Proporsi manajer dalam organisasi yang mempunyai kapabilitas dimaksud Struktur Pendorong Agilitas Kemampuan organisasi untuk mengadopsi dan merubah diri dengan fleksibel dipadukan dengan budaya organisasi yang mendukung kolaborasi dan kerjasama di seluruh tingkatan organisasi 11 Dimensi / Sub Dimensi Definisi Pengukuran - Kolaborasi dan kerjasama Aktivitas kolaboras internal antar fungsi dan unit kerja misalnya dalam pengambilan keputusan dan pengembangan produk / layanan. Kerjasama eksternal dengan mitra dan pelanggan fokus pada kualitas, umpan balik, dan berbagi informasi secara intensif. Frekuensi aktivitas organisasi yang memampukan dan mendukung kolaborasi dan kerjasama - Struktur fleksibel Kemampuan organisasi melakukan adaptasi terhadap proses dan struktur organisasi dengan cepat untuk mengimplementasikan perubahan dan tetap kompetitif. Sub dimensi ini mencakup aktivitas yang mempercepat pengambilan keputusan dan perubahan otoritas apabila dibutuhkan Frekuensi aktivitas organisasional dalam menerapkan fleksibilitas. Sumber: (Wendler, 2014) Model Organizational Agility Maturity (OAM) yang dikembangkan oleh (Wendler, 2014) ini terdiri dari empat tingkat maturitas yaitu non agile, agility basics, dilakukan agility secara transition, independen organisational untuk setiap agility. Pengukuran sub-dimensi sehingga dimungkinkan suatu organisasi mempunyai berbagai tingkatan maturitas. Dengan demikian area perbaikan menuju organisasi yang agile dapat diidentifikasi dan ditindaklanjuti. Deskripsi keempat tingkatan diuraikan pada Tabel 5. Tabel 5: Tingkatan Maturitas Agilitas Organisasional Level Deskripsi 0 – Non-agile Organisasi tidak atau kurang menunjukkan properti agilitas organisasional. Nilai – nilai agile tak teridentifikasi, basis teknologi terfragmentasi dan tidak mampu mendukung proses komunikasi secara efektif. Hanya sebagian kecil pegawai dan manajer yang mempunyai kapabilitas yang diperlukan untuk mengimplementasikan nilai dan aksi agile. Tidak terdapat aktivitas organisasional yang ditujukan untuk meningkatkan kolaborasi dan kerjasama dan mengimplementasi struktur yang fleksibel atau terjadi secara kebetulan. Skor suatu sub-dimensi mungkin lebih tinggi dari sub-dimensi lain namun secara keseluruhan organisasi menunjukan karakteristik non agile 1 – Agility Basics Nilai-nilai agile dan teknologi yang diperlukan terimplementasi sebagian di beberapa unit kerja namun tidak di sebagian besar unit kerja. Beberapa namun tidak sebagian besar pegawai mempunyai kaapabilitas agile terkait komunikasi, pembelajaran tanggung jawab, dan orientasi pelanggan. Beberapa manajer mampu mengelola perubahan dengan cara yang tepan. Aktivitas yang meningkatkan kolaborasi, kerjasama dan fleksibilitas dilakukan 12 Level Deskripsi agak jarang atau sering namun hanya di sebagian kecil unit kerja. Organisasi telah menyadari dan merasakan manfaat dari organisasi yang agile namun hanya terjadi di beberapa unit kerja di beberapa situasi. 2 – Agility Transition Organisasi telah mendiseminasikan nilai agile dan mempunyai teknologi yang tepat di sebagaian besat organisasi. Banyak pegawai dan manajer berbagai ide tentang agilitas dan memiliki kapabilitas untuk melakukannya. Perubahan disambut baik dan direspon dengan teapt. Organisasi sering beraktivitas yang mendukung dan mendorong kerjasama. Struktur organisasi telah cukup fleksibel untuk mengantisipasi perubahan. Namun demikian masih terdapat kelemahan di satu atau dua sub-dimensi. 3 – Organizational Agility Skor tinggi pada seluruh sub-dimensi dan telah mengatasi kelemahan parsial pada tahapan agility transition. Basis teknologi telah terdapat pada seluruh organisasi dan nilai – nilai agile telah menjadi nilai bersama dan diterima di seluruh organisasi. Seluruh pegawai dan manajer mempunyai kapabilitas untuk bekerja secara agile di lingkungan yang terus berubah. Kolaborasi dan kerjasama merupakan aspek yang penting dalam bekerja dan struktur yang fleksibel untuk secara cepat merespon perubahan. Mungkin ada kelemahan dan pengecualian namun tidak signifikan. Uraian dimensi, sub dimensi dan tingkatan maturitas secara tidak langsung menunjukkan peta jalan untuk menjadi organisasi yang agile. Reviu literatur berikut ini menguraikan secara umum peta jalan tersebut, tentunya tetap dalam konteks organisasi internal audit. 4. Rerangka mencapai internal audit yang agile Terdapat berbagai ragam rerangka untuk mencapai agilitas organisasional. Pada umumnya rerangka tersebut fokus pada empat aspek yaitu: teknologi, manusia, sistem dan strategi. Zhang dan Sharifi, (2000) mengusulkan suatu metodologi yang dipandang holistik, padat dan secara luas diacu oleh banyak cendekia. Sebagaimana tergambar pada Diagram 3, rerangka tersebut mencakup agility drivers (penggerak-arahan agilitas), agility capabilities (kapabilitas agilitas), dan agility providers (penyedia agilitas). Agility drivers adalah perubahan atau tekanan dari lingkungan yang menggerakan dan mengarahkan organisasi untuk mencari cara baru untuk mempertahankan keunggulan kompetitifnya. Kapabilitas agilitas adalah kapabilitas yang dibutuhkan untuk merespon perubahan secara positif dan 13 mengambil manfaat darinya. Penyedia agilitas adalah sarana untuk mendapatkan kapabilitas tersebut yaitu teknologi, manusia, organisasi, inovasi berkelanjutan, dan sistem informasi Diagram 3: Model Konseptual Implementasi Agilitas Organisasional menurut (Zhang & Sharifi, 2000) Sumber: (Zhang & Sharifi, 2000) Dalam konteks organisasi audit internal, strategi mewujudkan organisasi yang agile perlu diawali dengan membedakan audit tradisional dan audit secara agile. Sebagaimana diuraikan pada Tabel 6, Wright (2019) mengemukakan bahwa audit yang agile lebih fokus pada ekspektasi dari nilai yang didefinisikan oleh mitra bukan fokus semata pada tujuan audit. Penugasan bersifat siklus sekuensial, bukan linier. Kolaborasi dengan klien merupakan hal penting untuk meningkatkan keterpaduan dengan strategi bisnis. Temuan audit juga bersifat kolaboratif. Perencanaan penugasan audit dan pelaporan bersifat inkremental dan iteratif untuk memastikan kesegeraan dan ketepatan waktu tindak lanjut hasil audit. 14 Tabel 6: Perbedaan Audit Tradisional dan Audit Agile Atribut Pendekatan Audit Tradisional Pendekatan Audit Agile Fokus pemandu Tujuan audit Ekspektasi nilai terdefinisi Sekuensi penugasan Linier Siklus sekuensial Relasi dengan klien Arms – length untuk meyakini independensi dan obyektivitas auditor Kolaboratif dengan tujuan: - Eksploitasi hal – hal terkait keahlian yang berkenaan - Memfasilitasi agreement on observations - Meningkatkan ketepatan waktu respon risiko Observasi, temuan, simpulan audit Fokus pada risiko dan pengendalian Terpadu dengan strategi bisnis dan tujuan yang berkenaan, temuan kolaboratif Perencanaan Rencana utama (master plan) yang kurang fleksibel Iteratif dan inkremental Kepemilikan Eksklusif untuk tim audit internal Berbasis tim Manajemen sumber daya Anggaran penugasan Dikelola dalam bentuk timebased increments Penilaian risiko Risiko diidentifikasi dan dinilai untuk tujuan bisnis Penilaian multi level mengacu pada tujuan bisnis Pemuktahiran status Adhoc, sesuai kebutuhan yang ditentukan berdasarkan metodologi audit spesifik Pertemuan harian, read-out inkremental dengan mitra audit dan stakeholders utama Dokumentasi Lengkap, teliti dan seksama untuk meyakini pekerjaan dapat dipertahankan apabila direviu/ dipertanyakan Dirasionalisasi, berbasis nilai, aturan 80/20 (ekspetasi bahwa 20% aktivitas akan berkontribusi terhadap 80% hasilnya) Sumber: (Wright, 2019) Deloitte (2017) juga mengemukakan pentingnya kecepatan dan tim audit yang responsif. Frekuensi komunikasi, transparansi proses audit dan dokumentasi yang relevan dan tepat waktu menjadi aspek yang penting untuk menjadi internal audit yang agile. Pembeda utama agile auditing dan traditional auditing adalah tidak adanya perencanaan fasetunggal yang kaku. Proses audit dilakukan berdasarkan perencanaan jangka sangat pendek yang fleksibel dan iteratif serta berkelanjutan (on- 15 going). Pelaksanaan audit mengandalkan komunikasi dan kolaborasi antar tim audit dan dengan stakeholders (lihat Tabel 7). Tabel 7: Strategi menjadi IA yang agile menurut Deloitte (2017) Dari Menjadi Komunikasi yang sempurna setelah proses yang panjang Sering berkomunikasi selama proses berlangsung Kegiatan yang terencana dengan kaku Kegiatan yang cepat dan iteratif Dokumentasi yang komprehensif Dokumentasi dan pelaporan yang relevan, dan tepat waktu Peran yang tetap dalam suatu sistem yang hirarkis Peran pemberdaya dalam sistem yang lebih fleksibel Mematuhi rencana yang telah ditetapkan Respon pada kebutuhan yang timbul Auditing to internal audit resurces Resourcing to audits and projects Mengendalikan proses audit Transparansi dalam proses audit Sumber: (Deloitte, 2017) 5. Agile governance Definisi agile governance secara umum adalah tata kelola3 yang memliki karakteristik agile. Karakteristik tersebut diikhtisarkan dalam Tabel 8 yang antara lain dimaknai sebagai kemampuan, kapabilitas, proses atau rerangka. Beberapa elemen yang penting dari beragam definisi tersebut adalah (a) rerangka yang terdiri dari akuntabilitas dan responsibilitas, (b) sebagai proses menserasikan strategi bisnis, manajemen kinerja dan manajemen risiko, dan harus (c) lebih cepat daripada perubahan itu sendiri. 3 The processes by which governments are chosen, monitored, and changed, The systems of interaction between the administration, the legislature, and the Judiciary, the ability of government to create and to implement public policy, The mechanisms by which citizens and groups define their interests and interact with institutions of authority and with each other. (McCawley 2005)) 16 Tabel 8: Definisi Agile Governance Fokus dan Definisi Sumber Kata Kunci Fokus: Pengembangan Software Rerangka akuntabilitas, pengendalian, proses dan struktur yang ringan, kolaboratif, berorientasi komunikasi, ekonomis dan bergulir untuk memaksimalkan nilai bisnis agile, dengan menserasikan strategi bisnis, manajemen kinerja dan manajemen risiko. (Qumer, 2007) Menserasikan strategi bisnis, manajemen kinerja dan manajemen risiko Fokus: Tata kelola pengembangan software Akuntabilitas dan resposibilitas manajemen, adopsi metode pengembangan sofware yang agile, menyelenggarakan mekanisme dan pengukuran dalam suatu lingkungan yang agile (Cheng, Jansen, & Remmers, 2009) Akuntabilitas dan resposibilitas Fokus: Tata kelola IT Proses mendefinisikan dan mengimplementasikan infrastruktur IT untuk mendukung tujuan strategis organisasi yang dimiliki secara bersama oleh unit kerja IT dan unit kerja lainnya dalam rangka mendapatkan strategi pembeda kompetitif melalui penerapan nilai dan prinsip-prinsip manifesto agile (Luna, Costa, De Moura, & Novaes, 2010) Penerapan nilai dan prinsip-prinsip manifesto agile Fokus: Multidisiplin Sarana untuk mencapai dan meningkatkan keunggulan kompetitif strategis di tengah lingkungan organisasional, dengan menggunakan pendekatan agile dalam rangka memberikan nilai secara lebih cepat, lebih baik dan lebih murah (Luna, Kruchten, & de Moura, 2013) Lebih cepat, lebih baik dan lebih murah Fokus: Multidisiplin 4 Kemampuan human societies untuk merasakan, beradaptasi, dan merespon dengan cepat dan berkelanjutan terhadap perubahan lingkungan dengan menkombinasikan secara terkoordinasi kapabilitas yang lean dan agile dengan kapabilitas tata kelola dalam rangka memberikan nilai secara lebih cepat, lebih baik dan lebih murah kepada bisnis intinya. (Luna, Kruchten, Pedrosa, Neto, & Moura, 2014) Merasakan, beradaptasi, dan merespon Fokus: Multidisiplin Kapabilitas organisasi untuk merasakan, beradaptasi, dan merespon perubahan lingkungan secara terkoordinasi dengan berkelanjutan, lebih cepat daripada perubahan – perubahan tersebut. (Luna A. d., Kruchten, Riccio, & Moura, 2016) Lebih cepat daripada perubahan itu sendiri Aplikasi nilai, prinsip dan praktik lean-agile dalam tugas – tugas tata kelola (Thomas, 2012) Nilai, prinsip dan praktik Sumber: Penulis 4 any kind of organizations, such as companies in any industry, non-profit institutions, as well as governments in any level or conjunction (cities, provinces, countries, or even governments associations, e.g. The United Nations 17 Luna, Kruchten, & Pedrosa (2015) membedakan agile governance dan conventional governance. Agile governance fokus pada ‘perilaku’ dan ‘praktis’ untuk mencapai ‘keunggulan kompetitif’ dan ‘keberlanjutan’ dengan mengandalkan ‘transparansi’ dan ‘pelibatan pegawai’ sedangkan tata kelola konvensional lebih pada ‘proses’ dan ‘prosedur’ untuk kepentingan ‘kepatuhan’ dan‘pengendalian’. Agile governance bermakna sense (menemukenali dan merasakan), respon dan adaptasi sedangkan conventional governance fokus pada kesesuaian dengan rencana. Untuk menggerak-arahkan praktik agile governance, kapabilitas untuk menata-kelola dipadukan oleh Luna, Kruchten, Pedrosa, Neto, & Moura (2014) dengan prinsip-prinsip agile untuk menghasilkan enam meta-prinsip agile governance sebagai berikut: a. Good enough governance: tata kelola perlu diadaptasi (disesuaikan dan diseimbangkan) dengan konteks masing – masing organisasi; b. Gerak-arah bisnis: bisnis (tugas, fungsi dan peran) organisasi harus menjadi penggerak dan pemandu setiap keputusan c. Fokus pada manusia: manusia / pegawai sebagai elemen kunci perubahan harus merasa dihargai serta disediakan dan diberikan insentif untuk berpartisipasi secara kreatif d. Berbasis pada quick wins: quick wins perlu dirayakan dan digunakan untuk mendapatkan lebih dorongan gerak hati untuk berubah lebih besar. Energi positif yang dihasilkan dari kemenangan tersebut digunakan sebagai umpan balik dan motivasi untuk melanjutkan perubahan. e. Pendekatan sistematis dan adaptif: tim harus mengembangkan kemampuan intrinsik untuk menangani perubahan dengan menyadari bahwa perubahan adalah bagian yang melekat alami dalam proses bisnis. f. Desain yang sederhana dan perbaikan berkelanjutan: Memilih alternatif desain yang lebih sederhana namun memperbaikinya pada kesempatan pertama. Hal ini dipandang lebih baik daripada 18 merencanakan sesuatu yang rumit dalam jangka waktu lama namun kemudian kehilangan waktu merespon perubahan. C. Rerangka konseptual dan Pembahasan Berdasarkan literatur reviu diatas dapat disusun rerangka konseptual implementasi agile internal audit di BPKP. Sebagaimana tergambar pada Diagram 4, rerangka konseptual tersebut tujuh langkah strategis merupakan untuk menghadapi tantangan multidimensi di periode ke tujuh BPKP ini. Diagram 4: Rerangka Konseptual Implementasi Agile Internal Audit di BPKP Sumber: Penulis 19 Ketujuh langkah strategis tersebus adalah: - Mengidentifikasi perubahan lingkungan - Mengidentifikasi tantangan yang dihadapi BPKP - Mendefinisikan BPKP yang agile - Mengukur tingkat agilitas organisasional BPKP - Menyusun strategi meningkatkan kapabilitas untuk menjadi organisasi yang agile - Menyusun strategi bagaimana melakukan tugas dan fungsi BPKP secara agile - Mengeksekusi strategi dalam rerangka agile governance 1. Langkah 1 : Mengidentifikasi perubahan lingkungan Perubahan lingkungan BPKP dapat dikategorikan pada tiga domain audit inteal yaitu manajemen risiko, pengendalian dan proses tata kelola sebagai berikut: a. Perubahan pada domain manajemen risiko Sebagaimana tertuang dalam Peraturan Presiden Nomor 18 Tahun 2020 tentang Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional 20202024 menguraikan empat perubahan utama yaitu (a) ketidakpastian global, (b) laju pertumbuhan ekonomi relatif stagnan, (c) defisit transaksi berjalan yang meningkat, serta (d) revolusi industri 4.0 dan ekonomi digital. Risiko ketidakpastian mencakup Laju pertumbuhan ekonomi relatif stagnan, rendahnya harga komoditas internasional ekspor utama Indonesia, perang dagang, perlambatan ekonomi China, dan risiko geopolitik di Timur Tengah. Laju pertumbuhan ekonomi relatif stagnan menjadikan sulit bagi Indonesia untuk segera menjadi negara berpendapatan tinggi. Hal ini disebabkan tingkat produktivitas yang rendah, regulasi yang tidak mendukung penciptaan dan pengembangan bisnis, serta kualitas institusi dan SDM yang rendah. Defisit transaksi berjalan meningkat karena tidak berkembangnya industri pengolahan, dan ekspor Indonesia yang masih didominasi oleh ekspor komoditas sehingga rasio ekspor terhadap PDB 20 terus menurun. Perubahan penting lainnya adalah digitalisasi, otomatisasi, dan penggunaan kecerdasan buatan dalam aktivitas ekonomi yang berpotensi menyebabkan hilangnya pekerjaan. b. Perubahan pada domain tata kelola Perubahan dalam area pengelolaan risiko nasional tersebut pada butir a. akan diiringi dengan isu – isu kepemerintahan yang akan semakin kompleks seiring semakin cepatnya perubahan. Saling ketergantungan antar institusi pemerintahan serta para pihak yang berkepentingan yang semakin beragam menjadi dua sumber kompleksitas tata kelola pemerintahan. Tingkatan pemerintahan yang semakin terdesentralisasi sampai ke desa merubah landscape akuntabilitas vertikal dan akuntabilitas horisontal pemerintahan di Indonesia. Implementasi tata kelola pemerintahan yang transparan dan partisipatif meningkatkan jumlah suara dalam proses pengambilan keputusan dan kebijakan publik. Konsekuensinya adalah meningkatnya tuntutan bagi pemerintah untuk berakuntabilitas. Tuntutan akuntabilitas tersebut dioperasionalisasikan dalam bentuk berbagai regulasi, prosedur pelaporan dan unit kerja atau lembaga dan unit kerja yang diberikan mandat untuk mengawasi, mengukur, menilai, mereviu, dan memeriksa kerja pemerintah dan kepatuhannya terhadap regulasi. c. Perubahan pada domain pengendalian Terdapat beberapa isu yang terjadi pada domain pengendalian. Isu tersebut antara lain bias – bias yang tidak produktif yang pada umumnya dibangun oleh pihak-pihak yang mempunyai kepentingan pribadi agar terlihat aktif menangani permasalahan inefisiensi, inefektivitas, serta ketidakpatuhan dan korupsi. Selain itu, opportunistic behaviour dan moral hazard telah menjadi permasalahan aksi kolektif. KLPBU tenggelam dalam kegiatan seremonial mendeklarasikan komitmennya namun terlupa untuk melakukan analisis yang rasional dan mendalam untuk menyusun dan mengimplementasikan pengendalian intern yang tepat. Pemimpin KLPBU mungkin berkomitmen meningkatkan 21 efektivitas pengendalian namun ia mewarisi birokrat yang korup dan resistensi yang tinggi untuk berubah. Meskipun pimpinan berkomitmen dan pegawai mau berubah namun kedua hal tersebut tidak cukup untuk melanggengkan perubahan tanpa upaya institusionalisasi terutama setelah suatu periode kepemimpinan berakhir. 2. Langkah 2: Mengidentifikasi tantangan yang dihadapi BPKP a. Tantangan BPKP pada domain manajemen risiko Perubahan sebagaimana tertuang dalam Peraturan Presiden Nomor 18 Tahun 2020 tentang Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional 2020-2024 tersebut membawa konsekuensi bagi BPKP. BPKP perlu memahami tidak hanya lingkungan organisasional BPKP namun juga lingkungan organisasional KLPBU. BPKP juga perlu memahami tidak hanya strategi KLPBU namun juga strategi negara lain dalam menghadapi ketidakpastian dunia. Perubahan lingkungan KLPBU dan strategi kompetitor tersebut merupakan sumber ketidakpastian dan sumber risiko dan memahaminya merupakan bagian penting dari upaya BPKP melakukan dynamic risk assessment sebagai bagian dari pengawasan atas manajemen risiko di KLPBU. b. Tantangan BPKP pada domain tata kelola Isu – isu kepemerintahan dan perubahan landscape akuntabilitas di Indonesia membawa konsekuensi bagi BPKP. Perubahan landscape akuntabilitas ditandai dari terjadinya (a) peningkatan kewajiban berakuntabilitas, (b) bertambahnya institusi atau forum yang bersifat watchdog, (c) relasi akuntabilitas yang ber-multiplikasi, (d) standar baru terkait akuntabilitas, (e) praktik akuntabilitas yang semakin banyak, dan (f) timbulnya jaringan akuntabilitas (Wille, 2017). BPKP perlu mempunyai metodologi untuk memadukan akuntabilitas dari berbagai dimensi dan berbagai pihak tersebut. Berbagai lembaga / unit kerja penegak akuntabilitas tersebut menyelenggarakan assurance untuk tujuan dan sasaran yang beragam. Tantangan bagi BPKP adalah memadukannya menjadi integrated assurance. 22 c. Tantangan BPKP pada domain pengendalian Tantangan pengembangan maturitas menjadi efektivitas pengendalian intern adalah mencegah agar perubahan yang dilakukan KLPBU tidak artifisial. BPKP perlu melakukan root cause analysis dalam setiap penugasan pengawasan. Root Cause Analysis akan membebaskan tim audit dari bias ‘penanganan gejala’ yaitu KLPBU yang lebih mengutamakan penanganan terhadap penyebab terjadinya inefisiensi, inefektivitas, ketidakpatuhan dan korupsi yang terlihat di permukaan misalnya kelemahan peraturan atau pegawai yang tidak kompeten. Kepemimpinan, iklim etik, iklim pelayanan publik dan kultur organisasi yang mungkin merupakan akar penyebab penyimpangan belum menjadi perhatian sebagai akar penyebab permasalahan dan sumber risiko. Ketiga tantangan tersebut membawa konsekuensi lanjutan bagi BPKP. Penerapan integrated assurance, dynamic risk assessment dan root cause analysis yang diperlukan untuk menjawab ketiga tantangan tersebut memerlukan agilitas organisasional. Langkah penting untuk memelihara dan mengembangkan agilitas organisasional BPKP yang telah terbukti selama 37 tahun ini adalh terlebih dahulu mendefinisikan agilitas tersebut. 3. Langkah 3: Mendefinisikan BPKP yang agile Definisi merupakan hal yang penting dalam membangun rerangka konseptual terlebih dalam merumuskan strategi implementasinya. Definisi yang baik akan memampukan semua pihak memahami maknanya, menyamakan persepsi terhadap definisi tersebut dan mengoperasionalisasikannya dalam sistem dan prosedur yang siap diterapkan. BPKP tidak hanya perlu mendefinisikan agile internal audit namun juga (a) atribut, dan (b) konsep – konsep mendasar yang terkandung dalam agile internal audit. Atribut agile internal auditing yang perlu didefinisikan adalah fokus pemandu, sekuensi penugasan, relasi dengan klien, observasi, temuan, 23 simpulan audit, perencanaan , kepemilikan, manajemen sumber daya, penilaian risiko, pemuktahiran status dan dokumentasi. (Wright, 2019) Selain itu, empat konsep mendasar yang perlu juga dirumuskan definisi operasionalnya adalah: a. Audit backlog: menggantikan penggunaan audit plan menjadi audit backlog yaitu daftar terkini area yang akan diaudit b. Definisi siap (Definition of Ready (DoR)) yaitu suatu item dalam backlog ada ketika internal audit dan mitra sepakat mengenai apa yang diuji, dieksaminasi atau di-reviu, tujuan penugasan dan nilai yang hendak diciptakan dan diberikan. c. Sprints: ketika penugasan audit mulai, suatu item dikeluarkan dari audit backlog. Program kerja audit penugasan audit dibagi menjadi sprints yang berkenaan dengan yaitu proses, struktur dan bagian dari penugasan yang harus diselesaikan dengan tenggat waktu yang ketat. d. Definisi selesai (Definition of Done (DoD)) yaitu nilai yang disampaikan kepada mitra audit dalam suatu sprint. Suatu DoD dapat dinyatakan sebagai level of assurance, serangkaian tugas yang diselesaikan, daftar isu teridentifikasi, risiko atau rekomendasi, laporan atau draft laporan. Keempat elemen ini menjadi struktur dari kegiatan dan rerangka waktu sedemikian rupa sehingga dimungkinkan dilakukan perubahan arah dan perubahan alokasi sumber daya segera setelah didapatkan informasi baru (Deloitte, 2017) 4. Langkah 4: Menilai tingkat agilitas organisasional BPKP Untuk dapat menilai kesiapan BPKP menghadapi perubahan dan mengidentifikasi area dalam organisasi yang ‘kurang agile’, BPKP perlu melakukan pengukuran dan penilaian agilitas organisasional. Selain melakukan penilaian atas tiga dimensi (prasyarat agilitas, agility of people dan struktur pendorong agilitas) sebagaimana model yang dikembangkan oleh (Wendler, 2014), penilaian juga perlu mencakup praktik – praktik 24 informal yang mendukung ataupun tidak mendukung agilitas organisasional. 5. Langkah 5: Menyusun strategi peningkatan kapabilitas untuk menjadi organisasi yang agile Hasil langkah 1 (perubahan lingkungan), langkah 2 (tantangan BPKP), langkah 3 (mendefinisikan BPKP yang agile) dan langkah 4 (tingkat agilitas organisasional) dipadukan untuk merumuskan strategi peningkatan kapabilitas. Merujuk pada model (Wendler, 2014), fungsi SDM, organisasi dan teknologi informasi berperan penting sebagai provider agilitas. 6. Langkah 6: Menyusun strategi bagaimana melakukan tugas dan fungsi BPKP secara agile Pelaksanaan tugas dan fungsi secara agile tidak harus menunggu kesiapan dan pelaksanaan strategi peningkatan kapabilitas. Langkah 5 dan langkah 6 dapat dilakukan secara paralel. Dengan kapabiltas terpasang, BPKP dapat melaksanakan penugasan secara agile. Strategi dan metodenya dapat disesuaikan dengan tiga hal utama: spesifikasi penugasan audit, kemampuan menerapkan konsep agile internal audit dalam pedoman audit dan sumber daya yang tersedia. 7. Langkah 7: Mengeksekusi strategi dalam rerangka agile governance Langkah 1 sampai dengan langkah 6 dapat terarah pada tujuan, sasaran dan cara kerja yang harmonis apabila terletak dalam satu rerangka agile governance. Struktur, sistem dan kultur yang terdapat dalam satu rerangka dan dilaksanakan dengan disiplin diyakini dapat menyeimbangkan keinginan ber-agilitas (cepat, fleksibel dan adaptif) dan kebutuhan untuk tetap menjadi BPKP yang stabil (efisien, tabah menghadapi kesulitan, dan andal), taat pada standar audit serta terjaga independensi dan obyektivitasnya. 25 D. Simpulan Periode 37 tahun kehidupan organisasi BPKP membuktikan kekuatan agilitas organisasional BPKP. Namun dengan adanya perubahan pada domain tata kelola, manajemen risiko dan pengendalian, agilitas organisasional BPKP perlu dikuatkan manajemen risiko pembangunan nasional, kembali. Dari sisi Indonesia menghadapi ketidakpastian global, dan laju pertumbuhan ekonomi yang stagnan sedangkan dari sisi tata kelola terjadi perubahan landscape akuntabilitas di tingkat nasional, daerah dan desa serta korporasi negara. Konsep maturitas juga perlu dikembangkan menjadi efektivitas pengendalian intern. Integrated assurance dan dynamic risk assessment perlu segera diimplementasikan seiring dengan konsep – konsep RCA, CACM dan probity advice and assurance yang telah lebih dulu dikembangkan. Hasil analisis menunjukkan perlunya melakukan langkah – langkah strategis untuk menemukenali perubahan, meresponnya dengan cepat dan melakukan perbaikan secara berkelanjutan. Implementasi konsep agile internal audit dalam rerangka agile governance merupakan salah satu alternatif mewujudkannya tanpa harus kehilangan stabilitas, ketatan pada metodologi profesi pengawasan intern serta tetap menjaga independensi dan obyektivitas BPKP sebagai aparat pengawasan intern pemerintah penegak akuntabilitas pembangunan nasional. E. Daftar Pustaka Agilealliance. (2002). Agile 101. Retrieved 6 1, 2020, from Agile Alliance: https://www.agilealliance.org/ Azizsafaei, F. (2016). The Role of Human Resource Management In Achieving Organisational Agility (A Doctoral Thesis). Birmingham, United Kingdom: Birmingham City University. 26 Blanding, C., & Child, M. (2019, October 1). Agile Auditing. Retrieved from https://chapters.theiia.org/topeka/Documents/Agile%20Auditing%20 Topeka%20IIA%20100119.pdf Cheng, T.-H., Jansen, S., & Remmers, M. (2009). Controlling and monitoring agile software development in three dutch product software companies. ICSE Workshop on Software Development Governance. IEEE, (pp. 29–35). Deksnys, M. (2018). Organizational Agility In High Growth Companies Doctoral Dissertation. Vilnius: Mykolas Romeris University. Deloitte. (2017). Becoming agile A guide to elevating internal audit’s performance and value Part 1: Understanding agile internal audit. Deloitte Development LLC. Deloitte. (2017). Becoming agile A guide to elevating Internal Audit’s performance and value Part 2: Putting Agile IA into action. Deloitte Development LLC. Deloitte. (2018). Agile Internal Audit. IIA Chicago Chapter 5th Annual Seminar 2018. Development LLC Deloitte. Deloitte. (2020). Adopting Agile: In harmony with the International Standards for the Professional Practice of Internal Auditing (the Standards) . Dove, R. (1993). Lean and agile: synergy, contrast, and emerging structure. Proceedings of the Defense Manufacturing Conference, 93. Goldman, S. L., Nagel, R. N., & Preiss, K. (1995). Agile competitors and virtual organizations: strategies for enriching the customer. Van Nostrand Reinhold Company. Goldman, S., & Nagel, R. (1993). Management, technology and agility: the emergence of a new era in manufacturing. International Journal of Technology Management, Vol. 8 Nos 1/2, 18-38. 27 Gunasekaran, A. (1999). Agile manufacturing: a framework for research and development. International Journal of Production Economics, Vol. 62, 87-106. Hardenberg, B., & Rubin, A. (2020, 4 22). What is Agile Auditing? . Retrieved 5 30, 2020, from eisneramper: https://www.eisneramper.com/newsletters/prts-intelligence/agileauditing-prts-0420/ Harraf, A., Wanasika, I., Tate, K., & Talbott, K. (2015). Organizational Agility. The Journal of Applied Business Research, 31(2). Jamrog, J. J., McCann, J. E., Lee, J. M., Morrison, C. L., Selsky, J. W., & Vickers, M. (2006). Agility and Resilience in the Face of Continuous Change: A Global Study of Current Trends and Future Possibilities 2006-2016. New York: American Management Association. Kidd, P. T. (1994). Agile Manufacturing: Forging New Frontiers. England: Addition-Wesley. Leppanen, M. (2013). A Comparative Analysis of Agile Maturity Models. In R. P. al, Information Systems Development: Reflections, Challenges and New Directions. New York: Springer Science+Business Media. Luna, A. d., Costa, C., De Moura, H., & Novaes, M. (2010). Agile Governance in Information and Communication Technologies: Shifting Paradigms. JISTEM Journal of Information System Technology Management,7, 311–334. Luna, A. d., Kruchten, P., & de Moura, H. (2013). GAME: Governance for Agile Management of Enterprises: A Management Model for Agile Governance. IEEE 8th International Conference on Global Software Engineering Workshops (pp. 88–90). IEEE. Luna, A. d., Kruchten, P., Riccio, E., & Moura, H. d. (2016). Luna, A.J.H. de O., Kruchten, P., Riccio, E.L., Moura, H.P. de, 2016. Foundations for an Agile Governance Manifesto: a bridge for 28 business agility, in: Nagawa, V.T. (EdFoundations for an Agile Governance Manifesto: a bridge for business agility. Nagawa 13th International Conference on Management of Technology and Information Systems (p. 2016). São Paulo, SP, Brasil: FEA-USP. Luna, A. J., Kruchten, P., & Pedrosa, M. L. (2015). Agile Governance Theory: conceptual development. D. M. G. Sakata (Ed.), 12th International Conference on Management of Technology and Information Systems. São Paulo: FEA-USP. Luna, A. J., Kruchten, P., Pedrosa, M. L., Neto, H. R., & Moura, H. P. (2014). State of the Art of Agile Governance: A Systematic Review. International Journal of Computer Science & Information Technology (IJCSIT), 6(5), 121–141. Macias-Lizaso, G., & Thiel, K. (2006). Building a Nimble Organization. A McKinsey Global Survey , McKinsey Quarterly. McCann, J. (2004). Organizational Effectiveness: Changing Concepts for Changing Environments. Human Resource Planning, 27(1), 42-50. Qumer, A. (2007). Defining an Integrated Agile Governance for Large Agile Software Development Environments: A Systematic Review and Analysis. The 8th International Conference on Agile Processes in Software Engineering and Extreme Programming, (pp. 157–160). Roth, A. V. (1996). Achieving Strategic Agility Through Economies of Knowledge. Strategy and Leadership, 24(2), 30-37. Sambamurthy, V., Bharadwaj, A., & Grover, V. (2003). Shaping agility through digital options: re-conceptualizing the role of information technology in contemporary firms. MIS Quarterly, Vol. 27 No. 3, 237-63. Sanchez, L. M., & Nagi, R. (2001). A review of agile manufacturing systems. International Journal of Production Research, 39, 35613600. 29 Sharifi, H., & Zhang, Z. (2001). Agile manufacturing in practice Application of a methodology. International Journal of Operations and Production Management, 21, 772-794. Sherehiy, B. (2008). Relationships between agility strategy, work organization and workforce agility. Doctoral Dissertation. Louisville: The University of Louisville. Thomas, S. (2012, 10 1). What is Agile Governance? Retrieved 6 1, 2020, from It's a Delivery Thing: https://itsadeliverything.com/what-isagile-governance Vokurka, R., & Fliedner, G. (1998). The Journey Toward Agility. Industrial Management and Data Systems. Vol 98, Iss 4, 165. Wendler, R. (2014). Development of the organizational agility maturity model. Federated Conference on Computer Science and Information Systems (FedCSIS) (pp. 1197-1206). Warsaw, Poland,: IEEE. Wille, A. (2017). The dynamics of the EU accountability landscape: Moving to an ever-denser union. In T. Christensen, & P. Lægreid, The Routledge Handbook to Accountability and Welfare State Reforms in Europe . New York: Routledge Taylor and Francis Group. Wright, R. A. (2019). Agile Auditing: Transforming the Internal Audit Process. The Institute of Internal Auditor. Wyman, O. (2018). Organizational Agility Why Large Corporations Often Struggle To Adopt The Inventions Created By Their Innovation Units And How To Improve Success Rates In A Rapidly Changing Environment. IESE Business School University of Navarra. Yusuf, Y., Sarhadi, M., & Gunasekaran, A. (1999). Agile manufacturing: the drivers, concepts and attributes. International Journal of Production Economics, 62, 33-43. 30 Zhang, Z., & Sharifi, H. (2000). A Methodology for Achieving Agility in Manufacturing organisations. International Journal of Operations & Production Management, 20(4), 496-512. 31