Uploaded by Ide Juang Humantito

agile governance BPKP DKI Ide

advertisement
AGILE GOVERNANCE :
TUJUH LANGKAH STRATEGIS MENGHADAPI
TANTANGAN MULTIDIMENSI DI PERIODE KE TUJUH
BPKP
Oleh: Ide Juang Human Tito1
Abstraks
BPKP menghadapi perubahan politik, ekonomi, sosio-kultural dan teknologi yang
semakin cepat yang membawa konsekuensi bagi kehadiran dan kemanfaatan BPKP baik
dari sisi manajemen risiko, tata kelola maupun pengendalian. Program pembangunan
nasional untuk menghadapi ketidakpastian global, dan laju pertumbuhan ekonomi yang
stagnan serta perubahan landscape akuntabilitas di pemerintahan pusat, daerah, desa
dan korporasi negara perlu dikawal dan didampingi oleh BPKP dengan menerapkan
dynamic risk asssessment dan integrated assurance. Konsep maturitas juga perlu
dikembangkan menjadi efektivitas pengendalian intern mengingat opportunistic behaviour
dan moral hazard telah menjadi permasalahan aksi kolektif. Agilitas organisasional BPKP
yang telah terbukti di enam periode kehidupan BPKP dari tahun 1983-2019 perlu
dibangun kembali untuk menghadapi tantangan di periode ketujuh ini. Hasil analisis
menunjukkan perlunya melakukan tujuh langkah strategis untuk mewujudkan BPKP
yang agile yaitu:
1. Mengidentifikasi perubahan lingkungan sebagai sumber risiko pembangunan
nasional;
2. Mengidentifikasi tantangan yang dihadapi BPKP yang merupakan interaksi antara
ketidakpastian dan tujuan BPKP;
3. Mendefinisikan makna BPKP yang agile;
4. Mengukur tingkat agilitas organisasional BPKP;
5. Menyusun strategi meningkatkan kapabilitas untuk menjadi organisasi yang agile;
6. Menyusun strategi bagaimana melakukan tugas dan fungsi BPKP secara agile;
7. Mengeksekusi strategi dalam rerangka agile governance.
Ketujuh langkah strategis tersebut perlu disatukan dalam rerangka agile governance agar
terjaga keseimbangan antara (i) agilitas, yaitu cepat, fleksibel dan adaptif dan (ii)
stabilitas, yaitu proses bisnis yang efisien, taat pada standar serta BPKP yang terjaga
independensi dan obyektivitasnya.
A. Pendahuluan
Teori – teori manajemen dan organisasi memandang organisasi
yang berhasil adalah organisasi yang kompatibel dan harmonis dengan
lingkungannya
serta
adaptif
dengan
perubahan.
Banyak
teori
dikembangkan dengan tujuan untuk mengetahui dan menguji strategi
yang tepat untuk tetap kompatibel di tengah perubahan. Agilitas
organisasional merupakan salah satu konsep yang dimaksudkan untuk
mewujudkan organisasi yang kompatibel dan harmonis tersebut.
1
Auditor pada Perwakilan BPKP Provinsi DKI Jakarta. Ditulis dalam rangka HUT ke 37 Tahun 2020 BPKP.
1
Internal auditing didefinisikan sebagai aktivitas yang didesain untuk
menambah value. Kemampuan menciptakan, memberi dan menambah
value
dan meningkatkan operasi organisasi merupakan konsep
fundamental alasan keberadaan dan kemanfaatan organisasi internal
audit, tidak terkecuali BPKP. Definisi value dalam
Pasal 1 Angka
Peraturan Pemerintah Nomor 60 Tahun 2008 dioperasionalisasikan
sebagai mewujudkan tata kepemerintahan yang baik. Pasal 1 Ayat (3)
Peraturan Presiden Nomor 192 Tahun 2014 tentang Badan Pengawasan
Keuangan dan Pembangunan menegaskan bahwa value tersebut
diberikan oleh BPKP kepada Presiden.
IIA menjabarkan value tersebut dalam tiga elemen ini yang saling
berinterseksi: assurance, insight dan obyektivitas. Elemen value pertama
adalah assurance dimana internal auditor memberikan assurans atas tata
kelola, manajemen risiko dan proses pengendalian untuk membantu
manajemne mencapai tujuan strategis, operasional, keuangan dan tujuan
kepatuhan. Elemen value kedua,
insight yaitu rekomendasi yang
diberikan berdasarkan hasil analisis data dan penilaian proses bisnis.
Elemen value ketiga adalah obyektivitas yaitu komitmen terhadap
integritas dan akuntabilitas untuk menghasilkan nilai dari lembaga yang
obyektif dan advis yang independen.
Telah 37 tahun (1983 – 2020) BPKP memberikan nilai kepada
Presiden maupun kepada kementerian, lembaga, pemerintah daerah dan
badan usaha negara/daerah di seluruh Indonesia. Perubahan politik,
ekonomi, sosio-kultural dan teknologi terjadi selama perjalanan BPKP.
Sebagaimana tergambar pada Diagram 1, setelah periode ‘panggilan
sejarah’ pada tahun 1936 – 1983, BPKP menapak jalan pengabdian yang
dapat dibagi menjadi enam periode sebagai berikut:
1. 1983 – 1993: Penguatan independensi dengan memantapkan
eksistensi, dan meletakkan dasar profesi
2
2. 1993
–
1999:
Merespon
perkembangan
IPTEK
dengan
mengembangkan metodologi pengawasan dan merintis basis teknologi
informasi
3. 2000 – 2006: Menjawab otonomi daerah dengan meredefinisi makna
pengawasan
4. 2006 – 2010: menyesuaikan diri dengan proses reformasi tata kelola
negara dengan memantapkan posisi dan merapatkan barisan
5. 2010 – 2014: Menciptakan nilai dengan menegakkan akuntabilitas dan
menguatkan sistem pengendalian
6. 2015 – 2019: Periode berperan di tingkat internasional dengan
memperluas peran dan menciptakan keunggulan.
Diagram 1: Jalan Perubahan BPKP
Sumber: Penulis
BPKP telah melewati keenam masa tersebut dan hal ini
menunjukkan
agilitas
organisasional
BPKP
telah
terbukti.
Masa
kedaruratan kesehatan pandemi Covid – 19 di periode ketujuh BPKP ini
kiranya menjadi saat yang tepat untuk mengajukan pertanyaan reflektif
dan refleksif mendasar yaitu apa langkah yang harus dilakukan untuk
dapat terus memberikan nilai bagi Presiden dalam rangka mewujudkan
tata pemerintahan yang baik?
3
Sistematika pembahasan diawali dengan pentingnya menjadi
organisasi yang agile kemudian dilanjutkan dengan reviu literatur
mengenai definisi, karakteristik dan model agilitas organisasional. Tulisan
dilanjutkan dengan usulan rerangka konseptual bagi BPKP untuk
mengembangkan agilitas organisasional dan pembahasan. Simpulan
disajikan di akhir tulisan.
B. Reviu Literatur
Untuk dapat merumuskan rerangka konseptual pengembangan
agilitas organisasional di BPKP, reviu literatur difokuskan pada lima hal
yaitu definisi agile dan agilitas organisasional, definisi dan karakteristik
internal audi yang agile, model pengukuran agilitas organisasional,
strategi mencapainya dan agile governance sebagai konsep pemadunya.
1. Agile dan Agilitas Organisasional
Oxford Advanced Learner's Dictionary mendefinisikan agile yang
apabila diterjemahkan dalam bahasa Indonesia dapat diartikan sebagai
mampu bergerak dengan tangkas, lincah, gesit, dan berpikir cepat dan
cerdas serta cekatan. Dalam konteks bisnis, agile didefinisikan sebagai
cara mengelola kegiatan dimana pekerjaan dibagi dalam serangkaian
tugas - tugas singkat dengan masa rehat yang teratur untuk kemudian
mereviu dan merubah rencana dan mendesain ulang. Istilah agile juga
merujuk pada cara bekerja dimana waktu, tempat, serta tugas dan fungsi
dapat diubah berdasarkan kebutuhan, dengan fokus pada pencapaian
tujuan bukan pada ketepatan metode yang digunakan.
Konsep agile berkelindan dengan konsep lain seperti adaptabilitas
dan fleksibilitas. Definisi agile juga beragam dimana para cendekia
memandangnya dari berbagai sudut. Agile dipandang sebagai strategi,
kemampuan (ability), kapasitas, kapabilitas, ataupun kapabilitas dinamis.
Agilitas dapat juga dipandang sebagai strategi yang (a) memayungi
(umbrella strategy) seluruh inisiatif untuk meningkatkan daya tanggap
organisasi terhadap perubahan di lingkungan eksternalnya, dan (b)
mencakup
keseluruhan
program
yang
meningkatkan
fleksibilitas,
4
kecepatan dan kemampuan organisasi berinovasi. Di tengah keragaman
tersebut, para cendekia bersepakat bahwa agilitas merupakan tahapan
terkini dari evolusi yang terjadi pada prinsip dan teori- teori mengenai
adaptabilitas dan fleksibilitas organisasi. (Azizsafaei, 2016)
Reviu literatur mengenai definisi agile dan organisational agility
disajikan secara komprehensif oleh Azizsafaei (2016). Beberapa definisi
yang dipandang relevan disarikan di Tabel 1. Dari berbagai definisi
tersebut, Deksnys (2018) mengidentifikasi enam elemen penting dari
agilitas organisasi yaitu (a) kapabilitas organisasional; (b) kecepatan
adaptasi, (c) efisiensi adaptasi, (d) respon terhadap perubahan, (e)
perubahan yang tak terperkirakan, dan (f) rekonfigurasi sumber daya.
Cendekia lain merumuskannya dalam bentuk sepuluh pilar, yaitu: budaya
inovasi,
pemberdayaan,
ambiguitas,
visi,
manajemen
perubahan,
komunikasi organisasi, analisis dan respon pasar, manajemen operasi,
kecairan struktural dan organisasi pembelajar (Harraf, Wanasika, Tate, &
Talbott, 2015) .
Tabel 1: Beberapa Definisi Agilitas Organisasional
Definisi
Kata Kunci
Sistem manufaktur dengan kapabilitas (teknologi hard dan soft, - Kapabilitas
SDM, educated management, informasi) untuk menghadapi - Kebutuhan
kebutuhan pasar yang berubah dengan cepat (kecepatan,
pasar
fleksibilitas, pelanggan, kompetitor, pemasok, infrastruktur,
responsivitas) (the Iacocca Institute, of Lehigh University (USA)
(Yusuf, Sarhadi, & Gunasekaran, 1999))
Kemampuan untuk maju dan berkembang di lingkungan yang - Tak-terprediksi
selalu berubah tak-terprediksi. Agilitas mencakup baik kemampuan - menginisiasi
untuk menginisiasi maupun merespon. “Maju dan berkembang”
maupun
mengandung arti kesuksesan jangka panjang yang diperoleh dari
merespon
kapabilitas ofensif dan defensif. (Dove, 1993)
Agile manufacturing: sintesis dari teknologi yang telah ada dan - Sintesis
metode pengorganisasian produksi, dimana fleksibilitas dan - Teknologi
kecepatan berperan penting. (Goldman & Nagel, 1993)
- Metode
Adaptasi elemen – elemen organisasi yang cepat dan proaktif - Takterekspekterhadap perubahan yang tak-terekspektasikan dan taktasikan
terprediksikan (Kidd, 1994)
- Takterprediksikan
Kemampuan perusahaan untuk menghadapi perubahan tak- - Tak-terantisipasi
terantisipasi, menangani ancaman dari lingkungan bisnis, dan - Customised
mengambil manfaat dari perubahan pasar global yang sangat
5
Definisi
Kata Kunci
cepat dan terfragmentasi dengan menyediakan produk, layanan - menghargai
dan solusi yang customised berkualitas tinggi kepada pelanggan.
pengetahuan
Agilitas berarti memberikan nilai kepada pelanggan, siap untuk
dan keahlian
perubahan, menghargai pengetahuan dan keahlian serta - Kemitraan yang
membentuk kemitraan yang sejati. (Goldman, Nagel, & Preiss,
sejati
1995)
Kemampuan untuk menghasilkaan produk yang tepat ditempat - Tempat
yang tepat di waktu yang tepat dan di harga yang tepat. (Roth, - Waktu
1996)
- Harga
Kemampuan untuk menghasilkan dan memasarkan produk yang - Beragam ukuran
beragam, berkualitas tinggi dengan harga yang rendah, di waktu - customisation
yang singkat dengan beragam ukuran, yang meningkatkan nilai
kepada pelanggan secara invidual melalui customisation. (Vokurka
& Fliedner, 1998)
Kapabilitas untuk bertahan hidup dengan bereaksi secara cepat - Didesain
oleh
dan efektif terhadap perubahan pasar, digerak-arahkan oleh
pelanggan
produk dan jasa yang didesain oleh pelanggan (Gunasekaran,
1999)
Agilitas organisasional adalah eksploitasi basis kompetitif - Integrasi sumber
(kecepatan, fleksibilitas, inovasi, ke-proaktif-an, kualitas dan
daya, praktik –
profitabilitas) yang sukses melalui integrasi sumber daya yang
praktik terbaik,
tersedia dan praktik – praktik terbaik dalam lingkungan yang kaya
pengetahuan
dengan pengetahuan untuk menghasilkan produk dan layanan
yang digerak-arahkan oleh pelanggan di pasar yang cepat berubah
(Yusuf, Sarhadi, & Gunasekaran, 1999)
Kemampuan organisasi untuk menghadapi perubahan tak - Eksploitasi dan
terekspektasikan, agar dapat bertahan dari ancaman lingkungan
mengambil
bisnis yang belum pernah dihadapi sebelumnya, dan mengambil
manfaat
dari
manfaat dari perubahan tersebut dan memandangnya sebagai
perubahan
peluang. Agilitas mencakup dua faktor utama (1) merespon
perubahan (yang telah diantisipasi maupun yang tak
terekspektasikan) secara tepat waktu, (2) eksploitasi dan
mengambil manfaat dari perubahan dan memandangnya sebagai
peluang (Zhang & Sharifi, 2000) (Sharifi & Zhang, 2001)
Keseluruhan strategi yang fokus pada upaya untuk maju dan - Strategi
berkembang dalam lingkungan yang tak terprediksi dan merespon
kompleksitas yang ditimbulkan oleh perubahan yang terus terjadi.
(Sanchez & Nagi, 2001)
Kemampuan untuk mendeteksi dan meraih peluang pasar dengan - Ekplorasi
cepat dan mengejutkan dengan menyusun pengetahuan dan aset
eksploitasi
yang diperlukan untuk meraih peluang tersebut. Agilitas mencakup
peluang
baik ekplorasi dan eksploitasi peluang. (Sambamurthy, Bharadwaj,
& Grover, 2003)
dan
Kemampuan untuk dengan cepat merekognisi dan meraih peluang, - Kemampuan
merubah arah dan menghindar dari tumbukan yang memampukan - Merekognisi
organisasi untuk (a) merekognisi dan bergerak secara fleksibel,
- Menginisiasi
gesit dan dinamis – kompetitif dalam rangka merespon secara
positif perubahan yang dilakukan oleh pihak lain, (b) menginisiasi
pergeseran strategi untuk menciptakan realitas pasar yang baru.
(McCann, 2004)
6
Definisi
Kata Kunci
Kapasitas untuk mengidentifikasi dan menangkap peluang lebih - Kapasitas
cepat dari lawan. (Macias-Lizaso & Thiel, 2006)
Bergerak dengan cepat, tegas dan menentukan, serta efektif dalam - Mengantisipasi,
mengantisipasi, menginisiasi dan mengambil manfaat dari
menginisiasi dan
perubahan. (Jamrog, McCann, Lee, Morrison, Selsky, & Vickers,
mengambil
2006)
manfaat
dari
perubahan
Kemampuan untuk dengan cepat dan efisien beradaptasi dan - Beradaptasi dan
merespon secara proaktif terhadap perubahan dalam lingkungan
merespon
eksternal yang terus berlangsung dan tak terprediksi dalam rangka
menangkap peluang potensial. (Sherehiy, 2008)
Sumber: Penulis berdasarkan (Azizsafaei, 2016)
Dalam konteks pengembangan software, agile dipandang sebagai
(a) kemampuan untuk menciptakan dan merespon perubahan, dan (b)
cara untuk menghadapi lingkungan yang tidak pasti dan terus berubah
cepat. Kata agile mencerminkan dua konsep pokok yaitu adaptasi dan
respon terhada perubahan. Agilealliance (2002) memandangnya sebagai
istilah yang memayungi rerangka dan praktik yang didasarkan pada nilai –
nilai yang disebut sebagai manifesto agile (lihat Diagram 2).
Diagram 2: The Agile Manifesto
Kami menemukan cara yang lebih baik untuk mengembangkan perangkat lunak dengan
melakukan dan membantu sesama untuk menggunakannya. Melalui usaha ini kami
menghargai:
Individu dan interaksi lebih dari proses dan sarana perangkat lunak
Perangkat lunak yang bekerja baik lebih dari dokumentasi yang menyeluruh
Kolaborasi dengan mitra lebih dari negosiasi kontrak
Tanggap terhadap perubahan lebih dari kepatuhan pada rencana
Demikian, walaupun kami menghargai hal di sisi kanan, kami lebih mengharga hal di sisi
kiri
Sumber: (Agilealliance, 2002)
Wyman (2018) mengkategorikan kapabilitas organisasional menjadi
tiga jenis kemampuan yaitu sensing (sensitivity), securing (unity), dan
shifting (fluidity). Sensing (sensitivity) adalah kemampuan mendeteksi,
mengidentifikasi dan menilai peluang dan tantangan yang bersumber dari
perubahan lingkungan eksternal terutama aspek kapan perubahan
diperlukan (when) dan di area mana (where). Securing (atau unity) adalah
7
mobilisasi sumber daya yang masih terserak dari berbagai unit kerja
dalam organisasi maupun dari luar dalam rangka menangkap peluang
yang telah diidentifikasi. Shifting (fluidity) adalah kemampuan organisasi
untuk bertransformasi secara internal untuk menyesuaikan diri dengan
tuntutan lingkungan eksternal baik dari sisi sumber daya maupun cara
kerja.
Untuk menjadi organisasi yang agile, kapabilitas perlu dibangun di
dua tingkat yaitu tingkat organisasi dan tingkat individu. Tabel 2
menguraikan karakteristik jenis kapabilitas di dua tingkat tersebut.
Tabel 2: Karakterisitk Kapabilitas Dinamis untuk Menjadi
Organisasi yang Agile
Sensing
Securing
Shifting
Level
organisasi
Etos start-up
- Responsif
terhadap
lingkungan
- Waktu dan talenta
yang
khusus
didedikasikan
- Terhubungan
dengan
radar
internal
dan
eksternal
Eksperimentasi
dengan maksud dan
tujuan yang jelas
- Penyediaan
sumber daya
- Pemisahan
strategi
dari
struktur
- Kebebasan untuk
menguji, belajar
dan
mengembangkan
ide-ide baru
Organisasi Dinamis
- Struktur yang lebih
rata
dan
sederhana
- Tim yang beragam,
fungsional
dan
lintas kompetensi
- Arsitektur
perubahan
dan
proses
yang
bersifat modular
Level
individual
Perilaku eksplorer
- Fokus
pada
pelanggan
- Hasrat untuk selalu
belajar
- Berbagi
pengalaman
Agilitas
kepemimpinan
- Delegasi
kewenangan
- Eksekusi
tidak
ditunda
karena
politik
- Keengganan
birokratis
Mindset wirausaha
- Visi dan misi yang
jelas
- Mentalitas
kepemilikan
- Bekerja
sebagai
rekan kerja
Sumber: (Wyman, 2018)
2. Definisi dan Karakteristik Agile Auditing dan Perbedaannya
dengan Traditional Auditing
Dalam konteks audit, definisi agile internal auditing dikemukakan
oleh berbagai cendekia dan organisasi profesi sebagaimana diikhtisarkan
8
pada Tabel 3. Selain dipandang sebagai kapabilitas2 atau strategi, agile
juga dipandang sebagai mindset. Definisi tersebut pada umumnya adalah
elaborasi dari definisi dan karakteristik agiltas organisasional yang telah
diuraikan sebelumnya,
Tabel 3: Beberapa Definisi Audit Internal yang Agile
Definisi
Kata Kunci
Pendekatan yang fokus pada individu dan interaksi daripada
proses dan alat. Agile menekankan pada struktur iteratif yang
fleksibel, efisien dan transparansi. Agile memungkinan lebih
sedikit perencanaan dan lebih banyak fleksibilitas pada saat
timbul suatu masalah. Agile menggunakan pendekatan
kolaboratif dalam pemecahan masalah yang dapat dilaksanakan
apabila ada peningkatan transparani terhadap klien dan
keterlibatan seluruh tim dalam pengambilan keputusan
(Hardenberg & Rubin, 2020)
-
Agile menganjurkan diterapkannya perencanaan adaptif, tim
yang swa-pengorganisasian, pengiriman hasil audit lebih awal,
fokus pada nilai, dan respon cepat atas perubahan yang terjadi.
Agile menganjurkan suatu alat pengorganisasian kerja menjadi
dalam bentuk interval yang lebih singkat daripada audit internal
tradisional, mendorong tim untuk bekerja dalam jumlah yang
sedikit secara paralel, menyampaikan value secara inkremental,
untuk kemudian beralih pada bingkah pekerjaan lainnya.
(Deloitte, 2020)
-
Fungsi internal audit yang fokus pada kebutuhan stakeholders,
akselerasi siklus audit, pengurangan upaya tak bernilai, sedikit
dokumentasi dan menyampaikan insight secara tepat waktu.
(Deloitte, 2017)
-
Akselerasi siklus
audit
Agile IA adalah pendekatan inovatif ya ng menggunakan nilai,
prinsip,dan praktik - praktik pengembangan agile software untuk
mentransform cara pelaksanaan penugasan audit internal.
Metodologi ini meningkatkan proposisi nilai audit internal
dengan memfasilitasi pendekatan yang lebih agile untuk
menghadapi risiko organisasional yang dinamis. Agile IA
mencakup perbaikan proses, perencanaan iteratis berbasis tim,
sprints (time-boxed work increments), rapat harian stand-up,
kolaborasi dengan para pihak yang berkepentingan, dan
penerbitan hasil pekerjaan secara iteratif. (Wright, 2019)
-
Nilai, prinsip,dan
praktik - praktik
pengembangan
agile software
Menjadikan proses internal audit lebih baik dengan mengurangi
inefisiensi dengan tujuan untuk menangani dinamika risiko
dengan cepat; rasionalisasi dokumentasi, rencana audit dan
penilaian risiko yang cepat dan fleksibel (Blanding & Child,
2019)
-
Rasionalisasi
dokumentasi,
rencana
audit
dan
penilaian
risiko yang cepat
dan fleksibel
2
-
-
-
Fokus
pada
individu
dan
interaksi
Iteratif
Kolaboratif
Perencanaan
adaptif
Tim yang swapengorganisasia
n,
Pengiriman hasil
audit lebih awal,
Fokus pada nilai
Capability is the ability to develop competencies,
9
Fitur – fitur Agile Internal Audit (IA) pada umumnya mencakup
antara lain fitur pada tingkat proses dan tingkat hasil. Pada tingkat proses,
fitur agile IA antara lain fokus pada nilai bagi organisasi (bukan pada
tujuan audit) dan meningkatkan kolaborasi dengan mitra sebagai bagian
dari tim) serta perencanaan, pelaksanaan dan pelaporan yang iteratif.
Selain itu, tim audit yang terorganisasi secara mandiri, kolaboratif serta
bersifat lintas fungsi dan rasionalisasi dokumentasi (penyederhanaan
kertas kerja). Fitur agile IA pada tingkat hasil antara lain insight audit dan
respon risiko yang tepat waktu (umpan balik yang real-time) dan
berkurangnya ketidaksepakatan mengenai hasil audit antara tim audit dan
mitra audit (Deloitte, 2018) (Wright, 2019).
3. Model pengukuran maturitas agilitas organisasional
Pengukuran agilitas organisasional diperlukan untuk dua hal
utama yaitu (a) menilai kesiapan organisasi menghadapi perubahan, dan
(b) mengidentifikasi area dalam organisasi yang kurang agile untuk
kemudian melakukan perbaikan. Salah satu konsep pengukuran adalah
tingkat maturitas. Tingkat maturitas menunjukkan kemajuan evolusioner
yaitu aspek kemampuan atau ketercapaian. Model maturitas dapat
diklasifikasikan
ke dalam beberapa kategori, antara lain (a) model
deskriptif, preskiptif atau komparatif, (b) domain proses, obyek atau
manusia, (c) tingkatan organisasi, tim atau personal. Model maturitas pada
umumnya terdiri dari beberapa elemen yaitu tingkatan, dimensi, elemen
dan deskripsinya.
Dalam bidang pengembangan software terdapat beberapa model
maturitas agilitas, diantaranya adalah Agility Maturity Model, Capability
Maturity
Model
Integration
(CMMI),
Maturity
Model
for
eXtreme
Programming (XPMM), Agile Maturity Model, dan Agile Adoption and
Improvement Model (AAIM) (Leppanen, 2013). Salah satu model yang
dipandang relevan untuk organisasi adalah the Organizational Agility
Maturity (OAM) Model yang dikembangkan oleh Wendler (2014).
10
Model OAM ini terdiri dari tiga dimensi yang masing – masing
dijabarkan dalam dua sub-dimensi yaitu dimensi prasyarat agilitas (nilai
agile dan teknologi), dimensi agility of people (pegawai dan manajemen
perubahan) dan dimensi struktur pendorong agilitas (kolaborasi dan
kerjasama, dan struktur yang fleksibel). Definisi masing – masing dimensi
dan sub dimensi disajikan pada Tabel 4.
Tabel 4: Dimensi dan Sub Dimensi Agilitas Organisasional
Dimensi / Sub
Dimensi
Definisi
Pengukuran
Prasyarat
agilitas
Tingkatan sampai sejauh mana para anggota
organisasi berbagi nilai – nilai agile dan sampai
sejauh mana organisasi mempunyai teknologi
yang mendukung agilitas
-
Nilai agile
Budaya organisasi yang berkesesuaian dengan
nilai – nilai agile seperti proaktif, responsif, saling
percaya, dukungan atas usulan dan keputusan
oleh pegawai, memandang perubahan sebagai
peluang dan kesempatan.
Tingkat
diseminasi nilai
– nilai agile di
organisasi
-
Teknologi
Teknologi pendukung agilitas organisasional yang
memampukan komunikasi lintas tingkatan dan
unit kerja yang efisien, berbagi informasi,
penggunaan sistem informasi dan teknologi yang
terintegrasi, terstandar dan dapat dibandingkan.
Tingkat
diseminasi
dukungan
teknologi
informasi
Agility of People
Kapabilitas yang perlu dimiliki oleh anggota
organisasi untuk mentraslasikan nilai menjadi aksi
agile
-
Tenaga kerja /
pegawai
Pegawai yang multi-keahlian agar dapat
mengorganisasikan diri menghadapi perubahan.
Pegawai juga harus mau dan mampu belajar satu
dengan yang lain untuk meningkatkan diri secara
berkelanjutan, berkomunikasi dengan landasan
saling percaya dan bertanggung jawab. Selain itu,
pegawai juga perlu mampu berpikir dan bertindak
dengan selalu mempertimbangkan kualitas
produk/ layanan dan pasar.
Proporsi
pegawai dalam
organisasi yang
mempunyai
kapabilitas
dimaksud
-
Manajemen
perubahan
Manajer yang mengatasi perubahan dengan
cepat dan tepat. Manajer yang memberi informasi
kepada pegawai organisasi mengenai perubahan
tersebut dan menginspirasi mereka untuk
menyambut perubahan tersebut. Selain itu,
manajer perlu beraksi dengan visi jangka panjang
dan investasi pada IT secara strategis.
Proporsi
manajer dalam
organisasi yang
mempunyai
kapabilitas
dimaksud
Struktur
Pendorong
Agilitas
Kemampuan organisasi untuk mengadopsi dan
merubah diri dengan fleksibel dipadukan dengan
budaya organisasi yang mendukung kolaborasi
dan kerjasama di seluruh tingkatan organisasi
11
Dimensi / Sub
Dimensi
Definisi
Pengukuran
-
Kolaborasi
dan
kerjasama
Aktivitas kolaboras internal antar fungsi dan unit
kerja misalnya dalam pengambilan keputusan dan
pengembangan produk / layanan. Kerjasama
eksternal dengan mitra dan pelanggan fokus pada
kualitas, umpan balik, dan berbagi informasi
secara intensif.
Frekuensi
aktivitas
organisasi yang
memampukan
dan mendukung
kolaborasi dan
kerjasama
-
Struktur
fleksibel
Kemampuan organisasi melakukan adaptasi
terhadap proses dan struktur organisasi dengan
cepat untuk mengimplementasikan perubahan
dan tetap kompetitif. Sub dimensi ini mencakup
aktivitas yang mempercepat pengambilan
keputusan dan perubahan otoritas apabila
dibutuhkan
Frekuensi
aktivitas
organisasional
dalam
menerapkan
fleksibilitas.
Sumber: (Wendler, 2014)
Model Organizational Agility Maturity (OAM) yang dikembangkan
oleh (Wendler, 2014) ini terdiri dari empat tingkat maturitas yaitu non agile,
agility
basics,
dilakukan
agility
secara
transition,
independen
organisational
untuk
setiap
agility.
Pengukuran
sub-dimensi sehingga
dimungkinkan suatu organisasi mempunyai berbagai tingkatan maturitas.
Dengan demikian area perbaikan menuju organisasi yang agile dapat
diidentifikasi dan ditindaklanjuti. Deskripsi keempat tingkatan diuraikan
pada Tabel 5.
Tabel 5: Tingkatan Maturitas Agilitas Organisasional
Level
Deskripsi
0 – Non-agile
Organisasi tidak atau kurang menunjukkan properti agilitas
organisasional. Nilai – nilai agile tak teridentifikasi, basis teknologi
terfragmentasi dan tidak mampu mendukung proses komunikasi
secara efektif. Hanya sebagian kecil pegawai dan manajer yang
mempunyai
kapabilitas
yang
diperlukan
untuk
mengimplementasikan nilai dan aksi agile. Tidak terdapat aktivitas
organisasional yang ditujukan untuk meningkatkan kolaborasi dan
kerjasama dan mengimplementasi struktur yang fleksibel atau
terjadi secara kebetulan. Skor suatu sub-dimensi mungkin lebih
tinggi dari sub-dimensi lain namun secara keseluruhan organisasi
menunjukan karakteristik non agile
1 – Agility Basics
Nilai-nilai agile dan teknologi yang diperlukan terimplementasi
sebagian di beberapa unit kerja namun tidak di sebagian besar unit
kerja. Beberapa namun tidak sebagian besar pegawai mempunyai
kaapabilitas agile terkait komunikasi, pembelajaran tanggung
jawab, dan orientasi pelanggan. Beberapa manajer mampu
mengelola perubahan dengan cara yang tepan. Aktivitas yang
meningkatkan kolaborasi, kerjasama dan fleksibilitas dilakukan
12
Level
Deskripsi
agak jarang atau sering namun hanya di sebagian kecil unit kerja.
Organisasi telah menyadari dan merasakan manfaat dari organisasi
yang agile namun hanya terjadi di beberapa unit kerja di beberapa
situasi.
2 – Agility
Transition
Organisasi telah mendiseminasikan nilai agile dan mempunyai
teknologi yang tepat di sebagaian besat organisasi. Banyak
pegawai dan manajer berbagai ide tentang agilitas dan memiliki
kapabilitas untuk melakukannya. Perubahan disambut baik dan
direspon dengan teapt. Organisasi sering beraktivitas yang
mendukung dan mendorong kerjasama. Struktur organisasi telah
cukup fleksibel untuk mengantisipasi perubahan. Namun demikian
masih terdapat kelemahan di satu atau dua sub-dimensi.
3 – Organizational
Agility
Skor tinggi pada seluruh sub-dimensi dan telah mengatasi
kelemahan parsial pada tahapan agility transition. Basis teknologi
telah terdapat pada seluruh organisasi dan nilai – nilai agile telah
menjadi nilai bersama dan diterima di seluruh organisasi. Seluruh
pegawai dan manajer mempunyai kapabilitas untuk bekerja secara
agile di lingkungan yang terus berubah. Kolaborasi dan kerjasama
merupakan aspek yang penting dalam bekerja dan struktur yang
fleksibel untuk secara cepat merespon perubahan. Mungkin ada
kelemahan dan pengecualian namun tidak signifikan.
Uraian dimensi, sub dimensi dan tingkatan maturitas secara tidak
langsung menunjukkan peta jalan untuk menjadi organisasi yang agile.
Reviu literatur berikut ini menguraikan secara umum peta jalan tersebut,
tentunya tetap dalam konteks organisasi internal audit.
4. Rerangka mencapai internal audit yang agile
Terdapat berbagai ragam rerangka untuk mencapai agilitas
organisasional. Pada umumnya rerangka tersebut fokus pada empat
aspek yaitu: teknologi, manusia, sistem dan strategi. Zhang dan Sharifi,
(2000) mengusulkan suatu metodologi yang dipandang holistik, padat dan
secara luas diacu oleh banyak cendekia. Sebagaimana tergambar pada
Diagram 3, rerangka tersebut mencakup agility drivers (penggerak-arahan
agilitas), agility capabilities (kapabilitas agilitas), dan agility providers
(penyedia agilitas).
Agility drivers adalah perubahan atau tekanan dari lingkungan yang
menggerakan dan mengarahkan organisasi untuk mencari cara baru untuk
mempertahankan keunggulan kompetitifnya. Kapabilitas agilitas adalah
kapabilitas yang dibutuhkan untuk merespon perubahan secara positif dan
13
mengambil manfaat darinya. Penyedia agilitas adalah sarana untuk
mendapatkan kapabilitas tersebut yaitu teknologi, manusia, organisasi,
inovasi berkelanjutan, dan sistem informasi
Diagram 3: Model Konseptual Implementasi Agilitas
Organisasional menurut (Zhang & Sharifi, 2000)
Sumber: (Zhang & Sharifi, 2000)
Dalam konteks organisasi audit internal, strategi mewujudkan
organisasi yang agile perlu diawali dengan membedakan audit tradisional
dan audit secara agile. Sebagaimana diuraikan pada Tabel 6, Wright
(2019) mengemukakan bahwa audit yang agile lebih fokus pada
ekspektasi dari nilai yang didefinisikan oleh mitra bukan fokus semata
pada tujuan audit. Penugasan bersifat siklus sekuensial, bukan linier.
Kolaborasi dengan klien merupakan hal penting untuk meningkatkan
keterpaduan dengan
strategi
bisnis.
Temuan
audit
juga
bersifat
kolaboratif. Perencanaan penugasan audit dan pelaporan bersifat
inkremental dan iteratif untuk memastikan kesegeraan dan ketepatan
waktu tindak lanjut hasil audit.
14
Tabel 6: Perbedaan Audit Tradisional dan Audit Agile
Atribut
Pendekatan Audit
Tradisional
Pendekatan Audit Agile
Fokus pemandu
Tujuan audit
Ekspektasi nilai terdefinisi
Sekuensi penugasan
Linier
Siklus sekuensial
Relasi dengan klien
Arms – length untuk
meyakini independensi dan
obyektivitas auditor
Kolaboratif dengan tujuan:
- Eksploitasi hal – hal
terkait keahlian yang
berkenaan
- Memfasilitasi agreement
on observations
- Meningkatkan ketepatan
waktu respon risiko
Observasi, temuan,
simpulan audit
Fokus pada risiko dan
pengendalian
Terpadu dengan strategi
bisnis dan tujuan yang
berkenaan, temuan
kolaboratif
Perencanaan
Rencana utama (master
plan) yang kurang fleksibel
Iteratif dan inkremental
Kepemilikan
Eksklusif untuk tim audit
internal
Berbasis tim
Manajemen sumber daya
Anggaran penugasan
Dikelola dalam bentuk timebased increments
Penilaian risiko
Risiko diidentifikasi dan
dinilai untuk tujuan bisnis
Penilaian multi level
mengacu pada tujuan bisnis
Pemuktahiran status
Adhoc, sesuai kebutuhan
yang ditentukan
berdasarkan metodologi
audit spesifik
Pertemuan harian, read-out
inkremental dengan mitra
audit dan stakeholders
utama
Dokumentasi
Lengkap, teliti dan seksama
untuk meyakini pekerjaan
dapat dipertahankan
apabila direviu/
dipertanyakan
Dirasionalisasi, berbasis
nilai, aturan 80/20
(ekspetasi bahwa 20%
aktivitas akan berkontribusi
terhadap 80% hasilnya)
Sumber: (Wright, 2019)
Deloitte (2017) juga mengemukakan pentingnya kecepatan dan
tim audit yang responsif. Frekuensi komunikasi, transparansi proses audit
dan dokumentasi yang relevan dan tepat waktu menjadi aspek
yang
penting untuk menjadi internal audit yang agile. Pembeda utama agile
auditing dan traditional auditing adalah tidak adanya perencanaan fasetunggal yang kaku. Proses audit dilakukan berdasarkan perencanaan
jangka sangat pendek yang fleksibel dan iteratif serta berkelanjutan (on-
15
going). Pelaksanaan audit mengandalkan komunikasi dan kolaborasi antar
tim audit dan dengan stakeholders (lihat Tabel 7).
Tabel 7: Strategi menjadi IA yang agile
menurut Deloitte (2017)
Dari
Menjadi
Komunikasi yang sempurna setelah
proses yang panjang

Sering berkomunikasi selama
proses berlangsung
Kegiatan yang terencana dengan
kaku

Kegiatan yang cepat dan iteratif
Dokumentasi yang komprehensif

Dokumentasi dan pelaporan yang
relevan, dan tepat waktu
Peran yang tetap dalam suatu
sistem yang hirarkis

Peran pemberdaya dalam sistem
yang lebih fleksibel
Mematuhi rencana yang telah
ditetapkan

Respon pada kebutuhan yang
timbul
Auditing to internal audit resurces

Resourcing to audits and projects
Mengendalikan proses audit

Transparansi dalam proses audit
Sumber: (Deloitte, 2017)
5. Agile governance
Definisi agile governance secara umum adalah tata kelola3 yang
memliki karakteristik agile. Karakteristik tersebut diikhtisarkan dalam Tabel
8 yang antara lain dimaknai sebagai kemampuan, kapabilitas, proses atau
rerangka. Beberapa elemen yang penting dari beragam definisi tersebut
adalah (a) rerangka yang terdiri dari akuntabilitas dan responsibilitas, (b)
sebagai proses menserasikan strategi bisnis, manajemen kinerja dan
manajemen risiko, dan harus (c) lebih cepat daripada perubahan itu
sendiri.
3
The processes by which governments are chosen, monitored, and changed, The systems of interaction
between the administration, the legislature, and the Judiciary, the ability of government to create and to
implement public policy, The mechanisms by which citizens and groups define their interests and interact with
institutions of authority and with each other. (McCawley 2005))
16
Tabel 8: Definisi Agile Governance
Fokus dan Definisi
Sumber
Kata Kunci
Fokus: Pengembangan Software
Rerangka akuntabilitas, pengendalian, proses dan
struktur yang ringan, kolaboratif, berorientasi
komunikasi, ekonomis dan bergulir
untuk
memaksimalkan
nilai
bisnis
agile,
dengan
menserasikan strategi bisnis, manajemen kinerja
dan manajemen risiko.
(Qumer, 2007)
Menserasikan
strategi
bisnis,
manajemen
kinerja dan
manajemen
risiko
Fokus: Tata kelola pengembangan software
Akuntabilitas dan resposibilitas manajemen, adopsi
metode pengembangan sofware yang agile,
menyelenggarakan mekanisme dan pengukuran
dalam suatu lingkungan yang agile
(Cheng, Jansen,
& Remmers,
2009)
Akuntabilitas
dan
resposibilitas
Fokus: Tata kelola IT
Proses mendefinisikan dan mengimplementasikan
infrastruktur IT untuk mendukung tujuan strategis
organisasi yang dimiliki secara bersama oleh unit
kerja IT dan unit kerja lainnya dalam rangka
mendapatkan strategi pembeda kompetitif melalui
penerapan nilai dan prinsip-prinsip manifesto agile
(Luna, Costa,
De Moura, &
Novaes, 2010)
Penerapan
nilai dan
prinsip-prinsip
manifesto
agile
Fokus: Multidisiplin
Sarana untuk mencapai dan meningkatkan
keunggulan kompetitif strategis di tengah lingkungan
organisasional, dengan menggunakan pendekatan
agile dalam rangka memberikan nilai secara lebih
cepat, lebih baik dan lebih murah
(Luna,
Kruchten, & de
Moura, 2013)
Lebih cepat,
lebih baik dan
lebih murah
Fokus: Multidisiplin
4
Kemampuan human societies untuk merasakan,
beradaptasi, dan merespon dengan cepat dan
berkelanjutan terhadap perubahan lingkungan
dengan menkombinasikan secara terkoordinasi
kapabilitas yang lean dan agile dengan kapabilitas
tata kelola dalam rangka memberikan nilai secara
lebih cepat, lebih baik dan lebih murah kepada
bisnis intinya.
(Luna,
Kruchten,
Pedrosa, Neto,
& Moura, 2014)
Merasakan,
beradaptasi,
dan
merespon
Fokus: Multidisiplin
Kapabilitas
organisasi
untuk
merasakan,
beradaptasi, dan merespon perubahan lingkungan
secara terkoordinasi dengan berkelanjutan, lebih
cepat daripada perubahan – perubahan tersebut.
(Luna A. d.,
Kruchten,
Riccio, & Moura,
2016)
Lebih cepat
daripada
perubahan itu
sendiri
Aplikasi nilai, prinsip dan praktik lean-agile dalam
tugas – tugas tata kelola
(Thomas, 2012)
Nilai, prinsip
dan praktik
Sumber: Penulis
4
any kind of organizations, such as companies in any industry, non-profit institutions, as well as governments in
any level or conjunction (cities, provinces, countries, or even governments associations, e.g. The United Nations
17
Luna, Kruchten, & Pedrosa (2015) membedakan agile governance
dan conventional governance. Agile governance fokus pada ‘perilaku’ dan
‘praktis’ untuk mencapai ‘keunggulan kompetitif’ dan ‘keberlanjutan’
dengan mengandalkan ‘transparansi’ dan ‘pelibatan pegawai’ sedangkan
tata kelola konvensional lebih pada ‘proses’ dan ‘prosedur’ untuk
kepentingan ‘kepatuhan’ dan‘pengendalian’. Agile governance bermakna
sense (menemukenali dan merasakan), respon dan adaptasi sedangkan
conventional governance fokus pada kesesuaian dengan rencana.
Untuk menggerak-arahkan praktik agile governance, kapabilitas
untuk menata-kelola dipadukan oleh Luna, Kruchten, Pedrosa, Neto, &
Moura (2014) dengan prinsip-prinsip agile untuk menghasilkan
enam
meta-prinsip agile governance sebagai berikut:
a. Good enough governance: tata kelola perlu diadaptasi (disesuaikan
dan diseimbangkan) dengan konteks masing – masing organisasi;
b. Gerak-arah bisnis: bisnis (tugas, fungsi dan peran) organisasi harus
menjadi penggerak dan pemandu setiap keputusan
c.
Fokus pada manusia: manusia / pegawai sebagai elemen kunci
perubahan harus merasa dihargai serta disediakan dan diberikan
insentif untuk berpartisipasi secara kreatif
d. Berbasis pada quick wins: quick wins perlu dirayakan dan digunakan
untuk mendapatkan lebih dorongan gerak hati untuk berubah lebih
besar. Energi positif yang dihasilkan dari kemenangan tersebut
digunakan sebagai umpan balik dan motivasi untuk melanjutkan
perubahan.
e. Pendekatan sistematis dan adaptif: tim harus mengembangkan
kemampuan intrinsik untuk menangani perubahan dengan menyadari
bahwa perubahan adalah bagian yang melekat alami dalam proses
bisnis.
f.
Desain yang sederhana dan perbaikan berkelanjutan: Memilih
alternatif desain yang lebih sederhana namun memperbaikinya pada
kesempatan pertama. Hal ini dipandang lebih
baik daripada
18
merencanakan sesuatu yang rumit dalam jangka waktu lama namun
kemudian kehilangan waktu merespon perubahan.
C. Rerangka konseptual dan Pembahasan
Berdasarkan literatur reviu diatas dapat disusun rerangka
konseptual implementasi
agile internal audit di BPKP. Sebagaimana
tergambar pada Diagram 4, rerangka konseptual tersebut
tujuh langkah strategis
merupakan
untuk menghadapi tantangan multidimensi
di
periode ke tujuh BPKP ini.
Diagram 4: Rerangka Konseptual Implementasi
Agile Internal Audit di BPKP
Sumber: Penulis
19
Ketujuh langkah strategis tersebus adalah:
-
Mengidentifikasi perubahan lingkungan
-
Mengidentifikasi tantangan yang dihadapi BPKP
-
Mendefinisikan BPKP yang agile
-
Mengukur tingkat agilitas organisasional BPKP
-
Menyusun strategi meningkatkan kapabilitas untuk menjadi organisasi
yang agile
-
Menyusun strategi bagaimana melakukan tugas dan fungsi BPKP
secara agile
-
Mengeksekusi strategi dalam rerangka agile governance
1. Langkah 1 : Mengidentifikasi perubahan lingkungan
Perubahan lingkungan BPKP dapat dikategorikan pada tiga domain
audit inteal yaitu manajemen risiko, pengendalian dan proses tata kelola
sebagai berikut:
a.
Perubahan pada domain manajemen risiko
Sebagaimana tertuang dalam Peraturan Presiden Nomor 18 Tahun
2020 tentang Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional 20202024 menguraikan empat perubahan utama yaitu (a) ketidakpastian
global, (b) laju pertumbuhan ekonomi relatif stagnan, (c) defisit transaksi
berjalan yang meningkat, serta (d) revolusi industri 4.0 dan ekonomi
digital. Risiko ketidakpastian mencakup Laju pertumbuhan ekonomi relatif
stagnan, rendahnya
harga komoditas internasional
ekspor utama
Indonesia, perang dagang, perlambatan ekonomi China, dan risiko
geopolitik di Timur Tengah.
Laju pertumbuhan ekonomi relatif stagnan menjadikan sulit bagi
Indonesia untuk segera menjadi negara berpendapatan tinggi. Hal ini
disebabkan tingkat produktivitas yang rendah, regulasi yang tidak
mendukung penciptaan dan pengembangan bisnis, serta kualitas institusi
dan SDM yang rendah. Defisit transaksi berjalan meningkat karena tidak
berkembangnya industri pengolahan, dan ekspor Indonesia yang masih
didominasi oleh ekspor komoditas sehingga rasio ekspor terhadap PDB
20
terus menurun. Perubahan penting lainnya adalah digitalisasi, otomatisasi,
dan penggunaan kecerdasan buatan dalam aktivitas ekonomi yang
berpotensi menyebabkan hilangnya pekerjaan.
b.
Perubahan pada domain tata kelola
Perubahan dalam area pengelolaan risiko nasional tersebut pada
butir a. akan diiringi dengan isu – isu kepemerintahan yang akan semakin
kompleks seiring semakin cepatnya perubahan. Saling ketergantungan
antar institusi pemerintahan serta para pihak yang berkepentingan yang
semakin beragam menjadi dua sumber kompleksitas tata kelola
pemerintahan. Tingkatan pemerintahan yang semakin terdesentralisasi
sampai
ke
desa
merubah
landscape
akuntabilitas
vertikal
dan
akuntabilitas horisontal pemerintahan di Indonesia.
Implementasi tata kelola pemerintahan yang transparan dan
partisipatif meningkatkan jumlah suara
dalam proses pengambilan
keputusan dan kebijakan publik. Konsekuensinya adalah meningkatnya
tuntutan bagi pemerintah untuk berakuntabilitas. Tuntutan akuntabilitas
tersebut dioperasionalisasikan dalam bentuk berbagai regulasi, prosedur
pelaporan dan unit kerja atau lembaga dan unit kerja yang diberikan
mandat untuk mengawasi, mengukur, menilai, mereviu, dan memeriksa
kerja pemerintah dan kepatuhannya terhadap regulasi.
c.
Perubahan pada domain pengendalian
Terdapat beberapa isu yang terjadi pada domain pengendalian. Isu
tersebut antara lain bias – bias yang tidak produktif yang pada umumnya
dibangun oleh pihak-pihak yang mempunyai kepentingan pribadi agar
terlihat aktif menangani permasalahan inefisiensi, inefektivitas, serta
ketidakpatuhan dan korupsi. Selain itu, opportunistic behaviour dan moral
hazard telah menjadi permasalahan aksi kolektif.
KLPBU tenggelam dalam kegiatan seremonial mendeklarasikan
komitmennya namun terlupa untuk melakukan analisis yang rasional dan
mendalam untuk menyusun dan mengimplementasikan pengendalian
intern yang tepat. Pemimpin KLPBU mungkin berkomitmen meningkatkan
21
efektivitas pengendalian namun ia mewarisi birokrat yang korup dan
resistensi yang tinggi untuk berubah. Meskipun pimpinan berkomitmen
dan pegawai mau berubah namun kedua hal tersebut tidak cukup untuk
melanggengkan perubahan tanpa upaya institusionalisasi terutama
setelah suatu periode kepemimpinan berakhir.
2. Langkah 2: Mengidentifikasi tantangan yang dihadapi BPKP
a.
Tantangan BPKP pada domain manajemen risiko
Perubahan sebagaimana tertuang dalam Peraturan Presiden
Nomor 18 Tahun 2020 tentang Rencana Pembangunan Jangka
Menengah Nasional 2020-2024 tersebut membawa konsekuensi bagi
BPKP. BPKP perlu memahami tidak hanya lingkungan organisasional
BPKP namun juga lingkungan organisasional KLPBU. BPKP juga perlu
memahami tidak hanya strategi KLPBU namun juga strategi negara lain
dalam menghadapi ketidakpastian dunia. Perubahan lingkungan KLPBU
dan strategi kompetitor tersebut merupakan sumber ketidakpastian dan
sumber risiko dan memahaminya merupakan bagian penting dari upaya
BPKP melakukan dynamic risk assessment sebagai bagian dari
pengawasan atas manajemen risiko di KLPBU.
b.
Tantangan BPKP pada domain tata kelola
Isu – isu kepemerintahan dan perubahan landscape akuntabilitas di
Indonesia membawa konsekuensi bagi BPKP. Perubahan landscape
akuntabilitas
ditandai
dari
terjadinya
(a)
peningkatan
kewajiban
berakuntabilitas, (b) bertambahnya institusi atau forum yang bersifat
watchdog, (c) relasi akuntabilitas yang ber-multiplikasi, (d) standar baru
terkait akuntabilitas, (e) praktik akuntabilitas yang semakin banyak, dan (f)
timbulnya jaringan akuntabilitas (Wille, 2017). BPKP perlu mempunyai
metodologi untuk memadukan akuntabilitas dari berbagai dimensi dan
berbagai pihak tersebut. Berbagai lembaga / unit kerja penegak
akuntabilitas tersebut menyelenggarakan assurance untuk tujuan dan
sasaran yang beragam. Tantangan bagi BPKP adalah memadukannya
menjadi integrated assurance.
22
c.
Tantangan BPKP pada domain pengendalian
Tantangan
pengembangan
maturitas
menjadi
efektivitas
pengendalian intern adalah mencegah agar perubahan yang dilakukan
KLPBU tidak artifisial. BPKP perlu melakukan root cause analysis dalam
setiap penugasan pengawasan. Root Cause Analysis akan membebaskan
tim audit dari bias ‘penanganan gejala’
yaitu KLPBU yang lebih
mengutamakan penanganan terhadap penyebab terjadinya inefisiensi,
inefektivitas, ketidakpatuhan dan korupsi yang terlihat di permukaan
misalnya kelemahan peraturan atau pegawai yang tidak kompeten.
Kepemimpinan, iklim etik, iklim pelayanan publik dan kultur organisasi
yang mungkin merupakan akar penyebab penyimpangan belum menjadi
perhatian sebagai akar penyebab permasalahan dan sumber risiko.
Ketiga tantangan tersebut membawa konsekuensi lanjutan bagi
BPKP. Penerapan integrated assurance, dynamic risk assessment dan
root cause analysis yang diperlukan untuk menjawab ketiga tantangan
tersebut memerlukan agilitas organisasional. Langkah penting untuk
memelihara dan mengembangkan agilitas organisasional BPKP yang
telah terbukti selama 37 tahun ini adalh terlebih dahulu mendefinisikan
agilitas tersebut.
3. Langkah 3: Mendefinisikan BPKP yang agile
Definisi merupakan hal yang penting dalam membangun rerangka
konseptual terlebih dalam merumuskan strategi implementasinya. Definisi
yang baik akan memampukan semua pihak memahami maknanya,
menyamakan
persepsi
terhadap
definisi
tersebut
dan
mengoperasionalisasikannya dalam sistem dan prosedur yang siap
diterapkan. BPKP tidak hanya perlu mendefinisikan agile internal audit
namun juga (a) atribut, dan (b) konsep – konsep mendasar yang
terkandung dalam agile internal audit.
Atribut agile internal auditing yang perlu didefinisikan adalah fokus
pemandu, sekuensi penugasan, relasi dengan klien, observasi, temuan,
23
simpulan audit, perencanaan , kepemilikan, manajemen sumber daya,
penilaian risiko, pemuktahiran status dan dokumentasi. (Wright, 2019)
Selain itu, empat konsep mendasar yang perlu juga dirumuskan
definisi operasionalnya adalah:
a. Audit backlog: menggantikan penggunaan audit plan menjadi audit
backlog yaitu daftar terkini area yang akan diaudit
b. Definisi siap (Definition of Ready (DoR)) yaitu suatu item dalam
backlog ada ketika internal audit dan mitra sepakat mengenai apa
yang diuji, dieksaminasi atau di-reviu, tujuan penugasan dan nilai yang
hendak diciptakan dan diberikan.
c.
Sprints: ketika penugasan audit mulai, suatu item dikeluarkan dari
audit
backlog.
Program
kerja
audit
penugasan audit dibagi menjadi sprints
yang
berkenaan
dengan
yaitu proses, struktur dan
bagian dari penugasan yang harus diselesaikan dengan tenggat
waktu yang ketat.
d. Definisi selesai (Definition of Done (DoD)) yaitu nilai yang
disampaikan kepada mitra audit dalam suatu sprint. Suatu DoD dapat
dinyatakan sebagai level of assurance, serangkaian tugas yang
diselesaikan, daftar isu teridentifikasi, risiko atau rekomendasi, laporan
atau draft laporan.
Keempat elemen ini menjadi struktur dari kegiatan dan rerangka waktu
sedemikian rupa sehingga dimungkinkan dilakukan perubahan arah dan
perubahan alokasi sumber daya segera setelah didapatkan informasi baru
(Deloitte, 2017)
4. Langkah 4: Menilai tingkat agilitas organisasional BPKP
Untuk dapat menilai kesiapan BPKP menghadapi perubahan dan
mengidentifikasi area dalam organisasi yang ‘kurang agile’, BPKP perlu
melakukan pengukuran dan penilaian agilitas organisasional.
Selain
melakukan penilaian atas tiga dimensi (prasyarat agilitas, agility of people
dan struktur pendorong agilitas) sebagaimana model yang dikembangkan
oleh (Wendler, 2014), penilaian juga perlu mencakup praktik – praktik
24
informal
yang
mendukung
ataupun
tidak
mendukung
agilitas
organisasional.
5. Langkah 5: Menyusun strategi peningkatan kapabilitas untuk
menjadi organisasi yang agile
Hasil langkah 1 (perubahan lingkungan), langkah 2 (tantangan
BPKP), langkah
3 (mendefinisikan BPKP yang agile) dan langkah 4
(tingkat agilitas organisasional) dipadukan untuk merumuskan strategi
peningkatan kapabilitas. Merujuk pada model (Wendler, 2014), fungsi
SDM, organisasi dan teknologi informasi berperan penting sebagai
provider agilitas.
6. Langkah 6: Menyusun strategi bagaimana melakukan tugas dan
fungsi BPKP secara agile
Pelaksanaan tugas dan fungsi secara agile tidak harus menunggu
kesiapan dan pelaksanaan strategi peningkatan kapabilitas. Langkah 5
dan langkah 6 dapat dilakukan secara paralel. Dengan kapabiltas
terpasang, BPKP dapat melaksanakan penugasan secara agile. Strategi
dan metodenya dapat disesuaikan dengan tiga hal utama: spesifikasi
penugasan audit, kemampuan menerapkan konsep agile internal audit
dalam pedoman audit dan sumber daya yang tersedia.
7. Langkah
7:
Mengeksekusi
strategi
dalam
rerangka
agile
governance
Langkah 1 sampai dengan langkah 6 dapat terarah pada tujuan,
sasaran dan cara kerja yang harmonis apabila terletak dalam satu
rerangka agile governance. Struktur, sistem dan kultur yang terdapat
dalam satu rerangka dan dilaksanakan dengan disiplin diyakini dapat
menyeimbangkan keinginan ber-agilitas (cepat, fleksibel dan adaptif) dan
kebutuhan untuk tetap menjadi BPKP yang stabil (efisien, tabah
menghadapi kesulitan, dan andal), taat pada standar audit serta terjaga
independensi dan obyektivitasnya.
25
D. Simpulan
Periode 37 tahun kehidupan organisasi BPKP membuktikan
kekuatan
agilitas
organisasional
BPKP.
Namun
dengan
adanya
perubahan pada domain tata kelola, manajemen risiko dan pengendalian,
agilitas
organisasional
BPKP
perlu
dikuatkan
manajemen risiko pembangunan nasional,
kembali.
Dari
sisi
Indonesia menghadapi
ketidakpastian global, dan laju pertumbuhan ekonomi yang stagnan
sedangkan dari sisi tata kelola terjadi perubahan landscape akuntabilitas
di tingkat nasional, daerah dan desa serta korporasi negara. Konsep
maturitas juga perlu dikembangkan menjadi efektivitas pengendalian
intern. Integrated assurance dan dynamic risk assessment perlu segera
diimplementasikan seiring dengan konsep – konsep RCA, CACM dan
probity advice and assurance yang telah lebih dulu dikembangkan.
Hasil analisis menunjukkan perlunya melakukan langkah – langkah
strategis untuk menemukenali perubahan, meresponnya dengan cepat
dan melakukan perbaikan secara berkelanjutan. Implementasi konsep
agile internal audit dalam rerangka agile governance merupakan salah
satu alternatif mewujudkannya tanpa harus kehilangan stabilitas, ketatan
pada metodologi profesi pengawasan intern serta tetap menjaga
independensi dan obyektivitas BPKP sebagai aparat pengawasan intern
pemerintah penegak akuntabilitas pembangunan nasional.
E. Daftar Pustaka
Agilealliance. (2002). Agile 101. Retrieved 6 1, 2020, from Agile Alliance:
https://www.agilealliance.org/
Azizsafaei, F. (2016). The Role of Human Resource Management In
Achieving Organisational Agility (A Doctoral Thesis). Birmingham,
United Kingdom: Birmingham City University.
26
Blanding, C., & Child, M. (2019, October 1). Agile Auditing. Retrieved from
https://chapters.theiia.org/topeka/Documents/Agile%20Auditing%20
Topeka%20IIA%20100119.pdf
Cheng, T.-H., Jansen, S., & Remmers, M. (2009). Controlling and
monitoring agile software development in three dutch product
software companies. ICSE Workshop on Software Development
Governance. IEEE, (pp. 29–35).
Deksnys, M. (2018). Organizational Agility In High Growth Companies
Doctoral Dissertation. Vilnius: Mykolas Romeris University.
Deloitte. (2017). Becoming agile A guide to elevating internal audit’s
performance and value Part 1: Understanding agile internal audit.
Deloitte Development LLC.
Deloitte. (2017). Becoming agile A guide to elevating Internal Audit’s
performance and value Part 2: Putting Agile IA into action. Deloitte
Development LLC.
Deloitte. (2018). Agile Internal Audit. IIA Chicago Chapter 5th Annual
Seminar 2018. Development LLC Deloitte.
Deloitte. (2020). Adopting Agile: In harmony with the International
Standards for the Professional Practice of Internal Auditing (the
Standards) .
Dove, R. (1993). Lean and agile: synergy, contrast, and emerging
structure. Proceedings of the Defense Manufacturing Conference,
93.
Goldman, S. L., Nagel, R. N., & Preiss, K. (1995). Agile competitors and
virtual organizations: strategies for enriching the customer. Van
Nostrand Reinhold Company.
Goldman, S., & Nagel, R. (1993). Management, technology and agility: the
emergence of a new era in manufacturing. International Journal of
Technology Management, Vol. 8 Nos 1/2, 18-38.
27
Gunasekaran, A. (1999). Agile manufacturing: a framework for research
and development. International Journal of Production Economics,
Vol. 62, 87-106.
Hardenberg, B., & Rubin, A. (2020, 4 22). What is Agile Auditing? .
Retrieved 5 30, 2020, from eisneramper:
https://www.eisneramper.com/newsletters/prts-intelligence/agileauditing-prts-0420/
Harraf, A., Wanasika, I., Tate, K., & Talbott, K. (2015). Organizational
Agility. The Journal of Applied Business Research, 31(2).
Jamrog, J. J., McCann, J. E., Lee, J. M., Morrison, C. L., Selsky, J. W., &
Vickers, M. (2006). Agility and Resilience in the Face of Continuous
Change: A Global Study of Current Trends and Future Possibilities
2006-2016. New York: American Management Association.
Kidd, P. T. (1994). Agile Manufacturing: Forging New Frontiers. England:
Addition-Wesley.
Leppanen, M. (2013). A Comparative Analysis of Agile Maturity Models. In
R. P. al, Information Systems Development: Reflections,
Challenges and New Directions. New York: Springer
Science+Business Media.
Luna, A. d., Costa, C., De Moura, H., & Novaes, M. (2010). Agile
Governance in Information and Communication Technologies:
Shifting Paradigms. JISTEM Journal of Information System
Technology Management,7, 311–334.
Luna, A. d., Kruchten, P., & de Moura, H. (2013). GAME: Governance for
Agile Management of Enterprises: A Management Model for Agile
Governance. IEEE 8th International Conference on Global Software
Engineering Workshops (pp. 88–90). IEEE.
Luna, A. d., Kruchten, P., Riccio, E., & Moura, H. d. (2016). Luna, A.J.H.
de O., Kruchten, P., Riccio, E.L., Moura, H.P. de, 2016.
Foundations for an Agile Governance Manifesto: a bridge for
28
business agility, in: Nagawa, V.T. (EdFoundations for an Agile
Governance Manifesto: a bridge for business agility. Nagawa 13th
International Conference on Management of Technology and
Information Systems (p. 2016). São Paulo, SP, Brasil: FEA-USP.
Luna, A. J., Kruchten, P., & Pedrosa, M. L. (2015). Agile Governance
Theory: conceptual development. D. M. G. Sakata (Ed.), 12th
International Conference on Management of Technology and
Information Systems. São Paulo: FEA-USP.
Luna, A. J., Kruchten, P., Pedrosa, M. L., Neto, H. R., & Moura, H. P.
(2014). State of the Art of Agile Governance: A Systematic Review.
International Journal of Computer Science & Information
Technology (IJCSIT), 6(5), 121–141.
Macias-Lizaso, G., & Thiel, K. (2006). Building a Nimble Organization. A
McKinsey Global Survey , McKinsey Quarterly.
McCann, J. (2004). Organizational Effectiveness: Changing Concepts for
Changing Environments. Human Resource Planning, 27(1), 42-50.
Qumer, A. (2007). Defining an Integrated Agile Governance for Large
Agile Software Development Environments: A Systematic Review
and Analysis. The 8th International Conference on Agile Processes
in Software Engineering and Extreme Programming, (pp. 157–160).
Roth, A. V. (1996). Achieving Strategic Agility Through Economies of
Knowledge. Strategy and Leadership, 24(2), 30-37.
Sambamurthy, V., Bharadwaj, A., & Grover, V. (2003). Shaping agility
through digital options: re-conceptualizing the role of information
technology in contemporary firms. MIS Quarterly, Vol. 27 No. 3,
237-63.
Sanchez, L. M., & Nagi, R. (2001). A review of agile manufacturing
systems. International Journal of Production Research, 39, 35613600.
29
Sharifi, H., & Zhang, Z. (2001). Agile manufacturing in practice Application of a methodology. International Journal of Operations
and Production Management, 21, 772-794.
Sherehiy, B. (2008). Relationships between agility strategy, work
organization and workforce agility. Doctoral Dissertation. Louisville:
The University of Louisville.
Thomas, S. (2012, 10 1). What is Agile Governance? Retrieved 6 1, 2020,
from It's a Delivery Thing: https://itsadeliverything.com/what-isagile-governance
Vokurka, R., & Fliedner, G. (1998). The Journey Toward Agility. Industrial
Management and Data Systems. Vol 98, Iss 4, 165.
Wendler, R. (2014). Development of the organizational agility maturity
model. Federated Conference on Computer Science and
Information Systems (FedCSIS) (pp. 1197-1206). Warsaw, Poland,:
IEEE.
Wille, A. (2017). The dynamics of the EU accountability landscape: Moving
to an ever-denser union. In T. Christensen, & P. Lægreid, The
Routledge Handbook to Accountability and Welfare State Reforms
in Europe . New York: Routledge Taylor and Francis Group.
Wright, R. A. (2019). Agile Auditing: Transforming the Internal Audit
Process. The Institute of Internal Auditor.
Wyman, O. (2018). Organizational Agility Why Large Corporations Often
Struggle To Adopt The Inventions Created By Their Innovation
Units And How To Improve Success Rates In A Rapidly Changing
Environment. IESE Business School University of Navarra.
Yusuf, Y., Sarhadi, M., & Gunasekaran, A. (1999). Agile manufacturing:
the drivers, concepts and attributes. International Journal of
Production Economics, 62, 33-43.
30
Zhang, Z., & Sharifi, H. (2000). A Methodology for Achieving Agility in
Manufacturing organisations. International Journal of Operations &
Production Management, 20(4), 496-512.
31
Download