Teori Mikroekonomi: Suatu Perbandingan Ekonomi Islam dan Ekonomi Konvensional BAB 4 PERILAKU KONSUMEN A. Pendahuluan Persoalan penting yang menjadi fokus perhatian ilmu ekonomi adalah kelangkaan sumber yang dapat digunakan oleh masyarakat. Pengalokasian sumber-sumber potensial yang dapat digunakan manusia adalah masalah utama ekonomi. Analisis perilaku manusia yang bekaitan dengan persoalan ini disebut teori ekonomi. Analisis mainstream yang disebut ekonomi positif memiliki dua aspek yaitu teoritis dan empiris. Secara umum analisis yang bersifat teoritis berawal dari analisis empiris karena analisis empiris dibentuk dalam sebuah kerangka analisis teoritis. Akan tetapi, analisis empiris pada beberapa kasus dapat pula didahului oleh analisis teoritis. Dalam hal ini pola dan aturan-aturan dalam kenyataannya berkaitan dengan pembuatan keputusan yang dibentuk dari studi dan teori-teori. Analisis teroritis adalah cabang dari ilmu pengetahuan yang disebut ekonomi positif dapat dilihat pada dua perspektif: 1. Perspektif positif murni 2. Perspektif positif nomal Menurut perspektif positif murni aspek-aspek perilaku manusia yang dianalisis bersifat bebas nilai. Hal ini menunjukkan bahwa tidak ada nilai mendasar yang membatasi perilaku. Sedangkan menurut perspektif positif normal aspek-aspek prilaku manusia yang dianalisis diatur oleh sejumlah norma atau nilai-nilai yang harus dipatuhi oleh setiap anggota masyarakat. Nilai dan norma ini dapat berbentuk aturan secara tertulis maupun tidak tertulis dan tradisi. Ekonomi positif, dalam pandangan positif murni kenyataannya tidak ada, sebab ilmu ekonomi mempelajari prilaku manusia dalam kehidupan sosial dan setiap masyarakat memiliki norma, nilai, dan aturan tertentu bagi anggotanya. Ilmu ekonomi yang kita kenal adalah sebagai ilmu ekonomi positif, dalam kenyataannya analisis perilaku ekonomi manusia adalah merupakan pandangan ekonomi positif normal. 80 Teori Mikroekonomi: Suatu Perbandingan Ekonomi Islam dan Ekonomi Konvensional Dalam bab ini akan dibahas mengenai sektor rumah tangga sebagai konsumen di pasar output. Akan dilihat bagaimana seorang konsumen berperilaku, yaitu bagaimana ia memutuskan berapa jumlah masing-masing barang yang akan dibeli dalam berbagai situasi baik perilaku konsumen non muslim maupun konsumen muslim. Islam adalah agama yang sempurna, yang mengatur seluruh perilaku manusia dalam segenap kehidupannya. Islam mengatur bagaimana manusia seharusnya melakukan kegiatan-kegiatan ekonominya. Berbagai kegiatan ekonomi berjalan dalam rangka mencapai satu tujuan, yakni menciptakan kesejahteraan menyeluruh, penuh ketegangan dan kesederhanaan, namun tetap produktif dan inovatif bagi setiap individu muslim maupun non-Muslim. Allah telah menetapkan batas-batas tertentu terhadap perilaku manusia sehingga menguntungkan individu tanpa mengorbankan hakhak individu lainnya, sebagaimana yang di tetapkan dalam hukum Allah (Syari’ah). Konsumsi, pemenuhan (kebutuhan) dan perolehan kenikmatan tidak dilarang dalam Islam selama tidak melibatkan hal-hal yang tidak baik atau justru dapat menimbulkan kemudharatan. Para penulis yang menggunakan kerangka acuan Islami tidak menerima formulasi kontemporer mengenai teori konsumsi yang terdapat pada teori ekonomi konvensional dengan alasan bahwa ia diselewengkan oleh nilai-nilai idiologik dan sosial masyarakat non-Muslim di mana ia dikembangkan. Namun demikian mereka biasanya tidak memberikan pengganti atas teori yang mereka sanggah tersebut. Keberatan mereka tampaknya terutama ditujukan pada nilainilai konsumen bukan pada alat-alat analisis, bahwa meskipun kita dapat mengatakan bahwa seperangkat nilai yang menjadi acuan adalah berbeda. Sudah sangat umum di kalangan para penulis semacam itu untuk memandang teori konsumsi dalam pengertian keabsahan hukum barang-barang konsumsi dan jasa. Teori perilaku konsumen yang dikembangkan di Barat setelah timbulnya kapitalisme merupakan sumber dualitas, yakni “rasionalisme ekonomik” dan “utilitarianisme”. Rasionalisme ekonomik menafsirkan perilaku manusia sebagai sesuatu yang dilandasi dengan “perhitungan cermat, yang 81 Teori Mikroekonomi: Suatu Perbandingan Ekonomi Islam dan Ekonomi Konvensional diarahkan dengan pandangan ke depan dan persiapan terhadap keberhasilan ekonomi”. Keberhasilan ekonomi secara ketat didefinisikan sebagai “membuat uang manusia”. Memperoleh harta, baik dalam pengertian uang atau berbagai komoditas adalah tujuan hidup yang terakhir dan, pada saat yang sama merupakan tongkat pengukur keberhasilan ekonomik. Etika dari filsafat ini dikaitkan dan dipungut dari “keberhasilan ekonomik” seseorang. Keberhasilan dalam membuat uang adalah hasil dan ekspresi kebaikan dan keahlian. Utilitarianisme adalah sumber nilai-nilai dan sikap-sikap moral. “kejujuran berguna karena ia menjamin kepercayaan; demikian juga ketepatan waktu, ketekunan bekerja, dan sikap hemat”. Dari sumber yang kedua inilah timbul teori perilaku konsumen. Teori tersebut mempertimbangkan maksimisasi permanfaatan sebagai tujuan konsumen yang dipostulasikan. Pemanfaatan yang dimaksimisasikan adalah pemanfaatan “homo-economicus” yang tujuan tunggalnya adalah mendapatkan kepuasan ekonomik pada tingkatan tertinggi dan dorongan satu-satunya adalah “kesadaran akan uang”. Teori perilaku konsumen dalam sistem kapitalis sudah melampaui dua tahap. Tahap pertama berkaitan dengan teori marginalis, yang berdasarkan teori tersebut pemanfaatan konsumen secara tegas dapat diukur dalam satuan-satuan pokok. Konsumen mencapai keseimbangannya ketika dia memaksimalkan pemanfaatannya sesuai keterbatasan penghasilan, yakni, ketika rasio-rasio pemanfaatan-pemanfaatan marginal dari berbagai komoditas sama dengan rasio harga uangnya masing-masing. Tahap kedua yang lebih modern mengatur kemungkinan diukurnya dan kardinalitas pemanfaatan itu. Namun, berbagai kondisi yang sekarang menjadi kesamaan antara tarik marginal substitusinya, yakni garis miring dari kurva tetap, dan rasio-rasio harga uang, yakni garis miring dari keterbatasan penghasilan (budget constraint) itu. 82 Teori Mikroekonomi: Suatu Perbandingan Ekonomi Islam dan Ekonomi Konvensional B. Etika Konsumsi dalam Islam Menurut Islam, anugerah-anugerah Allah itu milik semua manusia dan suasana yang menyebabkan sebagian di antara anugerah-anugerah itu berada di antara orang-orang tertentu tidak berarti bahwa mereka dapat memanfaatkan anugerah-anugerah itu untuk mereka sendiri; sedangkan orang lain tidak memiliki bagiannya sehingga banyak di antara anugerah-anugerah yang diberikan Allah kepada umat manusia itu masih berhak mereka miliki walaupun mereka tidak memperolehnya. Dalam Al-Qur’an Allah SWT mengutuk dan membatalkan argumen yang dikemukakan oleh orang kaya yang kikir karena tidak kesediaan mereka memberikan bagian atau miliknya ini. â™!$t±o„ öθ©9 ⎯tΒ ãΝÏèôÜçΡr& (#þθãΖtΒ#u™ t⎦⎪Ï%©#Ï9 (#ρãxŸ2 t⎦⎪Ï%©!$# tΑ$s% ª!$# â/ä3x%y—u‘ $£ϑÏΒ (#θà)ÏΡr& öΝçλm; Ÿ≅ŠÏ% #sŒÎ)uρ ∩⊆∠∪ &⎦⎫Î7•Β 9≅≈n=|Ê †Îû ωÎ) óΟçFΡr& ÷βÎ) ÿ…çμyϑyèôÛr& ª!$# “Bila dikatakan kepada mereka, “belanjakanlah sebagian rizqi Allah yang diberikan-Nya kepadamu”, orang-orang kafir itu berkata, “Apakah kami harus memberi makan orang-orang yang jika Allah menghendaki akan diberi-Nya makan? Sebenarnya kamu benar-benar tersesat”. (QS. Yaasin: 47) Setiap orang Mu’min berusaha mencari kenikmatan dengan cara mematuhi perintah-perintah-Nya dan memuaskan dirinya sendiri dengan barang-barang dan anugerah-anugerah yang diciptakan (Allah) untuk umat manusia demi kemaslahatan umat. Konsumsi berlebih-lebihan, yang merupakan ciri khas masyarakat yang tidak mengenal Tuhan, dikutuk dalam Islam dan disebut dengan israf (pemborosan) atau tabzir (menghambur-hamburkan harta tanpa guna). Tabzir berarti mempergunakan harta dengan cara yang salah, yakni, menuju tujuan-tujuan yang terlarang seperti penyuapan, hal-hal yang melanggar hukum atau dengan cara yang tanpa aturan. Pemborosan berarti penggunaan harta secara berlebih-lebihan untuk hal-hal yang melanggar hukum dalam hal seperti makanan, pakaian, tempat tinggal atau bahkan sedekah. Ajaran-ajaran Islam menganjurkan pola konsumsi dan penggunaan harta secara wajar dan berimbanng, yakni pola yang terletak diantara kekikiran dan 83 Teori Mikroekonomi: Suatu Perbandingan Ekonomi Islam dan Ekonomi Konvensional pemborosan. Konsumsi diatas dan melampaui tingkat moderat (wajar) dianggap israf dan tidak disenangi Islam. Salah satu ciri penting dalam Islam adalah bahwa ia tidak hanya mengubah nilai-nilai dan kebiasaan-kebiasaan masyarakat tetapi juga menyajikan kerangka legislatif yang perlu untuk mendukung dan memperkuat tujuan-tujuan ini dan menghindari penyalahgunaannya. Ciri khas Islam ini juga memiliki daya aplikatifnya terhadap orang yang terlibat dalam pemborosan atau tabzir. Dalam hukum (fiqih) Islam, orang semacam itu seharusnya dikenai pembatasan-pembatasan dan, bila dianggap perlu, dilepaskan dan dibebaskan dari tugas mengurus harta miliknya sendiri. Dalm pandangan syari’ah dia seharusnya diperlukan sebagai orang tidak mampu dan orang lain seharusnya ditugaskan untuk mengurus hartanya selaku wakilnya. Etika Islam1 dalam hal konsumsi adalah sebagai berikut: 1. Tauhid (Unity / Kesatuan) Dalam perspektif Islam, kegiatan konsumsi dilakukan dalam rangka beribadah kepada Allah SWT, sehingga senantiasa berada dalm hukumhukum Allah (syariah). Karena itu, orang Mu’min berusaha mencari kenikmatan dengan mentaati perintah-perintah-Nya dan memuaskan dirinya sendiri dengan barang-barang dan anugerah-anugerah yang dicipta (Allah) untuk umat manusia. Sedangkan dalam pandangan kapitalistik, konsumsi merupakan fungsi dari keinginan, nafsu, harga barang, pendapatan dan lain-lain tanpa memperdulikan dimensi spritual, kepentingan orang lain dan tanggung jawab atas segala perilakunya, sehingga pada ekonomi konvensional manusia diartikan sebagai individu yang memiliki sifat homo economicus. ∩∈∉∪ Èβρ߉ç7÷èu‹Ï9 ωÎ) }§ΡM}$#uρ £⎯Ågø:$# àMø)n=yz $tΒuρ “Dan aku tidak menciptakan jin dan manusia melainkan supaya mereka menyembah-Ku” (QS Adz-Dzaariyat: 56) 1 Syed Nawab Haider Naqvi. Etika dan Ilmu Ekonomi: Suatu Sintesis Islami. (Bandung: Mizan, 1985) 84 Teori Mikroekonomi: Suatu Perbandingan Ekonomi Islam dan Ekonomi Konvensional 2. Adil ( Equilibrium / Keadilan ) Islam memperbolehkan manusia untuk menikmati berbagai karunia kehidupan dunia yang disediakan Allah SWT …çμ¯ΡÎ) 4 Ç⎯≈sÜø‹¤±9$# ÏN≡uθäÜäz (#θãèÎ6®Ks? Ÿωuρ $Y7Íh‹sÛ Wξ≈n=ym ÇÚö‘F{$# ’Îû $£ϑÏΒ (#θè=ä. â¨$¨Ζ9$# $y㕃r'¯≈tƒ ∩⊇∉∇∪ î⎦⎫Î7•Β Aρ߉tã öΝä3s9 “Hai sekalian manusia, makanlah yang halal lagi baik dari apa yang terdapat di bumi, dan janganlah kamu mengikuti langkah-langkah syaitan: karena sesungguhnya syaitan itu adalah musuh yang nyata bagimu” (QS Al-Baqarah: 168) (#θãΖtΒ#u™ t⎦⎪Ï%©#Ï9 }‘Ïδ ö≅è% 4 É−ø—Ìh9$# z⎯ÏΒ ÏM≈t6Íh‹©Ü9$#uρ ⎯ÍνÏŠ$t7ÏèÏ9 ylt÷zr& û©ÉL©9$# «!$# sπoΨƒÎ— tΠ§ym ô⎯tΒ ö≅è% ∩⊂⊄∪ tβθçΗs>ôètƒ 5Θöθs)Ï9 ÏM≈tƒFψ$# ã≅Å_ÁxçΡ y7Ï9≡x‹x. 3 Ïπyϑ≈uŠÉ)ø9$# tΠöθtƒ Zπ|ÁÏ9%s{ $u‹÷Ρ‘‰9$# Íο4θuŠysø9$# ’Îû “Katakanlah: “Siapakah yang mengharamkan perhiasan dari Allah yang telah dikeluarkan-Nya untuk hamba-hamba-Nya dan (siapa pulakah yang mengharamkan) rezki yang baik?” Katakanlah: “Semuanya itu (disediakan) bagi orang-orang yang beriman dalam kehidupan dunia, khusus (untuk mereka saja) di hari kiamat. Demikianlah kami menjelaskan ayat-ayat itu bagi orang-orang yang mengetahui” (QS AlA’Raaf: 32) Pemanfaatan atas karunia Allah tersebut harus dilakukan secara adil sesuai dengan syariah, sehingga di samping mendapatkan keuntungan material, ia juga sekaligus merasakan kepuasan spiritual. Al-Qur’an secara tegas menekankan norma perilaku ini baik untuk hal-hal yang bersifat material maupun spiritual untuk menjamin adanya kehidupan yang berimbang antara kehidupan dunia dan kehidupan akhirat. Oleh karenanya dalam Islam konsumsi tidak hanya barang-barang yang bersifat duniawi semata namun juga untuk kepentingan di jalan Allah (fi sabilillah) ∩⊇∉∪ #ZÏΒô‰s? $yγ≈tΡö¨Βy‰sù ãΑöθs)ø9$# $pκön=tæ ¨,y⇔sù $pκÏù (#θà)|¡xsù $pκÏùuøIãΒ $tΡötΒr& ºπtƒös% y7Î=öκ–Ξ βr& !$tΡ÷Šu‘r& !#sŒÎ)uρ 85 Teori Mikroekonomi: Suatu Perbandingan Ekonomi Islam dan Ekonomi Konvensional “Dan jika Kami hendak membinasakan suatu negeri, maka Kami perintahkan kepada orang-orang yang hidup mewah di negeri itu (supaya menta’ati Allah) tetapi mereka melakukan kedurhakaan dalam negeri itu, maka sudah sepantasnya berlaku terhadapnya perkataan (ketentuan Kami), kemudian Kami hancurkan negeri itu sehancur-hancurnya” (QS Al-Israa: 16) 3. Free Will ( Kehendak Bebas ) Alam semesta adalah milik Allah, yang memiliki kemahakuasaan (kedaulatan) sepenuhnya dan kesempurnaan atas makhluk-makhluk–Nya. Manusia diberi kekuasaan untuk mengambil keuntungan dan manfaat sebanyak-banyaknya sesuai dengan kemampuannya atas barang-barang ciptaan Allah ini. Atas segala karunia yang diberikan oleh Allah, manusia dapat berkehendak bebas, namun kebebasan ini tidaklah berarti bahwa manusia terlepas dari qadha dan qadar yang merupakan hukum sebab akibat yang didasarkan pada pengetahuan dan kehendak Allah. Sehingga kebebasan dalam melakukan aktivitas haruslah tetap memiliki batasan agar jangan sampai mendzalimi pihak lain. Hal inilah yang tidak terdapat dalam ekonomi konvensional, sehingga yang terjadi kebebasan yang dapat mengakibatkan pihak lain menjadi menderita. 4. Amanah ( Responsibility / Pertanggungjawaban ) Manusia adalah khalifah atau pengemban amanat Allah. Manusia diberi kekuasaan untuk melaksanakan tugas kekhalifahan ini dan untuk mengambil keuntungan dan manfaat sebanyak-banyaknya atas ciptaan Allah. Dalam hal melakukan konsumsi, manusia dapat berkehendak bebas tetapi akan mempertanggungjawabkan atas kebebasan tersebut baik terhadap keseimbangan alam, masyarakat, diri sendiri maupun di akhirat kelak. Pertanggungjawaban sebagai seorang muslim bukan hanya kepada Allah swt namun juga kepada lingkungan. Jika ekonomi konvensional, baru mengenal istilah corporate social responsibility, maka ekonomi Islam telah mengenalnya sejak lama. 86 Teori Mikroekonomi: Suatu Perbandingan Ekonomi Islam dan Ekonomi Konvensional 5. Halal Dalam kerangka acuan Islam, barang-barang yang dapat dikonsumsi hanyalah barang-barang yang menunjukkan nilai-nilai kebaikan, kesucian, keindahan serta akan menimbulkan kemaslahatan untuk umat baik secara material maupun spiritual. Sebaliknya benda-benda yang buruk, tidak suci (najis), tidak bernilai, tidak dapat digunakan dan juga tidak dapat dianggap sebagai barang-barang konsumsi dalam Islam serta dapat menimbulkan kemudharatan apabila dikonsumsi akan dilarang. §äÜôÊ$# Ç⎯yϑsù ( «!$# ÎötóÏ9 ⎯ÏμÎ/ ¨≅Ïδé& !$tΒuρ ̓̓ΨÏ‚ø9$# zΝóss9uρ tΠ¤$!$#uρ sπtGøŠyϑø9$# ãΝà6ø‹n=tæ tΠ§ym $yϑ¯ΡÎ) Ÿ uρ 8ø$t/ uöxî ∩⊇∠⊂∪ íΟŠÏm§‘ Ö‘θàxî ©!$# ¨βÎ) 4 Ïμø‹n=tã zΝøOÎ) Iξsù 7Š$tã ω “Sesungguhnya Allah hanya mengharamkan bagimu bangkai, darah, daging babi, dan binatang yang (ketika disembelih) disebut selain Allah. Tetapi barangsiapa dalam keadaan terpaksa (memakannya) sedang ia tidak menginginkannya dan tidak (pula) melampaui batas, maka tidak ada dosa baginya. Sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang” (QS Al-Baqarah: 173) Ïμø‹n=tã ö≅Î=øts† ⎯tΒuρ ( ©É<ŸÒxî ö/ä3ø‹n=tæ ¨≅Åsu‹sù ÏμŠÏù (#öθtóôÜs? Ÿωuρ öΝä3≈oΨø%y—u‘ $tΒ ÏM≈t6ÍhŠsÛ ⎯ÏΒ (#θè=ä. ∩∇⊇∪ 3“uθyδ ô‰s)sù ©É<ŸÒxî “Makanlah di antara rezki yang baik yang telah Kami berikan kepadamu, dan janganlah melampaui batas padanya, yang menyebabkan kemurkaanKu menimpamu. Dan barangsiapa ditimpa oleh kemurkaan-Ku, maka sesungguhnya binasalah ia” (QS Thaahaa: 81) 6. Sederhana Islam sangat melarang perbuatan yang melampaui batas (israf), termasuk pemborosan dan berlebih-lebihan (bermewah-mewah), yaitu membuangbuang harta dan menghambur-hamburkannya tanpa faedah serta manfaat dan hanya memperturutkan nafsu semata. Allah akan sangat mengecam setiap perbuatan yang melampaui batas. 87 Teori Mikroekonomi: Suatu Perbandingan Ekonomi Islam dan Ekonomi Konvensional =Ïtä† Ÿω …çμ¯ΡÎ) 4 (#þθèùÎô£è@ Ÿωuρ (#θç/uõ°$#uρ (#θè=à2uρ 7‰Éfó¡tΒ Èe≅ä. y‰ΖÏã ö/ä3tGt⊥ƒÎ— (#ρä‹è{ tΠyŠ#u™ û©Í_t6≈tƒ ∩⊂⊇∪ t⎦⎫ÏùÎô£ßϑø9$# “Hai anak Adam, pakailah pakaianmua yang indah di setiap (memasuki) mesjid, makan dan minumlah, dan janganlah berlebih-lebihan, sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang berlebih-lebihan” (QS Al-A’raaf: 31) =Ïtä† Ÿω ©!$# χÎ) 4 (#ÿρ߉tG÷ès? Ÿωuρ öΝä3s9 ª!$# ¨≅ymr& !$tΒ ÏM≈t6Íh‹sÛ (#θãΒÌhptéB Ÿω (#θãΖtΒ#u™ t⎦⎪Ï%©!$# $pκš‰r'¯≈tƒ ∩∇∠∪ t⎦⎪ωtF÷èßϑø9$# “Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu haramkan apa-apa yang telah Allah halalkan bagi kamu, dan janganlah kamu melampaui batas. Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang melampaui batas” (QS Al-Maaidah: 87) t⎦⎪Í‘Éj‹t6ßϑø9$# ¨βÎ) ∩⊄∉∪ #·ƒÉ‹ö7s? ö‘Éj‹t7è? Ÿωuρ È≅‹Î6¡¡9$# t⎦ø⌠$#uρ t⎦⎫Å3ó¡Ïϑø9$#uρ …çμ¤)ym 4’n1öà)ø9$# #sŒ ÏN#u™uρ ∩⊄∠∪ #Y‘θàx. ⎯ÏμÎn/tÏ9 ß⎯≈sÜø‹¤±9$# tβ%x.uρ ( È⎦⎫ÏÜ≈u‹¤±9$# tβ≡uθ÷zÎ) (#þθçΡ%x. “Dan berikanlah kepada keluarga-keluarga yang dekat akan haknya, kepada orang miskin dan orang yang dalam perjalanan; dan janganlah kamu menghambur-hamburkan (hartamu) secara boros. Sesungguhnya permboros-pemboros itu adalah saudara-saudara syaitan dan syaitan itu adalah sangat ingkar kepada Tuhannya” (QS Al-Israa: 26 – 27) Sasaran konsumsi2 bagi konsumen muslim adalah : 1. Konsumsi untuk diri sendiri dan keluarga Tidak dibenarkan konsumsi yang dilakukan oleh seseorang berakibat pada penyengsaraan diri sendiri dan keluarga karena kekikirannya. Allah SWT melarang pula perbuatan kikir sebagaimana Allah SWT telah melarang perbuatan pemborosan dan berlebih-lebihan 2 Monzer Khaf. Ekonomi Islam: Suatu Telaah Analitik (Jakarta: Pustaka Pelajar, 1995) 88 Teori Mikroekonomi: Suatu Perbandingan Ekonomi Islam dan Ekonomi Konvensional ª!$# ß#Ïk=s3ムŸω 4 ª!$# çμ9s?#u™ !$£ϑÏΒ ÷,ÏΨã‹ù=sù …çμè%ø—Í‘ Ïμø‹n=tã u‘ωè% ⎯tΒuρ ( ⎯ÏμÏFyèy™ ⎯ÏiΒ 7πyèy™ ρèŒ ÷,ÏΨã‹Ï9 ã yèôfuŠy™ 4 $yγ8s?#u™ !$tΒ ωÎ) $²¡øtΡ ∩∠∪ #Zô£ç„ 9ô£ãã y‰÷èt/ ª!$# ≅ “Hendaklah orang yang mampu memberi nafkah menurut kemampuannya, Dan orang yang disempitkan rezkinya hendaklah memberi nafkah dari harta yang diberikan Allah kepadanya. Allah tidak memikulkan beban kepada seseorang melainkan (sekedar) apa yang Allah berikan kepadanya. Allah kelak akan memberikan kelapangan sesudah kesempitan” (QS Ath-Thallaq: 7) 2. Tabungan Manusia harus menyiapkan masa depannya, karena masa depan merupakan masa yang tidak diketahui keadaannya. Dalam ekonomi penyiapan masa depan dpat dilakukan dengan melalui tabungan $£ϑiΒÏ Wξ‹Î=s% ωÎ) ÿ⎯Ï&Î#ç7.⊥ß™ ’Îû çνρâ‘x‹sù ôΜ›?‰|Áym $yϑsù $\/r&yŠ t⎦⎫ÏΖÅ™ yìö7y™ tβθããu‘÷“s? tΑ$s% $£ϑÏiΒ Wξ‹Î=s% ωÎ) £⎯çλm; ÷Λä⎢øΒ£‰s% $tΒ z⎯ù=ä.ù'tƒ ׊#y‰Ï© Óìö7y™ y7Ï9≡sŒ ω÷èt/ .⎯ÏΒ ’ÎAù'tƒ §ΝèO ∩⊆∠∪ tβθè=ä.ù's? ∩⊆∇∪ tβθãΨÅÁøtéB “Yusuf berkata: “Supaya kamu bertanam tujuh tahun (lamanya) sebagaimana biasa; maka apa yang kamu tuai hendaklah kamu biarkan dibulirnya kecuali sedikit untuk kamu makan. Kemudian sesudah itu akan datang tujuh tahun yang amat sulit, yang menghabiskan apa yang kamu simpan untuk menghadapinya (tahun sulit), kecuali sedikit dari (bibit gandum) yang kamu simpan”. (QS Yusuf: 47 – 48) 3. Konsumsi sebagai tanggungjawab sosial Menurut ajaran Islam konsumsi yang ditujukan sebagai tanggung jawab sosial adalah kewajiban mengeluarkan zakat. Hal ini dilakukan untuk menjaga stabilitas dan keseimbangan ekonomi. Islam sangat melarang pemupukan harta, yang akan berakibat terhentinya arus peredaran harta, merintangi efisiensi usaha dan pertukaran komoditas produksi dalam perekonomian. 89 Teori Mikroekonomi: Suatu Perbandingan Ekonomi Islam dan Ekonomi Konvensional C. Perilaku Konsumen Non-Muslim Penjelasan mengenai perilaku konsumen yang paling sederhana dapat kita dapati dalam hukum permintaan. Yang menyatakan bahwa “bila harga suatu barang naik maka jumlah yang diminta oleh konsumen akan barang tersebut akan turun, begitu pula sebaliknya. Dengan asumsi ceteris paribus (faktor-faktor lain dianggap konstan)”. Ada dua pendekatan3 (approach) untuk menerangkan mengapa konsumen berperilaku: a. Pendekatan marginal utility, yang bertitik tolak pada anggapan bahwa kepuasaan (utility) setiap konsumen bisa diukur dengan uang atau dengan satuan lain (utility yang bersifat “cardinal”), seperti kita mengukur berat badan. b. Pendekatan indifference curve, yang tidak memerlukan adanya anggapan bahwa kepuasan konsumen bisa dikur; anggapan yang diperlukan adalah bahwa tingkat kepuasaan konsumen bisa dikatakan lebih tinggi atau lebih rendah tanpa mengatakan berapa lebih tinggi atau lebih rendah (utility bersifat “ordinal”). Bagaimanakah perilaku seorang individu non muslim dalam memaksimalkan kepuasaannya atas suatu barang, hal tersebut dalam dilihat dari fungsi utilitas berikut ini4: U = Φ (X1,….,Xn; Y1,…,Ym)……………………….(4.1) Dimana, U = kepuasan rumah tangga dalam mengkonsumsi output dan memiliki persediaan modal pada barang-barang konsumsi tahan lama Xn = jumlah yang dikonsumsi pada periode n Ym = persediaan barang modal fisik atas konsumsi barang tahan lama yang dimiliki oleh rumah tangga. 3 4 Boediono. Ekonomi Mikro Cet. 18 (Yogyakarta: BPFE Yogyakarta, 1996), h. 17 Metwally. Essays on Islamic Economics. (Calcutta: Academic Publisher, 1993), h. 19 90 Teori Mikroekonomi: Suatu Perbandingan Ekonomi Islam dan Ekonomi Konvensional Dari persamaan (4.1) diatas dapat kita lihat bahwa kepuasan konsumen dalam mengkonsumsi suatu output dan memiliki persediaan modal barangbarang konsumsi tahan lama merupakan fungsi dari jumlah yang dikonsumsi pada suatu titik periode dan jumlah persediaan barang modal fisik yang dimiliki oleh konsumen. Konsumen akan memaksimalkan kepuasannya berdasarkan atas keterbatasan anggaran: n m j 1 j 1 ( PjXj ) (riYi) M .................................................(4.2) Dimana M representasi pendapatan konsumen Kondisi optimal dapat diberikan: Kondisi ini menyarankan bahwa output yang dikonsumsi dan memegang stok modal harus dibawa kepada suatu titik dimana rasio kepuasan marjinal dan harga adalah sama atas semua output dan stok modal. U U U U / P1 .... / Pn / r1 .... / rm .....................(4.3) x1 x n y1 y m D. Perilaku Konsumen Muslim Analisis konvensional terhadap perilaku konsumen harus dimodifikasi dalam kaitannya sebagai seorang konsumen muslim. Ada lima alasan atas modifikasi ini5: 1) Fungsi objektif konsumen muslim berbeda dari konsumen yang lain. Konsumen muslim tidak mencapai kepuasan hanya dari mengkonsumsi output dan memegang barang modal saja. Perilaku ekonominya berputar pada pencapaian atas ridha Allah. Untuk seorang muslim sejati harus percaya kepada Al Quran, sehingga kepuasan konsumen muslim tidak hanya fungsi satu-satunya atas barang konsumsi dan komoditi, tetapi juga fungsi dari ridha Allah. Dengan memodifikasi fungsi kepuasan, sehingga didapat untuk konsumen muslim: U = f (X1,…,Xn; Y1,…,Ym; G)………………………(4.4) Dimana G = pengeluaran untuk amal atau untuk di jalan Allah 5 Ibid, h. 20 91 Teori Mikroekonomi: Suatu Perbandingan Ekonomi Islam dan Ekonomi Konvensional 2) Vektor komoditas dari konsumen muslim adalah berbeda daripada konsumen non muslim, meskipun semua elemen dari barang dan jasa tersedia. Karena Islam melarang seorang muslim mengkonsumsi beberapa komoditas. Seorang muslim dilarang mengkonsumsi alkohol, daging babi, dll. Jadi jika konsumen non muslim bisa mengalokasikan anggarannya pada barang X1, X2,…Xn; seorang muslim hanya bisa mengalokasikan anggarannya pada X1, X2,…,Xk. Dimana k < n. (n-k) menggambarkan atas barang dan jasa yang dilarang sehingga harus diperkenalkan modifikasi yang lain dari fungsi kepuasan konvensional yang sesuai dengan syariah Islam. Modifikasi baru itu adalah : U = f (X1,…,Xk; Y1,…,Ym; G)……………………….(4.5) 3) Karena seorang muslim dilarang untuk membayar atau menerima bunga dari pinjaman dalam bentuk apapun. Premi rutin yang dibayar oleh konsumen muslim atas memegang barang tahan lama i tidak mencakup elemen suku bunga. Suku bunga dalam ekonomi Islam digantikan oleh biaya dalam kaitannya dengan profit sharing. Bagaimanapun tidak seperti bunga, biaya ini tidak ditentukan sebelumnya pada tingkat yang tetap atas sebuah resiko. Jadi keterbatasan anggaran dari konsumen muslim adalah: k m j 1 j 1 G ( Pjxj ) liyi M , G 0.................................(4.6) 4) Bagi seorang konsumen muslim, anggaran yang dapat digunakan untuk optimisasi konsumsi adalah pendapatan bersih setelah pembayaran zakat. Jika diasumsikan tingkat zakat setara dengan , dan batasan anggaran konsumen muslim menjadi: k m j 1 i 1 G ( Pjxj ) liyi (1 ) M .............................(4.7) 5) konsumen muslim harus menahan diri dari konsumsi yang berlebihan, yang berarti konsumen muslim tidak harus menghabiskan seluruh pendapatan bersihnya untuk konsumsi barang dan jasa. 92 Teori Mikroekonomi: Suatu Perbandingan Ekonomi Islam dan Ekonomi Konvensional E. Konsep Maslahah Konsumen Muslim Kebutuhan (need) merupakan konsep yang lebih bernilai dari sekedar keinginan (want). Want ditetapkan berdasarkan konsep utility, tetapi need didasarkan atas konsep maslahah. Tujuan syari’ah adalah mensejahterakan manusia (maslahat al ‘ibad). Karenanya semua barang dan jasa yang memberikan maslahah disebut kebutuhan manusia. Teori ekonomi konvensional menggambarkan utility sebagai pemilikan terhadap barang atau jasa untuk memuaskan keinginan manusia. “Kepuasan” bersifat subyektif. Setiap orang menentukan kepuasan berdasarkan kriteria mereka sendiri. Sebagian aktivitas ekonomi dilakukan atau memproduksi sesuatu didorong oleh utilitasnya. Jika segala sesuatu dapat memuaskan keinginannya, manusia akan mau berusaha untuk memenuhi, memproduksi, mengkonsumsi barang-barang tersebut. Maslahah menurut Shatibi, adalah pemilikan atau kekuatan dari barang atau jasa yang memelihara prinsip-prinsip dasar dan tujuan hidup manusia di dunia. Shatibi telah mendeskripsikan lima kebutuhan dasar yang harus dipenuhi bagi eksisnya kehidupan manusia di dunia, yaitu : 1. Kehidupan (life/al nafs) 2. Kekayaan (property/al maal) 3. Keimanan (faith/al diin) 4. Akal (intelect/al ‘aql) 5. Keturunan (posterity/al nasl) Seluruh barang dan jasa yang akan mempertahankan kelima elemen ini disebut maslahah bagi manusia. Seluruh kebutuhan tidak sama pentingnya. Ada tiga tingkatan kebutuhan : 1. Tingkatan dimana kelima elemen di atas mendasar untuk dilindungi (essentials/dharuriyat). 2. Tingkatan dimana kelima elemen tersebut adalah pelengkap yang menguatkan perlindungan mereka (complementeries/hajjiyat). 3. Tingkatan dimana kelima elemen tersebut merupakan kesenangan atau keindahan (amelioratories/tahsiniyyat). 93 Teori Mikroekonomi: Suatu Perbandingan Ekonomi Islam dan Ekonomi Konvensional Seluruh barang dan jasa yang mendorong dan berkualitas dalam memelihara kelima eleman tersebut disebut maslahah. Seorang muslim didorong oleh keberagamaannya memerlukan atau memproduksi seluruh barang dan jasa yang merupakan maslahah bergantung pada barang atau jasa yang cenderung mempertahankan elemen mendasar. Barang atau jasa yang melindungi elemen-elemen ini akan lebih bermaslahat diikuti oleh barang atau jasa yang akan meningkatkan dan barang-barang yang sekedar memperindah kebutuhan dasar. Dalam ekonomi Islam, maslahah lebih obyektif daripada konsep utility untuk menganalisis prilaku pelaku ekonomi. Secara analisis konsep maslahah lebih mudah dimanipulasi daripada konsep utility. Meskipun maslahah tetap bersifat subyektif seperti halnya utility tetapi subyektifitasnya lebih jelas daripada pengertian utility. Berikut ini beberapa keunggulan konsep maslahah6: 1. Mahlahah subyektif dalam arti bahwa justifikasi terbaik terhadap kebutuhan barang/jasa ditentukan berdasarkan kemaslahatan bagi dirinya. Maslahah tidak menafikan subjektifitas seperti halnya utility. Sebagai contoh apakah alokohol memiliki utility atau tidak ditentukan secara berbeda berdasarkan kriteria yang berbeda-beda. Mungkin bagi seorang pecandu alkohol, utility yang dimilikinya sangat tinggi karena bisa membantu menghilangkan permasalahan yang dimiliki atau bisa sebagai teman penghilang dingin. Namun bagi orang yang lain, minuman beralkohol hanya minuman yang dapat menyebabkan kemudharatan. Demikian pula apakah mobil Mercedes merupakan utility ditentukan berdasarkan kriteria yang berbeda-beda, misalnya mobil tersebut memberikan kenyamanan karenanya merupakan utility ataupun mobil tersebut untuk dipamerkan, kebanggaan dan prestise bagi seseorang hal ini juga utility, atau seseorang suka terhadap desain mobil tersebut ini juga merupakan utility ataupun mobil tersebut diproduksi oleh kota asalnya atau kota yang disukainya, hal ini juga merupakan utility dan lain sebagainya. 6 M. Fahim Khan, Theory of Consumer Behavior in An Islamic Perspective dalam Sayid Tahir, et.al (ed). Readings in Microeconomics: An Islamic Perspective, Selangor: Longman Malaysia, 1992, h. 74-75 94 Teori Mikroekonomi: Suatu Perbandingan Ekonomi Islam dan Ekonomi Konvensional Terdapat banyak sekali kriteria yang menjadi dasar bagi seseorang untuk menentukan apakah segala sesuatu itu memiliki utility atau tidak. Hal ini tidak terdapat dalam konsep maslahah, kriteria jelas/pasti bagi setiap orang dan keputusan ditentukan atas dasar kriteria ini. Kekayaan dalam perspektif maslahah berbeda dari konsep utility dapat meningkatkan prediksi dan validitas kebijakan ekonomi karena kriteria yang ada bagi setiap orang dalam membuat keputusan telah diketahui. 2. Maslahah bagi setiap individu selalu konsisten dengan maslahah sosial, berbeda utility pada seseorang sering konflik dengan kepentingan sosial. Hal ini juga karena tidak adanya kriteria yang jelas dalam menentukan utility. Mengajukan lima kebutuhan dasar tersebut di atas adalah hasrat yang dibutuhkan baik oleh individu maupun sosial. Bahkan kepuasan indidvidu pada suatu keinginan (want) tertentu mungkin berbeda dengan kehendak sosial. Sebagai contoh alkohol mungkin bagi sebagian orang memiliki utility karena suka meminumnya tetapi mungkin tidak merupakan utility bagi masyarakatnya. Begitu pula dengan rokok mungkin bagi sebagian orang merupakan utility, namun bagi sebahagian orang yang lain mungkin rokok bukanlah utility baginya justru menjadi salah satu faktor stimulan timbulnya kemudharatan baginya. 3. Konsep maslahah menaungi seluruh aktivitas ekonomi masyarakat, karenanya hal ini adalah tujuan konsumsi sebagaimana dalam produksi dan transaksi; berbeda dari teori konvensional dimana utility adalah tujuan konsumsi dan laba (profit) adalah tujuan produksi. Konsep maslahah juga merupakan tujuan aktivitas ekonomi yang dilakukan oleh individu maupun negara. 4. Sulit membandingkan utility seorang A dengan seorang B dalam mengkonsumsi barang yang sama dan dalam kuantitas yang sama, misalnya apel. Dengan kata lain seberapa banyak kepuasan yang diperoleh A maupun B dari suatu konsumsi tidak dapat dijelaskan. Membandingkan maslahah dalam beberapa hal mungkin dapat dilakukan, bahkan pada tingkatan atau level maslahah yang berbeda. 95 Teori Mikroekonomi: Suatu Perbandingan Ekonomi Islam dan Ekonomi Konvensional Sebagai contoh, seseorang dapat membandingkan situasi dimana seorang A dapat melindungi kehidupannya dengan memakan sebuah apel sementara seorang B memakannya untuk meningkatkan kesehatannya. Dalam hal ini maslahah bagi A lebih tinggi daripada B. Apabila dalam ekonomi konvensional, konsumen diasumsikan selalu bertujuan untuk memperoleh kepuasan (utility), maka dalam ekonomi Islam konsumen bertujuan untuk mencapai suatu mashlahah. Pencapaian mashlahah merupakan tujuan dari syariat Islam (maqashid syariah) yang menjadi tujuan dari kegiatan konsumsi. Maslahah dipergunakan dalam ekonomi Islam, dikarenakan penggunaan asumsi manusia bertujuan untuk mencari kepuasan (utility) maksimum tidak mampu menjelaskan apakah barang yang memuaskan akan selalu identik dengan barang yang memberikan manfaat atau berkah bagi penggunanya. Selain itu batasan seseorang dalam mengkonsumsi hanyalah kemampuan anggaran, tanpa mempertimbangkan aturan dan prinsip syariat. Dalam menjelaskan konsumsi, diasumsikan bahwa seorang konsumen cenderung memilih barang dan jasa yang memberikan maslahah maksimum. Hal ini sesuai dengan prinsip rasionalitas Islam bahwa setiap pelaku ekonomi selalu ingin meningkatkan maslahah yang diperolehnya. Seorang konsumen muslim mempunyai keyakinan bahwasanya kehidupan tidak hanya di dunia semata namun terdapat pula kehidupan di akhirat. Berkaitan dengan perilaku mencari maslahah, seseorang akan selalu: 1. Maslahah yang lebih besar atau lebih tinggi akan lebih disukai daripada yang lebih sedikit. Maslahah yang lebih tinggi jumlah atau tingkatnya lebih disukai daripada maslahah yang lebih rendah jumlah atau tingkatnya atau monotonicity maslahah yang lebih besar akan memberikan kebahagiaan yang lebih tinggi, karenanya lebih disukai daripada maslahah yang lebih kecil 2. Maslahah diupayakan akan terus meningkat sepanjang waktu. Konsep ini sering disebut dengan quasi concavity yaitu situasi maslahah yang menunjukkan pola non-decreasing. 96 Teori Mikroekonomi: Suatu Perbandingan Ekonomi Islam dan Ekonomi Konvensional Dalam menjelaskan konsumsi, diasumsikan bahwa konsumen cenderung untuk memilih barang dan jasa yang memberikan maslahah maksimum. Hal ini sesuai dengan rasionalitas Islami bahwa setiap pelaku ekonomi selalu ingin meningkatkan maslahah yang diperolehnya. Keyakinan bahwa ada kehidupan dan pembalasan yang adil di akhirat serta informasi yang berasal dari Allah adalah sempurna akan memiliki pengaruh yang signifikan terhadap kegiatan konsumsi. Kandungan maslahah terdiri dari manfaat dan berkah. Demikian pula dalam hal perilaku konsumsi, seorang konsumen akan mempertimbangkan manfaat dan berkah yang dihasilkan dari kegiatan konsumsinya. Konsumen merasakan adanya manfaat suatu kegiatan konsumsi ketika ia mendapatkan pemenuhan kebutuhan fisik atau psikis atau material. Di sisi lain, berkah yang diperolehnya ketika ia mengonsumsi barang/jasa yang dihalalkan oleh syariat Islam. Mengonsumsi yang halal saja merupakan kepatuhan kepada Allah, karenanya memperoleh pahala. Pahala inilah yang kemudian dirasakan sebagai berkah dari barang/jasa yang telah dikonsumsi. Sebaliknya, konsumen tidak akan mengonsumsi barang-barang/jasa yang haram karena tidak mendatangkan berkah. Mengonsumsi yang haram akan menimbulkan dosa yang pada akhirnya akan berujung pada siksa Allah. Jadi mengonsumsi yang haram justru memberikan berkah negatif. Formulasi dalam maslahah adalah unsur manfaat dan berkah, atau bisa dituliskan sebagai7: M = F + B …………………………………….(4.8) Dimana: M = mashlahah F = manfaat B = berkah Sementara berkah merupakan interaksi antara manfaat dan pahala, sehingga: B = (F) (P) …………………………………….. (4.9) 7 P3EI UII. Ekonomi Islam. Rajawali Press. 2008, hal. 129 97 Teori Mikroekonomi: Suatu Perbandingan Ekonomi Islam dan Ekonomi Konvensional Dimana P = pahala total Adapun pahala total, P adalah: P = βiρ ………………………………………….. (4.10) Dimana βi adalah frekuensi kegiatan dan ρ adalah pahala per unit kegiatan. Dengan mensubtitusikan persamaan diatas, maka B = F βiρ ………………………………………… (4.11) Selanjutnya dengan melakukan subtitusi maka diperoleh: M ≡ F + F βiρ ……………………………………. (4.12) Persamaan di atas dapat ditulis menjadi: M = F (1 + βiρ) …………………………………… (4.13) Dari formulasi di atas dapat ditunjukkan bahwa ketika pahala suatu kegiatan tidak ada –misalnya ketika mengkonsumsi barang yang haram-, maka maslahah yang diperoleh konsumen adalah hanya sebatas manfaat yang dirasakan di dunia (F). demikian pula sebaliknya, jika suatu kegiatan yang sudah tidak memberikan manfaat (di dunia), maka nilai keberkahannya juga menjadi tidak ada sehingga maslahah dari kegiatan tersebut juga tidak ada. Besarnya berkah yang diperoleh berkaitan langsung dengan frekuensi kegiatan konsumsi yang dilakukan. Semakin tinggi frekuensi kegiatan yang memberikan maslahah maka akan semakin besar pula berkah yang akan diterima olehnya. Karena setiap perbuatan baik kebajikan maupun keburukan sebesar atau sekecil apapun akan mendapatkan balasan yang setimpal ∩∇∪ …çνttƒ #vx© ;六sŒ tΑ$s)÷WÏΒ ö≅yϑ÷ètƒ ⎯tΒuρ ∩∠∪ …çνttƒ #\ø‹yz >六sŒ tΑ$s)÷WÏΒ ö≅yϑ÷ètƒ ⎯yϑsù “Barangsiapa yang mengerjakan kebaikan seberat dzarrahpun, niscaya dia akan melihat (balasan)nya.Dan barangsiapa yang mengerjakan kejahatan sebesar dzarrahpun, niscaya dia akan melihat (balasan)nya pula” (QS Al-Zalzalah; 7-8) Berdasarkan ayat di atas dapat ditafsirkan bahwa maslahah yang diterima akan merupakan suatu perkalian antara pahala dan frekuensi kegiatan tersebut. Demikian pula dalam hal konsumsi, besarnya berkah yang diterima oleh konsumen tergantung frekuensi konsumsinya. Semakin banyak barang/jasa 98 Teori Mikroekonomi: Suatu Perbandingan Ekonomi Islam dan Ekonomi Konvensional yang halal dan thayib yang dikonsumsi, maka akan semakin besar pula berkah yang akan diterima. Selain itu, berkah bagi konsumen ini juga akan berhubungan secara langsung dengan besarnya manfaat dari barang/jasa yang dikonsumsi. Hubungan di sini bersifat interaksional, yakni berkah yang dirasakan besar untuk kegiatan yang menghasilkan manfaat yang besar pula begitu pula sebaliknya. Untuk mengeksplorasi konsep mashlahah konsumen secara detail, maka konsumsi dibedakan menjadi dua, yaitu konsumsi yang ditujuan untuk ibadah dan konsumsi yang ditujukan untuk memenuhi kebutuhan/keinginan manusia semata. Contoh jenis konsumsi yang pertama adalah pembelian barang/jasa untuk diberikan kepada kaum dhuafa ataupun untuk pembangunan masjid sebagai sarana peribadatan umat. Sedangkan konsumsi jenis kedua adalah konsumsi untuk memenuhi kebutuhan dan keinginan manusia sebagaimana konsumsi sehari-hari. Konsumsi ibadah pada dasarnya adalah segala konsumsi atau menggunakan harta di jalan Allah (fi sabilillah). Islam memberikan imbalan terhadap Pembelanjaan pembelanjaan ibadah ini ibadah meliputi dengan belanja untuk pahala yang besar. kepentingan jihad, pembangunan sekolah, rumah sakit, usaha penyelidikan ilmiah dan amal kebaikan lain. Besarnya berkah yang diterima berkaitan dengan besarnya pahala dan maslahah yang ditimbulkan. Èe≅ä. ’Îû Ÿ≅Î/$uΖy™ yìö7y™ ôMtFu;/Ρr& >π¬6ym È≅sVyϑx. «!$# È≅‹Î6y™ ’Îû óΟßγs9≡uθøΒr& tβθà)ÏΖムt⎦⎪Ï%©!$# ã≅sW¨Β ∩⊄∉⊇∪ íΟŠÎ=tæ ììÅ™≡uρ ª!$#uρ 3 â™!$t±o„ ⎯yϑÏ9 ß#Ïè≈ŸÒムª!$#uρ 3 7π¬6ym èπs($ÏiΒ 7's#ç7/Ψß™ “Perumpamaan (nafkah yang dikeluarkan oleh) orang-orang yang menafkahkan hartanya di jalan Allah adalah serupa dengan sebutir benih yang menumbuhkan tujuh bulir, pada tiap-tiap bulir seratus biji. Allah melipat gandakan (ganjaran) bagi siapa yang dia kehendaki. dan Allah Maha luas (karunia-Nya) lagi Maha Mengetahui” (QS AlBaqarah; 261) 99 Teori Mikroekonomi: Suatu Perbandingan Ekonomi Islam dan Ekonomi Konvensional Lalu selanjutnya bagaimanakah maslahah dari kegiatan konsumsi untuk kepentingan duniawi. Ketika kegiatan duniawi diniatkan untuk beribadah, maka di samping kegiatan itu akan memberikan manfaat bahkan juga akan memberikan keberkahan bagi pelakunya. Sebagai contoh diasumsikan kegiatan membeli surat kabar yang dipergunakan untuk kepentingan sendiri dan umum serta dapat dilakukan secara berulang. Di sini, selain adanya berkah yang bisa dirasakan oleh pelaku karena adanya niat baik, juga ada manfaat yang dirasakan oleh mereka yang turut membaca surat kabar tersebut. Kegiatan konsumsi terhadap barang/jasa yang dihalalkan atau mubah bisa berubah menjadi suatu hal yang sunnah ketika ditujukan untuk hal yang benar sehingga dapat dinilai sebagai ibadah dan mendapatkan berkah. Namun sebaliknya, jika kegiatan ini tidak diniatkan secara benar dan menimbulkan kerugian (pada diri maupun pihak lain, maka perbuatan ini tidak bisa dinilai sebagai ibadah. Ajaran Islam tidak melarang manusia untuk memenuhi kebutuhan ataupun keinginannya, selama dengan pemenuhan tersebut maka martaba manusia bisa meningkat, namun manusia diperintahkan untuk mengonsumsi barang/jasa yang halal dan baik saja secara wajar serta tidak berlebihan. Pemenuhan kebutuhan ataupun keinginan dibolehkan selama hal itu mampu menambah maslahah ataupun tidak mendatangkan kemudharatan. Maslahah yang diperoleh konsumen ketika membeli barang dapat berbentuk satu diantara hal berikut ini8: 1. Manfaat material, yaitu berupa diperolehnya tambahan harta/kekayaan bagi konsumen sebagai akibat pembelian suatu barang/jasa. Manfaat material ini bisa berbentuk murahnya harga, murahnya biaya transportasi, dan semacamnya. 2. Manfaat fisik dan psikis, yaitu berupa terpenuhinya kebutuhan fisik atau psikis manusia, seperti rasa lapar, haus, kedinginan, kesehatan, keamanan, kenyamanan, harga diri, dan sebagainya. 8 P3EI UII, Ekonomi Islam, 2008, h. 143-144 100 Teori Mikroekonomi: Suatu Perbandingan Ekonomi Islam dan Ekonomi Konvensional 3. Manfaat intelektual, yaitu berupa terpenuhinya kebutuhan akal manusia ketika ia membeli suatu barang/jasa 4. Manfaat terhadap lingkungan (intra generation), yaitu berupa adanya eksternalitas positif dari pembelian suatu barang/jasa atau manfaat yang bisa dirasakan oleh selain pembeli pada generasi yang sama 5. Manfaat jangka panjang, yaitu terpenuhinya kebutuhan duniawi jangka panjang atau terjaganya generasi masa mendatang terhadap kerugian akibat dari tidak membeli suatu barang/jasa. Selain itu, kegiatan konsumsi terhadap barang/jasa yang halal dan bermanfaat serta membawa kebajikan (thayib) akan memberikan berkah bagi konsumen. Berkah ini akan hadir jika seluruh hal berikut ini dilakukan dalam aktivitas konsumsinya9: 1. Barang/jasa yang dikonsumsi bukan merupakan barang haram. Barang/jasa yang diharamkan oleh Islam tidaklah banyak, yaitu babi, darah, bangkai, binatang yang dibunuh atas nama selain Allah, perjudian, riba, zina, dan barang-barang yang najis atau merusak 2. Tidak melakukan konsumsi yang berlebih-lebihan di luar kemampuan dan kebutuhan dirinya 3. Aktivitas konsumsi yang dilakukan diniatkan untuk mendapatkan ridha Allah SWT Hukum mengenai penurunan utilitas marginal tidak selamanya berlaku pada maslahah. Maslahah dalam konsumsi tidak seluruhnya secara langsung dapat dirasakan, terutama maslahah akhirat atau berkah. Adapun maslahah dunia manfaatnya sudah bisa dirasakan setelah konsumsi dilakukan. Keberkahan dengan meningkatnya frekuensi kegiatan maka tidak akan pernah terjadi penurunan berkah karena pahala yang diberikan atas ibadah tidak pernah menurun. Sedangkan maslahah dunia akan meningkat dengan meningkatnya frekuensi kegiatan, namun pada level tertentu akan mengalami penurunan. Hal ini dikarenakan tingkat kebutuhan manusia di dunia adalah terbatas sehingga ketika terjadi konsumsi yang berlebihan akan terjadi penurunan maslahah dunia 9 Ibid, h. 144-145 101 Teori Mikroekonomi: Suatu Perbandingan Ekonomi Islam dan Ekonomi Konvensional F. Kesimpulan Teori perilaku konsumen dalam sistem kapitalis sudah melampaui dua tahap. Tahap pertama berkaitan dengan teori marginalis, yang berdasarkan teori tersebut pemanfaatan konsumen secara tegas dapat diukur dalam satuan-satuan pokok. Tahap kedua yang lebih modern mengatur kemungkinan diukurnya dan kardinalitas pemanfaatan itu. Dalam Islam terdapat beberapa etika yang harus ditaati oleh setiap konsumen muslim dalam aktivitas konsumsinya agar aktivitas konsumsi yang dilakukan tidak merugikan pihak lain: (1) Tauhid; (2) Memenuhi prinsip keadilan; (3) Free will (kehendak bebas); (4) Amanah (aspek pertanggungjawaban); (5) halal; (6) sederhana. Perilaku konsumen muslim berbeda dengan perilaku konsumen non muslim, karena: (1) Fungsi objektif konsumen muslim berbeda dari konsumen yang lain, karena konsumen muslim dalam konsumsinya juga mengharapkan ridha Allah SWT, sehingga akan terdapat unsur pengeluaran di jalan Allah dalam fungsi konsumsinya; (2) Vektor komoditas dari konsumen muslim adalah berbeda daripada konsumen non muslim, meskipun semua elemen dari barang dan jasa tersedia. Karena Islam melarang seorang muslim mengkonsumsi beberapa komoditas; (3) seorang muslim dilarang untuk membayar atau menerima bunga dari pinjaman dalam bentuk apapun; (4) Bagi seorang konsumen muslim, anggaran yang dapat digunakan untuk optimisasi konsumsi adalah pendapatan bersih setelah pembayaran zakat; (5) konsumen muslim harus menahan diri dari konsumsi yang berlebihan. Dalam menjelaskan konsumsi, diasumsikan bahwa seorang konsumen cenderung memilih barang dan jasa yang memberikan maslahah maksimum. Hal ini sesuai dengan prinsip rasionalitas Islam bahwa setiap pelaku ekonomi selalu ingin meningkatkan maslahah yang diperolehnya. Seorang konsumen muslim mempunyai keyakinan bahwasanya kehidupan tidak hanya di dunia semata namun terdapat pula kehidupan di akhirat. 102 Teori Mikroekonomi: Suatu Perbandingan Ekonomi Islam dan Ekonomi Konvensional Keywords Adil Amanah Berkah Free Will Halal Israf Maslahah Perilaku konsumen Sederhana tabzir Tauhid 103