Uploaded by Rika Revina

Macam macam indikator Redoks

advertisement
INDIKATOR REDUKSI-OKSIDASI (REDOKS)
A.
Pengertian
Indikator Redoks adalah indikator yang berubah warnanya karena terjadi reaksi reduksi-oksidasi
(redoks). Disini indikator memperlihatkan warna teroksidasi dan warna tereduksi. Dalam titrasi redoks
ada
3
jenis
indikator
:
a.
Indikator
Redoks
Reversibel
Indikator oksidasi - reduksi yang sebenarnya yang tidak tergantung dari salah satu zat, tetapi hanya
pada perubahan potensial larutan selama titrasi. Indikator ini dapat dioksidasi dan direduksi secara
reversibel
(bolak-balik).
b.
Indikator
Redoks
Irreversibel
Indikator yang berubah warnanya karena oksidasi dari oksidator dan sifatnya tidak dapat berubah
kembali
seperti
semula.
c.
Indikator
Redoks
Khusus
Indikator khusus yang bereaksi dengan salah satu komponen yang bereaksi, Contoh indikator yang
paling kita kenal ialah Amilum, yang membentuk kompleks biru tua dengan ion triIodida.
Indikator yang sebenarnya jauh lebih luas penerapannya karena hanya tergantung dari perubahan
potensial larutan . Sudah dikemukakan bahwa indikator tersebut sebenarnya juga dapat dioksidasi –
reduksi dan mempunyai warna yang berbeda dalam bentuk tereduksi. Reaksii paruhnya dapat dilihat
secara
umum
sebagai
berikut
:
Oks
in
+
n
e
Red.in
Jika
reaksi
indikator
itu
dapat
bolak
balik,
dapat
kita
tulis
:
0,0591
[
Oks
in
]
E
=
E
o
+
log
n
[
Red
in
]
Jadi
0,0591
E
trayek
perubahan
=
warna
terletak
Eo
antara
nilai
±
–
nilai
:
n
Potensial saat terjadinya perubahan warna tergantung dari potensial standar indikator yang
bersangkutan. Dalam daftar indikator, indikator dicirikan oleh potensial peralihan ( transistion potensial
), yaitu potensialnya apabila konsentrasi Oksin dan Redin sama, masing – masing 50 %.
a.
Indikator
Redoks
Reversibel
Tidak semua indikator redoks dapat dipakai untuk sembarang titrasi redoks. Pemilihan indikator yang
cocok ditentukan oleh kekuatan oksidasi titrat dan titrant, dengan perkataan lain, potensial titik
ekivalen titrasi tersebut. Bila potensial peralihan indikator tergantung dari pH, maka juga harus
diusahakan
agar
pH
tidak
berubah
selama
titrasi
berlangsung.
Untuk titrasi dengan Ce4+ dapat dipakai Ferroin; sedangkan untuk titrasi dengan Cr2O7 = Ferroin
tidak cocok karena potensial perubahan ferroin terlalu tinggi dibandingkan dengan potensial TE. Maka
dipakai difenilamin atau difenilamin sulfonat. Sebenarnya kedua indikator ini kebalikan dari ferroin
dalam arti potensial peralihannya terlalu rendah. Namun dengan asam fosfat 3 M kesulitan ini teratasi
karena potensial TE diturunkan sehingga sesuai untuk penggunaan difenilamin atau garam
sulfonatnya. Penurunan potensial terjadi karena asam fosfat (H3PO4) mengkompleks Fe3+ tetapi
tidak mengkompleks Fe2+, sehingga konsentrasi Fe3+ bebas selalu rendah. Berikut Beberapa
Contoh
–
contoh
Indikator
Redoks
yang
sering
digunakan
:
1.
Kompleks
Fe
(
II
)
–
ortofenentrolin
Suatu golongan senyawa organik yang dikenal dengan nama 1,10 fenantrolin ( Ortofenantrolin ) yang
membentuk kompleks yang stabil dengan Fe ( II ) dan ion-ion lain melalui kedua atom N pada struktur
induknya. Sebuah ion Fe2+ berikatan dengan tiga buah molekul fenantrolin dan membentuk kelat
dengan
struktur.
Kompleks ini terkadang disebut FERROIN dan ditulis (Ph)3Fe2+ agar sederhana. Besi yang terikat
dalam
ferroin
itu
mengalami
oksidasi
reduksi
secara
reversible.
Walaupun kompleks (Ph)3 Fe2+ berwarna biru muda, dalam kenyataannya, warna dalam titrasi
berubah dari hampir tak berwarna menjadi merah. Karena kedua warna berbeda intensitas, maka titik
akhir dianggap tercapai pada saat baru 10 % dari indikator berbentuk (Ph)3Fe2+. Oleh sebab itu maka
potensial
peralihannya kira
– kira 1,11
Volt dalam
larutan
H2SO4 1
M.
Diantara semua indikator redoks, Ferroin paling mendekati bahan yang ideal. Perubahan warnanya
sangat tajam, larutannya mudah dibuat dan sangat stabil. Bentuk teroksidasinya amat tahan terhadap
oksidator kuat. Reaksinya cepat dan reversibel. Diatas 60 oC, Ferroin terurai.
2.
Difenilamin
dan
turunannya
Ditemukan pertama kali dan penggunaannya dianjurkan oleh Knop pada tahun 1924 untuk titrasi Fe2+
dengan
kalium
bikhromat.
Reaksi pertama membentuk difenilbenzidine yang tak berwarna; reaksi ini tidak reversibel. Yang
kedua membentuk violet difenilbenzidine, reversibel dan merupakan reaksi indikator yang
sebenarnya.
Potensial reduksi reaksi kedua kira – kira 0.76 volt. Walaupun ion H+ tampak terlibat, ternyata
perubahan keasaman hanya berpengaruh kecil atas potensial ini, mungkin karena asosiasi ion
tersebut
denga
hasil
yang
berwarna
itu.
Kekurangan difenilamain antara lain ialah indikator ini harus dilarutkan dalam asam sulfat pekat
karena sulit larut dalam air. Hasil oksidasi ini membentuk endapan dengan ion Wolfram sehingga
dalam Analisa , ion tersebut tidak dapat dipakai. Akhirnya ion merkuri memperlambat reaksi indikator
ini.
Derivat difenilamin yaitu Asam Difenilamin Sulfonat, tidak mempunyai kelemahan – kelemahan diatas
:
Garam Barium atau Natrium dari asam ini dapat digunakan untuk membuat larutan indikator dalam
air dan sifatnya serupa dengan induknya. Perubahan warna sedikit lebih tajam, dari tak berwarna ,
melalui hijau menjadi violet. Potensial peralihannya 0.8 volt dan juga tak tergantung dari konsentrasi
asam. Asam sulfonat derivat ini sekarang banyak digunakan dalam titrasi redoks.
b.
Indikator
Redoks
Irreversibel
Indikator ini digunakan pada titrasi Bromatometri. Contoh yang sering digunakan adalah Methyl Red
(MR)
dan
Methyl
Orange
(MO).
Reaksi yang terjadi berupa oksidasi dari indikator MR atau MO menjadi senyawa yang tidak berwarna
oleh
Brom
bebas
(Br2).
Brom
ini
berasal
dari
:
KBrO3
+
HCl
------>
KCl
+
HBr
+
3
O
2
HBr
+
O
------>
H2O
+
Br2
Br2
+
MO
/
MR
------>
Teroksidasi
(Tidak
berwarna)
c.
Indikator
Redoks
Khusus
(Tidak
terpengaruh
Potensial
redoks)
Indikator ini dipakai pada Iodometri dan Iodimetri, indikator yang biasa digunakan adanya Amylum
dan Chloroform. Pemakaian indikator ini tidak terpengaruh oleh naik turunnya bilangan oksidasi atau
potensial larutan, melainkan berdasarkan pembentukan kompleks dengan iodium.
1.
Amylum
Penggunaan Indikator ini berdasarkan pembentukan kompleks Iod-Amylum yang larut dengan Iodium
(I2) yang berwarna biru cerah. Mekanisme pewarnaan biru ini karena terbentuknya suatu senyawa
dala dari amilum dan atom iod. Fraksi Amilosa-amilum mempunyai bentuk helikal dan dengan itu
membentuk celah berbentuk saluran. Dalam saluran itu terdapat suatu rantai iod linear, Warna biru
disebabkan
oleh
ketujuh
elektron
luar
atom
Iod
yang
mudah
bergerak.
I2
+
Amylum
------->
Iod-Amylum
(biru)
Iod-Amylum
+
S2O32------->
Warna
Hilang
Setelah penambahan titrant Tiosulfat maka kompleks ini dipecah dan bila konsentrasi Iod habis maka
warna biru tadi akan hilang. Penambahan indikator amylum sebaiknya menjelang titik akhir titrasi
karena kompleks iod-amilum yang terbentuk sukar dipecah pada titik akhir titrasi sehingga
penggunaan Tiosulfat kelebihan berakibat terjadi kesalahan titrasi. Bila Iod masih banyak sekali
bahkan dapat menguraikan amilum dan hasil penguraian ini mengganggu perubahan warna pada titik
akhir
titrasi.
2.
Chloroform
Penggunaan indikator ini untuk titrasi Iodometri, berdasarkan fungsi Chloroform sebagai pelarut
organik yang melarutkan iodium dalam fase organik (fase nonpolar). Melarutnya Iodium dalam
Chloroform memberi warna violet. Hal ini patut dipahami karena Iodium sukar larut dalam air, larut
hanya sekitar 0,0013 mol perliter pada suhu 25O C. Tetapi sangat mudah larut dalam larutan KI
karena
membentuk
Ion
TriIodida
(I3-)dan
dalam
Chloroform.
Setelah penambahan titrant Tiosulfat maka Iodium akan diubah menjadi Iodida dan bila konsentrasi
iod habis maka warna violet tadi akan hilang.
Download