Uploaded by Aninditya Ps

MAKALAH PENGANTAR HUKUM INDONESIA

advertisement
BAB I
PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang
“Reglemen Indonesia yang Dibaharui” (RID) yang nama aslinya adalah “Herziene
Indonesisch Reglement” (HIR) merupakan salah satu Undang-Undang peninggalan
Hindia-Belanda, yang masih berlaku berkat pasal II aturan Peralihan Undang-Undang
Dasar 1945 dan memuat baik Hukum Acara Pidana maupun Hukum Acara Perdata
dimuka Pengadilan . Hukum Acara Perdata hanya diperuntukkan menjamin ditaatinya
Hukum perdata Materiil dengan perantaraan Hakim. Dengan perkataan lain Hukum
Acara Perdata adalah peraturan hukum yang menentukan bagimana caranya menjamin
pelaksanaan Hukum perdata Materiil. Lebih konkrit lagi dapat dikatakan bahwa
Hukum Acara Perdata adalah mengatur bagaimana caranya mengajkan tuntutan hak,
memeriksa serta memutusnya dan pelaksanaannya dari pada putusannya. Tuntutan hak
dalam hal ini tidak lain adalah tindakan yang bertujuan untuk memperoleh
perlindungan hukum yang diberikan oleh pengadilan untuk mencegah "Eigenrichting"
atau tindakan main hakim sendiri. Tindakan main hakim sendiri merupakan tindakan
untuk melaksanakan hak sesuai keinginan sendiri yang bersifat sewenang-wenang,
tanpa persetujuan dari pihak lain yang berkepentingan, sehingga akan menimbulkan
kerugian. Oleh karena itu tindakan main hakim sendiri atau eigenrichting tidak
diperbolehkan dalam rangka memenuhi atau melaksanakan hak pribadi. Dan mengenai
tindakan main hakim sendiri ada tiga pendapat :

ada yang mengatakan bahwa tindakan main hakin sendiri itu sama sekali tidak
dibenarkan (van Bouneval Faure), dengan alasan bahwa oleh karena hukum
acara
perdata
telah
menyediakan
upaya-upaya
untuk
memperoleh
perlindungan hukum bagi pihak melalui Pengadilan, maka tindakan-tindakan
yang dianggap diluar uapaya-upaya tersebut, atau yang dapat dianggap sebagai
tindakan main hakim sendiri, dilarang.

Menurut pendapat yang kedua adalah eigenrichting pada asasnya dibolehkan
atau dibenarkan, dengan pengertian bahwa melakukannya dianggap sebagai
upaya untuk melawan hukum (Cleveringa).

Pendapat ketiga mengatakan bahwa tindakan main hkim sendiri pada asasnya
tidak dibenarkan akan tetapi apabila peraturan yang tidak cukup memberi
perlindungan, maka tindakan menghakimi sendiri itu secara tidak tidak tertulis
dibenarkan.
1
B.
RIWAYAT LAHIRNYA H.I.R.
Perancang Hukum acara perdata adalah Ketua Mahkamah Agung dan Mahkamah
Agung Tentara pada tahun 1846 di Batavia. Beliau adalah Jhn. Mr. H.L. Wichers,
seorang jurist atau hakim kenamaan pada waktu itu. Pada tanggal 5 Desember beliau
di beri tugas oleh Gubernur Jenderal (Gouverneur Generaal) Jan Jacob Rochussen
untuk merencanakn sebah reglemen tentang administrasi, polisi, acara perdata dan
acara pidana bagai golongan Indonesia. Bagi mereka seelum itu berlaku Staatblad
1819 no. 20 yang emuat 7 pasal perihal hukum acara perdata. Dan hanya dalam
waktu 9 bulan saja, beliau sudah menyelesaikan semua dengan rancangannya ( Tgl. 6
Agustus 1847 ) serta peraturan penjelasannya. Mr. Witchers telah berhasil
mengajukan sebuah rencana paraturan acara perdata sekaligus acara pidana yang
terdiri dari 432 pasal. Pasal terakhir yaitu pasal 432, dyang sekarang kita kenal
sebagai pasal 393 H.I.R., memuata suatu ketentuan (ayat 1), bahwa dalam hal
mengadili perkara bagi golongan Bumiputra di muka pengadilan, tidak boleh dipakai
acara perdata yang melebihi atau laindari pada apa yang tekah ditetapkan degan
reglemen itu sendiri.
1.2. Rumusan Masalah
1.2.1. Apa yang dimaksud dengan hukum acara perdata?
1.2.2. Apa saja sumber hukum acara perdata?
1.2.3. Bagaimana ruang lingkup hukum acara perdata?
1.2.4. Apa saja asas-asas hukum acara perdata?
1.3. Tujuan
Dengan rumusan masalah di atas, tujuan yang ingin dicapai oleh tim
penyusun adalah sebagai berikut:
1.3.1. Memahami definisi dari hukum acara perdata.
1.3.2. Dapat mengetahui sumber hukum acara perdata.
1.3.3. Mengetahui ruang lingkup hukum acara perdata.
1.3.4. Memahami dan mengetahui asas-asas hukum acara perdata
2
BAB II
PEMBAHASAN
2.1. Pengertian Hukum Acara Perdata
Berkaitan dengan pengertian hukum acara perdata, jika kita baca dari
beberapa literatur dapat dikemukaakan pendapat beberapa ahli sebagai berikut:
1. Hukum acara perdata menurut Wirjono Projodikoro adalah rangkaian
peraturan peraturan yang yang memuat cara bagaiman orang harus
bertindak terhadap dan atau dimuka pengadilan dan bagaimana cara
pengadilan itu bertindak, satu sama lain untuk melaksanakan berjalannya
peraturan peratuaran hukum perdata.
2. CST Kansil, Hukum acara perdata adalah peraturan hukum yang mengatur
bagaiman cara memelihara dan mempertahankan hukum perdata materil
atau peraturan yang mengatur bagaiman caranya mengajukan suatu perkara
perdata ke muka pengadilan perdata dan bagaimana cara hakim perdata
memberikan putusan.
Bedasarkan pengertian-pengertian yang dikemukakan di atas serta
dengan bertitik tolak kepada aspek teoristis dalam praktek peradilan, maka
pada asasnya hukum acara perdata adalah;
1. Peraturan hukum yang mengatur dan menyelengarakan bagaimana proses
seseorang mengajukan perkara perdata kepada hakim/ pengadilan.
2. Peraturan hukum yang menjamin, mengatur dan menyelenggarakan
bagaiman proses hakim mengadili perkara perdata.
3. Peraturan hukum yang mengatur proses bagaimana caranya hakim memutus
acara perdata.
4.
Peraturan hukum yang mengatur bagaimana tahap dan proses pelaksanaan
putusan hakim (eksekusi).
2.2.Sumber Hukum Acara Perdata
1. Herziene inlandsch Reglemen ( HIR )
HIR adalah hukum acara perdata yang berlaku untuk daerah puulau
jawa dan madura. Hukum acara perdata dalam HIR dituangkan pasal 115-
3
245 yang termuat dalam BAB IX, serta beberapa pasal yang tersebar antara
pasal 372-394
Pasal 115-117 HIR tidak berlaku lagi berhubung dihapusnya
pengadilan kabupaten oleh UU No.1 darurat (DRT) Tahun 1951, dan
peraturan mengenai banding dalam pasal 188-194 HIR juga tidak berlaku
lagi dengan adanya Undang-undang No.20 Tahun 1947 tentang peradilan
ulangan dijawa dan Madura
2. Rechtsreglement voor de Buitengewesten (RBg.)
RBg. Adalah hukum acara perdata yang berlaku untuk daerahdaerah luar pulau jawa dan Madura. RBg. Terdiri dari 5 BAB dan BAB 723
pasal yang mengatur tentang pengadilan dan umumnya, dan hukum acara
pidananyatidak berlaku lagi dengan adanya Undang-Undang Darurat
Nomor 1 Tahun 1951
Ketentuan Hukum Acara Perdata yang termuat dalam BAB II Title
I,II,III, VI, dan VII tidak berlaku lagi, yang masih berlaku hingga sekarang
adalah Title IV dan V bagi Landraad (sekarang Pengadilan Negeri).
3. Burgerlijk Wetboek (BW)
BW (KUHPerdata), Meskipun sebagai kodifikasi Hukum Perdata
materiil , namun juga memuat Hukum Acara Perdata, Terutama dalam buku
IV tentang pembuktian dan kedaluwarsa (Pasal 1865-Pasaal 1993), selain
itu juga terdapat dalam Pasal buku I , misalnya tentang tempat tinggal dan
domisili ( Pasal 17 -Pasal 20) serta beberapa pasal Buku II dan buku III
(Misalnya pasal 533, 535, 1244, dan 1365).
4. Ordonasi Tahun 1867 Nomor 29
Ordonasi Tahun 1867 Nomor 29 ini memuat ketentuan Hukum
Acara Perdata tentang kekuatan pembuktian tulisan-tulisan di bawah tangan
dari orang-orang Indonesia (bumiputra) atau yang dipersamakan dengan
4
mereka. Pasal-pasal ordonasi ini diambil alih dalam penyusunan
Rechtsreglement voor de Buitengewesten (RGb.)
5. Wetboek van Koophandel (WVK)
Wetboek van Koophandel (Kitab Undang-Undang Dagang),
meskipun juga sebagai kodifikasi Hukum Perdata Materiil, namun di
dalamnya ada beberapa pasal yang memuat ketentuan Hukum Acara Perdata
(misalnya Pasal 7, 8, 9, 22, 23, 32, 255, 258, 272,273, 274, dan 275).
6. Undang-Undang Nomor 37 tahun 2004
Undang-undang Nomor 37 Tahun 2004 adalah Undang Undang
tentang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Hutang yang
memuat ketentuan ketentuan Hukum Acara Perdata Khusus Untuk kasus
Kepailitan.
7. Undang-Undang Nomor 20 tahun 1947
Undang-Undang Nomor 20 tahun 1947 adalah Undang Undang
tentang Peradilan Ulangan di Jawa dan Madura yang berlaku sejak 24 Juni
1947, dengan adanya UNdang Undang ini, peraturan mengenai banding
dalam HIR pasal 188 – 194 tidak berlaku lagi.
8. Undang-Undang Darurat Nomor 1 tahun 1951
Undang – Undang Darurat Nomor 1 Tahun 1951 adalah UndangUndang tentang tindakan-tindakan sementara untuk menyelenggarakan
Kesatuan Susunan, kekuasaan dan Acara Pengadilan-pengadilan Sipil yang
berlaku sejak tanggal 14 Januari 1951.
9. Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2004
Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2004 adalah Undang-undang
tentang kekuasaan kehakiman yang berlaku sejak diundangkan tanggal 15
Janurai 2004. Ketentuan Hukum Acara Perdatanya yang termuat dalam
Pasal 5 ayat (2) dan Pasal 36 ayat (3), selainya juga memuat Hukum Acaraa
5
pada umumnya. Undang-undang ini telah diganti dengan undang-undang
baru yaitu Undang-undang Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan
Kehakiman.
10. Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974
Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 adalah Undang-undang
tentang perkawinan, memuat ketentaun-ketentuan Hukum Acara Perdata
(Khusus)
Untuk
memeriksa,
mengadili,
dan
memutuskan
serta
menyelesaikan perkara-perkara perdata mengenai perkawinan, pencegahan
perkawinan, pembatalan perkawinan, dan perceraian yang terdapat dalam
pasal 4, 5, 6, 7, 9, 17, 18, 25, 28, 38, 39, 40, 55 60, 63, 65, dan 66. Undangundang ini diatur lebih lanjut dalam peraturan pemerintahan Nomor 9 Tahun
1970 tentang pelaksanaan UU No. 1974
11. Undang- Undang 14 Tahun 1985
Undang-Undang 14 Tahun 1985 adalah Undang-Undang tentang
Mahkamah Agung yang mulai berlaku sejak diundangkan tanggal 30
Desember 1985, yang kemudian mengalami perubahan pertama dengan
Undang-Undang Nomor 5 Tahun 2004, kemudian diubah lagi dengan
perubahan kedua dengan Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2009, tetapi
ukum acara perdata yang ada dalam pasal tersebut tidak mengalami
perubahan.
12. Undang-Undang Nomor 2 Tahun 1986
Undang-Undang Nomor 2 Tahun 1986 adalah Undang-Undang
tentang Peradilan Umum, berlaku sejak diundangkan tanggal 8 Maret 1986.
Ketentuan dalam Undang-Undang tersebut mengatur mengenai kedudukan,
susunan , dan kekuasaan pengadilan dalam peradilan umum. Pasal – Pasal
yang memuat peraturan Hukum Acara Perdatanya, antara lain termuat
dalam Pasal 50,51, 60, dan 61. Undang- Undang ini diubah dengan Undangundang Nomor 8 Tahun 2004, tetapi tidak mengenai Hukum Acara Perdata.
6
Undang-Unang ini kemudaian mengalami perubahan kedua dengan
Undang-Undang Nomor 49 Tahun 2009.
13. Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2003
Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2003 adalah Undang-Undang
tentang Advokad yang mulai berlaku sejak diundangkan tanggal 5 April
tahun 2003. Selain Undang-undang diatas dapat juga dijadikan sumber
Hukum Acara Perdata adalah UU No. 2 Tahun 2004 tentang penyelesaian
perselsihan hubungan industry dan UU No. 3 Tahun 2006 tentang Peradilan
Agama.
14. Yurisprudensi
Menurut S.J.F Andreae dalam rechtgeleerdhandwoordwnboek,
Yurisprudensi dapat berarti juga peradilan pada umumnya dan ajaran
hukum yang diciptakan dan dipertahankan oleh peradilan.
15. Peraturan Mahkamah Agung
Peraturan Mahkamah Agung juga merupakan sumber Hukum Acara
Perdata. Dasar Hukum bagi Mahkamah Agung untuk mengeluarkan
Peraturan Mahkamah Agung ini termuat dalam pasal 79 UU No. 14 Tahun
1985.
16. Adat Kebiasaan
Wirjono prodjikoro menyebutkan bahwa kebiasaan yang dianut oleh
para hakim dalam melakukan pemeriksaan perkara perdata sebagai sumber
daripada hukum acara perdata.
Hukum
Acara
Perdata
dimaksudkan
untuk
Menjamin
dilaksanakanya atau ditegakkanya Hukum Perdata Materiil yang berarti
mempertahankan Tata Hukum Perdata maka pada asasnya Hukum Acara
Perdata bersifat mengikat dan memaksa.
7
17. Doktrin
Doktrin adalah ajaran atau pendapat sarjana hukum terkemuka.
Doktrin menjadi sumber hukum dikarenakan adanya penapat umum yang
menyatakan bahwa manusia tidak boleh menyimpang dari Communis
Opinion Doctorum (Pendapat umum para sarjana). Oleh karena itulah
doktrin mempunyai kekuatan mengikat. Tapi doktrin itu sendiri itu bukan
hukum.
18. Instruksi dan Surat Ederan Mahkama Agung
Surat Edaran dan Instruksi yang dikeluarkan oleh Mahkamah Agung
yang dijadikan pedoman dalam beracara oleh para hakim di Pengadilan.
Meskipun dalam ilmu hukum bahwa Instruksi dan Surat Ederan tidak
termasuk dalam salah satu sumber hukum dan tidak pula tercantum dalam
sumber hukum yang ditentukan dalam Pasal 7 UU No. 12 Tahun 2011
tentang Pembentukan Peraturan Perundangan-undangan, akan tetapi dalam
praktik Instruksi dan Surat Ederan Mahkamah Agung dijadikan salah satu
rujukan oleh para hakim.
2.3 .Ruang Lingkup Hukum Acara Perdata
Hukum Acara Perdata merupakan peraturan yang mengatur cara suatu perkara
perdata diajukan ke pengadilan perdata hingga cara hakim memberikan putusan,
sehingga ruang lingkup Hukum Acara Perdata terdiri dari tiga tahap yaitu:
A. Tahap Pendahuluan
Tahap pendahuluan adalah tahap sebelum acara pemeriksaan di persidangan,
yaitu tahap untuk mempersiapkan segala sesuatu guna pemeriksaan perkara di
persidangan pengadilan. Tahapan pendahuluan ini meliputi :
1. Penggugat/pemohon
mengajukan
dan
mendaftarkan
gugatan/permohonan kepada Kepaniteraan Pengadilan Negeri dan
melunasi biaya perkara.
Dalam mengajukan gugatan/permohonan harus mempersiapkan
beberapa hal, antara lain:
a. identitas para pihak (penggugat dan tergugat/pemohon dan
termohon).
8
b. dasar gugatan/permohonan yang menceritakan peristiwa dan
hubungan hukum.
c. Tuntutan/permohonan yang berisi apa yang ingin dituntut/dimohon.
Untuk penggugat/pemohon yang buta huruf ataupun mengalami
disabilitas sehingga tidak dapat mengajukan tuntutan secara tertulis,
maka dapat mengajukan tuntutan secara lisan yang mana akan dibantu
oleh petugas pengadilan dalam menulis gugatan/permohonan.
Beracara atau berperkara memerlukan biaya yang meliputi biaya
kepaniteraan, pemanggilan, pemberitahuan para pihak dan bea materai.
Biaya perkara dibebankan kepada :
a. Pihak Penggugat, karena ia mengajukan gugatan.
b. Jika gugatan dikabulkan, maka biaya perkara dibebankan kepada
pihak yang kalah (tergugat).
c. Jika gugatan ditolak, biaya dibebankan kepada penggugat
(penggugat kalah).
d. Apabila para pihak tidak mampu, maka beracara secara gratis
(prodeo), biaya
dibebankan kepada negara (Pasal 237 HIR atau 273 RBg).
2. Penetapan dan Penunjukan Majelis Hakim Oleh Ketua Pengadilan
Negeri
Setelah proses registrasi diselesaikan oleh penggugat, petugas
pengadilan menyampaikan berkas gugatan/permohonan kepada Ketua
Pengadilan Negeri untuk menetapkan Majelis Hakim yang akan
mengadili perkara tersebut. Majelis Hakim harus terdiri dari tiga orang
hakim atau lebih dengan jumlah ganjil (kecuali undang-undang
menentukan lain). Majelis Hakim dibantu oleh seorang panitera
pengganti.
Petugas pengadilan mencatat penunjukan Majelis Hakim dalam
register perkara. Apabila telah ditunjuk majelis, panitera pengganti serta
juru sita yang akan bertugas, maka petugas pengadilan akan mencatat
penunjukan tersebut dalam kolom register induk.
3. Majelis hakim menetapkan tanggal hari sidang
9
Panitera Muda Perdata menyerahkan berkas perkara yang dilampiri
formulir penetapan hari sidang kepada Ketua Majelis/Hakim yang telah
ditetapkan dan kemudian Hakim/Majelis Hakimakan mempelajari
berkas tersebut.
Penetapan hari sidang pertama, penundaan persidangan beserta
alasan penundaan berdasarkan laporan panitera pengganti setelah
persidangan, harus dicatat dalam buku register perkara. Dalam
menetapkan hari siding, Hakim/Ketua Majelis perlu memperhatikan
jauh/dekatnya tempat tinggal para pihak dengan letaknya tempat
persidangan.
4. Pemanggilan para pihak
Pemanggilan terhadap para pihak untuk menghadiri sidang
dilakukan oleh jurusita/jurusita pengganti di tempat tinggal atau tempat
kediamannya atau tempat kedudukannya. Dalam hal jurusita/jurusita
pengganti tidak bertemu dengan pihak yang dipanggil, maka surat
panggilan dapat disampaikan kepada anggota keluarga yang ada di
tempat itu, namun untuk keabsahannya panggilan itu harus dilakukan
melalui Kepala Desa/Lurah/perangkat desa.
Surat panggilan kepada tergugat untuk sidang pertama harus
menyebutkan
penyerahan
sehelai
salinan
surat
gugatan
dan
pemberitahuan kepada pihak tergugat, bahwa ia boleh mengajukan
jawaban tertulis yang diajukan dalam sidang.
B. Tahap Penentuan
Tahap penentuan adalah tahap mengenai jalannya proses pemeriksaan
perkara di persidangan mulai dari pemeriksaan peristiwa dalam jawab
menjawab, pembuktian peristiwa hingga pengambilan putusan oleh hakim.
Tahapan penentuan meliputi :
1. Putusan Gugur atau Putusan Verstek
Putusan gugur terjadi apabila pada hari sidang pertama penggugat
atau semua penggugat tidak datang, meskipun telah dipanggil dengan patut
dan juga tidak mengirim kuasanya yang sah, sedangkan tergugat atau
kuasanya yang sah datang, maka gugatan digugur kan dan penggugat
10
dihukum untuk membayar biaya perkara. Penggugat dapat mengajukan
gugatan tersebut sekali lagi dengan membayar panjar biaya perkara lagi.
Apabila telah dilakukan sita jaminan, sita tersebut ikut gugur.
Jika penggugat pada hari sidang pertama tidak datang, meskipun ia
telah dipanggil dengan patut, tetapi pada hari kedua ia datang dan pada hari
ketiga penggugat tidak hadir lagi, perkara nya tidak bisa digugurkan (pasal
124 HIR).
Putusan verstek terjadi apabila pada hari sidang pertama dan pada
hari sidang kedua tergugat atau semua tergugat tidak datang padahal telah
dipanggil dengan patut dan juga tidak mengirim kuasanya yang sah,
sedangkan penggugat/para penggugat selalu datang, maka perkara akan
diputus verstek. Meskipun tergugat tidak hadir pada hari sidang pertama
atau tidak mengirim kuasanya yang sah, tetapi jika ia mengajukan jawaban
tertulis berupa tangkisan tentang tidak berwenang mengadili, maka perkara
tidak diputus dengan verstek.
2. Proses Mediasi
Pada hari pertama siding, jika para pihak hadir maka Majelis Hakim
wajib mengupayakan perdamaian kepada para pihak melalui proses
mediasi. Para pihak kemudian dapat memilih mediator hakim atau non
hakim yang telah memiliki sertifikat sebagai mediator dalam kurun waktu
telah ditentukan. Jika dalam kurun waktu yang telah ditentukan tersebut
para belum memilih mediator maka akan ditentukan mediator dari para
hakim.
Setelah penunjukan mediator, para pihak wajib menyerahkan
fotokopi dokumen yang memuat duduk perkara, fotokopi surat-surat yang
diperlukan dan hal-hal lain yang terkait dengan sengketa kepada mediator
dan para pihak dan mediator wajib menentukan jadwal pertemuan untuk
penyelesaian proses mediasi.
Dalam melakukan mediasi, pemanggilan saksi ahli dapat dilakukan
atas persetujuan para pihak, dimana semua biaya jasa ahli itu ditanggung
oleh para pihak berdasarkan kesepakatan. Mediator juga dapat melakukan
11
kaukus atau pertemuan antara mediator dengan salah satu pihak tanpa
kehadiran pihak lainnya.
Jangka waktu dalam proses mediasi di dalam pengadilan paling lama
adalah 40 hari kerja, dan dapat diperpanjang lagi paling lama 14 hari kerja.
Jika mediasi menghasilkan kesepakatan, maka para pihak wajib
merumuskan secara tertulis kesepakatan yang dicapai dan ditandatangani
kedua pihak, dimana hakim dapat mengukuhkannya sebagai sebuah akta
perdamaian. Sebaliknya, jika tidak tercapai suatu kesepakatan maka
persidangan
dilanjutkan
dengan
pembacaan
surat
gugatan
oleh
penggugat/kuasanya.
3. Jawaban, rekonvensi, eksepsi
Jawaban
Pasal 121 ayat (2) HIR jo. Pasal 145 ayat (2) RBg menentukan
bahwa pihak tergugat dapat menjawab gugatan penggugat baik secara
tertulis maupun lisan. Jawaban yang diajukan tergugat dapat dijawab
kembali oleh penggugat, yang disebut replik. Kemudian replik ini dapat
dijawab kembali oleh pihak tergugat, yang disebut duplik.
Jawaban tergugat dapat terdiri dari 2 macam, yaitu:
a. Jawaban yang tidak langsung mengenai pokok perkara, yang disebut
dengan tangkisan atau eksepsi.
b. Jawaban yang langsung mengenai pokok perkara
(verweer
ten
principale). Jawaban mengenai pokok perkara dapat dibagi lagi atas
dua kategori, yaitu:
1) Jawaban tergugat berupa pengakuan
Pengakuan berarti membenarkan isi gugatan penggugat, baik
sebagian maupuan seluruhnya. Pengakuan merupakan jawaban
yang membenarkan isi gugatan.
2) Jawaban tergugat berupa bantahan
Tergugat dapat membantah tuntutan penggugat, oleh karena itu
pihak penggugat harus membuktikan bahwa tuntutannya benar
karena pada dasarnya bantahan tersebut bertujuan agar gugatan
penggugat ditolak.
12
Rekonvensi
Rekonvensi adalah gugatan yang diajukan tergugat sebagai gugat
balasan (gugat balik) terhadap gugatan yang diajukan penggugat
kepadanya (Pasal 132a ayat (1) HIR). Pada dasarnya gugatan rekonvensi
harus diajukan bersama-sama dengan jawaban tergugat (Pasal 132b HIR jo
158 RBg).
Komposisi para pihak dihubungkan dengan Gugatan Rekonvensi
a. Komposisi Gugatan
Gugatan Penggugat disebut gugatan konvensi (gugatan asal),
sedangkan gugatan tergugat disebut gugatan rekonvensi
(gugatan balik)
b. Komposisi para Pihak
Penggugat asal sebagai Penggugat Konvensi pada saat yang
bersamaan berkedudukan menjadi Tergugat Rekonvensi.
Sedangkan Tergugat Asal
sebagai
Penggugat
Rekonvensi pada saat yang bersamaan berkedudukan sebagai
Tergugat Konvensi.
Baik gugatan konvensi (gugat asal) maupun gugatan rekonvensi
(gugat balasan) pada umumnya diperiksa bersama-sama dan diputus dalam
satu putusan hakim. Pertimbangan hukumnya memuat dua hal, yaitu
pertimbangan hukum dalam konvensi dan pertimbangan hukum dalam
rekonvensi.
Eksepsi
Eksepsi merupakan suatu tangkisan atau bantahan dari pihak
tergugat terhadap gugatan penggugat yang tidak langsung menyentuh
pokok perkara. Eksepsi ditujukan kepada hal-hal yang menyangkut syaratsyarat atau formalitas gugatan yaitu jika gugatan yang diajukan
mengandung cacat atau pelanggaran formil yang mengakibatkan gugatan
tidak sah yang karenanya gugatan tidak dapat diterima. Tujuan pokok
pengajuan eksepsi yaitu agar pengadilan mengakhiri proses pemeriksaan
tanpa lebih lanjut memeriksa materi pokok perkara. Pengakhiran yang
13
diminta melalui eksepsi bertujuan agar pengadilan menyatakan gugatan
tidak dapat diterima.
Berdasarkan dari Ilmu Hukum, eksepsi terbagi menjadi tiga jenis
yaitu:
1. Eksepsi Prosesual (Processuele Exceptie)
Eksepsi Prosesual adalah jenis eksepsi yang berkenaan dengan
syarat formil gugatan.
Eksepsi Prosesual dibagi dua bagian, yaitu:
1. Eksepsi Yang Menyangkut Kompetensi Absolut
Eksepsi yang menyatakan bahwa Pengadilan Negeri yang
sedang melakukan pemeriksaan perkara tersebut dinilai tidak
berwenang untuk mengadili perkara tersebut, karena
persoalan yang menjadi dasar gugatan tidak termasuk
wewenang pengadilan negeri tersebut melainkan wewenang
badan peradilan lain, misalnya PTUN atau Pengadilan
Agama. Eksepsi ini dapat diajukan setiap waktu selama
pemeriksaan perkara berlangsung, bahkan hakim pun wajib
pula mengakuinya karena jabatannya (Ps. 134 HIR).
2. Eksepsi Yang Menyangkut Kompetensi Relatif
Eksepsi yang menyatakan bahwa suatu pengadilan negeri
tertentu tidak berwenang untuk mengadili perkara tersebut,
karena tempat kedudukan atau obyek sengketa tidak berada
dalam wilayah hukum Pengadilan Negeri yang sedang
memeriksa atau mengadili perkara tersebut.
Eksepsi ini tidak diperkenankan diajukan setiap waktu,
melainkan harus diajukan pada permulaan sidang, yaitu
sebelum diajukan jawab menyangkut pokok perkara.
Putusan dituangkan dalam bentuk a) Putusan sela
(interlocutoir), apabila eksepsi ditolak; atau b) Putusan akhir,
apabila eksepsi dikabulkan.
2. Eksepsi Prosesual di Luar Eksepsi
14
Kompetensi
Eksepsi prosesual di luar eksepsi kompetensi terdiri dari
berbagai bentuk atau jenis seperti:
1) Eksepsi Surat Kuasa Khusus Tidak sah
2) Eksepsi Error in Persona
Tergugat dapat mengajukan eksepsi ini, apabila
gugatan mengandung cacat error in persona.
3) Eksepsi Res Judicata atau Ne Bis In Idem
Eksepsi terhadap perkara yang sama yang telah
pernah diputus hakim dan putusannya telah memiliki
kekuatan hukum tetap.
4) Eksepsi Obscuur Libel
Yang dimaksud dengan obscuur libel, surat gugatan
penggugat
kabur atau tidak terang (onduidelijk).
3. Eksepsi Hukum Materiil (Materiele Exceptie)
Eksepsi materiil dibagi menjadi tiga jenis yaitu :
1) Eksepsi dilatoir (dilatoria exceptie)
Eksepsi yang menyatakan bahwa gugatan penggugat
belum dapat dikabulkan, dengan kata lain gugatan penggugat
belum dapat
diterima untuk diperiksa sengketanya di
pengadilan karena masih premature (terlampau dini).
2) Eksepsi peremptoir (exceptio peremptoria)Eksepsi yang
menghalangi dikabulkannya gugatan,
misalnya oleh
karena gugatan telah diajukan lampau waktu (Kadaluwarsa)
atau bahwa utang yang menjadi dasar gugatan telah
dihapuskan. Cara Pengajuannya eksepsi peremptoir diajukan
bersama-sama dengan jawaban mengenai pokok perkara.
Kemudian eksepsi ini diperiksa dan diputus bersama-sama
dengan pokok perkara. Oleh karena itu, putusannya tidak
berbentuk putusan sela, tetapi langsung sebagai satu kesatuan
dengan putusan pokok perkara dalam putusan akhir.
4. Perubahan/penambahan gugatan
15
Pembahan dan/atau penambahan gugatan diperbolehkan, asal
diajukan pada hari sidang pertama di mana para pihak hadir, tetapi hal ini
harus ditanyakan pada pihak lawan untuk pembelaan kepentingannya.
Penambahan dan/atau penambahan gugatan tidak boleh mengubah
dasar pokok gugatan menjadi lain dari materi yang menjadi sebab perkara
antara kedua belah pihak tersebut. Dalam hal demikian, maka surat gugat
harus dicabut.
5. Pembuktian
Pembuktian adalah penyajian alat-alat bukti yang sah menurut
hukum kepada hakim yang memeriksa suatu perkara guna memberikan
kepastian tentang kebenaran. Pembuktian diperlukan dalam suatu perkara
yang mengadili suatu sengketa di muka pengadilan maupun dalam
perkara-perkara permohonan yang menghasilkan suatu penetapan.
Pasal 283 RBg/163 HIR menyatakan :
“Barangsiapa mengatakan mempunyai suatu hak atau mengemukakan
suatu perbuatan untuk meneguhkan haknya itu, atau untuk membantah
hak orang lain, haruslah membuktikan adanya perbuatan itu.”
Tidak semua dalil yang menjadi dasar gugatan harus dibuktikan
kebenarannya, sebab dalil-dalil yang tidak disangkal, apalagi diakui
sepenuhnya oleh pihak lawan tidak perlu dibuktikan lagi. Dalam hal
pembuktian tidak selalu pihak penggugat saja yang harus membuktikan
dalilnya. Hakim yang memeriksa perkara tersebut yang akan menentukan
siapa diantara pihak-pihak yang berperkara yang diwajibkan memberikan
bukti, apakah pihak penggugat atau pihak tergugat. Dengan perkataan lain
hakim sendiri yang menentukan pihak yang mana akan memikul beban
pembuktian.
Dalam melakukan pembuktian seperti yang telah disebutkan di atas,
para pihak yang berperkara dan hakim yang memimpin pemeriksaan
perkara di persidangan harus mengindahkan ketentuan-ketentuan dalam
hukum pembuktian yang mengatur tentang cara pembuktian, beban
pembuktian, macam-macam alat bukti serta kekuatan alat-alat bukti
16
tersebut, dan sebagainya. Dengan melakukan pembuktian tersebut, maka
hakim mengharapkan untuk dapat mencapai kebenaran formil, yaitu
kebenaran yang hanya didasarkan pada formalitas-formalitas hukum.
6. Pengambilan putusan oleh hakim
Hakim tidak dibenarkan mengambil putusan tanpa pembuktian
karena putusan hakim atas gugatan harus berdasarkan pembuktian yang
bersumber dari fakta-fakta yang diajukan para pihak dalam proses
persidangan.
Selain fakta harus diajukan dan ditemukan dalam proses
persidangan, fakta yang bernilai sebagai pembuktian, hanya terbatas pada
fakta yang konkret dan relevan yaitu jelas dan nyata membuktikan suatu
keadaan atau peristiwa yang berkaitan langsung dengan perkara yang
disengketakan. Dengan kata lain, alat bukti yang dapat diajukan hanyalah
yang mengandung fakta-fakta konkret dan relevan atau bersifat prima
facie, yaitu membuktikan suatu keadaan atau peristiwa yang langsung
berkaitan erat dengan perkara yang sedang diperiksa. Sedangkan fakta
yang abstrak dalam hukum pembuktian dikategorikan sebagai hal yang
semu, oleh karena itu tidak bernilai sebagai alat bukti untuk membuktikan
sesuatu kebenaran.
Dalam pengambilan putusan, hakim melakukan tahapan sebagai
berikut :
a. Mengkonstantasi peristiwa (menetapkan atau merumuskan
peristiwa konkret dengan jalan membuktikan peristiwanya).
b. Mengkualifikasi peristiwa konkret (menetapkan peristiwa
hukumnya dari peristiwa yang terbukti).
c. Mengkonstitusi
hukumnya
(menetapkan
hukum
atau
memberikan keadilan dalam suatu putusan seperti gugatan
diterima, gugatan ditolak atau gugatan tidak dapat diterima).
C. Tahap Pelaksanaan
Tahapan untuk merealisasikan putusan hakim yang sudah berkekuatan hukum
tetap (in kracht van gewijsde) sampai selesai. Bagian tahap ini meliputi :
a. Aanmening
17
Aanmaning adalah peringatan terhadap tergugat, agar melaksanakan
putusan pengadilan dalam perkara perdata yang sudah mempunyai
kekuatan hukum tetap, dengan sukarela atau kemauan sendiri, dalam tempo
selama-lamanya 8 hari. Menurut Pasal 196 HIR/207 RBg, peringatan
dilakukan oleh ketua pengadilan negeri, setelah ada permohonan eksekusi
dari pihak penggugat, agar putusan yang mempunyai kekuatan hukum
tetap dilaksanakan secara paksa. Peringatan (teguran) dilakukan karena
tergugat tidak mau melaksanakan putusan dengan sukarela atau kemauan
sendiri, padahal putusan sudah diberitahukan kepadanya.
b. Sita eksekutorial
Sita eksekusi adalah sita yang berhubungan dengan masalah
pelaksanaan suatu putusan karena pihak tergugat tidak mau
melaksanakan putusan yang telah berkekuatan hukum tetap tersebut
secara sukarela meskipun Pengadilan telah memperingatkan agar
putusan tersebut dilaksanakan secara sukarela sebagaimana mestinya.
Sita eksekusi ini biasa dilakukan terhadap putusan yang mengharuskan
penggugat membayar sejumlah uang, sedangkan tentang tata cara dan
syarat-syarat sita eksekusi ini diatur dalam pasal 197 HIR atau pasal208
R.Bg.
Sekiranya sudah diletakkan sita jaminan, tidak diperlukan lagi Sita
Eksekusi karena sita jaminan menurut asasnya otomatis beralih
menjadi sita eksekusi pada saat perkara yang bersangkutan mempunyai
putusan yang berkekuatan hukum tetap. Ada dua macam sita eksekusi
:
a. Sita Eksekusi Langsung; yakni sita eksekusi yang langsung
diletakkan atas barang bergerak dan barang tidak bergerak milik
debitur atau pihak yang kalah.
b. Sita Eksekusi yang Tidak Langsung; adalah sita eksekusi yang
berasal dari sita jaminan yang telah dinyatakan sah dan berharga
dan dalam rangka eksekusi otomatis berubah menjadi sita eksekusi.
c. Pelaksanaan putusan
1) Sukarela
18
Pelaksanaan suatu putusan oleh tergugat untuk melaksanakan
putusan yang telah berkekuatan hukum tetap tersebut secara sukarela
tanpa perlu dilakukan pemaksaan oleh Pengadilan.
2) Paksa (eksekusi)
Pelaksanaan suatu putusan dengan paksaan karena pihak tergugat
tidak mau melaksanakan putusan yang telah berkekuatan hukum tetap
tersebut secara sukarela.
2.4Asas-asas Hukum Acara Perdata
1. Hakim Bersifat Menunggu
Hakim hanya menunggu datangnya tuntutan hak yang diajukan kepadanya. Akan
adanya proses atau tidak terhadap tuntutan diserahkan kepada pihak-pihak yang
berkepentingan.
2. Hakim Bersifat Pasif
Hakim tidak menentukan luas pokok sengketa yang diajukan kepadanya, yang
menentukan adalah para pihak sendiri. Hakim dilarang menjatuhkan putusan atas
perkara yang tidak dituntut atau mengabulkan lebih daripada yang dituntut (Pasal
178 ayat 2,3 HIR/189 ayat 2, dan 3 RBg).
3. Sidang Pengadilan Terbuka untuk Umum
Sidang pemeriksaan pengadilan adalah terbuka untuk umum, kecuali apabila
undang-undang menentukan lain (Pasal 13 ayat 1 Undang-Undang Nomor 48
Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman). Sidang pengadilan dapat dihadiri,
didengar, dan dilihat oeh siapapun kecuali oleh orang-orang yang memang dilarang
oleh undang-undang. Beberapa persidangan yang dilakukan secara tertutup antara
lain: kasus perceraian, perzinahan, perkara yang berkaitan dengan ketertiban umum
dan rahasia negara, serta pemeriksaan anak di bawah umur. Putusan hakim menjadi
batal demi hukum bila asas ini tidak terpenuhi (Pasal 13 ayat 3 Undang-Undang
Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman). Tujuan asas ini adalah agar
pelaksanaan peradilan berjalan adil, tidak memihak, dan obyektif serta melindungi
HAM dalam bidang peradilan sesuai peraturan yang berlaku.
4. Mendengar Kedua Belah Pihak
Para pihak yang berperkara harus diperlakukan sama, adil dan tidak memihak untuk
membela dan melindungi kepentingan yang bersangkutan (Pasal 4 ayat 1 Undang-
19
Undang Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman). Hakim tidak boleh
menerima keterangan dari salah satu pihak sebagai sesuatu yang benar tanpa
mendengar keterangan pihak lain. Demikian juga pengajuan alat bukti harus
dilakukan di muka sidang yang dengan dihadiri kedua belah pihak (Pasal 121, 132
HIR/ 145, 157 RBg).
5. Putusan Hakim Harus Disertai Alasan
Semua putusan pengadilan harus disertai alasan-alasan yang dijadikan dasar untuk
mengadili (Pasal 50 ayat 1 Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 tentang
Kekuasaan Kehakiman). Asas ini bertujuan agar tidak ada perbuatan sewenangwenang dari hakim. Putusan yang tidak lengkap atau kurang cukup
dipertimbangkan (onvoeldoende gemotiverd) merupakan alasan untuk mengajukan
kasasi dan putusan tersebut harus dibatalkan.
6. Beracara Dikenakan Biaya
Beracara perdata di muka pengadilan dikenakan biaya (Pasal 4 ayat 2 UndangUndang Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman). Biaya hanya bisa
didaftarkan setelah didaftarkan penjar biaya perkara oleh yang berkepentingan.
Biaya perkara meliputi: Biaya kepaniteraan, pemanggilan dan pemberitahuan
kepada para pihak, biaya materai serta biaya untuk pengara jika menggunakannya
dan ahli bahasa. Bagi orang yang tidak mampu (predeo) biaya perkara akan
ditanggung oleh negara dengan syarat menyertakan surat keterangan tidak mampu
yang dibuat Kepala Polisi atau Camat setempat (Pasal 57 ayat 1 Undang-Undang
Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman).
7. Tidak Ada Keharusan untuk Mewakilkan
Tidak ada keharusan bagi para pihak ntuk mewakilakn pengurusan perkara mereka
pada kuasa yang ahli hukum. Namun bila menghendaki boleh mewakilakn atau
menguasakan pada orang lain untuk beracara di muka pengadilan sebagai kuasa
hukumnya (Pasal 123 HIR/147 RBg). Wewenang untuk mengajukan gugatan
secara lisan tidak berlaku bagu kuasa. Terjadinya perwakilan, antara lain:
a. Ketentuan undang-undang, misal untuk anak di bawah umur oleh orang tua
atau wali.
b. Perjanjian Kuasa Khusus, untuk perwakilan yang dilakukan oleh pengacara
atau penasihat hukum.
20
c. Tanpa surat kuasa khusus, untuk acara gugatan perwakilan kelompok oleh
satu atau beberapa orang dari kelompoknya.
8. Peradilan Dilakukan “Demi Keadilan Berdasarkan Ketuhanan Yang Maha
Esa”
Hakim tidak hanya bertanggung jawab kepada hukum, diri sendri dan kepada
masyarakat, tapi juga kepada Tuhan Yang Maha Esa. Tiap putusan pengadilan
harus mencantukan klausa “Demi Keadilan Berdasarkan Ketuhanan Yang Maha
Esa” agar putusan tersebut mempunyai kekuatan eksekutorial, yaitu kekuatan untuk
melakasakan putusan secar paksa, apabila pihak yang dikalahkan tidak mau
melaksanakan putusan dengan sukarela.
9. Peradilan Dilakukan dengan Sederhana, Cepat, dan Biaya Ringan
Sederhana berarti mudah dipahami dan tidak berbelit-belit. Cepat berarti proses
peradilan berjalan cepat dan tidak berlarut-larut. Biaya ringan berarti biaya
serendah mungkin, sehingga dapat terjangkau oleh semua kalangan masyarakt
Biaya perkara yang tinggi membuat orang engga beracara di pengadilan.
21
BAB III
PENUTUP
3.1. Kesimpulan
Hukum Acara Perdata merupakan hukum formil yang menjalankan hukum
materiel (hukum perdata). Sumber dari hukum acara perdata terdapat 18 sumber.
Ruang lingkupnya terdiri tari 3 tahapan dan asas-asas hukum acara perdata ada 9
asas.
22
DAFTAR PUSTAKA
Bakri, Muhammad. 2016. Pengantar Hukum Indonesia Jilid 2. Malang: UB Press.
Asikin, Zainal. 2013. Hukum Acara Perdata Di Indonesia. Jakarta: Prenadamedia Group.
23
Download