BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang “Reglemen Indonesia yang Dibaharui” (RID) yang nama aslinya adalah “Herziene Indonesisch Reglement” (HIR) merupakan salah satu Undang-Undang peninggalan Hindia-Belanda, yang masih berlaku berkat pasal II aturan Peralihan Undang-Undang Dasar 1945 dan memuat baik Hukum Acara Pidana maupun Hukum Acara Perdata dimuka Pengadilan . Hukum Acara Perdata hanya diperuntukkan menjamin ditaatinya Hukum perdata Materiil dengan perantaraan Hakim. Dengan perkataan lain Hukum Acara Perdata adalah peraturan hukum yang menentukan bagimana caranya menjamin pelaksanaan Hukum perdata Materiil. Lebih konkrit lagi dapat dikatakan bahwa Hukum Acara Perdata adalah mengatur bagaimana caranya mengajkan tuntutan hak, memeriksa serta memutusnya dan pelaksanaannya dari pada putusannya. Tuntutan hak dalam hal ini tidak lain adalah tindakan yang bertujuan untuk memperoleh perlindungan hukum yang diberikan oleh pengadilan untuk mencegah "Eigenrichting" atau tindakan main hakim sendiri. Tindakan main hakim sendiri merupakan tindakan untuk melaksanakan hak sesuai keinginan sendiri yang bersifat sewenang-wenang, tanpa persetujuan dari pihak lain yang berkepentingan, sehingga akan menimbulkan kerugian. Oleh karena itu tindakan main hakim sendiri atau eigenrichting tidak diperbolehkan dalam rangka memenuhi atau melaksanakan hak pribadi. Dan mengenai tindakan main hakim sendiri ada tiga pendapat : ada yang mengatakan bahwa tindakan main hakin sendiri itu sama sekali tidak dibenarkan (van Bouneval Faure), dengan alasan bahwa oleh karena hukum acara perdata telah menyediakan upaya-upaya untuk memperoleh perlindungan hukum bagi pihak melalui Pengadilan, maka tindakan-tindakan yang dianggap diluar uapaya-upaya tersebut, atau yang dapat dianggap sebagai tindakan main hakim sendiri, dilarang. Menurut pendapat yang kedua adalah eigenrichting pada asasnya dibolehkan atau dibenarkan, dengan pengertian bahwa melakukannya dianggap sebagai upaya untuk melawan hukum (Cleveringa). Pendapat ketiga mengatakan bahwa tindakan main hkim sendiri pada asasnya tidak dibenarkan akan tetapi apabila peraturan yang tidak cukup memberi perlindungan, maka tindakan menghakimi sendiri itu secara tidak tidak tertulis dibenarkan. 1 B. RIWAYAT LAHIRNYA H.I.R. Perancang Hukum acara perdata adalah Ketua Mahkamah Agung dan Mahkamah Agung Tentara pada tahun 1846 di Batavia. Beliau adalah Jhn. Mr. H.L. Wichers, seorang jurist atau hakim kenamaan pada waktu itu. Pada tanggal 5 Desember beliau di beri tugas oleh Gubernur Jenderal (Gouverneur Generaal) Jan Jacob Rochussen untuk merencanakn sebah reglemen tentang administrasi, polisi, acara perdata dan acara pidana bagai golongan Indonesia. Bagi mereka seelum itu berlaku Staatblad 1819 no. 20 yang emuat 7 pasal perihal hukum acara perdata. Dan hanya dalam waktu 9 bulan saja, beliau sudah menyelesaikan semua dengan rancangannya ( Tgl. 6 Agustus 1847 ) serta peraturan penjelasannya. Mr. Witchers telah berhasil mengajukan sebuah rencana paraturan acara perdata sekaligus acara pidana yang terdiri dari 432 pasal. Pasal terakhir yaitu pasal 432, dyang sekarang kita kenal sebagai pasal 393 H.I.R., memuata suatu ketentuan (ayat 1), bahwa dalam hal mengadili perkara bagi golongan Bumiputra di muka pengadilan, tidak boleh dipakai acara perdata yang melebihi atau laindari pada apa yang tekah ditetapkan degan reglemen itu sendiri. 1.2. Rumusan Masalah 1.2.1. Apa yang dimaksud dengan hukum acara perdata? 1.2.2. Apa saja sumber hukum acara perdata? 1.2.3. Bagaimana ruang lingkup hukum acara perdata? 1.2.4. Apa saja asas-asas hukum acara perdata? 1.3. Tujuan Dengan rumusan masalah di atas, tujuan yang ingin dicapai oleh tim penyusun adalah sebagai berikut: 1.3.1. Memahami definisi dari hukum acara perdata. 1.3.2. Dapat mengetahui sumber hukum acara perdata. 1.3.3. Mengetahui ruang lingkup hukum acara perdata. 1.3.4. Memahami dan mengetahui asas-asas hukum acara perdata 2 BAB II PEMBAHASAN 2.1. Pengertian Hukum Acara Perdata Berkaitan dengan pengertian hukum acara perdata, jika kita baca dari beberapa literatur dapat dikemukaakan pendapat beberapa ahli sebagai berikut: 1. Hukum acara perdata menurut Wirjono Projodikoro adalah rangkaian peraturan peraturan yang yang memuat cara bagaiman orang harus bertindak terhadap dan atau dimuka pengadilan dan bagaimana cara pengadilan itu bertindak, satu sama lain untuk melaksanakan berjalannya peraturan peratuaran hukum perdata. 2. CST Kansil, Hukum acara perdata adalah peraturan hukum yang mengatur bagaiman cara memelihara dan mempertahankan hukum perdata materil atau peraturan yang mengatur bagaiman caranya mengajukan suatu perkara perdata ke muka pengadilan perdata dan bagaimana cara hakim perdata memberikan putusan. Bedasarkan pengertian-pengertian yang dikemukakan di atas serta dengan bertitik tolak kepada aspek teoristis dalam praktek peradilan, maka pada asasnya hukum acara perdata adalah; 1. Peraturan hukum yang mengatur dan menyelengarakan bagaimana proses seseorang mengajukan perkara perdata kepada hakim/ pengadilan. 2. Peraturan hukum yang menjamin, mengatur dan menyelenggarakan bagaiman proses hakim mengadili perkara perdata. 3. Peraturan hukum yang mengatur proses bagaimana caranya hakim memutus acara perdata. 4. Peraturan hukum yang mengatur bagaimana tahap dan proses pelaksanaan putusan hakim (eksekusi). 2.2.Sumber Hukum Acara Perdata 1. Herziene inlandsch Reglemen ( HIR ) HIR adalah hukum acara perdata yang berlaku untuk daerah puulau jawa dan madura. Hukum acara perdata dalam HIR dituangkan pasal 115- 3 245 yang termuat dalam BAB IX, serta beberapa pasal yang tersebar antara pasal 372-394 Pasal 115-117 HIR tidak berlaku lagi berhubung dihapusnya pengadilan kabupaten oleh UU No.1 darurat (DRT) Tahun 1951, dan peraturan mengenai banding dalam pasal 188-194 HIR juga tidak berlaku lagi dengan adanya Undang-undang No.20 Tahun 1947 tentang peradilan ulangan dijawa dan Madura 2. Rechtsreglement voor de Buitengewesten (RBg.) RBg. Adalah hukum acara perdata yang berlaku untuk daerahdaerah luar pulau jawa dan Madura. RBg. Terdiri dari 5 BAB dan BAB 723 pasal yang mengatur tentang pengadilan dan umumnya, dan hukum acara pidananyatidak berlaku lagi dengan adanya Undang-Undang Darurat Nomor 1 Tahun 1951 Ketentuan Hukum Acara Perdata yang termuat dalam BAB II Title I,II,III, VI, dan VII tidak berlaku lagi, yang masih berlaku hingga sekarang adalah Title IV dan V bagi Landraad (sekarang Pengadilan Negeri). 3. Burgerlijk Wetboek (BW) BW (KUHPerdata), Meskipun sebagai kodifikasi Hukum Perdata materiil , namun juga memuat Hukum Acara Perdata, Terutama dalam buku IV tentang pembuktian dan kedaluwarsa (Pasal 1865-Pasaal 1993), selain itu juga terdapat dalam Pasal buku I , misalnya tentang tempat tinggal dan domisili ( Pasal 17 -Pasal 20) serta beberapa pasal Buku II dan buku III (Misalnya pasal 533, 535, 1244, dan 1365). 4. Ordonasi Tahun 1867 Nomor 29 Ordonasi Tahun 1867 Nomor 29 ini memuat ketentuan Hukum Acara Perdata tentang kekuatan pembuktian tulisan-tulisan di bawah tangan dari orang-orang Indonesia (bumiputra) atau yang dipersamakan dengan 4 mereka. Pasal-pasal ordonasi ini diambil alih dalam penyusunan Rechtsreglement voor de Buitengewesten (RGb.) 5. Wetboek van Koophandel (WVK) Wetboek van Koophandel (Kitab Undang-Undang Dagang), meskipun juga sebagai kodifikasi Hukum Perdata Materiil, namun di dalamnya ada beberapa pasal yang memuat ketentuan Hukum Acara Perdata (misalnya Pasal 7, 8, 9, 22, 23, 32, 255, 258, 272,273, 274, dan 275). 6. Undang-Undang Nomor 37 tahun 2004 Undang-undang Nomor 37 Tahun 2004 adalah Undang Undang tentang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Hutang yang memuat ketentuan ketentuan Hukum Acara Perdata Khusus Untuk kasus Kepailitan. 7. Undang-Undang Nomor 20 tahun 1947 Undang-Undang Nomor 20 tahun 1947 adalah Undang Undang tentang Peradilan Ulangan di Jawa dan Madura yang berlaku sejak 24 Juni 1947, dengan adanya UNdang Undang ini, peraturan mengenai banding dalam HIR pasal 188 – 194 tidak berlaku lagi. 8. Undang-Undang Darurat Nomor 1 tahun 1951 Undang – Undang Darurat Nomor 1 Tahun 1951 adalah UndangUndang tentang tindakan-tindakan sementara untuk menyelenggarakan Kesatuan Susunan, kekuasaan dan Acara Pengadilan-pengadilan Sipil yang berlaku sejak tanggal 14 Januari 1951. 9. Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2004 Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2004 adalah Undang-undang tentang kekuasaan kehakiman yang berlaku sejak diundangkan tanggal 15 Janurai 2004. Ketentuan Hukum Acara Perdatanya yang termuat dalam Pasal 5 ayat (2) dan Pasal 36 ayat (3), selainya juga memuat Hukum Acaraa 5 pada umumnya. Undang-undang ini telah diganti dengan undang-undang baru yaitu Undang-undang Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman. 10. Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 adalah Undang-undang tentang perkawinan, memuat ketentaun-ketentuan Hukum Acara Perdata (Khusus) Untuk memeriksa, mengadili, dan memutuskan serta menyelesaikan perkara-perkara perdata mengenai perkawinan, pencegahan perkawinan, pembatalan perkawinan, dan perceraian yang terdapat dalam pasal 4, 5, 6, 7, 9, 17, 18, 25, 28, 38, 39, 40, 55 60, 63, 65, dan 66. Undangundang ini diatur lebih lanjut dalam peraturan pemerintahan Nomor 9 Tahun 1970 tentang pelaksanaan UU No. 1974 11. Undang- Undang 14 Tahun 1985 Undang-Undang 14 Tahun 1985 adalah Undang-Undang tentang Mahkamah Agung yang mulai berlaku sejak diundangkan tanggal 30 Desember 1985, yang kemudian mengalami perubahan pertama dengan Undang-Undang Nomor 5 Tahun 2004, kemudian diubah lagi dengan perubahan kedua dengan Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2009, tetapi ukum acara perdata yang ada dalam pasal tersebut tidak mengalami perubahan. 12. Undang-Undang Nomor 2 Tahun 1986 Undang-Undang Nomor 2 Tahun 1986 adalah Undang-Undang tentang Peradilan Umum, berlaku sejak diundangkan tanggal 8 Maret 1986. Ketentuan dalam Undang-Undang tersebut mengatur mengenai kedudukan, susunan , dan kekuasaan pengadilan dalam peradilan umum. Pasal – Pasal yang memuat peraturan Hukum Acara Perdatanya, antara lain termuat dalam Pasal 50,51, 60, dan 61. Undang- Undang ini diubah dengan Undangundang Nomor 8 Tahun 2004, tetapi tidak mengenai Hukum Acara Perdata. 6 Undang-Unang ini kemudaian mengalami perubahan kedua dengan Undang-Undang Nomor 49 Tahun 2009. 13. Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2003 Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2003 adalah Undang-Undang tentang Advokad yang mulai berlaku sejak diundangkan tanggal 5 April tahun 2003. Selain Undang-undang diatas dapat juga dijadikan sumber Hukum Acara Perdata adalah UU No. 2 Tahun 2004 tentang penyelesaian perselsihan hubungan industry dan UU No. 3 Tahun 2006 tentang Peradilan Agama. 14. Yurisprudensi Menurut S.J.F Andreae dalam rechtgeleerdhandwoordwnboek, Yurisprudensi dapat berarti juga peradilan pada umumnya dan ajaran hukum yang diciptakan dan dipertahankan oleh peradilan. 15. Peraturan Mahkamah Agung Peraturan Mahkamah Agung juga merupakan sumber Hukum Acara Perdata. Dasar Hukum bagi Mahkamah Agung untuk mengeluarkan Peraturan Mahkamah Agung ini termuat dalam pasal 79 UU No. 14 Tahun 1985. 16. Adat Kebiasaan Wirjono prodjikoro menyebutkan bahwa kebiasaan yang dianut oleh para hakim dalam melakukan pemeriksaan perkara perdata sebagai sumber daripada hukum acara perdata. Hukum Acara Perdata dimaksudkan untuk Menjamin dilaksanakanya atau ditegakkanya Hukum Perdata Materiil yang berarti mempertahankan Tata Hukum Perdata maka pada asasnya Hukum Acara Perdata bersifat mengikat dan memaksa. 7 17. Doktrin Doktrin adalah ajaran atau pendapat sarjana hukum terkemuka. Doktrin menjadi sumber hukum dikarenakan adanya penapat umum yang menyatakan bahwa manusia tidak boleh menyimpang dari Communis Opinion Doctorum (Pendapat umum para sarjana). Oleh karena itulah doktrin mempunyai kekuatan mengikat. Tapi doktrin itu sendiri itu bukan hukum. 18. Instruksi dan Surat Ederan Mahkama Agung Surat Edaran dan Instruksi yang dikeluarkan oleh Mahkamah Agung yang dijadikan pedoman dalam beracara oleh para hakim di Pengadilan. Meskipun dalam ilmu hukum bahwa Instruksi dan Surat Ederan tidak termasuk dalam salah satu sumber hukum dan tidak pula tercantum dalam sumber hukum yang ditentukan dalam Pasal 7 UU No. 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundangan-undangan, akan tetapi dalam praktik Instruksi dan Surat Ederan Mahkamah Agung dijadikan salah satu rujukan oleh para hakim. 2.3 .Ruang Lingkup Hukum Acara Perdata Hukum Acara Perdata merupakan peraturan yang mengatur cara suatu perkara perdata diajukan ke pengadilan perdata hingga cara hakim memberikan putusan, sehingga ruang lingkup Hukum Acara Perdata terdiri dari tiga tahap yaitu: A. Tahap Pendahuluan Tahap pendahuluan adalah tahap sebelum acara pemeriksaan di persidangan, yaitu tahap untuk mempersiapkan segala sesuatu guna pemeriksaan perkara di persidangan pengadilan. Tahapan pendahuluan ini meliputi : 1. Penggugat/pemohon mengajukan dan mendaftarkan gugatan/permohonan kepada Kepaniteraan Pengadilan Negeri dan melunasi biaya perkara. Dalam mengajukan gugatan/permohonan harus mempersiapkan beberapa hal, antara lain: a. identitas para pihak (penggugat dan tergugat/pemohon dan termohon). 8 b. dasar gugatan/permohonan yang menceritakan peristiwa dan hubungan hukum. c. Tuntutan/permohonan yang berisi apa yang ingin dituntut/dimohon. Untuk penggugat/pemohon yang buta huruf ataupun mengalami disabilitas sehingga tidak dapat mengajukan tuntutan secara tertulis, maka dapat mengajukan tuntutan secara lisan yang mana akan dibantu oleh petugas pengadilan dalam menulis gugatan/permohonan. Beracara atau berperkara memerlukan biaya yang meliputi biaya kepaniteraan, pemanggilan, pemberitahuan para pihak dan bea materai. Biaya perkara dibebankan kepada : a. Pihak Penggugat, karena ia mengajukan gugatan. b. Jika gugatan dikabulkan, maka biaya perkara dibebankan kepada pihak yang kalah (tergugat). c. Jika gugatan ditolak, biaya dibebankan kepada penggugat (penggugat kalah). d. Apabila para pihak tidak mampu, maka beracara secara gratis (prodeo), biaya dibebankan kepada negara (Pasal 237 HIR atau 273 RBg). 2. Penetapan dan Penunjukan Majelis Hakim Oleh Ketua Pengadilan Negeri Setelah proses registrasi diselesaikan oleh penggugat, petugas pengadilan menyampaikan berkas gugatan/permohonan kepada Ketua Pengadilan Negeri untuk menetapkan Majelis Hakim yang akan mengadili perkara tersebut. Majelis Hakim harus terdiri dari tiga orang hakim atau lebih dengan jumlah ganjil (kecuali undang-undang menentukan lain). Majelis Hakim dibantu oleh seorang panitera pengganti. Petugas pengadilan mencatat penunjukan Majelis Hakim dalam register perkara. Apabila telah ditunjuk majelis, panitera pengganti serta juru sita yang akan bertugas, maka petugas pengadilan akan mencatat penunjukan tersebut dalam kolom register induk. 3. Majelis hakim menetapkan tanggal hari sidang 9 Panitera Muda Perdata menyerahkan berkas perkara yang dilampiri formulir penetapan hari sidang kepada Ketua Majelis/Hakim yang telah ditetapkan dan kemudian Hakim/Majelis Hakimakan mempelajari berkas tersebut. Penetapan hari sidang pertama, penundaan persidangan beserta alasan penundaan berdasarkan laporan panitera pengganti setelah persidangan, harus dicatat dalam buku register perkara. Dalam menetapkan hari siding, Hakim/Ketua Majelis perlu memperhatikan jauh/dekatnya tempat tinggal para pihak dengan letaknya tempat persidangan. 4. Pemanggilan para pihak Pemanggilan terhadap para pihak untuk menghadiri sidang dilakukan oleh jurusita/jurusita pengganti di tempat tinggal atau tempat kediamannya atau tempat kedudukannya. Dalam hal jurusita/jurusita pengganti tidak bertemu dengan pihak yang dipanggil, maka surat panggilan dapat disampaikan kepada anggota keluarga yang ada di tempat itu, namun untuk keabsahannya panggilan itu harus dilakukan melalui Kepala Desa/Lurah/perangkat desa. Surat panggilan kepada tergugat untuk sidang pertama harus menyebutkan penyerahan sehelai salinan surat gugatan dan pemberitahuan kepada pihak tergugat, bahwa ia boleh mengajukan jawaban tertulis yang diajukan dalam sidang. B. Tahap Penentuan Tahap penentuan adalah tahap mengenai jalannya proses pemeriksaan perkara di persidangan mulai dari pemeriksaan peristiwa dalam jawab menjawab, pembuktian peristiwa hingga pengambilan putusan oleh hakim. Tahapan penentuan meliputi : 1. Putusan Gugur atau Putusan Verstek Putusan gugur terjadi apabila pada hari sidang pertama penggugat atau semua penggugat tidak datang, meskipun telah dipanggil dengan patut dan juga tidak mengirim kuasanya yang sah, sedangkan tergugat atau kuasanya yang sah datang, maka gugatan digugur kan dan penggugat 10 dihukum untuk membayar biaya perkara. Penggugat dapat mengajukan gugatan tersebut sekali lagi dengan membayar panjar biaya perkara lagi. Apabila telah dilakukan sita jaminan, sita tersebut ikut gugur. Jika penggugat pada hari sidang pertama tidak datang, meskipun ia telah dipanggil dengan patut, tetapi pada hari kedua ia datang dan pada hari ketiga penggugat tidak hadir lagi, perkara nya tidak bisa digugurkan (pasal 124 HIR). Putusan verstek terjadi apabila pada hari sidang pertama dan pada hari sidang kedua tergugat atau semua tergugat tidak datang padahal telah dipanggil dengan patut dan juga tidak mengirim kuasanya yang sah, sedangkan penggugat/para penggugat selalu datang, maka perkara akan diputus verstek. Meskipun tergugat tidak hadir pada hari sidang pertama atau tidak mengirim kuasanya yang sah, tetapi jika ia mengajukan jawaban tertulis berupa tangkisan tentang tidak berwenang mengadili, maka perkara tidak diputus dengan verstek. 2. Proses Mediasi Pada hari pertama siding, jika para pihak hadir maka Majelis Hakim wajib mengupayakan perdamaian kepada para pihak melalui proses mediasi. Para pihak kemudian dapat memilih mediator hakim atau non hakim yang telah memiliki sertifikat sebagai mediator dalam kurun waktu telah ditentukan. Jika dalam kurun waktu yang telah ditentukan tersebut para belum memilih mediator maka akan ditentukan mediator dari para hakim. Setelah penunjukan mediator, para pihak wajib menyerahkan fotokopi dokumen yang memuat duduk perkara, fotokopi surat-surat yang diperlukan dan hal-hal lain yang terkait dengan sengketa kepada mediator dan para pihak dan mediator wajib menentukan jadwal pertemuan untuk penyelesaian proses mediasi. Dalam melakukan mediasi, pemanggilan saksi ahli dapat dilakukan atas persetujuan para pihak, dimana semua biaya jasa ahli itu ditanggung oleh para pihak berdasarkan kesepakatan. Mediator juga dapat melakukan 11 kaukus atau pertemuan antara mediator dengan salah satu pihak tanpa kehadiran pihak lainnya. Jangka waktu dalam proses mediasi di dalam pengadilan paling lama adalah 40 hari kerja, dan dapat diperpanjang lagi paling lama 14 hari kerja. Jika mediasi menghasilkan kesepakatan, maka para pihak wajib merumuskan secara tertulis kesepakatan yang dicapai dan ditandatangani kedua pihak, dimana hakim dapat mengukuhkannya sebagai sebuah akta perdamaian. Sebaliknya, jika tidak tercapai suatu kesepakatan maka persidangan dilanjutkan dengan pembacaan surat gugatan oleh penggugat/kuasanya. 3. Jawaban, rekonvensi, eksepsi Jawaban Pasal 121 ayat (2) HIR jo. Pasal 145 ayat (2) RBg menentukan bahwa pihak tergugat dapat menjawab gugatan penggugat baik secara tertulis maupun lisan. Jawaban yang diajukan tergugat dapat dijawab kembali oleh penggugat, yang disebut replik. Kemudian replik ini dapat dijawab kembali oleh pihak tergugat, yang disebut duplik. Jawaban tergugat dapat terdiri dari 2 macam, yaitu: a. Jawaban yang tidak langsung mengenai pokok perkara, yang disebut dengan tangkisan atau eksepsi. b. Jawaban yang langsung mengenai pokok perkara (verweer ten principale). Jawaban mengenai pokok perkara dapat dibagi lagi atas dua kategori, yaitu: 1) Jawaban tergugat berupa pengakuan Pengakuan berarti membenarkan isi gugatan penggugat, baik sebagian maupuan seluruhnya. Pengakuan merupakan jawaban yang membenarkan isi gugatan. 2) Jawaban tergugat berupa bantahan Tergugat dapat membantah tuntutan penggugat, oleh karena itu pihak penggugat harus membuktikan bahwa tuntutannya benar karena pada dasarnya bantahan tersebut bertujuan agar gugatan penggugat ditolak. 12 Rekonvensi Rekonvensi adalah gugatan yang diajukan tergugat sebagai gugat balasan (gugat balik) terhadap gugatan yang diajukan penggugat kepadanya (Pasal 132a ayat (1) HIR). Pada dasarnya gugatan rekonvensi harus diajukan bersama-sama dengan jawaban tergugat (Pasal 132b HIR jo 158 RBg). Komposisi para pihak dihubungkan dengan Gugatan Rekonvensi a. Komposisi Gugatan Gugatan Penggugat disebut gugatan konvensi (gugatan asal), sedangkan gugatan tergugat disebut gugatan rekonvensi (gugatan balik) b. Komposisi para Pihak Penggugat asal sebagai Penggugat Konvensi pada saat yang bersamaan berkedudukan menjadi Tergugat Rekonvensi. Sedangkan Tergugat Asal sebagai Penggugat Rekonvensi pada saat yang bersamaan berkedudukan sebagai Tergugat Konvensi. Baik gugatan konvensi (gugat asal) maupun gugatan rekonvensi (gugat balasan) pada umumnya diperiksa bersama-sama dan diputus dalam satu putusan hakim. Pertimbangan hukumnya memuat dua hal, yaitu pertimbangan hukum dalam konvensi dan pertimbangan hukum dalam rekonvensi. Eksepsi Eksepsi merupakan suatu tangkisan atau bantahan dari pihak tergugat terhadap gugatan penggugat yang tidak langsung menyentuh pokok perkara. Eksepsi ditujukan kepada hal-hal yang menyangkut syaratsyarat atau formalitas gugatan yaitu jika gugatan yang diajukan mengandung cacat atau pelanggaran formil yang mengakibatkan gugatan tidak sah yang karenanya gugatan tidak dapat diterima. Tujuan pokok pengajuan eksepsi yaitu agar pengadilan mengakhiri proses pemeriksaan tanpa lebih lanjut memeriksa materi pokok perkara. Pengakhiran yang 13 diminta melalui eksepsi bertujuan agar pengadilan menyatakan gugatan tidak dapat diterima. Berdasarkan dari Ilmu Hukum, eksepsi terbagi menjadi tiga jenis yaitu: 1. Eksepsi Prosesual (Processuele Exceptie) Eksepsi Prosesual adalah jenis eksepsi yang berkenaan dengan syarat formil gugatan. Eksepsi Prosesual dibagi dua bagian, yaitu: 1. Eksepsi Yang Menyangkut Kompetensi Absolut Eksepsi yang menyatakan bahwa Pengadilan Negeri yang sedang melakukan pemeriksaan perkara tersebut dinilai tidak berwenang untuk mengadili perkara tersebut, karena persoalan yang menjadi dasar gugatan tidak termasuk wewenang pengadilan negeri tersebut melainkan wewenang badan peradilan lain, misalnya PTUN atau Pengadilan Agama. Eksepsi ini dapat diajukan setiap waktu selama pemeriksaan perkara berlangsung, bahkan hakim pun wajib pula mengakuinya karena jabatannya (Ps. 134 HIR). 2. Eksepsi Yang Menyangkut Kompetensi Relatif Eksepsi yang menyatakan bahwa suatu pengadilan negeri tertentu tidak berwenang untuk mengadili perkara tersebut, karena tempat kedudukan atau obyek sengketa tidak berada dalam wilayah hukum Pengadilan Negeri yang sedang memeriksa atau mengadili perkara tersebut. Eksepsi ini tidak diperkenankan diajukan setiap waktu, melainkan harus diajukan pada permulaan sidang, yaitu sebelum diajukan jawab menyangkut pokok perkara. Putusan dituangkan dalam bentuk a) Putusan sela (interlocutoir), apabila eksepsi ditolak; atau b) Putusan akhir, apabila eksepsi dikabulkan. 2. Eksepsi Prosesual di Luar Eksepsi 14 Kompetensi Eksepsi prosesual di luar eksepsi kompetensi terdiri dari berbagai bentuk atau jenis seperti: 1) Eksepsi Surat Kuasa Khusus Tidak sah 2) Eksepsi Error in Persona Tergugat dapat mengajukan eksepsi ini, apabila gugatan mengandung cacat error in persona. 3) Eksepsi Res Judicata atau Ne Bis In Idem Eksepsi terhadap perkara yang sama yang telah pernah diputus hakim dan putusannya telah memiliki kekuatan hukum tetap. 4) Eksepsi Obscuur Libel Yang dimaksud dengan obscuur libel, surat gugatan penggugat kabur atau tidak terang (onduidelijk). 3. Eksepsi Hukum Materiil (Materiele Exceptie) Eksepsi materiil dibagi menjadi tiga jenis yaitu : 1) Eksepsi dilatoir (dilatoria exceptie) Eksepsi yang menyatakan bahwa gugatan penggugat belum dapat dikabulkan, dengan kata lain gugatan penggugat belum dapat diterima untuk diperiksa sengketanya di pengadilan karena masih premature (terlampau dini). 2) Eksepsi peremptoir (exceptio peremptoria)Eksepsi yang menghalangi dikabulkannya gugatan, misalnya oleh karena gugatan telah diajukan lampau waktu (Kadaluwarsa) atau bahwa utang yang menjadi dasar gugatan telah dihapuskan. Cara Pengajuannya eksepsi peremptoir diajukan bersama-sama dengan jawaban mengenai pokok perkara. Kemudian eksepsi ini diperiksa dan diputus bersama-sama dengan pokok perkara. Oleh karena itu, putusannya tidak berbentuk putusan sela, tetapi langsung sebagai satu kesatuan dengan putusan pokok perkara dalam putusan akhir. 4. Perubahan/penambahan gugatan 15 Pembahan dan/atau penambahan gugatan diperbolehkan, asal diajukan pada hari sidang pertama di mana para pihak hadir, tetapi hal ini harus ditanyakan pada pihak lawan untuk pembelaan kepentingannya. Penambahan dan/atau penambahan gugatan tidak boleh mengubah dasar pokok gugatan menjadi lain dari materi yang menjadi sebab perkara antara kedua belah pihak tersebut. Dalam hal demikian, maka surat gugat harus dicabut. 5. Pembuktian Pembuktian adalah penyajian alat-alat bukti yang sah menurut hukum kepada hakim yang memeriksa suatu perkara guna memberikan kepastian tentang kebenaran. Pembuktian diperlukan dalam suatu perkara yang mengadili suatu sengketa di muka pengadilan maupun dalam perkara-perkara permohonan yang menghasilkan suatu penetapan. Pasal 283 RBg/163 HIR menyatakan : “Barangsiapa mengatakan mempunyai suatu hak atau mengemukakan suatu perbuatan untuk meneguhkan haknya itu, atau untuk membantah hak orang lain, haruslah membuktikan adanya perbuatan itu.” Tidak semua dalil yang menjadi dasar gugatan harus dibuktikan kebenarannya, sebab dalil-dalil yang tidak disangkal, apalagi diakui sepenuhnya oleh pihak lawan tidak perlu dibuktikan lagi. Dalam hal pembuktian tidak selalu pihak penggugat saja yang harus membuktikan dalilnya. Hakim yang memeriksa perkara tersebut yang akan menentukan siapa diantara pihak-pihak yang berperkara yang diwajibkan memberikan bukti, apakah pihak penggugat atau pihak tergugat. Dengan perkataan lain hakim sendiri yang menentukan pihak yang mana akan memikul beban pembuktian. Dalam melakukan pembuktian seperti yang telah disebutkan di atas, para pihak yang berperkara dan hakim yang memimpin pemeriksaan perkara di persidangan harus mengindahkan ketentuan-ketentuan dalam hukum pembuktian yang mengatur tentang cara pembuktian, beban pembuktian, macam-macam alat bukti serta kekuatan alat-alat bukti 16 tersebut, dan sebagainya. Dengan melakukan pembuktian tersebut, maka hakim mengharapkan untuk dapat mencapai kebenaran formil, yaitu kebenaran yang hanya didasarkan pada formalitas-formalitas hukum. 6. Pengambilan putusan oleh hakim Hakim tidak dibenarkan mengambil putusan tanpa pembuktian karena putusan hakim atas gugatan harus berdasarkan pembuktian yang bersumber dari fakta-fakta yang diajukan para pihak dalam proses persidangan. Selain fakta harus diajukan dan ditemukan dalam proses persidangan, fakta yang bernilai sebagai pembuktian, hanya terbatas pada fakta yang konkret dan relevan yaitu jelas dan nyata membuktikan suatu keadaan atau peristiwa yang berkaitan langsung dengan perkara yang disengketakan. Dengan kata lain, alat bukti yang dapat diajukan hanyalah yang mengandung fakta-fakta konkret dan relevan atau bersifat prima facie, yaitu membuktikan suatu keadaan atau peristiwa yang langsung berkaitan erat dengan perkara yang sedang diperiksa. Sedangkan fakta yang abstrak dalam hukum pembuktian dikategorikan sebagai hal yang semu, oleh karena itu tidak bernilai sebagai alat bukti untuk membuktikan sesuatu kebenaran. Dalam pengambilan putusan, hakim melakukan tahapan sebagai berikut : a. Mengkonstantasi peristiwa (menetapkan atau merumuskan peristiwa konkret dengan jalan membuktikan peristiwanya). b. Mengkualifikasi peristiwa konkret (menetapkan peristiwa hukumnya dari peristiwa yang terbukti). c. Mengkonstitusi hukumnya (menetapkan hukum atau memberikan keadilan dalam suatu putusan seperti gugatan diterima, gugatan ditolak atau gugatan tidak dapat diterima). C. Tahap Pelaksanaan Tahapan untuk merealisasikan putusan hakim yang sudah berkekuatan hukum tetap (in kracht van gewijsde) sampai selesai. Bagian tahap ini meliputi : a. Aanmening 17 Aanmaning adalah peringatan terhadap tergugat, agar melaksanakan putusan pengadilan dalam perkara perdata yang sudah mempunyai kekuatan hukum tetap, dengan sukarela atau kemauan sendiri, dalam tempo selama-lamanya 8 hari. Menurut Pasal 196 HIR/207 RBg, peringatan dilakukan oleh ketua pengadilan negeri, setelah ada permohonan eksekusi dari pihak penggugat, agar putusan yang mempunyai kekuatan hukum tetap dilaksanakan secara paksa. Peringatan (teguran) dilakukan karena tergugat tidak mau melaksanakan putusan dengan sukarela atau kemauan sendiri, padahal putusan sudah diberitahukan kepadanya. b. Sita eksekutorial Sita eksekusi adalah sita yang berhubungan dengan masalah pelaksanaan suatu putusan karena pihak tergugat tidak mau melaksanakan putusan yang telah berkekuatan hukum tetap tersebut secara sukarela meskipun Pengadilan telah memperingatkan agar putusan tersebut dilaksanakan secara sukarela sebagaimana mestinya. Sita eksekusi ini biasa dilakukan terhadap putusan yang mengharuskan penggugat membayar sejumlah uang, sedangkan tentang tata cara dan syarat-syarat sita eksekusi ini diatur dalam pasal 197 HIR atau pasal208 R.Bg. Sekiranya sudah diletakkan sita jaminan, tidak diperlukan lagi Sita Eksekusi karena sita jaminan menurut asasnya otomatis beralih menjadi sita eksekusi pada saat perkara yang bersangkutan mempunyai putusan yang berkekuatan hukum tetap. Ada dua macam sita eksekusi : a. Sita Eksekusi Langsung; yakni sita eksekusi yang langsung diletakkan atas barang bergerak dan barang tidak bergerak milik debitur atau pihak yang kalah. b. Sita Eksekusi yang Tidak Langsung; adalah sita eksekusi yang berasal dari sita jaminan yang telah dinyatakan sah dan berharga dan dalam rangka eksekusi otomatis berubah menjadi sita eksekusi. c. Pelaksanaan putusan 1) Sukarela 18 Pelaksanaan suatu putusan oleh tergugat untuk melaksanakan putusan yang telah berkekuatan hukum tetap tersebut secara sukarela tanpa perlu dilakukan pemaksaan oleh Pengadilan. 2) Paksa (eksekusi) Pelaksanaan suatu putusan dengan paksaan karena pihak tergugat tidak mau melaksanakan putusan yang telah berkekuatan hukum tetap tersebut secara sukarela. 2.4Asas-asas Hukum Acara Perdata 1. Hakim Bersifat Menunggu Hakim hanya menunggu datangnya tuntutan hak yang diajukan kepadanya. Akan adanya proses atau tidak terhadap tuntutan diserahkan kepada pihak-pihak yang berkepentingan. 2. Hakim Bersifat Pasif Hakim tidak menentukan luas pokok sengketa yang diajukan kepadanya, yang menentukan adalah para pihak sendiri. Hakim dilarang menjatuhkan putusan atas perkara yang tidak dituntut atau mengabulkan lebih daripada yang dituntut (Pasal 178 ayat 2,3 HIR/189 ayat 2, dan 3 RBg). 3. Sidang Pengadilan Terbuka untuk Umum Sidang pemeriksaan pengadilan adalah terbuka untuk umum, kecuali apabila undang-undang menentukan lain (Pasal 13 ayat 1 Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman). Sidang pengadilan dapat dihadiri, didengar, dan dilihat oeh siapapun kecuali oleh orang-orang yang memang dilarang oleh undang-undang. Beberapa persidangan yang dilakukan secara tertutup antara lain: kasus perceraian, perzinahan, perkara yang berkaitan dengan ketertiban umum dan rahasia negara, serta pemeriksaan anak di bawah umur. Putusan hakim menjadi batal demi hukum bila asas ini tidak terpenuhi (Pasal 13 ayat 3 Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman). Tujuan asas ini adalah agar pelaksanaan peradilan berjalan adil, tidak memihak, dan obyektif serta melindungi HAM dalam bidang peradilan sesuai peraturan yang berlaku. 4. Mendengar Kedua Belah Pihak Para pihak yang berperkara harus diperlakukan sama, adil dan tidak memihak untuk membela dan melindungi kepentingan yang bersangkutan (Pasal 4 ayat 1 Undang- 19 Undang Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman). Hakim tidak boleh menerima keterangan dari salah satu pihak sebagai sesuatu yang benar tanpa mendengar keterangan pihak lain. Demikian juga pengajuan alat bukti harus dilakukan di muka sidang yang dengan dihadiri kedua belah pihak (Pasal 121, 132 HIR/ 145, 157 RBg). 5. Putusan Hakim Harus Disertai Alasan Semua putusan pengadilan harus disertai alasan-alasan yang dijadikan dasar untuk mengadili (Pasal 50 ayat 1 Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman). Asas ini bertujuan agar tidak ada perbuatan sewenangwenang dari hakim. Putusan yang tidak lengkap atau kurang cukup dipertimbangkan (onvoeldoende gemotiverd) merupakan alasan untuk mengajukan kasasi dan putusan tersebut harus dibatalkan. 6. Beracara Dikenakan Biaya Beracara perdata di muka pengadilan dikenakan biaya (Pasal 4 ayat 2 UndangUndang Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman). Biaya hanya bisa didaftarkan setelah didaftarkan penjar biaya perkara oleh yang berkepentingan. Biaya perkara meliputi: Biaya kepaniteraan, pemanggilan dan pemberitahuan kepada para pihak, biaya materai serta biaya untuk pengara jika menggunakannya dan ahli bahasa. Bagi orang yang tidak mampu (predeo) biaya perkara akan ditanggung oleh negara dengan syarat menyertakan surat keterangan tidak mampu yang dibuat Kepala Polisi atau Camat setempat (Pasal 57 ayat 1 Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman). 7. Tidak Ada Keharusan untuk Mewakilkan Tidak ada keharusan bagi para pihak ntuk mewakilakn pengurusan perkara mereka pada kuasa yang ahli hukum. Namun bila menghendaki boleh mewakilakn atau menguasakan pada orang lain untuk beracara di muka pengadilan sebagai kuasa hukumnya (Pasal 123 HIR/147 RBg). Wewenang untuk mengajukan gugatan secara lisan tidak berlaku bagu kuasa. Terjadinya perwakilan, antara lain: a. Ketentuan undang-undang, misal untuk anak di bawah umur oleh orang tua atau wali. b. Perjanjian Kuasa Khusus, untuk perwakilan yang dilakukan oleh pengacara atau penasihat hukum. 20 c. Tanpa surat kuasa khusus, untuk acara gugatan perwakilan kelompok oleh satu atau beberapa orang dari kelompoknya. 8. Peradilan Dilakukan “Demi Keadilan Berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa” Hakim tidak hanya bertanggung jawab kepada hukum, diri sendri dan kepada masyarakat, tapi juga kepada Tuhan Yang Maha Esa. Tiap putusan pengadilan harus mencantukan klausa “Demi Keadilan Berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa” agar putusan tersebut mempunyai kekuatan eksekutorial, yaitu kekuatan untuk melakasakan putusan secar paksa, apabila pihak yang dikalahkan tidak mau melaksanakan putusan dengan sukarela. 9. Peradilan Dilakukan dengan Sederhana, Cepat, dan Biaya Ringan Sederhana berarti mudah dipahami dan tidak berbelit-belit. Cepat berarti proses peradilan berjalan cepat dan tidak berlarut-larut. Biaya ringan berarti biaya serendah mungkin, sehingga dapat terjangkau oleh semua kalangan masyarakt Biaya perkara yang tinggi membuat orang engga beracara di pengadilan. 21 BAB III PENUTUP 3.1. Kesimpulan Hukum Acara Perdata merupakan hukum formil yang menjalankan hukum materiel (hukum perdata). Sumber dari hukum acara perdata terdapat 18 sumber. Ruang lingkupnya terdiri tari 3 tahapan dan asas-asas hukum acara perdata ada 9 asas. 22 DAFTAR PUSTAKA Bakri, Muhammad. 2016. Pengantar Hukum Indonesia Jilid 2. Malang: UB Press. Asikin, Zainal. 2013. Hukum Acara Perdata Di Indonesia. Jakarta: Prenadamedia Group. 23