TUGAS FILSAFAT ILMU OLAHRAGA PPS9201 FILSAFAT BARAT (EROPA) DAN ASIA Oleh: Abdul Mahfudin Alim NIM: 20708261003 PROGRAM STUDI ILMU KEOLAHRAGAAN PROGRAM PASCASARJANA UNIVERSITAS NEGERI YOGYAKARTA 2020 A. Latar Belakang Konsep sejarah memainkan peran mendasar dalam pemikiran manusia. Ini memunculkan gagasan tentang hak pilihan manusia, perubahan, peran keadaan material dalam urusan manusia, dan makna putatif peristiwa sejarah. Ini meningkatkan kemungkinan untuk "belajar dari sejarah". Dan itu menyarankan kemungkinan untuk lebih memahami diri kita sendiri di masa sekarang, dengan memahami kekuatan, pilihan, dan keadaan yang membawa kita ke situasi kita saat ini. Oleh karena itu, tidak mengherankan jika para filsuf terkadang mengalihkan perhatian mereka pada upaya untuk memeriksa sejarah itu sendiri dan sifat pengetahuan sejarah. Refleksi ini dapat dikelompokkan menjadi satu karya yang disebut "filosofi sejarah". Karya ini heterogen, terdiri dari analisis dan argumen idealis, positivis, ahli logika, teolog, dan lain-lain, dan bergerak bolak-balik di antara filsafat Eropa dan AngloAmerika, dan antara hermeneutika dan positivisme. Sebuah pertanyaan dasar yang perlu ditanyakan dan dijawab: Mengapa mempelajari sejarah? Mungkin tidak langsung terlihat jelas bahwa studi sejarah di bidang manapun, termasuk olahraga dan Pendidikan Jasmani, dapat mengarah pada kehidupan yang lebih tercerahkan dan produktif. Banyak orang berpendapat bahwa mengetahui sejarah tidak relevan dengan kehidupan mereka saat ini. Salah satu aspek dari karakter kita adalah keyakinan yang berlaku bahwa kita sedang menuju "ke masa depan", dan aspek paling jelas dari sejarah adalah bahwa itu ada di masa lalu dan dan sudah lewat. Yang membuat hal-hal menjadi lebih problematis adalah bahwa studi tentang sejarah kadang-kadang dianggap membosankan, berulang-ulang, dan tidak ada berhubungan langsung dengan kehidupan mereka yang membaca tentang sejarah. Seperti argumennya, karena pemain dan peristiwa dalam sejarah ada di belakang kita, peristiwa dan orang ini tidak memiliki relevansi dalam hidup kita. Perspektif skeptis yang berkaitan dengan studi sejarah ini dapat diabaikan sebagian dengan beberapa pengamatan. Penelitian sejarah telah menemukan bahwa sejarah sering memberikan perspektif yang mencerahkan tentang mengapa kita berperilaku dan berpikir di masa kini dan menawarkan dasar untuk meramalkan masa depan. Namun, sejarah bukanlah satu-satunya jawaban mengapa kita berpikir dan bertindak, juga bukan satu-satunya cara kita dapat meramalkan apa yang akan terjadi kedepannya. Sejarah memberikan perspektif tertentu dan ketika dilakukan dengan baik, perspektif yang tercerahkan tentang mengapa kita berpikir dan berperilaku seperti yang kita lakukan dan bagaimana kita seharusnya berpikir dan berperilaku di masa depan. Argumen untuk memahami sejarah ini dikemukakan dengan sangat fasih oleh filsuf George Santayana (Mechikoff & Estes, 2006: 3) “Progress, far from consisting in change, depend on retentiveness…. Those who cannot remember the past are condemned to reapeat it.”’ Yang dapat diartikan “Kemajuan, jauh terdiri dari perubahan, bergantung pada daya ingat. ... Mereka yang tidak dapat mengingat masa lalu harus mengulanginya. Seperti halnya di Indonesia sering sekali kita mendengar kata “Jasmerah” yang merupakan kutipan dari pidato Presiden pertama Indonesia Sukarno (Bung Karno). Banyak orang menyebut Jas Merah sebagai singkatan dari 'Jangan Sekali-kali Melupakan Sejarah padahal yang betul adalah Jangan Sekali-kali Meninggalkan Sejarah. Jadi konsep sejarah memainkan peran mendasar dalam pemikiran manusia. Ini memunculkan gagasan tentang hak pilihan manusia, perubahan, peran keadaan material dalam urusan manusia, dan makna penduga (putative) peristiwa sejarah. Hal ini meningkatkan kemungkinan untuk kita "belajar dari sejarah". B. Sejarah Filsafat Pembahasan tentang metafisika dapat digunakan untuk membantu Anda memahami peran pikiran dan tubuh dalam budaya. Namun, ada lebih banyak aspek filsafat daripada menggunakannya untuk menafsirkan sejarah. Pemahaman filosofi yang lebih menyeluruh dapat memperkaya pemahaman dalam hal apasaja. Faktanya dalam kehidupan sosial masih banyak yang menganggap filsafat merupakan sesuatu yang serba rahasisa, mistis, supra natural, aneh, omong kosong, yang tidak memiliki kegunaan praktis. Bahkan dianggap sebagai ilmu yang “mengawang” tanpa sebuah pijakan nyata. Disisi lain ada yang menganggap filsafat adalah ilmu yang paling istimewa karena dianggap master of sciencetiarium atau induk dari segala ilmu (Anwar, R Hamid, 2009: 2). Kita kadang sering mendengar atau “Filsafat hidup saya adalah…atau keberhasilan seseorang itu tidak lepas dari filosofi yang dianutnya”. Secara etimologis kata “filsafat” berasal dari kata “philosophia” yang berasal dari kata Yunani kuno, yang merupakan kata majemuk dari “philos” yang berarti cinta atau “philia” yang berarti “persahabatan” atau tertarik kepada” dan “Sophos” yang berarti kebijaksanaan. Jadi filsafat, yang berarti "cinta kebijaksanaan". Menurut tradisi, Phytagoras atau Socrates yang menyebut diri Philosophus. Filsafat dapat didefinisikan sebagai penyelidikan sistematis atas realitas, pengetahuan, dan nilai-nilai, yang harus mengarah pada perolehan kebijaksanaan. Bagi kebanyakan orang, filsafat merepresentasikan ide-ide abstrak yang berasal dari pikiran para akademisi. Para filsuf sering kali tampak sangat senang terlibat dalam kajian ilmiah yang membingungkan bagi sebagian besar dari kita. Hendaknya kita memahami kaitan antara agama, sains, dan filsafat, karena dengan demikian pemahaman tentang olahraga dan Pendidikan Jasmani akan meningkat bukan malah menjadi menurun karena satu dan lainnya sangat mendukung. Dalam membangun tradisi filsafat banyak orang mengajukan pertanyaan yang sama, menanggapi, dan meneruskan karya-karya pendahulunya sesuai dengan latar belakang budaya, bahasa, bahkan agama tempat tradisi filsafat itu dibangun. Oleh karena itu, filsafat biasa diklasifikasikan menurut daerah geografis dan latar belakang budayanya. Dewasa ini filsafat biasa dibagi menjadi dua kategori besar menurut wilayah. Menurut wilayah bisa dibagi menjadi: “Filsafat Barat” dan “Filsafat Timur” 1. Filsafat Eropa (Filsafat Barat) Filsafat barat meliputi Yunani Kuno, Eropa dan Amerika. Filsafat Barat adalah ilmu yang biasa dipelajari secara akademis di Universitas-universitas di Eropa dan daerah-daerah jajahan mereka. Filsafat ini berkembang dari tradisi orang zaman Yunani kuno. Filsafat barat dimulai filsafat pra-Sokrates yang ditandai oleh usaha mencari asal (asas) segala sesuatu (Arche). Dalam filsafat barat para filsuf cenderung banyak menggunakan logika, penalaran dan kategorisasi. Mereka cenderung memecah ide sebanyak yang mereka bisa. Mereka juga memusatkan perhatian pada gagasan dalam beberapa bagian daripada keseluruhan gagasan. Tokoh utama filsafat Barat antara lain Sokrates, Plato, Aristoteles, dimana masa ini sebagai puncak zaman Yunani. Sedang Plato mengajarkan tentang “ide”. Menurut Plato idealah realistis sejati. Plato adalah salah satu filsuf yang paling terkenal dan paling banyak dibaca dan dipelajari di dunia. Dia adalah murid Socrates dan guru dari Asristoteles, dan dia menulis pada pertengahan abad keempat SM. Sokrates adalah karakter utama dalam banyak tulisan Plato. Plato juga dipengaruhi Heraclitus, Parmenides, dan Pythagoras. Selanjutnya Aristoteles menganggap Plato adalah gurunya, dan guru dari Aleksander yang Agung, dia setuju dengan Plato tetapi jika Plato realistis tertinggi adalah yang kita pikirkan dengan akal kita, sedang Aristoteles realitas tertinggi adalah yang kita lihat dengan indra mata kita. Di dalam masa pertumbuhan dan perkembangan filsafat Eropa (kira-kira selama 5 abad) belum memunculkan ahli fikir (filosof), akan tetapi setelah abad ke-6 Masehi, barulah muncul para ahli pikir yang mengadakan penyelidikan filsafat. Jadi, filsafat Eropa lah yang mengawali kelahiran filsafat pada barat abad pertengahan. Filsafat Barat Abad Pertengahan (476 – 1492) dapat dikatakan juga sebagai “abad gelap”. Ciri-ciri pemikiran filsafat barat abad pertengahan adalah: Cara berfilsafatnya dipimpin oleh gereja. Latar belakang dimulainya filsafat abad pertengahan adalah sikap ekstrem para pemuka agama Nasrani di dunia Barat (Eropa) pada 476-1492 M. Pada masa ini, para pemuka agama Nasrani (pihak gereja) membatasi aktivitas berpikir para filosof. Berdalih keimanan, segala potensi akal yang bertentangan dengan keyakinan para gerejawan, dibabat habis. Para filosof dianggap murtad, dihukum berat (dikucilkan) hingga hukuman mati. Masa abad pertengahan ini terbagi menjadi dua masa yaitu masa Patristik dan masa Skolastik. Masa Skolastik terbagi lagi menjadi Skolastik Awal, Skolastik Puncak, dan Skolastik Akhir. Pada abad pertengahan, perkembangan alam pikiran di Barat amat terkekang oleh keharusan untuk disesuaikan dengan ajaran agama (doktrin gereja). Perkembangan penalaran tidak dilarang, tetapi harus disesuaikan dan diabdikan pada keyakinan agama. Akibatnya, ilmu pengetahuan terhambat dan nyaris tidak berkembang. Semuanya diatur oleh doktrin-doktrin gereja yang berdasarkan keyakinan buta (fanatik). Sehingga, filsafat abad pertengahan disebut juga dengan nama abad kegelapan. Masa filsafat modern diawali dengan munculnya renaissance sekitar abad XV dan XVI M, yang bermaksud melahirkan kembali kebudayaan klasik YunaniRomawi. Problem utama masa renaissance, sebagaimana periode skolastik, adalah sintesa agama dan filsafat dengan arah yang berbeda. Era renaissance ditandai dengan tercurahnya perhatian pada berbagai bidang kemanusiaan, baik sebagai individu maupun sosial. Di antara filosof masa renaissance adalah Francis Bacon (1561-1626). Ia berpendapat bahwa filsafat harus dipisahkan dari teologi. Meskipun ia meyakini bahwa penalaran dapat menunjukkan Tuhan, tetapi ia menganggap bahwa segala sesuatu yang bercirikan lain dalam teologi hanya dapat diketahui dengan wahyu, sedangkan wahyu sepenuhnya bergantung pada penalaran. Hal ini menunjukkan bahwa Bacon termasuk orang yang membenarkan konsep kebenaran ganda (double truth), yaitu kebenaran akal dan wahyu. Puncak masa renaissance muncul pada era Rene Descartes (1596-1650) yang dianggap sebagai Bapak Filsafat Modern dan pelopor aliran Rasionalisme. Argumentasi yang dimajukan bertujuan untuk melepaskan diri dari kungkungan gereja. Hal ini tampak dalam semboyannya “cogito ergo sum” (saya berpikir maka saya ada). Pernyataan ini sangat terkenal dalam perkembangan pemikiran modern, karena mengangkat kembali derajat rasio dan pemikiran sebagai indikasi eksistensi setiap individu. Dalam hal ini, filsafat kembali mendapatkan kejayaannya dan mengalahkan peran agama, karena dengan rasio manusia dapat memperoleh kebenaran. Aliran filsafat yang lain adalah Positivisme. Dasar-dasar filsafat ini dibangun oleh Saint Simon dan dikembangkan oleh Auguste Comte (1798-1857). Ia menyatakan bahwa pengetahuan manusia berkembang secara evolusi dalam tiga tahap, yaitu teologis, metafisik, dan positif. Pengetahuan positif merupakan puncak pengetahuan manusia yang disebutnya sebagai pengetahuan ilmiah. Sesuai dengan pandangan tersebut kebenaran metafisik yang diperoleh dalam metafisika ditolak, karena kebenarannya sulit dibuktikan dalam kenyataan. Periode filsafat modern di Barat menunjukkan adanya pergeseran, segala bentuk dominasi gereja, kependetaan dan anggapan bahwa kitab suci sebagai satusatunya sumber pengetahuan diporak-porandakan. Dengan demikian, dapat dikatakan bahwa abad modern merupakan era pembalasan terhadap zaman skolastik yang didominasi gereja. 2. Filsafat Asia (Filsafat Timur) Filsafat Timur merupakan sebutan atau tradisi falsafi bagi pemikir filosofis yang bersal dari Asia yang sebagian besar adalah Cina/Tiongkok dan India, walaupun ada fisafat lainnya seperti Persia, Jepang, timur tengah serta daerah-daerah lain yang dipengaruhi budayanya. Filsafat Islam dan Filsafat Budhisme juga termasuk filsafat timur. Masing-masing jenis filsafat merupakan suatu sistem-sistem pemikiran yang luas dan plural. Misalnya saja, filsafat India dapat terbagi menjadi filsafat hindu dan filsafat buddhisme, sedangkan filsafat Cina/Tiongkok dapat terbagi menjadi Konfusianisme dan Taoisme. Belum lagi, banyak terjadi pertemuan dan percampuran antara sistem filsafat yang satu dengan yang lain, misalnya Buddhisme berakar dari Hinduisme, namun kemudian menjadi lebih berpengaruh di Tiongkok ketimbang di India. Disisi lain, filsafat Islam justru lebih banyak bertemu dengan filsafat barat. Secara umum filsafat timur yang terkenal dengan sebutan “Empat Tradisi Besar” yaitu Hinduisme, Buddhisme, Taoisme dan Konfusianisme. Nama-nama beberapa filsuf Timur, antara lain, Siddharta Gautama/Buddha, Bodhidharma, Lao Tse, Kong Hu Cu, Zhuang Zi dan juga Mao Zedong. Sebuah ciri khas Filsafat Timur ialah dekatnya hubungan filsafat dengan agama, sehingga banyak ahli berdebat mengenai dapat atau tidaknya pemikiran Timur dikatakan sebagai filsafat. Meskipun hal ini kurang lebih juga bisa dikatakan untuk Filsafat Barat, terutama diabad pertengahan, tetapi di Dunia Barat filsafat akademis masih lebih menonjol daripada agama. Di dalam studi post-kolonial bahkan ditemukan bahwa filsafat Timur dianggap lebih rendah ketimbang sistem pemikiran Barat karena tidak memenuhi kriteria filsafat menurut filsafat Barat, misalnya karena dianggap memiliki unsur keagamaan atau mistik. Akan tetapi, sekalipun di antara filsafat Timur dan filsafat Barat terdapat perbedaan-perbedaan, namun tidak dapat dinilai mana yang lebih baik, sebab masing-masing memiliki keunikannya sendiri. Selain itu, keduanya diharapkan dapat saling melengkapi khazanah filsafat secara luas. Filsafat Timur Tengah ini sebenarnya mengambil tempat yang istimewa. Sebab dilihat dari sejarah, para filsuf dari tradisi ini sebenarnya bisa dikatakan juga merupakan ahli waris tradisi Filsafat Barat. Sebab para filsuf Timur Tengah yang pertama-tama adalah orang-orang Arab atau orang-orang Islam (dan juga beberapa orang Yahudi), yang menaklukkan daerah-daerah di sekitar Laut Tengah dan menjumpai kebudayaan Yunani dengan tradisi falsafi mereka. Lalu mereka menterjemahkan dan memberikan komentar terhadap karya-karya Yunani. Bahkan ketika Eropa setelah runtuhnya Kekaisaran Romawi masuk ke Abad Pertengahan dan melupakan karya-karya klasik Yunani, para filsuf Timur Tengah ini mempelajari karya-karya yang sama dan bahkan terjemahan mereka dipelajari lagi oleh orangorang Eropa. Nama-nama beberapa fiosof Timur Tengah: Avicenna (Ibnu Sina), Ibnu Tufail, Kahlil Gibran dan Averroes. Filsafat Islam bukanlah filsafat Timur Tengah. Bila memang disebut ada beberapa nama Yahudi dan Nasrani dalam filsafat Timur Tengah, dalam filsafat Islam tentu seluruhnya adalah muslim. Ada sejumlah perbedaan besar antara filsafat Islam dengan filsafat lain. Pertama, meski semula filsuf-filsuf muslim klasik menggali kembali karya filsafat Yunani terutama Aristoteles dan Plotinus, namun kemudian menyesuaikannya dengan ajaran Islam. Kedua, Islam adalah agama tauhid. Maka, bila dalam filsafat lain masih 'mencari Tuhan', dalam filsafat Islam justru Tuhan 'sudah ditemukan.' 3. Perbandingan Filsafat Barat (Eropa) dana Filsafat Timur Persamaan antara filsafat Timur dan Barat lebih besar daripada perbedaannya. Perbedaan yang paling sering dikutip adalah bahwa filsafat Barat 'terfragmentasi', sedangkan filsafat Timur 'holistik'. Penulis terkenal Sankara Saranam, penulis buku God Without Religion , adalah contohnya, yang mengatakan bahwa filsafat Timur berkaitan dengan pengetahuan umum sedangkan filsafat Barat membahas pengetahuan khusus. Ini mengacu pada pemahaman populer bahwa filsafat timur terutama filsafat Cina, membahas keberadaan manusia secara keseluruhan, sedangkan filsafat Barat dimulai dari Yunani hanya berfokus pada aspek-aspek tertentu dari kondisi manusia. Filsafat timur meskipun filsafat barat cenderung memusatkan perhatian pada bagian-bagian penting dalam suatu masalah atau sebuah ide, para filsuf timur fokus untuk melihat sebuah gagasan atau masalah secara keseluruhan. Daripada memecah ide dan konsep ke dalam kategori, filsafat timur lebih memilih untuk menggeneralisasi ide dan menunjukkan bagaimana mereka mencerminkan kebenaran yang sama. Filsafat barat melihat hal-hal seperti otak dan tubuh sebagai identitas yang terpisah, alih-alih memandang kedua bagian itu sama. Contohnya adalah konflik dan harmoni, Filsafat Barat dibangun di atas gagasan perbedaan dan pemisahan sehingga mereka tidak akan mencoba dan puas dengan kesamaan. Beberapa filsuf akan menggunakan debat yang berat untuk mencoba meyakinkan audiens pendapat mana yang lebih unggul. Sementara itu di Timur biasanya mereka akan menemukan kelompok yang sama, contoh yang sempurna adalah Ying dan Yang. Yin melambangkan feminin, gelap, dingin, dan menyerah. Yang melambangkan maskulin, cerah dan maju. Ini mungkin ide-ide yang terpisah dalam Filsafat Barat, di Timur membagi jumlah yang sama dari kedua ide itu penting yang bersama-sama menciptakan keseluruhan. Filsafat Cina dikembangkan atas dasar paradigma ontologis, epistemologis dan metafisik yang berbeda dari wacana teoretis Barat. Konsep dan kategori yang digunakan dalam filsafat Cina tidak dapat dengan mudah dipindahkan dari satu konteks sosio-budaya ke yang lain, dan seringkali sulit untuk memahami filsafat ini melalui lensa pemikiran tradisional Barat. Penerapan eksklusif metode Barat dengan demikian dapat menyebabkan kesalahpahaman yang parah dan interpretasi yang salah atas wacana China. Oleh karena itu, penting untuk berhati-hati agar tidak mengurangi kekayaan dan kedalaman pemikiran Cina atau mengubahnya menjadi versi lemah dari pemikiran filosofis Barat. Dimensi epistemologis teks-teks Tionghoa dan perannya dalam konteks pemikiran Tionghoa telah berkembang semakin berhasil di bawah naungan penemuan kembali dan penerapan pendekatan dan kategori metodologi tradisional Tionghoa yang spesifik. Bagian ini juga mengeksplorasi epistemologi Tiongkok melalui lensa aset konseptual dan ideasional yang dibuat dan dikembangkan dalam tradisi Tiongkok Menurut epistemologi tradisional Eropa yang berlaku, pengetahuan terutama diperoleh melalui observasi dan penalaran. Namun, dalam pemikiran tradisional Tionghoa, pengetahuan dipahami dalam arti yang lebih luas, yaitu sebagai sesuatu yang juga (atau utamanya) bersumber dari muatan moral dan tidak dapat dipisahkan dari praktik (sosial). Metode yang menentukan sebagian besar ajaran epistemologis yang ditemukan dalam klasik Cina didasarkan pada pandangan dunia yang holistik, dan diarahkan pada pemahaman yang dapat dicapai melalui pendidikan dan pembelajaran. Isi dasar dari ajaran ini berakar pada premis etika pragmatis dan utilitarian. Epistemologi Cina adalah relasional, yang berarti bahwa ia memahami dunia luar yang diatur secara struktural, sementara pikiran manusia juga terstruktur sesuai dengan sistem organik yang merangkul semua tetapi terbuka. Korespondensi relasional antara kosmis dan struktur mental dengan demikian mewakili prasyarat dasar dari persepsi dan pemahaman manusia. Tinjauan sistematis tentang fitur-fitur khusus, metode sentral dan aliran perkembangan utama wacana epistemologis Tiongkok klasik yang didasarkan pada pandangan dunia secara holistik yang tersusun secara struktural dan berakar pada premis aksiologis. DAFTAR PUSTAKA Anwar, M. Hamid. 2009. Filsafat Olahraga sebuah pengantar. FIK UNY Blauberg, Irina I., et al. “The Reception of the Western Thought in Contemporary Russian Philosophy.” Studies in East European Thought, vol. 66, no. 3/4, 2014, pp. 277–297., www.jstor.org/stable/24673265. Accessed 1 Oct. 2020. Cahn, Steven M. (ed.) (1985). Classics of Western Philosophy. Hackett. Dunhua, ZHAO. “The Multilingual Condition of Philosophy in China.” Frontiers of Philosophy in China, vol. 8, no. 2, 2013, pp. 230–239. JSTOR, www.jstor.org/stable/23597395. Accessed 1 Oct. 2020. Ergas, O. & Todd, S. (2016). Introduction. In O. Ergas & Todd, S. (eds.) (2016). Philosophy East/West: Exploring intersections between educational and contemplative practices. UK, Wiley-Blackwell. 1-8. (Equal contribution) https://www.utm.edu/staff/jfieser/class/110/4-eastern.htm Lai, Chen, and Michel Masson. “Studying Chinese Philosophy: Turn-of-the-Century's Challenges.” Revue Internationale De Philosophie, vol. 59, no. 232 (2), 2005, pp. 181–198. JSTOR, www.jstor.org/stable/23955662. Accessed 1 Oct. 2020. Lewin D. and Ergas O. (2018) Eastern Philosophies of Education: Buddhist, Hindu, Daoist, and Confucian Readings of Plato’s Cave. In: Smeyers P. (eds) International Handbook of Philosophy of Education. Springer International Handbooks of Education. Springer, Cham. Pp.479-497 Little, Daniel, "Philosophy of History", The Stanford Encyclopedia of Philosophy (Summer 2017 Edition), Edward N. Zalta (ed.), URL = <https://plato.stanford.edu/archives/sum2017/entries/history/>. Mechikoff & Estes, A History and Philosophy of Sport and Physical Education, Fourth Edition © 2006, The McGraw-Hill Companies, Inc. Rošker, Jana, "Epistemology in Chinese Philosophy", The Stanford Encyclopedia of Philosophy (Fall 2018 Edition), Edward N. Zalta (ed.), URL = <https://plato.stanford.edu/archives/fall2018/entries/chinese-­‐ epistemology/>. Wong, David, "Comparative Philosophy: Chinese and Western", The Stanford Encyclopedia of Philosophy (Fall 2020 Edition), Edward N. Zalta (ed.), URL = <https://plato.stanford.edu/archives/fall2020/entries/comparphil-chiwes/>.