Uploaded by Mahfudin Mahfudin

Tugas Sejarah Filsafat Barat (Eropa) dan timur

advertisement
TUGAS FILSAFAT ILMU OLAHRAGA
PPS9201
FILSAFAT BARAT (EROPA) DAN ASIA
Oleh:
Abdul Mahfudin Alim
NIM: 20708261003
PROGRAM STUDI ILMU KEOLAHRAGAAN
PROGRAM PASCASARJANA
UNIVERSITAS NEGERI YOGYAKARTA
2020
A. Latar Belakang
Konsep sejarah memainkan peran mendasar dalam pemikiran manusia. Ini
memunculkan gagasan tentang hak pilihan manusia, perubahan, peran keadaan
material dalam urusan manusia, dan makna putatif peristiwa sejarah. Ini
meningkatkan kemungkinan untuk "belajar dari sejarah". Dan itu menyarankan
kemungkinan untuk lebih memahami diri kita sendiri di masa sekarang, dengan
memahami kekuatan, pilihan, dan keadaan yang membawa kita ke situasi kita saat ini.
Oleh karena itu, tidak mengherankan jika para filsuf terkadang mengalihkan perhatian
mereka pada upaya untuk memeriksa sejarah itu sendiri dan sifat pengetahuan sejarah.
Refleksi ini dapat dikelompokkan menjadi satu karya yang disebut "filosofi sejarah".
Karya ini heterogen, terdiri dari analisis dan argumen idealis, positivis, ahli logika,
teolog, dan lain-lain, dan bergerak bolak-balik di antara filsafat Eropa dan AngloAmerika, dan antara hermeneutika dan positivisme.
Sebuah pertanyaan dasar yang perlu ditanyakan dan dijawab: Mengapa
mempelajari sejarah? Mungkin tidak langsung terlihat jelas bahwa studi sejarah di
bidang manapun, termasuk olahraga dan Pendidikan Jasmani, dapat mengarah pada
kehidupan yang lebih tercerahkan dan produktif. Banyak orang berpendapat bahwa
mengetahui sejarah tidak relevan dengan kehidupan mereka saat ini. Salah satu aspek
dari karakter kita adalah keyakinan yang berlaku bahwa kita sedang menuju "ke masa
depan", dan aspek paling jelas dari sejarah adalah bahwa itu ada di masa lalu dan dan
sudah lewat. Yang membuat hal-hal menjadi lebih problematis adalah bahwa studi
tentang sejarah kadang-kadang dianggap membosankan, berulang-ulang, dan tidak
ada berhubungan langsung dengan kehidupan mereka yang membaca tentang sejarah.
Seperti argumennya, karena pemain dan peristiwa dalam sejarah ada di belakang kita,
peristiwa dan orang ini tidak memiliki relevansi dalam hidup kita.
Perspektif skeptis yang berkaitan dengan studi sejarah ini dapat diabaikan
sebagian dengan beberapa pengamatan. Penelitian sejarah telah menemukan bahwa
sejarah sering memberikan perspektif yang mencerahkan tentang mengapa kita
berperilaku dan berpikir di masa kini dan menawarkan dasar untuk meramalkan masa
depan. Namun, sejarah bukanlah satu-satunya jawaban mengapa kita berpikir dan
bertindak, juga bukan satu-satunya cara kita dapat meramalkan apa yang akan terjadi
kedepannya. Sejarah memberikan perspektif tertentu dan ketika dilakukan dengan
baik, perspektif yang tercerahkan tentang mengapa kita berpikir dan berperilaku
seperti yang kita lakukan dan bagaimana kita seharusnya berpikir dan berperilaku di
masa depan. Argumen untuk memahami sejarah ini dikemukakan dengan sangat
fasih oleh filsuf George Santayana (Mechikoff & Estes, 2006: 3) “Progress, far from
consisting in change, depend on retentiveness…. Those who cannot remember the
past are condemned to reapeat it.”’ Yang dapat diartikan “Kemajuan, jauh terdiri dari
perubahan, bergantung pada daya ingat. ... Mereka yang tidak dapat mengingat masa
lalu harus mengulanginya. Seperti halnya di Indonesia sering sekali kita mendengar
kata “Jasmerah” yang merupakan kutipan dari pidato Presiden pertama Indonesia
Sukarno (Bung Karno). Banyak orang menyebut Jas Merah sebagai singkatan dari
'Jangan Sekali-kali Melupakan Sejarah padahal yang betul adalah Jangan Sekali-kali
Meninggalkan Sejarah. Jadi konsep sejarah memainkan peran mendasar dalam
pemikiran manusia. Ini memunculkan gagasan tentang hak pilihan manusia,
perubahan, peran keadaan material dalam urusan manusia, dan makna penduga
(putative) peristiwa sejarah. Hal ini meningkatkan kemungkinan untuk kita "belajar
dari sejarah".
B. Sejarah Filsafat
Pembahasan tentang metafisika dapat digunakan untuk membantu Anda
memahami peran pikiran dan tubuh dalam budaya. Namun, ada lebih banyak aspek
filsafat daripada menggunakannya untuk menafsirkan sejarah. Pemahaman filosofi
yang lebih menyeluruh dapat memperkaya pemahaman dalam hal apasaja.
Faktanya dalam kehidupan sosial masih banyak yang menganggap filsafat
merupakan sesuatu yang serba rahasisa, mistis, supra natural, aneh, omong kosong,
yang tidak memiliki kegunaan praktis. Bahkan dianggap sebagai ilmu yang
“mengawang” tanpa sebuah pijakan nyata. Disisi lain ada yang menganggap filsafat
adalah ilmu yang paling istimewa karena dianggap master of sciencetiarium atau
induk dari segala ilmu (Anwar, R Hamid, 2009: 2). Kita kadang sering mendengar
atau “Filsafat hidup saya adalah…atau keberhasilan seseorang itu tidak lepas dari
filosofi yang dianutnya”.
Secara etimologis kata “filsafat” berasal dari kata “philosophia” yang berasal
dari kata Yunani kuno, yang merupakan kata majemuk dari “philos” yang berarti cinta
atau “philia” yang berarti “persahabatan” atau tertarik kepada” dan “Sophos” yang
berarti kebijaksanaan. Jadi filsafat, yang berarti "cinta kebijaksanaan". Menurut
tradisi, Phytagoras atau Socrates yang menyebut diri Philosophus.
Filsafat dapat didefinisikan sebagai penyelidikan sistematis atas realitas,
pengetahuan,
dan
nilai-nilai,
yang
harus
mengarah
pada
perolehan
kebijaksanaan. Bagi kebanyakan orang, filsafat merepresentasikan ide-ide abstrak
yang berasal dari pikiran para akademisi.
Para filsuf sering kali tampak sangat senang terlibat dalam kajian ilmiah yang
membingungkan bagi sebagian besar dari kita. Hendaknya kita memahami kaitan
antara agama, sains, dan filsafat, karena dengan demikian pemahaman tentang
olahraga dan Pendidikan Jasmani akan meningkat bukan malah menjadi menurun
karena satu dan lainnya sangat mendukung.
Dalam membangun tradisi filsafat banyak orang mengajukan pertanyaan yang
sama, menanggapi, dan meneruskan karya-karya pendahulunya sesuai dengan latar
belakang budaya, bahasa, bahkan agama tempat tradisi filsafat itu dibangun. Oleh
karena itu, filsafat biasa diklasifikasikan menurut daerah geografis dan latar belakang
budayanya. Dewasa ini filsafat biasa dibagi menjadi dua kategori besar menurut
wilayah. Menurut wilayah bisa dibagi menjadi: “Filsafat Barat” dan “Filsafat Timur”
1. Filsafat Eropa (Filsafat Barat)
Filsafat barat meliputi Yunani Kuno, Eropa dan Amerika. Filsafat Barat
adalah ilmu yang biasa dipelajari secara akademis di Universitas-universitas di Eropa
dan daerah-daerah jajahan mereka. Filsafat ini berkembang dari tradisi orang zaman
Yunani kuno. Filsafat barat dimulai filsafat pra-Sokrates yang ditandai oleh usaha
mencari asal (asas) segala sesuatu (Arche). Dalam filsafat barat para filsuf cenderung
banyak menggunakan logika, penalaran dan kategorisasi. Mereka cenderung
memecah ide sebanyak yang mereka bisa. Mereka juga memusatkan perhatian pada
gagasan dalam beberapa bagian daripada keseluruhan gagasan.
Tokoh utama filsafat Barat antara lain Sokrates, Plato, Aristoteles, dimana
masa ini sebagai puncak zaman Yunani. Sedang Plato mengajarkan tentang “ide”.
Menurut Plato idealah realistis sejati. Plato adalah salah satu filsuf yang paling
terkenal dan paling banyak dibaca dan dipelajari di dunia. Dia adalah murid Socrates
dan guru dari Asristoteles, dan dia menulis pada pertengahan abad keempat SM.
Sokrates adalah karakter utama dalam banyak tulisan Plato. Plato juga dipengaruhi
Heraclitus, Parmenides, dan Pythagoras.
Selanjutnya Aristoteles menganggap Plato adalah gurunya, dan guru dari
Aleksander yang Agung, dia setuju dengan Plato tetapi jika Plato realistis tertinggi
adalah yang kita pikirkan dengan akal kita, sedang Aristoteles realitas tertinggi adalah
yang kita lihat dengan indra mata kita.
Di dalam masa pertumbuhan dan perkembangan filsafat Eropa (kira-kira
selama 5 abad) belum memunculkan ahli fikir (filosof), akan tetapi setelah abad ke-6
Masehi, barulah muncul para ahli pikir yang mengadakan penyelidikan filsafat. Jadi,
filsafat Eropa lah yang mengawali kelahiran filsafat pada barat abad pertengahan.
Filsafat Barat Abad Pertengahan (476 – 1492) dapat dikatakan juga sebagai “abad
gelap”. Ciri-ciri pemikiran filsafat barat abad pertengahan adalah: Cara berfilsafatnya
dipimpin oleh gereja. Latar belakang dimulainya filsafat abad pertengahan adalah
sikap ekstrem para pemuka agama Nasrani di dunia Barat (Eropa) pada 476-1492 M.
Pada masa ini, para pemuka agama Nasrani (pihak gereja) membatasi aktivitas
berpikir para filosof. Berdalih keimanan, segala potensi akal yang bertentangan
dengan keyakinan para gerejawan, dibabat habis. Para filosof dianggap murtad,
dihukum berat (dikucilkan) hingga hukuman mati. Masa abad pertengahan ini terbagi
menjadi dua masa yaitu masa Patristik dan masa Skolastik. Masa Skolastik terbagi
lagi menjadi Skolastik Awal, Skolastik Puncak, dan Skolastik Akhir. Pada abad
pertengahan, perkembangan alam pikiran di Barat amat terkekang oleh keharusan
untuk disesuaikan dengan ajaran agama (doktrin gereja). Perkembangan penalaran
tidak dilarang, tetapi harus disesuaikan dan diabdikan pada keyakinan agama.
Akibatnya, ilmu pengetahuan terhambat dan nyaris tidak berkembang.
Semuanya diatur oleh doktrin-doktrin gereja yang berdasarkan keyakinan buta
(fanatik). Sehingga, filsafat abad pertengahan disebut juga dengan nama abad
kegelapan.
Masa filsafat modern diawali dengan munculnya renaissance sekitar abad XV
dan XVI M, yang bermaksud melahirkan kembali kebudayaan klasik YunaniRomawi. Problem utama masa renaissance, sebagaimana periode skolastik, adalah
sintesa agama dan filsafat dengan arah yang berbeda. Era renaissance ditandai dengan
tercurahnya perhatian pada berbagai bidang kemanusiaan, baik sebagai individu
maupun sosial.
Di antara filosof masa renaissance adalah Francis Bacon (1561-1626). Ia
berpendapat bahwa filsafat harus dipisahkan dari teologi. Meskipun ia meyakini
bahwa penalaran dapat menunjukkan Tuhan, tetapi ia menganggap bahwa segala
sesuatu yang bercirikan lain dalam teologi hanya dapat diketahui dengan wahyu,
sedangkan wahyu sepenuhnya bergantung pada penalaran. Hal ini menunjukkan
bahwa Bacon termasuk orang yang membenarkan konsep kebenaran ganda (double
truth), yaitu kebenaran akal dan wahyu. Puncak masa renaissance muncul pada era
Rene Descartes (1596-1650) yang dianggap sebagai Bapak Filsafat Modern dan
pelopor aliran Rasionalisme. Argumentasi yang dimajukan bertujuan untuk
melepaskan diri dari kungkungan gereja. Hal ini tampak dalam semboyannya “cogito
ergo sum” (saya berpikir maka saya ada). Pernyataan ini sangat terkenal dalam
perkembangan pemikiran modern, karena mengangkat kembali derajat rasio dan
pemikiran sebagai indikasi eksistensi setiap individu. Dalam hal ini, filsafat kembali
mendapatkan kejayaannya dan mengalahkan peran agama, karena dengan rasio
manusia dapat memperoleh kebenaran.
Aliran filsafat yang lain adalah Positivisme. Dasar-dasar filsafat ini dibangun
oleh Saint Simon dan dikembangkan oleh Auguste Comte (1798-1857). Ia
menyatakan bahwa pengetahuan manusia berkembang secara evolusi dalam tiga
tahap, yaitu teologis, metafisik, dan positif. Pengetahuan positif merupakan puncak
pengetahuan manusia yang disebutnya sebagai pengetahuan ilmiah. Sesuai dengan
pandangan tersebut kebenaran metafisik yang diperoleh dalam metafisika ditolak,
karena kebenarannya sulit dibuktikan dalam kenyataan.
Periode filsafat modern di Barat menunjukkan adanya pergeseran, segala
bentuk dominasi gereja, kependetaan dan anggapan bahwa kitab suci sebagai satusatunya sumber pengetahuan diporak-porandakan. Dengan demikian, dapat dikatakan
bahwa abad modern merupakan era pembalasan terhadap zaman skolastik yang
didominasi gereja.
2. Filsafat Asia (Filsafat Timur)
Filsafat Timur merupakan sebutan atau tradisi falsafi bagi pemikir filosofis
yang bersal dari Asia yang sebagian besar adalah Cina/Tiongkok dan India, walaupun
ada fisafat lainnya seperti Persia, Jepang, timur tengah serta daerah-daerah lain yang
dipengaruhi budayanya. Filsafat Islam dan Filsafat Budhisme juga termasuk filsafat
timur. Masing-masing jenis filsafat merupakan suatu sistem-sistem pemikiran yang
luas dan plural. Misalnya saja, filsafat India dapat terbagi menjadi filsafat hindu dan
filsafat buddhisme, sedangkan filsafat Cina/Tiongkok
dapat terbagi menjadi
Konfusianisme dan Taoisme. Belum lagi, banyak terjadi pertemuan dan percampuran
antara sistem filsafat yang satu dengan yang lain, misalnya Buddhisme berakar dari
Hinduisme, namun kemudian menjadi lebih berpengaruh di Tiongkok ketimbang di
India. Disisi lain, filsafat Islam justru lebih banyak bertemu dengan filsafat barat.
Secara umum filsafat timur yang terkenal dengan sebutan “Empat Tradisi Besar”
yaitu Hinduisme, Buddhisme, Taoisme dan Konfusianisme. Nama-nama beberapa
filsuf Timur, antara lain, Siddharta Gautama/Buddha, Bodhidharma, Lao Tse, Kong
Hu Cu, Zhuang Zi dan juga Mao Zedong.
Sebuah ciri khas Filsafat Timur ialah dekatnya hubungan filsafat dengan
agama, sehingga banyak ahli berdebat mengenai dapat atau tidaknya pemikiran Timur
dikatakan sebagai filsafat. Meskipun hal ini kurang lebih juga bisa dikatakan untuk
Filsafat Barat, terutama diabad pertengahan, tetapi di Dunia Barat filsafat akademis
masih lebih menonjol daripada agama. Di dalam studi post-kolonial bahkan
ditemukan bahwa filsafat Timur dianggap lebih rendah ketimbang sistem pemikiran
Barat karena tidak memenuhi kriteria filsafat menurut filsafat Barat, misalnya karena
dianggap memiliki unsur keagamaan atau mistik. Akan tetapi, sekalipun di antara
filsafat Timur dan filsafat Barat terdapat perbedaan-perbedaan, namun tidak dapat
dinilai mana yang lebih baik, sebab masing-masing memiliki keunikannya sendiri.
Selain itu, keduanya diharapkan dapat saling melengkapi khazanah filsafat secara
luas.
Filsafat Timur Tengah ini sebenarnya mengambil tempat yang istimewa.
Sebab dilihat dari sejarah, para filsuf dari tradisi ini sebenarnya bisa dikatakan juga
merupakan ahli waris tradisi Filsafat Barat. Sebab para filsuf Timur Tengah yang
pertama-tama adalah orang-orang Arab atau orang-orang Islam (dan juga beberapa
orang Yahudi), yang menaklukkan daerah-daerah di sekitar Laut Tengah dan
menjumpai kebudayaan Yunani dengan tradisi falsafi mereka. Lalu mereka
menterjemahkan dan memberikan komentar terhadap karya-karya Yunani. Bahkan
ketika Eropa setelah runtuhnya Kekaisaran Romawi masuk ke Abad Pertengahan dan
melupakan karya-karya klasik Yunani, para filsuf Timur Tengah ini mempelajari
karya-karya yang sama dan bahkan terjemahan mereka dipelajari lagi oleh orangorang Eropa. Nama-nama beberapa fiosof Timur Tengah: Avicenna (Ibnu Sina), Ibnu
Tufail, Kahlil Gibran dan Averroes.
Filsafat Islam bukanlah filsafat Timur Tengah. Bila memang disebut ada
beberapa nama Yahudi dan Nasrani dalam filsafat Timur Tengah, dalam filsafat Islam
tentu seluruhnya adalah muslim. Ada sejumlah perbedaan besar antara filsafat Islam
dengan filsafat lain. Pertama, meski semula filsuf-filsuf muslim klasik menggali
kembali karya filsafat Yunani terutama Aristoteles dan Plotinus, namun kemudian
menyesuaikannya dengan ajaran Islam. Kedua, Islam adalah agama tauhid. Maka, bila
dalam filsafat lain masih 'mencari Tuhan', dalam filsafat Islam justru Tuhan 'sudah
ditemukan.'
3. Perbandingan Filsafat Barat (Eropa) dana Filsafat Timur
Persamaan
antara
filsafat
Timur
dan
Barat
lebih
besar
daripada
perbedaannya. Perbedaan yang paling sering dikutip adalah bahwa filsafat Barat
'terfragmentasi', sedangkan filsafat Timur 'holistik'. Penulis terkenal Sankara
Saranam, penulis buku God Without Religion , adalah contohnya, yang mengatakan
bahwa filsafat Timur berkaitan dengan pengetahuan umum sedangkan filsafat Barat
membahas pengetahuan khusus. Ini mengacu pada pemahaman populer bahwa filsafat
timur terutama filsafat Cina, membahas keberadaan manusia secara keseluruhan,
sedangkan filsafat Barat dimulai dari Yunani hanya berfokus pada aspek-aspek
tertentu dari kondisi manusia.
Filsafat timur meskipun filsafat barat cenderung memusatkan perhatian pada
bagian-bagian penting dalam suatu masalah atau sebuah ide, para filsuf timur fokus
untuk melihat sebuah gagasan atau masalah secara keseluruhan. Daripada memecah
ide dan konsep ke dalam kategori, filsafat timur lebih memilih untuk
menggeneralisasi ide dan menunjukkan bagaimana mereka mencerminkan kebenaran
yang sama. Filsafat barat melihat hal-hal seperti otak dan tubuh sebagai identitas
yang terpisah, alih-alih memandang kedua bagian itu sama.
Contohnya adalah konflik dan harmoni, Filsafat Barat dibangun di atas
gagasan perbedaan dan pemisahan sehingga mereka tidak akan mencoba dan puas
dengan kesamaan. Beberapa filsuf akan menggunakan debat yang berat untuk
mencoba meyakinkan audiens pendapat mana yang lebih unggul. Sementara itu di
Timur biasanya mereka akan menemukan kelompok yang sama, contoh yang
sempurna adalah Ying dan Yang. Yin melambangkan feminin, gelap, dingin, dan
menyerah. Yang melambangkan maskulin, cerah dan maju. Ini mungkin ide-ide yang
terpisah dalam Filsafat Barat, di Timur membagi jumlah yang sama dari kedua ide itu
penting yang bersama-sama menciptakan keseluruhan.
Filsafat Cina dikembangkan atas dasar paradigma ontologis, epistemologis
dan metafisik yang berbeda dari wacana teoretis Barat. Konsep dan kategori yang
digunakan dalam filsafat Cina tidak dapat dengan mudah dipindahkan dari satu
konteks sosio-budaya ke yang lain, dan seringkali sulit untuk memahami filsafat ini
melalui lensa pemikiran tradisional Barat. Penerapan eksklusif metode Barat dengan
demikian dapat menyebabkan kesalahpahaman yang parah dan interpretasi yang salah
atas wacana China. Oleh karena itu, penting untuk berhati-hati agar tidak mengurangi
kekayaan dan kedalaman pemikiran Cina atau mengubahnya menjadi versi lemah dari
pemikiran filosofis Barat.
Dimensi epistemologis teks-teks Tionghoa dan perannya dalam konteks
pemikiran Tionghoa telah berkembang semakin berhasil di bawah naungan penemuan
kembali dan penerapan pendekatan dan kategori metodologi tradisional Tionghoa
yang spesifik. Bagian ini juga mengeksplorasi epistemologi Tiongkok melalui lensa
aset konseptual dan ideasional yang dibuat dan dikembangkan dalam tradisi Tiongkok
Menurut epistemologi tradisional Eropa yang berlaku, pengetahuan terutama
diperoleh melalui observasi dan penalaran. Namun, dalam pemikiran tradisional
Tionghoa, pengetahuan dipahami dalam arti yang lebih luas, yaitu sebagai sesuatu
yang juga (atau utamanya) bersumber dari muatan moral dan tidak dapat dipisahkan
dari praktik (sosial). Metode yang menentukan sebagian besar ajaran epistemologis
yang ditemukan dalam klasik Cina didasarkan pada pandangan dunia yang holistik,
dan diarahkan pada pemahaman yang dapat dicapai melalui pendidikan dan
pembelajaran. Isi dasar dari ajaran ini berakar pada premis etika pragmatis dan
utilitarian. Epistemologi Cina adalah relasional, yang berarti bahwa ia memahami
dunia luar yang diatur secara struktural, sementara pikiran manusia juga terstruktur
sesuai dengan sistem organik yang merangkul semua tetapi terbuka. Korespondensi
relasional antara kosmis dan struktur mental dengan demikian mewakili prasyarat
dasar dari persepsi dan pemahaman manusia. Tinjauan sistematis tentang fitur-fitur
khusus, metode sentral dan aliran perkembangan utama wacana epistemologis
Tiongkok klasik yang didasarkan pada pandangan dunia secara holistik yang tersusun
secara struktural dan berakar pada premis aksiologis.
DAFTAR PUSTAKA
Anwar, M. Hamid. 2009. Filsafat Olahraga sebuah pengantar. FIK UNY
Blauberg, Irina I., et al. “The Reception of the Western Thought in Contemporary
Russian Philosophy.” Studies in East European Thought, vol. 66, no. 3/4,
2014, pp. 277–297., www.jstor.org/stable/24673265. Accessed 1 Oct. 2020.
Cahn, Steven M. (ed.) (1985). Classics of Western Philosophy. Hackett.
Dunhua, ZHAO. “The Multilingual Condition of Philosophy in China.” Frontiers of
Philosophy in China, vol. 8, no. 2, 2013, pp. 230–239. JSTOR,
www.jstor.org/stable/23597395. Accessed 1 Oct. 2020.
Ergas, O. & Todd, S. (2016). Introduction. In O. Ergas & Todd, S. (eds.) (2016).
Philosophy East/West: Exploring intersections between educational and
contemplative practices. UK, Wiley-Blackwell. 1-8. (Equal contribution)
https://www.utm.edu/staff/jfieser/class/110/4-eastern.htm
Lai, Chen, and Michel Masson. “Studying Chinese Philosophy: Turn-of-the-Century's
Challenges.” Revue Internationale De Philosophie, vol. 59, no. 232 (2), 2005,
pp. 181–198. JSTOR, www.jstor.org/stable/23955662. Accessed 1 Oct. 2020.
Lewin D. and Ergas O. (2018) Eastern Philosophies of Education: Buddhist, Hindu,
Daoist, and Confucian Readings of Plato’s Cave. In: Smeyers P. (eds)
International Handbook of Philosophy of Education. Springer International
Handbooks of Education. Springer, Cham. Pp.479-497
Little, Daniel, "Philosophy of History", The Stanford Encyclopedia of Philosophy (Summer 2017 Edition), Edward N. Zalta (ed.), URL = <https://plato.stanford.edu/archives/sum2017/entries/history/>. Mechikoff & Estes, A History and Philosophy of Sport and Physical Education,
Fourth Edition © 2006, The McGraw-Hill Companies, Inc.
Rošker, Jana, "Epistemology in Chinese Philosophy", The Stanford Encyclopedia of Philosophy (Fall 2018 Edition), Edward N. Zalta (ed.), URL = <https://plato.stanford.edu/archives/fall2018/entries/chinese-­‐
epistemology/>.
Wong, David, "Comparative Philosophy: Chinese and Western", The Stanford
Encyclopedia of Philosophy (Fall 2020 Edition), Edward N. Zalta (ed.), URL
= <https://plato.stanford.edu/archives/fall2020/entries/comparphil-chiwes/>.
Download