Nama : Nicholas Chikara Manik Kelas : XII IPA 6 (22) Ruang Kosong Bola Pertama : Kick off Aku terbangun di tengah malam yang syahdu. Sambil menutup mata aku berusaha mematikan jam weker yang membuatku terbangun. Aku pun menatap ke langit-langit yang penuh dengan sarang laba-laba. Tak lama suara mama memanggilku, “Evan, lekaslah bangun! Ayahmu akan bertanding sebentar lagi.” Tanpa pikir panjang aku pun beranjak dari tempat tidurku dan langsung kuhampiri mama di ruang keluarga. Mama menyalakan televisi dan memintaku untuk mengambil makanan ringan yang ada di dapur. Kuambil beberapa snack dan minuman dari dapur. Mama memanggilku dengan nada tinggi, “Evan. Cepatlah ambil dan duduk di sini.” Kami pun duduk dan menonton televisi ditemani dengan anjing kesayanganku, Oly. Akhirnya kudengar komentator pertandingan menyebutkan Ayah, “Akankah sang kapten, Edwin van der Sar, akan menyelamatkan wajah timnya?” Ya, dialah Ayah. Sang penjaga gawang yang kala itu namanya sedang dielu-elu kan di negaraku, Edwin van der Sar. Ayah sedang naik daun karena performanya yang terus meningkat dari waktu ke waktu. Namaku adalah Evan van der Sar. Mamaku bernama Arabella Henzie, ia adalah seorang ibu rumah tangga. Kami sekeluarga tinggal di Kota Amsterdam. Kami tinggal di sebuah rumah lantai dua, tidak terlalu mewah, namun cukup nyaman untuk ditinggali. Aku bersekolah di Rotterdam Public School, di mana setiap hari semua orang hanya bertanya tentang Ayah. Hanya ada satu teman yang selalu peduli padaku. Namanya adalah Brithies. Tidak seperti kebanyakan orang, ia memandangku sebagai teman sebaya yang baik, bukan sebagai anak Edwin van der Sar. Ayah merupakan sosok yang menginspirasi semua orang termasuk diriku. Kerja keras, pantang menyerah, dan giat terlintas dalam benakku saat orang lain menyebutkan namanya. Ia bagaikan pahlawan perkasa di tengah lapangan. Ia membuatku jatuh cinta pada sepak bola. Sedari kecil, aku selalu menonton pertandingan sepak bola di Eropa. Sembari Ayah bertanding, aku selalu mencatat klub-klub yang dilawannya. Tidak jarang aku memerhatikan nama pemain-pemain yang menjadi kunci kemenangan. Saat ini, ayah harus membela timnas Belanda yang sedang melakukan pertandingan uji coba melawan Spanyol. Esok harinya ia pulang dengan gagah setelah semalam menumbangkan Spanyol. Tanpa pikir panjang aku langsung berkata, “Ayah hebat sekali tadi malam, berkali-kali menepis serangan dari Fernando Torres.” Ayah menjawab, “Itu semua berkat latihan dan kerja keras, juga dukungan kamu dan mama di rumah.” Tak lama setelah itu banyak wartawan datang ke rumahku untuk mewawancarai Ayah dan semua tentang betapa gemilangnya ia bermain. Setelah semua wartawan itu pergi, kami menyantap makan siang. Aku kembali bertanya, “Kapan aku boleh ikut menonton Ayah bertanding lagi? Melihat layar kaca saja sungguh tidak asik.” Ia tersenyum tipis dan menjawab, “Setelah mama sembuh barulah kita bisa menikmati pertandingan di stadion.” Saat aku masih kecil, aku dan mama selalu memandang Ayah bermain di stadion. Belakangan ini, mamaku sedang mengidap penyakit di lambungnya, sehingga harus beristirahat di rumah. Aku pun harus mengubur niatku untuk menonton Ayah di stadion demi kebaikan bersama. Lalu, aku menganguk dan menjawab, “Baik Ayah, janji ya nanti?” “Iya, lihat nanti ya hahaha,” jawabnya sambal tertawa. Aku merasakan kehangatan dalam keluarga ini. Ya, semua itu indah sampai saat ini. 1 Nama : Nicholas Chikara Manik Kelas : XII IPA 6 (22) Seminggu setelah hari di mana aku dan keluargaku bersenda gurau, muncul masalah yang tidak pernah aku harapkan. Kondisi mama semakin melemah, berjalan saja pun tidak sanggup. Tak terduga olehku penyakit yang dideritanya semakin parah, mama tak mampu mencerna makanan dengan baik. Ayah saat itu sedang bertanding di final dan akan menyelesaikan pertandingannya. Berkali-kali kucoba untuk menghubungi Ayah namun tak kunjung mendapat balasan. Aku yang mulai panik berusaha untuk menjaga diri agar tak kehilangan asa. Akhirnya kuputuskan untuk membawa mama ke rumah sakit. Aku terus berteriak, “Bu, jangan pergi bu, sedikit lagi kita sampai.” Mata mama sudah sayup-sayup dan terus merintih kesakitan. Sesampainya di rumah sakit, mama langsung dibawa ke ruang ICU. Aku hanya bisa memandang dari kejauhan ketika mama diberi pertolongan pertama. Keringat dingin terus mengucur deras di tubuhku, berharap mama bisa diselamatkan dari kondisi kritis. Sesekali kupandang mama di ruangan sembari menelpon Ayah yang kupikir sudah selesai bertanding. Saat kulihat tempat di mana mamaku terbaring, ternyata dokter serta para perawat sudah menggunakan alat pacu jantung untuk mengembalikan kesadaran mamaku. Lekas aku berlari menghampiri mama dan berteriak, “MAMA JANGAN TINGGALKAN AKU!” Namun Yang Maha Kuasa berkata lain. Saat itu mama telah tiada di depan mataku. Tanpa kuduga sang pahlawan mistar gawang kenamaan itu, Edwin van der Sar, justru menjadi pahlawan kesiangan bagi diriku. “Maaf,” ucapnya perlahan. “Maaf nak,” ucapnya perlahan sampai menguraikan air mata. Aku hanya terdiam seribu bahasa. Mulutku penuh dengan isak tangis. Maaf. Hanya kata itu yang ia ucapkan. Setelah tidak memberi sedikitpun balasan, ia hanya datang dengan mengucapkan maaf. Kemanakah sang pahlawan perkasa di bawah mistar gawang itu? Di manakah sang penjaga gawang dambaan semua orang? Bahkan ia tidak ada di saat mama menghembuskan napas terakhirnya. Malah Ayah menjadi pahlawan kesiangan di saat kritis keluargaku. Akhirnya kami pun pulang. Ayah berusaha menenangkan diriku, walaupun aku sama sekali tak tertarik untuk berbicara dengannya. Saat di rumah, aku bertanya kepadanya dengan memalingkan wajahku. “Gimana pertandingan?” ucapku sinis. “Ayah tidak bisa membawa piala hari ini,” ujarnya perlahan dengan penuh rasa kecewa. Aku yang sudah kehilangan sang mentari dalam hidupku, harus mendengar bahwa Ayah tidak membawa trofi. Aku terdiam sejenak, lalu pergi ke kamar dan kututup pintu kamarku. Kepalaku pusing, aku tak bisa berpikir dengan jernih. Nasibku sungguh seperti sudah jatuh tertimpa tangga. Aku hanya terpikir bagaimana semua komentar orang saat Ayah kalah di pertandingan final kemarin. Ucapan bela sungkawa terus menerus bermunculan, tetapi tetap muncul kritik dan cacian. Aku hanya terpikir bagaimakah aku hidup tanpa mama. Bagaimanakah aku yang selama ini menjadi awan, hidup tanpa mentari yang selalu menyinari diriku. Perlahan kucoba untuk menerima pahitnya kenyataan. Brithies datang dan memberikanku pelukan hangat. Ia menepuk bahuku dan berkata, “Life must go on, Evan, cobalah untuk menerima kenyataan walau pahit.” Ucapannya membuatku tersadar bahwa aku harus bangkit. Langsung kuhampiri Ayah, kupeluk ia erat. Meskipun berat bagiku untuk menerimanya, ternyata keluarga harus selalu memberi kehangatan. Oly, anjing kecilku datang dan menambah keharmonisan meski mama telah pergi. Akhirnya Ayahku kembali ke Italia untuk menjalankan pertandingan dengan klub Juventus. 2 Nama : Nicholas Chikara Manik Kelas : XII IPA 6 (22) Bola Kedua : Mengoper bola ke penyerang Tiga bulan berlalu, kegiatan demi kegiatan telah kulalui. Perlahan aku mulai membalut luka yang dalam sepeninggalan mamaku. Walau wajah dan semua kenangan masih tersimpan, aku harus menjalani kehidupanku sebagai murid dan anak dari Edwin van der Sar. Ayah akhirnya kembali ke Belanda karena akan ada Piala Eropa dan Ayah akan menjadi bagian dari timnas Belanda. Ayah berhasil meraih kemenangan beruntun bersama Belanda hingga mencapai semifinal Piala Eropa 2004. Ia tampil memukau dengan menjadi penyelamat wajah negara di saat yang dibutuhkan. Performanya yang gemilang membawanya untuk melawan Portugal nanti malam. Kala itu Portugal sedang diperkuat oleh bintang sepakbola, Cristiano Ronaldo. “Kalau sempat datang ke stadion ya, akan Ayah bungkam Ronaldo nanti,” ujar Ayah yang sedang bergegas pagi itu. Aku pun tertawa dan menjawab, “Jangan sampai ia dapat penalty, pasti gol.” Lalu, aku pergi ke sekolah. Sesampainya di sekolah, semua orang membahas Belanda yang akan melawan Portugal nanti malam. Saat aku masuk ke dalam kelas, semua mata tertuju kepadaku. Sontak semuanya menghampiri diriku dan bertanya kepadaku. “Gimana nanti malam nih, harus menang ya!” ujar salah seorang temanku. Adapula yang berujar, “Awas ya kalau kalah.” Brithies yang duduk di sampingku hanya menggelengkan kepala. “Diemin aja, aku juga berharapnya menang sih, tapi ya kita cuma bisa berdoa aja kan,” ucapnya sembari menepuk bahuku. Aku tersenyum dan tenang setelah ia mengucapkan kata-kata mutiaranya. Akhirnya sekolah selesai pada pukul 5 sore. Langit yang tadinya cerah menjadi abu kehitaman, seakan menjadi pertanda bahwa hal buruk akan datang. Kilat yang diiringi petir melengkapi kelamnya langit saat itu. Segera kupesan taksi menuju stadion tempat Ayah bertanding. Dalam perjalanan menuju stadion, hujan deras pun turun membasahi jalanan. Kulihat ponselku dan kudapati bahwa jalanan tersendat hingga beberapa kilometer sampai ke stadion. Aku pun bertanya kepada supir, “Pak, ini kenapa macet ya?” “Ada pohon tumbang di depan, nak,” ujar sang supir. Aku menjadi sangat panik, kulihat ponselku lagi dan waktu menunjukkan pukul 18.30, yang mana Ayah akan bermain 30 menit dari sekarang. Kubayar pak supir sesuai dengan tarif, lalu langsung kutinggalkan taksi dan berlari menuju stadion. Derasnya hujan dan suara petir tidak menghambat langkahku. Langkahku menjadi semakin cepat bersama dengan hujan yang semakin lama semakin deras. Akhirnya aku sampai di stadion dengan baju yang basah kuyup. Beberapa penjaga keamanan tidak memperbolehkanku masuk dengan kondisi seperti ini. Setelah mengetahui identitasku, aku diantar menuju kursi khusus untukku. Aku pun duduk dengan tenang meski kepalaku semakin lama menjadi berat. Hujan menjadi reda. Kesebelasan dari Belanda dan Portugal memasuki lapangan. Lagu nasional diputar membuat semua penonton berdiri dan menyanyikannya dengan semangat. Pertandingan pun dimulai, Belanda mulai menunjukkan dominasinya dengan berkali-kali memberikan tekanan kepada Portugal. Gol pertama dicetak oleh Raphael van der Vaart untuk Belanda. Semua penonton bersorak sorai. Akhirnya babak pertama berlangsung dengan cepat hingga turun minum. Aku hanya bisa berdoa agar Tuhan memberikan kemenangan kepada Belanda Babak kedua dimulai, kali ini Portugal memegang bola. Tiba-tiba Portugal menunjukkan taringnya dengan permainan yang berbeda dengan babak pertama. Cristiano Ronaldo mulai mengacak-acak pertahanan Belanda. Meski akhirnya Ayah bisa membuat berbagai penyelamatan. Kepalaku mulai terasa pening, aku mencoba untuk memijat kepalaku. Sekejap saja aku menutup mata, komentator berteriak, “GOOOOOOOL, Cristiano Ronaldo 3 Nama : Nicholas Chikara Manik Kelas : XII IPA 6 (22) membuka gol Portugal dengan sangat spektakuler.” Aku terdiam, dan keringat dingin mulai membasahi tubuhku lagi. Tidak kusangka keadaan akan berubah dalam kedipan mata. Pertandingan terus berlanjut, sementara kepalaku semakin pusing dan penglihatanku semakin kabur. Pemain Belanda menjadi kocar-kacir. Tidak ada lagi peluang-peluang emas seperti babak pertama. Belanda hanya bermain pasif mengandalkan pemain bertahannya. Berbeda dengan Belanda, Portugal semakin haus akan kemenangan. Serangan demi serangan yang mematikan mulai bermunculan. Detak jantungku semakin kencang melihat Cristiano Ronaldo sudah di depan gawang. Ia melepaskan tendangan kencang. Aku hanya bisa menutup mata karena tak sanggup melihatnya. “GOOOOL, gol kedua dari Manische untuk Portugal,” ujar komentator dengan suara nyaring. Aku terdiam, detak jantungku seakan berhenti sejenak. Ini menjadi malapetaka untuk Belanda. Tiba-tiba kepalaku semakin pusing dan kesadaranku mulai menjauh. Seketika itu juga aku jatuh dari tempat dudukku. Aku membuka mataku perlahan. Terlintas dibenakku, “Di mana aku?” “Apakah aku masih hidup?” “Apakah ada mama disini?” Aku pun tersadar bahwa aku sudah berada di rumah. Aku kembali mengingat apa yang terjadi malam kemarin. Aku pun teringat bahwa skor masih 2-1 saat itu. Segera kuambil ponsel dan mendapati bahwa semua orang mencaci penampilan Belanda. Aku yang masih bingung akhirnya membuka berita dan benar saja, Belanda kalah. Kalah di hadapan Portugal yang bahkan selama ini tidak pernah dianggap. Ayah masuk ke kamar dan langsung memelukku, dia benar-benar memastikan bahwa aku tidak apa-apa. Terlintas dibenakku hasil pertandingan tadi malam. Aku menangis. Ayah mencoba menenangkan diriku, aku tetap menangis. “Mau ditaruh di mana mukaku?” ujarku sambil menahan isak tangis. Ayah terdiam dan undur diri dari kamarku sambal menunjukkan raut sedih. Kecewa. Sungguh aku tak bisa menahan semua rasa kecewaku. Setelah semua perjuangan kulalui, setelah semuanya kukorbankan, aku hanya mendapat kekalahan. Lag-lagi kekalahan. Tidak bisakah Tuhan berpihak pada Belanda kali ini saja, tidak cukupkan semua pengorbanan ini, pikirku dalam hati. Kepalaku kembali pusing, penglihatanku kembali kabur. Setelah kurasakan tubuhku demam, kucoba meraih pengukur suhu. Ternyata demamku cukup tinggi. Buru-buru kurebahkan kembali tubuhku di Kasur. Kupejamkan mataku. Berharap pusing ini akan hilang. Berharap semua kekecewaanku hilang dengan sekejap. Selalu saja Ayah membuatku kecewa. Pikiranku semakin kacau, membayangkan semua hal buruk yang telah menimpaku. Saat semua awan kelam menyelubungi pikiranku, muncul secercah cahaya. Mungkinkan ini saatnya bagiku? Cahaya itu semakin terang dan membuat semua pikiran buruk menghilang. Muncul sosok mama di pikiranku. Mama, sang mentari. Mama kembali terlintas di benakku. Sang mentari selalu datang disaat awan mengeluarkan semua hujannya, begitulah mama. Mentari menjadi sosok yang selalu ada untukku, di semua suka dan duka yang kualami. Mama selalu menjadi sosok mama, teman, dan sahabat disaat semuanya hanya memandangku sebagai putra dari Edwin van der Sar. Kala itu, hanya mama yang mengerti semua keluh kesahku. Meskipun mama menanggung beratnya beban mengurus keluarga, ia tak pernah sedkitpun melupakan diriku. Aku tahu bahwa betapa banyaknya pekerjaan mama di rumah, mulai dari bersih-bersih, mengurus Oly saat aku bersekolah, menyiapkan perlengkapan Ayah untuk bertanding, dan masih banyak lagi. Tak pernah sekalipun kudengar ia mengeluhkan semua yang ia lakukan. 4 Nama : Nicholas Chikara Manik Kelas : XII IPA 6 (22) Andai mama masih di sini, di sampingku, menemaniku di saat aku bersedih. Andai mama masih di sini, ia akan menemaniku hingga terlelap. Andai mama masih di sini, ia akan mendengarkan semua keluh kesahku. Andai mama masih ada, ia akan memberikanku semua pelukan kasih sayang yang ia punya. Andai, andai, dan andai. Andai saja semua masih indah seperti sedia kala. Kapankah pelangi muncul setelah semua badai yang menimpaku? Muncul pertanyaan dibenakku. Kemanakah Tuhan selama ini? Nyenyakkah tidurnya? Kapankah badai ini akan berlalu dari padaku? Tak ada seorang pun yang mau datang dan memahami ku. Ayah? Yang ada di benaknya hanyalah pertandingan dan segala kejayaan dirinya. Setelah mama tiada, mungkin tak pernah terlintas pikiran keluarga dalam benaknya. Ia selalu menghabiskan waktunya untuk berlatih dari pagi hingga malam. Meski meraih beberapa kemenangan, ia selalu saja membuatku kecewa. Gagal lagi dan lagi membawa berbagai trofi ke rumah. Apalah artinya semua kemenangan itu tanpa adanya piala? Aku menangis lagi dan lagi “Mengapa nasibku sesuram ini, ya Tuhan?” ujarku sambil menangis kencang. Tiba – tiba Ayah masuk ke dalam kamarku. Ia membawa segelas susu panas. Belum sempat aku berteriak mengusirnya, ia langsung meraih bahuku dan memelukku erat. Tangisku menjadi semakin kencang dipelukannya. “Maafkan Edwin van der Sar ini nak, ia gagal lagi membawa trofi,” ujarnya perlahan. “Ayah pasti dapat juara tiga nanti. Doakan Ayah ya,” lanjutnya. “Mungkin Ayah gak pernah bikin kamu bangga, Ayah Cuma bisa bikin kamu kecewa. Ayah gak akan pernah bisa jadi mama. Ayah akan selalu sayang sama Evan dengan cara Ayah.” Ucapnya sambil menenangkan diriku. “Sosok mama gak akan pernah ada gantinya, dan gak akan terlupakan. Sekarang Evan harus berhenti melihat semua masa lalu indah yang hanya membuat kamu sedih. Masih banyak tantangan yang harus dilalui. Ayah janji akan membalas semuanya minggu depan. Evan gak boleh sedih lagi ya?” ujarnya sambil mengusap punggungku. “Iyaa Ayah, harus juara 3 ya,” jawabku sambil mengusap air mata. Akhirnya keadaan kami kembali seperti semula. Aku yang harus sibuk belajar dan Ayah yang sibuk latihan untuk melawan Republik Ceko tiga hari kedepan. 5 Nama : Nicholas Chikara Manik Kelas : XII IPA 6 (22) Bola Ketiga : Ketika bola itu terebut Tiga hari berlalu setelah Belanda menelan kekalahan pahit di hadapan Portugal. Berita itu sungguh menyayat hati negara ini. Semua orang hampir membuang muka terhadap kesebelasan ini. Tidak ada lagi harapan untuk sepakbola di negeri ini. Semua wajah menjadi muram. Tidak ada lagi semangat sepakbola di negeri ini. Yang ada hanyalah kekecewaan mendalam di hati banyak orang. Muncul kabar bahwa Belanda akan memperebutkan juara ketiga di Piala Eropa.Perlahan-lahan semua orang mulai berubah. Poster-poster kesebelasan Belanda yang telah dicabut mulai ditempel lagi. Atribut sepak bola Belanda mulai marak dijual lagi. Aku pun tersadar bahwa masih ada secercah harapan untuk mengembalikan citra Belanda di kancah Eropa. Meskipun ekspetasi juara telah sirna, setidaknya masih ada yang bisa diperjuangkan. Akhirnya Belanda menjadi cerah kembali seperti sebutannya, negeri oranye. Siang itu aku sedang belajar di sekolah. Semua orang membahas pertandingan yang akan datang. Bahkan guru yang seharusnya mengajar juga membahas sepak bola. Atmosfer ini membuatku teringat tentang Ayah. Ia pasti sedang latihan keras di lapangan. Teriknya matahari pasti tak akan terpikirkan olehnya. Dibenaknya hanya ada kata menang. Bagaimanapun ia harus membayar lunas kekalahan yang menusuk pada pertandingan kemarin. Ini akan menjadi pertandingan hidup-mati bagi kesebelasan Belanda. Semua orang menaruh harapan besar kepada Ayah. Menurut mereka, hanya Ayahlah yang mampu menyelamatkan wajah Belanda. Selebihnya hanya menjadi beban bagi tim Belanda. Mau bagaimana lagi hanya merekalah yang dianggap terbaik dari semua klub oleh negaraku. Meski demikian aku tetap optimis bahwa tim ini akan membawa pulang juara ketiga. Brithies memanggilku, “Evan, teleponmu bunyi, dari Pak Edwin tuh, hahahaha.” Kami pun tertawa. Tak kusangka Ayah akan menelponku. Maklum komunikasi diantara kami tidak begitu baik. Aku harus mengerti keadaannya yang lelah setiap pulang ke rumah. Aku mengangkat panggilan dari Ayah, “Halo Ayah, tumben banget nelpon siang hari.” “Iya, Ayah harap Evan baik-baik saja di sekolah. Apakah nanti kamu akan ke stadion?” Tanya Ayah. “Hmm, aku masih belum tahu, besok ada beberapa ulangan dan tugas.” Jawabku dengan ragu. “Kalau tidak bisa tidak apa-apa. Doakan Ayah ya, nonton di televisi juga asik kok hahaha,” jawabnya sambil tertawa kecil. “Baiklah, semangat Ayah!” ucapku sambil menyemangati Ayah. Aku kembali ke kelas dan menceritakan semuanya dengan Brithies. Sekolah hari ini pun berakhir. Aku langsung pulang ke rumah diantar oleh orang tua Brithies. Sesampainya di rumah, langsung kubuka tugas-tugasku dan kukerjakan. Tidak terasa 2 jam telat berlalu, aku yang sedang mengerjakan tugas tiba-tiba teringat bahwa Ayah akan bertanding. Langsung kututup bukuku dan kunyalakan televisi. Ternyata babak pertama baru saja dimulai. Untunglah aku tidak terlambat untuk menonton pertandingan ini. Pertandingan berjalan menegangkan. Belanda dan Ceko terus bertukar serangan. Pertandingan ini merupakan ajang gengsi antara Ayah, Edwin van der Sar, dengan penjaga gawang muda asal Ceko yang sedang gemilang, Peter Cech. Keduanya membuat banyak penyelamatan pada awal pertandingan. Jantung berdetak semakin kencang melihat permainan yang sangat intens dari kedua tim. Akhirnya muncul peluang emas dari Belanda. Robin van Persie memberi umpan silang kepada Ruud van Nistelrooy. Peluang tersebut berhasil digagalkan oleh Peter Cech. Penampilannya membuatku kagum sekaligus tidak tenang karena ia ternyata cukup hebat. 6 Nama : Nicholas Chikara Manik Kelas : XII IPA 6 (22) “Peluang emas tercipta lagi, Seedorf melewati 4 pemain Ceko, mengoper bola kepada Nistelrooy, daaaan.. GOOOOOOL. Akhirnya Belanda memecahkan kebuntuan di awal permainan,” teriak dari komentator di televisi. Gol sundulan dari Ruuud van Nistelrooy membuat bara api dalam diriku menyala. Permainan yang sangat indah ditunjukkan oleh penyerang depan itu. Kesebelasan Ceko mulai terlihat panas. Mereka mulai menunjukkan permainan yang agresif. Kupikir gol barusan akan membuatku tenang, ternyata tidak. Ceko terus menekan pertahanan Belanda. Penyerang dari Ceko melepaskan beberapa tembakan. Untungnya Ayah dengan sigap menghalau semua tembakan pemain Ceko. Ternyata Ayah tidak kalah hebat daripada penjaga gawang lawan. Ayah memberikan operan yang cukup jauh disaat para pemain Ceko masih berada di daerah pertahanan Belanda. Operan didapat oleh Arjen Robben. Arjen Roben menggiring bola dari tengah lapangan sama ke depan penjaga gawang. Ia menunggu lawan mendekatinya dan langsung mengoper bola ke Ruud van Nistelrooy. Ruud van Nistelrooy hanya perlu mencongkel bola agar mencetak gol. Itulah gol kedua untuk Belanda. Seketika itu juga aku lompat dari sofa tempatku duduk, karena terlalu senang. Akhirnya aku melihat permainan memukau dari tim Belanda lagi setelah sekian lama. Mungkin tahun depan Belanda masih memiliki harapan untuk juara apabila bermain konsisten seperti ini. Skor sementara 2-0, keunggulan untuk tim Belanda. Permainan berlanjut, hingga pemain bertahan Belanda membuat blunder sehingga memberikan Ceko skor 2-1. Blunder tersebut membuatku cukup kesal, namun skor Belanda masih unggul hingga babak pertama selesai. Akhirnya ada jeda bagiku bernapas dengan baik. Babak kedua dimulai, nampaknya pemain Belanda sudah terlihat kelelahan setelah babak pertama. Tetapi kesebelasan Ceko bermain semakin ganas. Serangan baru yang bervariasi terus bermunculan, sementara Belanda tidak mengganti strategi bermainnya. Hal ini menyebabkan Belanda tidak dapat menciptakan peluang emas lagi. Penyerang dari Ceko mencoba mengacak-acak pemain belakang Belanda. Pemain belakang Belanda mulai kehabisan stamina dan tidak mampu menjaga dari serangan-serangan. Akhirnya skor pun menjadi 2-2. Seketika itu juga aku terdiam. Bagaimana mungkin hal seperti ini terjadi? Tim Belanda yang lebih dulu mengambil keunggulan akhirnya berhasil disamakan skornya. Firasatku mengatakan bahwa Belanda benar-benar diujung tanduk. Permainan dilanjutkan ke babak tambahan waktu. Benar saja, lagi-lagi pemain bertahan Belanda melakukan kesalahan fatal. Hal ini langsung dimanfaatkan oleh pemain Ceko sehingga menghasilkan peluang emas. Peluang emas tersebut akhirnya menambah skor dan membuat Ceko berhasil mengembalikan keadaan dengan serangan-serangan tak terduga. Aku menjadi semakin panik. Kucoba untuk menenangkan diri saat situasi seperti ini. Pertandingan dilanjut. Belanda yang sudah tak bertenaga berusaha untuk menyamakan kedudukan. Tetapi tidak ada satupun umpan yang berhasil menjadi peluang. Pemain bertahan timnas Ceko menunjukkan permainan yang sangat solid sehingga van Nistelrooy dan Robben tak mampu menembus jantung pertahanan Ceko. Peluit panjang dibunyikan oleh wait menandakan berakhirnya pertandingan antara Belanda melawan Ceko dengan kemenangan bagi Republik Ceko. Sungguh kemenangan yang fantastis. Ceko berhasil melakukan comeback dengan membalikkan keadaan setelah tertinggal 0-2 menjadi 3-2. Aku hanya mampu terdiam melihat timnas Republik Ceko merayakan keberhasilan mereka meraih posisi ketiga di Piala Eropa ini. Aku masih tidak percaya bahwa Belanda benar-benar kalah. Sungguh konyol, sudah unggul dibabak pertama malah terkalahkan dibabak tambahan. 7 Nama : Nicholas Chikara Manik Kelas : XII IPA 6 (22) Kulihat ponselku, semua orang mengunggah kekecewaannya atas kekalahan Belanda. Tak bisa dipungkiri aku pun masih belum menerima kenyataan bahwa Belanda tidak berhasil merebut posisi ketiga di salah satu perlombaan sepak bola yang bergengsi untuk negara-negara Eropa. Aku harus rela melihat negaraku sendiri pulang dengan tangan hampa. Walaupun Ayah sudah menunjukkan permainan yang gemilang, Tuhan masih belum merestui posisi ketiga jatuh ke tangan Belanda. Tiba-tiba ponselku berdering dan kulihat Brithies menelponku. Aku mengangkat panggilan dan Brithies langsung teriak, “Buka pintu ya! Sebentar lagi sampai nih.” Tak lama kemudian terdengar suara bel, padahal aku kira Brithies hanya bercanda untuk menghibur diriku yang frustasi akan kekalahan ini. Aku membuka pintu dan ternyata Brithies sudah ada di depan rumah. Aku pun mempersilahkannya masuk. “Nih aku bawa snack untuk ngemil sambil belajar,” ujar Brithies sambil mengeluarkan beberapa makanan ringan. “Wah makasih banyak loh, akhirnya ada yang bikin mood jadi bagus,” ucapku sambil menghela napas panjang. Memang hanya Brithies yang mengerti keadaanku. Hanya ia yang rela datang ke rumahku untuk menghiburku, yang secara langsung terkena dampak kekalahan dari Belanda. Brithies memang selalu menjadi pelangi saat badai melanda. Aku dan Brithies berbincang-bincang tentang pertandingan tadi. Sama seperti diriku, Brithies juga kecewa dengan kekalahan Belanda malam ini. Padahal saat babak pertama dimulai, Belanda jauh lebih unggul daripada Ceko. Saat itu kesebelasan Belanda sudah sangat sinkron baik membangun serangan dan pertahanan. Peluang emas ketiga dari Belanda bisa dimanfaatkan dengan baik oleh Ruud van Nistelrooy. Brithies juga berpendapat bahwa Belanda banyak menciptakan peluang gol di babak pertama. Ia berpendapat bahwa sangat disayangkan Belanda tidak mampu menjaga tempo permainannya hingga kesebelasan Ceko bermain lebih agresif. Pemain Belanda sering kehilangan bola dan membuat kesempatan bagi Ceko. Gold dan gol tercipta akibat tidak adanya permainan yang solid di bagian pertahanan. Aku bersedih, namun aku tak bisa menangis begitu saja di depan sahabat karibku. Aku menghela napas sambil menggerutu, “Andai saja semua pemain sehebat Ruud van Nistelrooy. Andai semua kaki yang lamban itu bisa secepat dirinya. Jangankan memang, rekan satu tim pun bisa berebut bola.” “Ruud van Nistelrooy memang hebat. Tadi saja ia menciptakan 2 gol yang spektakuler. Tak heran ia tertunduk lesu setelah pertandingan selesai,” jawab Brithies. “Andai semua pemain Belanda sama seperti Ruud van Nistelrooy. Andai saja Belanda tidak membuang semua peluang pada babak pertama. Andai Belanda menyiapkan strategi yang lebih baik. Andai saja semua pemain bertahan bisa bermain dengan bagus. Aduh, kenapa sih harus kalah lagi? Apalah gunanya Ayah yang sudah membuat puluhan penyelamatan? Apalah artinya penyelamatan itu bila pemain bertahan hanya melihat dan tak bergerak sedikitpun?” ujarku kesal. Aku meluapkan semua kekecewaanku di hadapan Brithies. “Berat ya jadi anak seorang goalkeeper?” Tanya Brithies dengan halus. Aku hanya bisa mengangguk. Bagaimana tidak berat, ia hanya menyibukkan dirinya dengan sepak bola. Latihan, latihan, latihan, terus menerus setiap hari dan setiap waktu. Ia hanya pulang untuk tidur. Mungkin aku hanya sebatas anggota keluarganya saja. Ayah sudah terlalu sibuk dengan dunianya, dunia sepak bola. Tetapi tidak semua pemain memiliki semangat juang seperti Ayah, dan hasilnya Belanda selalu saja pulang dengan tangan hampa. Tak lama kemudian Brithies pamit karena sudah larut malam. Aku pun hanya sendiri di rumah, hanya ada anjing kecilku, Oly, yang menjadi saksi betapa kesepiannya aku di rumah ini. Sekarang aku harus menghadapi beragam omongan orang-orang tentang kekalahan tadi. Meskipun Ayahku bukanlah penyebab kekalahan Belanda. Ayahku tidak akan luput dari komentar negatif. Aku benar-benar 8 Nama : Nicholas Chikara Manik Kelas : XII IPA 6 (22) tidak tahu apa yang akan terjadi saat di kelas nanti. Aku sama sekali tidak punya muka untuk bertemu dengan teman-teman di sekolah. Langkahku menjadi lemas, pikiranku juga menjadi kacau. Aku takut akan pingsan lagi seperti waktu itu. Saat beranjak ke kamar, aku melihat album foto terletak di meja makan. Aku bingung memikirkan siapa pula yang mengeluarkan album foto itu. Langsung aku ambil album itu dan bergegas menyimpannya di lemari. Aku masih belum ingin melihat semua kenangan masa lalu keluargaku yang terlalu indah bersama dengan mama. Tiba-tiba terlintas dalam benakku untuk membukanya. Tanpa disadari aku sudah melihat berbagai foto masa kecilku dengan mama dan Ayah. Mulai dari lembaran foto hitam putih yang terdapat aku saat masih bayi di dalamnya. Foto pertama saat aku bisa berdiri dan berjalan. Foto saat ulang tahunku yang pertama. Dalam foto itu tidak ada perayaan yang meriah dan megah, namun aku terlihat sangat bahagia di sana. Saat aku membuka halaman berikutnya ternyata ada satu foto yang tidak dimasukkan ke dalam album. Saat aku melihat foto itu, itu adalah fotoku saat bermain bola bersama Ayah dan mama. Saat itu kami sedang berlibur ke villa dan menonton berbagai cuplikan pertandingan sepak bola. Setelah itu aku meminta Ayah untuk mengajakku bermain. Saat itu, Ayah seharusnya pergi ke sarana olahraga, namun mama membujuk Ayah untuk menemaniku bermain. Akhirnya kami bermain bersama hingga petang tiba. Semenjak saat itu aku sangat menyukai sepak bola. Setiap Ayah pulang aku selalu bertanya tentang klub-klub yang bertanding dan pemain-pemain mereka. Ayah yang dulu masih mau meluangkan waktunya untukku. Mereka melihat bahwa aku sangat antusias, Ayah akhirnya mau mengajariku bermain sepak bola. “Beginilah caranya melakukan driblle,” ucap Ayah sambil mencontohkan caranya. Aku ingat betul betapa harmonisnya kami saat itu. Semua itu indah sampai Ayah ditunjuk menjadi penjaga gawang di tim senior Ajax Amsterdam. Ayah latihan hampir seharian bersama dengan rekan-rekannya. Ayah juga semakin sering dimainkan di tim utama, ia selalu bermain pada setiap laga penting. Setelah mama tiada pun, hari-hari mulai terasa hampa. Aku tak pernah lagi bermain dengan Ayah. Ayah yang kala itu sedang naik daun menjadi semakin cuek denganku. Meski semua orang beranggapan bahwa, menjadi anak seorang atlet itu adalah kelebihan, sejujurnya tidak selalu demikian. Ayah bahkan semakin cuek kepada keadaan di rumah di rumah. Ayah selalu berkata bahwa ia mengatakan bahwa ia akan selalu memahamiku. Ia bahkan tidak tahu bagaimana caranya, ia selalu menggunakan persepsinya saja. Belum selesai aku melihat semua lembaran foto, tiba-tiba terdengar ketukan pintu. Saat aku membuka, terlihat wajah Ayah yang sangat lesu. Seketika itu juga, Ayah langsung terjatuh di depan pintu. Dengan spontan langsung kuraih badannya dan membantunya berdiri. Ia terlihat sangat lelah setelah pertandingan tadi. Raut wajahnya terlihat sangat sedih. Ayah menangis dan berkata, “Evan kecewa ya? Maafkan Ayah ya, Ayah pulang dengan tangan hampa. Ayah memang tidak berguna. Lagi-lagi kalah.” Ayahku terdiam, ia sudah tak tahu apa yang harus diucapkan lagi. Ayahku berkata bahwa ia begitu lelah dengan permainan timnya. Hampir semua anggota timnya hanya mengandalkan Ayah dan pemain penyerang. “Ayah sudah melakukan yang terbaik, Ayah juga punya batas nak, mungkin memang belum ditakdirkan untuk membawa piala,” ucap Ayahku sambil menghela napas. “Tak apa Ayah. Ayah sudah melakukan yang terbaik kok. Tadi saja sudah banyak penyelamatan. Ya, mungkin tahun ini memang belum rezeki buat Ayah,” ucapku mencoba menenangkan perasaan Ayah. “Evan, sepertinya Ayah tidak akan bertahan di Juventus, meskipun masih ada sisa kontrak, Ayah harus meninggalkan Italia,” ucap Ayah sambil memandang diriku. 9 Nama : Nicholas Chikara Manik Kelas : XII IPA 6 (22) “Lah, kok tiba-tiba meninggalkan Italia? Juventus kan memiliki prospek yang bagus. Pemain-pemainnya juga bagus, pasti mudah untuk meraih trofi, bagaimana mungkin Ayah memilih pindah?” tanyaku dengan penuh rasa heran.Juventus saat itu memiliki komposisi tim yang sangat lengkap, mulai dari penyerang yang tajam, pertahanan yang kuat,ditambah dengan Ayahku sebagai penjaga gawang. Aku benar-benar tidak habis pikir mengapa Ayah mau meninggalkan klub dengan julukan si nyonya tua itu. “Memang benar Juventus adalah klub yang hebat, tapi Ayah tidak bisa mengembangkan kemampuan Ayah di sana. Permainan yang ciamik membuat lawan sama sekali tidak bisa menggiring bola ke hadapan Ayah,” ucap Ayah. Ucapan Ayah ada benarnya juga, selama bermain di Juventus, Ayah jarang sekali mendapat tekanan dari lawan. “Juventus baru saja mendatangkan penjaga gawang muda yang berbakat, kedepannya Ayah juga tidak akan mendapat jatah bermain sebanyak sekarang,” tambah Ayah. “Kalau begitu ada baiknya Ayah pindah. Nah, Ayah akan pergi ke mana? Apakah Ayah akan kembali ke Belanda?” tanyaku kepada Ayah. “Hmm, setelah tampil di Piala Eropa ini, Ayah mendapat tawaran dari beberapa klub Inggris,” ucap Ayah. “Hah? serius Ayah akan bermain di Inggris?” tanyaku dengan kaget. Mengingat persaingan untuk bermain di Inggris sangatlah ketat, aku khawatir bila Ayah akan bermain di Inggris. “Sudah ada tiga klub di London yang memberi Ayah penawaran dan bersedia menebus kontrak dengan Juventus. Mungkin ini peluang bagi Ayah untuk membuktikan bahwa Ayah bisa menjadi yang terbaik,” ucap Ayah yang mencoba meyakinkanku. “Sepertinya untuk kali ini kamu harus ikut Ayah ke inggris, nak. Ayah akan jarang sekali pulang ke Belanda apabila bermain di Inggris. Ayah harus lebih fokus untuk berlatih,” ucap Ayah. Aku terdiam begitu lama, meski Ayah mencoba membeberkan alasannya, aku hanya diam. Dengan pindah ke Inggris, berarti aku akan meninggalkan rumahku yang penuh kenangan dengan mama. Bila aku pergi, aku akan meninggalkan Brithies di sini. Kalau demikian dengan siapa aku akan berteman? Siapakah yang akan mengerti keadaan diriku? Aku pasti kesepian karena sepanjang hari karena Ayah pasti pulang larut malam. Tak lama setelah itu Ayah mengurus surat kepindahanku dari sekolah menuju sekolah yang ada di London. Aku tidak sempat mengucapkan perpisahan dengan teman-teman di sekolah. Akhirnya kami berdua membicarakan hal ini lebih lanjut dengan keluarga dan kerabat kami yang ada di Belanda. Mereka pun setuju dan memperbolehkan kami untuk pindah ke Inggris demi kebaikan Ayah. Hampir semua media memberitakan bahwa Ayahku akan hengkang dari Juventus dan akan pergi ke Inggris. Seketika itu juga Ayahku menjadi bahasan semua orang. Sebelum aku berangkat ke Inggris, aku harus mengucapkan kepada sahabat karibku, Brithies. Aku takut ia marah karena berita lebih dahulu memberitahukan kepergian Ayahku kepadanya. Akhirnya aku sampai di depan rumah Brithies. “Brithies, ini Evan,” ucapku mencoba memanggilnya, semoga saja ia mau menyambutku. Tiba-tiba pintu terbuka dan Brithies muncul. Seketika itu juga ia lari mendapatiku dan memelukku. “Aku sudah mendengar dari berita bahwa Ayahmu akan pergi ke Inggris dan sepertinya Evan akan ikut juga ya?” tanya Brithies. “Iya aku harus ikut dengan Ayahku ke Inggris. Aku titip anjingku bersamamu ya?” jawabku. “Tidak apa-apa, sukses terus ya Evan, Olly aman bersamaku, nanti jangan lupakan aku ya kalau kembali ke Belanda!” ucap Brithies. “Iya, aku tak akan melupakanmu, terima kasih ya untuk semuanya,” jawabku. Tak lupa kuberikan bunga tulip kepada Brithies sebagai tanda persahabatan kami yang erat. Akhirnya aku mengucapkan selamat tinggal kepadanya. Tak kusangka aku harus meninggalkan Amsterdam, kota yang penuh dengan kenangan bagiku. 10 Nama : Nicholas Chikara Manik Kelas : XII IPA 6 (22) Bola Keempat : Mengambil bola Aku dan Ayahku akhirnya pergi ke London. Dalam perjalanan aku terus memikirkan klub apa yang merekrut Ayah? Apakah Chelsea? Apakah Arsenal? Atau mungkin saja Manchester United? Ah, tidak mungkin Manchester United, lagipula aku dan Ayah berangkat ke London. Aku pun bertanya, “Klub apa yang akan merekrut Ayah? Apakah klubnya terkenal? Apakah klubnya hebat?” “Sebenarnya Manchester United dan Arsenal sudah beberapa kali menghubungi Ayah, namun Ayah belum bisa menerima tawaran mereka,” ucap Ayah. “Lah, kedua klub kan sedang berjaya, lalu klub manakah yang Ayah maksud?” tanyaku dengan penuh rasa heran. “Ayah sudah memutuskan untuk menerima tawaran dari klub Fulham,” ucap Ayah. “Fulham? Klub papan kedua kah? Aku sama sekali tidak tahu,” ucapku bingung dan heran. Aku sama sekali belum pernah mendengar bahwa ada klub Fulham di Liga Inggris. Setahuku klub papan atas Liga Inggris saat ini diisi oleh klub yang terkenal, seperti Manchester United, Liverpool, Arsenal, dan Chelsea. Meskipun demikian, hanya Manchester United dan Liverpool yang benar-benar merupakan tim kuat. “Mengapa Ayah memilih klub yang bahkan aku tidak tahu namanya?” tanyaku dengan penuh kebingungan. “Pasti sedang terpikir Manchester United dan Liverpool ya? HAHAHA Ayah yakin kamu berharap Ayah akan ke sana,” ucap Ayah sambil tertawa. “Kalau begitu mengapa tidak ke sana saja?” ucapku yang masih bingung. “Ada alasan mengapa Ayah memilih Fulham. Coba bayangkan apabila Ayah masuk ke klub yang saat ini sedang kuat? Hasilnya akan sama saja seperti di Juventus kemarin. Ayah tak bisa menunjukkan kemampuan dan tak bisa berkembang lebih jauh lagi,” ucap Ayah menjawab pertanyaanku. “Hmm, benar juga sih,” ucapku spontan. Ucapan Ayah ada benarnya juga, kalau saat ini ia langsung menerima tawaran klub besar, Ayah tidak akan banyak berkembang. “Saat ini, Fulham memang tidak terlalu hebat dan bahkan tidak terkenal. Akan tetapi, di sana Ayah mampu bermain dengan baik. Saat nanti Ayah sudah menjadi pemain yang memiliki skill yang mumpuni, Ayah akan percaya diri untuk menerima tawaran klub besar,” ucap Ayah. “Baiklah kalau itu maksud Ayah,” ucapku. Ternyata Ayah sudah membuat keputusan bagus dengan tidak menerima tawaran klub besar terlalu cepat. Dengan menjadi pemain di klub yang besar dan terkenal, maka Ayah harus mampu menjaga nama baik klubnya tersebut. Apabila tim tersebut mengalami kekalahan, maka yang menyerangnya bukan hanya pendukung yang ada di Inggris, tetapi pendukungnya di seluruh dunia. Tibalah kami di London, ibukota Inggris. Klub Fulham sudah menyediakan tempat tinggal untuk kami di pinggir kota. Setibanya kami di sana, ternyata tempat tinggal kami cukup jauh untuk mengakses fasilitas-fasilitas publik. Rumah yang disediakan untuk kami tidak terlalu besar, tetapi tidak terlalu kecil, cukup untuk aku dan Ayahku. Ayahku langsung berangkat ke stadion Fulham. Aku akan menjalani kehidupanku yang sepi di rumah ini dengan Ayah yang selalu pulang malam. Selama 2 minggu aku terus berada dalam kesepian ini, tak ada teman yang menemani karena di sini sangat sepi. Bahkan untuk pergi ke pusat keramaian harus memakan waktu sekitar 1-2 jam. Aku pun semakin jarang untuk berbincang-bincang dengan Ayah karena Ayah baru selesai latihan sekitar pukul 11 malam, sementara waktu yang dibutuhkan Ayah untuk sampai ke rumah sekitar 2 jam. Akhirnya kuberanikan diriku untuk meluapkan semua keluh kesahku pada Ayah. Sambil menanti kedatangannya, jantungku terus berdetak dengan kencang. Jarum jam menunjuk ke angka 1. Yang artinya Ayah sebentar lagi akan sampai. 11 Nama : Nicholas Chikara Manik Kelas : XII IPA 6 (22) Benar saja, tak lama setelah itu, Ayah sampai ke rumah. “Eh, Evan belum tidur?” ucap Ayah yang terlihat kaget saat melihatku belum tidur. “Belum,” ucapku dengan gugup. Ah padahal aku hanya tinggal bilang kalau aku ingin membicarakan sesuatu. Ayah pun langsung mandi. Baiklah, aku akan menyampaikannya saat Ayah selesai. Ayah akhirnya keluar dari kamar mandi dan berkata, “Evan, Ayah tidur duluan ya.” Dengan gugup aku menjawab, “Iya. Selamat malam Ayah.” Bodohnya aku ini, kalau begini terus aku tidak akan pernah menyampaikan kepada Ayah. Saat Ayah hendak mengunci pintu kamarnya, akhirnya kuberanikan diriku untuk mengetuk pintu. “Ayah, Evan mau bicara sama Ayah,” Seketika itu juga diriku menjadi tenang, detak jantungku kembali normal. Ayah membuka pintu, “Ada apa nak?” Aku mencoba mengatakan apa yang kurasakan, “Ayah, sepertinya lebih baik kalau kita pindah ke dekat stadion Ayah saja.” Aku menjelaskan bahwa di sini jauh dari segala tempat dan aku pun tidak mempunyai teman. “Kalau memang demikian, ada baiknya kita pindah ke apartemen dekat stadion. Sulit untuk mencari rumah di tengah London, jadi lebih baik kita tinggal di apartemen,” ucap Ayah. Mendengar jawaban Ayah aku menjadi lega, akhirnya Ayah mau mencoba mengerti dengan keadaanku dan kesepianku. Aku sangat berharap dengan kepindahan kami ke sana akan mempererat hubunganku dengan Ayah dan semoga saja kami menjadi semakin akrab. “Terima kasih Ayah.” Setelah meminta persetujuan dari klub Fulham, kami akhirnya pindah ke apartemen dekat stadion. Kebetulan, apartemen tersebut merupakan milik teman Ayahku dan kamar kami tepat di sebelah kamar milik teman Ayah. “Teman Ayah mempunya seorang anak yang seumuran denganmu, mungkin kamu bisa berteman dengannya,” ujar Ayah. “Baiklah,” jawabku. Tiba-tiba terdengar bunyi bel pintu. Saat Ayahku membuka pintu, ternyata itu adalah temannya yang tinggal di sebelah kamar sebelah. Ia menawari kami makan malam bersama dengan keluarganya untuk menyambut kedatangan kami. Ayah menerima ajakan itu. Aku pun segera bersiap karena hari sudah petang. Kami pun menyantap makan malam di kamar apartemen milik teman Ayah. Kami berbincang-bincang cukup lama. Ayah dan temannya bercakap tentang sepak bola. Hanya tinggal aku dan dia, entah siapa namanya aku belum berkenalan dengannya. Saat ibunya pergi ke dapur, suasana menjadi canggung karena kami tak saling mengenal. Akhirnya kuberanikan diri untuk berkenalan dengannya. “Hai, boleh kenalan? Namaku Evan,” ucapku sambil menyodorkan tangan. Dia menerima sodoran tanganku dan menjawab, “Halo Evan, aku Mandy, salam kenal.” Untung saja aku sudah fasih berbahasa Inggris. Aku dan Mandy berbicara tentang banyak hal tentang masalah remaja. Ternyata Mandy juga asik dan seru untuk diajak ngobrol. Terkadang kami membahas masalah sepak bola dan Ayahku, terkadang kami juga membahas masalah sekolah. Hampir semua topik asik untuk dibicarakan dengan Mandy. Kami juga membahas keadaan di negara masing-masing. Aku juga bertanya tentang berbagai tempat yang ada di London. Tidak lupa aku bertanya tentang budaya dan tata krama yang ada di London. Akhirnya aku menemukan teman yang asik setelah berpisah dengan Brithies. Setelah menghabiskan waktu 2 jam. Akhirnya aku dan Ayah pamit dan kembali ke kamar kami. Aku menceritakan kepada Ayah betapa serunya berbincang dengan Mandy. “Untung saja Ayah mengabulkan permintaanku untuk pindah, aku bisa bertemu dengan teman yang asik,” ucapku. “Iya, untung saja ada teman Ayah yang tinggal di dekat stadion Fulham,” jawab Ayah. Kami tidak banyak berbincang karena Ayah pun harus menyiapkan penampilan pertamanya bersama dengan Fulham. 12 Nama : Nicholas Chikara Manik Kelas : XII IPA 6 (22) Setelah berdiskusi dan bertanya ke beberapa kenalan Ayah, aku memutuskan untuk bersekolah di sekolah yang sama dengan Mandy. Kami pun banyak menghabiskan waktu bersama setelah pulang sekolah. Terkadang kami menonton pertandingan Fulham bersama. Kami kerap kali memberi komentar terhadap pertandingan yang kami tonton, daripada kami hanya melihat pemandangan jelek dari apartemen. “Lihat! pemain nomor punggung 9 yang menjadi beban. Ia selalu membuat kesalahan yang sangat merugikan,” ucapku dengan kesal. “Kalau menurutku sih taktik dari pelatih Fulham kurang bagus saat dipakai melawan Manchester United,” bantah Mandy. Kami sering berbeda pendapat tentang alasan tim Ayah kalah, tetapi kami tetap berteman dengan baik. Walaupun begitu, Mandy masih menjadi sosok yang misterius untukku. Meskipun ia merupakan sosok teman yang asik dan bijak, ia hampir tidak pernah bercerita tentang dirinya kepadaku. Semua percakapan kami dimulai dariku, ia hanya menjawab. Akhirnya kuputuskan untuk membuang pikiran buruk tentang Mandy dan berteman seperti biasanya saja. Setelah pindah ke Fulham, permainan Ayahku berubah total. Kemampuannya saat bertanding pun semakin meningkat. Sepertinya Ayah sedang membuktikan perkataannya bahwa ia akan berkembang di klub yang performanya tidak terlalu bagus. “Keren juga permainan Ayah akhir-akhir ini,” ucapku kepada Ayah. “Sudah Ayah bilang, di sini Ayah bebas mengembangkan kemampuan Ayah. Tunggu saja nanti Ayah akan membawa pulang trofi,” jawab Ayah kepadaku. Aku sangat berharap Ayah mendapatkan juara liga Inggris tahun ini. Meskipun tim Ayah tidak terlalu bagus, tetapi aku masih melihat peluang bahwa Ayah mampu berkompetisi di papan atas liga Inggris. Menjelang akhir musim pertama Ayah, ia berhasil membawah Fulham berada di posisi ke 6 klasemen liga Inggris. Sejauh ini, itu merupakan hal terbaik untuk klub Fulham. Musim sebelumnya, Fulham hanya mampu meraih posisi kesebelas di klasemen Premiere League. Walau Ayah sudah berusaha, Fulham tidak mampu meraih piala liga Inggris pada musim ini. Musim selanjutnya, klub Fulham mendatangkan pemain-pemain baru yang akan melengkapi Ayahku di lini belakang. Dengan adanya pemain baru, aku sangat berharap bahwa Fulham mampu membawa pulang satu gelar untuk tahun ini. Pertandingan demi pertandingan berhasil dilewati dengan baik oleh Ayahku. Hingga tibalah Fulham di akhir musim 2005/2006. Aku melihat peringkat sementara dan Fulham berada di posisi kedua. Saat itu, peringkat pertama diisi oleh klub Liverpool, yang kala itu juga sedang berambisi untuk mengakhiri puasa gelar. Aku melihat laporan pertandingan Liga Inggris. Di sana kudapati bahwa Fulham hanya membutuhkan 1 kemenangan dari 1 pertandingan untuk menjadi juara Liga Inggris. Ayah harus menang melawan klub Manchester United yang saat itu berada di asuhan Sir Alex Ferguson. Aku dan Mandy datang ke stadion Craven Cottage, yang menjadi stadion Fulham saat itu, untuk menonton pertandingan Ayahku. “Aduh aku gak tenang nih, lihat Ayah melawan MU,” ucapku. Mandy hanya tertawa kecil dan menjawab, “Tenang saja, semua bisa terjadi di sepak bola.” Jawaban Mandy membuatku semakin berharap bahwa Ayah mampu mengalahkan klub dengan julukan “setan merah” itu. Pertandingan dimulai. Manchester United benar-benar mendominasi dari awal pertandingan. Mereka menyajikan permainan yang rapi, dan jarang sekali kehilangan bola. Sementara pemain Fulham bersusah pAyah untuk menjaga permainan sehingga mereka tidak lengah. Akhirnya pemain Manchester United menunjukkan taringnya dengan membuat serangan bertempo cepat. Manchester United total membuat 13 percobaan untuk 13 Nama : Nicholas Chikara Manik Kelas : XII IPA 6 (22) mencetak gol, sementara Fulham hanya mampu membuat 3 peluang. Untungnya 13 percobaan tersebut berhasil dimentahkan oleh Ayah. Hingga babak pertama selesai, kedua tim belum mampu untuk mencetak gol. “Pemain Manchester United terus memberi tekanan, melepas tembakan, daaaan.. masih bisa ditepis oleh van der Sar, dan langsung disambut oleh David Beckham, daan GOOOOOL.” “Akhirnya Manchester United berhasil memecahkan kebuntuan dengan menghancurkan tembok pertahanan Fulham yang sangat kokoh.” Aku tersadar akan suatu hal. Bahwa memang tim Ayahku belum mampu untuk bersaing melawan tim elite seperti Manchester United. Tim dalam naungan Sir Alex Ferguson tersebut memang sangat mengerikan. Mereka punya segudang pemain muda yang bertalenta dan mampu diubah menjadi pemain yang hebat. Secara mental, Fulham pertama kali berada di peringkat atas, sementara bagi Manchester United ini adalah hal yang biasa. Akhirnya wasit meniup peluit panjang yang menandakan berakhirnya pertandingan. “David Beckham telah berhasil menyelamatkan muka Manchester United dan merebut posisi klasemen kedua dari Fulham,” ujar komentator. Dengan hasil ini, Liverpool semakin kokoh di puncak dan berhasil menjadi juara Liga Inggris untuk musim itu. Aku kembali dan menunggu kepulangan Ayah . Saat Ayah pulang, aku mencoba menghiburnya. “Ayah sudah melakukan yang terbaik untuk kali ini,” ucapku. “Terima kasih ya nak, sudah selalu ada untuk mendukung Ayah. “Ayah, bagaimana dengan semifinal European Champions League minggu depan? Lebih baik Ayah berfokus ke Champions League saja, hadiahnya lebih besar kan?” ucapku. “Iya, mengingat Ayah harus menghadapi Liverpool di semifinal nanti. Dua minggu berlalu. Akhirnya tibalah pertandingan melawan Liverpool untuk merebut tiket menuju final European Champions League. “Aku yakin kali ini Ayahmu bisa mencapai final,” ucap Mandy kepadaku. “Aku juga seratus persen yakin kali ini,” ucapku. Pertandingan kali ini diadakan di markas milik Liverpool, Anfield Arena. Saat masuk ke dalam stadion, atmosfernya sangat luar biasa. Ini berbeda dengan stadion lainnya. Tekanan dari para pendukung Liverpool sangat terasa. Pertandingan dimulai. Liverpool dan Fulham sama-sama menunjukkan permainan yang monoton. Hingga tiba-tiba sang motor permainan lawan, Steven Gerrard, memberi isyarat kepada timnya. Alur permainan pun berubah seketika itu juga. Permainan monoton berubah menjadi permainan yang mencekam. Liverpool terus memberikan serangan yang mematikan. Meskipun aku melihat Ayah berhasil mementahkan serangan Liverpool, tetapi tetap saja aku tidak pernah menduga pertandingan akan menjadi seperti ini. Wasit akhirnya meniup peluit panjang. Pertandingan pun berakhir. Ayah harus menyerah dengan skor akhir 3-0. Dengan ini Liverpool berhak maju ke babak final. “Ayah tetaplah pemenang di hatiku, tetap semangat ya Ayah,” ucapku kepada Ayah seusai pertandingan. “Iya, Terima kasih Evan. Ternyata Ayah harus puasa gelar lagi untuk kali ini,” jawab Ayah.Liverpool terus melaju sampai final, dan akhirnya mereka berhasil mendapatkan juara. Meskipun berat, harus kuakui bahwa Liverpool pantas untuk mendapatkan juara. Tak lama setelah itu, Ratu Elizabeth II memberikan penghargaan kepada Liverpool yang sudah memenangkan 2 gelar dan membawa nama baik Inggris di kancah Eropa dan dunia. Liverpool mendapat julukan sebagai pahlawan. Aku dan Ayahku hanya bisa menonton prosesi acaranya dari televisi. Semua orang hanya membahas Liverpool. Meski demikian aku harus bisa move on dari kekalahan ini dan berharap Ayah akan menang di musim selanjutnya. 14 Nama : Nicholas Chikara Manik Kelas : XII IPA 6 (22) Bola Kelima : Out ball Setelah kekalahan Ayah kemarin, aku mendengar bahwa semua orang mengagung-agungkan Liverpool. Harus kuakui kalau Liverpool adalah klub yang sangat hebat dan memiliki mentalitas tinggi, sehingga mereka pantas untuk diakui. Namun, aku selalu merasa bahwa Ayahku juga pantas diakui, karena ia telah tampil dengan baik. Ayah telah menunjukkan mentalitas seorang juara. Seminggu setelah berakhirnya musim kedua Ayah di Fulham. Nama Ayah mulai dibicarakan oleh orangorang. Orang-orang mulai membahas betapa piawainya Ayah di bawah mistar gawang. Ayah dipandang sebagai pahlawan bagi tim Fulham yang dipandang sebelah mata oleh semua orang. Ayah hampir selalu berhasil mementahkan serangan-serangan mematikan yang dilancarkan lawan. “Hmm sepertinya pamor Ayahmu sedang baik.” “Semoga saja klub besar tertarik untuk menawari kontrak dengan Ayahmu,” tambah Mandy. “Tapi aku takut juga sih, kalau Ayah sampai dikontrak klub-klub besar,” ucapku. Aku teringat kembali saat Ayah masih bermain di Italia. Saat itu, Ayah tidak berperan banyak permainan tim, sehingga saat itu semua orang beranggapan bahwa Ayahku itu biasa saja. Apabila Ayah sampai dikontrak oleh klub besar, maka hidupku tidak akan tenang. Tekanan akan selalu datang dari kerabat, teman satu sekolah, bahkan seluruh pendukung klub itu sendiri di seluruh dunia. “Ayah, apakah Ayah akan bertahan di Fulham?” tanyaku kepada Ayah. “Ayah masih bingung, nak. Ayah masih punya sisa kontrak dengan Fulham, namun sudah ada beberapa agen dari klub besar yang menghubungi Ayah,” jawab Ayah. “Kalau begitu, Ayah akan pergi ke mana?” “Masih belum tahu, kita lihat minggu depan ya,” jawab Ayah. Sekarang kudengar kabar bahwa penjaga gawang dari klub elite Manchester United telah meninggalkan klubnya. Sekarang mereka pasti akan mencari seorang penjaga gawang yang cukup piawai untuk menjadi pengganti. Semua media mengkait-kaitkan hubungan kepergian penjaga gawang Manchester United dengan Ayahku yang masih abu-abu. “Akankah Manchester United mendatangkan Edwin van der Sar sebagai amunisi baru mereka? “Akankah Edwin van der Sar berlabuh di Manchester United dan melengkapi kesebelasan setan merah? Tiga hari setelah itu, keadaan semakin memanas. Aku sedang berjalan-jalan dengan Mandy di tengah Kota London. Dari pagi hingga siang, aku dan Mandy terus mendengar isu-isu bahwa ada transfer pemain yang menggegerkan. “Memangnya siapa yang sedang dirumorkan itu?” tanyaku kepada Mandy dengan penuh rasa penasaran. “Hmm, aku juga tidak tahu,” ujar mandy. Saat aku membuka ponselku, munculah notifikasi “Edwin van der Sar berlabuh di Manchester United.” “Yang benar? Ayahmu pindah ke Manchester United?” ucap Mandy dengan penuh rasa tidak percaya. Aku sangat terkejut. Ayah pindah ke Manchester United, namun tidak memberitahuku. Tiba-tiba kepalaku pusing. Perutku mulai terasa mual. Tiba-tiba pandanganku menjadi kabur. Aku hanya mendengar Mandy berteriak. 15 Nama : Nicholas Chikara Manik Kelas : XII IPA 6 (22) “EVAN!” Perlahan kubuka mataku, dan cahaya lampu yang terang tepat di atas kepalaku. “Syukurlah kamu sudah siuman,” ucap Mandy. Untunglah aku masih hidup. Aku mencoba untuk duduk bersandar dengan tembok. Ternyata ada Mandy dan Ayahnya di sampingku. “Apa yang terjadi?” tanyaku kepada Mandy. “Tadi kamu pingsan saat melihat ponsel. Kaget sekali ya?” tanya Mandy. “Ah, bagaimana aku bisa ada di sini?” “Saat kamu pingsan tadi, aku segera menghubungi Ayahku, untungnya Ayah sedang tidak jauh dari posisi kita,” jawab Mandy “Ya ampun, terima kasih paman, maaf aku jadi merepotkan,” ucapku dengan penuh penyesalan. Mengapa aku harus pingsan? Sepertinya aku masih belum terima dengan kepindahan Ayah. Tak lama setelah itu, Ayah datang entah dari mana. Ia berterima kasih kepada temannya dan Mandy yang telah menolongku saat aku pingsan. Lalu, ia meminta waktu untuk berbicara empat mata denganku. “Ayah yakin pindah ke Manchester United?” tanyaku. “Ayah sudah mempertimbangkannya dengan matang, sepertinya sudah saatnya Ayah pindah untuk meraih trofi. Lagipula Ayah sudah banyak berkembang saat di Fulham. Ini saatnya bagi Ayah untung membawa trofi ke rumah setelah sekian lama,” jawab Ayah. “Lalu, mengapa Ayah gak bilang kalau Ayah sudah memilih Manchester United? Manchester United itu klub besar, Ayah. Bagaimana kalau nanti Ayah tidak mampu membawa pulang piala?” tanyaku lagi. “Ayah yakin kamu tidak akan senang mendengar kabar ini. Ayah tahu kamu akan memikirkan masa di mana Ayah masih bermain di Italia.Tenang saja, kali ini Ayah akan pertaruhkan semua usaha dan kerja keras Ayah selama ini,” jawab Ayah. “Terserah Ayah aja deh, aku gak ngerti sama pikiran Ayah,” ucapku sambil meninggalkan ruangan itu. Aku sangat kesal harus berharap lagi dan lagi. Ini adalah Manchester United, klub yang sangat tua, memiliki sejarah yang sangat bagus, dan diisi oleh pemain-pemain berbakat di Inggris. Semoga saja kali ini Tuhan berpihak pada Ayahku untuk memenangkan juara Liga Inggris. Minggu depan Ayah akan diperkenalkan oleh Manchester United. Aku bingung harus memilih senang atau takut. Aku senang karena Ayahku akan bermain di salah satu klub terbaik di Eropa saat itu. Meskipun demikian, aku juga takut apabila Ayah tidak mampu memenuhi ekspetasi dari semua pendukung Manchester United. Apalagi saat itu Ayah harus menggantikan keeper sebelumnya, Peter Schmeichel, yang sangat legendaris. Tibalah saatnya Ayahku diperkenalkan oleh klub di hadapan para supporter Manchester United. Aku ditemani oleh Mandy, masuk ke dalam stadion kenamaan Old Trafford. Berada di dalam stadion legendaris ini seperti sebuah mimpi untuk kami. Di stadion inilah legenda Inggris bermain. Akhirnya nama Ayah dipanggil. “Kita persilahkan, Edwin van der Sar!” Aku melihat Ayah berfoto dengan pelatih dan pemilik klub Manchester United. Ayahku juga menunjukkan kepiawaiannya dalam melakukan dribble di depan para pendukung. Semua penonton memberikan apresiasi kepada penampilan Ayah. Sementara aku masih saja memikirkan bagaimanakah Ayah akan membawa nama baik klub yang sangat besar ini. 16 Nama : Nicholas Chikara Manik Kelas : XII IPA 6 (22) Bagaimana bila nanti Ayah gagal? Apakah Ayah mampu bertahan dari tekanan? “Hei, sudahlah tak usah terlalu dipikirkan. Percaya saya Ayahmu bisa melakukan yang terbaik,” ucap Mandy sambil menepuk bahuku. Aku hanya mampu membalasnya dengan senyuman tipis. Hari demi hari berlalu begitu saja. Ayahku sekarang sudah menjadi penjaga gawang klub Manchester United. Ia akan memulai debutnya dengan kesebelasan tim setan merah. Tak pernah terbayang olehku bahwa Ayah akan bermain di liga dengan persaingan yang sengit dan memiliki pemain berbakat dari berbagai negara di Eropa. Melihat Ayah berfoto sejajar dengan Paul Scholes, Gary Neville, Ryan Giggs, dan Ole Gunnar Solskjaer menyadarkanku bahwa Ayah sudah berada di level tertinggi dalam karirnya. Seminggu berselang, tibalah saatnya Ayah harus membuktikan kemampuannya di depan para pendukung. Aku sangat tak siap untuk menghadapi hari ini, begitu juga Mandy. Kami datang ke stadion Old Trafford untuk menonton pertandingan final Ayah melawan FC Barcelona. Satu jam sebelum pertandingan dimulai, stadion sudah terisi penuh. Akhirnya pertandingan dimulai. Aku dan Mandy mulai tegang. Aura pertandingan terasa mencekam. Aku dan Mandy mulai tegang. Berbeda dengan tim sebelumnya. Tim Ayah kali ini menunjukkan permainan yang sangat baik. Aku sampai terkagum dibuat mereka. Permainan indah tim Ayah akhirnya membuahkan hasil. “Goooool! lihat kan? Sudah kubilang tidak ada yang perlu dikhawatirkan,” teriak Mandy dengan penuh semangat. Aku pun jadi kembali semangat dan merasakan adrenalin pertandingan. Namun kebahagiaan itu tak berlangsung lama. Terjadilah hal yang tak kuharapkan. Saat babak kedua, Ayahku membuat blunder dengan berdiri terlalu depan sehingga membuat lawan menyamakan kedudukan. Mandy yang awalnya semangat menjadi muram. “Aduh, seharusnya jangan terlalu maju dong,” ujarnya dengan penuh kekesalan. “Sudah, sudah, kalau adu penalti kita bisa menang kok,” ucapku. Tidak sampai di situ, muncul malapetaka. Ayah tak mampu menghalau serangan dari penyerang lawan dan wasit akhirnya meniup peluit. Ayah kalah, Ayah gagal, Ayah tak mampu menjadi pahlawan. Tak lama setelah itu, tim lawan mengangkat trofi di depan seluruh pendukung Manchester United. Hal ini sangat menyayat hatiku. Mandy terlihat sangat kesal, raut wajahnya sangat muram. Tiba-tiba ia beranjak meninggalkanku. “MANDY! Kamu ke mana?” teriakku dengan panik. Mandy tidak menghiraukanku. Aku merasa sangat kesepian ditengah kerumunan ini. Tak terasa air mata sudah membanjiri wajahku. Aku pulang ke rumah sambil menahan kesedihan dan amarah. Akhirnya aku pulang ditemani oleh langit yang sedang meratap. Tidak pernah aku merasa kecewa sampai seperti ini. Sudah berulang kali aku memberi kesempatan pada Ayah, tapi tak pernah sesuatu yang indah terjadi kepadaku. Akhirnya aku sampai di apartemen. Ponselku berdering. Terlihat banyak hujatan yang dilancarkan kepadaku. Sekarang semua orang menyebut Ayah sebagai pecundang. Dari Pahlawan menjadi pecundang. Sungguh sebuah penghinaan bagiku tapi tak bisa kusangkal. Kasur adalah temanku satu-satunya yang setia Malamnya Ayah pulang. Sang pecundang, Edwin van der Sar, telah menjejakkan kakinya. Ia langsung masuk ke dalam kamarku. “Evan, kesal ya?” ucapnya. Aku hanya diam seribu bahasa. Aku tak ada niat sama sekali untuk menjawabnya. Sudah lelah batin ini berharap kepada Ayah. Ia hanya selalu pulang dengan tangan hampa. 17 Nama : Nicholas Chikara Manik Kelas : XII IPA 6 (22) Akhirnya aku tidak tahan lagi. “Mau sampai kapan sih Ayah bikin kecewa?” “Kan aku udah bilang. Kenapa sih Ayah malah pindah ke Manchester United?” “Ayah lihat kan? Ayah bahkan tak bisa memenuhi ekspetasi semua orang kan? Memangnya mengganti penjaga gawang yang melegenda itu mudah? Tidak kan?” “Sekarang Ayah sudah dianggap pecundang, padahal lawan Ayah tak sekuat itu.” “Mungkin mama juga akan kecewa bila melihat Ayah yang seperti ini.” Tiba-tiba Ayah tertegun. Raut wajahnya terlihat kaget. Apakah perkataanku terlalu menyakitkan? Ah, sepertinya tidak. Aku hanya ingin Ayah sadar bahwa selama ini aku sudah menaruh banyak harapan kepadanya. Ia langsung pergi meninggalkan kamarku. Mungkin aku telah melukai hatinya. Sudahlah, aku sudah tidak peduli dengan semua ini, mungkin akulah yang pecundang. Aku merenung. Apa yang akan mama lakukan bisa ia ada di sini? Apa yang akan ia lakukan saat berada di posisiku. Apakah ia akan menyalahkan Ayah? Mungkin aku terlalu sensitif. Mungkin aku belum cukup dewasa untuk mengontrol emosiku. 18 Nama : Nicholas Chikara Manik Kelas : XII IPA 6 (22) Bola Keenam : Last goal Sudah tiga hari terjadi perang dingin antara aku dengan Ayah. Di apartemen kami jarang sekali bertegur sapa. Aku hanya diam dan mengerjakan apa yang seharusnya kulakukan. Begitu juga dengan Ayah, meski hal biasa bagiku merasa kesepian di apartemen. Aku juga belum berhubungan lagi dengan Mandy. Mungkin ia masih kecewa dengan kekalahan kemarin. Sebentar lagi Piala Dunia Sepak Bola 2006 di Jerman akan dimulai. Seperti biasa, Belanda lolos seleksi administrasi dan ikut serta dalam kompetisi itu. Aku melihat berita dan di sana disebutkan bahwa Ayah akan menjadi penjaga gawang di tim utama. Aku menghela napas panjang. Aku tidak bisa membayangkan apa yang akan terjadi saat Belanda akan bertanding. Apakah Tuhan akan berpihak kepada Ayahku? Semoga saja. Ayah memintaku untuk mengajak Mandy. Aku memang berniat untuk mengajak Mandy ke Jerman untuk menonton piala dunia. Akan tetapi, aku masih bingung bagaimana caranya untuk memperbaiki hubunganku dengan Mandy. Aku ingin menghubunginya melalui telepon, namun aku ragu ia akan mengangkatnya atau tidak. Akhirnya kuputuskan untuk menemuinya di kamar sebelah. Langkahku terasa berat, namun tetap kupaksakan. Langsung kutekan bel pintunya, sambil berharap ia akan keluar. Pintu terbuka dan terdapat Mandy di sana. Ia menarik tanganku dan meminta maaf. “Maaf ya Evan, aku malah ninggalin kamu saat kamu sedih, aku emg bukan teman yang baik,” ucap Mandy. “Iya, tidak apa-apa, kita temenan lagi kan?” ucapku. Kami pun tertawa bersama. Leganya perasaanku ternyata hubungan pertemananku tidak rusak begitu saja karena hal yang konyol. “Mandy, sebentar lagi akan ada piala dunia. Bagaimana kalau kita menonton bersama piala dunia di Jerman?” tanyaku kepadanya. “Wah itu ide bagus. Tapi bagaimana caranya kita akan ke Jerman? Tiket dan penginapan?” tanya Mandy. “Lah, kamu lupa siapa Ayahku? Semua bisa diatur. Hahaha.” Kami tertawa terbahak-bahak. Tiba saatnya kami berangkat menuju Berlin, ibukota Jerman. Saat sampai kami bertiga langsung pergi ke tempat penginapan yang sudah disediakan. Aku hanya mengobrol dengan Mandy karena masih terjadi perang dingin antara aku dan Ayah. Ayah langsung berangkat untuk menjalani latihan dengan timnas Belanda lainnya di tempat latihan yang tidak jauh dari stadion Allianz Arena, tempat piala dunia akan dilaksanakan. Saat makan malam, Ayah memberitahu kami bahwa pertandingan babak gugur akan dilakukan 2 hari dari sekarang. Esok harinya aku dan Mandy berjalan-jalan di Kota Berlin. “Sepertinya kamu sedang ada masalah ya dengan Ayahmu?” tanya Mandy. “Kamu bahkan tak menatap matanya saat berbicara,” tambah Mandy. “Iya, sejak kejadian waktu itu, hubungan kami jadi renggang,” jawabku. “Menurutku, lebih baik kamu segera berdamai dengannya. Hal ini pasti akan berpengaruh saat beliau bermain,” ucapnya. “Iya, akan kupikirkan nanti,” jawabku dengan segera. Aku masih belum mau memikirkan tentang hal itu, biarlah itu berlalu. Pekan pertandingan babak gugur tiba. Kali ini Belanda mendapat sedikit keuntungan karena lawan mereka bukanlah lawan yang kuat. Ayah dan timnya berhasil melewati 4 pertandingan awal dengan baik. Belanda berhasil membalas kekalahan terhadap Ceko dengan skor 2-0. Selanjutnya Belanda berhasil menaklukan Spanyol dengan kemenangan tipis 1-0. Belanda juga menang melawan Prancis dengan skor 3-2. Sepertinya Ayah sudah memperbaiki kesalahan-kesalahan yang sebelumnya sering terjadi. Perlahan aku mulai berharap pada Belanda. Apakah aku bisa berharap kepada Ayah? Semoga saja kali ini harapanku tidak meleset. Belanda berhasil lolos ke final piala dunia tanpa adanya perlawanan yang berarti. Belanda akan menghadapi Argentina di final nanti. Ini akan menjadi pertandingan yang sangat berat. 19 Nama : Nicholas Chikara Manik Kelas : XII IPA 6 (22) Suasana di Stadion Allianz Arena sangat ramai dan meriah. Hampir semua pendukung Belanda dan Argentina menggunakan atribut sepak bola lengkap dengan riasan di wajah mereka, sementara aku dan Mandy hanya mengenakan jersey Belanda saja. Hari ini Mandy sangat aneh. Ia membawa seikat bunga tulip. “Ada cewek Jerman yang kamu taksir ya?” tanyaku sambil tertawa. “Hahahahaha, tidak kok,” jawab Mandy. Acara dimulai dengan penampilan artis serta tarian khas dari Jerman. Setelah itu kesebelasan dari kedua tim memasuki lapangan. Masing-masing tim menyanyikan lagu nasionalnya secara bergantian. Peluit pun dibunyikan tanda pertandingan dimulai. Tanganku gemetar karena aku sangat takut akan pertandingan ini. Belanda bermain dengan rapi dan mampu menjaga tempo permainan mereka. Belanda menciptakan berbagai peluang emas namun masih dapat dihalau oleh penjaga gawang lawan. “Aduh lagi-lagi gagal,” ucap Mandy. “Tenang sobat ini masih awal,” ucapku. Tiba-tiba Ayahku melempar bola lambung yang sangat jauh sampai mendekati daerah pertahanan lawan. Tiba-tiba Arjen Robben berlari dan berhasil mencapai bola tersebut. Ia terus berlari dan menendang bola dengan keras. “Gooooool” Sontak semua pendukung Belanda berdiri dan melakukan selebrasi termasuk aku dan Mandy. Tidak banyak yang berubah sampai babak pertama selesai. Babak kedua dimulai. Argentina mengubah pola serangannya dengan memasukkan Lionel Messi. Kehadiran Messi ternyata sangat berdampak bagi Argentina. Seketika itu juga kepercayaan diri Argentina meningkat. Messi menunjukkan kepiawaiannya menggiring bola dan berhasil melewati 5 pemain bertahan Belanda. “Gooool, Messi berhasil menyamakan kedudukan untuk Argentina,” ucap komentator. “Sungguh skill yang luar biasa, mustahil melewati semua pemain bertahan dengan semudah itu,” ucap Mandy tidak percaya. Pertandingan terus berlanjut. Suasana pertandingan menjadi semakin memanas. Kedua tim menjadi semakin ganas. Namun sayang sekali, Argentina berhasil menambah keunggulan lagi dan memutus asa yang telah kupegang. Peluit ditiup panjang tanda pertandingan telah berakhir. Aku hanya duduk lemas melihat pemain Argentina melakukan selebrasi dan mengangkat piala. Tiba-tiba Mandy menyodorkan seikat bunga tulip dan berkata, “Kamu tahu kan harus apa dengan ini?” Tanpa pikir panjang aku langsung berlari menuju ruang ganti tempat Ayahku berada. Saat aku bertemu dengannya, aku langsung memeluknya erat. “Maafkan aku telah melukai hati Ayah. Terima kasih sudah berusaha menjadi mentari untukku,” ucapku sambil menangis. “Ini bunga tulip untuk Ayah,” ujarku. “Iya Evan. Maafkan Ayah gagal lagi. Walau kalau, Evan akan selalu menjadi piala kebanggaan Ayah,” ucap Ayah. Kami menghampiri Mandy yang sudah menunggu di luar stadion. Hubunganku dengan Ayah menjadi lebih baik. Kami bertiga pun berencana untuk jalan-jalan di Jerman. Andai mama melihat kami, ia pasti sangat bahagia. Ayah memang tak bisa menjadi Mentari yang selalu ada dan memberi kehangatan, tetapi Ayah sudah menjadi rembulan yang selalu berusaha memberi kehangatan di saat yang tak pernah kusadari. Terkadang kita tidak bisa menuntut orang lain untuk berubah menjadi yang kita inginkan. Akan tetapi kita harus bisa menyesuaikan diri dengan keadaan orang lain. Dengan belajar menerima dan merelakan masa lalu yang kelam, maka kita mampu untuk berpikir jernih dan menerima orang lain apa adanya. 20