TAKE HOME EXAM ANALISIS HUKUM ISLAM TERHADAP LARANGAN PENGGUNAAN JILBAB PADA POLISI WANITA Disusun untuk memenuhi Ujian Akhir Semester (UAS) semester genap 2019/2020 Mata Kuliah: Agama Islam II (AGI401) Disusun Oleh Nama: Lafidan Rizata Febiola NIM/ Jurusan: 041711333237/ Akuntansi Kelas/ Absen: N/ 51 DEPARTEMEN AKUNTANSI FAKULTAS EKONOMI DAN BISNIS UNIVERSITAS AIRLANGGA SURABAYA 2020 1 BAB I PENDAHULUAN Indonesia dikenal sebagai negara dengan jumlah Muslim terbesar di dunia. Fitriyan Zamzani dalam artikelnya di Surat Kabar Republika, menyatakan jumlah Muslim di Indonesia sebanyak 86 persen, lebih banyak dari negara lain.1 Indonesia menjamin hak warga negaranya untuk beragama. Meliputi hak memilih agama dan beribadah menurut agama serta kepercayaannya. Jaminan hak tersebut tertuang dalam Undang-Undang Dasar (UUD) 1945 pasal 29, serta Pancasila sila pertama Ketuhan Yang Maha Esa Terdapat permasalahan dalam penerapannya, yaitu jaminan tersebut belum sepenuhnya dirasakan sebagian wanita Muslim Indonesia, diantaranya mereka yang ingin mengenakan jilbab sebagai perintah agama. Contohnya pada karyawan bank, pegawai pabrik, perusahaan, bahkan institusi kepolisian pun mengalami kendala dalam penggunaan jilbab bagi polisi wanita (polwan) saat bekerja. Permasalahan tersebut menjadi topik hangat yang diperdebatkan berbagai media massa. Permasalahan itu muncul ketika Majelis Ulama Indonesia mendapat pengaduan dari seorang polwan yang tidak diperbolehkan mengenakan jilbab saat bertugas. Bagi sebagian polwan Muslim, menutup aurat merupakan hal yang ingin dilakukan, karena itu adalah perintah agama. Pemakaian jilbab diharapkan mengurangi pelecehan seksual yang terjadi pada polwan dari sesama anggota polisi dan pihak lain karena berpakaian cenderung ketat. Islam menganjurkan wanita muslim melaksanakan hal yang Allah wajibkan, berupa ibadah dan amal saleh seperti perintah untuk menutup aurat agar terjaga kehormatannya. Al-Qur’an telah menjelaskan perintah Allah swt tentang kewajiban wanita menutup aurat serta menggunakan jilbab demi menjaganya saat berada di luar rumah dalam surah Al-Ahzab ayat 59: 1 Fitriyan Zamzani, “Momen Polri Merengkuh Kemanusiaan”. Republika. No. 155 Tahun 21. Edisi 14 Juni 2013. 2 “Hai Nabi, Katakanlah kepada isteri-isterimu, anak-anak perempuanmu dan isteri-isteri orang mukmin: "Hendaklah mereka mengulurkan jilbabnya ke seluruh tubuh mereka". yang demikian itu supaya mereka lebih mudah untuk dikenal, Karena itu mereka tidak di ganggu dan Allah adalah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang”. 2 Ayat tersebut mengharuskan wanita beriman mengulurkan jilbab ke seluruh tubuhnya pada waktu keluar rumah agar membedakannya dari wanita tidak terhormat. Maksudnya, agar tidak ada laki-laki usil yang megganggu karena ragu. Ayat tersebut berbicara mengenai fungsi pakaian sebagai pembeda antara seseorang dengan orang lain dalam sifat atau profesinya. Jilbab dalam ayat tersebut diartikan sebagai sejenis baju kurung yang lapang, dapat menutup kepala, muka, dan dada.3 Para ulama memiliki perbedaan pendapat mengenai penerapan ayat tersebut dalam kehidupan umat muslim setelah zaman Nabi. Tempat untuk membuang air telah tertutup, tetapi konteks penerapan pembeda tersebut tidak harus saat buang air saja. Banyak wanita muslim yang diganggu dan mendapat tindak pelecehan seksual dari lelaki jahil karena berpakaian kurang sopan serta tidak pada tempatnya. Jilbab atau menutup aurat tidak boleh menjadi penghambat untuk mengerjakan aktivitas hidupnya sehari-hari.4 Berjilbab yang dilakukan oleh anggota polwan yang mempunyai tugas menjaga keamanan dan ketertiban masyarakat tidak harus menggunakan jilbab yang besar atau syar’i setidaknya para polwan sudah melaksanakan kewajiban untuk menutup aurat sebagai kewajiban seorang muslimah. Seorang polwan yang berjilbab tidak akan mengganggu dalam tugasnya menjaga keamanan dan ketertiban masyarakat. Peningkatan dalam berjilbab sangat penting bagi setiap orang, termasuk anggota polwan. 2 Departemen Agama RI, 2010, Al-Qur’an dan Tafsirnya, Jakarta: Percetakan Ikrar Mandiri Abadi, hal. 41. Abdul Halim Abu Syuqqah, 1997, Kebebasan Wanita, (terj) As’ad Yasin, Jakarta: Gema Insani Press, hal. 57. 4 Ali Abdul Halim Mahmud, 2010, Jalan Dakwah Muslimah. Solo: Era Adicitra Intermedia, hal. 310. 3 3 BAB II PEMBAHASAN 2.1. Pengertian Jilbab Jilbab berasal dari kata جلبjamak جالببyaitu pakaian yang menutup seluruh tubuh sejak dari kepala sampai mata kaki, atau menutup seluruh tubuh dan dipakai diluar seperti halnya baju hujan.5 Jilbab secara lughawi berarti pakaian (baju kurung yang longgar).6 Sedangkan dalam KBBI jilbab merupakan kerudung yang lebar yang dipakai wanita muslimah untuk menuti kepala dan leher hingga dada. Jilbab merupakan aturan syara’ khusus untuk wanita muslimah yang berupa perintah untuk menutup tubuhnya dengan pakaian dalam aktifitasnya dengan orang-orang yang bukan mahramnya. Jilbab lebih spesifik tentang busana perempuan yang dapat membentengi dirinya dari fitnah dan resiko pergaulan yang tidak diinginkan.7 Dalam beberapa literature bahwa jilbab dapat diistilahkan dengan khimar (kerudung), Niqob atau Burqo’ (cadar), dan hijab (penutup). 2.2. Pengertian POLWAN Berjilbab Istilah polwan berasal dari kata polisi wanita yang artinya profesi yang unik dan penuh tantangan karena terkandung dua makna berlawanan secara sosial dan budaya di dalam dua kata tersebut. Sebagai polisi, para polisi wanita sebagian besar bertugas menghadapi kekerasan yang bermakna maskulin. Polwan diharapkan mempunyai sisi feminim dalam sikap dan tindakan baik di dalam maupun di luar pekerjaan. Suatu tantangan besar untuk menghadapi dua persesi berlawanan tersebut. Tantangan terberat polwan adalah ketika mendapat hal yang sama dengan polisi yang lain tetapi masih mempunyai beban sosial dan budaya sebagai perempuan serta resiko antara hidup dan mati yang diemban. Polwan berjilbab merupakan polisi wanita berprofesi unik dan penuh tantangan dalam bertugas dengan berpakaian muslimah yang menutupi auratnya dengan menggunakan jilbab. Polwan yang menggunakan jilbab tidak akan mengganggu kinerja mereka dalam menjalankan tugas mereka sebagai anggota kepolisian. Berjilbab bagi anggota polwan merupakan suatu jalan 5 Hanya Binti Mubarok Al Barik, 2001, Ensiklopedi Wanita Muslimah, Jakarta: Darul Falah, hal. 149. Yuyun Affandi, 2013, “Respon Politisi Perempuan Muslim Jawa Tegah Terhadap Tafsir Jilab M. Quraish Shihab Dalam Tafsir Al-Misbah, dalam jurnal LP2M, hal. 2. 7 Jasmani, 2013, Hijab, Jilbab, Menurut Hukum Fiqih, dalam Jurnal Al- ‘Adl. 6 (2), hal. 7. 6 4 untuk mengimplementasikan ajaran agama Islam yang penuh dengan kesucian dan luhur. Berjilbab tidak mengurangi kinerja mereka para anggota polwan, dengan berjilbab tidak disiplin dalam menjalankan tugas, dia akan malu dengan Yang Maha Kuasa. Dan itu ada tertulis di Al Qur’an seputar pengenaan jilbab bagi perempuan muslim. 2.3. Urgensi Jilbab Bagi POLWAN Jilbab merupakan penanda bagi sekumpulan hukum-hukum sosial yang berhubungan dengan Polwan dalam sistem Islam dan yang disyari’atkan Allah swt. agar menjadi benteng kokoh yang mampu melindungi kaum wanita, menjadi pagar pelindung yang mampu melindungi masyarakat dari fitnah, dan menjadi framework yang mengatur fungsi wanita sebagai pembentuk generasi masa depan.8 Kepatuhan dalam lingkup Polri merupakan satu hal yang bernilai tinggi, dimana ia merupakan roda penggerak organisasi resmi Negara. Kepatuhan menjadi landasan setiap gerak langkah personelnya untuk mewujudkan tujuan instansi dengan memiliki kekuatan spiritual untuk dilaksanakan. Penggunaan jilbab bagi Polwan bukan lagi menjadi hal yang tabu setelah empat tahun berjalan sejak di keluarkan Perkap tentang jilbab. Urgensi menutup aurat bagi perempuan dalam bentuk jilbab dituntut ketika ia berada di ranah publik atau diantara laki-laki yang bukan mahram meskipun di dalam rumah misal terhadap tamu dan esensinya adalah menghindari terjadi resiko seks oleh laki-laki yang bukan mahramnya. Berjilbab bagi perempuan tidaklah sepanjang waktu, misalnya boleh menanggalkan pakaian jilbab itu ketika berada di rumahnya karena ia biasanya hanya berhadapan dengan seluruh anggota keluarganya sebagai mahramnya. Hal ini sesuai dengan ayat 31 surah al-Nur: 8 Ibrahim Abd Al-Muqtadir, Wanita Berjilbab Vs Wanita Pesolek (Jakarta: Amzah, 2007), h. 29. 5 Terjemahnya: … dan janganlah Menampakkan perhiasannya kecuali kepada suami mereka, atau ayah mereka, atau ayah suami mereka, atau putera-putera mereka, atau putera-putera suami mereka, atau saudara-saudara laki-laki mereka, atau putera-putera saudara lelaki mereka, atau putera-putera saudara perempuan mereka, atau wanita-wanita Islam, atau budak- budak yang mereka miliki, atau pelayan-pelayan laki-laki yang tidak mempunyai keinginan (terhadap wanita) atau anak-anak yang belum mengerti tentang aurat wanita.. 2.4. Faktor yang Mempengaruhi POLWAN Berjilbab Faktor berjilbab merupakan keadaan yang menyebabkan terjadinya seseorang untuk menggunakan jilbab. Ada beberapa faktor yang memperngaruhi anggota polwan termotivasi agar berjilbab antara lain faktor internal dan faktor eksternal. Faktor pendidikan merupakan salah satu faktor yang dapat menentukan sejauh mana pengetahuan wanita tersebut dalam melaksanakan perintah berjilbab. Seharusnya semakin tinggi tingkat Pendidikan seorang, maka akan lebih mudah seseorang untuk mengerti dan memahami akan sesuatu hal, apalagi terkait pelaksanaan perintah berjilbab. Terlepas dari faktor pendidikan, usia, dan tingkat kematangan berfikir, ada yang lebih penting dalam menentukan seorang wanita dalam memakai jilbab yaitu faktor keimanan. Bagi seorang wanita yang mempunyai tingkat keimanan tinggi pastinya sudah tidak perlu mempertimbangkan aspek-aspek yang lainnya dalam melaksanakan perintah berjilbab. Faktor eksternal tentunya mempunyai peran penting dalam membentuk karakter, sifat, bahkan opini atau pandangan pada seorang wanita dalam memahami perintah berjilbab. Terutama faktor keluarga, yang merupakan garda terdepan yang mempunyai peranan dalam membentuk kepribadian dari seorang wanita tersebut. Misalnya bagaimana seorang anak mau berjilbab kalau orang tuanya pun tidak berjilbab, karena ada masanya juga ketika apa yang dilakukan orang tuanya akan ditiru oleh anaknya. Sebagai contoh seorang belajar untuk memakai jilbab karena ingin mendapatkan pujian dari orang yang dicintainya. Oleh karena itu, motivasi yang berasal dari luar ini juga dapat dikatakan sebagai bentuk motivasi yang didalamnya aktivitas belajar dimulai dan diteruskan berdasarkan dorongan dari luar yang tidak secara mutlak berkaitan dengan aktivitas belajar.9 9 Titik Rahayu & Siti Fathonah, 2016, “Tubuh dan Jilbab: Antara Diri dan Liyan”, dalam Jurnal Al-A’raf, XIII (2), hal. 271-275. 6 2.5. Pemakaian Jilbab Sebagai Ibadah Dalam surah Adz-Dzāriyāt: 56 memberikan penguatan kepada manusia sebagai seorang hamba untuk senantiasa tunduk dan patuh dalam bingkai ibadah atas segala sesuatu yang telah Allah perintahkan. Dalam QS Adz-Dzāriyāt/51: 56 Terjemahnya: Dan aku tidak menciptakan jin dan manusia melainkan supaya mereka menyembah-Ku. Tidak terjadi perselisihan antar manusia bahwa menutup tubuh merupakan fitrah manusia yang telah tertanam dalam diri meskipun panas dan dingin tetapi manusia lebih nyaman memakai pakaian walaupun hanya dinikmati oleh diri sendiri. Pada awal penciptaan manusia, Adam dan Hawa menutup aurat meski ketika itu belum ada tercipta manusia lain. Ketika fitrah menutup aurat menjadi sasaran tarik-menarik antara akal, hawa nafsu, syubhat serta tipu daya setan, syariat hadir sebagai pedoman dan keputusan melalui nash-nash yang terdapat dalam syariat untuk sepanjang zaman. Penolong diatas penolong terjaganya seorang wanita dari segala bentuk tindakan merugikan adalah pakaian islami. Seperti upaya yang telah dilakukan oleh mayoritas Polwan. Peneliti tegaskan bahwa ibadah dalam memakai jilbab dengan niat tulus sebagai pemenuhan perintah agama akan bernilai ibadah. Dalam surah Adz-Dzāriyāt/51:56 memberikan penguatan kepada manusia sebagai seorang hamba untuk senantiasa tunduk dan patuh dalam bingkai ibadah atas segala sesuatu yang telah Allah perintahkan. Pelaksanakan ibadah seperti: sholat, zakat, puasa merupakan perintah yang wajib dilakukan oleh setiap muslim sebagai rukun Islam. Namun dalam pelaksanaannya terdapat kolerasi yang sangat erat dan tidak dapat dipisahkan. Pada hakekatnya disusun sesuai dengan tingkatan kualitas wajibnya, shalat lebih utama dibanding zakat setelah syahadat sebagai dasar amalan, zakat lebih utama dibanding puasa ramadhan. Jilbab pun demikian, berdasarkan perintah Allah untuk memakai jilbab bagi setiap wanita muslimah maka pelaksanaanyapun bernilai ibadah di sisi Allah dan selain itu pula untuk membuktikan keimanan seorang wanita di hadapan Allah. Polwan dengan segala kewajibannya menjalankan seluruh tugas yang diemban, memposisikan diri sebagai wanita yang berwibawa sekalipun Polwan yang memakai jilbab 7 dituntut untuk selalu tampil anggun dan professional sesuai ketentuan yang berlaku. Jilbab bukan penghalang untuk bisa tampil terbaik bahkan justru mengundang terjaganya kehormatan sebagai wanita muslimah. 2.6 Tantangan Jilbab Bagi POLWAN Tantangan Polwan bukan hanya pada era digital tapi pada waktu-waktu tugas tertentu karena digital bisa menjadi tantangan semua pihak yang memakai. Kita berada pada perkembangan IPTEK yang sangat pesat dan canggih, dengan demikian menggunakan media sosial secara bijaksana akan mengantar pemakai tetap pada aturan dan terhindar dari suatu hal yang bersifat merugikan. Selain itu, Polwan yang berjilbab pernah merasakan tidak berjilbab, artinya mereka pernah mendapatkan perlakuan yang kurang mengenakan dari lawan jenis karena pada saat itu masih ada bagian yang belum ditutupi, seperti digombalin dan diganggu tetapi tidak sampai pada pelecehan seksual. Sejak memakai jilbab, perlakuan demikian tidak lagi dia dapatkan. Jilbab yang dipakai oleh Polwan tersebut banyak-sedikitnya sudah menutup rapat-rapat cela untuk mengundang lebih banyak lagi perlakuan tidak mengenakan dari lawan jenis. Tantangan terberat sebagai Polwan adalah ketika mendapat hal yang sama dengan Polki tetapi masih mempunyai beban sosial dan budaya sebagai perempuan. Sedangkan dalam hal jilbab adalah pemakaiannya yang harus konstitatif dalam ranah publik. Pertentangan yang cukup ramai adalah kebijakan Polri tentang jilbab bagi Polwan yang saat ini telah dikeluarkan secara resmi Perkap tentang jilbab. Selain konteks agama, perbedaan ini juga dalam konteks gender, salah satunya adalah beban tugas domestik dalam keluarga yang dilakukan setelah pulang dari bertugas. Hal ini tidak terjadi pada Polki karena istrinyalah yang mengemban tugas domestik tersebut. Di sisi lain, pengertian wanita sebagai makhluk lemah merasa dibedakan dari Polki pada bagian tugas, misalnya dalam pekerjaan fisik lapangan dan jam kerja di malam hari yang dianggap tidak bisa dilakukan Polwan. Namun kenyataan tersebut, bukan untuk mendiskriminasi Polwan, justru memberikan rasa hormat dan kemuliaan kepada wanita. 2.7 Jilbab POLWAN Sebagai Hak Asasi Manusia Jilbab sebagai identitas perempuan muslimah, adalah menjadi suatu kewajaran apabila polisi wanita yang beragama Islam juga ingin menonjolkan identitasnya disamping karena alasan syari’at. Keputusan para polwan untuk serentak menggunakan jilbab tanpa adanya pemaksaan dari 8 pihak-pihak lain. Ketika keputusan Polri terkait dibolehnya menggunakan jilbab ketika polwan sedang bertugas dinas maka ini menjadi pilihan para polwan muslimah untuk menggunakan jilbab atau tidak, dan ini tidak jadi soal karena ini sesuai dengan pilihan hati dan keyakinan polwan tentang agamanya. Akan tetapi yang jadi problem besar berskala nasional dan berbau agama dan HAM, adalah ketika polwan berinisiatif untuk menggunakan jilbab, dan keputusan boleh dari instansi kepolisian sudah turun akan tetapi tak berselang lama keputusan boleh tersebut dicabut Kembali lantaran alasan internal, seperti seragam warna jilbab, ukuran jilbab dan lain sebagainya. Kasus ini sama saja dengan mempermainkan agama Islam, dan utamanya merampas hak azasi manusia untuk dengan suka rela menggunakan jilbab. Pemakaian jilbab dilindungi oleh konstitusi Republik Indonesia. Sebab menurutnya, jilbab merupakan pelaksanaan agama seperti halnya pelaksanaan ibadah haji dan umrah. Dalil yang digunakan adalah UUD 1945 yang telah memberikan kebebasan kepada warga negara Indonesia untuk beragama dan menjalankan ibadah sesuai dengan agamanya. Jadi dapat disimpulkan bahwa tidak bolehnya menggunakan jilbab bagi polwan adalah sama dengan melanggar konstitusi negara. Di dalam butir-butir Undang-Undang tentang HAM dengan persetujuan Dewan Perwakilan Rakyat no. 39 tahun 1999 bagian kesembilan pasal 49 ”Hak wanita dalam Undang-Undang adalah Hak Azasi Manusia”. Karena menggunakan jilbab adalah hak, maka Polri telah melanggar Undang- Undang konstitusi negara karena telah melarang bagi polwan untuk tidak menggunakan haknya berjilbab. Polemik ini tidak akan kunjung selesai jika saling tuding menuding. Karena jajaran Polri pastinya memiliki argumen yang kuat terlepas itu dari adanya problem internal di jajaran Polri seperti perselisihan dan persaingan di jajaran petinggi Polri maupun karena alasan adanya intervensi pihak luar seperti berita yang telah membumi di media massa. 9 BAB III PENUTUP 3.1. Simpulan Penggunaan jilbab bagi Polwan saat ini tidak hanya dipandang perspektif agama saja yakni pelaksanaannya bernilai ibadah, meskipun tumbuh atas kesadaran diri dan berdasarkan teks-teks suci al-Qur’an dan al-Sunnah, namun ia juga mendapatkan dukungan peraturan Kapolri. Sejumlah inspirasi berhasil merubah gaya berpakaian dinas dengan melihat seragam Polwan Aceh yang tetap anggun, berwibawa dan professional bertugas. Alasan stori unik Polwan akhrinya turun menjadikan terpakainya kain untuk menutup kepala dan leher, di antaranya Polwan salah memotong rambut (pendek). Segi-segi agama yang telah dihayati dalam hati seseorang akan diwujudkan dalam bentuk penghayatan dan pengalaman terhadap ajaran agama yang tercermin dalam perilaku dan sikap terhadap kedisiplinan. Ciri seseorang yang religiusitas adalah perilaku ibadahnya kepada Tuhan. Berdasarkan penjelasan tersebut dapat disimpulkan bahwa pemakaian jilbab merupakan salah satu bentuk dari ketaatan beribada yang dilakukan oleh Polwan dapat memberikan motivasi dalam melakukan sesuatu yang baik. Nilai keagamaan yang berhubungan positif pada perilaku sosial Polwan apabila ibadah tersebut dilakukan dengan tata cara yang benar dan sesuai dengan tuntutan ajaran agama Islam. 10 Lampiran Artikel dapat diakses pada : https://news.detik.com/berita/d-2273703/larangan-polwanberjilbab-kapolri-ketentuannya-seperti-itu 11 DAFTAR PUSTAKA Alquran Al-Karim Al-hadits Ahmad bin Taimiyah, Taqiyyuddin. Majmu’ Fatawa Jilid XV, Cet. IV; Beirut: Dār al-Wafā’, 1432 H/2011 M. Al-Ghaffar, Abdur-Rasul Abdul Hasan. Wanita Islam dan Gaya Hidup Modern, Bandung, Pustaka Hidayah, 1995. Al-Jauziyah, Ibn Qayyim. A’lam al-Muwaqqi’īn Rabb al-‘Alamīn Jilid III, Beirut: Dār al-Jail, 1973. El-Guindi, Fedwa. Jilbab Antara Kesalehan, Kesopanan Dan Perlawanan, Jakarta: Serambi, 2006. Ensiklopedia Hukum Islam Jilid III, Cet. V; Jakarta: PT Ichtiar Baru van Hoeve, 2001. Farid Wadji, Muhammad. Dā’irāt al-Ma’ārif al-Qarn al-‘Isyrīn, Jilid III; Beirut: Dār al-Ma’rifah, 1991. Hamid Abu Zayd, Nasr. Dawa’iru al-Khauf: Qira’atu fi Khitabi al-Mar’ati, Beirut: al-Markazu as-Staqofi al-‘Arabi, 2000. Haroen, Nasrun. Ushul Fiqh 1, Cet.II ; Jakarta: Logos Wacana Ilmu, 1997. Ibrahim Abd Al-Muqtadir, Wanita Berjilbab Vs Wanita Pesolek, Jakarta: Amzah, 2007. Kementrian Agama RI, Al-Quran dan Terjemahnya, Jakarta: Samad, 2014. Muhiydin, Muhammad. Membela Lautan Jilbab, Yogyakarta: Diva Press, 2008. Sālih al- ‘Usaimȋn, Muḥammad bin. Risalah al-Hijab, Bairut: Maktabah al-Waqfiyyah, 2009. Syarifuddin, Amir. Ushul Fiqh I, Cet. III; Jakarta: kencana, 2008 12