PENGARUH PEMBERIAN YOGURT SINBIOTIK BERBASIS PROBIOTIK INDIGENUS TERHADAP PROFIL HISTOLOGI DAN KANDUNGAN IMUNOGLOBULIN A (IgA) USUS HALUS TIKUS PERCOBAAN SKRIPSI WAHYU ANGGARINI F24061606 FAKULTAS TEKNOLOGI PERTANIAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2011 EFFECT OF INDIGENOUS PROBIOTIC IN SYNBIOTIC YOGHURT TOWARD HISTOLOGICAL PROFILE AND IMUNOGLOBULIN A (IgA) CONTENT IN SMALL INTESTINE OF MICE 1 Wahyu Anggarini , Deddy Muchtadi1, Made Astawan1 and Tutik Wresdiyati2 1 Department of Food and Technology, Faculty of Agricultural Technology, Bogor Agricultural University, IPB Darmaga Campus 16680 2 Department of Anatomy, Physiology and Pharmacology, Faculty of Veterinary Medicine, Bogor Agricultural University, IPB Darmaga Campus 16680 Phone 62857 1885 0995, e-mail: wahyu.anggarini@gmail.com ABSTRACT Diarrhea caused by E. coli is one of gastrointestinal disturbance (gastroenteritis) that often occur in Indonesia. Consuming probiotic and prebiotic product regularly could maintain the balance of gastrointestinal microflora. This research aimed to observe indigenous probiotic (Lactobacillus plantarum 2C12 and Lactobacillus fermentum 2B4) and prebiotic (fructooligosaccharide), which applied in yoghurt formula, potential as antidiarrhea and immunomodulator. The parameter observed was histological profile and Immunoglobulin A (IgA) content of small intestine. The antibacterial activity of yoghurt formulas was measured by contact method for 2, 4 and 6 hours incubation. The antibacterial activities of all yoghurt formulas were not statistically different (p>0.05) when incubated with Enteropathogenic E.coli K1.1 (EPEC K1.1). Organoleptic test showed that yoghurt F3 had the most stable consistency due to the least whey added. The next step of the research was a 21 day in vivo test on 4 group of Sprague dawley rats; the negative control (basal ration), synbiotic yoghurt (F3), synbiotic yoghurt + EPEC K1.1, and the positive control (EPEC K1.1). Antidiarrhea and immunomodulatory effect observed on rat's duodenum by hematoxylin eosyn method and immunohistochemistry. Synbiotic yoghurt group had the lowest duodenum's villi damage than the others treatment. Synbiotic yoghurt and EPEC K1.1 group had lower duodenum's villi damage than positive control group. Synbiotic yoghurt treatment could reduce duodenum’s villi damage caused pathogen bacteria. Synbiotic yoghurt treatment on day 7th had an effect on duodenum's mucus thickness (P<0.01). On day 14th, synbiotic yoghurt and EPEC K1.1 treatment had an effect on rat's duodenum mucus thickness (P<0.01). Synbiotic yoghurt treatment on day 21st had an effect on rat's duodenum mucus thickness (P<0.01). Synbiotic yoghurt treatment could maintain duodenum’s mucus thickness and had a healing effect towards pathogenic bacterial attack such as EPEC K1.1. IgA content on duodenum's mucus showed that synbiotic yoghurt treatment could enhance IgA content on rat's duodenum mucus. Moreover, synbiotic yoghurt treatment could help immune system to defend against pathogenic bacterial attack such as EPEC K1.1. Keyword : synbiotic yoghurt, L. fermentum 2B4, EPEC K1.1, IgA, duodenum histological profile WAHYU ANGGARINI. F24061606. Pengaruh Pemberian Yogurt Sinbiotik Berbasis Probiotik Indigenus terhadap Profil Histologi dan Kandungan Imunoglobulin A (Iga) Usus Halus Tikus Percobaan. Di bawah bimbingan Deddy Muchtadi, Made Astawan dan Tutik Wresdiyati. 2011 RINGKASAN Penelitian ini dilakukan untuk melihat potensi aktivitas antidiare dan imunomodulator beberapa formula yogurt dengan penambahan bakteri asam laktat indigenus (Lactobacillus plantarum 2C12 dan Lactobacillus fermentum 2B4) dan prebiotik (fruktooligosakarida) terhadap profil histologi dan kandungan Imunoglobulin A (IgA) usus halus. Penelitian ini diawali dengan uji antibakteri penyebab diare pada empat formula yogurt, yaitu yogurt F1 (L.bulgaricus + S. thermophillus + FOS 5%), F2 (L. bulgaricus + S. thermophillus + L. plantarum 2C12 + FOS 5%), F3 (L. bulgaricus + S. thermophillus + L. fermentum 2B4 + FOS 5%), dan F4 (L. bulgaricus + S. thermophillus + L. plantarum 2C12 + L. fermentum 2B4 + FOS 5%). Pengujian antibakteri ini menggunakan metode kontak, dimana formula yogurt dikontakkan dengan Enteropatogenik E.coli K1.1 (EPEC K1.1) selama 2, 4 dan 6 jam. Analisis statistik menunjukkan bahwa masing-masing formula yogurt tidak memberikan pengaruh nyata terhadap rata-rata log kematian EPEC K1.1 pada setiap waktu kontak (P>0.05). Derajat keasaman (pH) pada seluruh formula yogurt menunjukkan nilai pH yang tidak berbeda nyata (P>0.05). Dari segi organoleptik, yogurt F3 memiliki tekstur paling baik dilihat dari whey yang paling sedikit. Selanjutnya dilakukan pengujian secara in vivo menggunakan tikus Sprague Dawley umur 5-6 minggu sebanyak 70 ekor yang terdiri dari lima kelompok yaitu kontrol negatif (ransum basal), yogurt sinbiotik (F3), yogurt sinbiotik + EPEC K1.1, yogurt prebiotik, dan kontrol positif (EPEC K1.1) yang dilakukan selama 21 hari. Pemberian yogurt sinbiotik dan yogurt prebiotik dilakukan dengan pencekokan sebanyak 109 cfu/ml selama 21 hari. Intervensi EPEC K1.1 dilakukan dengan pencekokan sebanyak 107 cfu/ml pada minggu ke-2 selama 7 hari. Kelompok yang tidak mendapatkan perlakuan, dicekok dengan air minum agar mendapatkan stres yang sama. Setiap terminasi, jaringan usus duodenum diwarnai dengan menggunakan teknik hematoksilin eosin dan imunohistokimia. Kenaikan berat badan tikus selama pemeliharaan selama 21 hari tidak berbeda nyata antar kelompok (P>0.05). Konsumsi ransum tikus percobaan selama 21 hari tidak berbeda nyata antar kelompok (P>0.05). Pemberian yogurt sinbiotik dan EPEC K1.1 berpengaruh nyata (P<0.05) terhadap kadar air feses tikus percobaan. Kadar air feses kelompok tikus yogurt sinbiotik + EPEC K1.1 dan kelompok tikus kontrol positif tidak berbeda nyata (P>0.05). Kadar air feses kelompok tikus yogurt sinbiotik lebih rendah dibandingkan kelompok tikus kontrol positif. Kadar air feses kelompok tikus prebiotik tidak berbeda nyata dengan kelompok tikus lainnya. Pada hari ke-7, kelompok tikus yogurt sinbiotik memiliki kerusakan vili duodenum paling rendah (1.22%) dibandingkan kelompok tikus lainnya. Kelompok tikus yogurt sinbiotik + EPEC K1.1 juga memiliki kerusakan vili duodenum yang rendah (2.49%) dibandingkan kelompok tikus kontrol negatif (6.12%) dan kelompok tikus kontrol positif (5.51%). Hal ini menunjukkan bahwa pemberian probiotik dapat mengurangi terjadinya kerusakan vili duodenum tikus percobaan. Hari ke-14, setelah intervensi EPEC selama 7 hari menunjukkan kelompok tikus yogurt sinbiotik + EPEC K1.1 (13.62%) memiliki kerusakan vili yang lebih rendah dibandingkan dengan kelompok tikus kontrol positif (17.94%). Hal ini menunjukkan pemberian yogurt sinbiotik dapat mengurangi kerusakan vili duodenum tikus percobaan akibat serangan EPEC K1.1. Hari ke-21 yaitu 7 hari setelah intervensi EPEC dihentikan menunjukkan kelompok tikus yogurt sinbiotik memiliki kerusakan vili duodenum paling rendah (1.61%) dibandingkan kelompok tikus lainnya. Kelompok tikus yogurt sinbiotik + EPEC K1.1 yang lebih rendah (4.73%) dibandingkan kelompok tikus kontrol positif (21.96%). Hal ini menunjukkan probiotik dalam yogurt sinbiotik mampu berkompetisi dengan bakteri patogen EPEC K1.1 yang telah menempel pada vili usus duodenum tikus percobaan. Kerusakan vili duodenum pada kelompok tikus yogurt prebiotik (3.57%) lebih tinggi dibandingkan kelompok tikus kontrol negatif (3.04%). Hal ini menunjukkan prebiotik dalam yogurt prebiotik kurang mampu mencegah terjadinya kerusakan vili duodenum tikus percobaan. Pemberian yogurt sinbiotik selama 7 hari pertama memberikan pengaruh pada ketebalan mukosa usus duodenum (P<0.01). Kelompok tikus yogurt sinbiotik memiliki ketebalan mukosa usus duodenum yang paling besar dibandingkan kelompok tikus lainnya. Pada hari ke-14, pemberian yogurt sinbiotik dan EPEC K1.1 memberikan pengaruh pada ketebalan mukosa usus duodenum tikus percobaan (P<0.01). Kelompok tikus yogurt sinbiotik memiliki ketebalan mukosa usus duodenum yang paling besar dibandingkan kelompok tikus lainnya. Kelompok tikus yogurt sinbiotik + EPEC K1.1 memiliki ketebalan mukosa usus duodenum yang lebih besar dibandingkan dengan kelompok tikus kontrol positif, dan tidak berbeda nyata dengan kelompok tikus kontrol negatif. Pemberian yogurt sinbiotik pada hari ke-21 berpengaruh pada ketebalan mukosa usus duodenum tikus percobaan (P<0.01). Kelompok tikus kontrol positif memiliki ketebalan mukosa usus duodenum paling kecil dibandingkan kelompok lainnya. Ketebalan mukosa usus duodenum kelompok tikus yogurt sinbiotik + EPEC K1.1 tidak berbeda nyata dengan kelompok tikus yogurt sinbiotik, yogurt prebiotik dan kelompok tikus kontrol negatif. Kandungan Imunoglobulin A (IgA) pada mukosa duodenum secara kualitatif ditunjukkan dengan adanya warna coklat pada mukosa usus. Semakin pekat warna coklat maka kandungan IgA semakin banyak. Berdasarkan penilaian secara deskriptif, kandungan IgA mukosa duodenum kelompok tikus yogurt sinbiotik dan kelompok tikus yogurt sinbiotik + EPEC K1.1 lebih banyak dibandingkan kelompok tikus kontrol negatif dan kelompok tikus kontrol positif pada hari ke-7. Pada hari ke-14, kandungan IgA mukosa duodenum kelompok tikus yogurt sinbiotik sama dengan kelompok tikus kontrol negatif. Kelompok tikus yogurt sinbiotik + EPEC K1.1 memiliki kandungan IgA mukosa duodenum paling banyak dibandingkan kelompok tikus lainnya dan kelompok tikus kontrol positif memiliki kandungan IgA mukosa duodenum paling sedikit. Berdasarkan penilaian deskriptif pada hari ke-21, kandungan IgA mukosa duodenum kelompok tikus yogurt sinbiotik sama dengan kelompok tikus yogurt prebiotik dan kelompok tikus kontrol negatif. Kandungan IgA mukosa duodenum kelompok tikus yogurt sinbiotik + EPEC K1.1 lebih banyak dibandingkan dengan kontrol positif. PENGARUH PEMBERIAN YOGURT SINBIOTIK BERBASIS PROBIOTIK INDIGENUS TERHADAP PROFIL HISTOLOGI DAN KANDUNGAN IMUNOGLOBULIN A (IgA) USUS HALUS TIKUS PERCOBAAN SKRIPSI Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar SARJANA TEKNOLOGI PERTANIAN pada Departemen Ilmu dan Teknologi Pangan, Fakultas Teknologi Pertanian Institut Pertanian Bogor Oleh WAHYU ANGGARINI F24061606 FAKULTAS TEKNOLOGI PERTANIAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2011 Judul Skripsi : Pengaruh Pemberian Yogurt Sinbiotik Berbasis Probiotik Indigenus terhadap Profil Histologi dan Kandungan Imunoglobulin A (IgA) Usus Halus Tikus Percobaan Nama : Wahyu Anggarini NIM : F24061606 Menyetujui, Pembimbing I, Pembimbing II, (Prof. Dr. Ir. Deddy Muchtadi, MS) NIP 19460711.197603.1.001 (Prof. Dr. Ir. Made Astawan, MS) NIP 19620202.198703.1.004 Pembimbing III, (Drh. Tutik Wresdiyati, Ph.D) NIP 19640909.199002.2.001 Mengetahui : Ketua Departemen Ilmu dan Teknologi Pangan (Dr. Ir. Dahrul Syah) NIP 19650814.199002.1.001 Tanggal ujian akhir : PERNYATAAN MENGENAI SKRIPSI DAN SUMBER INFORMASI Saya menyatakan dengan sebenar – benarnya bahwa skripsi dengan judul Pengaruh Pemberian Yogurt Sinbiotik Berbasis Probiotik Indigenus terhadap Profil Histologi dan Kandungan Imunoglobulin A (IgA) Usus Halus Tikus Percobaan adalah hasil karya saya sendiri dengan arahan Dosen Pembimbing Akademik, dan belum diajukan dalam bentuk apapun pada perguruan tinggi manapun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun yang tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir skripsi ini. Bogor, Maret 2011 Yang membuat pernyataan Wahyu Anggarini F24061606 © Hak cipta milik Wahyu Anggarini, tahun 2011 Hak cipta dilindungi Dilarang mengutip dan memperbanyak tanpa izin tertulis dari Institut Pertanian Bogor, sebagian atau seluruhnya dalam bentuk apapun, baik cetak, fotokopi, mikrofilm, dan sebagainya BIODATA PENULIS Wahyu Anggarini. Lahir di Purwodadi pada tanggal 24 Juni 1988 sebagai anak ketiga dari pasangan Sutrisno dan Sitti Suprihatin. Penulis menempuh pendidikan dasarnya di SD Negeri 2 Kuripan, Purwodadi hingga lulus pada tahun 2000. Penulis melanjutkan pendidikannya di SMP Negeri 1 Purwodadi hingga lulus pada tahun 2003. Pendidikan menengah atas penulis ditempuh di SMA Al Islam 1 Surakarta hingga lulus pada tahun 2006. Penulis memasuki perguruan tinggi di Departemen Ilmu dan Teknologi Pangan, Fakultas Teknologi Pertanian, Institut Pertanian Bogor melalui Undangan Seleksi Masuk IPB (USMI) pada tahun 2006. Selama menempuh pendidikan di IPB, penulis terlibat dalam organisasi himpunan mahasiswa Ilmu dan Teknologi Pangan (HIMITEPA) selama 2 periode. Selain itu, penulis juga tergabung dalam klub pecinta Jepang “Onigiri Japan Club”. Bersama dengan tim PKMM Talas Bogor, penulis mewakili IPB mengikuti Pekan Ilmiah Mahasiswa Nasional (PIMNAS) XXII di Malang, Jawa Timur. Sebagai tugas akhir, penulis melakukan penelitian “Pengaruh Pemberian Yogurt Sinbiotik Berbasis Probiotik Indigenus terhadap Profil Histologi dan Kandungan Imunoglobulin A (IgA) Usus Halus Tikus Percobaan” di bawah bimbingan Prof.Dr.Ir. Deddy Muchtadi, MS, Prof.Dr.Ir. Made Astawan, MS dan Drh. Tutik Wresdiyati, Ph.D. KATA PENGANTAR Penulis mengucapkan syukur kehadirat Allah SWT atas rahmat dan karunia-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan penelitian yang berjudul “Pengaruh Pemberian Yogurt Sinbiotik Berbasis Probiotik Indigenus terhadap Profil Histologi dan Kandungan Imunoglobulin A (IgA) Usus Halus Tikus Percobaan”. Penelitian ini merupakan bagian dari proyek “Aplikasi Isolat Indigenus Bakteri Probiotik sebagai Imunomodulator dalam Pengembangan Yogurt Sinbiotik Antidiare”. Penelitian ini dilaksanakan di Laboratorium Ilmu dan Teknologi Pangan dan Laboratorium Histologi Fakultas Kedokteran Hewan, Institut Pertanian Bogor sejak bulan Maret sampai Desember 2010. Pada kesempatan ini penulis ingin menyampaikan rasa terima kasih dan penghargaan yang sebesar-besarnya kepada: 1. Prof.Dr.Ir. Deddy Muchtadi, MS selaku dosen pembimbing pertama atas segala bimbingan, nasihat dan kesabaran yang diberikan kepada penulis selama menjadi mahasiswa Departemen Ilmu dan Teknologi Pangan 2. Prof. Dr. Ir. Made Astawan, MS selaku dosen pembimbing penelitian atas bimbingan dan saran selama penelitian dan penyusunan skripsi 3. Drh.Tutik Wresdiyati, Ph.D, selaku dosen pembimbing penelitian atas segala pengetahuan dan pengalaman hidup yang sangat bermanfaat bagi penulis, serta bimbingan dan saran selama penelitian dan penyusunan skripsi 4. Direktorat Penelitian dan Pengabdian kepada Masyarakat, Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi, Kementrian Pendidikan Nasional RI yang telah memberikan dana penelitian melalui Hibah Kompetensi, Nomor Kontrak : 409/SP2 H/DP2M/VI/2010 atas nama Prof. Dr. Ir. Made Astawan, MS 5. Keluarga tercinta, Bapak Sutrisno, Ibu Sitti Suprihatin, Kakakku Indria PS dan Kartika DN, Kakak Iparku Aris P dan Agus J, serta keponakan tersayang Abyan atas segala kasih sayangnya 6. Seluruh dosen Departemen Ilmu dan Teknologi Pangan, terutama Ibu Suliantari, atas segala ilmu yang sangat bermanfaat, saran dan nasihat selama penelitian. 7. Seluruh teman-teman ITP seperjuangan di angkatan 43, terutama Rima, Nisa, Dedes, Wina, Ochi dan Dewi atas keceriaan mengisi hari-hari penulis 8. Rijali Aroni, atas keceriaan dan kesediaannya sebagai tempat berkeluh kesah penulis 9. Seluruh teman yang tergabung dalam tim yogurt, Sandra, Septi, Yeni dan Roni, serta Eri dan Febi atas segala bantuannya dan motivasinya 10. Teman satu Laboratorium Histologi, Fenny, Ila, Yeni dan Wulan atas segala bantuan, pengalaman dan pengetahuan yang sangat bermanfaat bagi penulis 11. Seluruh teman di Kost Windy, mbak Becky, mbak Femi, Indah, Ikan, Dhia, Dewi, Uci, Pita, dan lainnya atas keceriaannya 12. Senpai dan Kohei di Onigiri Japan Club sebagai keluarga kedua penulis 13. Para laboran terutama Pak Iwan (FKH), Pak Adi, Pak Ganda, Mbak Ari, Mas Aldi atas segala bantuannya selama penelitian dan semua pihak yang tidak dapat penulis sebutkan satu persatu. Akhirnya penulis berharap semoga tulisan ini bermanfaat dan memberikan kontribusi yang nyata terhadap perkembangan ilmu pengetahuan di bidang teknologi pangan. Bogor, Maret 2011 Wahyu Anggarini DAFTAR ISI Halaman KATA PENGANTAR …………………………………………………..…………….... vii DAFTAR TABEL ……………………………………………………….……………... x DAFTAR GAMBAR …………………………………………………………………… xi DAFTAR LAMPIRAN ………………………………………………………………… xii I. PENDAHULUAN …………………………………………………………… LATAR BELAKANG …………………………………………...…………… TUJUAN ……………………………………………………………………… 1 1 2 II. 2.1. 2.2. 2.3. 2.4. 2.5. 2.6. 2.7. TINJAUAN PUSTAKA ………………………………………...……………. MIKROBIOTA DALAM SALURAN PENCERNAAN ………...……………. BAKTERI ASAM LAKTAT SEBAGAI PROBIOTIK ………………………. PROBIOTIK SEBAGAI IMUNOMODULATOR …………........……………. PREBIOTIK ………………………………………………….......……………. YOGURT SINBIOTIK …………………………………………..…………… DIARE ………………………………...........................................……………. ENTEROPHATOGENIC Escherichia coli K1.1 ……..................……………... 3 3 4 7 9 11 15 16 2.8. USUS HALUS …………………...................................................……………. 18 III. 3.1. 3.2. BAHAN DAN METODE ……………………………………….……………. BAHAN DAN ALAT …………………..……………………….……………. METODE PENELITIAN ………………………………………...……………. 20 20 21 IV. 4.1. 4.2. 4.3. HASIL DAN PEMBAHASAN ………………………………....……………. YOGURT SINBIOTIK SEBAGAI ANTIBAKTERI PENYEBAB DIARE ..... PENGUKURAN BOBOT BADAN DAN KONSUMSI RANSUM ………….. PENAMPAKAN DAN KADAR AIR FESES TIKUS PERCOBAAN ……… 30 30 32 33 4.4. HISTOLOGI USUS DUODENUM TIKUS PERCOBAAN .........……………. 36 4.5. KANDUNGAN IMUNOGLOBULIN A (IgA) PADA MUKOSA DUODENUM ………………………….………………………..…………….. SIMPULAN DAN SARAN ………………………………..........……………. SIMPULAN ………………………………………………….......……………. SARAN …………………………………………………………..……………. 41 46 46 46 DAFTAR PUSTAKA …………………………………………………...……………... 47 LAMPIRAN ……………………………………………………………..……………... 55 1.1. 1.2. V. 5.1. 5.2. DAFTAR TABEL Halaman Tabel 1. Morfologi isolat indigenus bakteri asam laktat ………....................…………… 6 Tabel 2. Hasil fermentasi terhadap beberapa jenis gula sederhana................…………… 6 Tabel 3. Sifat dasar probiotik isolat indigenus bakteri asam laktat................. ………… 7 Tabel 4. Syarat mutu yogurt menurut SNI (SNI 2981, 2009).......................……………. 12 Tabel 5. Probiotik yang dapat digunakan dalam produk olahan susu............…………… 14 Tabel 6. Komposisi campuran ransum basal.......................................................………… 24 Tabel 7. Kelompok tikus percobaan berdasarkan perlakuan yang diberikan. …………… 24 Tabel 8. Kriteria penilaian deskriptif kandungan IgA......................................…………... 28 Tabel 9. Aktivitas antibakteri terhadap EPEC pada keempat formula yogurt ................. 30 Tabel 10. Nilai pH dari masing-masing formula yogurt..................................…………..... 30 Tabel 11. Presentase kerusakan vili duodenum tikus percobaan.......................................... 36 Tabel 12. Ketebalan mukosa duodenum tikus percobaan..................................................... 40 Tabel 13. Kandungan IgA pada mukosa duodenum tikus percobaan................................... 42 DAFTAR GAMBAR Halaman Gambar 1. Peran probiotik dalam saluran pencernaan manusia....................…………..... 8 Gambar 2. Konsep probiotik dan prebiotik........................................................................ 13 Gambar 3. Infeksi EPEC pada epitel usus inang................................................................ 16 Gambar 4. Fase patogenesis EPEC ................................................................................... 17 Gambar 5. Histologi usus halus yang menunjukkan vili dan lapisan mukosa ................ 19 Gambar 6. Diagram alir penelitian..................................................................................... 21 Gambar 7. Bagan perlakuan tikus percobaan..................................................................... 25 Gambar 8. Prinsip teknik pewarnaan imunohistokimia..................................................... 27 Gambar 9. Gambar 10. Penampakan yogurt F1, F2, F3 dan F4 segera setelah diinkubasi selama 24 jam pada suhu 37o-43 oC ................................................................................. Pertambahan berat badan tikus percobaan selama 21 hari............................ Gambar 11. Rata-rata konsumsi ransum basal tikus percobaan........................................... 32 Gambar 12. Penampakan feses tikus percobaan................................................................... 33 Gambar 13. Penampakan anus tikus percobaan................................................................... 34 Gambar 14. Kadar air feses tikus percobaan........................................................................ 35 Gambar 15. Fotomikrograf usus duodenum tikus percobaan terminasi hari ke-7 dengan pewarnaan hematoksilin eosin.......................................................................... Fotomikrograf usus duodenum tikus percobaan terminasi hari ke-14 dengan pewarnaan hematoksilin eosin.......................................................................... Fotomikrograf usus duodenum tikus percobaan terminasi hari ke-21 dengan pewarnaan hematoksilin eosin.......................................................................... Fotomikrograf usus duodenum tikus percobaan terminasi hari ke-7 yang diwarnai secara imunohistokimia terhadap Imunoglobulin A (IgA) .............. Fotomikrograf usus duodenum tikus percobaan terminasi hari ke-14 yang diwarnai secara imunohistokimia terhadap Imunoglobulin A (IgA) ............... Fotomikrograf usus duodenum tikus percobaan terminasi hari ke-21 yang diwarnai secara imunohistokimia terhadap Imunoglobulin A (IgA) ............... Gambar 16. Gambar 17. Gambar 18. Gambar 19. Gambar 20 31 32 37 37 38 43 44 45 DAFTAR LAMPIRAN Halaman Lampiran 1. Data proksimat kasein (Alacid acid casein) yang digunakan .................. 56 Lampiran 2. Perhitungan komposisi ransum basal ....................................................... 57 Lampiran 3. Data nilai log kematian EPEC K1.1 metode kontak 2, 4 dan 6 jam ....... 58 Lampiran 4. Lampiran 5. Uji statistik ANOVA aktivitas antimikroba yogurt selama 2, 4 dan 6 jam ........................................................................................................... Uji statistik ANOVA rata-rata aktivitas antimikroba yogurt.................... Lampiran 6. Nilai pH formula yogurt .......................................................................... 61 Lampiran 7. Analisis statistik (ANOVA) nilai pH formula yogurt .............................. 62 Lampiran 8. Rata-rata pertambahan berat badan tikus percobaan ............................... 63 Lampiran 9. Lampiran 10. Analisis statistika (ANOVA) pertambahan berat badan tikus percobaan ................................................................................................. Konsumsi ransum basal tikus percobaan per hari..................................... 65 Lampiran 11. Analisis statistika (ANOVA) rata-rata konsumsi ransum per hari .......... 66 Lampiran 12. Data kadar air sampel feses tikus percobaan............................................ 67 Lampiran 13. Analisis statistik (ANOVA) kadar air feses tikus percobaan................... 68 Lampiran 14. Data kerusakan vili duodenum tikus percobaan....................................... 69 Lampiran 15. Data ketebalan mukosa duodenum tikus percobaan.............................. 70 Lampiran 16. Analisis statistika ketebalan mukosa (ANOVA) pada hari ke-7 ............. 71 Lampiran 17. Analisis statistika ketebalan mukosa (ANOVA) pada hari ke-14 ........... 72 Lampiran 18. Analisis statistika ketebalan mukosa (ANOVA) pada hari ke-21 ........... 73 59 60 64 I. PENDAHULUAN 1.1. LATAR BELAKANG Saluran pencernaan manusia merupakan sebuah ekosistem yang sangat spesial, yang berkembang dari waktu ke waktu, baik secara fisiologis maupun mikrobiologis. Hal ini sebagai akibat dari pengaruh inang dan lingkungan. Saluran pencernaan merupakan organ yang aktif secara metabolis karena selalu terekspos oleh berbagai macam zat selama proses mencerna makanan (Tamime 2005). Saluran pencernaan berada dalam keadaan steril sampai bayi dilahirkan. Koloni mikrobiota pada bayi pertama kali berasal dari vagina maupun saluran pencernaan ibunya. Makanan yang masuk ke saluran pencernaan sangat menentukan keadaan saluran pencernaan. Kontaminan yang masuk bersama makanan melalui saluran pencernaan dapat merugikan saluran pencernaan. Saluran pencernaan merupakan organ vital yang rentan terhadap gangguan. Salah satu gangguan saluran pencernaan (gastroenteritis) yang sering terjadi di Indonesia adalah diare. Pada tahun 2006, penyakit ini menempati urutan ketiga penyebab kematian di Indonesia (Departemen Kesehatan 2008). Bakteri penyebab infeksi gastroenteritis yang utama adalah famili Enterobactericeae yang meliputi coliform, khususnya Escherichia coli, Salmonella, Shigella, dan Yersinia. Kondisi dan fungsi saluran pencernaan yang sehat sangat penting bagi kehidupan manusia. Sistem pertahanan tubuh sepanjang saluran pencernaan sangat penting untuk melawan segala macam bahaya yang mengiringi masuknya makanan ke dalam tubuh. Ekologi flora saluran pencernaan yang normal sangat penting sebagai pertahanan terhadap koloni patogen dari luar tubuh (Forchielli dan Walzer 2005). Salah satu cara untuk menjaga keseimbangan mikroflora saluran pencernaan adalah dengan mengonsumsi produk probiotik dan prebiotik secara teratur. Probiotik merupakan mikroorganisme hidup yang dapat memberikan efek yang menguntungkan pada saluran pencernaan inang (Parassol et al. 2005), memelihara keseimbangan mikroflora dalam usus, mengatur sistem imun, menurunkan tingkat kolesterol dalam darah, meningkatkan toleransi terhadap laktosa, dan menghasilkan metabolit esensial yang dapat memelihara kesehatan usus (Teitelbaum dan Walker 2002). Bakteri probiotik terbukti efektif dapat mengontrol pertumbuhan mikroorganisme yang berpotensi patogen dan dapat menyebabkan diare. Berbagai penelitian menunjukan potensi isolat bakteri asam laktat (BAL) untuk mengurangi kejadian diare, baik yang disebabkan oleh infeksi bakteri patogen, virus maupun diare yang berkaitan dengan konsumsi antibiotik (Heyman dan Menard 2002). BAL yang diisolasi dari daging sapi di beberapa pasar tradisional wilayah Bogor diketahui memiliki sifat sebagai probiotik (Arief et al. 2008). Lactobaccilus delbruecki subsp. bulgaricus dan Streptococcus thermophilus merupakan BAL yang biasa ditemukan dalam produk yogurt komersial, ternyata belum cukup untuk menjaga saluran pencernaan. Oleh karena itu, ke dalam yogurt perlu ditambahkan bakteri probiotik yang mampu bertahan dalam saluran pencernaan manusia. Bakteri tersebut dapat hidup di saluran pencernaan manusia, berkembang biak dan berkompetisi dengan bakteri patogen untuk mendapatkan substrat fermentasi. Konsumsi probiotik akan lebih maksimal dalam menjaga keseimbangan mikroflora dalam saluran pencernaan jika diiringi dengan konsumsi prebiotik. Prebiotik adalah suatu bahan pangan yang tidak dapat dicerna di sepanjang jalur pencernaan manusia, namun bermanfaat menunjang pertumbuhan atau aktivitas bakteri baik di usus, termasuk probiotik (Angus et al. 2005 diacu dalam Tamime 2005). Penelitian ini bertujuan untuk melihat potensi aktivitas antidiare dan imunomodulator beberapa formula yogurt dengan penambahan BAL indigenus (Lactobacillus plantarum 2C12 dan Lactobacillus fermentum 2B4) dan prebiotik (fruktooligosakarida) dilihat pada parameter profil histologi dan kandungan Imunoglobulin A (IgA) pada usus halus. 1.2. TUJUAN Tujuan umum penelitian ini adalah mengaplikasikan dua jenis BAL probiotik indigenus yang diisolasi dari daging sapi di beberapa pasar tradisional wilayah Bogor, yaitu Lactobacillus plantarum 2C12 dan Lactobacillus fermentum 2B4, dalam pembuatan yogurt sinbiotik fungsional yang memiliki sifat sebagai antidiare dan imunomodulator. Tujuan khusus penelitian ini adalah : 1. Mengetahui profil histologi pada usus halus, yaitu kerusakan vili dan ketebalan mukosa. 2. Mendeteksi kandungan Imunoglobulin A (IgA) usus halus dengan teknik pewarnaan imunohistokimia. II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. MIKROBIOTA DALAM SALURAN PENCERNAAN Saluran pencernaan dimulai dari rongga mulut yang terdiri atas mulut, hidung, dan kerongkongan. Saluran pencernaan selanjutnya adalah lambung, usus kecil, usus besar dan berakhir di anus. Pada setiap bagian saluran pencernaan terdapat bakteri yang berbeda–beda. Terdapat perbedaan yang besar pada jumlah dan jenis populasi bakteri yang terdapat pada lambung, usus kecil, dan usus besar. Perbedaan ini terjadi karena adanya perbedaan waktu transit, sekresi, dan kesediaan nutrisi (Lambert dan Hull 1996; Guilliams 1999 diacu dalam Tamime 2005). Usus merupakan sebuah ekosistem kompleks yang terdiri atas tiga komponen yang saling berhubungan yaitu sel inang, nutrisi, dan mikrobiota. Fungsi usus antara lain untuk proses pencernaan makanan, penyerapan zat gizi, dan pertahanan terhadap serangan dari luar. Komponen pertahanan usus terdiri dari atas tiga jenis yaitu mikrobiota, pertahananan mukosa, dan sistem imun internal (Bourlioux et al. 2002). Usus halus merupakan habitat dari enterococci, enterobacteria, lactobacilli, bacteroides, dan clostridia. Jumlah mikroba meningkat dari 104-106 cfu/ml pada usus halus menjadi 1011-1012 cfu/ml pada usus besar (Salminen et al. 1998 diacu dalam Tamime 2005). Diperkirakan 95% dari semua sel hidup dalam tubuh manusia adalah bakteri usus besar (Gibson et al 2004). Sedangkan jumlah bakteri akhir di dalam feses didominasi oleh Bacteroides spp sebanyak 109 cfu/ml (Salminen et al. 2004). Sebelum dilahirkan, saluran pencernaan bayi masih dalam keadaan steril. Pada saat bayi dikeluarkan melalui vagina, kolonisasi mikrobiotia natural pada bayi pertama kali berasal dari vagina maupun saluran pencernaan ibunya. Dalam perkembangannya, asupan makanan bayi berperan penting terhadap mikrobiota saluran pencernaannya. Selama masa menyusui, komposisi mikrobiota saluran pencernaan berkembang dalam jangka waktu yang singkat, dan didominasi oleh Bifidobacteria (Boehm dan Moro 2008). Flora vagina dan saluran pencernaan ibu merupakan sumber bakteri bagi bayi yang akan berkolonisasi dalam saluran usus bayi yang didominasi oleh strain anaerob fakultatif seperti enterobacteria, koliform dan Lactobacillus. Setelah tidak menyusu, komposisi mikroflora secara berangsur-angsur berubah menyerupai mikroflora dewasa. Diperkirakan terdapat 500 spesies mikroba yang berbeda pada saluran pencernaan, akan tetapi dari segi jumlahnya, saluran pencernaan didominasi oleh 20 jenis mikroba. Mikrobiota tersebut antara lain Bacteroides, Lactobacillus, Clostridium, Fusobacterium, Bifidobacterium, Eubacterium, Peptococcus, Peptostreptococcus, Escherichia, dan Veillonella termasuk bakteri yang dapat memberikan efek menguntungkan yaitu Bifidobacteria and Lactobacilli (Harish dan Varghese 2006). Lactobacillus dan Bifidobacterium merupakan bakteri penghuni normal ekosistem kompleks saluran pencernaan. Lactobacillus memiliki kemampuan untuk menempel pada sel inang, untuk mengeluarkan atau mengurangi bakteri patogen, dan menghasilkan asam, hidrogen peroksida, dan bakteriosin yang mampu menghambat pertumbuhan bakteri patogen. Keberadaan Lactobacillus dalam saluran pencernaan berpotensi memberikan efek kesehatan bagi inang seperti mencegah terjadinya infeksi saluran pencernaan dan meningkatkan respon imun (Sharma et al. 2005). Profil saluran pencernaan pada manusia dewasa memperlihatkan terjadinya perkembangan populasi mikroba yang dapat mengatasi tekanan psikologis dan mikrobiologis. Kondisi yang stabil memberikan ketahanan bagi inang, atau yang sering disebut dengan barrier effect, kemampuan melawan invasi mikroba, baik yang patogen maupun yang tidak berbahaya. Mikrobiota dalam saluran pencernaan harus mampu beradaptasi untuk berkompetisi mendapatkan nutrisi dan tempat dengan mikroba pendatang, yang mungkin dapat menghambat dengan menghasilkan komponen penghambat (Alderbeth et al. 2000). Keberadaan mikroorganisme dalam saluran pencernaan ditentukan oleh interaksi dengan lingkungan sekitarnya dan pengaruh dari sekitarnya yang mampu mendukung mikroorganisme tersebut melawan kompetitornya. Hal ini dapat dicapai setelah melalui mekanisme yang sangat banyak, seperti meningkatnya suasana anaerobik atau melalui komponen yang mengganggu, contohnya asam dan substansi antimikroba. Komponen-komponen tersebut memberikan efek menguntungkan bagi inang (Fooks dan Gibson 2002). Fungsi utama dari mikrobiota usus yaitu aktivitas metabolik yang menyebabkan penyimpanan energi dan nutrisi, efek nutrisi terhadap epitel usus, dan perlindungan terhadap serangan bakteri yang merugikan (Harish dan Varghese 2006). Fungsi penting lainnya dari mikrobiota dalam saluran pencernaan adalah produksi vitamin B dan K, yang dibuktikan dalam studi dimana hewan percobaan yang disuplementasi dengan vitamin B dan K untuk memenuhi kebutuhannya setara dengan hewan percobaan dengan mikrobiota (Hooper et al. 2002). Mikroflora saluran pencernaan merupakan bagian penting dalam dinding pertahanan saluran usus. Komposisi awal dari mikroflora saluran pencernaan yang berkembang merupakan faktor penentu perkembangan fungsi pertahanan saluran pencernaan normal. Penyimpangan spesifik pada mikroflora dalam saluran pencernaan dapat menyebabkan penyakit pada inang. Mekanisme pertahanan mukosa saluran usus yaitu peran lumen dan mukosa yang membatasi kolonisasi bakteri patogen pada permukaan mukosa. Mikrobiota saluran pencernaan normal dapat mencegah pertumbuhan yang berlebihan dari bakteri patogen dalam saluran pencernaan (Harish dan Varghese 2006). 2.2. BAKTERI ASAM LAKTAT SEBAGAI PROBIOTIK Probiotik didefinisikan sebagai sediaan sel mikroba hidup yang memiliki pengaruh menguntungkan terhadap kesehatan dan kehidupan inangnya (Schmid et al. 2006). Efek positif dari aktivitas probiotik terbagi menjadi tiga aspek yaitu nutrisi, fisiologi, dan antimikroba. Aspek nutrisi berasal dari penyediaan enzim yang membantu metabolisme penyerapan laktosa (laktase), sintesis beberapa jenis vitamin (vitamin K, asam folat, piridoksin, asam pantotenat, biotin, dan riboflavin), dan dapat menghilangkan racun hasil metabolit komponen makanan di usus (Naidu dan Clemens 2000). Aspek fisiologis meliputi kemampuan untuk menjaga keseimbangan komposisi mikrobiota usus sehingga menekan resiko infeksi penyakit dan menstimulasi sistem kekebalan tubuh. Aspek kemampuan antimikroba dinyatakan melalui kemampuan memperbaiki ketahanan terhadap patogen (Naidu dan Clemens 2000). Probiotik dapat meningkatkan pertahanan usus terhadap patogen karena probiotik berperan sebagai adjuvant sistem imun dan memperkuat lapisan mukosa (Walker 2008). Mekanisme probiotik dalam memberikan efek positif pada saluran pencernaan memang kurang dimengerti. Akan tetapi secara garis besar, menurut Sartor (2004), mekanismenya antara lain : (1) adherence/ menempel dan membentuk koloni di dalam saluran pencernaan, (2) menekan pertumbuhan atau mengikat/ menyerang bakteri patogen dan memproduksi substansi antimikroba, (3) meningkatkan fungsi pertahanan saluran pencernaan, (4) mengontrol transfer antigen, dan (5) menstimulasi sistem imun mukosa dan sistemik pada inang. FAO/WHO (2001) menyatakan probiotik adalah mikroorganisme hidup yang masuk dalam jumlah yang cukup sehingga dapat memberikan manfaat kesehatan bagi inang. Jumlah yang cukup menurut FAO/WHO adalah 106-108 cfu/g dan diharapkan dapat berkembang menjadi 1012 cfu/g di dalam kolon. International Dairy Federation (IDF) memberikan standar acuan untuk minuman probiotik hidup sebanyak 106 cfu/ml pada produk akhir (Indratingsih et al. 2004). Produk probiotik dapat diklaim memberi keuntungan kesehatan harus mengandung bakteri probiotik dengan konsentrasi minimal 106 cfu/ml atau gram, sebagai dosis minimum terapi per harinya disarankan mengonsumsi 108-109 cfu/ml (Shah 2000). Akan tetapi, beberapa studi menunjukkan viabilitas probiotik yang berbeda-beda dalam fermentasi susu, khususnya yogurt (La Torre et al. 2003). Beberapa faktor diklaim mempengaruhi viabilitas kultur probiotik dalam fermentasi susu, seperti pH produk akhir, kesediaan nutrisi, oksigen terlarut dan penyerapan oksigen melalui kemasan produk (Tamime 2005). Jenis bakteri yang banyak digunakan sebagai probiotik adalah bakteri asam laktat (BAL), seperti dari genus Lactobacillus dan Bifidobacteria (Winarno 2003). Menurut Salminen et al. (2004), beberapa syarat yang harus dipenuhi oleh BAL yang berfungsi sebagai mikroba probiotik antara lain: 1) Probiotik harus non patogenik yang mewakili mikrobiota normal usus dari inang tertentu, dan masih aktif pada kondisi asam lambung serta konsentrasi garam empedu yang tinggi dalam usus 2) Probiotik yang baik mampu tumbuh dengan cepat dalam jumlah yang tinggi pada usus 3) Probiotik yang ideal dapat mendiami beberapa bagian dari saluran usus untuk sementara 4) Probiotik dapat memproduksi asam-asam organik secara efisien dan memiliki sifat antimikroba terhadap bakteri merugikan 5) Mudah diproduksi, mampu tumbuh dalam sistem produksi skala besar dan hidup selama kondisi penyimpanan. Ketahanan terhadap asam lambung merupakan syarat penting suatu organisme untuk dapat menjadi probiotik karena pH asam lambung sekitar 2 (Almatsier 2005). Pada BAL terjadi perubahan yang dinamis pada pH intraseluler seiring dengan terjadinya penurunan pH ekstraseluler sehingga tidak terjadi gradien proton yang besar. Gradien proton yang besar dapat menyebabkan akumulasi anion, asam organik dalam sitosol yang bersifat toksik bagi sel tersebut. Selain itu gradien proton membutuhkan energi yang besar untuk translokasi proton sehingga sangat merugikan (Siegumfeldt et al. 2000). BAL yang telah melewati dua barrier yaitu asam lambung dan empedu akan menuju ke usus. Bakteri tersebut berkembang pada saat menuju ke jejunum dan akhirnya sampai ke kolon. Waktu transit yang lama memungkinkan bakteri untuk berkembang. Selain itu terdapat nutrisi sisa-sisa makanan yang tidak diserap, material dari inang (mukus dan sel mati), dan metabolit bakteri yang dapat digunakan sebagai sumber makanan (Bourlioux et al. 2002). Selain ketahanannya dalam saluran pencernaan, aktivitas antimikroba terhadap berbagai bakteri patogen juga merupakan syarat yang penting bagi suatu organisme untuk menjadi probiotik. Bakteri seperti Bifidobacteria spp. dan Lactobacillus spp. memiliki aktivitas penghambatan terhadap bakteri pathogen Listeria monocytogenes, Escherichia coli, Salmonella spp. (Jenie 2003). Probiotik dianggap sukses bila mampu berkolonisasi pada saluran usus, paling tidak untuk sementara, dengan cara menempel pada mukosa usus. Dengan penempelan itu, probiotik juga mampu mencegah penempelan bakteri patogen seperti bakteri koliform dan Clostridia, dan mampu menstimulasi penghilangan patogen tersebut dari jalur infeksi saluran pencernaan (Lee et al. 2000). Arief et al. (2008) menyatakan BAL golongan Lactobacillus, Lactococcus, dan Streptococcus dari daging sapi bangsa Peranakan Ongol yang dijual di berbagai pasar tradisional daerah Bogor mampu bertahan pada kondisi saluran pencernaan seperti pH saluran pencernaan dan garam empedu, serta memiliki aktivitas antimikroba terhadap bakteri patogen. Kemampuan bakterisidal terhadap bakteri patogen ini disebabkan bakteri ini mampu menghasilkan senyawa bioaktif asam laktat, asam asetat, dan senyawa bakteriosin. Sifat dasar kesepuluh bakteri asam laktat yang diisolasi dari daging sapi tersebut dan kemampuannya sebagai probiotik dinyatakan pada Tabel 1, 2 dan 3. Tabel 1. Morfologi isolat indigenus bakteri asam laktat No Bentuk Kode Pertumbuhan Pertumbuhan Menghasilkan Menghasilkan di suhu di NaCl 6,5% NH3 dari gas dari glukosa isolat o 15 C o arginin 45 C 1 1A5 Batang + + + - - 2 1A32 Kokus + + + + - 3 1B1 Batang + + + - + 4 2B1 Kokus + + + - - 5 2B2 Batang + + + + - 6 2B4 Batang + + + - + 7 1C4 Batang + + + + - 8 2C2 Batang + + + - - 9 2C12 Kokus + + + + - 10 2D1 Batang + + + - - Sumber : Arief et al. (2005) Tabel 2. Hasil fermentasi terhadap beberapa jenis gula sederhana No Kemampuan menfermentasi gula Kode Identifikasi isolat Ara gal Glu Lak Mal man raf Rham tre sorb suk xyl presumtif awal* 1 1A5 - + + + + - + - - - + - Lactobacillus sp 2 1A32 + + + + + - + - - - + - Lactococcus lactis 3 1B1 + + + + + + D + + D + D Lactobacillus plantarum 4 2B1 + + + + + - + - - - + + Streptococcus sp 5 2B2 - + + + + - + - - - + + Lactobacillus fermentum 6 2B4 + + + + + - + - - - + + Lactobacillus fermentum 7 1C4 + + + + + - + - - - + - Lactobacillus sp 8 2C2 + + + + + - + + + - + + Streptococcus sp 9 2C12 - + + + + + + D d D + D Lactobacillus sp 10 2D1 + + + - + - + - - - + + Lactobacillus sp Sumber :Arief et al. (2005) Keterangan : * = identifikasi presumtif awal berdasarkan software PIB Win (+) = dapat menfermentasi; (-) = tidak dapat menfermentasi; (d) = dubius; ara = arabinosa; gal = galaktosa; glu = glukosa; lak = laktosa; mal = maltosa; man= manitol; raf = rafinosa; rham = rhamnosa; tre = trehalosa; sorb = sorbitol; suk = sukrosa; xyl = xylosa Tabel 3. Sifat dasar probiotik isolat indigenus bakteri asam laktat No Kode Kemampuan menghambat mikroba patogen isolat Kemampuan tumbuh di kondisi saluran pencernaan (in vitro) Staphylococcus Salmonella Escherichia pH pH Garam aureus ATCC 25923 typhimurium coli ATCC lambung usus empedu (bile ATCC 14028 25922/ ETEC (2.5) (7.2) salt) 0,5% 1 1A5 ++ ++ +++ + + + 2 1A32 ++ ++ +++ + + + 3 1B1 + ++ ++ + + + 4 2B1 ++ ++ ++ + + + 5 2B2 ++ ++ +++ + + + 6 2B4 ++ +++ +++ + + + 7 1C4 ++ ++ ++ + + + 8 2C2 ++ ++ +++ + + + 9 2C12 ++ ++ ++ + + + 10 2D1 ++ +++ ++ + + + Sumber : Arief et al. (2008) Hasil penelitian Arief et al. (2008) menunjukan terdapat 10 BAL isolat indigenus yang mempunyai kemampuan bertahan pada pH lambung yaitu pada pH 2.5 dan pH usus yaitu pada pH 7.2, serta pada kondisi garam empedu 0.5% sesuai dengan kondisi saluran pencernaan. Selain itu, BAL tersebut memiliki aktivitas penghambatan yang baik terhadap tiga jenis bakteri enteropatogenik yaitu Salmonella thypimurium ATCC 14028, Escherichia coli ATCC 25922 (ETEC), dan Staphylococcus aureus ATCC 25923. Berdasarkan kriteria dasar probiotik oleh FAO/WHO (2002) yaitu kemampuannya untuk bertahan pada kondisi lambung (pH rendah) dan adanya garam empedu, serta penghambatannya terhadap bakteri patogen, maka kesepuluh BAL isolat indigenus tersebut dapat dinyatakan sebagai probiotik. 2.3. PROBIOTIK SEBAGAI IMUNOMODULATOR Probiotik didefinisikan sebagai mikroorganisme hidup yang pada jumlah yang sudah diatur dapat memberikan efek yang menguntungkan bagi kesehatan inang (Reid et al. 2003). Strain yang paling sering digunakan dalam penelitian adalah Lactobacillus dan Bifidobacterium, antara lain Lactobacillus achidophilus, Lactobacillus casei, Lactobacillus fermentum, Lactobacillus plantarum, Lactobacillus reuteri, Bifidobacterium infantis, Bifidobacterium breve, Bifidobacterium animalis, Bifidobacterium adolescentis, dan Bifidobacterium longum. Bakteri–bakteri tersebut termasuk bakteri gram positif, fakultatif yang normal terdapat dalam usus besar manusia dan sebagian besar merupakan mikroflora anaerobik (Liong 2007). Probiotik merupakan preparasi sel bakteri hidup yang mampu memberikan efek menguntungkan pada kesehatan inang. Banyak BAL sebagai probiotik, digunakan untuk memperbaiki mikroflora usus yang terganggu fungsinya dan permeabilitas saluran pencernaan yang tidak normal (Lee et al. 2000). Kullisaar et al. (2003) menyatakan bahwa mengonsumsi susu fermentasi yang mengandung L. fermentum ME-3 memperlihatkan efek antioksidatif dan antiaterogenik. Bakteri probiotik memproduksi berbagai jenis substansi yang mampu menghambat bakteri gram positif dan gram negatif. Komponen tersebut tidak hanya mengurangi jumlah sel hidup, tetapi juga memberikan dampak terhadap hasil metabolisme bakteri atau produksi toksin. Fakta tersebut membuktikan bahwa probiotik dapat memberikan perlindungan terhadap penyakit saluran usus melalui stimulasi terhadap sistem imun spesifik dan non-spesifik. Pemberian oral Lactobacillus sp. selama terjadinya diare rotavirus akut berkaitan dengan peningkatan respon imun terhadap rotavirus. Mekanisme stimulasi sistem imun belum dimengerti, akan tetapi komponen sel permukaan spesifik atau sel lapisan dapat berperan sebagai adjuvant (agen yang dapat menstimulasi sistem imun) dan meningkatkan respon imun humoral. Studi lain menyatakan penghambatan patogen oleh probiotik disebabkan adanya kompetisi terhadap nutrisi dan tempat reseptor, yang akhirnya probiotik menggunakan nutrisi yang ada, sehingga tidak dapat dikonsumsi oleh patogen (Rolfe 2000). Sistem imun manusia sebagian besar dirancang untuk menghancurkan mikroorganisme asing seperti virus dan bakteri. Manusia sehat memiliki dua mekanisme imun, sistem imun spesifik (acquired), yang memberikan respon pada antigen spesifik dan ditingkatkan dengan adanya paparan yang berulang-ulang; dan sistem imun non-spesifik (innate), yang tidak membutuhkan stimulasi, tidak meningkat dengan adanya paparan berulang-ulang, dan memiliki mekanisme yang menyertakan pertahanan fisik (Meydani 2000). Kedua sistem imun ini mampu mempengaruhi respon imun sistemik dan mukosa (Galdeano dan Perdigon 2006). Sistem imun innate dan adaptive merupakan dua bagian yang saling tergantung dari satu kesatuan sistem imun. Pada tingkat mukosa saluran pencernaan, respon imun innate tidak hanya menjadi garis pertama pertahanan melawan mikroorganisme patogen, akan tetapi juga memberikan sinyal biologi untuk menginstruksikan sistem imun adaptive agar mendapatkan respon tersebut. Pada sistem imun, bakteri probiotik berperan merangsang respon imun mukosa saluran pencernaan (Galdeano dan Perdigon 2006). Pemberian Lactobacillus dan Bifidobacterium secara oral memperlihatkan terjadinya peningkatan respon antibodi pada ovalbumin dan respon imunoglobulin A (IgA) terhadap toksin kolera pada tikus percobaan, meningkatkan sel yang mensekresi antibodi spesifik terhadap rotavirus pada anak dengan diare rotavirus akut, dan meningkatnya jumlah sel yang mensekresi antibodi terhadap β-laktoglobulin pada tikus yang masih menyusu (Isolauri et al. 2001). Liong (2007) menyatakan peningkatan jumlah sel penghasil IgA di mesenteric node kelenjar getah bening pada tikus percobaan, mengawali adanya kombinasi vaksin laktokokal yang dapat merangsang respon sistemik dan respon imun mukosa. Sumber : Saulnier et al. (2009) Gambar 1. Peran probiotik dalam saluran pencernaan manusia Probiotik dapat menstimulasi respon imun dengan meningkatkan produksi antibodi mukosa, mendorong ekspresi sitokin pro-inflamatori, dan meningkatkan produksi defensin inang (Gambar 1). Efek supresif menunjukan penurunan ekspresi sitokin, inflamasi sistemik, proliferasi sel, dan peningkatan apoptosis. Protein permukaan merupakan faktor kunci dalam imunomodulasi. Sebagai contoh, agregasi-kompeten L.crispatus merangsang ekspresi reseptor Toll-like receptor-2 (TLR-2) dan Toll-like receptor-4 (TLR-4) di permukaan sel epitelium mukosa kolon tikus percobaan. Probiotik juga mensekresikan faktor yang bertanggung jawab untuk memodulasi respon imun. Sebagai contoh, faktor yang disekresikan oleh L.reuteri menurunkan ekspresi inti gen factor-kB-dependent, yang menghasilkan berkurangnya proliferasi sel dan meningkatnya aktivitas protein kinase yang mengaktivasi mitogen yang mampu merangsang apoptosis (Saulnier et al. 2009). Beberapa penelitian menyatakan pengaruh probiotik dalam sistem imun manusia. Dalam penelitian tersebut dinyatakan probiotik terdiri dari komponen dinding sel seperti peptidoglikan (3070% dari total dinding sel), polisakarida, teichoic acid, yang merupakan komponen imunostimulator. Probiotik juga mengandung peptidoglikan yang dilepaskan dari dinding sel bakteri pada usus, merangsang aktivitas adjuvant di permukaan mukosa dan mengakibatkan adanya respon imun (Meydani 2000). Adanya hubungan antara probiotik dan materi molekuler seperti peptidoglikan, lipotechoic acid, dan DNA bakteri, membuktikan adanya materi reseptor (TLR) yang ada di permukaan sel imunokompeten yang dapat memicu dilepasnya sejumlah sitokin yang dapat meningkatkan respon imun (Gill dan Guarner 2004). Efek modulasi dari sitokin pada sel imun termasuk merangsang produksi interferon-γ oleh sel T, meningkatkan jarak penghubung fagosit mikroba, menambah vaksin imunogenisitas, meningkatkan aktivitas mikrobisidal makrofag, dan menggunakan efek sitotoksin melawan sel tumor (Gill 2003). 2.4. PREBIOTIK Prebiotik merupakan karbohidrat yang tidak dapat dicerna oleh enzim-enzim pencernaan usus manusia, tetapi menguntungkan terhadap penghuni bakteri kolon, dengan cara meningkatkan pertumbuhan dan keaktifan satu atau lebih jenis bakteri baik yang berada dalam kolon (Winarno 2003). Menurut Zakaria (2003), prebiotik merupakan pangan yang dapat memacu pertumbuhan bakteri probiotik, agar dapat diperoleh kondisi fisiologis dan metabolik yang dapat memberikan perlindungan pada saluran pencernaan, khususnya usus halus dan kolon. Prebiotik adalah komponen pangan yang tidak dapat dicerna dan dapat memberikan efek yang menguntungkan bagi inang karena prebiotik merangsang proliferasi atau aktivitas populasi bakteri yang diinginkan di dalam kolon secara selektif (Mattila-Sandholm et al. 2002). FAO (2007) menyatakan bahwa prebiotik adalah komponen pangan tak hidup yang memberi keuntungan kesehatan inang yang berasosiasi dengan memodulasi mikrobiota. Peraturan FAO (2007) juga menegaskan bahwa prebiotik bukan merupakan organisme atau obat, dapat dikarakterisasi secara kimia, dan aman sebagai pangan. Bahan pangan akan dikelompokkan sebagai prebiotik bila memenuhi persyaratan berikut yaitu tidak terhidrolisa atau terserap pada saluran pencernaan bagian atas sehingga dapat mencapai kolon tanpa perubahan struktur atau diekskresikan dalam feses (Gibson et al. 2004), dan berperan sebagai substrat yang secara selektif dapat menstimulir pertumbuhan bakteri yang menguntungkan pada kolon (Gmeiner et al. 2000). Selain itu menurut Lisal (2005), bahan pangan dapat digolongkan sebagai prebiotik jika mampu mengubah keseimbangan flora usus besar ke arah komposisi yang menguntungkan kesehatan dan merangsang timbulnya efek-efek luminal (lokal) dan sistemik yang menguntungkan inang. Prebiotik dapat berperan sebagai alternatif untuk probiotik atau sebagai kofaktor probiotik. Karbohidrat kompleks yang melalui usus kecil menuju kolon tersedia untuk beberapa bakteri kolon namun sebagian besar bakteri yang terdapat di kolon tidak memanfaatkannya. Laktosa, galaktooligosakarida, fruktooligosakarida, inulin dan hasil hidrolisanya, maltooligosakarida dan pati resisten merupakan prebiotik yang umumnya digunakan dalam nutrisi manusia. Produk akhir utama pada metabolisme karbohidrat adalah asam lemak rantai pendek (ALRP), yang disebut asetat, butirat, dan propionat, yang selanjutnya akan digunakan organisme dalam inang sebagai sumber energi (Harish dan Varghese 2006). Analisis secara in vitro dan in vivo menunjukkan bahwa prebiotik tidak dicerna oleh enzim, tetapi difermentasi oleh bakteri anaerob dalam usus besar. Prebiotik yang telah difermentasi dalam usus besar menghasilkan ALRP, menstimulasi pertumbuhan berbagai bakteri termasuk Lactobacilli dan Bifidobacteria, dan dapat menghasilkan gas. Fortifikasi menggunakan Bifidobacteria/Lactobacilli dengan prebiotik dapat memperbaiki efek perlindungan usus besar terhadap berbagai mikroorganisme patogen dalam usus (Molis et al. 1996 diacu dalam Wang 2009). Pada awalnya yang disebut sebagai bahan pangan prebiotik adalah serat pangan yang memacu pertumbuhan Bifidobacteria yaitu fruktooligosakarida (FOS), baik yang sintetik maupun yang diisolasi dari bahan pangan atau tanaman. Dengan berkembangnya penelitian mengenai fungsi FOS, diketahui bahwa FOS sebagai substrat Bifidobacteria, mampu mempercepat pertumbuhan bakteri ini sehingga menghasilkan metabolit-metabolit yang berfungsi sebagai penjaga kesehatan usus halus dan kolon, terutama melalui mekanisme antagonisme dengan bakteri patogen, metabolit ALRP, dan peningkatan respon imun pada usus halus (Zakaria 2003). Prebiotik yang umum digunakan adalah inulin dan FOS, yang merupakan serat yang dapat larut dan dapat difermentasi (Gibson et al. 2004). Inulin dan FOS sering digunakan dalam studi secara in vivo karena resisten terhadap pencernaan asam lambung dan enzim pankreas (Cummings et al. 2001). FOS biasanya digunakan untuk formula produk bayi, yogurt dan produk pangan dan suplemen lainnya (Kaplan dan Hutkins 2000). FOS secara kimiawi adalah senyawa β-D-fruktans rantai pendek atau sedang, yang terikat dengan ikatan β-2-1 glikosidik, yang tidak dapat diuraikan oleh enzim pencernaan mamalia. Dibandingkan dengan karbohidrat simpleks maupun kompleks lainnya, FOS difermentasikan secara selektif oleh hampir semua strain Bifidobacteria. Bila FOS dikonsumsi dalam jumlah yang cukup banyak maka FOS secara dramatik dan konsisten merangsang proliferasi Bifidobacteria menjadi mikroflora yang predominan dalam kolon (Lisal 2005) . FOS memiliki nilai DP (derajat polimerisasi) lebih rendah daripada inulin, yaitu berkisar antara 2-8 (Franck dan De Leenheer 2005). FOS menunjukkan efek bifidogenik yang berbeda pada kondisi yang berbeda. Pada studi secara in vitro menunjukkan bahwa FOS dan inulin menghasilkan efek bifidogenik yang optimum pada pH 6.8 dan 1 g/100 ml karbohidrat, yang setara dengan 4 g/hari (Tungland 2003 diacu dalam Tamime 2005). Selain efek bifidogenik, FOS juga menambah nutrisi yang dapat mempengaruhi parameter fisiologis pencernaan seperti pH kolon dan stool bulking, yang dapat menggolongkan prebiotik sebagai serat (dietary fiber) (Roberfroid 1997 diacu dalam Tamime 2005). Penggabungan prebiotik dan probiotik terbukti dapat meningkatkan keuntungan bagi kesehatan inang. Misalnya gabungan inulin (FOS) dengan Bifidobacterium longum terbukti dapat menurunkan risiko kelainan pre-neoplastik kolon lebih efektif dibandingkan hanya dengan perlakuan probiotik atau prebiotik saja pada tikus percobaan. Penambahan pati jagung yang kaya amilosa (Resistant Starch 2) ke dalam suatu preparat probiotik akan mempertahankan densitas probiotik yang hidup dibandingkan tanpa penambahan RS2 (Lisal 2005). Meskipun FOS dapat ditemukan pada bermacam-macam pangan yang menjadi makanan kita sehari-hari, seperti asparagus, pisang, gandum, bawang putih, artichoke (tumbuhan yang bunganya dimakan sebagai sayuran) dan chicory (tanaman yang akarnya dibakar sebagai pengganti kopi), namun jumlah FOS dalam pangan tersebut sangat kecil. Jumlah rata-rata asupan harian tiap individu dari sumber pangan tersebut berkisar antara 2-10 g di Eropa, dan antara 1-4 g di Amerika serikat (van Loo et al. 1995 diacu dalam Tamime 2005). Peraturan mengenai standar jumlah prebiotik yang dikonsumsi belum ada karena umumnya konsumsi prebiotik tergantung pada kebiasaan penduduk suatu negara (FAO 2007). Dosis konsumsi harian 5-8 g FOS/GOS dapat memberikan efek prebiotik pada orang dewasa. Surono (2004) menyarankan jumlah prebiotik yang efektif adalah 1-3 g per hari untuk anak-anak dan 5-15 g per hari untuk orang dewasa. Indonesia memiliki regulasi tentang prebiotik dalam Peraturan Pangan Fungsional yang dikeluarkan oleh BPOM tahun 2005, namun regulasi jumlah asupan prebiotik tidak dijelaskan. 2.5. YOGURT SINBIOTIK Menurut SNI (2009), definisi yogurt adalah produk yang diperoleh dari fermentasi susu dan atau susu rekonstitusi dengan menggunakan bakteri Lactobacillus bulgaricus dan Streptococcus thermophillus dan atau bakteri asam laktat lain yang sesuai, dengan/tanpa penambahan bahan pangan lain dan bahan tambahan pangan yang diizinkan. Syarat mutu yogurt menurut SNI (2009) dapat dilihat pada Tabel 4. Proses fermentasi dapat terjadi karena pada susu sapi terdapat protein susu (kasein) dan gula susu (laktosa). Laktosa digunakan oleh kedua starter bakteri di atas sebagai sumber karbon dan energi utama untuk pertumbuhanya. Proses fermentasi tersebut menyebabkan laktosa berubah menjadi asam piruvat, yang selanjutnya diubah menjadi asam laktat. Asam laktat menyebabkan penurunan pH susu, atau meningkatkan keasaman. Akibatnya kasein menjadi tidak stabil dan terkoagulasi (menggumpal), membentuk gel yogurt, berbentuk setengah padat (semi padat), dan menentukan tekstur yogurt. Selain itu asam laktat juga berfungsi memberikan ketajaman rasa asam, dan menimbulkan aroma khas pada yogurt (Santoso 2009). Mikroflora yang terdapat dalam yogurt merupakan kelompok BAL. Bakteri yang umum digunakan adalah Lactobacillus bulgaricus dan Streptococcus thermophilus (Silvia 2002). Streptococcus thermophilus merupakan satu-satunya spesies dalam genusnya yang digunakan sebagai kultur starter dalam produk olahan susu. Organisme ini termasuk dalam termotoleran dan digunakan dalam fermentasi produk olahan susu yang membutuhkan suhu lebih tinggi dalam inkubasi yaitu pada suhu 35-43oC. Pada industri produk olahan susu, organisme ini sering disebut dengan kokus. Biasanya kultur S.thermophilus menghasilkan koagulat yang lemah dalam susu karena produksi asam yang rendah. Penggunaan S.thermophilus biasanya digabungkan dengan Lb. delbrueckii subsp. bulgaricus. Lactobacillus subspesies ini biasanya disebut dengan rod (bakteri berbentuk batang) dalam industri produk olahan susu, dan kombinasi kedua bakteri ini disebut rod-kokus (Chandan 2006). Tabel 4. Syarat mutu yogurt menurut SNI (SNI 2981, 2009) No Kriteria uji Satuan Yogurt tanpa perlakuan Yogurt dengan perlakuan panas setelah fermentasi panas setelah fermentasi Yogurt Yogurt Yogurt rendah lemak Yogurt Yogurt Yogurt tanpa rendah tanpa lemak lemak lemak 1. Keadaan 1.1. Penampakan - Cairan kental – padat Cairan kental – padat 1.2. Bau - Normal/khas Normal/khas 1.3. Rasa - Asam/khas Asam/khas 1.4. Konsistensi - Homogen Homogen 2. Kadar lemak % Min.3 0.6-2.9 (b/b) 3. Total padatan Maks. Min.3 0.6-2.9 0.5 0.5 % Min. 8.2 Min. 8.2 % Min. 2.7 Min. 2.7 susu bukan lemak (b/b) 4. Protein (Nx6.38) (b/b) 5. Kadar abu (b/b) % Maks. 1.0 Maks. 1.0 6. Keasaman % 0.5-2.0 0.5-2.0 (dihitung sebagai asam laktat) b/b 7. Cemaran logam 7.1. Timbal(Pb) mg/kg Maks. 0.3 Maks. 0.3 7.2. Tembaga (Cu) mg/kg Maks. 20.0 Maks. 20.0 7.3. Timah (Sn) mg/kg Maks. 40.0 Maks. 40.0 7.4. Raksa (Hg) mg/kg Maks. 0.03 Maks. 0.03 7.5. Arsen mg/kg Maks. 0.1 Maks. 0.1 8. Cemaran mikroba 8.1. Bakteri coliform APM/g Maks. 10 Maks. 10 atau koloni/g 8.2. Salmonella - Negatif/25 g Negatif/25 g 8.3. Listeria - Negatif/25 g Negatif/25 g koloni/g Min 107 - monocytogenes 9. Jumlah bakteri starter* *sesuai dengan pasal 2 (istilah dan definisi) Maks. Kombinaasi rod-kokus menunjukkan m r respon pertumb buhan yang sinnergis dalam susu. s Sinergism me aantara kokus dan rod in ni berasal darri karakteristiik fisiologis dari masing-masing bakteeri. S S.thermophilus s lebih aerotooleran dibandinngkan Lb. dellbrueckii subsp sp. bulgaricus.. S.thermophillus r relatif kurang bagus kemam mpuan proteolittiknya dibandiing Lb. delbruueckii subsp. bulgaricus, b akkan t tetapi memilik ki aktivitas pepptidase lebih baaik dibandingkkan Lb. delbrueeckii subsp. buulgaricus. Ketiika k kedua bakteri tersebut tumbbuh bersama ddalam susu, pada awalnya SS.thermophiluss tumbuh lebbih a agresif, karenaa lebih aerotolleran. Pada tahhap ini rod tu umbuh lebih laambat, namun karena aktivittas p proteolitiknya lebih baik, meenyediakan pepptida yang cukkup untuk mennstimulasi perttumbuhan kokuus. F Fermentasi oleeh S.thermoph hilus menekan potensial okssidasi-reduksi sistem, dan melepaskan m asaam f format sebagaai hasil sampiingan metabollisme. Tegangan oksigen yaang rendah daan asam form mat m menstimulasi p pertumbuhan L delbrueckii subsp. bulgariicus, yang lebihh lanjut dibanttu oleh pelepassan Lb. a asam amino oleh peptida aktiif yang disekreesikan oleh S.thhermophilus. Dominasi D S.therrmophilus dalaam f fermentasi sussu ketika pH mendekati 55.0. Selebihnya, Lb. bulgarricus secara berangsur-angs b sur S.thermophiluus pada keselurruhan fermentaasi. Strain S.thhermophilus jugga memprodukksi m menggantikan e eksopolisakarid da untuk menddapatkan tekstuur yang lembutt tanpa pemisahhan whey (Chaandan 2006). Yogurt siinbiotik merupakan salah satuu produk susu fermentasi yanng dibuat dengaan menggunakkan c campuran beb berapa kultur BAL sepertii Lactobacillu us bulgaricus, Streptococcuus thermophiluus, achidophilus, dan Bifidobaacterium bifiduum, yang dikoombinasikan dengan L Lactobacillus d prebiottik s seperti FOS. Kombinasi prrobiotik (BAL L) dan prebiottik dapat menningkatkan dayya tahan bakteeri p probiotik oleh karena substraat yang spesifikk telah tersedia untuk fermenntasi sehingga tubuh mendappat m manfaat yang lebih l sempurnaa dari kombinaasi ini (Zhang dan d Ghosh 20001). Konsep dari d penggabun ngan probiotikk dan prebiotikk dapat dilihat pada Gambarr 2. Kemampuuan i imunomodulat tor probiotik memperkenalka m an potensi strattegi terapi untuuk melawan allergi, infeksi dan d k kondisi inflam masi. Penggunnaan probiotikk bertujuan un ntuk menguraangi inflamasii dalam salurran p pencernaan, yaang menjadikaan probiotik sebagai mediattor anti-inflam masi (Zhang daan Ghosh 2001). P Pada kenyataaannya, keseim mbangan mikroobiota indigennus dalam saluuran pencernaaan memberikkan d dampak kesehaatan secara imuunofisiologis (R Rautava et al. 2004). Sum mber: Zhang dan Ghosh (2001) Gambar 2. Konsep proobiotik dan prebbiotik Mikrobioota saluran peencernaan yang menyimpanng tidak hanya dapat menddasari terjadinnya i infeksi akut, tetapi juga dappat menyebabkkan penyakit kronis k dari aleergi autoimun hingga penyakkit i inflamasi. Norm malisasi mikrooflora indigenuus yang tidak seeimbang dengaan menggunakaan strain spesiffik mikroflora yang baik untuk saluran pencernaan merupakan alasan yang mendasar dari terapi probiotik (Harish dan Varghese 2006). Yogurt dalam industri biasanya menggunakan Streptococcus thermophillus dan Lactobacillus delbrueckii subsp. bulgaricus sebagai kultur starternya. Mikroorganisme probiotik pada umumnya memiliki pertumbuhan yang lambat pada medium susu, oleh karena itu, ditambahkan kultur starter yogurt untuk meningkatkan proses fermentasi (Tamime 2005). Bakteri yang berpotensi sebagai probiotik yang dapat digunakan dalam produk olahan susu dapat dilihat pada Tabel 5. Tabel 5. Probiotik yang dapat digunakan dalam produk olahan susu. Organisme Produk metabolisme Fermentasi Laktosa Pediococcus acidilactici* DL laktat Homofermentatif Lactobacillus acidophilus, DL laktat Homofermentatif DL laktat Heterofermentatif L (+) laktat, asetat Heterofermentatif L (+) laktat Homofermentatif I. Bakteri asam laktat gasseri, helveticus, dan johnsonii* Lactobacillus casei, reuteri, plantarum, rhamnosus, dan fermentum* Bifidobacterium adolescentis, animalis subsp. animalis, bifidum, breve, infantis, animalis subsp. lactis, longum• Enterococcus faecium dan faecalis* II. Khamir Saccharomyces boulardii* Etanol, CO2 Sumber : •Masco et al. (2004) dan *Tamime et al. (2005) Untuk mendapatkan efek kesehatan yang diinginkan, bakteri probiotik yang digunakan harus dapat tumbuh dalam media susu dan dapat tumbuh pada kondisi yang terbatas (Tamime 2005). Pada umumnya bakteri probiotik dapat tumbuh baik pada media sintetik seperti tryptose peptone yeast (TPY) dan de Man Rogosa and Sharpe (MRS) broths daripada pada media susu (Shah 2000). Pada produk pangan, probiotik yang terkandung di dalamnya minimum 106 cfu/g atau asupan harian sebesar 109 cfu/g. Tingginya asupan probiotik untuk mengimbangi kemungkinan hilangnya jumlah mikroorganisme probiotik pada saat melalui perut dan saluran usus. Di jepang, Asosiasi Minuman Fermentasi Susu dan Bakteri Asam Laktat meningkatkan standar yaitu dibutuhkan sedikitnya 107 cfu/ml sel hidup yang ada dalam produk olahan susu. Viabilitas dan aktivitas bakteri menjadi sangat penting, karena bakteri harus mampu bertahan dalam produk selama masa simpan, selama melalui kondisi asam dalam perut, dan tahan terhadap degradasi oleh enzim hidrolitik dan garam empedu di usus kecil (Tamime 2005). Viabilitas bakteri probiotik dalam yogurt tergantung pada strain yang digunakan, interaksi antar spesies yang ada, produksi hidrogen peroksida yang merupakan hasil metabolisme bakteri, dan keasaman produk akhir. Viabilitas probiotik juga tergantung pada ketersediaan nutrisi, pendukung dan penghambat pertumbuhan, konsentrasi gula, oksigen terlarut dan perembesan oksigen melalui kemasan (khususnya Bifidobacterium spp.), tingkat inokulasi, dan waktu fermentasi (Oliveira dan Damin 2003 diacu dalam Tamime 2005). Pertumbuhan bakteri probiotik yang lambat pada media susu akan menyebabkan terjadinya pertumbuhan bakteri yang tidak diinginkan dan strain cenderung tidak tumbuh dengan baik dan memproduksi flavor yang tidak diharapkan (Tamime 2005). 2.6. DIARE Diare atau mencret didefinisikan sebagai buang air besar dengan feses yang tidak berbentuk (unformed stools) atau cair dengan frekuensi lebih dari tiga kali dalam 24 jam (Zein 2004). Diare merupakan perubahan dari kebiasaan normal usus yang dicirikan dengan meningkatnya kandungan air, volume, atau frekuensi buang air besar. Diare dapat juga didefinisikan ketika terjadi penurunan konsistensi feses (menjadi lembek atau bahkan cair) dan terjadi peningkatan frekuensi buang air besar lebih dari tiga kali dalam sehari (Guerrant et al. 2001). Bila diare berlangsung kurang dari dua minggu, disebut sebagai diare akut. Apabila diare berlangsung dua minggu atau lebih, maka digolongkan pada diare kronik (Zein 2004). Secara etiologi, diare akut dapat disebabkan oleh infeksi, intoksikasi (poisoning), alergi, reaksi obat-obatan, dan juga faktor psikis (Schiller 2000 diacu dalam Zein 2004). Diare akut infeksi diklasifikasikan secara klinis dan patofisiologis menjadi diare non-inflamasi dan diare inflamasi. Diare inflamasi disebabkan invasi bakteri dan sitotoksin di kolon yang disertai lendir dan darah. Gejala klinis yang sering terjadi adalah adanya keluhan abdomen seperti mulas sampai nyeri seperti kolik, mual, muntah, demam, tenesmus, serta gejala dehidrasi. Pada pemeriksaan tinja rutin secara makroskopis ditemukan lendir dan/atau darah, dan secara mikroskopis ditemukan sel leukosit polimorfonuklear (Zein 2004). Pada diare non-inflamasi, diare disebabkan oleh enterotoksin yang mengakibatkan diare cair dengan volume yang besar tanpa lendir dan darah. Gejala dehidrasi cepat timbul, terutama pada kasus yang tidak mendapat cairan pengganti. Pada pemeriksaan tinja secara rutin tidak ditemukan leukosit (Zein 2004). Menurut Bowen (2006), mekanisme terjadinya diare terbagi menjadi empat jenis yaitu diare osmotik, diare sekretorik, diare eksudatif dan infeksi, serta diare yang dikaitkan dengan pengacauan motilitas. Diare osmotik terjadi bila ada bahan yang tidak dapat diserap meningkatkan osmolaritas dalam lumen yang menarik air dari plasma sehingga terjadi diare. Contohnya adalah malabsorbsi karbohidrat akibat defisiensi laktase atau akibat garam magnesium. Diare sekretorik terjadi bila ada gangguan transport elektrolit, baik absorbsi yang berkurang ataupun sekresi yang meningkat. Hal ini dapat terjadi akibat toksin yang dikeluarkan bakteri, misalnya toksin kolera atau pengaruh garam empedu, ALRP, atau laksatif non-osmotik. Beberapa hormon intestinal seperti gastrin vasoactive intestinal polypeptide (VIP) juga dapat menyebabkan diare sekretorik. Diare eksudatif dan inflamasi akan mengakibatkan kerusakan mukosa, baik usus halus maupun usus besar. Inflamasi dan eksudasi dapat terjadi akibat infeksi bakteri atau bersifat noninfeksi seperti gluten sensitive enteropathy, inflamatory bowel disease (IBD) atau akibat radiasi (Bowen 2006). Diare sampai saat ini masih menjadi masalah kesehatan, tidak saja di negara berkembang, tetapi juga di negara maju. Penyakit diare masih sering menimbulkan KLB (Kejadian Luar Biasa) dengan penderita yang banyak dalam waktu yang singkat (Manatsathit et al. 2002). WHO memperkirakan 4 milyar kasus terjadi di dunia pada tahun 2000 dan 2.2 juta di antaranya meninggal, sebagian besar anak-anak di bawah umur 5 tahun (Adisasmito 2007). Data dari profil kesehatan Indonesia 2003, penyakit diare menempati urutan kelima dari 10 penyakit utama pada pasien rawat jalan di rumah sakit dan menempati urutan pertama pada pasien rawat inap di rumah sakit. Berdasarkan data tahun 2003 terlihat bahwa frekuensi kejadian luar biasa (KLB) penyakit diare sebanyak 92 kasus dengan 3865 orang penderita dan 113 orang meninggal (Adisasmito 2007). Salah satu faktor risiko yang sering diteliti adalah faktor lingkungan yang meliputi sarana air bersih (SAB), sanitasi, jamban, saluran pembuangan air limbah (SPAL), kualitas bakterologis air, dan kondisi rumah. Menurut Sharma et al. (2005), penyebab terjadinya diare pada negara berkembang adalah buruknya sanitasi dan nutrisi. Data terakhir menunjukkan bahwa kualitas air minum yang buruk menyebabkan 300 kasus diare per 1000 penduduk. Sanitasi yang buruk dianggap sebagai penyebab banyaknya kontaminasi bakteri E.coli dalam air bersih yang dikonsumsi masyarakat. Bakteri E.coli mengindikasikan adanya pencemaran tinja manusia. Kontaminasi bakteri E.coli terjadi pada air tanah yang banyak disedot penduduk di perkotaan, dan sungai yang menjadi sumber air baku di PDAM pun tercemar bakteri ini (Adisasmito 2007). 2.7. ENTEROPHATOGENIC Escherichia coli (EPEC) Escherichia coli penyebab diare dapat diklasifikasikan menjadi enam kategori: Enteropatogenik E.coli (EPEC), Enterotoksin E.coli (ETEC), Enterohemoragik E.coli (EHEC), Enteroinvasif E.coli (EIEC), diffusely adderent E.coli (DAEC), dan Enteroagregatif E.coli (EAggEC) (Miyazaki et al. 2010). EPEC merupakan salah satu penyebab utama penyakit diare dan kematian akibat diare pada anak-anak di negara berkembang (Clarke et al. 2002). EPEC adalah salah satu patogen yang dapat menyebabkan lesi attaching dan effacing (A/E) pada sel usus. Ciri dari patogen A/E adalah terletak pada tumpuannya di permukaan sel epitel inang dan menyebabkan kerusakan pada mikrofili usus. EPEC melekat dan berkolonisasi pada epitel mukosa deodenum dan proksimal jejunum. EPEC menimbulkan kerusakan pada epitel jejunum melalui pembentukan mikrokoloni yang ditunjukkan dengan pelekatan yang terlokalisasi (Moat et al. 2002). Bakteri ini juga melekat dan berkolonisasi pada kolon atau usus besar bagian ascending (naik) dan transverse (melintang) (Jay 2000). Sumber : Lu dan Walker (2001) Gambar 3. Infeksi EPEC pada epitel usus inang EPEC menempel pada sel epitel dan membentuk lesi A/E (Gambar 3). Tahap awal penempelan EPEC pada sel epitel diperantarai oleh bundle-forming pilus (BFP). Setelah pelekatan awal, mikrovili usus diganggu dan EPEC mensekresikan beberapa faktor virulen melalui sekresi tipe III dan mensekresikan reseptor Tir ke dalam sel inang. EPEC kemudian mengikat Tir melalui protein membran luar, intimin. Sinyal transduksi terjadi dalam sel inang, termasuk aktivasi protein kinase C (PKC), inositol triphosphate (IP3), dan pelepasan Ca2+. Beberapa protein sitoskeletal termasuk aktin, menjadi tempat melekatnya EPEC. Dan pada akhirnya, terjadi penyusunan kembali sitoskeletal setelah Tir-intimin berikatan, dan menghasilkan formasi pedestal-like structure (Lu dan Walker 2001). EPEC biasanya memiliki locus of enterocyte effacement (LEE), yang membantu perkembangan lesi A/E. LEE terdiri dari gen eae yang mengkode intimin, protein membran terluar yang berikatan dengan protein (dengan tirosin terfosforilasi 90 kDa) di dalam membran inang, sehingga dapat membentuk lesi A/E (Gomes et al. 2004). Tirosin dipindahkan dari sel bakteri ke membran inang sehingga terfosforilasi pada satu atau lebih residu tirosin, berfungsi sebagai reseptor untuk pengikatan intimin. Kemudian sel epitel kehilangan mikrovili dan membentuk cup and pedestal pada tempat melekatnya koloni EPEC. Hal ini menunjukkan bahwa EPEC mampu menginduksi perubahan transport elektrolit ke sel inang. Pada studi yang lain menyatakan bahwa EPEC dapat menyebabkan penurunan transepithelial electrical resistance (TEER) dengan mengganggu tight junction intraseluler (Michail dan Abernathy 2002). Mekanisme utama dari patogenesis EPEC (Gambar 4) adalah lesi A/E yang dicirikan dengan melekatnya bakteri pada epitelium saluran usus (Nougayrède et al. 2003). Gen eae terletak di area patogenitas LEE dan gen bfpA terletak di plasmid yang disebut EPEC adherence factor (EAF), yang digunakan untuk mengklasifikasikan kelompok bakteri ini menjadi strain tipikal dan atipikal (Kaper 1996 diacu dalam Afset et al. 2004). Sumber : Nougayrède et al. (2003) Gambar 4. Fase patogenesis EPEC Strain E.coli dengan genotipe A/E (eae-) yang mendarat pada plasmid EAF (bfpA-) digolongkan sebagai EPEC tipikal. Kebanyakan dari strain ini termasuk dalam serotipe O:H (Trabulsi et al. 2002). Strain dengan genotipe A/E yang tidak berpengaruh dengan plasmid EAF (bfpA-) diklasifikasikan sebagai EPEC atipikal. Gen eae positif pada strain E.coli ini mendarat pada gen Shiga toksin (stx1 dan/atau stx2) yang sering diklasifikasikan sebagai Enterohaemorrhagic E.coli (Afset et al. 2004). Menurut Oyetayo (2004), dosis E.coli 105 cfu/ml telah dapat menimbulkan diare pada tikus percobaan. EPEC dapat menyebabkan diare yang durasinya kurang lebih lima hari (Janda dan Abbot 2006). 2.8. USUS HALUS Usus halus merupakan tempat penyerapan sari-sari makanan. Untuk itu, usus halus memiliki struktur khusus yang dapat meningkatkan pencernaan dan penyerapan sari-sari makanan, seperti adanya mukosa plicae dan vili. Modifikasi dan peningkatan mikrovili di sepanjang permukaan apikal sel luminal didesain untuk memperluas luas permukaan penyerapan (Samuelson 2007). Panjang usus halus tergantung pada ukuran seluruh tubuh hewan. Pada anjing, usus halus mencapai 3-3.5 kali panjang tubuhnya. Pada kuda mencapai lima kali atau lebih panjang tubuhnya. Lipatan mukosa atau plicae (juga disebut plicae circulares) merupakan perpanjangan semisirkular yang mencapai lumen dan menghasilkan lebih dari dua kali permukaan dari lapisan epitel. Di sepanjang mukosa dalam, perpanjangan yang lebih kecil dari plicae yang mencapai lumen, membentuk vili. Setiap vili memiliki inti lamina propria, yang terdiri dari loops kapiler, saluran limfatik, jaringan yang terhubung lepas dengan sel plasma dan limfosit, corresponding extracelluler matrix, dan serabut otot halus yang memanjang secara vertikal. Vili meningkatkan luas permukaan hingga 10 kali atau lebih. Selain plicae dan vili, kebanyakan sel yang membentuk epitelium mukosa memiliki mikrovili yang seperti pasak, modifikasi sel yang dapat meningkatkan luas permukaan hingga 20-40 kali (Samuelson 2007). Meskipun sel penyerapan mampu menyediakan material pencernaan (seperti enzim) yang dapat meningkatkan penyerapan, sumber enzim pencernaan lain terdapat di sepanjang usus halus. Sumber tersebut antara lain, kelenjar submukosa yang berada di antara plicae dan vili, dan pankreas. Usus halus terbagi menjadi 3 region yaitu duodenum, jejunum, dan ileum. Duodenum memiliki vili paling banyak dan paling besar dibandingkan jejunum dan ileum. Crypts pada duodenum paling berkembang dan paling banyak (Samuelson 2007). Mukosa usus halus berperan dalam penyerapan nutrisi dan dengan demikian mukosa memiliki permukaan yang lembut dan mudah diserang. Mukosa terdiri dari epitelium sendiri dan didukung oleh jaringan penghubung yang longgar, yang disebut lamina propia, yang berada di bawah epitelium (Gambar 5). Jaringan penghubung yang lebih dalam yang mendukung mukosa disebut submukosa. Dalam saluran pencernaan (GI tract), terdapat lapisan tipis otot halus, mukosa muskularis, yang berada di perbatasan antara mukosa dan submukosa. Epitelium terdiri dari sel penyerapan (enterosit) dengan sel goblet (mensekresi mukus untuk pelumasan) yang tidak beraturan. Lapisan epitel ditingkatkan melalui pembentukan vili. Pelekukan crypts yang terdiri dari sel batang akan mengganti sel epitelium secara terus menerus. Lamina propria menempati inti dari vili, menyelubungi crypts, dan memiliki banyak sel imun. Muskularis mukosa berperan sebagai pendukung lokal dalam menggerakan permukaan mukosa untuk meningkatkan sekresi dan penyerapan nutrisi (King 2009). Konsentrasi bakteri di dalam usus halus mencapai 1 juta per ml. Pada bagian duodenum jumlah bakteri mencapai 101-103 cfu/ml dan yang tumbuh dengan baik adalah bakteri kokus dan batang gram positif. Pada bagian jejunum, jumlah bakterinya 104-107 cfu /ml dan terdiri dari berbagai macam bakteri seperti Enterococcus faecalis, Lactobacilli, diphtheroids, dan khamir Candida albicans. jumlah bakteri pada ileum sama dengan pada jejunum karena kondisinya yang hampir sama, namun jenis bakteri yang terdapat di ileum sama dengan bakteri yang terdapat pada kolon yang mayoritas adalah bakteri anaerob (Slonczewski dan Foster 2010). Sumber : DOTE Anatomy Topics,University of Debrecen (2008). Gambar 5. Histologi usus halus yang menunjukkan vili dan lapisan mukosa. Fungsi mikroflora dalam usus halus antara lain proteksi, struktur, dan metabolik. Fungsi proteksi antara lain (1) mikroflora dalam usus halus melindungi inang dengan mencegah patogen menempel, (2) bakteri menstimulasi pertumbuhan lapisan usus dan sistem imun pada usus, (3) bakteri berkompetisi dengan patogen untuk mendapatkan nutrisi, sehingga menyulitkan patogen untuk tumbuh, (4) mikroflora menghasilkan antibakteri untuk membunuh kompetitor seperti patogen (Slonczewski dan Foster 2010). Fungsi strukturnya antara lain (1) flora dalam usus halus menyusun bagian dari barrier usus, (2) flora dalam usus merupakan faktor penting dalam perkembangan sistem imun. Fungsi pada metabolik antara lain (1) mikroflora melindungi inang dari metabolik karsinogenik, (2) mikroflora menyediakan vitamin sintesis seperti biotin dan folat, (3) membantu pembuatan vitamin K, yang diserap dan digunakan oleh inang, dan (4) bakteri sangat penting dalam aktivitas otot usus halus (Slonczewski dan Foster 2010). III. BAHAN DAN METODE 3.1. BAHAN DAN ALAT 3.1.1. Bahan Bahan baku yang digunakan dalam pembuatan yogurt adalah susu skim bubuk, kultur murni (Lactobacillus bulgaricus FNCC 004P, Streptococcus thermophillus FCNN 1903, Lactobacillus fermentum 2B4, dan Lactobacillus plantarum 2C12), fruktooligosakarida (FOS) Orafti®, akuades dan sukrosa. Bahan-bahan lain yang digunakan adalah bahan ransum, bahan analisis mikrobiologi dan bahan analisis histologi dan imunohistokimia. Bahan ransum antara lain AMDK, kasein, CMC (carboxymethylcellulosa), minyak jagung, mineral mix, vitamin mix, dan pati jagung. Bahan analisis mikrobiologi yang digunakan antara lain akuades, MRSB (de Man Rogosa Sharpe Broth), MRSA (de Man Rogosa Sharpe Agar), NA (Nutrient Agar), NB (Nutrient Broth), EMBA (Eosin Methylene Blue Agar), spirtus, dan KH2PO4. Bahan yang digunakan untuk pewarnaan hematoksilin-eosin dan imunohistokimia antara lain tikus, larutan Bouin (campuran asam pikrat, formaldehid 4%, dan asam asetat glasial 15:5:1), alkohol 70%, alkohol 80%, alkohol 90%, alkohol 95%, alkohol absolut, xylol, parafin, akuades, hematoxylin, eosin alkohol, metanol, H2O2, serum normal, PBS (Phosphate Buffered Saline), aquabidest, antibodi primer IgA, antibodi sekunder Dako K1491, kromogen diamino benzidine (DAB), larutan neofren, toluen, dan entelan. 3.1.2. Alat Alat yang digunakan dalam penelitian ini antara lain alat analisis mikrobiologi, alat pemeliharaan hewan uji dan alat analisis histologi dan imunohistokimia. Alat yang digunakan untuk analisis mikrobiologi antara lain cawan petri, tabung reaksi, gelas piala, gelas ukur, labu takar, erlenmeyer, pipet, mikropipet, gelas pengaduk, sudip, jarum ose, bunsen, autoklaf, oven, dan inkubator. Alat pemeliharaan hewan uji adalah kandang, tempat ransum, botol minum, sonde, timbangan dan saringan. Alat yang digunakan untuk proses pewarnaan hematoksilin-eosin dan imunohistokimia antara lain botol sampel, silet, alat bedah, waterbath, mikroskop, cetakan blok (pagoda), bunsen, balok kayu, gelas objek, mikrotom, inkubator, cover glass, gelas ukur, pipet, tabung ependorf, mikropipet, dan refrigerator. 3.2. METODE Metode penelitian ini terdiri dari penelitian pendahuluan dan penelitian utama (Gambar 6). Penelitian pendahuluan berupa pengujian antibakteri terhadap EPEC secara in vitro. Penelitian utama berupa pengujian aktivitas antidiare dan imunomodulator secara in vivo pada tikus percobaan. Penelitian Pendahuluan Pembuatan formula yogurt sinbiotik: 1. F1: L. bulgaricus + S. thermophillus + FOS 5% 2. F2: L. bulgaricus + S. thermophillus + L. plantarum 2C12 + FOS 5% 3. Formula 3: L. bulgaricus + S. thermophillus + L. fermentum 2B4 + FOS 5% 4. Formula 4: L. bulgaricus + S. thermophillus + L. plantarum 2C12 + L. fermentum 2B4 + FOS 5% Pengujian antibakteri penyebab diare secara in vitro Diperoleh formula terbaik yogurt sinbiotik Penelitian Utama Pengujian antidiare formula yogurt sinbiotik terbaik secara in vivo yang terdiri dari kelompok: 1. Kontrol negatif 2. Kontrol positif 3. Yogurt sinbiotik formula terbaik 4. Yogurt sinbiotik formula terbaik + EPEC 5. Yogurt prebiotik Dilakukan terminasi terhadap tikus percobaan Analisis profil histologi dan imunohistokimia IgA duodenum tikus percobaan Gambar 6. Diagram alir penelitian 3.2.1. Penelitian Pendahuluan Penelitian pendahuluan ini merupakan pengujian antibakteri terhadap EPEC secara in vitro. 3.2.1.1. Pembiakan Kultur Penelitian ini diawali dengan pembiakan kultur yogurt yaitu Lactobacillus bulgaricus dan Streptococcus termophilus serta BAL probiotik indigenus (Lactobacillus plantarum 2C12 dan Lactobacillus fermentum 2B4). Kultur murni disegarkan pada media de Man Rogosa Sharpe Broth (MRSB), dengan cara memasukkan 1 ml kultur murni ke dalam 10 ml MRSB, kemudian diinkubasikan pada suhu 37oC selama 24 jam. Setelah didapatkan kultur murni segar, sebanyak 2% kultur murni diinokulasikan ke dalam larutan susu skim steril 10%. Kultur tersebut kemudian diinkubasi pada suhu 37oC selama 24 jam yang hasilnya disebut kultur induk. Sebanyak 2% dari kultur induk diinokulasikan ke dalam larutan susu skim steril 10 % yang ditambah glukosa 2% dan diinkubasi pada suhu 37oC selama 24 jam yang hasilnya disebut kultur kerja. Kultur kerja dipupukkan pada media de Man Rogosa Sharpe Agar (MRSA) untuk mengetahui populasinya. Kultur yang memenuhi syarat untuk siap dijadikan kultur starter yogurt adalah kultur dengan populasi ≥ 108 cfu/ml. 3.2.1.2. Pemeliharaan Kultur Stok Kultur stok diperbaharui setiap minggu agar aktivitasnya tidak berkurang. Kultur stok yang disimpan terlalu lama dapat mengakibatkan berkurangnya aktivitas bakteri karena habisnya substrat dan penumpukan metabolit. Pemeliharaan kultur stok menggunakan metode Hariyadi et al. (2001), yaitu dengan metode tusukan pada chalk semi solid. Kultur ditusukan ke media chalk semi solid, kemudian diinkubasikan pada suhu 43o-45oC selama 24 jam. Setelah diinkubasi kultur disimpan dalam refrigerator. Pada saat akan digunakan kembali, kultur diambil sebanyak 1 loop dari media chalk semi solid kemudian diinokulasikan ke dalam MRSB dan diinkubasi pada suhu 43o-45oC selama 24 jam. 3.2.1.3. Pembuatan Yogurt Sinbiotik BAL indigenus yang diperoleh dari isolasi bakteri pada daging sapi pasar tradisional Bogor yaitu Lactobacillus plantarum 2C12 dan Lactobacillus fermentum 2B4, selanjutnya diaplikasikan pada pembuatan yogurt sinbiotik (mengandung probiotik dan prebiotik). Jenis prebiotik yang ditambahkan dalam masing-masing formula yogurt adalah FOS 5%. Keempat jenis formula yogurt sinbiotik yang akan dibuat adalah: 1. 2. 3. 4. L. bulgaricus + S. thermophillus L. bulgaricus + S. thermophillus + L. plantarum 2C12 L. bulgaricus + S. thermophillus + L. fermentum 2B4 L. bulgaricus + S. thermophillus + L. plantarum 2C12 + L. fermentum 2B4. Pembuatan yogurt sinbiotik ini diawali dengan pencampuran antara 12 % susu skim bubuk, 5% FOS dan 5% sukrosa, dan sisanya air. Kemudian larutan tersebut dipasteurisasi pada suhu 85oC selama 30 menit. Setelah itu ditunggu hingga suhu mencapai 45oC, kemudian 3% kultur kerja campuran (1:1) diinokulasikan ke dalam larutan tersebut. Larutan yang telah berisi kultur kerja dimasukkan ke dalam cup-cup yang telah disterilisasi. Kemudian diinkubasikan pada suhu 37oC selama 24 jam. Setelah inkubasi selama 24 jam, yogurt dalam cup-cup tersebut dimasukkan ke dalam refrigerator pada suhu 10oC selama 2-3 jam untuk menghambat laju fermentasi. 3.2.1.4. Uji Antibakteri Penyebab Diare Yogurt Sinbiotik (in vitro) Setelah didapatkan empat formula dari yogurt sinbiotik, kemudian dilakukan uji penghambatan terhadap bakteri penyebab diare melalui uji kontak. Uji kontak adalah metode untuk mengevaluasi daya antimikroba suatu zat dengan cara membandingkan jumlah bakteri uji, sebelum dan sesudah mengalami kontak dengan zat tersebut (Fardiaz 1989). Tahap awal uji kontak adalah mempersiapkan kultur bakteri uji, yaitu bakteri Enterophatogenic Escherichia coli K1.1 (EPEC K1.1) umur 24 jam. Kemudian ke dalam yogurt dimasukkan 1% bakteri EPEC K1.1 umur 24 jam dari media Nutrient Broth (NB). Jumlah ini setara dengan 106 sel EPEC K1.1 yaitu jumlah yang cukup untuk menyebabkan diare. Yogurt yang telah dikontaminasi dengan EPEC K1.1, divorteks untuk menyebarkan sel-sel bakteri. Yogurt tersebut diinkubasikan selama 2, 4 dan 6 jam pada suhu 37oC. Setelah selesai diinkubasi, dilakukan penghitungan banyaknya sel EPEC K1.1 yang bertahan hidup melalui metode hitungan cawan dengan media selektif Eosin Methylen Blue Agar (EMBA). Selain itu, juga dilakukan penghitungan jumlah sel 1% EPEC K1.1 sebelum dilakukan kontak dengan yogurt melalui metode hitungan cawan dan menggunakan media selektif EMBA. Selisih jumlah EPEC K1.1 sebelum dan sesudah kontak menjadi tolok ukur daya antibakteri yogurt, semakin besar selisihnya maka semakin potensial yogurt tersebut sebagai antibakteri penyebab diare. 3.2.2. Penelitian Utama Penelitian utama merupakan uji imunomodulator dan antidiare yogurt sinbiotik secara in vivo menggunakan tikus percobaan yang diinjeksi dengan EPEC. 3.2.2.1. Pengelolaan Hewan Percobaan Hewan percobaan yang digunakan dalam penelitian ini adalah tikus albino Norway rats (Rattus novergicus) galur Sprague Dawley umur 5-6 minggu berjenis kelamin jantan yang berasal dari Pusat Studi Biofarmaka Lembaga Penelitian dan Pengabdian Masyarakat Institut Pertanian Bogor (LPPM IPB). Kandang yang digunakan adalah kandang plastik berwarna yang berukuran 17.5 x 23.75 x 17.5 cm, dengan jumlah sesuai dengan jumlah tikus yang digunakan yaitu 70 ekor. Kandang plastik tersebut ditutup menggunakan kawat besi. Alas dalam kandang menggunakan sekam padi yang telah disterilisasi dan diganti 3 hari sekali. Kandang tikus berlokasi pada tempat yang bebas dari suara ribut, dan terjaga dari asap industri atau polutan lainnya. Lantai mudah dibersihkan dan disanitasi. Suhu optimum ruangan untuk tikus adalah 22-24oC dan kelembaban udara 50-60%, dengan ventilasi yang cukup namun tidak ada jendela yang terbuka (Muchtadi 1993). Penimbangan berat badan tikus dilakukan setiap tiga hari sekali dan pada saat akan dilakukan terminasi. Pemberian ransum standar dilakukan setiap hari sebanyak 20 gram (ad libitum), yang sebelumnya telah dilakukan masa adaptasi selama 3 hari. Air minum yang digunakan merupakan air minum dalam kemasan yang diganti setiap harinya. 3.2.2.2. Ransum Komposisi ransum basal disusun berdasarkan AOAC (1995) dan dapat dilihat pada Tabel 6. Tabel 6. Komposisi campuran ransum basal Bahan-bahan Jumlah (%) Protein kasein (10%) (a) Minyak jagung (b) Campuran mineral (c) Komposisi (%) a = 1.60 x 100% N kasein 11.87 [(8 – a) x % kadar lemak]/ 100 7.87 [(5 - a) x % kadar abu]/100 4.79 Campuran vitamin (d) 1 CMC (carboxymethylcellulosa) (e) 1.00 [(1 – a) x % kadar serat]/100 1.00 Air (f) [(5 – a) x % kadar air]/100 3.62 Maizena (pati jagung) 100 – (a + b+ c + d + e + f) 69.85 Sumber : AOAC (1995) 3.2.2.3. Uji Imunomodulator dan Antidiare Yogurt Sinbiotik ( in vivo) Pengujian ini dilakukan sesuai petunjuk Zoumpopoulou et al.(2008) hanya berbeda bakteri patogen yang digunakan. Yogurt dengan populasi BAL sebanyak 109cfu/ml diberikan kepada tikus percobaan sebanyak 1 ml/hari, sedangkan populasi EPEC diberikan dengan dosis 107 cfu/ml sebanyak 1 ml/hari. Tikus dibagi menjadi enam kelompok, seperti pada Tabel 7 dan Gambar 7. Adaptasi dilakukan selama tiga hari pertama dengan pemberian makanan ransum basal terhadap semua tikus. Setiap kelompok terdiri dari 15 ekor tikus sebagai ulangan kecuali kelompok tikus yogurt prebiotik yang terdiri dari 5 ekor. Pembedahan tikus untuk analisis peubah yang diamati dilakukan pada hari ke-7, 14, dan 21, masing-masing sebanyak lima ekor sebagai ulangan. Selain itu terdapat pula lima ekor tikus sebagai kelompok baseline yang akan dibedah pada hari ke-0 setelah masa adaptasi. Dengan demikian jumlah tikus yang digunakan adalah 70 ekor tikus. Pemberian yogurt sinbiotik dan EPEC K1.1 dilakukan melalui pencekokan. Kelompok tikus yang tidak mendapatkan perlakuan yogurt sinbiotik dan atau EPEC K1.1 dicekok menggunakan air minum sehingga mengalami stres yang sama dengan tikus yang dicekok dengan yogurt sinbiotik dan atau EPEC K1.1. Tabel 7. Kelompok tikus percobaan berdasarkan perlakuan yang diberikan Kelompok Perlakuan Tikus A Ransum basal/ kontrol negatif B Ransum basal dan yogurt sinbiotik F3 (L.fermentum + FOS 5%) C Ransum basal, yogurt sinbiotik F3 dan EPEC K1.1 D Ransum basal dan EPEC K1.1/ kontrol positif E Ransum basal dan yogurt prebiotik H(-3) H(0) H(7) H(14) H(21) T2 T3 Cekok EPEC Adaptasi 106 cfu/ml T0 T1 Gambar 7. Bagan perlakuan tikus percobaan Keterangan : T0= terminasi awal (5 ekor) T1= terminasi hari ke-7 (5 ekor tikus setiap kelompok) T2= terminasi hari ke-14 (5 ekor tikus setiap kelompok) T3= terminasi hari ke-21 (5 ekor tikus setiap kelompok) Pemberian yogurt sinbiotik F3 dilakukan selama 3 minggu dari H0 hingga H20 pada kelompok tikus yogurt sinbiotik (B) dan kelompok tikus yogurt sinbiotik + EPEC K1.1 (C). Pemberian cekok EPEC K1.1 dilakukan selama 1 minggu yaitu pada H7 hingga H13 pada kelompok tikus yogurt sinbiotik + EPEC K1.1 (C) dan kelompok tikus kontrol positif (D). Pemberian yogurt prebiotik dilakukan selama 3 minggu dari H0 hingga H20 pada kelompok tikus yogurt prebiotik (E). 3.2.2.4. Pengambilan dan Pengukuran Kadar Air Sampel Feses Tikus Pengukuran kadar air feses bertujuan untuk melihat terjadinya diare pada tikus percobaan. Kadar air feses yang tinggi menjadi indikator terjadinya pada tikus percobaan. Feses tikus percobaan diambil secara aseptik langsung dari anus tikus dan diletakkan dalam plastik steril. Pengambilan sampel feses dilakukan selama pemberian cekok EPEC K1.1 dan setelah pemberian EPEC K1.1 dihentikan. Sampel feses tikus percobaan diletakkan dalam cawan aluminium yang telah dioven selama minimal 30 menit dan ditimbang. Kemudian sampel feses dalam cawan ditimbang untuk mendapatkan data berat feses awal. Sampel feses dalam cawan kemudian dimasukkan ke dalam oven pengering dan dikeringkan selama 24 jam. Setelah 24 jam sampel feses dalam cawan ditimbang untuk mendapatkan data berat akhir. Penghitungan kadar air feses tikus percobaan menggunakan Rumus 1. Rumus : (W – (W1 – W2)) x 100 (1) W Keterangan : W = bobot contoh sebelum dikeringkan W1 = bobot contoh + cawan kering kosong W2 = bobot cawan kosong 3.2.2.5. Analisis Histologi Jaringan Usus Halus (Kiernan 1999) Analisis histologi jaringan usus halus (duodenum) tikus percobaan dilakukan dengan pewarnaan Hematoksilin-Eosin (HE). Awalnya, jaringan usus halus (duodenum) dipotong sepanjang 2 cm (masing-masing) setelah hewan dikorbankan, kemudian difiksasi terlebih dahulu selama 24 jam dengan larutan Bouin. Larutan Bouin terdiri dari larutan asam pikrat jenuh, formalin p.a., dan asam asetat glasial dengan perbandingan 15 : 5 : 1. Lalu, sampel tersebut didehidrasi dengan alkohol bertingkat. Untuk tahap dehidrasi ini, alkohol yang digunakan secara berturut-turut adalah alkohol 70%, 80%, 90%, dan 95%, masing-masing selama 24 jam. Setelah itu, tahap dehidrasi ini dilanjutkan dengan menggunakan alkohol absolut I, II, dan III, masing-masing selama 1 jam. Tahap berikutnya adalah penjernihan (clearing). Pada tahap ini, sampel yang telah didehidrasi dimasukkan ke dalam xylol I, II, dan III, masing-masing selama 1 jam. Pada xylol III, 30 menit pertama dilakukan di suhu ruang, 30 menit berikutnya di dalam inkubator suhu 60oC. Selanjutnya, dilakukan tahap infiltering (infiltrasi) dengan memasukkan sampel ke dalam parafin I, II, dan III, masing-masing selama 1 jam pada suhu 60°C. Setelah itu, dilakukan tahap embedding (pencetakan) yaitu penanaman jaringan dalam parafin yang kemudian dibuat blok-blok jaringan. Setelah itu, jaringan usus yang sudah berada dalam bentuk blok parafin dipotong setebal 4 µm dengan mikrotom. Hasil potongan tersebut kemudian direndam dalam akuades, lalu dibentangkan dalam akuades yang dipanaskan dalam waterbath suhu 40 - 45°C. Selanjutnya, jaringan tersebut diletakkan pada gelas objek, lalu dimasukkan ke dalam inkubator 40°C selama ± 24 jam. Jaringan pada gelas obyek yang telah siap untuk diwarnai kemudian dideparafinisasi dengan xylol kemudian direhidrasi dengan alkohol bertingkat. Pada tahap deparafinasi, jaringan pada gelas objek yang telah diinkubasi dicelupkan ke dalam xylol III, II dan I selama 3 menit. Lalu pada tahap rehidrasi, jaringan dicelupkan ke dalam alkohol absolut III, II, dan I selama 3 menit, alkohol 95%, 90%, 80% dan alkohol 70% selama 3 menit. Setelah itu, dilakukan pencucian dengan air kran selama 10 menit, kemudian dengan akuades selama minimal 5 menit (stopping point). Selanjutnya, potongan jaringan tersebut diwarnai dengan Hematoksilin-Eosin (HE) dengan pencucian air kran dan akuades di antaranya. Pewarnaan dengan hematoksilin dilakukan selama 1 – 2 menit kemudian jaringan tersebut dicuci dengan air kran selama 10 menit dan akuades selama minimal 5 menit (stopping point). Lalu, pewarnaan dilanjutkan dengan Eosin selama 2 menit kemudian dilanjutkan dengan dehidrasi. Dehidrasi dilakukan dengan mencelupkan sampel jaringan ke dalam alkohol 70%, 80%, 90%, dan 95% selama beberapa detik, yang dilanjutkan dengan pencelupan ke dalam alkohol absolut I selama beberapa detik, alkohol absolut II dan alkohol absolut III selama 1 menit. Tahap selanjutnya adalah tahap penjernihan ulang (clearing) dilakukan dengan mencelupkan sampel jaringan ke dalam xylol I selama beberapa detik, xylol II dan III selama 1 menit. Selanjutnya, tahap mounting dilakukan dengan menetesi sampel jaringan dengan entelan atau kanada balsam, kemudian sampel jaringan tersebut ditutup dengan cover glass. Setelah itu, dilakukan pengamatan terhadap gambaran umum histopatologi jaringan usus halus (duodenum), persentase kerusakan vili dan pengukuran rata-rata tebal mukosa usus duodenum. 3.2.2.6. Analisis Imunohistokimia IgA Usus Halus (Kiernan 1999) Analisis kandungan imunoglobulin A (IgA) pada usus halus tikus percobaan dilakukan menggunakan teknik pewarnaan imunohistokimia (Kiernan 1990). Pewarnaan imunohistokimia bertujuan untuk melihat komponen aktif, seperti enzim dan hormon, yang terdapat di dalam sel atau jaringan. Prinsip dari teknik imunohistokimia adalah adanya ikatan kunci dan gembok antara antigen (Imunoglobulin A) dan antibodi (anti-IgA). Prinsip teknik pewarnaan imunohistokimia dapat dilihat pada Gambar 8. G Gambar 8. Prinnsip teknik pew warnaan imunoohistokimia Imunogloobulin A yangg terdapat dalaam jaringan (m mukosa usus) dikenal sebag gai antigen olleh a antibodi primeer (anti-IgA). Antibodi A primeer berikatan deengan antigen, selanjutnya anntibodi sekundder y yang dikonjug gasi dengan peeroksidase akaan bereaksi deengan antibodii primer, sehin ngga keberadaaan p peroksidase inii melambangkaan adanya kom mpleks antigen--antibodi. P eroksidase ini berfungsi untuuk m mengkatalis reeaksi antara krromogen (diam mo benzidine atau DAB) daan hidrogen peroksida p (H2O2) s sehingga terbentuk endapaan warna cokklat sebagai visualisasi v adaanya IgA. Deengan demikiian p pembentukan warna coklat menunjukkan adanya ikatan n antara antiboodi dan antigeen (IgA). Warrna c coklat juga meenunjukkan keeberadaan IgA.. Semakin tua intensitas dan semakin luas distribusi warrna c coklatnya mak ka semakin banyak kandunngan IgA-nya. Berikut adalah reaksi yanng terjadi dalaam p pembentukan endapan e warnaa coklat. Prosedur analisis imunnohistokimia IggA sama sepeerti prosedur pewarnaan p Hem matoksilin-Eossin ppada analisis histologi h jaringgan usus haluss dari awal hinngga tahap embbedding dan pemotongan p blok j jaringan dengaan mikrotom, kecuali k pada taahap pelekatann preparat ususs ke gelas objeek di mana gellas o objek sebelum m digunakan harus h dicuci bersih dengan teknik sonikassi, kemudian dikeringkan dan d d diberi larutan neofren dalam m toluen (toluenn : neofren = 9 : 1). Tujuann pemberian neeofren ini adallah a agar preparat usus u menempell dengan baik pada p gelas objek dan tidak m mudah terlepas pada saat prosses p pewarnaan imu unohistokimia.. Sebelum dilakukan pew warnaan, sediaaan jaringan usuus halus didepaarafinisasi dengan larutan xyllol I II, dan I selama 5 men III, nit dengan tujjuan untuk meelarutkan paraafin dari jaringgan. Setelah ittu, d dilakukan rehiddrasi dengan alkohol, a sediaann jaringan usus halus dimasuukkan ke dalam m larutan alkohhol a absolut III, II, dan I serta alkohol a 95%, 90%, 9 80%, dan n 70% selamaa 3 menit. Seteelah itu, sediaaan t tersebut diren ndam dalam air a kran selaama 5 menit kemudian dirrendam dalam m air bebas ion ( (aquabidest) seelama 3 menit (stopping poinnt). Tahap beerikutnya adalaah penghilangaan peroksidasee endogen. Padda tahap ini, po otongan jaringgan t tersebut diinku ubasikan (dicellupkan) dalam m larutan yang mengandung ccampuran metaanol (30 ml) dan d H2O2 (0.3 ml) selama 15 meenit pada konddisi gelap. Kem mudian, sediaann direndam di dalam air bebbas i sebanyak dua ion d kali, masing-masing selama 5 menit dan d dalam PBS (Phosphate Buffered Salinne) s sebanyak dua kali, k masing-m masing selama 5 menit. Sediaan jaringan ususs lalu diinkubbasikan dalam m serum norm mal untuk memblok m antiggen n nonspesifik. Sediaan S diletakkkan pada kottak sediaan daan masing-massing ditetesi dengan d 50-60 µl s serum normal (10% dalam PBS), P kemudian an diinkubasi pada p suhu 37°C C selama 60 menit. m Setelah ittu, sediaan dicuci dengan PBS sebanyak tiga kali, masing-masing selama 5 menit. Kemudian masingmasing sediaan ditetesi dengan 50-60 µl antibodi primer/monoklonal IgA (Anti-Rat IgA, α-chain specific developed in goat, SIGMA), lalu diinkubasi dalam refrigerator selama semalam (± 19 jam). Selanjutnya, dilakukan pencucian dengan PBS sebanyak tiga kali, masing-masing selama 10 menit. Setelah itu, potongan jaringan ditetesi dengan 50-60 µl antibodi sekunder Dako Envision Peroxidase System atau DEPS (K401) pada kondisi gelap, kemudian diinkubasi pada suhu 37°C selama 60 menit. Kemudian, sediaan dicuci kembali dengan PBS sebanyak tiga kali, masing-masing selama 5 menit. Kemudian, reaksi positif divisualisasikan dengan menggunakan kromogen Diamino benzidine (DAB). Visualisasi dengan DAB (3,3’-Diaminobenzidine Tetrahydrochloride-Plus Kit Substrate for Horsedish Peroxidase) dilakukan dengan mencampurkan reagen 1 + reagen 2 + reagen 3 dengan air bebas ion dengan perbandingan 1 : 1 : 1 : 20. Sementara itu, larutan DAB yang diteteskan adalah sebanyak 50-60 µl, lalu DAB dibiarkan bereaksi pada ruang gelap selama 30 menit. Setelah itu, sediaan tersebut direndam dalam air bebas ion (stopping point). Tahap berikutnya adalah pewarnaan dengan counterstrain menggunakan Hematoxylin dengan cara merendam sediaan dalam Hematoxylin selama 1-4 detik, yang dilanjutkan dengan perendaman dalam air bebas ion minimal selama 5 menit hingga mendapatkan warna yang kontras antara warna coklat dengan biru dari Hematoxylin. Kemudian, dilakukan dehidrasi dengan mencelupkan sediaan ke dalam alkohol 70%, 80%, 90%, dan 95%, dan dalam alkohol absolut I selama beberapa detik, lalu direndam dalam alkohol absolut II dan III, masing-masing selama 1 menit. Setelah itu, dilakukan penjernihan dengan mencelupkan sediaan ke dalam xylol I selama beberapa detik, lalu direndam dalam xylol II, dan III, masing-masing selama 1 menit. Tahap akhir dari pewarnaan ini adalah mounting yaitu penempelan cover glass pada sediaan dengan menggunakan perekat entelan. Setelah itu, preparat imunohistokimia siap untuk diamati di bawah mikroskop. Keberadaan IgA akan ditunjukkan oleh warna coklat pada mukosa usus halus tersebut. Semakin tua warna coklat menunjukkan semakin banyak kandungan IgA pada lokasi tersebut. Terbentuknya warna biru menunjukkan bahwa tidak adanya kandungan IgA pada lokasi tersebut. Penilaian dilakukan secara deskriptif pada sediaan usus duodenum menggunakan mikroskop cahaya dengan kriteria seperti pada Tabel 8. Tabel 8. Kriteria penilaian deskriptif kandungan IgA Tanda + Deskripsi warna biru yang menunjukan pada bagian tersebut tidak mengandung IgA atau warna coklat muda hanya pada bagian crypt mukosa usus, atau warna coklat tua hanya pada bagian crypt mukosa. ++ warna coklat muda hanya pada lapisan epitel dan crypt atau sebagian besar atau seluruh mukosa usus +++ warna coklat tua pada pada seluruh bagian atau sebagian besar lapisan epitel dan crypt mukosa usus. ++++ warna coklat sangat tua pada seluruh bagian atau sebagian besar lapisan epitel dan crypt mukosa usus. 3.2.2.8. Analisis Data Analisis statistik dilakukan dengan menggunakan perangkat lunak SPSS 16.0 untuk Windows. Analisis statistik digunakan untuk menganalisis data aktivitas antibakteri yogurt sinbiotik, berat badan tikus percobaan, rata-rata konsumsi ransum, kadar air feses tikus percobaan dan ketebalan mukosa usus duodenum tikus percobaan. Data dianalisis menggunakan SPSS 16.0 dengan metode analisis General Linier Model Univariate. Jika perlakuan memberikan pengaruh yang nyata (P<0.05 dan P<0.01), maka digunakan uji lanjut Duncan untuk membandingkan tiap perlakuan. Analisis kandungan imunoglobulin A (IgA) menggunakan penilaian secara deskriptif pada sediaan usus duodenum menggunakan mikroskop cahaya. Keberadaan IgA akan ditunjukkan oleh warna coklat pada mukosa usus halus tersebut. Semakin tua warna coklat menunjukkan semakin banyak kandungan IgA pada lokasi tersebut. Terbentuknya warna biru menunjukkan bahwa tidak adanya kandungan IgA pada lokasi tersebut. IV. HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1. YOGURT SINBIOTIK SEBAGAI ANTIBAKTERI PENYEBAB DIARE Metode yang digunakan untuk mengetahui aktivitas antibakteri yogurt sinbiotik adalah metode kontak. Pada metode ini yang diuji adalah bakteri probiotik L. plantarum 2C12 dan L. fermentum 2B4 yang terdapat dalam empat formula yogurt. Empat formula yogurt tersebut adalah F1(L.bulgaricus + S.thermophilus), F2 (L.bulgaricus + S.thermophilus + L.plantarum 2C12), F3 (L.bulgaricus + S.thermophilus + L.fermentum 2B4), dan F4 (L.bulgaricus + S.thermophilus + L.plantarum 2C12 + L.fermentum 2B4). Pada masing-masing formula yogurt tersebut ditambahkan 5% FOS (fruktooligosakarida). Setiap formula yogurt dikontakkan dengan EPEC K1.1 106 cfu/ml selama 2, 4, dan 6 jam. Hasil aktivitas antibakteri terhadap bakteri EPEC dari masing-masing formula yogurt dapat dilihat pada Tabel 9. Tabel 9. Aktivitas antibakteri terhadap EPEC pada keempat formula yogurt Formula Rata-Rata Nilai Kematian EPEC Yogurt (log cfu/ml) 2 jam a 4 jam 3.02±0.25 6 jam a 3.98±0.26a F1 2.78 ±0.54 F2 2.73±0.23a 3.15±0.50a 4.07±0.48a F3 2.69±0.30a 3.54±0.38a 4.31±0.88a F4 2.51±0.72a 3.61±0.23a 4.19±0.43a Angka yang diikuti dengan huruf yang sama pada setiap kolom memiliki nilai yang tidak berbeda nyata (P>0.05) Keterangan : F1: L.bulgaricus + S.thermophilus + FOS 5% F2: L.bulgaricus + S.thermophilus + L.plantarum 2C12 + FOS 5% F3: L.bulgaricus + S.thermophilus + L.fermentum 2B4 + FOS 5% F4: L.bulgaricus + S.thermophilus + L.plantarum 2C12 + L.fermentum 2B4 + FOS 5% Analisis statistik (Lampiran 4 dan Lampiran 5) menunjukkan bahwa masing-masing formula yogurt tidak berpengaruh nyata terhadap rata-rata log kematian EPEC pada setiap waktu kontak (P>0.05). Aktivitas antibakteri penyebab diare ini dimungkinkan karena rendahnya derajat keasaman (pH) yogurt tersebut sehingga menyebabkan kematian bakteri EPEC. Pada umumnya BAL menghasilkan asam organik, seperti asam laktat dan asam asetat, yang menciptakan lingkungan asam yang dapat menghambat bakteri patogen (Saulnier et al. 2009). Nilai pH dari masing-masing formula yogurt dapat dilihat pada Tabel 10. Tabel 10. Nilai pH dari masing-masing formula yogurt Formula Yogurt Rata-rata pH F1 4.61 ± 0.23a F2 4.37 ± 0.18a F3 4.51 ± 0.07a F4 4.42 ± 0.31a Angka yang diikuti dengan huruf yang sama pada setiap kolom memiliki nilai yang tidak berbeda nyata (P>0.05) Keterangan : F1: L.bulgaricus + S.thermophilus + FOS 5% F2: L.bulgaricus + S.thermophilus + L.plantarum 2C12 + FOS 5% F3: L.bulgaricus + S.thermophilus + L.fermentum 2B4 + FOS 5% F4: L.bulgaricus + S.thermophilus + L.plantarum 2C12 + L.fermentum 2B4 + FOS 5% Berdasarkan analisis statistika (Lampiran 7) menunjukkan bahwa derajat keasaman (pH) keempat formula yogurt tidak berbeda nyata (P>0.05). Hal ini menunjukkan bahwa keadaan asam yang diciptakan oleh BAL dalam formula yogurt dapat menghambat pertumbuhan bakteri EPEC. Keadaan asam yang tidak berbeda nyata pada setiap formula yogurt menyebabkan aktivitas antibakteri penyebab diare EPEC yang tidak berbeda nyata. F1 F2 F3 F4 Gambar 9. Penampakan yogurt F1, F2, F3 dan F4 segera setelah diinkubasi selama suhu 37o-43 oC 24 jam pada Penampakan fisik dari masing-masing formula yogurt dapat dilihat pada Gambar 9. Pada gambar tersebut terlihat bahwa yogurt F1 dan F3 memiliki konsistensi yang lebil stabil dibandingkan yogurt F2 dan F4. Whey yang dihasilkan yogurt F1 dan F3 lebih sedikit dibandingkan yogurt F2 dan F4. Hal ini menunjukkan yogurt F3 memiliki konsistensi yang menyerupai yogurt F1. Yogurt F1 merupakan yogurt yang biasa ditemukan di pasaran yang menggunakan kultur L.bulgaricus dan S. thermophilus. Tekstur yogurt F3 yang stabil dimungkinkan karena adanya L. fermentum yang memiliki sifat proteolitik lemah (Sasaki et al. 1995). Sifat proteolitik yang lemah ini menyebabkan kemampuan L. fermentum dalam memecah kasein, yang merupakan emulsifier alami dalam susu, tidak sampai menghasilkan whey (pemisahan) yang banyak. Selain itu, menurut Franck (2002), penambahan prebiotik dalam produk pangan dapat meningkatkan kualitas organoleptik dan komposisi nutrisi yang lebih seimbang. Pada produk yogurt, prebiotik dapat meningkatkan kualitas tekstur dan mouthfeel, pengganti gula, dan serat (Wang 2009). Berdasarkan nilai organoleptik, yogurt F3 menunjukkan konsistensi yang lebih stabil dibandingkan formula yogurt F2 dan F4. Dengan demikian, yogurt F3 yang mengandung L. bulgaricus, S. thermophillus, dan probiotik L. fermentum 2B4, serta prebiotik FOS 5% merupakan formula terbaik yang berpotensi untuk dikembangkan menjadi produk pangan alternatif untuk menjaga kesehatan saluran pencernaan manusia. 4.2. PENGUKURAN BERAT BADAN DAN KONSUMSI RANSUM TIKUS PERCOBAAN pertambahan berat badan (gram) Pengukuran berat badan dan konsumsi ransum bertujuan untuk mengetahui pengaruh pemberian perlakuan yogurt sinbiotik dan EPEC K1.1 terhadap pertambahan berat badan tikus percobaan. Pertambahan berat badan tikus percobaan selama 21 hari dapat dilihat pada Gambar 10. Analisis statistika (Lampiran 9) menunjukkan pemberian perlakuan yogurt sinbiotik dan EPEC K1.1 tidak memberikan pengaruh yang nyata (P>0.05) terhadap kenaikan berat badan tikus percobaan. 7,90 7,80 7,70 7,60 7,50 7,40 7,30 7,20 7,10 7,00 7.83a 7.58a 7.53a 7.46a 7.30a Kontrol Negatif Yogurt Sinbiotik Yogurt Sinbiotik + EPEC Kontrol Positif Yogurt Prebiotik kelompok tikus Angka yang diikuti dengan huruf yang sama memiliki nilai yang tidak berbeda nyata (P>0.05) Gambar 10. Pertambahan berat badan tikus percobaan selama 21 hari rata‐rata konsumsi ransum basal (g) Pertambahan berat badan tikus percobaan berkolerasi dengan konsumsi ransum basal tikus percobaan. Grafik rata-rata konsumsi ransum basal tikus percobaan dapat dilihat pada Gambar 11. Analisis statistika (Lampiran 11) menunjukkan pemberian perlakuan yogurt sinbiotik dan EPEC K1.1 tidak memberikan pengaruh yang nyata (P>0.05) terhadap konsumsi ransum basal tikus percobaan. 13,1 13 12,9 12,8 12,7 12,6 12,5 12,4 12,3 12,2 12.84a 12.98a 13.03a Kontrol positif yogurt prebiotik 12.76a 12.54a Kontrol negatif Yogurt sinbiotik Yogurt sinbiotik + EPEC K1.1 kelompok tikus Angka yang diikuti dengan huruf yang sama memiliki nilai yang tidak berbeda nyata (P>0.05) Gambar 11. Rata-rata konsumsi ransum basal tikus percobaan Beberapaa literatur menyyatakan bahwaa probiotik dappat meningkatkkan penyerapann nutrisi oleh sel s iintestinal inan ng. Bakteri probiotik p mennyediakan hassil metabolism me yang dappat memberikkan k keuntungan baagi inangnya. Simbiosis S antaara bakteri prob biotik dan inanngnya sangat kompleks k namuun k kemungkinan b besar ditingkaatkan melalui pengkodean p ennzim yang berkkaitan dengan penyerapan dan d d degradasi polissakarida serta biosintesis pollisakarida kapssular oleh gen-gen bakteri probiotik. Enzim me enzim tersebutt mampu mem mecah zat yangg tidak dapat diserap d dan diccerna, dan karb bohidrat turunnan i inang yang teerletak berdekaatan dengan laapisan permukkaan dinding ssel bakteri. Kemudian K bakteeri m menggunakan enzim tersebbut untuk mem menuhi kebuttuhan energinyya. Selain itu u, bakteri dappat m mengatur lingkkungan mikro intestinal denggan menyediak kan karbohidratt yang terfermeentasi. Aktivittas i juga terjad ini di pada lapisann kompleks laiin yang dapat menyediakan tambahan sum mber nutrisi baagi i inang dan orgaanisme yang adda dalam inangg (Yan F dan Poolk DB 2009). Studi lariik mikro yang g dilakukan oleh Hooper ett al. (2002) mengidentifika m asi sejumlah gen g p pengatur bakteeri dalam sel epitel e intestinall. Kolonisasi B. B thetaiotaomiicron dapat meeningkatkan ileeal N +/ cotranspoorter glukosa, colipase, dann ekspresi apolipoprotein. Molekul Na M tersebuut menjembataani p penyerapan nu utrisi pada sel epitel e intestinall. Fermentaasi prebiotik daapat menghasillkan asam lem mak rantai penddek (ALRP). Salah S satu ALR RP y yaitu butirat merupakan m pro oduk dari ferm mentasi prebiootik yang dappat menghamb bat pertumbuhhan p patogen. Asam m lemak rantaai pendek sanggat penting daalam metabolissme inang sebbagai komponnen p penyedia enerrgi bagi inangg. Pada tikuss percobaan, FOS F dapat m meningkatkan hormon salurran p pencernaan gluucagon-like pep eptide-1 (GLP-1) pada vena portal p dan pro--glukagon MRN NA di proksim mal k kolon yang daapat mengawaali peningkatann kekenyangan seperti tolerransi glukosa dan sensitivittas i inulin (Delzenn ne et al. 2007). 4 PENAM 4.3. MPAKAN DAN D KADA AR AIR FESES TIKUS S PERCOB BAAN Intervensi EPEC K1.1 dapat d menyebaabkan terjadinyya diare pada tiikus percobaann. Indikator yanng ddigunakan untuuk mengetahu ui terjadinya diiare adalah pennampakan fisikk feses (Gambbar 12) dan annus ( (Gambar 13), serta s pengukurran kadar air feeses (Gambar 14). Gaambar 12. Peenampakan fesses tikus percobbaan Penampakkan fisik fesess tikus percobaaan pada Gam mbar 12 menunj njukkan kelomppok tikus yoguurt ssinbiotik (Gam mbar 12b) mem miliki feses yaang hitam dan kering sepertii feses kelomppok tikus kontrrol n negatif (Gambbar 12a). Hal inni menunjukkaan pemberian yogurt y sinbiotiik dapat memeelihara kesehattan s saluran pencerrnaan usus sepperti keadaan normal. Kelompok tikus yoogurt prebiotikk (Gambar 122e) m memiliki fesess yang hitam dan d kering sepperti kelompokk tikus kontrol negatif. Hal ini i menunjukkkan p pemberian yog gurt prebiotik juga j mampu m menjaga kesehaatan saluran peencernaan ususs seperti keadaaan n normal. Sedanngkan kelomp pok tikus yoggurt sinbiotik k + EPEC K K1.1 (Gambar 12c) memiliiki p penampakan f feses coklat, leembek dan beesar seperti fesses kelompok tikus kontrol positif (Gambbar 12d). Hal ini menunjukkan m b bahwa tikus yaang diintervennsi EPEC menggalami diare yang y ditunjukkkan o oleh adanya feses yang coklat dan lem mbek. Feses tikus yang leembek disebabbkan kurangnnya p penyerapan airr pada tikus yang y mengalam mi diare, sehin ngga air terakuumulasi pada feses. f Pemberiian y yogurt sinbiotiik kurang mam mpu mencegah terjadinya seraangan EPEC. Selain peenampakan fissik feses, penampakan anuss tikus percobbaan (Gambar 13) juga dappat d digunakan sebagai indikator terjadinya diarre. Pada Gamb bar 13 terlihat bahwa kelomp pok tikus kontrrol n negatif (Gambbar 13a), kelom mpok tikus yoogurt sinbiotik (Gambar 13bb), dan kelomppok tikus yoguurt p prebiotik (Gam mbar 13e) mem miliki anus yanng normal dann tidak bengkaak. Sedangkan kelompok tikkus y yogurt sinbiotiik + EPEC K1.1 (Gambar 113c) memiliki penampakan fisik anus yanng cukup meluuas n namun tidak bengkak. b Keloompok tikus kkontrol positiff (Gambar 133d) memiliki anus a merah dan d b bengkak yang menunjukkan terjadinya diarre. Gam mbar 13. Penaampakan anus tikus percobaaan Kadar Air Feses (%) Beberapa studi menyatakan adanya malabsorpsi mikronutrien dan makronutrien selama terjadinya diare. Malabsorpsi yang terjadi pada penyerapan gula (glukosa, xilosa, laktosa), lipid, nitrogen, asam amino, dan protein. Selain itu, air dan vitamin larut air seperti vitamin (B12, folat) serta mineral (magnesium, zat besi) juga terjadi malabsorpsi. Mekanisme terjadinya malabsorpsi akibat diare belum jelas. Namun, adanya kejadian diare berhubungan dengan perubahan morfologi pada saluran usus. Adanya sel yang mati atau berkurangnya permukaan penyerapan pada saluran usus berkontribusi terhadap kapasitas absorpsi yang menurun (Chen 1983). Saulnier et al. (2009) menyatakan protein Surface-Layer (S-layer) yang terdapat pada permukaan probiotik L. crispatus dan L.helveticus mampu mencegah terjadinya pelekatan patogen perusak makanan, E. Coli O157:H7 Hela, Hep-2 dan sel T84. Kompetisi dalam mendapatkan daerah pelekatan merupakan tahap penting bagi patogen untuk dapat menyebabkan kerusakan pada sistem penyerapan nutrisi dan air sehingga terjadi diare. Probiotik dapat mencegah terjadinya diare dengan mengurangi tempat pelekatan patogen. Pengukuran kadar air feses merupakan indikator terjadinya diare pada tikus percobaan. Grafik kadar air feses dapat dilihat pada Gambar 14. Perlakuan memberikan pengaruh nyata (P<0.05) terhadap kadar air feses tikus percobaan. Analisis statistik (Lampiran 13) menunjukkan kadar air feses kelompok tikus yogurt sinbiotik lebih rendah dibandingkan kelompok tikus kontrol positif. Kelompok tikus yogurt sinbiotik memiliki kadar air feses yang tidak berbeda nyata (P>0.05) dengan kelompok tikus kontrol negatif. Kelompok tikus yogurt sinbiotik + EPEC K1.1 memiliki kadar air feses yang tidak berbeda nyata (P>0.05) dengan kelompok kontrol positif. Kelompok tikus yogurt prebiotik memiliki kadar air feses yang tidak berbeda nyata (P>0.05) dengan kelompok tikus lainnya. 70,00 64.85b 65,00 60,00 55.96a 56.01a Kontrol Negatif Yogurt Sinbiotik 66.87b 63.62a,b 55,00 50,00 Yogurt Sinbiotik + EPEC Kontrol Positif Yogurt Prebiotik Kelompok Tikus Angka yang diikuti dengan huruf yang sama menunjukan tidak berbeda nyata pada taraf 5% Gambar 14. Kadar air feses tikus percobaan Kadar air yang tinggi pada feses menunjukkan terjadinya diare. Hal ini disebabkan terjadinya kerusakan vili usus halus sehingga penyerapan air tidak maksimal, sehingga air yang tidak terserap terakumulasi di feses yang akhirnya menjadikan feses memiliki kadar air yang tinggi. Infeksi EPEC biasanya menyebabkan diare berair pada anak-anak di negara berkembang. Mekanisme EPEC memicu terjadinya diare berair masih belum jelas, tidak seperti strain E.coli lainnya, EPEC tidak menghasilkan toksin. Berdasarkan teori terbaru, pelepasan nukleotida adenin yang berasal dari sel usus inang, yang diikuti dengan pemecahan adenosin, dapat memicu terjadinya diare berair melalui aktivasi reseptor adenosin di saluran usus (Crane et al. 2007). 4.4. HISTOLOGI USUS DUODENUM TIKUS PERCOBAAN Kerusakan vili merupakan indikator terjadinya pelekatan EPEC K1.1 pada vili usus dan menyebabkan terjadinya kerusakan vili. Kerusakan vili duodenum tikus percobaan pada hari ke-7 dapat dilihat pada Tabel 11. Tabel 11. Presentase kerusakan vili usus duodenum tikus percobaan Perlakuan Rata-rata Kerusakan Villi Usus Duodenum (%) Hari ke-7 (sebelum intervensi EPEC) Kontrol negatif 6.12 Yogurt Sinbiotik 1.22 Yogurt Sinbiotik + EPEC K1.1 2.49 Kontrol positif 5.51 Hari ke-14 (setelah intervensi EPEC selama 7 hari) Kontrol negatif 5.28 Yogurt Sinbiotik 0.98 Yogurt Sinbiotik + EPEC K1.1 13.62 Kontrol positif 17.94 Hari ke- 21 (7 hari setelah intervensi EPEC dihentikan) Kontrol negatif 3.04 Yogurt Sinbiotik 1.61 Yogurt Sinbiotik + EPEC K1.1 4.73 Kontrol positif 21.96 Yogurt Prebiotik 3.57 Angka yang diikuti dengan huruf yang sama pada setiap waktu terminasi menunjukan tidak berbeda nyata pada taraf 5% Kelompok tikus yogurt prebiotik hanya ada pada terminasi hari ke-21 Kerusakan vili usus duodenum tikus percobaan pada hari ke-7 perlakuan dapat dilihat pada Gambar 15. Pada hari ke-7, kelompok tikus yogurt sinbiotik memiliki kerusakan vili duodenum paling rendah (1.22%) dibandingkan kelompok tikus lainnya. Kelompok tikus yogurt sinbiotik + EPEC K1.1 juga memiliki kerusakan vili duodenum yang rendah (2.49%) dibandingkan kelompok tikus kontrol negatif (6.12%) dan kelompok tikus kontrol positif (5.51%). Hal ini menunjukkan bahwa pemberian probiotik dapat mengurangi terjadinya kerusakan vili duodenum tikus percobaan. Zubillaga et al. (2001) menyatakan Lactobacillus fermentum yang merupakan bakteri probiotik mampu menempel pada sel epitel usus duodenum, berkolonisasi di usus, memproduksi substansi antimikroba sehingga memberikan efek yang menguntungkan bagi kesehatan. Penambahan FOS juga meningkatkan pertahanan usus terhadap invasi patogen dengan menstimulasi pertumbuhan bakteri baik yang berada dalam saluran pencernaan. Keterangan : menunjukkan skala 200 μm Gambar 15. Fotomikrograf usus duodenum tikus percobaan terminasi hari ke-7 dengan pewarnaan hematoksilin eosin. Hari ke-14, setelah intervensi EPEC selama 7 hari menunjukkan kelompok tikus yogurt sinbiotik + EPEC K1.1 (13.62%) memiliki kerusakan vili yang lebih rendah dibandingkan dengan kelompok tikus kontrol positif (17.94%). Hal ini menunjukkan pemberian yogurt sinbiotik dapat mengurangi kerusakan vili duodenum tikus percobaan akibat serangan EPEC K1.1. Mekanisme perlindungan probiotik melawan patogen yaitu melalui kompetisi untuk mendapatkan tempat perlekatan dan nutrisi, serta mensekresikan substansi antimikroba (Collado et al. 2006). Kelompok tikus yogurt sinbiotik memiliki kerusakan vili duodenum yang paling rendah (0.98%) dibandingkan kelompok tikus lainnya. Keterangan : menunjukkan skala 200 μm menunjukkan vili usus yang rusak Gambar 16. Fotomikrograf usus duodenum tikus percobaan terminasi hari ke-14 dengan pewarnaan hematoksilin eosin. Kelompok tikus kontrool positif memiiliki presentasee kerusakan viili usus duodennum yang palinng ttinggi dibandinngkan kelompook tikus lainnyya. Kerusakan vili usus duoddenum akibat intervensi EPE EC K dapat diliihat pada Gambbar 16. K1.1 Pemberiaan cekok EPEC C K1.1 menyeebabkan terjaddinya kerusakaan vili duodennum. Mekanism me E EPEC menyebbabkan kerusakkan vili usus adalah a dengann membentuk pedestal, p yangg disebut denggan a attaching dan effacing (A/E)). Proses ini membutuhkan m p protein yang ddinamakan trannslocated intim min r receptor (Tir) yang dikirimkkan ke sel inaang melalui sisstem sekresi tiipe III. Sistem m sekresi ini dan d s seluruh proteinn yang dibutuuhkan untuk membentuk m A/E E berlokasi paada pulau patoogenisitas dalaam l locus of enteroocyte effacemeent (LEE). Tir berasosiasi deengan adhesi m membran luar bakteri, intimiin, d dengan begitu menyebabkann pelekatan EP PEC pada inanggnya (Celli et al. 2000). Padda saat pelekattan i EPEC meru ini usak mikrovili usus inangnyaa (Lu dan Walk ker 2001). Rata-rata presentase kerusakan k vili usus duodennum 7 hari seetelah intervennsi EPEC K11.1 d dihentikan (haari ke-21) dapaat dilihat padaa Tabel 11. Keerusakan vili uusus duodenum m 7 hari setellah i intervensi EPE EC K1.1 dihenttikan (hari ke-221) dapat dilihaat pada Gambaar 17. Keteranngan : m menunjukkan skkala 200 μm m menunjukkan vili usus yang ruusak G Gambar 17. F Fotomikrograf usus duodenum m tikus percob baan terminasii hari ke-21 deengan pewarnaaan hematoksilin h eosin. Hari ke-21 yaitu 7 hari setelah intervensi EPEC dihentikan menunjukkan kelompok tikus yogurt sinbiotik memiliki kerusakan vili duodenum paling rendah (1.61%) dibandingkan kelompok tikus lainnya. Kelompok tikus yogurt sinbiotik + EPEC K1.1 yang lebih rendah (4.73%) dibandingkan kelompok tikus kontrol positif (21.96%). Hal ini menunjukkan probiotik dalam yogurt sinbiotik mampu berkompetisi dengan bakteri patogen EPEC K1.1 yang telah menempel pada vili usus duodenum tikus percobaan. Hal ini sesuai dengan pernyataan bahwa Lactobacillus mampu menghambat pelekatan E.coli melalui hasil metabolisme Lactobacillus (Ouwehand dan Conway 1996 diacu dalam Lu dan Walker 2001). Bakteri asam laktat, khususnya Lactobacillus, memproduksi sejumlah substansi antimikroba, seperti asam organik, hidrogen peroksida, bakteriosin, dan toksin lainnya, yang memperlihatkan aktivitas penghambatan melawan strain bakteri yang sensitif (Jack et al. 1995 diacu dalam Liong 2007). Probiotik dilaporkan juga menghambat kolonisasi patogen dengan menurunkan reseptor toksin pada inang (Liong 2007). Kerusakan vili duodenum pada kelompok tikus yogurt prebiotik (3.57%) lebih tinggi dibandingkan kelompok tikus kontrol negatif (3.04%). Hal ini menunjukkan prebiotik dalam yogurt prebiotik kurang mampu mencegah terjadinya kerusakan vili duodenum tikus percobaan. Asam lemak rantai pendek (ALRP) yang dihasilkan dari fermentasi prebiotik (FOS) oleh bakteri dapat meningkatkan morfologi mukosa dengan meningkatkan mucin dan menurunkan translokasi dengan mengikatkan pada reseptor ALRP pada sel imun dalam GALT (gut associated lymphoid tissue). GALT merupakan suatu jaringan limfoid istimewa pada saluran pencernaan yang memberikan pertahanan terhadap adanya invasi mikroorganisme (Saulnier et al. 2009). Ketebalan mukosa merupakan faktor lain terjadinya pelekatan EPEC K1.1 pada usus duodenum tikus percobaan. Ketebalan mukosa berkaitan dengan kerusakan vili usus duodenum tikus percobaan. Kerusakan vili usus duodenum yang tinggi menyebabkan ketebalan mukosa usus berkurang. Ketebalan mukosa duodenum tikus percobaan dapat dilihat pada Tabel 12. Pengaruh pemberian yogurt sinbiotik terhadap ketebalan mukosa duodenum tikus percobaan pada minggu pertama (hari ke-7) dapat dilihat pada tabel 12. Analisis statistika ketebalan mukosa duodenum pada hari ke-7 (Lampiran 19) menunjukkan pemberian yogurt sinbiotik berpengaruh yang sangat nyata (P<0.01) pada ketebalan mukosa duodenum. Kelompok tikus yogurt sinbiotik memiliki ketebalan mukosa duodenum yang paling besar dibandingkan kelompok tikus lainnya. Hal ini menunjukkan bahwa pemberian yogurt sinbiotik dapat meningkatkan kesehatan mukosa duodenum. Kelompok tikus yogurt sinbiotik + EPEC K1.1 yang belum diintervensi EPEC K1.1 memiliki ketebalan mukosa duodenum yang tidak berbeda nyata (P>0.05) dengan kelompok tikus kontrol positif. Hal ini menunjukkan bahwa probiotik dalam yogurt sinbiotik dapat memelihara kesehatan mukosa duodenum seperti keadaan normal. Pengaruh yogurt sinbiotik terhadap ketebalan mukosa duodenum dapat dilihat pada Gambar 15. Probiotik dikenal sebagai mikroba baru bagi saluran pencernaan yang dapat meningkatkan pemeliharaan dan modifikasi mikrobiota usus (Harish dan Varghese 2006). Pelekatan probiotik pada saluran usus dan cairan mukus berasosiasi dengan stimulasi sistem imun. Adhesi pada mukosa merupakan syarat penting bagi probiotik untuk dapat mengendalikan keseimbangan mikrobiota usus. Keberadaan probiotik mampu menstimulasi sistem imun mukosa dan sistemik inang. Cairan mukus memiliki fungsi ganda, selain melindungi mukosa dari mikroba tertentu juga menyediakan tempat pengikatan awal, sumber nutrisi dan matriks tempat bakteri berproliferasi. Hal ini berkaitan pentingnya pelekatan bakteri patogen pada epitelium saluran usus agar dapat berkolonisasi dan menginfeksi (Freter 1992 diacu dalam Collado et al. 2006). Menurut Sharma et al. (2005), probiotik dapat menghasilkan substansi seperti butirat yang mampu menstimulasi proliferasi epitelium normal dan berperan pada pemeliharaan dinding pertahanan mukosa. Tabel 12. Ketebalan mukosa duodenum tikus percobaan Perlakuan Rata – rata Ketebalan Mukosa Usus (μm) Hari ke-7 (sebelum intervensi EPEC) Kontrol negatif 41.96 ± 10.55a Yogurt Sinbiotik 57.32 ± 7.83c Yogurt Sinbiotik + EPEC K1.1 50.58 ± 4.62b Kontrol positif 47.50 ± 4.30b Hari ke-14 (setelah intervensi EPEC selama 7 hari) Kontrol negatif 42.90 ± 5.06b Yogurt Sinbiotik 52.10 ± 2.52c Yogurt Sinbiotik + EPEC K1.1 38.79±10.78b Kontrol positif 21.64 ± 4.61a Hari ke- 21 (7 hari setelah intervensi EPEC dihentikan) Kontrol negatif 46.47 ± 3.17b Yogurt Sinbiotik 45.34 ± 3.29b Yogurt Sinbiotik + EPEC K1.1 46.92 ± 3.15b Kontrol positif 25.35 ± 4.11a Yogurt prebiotik 44.53 ± 6.34b Angka yang diikuti dengan huruf yang sama pada setiap waktu terminasi menunjukan tidak berbeda nyata pada taraf 5% Kelompok tikus yogurt prebiotik hanya ada pada terminasi hari ke-21 Ketebalan mukosa usus setelah intervensi EPEC K1.1 selama tujuh hari (hari ke-14) dapat dilihat pada Tabel 12. Pemberian yogurt sinbiotik dan EPEC K1.1 memberikan pengaruh yang sangat nyata (P<0.01) pada ketebalan mukosa duodenum tikus percobaan. Analisis statistika (Lampiran 20) menunjukkan bahwa kelompok tikus yogurt sinbiotik memiliki ketebalan mukosa duodenum yang paling besar dibandingkan kelompok tikus lainnya. Hal ini menunjukkan bahwa bakteri probiotik melakukan pelekatan pada epitel usus duodenum tikus percobaan. Pengaruh pemberian yogurt sinbiotik dan EPEC K1.1 pada hari ke-14 dapat dilihat pada Gambar 16. Pada hari ke-14, kelompok tikus kontrol positif memiliki ketebalan mukosa duodenum yang paling kecil dibandingkan kelompok tikus lainnya. Hal ini menunjukkan bahwa EPEC K1.1 dapat melekat pada mukosa duodenum yang menyebabkan kerusakan sehingga ketebalan mukosa usus menjadi kecil. Pelekatan bakteri patogen pada permukaan mukosa merupakan langkah awal dari infeksi mukosa. Bakteri EPEC bertahan pada permukaan sel epitel usus dengan merusak mikrovili inang dan menyusun sitoskeleton pada sel untuk membentuk pedestal pada permukaan sel inang (Michail dan Abernathy 2002). Pada hari ke-14, kelompok tikus yogurt sinbiotik + EPEC K1.1 memiliki ketebalan mukosa duodenum yang lebih besar dibandingkan dengan kelompok tikus kontrol positif, dan tidak berbeda nyata dengan kelompok tikus kontrol negatif. Hal ini menunjukkan pemberian yogurt sinbiotik mampu menghambat terjadinya pelekatan bakteri patogen pada sel epitel usus duodenum tikus percobaan. Menurut Candela et al. (2005), probiotik pada saluran pencernaan mengurangi pelekatan patogen dan toksinnya di epitel intestinal. Strain Lactobacilli dapat berkompetisi dengan bakteri patogen termasuk S.enterica, Yersinia enterocolitica, ETEC, dan EPEC dalam pengikatan pada sel epitel intestinal. Probiotik dapat menggantikan tempat bakteri patogen meskipun bakteri patogen telah melekat pada sel epitel intestinal. Mekanisme pelekatan patogen pada sel epitel intestinal adalah melalui interaksi antara lektin bakteri dan sebagian karbohidrat dari molekul reseptor glikokonjugat yang berada pada permukaan sel. Beberapa studi menyatakan bahwa probiotik mampu menghalangi titik pelekatan pada reseptor adhesi epitel. Pengaruh pemberian yogurt sinbiotik terhadap ketebalan mukosa duodenum hari ke-21 dapat dilihat pada Tabel 12. Pemberian yogurt sinbiotik berpengaruh sangat nyata (P<0.01) pada ketebalan mukosa duodenum tikus percobaan. Analisis statistika (Lampiran 21) menunjukkan kelompok tikus kontrol positif memiliki ketebalan mukosa duodenum paling kecil dibandingkan kelompok lainnya (Gambar 17). Hal ini menunjukkan serangan EPEC K1.1 menyebabkan kerusakan pada vili usus duodenum sehingga vili usus duodenum menjadi pendek. EPEC merupakan patogen yang menyebabkan lesi A/E pada sel-sel, yang memiliki karakteristik menyebabkan kerusakan pada mikrovili, pelekatan hasil metabolisme bakteri, dan secara nyata melakukan penyusunan kembali sitoskeletal yang mengawali formasi actin-rich pedestal (Lu dan Walker 2001). Ketebalan mukosa duodenum kelompok tikus yogurt sinbiotik + EPEC K1.1 tidak berbeda nyata dengan kelompok tikus yogurt sinbiotik, kelompok tikus yogurt prebiotik dan kelompok tikus kontrol negatif. Hal ini menunjukkan pemberian yogurt sinbiotik memberikan efek penyembuhan pada mukosa usus setelah intervensi EPEC K1.1. Probiotik pada saluran pencernaan dapat mengurangi pelekatan patogen dan toksinnya di epitel usus. Beberapa strain Lactobacillus dan Bifidobacterium dapat berkompetisi dengan bakteri patogen termasuk S.enterica, Yersinia enterocolitica, ETEC dan EPEC dalam penempelan pada epitel usus. Pada beberapa kasus, probiotik dapat mengganti tempat bakteri patogen meskipun patogen telah melekat pada sel epitel sebelum pemberian perlakuan probiotik (Yan dan Polk 2006). FOS merupakan oligosakarida yang dapat difermentasi menjadi ALRP yang dapat dimanfaatkan sebagai sumber karbon oleh sel-sel epitel usus sehingga dapat meningkatkan pertumbuhan mukosa usus. Selain itu, FOS dapat menstimulasi pertumbuhan BAL khususnya Bifidobacteria sehingga dapat menghambat pertumbuhan patogen (Manning dan Gibson 2004). Berdasarkan kerusakan vili dan ketebalan mukosa duodenum, dapat disimpulkan bahwa yogurt sinbiotik yang mengandung probiotik L. fermentum 2B4 dan FOS dapat menghambat kerusakan vili usus duodenum yang disebabkan oleh intervensi EPEC K1.1. Yogurt sinbiotik tersebut juga mampu memelihara kesehatan saluran usus dan memiliki efek penyembuhan terhadap serangan bakteri patogen EPEC. 4.5. KANDUNGAN IMUNOGLOBULIN A (IgA) PADA MUKOSA DUODENUM TIKUS PERCOBAAN. Pemberian perlakuan yogurt sinbiotik dapat memberikan efek imunomodulator. Hal ini dapat dilihat dari kandungan imunoglobulin A (IgA) pada mukosa duodenum tikus percobaan. Imunoglobulin A merupakan antibodi yang disekresikan sebagai respon imun mukosa. Analisis kandungan IgA pada mukosa duodenum tikus percobaan dilakukan menggunakan teknik imunohistokimia. Pada teknik imunohistokimia, keberadaan IgA ditunjukkan dengan terbentuknya warna coklat pada mukosa duodenum tikus percobaan. Semakin tua warna coklat yang dihasilkan maka semakin banyak kandungan IgA pada mukosa duodenum tikus percobaan. Penilaian dilakukan secara deskriptif dengan menggunakan mikroskop cahaya. Pengaruh pemberian yogurt sinbiotik dan EPEC K1.1 terhadap kandungan IgA pada mukosa duodenum tikus percoban dapat dilihat pada Tabel 13. Pengaruh pemberian yogurt sinbiotik pada minggu pertama (hari ke-7) dapat dilihat pada Tabel 13. Berdasarkan penilaian secara deskriptif, kandungan IgA mukosa duodenum kelompok tikus yogurt sinbiotik dan kelompok tikus yogurt sinbiotik + EPEC K1.1 lebih banyak dibandingkan kelompok tikus kontrol negatif dan kelompok tikus kontrol positif (Gambar 18). Hal ini menunjukkan pemberian yogurt sinbiotik dapat meningkatkan kandungan IgA pada mukosa duodenum tikus percobaan. Hal ini sesuai dengan pernyataan Saulnier et al. (2009) yang menyatakan bahwa probiotik dapat menstimulasi sistem imun dengan meningkatkan produksi antibodi mukosa, mendorong ekspresi sitokin proinflammatory dan meningkatkan produksi pertahanan inang. Konsumsi probiotik secara teratur dapat menyebabkan peningkatan respon imun pada manusia (Rasic 1983 diacu dalam Lourens-Hattings dan Viljoen 2001). Tabel 13. Kandungan IgA (kualitatif) pada mukosa duodenum tikus percobaan Perlakuan Kandungan IgA Hari ke-7 (sebelum intervensi EPEC) Kontrol negatif +++ Yogurt sinbiotik ++++ Yogurt sinbiotik + EPEC K1.1 ++++ Kontrol positif +++ Hari ke-14 (setelah intervensi EPEC selama 7 hari) Kontrol negatif +++ Yogurt sinbiotik +++ Yogurt sinbiotik + EPEC K1.1 ++++ Kontrol positif ++ Hari ke-21 (7 hari setelah intervensi EPEC dihentikan) Kontrol negatif +++ Yogurt sinbiotik +++ Yogurt sinbiotik + EPEC K1.1 ++ Kontrol positif + Yogurt prebiotik +++ Tanda (+) menunjukkan keberadaan IgA (yang ditunjukkan dengan warna coklat). Semakin banyak tanda + berarti semakin banyak kandungan IgA-nya. Kelompok tikus yogurt prebiotik hanya ada pada terminasi hari ke-21. Penelitian yang dilakukan oleh Link-Amster et al. (1994) menguji kemampuan yogurt yang mengandung bakteri B. bifidum dan L.acidophilus La1 dalam meningkatkan respon imun pada 15 responden sehat yang kemudian divaksinasi oral dengan Salmonella typhimurium. Sebagai kontrol digunakan 15 responden lainnya yang tidak mengonsumsi makanan fermentasi. Hasilnya vaksinasi dapat meningkatkan kadar IgA serum sebanyak 4.1 kali pada subyek yang mengonsumsi probiotik, sedangkan subyek kontrol hanya mengalami peningkatan kadar IgA serum sebanyak 2.5 kali (P=0.40) (de Roos dan Katan 2000). Keteranngan : m menunjukkan skkala 200 μm m menunjukkan w warna coklat G Gambar 18. Fotomikrograf F usus duodenum m tikus percob baan terminasi hari ke-7 yangg diwarnai secaara imunohistokim i mia terhadap Im munoglobulin A (IgA). Warrna coklat mennunjukkan reakksi positif p (+) keb beradaan IgA. Semakin kuaat intensitas w warna coklat, semakin banyyak kandungan k IgA A-nya. Pengaruhh pemberian yogurt y sinbiottik dan EPEC C K1.1 terhadap kandungaan IgA mukoosa dduodenum tikuus percobaan pada hari kee-14 dapat diliihat pada Tabbel 13. Berdassarkan penilaiian d deskriptif, kanndungan IgA mukosa duoodenum kelom mpok tikus yoogurt sinbiotikk sama denggan k kelompok tikus kontrol negattif (Gambar 199). Suplemenntasi bakteri assam laktat dappat memberikann pengaruh paada produksi IgA. I Perdigon et a (1994) diaccu dalam van de al. d Water dan N Naiyanetr (2008 8) menyatakan penambahan 3 ml yogurt yanng t terdiri dari 2 x 108 sel/ml paada ransum tikuus menghasilkaan peningkatann sel pensekressi IgA pada ussus k kecil secara siignifikan setelaah tujuh hari. Akan tetapi, peningkatan p seel pensekresi IgA I tidak terjaadi p pada pengamattan setelah 10 hari h pemberiann cekok yogurtt Kelompok tikus yogurtt sinbiotik + E EPEC K1.1 memiliki m kanduungan IgA muukosa duodenuum p paling banyak dibandingkan kelompok tikuus lainnya padaa hari ke-14. Hal H ini menunju ukkan pemberiian p probiotik dapaat meningkatkaan kandungan IgA ketika teerjadinya interv rvensi EPEC K1.1. K Sedangkkan k kelompok tikuus kontrol posittif memiliki kaandungan IgA paling sedikitt dibandingkann kelompok tikkus l lainnya. Menu urut Galdeano dan Perdigon (2006), pangaan yang mengaandung bakterii probiotik dappat m menstimulasi r respon imun im munoglobulin A (IgA). Bakteri probiotik p beriinteraksi denggan sel epitel saluran penccernaan dan sel imun untuuk m mengawali sin nyal imun. Baakteri tersebut berinteraksi dengan d sel M di Peyers paatches, sel epittel s saluran pencerrnaan dan berrasosiasi dengaan sel imun. Melalui M interakksi tersebut prrobiotik terbukkti d dapat memoduulasi produksi imunoglobulinn. Imunoglobullin A sekretorii berperan pennting pada sisteem p pertahanan m mukosa, berkoontribusi sebagai dinding pertahanan m melawan patogen dan viruus. P Peningkatan ju umlah sel yanng memproduuksi IgA meruupakan hal luuar biasa yang g diinduksi olleh p probiotik (Guppta dan Garg 20 009). Keteranngan : m menunjukkan skkala 200 μm m menunjukkan w warna coklat G Gambar 19. Fotomikrograaf usus duodeenum tikus perrcobaan terminnasi hari ke-144 yang diwarnnai secara imunoohistokimia terrhadap Imunogglobulin A (IgA A). Warna cokllat menunjukkkan reaksi positiff (+) keberadaaan IgA. Sem makin kuat inteensitas warna coklat, semakkin banyak kandu ungan IgAnya.. Pada minnggu ketiga (haari ke-21), pem mberian perlakuuan EPEC K1.11 dihentikan, namun pemberiian y yogurt sinbiottik tetap dilak kukan. Pengaruuh pemberian yogurt sinbiootik terhadap kandungan IggA m mukosa duodeenum pada harri ke-21 dapatt dilihat pada Tabel 13. Berrdasarkan penilaian deskripttif, k kandungan IgA A mukosa duo odenum kelom mpok tikus yoggurt sinbiotik sama dengan kelompok tikkus k kontrol negatiff dan kelompook tikus yogurrt prebiotik. Kaandungan IgA mukosa duoddenum kelompok t tikus yogurt sinbiotik s + EP PEC K1.1 lebbih banyak dibbandingkan deengan kontrol positif. Hal ini i m menunjukkan pemberian p yog gurt sinbiotik ddapat meningkkatkan sistem im mun terhadap serangan bakteeri p patogen. Pengaaruh pemberian n yogurt sinbiootik terhadap kandungan k IgA A pada mukosaa duodenum paada h ke-21 dapaat dilihat pada Gambar 20. hari Gupta daan Garg (2009) menyatakan Lactobacillus rhamnosus sttrain GG terbuukti memberikkan e efek yang mennguntungkan baagi sistem imunn saluran usus.. Bakteri tersebbut dapat meningkatkan jumllah s pensekresi IgA dan imunoglobulin lainnnya di mukosaa usus, menstim sel mulasi pelepasaan interferon dan d m memfasilitasi transport t antigeen menuju sel limfa, yang ak kan meningkatkkan pembuangaan antigen dalaam P Peyer’s patch. De Roos dan Katan K (2000) m menyatakan baahwa konsentraasi Penelitiann lain yang dillakukan oleh D a antibodi IgA melawan rotaavirus meningkkat secara signnifikan pada anak-anak yan ng mendapatkkan p perlakuan proobiotik dibanddingkan dengaan anak yang g tidak menddapatkan perllakuan. Hal ini i m menunjukkan a adanya efek peenyembuhan daari probiotik. Keteranngan : m menunjukkan skkala 200 μm m menunjukkan w warna coklat G Gambar 20. Fotomikrograf F f usus duodenuum tikus perccobaan terminnasi hari ke-211 yang diwarnnai secara s imunohhistokimia terhhadap Imunoglo obulin A (IgA A). Warna cokllat menunjukkkan reaksi r positif (+) keberadaaan IgA. Semaakin kuat inteensitas warna coklat, semakkin banyak b kandunngan IgAnya. Kelompok tikus yogurtt prebiotik memiliki kandunngan IgA yang sama dengan kelompok tikkus yyogurt sinbiotiik. Hal ini meenunjukkan baahwa prebiotik secara langsuung dapat mennstimulasi sisteem i imun, melindu ungi melawan patogen p dan meenfasilitasi mettabolisme inanng dan absorpsii mineral. Dalaam s saluran pencerrnaan, prebiotiik mengalami fermentasi olleh bakteri inddigenus yang menguntungkkan s seperti Lactobbacillus dan Biifidobacteria. Agen yang beertanggung jaw wab pada ferm mentasi prebiottik a adalah enzim spesifik s dan traansporter oligoosakarida yang dapat mendegrradasi prebiotiik (Saulnier et al. a 2 2007). Dengann mengubah komposisi k dann fungsional mikrobiota, m preebiotik berperaan memfasilitaasi m mikrobiota un ntuk bersaing dengan d patogeen, dan memoodulasi sistem imun sehinggga meningkatkkan p pertahanan inaang (Saulnier ett al. 2009). Dengan demikian d dapaat disimpulkann bahwa pembberian yogurt sinbiotik dapaat meningkatkkan k kandungan IgA A pada mukosaa duodenum tikkus percobaan.. Selain itu, peemberian yogurrt sinbiotik dappat m membantu perttahanan sistem m imun terhadapp serangan bakkteri patogen E EPEC K1.1. V. SIMPULAN DAN SARAN 5.1. SIMPULAN Yogurt sinbiotik diketahui memiliki banyak manfaat bagi kesehatan. Manfaat tersebut didapatkan dari adanya probiotik dan prebiotik dalam yogurt yang dapat memodifikasi mikrobiota dalam saluran pencernaan. Salah satu manfaat dari sinbiotik ini adalah mencegah terjadinya serangan dari bakteri patogen seperti Enterophatogenic E.coli (EPEC K1.1) yang dapat menyebabkan diare. Selain itu, sinbiotik juga mampu meningkatkan sistem imun atau sebagai imunomodulator. Analisis statistik menunjukkan bahwa masing-masing formula yogurt tidak memberikan pengaruh nyata terhadap rata-rata log kematian EPEC K1.1 pada setiap waktu kontak. Derajat keasaman (pH) pada seluruh formula yogurt menunjukkan nilai pH yang tidak berbeda nyata. Dari segi organoleptik, yogurt Formula 3 (Lactobacillus bulgaricus, Streptococcus thermophillus, Lactobacillus fermentum 2B4 dan FOS 5%) memiliki tekstur paling baik dilihat dari whey yang paling sedikit. Pemberian yogurt sinbiotik Formula 3 dapat menghambat kerusakan vili duodenum yang disebabkan oleh intervensi EPEC K1.1. Yogurt sinbiotik tersebut juga mampu memelihara saluran usus dan mampu berkompetisi dengan bakteri patogen EPEC K1.1. Pemberian yogurt sinbiotik dapat meningkatkan kandungan IgA mukosa duodenum tikus percobaan. Selain itu, pemberian yogurt sinbiotik juga dapat membantu pertahanan sistem imun terhadap serangan bakteri patogen EPEC K1.1. 5.2. SARAN Berdasarkan hasil penelitian perlu dilakukan identifikasi komponen antibakteri yang berperan dalam penghambatan bakteri EPEC K1.1. Selain itu, perlu dilakukan uji jumlah bakteri probiotik yang ada di dalam yogurt agar diketahui jumlahnya. Kajian aktivitas antidiare juga dapat diperdalam dengan pengujian mekanisme penempelan bakteri probiotik dan EPEC pada saluran pencernaan menggunakan model sel Caco-2. DAFTAR PUSTAKA Adisasmito W. 2007. Faktor Risiko Diare Pada Bayi Dan Balita Di Indonesia: Systematic Review Penelitian Akademik Bidang Kesehatan Masyarakat. Makara Kesehatan, Vol. 11, No. 1: 1-10. Afset JE, Bevanger L, Romundstad P, dan Bergh K. 2004. Association of atypical enteropathogenic Escherichia coli (EPEC) with prolonged diarrhea. J Med Microbiol. 53, 1137-1144. Alderbeth I, Cerquetti M, Poilane I, Wold AE, dan Collignon A. 2000. Mechanisms of colonisation and colonisation resistance of the digestive tract. Microbial Ecology of Health and Disease, 12, 223-239 Almatsier S. 2005. Prinsip Dasar Ilmu Gizi. PT Gramedia Pustaka Utama, Jakarta. Angus F, S Smart, dan C Shortt. 2005. Prebiotic Ingridients with Emphasis on Galactooligosaccharides and Fructo-oligosaccarides dalam Probiotic Dairy Products. Tamime, A.Y. 2005. Blackwell Publishing Ltd, United Kingdom. [AOAC] Association of Official Analytical Chemist. 1995. Official Method of the Association of Official Agriculture Chemist, Washington DC. Arief II, RRA Maheswari, dan T Suryati. 2005. Karakteristik dan Nilai Gizi Protein Daging Sapi Dark Firm Dry (DFD) yang difermentasi oleh Lactobacillus plantarum yang diisolasi dari Daging Sapi. Laporan Penelitian Hibah Bersaing XIII/I.LPPM-IPB. Arief II, RRA Maheswari, dan H Nuraini. 2008. Aktivitas Antimikroba Bakteri Asam Laktat yang Diisolasi dari Daging Sapi. Makalah Seminar Hasil Penelitian Departemen IPTP Fak. Peternakan IPB. Boehm G dan Moro G. 2008. Structural and Functional Aspects of Prebiotics Used in Infant Nutrition. The Journal of Nutrition Influence of Diet on Infection and Allergy in Infants. J. Nutr. 138: 1818S–1828S. Bourlioux P, Koletzko B, Guarner F, dan Braesco V. 2002. The intestine and its microflora are partners for the protection ot the host : report on the Danone symposium “The intelligent Intestine”, held in Paris, June 14, 2002. Am J Clin Nutr 2003; 78: 675-83. Bowen R. 2006. Pathophysiology of Diarrhea. http://arbl.cvmbs.colostate.edu/ hbooks/pathphys/digestion/smallgut/diarrhea.html. [11 November 2010] [BSN] Badan Standarisasi Nasional. 2009. SNI 2981: Yogurt. ICS 67.100.10. Candela M, Seibold G, Vitali B, Lachenmaier S, Eikmanns BJ, Brigidi P. 2005. Real-time PCR quantification of bacteria adhesion to Caco-2 cells: competition between bifidobacteria and enterophatogens. Res Microbiol 156:887-95. Celli J, Deng W, dan Finlay BB. 2000. Enteropathogenic Escherichia coli (EPEC) attachment to epithelial cells: exploiting the host cell cytoskeleton from the outside. Cell Microbiol. 2(1), 1-9. Chandan RC. 2006. Manufacturing Yogurt and Fermented Milks. Blackwell Publishing Asia. Victoria, Australia. Chen LC. 1983. Diarrhea and Malnutrition : Interaction, Mechanisms, and Interventions. The United Nations University Plenum Press: New York. Clarke SC, Haigh RD, Freestone PP, dan Williams PH. 2002. Enteropathogenic Escherichia coli infection: history and clinical aspects. Br J Biomed Sci 59, 123–127. Crane JK, Naeher TM, Shulgina I, Zhu C dan Boedeker EC. 2007. Effect of Zinc in Enteropathogenic Escherichia coli Infection. Infection and Immunity. Vol. 75, No. 12 p. 5974–5984 Cummings JH, Macfarlane GT, dan Englyst HN. 2001. Prebiotic digestion and fermentation. Am J Clin Nutr 73, 415S–420S. [DEPKES] Departemen Kesehatan Republik Indonesia. 2008. Profil Kesehatan Indonesia 2007. Departemen Kesehatan Republik Indonesia, Jakarta. Delzenne NM, Cani PD, dan Neyrinck AM. 2007. Modulation of glucagon-like peptide-1 and energy metabolism by inulin and oligofructose: experimental data. Journal Nutrition, 137, 2580S2551S. De Roos NM dan Katan MB. 2000. Effect of probiotic bacteria on diarrhea, lipid metabolism, and carcinogenesis: a review of papers published between 1988 and 1998. Am J Clin Nutr, 71:40511 [FAO] Food and Agriculture Organization. 2001. Health and Nutritional Properties of Probiotic in Food including Powder Milk with Live Lactic Bacteria. Report of a Joint FAO/WHO Expert Consultation on Evaluation of Health and Nutritional Properties of Probiotics in Food Including Powder Milk with Live Lactic Bacteria. [FAO] Food and Agriculture Organization. 2002. Guidelines for the evaluation of probiotics in food. Report of Joint FAO/WHO Working Group on drafting Guidelines for the evaluation of probiotics in food. London Ontario, Canada. [FAO] Food and Agriculture Organization. 2007. FAO technical meeting on prebiotics. AGNS-FAO, Italy. Fardiaz S. 1989. Mikrobiologi Pangan. Dirjen Pendidikan Tinggi, Depdikbud, PAU PG, IPB, Bogor. Fooks LJ dan Gibson GR. 2002. Probiotics as modulators of the gut flora. Br J Nutr, 88, S39-S49. Forchielli ML, Walzer AW. 2005. The role of gut-associated lymphoid tissues and mucosal defence. Br J Nutr 93, S41–S48. Franck A. 2002. Technological functionality of inulin and oligofructose. Br J Nutr, 87, S287-S291. Franck A. dan LD Leenher. 2005. Inulin dalam Polysaccharides and Polyamides in the Food Industry Volume I. Steinbuchel A. dan SK Rhee (eds.). Wiley VCH, Weinheim. Freter M. 1992. Factors aVecting the microecology of the gut dalam In vitro analysis of probiotic strain combinations to inhibit pathogen adhesion to human intestinal mucus. Collado MC, Meriluoto J, dan Salminen S. 2006. Food Res Int 40 (2007) 629–636. Galdeano MC dan Perdigon G. 2006. The Probiotic Bacterium Lactobacillus casei Induces Activation of the Gut Mucosal Immune System through Innate Immunity. Clin Vac Immun, p. 219-226. Gibson GR, Probert HM, Van Loo J, Rastall RA, dan Roberfroid MB. 2004. Dietary modulation of the human colonic microbiota: updating the concept of prebiotics. Nutr Res Rev 17, 259–275. Gill HS. 2003. Probiotics to enhance anti-infective defenses in the gastrointestinal tract. Best Pract Res Clin Gastroenterol, 17, 755-773. Gill HS dan Guarner F. 2004. Probiotics and Human Health : a clinical prespective. Postgrad Med J, 80, 516-526. Gmeiner M, Kneifel W, Kulbe KD, Wouters R, De Boever P, Nollet L, et al. 2000. Influence of a synbiotic mixture consisting of Lactobacillus achidophilus 74-2 and a fructooligosaccharide preparation on the microbial ecology sustained in a simulation of the human intestinal microbial ecosystem (SHIME reactor). App Microbiol Biotechnol, 53, 219-223. Gomes TAT, Irino K, Girão DM, Girão VBC, Guth BEC, Vaz TMI, et al. 2004. Emerging Enteropathogenic Escherichia coli Strains?. Emerg Infect Dis. Vol. 10, No. 10. Guerrant RL, Van Gilder T, Steiner TS, Thielman NM, dan Slutsker L, et al. 2001. Practice Guidelines for the Management of Infectious Diarrhea. Clinical Infectious Diseases, 32, 33150. Infect Dis Soc Ame. Gupta V dan Garg R. 2009. Probiotics. Ind J Med Microbiol, 27(3):202-9. Harish K dan Varghese T. 2006. Probiotic in humans-evidence based review. Cal Med J 4 (4):e3. Hariyadi RT, N Anjaya, Suliantari, L Nuraida, dan B Satiawiharja. 2001. Penuntun Praktikum Teknologi Fermentasi. Jurusan Teknologi Pangan dan Gizi, Institut Pertanian Bogor, Bogor. Heyman M dan Menard S. 2002. Probiotic microorganism: How they affect intestinal pathophysiology. Cell Mol Life Sci. Vol. 59, pp 001-015. Hooper LV, Midtvedt T dan Gordon JL. 2002. How host-microbial interactions shape the nutrient environment of the mammalian intestine. Ann Rev Nutr, 22, 283-307. Indratiningsih W, S Salasia, dan E Wahyuni. 2004. Produksi yogurt shiitake (Yohsitake) sebagai pangan kesehatan berbasis susu. J Teknol Ind Pangan Vol. XV (1): 54-60. Isolauri E, Sutas Y, Kankaapaa P, Arvilommi H, dan Salminen S. 2001. Probiotics: Effect on Immunity. Am J Clin Nutr, 73, 444S-450S. Jack RW, Tagg JR, Ray B. 1995. Bacteriocins of gram-positive bacteria dalam Probiotics: a critical review of their potential role as antihypertensives, immune modulators, hypocholesterolemics, and perimenopausal treatments. Liong Min-Tze. 2007. Nutr Rev vol. 65, 7: 316-328. Janda JM dan Abbot SL. 2006. The Enterobacteria (eds.). ASM Press, Washington, USA. Jay JM. 2000. Modern Food Microbiology 6th Edition. Maryland, Aspen Publishers, Inc. Jenie BSL. 2003. Pangan Fungsional Penyusun Flora Usus yang Menguntungkan. Makalah pada Seminar Sehari Keseimbangan Flora Usus Bagi Kesehatan dan Kebugaran, Bogor. Kaper JB. 1996. Defining EPEC dalam Association of atypical enteropathogenic Escherichia coli (EPEC) with prolonged diarrhea. Afset JE, Bevanger L, Romundstad P, dan Bergh K. 2004. J Med Microbiol. 53, 1137-1144. Kaplan H dan Hutkins RW. 2000. Fermentation of Fructooligosaccharides by Lactic Acid Bacteria and Bifidobacteria. App Environ Microbiol, p. 2682–2684 Vol. 66, No. 6. King D. 2009. Study Guide Histology of the Gastrointestinal System. School of Medicine. http://www.siumed.edu/~dking2/erg/giguide.htm. [11 Oktober 2010] Kiernan JA. 1990. Histological and Histochemichal Methods: Theory & Practice. Oxford: Pergamon press. Kullisaar T, Songisepp E, Mikelsaar M, Zilmer K, Vihalemm T, dan Zilmer M. 2003. Antioxidative probiotic fermented goats’ milk decreases oxidative stress-mediated atherogenicity in human. Br J Nutr, 90, 449-456. Lambert J dan Hull R. 1996. Upper gastrointestinal disease and probiotics dalam Probiotic Dairy Products. Tamime, A.Y. 2005. Blackwell Publishing Ltd, United Kingdom. La Torre L, Tamime AY, dan Muir DD. 2003. Rheology and sensory profiling of set-type fermented milks made with different commercial probiotic and yogurt starter cultures. Int J Dairy Technol, 56, 163-170. Lee YK, Lim CY, Teng WL, Ouwehand AC, Tuomola EM, dan Salminen S. 2000. Quantitative Approach in the Study of Adhesion of Lactic Acid Bacteria to Intestinal Cells and Their Competition with Enterobacteria. App Environm Microbiol. p. 3692–3697 Vol. 66, No. 9. Link-Amster H, Rochat F, Saudan KY, Mignot O, Aeschlimann JM. 1994. Modulation of a spesific humoral immune response and changes in intestinal flora mediated through fermented milk intake dalam Effect of probiotic bacteria on diarrhea, lipid metabolism, and carcinogenesis: a review of papers published between 1988 and 1998. De Roos NM dan Katan MB. 2000. Am J Clin Nutr, 71:405-11. Liong Min-Tze. 2007. Probiotics: a critical review of their potential role as antihypertensives, immune modulators, hypocholesterolemics, and perimenopausal treatments. Nutr Rev vol. 65, 7, 316328. Lisal JS. 2005. Konsep Probiotik dan Prebiotik untuk Modulasi Mikrobiota Usus Besar. J Med Nus Vol. 26 No.4. van Loo J, Coussement P, De Leenheer L, Hoebregs H, Dan Smits G. 1995. On the presence of inulin and oligofructose as natural ingredients in the Western diet dalam Probiotic Dairy Products. Tamime AY. 2005. Blackwell Publishing Ltd, United Kingdom. Lu L dan Walker WA. 2001. Pathologic and physiologic interactions of bacteria with the gastrointestinal epithelium. Am J Clin Nutr 73(suppl):1124S–30S. Manatsathit S, Dupont HL, Farthing MJG, et al. 2002. Guideline for the Management of acute diarrhea in adults. J Gastroenterol Hepatol 17, S54-S71. Manning TS, Gibson GR. 2004. Prebiotics. Best Practice and Research Clinical Gastroenterology. 18(2): 287-298 Masco L, Ventura M, Zink R, Huys G, dan Swings J. 2004. Polyphasic taxonomic analysis of Bifidobacterium animalis and Bifidobacterium lactis reveals relatedness at the subspecies level: reclassification Bifidobacterium animalis as Bifidobacterium animalis subsp. animalis subsp. nov. and Bifidobacterium lactis as Bifidobacterium animalis subsp. lactis subsp. nov. Int J Sys Evolution Microbiol, 54, 1137-1143. Mattila-Sandholm T, Myllarinen P, Crittenden R, Mogensen G, Fonden R, Saarela M, 2002. Technological challenges for future probiotic foods. Int Dairy J 12, 173–182. Meydani SN dan Ha WK. 2000. Immunologic effect of yogurt. Am J Clin Nutr, 71, 861-872. Michail S dan Abernathy F. 2002. Lactobacillus plantarum Reduces the In Vitro Secretory Response of Intestinal Epithelial Cells to Enteropathogenic Escherichia coli Infection. J Ped Gastroenterol Nutr. 35,350–35. Miyazaki Y, Kamiya S, Hanawa T, Fukuda M, Kawakami H, Takahashi H, Yokota H. 2010. Effect of probiotic bacterial strains of Lactobacillus, Bifidobacterium, and Enterococcus on enteroaggregative Escherichia coli. J Infect Chemother, 16:10–18. Moat AG, Foster JW, dan Spector MP. 2002. Microbial Physiology. 4th Ed. A Willey Interscience Publication, John Willey and sons, New York. Molis C, Flourie B, Ouarne F, Gailing MF, Lartigue S, Guibert A, et al. 1996. Digestion, excretion, and energy value of fructooligosaccharides in healthy humans dalam prebiotics: present and future in food science and technology. Wang, Y. 2009. Food Res Int, 42, 8-12. Muchtadi D. 1993. Teknik Evaluasi Nilai Gizi Protein. Program Pasca Sarjana. Institut Pertanian Bogor, Bogor. Naidu AS dan RA Clemens. 2000. Probiotics dalam Natural Food Antimicrobial Systems. Naidu, A.S. (ed). CRC Press, LLC. Nougayrède JP, Fernandes PJ dan Donnenberg MS. 2003. Adhesion of enteropathogenic Escherichia coli to host cells. Cell Microbiol 5, 359–372. Oliviera MN dan Damin MR. 2003. Efeito do teor de solidos e da concentrcao de sacarose na acidificaca, fermeza e viabilidade de bacterias do iogurte e probioticas em leite fermentado dalam Probiotic Dairy Products. Tamime, A.Y. 2005. Blackwell Publishing Ltd, United Kingdom. Ouwehand A dan Conway P. Specificity of spent culture fluids of Lactobacillus spp. to inhibit adhesion of enteropathogenic fimbriated Escherichia coli cells. Microbiol Ecol Health Dis 1996;9:239–46 dalam Pathologic and physiologic interactions of bacteria with the gastrointestinal epithelium. Lu L dan Walker WA. 2001. Am J Clin Nutr 73(suppl):1124S– 30S. Oyetayo VO. 2004. Performance of rats orogastrically dosed with faecal strains of Lactobacillus acidophillus and challenged with Escherichia coli, Af J Biotechnol. Vol 3. No. 8, pp 409-411. Parassol N, Freitas M, Thoreux K, Dalmasso G, Bourdet-Sicard R, Rampal P. 2005. Lactobacillus casei DN-114 001 inhibits the increase in paracellular permeability of enteropathogenic Escherichia coli-infected T84 cells. Res Microbiol, 156, 256–262. Perdigon G, Rachid M, De Budeguer MV, dan Valdez JC. 1994. Effect of yogurt feeding on the small and large intestine associated lymphoid cells in mice dalam Yogurt and Immunity. van de Water J dan Naiyanetr P. 2008. Handbook of Fermented Functional Foods. Second edition. CRC Press, Taylor & Francis Group, Boca Raton. Rasic JL, Kurmann JA. 1983. Bifidobacteria and their role dalam Review : Yogurt as probiotic carrier food. Lourens-Hattingh A dan Viljoen BC. 2001. Int Dairy J 11:1–17. Rautava S, Ruuskanen O, Ouwehand A, Salminen S, Isolauri E. 2004. The hygiene hypothesis of atopic disease- an extended version. J Pediatr Gastroenterol Nutr , 38, 378–88. Reid G, Jass J, Sebulsky MT, McCormick JK. 2003. Potensial uses of probiotics in clinical practice. Clin Microbiol Rev, 4, 658-672. Roberfroid MB. 1997. Health benefits of non-digestible oligossacharides dalam Probiotic Dairy Products. Tamime, A.Y. 2005. Blackwell Publishing Ltd, United Kingdom. Rolfe RD. The role of probiotic cultures in the control of gastrointestinal health. 2000. J Nutr, 130, 396S-402S. Sahaja. 2008. DOTE Anatomy Topics: The anatomy, histology and development of the small intestine. University of Debrecen. http://anatomytopics. wordpress.com/2008/12/20/20-theanatomy-histology-and-development-of-the-small-intestine/ [11 Oktober 2010] Salminen S, Bouley C, Boutron-Ruault MC, Cummings JH, Franck A, Gibson G R, Isolauri E, Moreau MC, Roberfroid MB, dan Rowland IR. 1998. Functional food science and gastrointestinal physiology and function dalam Probiotic Dairy Products. Tamime AY. 2005. Blackwell Publishing Ltd, United Kingdom. Salminen S, Von Wright A, dan Ouwehand A. 2004. Lactic Acid Bacteria. Marcel Dekker, Inc, New York. Samuelson DA. 2007. Textbook of veterinary histology. Elseiver Inc, St Louis, Missouri. Santoso. 2009. Susu dan Yogurt Kedelai. Seri Teknologi Pangan Populer (Teori dan Praktek). Laboratorium Kimia Pangan, Faperta, UWG. Sartor RB. 2004. Therapeutic manipulation of the enteric microflora in inflammatory bowel disease: Antibiotics, probiotics, and prebiotics. Gastroenterol, 126, 1620-1633. Sasaki M, Bosman BW, Tan PS. 1995. Comparison of proteolytic activities in various lactobacilli. J Dairy Res 62 (4): 601-610. Saulnier DMA, Molenaar D, de Vos WM, Gibson GR, dan Kolida S. 2007. Identification of prebiotic fructooligosaccharide metabolism in Lactobacillus plantarum WCFS1 through microarrays. Appl Environ Microbial, 73, 1753-1765. Saulnier DMA, Spinler JK, Gibson GR dan Versalovic J. 2009. Mechanisms of probiosis and prebiosis: considerations for enhanced functional foods. Curr Op Biotechnol, 20, 135-141. Schmid K, RC Scholathauer, U Friedrich, C Staudt, J Apajalahti, dan EB Hansen. 2006. Development of Probiotics Food Ingredients dalam Probiotics in Food Safety and Human Health. Goktepe, Juneja, dan Ahmedna (eds.). CRC Press-Taylor and Francis Group, Florida. Schiller LR. 2000. Diarrhea, Medical Clinics of North America dalam Diare Akut Infeksius pada Dewasa. Zein U. 2004. Fakultas Kedokteran, Universitas Sumatera Utara. Shah NP. 2000. Probiotic bacteria : Selective enumeration and survival in dairy foods. J Dairy Sci, 83, 894-907. Sharma AK, Mohan P, dan Nayak BB. 2005. Probiotic : Making a comeback. Department of Pharmacology Armed Forces Medical College, Pune. Siegumfeldt H, Rechninger BK, Jacobsen M. 2000. Dynamic changes of intracellular pH in individual lactic acid bacterium cells in response to a rapid drop in extracellular pH. App Environm Microbiol. 66:2330-2335. Silvia. 2002. Pembuatan Yogurt Kedelai (Soygurt) dengan Menggunakan Kultur Campuran Bifidobacterium bifidum dan Streptococcus thermophilus. Skripsi. Fakultas Teknologi Pertanian. Insitut Pertanian Bogor, Bogor. Slonczewski JL dan Foster JW. Microbiology http://www.microbwiki.com/small_intestine. [22 Februari 2010] Evolving Science. Surono IS. 2004. Probiotik Susu Fermentasi dan Kesehatan. YPMMI, Jakarta. Tamime AY. 2005. Probiotic Dairy Products. Blackwell Publishing Ltd, United Kingdom. Tamime AY, Skriver A, dan Nilsson LE. 2005. Starter cultures. Fermented Milks. Blackwell Publishing, Oxford. Teitelbaum JE dan Walker WA. 2002. Nutritional impact of pre- and probiotics as protective gastrointestinal organisms. Ann Rev Nutr 22, 107–138. Trabulsi LR, Keller R, dan Tardelli Gomes TA. 2002. Typical and atypical enteropathogenic Escherichia coli. Emerg Infect Dis 8, 508–513. Tungland BC. 2003. Fructooligosacharides and other fructans: structures and occurrence, production, regulatory aspect, food applications and nutritional health significance dalam Probiotic Dairy Products. Tamime, A.Y. 2005. Blackwell Publishing Ltd, United Kingdom. Walker WA. 2008. Mechanisms of action of probiotics. Clin Infect Dis 46, S87–S91. Wang Y. 2009. Prebiotics: Present and future in food science and technology. Food Res Int 42:8-12 Winarno FG. 2003. Mikroflora Usus Bagi Kesehatan dan Kebugaran. Makalah Sehari Keseimbangan Flora Usus Bagi Kesehatan dan Kebugaran. Bogor, 15 Februari 2003. Jurusan Teknologi Pangan dan Gizi, Fakultas Teknologi Pertanian, Institut Pertanian Bogor, Bogor. Yan F dan Polk DB. 2006. Mechanisms of Probiotic Regulation of Host Homeostatis. Nutrition and Health : Probiotics in Pediatric Medicine. Humana Press. Totowa. Zakaria F. 2003. Aspek Biokimia dan Gizi Pangan Fungsional Prebiotik. Makalah Sehari Keseimbangan Flora Usus Bagi Kesehatan dan Kebugaran. Bogor, 15 Februari 2003. Jurusan Teknologi Pangan dan Gizi, Fakultas Teknologi Pertanian, Institut Pertanian Bogor, Bogor. Zein U. 2004. Diare Akut Infeksius pada Dewasa. Fakultas Kedokteran, Universitas Sumatera Utara. Zhang G dan Ghosh S. 2001. Toll-like receptor-mediated NF-kappaB activation: a phylogenetically conserved paradigm in innate immunity. J Clin Invest 107,13–9. Zoumpopoulou G, B Foligne, K Christodoulou, C Grangette, B Pot dan E Tsakalidou. 2008. Lactobacillus fermentum ACA-DC 179 displays prebiotic potential in vitro and protects againts trinitrobenzene sulfonic acid (TNBS)- induced colitis and Salmonella infection in urine models. Int J Food Microbiol 121: 18-19 Zubillaga M, Weill R, Postaire E, Goldman C, Caro R, Boccio J. 2001. Effect of probiotics and functional foods and their use in different diseases. Nutr Res 21: 569-579. LAMPIRAN Lampiran 1. Data proksimat kasein (Alacid acid casein) yang digunakan Komponen Protein (Nx 6.38) Abu Kadar Air Lemak Laktosa Kandungan (%) Basis kering 97.4% Basis basah 86.0% 1.8% 11.6% 1.1% <0.1% Lampiran 2. Perhitungan komposisi ransum basal Protein (kasein) = 1.6 x 100/ %N = 1.6x 100/(86/6.38) = 11.8698% Lemak (minyak jagung) = 8 – (11.8698/100 x 1.1) = 7.8694 % Air = 5 – (11.8698/100 x 11.6) = 3.6231% Vitamin = 1% Mineral = 5 – (11.8698/100 x 1.8) = 4.7863 % Serat = 1- (11.8698/100 x 0) = 1% Pati jagung (maizena) = 100 – (11.8698 + 7.8694 + 3.6231+ 1+ 4.7863 + 1) = 100 – 30.1486 = 69.8514 % Lampiran 3. Data nilai log kematian EPEC K1.1 metode kontak 2, 4 dan 6 jam Metode kontak 2 jam Formula F1 F2 F3 F4 Ulangan 1 2.5563 2.6425 2.4771 2.3259 Nilai Log Kematian EPEC Ulangan 2 Ulangan 3 2.1303 3.2355 2.5337 2.7197 2.4314 2.7884 3.0334 3.1150 Ulangan 4 3.2052 3.0476 3.0669 1.5643 Nilai Log Kematian EPEC Ulangan 2 Ulangan 3 3.0696 3.3112 3.6390 2.4873 3.5019 3.3112 2.9542 3.4873 Ulangan 4 2.9889 3.0540 3.0872 3.6077 Nilai Log Kematian EPEC Ulangan 2 Ulangan 3 4.1526 4.2021 4.4869 3.6697 5.5563 3.9175 4.6832 4.2355 Ulangan 4 3.9571 3.6312 3.4886 3.6077 Rata-Rata 2.782 ±0.538 2.736±0.226 2.691±0.298 2.510±0.720 Metode kontak 4 jam Formula F1 F2 F3 F4 Ulangan 1 2.7175 3.4102 3.2553 3.4424 Rata-Rata 3.022±0.247 3.148±0.497 3.289±0.379 3.373±0.232 Metode kontak 6 jam Formula F1 F2 F3 F4 Ulangan 1 3.6218 4.5149 4.3010 4.2553 Rata-Rata 3.983±0.259 4.076±0.483 4.316±0.881 4.195±0.434 Lampiran 4. Analisis statistika (ANOVA) aktivitas antimikroba yogurt selama 2, 4 dan 6 jam Metode kontak 2 jam Tests of Between-Subjects Effects Dependent Variable:Penghambatan_2jam Source Model Formula Ulangan Error Total Type III Sum of Squares df a 115.493 .174 .557 2.285 117.778 Mean Square 7 3 3 9 16 F 16.499 .058 .186 .254 Sig. 64.988 .228 .731 .000 .875 .559 a. R Squared = .981 (Adjusted R Squared = .966) Metode kontak 4 jam Tests of Between-Subjects Effects Dependent Variable:Penghambatan_4jam Source Model Formula Ulangan Error Total Type III Sum of Squares Df 178.835a .999 .393 1.123 179.959 Mean Square 7 3 3 9 16 F 25.548 .333 .131 .125 204.719 2.669 1.049 a. R Squared = .994 (Adjusted R Squared = .989) Metode kontak 6 jam Tests of Between-Subjects Effects Source Model Formula Ulangan Error Total Type III Sum of Squares a 276.447 .254 2.204 1.591 278.038 df Mean Square 7 3 3 9 16 a. R Squared = .994 (Adjusted R Squared = .990) F 39.492 223.360 .085 .478 .735 4.155 .177 Sig. .000 .705 .042 Sig. .000 .111 .417 Lampiran 5. Analisis statistik (ANOVA) rata-rata aktivitas antimikroba yogurt Tests of Between-Subjects Effects Source Model Formula Ulangan Error Total Type III Sum of Squares Mean Square df a 138.570 .046 4.391 .132 138.702 6 3 2 6 12 a. R Squared = .999 (Adjusted R Squared = .998) 23.095 .015 2.195 .022 F 1.052E3 .693 100.024 Sig. .000 .589 .000 Lampiran 6. Nilai pH formula yogurt Formula Yogurt F1 F2 F3 F4 pH Ulangan 1 Ulangan 2 4.45 4.77 4.24 4.50 4.46 4.56 4.20 4.64 Rata-Rata pH 4.61±0.23 4.37±0.18 4.51±0.07 4.42±0.31 Lampiran 7. Analisis statistika (ANOVA) nilai pH formula yogurt Tests of Between-Subjects Effects Dependent Variable:nilai_pH Source Type III Sum of Squares df Mean Square F Sig. .224a 4 160.384 1 formulayogurt .067 3 .022 2.232 .263 Ulangan .157 1 .157 15.680 .029 Error .030 3 .010 Total 160.638 8 .254 7 Corrected Model Intercept Corrected Total .056 5.594 .094 160.384 1.604E4 .000 a. R Squared = ,882 (Adjusted R Squared = ,724) Lampiran 8. Rata-rata pertambahan berat badan tikus percobaan Pertambahan berat badan (g) H1 H3 H6 H9 H12 H15 H18 H21 Rata-rata Kontrol negatif 19.00 10.00 7.33 3.67 5.00 5.33 4.33 6.00 7.58 Kelompok tikus Yogurt Yogurt Kontrol sinbiotik sinbiotik + positif EPEC K1.1 15.33 9.67 9.33 10.33 9.67 8.67 9.00 4.33 5.00 10.00 5.33 2.33 5.00 4.67 5.67 2.00 5.67 7.00 6.00 5.00 5.33 5.00 5.67 5.00 7.83 6.25 6.04 Yogurt prebiotik 14.00 9.67 9.67 7.67 4.33 4.33 7.67 2.33 7.46 Lampiran 9. Analisis statistika (ANOVA) pertambahan berat badan tikus percobaan Tests of Between-Subjects Effects Dependent Variable:Kenaikan_Berat_Badan Source Model Ulangan Perlakuan Error Total Type III Sum of Squares df a 2329.425 329.024 21.737 135.738 2465.163 a. R Squared = .945 (Adjusted R Squared = .921) Mean Square 12 7 4 28 40 194.119 47.003 5.434 4.848 F 40.043 9.696 1.121 Sig. .000 .000 .367 Lampiran 10. Konsumsi ransum basal tikus percobaan per hari Hari ke- 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17 18 19 20 21 Kontrol negatif 12.52 12.60 13.62 12.59 12.28 13.42 12.56 13.55 13.15 13.01 12.26 11.73 12.69 12.05 12.41 12.38 12.01 11.53 13.49 11.14 12.31 Rata-rata konsumsi ransum per hari (gram) Yogurt Yogurt sinbiotik Kontrol positif sinbiotik + EPEC K1.1 12.38 12.98 12.76 13.08 11.75 13.55 13.27 12.29 12.43 11.95 15.12 13.39 12.85 14.03 12.18 14.27 13.38 12.24 13.23 13.04 13.02 12.86 12.82 14.89 14.20 11.95 14.95 13.79 12.21 14.66 14.87 12.59 15.11 13.23 11.96 14.90 12.78 13.57 13.16 13.37 11.18 13.80 13.41 12.53 13.27 14.10 12.12 14.46 13.11 13.61 12.71 13.37 13.35 12.96 11.33 11.20 11.31 9.07 13.00 8.72 9.11 13.31 8.11 Yogurt prebiotik 8.34 9.62 10.07 12.37 13.24 14.57 12.82 13.86 12.24 13.19 15.13 13.45 13.64 15.26 15.07 13.93 12.25 14.08 14.87 13.21 12.33 Lampiran 11. Analisis statistika (ANOVA) rata-rata konsumsi ransum per hari Tests of Between-Subjects Effects Dependent Variable:konsumsi_ransum Source Type III Sum of Squares df Mean Square F Corrected 99.273a 24 4.136 3.016 Model Intercept 17281.112 1 17281.112 1.260E4 Perlakuan 3.167 4 .792 .577 Ulangan 96.106 20 4.805 3.504 Error 109.704 80 1.371 Total 17490.089 105 Corrected Total 208.977 104 a. R Squared = ,475 (Adjusted R Squared = ,318) Sig. .000 .000 .680 .000 Lampiran 12. Data kadar air sampel feses tikus percobaan Perlakuan Kontrol negatif Yogurt sinbiotik Yogurt sinbiotik + EPEC K1.1 Kontrol positif Yogurt prebiotik Ulangan 1 58.96 54.91 59.61 53.56 63.54 67.32 67.33 66.01 61.39 68.20 Ulangan 2 53.34 56.53 59.61 51.27 63.46 65.06 65.01 69.12 64.92 59.97 Rata-rata 56.15 55.72 59.61 52.41 63.50 66.19 66.17 67.56 63.15 64.09 Lampiran 13. Analisis statistik (ANOVA) kadar air feses tikus percobaan Tests of Between-Subjects Effects Dependent Variable:Kadar_Air_Feses Source Model Ulangan Perlakuan Error Total Type III Sum of Squares a 37978.983 .681 211.132 30.357 38009.340 df Mean Square 6 1 4 4 10 6329.831 .681 52.783 7.589 F 834.048 .090 6.955 a. R Squared = .999 (Adjusted R Squared = .998) Kadar_Air_Feses Duncan Subset Perlakuan kontrol negatif yogurt sinbiotik yogurt prebiotik yogurt sinbiotik + EPEC kontrol positif Sig. Means for groups in homogeneous subsets are displayed. Based on observed means. The error term is Mean Square(Error) = 7.589. N 1 2 2 2 2 2 2 55.9350 56.0100 63.6200 .052 63.6200 64.8450 66.8650 .310 Sig. .000 .779 .043 Lampiran 14. Data kerusakan vili duodenum tikus percobaan Perlakuan Hari ke-7 Kontrol negatif Yogurt sinbiotik Yogurt sinbiotik + EPEC K1.1 Kontrol positif Hari ke-14 Kontrol negatif Yogurt sinbiotik Yogurt sinbiotik + EPEC K1.1 Kontrol positif Hari ke-21 Kontrol negatif Yogurt sinbiotik Yogurt sinbiotik + EPEC K1.1 Kontrol positif Yogurt prebiotik Ulangan Jumlah Vili Usus Jumlah Vili Rusak Presentase Kerusakan Vili (%) Rata-rata Kerusakan Vili (%) 1 2 1 2 1 2 38 46 53 41 49 34 3 2 0 1 1 1 7.89 4.35 0.00 2.44 2.04 2.94 6.12 1 2 42 48 2 3 4.76 6.25 5.51 1 2 1 2 1 2 36 40 40 51 28 32 2 2 0 1 5 3 5.56 5.00 0.00 1.96 17.86 9.38 5.28 1 2 49 40 9 7 18.37 17.50 17.94 1 2 1 2 1 2 57 39 41 31 51 56 2 1 0 1 3 2 3.51 2.56 0.00 3.22 5.88 3.57 3.04 1 2 1 2 37 32 42 50 7 8 3 0 18.92 25.00 7.14 0.00 21.96 1.22 2.49 0.98 13.62 1.61 4.73 3.57 Lampiran 15. Data ketebalan mukosa duodenum tikus percobaan Perlakuan Sampel U1 U2 U3 Hari ke-7 Kontrol 1 20.6 27.8 36.6 negatif 2 49.3 36.4 47.0 Yogurt 1 63.2 71.3 69.7 sinbiotik 2 44.6 50.8 49.7 Yogurt 1 52.8 54.8 56.5 sinbiotik 2 51.8 51.7 55.2 + EPEC K1.1 Kontrol 1 43.9 41.3 42.2 positif 2 49.8 48.5 49.4 Hari ke-14 Kontrol 1 41.1 39.6 36.7 negatif 2 44.4 45.7 48.0 Yogurt 1 55.0 54.9 50.9 sinbiotik 2 53.6 53.9 54.3 Yogurt 1 42.6 46.6 49.65 sinbiotik 2 33.0 32.5 49.25 + EPEC K1.1 Kontrol 1 18.1 19.4 22.2 positif 2 16.2 23.9 17.7 Hari ke-21 Kontrol 1 49.4 50.7 48.0 negatif 2 48.3 48.1 47.7 Yogurt 1 46.2 46.8 45.7 sinbiotik 2 48.4 50.3 48.9 Yogurt 1 47.2 49.1 51.3 sinbiotik 2 50.6 49.3 48.1 + EPEC K1.1 Kontrol 1 23.1 21.9 30.2 positif 2 22.3 27.7 27.9 Yogurt 1 37.5 34.7 37.7 prebiotik 2 45.1 52.1 49.9 U4 U5 U6 U7 U8 U9 U10 40.4 55.45 71.2 50.5 53.6 55.6 32.4 47.7 66.3 53.3 51.1 41.1 53.1 54.6 61.2 53.9 49.7 44.5 54.3 43.3 61.4 50.0 50.2 41.4 47.3 35.9 60.4 51.5 49.6 55.1 38.3 38.1 56.2 51.9 47.5 53.6 25.0 55.75 54.8 54.6 51.4 44.5 48.8 48.5 45.3 48.4 44.0 54.5 43.4 42.9 45.9 51.2 51.6 56.5 42.4 51.4 35.7 42.3 49.8 54.4 46.5 37.1 36.8 40.2 51.1 49.8 44.0 50.0 37.4 46.7 49.0 47.9 41.1 52.45 47.7 34.0 51.9 46.1 32.4 50.3 49.4 50.1 54.1 52.9 22.1 30.0 16.4 26.1 26.9 30.4 21.5 13.4 26.4 21.1 27.1 24.0 23.3 20.8 14.5 23.5 47.7 45.5 40.5 46.6 49.7 47.6 40.9 44.8 50.3 45.1 49.6 49.5 48.1 44.7 48.0 47.1 50.8 46.2 43.5 45.1 39.2 46.4 46.4 44.6 44.6 50.6 43.0 45.3 40.8 43.4 43.9 49.4 43.2 41.9 43.2 44.2 38.9 49.5 39.4 44.5 44.9 41.9 28.2 26.6 49.9 57.3 27.2 26.3 47.75 52.9 26.0 22.9 49.7 39.1 29.1 16.6 39.9 46.4 27.1 29.8 37.9 45.1 17.4 28.1 40.0 44.3 19.2 29.4 36.7 46.6 47.6 41.8 54.5 52.4 23.0 21.1 48.8 44.1 52.2 53.4 42.3 29.75 Lampiran 16. Analisis statistika ketebalan mukosa (ANOVA) pada hari ke-7 Tests of Between-Subjects Effects Dependent Variable:tebalmukosa Type III Sum of Squares Source Corrected Model Intercept perlakuan ulangan Error Total Corrected Total df Mean Square 3013.287a 22 194774.584 2462.097 551.189 3487.214 201275.085 6500.501 1 3 19 57 80 79 136.968 F 2.239 .008 194774.584 3.184E3 820.699 13.415 29.010 .474 61.179 .000 .000 .963 a. R Squared = ,464 (Adjusted R Squared = ,256) tebalmukosa Duncan perlak uan A D C B Sig. Subset N 1 Sig. 2 20 41.9650 20 47.4950 20 50.5850 20 1.000 .217 Means for groups in homogeneous subsets are displayed. Based on observed means. The error term is Mean Square(Error) = 61,179. 3 57.3250 1.000 Lampiran 17. Analisis statistika ketebalan mukosa (ANOVA) pada hari ke-14 Tests of Between-Subjects Effects Dependent Variable:tebalmukosa Type III Sum of Squares Source Corrected Model Intercept perlakuan ulangan Error Total Corrected Total df Mean Square 10154.888a 22 120807.968 9763.078 391.810 2586.924 133549.780 12741.812 1 3 19 57 80 79 461.586 .000 120807.968 2.662E3 3254.359 71.706 20.622 .454 45.385 .000 .000 .970 tebalmukosa Duncan D C A B Sig. Subset N 1 2 Sig. 10.171 a. R Squared = ,797 (Adjusted R Squared = ,719) perlak uan F 3 20 21.6450 20 38.7850 20 42.9050 20 52.1050 1.000 .058 1.000 Means for groups in homogeneous subsets are displayed. Based on observed means. The error term is Mean Square(Error) = 45,385. Lampiran 18. Analisis statistika ketebalan mukosa (ANOVA) pada hari ke-21 Tests of Between-Subjects Effects Dependent Variable:tb_mukosa Type III Sum of Squares Source Corrected Model Intercept perlakuan sampel ulangan Error Total Corrected Total df Mean Square 7186.083a 14 174068.356 6771.317 116.316 298.450 1254.803 182509.243 8440.886 1 4 1 9 85 100 99 a. R Squared = ,851 (Adjusted R Squared = ,827) tb_mukosa Duncan perlak uan D E B A C Sig. Subset N 1 2 20 25.3500 20 44.5275 20 45.3400 20 46.4700 20 46.9200 1.000 .075 Means for groups in homogeneous subsets are displayed. Based on observed means. The error term is Mean Square(Error) = 14,762. 513.292 F Sig. 34.770 .000 174068.356 1.179E4 1692.829 114.672 116.316 7.879 33.161 2.246 14.762 .000 .000 .006 .026