Uploaded by Nada SRA

adoc.tips pengaruh-pemberian-yogurt-sinbiotik-berbasis-probi

advertisement
PENGARUH PEMBERIAN YOGURT SINBIOTIK BERBASIS PROBIOTIK
INDIGENUS TERHADAP PROFIL HISTOLOGI DAN KANDUNGAN
IMUNOGLOBULIN A (IgA) USUS HALUS TIKUS PERCOBAAN
SKRIPSI
WAHYU ANGGARINI
F24061606
FAKULTAS TEKNOLOGI PERTANIAN
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2011
EFFECT OF INDIGENOUS PROBIOTIC IN SYNBIOTIC YOGHURT TOWARD
HISTOLOGICAL PROFILE AND IMUNOGLOBULIN A (IgA) CONTENT IN
SMALL INTESTINE OF MICE
1
Wahyu Anggarini , Deddy Muchtadi1, Made Astawan1 and Tutik Wresdiyati2
1
Department of Food and Technology, Faculty of Agricultural Technology,
Bogor Agricultural University, IPB Darmaga Campus 16680
2
Department of Anatomy, Physiology and Pharmacology, Faculty of Veterinary Medicine,
Bogor Agricultural University, IPB Darmaga Campus 16680
Phone 62857 1885 0995, e-mail: wahyu.anggarini@gmail.com
ABSTRACT
Diarrhea caused by E. coli is one of gastrointestinal disturbance (gastroenteritis) that often
occur in Indonesia. Consuming probiotic and prebiotic product regularly could maintain the balance
of gastrointestinal microflora. This research aimed to observe indigenous probiotic (Lactobacillus
plantarum 2C12 and Lactobacillus fermentum 2B4) and prebiotic (fructooligosaccharide), which
applied in yoghurt formula, potential as antidiarrhea and immunomodulator. The parameter observed
was histological profile and Immunoglobulin A (IgA) content of small intestine.
The antibacterial activity of yoghurt formulas was measured by contact method for 2, 4 and 6
hours incubation. The antibacterial activities of all yoghurt formulas were not statistically different
(p>0.05) when incubated with Enteropathogenic E.coli K1.1 (EPEC K1.1). Organoleptic test showed
that yoghurt F3 had the most stable consistency due to the least whey added.
The next step of the research was a 21 day in vivo test on 4 group of Sprague dawley rats; the
negative control (basal ration), synbiotic yoghurt (F3), synbiotic yoghurt + EPEC K1.1, and the
positive control (EPEC K1.1). Antidiarrhea and immunomodulatory effect observed on rat's
duodenum by hematoxylin eosyn method and immunohistochemistry.
Synbiotic yoghurt group had the lowest duodenum's villi damage than the others treatment.
Synbiotic yoghurt and EPEC K1.1 group had lower duodenum's villi damage than positive control
group. Synbiotic yoghurt treatment could reduce duodenum’s villi damage caused pathogen bacteria.
Synbiotic yoghurt treatment on day 7th had an effect on duodenum's mucus thickness (P<0.01).
On day 14th, synbiotic yoghurt and EPEC K1.1 treatment had an effect on rat's duodenum mucus
thickness (P<0.01). Synbiotic yoghurt treatment on day 21st had an effect on rat's duodenum mucus
thickness (P<0.01). Synbiotic yoghurt treatment could maintain duodenum’s mucus thickness and had
a healing effect towards pathogenic bacterial attack such as EPEC K1.1.
IgA content on duodenum's mucus showed that synbiotic yoghurt treatment could enhance IgA
content on rat's duodenum mucus. Moreover, synbiotic yoghurt treatment could help immune system
to defend against pathogenic bacterial attack such as EPEC K1.1.
Keyword : synbiotic yoghurt, L. fermentum 2B4, EPEC K1.1, IgA, duodenum histological profile
WAHYU ANGGARINI. F24061606. Pengaruh Pemberian Yogurt Sinbiotik
Berbasis Probiotik Indigenus terhadap Profil Histologi dan Kandungan
Imunoglobulin A (Iga) Usus Halus Tikus Percobaan. Di bawah bimbingan
Deddy Muchtadi, Made Astawan dan Tutik Wresdiyati. 2011
RINGKASAN
Penelitian ini dilakukan untuk melihat potensi aktivitas antidiare dan imunomodulator beberapa
formula yogurt dengan penambahan bakteri asam laktat indigenus (Lactobacillus plantarum 2C12 dan
Lactobacillus fermentum 2B4) dan prebiotik (fruktooligosakarida) terhadap profil histologi dan
kandungan Imunoglobulin A (IgA) usus halus.
Penelitian ini diawali dengan uji antibakteri penyebab diare pada empat formula yogurt, yaitu
yogurt F1 (L.bulgaricus + S. thermophillus + FOS 5%), F2 (L. bulgaricus + S. thermophillus + L.
plantarum 2C12 + FOS 5%), F3 (L. bulgaricus + S. thermophillus + L. fermentum 2B4 + FOS 5%),
dan F4 (L. bulgaricus + S. thermophillus + L. plantarum 2C12 + L. fermentum 2B4 + FOS 5%).
Pengujian antibakteri ini menggunakan metode kontak, dimana formula yogurt dikontakkan dengan
Enteropatogenik E.coli K1.1 (EPEC K1.1) selama 2, 4 dan 6 jam. Analisis statistik menunjukkan
bahwa masing-masing formula yogurt tidak memberikan pengaruh nyata terhadap rata-rata log
kematian EPEC K1.1 pada setiap waktu kontak (P>0.05). Derajat keasaman (pH) pada seluruh
formula yogurt menunjukkan nilai pH yang tidak berbeda nyata (P>0.05). Dari segi organoleptik,
yogurt F3 memiliki tekstur paling baik dilihat dari whey yang paling sedikit.
Selanjutnya dilakukan pengujian secara in vivo menggunakan tikus Sprague Dawley umur 5-6
minggu sebanyak 70 ekor yang terdiri dari lima kelompok yaitu kontrol negatif (ransum basal), yogurt
sinbiotik (F3), yogurt sinbiotik + EPEC K1.1, yogurt prebiotik, dan kontrol positif (EPEC K1.1) yang
dilakukan selama 21 hari. Pemberian yogurt sinbiotik dan yogurt prebiotik dilakukan dengan
pencekokan sebanyak 109 cfu/ml selama 21 hari. Intervensi EPEC K1.1 dilakukan dengan pencekokan
sebanyak 107 cfu/ml pada minggu ke-2 selama 7 hari. Kelompok yang tidak mendapatkan perlakuan,
dicekok dengan air minum agar mendapatkan stres yang sama. Setiap terminasi, jaringan usus
duodenum diwarnai dengan menggunakan teknik hematoksilin eosin dan imunohistokimia.
Kenaikan berat badan tikus selama pemeliharaan selama 21 hari tidak berbeda nyata antar
kelompok (P>0.05). Konsumsi ransum tikus percobaan selama 21 hari tidak berbeda nyata antar
kelompok (P>0.05). Pemberian yogurt sinbiotik dan EPEC K1.1 berpengaruh nyata (P<0.05) terhadap
kadar air feses tikus percobaan. Kadar air feses kelompok tikus yogurt sinbiotik + EPEC K1.1 dan
kelompok tikus kontrol positif tidak berbeda nyata (P>0.05). Kadar air feses kelompok tikus yogurt
sinbiotik lebih rendah dibandingkan kelompok tikus kontrol positif. Kadar air feses kelompok tikus
prebiotik tidak berbeda nyata dengan kelompok tikus lainnya.
Pada hari ke-7, kelompok tikus yogurt sinbiotik memiliki kerusakan vili duodenum paling
rendah (1.22%) dibandingkan kelompok tikus lainnya. Kelompok tikus yogurt sinbiotik + EPEC K1.1
juga memiliki kerusakan vili duodenum yang rendah (2.49%) dibandingkan kelompok tikus kontrol
negatif (6.12%) dan kelompok tikus kontrol positif (5.51%). Hal ini menunjukkan bahwa pemberian
probiotik dapat mengurangi terjadinya kerusakan vili duodenum tikus percobaan. Hari ke-14, setelah
intervensi EPEC selama 7 hari menunjukkan kelompok tikus yogurt sinbiotik + EPEC K1.1 (13.62%)
memiliki kerusakan vili yang lebih rendah dibandingkan dengan kelompok tikus kontrol positif
(17.94%). Hal ini menunjukkan pemberian yogurt sinbiotik dapat mengurangi kerusakan vili
duodenum tikus percobaan akibat serangan EPEC K1.1. Hari ke-21 yaitu 7 hari setelah intervensi
EPEC dihentikan menunjukkan kelompok tikus yogurt sinbiotik memiliki kerusakan vili duodenum
paling rendah (1.61%) dibandingkan kelompok tikus lainnya. Kelompok tikus yogurt sinbiotik +
EPEC K1.1 yang lebih rendah (4.73%) dibandingkan kelompok tikus kontrol positif (21.96%). Hal ini
menunjukkan probiotik dalam yogurt sinbiotik mampu berkompetisi dengan bakteri patogen EPEC
K1.1 yang telah menempel pada vili usus duodenum tikus percobaan. Kerusakan vili duodenum pada
kelompok tikus yogurt prebiotik (3.57%) lebih tinggi dibandingkan kelompok tikus kontrol negatif
(3.04%). Hal ini menunjukkan prebiotik dalam yogurt prebiotik kurang mampu mencegah terjadinya
kerusakan vili duodenum tikus percobaan.
Pemberian yogurt sinbiotik selama 7 hari pertama memberikan pengaruh pada ketebalan
mukosa usus duodenum (P<0.01). Kelompok tikus yogurt sinbiotik memiliki ketebalan mukosa usus
duodenum yang paling besar dibandingkan kelompok tikus lainnya. Pada hari ke-14, pemberian
yogurt sinbiotik dan EPEC K1.1 memberikan pengaruh pada ketebalan mukosa usus duodenum tikus
percobaan (P<0.01). Kelompok tikus yogurt sinbiotik memiliki ketebalan mukosa usus duodenum
yang paling besar dibandingkan kelompok tikus lainnya. Kelompok tikus yogurt sinbiotik + EPEC
K1.1 memiliki ketebalan mukosa usus duodenum yang lebih besar dibandingkan dengan kelompok
tikus kontrol positif, dan tidak berbeda nyata dengan kelompok tikus kontrol negatif. Pemberian
yogurt sinbiotik pada hari ke-21 berpengaruh pada ketebalan mukosa usus duodenum tikus percobaan
(P<0.01). Kelompok tikus kontrol positif memiliki ketebalan mukosa usus duodenum paling kecil
dibandingkan kelompok lainnya. Ketebalan mukosa usus duodenum kelompok tikus yogurt sinbiotik
+ EPEC K1.1 tidak berbeda nyata dengan kelompok tikus yogurt sinbiotik, yogurt prebiotik dan
kelompok tikus kontrol negatif.
Kandungan Imunoglobulin A (IgA) pada mukosa duodenum secara kualitatif ditunjukkan
dengan adanya warna coklat pada mukosa usus. Semakin pekat warna coklat maka kandungan IgA
semakin banyak. Berdasarkan penilaian secara deskriptif, kandungan IgA mukosa duodenum
kelompok tikus yogurt sinbiotik dan kelompok tikus yogurt sinbiotik + EPEC K1.1 lebih banyak
dibandingkan kelompok tikus kontrol negatif dan kelompok tikus kontrol positif pada hari ke-7. Pada
hari ke-14, kandungan IgA mukosa duodenum kelompok tikus yogurt sinbiotik sama dengan
kelompok tikus kontrol negatif. Kelompok tikus yogurt sinbiotik + EPEC K1.1 memiliki kandungan
IgA mukosa duodenum paling banyak dibandingkan kelompok tikus lainnya dan kelompok tikus
kontrol positif memiliki kandungan IgA mukosa duodenum paling sedikit. Berdasarkan penilaian
deskriptif pada hari ke-21, kandungan IgA mukosa duodenum kelompok tikus yogurt sinbiotik sama
dengan kelompok tikus yogurt prebiotik dan kelompok tikus kontrol negatif. Kandungan IgA mukosa
duodenum kelompok tikus yogurt sinbiotik + EPEC K1.1 lebih banyak dibandingkan dengan kontrol
positif.
PENGARUH PEMBERIAN YOGURT SINBIOTIK BERBASIS PROBIOTIK
INDIGENUS TERHADAP PROFIL HISTOLOGI DAN KANDUNGAN
IMUNOGLOBULIN A (IgA) USUS HALUS TIKUS PERCOBAAN
SKRIPSI
Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar
SARJANA TEKNOLOGI PERTANIAN
pada Departemen Ilmu dan Teknologi Pangan,
Fakultas Teknologi Pertanian
Institut Pertanian Bogor
Oleh
WAHYU ANGGARINI
F24061606
FAKULTAS TEKNOLOGI PERTANIAN
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2011
Judul Skripsi
: Pengaruh Pemberian Yogurt Sinbiotik Berbasis Probiotik
Indigenus terhadap Profil Histologi dan Kandungan
Imunoglobulin A (IgA) Usus Halus Tikus Percobaan
Nama
: Wahyu Anggarini
NIM
: F24061606
Menyetujui,
Pembimbing I,
Pembimbing II,
(Prof. Dr. Ir. Deddy Muchtadi, MS)
NIP 19460711.197603.1.001
(Prof. Dr. Ir. Made Astawan, MS)
NIP 19620202.198703.1.004
Pembimbing III,
(Drh. Tutik Wresdiyati, Ph.D)
NIP 19640909.199002.2.001
Mengetahui :
Ketua Departemen Ilmu dan Teknologi Pangan
(Dr. Ir. Dahrul Syah)
NIP 19650814.199002.1.001
Tanggal ujian akhir :
PERNYATAAN MENGENAI SKRIPSI DAN
SUMBER INFORMASI
Saya menyatakan dengan sebenar – benarnya bahwa skripsi dengan judul
Pengaruh Pemberian Yogurt Sinbiotik Berbasis Probiotik Indigenus terhadap
Profil Histologi dan Kandungan Imunoglobulin A (IgA) Usus Halus Tikus
Percobaan adalah hasil karya saya sendiri dengan arahan Dosen Pembimbing
Akademik, dan belum diajukan dalam bentuk apapun pada perguruan tinggi
manapun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan
maupun yang tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan
dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir skripsi ini.
Bogor, Maret 2011
Yang membuat pernyataan
Wahyu Anggarini
F24061606
© Hak cipta milik Wahyu Anggarini, tahun 2011
Hak cipta dilindungi
Dilarang mengutip dan memperbanyak tanpa izin tertulis dari
Institut Pertanian Bogor, sebagian atau seluruhnya dalam bentuk apapun, baik
cetak, fotokopi, mikrofilm, dan sebagainya
BIODATA PENULIS
Wahyu Anggarini. Lahir di Purwodadi pada tanggal 24 Juni 1988 sebagai
anak ketiga dari pasangan Sutrisno dan Sitti Suprihatin. Penulis menempuh
pendidikan dasarnya di SD Negeri 2 Kuripan, Purwodadi hingga lulus pada
tahun 2000. Penulis melanjutkan pendidikannya di SMP Negeri 1 Purwodadi
hingga lulus pada tahun 2003. Pendidikan menengah atas penulis ditempuh di
SMA Al Islam 1 Surakarta hingga lulus pada tahun 2006. Penulis memasuki
perguruan tinggi di Departemen Ilmu dan Teknologi Pangan, Fakultas
Teknologi Pertanian, Institut Pertanian Bogor melalui Undangan Seleksi
Masuk IPB (USMI) pada tahun 2006. Selama menempuh pendidikan di IPB,
penulis terlibat dalam organisasi himpunan mahasiswa Ilmu dan Teknologi
Pangan (HIMITEPA) selama 2 periode. Selain itu, penulis juga tergabung dalam klub pecinta Jepang
“Onigiri Japan Club”. Bersama dengan tim PKMM Talas Bogor, penulis mewakili IPB mengikuti
Pekan Ilmiah Mahasiswa Nasional (PIMNAS) XXII di Malang, Jawa Timur. Sebagai tugas akhir,
penulis melakukan penelitian “Pengaruh Pemberian Yogurt Sinbiotik Berbasis Probiotik Indigenus
terhadap Profil Histologi dan Kandungan Imunoglobulin A (IgA) Usus Halus Tikus Percobaan” di
bawah bimbingan Prof.Dr.Ir. Deddy Muchtadi, MS, Prof.Dr.Ir. Made Astawan, MS dan Drh. Tutik
Wresdiyati, Ph.D.
KATA PENGANTAR
Penulis mengucapkan syukur kehadirat Allah SWT atas rahmat dan karunia-Nya sehingga
penulis dapat menyelesaikan penelitian yang berjudul “Pengaruh Pemberian Yogurt Sinbiotik
Berbasis Probiotik Indigenus terhadap Profil Histologi dan Kandungan Imunoglobulin A (IgA) Usus
Halus Tikus Percobaan”. Penelitian ini merupakan bagian dari proyek “Aplikasi Isolat Indigenus
Bakteri Probiotik sebagai Imunomodulator dalam Pengembangan Yogurt Sinbiotik Antidiare”.
Penelitian ini dilaksanakan di Laboratorium Ilmu dan Teknologi Pangan dan Laboratorium Histologi
Fakultas Kedokteran Hewan, Institut Pertanian Bogor sejak bulan Maret sampai Desember 2010.
Pada kesempatan ini penulis ingin menyampaikan rasa terima kasih dan penghargaan yang
sebesar-besarnya kepada:
1. Prof.Dr.Ir. Deddy Muchtadi, MS selaku dosen pembimbing pertama atas segala bimbingan,
nasihat dan kesabaran yang diberikan kepada penulis selama menjadi mahasiswa Departemen
Ilmu dan Teknologi Pangan
2. Prof. Dr. Ir. Made Astawan, MS selaku dosen pembimbing penelitian atas bimbingan dan saran
selama penelitian dan penyusunan skripsi
3. Drh.Tutik Wresdiyati, Ph.D, selaku dosen pembimbing penelitian atas segala pengetahuan dan
pengalaman hidup yang sangat bermanfaat bagi penulis, serta bimbingan dan saran selama
penelitian dan penyusunan skripsi
4. Direktorat Penelitian dan Pengabdian kepada Masyarakat, Direktorat Jenderal Pendidikan
Tinggi, Kementrian Pendidikan Nasional RI yang telah memberikan dana penelitian melalui
Hibah Kompetensi, Nomor Kontrak : 409/SP2 H/DP2M/VI/2010 atas nama Prof. Dr. Ir. Made
Astawan, MS
5. Keluarga tercinta, Bapak Sutrisno, Ibu Sitti Suprihatin, Kakakku Indria PS dan Kartika DN,
Kakak Iparku Aris P dan Agus J, serta keponakan tersayang Abyan atas segala kasih sayangnya
6. Seluruh dosen Departemen Ilmu dan Teknologi Pangan, terutama Ibu Suliantari, atas segala ilmu
yang sangat bermanfaat, saran dan nasihat selama penelitian.
7. Seluruh teman-teman ITP seperjuangan di angkatan 43, terutama Rima, Nisa, Dedes, Wina, Ochi
dan Dewi atas keceriaan mengisi hari-hari penulis
8. Rijali Aroni, atas keceriaan dan kesediaannya sebagai tempat berkeluh kesah penulis
9. Seluruh teman yang tergabung dalam tim yogurt, Sandra, Septi, Yeni dan Roni, serta Eri dan
Febi atas segala bantuannya dan motivasinya
10. Teman satu Laboratorium Histologi, Fenny, Ila, Yeni dan Wulan atas segala bantuan,
pengalaman dan pengetahuan yang sangat bermanfaat bagi penulis
11. Seluruh teman di Kost Windy, mbak Becky, mbak Femi, Indah, Ikan, Dhia, Dewi, Uci, Pita, dan
lainnya atas keceriaannya
12. Senpai dan Kohei di Onigiri Japan Club sebagai keluarga kedua penulis
13. Para laboran terutama Pak Iwan (FKH), Pak Adi, Pak Ganda, Mbak Ari, Mas Aldi atas segala
bantuannya selama penelitian dan semua pihak yang tidak dapat penulis sebutkan satu persatu.
Akhirnya penulis berharap semoga tulisan ini bermanfaat dan memberikan kontribusi yang nyata
terhadap perkembangan ilmu pengetahuan di bidang teknologi pangan.
Bogor, Maret 2011
Wahyu Anggarini
DAFTAR ISI
Halaman
KATA PENGANTAR …………………………………………………..……………....
vii
DAFTAR TABEL ……………………………………………………….……………...
x
DAFTAR GAMBAR ……………………………………………………………………
xi
DAFTAR LAMPIRAN …………………………………………………………………
xii
I.
PENDAHULUAN ……………………………………………………………
LATAR BELAKANG …………………………………………...……………
TUJUAN ………………………………………………………………………
1
1
2
II.
2.1.
2.2.
2.3.
2.4.
2.5.
2.6.
2.7.
TINJAUAN PUSTAKA ………………………………………...…………….
MIKROBIOTA DALAM SALURAN PENCERNAAN ………...…………….
BAKTERI ASAM LAKTAT SEBAGAI PROBIOTIK ……………………….
PROBIOTIK SEBAGAI IMUNOMODULATOR …………........…………….
PREBIOTIK ………………………………………………….......…………….
YOGURT SINBIOTIK …………………………………………..……………
DIARE ………………………………...........................................…………….
ENTEROPHATOGENIC Escherichia coli K1.1 ……..................……………...
3
3
4
7
9
11
15
16
2.8.
USUS HALUS …………………...................................................…………….
18
III.
3.1.
3.2.
BAHAN DAN METODE ……………………………………….…………….
BAHAN DAN ALAT …………………..……………………….…………….
METODE PENELITIAN ………………………………………...…………….
20
20
21
IV.
4.1.
4.2.
4.3.
HASIL DAN PEMBAHASAN ………………………………....…………….
YOGURT SINBIOTIK SEBAGAI ANTIBAKTERI PENYEBAB DIARE .....
PENGUKURAN BOBOT BADAN DAN KONSUMSI RANSUM …………..
PENAMPAKAN DAN KADAR AIR FESES TIKUS PERCOBAAN ………
30
30
32
33
4.4.
HISTOLOGI USUS DUODENUM TIKUS PERCOBAAN .........…………….
36
4.5.
KANDUNGAN IMUNOGLOBULIN A (IgA) PADA MUKOSA
DUODENUM ………………………….………………………..……………..
SIMPULAN DAN SARAN ………………………………..........…………….
SIMPULAN ………………………………………………….......…………….
SARAN …………………………………………………………..…………….
41
46
46
46
DAFTAR PUSTAKA …………………………………………………...……………...
47
LAMPIRAN ……………………………………………………………..……………...
55
1.1.
1.2.
V.
5.1.
5.2.
DAFTAR TABEL
Halaman
Tabel 1.
Morfologi isolat indigenus bakteri asam laktat ………....................……………
6
Tabel 2.
Hasil fermentasi terhadap beberapa jenis gula sederhana................……………
6
Tabel 3.
Sifat dasar probiotik isolat indigenus bakteri asam laktat................. …………
7
Tabel 4.
Syarat mutu yogurt menurut SNI (SNI 2981, 2009).......................…………….
12
Tabel 5.
Probiotik yang dapat digunakan dalam produk olahan susu............……………
14
Tabel 6.
Komposisi campuran ransum basal.......................................................…………
24
Tabel 7.
Kelompok tikus percobaan berdasarkan perlakuan yang diberikan. ……………
24
Tabel 8.
Kriteria penilaian deskriptif kandungan IgA......................................…………...
28
Tabel 9.
Aktivitas antibakteri terhadap EPEC pada keempat formula yogurt .................
30
Tabel 10.
Nilai pH dari masing-masing formula yogurt..................................………….....
30
Tabel 11.
Presentase kerusakan vili duodenum tikus percobaan..........................................
36
Tabel 12.
Ketebalan mukosa duodenum tikus percobaan.....................................................
40
Tabel 13.
Kandungan IgA pada mukosa duodenum tikus percobaan...................................
42
DAFTAR GAMBAR
Halaman
Gambar 1.
Peran probiotik dalam saluran pencernaan manusia....................………….....
8
Gambar 2.
Konsep probiotik dan prebiotik........................................................................
13
Gambar 3.
Infeksi EPEC pada epitel usus inang................................................................
16
Gambar 4.
Fase patogenesis EPEC ...................................................................................
17
Gambar 5.
Histologi usus halus yang menunjukkan vili dan lapisan mukosa ................
19
Gambar 6.
Diagram alir penelitian.....................................................................................
21
Gambar 7.
Bagan perlakuan tikus percobaan.....................................................................
25
Gambar 8.
Prinsip teknik pewarnaan imunohistokimia.....................................................
27
Gambar 9.
Gambar 10.
Penampakan yogurt F1, F2, F3 dan F4 segera setelah diinkubasi selama 24
jam pada suhu 37o-43 oC .................................................................................
Pertambahan berat badan tikus percobaan selama 21 hari............................
Gambar 11.
Rata-rata konsumsi ransum basal tikus percobaan...........................................
32
Gambar 12.
Penampakan feses tikus percobaan...................................................................
33
Gambar 13.
Penampakan anus tikus percobaan...................................................................
34
Gambar 14.
Kadar air feses tikus percobaan........................................................................
35
Gambar 15.
Fotomikrograf usus duodenum tikus percobaan terminasi hari ke-7 dengan
pewarnaan hematoksilin eosin..........................................................................
Fotomikrograf usus duodenum tikus percobaan terminasi hari ke-14 dengan
pewarnaan hematoksilin eosin..........................................................................
Fotomikrograf usus duodenum tikus percobaan terminasi hari ke-21 dengan
pewarnaan hematoksilin eosin..........................................................................
Fotomikrograf usus duodenum tikus percobaan terminasi hari ke-7 yang
diwarnai secara imunohistokimia terhadap Imunoglobulin A (IgA) ..............
Fotomikrograf usus duodenum tikus percobaan terminasi hari ke-14 yang
diwarnai secara imunohistokimia terhadap Imunoglobulin A (IgA) ...............
Fotomikrograf usus duodenum tikus percobaan terminasi hari ke-21 yang
diwarnai secara imunohistokimia terhadap Imunoglobulin A (IgA) ...............
Gambar 16.
Gambar 17.
Gambar 18.
Gambar 19.
Gambar 20
31
32
37
37
38
43
44
45
DAFTAR LAMPIRAN
Halaman
Lampiran 1.
Data proksimat kasein (Alacid acid casein) yang digunakan ..................
56
Lampiran 2.
Perhitungan komposisi ransum basal .......................................................
57
Lampiran 3.
Data nilai log kematian EPEC K1.1 metode kontak 2, 4 dan 6 jam .......
58
Lampiran 4.
Lampiran 5.
Uji statistik ANOVA aktivitas antimikroba yogurt selama 2, 4 dan 6
jam ...........................................................................................................
Uji statistik ANOVA rata-rata aktivitas antimikroba yogurt....................
Lampiran 6.
Nilai pH formula yogurt ..........................................................................
61
Lampiran 7.
Analisis statistik (ANOVA) nilai pH formula yogurt ..............................
62
Lampiran 8.
Rata-rata pertambahan berat badan tikus percobaan ...............................
63
Lampiran 9.
Lampiran 10.
Analisis statistika (ANOVA) pertambahan berat badan tikus
percobaan .................................................................................................
Konsumsi ransum basal tikus percobaan per hari.....................................
65
Lampiran 11.
Analisis statistika (ANOVA) rata-rata konsumsi ransum per hari ..........
66
Lampiran 12.
Data kadar air sampel feses tikus percobaan............................................
67
Lampiran 13.
Analisis statistik (ANOVA) kadar air feses tikus percobaan...................
68
Lampiran 14.
Data kerusakan vili duodenum tikus percobaan.......................................
69
Lampiran 15.
Data ketebalan mukosa duodenum tikus percobaan..............................
70
Lampiran 16.
Analisis statistika ketebalan mukosa (ANOVA) pada hari ke-7 .............
71
Lampiran 17.
Analisis statistika ketebalan mukosa (ANOVA) pada hari ke-14 ...........
72
Lampiran 18.
Analisis statistika ketebalan mukosa (ANOVA) pada hari ke-21 ...........
73
59
60
64
I. PENDAHULUAN
1.1. LATAR BELAKANG
Saluran pencernaan manusia merupakan sebuah ekosistem yang sangat spesial, yang
berkembang dari waktu ke waktu, baik secara fisiologis maupun mikrobiologis. Hal ini sebagai akibat
dari pengaruh inang dan lingkungan. Saluran pencernaan merupakan organ yang aktif secara
metabolis karena selalu terekspos oleh berbagai macam zat selama proses mencerna makanan
(Tamime 2005).
Saluran pencernaan berada dalam keadaan steril sampai bayi dilahirkan. Koloni mikrobiota
pada bayi pertama kali berasal dari vagina maupun saluran pencernaan ibunya. Makanan yang masuk
ke saluran pencernaan sangat menentukan keadaan saluran pencernaan. Kontaminan yang masuk
bersama makanan melalui saluran pencernaan dapat merugikan saluran pencernaan. Saluran
pencernaan merupakan organ vital yang rentan terhadap gangguan. Salah satu gangguan saluran
pencernaan (gastroenteritis) yang sering terjadi di Indonesia adalah diare. Pada tahun 2006, penyakit
ini menempati urutan ketiga penyebab kematian di Indonesia (Departemen Kesehatan 2008). Bakteri
penyebab infeksi gastroenteritis yang utama adalah famili Enterobactericeae yang meliputi coliform,
khususnya Escherichia coli, Salmonella, Shigella, dan Yersinia.
Kondisi dan fungsi saluran pencernaan yang sehat sangat penting bagi kehidupan manusia.
Sistem pertahanan tubuh sepanjang saluran pencernaan sangat penting untuk melawan segala macam
bahaya yang mengiringi masuknya makanan ke dalam tubuh. Ekologi flora saluran pencernaan yang
normal sangat penting sebagai pertahanan terhadap koloni patogen dari luar tubuh (Forchielli dan
Walzer 2005). Salah satu cara untuk menjaga keseimbangan mikroflora saluran pencernaan adalah
dengan mengonsumsi produk probiotik dan prebiotik secara teratur. Probiotik merupakan
mikroorganisme hidup yang dapat memberikan efek yang menguntungkan pada saluran pencernaan
inang (Parassol et al. 2005), memelihara keseimbangan mikroflora dalam usus, mengatur sistem imun,
menurunkan tingkat kolesterol dalam darah, meningkatkan toleransi terhadap laktosa, dan
menghasilkan metabolit esensial yang dapat memelihara kesehatan usus (Teitelbaum dan Walker
2002).
Bakteri probiotik terbukti efektif dapat mengontrol pertumbuhan mikroorganisme yang
berpotensi patogen dan dapat menyebabkan diare. Berbagai penelitian menunjukan potensi isolat
bakteri asam laktat (BAL) untuk mengurangi kejadian diare, baik yang disebabkan oleh infeksi bakteri
patogen, virus maupun diare yang berkaitan dengan konsumsi antibiotik (Heyman dan Menard 2002).
BAL yang diisolasi dari daging sapi di beberapa pasar tradisional wilayah Bogor diketahui memiliki
sifat sebagai probiotik (Arief et al. 2008).
Lactobaccilus delbruecki subsp. bulgaricus dan Streptococcus thermophilus merupakan BAL
yang biasa ditemukan dalam produk yogurt komersial, ternyata belum cukup untuk menjaga saluran
pencernaan. Oleh karena itu, ke dalam yogurt perlu ditambahkan bakteri probiotik yang mampu
bertahan dalam saluran pencernaan manusia. Bakteri tersebut dapat hidup di saluran pencernaan
manusia, berkembang biak dan berkompetisi dengan bakteri patogen untuk mendapatkan substrat
fermentasi.
Konsumsi probiotik akan lebih maksimal dalam menjaga keseimbangan mikroflora dalam
saluran pencernaan jika diiringi dengan konsumsi prebiotik. Prebiotik adalah suatu bahan pangan yang
tidak dapat dicerna di sepanjang jalur pencernaan manusia, namun bermanfaat menunjang
pertumbuhan atau aktivitas bakteri baik di usus, termasuk probiotik (Angus et al. 2005 diacu dalam
Tamime 2005).
Penelitian ini bertujuan untuk melihat potensi aktivitas antidiare dan imunomodulator beberapa
formula yogurt dengan penambahan BAL indigenus (Lactobacillus plantarum 2C12 dan
Lactobacillus fermentum 2B4) dan prebiotik (fruktooligosakarida) dilihat pada parameter profil
histologi dan kandungan Imunoglobulin A (IgA) pada usus halus.
1.2. TUJUAN
Tujuan umum penelitian ini adalah mengaplikasikan dua jenis BAL probiotik indigenus yang
diisolasi dari daging sapi di beberapa pasar tradisional wilayah Bogor, yaitu Lactobacillus plantarum
2C12 dan Lactobacillus fermentum 2B4, dalam pembuatan yogurt sinbiotik fungsional yang memiliki
sifat sebagai antidiare dan imunomodulator.
Tujuan khusus penelitian ini adalah :
1. Mengetahui profil histologi pada usus halus, yaitu kerusakan vili dan ketebalan mukosa.
2. Mendeteksi kandungan Imunoglobulin A (IgA) usus halus dengan teknik pewarnaan
imunohistokimia.
II. TINJAUAN PUSTAKA
2.1. MIKROBIOTA DALAM SALURAN PENCERNAAN
Saluran pencernaan dimulai dari rongga mulut yang terdiri atas mulut, hidung, dan
kerongkongan. Saluran pencernaan selanjutnya adalah lambung, usus kecil, usus besar dan berakhir di
anus. Pada setiap bagian saluran pencernaan terdapat bakteri yang berbeda–beda. Terdapat perbedaan
yang besar pada jumlah dan jenis populasi bakteri yang terdapat pada lambung, usus kecil, dan usus
besar. Perbedaan ini terjadi karena adanya perbedaan waktu transit, sekresi, dan kesediaan nutrisi
(Lambert dan Hull 1996; Guilliams 1999 diacu dalam Tamime 2005).
Usus merupakan sebuah ekosistem kompleks yang terdiri atas tiga komponen yang saling
berhubungan yaitu sel inang, nutrisi, dan mikrobiota. Fungsi usus antara lain untuk proses pencernaan
makanan, penyerapan zat gizi, dan pertahanan terhadap serangan dari luar. Komponen pertahanan
usus terdiri dari atas tiga jenis yaitu mikrobiota, pertahananan mukosa, dan sistem imun internal
(Bourlioux et al. 2002).
Usus halus merupakan habitat dari enterococci, enterobacteria, lactobacilli, bacteroides, dan
clostridia. Jumlah mikroba meningkat dari 104-106 cfu/ml pada usus halus menjadi 1011-1012 cfu/ml
pada usus besar (Salminen et al. 1998 diacu dalam Tamime 2005). Diperkirakan 95% dari semua sel
hidup dalam tubuh manusia adalah bakteri usus besar (Gibson et al 2004). Sedangkan jumlah bakteri
akhir di dalam feses didominasi oleh Bacteroides spp sebanyak 109 cfu/ml (Salminen et al. 2004).
Sebelum dilahirkan, saluran pencernaan bayi masih dalam keadaan steril. Pada saat bayi
dikeluarkan melalui vagina, kolonisasi mikrobiotia natural pada bayi pertama kali berasal dari vagina
maupun saluran pencernaan ibunya. Dalam perkembangannya, asupan makanan bayi berperan penting
terhadap mikrobiota saluran pencernaannya. Selama masa menyusui, komposisi mikrobiota saluran
pencernaan berkembang dalam jangka waktu yang singkat, dan didominasi oleh Bifidobacteria
(Boehm dan Moro 2008).
Flora vagina dan saluran pencernaan ibu merupakan sumber bakteri bagi bayi yang akan
berkolonisasi dalam saluran usus bayi yang didominasi oleh strain anaerob fakultatif seperti
enterobacteria, koliform dan Lactobacillus. Setelah tidak menyusu, komposisi mikroflora secara
berangsur-angsur berubah menyerupai mikroflora dewasa. Diperkirakan terdapat 500 spesies mikroba
yang berbeda pada saluran pencernaan, akan tetapi dari segi jumlahnya, saluran pencernaan
didominasi oleh 20 jenis mikroba. Mikrobiota tersebut antara lain Bacteroides, Lactobacillus,
Clostridium, Fusobacterium, Bifidobacterium, Eubacterium, Peptococcus, Peptostreptococcus,
Escherichia, dan Veillonella termasuk bakteri yang dapat memberikan efek menguntungkan yaitu
Bifidobacteria and Lactobacilli (Harish dan Varghese 2006).
Lactobacillus dan Bifidobacterium merupakan bakteri penghuni normal ekosistem kompleks
saluran pencernaan. Lactobacillus memiliki kemampuan untuk menempel pada sel inang, untuk
mengeluarkan atau mengurangi bakteri patogen, dan menghasilkan asam, hidrogen peroksida, dan
bakteriosin yang mampu menghambat pertumbuhan bakteri patogen. Keberadaan Lactobacillus dalam
saluran pencernaan berpotensi memberikan efek kesehatan bagi inang seperti mencegah terjadinya
infeksi saluran pencernaan dan meningkatkan respon imun (Sharma et al. 2005).
Profil saluran pencernaan pada manusia dewasa memperlihatkan terjadinya perkembangan
populasi mikroba yang dapat mengatasi tekanan psikologis dan mikrobiologis. Kondisi yang stabil
memberikan ketahanan bagi inang, atau yang sering disebut dengan barrier effect, kemampuan
melawan invasi mikroba, baik yang patogen maupun yang tidak berbahaya. Mikrobiota dalam saluran
pencernaan harus mampu beradaptasi untuk berkompetisi mendapatkan nutrisi dan tempat dengan
mikroba pendatang, yang mungkin dapat menghambat dengan menghasilkan komponen penghambat
(Alderbeth et al. 2000).
Keberadaan mikroorganisme dalam saluran pencernaan ditentukan oleh interaksi dengan
lingkungan sekitarnya dan pengaruh dari sekitarnya yang mampu mendukung mikroorganisme
tersebut melawan kompetitornya. Hal ini dapat dicapai setelah melalui mekanisme yang sangat
banyak, seperti meningkatnya suasana anaerobik atau melalui komponen yang mengganggu,
contohnya asam dan substansi antimikroba. Komponen-komponen tersebut memberikan efek
menguntungkan bagi inang (Fooks dan Gibson 2002).
Fungsi utama dari mikrobiota usus yaitu aktivitas metabolik yang menyebabkan penyimpanan
energi dan nutrisi, efek nutrisi terhadap epitel usus, dan perlindungan terhadap serangan bakteri yang
merugikan (Harish dan Varghese 2006). Fungsi penting lainnya dari mikrobiota dalam saluran
pencernaan adalah produksi vitamin B dan K, yang dibuktikan dalam studi dimana hewan percobaan
yang disuplementasi dengan vitamin B dan K untuk memenuhi kebutuhannya setara dengan hewan
percobaan dengan mikrobiota (Hooper et al. 2002).
Mikroflora saluran pencernaan merupakan bagian penting dalam dinding pertahanan saluran
usus. Komposisi awal dari mikroflora saluran pencernaan yang berkembang merupakan faktor
penentu perkembangan fungsi pertahanan saluran pencernaan normal. Penyimpangan spesifik pada
mikroflora dalam saluran pencernaan dapat menyebabkan penyakit pada inang. Mekanisme
pertahanan mukosa saluran usus yaitu peran lumen dan mukosa yang membatasi kolonisasi bakteri
patogen pada permukaan mukosa. Mikrobiota saluran pencernaan normal dapat mencegah
pertumbuhan yang berlebihan dari bakteri patogen dalam saluran pencernaan (Harish dan Varghese
2006).
2.2. BAKTERI ASAM LAKTAT SEBAGAI PROBIOTIK
Probiotik didefinisikan sebagai sediaan sel mikroba hidup yang memiliki pengaruh
menguntungkan terhadap kesehatan dan kehidupan inangnya (Schmid et al. 2006). Efek positif dari
aktivitas probiotik terbagi menjadi tiga aspek yaitu nutrisi, fisiologi, dan antimikroba. Aspek nutrisi
berasal dari penyediaan enzim yang membantu metabolisme penyerapan laktosa (laktase), sintesis
beberapa jenis vitamin (vitamin K, asam folat, piridoksin, asam pantotenat, biotin, dan riboflavin), dan
dapat menghilangkan racun hasil metabolit komponen makanan di usus (Naidu dan Clemens 2000).
Aspek fisiologis meliputi kemampuan untuk menjaga keseimbangan komposisi mikrobiota usus
sehingga menekan resiko infeksi penyakit dan menstimulasi sistem kekebalan tubuh. Aspek
kemampuan antimikroba dinyatakan melalui kemampuan memperbaiki ketahanan terhadap patogen
(Naidu dan Clemens 2000). Probiotik dapat meningkatkan pertahanan usus terhadap patogen karena
probiotik berperan sebagai adjuvant sistem imun dan memperkuat lapisan mukosa (Walker 2008).
Mekanisme probiotik dalam memberikan efek positif pada saluran pencernaan memang kurang
dimengerti. Akan tetapi secara garis besar, menurut Sartor (2004), mekanismenya antara lain : (1)
adherence/ menempel dan membentuk koloni di dalam saluran pencernaan, (2) menekan pertumbuhan
atau mengikat/ menyerang bakteri patogen
dan memproduksi substansi antimikroba, (3)
meningkatkan fungsi pertahanan saluran pencernaan, (4) mengontrol transfer antigen, dan (5)
menstimulasi sistem imun mukosa dan sistemik pada inang.
FAO/WHO (2001) menyatakan probiotik adalah mikroorganisme hidup yang masuk dalam
jumlah yang cukup sehingga dapat memberikan manfaat kesehatan bagi inang. Jumlah yang cukup
menurut FAO/WHO adalah 106-108 cfu/g dan diharapkan dapat berkembang menjadi 1012 cfu/g di
dalam kolon. International Dairy Federation (IDF) memberikan standar acuan untuk minuman
probiotik hidup sebanyak 106 cfu/ml pada produk akhir (Indratingsih et al. 2004).
Produk probiotik dapat diklaim memberi keuntungan kesehatan harus mengandung bakteri
probiotik dengan konsentrasi minimal 106 cfu/ml atau gram, sebagai dosis minimum terapi per harinya
disarankan mengonsumsi 108-109 cfu/ml (Shah 2000). Akan tetapi, beberapa studi menunjukkan
viabilitas probiotik yang berbeda-beda dalam fermentasi susu, khususnya yogurt (La Torre et al.
2003). Beberapa faktor diklaim mempengaruhi viabilitas kultur probiotik dalam fermentasi susu,
seperti pH produk akhir, kesediaan nutrisi, oksigen terlarut dan penyerapan oksigen melalui kemasan
produk (Tamime 2005).
Jenis bakteri yang banyak digunakan sebagai probiotik adalah bakteri asam laktat (BAL), seperti
dari genus Lactobacillus dan Bifidobacteria (Winarno 2003). Menurut Salminen et al. (2004),
beberapa syarat yang harus dipenuhi oleh BAL yang berfungsi sebagai mikroba probiotik antara lain:
1) Probiotik harus non patogenik yang mewakili mikrobiota normal usus dari inang tertentu, dan
masih aktif pada kondisi asam lambung serta konsentrasi garam empedu yang tinggi dalam
usus
2) Probiotik yang baik mampu tumbuh dengan cepat dalam jumlah yang tinggi pada usus
3) Probiotik yang ideal dapat mendiami beberapa bagian dari saluran usus untuk sementara
4) Probiotik dapat memproduksi asam-asam organik secara efisien dan memiliki sifat
antimikroba terhadap bakteri merugikan
5) Mudah diproduksi, mampu tumbuh dalam sistem produksi skala besar dan hidup selama
kondisi penyimpanan.
Ketahanan terhadap asam lambung merupakan syarat penting suatu organisme untuk dapat
menjadi probiotik karena pH asam lambung sekitar 2 (Almatsier 2005). Pada BAL terjadi perubahan
yang dinamis pada pH intraseluler seiring dengan terjadinya penurunan pH ekstraseluler sehingga
tidak terjadi gradien proton yang besar. Gradien proton yang besar dapat menyebabkan akumulasi
anion, asam organik dalam sitosol yang bersifat toksik bagi sel tersebut. Selain itu gradien proton
membutuhkan energi yang besar untuk translokasi proton sehingga sangat merugikan (Siegumfeldt et
al. 2000).
BAL yang telah melewati dua barrier yaitu asam lambung dan empedu akan menuju ke usus.
Bakteri tersebut berkembang pada saat menuju ke jejunum dan akhirnya sampai ke kolon. Waktu
transit yang lama memungkinkan bakteri untuk berkembang. Selain itu terdapat nutrisi sisa-sisa
makanan yang tidak diserap, material dari inang (mukus dan sel mati), dan metabolit bakteri yang
dapat digunakan sebagai sumber makanan (Bourlioux et al. 2002).
Selain ketahanannya dalam saluran pencernaan, aktivitas antimikroba terhadap berbagai bakteri
patogen juga merupakan syarat yang penting bagi suatu organisme untuk menjadi probiotik. Bakteri
seperti Bifidobacteria spp. dan Lactobacillus spp. memiliki aktivitas penghambatan terhadap bakteri
pathogen Listeria monocytogenes, Escherichia coli, Salmonella spp. (Jenie 2003).
Probiotik dianggap sukses bila mampu berkolonisasi pada saluran usus, paling tidak untuk
sementara, dengan cara menempel pada mukosa usus. Dengan penempelan itu, probiotik juga mampu
mencegah penempelan bakteri patogen seperti bakteri koliform dan Clostridia, dan mampu
menstimulasi penghilangan patogen tersebut dari jalur infeksi saluran pencernaan (Lee et al. 2000).
Arief et al. (2008) menyatakan BAL golongan Lactobacillus, Lactococcus, dan Streptococcus
dari daging sapi bangsa Peranakan Ongol yang dijual di berbagai pasar tradisional daerah Bogor
mampu bertahan pada kondisi saluran pencernaan seperti pH saluran pencernaan dan garam empedu,
serta memiliki aktivitas antimikroba terhadap bakteri patogen. Kemampuan bakterisidal terhadap
bakteri patogen ini disebabkan bakteri ini mampu menghasilkan senyawa bioaktif asam laktat, asam
asetat, dan senyawa bakteriosin. Sifat dasar kesepuluh bakteri asam laktat yang diisolasi dari daging
sapi tersebut dan kemampuannya sebagai probiotik dinyatakan pada Tabel 1, 2 dan 3.
Tabel 1. Morfologi isolat indigenus bakteri asam laktat
No
Bentuk
Kode
Pertumbuhan
Pertumbuhan
Menghasilkan
Menghasilkan
di suhu
di NaCl 6,5%
NH3 dari
gas dari glukosa
isolat
o
15 C
o
arginin
45 C
1
1A5
Batang
+
+
+
-
-
2
1A32
Kokus
+
+
+
+
-
3
1B1
Batang
+
+
+
-
+
4
2B1
Kokus
+
+
+
-
-
5
2B2
Batang
+
+
+
+
-
6
2B4
Batang
+
+
+
-
+
7
1C4
Batang
+
+
+
+
-
8
2C2
Batang
+
+
+
-
-
9
2C12
Kokus
+
+
+
+
-
10
2D1
Batang
+
+
+
-
-
Sumber : Arief et al. (2005)
Tabel 2. Hasil fermentasi terhadap beberapa jenis gula sederhana
No
Kemampuan menfermentasi gula
Kode
Identifikasi
isolat
Ara
gal
Glu
Lak
Mal
man
raf
Rham
tre
sorb
suk
xyl
presumtif awal*
1
1A5
-
+
+
+
+
-
+
-
-
-
+
-
Lactobacillus sp
2
1A32
+
+
+
+
+
-
+
-
-
-
+
-
Lactococcus lactis
3
1B1
+
+
+
+
+
+
D
+
+
D
+
D
Lactobacillus
plantarum
4
2B1
+
+
+
+
+
-
+
-
-
-
+
+
Streptococcus sp
5
2B2
-
+
+
+
+
-
+
-
-
-
+
+
Lactobacillus
fermentum
6
2B4
+
+
+
+
+
-
+
-
-
-
+
+
Lactobacillus
fermentum
7
1C4
+
+
+
+
+
-
+
-
-
-
+
-
Lactobacillus sp
8
2C2
+
+
+
+
+
-
+
+
+
-
+
+
Streptococcus sp
9
2C12
-
+
+
+
+
+
+
D
d
D
+
D
Lactobacillus sp
10
2D1
+
+
+
-
+
-
+
-
-
-
+
+
Lactobacillus sp
Sumber :Arief et al. (2005)
Keterangan : * = identifikasi presumtif awal berdasarkan software PIB Win
(+) = dapat menfermentasi; (-) = tidak dapat menfermentasi; (d) = dubius; ara = arabinosa; gal
= galaktosa; glu = glukosa; lak = laktosa; mal = maltosa; man= manitol; raf = rafinosa; rham
= rhamnosa; tre = trehalosa; sorb = sorbitol; suk = sukrosa; xyl = xylosa
Tabel 3. Sifat dasar probiotik isolat indigenus bakteri asam laktat
No
Kode
Kemampuan menghambat mikroba patogen
isolat
Kemampuan tumbuh di kondisi
saluran pencernaan (in vitro)
Staphylococcus
Salmonella
Escherichia
pH
pH
Garam
aureus ATCC 25923
typhimurium
coli ATCC
lambung
usus
empedu (bile
ATCC 14028
25922/ ETEC
(2.5)
(7.2)
salt) 0,5%
1
1A5
++
++
+++
+
+
+
2
1A32
++
++
+++
+
+
+
3
1B1
+
++
++
+
+
+
4
2B1
++
++
++
+
+
+
5
2B2
++
++
+++
+
+
+
6
2B4
++
+++
+++
+
+
+
7
1C4
++
++
++
+
+
+
8
2C2
++
++
+++
+
+
+
9
2C12
++
++
++
+
+
+
10
2D1
++
+++
++
+
+
+
Sumber : Arief et al. (2008)
Hasil penelitian Arief et al. (2008) menunjukan terdapat 10 BAL isolat indigenus yang
mempunyai kemampuan bertahan pada pH lambung yaitu pada pH 2.5 dan pH usus yaitu pada pH 7.2,
serta pada kondisi garam empedu 0.5% sesuai dengan kondisi saluran pencernaan. Selain itu, BAL
tersebut memiliki aktivitas penghambatan yang baik terhadap tiga jenis bakteri enteropatogenik yaitu
Salmonella thypimurium ATCC 14028, Escherichia coli ATCC 25922 (ETEC), dan Staphylococcus
aureus ATCC 25923.
Berdasarkan kriteria dasar probiotik oleh FAO/WHO (2002) yaitu kemampuannya untuk
bertahan pada kondisi lambung (pH rendah) dan adanya garam empedu, serta penghambatannya
terhadap bakteri patogen, maka kesepuluh BAL isolat indigenus tersebut dapat dinyatakan sebagai
probiotik.
2.3. PROBIOTIK SEBAGAI IMUNOMODULATOR
Probiotik didefinisikan sebagai mikroorganisme hidup yang pada jumlah yang sudah diatur dapat
memberikan efek yang menguntungkan bagi kesehatan inang (Reid et al. 2003). Strain yang paling
sering digunakan dalam penelitian adalah Lactobacillus dan Bifidobacterium, antara lain
Lactobacillus achidophilus, Lactobacillus casei, Lactobacillus fermentum, Lactobacillus plantarum,
Lactobacillus reuteri, Bifidobacterium infantis, Bifidobacterium breve, Bifidobacterium animalis,
Bifidobacterium adolescentis, dan Bifidobacterium longum. Bakteri–bakteri tersebut termasuk bakteri
gram positif, fakultatif yang normal terdapat dalam usus besar manusia dan sebagian besar merupakan
mikroflora anaerobik (Liong 2007).
Probiotik merupakan preparasi sel bakteri hidup yang mampu memberikan efek menguntungkan
pada kesehatan inang. Banyak BAL sebagai probiotik, digunakan untuk memperbaiki mikroflora usus
yang terganggu fungsinya dan permeabilitas saluran pencernaan yang tidak normal (Lee et al. 2000).
Kullisaar et al. (2003) menyatakan bahwa mengonsumsi susu fermentasi yang mengandung L.
fermentum ME-3 memperlihatkan efek antioksidatif dan antiaterogenik.
Bakteri probiotik memproduksi berbagai jenis substansi yang mampu menghambat bakteri gram
positif dan gram negatif. Komponen tersebut tidak hanya mengurangi jumlah sel hidup, tetapi juga
memberikan dampak terhadap hasil metabolisme bakteri atau produksi toksin. Fakta tersebut
membuktikan bahwa probiotik dapat memberikan perlindungan terhadap penyakit saluran usus
melalui stimulasi terhadap sistem imun spesifik dan non-spesifik. Pemberian oral Lactobacillus sp.
selama terjadinya diare rotavirus akut berkaitan dengan peningkatan respon imun terhadap rotavirus.
Mekanisme stimulasi sistem imun belum dimengerti, akan tetapi komponen sel permukaan spesifik
atau sel lapisan dapat berperan sebagai adjuvant (agen yang dapat menstimulasi sistem imun) dan
meningkatkan respon imun humoral. Studi lain menyatakan penghambatan patogen oleh probiotik
disebabkan adanya kompetisi terhadap nutrisi dan tempat reseptor, yang akhirnya probiotik
menggunakan nutrisi yang ada, sehingga tidak dapat dikonsumsi oleh patogen (Rolfe 2000).
Sistem imun manusia sebagian besar dirancang untuk menghancurkan mikroorganisme asing
seperti virus dan bakteri. Manusia sehat memiliki dua mekanisme imun, sistem imun spesifik
(acquired), yang memberikan respon pada antigen spesifik dan ditingkatkan dengan adanya paparan
yang berulang-ulang; dan sistem imun non-spesifik (innate), yang tidak membutuhkan stimulasi, tidak
meningkat dengan adanya paparan berulang-ulang, dan memiliki mekanisme yang menyertakan
pertahanan fisik (Meydani 2000). Kedua sistem imun ini mampu mempengaruhi respon imun sistemik
dan mukosa (Galdeano dan Perdigon 2006).
Sistem imun innate dan adaptive merupakan dua bagian yang saling tergantung dari satu
kesatuan sistem imun. Pada tingkat mukosa saluran pencernaan, respon imun innate tidak hanya
menjadi garis pertama pertahanan melawan mikroorganisme patogen, akan tetapi juga memberikan
sinyal biologi untuk menginstruksikan sistem imun adaptive agar mendapatkan respon tersebut. Pada
sistem imun, bakteri probiotik berperan merangsang respon imun mukosa saluran pencernaan
(Galdeano dan Perdigon 2006).
Pemberian Lactobacillus dan Bifidobacterium secara oral memperlihatkan terjadinya
peningkatan respon antibodi pada ovalbumin dan respon imunoglobulin A (IgA) terhadap toksin
kolera pada tikus percobaan, meningkatkan sel yang mensekresi antibodi spesifik terhadap rotavirus
pada anak dengan diare rotavirus akut, dan meningkatnya jumlah sel yang mensekresi antibodi
terhadap β-laktoglobulin pada tikus yang masih menyusu (Isolauri et al. 2001). Liong (2007)
menyatakan peningkatan jumlah sel penghasil IgA di mesenteric node kelenjar getah bening pada
tikus percobaan, mengawali adanya kombinasi vaksin laktokokal yang dapat merangsang respon
sistemik dan respon imun mukosa.
Sumber : Saulnier et al. (2009)
Gambar 1. Peran probiotik dalam saluran pencernaan manusia
Probiotik dapat menstimulasi respon imun dengan meningkatkan produksi antibodi mukosa,
mendorong ekspresi sitokin pro-inflamatori, dan meningkatkan produksi defensin inang (Gambar 1).
Efek supresif menunjukan penurunan ekspresi sitokin, inflamasi sistemik, proliferasi sel, dan
peningkatan apoptosis. Protein permukaan merupakan faktor kunci dalam imunomodulasi. Sebagai
contoh, agregasi-kompeten L.crispatus merangsang ekspresi reseptor Toll-like receptor-2 (TLR-2) dan
Toll-like receptor-4 (TLR-4) di permukaan sel epitelium mukosa kolon tikus percobaan. Probiotik
juga mensekresikan faktor yang bertanggung jawab untuk memodulasi respon imun. Sebagai contoh,
faktor yang disekresikan oleh L.reuteri menurunkan ekspresi inti gen factor-kB-dependent, yang
menghasilkan berkurangnya proliferasi sel dan meningkatnya aktivitas protein kinase yang
mengaktivasi mitogen yang mampu merangsang apoptosis (Saulnier et al. 2009).
Beberapa penelitian menyatakan pengaruh probiotik dalam sistem imun manusia. Dalam
penelitian tersebut dinyatakan probiotik terdiri dari komponen dinding sel seperti peptidoglikan (3070% dari total dinding sel), polisakarida, teichoic acid, yang merupakan komponen imunostimulator.
Probiotik juga mengandung peptidoglikan yang dilepaskan dari dinding sel bakteri pada usus,
merangsang aktivitas adjuvant di permukaan mukosa dan mengakibatkan adanya respon imun
(Meydani 2000). Adanya hubungan antara probiotik dan materi molekuler seperti peptidoglikan,
lipotechoic acid, dan DNA bakteri, membuktikan adanya materi reseptor (TLR) yang ada di
permukaan sel imunokompeten yang dapat memicu dilepasnya sejumlah sitokin yang dapat
meningkatkan respon imun (Gill dan Guarner 2004).
Efek modulasi dari sitokin pada sel imun termasuk merangsang produksi interferon-γ oleh sel T,
meningkatkan jarak penghubung fagosit mikroba, menambah vaksin imunogenisitas, meningkatkan
aktivitas mikrobisidal makrofag, dan menggunakan efek sitotoksin melawan sel tumor (Gill 2003).
2.4. PREBIOTIK
Prebiotik merupakan karbohidrat yang tidak dapat dicerna oleh enzim-enzim pencernaan usus
manusia, tetapi menguntungkan terhadap penghuni bakteri kolon, dengan cara meningkatkan
pertumbuhan dan keaktifan satu atau lebih jenis bakteri baik yang berada dalam kolon (Winarno
2003). Menurut Zakaria (2003), prebiotik merupakan pangan yang dapat memacu pertumbuhan
bakteri probiotik, agar dapat diperoleh kondisi fisiologis dan metabolik yang dapat memberikan
perlindungan pada saluran pencernaan, khususnya usus halus dan kolon.
Prebiotik adalah komponen pangan yang tidak dapat dicerna dan dapat memberikan efek yang
menguntungkan bagi inang karena prebiotik merangsang proliferasi atau aktivitas populasi bakteri
yang diinginkan di dalam kolon secara selektif (Mattila-Sandholm et al. 2002).
FAO (2007) menyatakan bahwa prebiotik adalah komponen pangan tak hidup yang memberi
keuntungan kesehatan inang yang berasosiasi dengan memodulasi mikrobiota. Peraturan FAO (2007)
juga menegaskan bahwa prebiotik bukan merupakan organisme atau obat, dapat dikarakterisasi secara
kimia, dan aman sebagai pangan.
Bahan pangan akan dikelompokkan sebagai prebiotik bila memenuhi persyaratan berikut yaitu
tidak terhidrolisa atau terserap pada saluran pencernaan bagian atas sehingga dapat mencapai kolon
tanpa perubahan struktur atau diekskresikan dalam feses (Gibson et al. 2004), dan berperan sebagai
substrat yang secara selektif dapat menstimulir pertumbuhan bakteri yang menguntungkan pada kolon
(Gmeiner et al. 2000). Selain itu menurut Lisal (2005), bahan pangan dapat digolongkan sebagai
prebiotik jika mampu mengubah keseimbangan flora usus besar ke arah komposisi yang
menguntungkan kesehatan dan merangsang timbulnya efek-efek luminal (lokal) dan sistemik yang
menguntungkan inang.
Prebiotik dapat berperan sebagai alternatif untuk probiotik atau sebagai kofaktor probiotik.
Karbohidrat kompleks yang melalui usus kecil menuju kolon tersedia untuk beberapa bakteri kolon
namun sebagian besar bakteri yang terdapat di kolon tidak memanfaatkannya. Laktosa,
galaktooligosakarida, fruktooligosakarida, inulin dan hasil hidrolisanya, maltooligosakarida dan pati
resisten merupakan prebiotik yang umumnya digunakan dalam nutrisi manusia. Produk akhir utama
pada metabolisme karbohidrat adalah asam lemak rantai pendek (ALRP), yang disebut asetat, butirat,
dan propionat, yang selanjutnya akan digunakan organisme dalam inang sebagai sumber energi
(Harish dan Varghese 2006).
Analisis secara in vitro dan in vivo menunjukkan bahwa prebiotik tidak dicerna oleh enzim,
tetapi difermentasi oleh bakteri anaerob dalam usus besar. Prebiotik yang telah difermentasi dalam
usus besar menghasilkan ALRP, menstimulasi pertumbuhan berbagai bakteri termasuk Lactobacilli
dan Bifidobacteria, dan dapat menghasilkan gas. Fortifikasi menggunakan Bifidobacteria/Lactobacilli
dengan prebiotik dapat memperbaiki efek perlindungan usus besar terhadap berbagai mikroorganisme
patogen dalam usus (Molis et al. 1996 diacu dalam Wang 2009).
Pada awalnya yang disebut sebagai bahan pangan prebiotik adalah serat pangan yang memacu
pertumbuhan Bifidobacteria yaitu fruktooligosakarida (FOS), baik yang sintetik maupun yang
diisolasi dari bahan pangan atau tanaman. Dengan berkembangnya penelitian mengenai fungsi FOS,
diketahui bahwa FOS sebagai substrat Bifidobacteria, mampu mempercepat pertumbuhan bakteri ini
sehingga menghasilkan metabolit-metabolit yang berfungsi sebagai penjaga kesehatan usus halus dan
kolon, terutama melalui mekanisme antagonisme dengan bakteri patogen, metabolit ALRP, dan
peningkatan respon imun pada usus halus (Zakaria 2003).
Prebiotik yang umum digunakan adalah inulin dan FOS, yang merupakan serat yang dapat larut
dan dapat difermentasi (Gibson et al. 2004). Inulin dan FOS sering digunakan dalam studi secara in
vivo karena resisten terhadap pencernaan asam lambung dan enzim pankreas (Cummings et al. 2001).
FOS biasanya digunakan untuk formula produk bayi, yogurt dan produk pangan dan suplemen lainnya
(Kaplan dan Hutkins 2000).
FOS secara kimiawi adalah senyawa β-D-fruktans rantai pendek atau sedang, yang terikat
dengan ikatan β-2-1 glikosidik, yang tidak dapat diuraikan oleh enzim pencernaan mamalia.
Dibandingkan dengan karbohidrat simpleks maupun kompleks lainnya, FOS difermentasikan secara
selektif oleh hampir semua strain Bifidobacteria. Bila FOS dikonsumsi dalam jumlah yang cukup
banyak maka FOS secara dramatik dan konsisten merangsang proliferasi Bifidobacteria menjadi
mikroflora yang predominan dalam kolon (Lisal 2005) .
FOS memiliki nilai DP (derajat polimerisasi) lebih rendah daripada inulin, yaitu berkisar antara
2-8 (Franck dan De Leenheer 2005). FOS menunjukkan efek bifidogenik yang berbeda pada kondisi
yang berbeda. Pada studi secara in vitro menunjukkan bahwa FOS dan inulin menghasilkan efek
bifidogenik yang optimum pada pH 6.8 dan 1 g/100 ml karbohidrat, yang setara dengan 4 g/hari
(Tungland 2003 diacu dalam Tamime 2005). Selain efek bifidogenik, FOS juga menambah nutrisi
yang dapat mempengaruhi parameter fisiologis pencernaan seperti pH kolon dan stool bulking, yang
dapat menggolongkan prebiotik sebagai serat (dietary fiber) (Roberfroid 1997 diacu dalam Tamime
2005).
Penggabungan prebiotik dan probiotik terbukti dapat meningkatkan keuntungan bagi kesehatan
inang. Misalnya gabungan inulin (FOS) dengan Bifidobacterium longum terbukti dapat menurunkan
risiko kelainan pre-neoplastik kolon lebih efektif dibandingkan hanya dengan perlakuan probiotik atau
prebiotik saja pada tikus percobaan. Penambahan pati jagung yang kaya amilosa (Resistant Starch 2)
ke dalam suatu preparat probiotik akan mempertahankan densitas probiotik yang hidup dibandingkan
tanpa penambahan RS2 (Lisal 2005).
Meskipun FOS dapat ditemukan pada bermacam-macam pangan yang menjadi makanan kita
sehari-hari, seperti asparagus, pisang, gandum, bawang putih, artichoke (tumbuhan yang bunganya
dimakan sebagai sayuran) dan chicory (tanaman yang akarnya dibakar sebagai pengganti kopi),
namun jumlah FOS dalam pangan tersebut sangat kecil. Jumlah rata-rata asupan harian tiap individu
dari sumber pangan tersebut berkisar antara 2-10 g di Eropa, dan antara 1-4 g di Amerika serikat (van
Loo et al. 1995 diacu dalam Tamime 2005).
Peraturan mengenai standar jumlah prebiotik yang dikonsumsi belum ada karena umumnya
konsumsi prebiotik tergantung pada kebiasaan penduduk suatu negara (FAO 2007). Dosis konsumsi
harian 5-8 g FOS/GOS dapat memberikan efek prebiotik pada orang dewasa. Surono (2004)
menyarankan jumlah prebiotik yang efektif adalah 1-3 g per hari untuk anak-anak dan 5-15 g per hari
untuk orang dewasa. Indonesia memiliki regulasi tentang prebiotik dalam Peraturan Pangan
Fungsional yang dikeluarkan oleh BPOM tahun 2005, namun regulasi jumlah asupan prebiotik tidak
dijelaskan.
2.5. YOGURT SINBIOTIK
Menurut SNI (2009), definisi yogurt adalah produk yang diperoleh dari fermentasi susu dan atau
susu rekonstitusi dengan menggunakan bakteri Lactobacillus bulgaricus dan Streptococcus
thermophillus dan atau bakteri asam laktat lain yang sesuai, dengan/tanpa penambahan bahan pangan
lain dan bahan tambahan pangan yang diizinkan. Syarat mutu yogurt menurut SNI (2009) dapat dilihat
pada Tabel 4.
Proses fermentasi dapat terjadi karena pada susu sapi terdapat protein susu (kasein) dan gula
susu (laktosa). Laktosa digunakan oleh kedua starter bakteri di atas sebagai sumber karbon dan energi
utama untuk pertumbuhanya. Proses fermentasi tersebut menyebabkan laktosa berubah menjadi asam
piruvat, yang selanjutnya diubah menjadi asam laktat. Asam laktat menyebabkan penurunan pH susu,
atau meningkatkan keasaman. Akibatnya kasein menjadi tidak stabil dan terkoagulasi (menggumpal),
membentuk gel yogurt, berbentuk setengah padat (semi padat), dan menentukan tekstur yogurt. Selain
itu asam laktat juga berfungsi memberikan ketajaman rasa asam, dan menimbulkan aroma khas pada
yogurt (Santoso 2009).
Mikroflora yang terdapat dalam yogurt merupakan kelompok BAL. Bakteri yang umum
digunakan adalah Lactobacillus bulgaricus dan Streptococcus thermophilus (Silvia 2002).
Streptococcus thermophilus merupakan satu-satunya spesies dalam genusnya yang digunakan sebagai
kultur starter dalam produk olahan susu. Organisme ini termasuk dalam termotoleran dan digunakan
dalam fermentasi produk olahan susu yang membutuhkan suhu lebih tinggi dalam inkubasi yaitu pada
suhu 35-43oC. Pada industri produk olahan susu, organisme ini sering disebut dengan kokus. Biasanya
kultur S.thermophilus menghasilkan koagulat yang lemah dalam susu karena produksi asam yang
rendah. Penggunaan S.thermophilus biasanya digabungkan dengan Lb. delbrueckii subsp. bulgaricus.
Lactobacillus subspesies ini biasanya disebut dengan rod (bakteri berbentuk batang) dalam industri
produk olahan susu, dan kombinasi kedua bakteri ini disebut rod-kokus (Chandan 2006).
Tabel 4. Syarat mutu yogurt menurut SNI (SNI 2981, 2009)
No
Kriteria uji
Satuan
Yogurt tanpa perlakuan
Yogurt dengan perlakuan
panas setelah fermentasi
panas setelah fermentasi
Yogurt
Yogurt
Yogurt
rendah
lemak
Yogurt
Yogurt
Yogurt
tanpa
rendah
tanpa
lemak
lemak
lemak
1.
Keadaan
1.1.
Penampakan
-
Cairan kental – padat
Cairan kental – padat
1.2.
Bau
-
Normal/khas
Normal/khas
1.3.
Rasa
-
Asam/khas
Asam/khas
1.4.
Konsistensi
-
Homogen
Homogen
2.
Kadar lemak
%
Min.3
0.6-2.9
(b/b)
3.
Total padatan
Maks.
Min.3
0.6-2.9
0.5
0.5
%
Min. 8.2
Min. 8.2
%
Min. 2.7
Min. 2.7
susu bukan lemak
(b/b)
4.
Protein (Nx6.38)
(b/b)
5.
Kadar abu (b/b)
%
Maks. 1.0
Maks. 1.0
6.
Keasaman
%
0.5-2.0
0.5-2.0
(dihitung sebagai
asam laktat) b/b
7.
Cemaran logam
7.1.
Timbal(Pb)
mg/kg
Maks. 0.3
Maks. 0.3
7.2.
Tembaga (Cu)
mg/kg
Maks. 20.0
Maks. 20.0
7.3.
Timah (Sn)
mg/kg
Maks. 40.0
Maks. 40.0
7.4.
Raksa (Hg)
mg/kg
Maks. 0.03
Maks. 0.03
7.5.
Arsen
mg/kg
Maks. 0.1
Maks. 0.1
8.
Cemaran mikroba
8.1.
Bakteri coliform
APM/g
Maks. 10
Maks. 10
atau
koloni/g
8.2.
Salmonella
-
Negatif/25 g
Negatif/25 g
8.3.
Listeria
-
Negatif/25 g
Negatif/25 g
koloni/g
Min 107
-
monocytogenes
9.
Jumlah bakteri
starter*
*sesuai dengan pasal 2 (istilah dan definisi)
Maks.
Kombinaasi rod-kokus menunjukkan
m
r
respon
pertumb
buhan yang sinnergis dalam susu.
s
Sinergism
me
aantara kokus dan rod in
ni berasal darri karakteristiik fisiologis dari masing-masing bakteeri.
S
S.thermophilus
s lebih aerotooleran dibandinngkan Lb. dellbrueckii subsp
sp. bulgaricus.. S.thermophillus
r
relatif
kurang bagus kemam
mpuan proteolittiknya dibandiing Lb. delbruueckii subsp. bulgaricus,
b
akkan
t
tetapi
memilik
ki aktivitas pepptidase lebih baaik dibandingkkan Lb. delbrueeckii subsp. buulgaricus. Ketiika
k
kedua
bakteri tersebut tumbbuh bersama ddalam susu, pada awalnya SS.thermophiluss tumbuh lebbih
a
agresif,
karenaa lebih aerotolleran. Pada tahhap ini rod tu
umbuh lebih laambat, namun karena aktivittas
p
proteolitiknya
lebih baik, meenyediakan pepptida yang cukkup untuk mennstimulasi perttumbuhan kokuus.
F
Fermentasi
oleeh S.thermoph
hilus menekan potensial okssidasi-reduksi sistem, dan melepaskan
m
asaam
f
format
sebagaai hasil sampiingan metabollisme. Tegangan oksigen yaang rendah daan asam form
mat
m
menstimulasi
p
pertumbuhan
L delbrueckii subsp. bulgariicus, yang lebihh lanjut dibanttu oleh pelepassan
Lb.
a
asam
amino oleh peptida aktiif yang disekreesikan oleh S.thhermophilus. Dominasi
D
S.therrmophilus dalaam
f
fermentasi
sussu ketika pH mendekati 55.0. Selebihnya, Lb. bulgarricus secara berangsur-angs
b
sur
S.thermophiluus pada keselurruhan fermentaasi. Strain S.thhermophilus jugga memprodukksi
m
menggantikan
e
eksopolisakarid
da untuk menddapatkan tekstuur yang lembutt tanpa pemisahhan whey (Chaandan 2006).
Yogurt siinbiotik merupakan salah satuu produk susu fermentasi yanng dibuat dengaan menggunakkan
c
campuran
beb
berapa kultur BAL sepertii Lactobacillu
us bulgaricus, Streptococcuus thermophiluus,
achidophilus, dan Bifidobaacterium bifiduum, yang dikoombinasikan dengan
L
Lactobacillus
d
prebiottik
s
seperti
FOS. Kombinasi prrobiotik (BAL
L) dan prebiottik dapat menningkatkan dayya tahan bakteeri
p
probiotik
oleh karena substraat yang spesifikk telah tersedia untuk fermenntasi sehingga tubuh mendappat
m
manfaat
yang lebih
l
sempurnaa dari kombinaasi ini (Zhang dan
d Ghosh 20001).
Konsep dari
d penggabun
ngan probiotikk dan prebiotikk dapat dilihat pada Gambarr 2. Kemampuuan
i
imunomodulat
tor probiotik memperkenalka
m
an potensi strattegi terapi untuuk melawan allergi, infeksi dan
d
k
kondisi
inflam
masi. Penggunnaan probiotikk bertujuan un
ntuk menguraangi inflamasii dalam salurran
p
pencernaan,
yaang menjadikaan probiotik sebagai mediattor anti-inflam
masi (Zhang daan Ghosh 2001).
P
Pada
kenyataaannya, keseim
mbangan mikroobiota indigennus dalam saluuran pencernaaan memberikkan
d
dampak
kesehaatan secara imuunofisiologis (R
Rautava et al. 2004).
Sum
mber: Zhang dan Ghosh (2001)
Gambar 2. Konsep proobiotik dan prebbiotik
Mikrobioota saluran peencernaan yang menyimpanng tidak hanya dapat menddasari terjadinnya
i
infeksi
akut, tetapi juga dappat menyebabkkan penyakit kronis
k
dari aleergi autoimun hingga penyakkit
i
inflamasi.
Norm
malisasi mikrooflora indigenuus yang tidak seeimbang dengaan menggunakaan strain spesiffik
mikroflora yang baik untuk saluran pencernaan merupakan alasan yang mendasar dari terapi probiotik
(Harish dan Varghese 2006).
Yogurt dalam industri biasanya menggunakan Streptococcus thermophillus dan Lactobacillus
delbrueckii subsp. bulgaricus sebagai kultur starternya. Mikroorganisme probiotik pada umumnya
memiliki pertumbuhan yang lambat pada medium susu, oleh karena itu, ditambahkan kultur starter
yogurt untuk meningkatkan proses fermentasi (Tamime 2005). Bakteri yang berpotensi sebagai
probiotik yang dapat digunakan dalam produk olahan susu dapat dilihat pada Tabel 5.
Tabel 5. Probiotik yang dapat digunakan dalam produk olahan susu.
Organisme
Produk metabolisme
Fermentasi Laktosa
Pediococcus acidilactici*
DL laktat
Homofermentatif
Lactobacillus acidophilus,
DL laktat
Homofermentatif
DL laktat
Heterofermentatif
L (+) laktat, asetat
Heterofermentatif
L (+) laktat
Homofermentatif
I. Bakteri asam laktat
gasseri, helveticus, dan
johnsonii*
Lactobacillus casei, reuteri,
plantarum, rhamnosus, dan
fermentum*
Bifidobacterium adolescentis,
animalis subsp. animalis,
bifidum, breve, infantis,
animalis subsp. lactis, longum•
Enterococcus faecium dan
faecalis*
II. Khamir
Saccharomyces boulardii*
Etanol, CO2
Sumber : •Masco et al. (2004) dan *Tamime et al. (2005)
Untuk mendapatkan efek kesehatan yang diinginkan, bakteri probiotik yang digunakan harus
dapat tumbuh dalam media susu dan dapat tumbuh pada kondisi yang terbatas (Tamime 2005). Pada
umumnya bakteri probiotik dapat tumbuh baik pada media sintetik seperti tryptose peptone yeast
(TPY) dan de Man Rogosa and Sharpe (MRS) broths daripada pada media susu (Shah 2000).
Pada produk pangan, probiotik yang terkandung di dalamnya minimum 106 cfu/g atau asupan
harian sebesar 109 cfu/g. Tingginya asupan probiotik untuk mengimbangi kemungkinan hilangnya
jumlah mikroorganisme probiotik pada saat melalui perut dan saluran usus. Di jepang, Asosiasi
Minuman Fermentasi Susu dan Bakteri Asam Laktat meningkatkan standar yaitu dibutuhkan
sedikitnya 107 cfu/ml sel hidup yang ada dalam produk olahan susu.
Viabilitas dan aktivitas bakteri menjadi sangat penting, karena bakteri harus mampu bertahan
dalam produk selama masa simpan, selama melalui kondisi asam dalam perut, dan tahan terhadap
degradasi oleh enzim hidrolitik dan garam empedu di usus kecil (Tamime 2005). Viabilitas bakteri
probiotik dalam yogurt tergantung pada strain yang digunakan, interaksi antar spesies yang ada,
produksi hidrogen peroksida yang merupakan hasil metabolisme bakteri, dan keasaman produk akhir.
Viabilitas probiotik juga tergantung pada ketersediaan nutrisi, pendukung dan penghambat
pertumbuhan, konsentrasi gula, oksigen terlarut dan perembesan oksigen melalui kemasan (khususnya
Bifidobacterium spp.), tingkat inokulasi, dan waktu fermentasi (Oliveira dan Damin 2003 diacu dalam
Tamime 2005). Pertumbuhan bakteri probiotik yang lambat pada media susu akan menyebabkan
terjadinya pertumbuhan bakteri yang tidak diinginkan dan strain cenderung tidak tumbuh dengan baik
dan memproduksi flavor yang tidak diharapkan (Tamime 2005).
2.6. DIARE
Diare atau mencret didefinisikan sebagai buang air besar dengan feses yang tidak berbentuk
(unformed stools) atau cair dengan frekuensi lebih dari tiga kali dalam 24 jam (Zein 2004). Diare
merupakan perubahan dari kebiasaan normal usus yang dicirikan dengan meningkatnya kandungan
air, volume, atau frekuensi buang air besar.
Diare dapat juga didefinisikan ketika terjadi penurunan konsistensi feses (menjadi lembek atau
bahkan cair) dan terjadi peningkatan frekuensi buang air besar lebih dari tiga kali dalam sehari
(Guerrant et al. 2001). Bila diare berlangsung kurang dari dua minggu, disebut sebagai diare akut.
Apabila diare berlangsung dua minggu atau lebih, maka digolongkan pada diare kronik (Zein 2004).
Secara etiologi, diare akut dapat disebabkan oleh infeksi, intoksikasi (poisoning), alergi, reaksi
obat-obatan, dan juga faktor psikis (Schiller 2000 diacu dalam Zein 2004). Diare akut infeksi
diklasifikasikan secara klinis dan patofisiologis menjadi diare non-inflamasi dan diare inflamasi. Diare
inflamasi disebabkan invasi bakteri dan sitotoksin di kolon yang disertai lendir dan darah. Gejala
klinis yang sering terjadi adalah adanya keluhan abdomen seperti mulas sampai nyeri seperti kolik,
mual, muntah, demam, tenesmus, serta gejala dehidrasi. Pada pemeriksaan tinja rutin secara
makroskopis ditemukan lendir dan/atau darah, dan secara mikroskopis ditemukan sel leukosit
polimorfonuklear (Zein 2004).
Pada diare non-inflamasi, diare disebabkan oleh enterotoksin yang mengakibatkan diare cair
dengan volume yang besar tanpa lendir dan darah. Gejala dehidrasi cepat timbul, terutama pada kasus
yang tidak mendapat cairan pengganti. Pada pemeriksaan tinja secara rutin tidak ditemukan leukosit
(Zein 2004).
Menurut Bowen (2006), mekanisme terjadinya diare terbagi menjadi empat jenis yaitu diare
osmotik, diare sekretorik, diare eksudatif dan infeksi, serta diare yang dikaitkan dengan pengacauan
motilitas. Diare osmotik terjadi bila ada bahan yang tidak dapat diserap meningkatkan osmolaritas
dalam lumen yang menarik air dari plasma sehingga terjadi diare. Contohnya adalah malabsorbsi
karbohidrat akibat defisiensi laktase atau akibat garam magnesium.
Diare sekretorik terjadi bila ada gangguan transport elektrolit, baik absorbsi yang berkurang
ataupun sekresi yang meningkat. Hal ini dapat terjadi akibat toksin yang dikeluarkan bakteri, misalnya
toksin kolera atau pengaruh garam empedu, ALRP, atau laksatif non-osmotik. Beberapa hormon
intestinal seperti gastrin vasoactive intestinal polypeptide (VIP) juga dapat menyebabkan diare
sekretorik. Diare eksudatif dan inflamasi akan mengakibatkan kerusakan mukosa, baik usus halus
maupun usus besar. Inflamasi dan eksudasi dapat terjadi akibat infeksi bakteri atau bersifat noninfeksi seperti gluten sensitive enteropathy, inflamatory bowel disease (IBD) atau akibat radiasi
(Bowen 2006).
Diare sampai saat ini masih menjadi masalah kesehatan, tidak saja di negara berkembang, tetapi
juga di negara maju. Penyakit diare masih sering menimbulkan KLB (Kejadian Luar Biasa) dengan
penderita yang banyak dalam waktu yang singkat (Manatsathit et al. 2002). WHO memperkirakan 4
milyar kasus terjadi di dunia pada tahun 2000 dan 2.2 juta di antaranya meninggal, sebagian besar
anak-anak di bawah umur 5 tahun (Adisasmito 2007).
Data dari profil kesehatan Indonesia 2003, penyakit diare menempati urutan kelima dari 10
penyakit utama pada pasien rawat jalan di rumah sakit dan menempati urutan pertama pada pasien
rawat inap di rumah sakit. Berdasarkan data tahun 2003 terlihat bahwa frekuensi kejadian luar biasa
(KLB) penyakit diare sebanyak 92 kasus dengan 3865 orang penderita dan 113 orang meninggal
(Adisasmito 2007).
Salah satu faktor risiko yang sering diteliti adalah faktor lingkungan yang meliputi sarana air
bersih (SAB), sanitasi, jamban, saluran pembuangan air limbah (SPAL), kualitas bakterologis air, dan
kondisi rumah. Menurut Sharma et al. (2005), penyebab terjadinya diare pada negara berkembang
adalah buruknya sanitasi dan nutrisi. Data terakhir menunjukkan bahwa kualitas air minum yang
buruk menyebabkan 300 kasus diare per 1000 penduduk. Sanitasi yang buruk dianggap sebagai
penyebab banyaknya kontaminasi bakteri E.coli dalam air bersih yang dikonsumsi masyarakat.
Bakteri E.coli mengindikasikan adanya pencemaran tinja manusia. Kontaminasi bakteri E.coli terjadi
pada air tanah yang banyak disedot penduduk di perkotaan, dan sungai yang menjadi sumber air baku
di PDAM pun tercemar bakteri ini (Adisasmito 2007).
2.7. ENTEROPHATOGENIC Escherichia coli (EPEC)
Escherichia coli penyebab diare dapat diklasifikasikan menjadi enam kategori: Enteropatogenik
E.coli (EPEC), Enterotoksin E.coli (ETEC), Enterohemoragik E.coli (EHEC), Enteroinvasif E.coli
(EIEC), diffusely adderent E.coli (DAEC), dan Enteroagregatif E.coli (EAggEC) (Miyazaki et al.
2010). EPEC merupakan salah satu penyebab utama penyakit diare dan kematian akibat diare pada
anak-anak di negara berkembang (Clarke et al. 2002).
EPEC adalah salah satu patogen yang dapat menyebabkan lesi attaching dan effacing (A/E) pada
sel usus. Ciri dari patogen A/E adalah terletak pada tumpuannya di permukaan sel epitel inang dan
menyebabkan kerusakan pada mikrofili usus. EPEC melekat dan berkolonisasi pada epitel mukosa
deodenum dan proksimal jejunum. EPEC menimbulkan kerusakan pada epitel jejunum melalui
pembentukan mikrokoloni yang ditunjukkan dengan pelekatan yang terlokalisasi (Moat et al. 2002).
Bakteri ini juga melekat dan berkolonisasi pada kolon atau usus besar bagian ascending (naik) dan
transverse (melintang) (Jay 2000).
Sumber : Lu dan Walker (2001)
Gambar 3. Infeksi EPEC pada epitel usus inang
EPEC menempel pada sel epitel dan membentuk lesi A/E (Gambar 3). Tahap awal penempelan
EPEC pada sel epitel diperantarai oleh bundle-forming pilus (BFP). Setelah pelekatan awal, mikrovili
usus diganggu dan EPEC mensekresikan beberapa faktor virulen melalui sekresi tipe III dan
mensekresikan reseptor Tir ke dalam sel inang. EPEC kemudian mengikat Tir melalui protein
membran luar, intimin. Sinyal transduksi terjadi dalam sel inang, termasuk aktivasi protein kinase C
(PKC), inositol triphosphate (IP3), dan pelepasan Ca2+. Beberapa protein sitoskeletal termasuk aktin,
menjadi tempat melekatnya EPEC. Dan pada akhirnya, terjadi penyusunan kembali sitoskeletal
setelah Tir-intimin berikatan, dan menghasilkan formasi pedestal-like structure (Lu dan Walker
2001).
EPEC biasanya memiliki locus of enterocyte effacement (LEE), yang membantu perkembangan
lesi A/E. LEE terdiri dari gen eae yang mengkode intimin, protein membran terluar yang berikatan
dengan protein (dengan tirosin terfosforilasi 90 kDa) di dalam membran inang, sehingga dapat
membentuk lesi A/E (Gomes et al. 2004). Tirosin dipindahkan dari sel bakteri ke membran inang
sehingga terfosforilasi pada satu atau lebih residu tirosin, berfungsi sebagai reseptor untuk pengikatan
intimin. Kemudian sel epitel kehilangan mikrovili dan membentuk cup and pedestal pada tempat
melekatnya koloni EPEC. Hal ini menunjukkan bahwa EPEC mampu menginduksi perubahan
transport elektrolit ke sel inang. Pada studi yang lain menyatakan bahwa EPEC dapat menyebabkan
penurunan transepithelial electrical resistance (TEER) dengan mengganggu tight junction intraseluler
(Michail dan Abernathy 2002).
Mekanisme utama dari patogenesis EPEC (Gambar 4) adalah lesi A/E yang dicirikan dengan
melekatnya bakteri pada epitelium saluran usus (Nougayrède et al. 2003). Gen eae terletak di area
patogenitas LEE dan gen bfpA terletak di plasmid yang disebut EPEC adherence factor (EAF), yang
digunakan untuk mengklasifikasikan kelompok bakteri ini menjadi strain tipikal dan atipikal (Kaper
1996 diacu dalam Afset et al. 2004).
Sumber : Nougayrède et al. (2003)
Gambar 4. Fase patogenesis EPEC
Strain E.coli dengan genotipe A/E (eae-) yang mendarat pada plasmid EAF (bfpA-) digolongkan
sebagai EPEC tipikal. Kebanyakan dari strain ini termasuk dalam serotipe O:H (Trabulsi et al. 2002).
Strain dengan genotipe A/E yang tidak berpengaruh dengan plasmid EAF (bfpA-) diklasifikasikan
sebagai EPEC atipikal. Gen eae positif pada strain E.coli ini mendarat pada gen Shiga toksin (stx1
dan/atau stx2) yang sering diklasifikasikan sebagai Enterohaemorrhagic E.coli (Afset et al. 2004).
Menurut Oyetayo (2004), dosis E.coli 105 cfu/ml telah dapat menimbulkan diare pada tikus
percobaan. EPEC dapat menyebabkan diare yang durasinya kurang lebih lima hari (Janda dan Abbot
2006).
2.8. USUS HALUS
Usus halus merupakan tempat penyerapan sari-sari makanan. Untuk itu, usus halus memiliki
struktur khusus yang dapat meningkatkan pencernaan dan penyerapan sari-sari makanan, seperti
adanya mukosa plicae dan vili. Modifikasi dan peningkatan mikrovili di sepanjang permukaan apikal
sel luminal didesain untuk memperluas luas permukaan penyerapan (Samuelson 2007).
Panjang usus halus tergantung pada ukuran seluruh tubuh hewan. Pada anjing, usus halus
mencapai 3-3.5 kali panjang tubuhnya. Pada kuda mencapai lima kali atau lebih panjang tubuhnya.
Lipatan mukosa atau plicae (juga disebut plicae circulares) merupakan perpanjangan semisirkular
yang mencapai lumen dan menghasilkan lebih dari dua kali permukaan dari lapisan epitel. Di
sepanjang mukosa dalam, perpanjangan yang lebih kecil dari plicae yang mencapai lumen,
membentuk vili. Setiap vili memiliki inti lamina propria, yang terdiri dari loops kapiler, saluran
limfatik, jaringan yang terhubung lepas dengan sel plasma dan limfosit, corresponding extracelluler
matrix, dan serabut otot halus yang memanjang secara vertikal. Vili meningkatkan luas permukaan
hingga 10 kali atau lebih. Selain plicae dan vili, kebanyakan sel yang membentuk epitelium mukosa
memiliki mikrovili yang seperti pasak, modifikasi sel yang dapat meningkatkan luas permukaan
hingga 20-40 kali (Samuelson 2007).
Meskipun sel penyerapan mampu menyediakan material pencernaan (seperti enzim) yang dapat
meningkatkan penyerapan, sumber enzim pencernaan lain terdapat di sepanjang usus halus. Sumber
tersebut antara lain, kelenjar submukosa yang berada di antara plicae dan vili, dan pankreas. Usus
halus terbagi menjadi 3 region yaitu duodenum, jejunum, dan ileum. Duodenum memiliki vili paling
banyak dan paling besar dibandingkan jejunum dan ileum. Crypts pada duodenum paling berkembang
dan paling banyak (Samuelson 2007).
Mukosa usus halus berperan dalam penyerapan nutrisi dan dengan demikian mukosa memiliki
permukaan yang lembut dan mudah diserang. Mukosa terdiri dari epitelium sendiri dan didukung oleh
jaringan penghubung yang longgar, yang disebut lamina propia, yang berada di bawah epitelium
(Gambar 5). Jaringan penghubung yang lebih dalam yang mendukung mukosa disebut submukosa.
Dalam saluran pencernaan (GI tract), terdapat lapisan tipis otot halus, mukosa muskularis, yang
berada di perbatasan antara mukosa dan submukosa. Epitelium terdiri dari sel penyerapan (enterosit)
dengan sel goblet (mensekresi mukus untuk pelumasan) yang tidak beraturan. Lapisan epitel
ditingkatkan melalui pembentukan vili. Pelekukan crypts yang terdiri dari sel batang akan mengganti
sel epitelium secara terus menerus. Lamina propria menempati inti dari vili, menyelubungi crypts,
dan memiliki banyak sel imun. Muskularis mukosa berperan sebagai pendukung lokal dalam
menggerakan permukaan mukosa untuk meningkatkan sekresi dan penyerapan nutrisi (King 2009).
Konsentrasi bakteri di dalam usus halus mencapai 1 juta per ml. Pada bagian duodenum jumlah
bakteri mencapai 101-103 cfu/ml dan yang tumbuh dengan baik adalah bakteri kokus dan batang gram
positif. Pada bagian jejunum, jumlah bakterinya 104-107 cfu /ml dan terdiri dari berbagai macam
bakteri seperti Enterococcus faecalis, Lactobacilli, diphtheroids, dan khamir Candida albicans.
jumlah bakteri pada ileum sama dengan pada jejunum karena kondisinya yang hampir sama, namun
jenis bakteri yang terdapat di ileum sama dengan bakteri yang terdapat pada kolon yang mayoritas
adalah bakteri anaerob (Slonczewski dan Foster 2010).
Sumber : DOTE Anatomy Topics,University of Debrecen (2008).
Gambar 5. Histologi usus halus yang menunjukkan vili dan lapisan mukosa.
Fungsi mikroflora dalam usus halus antara lain proteksi, struktur, dan metabolik. Fungsi proteksi
antara lain (1) mikroflora dalam usus halus melindungi inang dengan mencegah patogen menempel,
(2) bakteri menstimulasi pertumbuhan lapisan usus dan sistem imun pada usus, (3) bakteri
berkompetisi dengan patogen untuk mendapatkan nutrisi, sehingga menyulitkan patogen untuk
tumbuh, (4) mikroflora menghasilkan antibakteri untuk membunuh kompetitor seperti patogen
(Slonczewski dan Foster 2010).
Fungsi strukturnya antara lain (1) flora dalam usus halus menyusun bagian dari barrier usus, (2)
flora dalam usus merupakan faktor penting dalam perkembangan sistem imun. Fungsi pada metabolik
antara lain (1) mikroflora melindungi inang dari metabolik karsinogenik, (2) mikroflora menyediakan
vitamin sintesis seperti biotin dan folat, (3) membantu pembuatan vitamin K, yang diserap dan
digunakan oleh inang, dan (4) bakteri sangat penting dalam aktivitas otot usus halus (Slonczewski dan
Foster 2010).
III. BAHAN DAN METODE
3.1. BAHAN DAN ALAT
3.1.1. Bahan
Bahan baku yang digunakan dalam pembuatan yogurt adalah susu skim bubuk, kultur murni
(Lactobacillus bulgaricus FNCC 004P, Streptococcus thermophillus FCNN 1903, Lactobacillus
fermentum 2B4, dan Lactobacillus plantarum 2C12), fruktooligosakarida (FOS) Orafti®, akuades dan
sukrosa.
Bahan-bahan lain yang digunakan adalah bahan ransum, bahan analisis mikrobiologi dan bahan
analisis histologi dan imunohistokimia. Bahan ransum antara lain AMDK, kasein, CMC
(carboxymethylcellulosa), minyak jagung, mineral mix, vitamin mix, dan pati jagung. Bahan analisis
mikrobiologi yang digunakan antara lain akuades, MRSB (de Man Rogosa Sharpe Broth), MRSA (de
Man Rogosa Sharpe Agar), NA (Nutrient Agar), NB (Nutrient Broth), EMBA (Eosin Methylene Blue
Agar), spirtus, dan KH2PO4. Bahan yang digunakan untuk pewarnaan hematoksilin-eosin dan
imunohistokimia antara lain tikus, larutan Bouin (campuran asam pikrat, formaldehid 4%, dan asam
asetat glasial 15:5:1), alkohol 70%, alkohol 80%, alkohol 90%, alkohol 95%, alkohol absolut, xylol,
parafin, akuades, hematoxylin, eosin alkohol, metanol, H2O2, serum normal, PBS (Phosphate Buffered
Saline), aquabidest, antibodi primer IgA, antibodi sekunder Dako K1491, kromogen diamino
benzidine (DAB), larutan neofren, toluen, dan entelan.
3.1.2. Alat
Alat yang digunakan dalam penelitian ini antara lain alat analisis mikrobiologi, alat
pemeliharaan hewan uji dan alat analisis histologi dan imunohistokimia. Alat yang digunakan untuk
analisis mikrobiologi antara lain cawan petri, tabung reaksi, gelas piala, gelas ukur, labu takar,
erlenmeyer, pipet, mikropipet, gelas pengaduk, sudip, jarum ose, bunsen, autoklaf, oven, dan
inkubator. Alat pemeliharaan hewan uji adalah kandang, tempat ransum, botol minum, sonde,
timbangan dan saringan. Alat yang digunakan untuk proses pewarnaan hematoksilin-eosin dan
imunohistokimia antara lain botol sampel, silet, alat bedah, waterbath, mikroskop, cetakan blok
(pagoda), bunsen, balok kayu, gelas objek, mikrotom, inkubator, cover glass, gelas ukur, pipet, tabung
ependorf, mikropipet, dan refrigerator.
3.2. METODE
Metode penelitian ini terdiri dari penelitian pendahuluan dan penelitian utama (Gambar 6).
Penelitian pendahuluan berupa pengujian antibakteri terhadap EPEC secara in vitro. Penelitian utama
berupa pengujian aktivitas antidiare dan imunomodulator secara in vivo pada tikus percobaan.
Penelitian
Pendahuluan
Pembuatan formula yogurt sinbiotik:
1. F1: L. bulgaricus + S. thermophillus + FOS 5%
2. F2: L. bulgaricus + S. thermophillus + L. plantarum
2C12 + FOS 5%
3. Formula 3: L. bulgaricus + S. thermophillus + L.
fermentum 2B4 + FOS 5%
4. Formula 4: L. bulgaricus + S. thermophillus + L.
plantarum 2C12 + L. fermentum 2B4 + FOS 5%
Pengujian antibakteri penyebab diare secara in vitro
Diperoleh formula terbaik yogurt sinbiotik
Penelitian
Utama
Pengujian antidiare formula yogurt sinbiotik terbaik secara
in vivo yang terdiri dari kelompok:
1. Kontrol negatif
2. Kontrol positif
3. Yogurt sinbiotik formula terbaik
4. Yogurt sinbiotik formula terbaik + EPEC
5. Yogurt prebiotik
Dilakukan terminasi terhadap tikus percobaan
Analisis profil histologi dan imunohistokimia
IgA duodenum tikus percobaan
Gambar 6. Diagram alir penelitian
3.2.1. Penelitian Pendahuluan
Penelitian pendahuluan ini merupakan pengujian antibakteri terhadap EPEC secara in vitro.
3.2.1.1. Pembiakan Kultur
Penelitian ini diawali dengan pembiakan kultur yogurt yaitu Lactobacillus bulgaricus dan
Streptococcus termophilus serta BAL probiotik indigenus (Lactobacillus plantarum 2C12 dan
Lactobacillus fermentum 2B4). Kultur murni disegarkan pada media de Man Rogosa Sharpe Broth
(MRSB), dengan cara memasukkan 1 ml kultur murni ke dalam 10 ml MRSB, kemudian
diinkubasikan pada suhu 37oC selama 24 jam. Setelah didapatkan kultur murni segar, sebanyak 2%
kultur murni diinokulasikan ke dalam larutan susu skim steril 10%. Kultur tersebut kemudian
diinkubasi pada suhu 37oC selama 24 jam yang hasilnya disebut kultur induk. Sebanyak 2% dari
kultur induk diinokulasikan ke dalam larutan susu skim steril 10 % yang ditambah glukosa 2% dan
diinkubasi pada suhu 37oC selama 24 jam yang hasilnya disebut kultur kerja. Kultur kerja dipupukkan
pada media de Man Rogosa Sharpe Agar (MRSA) untuk mengetahui populasinya. Kultur yang
memenuhi syarat untuk siap dijadikan kultur starter yogurt adalah kultur dengan populasi ≥ 108
cfu/ml.
3.2.1.2. Pemeliharaan Kultur Stok
Kultur stok diperbaharui setiap minggu agar aktivitasnya tidak berkurang. Kultur stok yang
disimpan terlalu lama dapat mengakibatkan berkurangnya aktivitas bakteri karena habisnya substrat
dan penumpukan metabolit. Pemeliharaan kultur stok menggunakan metode Hariyadi et al. (2001),
yaitu dengan metode tusukan pada chalk semi solid. Kultur ditusukan ke media chalk semi solid,
kemudian diinkubasikan pada suhu 43o-45oC selama 24 jam. Setelah diinkubasi kultur disimpan
dalam refrigerator. Pada saat akan digunakan kembali, kultur diambil sebanyak 1 loop dari media
chalk semi solid kemudian diinokulasikan ke dalam MRSB dan diinkubasi pada suhu 43o-45oC selama
24 jam.
3.2.1.3. Pembuatan Yogurt Sinbiotik
BAL indigenus yang diperoleh dari isolasi bakteri pada daging sapi pasar tradisional Bogor yaitu
Lactobacillus plantarum 2C12 dan Lactobacillus fermentum 2B4, selanjutnya diaplikasikan pada
pembuatan yogurt sinbiotik (mengandung probiotik dan prebiotik). Jenis prebiotik yang ditambahkan
dalam masing-masing formula yogurt adalah FOS 5%.
Keempat jenis formula yogurt sinbiotik yang akan dibuat adalah:
1.
2.
3.
4.
L. bulgaricus + S. thermophillus
L. bulgaricus + S. thermophillus + L. plantarum 2C12
L. bulgaricus + S. thermophillus + L. fermentum 2B4
L. bulgaricus + S. thermophillus + L. plantarum 2C12 + L. fermentum 2B4.
Pembuatan yogurt sinbiotik ini diawali dengan pencampuran antara 12 % susu skim bubuk, 5%
FOS dan 5% sukrosa, dan sisanya air. Kemudian larutan tersebut dipasteurisasi pada suhu 85oC
selama 30 menit. Setelah itu ditunggu hingga suhu mencapai 45oC, kemudian 3% kultur kerja
campuran (1:1) diinokulasikan ke dalam larutan tersebut. Larutan yang telah berisi kultur kerja
dimasukkan ke dalam cup-cup yang telah disterilisasi. Kemudian diinkubasikan pada suhu 37oC
selama 24 jam. Setelah inkubasi selama 24 jam, yogurt dalam cup-cup tersebut dimasukkan ke dalam
refrigerator pada suhu 10oC selama 2-3 jam untuk menghambat laju fermentasi.
3.2.1.4. Uji Antibakteri Penyebab Diare Yogurt Sinbiotik (in vitro)
Setelah didapatkan empat formula dari yogurt sinbiotik, kemudian dilakukan uji penghambatan
terhadap bakteri penyebab diare melalui uji kontak. Uji kontak adalah metode untuk mengevaluasi
daya antimikroba suatu zat dengan cara membandingkan jumlah bakteri uji, sebelum dan sesudah
mengalami kontak dengan zat tersebut (Fardiaz 1989).
Tahap awal uji kontak adalah mempersiapkan kultur bakteri uji, yaitu bakteri Enterophatogenic
Escherichia coli K1.1 (EPEC K1.1) umur 24 jam. Kemudian ke dalam yogurt dimasukkan 1% bakteri
EPEC K1.1 umur 24 jam dari media Nutrient Broth (NB). Jumlah ini setara dengan 106 sel EPEC
K1.1 yaitu jumlah yang cukup untuk menyebabkan diare.
Yogurt yang telah dikontaminasi dengan EPEC K1.1, divorteks untuk menyebarkan sel-sel
bakteri. Yogurt tersebut diinkubasikan selama 2, 4 dan 6 jam pada suhu 37oC. Setelah selesai
diinkubasi, dilakukan penghitungan banyaknya sel EPEC K1.1 yang bertahan hidup melalui metode
hitungan cawan dengan media selektif Eosin Methylen Blue Agar (EMBA). Selain itu, juga dilakukan
penghitungan jumlah sel 1% EPEC K1.1 sebelum dilakukan kontak dengan yogurt melalui metode
hitungan cawan dan menggunakan media selektif EMBA. Selisih jumlah EPEC K1.1 sebelum dan
sesudah kontak menjadi tolok ukur daya antibakteri yogurt, semakin besar selisihnya maka semakin
potensial yogurt tersebut sebagai antibakteri penyebab diare.
3.2.2. Penelitian Utama
Penelitian utama merupakan uji imunomodulator dan antidiare yogurt sinbiotik secara in vivo
menggunakan tikus percobaan yang diinjeksi dengan EPEC.
3.2.2.1. Pengelolaan Hewan Percobaan
Hewan percobaan yang digunakan dalam penelitian ini adalah tikus albino Norway rats (Rattus
novergicus) galur Sprague Dawley umur 5-6 minggu berjenis kelamin jantan yang berasal dari Pusat
Studi Biofarmaka Lembaga Penelitian dan Pengabdian Masyarakat Institut Pertanian Bogor (LPPM
IPB).
Kandang yang digunakan adalah kandang plastik berwarna yang berukuran 17.5 x 23.75 x 17.5
cm, dengan jumlah sesuai dengan jumlah tikus yang digunakan yaitu 70 ekor. Kandang plastik
tersebut ditutup menggunakan kawat besi. Alas dalam kandang menggunakan sekam padi yang telah
disterilisasi dan diganti 3 hari sekali. Kandang tikus berlokasi pada tempat yang bebas dari suara ribut,
dan terjaga dari asap industri atau polutan lainnya. Lantai mudah dibersihkan dan disanitasi. Suhu
optimum ruangan untuk tikus adalah 22-24oC dan kelembaban udara 50-60%, dengan ventilasi yang
cukup namun tidak ada jendela yang terbuka (Muchtadi 1993).
Penimbangan berat badan tikus dilakukan setiap tiga hari sekali dan pada saat akan dilakukan
terminasi. Pemberian ransum standar dilakukan setiap hari sebanyak 20 gram (ad libitum), yang
sebelumnya telah dilakukan masa adaptasi selama 3 hari. Air minum yang digunakan merupakan air
minum dalam kemasan yang diganti setiap harinya.
3.2.2.2. Ransum
Komposisi ransum basal disusun berdasarkan AOAC (1995) dan dapat dilihat pada Tabel 6.
Tabel 6. Komposisi campuran ransum basal
Bahan-bahan
Jumlah (%)
Protein kasein (10%) (a)
Minyak jagung (b)
Campuran mineral (c)
Komposisi (%)
a = 1.60 x 100% N kasein
11.87
[(8 – a) x % kadar lemak]/ 100
7.87
[(5 - a) x % kadar abu]/100
4.79
Campuran vitamin (d)
1
CMC (carboxymethylcellulosa) (e)
1.00
[(1 – a) x % kadar serat]/100
1.00
Air (f)
[(5 – a) x % kadar air]/100
3.62
Maizena (pati jagung)
100 – (a + b+ c + d + e + f)
69.85
Sumber : AOAC (1995)
3.2.2.3. Uji Imunomodulator dan Antidiare Yogurt Sinbiotik ( in vivo)
Pengujian ini dilakukan sesuai petunjuk Zoumpopoulou et al.(2008) hanya berbeda bakteri
patogen yang digunakan. Yogurt dengan populasi BAL sebanyak 109cfu/ml diberikan kepada tikus
percobaan sebanyak 1 ml/hari, sedangkan populasi EPEC diberikan dengan dosis 107 cfu/ml sebanyak
1 ml/hari. Tikus dibagi menjadi enam kelompok, seperti pada Tabel 7 dan Gambar 7. Adaptasi
dilakukan selama tiga hari pertama dengan pemberian makanan ransum basal terhadap semua tikus.
Setiap kelompok terdiri dari 15 ekor tikus sebagai ulangan kecuali kelompok tikus yogurt
prebiotik yang terdiri dari 5 ekor. Pembedahan tikus untuk analisis peubah yang diamati dilakukan
pada hari ke-7, 14, dan 21, masing-masing sebanyak lima ekor sebagai ulangan. Selain itu terdapat
pula lima ekor tikus sebagai kelompok baseline yang akan dibedah pada hari ke-0 setelah masa
adaptasi. Dengan demikian jumlah tikus yang digunakan adalah 70 ekor tikus.
Pemberian yogurt sinbiotik dan EPEC K1.1 dilakukan melalui pencekokan. Kelompok tikus
yang tidak mendapatkan perlakuan yogurt sinbiotik dan atau EPEC K1.1 dicekok menggunakan air
minum sehingga mengalami stres yang sama dengan tikus yang dicekok dengan yogurt sinbiotik dan
atau EPEC K1.1.
Tabel 7. Kelompok tikus percobaan berdasarkan perlakuan yang diberikan
Kelompok
Perlakuan
Tikus
A
Ransum basal/ kontrol negatif
B
Ransum basal dan yogurt sinbiotik F3 (L.fermentum + FOS 5%)
C
Ransum basal, yogurt sinbiotik F3 dan EPEC K1.1
D
Ransum basal dan EPEC K1.1/ kontrol positif
E
Ransum basal dan yogurt prebiotik
H(-3)
H(0)
H(7)
H(14)
H(21)
T2
T3
Cekok EPEC
Adaptasi
106 cfu/ml
T0
T1
Gambar 7. Bagan perlakuan tikus percobaan
Keterangan :
T0= terminasi awal (5 ekor)
T1= terminasi hari ke-7 (5 ekor tikus setiap kelompok)
T2= terminasi hari ke-14 (5 ekor tikus setiap kelompok)
T3= terminasi hari ke-21 (5 ekor tikus setiap kelompok)
Pemberian yogurt sinbiotik F3 dilakukan selama 3 minggu dari H0 hingga H20 pada kelompok
tikus yogurt sinbiotik (B) dan kelompok tikus yogurt sinbiotik + EPEC K1.1 (C). Pemberian cekok
EPEC K1.1 dilakukan selama 1 minggu yaitu pada H7 hingga H13 pada kelompok tikus yogurt
sinbiotik + EPEC K1.1 (C) dan kelompok tikus kontrol positif (D). Pemberian yogurt prebiotik
dilakukan selama 3 minggu dari H0 hingga H20 pada kelompok tikus yogurt prebiotik (E).
3.2.2.4. Pengambilan dan Pengukuran Kadar Air Sampel Feses Tikus
Pengukuran kadar air feses bertujuan untuk melihat terjadinya diare pada tikus percobaan. Kadar
air feses yang tinggi menjadi indikator terjadinya pada tikus percobaan. Feses tikus percobaan diambil
secara aseptik langsung dari anus tikus dan diletakkan dalam plastik steril. Pengambilan sampel feses
dilakukan selama pemberian cekok EPEC K1.1 dan setelah pemberian EPEC K1.1 dihentikan.
Sampel feses tikus percobaan diletakkan dalam cawan aluminium yang telah dioven selama
minimal 30 menit dan ditimbang. Kemudian sampel feses dalam cawan ditimbang untuk mendapatkan
data berat feses awal. Sampel feses dalam cawan kemudian dimasukkan ke dalam oven pengering dan
dikeringkan selama 24 jam. Setelah 24 jam sampel feses dalam cawan ditimbang untuk mendapatkan
data berat akhir. Penghitungan kadar air feses tikus percobaan menggunakan Rumus 1.
Rumus :
(W – (W1 – W2)) x 100
(1)
W
Keterangan :
W = bobot contoh sebelum dikeringkan
W1 = bobot contoh + cawan kering kosong
W2 = bobot cawan kosong
3.2.2.5. Analisis Histologi Jaringan Usus Halus (Kiernan 1999)
Analisis histologi jaringan usus halus (duodenum) tikus percobaan dilakukan dengan pewarnaan
Hematoksilin-Eosin (HE). Awalnya, jaringan usus halus (duodenum) dipotong sepanjang 2 cm
(masing-masing) setelah hewan dikorbankan, kemudian difiksasi terlebih dahulu selama 24 jam
dengan larutan Bouin. Larutan Bouin terdiri dari larutan asam pikrat jenuh, formalin p.a., dan asam
asetat glasial dengan perbandingan 15 : 5 : 1.
Lalu, sampel tersebut didehidrasi dengan alkohol bertingkat. Untuk tahap dehidrasi ini, alkohol
yang digunakan secara berturut-turut adalah alkohol 70%, 80%, 90%, dan 95%, masing-masing
selama 24 jam. Setelah itu, tahap dehidrasi ini dilanjutkan dengan menggunakan alkohol absolut I, II,
dan III, masing-masing selama 1 jam.
Tahap berikutnya adalah penjernihan (clearing). Pada tahap ini, sampel yang telah didehidrasi
dimasukkan ke dalam xylol I, II, dan III, masing-masing selama 1 jam. Pada xylol III, 30 menit
pertama dilakukan di suhu ruang, 30 menit berikutnya di dalam inkubator suhu 60oC. Selanjutnya,
dilakukan tahap infiltering (infiltrasi) dengan memasukkan sampel ke dalam parafin I, II, dan III,
masing-masing selama 1 jam pada suhu 60°C. Setelah itu, dilakukan tahap embedding (pencetakan)
yaitu penanaman jaringan dalam parafin yang kemudian dibuat blok-blok jaringan.
Setelah itu, jaringan usus yang sudah berada dalam bentuk blok parafin dipotong setebal 4 µm
dengan mikrotom. Hasil potongan tersebut kemudian direndam dalam akuades, lalu dibentangkan
dalam akuades yang dipanaskan dalam waterbath suhu 40 - 45°C. Selanjutnya, jaringan tersebut
diletakkan pada gelas objek, lalu dimasukkan ke dalam inkubator 40°C selama ± 24 jam.
Jaringan pada gelas obyek yang telah siap untuk diwarnai kemudian dideparafinisasi dengan
xylol kemudian direhidrasi dengan alkohol bertingkat. Pada tahap deparafinasi, jaringan pada gelas
objek yang telah diinkubasi dicelupkan ke dalam xylol III, II dan I selama 3 menit. Lalu pada tahap
rehidrasi, jaringan dicelupkan ke dalam alkohol absolut III, II, dan I selama 3 menit, alkohol 95%,
90%, 80% dan alkohol 70% selama 3 menit. Setelah itu, dilakukan pencucian dengan air kran selama
10 menit, kemudian dengan akuades selama minimal 5 menit (stopping point).
Selanjutnya, potongan jaringan tersebut diwarnai dengan Hematoksilin-Eosin (HE) dengan
pencucian air kran dan akuades di antaranya. Pewarnaan dengan hematoksilin dilakukan selama 1 – 2
menit kemudian jaringan tersebut dicuci dengan air kran selama 10 menit dan akuades selama
minimal 5 menit (stopping point). Lalu, pewarnaan dilanjutkan dengan Eosin selama 2 menit
kemudian dilanjutkan dengan dehidrasi.
Dehidrasi dilakukan dengan mencelupkan sampel jaringan ke dalam alkohol 70%, 80%, 90%,
dan 95% selama beberapa detik, yang dilanjutkan dengan pencelupan ke dalam alkohol absolut I
selama beberapa detik, alkohol absolut II dan alkohol absolut III selama 1 menit. Tahap selanjutnya
adalah tahap penjernihan ulang (clearing) dilakukan dengan mencelupkan sampel jaringan ke dalam
xylol I selama beberapa detik, xylol II dan III selama 1 menit. Selanjutnya, tahap mounting dilakukan
dengan menetesi sampel jaringan dengan entelan atau kanada balsam, kemudian sampel jaringan
tersebut ditutup dengan cover glass.
Setelah itu, dilakukan pengamatan terhadap gambaran umum histopatologi jaringan usus halus
(duodenum), persentase kerusakan vili dan pengukuran rata-rata tebal mukosa usus duodenum.
3.2.2.6. Analisis Imunohistokimia IgA Usus Halus (Kiernan 1999)
Analisis kandungan imunoglobulin A (IgA) pada usus halus tikus percobaan dilakukan
menggunakan teknik pewarnaan imunohistokimia (Kiernan 1990). Pewarnaan imunohistokimia
bertujuan untuk melihat komponen aktif, seperti enzim dan hormon, yang terdapat di dalam sel atau
jaringan. Prinsip dari teknik imunohistokimia adalah adanya ikatan kunci dan gembok antara antigen
(Imunoglobulin A) dan antibodi (anti-IgA). Prinsip teknik pewarnaan imunohistokimia dapat dilihat
pada Gambar 8.
G
Gambar
8. Prinnsip teknik pew
warnaan imunoohistokimia
Imunogloobulin A yangg terdapat dalaam jaringan (m
mukosa usus) dikenal sebag
gai antigen olleh
a
antibodi
primeer (anti-IgA). Antibodi
A
primeer berikatan deengan antigen, selanjutnya anntibodi sekundder
y
yang
dikonjug
gasi dengan peeroksidase akaan bereaksi deengan antibodii primer, sehin
ngga keberadaaan
p
peroksidase
inii melambangkaan adanya kom
mpleks antigen--antibodi. P eroksidase ini berfungsi untuuk
m
mengkatalis
reeaksi antara krromogen (diam
mo benzidine atau DAB) daan hidrogen peroksida
p
(H2O2)
s
sehingga
terbentuk endapaan warna cokklat sebagai visualisasi
v
adaanya IgA. Deengan demikiian
p
pembentukan
warna coklat menunjukkan adanya ikatan
n antara antiboodi dan antigeen (IgA). Warrna
c
coklat
juga meenunjukkan keeberadaan IgA.. Semakin tua intensitas dan semakin luas distribusi warrna
c
coklatnya
mak
ka semakin banyak kandunngan IgA-nya. Berikut adalah reaksi yanng terjadi dalaam
p
pembentukan
endapan
e
warnaa coklat.
Prosedur analisis imunnohistokimia IggA sama sepeerti prosedur pewarnaan
p
Hem
matoksilin-Eossin
ppada analisis histologi
h
jaringgan usus haluss dari awal hinngga tahap embbedding dan pemotongan
p
blok
j
jaringan
dengaan mikrotom, kecuali
k
pada taahap pelekatann preparat ususs ke gelas objeek di mana gellas
o
objek
sebelum
m digunakan harus
h
dicuci bersih dengan teknik sonikassi, kemudian dikeringkan dan
d
d
diberi
larutan neofren dalam
m toluen (toluenn : neofren = 9 : 1). Tujuann pemberian neeofren ini adallah
a
agar
preparat usus
u
menempell dengan baik pada
p
gelas objek dan tidak m
mudah terlepas pada saat prosses
p
pewarnaan
imu
unohistokimia..
Sebelum dilakukan pew
warnaan, sediaaan jaringan usuus halus didepaarafinisasi dengan larutan xyllol
I II, dan I selama 5 men
III,
nit dengan tujjuan untuk meelarutkan paraafin dari jaringgan. Setelah ittu,
d
dilakukan
rehiddrasi dengan alkohol,
a
sediaann jaringan usus halus dimasuukkan ke dalam
m larutan alkohhol
a
absolut
III, II, dan I serta alkohol
a
95%, 90%,
9
80%, dan
n 70% selamaa 3 menit. Seteelah itu, sediaaan
t
tersebut
diren
ndam dalam air
a
kran selaama 5 menit kemudian dirrendam dalam
m air bebas ion
(
(aquabidest)
seelama 3 menit (stopping poinnt).
Tahap beerikutnya adalaah penghilangaan peroksidasee endogen. Padda tahap ini, po
otongan jaringgan
t
tersebut
diinku
ubasikan (dicellupkan) dalam
m larutan yang mengandung ccampuran metaanol (30 ml) dan
d
H2O2 (0.3 ml) selama 15 meenit pada konddisi gelap. Kem
mudian, sediaann direndam di dalam air bebbas
i sebanyak dua
ion
d kali, masing-masing selama 5 menit dan
d dalam PBS (Phosphate Buffered Salinne)
s
sebanyak
dua kali,
k masing-m
masing selama 5 menit.
Sediaan jaringan ususs lalu diinkubbasikan dalam
m serum norm
mal untuk memblok
m
antiggen
n
nonspesifik.
Sediaan
S
diletakkkan pada kottak sediaan daan masing-massing ditetesi dengan
d
50-60 µl
s
serum
normal (10% dalam PBS),
P
kemudian
an diinkubasi pada
p
suhu 37°C
C selama 60 menit.
m
Setelah ittu,
sediaan dicuci dengan PBS sebanyak tiga kali, masing-masing selama 5 menit. Kemudian masingmasing sediaan ditetesi dengan 50-60 µl antibodi primer/monoklonal IgA (Anti-Rat IgA, α-chain
specific developed in goat, SIGMA), lalu diinkubasi dalam refrigerator selama semalam (± 19 jam).
Selanjutnya, dilakukan pencucian dengan PBS sebanyak tiga kali, masing-masing selama 10 menit.
Setelah itu, potongan jaringan ditetesi dengan 50-60 µl antibodi sekunder Dako Envision
Peroxidase System atau DEPS (K401) pada kondisi gelap, kemudian diinkubasi pada suhu 37°C
selama 60 menit. Kemudian, sediaan dicuci kembali dengan PBS sebanyak tiga kali, masing-masing
selama 5 menit.
Kemudian, reaksi positif divisualisasikan dengan menggunakan kromogen Diamino benzidine
(DAB). Visualisasi dengan DAB (3,3’-Diaminobenzidine Tetrahydrochloride-Plus Kit Substrate for
Horsedish Peroxidase) dilakukan dengan mencampurkan reagen 1 + reagen 2 + reagen 3 dengan air
bebas ion dengan perbandingan 1 : 1 : 1 : 20. Sementara itu, larutan DAB yang diteteskan adalah
sebanyak 50-60 µl, lalu DAB dibiarkan bereaksi pada ruang gelap selama 30 menit. Setelah itu,
sediaan tersebut direndam dalam air bebas ion (stopping point).
Tahap berikutnya adalah pewarnaan dengan counterstrain menggunakan Hematoxylin dengan
cara merendam sediaan dalam Hematoxylin selama 1-4 detik, yang dilanjutkan dengan perendaman
dalam air bebas ion minimal selama 5 menit hingga mendapatkan warna yang kontras antara warna
coklat dengan biru dari Hematoxylin. Kemudian, dilakukan dehidrasi dengan mencelupkan sediaan ke
dalam alkohol 70%, 80%, 90%, dan 95%, dan dalam alkohol absolut I selama beberapa detik, lalu
direndam dalam alkohol absolut II dan III, masing-masing selama 1 menit. Setelah itu, dilakukan
penjernihan dengan mencelupkan sediaan ke dalam xylol I selama beberapa detik, lalu direndam
dalam xylol II, dan III, masing-masing selama 1 menit.
Tahap akhir dari pewarnaan ini adalah mounting yaitu penempelan cover glass pada sediaan
dengan menggunakan perekat entelan. Setelah itu, preparat imunohistokimia siap untuk diamati di
bawah mikroskop. Keberadaan IgA akan ditunjukkan oleh warna coklat pada mukosa usus halus
tersebut. Semakin tua warna coklat menunjukkan semakin banyak kandungan IgA pada lokasi
tersebut. Terbentuknya warna biru menunjukkan bahwa tidak adanya kandungan IgA pada lokasi
tersebut. Penilaian dilakukan secara deskriptif pada sediaan usus duodenum menggunakan mikroskop
cahaya dengan kriteria seperti pada Tabel 8.
Tabel 8. Kriteria penilaian deskriptif kandungan IgA
Tanda
+
Deskripsi
warna biru yang menunjukan pada bagian tersebut tidak mengandung IgA
atau warna coklat muda hanya pada bagian crypt mukosa usus, atau warna
coklat tua hanya pada bagian crypt mukosa.
++
warna coklat muda hanya pada lapisan epitel dan crypt atau sebagian besar
atau seluruh mukosa usus
+++
warna coklat tua pada pada seluruh bagian atau sebagian besar lapisan epitel
dan crypt mukosa usus.
++++
warna coklat sangat tua pada seluruh bagian atau sebagian besar lapisan
epitel dan crypt mukosa usus.
3.2.2.8. Analisis Data
Analisis statistik dilakukan dengan menggunakan perangkat lunak SPSS 16.0 untuk Windows.
Analisis statistik digunakan untuk menganalisis data aktivitas antibakteri yogurt sinbiotik, berat badan
tikus percobaan, rata-rata konsumsi ransum, kadar air feses tikus percobaan dan ketebalan mukosa
usus duodenum tikus percobaan. Data dianalisis menggunakan SPSS 16.0 dengan metode analisis
General Linier Model Univariate. Jika perlakuan memberikan pengaruh yang nyata (P<0.05 dan
P<0.01), maka digunakan uji lanjut Duncan untuk membandingkan tiap perlakuan.
Analisis kandungan imunoglobulin A (IgA) menggunakan penilaian secara deskriptif pada
sediaan usus duodenum menggunakan mikroskop cahaya. Keberadaan IgA akan ditunjukkan oleh
warna coklat pada mukosa usus halus tersebut. Semakin tua warna coklat menunjukkan semakin
banyak kandungan IgA pada lokasi tersebut. Terbentuknya warna biru menunjukkan bahwa tidak
adanya kandungan IgA pada lokasi tersebut.
IV. HASIL DAN PEMBAHASAN
4.1. YOGURT SINBIOTIK SEBAGAI ANTIBAKTERI PENYEBAB DIARE
Metode yang digunakan untuk mengetahui aktivitas antibakteri yogurt sinbiotik adalah metode
kontak. Pada metode ini yang diuji adalah bakteri probiotik L. plantarum 2C12 dan L. fermentum 2B4
yang terdapat dalam empat formula yogurt. Empat formula yogurt tersebut adalah F1(L.bulgaricus +
S.thermophilus), F2 (L.bulgaricus + S.thermophilus + L.plantarum 2C12), F3 (L.bulgaricus +
S.thermophilus + L.fermentum 2B4), dan F4 (L.bulgaricus + S.thermophilus + L.plantarum 2C12 +
L.fermentum 2B4). Pada masing-masing formula yogurt tersebut ditambahkan 5% FOS
(fruktooligosakarida). Setiap formula yogurt dikontakkan dengan EPEC K1.1 106 cfu/ml selama 2, 4,
dan 6 jam. Hasil aktivitas antibakteri terhadap bakteri EPEC dari masing-masing formula yogurt dapat
dilihat pada Tabel 9.
Tabel 9. Aktivitas antibakteri terhadap EPEC pada keempat formula yogurt
Formula
Rata-Rata Nilai Kematian EPEC
Yogurt
(log cfu/ml)
2 jam
a
4 jam
3.02±0.25
6 jam
a
3.98±0.26a
F1
2.78 ±0.54
F2
2.73±0.23a
3.15±0.50a
4.07±0.48a
F3
2.69±0.30a
3.54±0.38a
4.31±0.88a
F4
2.51±0.72a
3.61±0.23a
4.19±0.43a
Angka yang diikuti dengan huruf yang sama pada setiap kolom memiliki nilai yang tidak berbeda nyata (P>0.05)
Keterangan : F1: L.bulgaricus + S.thermophilus + FOS 5%
F2: L.bulgaricus + S.thermophilus + L.plantarum 2C12 + FOS 5%
F3: L.bulgaricus + S.thermophilus + L.fermentum 2B4 + FOS 5%
F4: L.bulgaricus + S.thermophilus + L.plantarum 2C12 + L.fermentum 2B4 + FOS 5%
Analisis statistik (Lampiran 4 dan Lampiran 5) menunjukkan bahwa masing-masing formula
yogurt tidak berpengaruh nyata terhadap rata-rata log kematian EPEC pada setiap waktu kontak
(P>0.05). Aktivitas antibakteri penyebab diare ini dimungkinkan karena rendahnya derajat keasaman
(pH) yogurt tersebut sehingga menyebabkan kematian bakteri EPEC. Pada umumnya BAL
menghasilkan asam organik, seperti asam laktat dan asam asetat, yang menciptakan lingkungan asam
yang dapat menghambat bakteri patogen (Saulnier et al. 2009). Nilai pH dari masing-masing formula
yogurt dapat dilihat pada Tabel 10.
Tabel 10. Nilai pH dari masing-masing formula yogurt
Formula
Yogurt
Rata-rata pH
F1
4.61 ± 0.23a
F2
4.37 ± 0.18a
F3
4.51 ± 0.07a
F4
4.42 ± 0.31a
Angka yang diikuti dengan huruf yang sama pada setiap kolom memiliki nilai yang tidak berbeda nyata (P>0.05)
Keterangan : F1: L.bulgaricus + S.thermophilus + FOS 5%
F2: L.bulgaricus + S.thermophilus + L.plantarum 2C12 + FOS 5%
F3: L.bulgaricus + S.thermophilus + L.fermentum 2B4 + FOS 5%
F4: L.bulgaricus + S.thermophilus + L.plantarum 2C12 + L.fermentum 2B4 + FOS 5%
Berdasarkan analisis statistika (Lampiran 7) menunjukkan bahwa derajat keasaman (pH)
keempat formula yogurt tidak berbeda nyata (P>0.05). Hal ini menunjukkan bahwa keadaan asam
yang diciptakan oleh BAL dalam formula yogurt dapat menghambat pertumbuhan bakteri EPEC.
Keadaan asam yang tidak berbeda nyata pada setiap formula yogurt menyebabkan aktivitas antibakteri
penyebab diare EPEC yang tidak berbeda nyata.
F1
F2
F3
F4
Gambar 9. Penampakan yogurt F1, F2, F3 dan F4 segera setelah diinkubasi selama
suhu 37o-43 oC
24 jam pada
Penampakan fisik dari masing-masing formula yogurt dapat dilihat pada Gambar 9. Pada gambar
tersebut terlihat bahwa yogurt F1 dan F3 memiliki konsistensi yang lebil stabil dibandingkan yogurt
F2 dan F4. Whey yang dihasilkan yogurt F1 dan F3 lebih sedikit dibandingkan yogurt F2 dan F4. Hal
ini menunjukkan yogurt F3 memiliki konsistensi yang menyerupai yogurt F1. Yogurt F1 merupakan
yogurt yang biasa ditemukan di pasaran yang menggunakan kultur L.bulgaricus dan S. thermophilus.
Tekstur yogurt F3 yang stabil dimungkinkan karena adanya L. fermentum yang memiliki sifat
proteolitik lemah (Sasaki et al. 1995). Sifat proteolitik yang lemah ini menyebabkan kemampuan L.
fermentum dalam memecah kasein, yang merupakan emulsifier alami dalam susu, tidak sampai
menghasilkan whey (pemisahan) yang banyak. Selain itu, menurut Franck (2002), penambahan
prebiotik dalam produk pangan dapat meningkatkan kualitas organoleptik dan komposisi nutrisi yang
lebih seimbang. Pada produk yogurt, prebiotik dapat meningkatkan kualitas tekstur dan mouthfeel,
pengganti gula, dan serat (Wang 2009).
Berdasarkan nilai organoleptik, yogurt F3 menunjukkan konsistensi yang lebih stabil
dibandingkan formula yogurt F2 dan F4. Dengan demikian, yogurt F3 yang mengandung L.
bulgaricus, S. thermophillus, dan probiotik L. fermentum 2B4, serta prebiotik FOS 5% merupakan
formula terbaik yang berpotensi untuk dikembangkan menjadi produk pangan alternatif untuk
menjaga kesehatan saluran pencernaan manusia.
4.2. PENGUKURAN BERAT BADAN DAN KONSUMSI RANSUM TIKUS
PERCOBAAN
pertambahan berat badan
(gram)
Pengukuran berat badan dan konsumsi ransum bertujuan untuk mengetahui pengaruh pemberian
perlakuan yogurt sinbiotik dan EPEC K1.1 terhadap pertambahan berat badan tikus percobaan.
Pertambahan berat badan tikus percobaan selama 21 hari dapat dilihat pada Gambar 10. Analisis
statistika (Lampiran 9) menunjukkan pemberian perlakuan yogurt sinbiotik dan EPEC K1.1 tidak
memberikan pengaruh yang nyata (P>0.05) terhadap kenaikan berat badan tikus percobaan.
7,90
7,80
7,70
7,60
7,50
7,40
7,30
7,20
7,10
7,00
7.83a
7.58a
7.53a
7.46a
7.30a
Kontrol
Negatif
Yogurt
Sinbiotik
Yogurt
Sinbiotik +
EPEC
Kontrol
Positif
Yogurt
Prebiotik
kelompok tikus
Angka yang diikuti dengan huruf yang sama memiliki nilai yang tidak berbeda nyata (P>0.05)
Gambar 10. Pertambahan berat badan tikus percobaan selama 21 hari
rata‐rata konsumsi ransum basal
(g)
Pertambahan berat badan tikus percobaan berkolerasi dengan konsumsi ransum basal tikus
percobaan. Grafik rata-rata konsumsi ransum basal tikus percobaan dapat dilihat pada Gambar 11.
Analisis statistika (Lampiran 11) menunjukkan pemberian perlakuan yogurt sinbiotik dan EPEC K1.1
tidak memberikan pengaruh yang nyata (P>0.05) terhadap konsumsi ransum basal tikus percobaan.
13,1
13
12,9
12,8
12,7
12,6
12,5
12,4
12,3
12,2
12.84a
12.98a
13.03a
Kontrol
positif
yogurt
prebiotik
12.76a
12.54a
Kontrol
negatif
Yogurt
sinbiotik
Yogurt
sinbiotik +
EPEC K1.1
kelompok tikus
Angka yang diikuti dengan huruf yang sama memiliki nilai yang tidak berbeda nyata (P>0.05)
Gambar 11. Rata-rata konsumsi ransum basal tikus percobaan
Beberapaa literatur menyyatakan bahwaa probiotik dappat meningkatkkan penyerapann nutrisi oleh sel
s
iintestinal inan
ng. Bakteri probiotik
p
mennyediakan hassil metabolism
me yang dappat memberikkan
k
keuntungan
baagi inangnya. Simbiosis
S
antaara bakteri prob
biotik dan inanngnya sangat kompleks
k
namuun
k
kemungkinan
b
besar
ditingkaatkan melalui pengkodean
p
ennzim yang berkkaitan dengan penyerapan dan
d
d
degradasi
polissakarida serta biosintesis pollisakarida kapssular oleh gen-gen bakteri probiotik. Enzim
me
enzim
tersebutt mampu mem
mecah zat yangg tidak dapat diserap
d
dan diccerna, dan karb
bohidrat turunnan
i
inang
yang teerletak berdekaatan dengan laapisan permukkaan dinding ssel bakteri. Kemudian
K
bakteeri
m
menggunakan
enzim tersebbut untuk mem
menuhi kebuttuhan energinyya. Selain itu
u, bakteri dappat
m
mengatur
lingkkungan mikro intestinal denggan menyediak
kan karbohidratt yang terfermeentasi. Aktivittas
i juga terjad
ini
di pada lapisann kompleks laiin yang dapat menyediakan tambahan sum
mber nutrisi baagi
i
inang
dan orgaanisme yang adda dalam inangg (Yan F dan Poolk DB 2009).
Studi lariik mikro yang
g dilakukan oleh Hooper ett al. (2002) mengidentifika
m
asi sejumlah gen
g
p
pengatur
bakteeri dalam sel epitel
e
intestinall. Kolonisasi B.
B thetaiotaomiicron dapat meeningkatkan ileeal
N +/ cotranspoorter glukosa, colipase, dann ekspresi apolipoprotein. Molekul
Na
M
tersebuut menjembataani
p
penyerapan
nu
utrisi pada sel epitel
e
intestinall.
Fermentaasi prebiotik daapat menghasillkan asam lem
mak rantai penddek (ALRP). Salah
S
satu ALR
RP
y
yaitu
butirat merupakan
m
pro
oduk dari ferm
mentasi prebiootik yang dappat menghamb
bat pertumbuhhan
p
patogen.
Asam
m lemak rantaai pendek sanggat penting daalam metabolissme inang sebbagai komponnen
p
penyedia
enerrgi bagi inangg. Pada tikuss percobaan, FOS
F
dapat m
meningkatkan hormon salurran
p
pencernaan
gluucagon-like pep
eptide-1 (GLP-1) pada vena portal
p
dan pro--glukagon MRN
NA di proksim
mal
k
kolon
yang daapat mengawaali peningkatann kekenyangan seperti tolerransi glukosa dan sensitivittas
i
inulin
(Delzenn
ne et al. 2007).
4 PENAM
4.3.
MPAKAN DAN
D
KADA
AR AIR FESES TIKUS
S PERCOB
BAAN
Intervensi EPEC K1.1 dapat
d
menyebaabkan terjadinyya diare pada tiikus percobaann. Indikator yanng
ddigunakan untuuk mengetahu
ui terjadinya diiare adalah pennampakan fisikk feses (Gambbar 12) dan annus
(
(Gambar
13), serta
s
pengukurran kadar air feeses (Gambar 14).
Gaambar 12. Peenampakan fesses tikus percobbaan
Penampakkan fisik fesess tikus percobaaan pada Gam
mbar 12 menunj
njukkan kelomppok tikus yoguurt
ssinbiotik (Gam
mbar 12b) mem
miliki feses yaang hitam dan kering sepertii feses kelomppok tikus kontrrol
n
negatif
(Gambbar 12a). Hal inni menunjukkaan pemberian yogurt
y
sinbiotiik dapat memeelihara kesehattan
s
saluran
pencerrnaan usus sepperti keadaan normal. Kelompok tikus yoogurt prebiotikk (Gambar 122e)
m
memiliki
fesess yang hitam dan
d kering sepperti kelompokk tikus kontrol negatif. Hal ini
i menunjukkkan
p
pemberian
yog
gurt prebiotik juga
j
mampu m
menjaga kesehaatan saluran peencernaan ususs seperti keadaaan
n
normal.
Sedanngkan kelomp
pok tikus yoggurt sinbiotik
k + EPEC K
K1.1 (Gambar 12c) memiliiki
p
penampakan
f
feses
coklat, leembek dan beesar seperti fesses kelompok tikus kontrol positif (Gambbar
12d). Hal ini menunjukkan
m
b
bahwa
tikus yaang diintervennsi EPEC menggalami diare yang
y
ditunjukkkan
o
oleh
adanya feses yang coklat dan lem
mbek. Feses tikus yang leembek disebabbkan kurangnnya
p
penyerapan
airr pada tikus yang
y
mengalam
mi diare, sehin
ngga air terakuumulasi pada feses.
f
Pemberiian
y
yogurt
sinbiotiik kurang mam
mpu mencegah terjadinya seraangan EPEC.
Selain peenampakan fissik feses, penampakan anuss tikus percobbaan (Gambar 13) juga dappat
d
digunakan
sebagai indikator terjadinya diarre. Pada Gamb
bar 13 terlihat bahwa kelomp
pok tikus kontrrol
n
negatif
(Gambbar 13a), kelom
mpok tikus yoogurt sinbiotik (Gambar 13bb), dan kelomppok tikus yoguurt
p
prebiotik
(Gam
mbar 13e) mem
miliki anus yanng normal dann tidak bengkaak. Sedangkan kelompok tikkus
y
yogurt
sinbiotiik + EPEC K1.1 (Gambar 113c) memiliki penampakan fisik anus yanng cukup meluuas
n
namun
tidak bengkak.
b
Keloompok tikus kkontrol positiff (Gambar 133d) memiliki anus
a
merah dan
d
b
bengkak
yang menunjukkan terjadinya diarre.
Gam
mbar 13. Penaampakan anus tikus percobaaan
Kadar Air Feses (%)
Beberapa studi menyatakan adanya malabsorpsi mikronutrien dan makronutrien selama
terjadinya diare. Malabsorpsi yang terjadi pada penyerapan gula (glukosa, xilosa, laktosa), lipid,
nitrogen, asam amino, dan protein. Selain itu, air dan vitamin larut air seperti vitamin (B12, folat) serta
mineral (magnesium, zat besi) juga terjadi malabsorpsi. Mekanisme terjadinya malabsorpsi akibat
diare belum jelas. Namun, adanya kejadian diare berhubungan dengan perubahan morfologi pada
saluran usus. Adanya sel yang mati atau berkurangnya permukaan penyerapan pada saluran usus
berkontribusi terhadap kapasitas absorpsi yang menurun (Chen 1983).
Saulnier et al. (2009) menyatakan protein Surface-Layer (S-layer) yang terdapat pada permukaan
probiotik L. crispatus dan L.helveticus mampu mencegah terjadinya pelekatan patogen perusak
makanan, E. Coli O157:H7 Hela, Hep-2 dan sel T84. Kompetisi dalam mendapatkan daerah pelekatan
merupakan tahap penting bagi patogen untuk dapat menyebabkan kerusakan pada sistem penyerapan
nutrisi dan air sehingga terjadi diare. Probiotik dapat mencegah terjadinya diare dengan mengurangi
tempat pelekatan patogen.
Pengukuran kadar air feses merupakan indikator terjadinya diare pada tikus percobaan. Grafik
kadar air feses dapat dilihat pada Gambar 14. Perlakuan memberikan pengaruh nyata (P<0.05)
terhadap kadar air feses tikus percobaan. Analisis statistik (Lampiran 13) menunjukkan kadar air
feses kelompok tikus yogurt sinbiotik lebih rendah dibandingkan kelompok tikus kontrol positif.
Kelompok tikus yogurt sinbiotik memiliki kadar air feses yang tidak berbeda nyata (P>0.05) dengan
kelompok tikus kontrol negatif. Kelompok tikus yogurt sinbiotik + EPEC K1.1 memiliki kadar air
feses yang tidak berbeda nyata (P>0.05) dengan kelompok kontrol positif. Kelompok tikus yogurt
prebiotik memiliki kadar air feses yang tidak berbeda nyata (P>0.05) dengan kelompok tikus lainnya.
70,00
64.85b
65,00
60,00
55.96a
56.01a
Kontrol
Negatif
Yogurt
Sinbiotik
66.87b
63.62a,b
55,00
50,00
Yogurt
Sinbiotik +
EPEC
Kontrol
Positif
Yogurt
Prebiotik
Kelompok Tikus
Angka yang diikuti dengan huruf yang sama menunjukan tidak berbeda nyata pada taraf 5%
Gambar 14. Kadar air feses tikus percobaan
Kadar air yang tinggi pada feses menunjukkan terjadinya diare. Hal ini disebabkan terjadinya
kerusakan vili usus halus sehingga penyerapan air tidak maksimal, sehingga air yang tidak terserap
terakumulasi di feses yang akhirnya menjadikan feses memiliki kadar air yang tinggi. Infeksi EPEC
biasanya menyebabkan diare berair pada anak-anak di negara berkembang. Mekanisme EPEC memicu
terjadinya diare berair masih belum jelas, tidak seperti strain E.coli lainnya, EPEC tidak menghasilkan
toksin. Berdasarkan teori terbaru, pelepasan nukleotida adenin yang berasal dari sel usus inang, yang
diikuti dengan pemecahan adenosin, dapat memicu terjadinya diare berair melalui aktivasi reseptor
adenosin di saluran usus (Crane et al. 2007).
4.4. HISTOLOGI USUS DUODENUM TIKUS PERCOBAAN
Kerusakan vili merupakan indikator terjadinya pelekatan EPEC K1.1 pada vili usus dan
menyebabkan terjadinya kerusakan vili. Kerusakan vili duodenum tikus percobaan pada hari ke-7
dapat dilihat pada Tabel 11.
Tabel 11. Presentase kerusakan vili usus duodenum tikus percobaan
Perlakuan
Rata-rata Kerusakan Villi Usus
Duodenum (%)
Hari ke-7 (sebelum intervensi EPEC)
Kontrol negatif
6.12
Yogurt Sinbiotik
1.22
Yogurt Sinbiotik + EPEC K1.1
2.49
Kontrol positif
5.51
Hari ke-14 (setelah intervensi EPEC selama 7 hari)
Kontrol negatif
5.28
Yogurt Sinbiotik
0.98
Yogurt Sinbiotik + EPEC K1.1
13.62
Kontrol positif
17.94
Hari ke- 21 (7 hari setelah intervensi EPEC dihentikan)
Kontrol negatif
3.04
Yogurt Sinbiotik
1.61
Yogurt Sinbiotik + EPEC K1.1
4.73
Kontrol positif
21.96
Yogurt Prebiotik
3.57
Angka yang diikuti dengan huruf yang sama pada setiap waktu terminasi menunjukan tidak berbeda nyata pada taraf 5%
Kelompok tikus yogurt prebiotik hanya ada pada terminasi hari ke-21
Kerusakan vili usus duodenum tikus percobaan pada hari ke-7 perlakuan dapat dilihat pada
Gambar 15. Pada hari ke-7, kelompok tikus yogurt sinbiotik memiliki kerusakan vili duodenum paling
rendah (1.22%) dibandingkan kelompok tikus lainnya. Kelompok tikus yogurt sinbiotik + EPEC K1.1
juga memiliki kerusakan vili duodenum yang rendah (2.49%) dibandingkan kelompok tikus kontrol
negatif (6.12%) dan kelompok tikus kontrol positif (5.51%). Hal ini menunjukkan bahwa pemberian
probiotik dapat mengurangi terjadinya kerusakan vili duodenum tikus percobaan.
Zubillaga et al. (2001) menyatakan Lactobacillus fermentum yang merupakan bakteri probiotik
mampu menempel pada sel epitel usus duodenum, berkolonisasi di usus, memproduksi substansi
antimikroba sehingga memberikan efek yang menguntungkan bagi kesehatan. Penambahan FOS juga
meningkatkan pertahanan usus terhadap invasi patogen dengan menstimulasi pertumbuhan bakteri
baik yang berada dalam saluran pencernaan.
Keterangan :
menunjukkan skala 200 μm
Gambar 15. Fotomikrograf usus duodenum tikus percobaan terminasi hari ke-7 dengan pewarnaan
hematoksilin eosin.
Hari ke-14, setelah intervensi EPEC selama 7 hari menunjukkan kelompok tikus yogurt sinbiotik
+ EPEC K1.1 (13.62%) memiliki kerusakan vili yang lebih rendah dibandingkan dengan kelompok
tikus kontrol positif (17.94%). Hal ini menunjukkan pemberian yogurt sinbiotik dapat mengurangi
kerusakan vili duodenum tikus percobaan akibat serangan EPEC K1.1. Mekanisme perlindungan
probiotik melawan patogen yaitu melalui kompetisi untuk mendapatkan tempat perlekatan dan nutrisi,
serta mensekresikan substansi antimikroba (Collado et al. 2006). Kelompok tikus yogurt sinbiotik
memiliki kerusakan vili duodenum yang paling rendah (0.98%) dibandingkan kelompok tikus lainnya.
Keterangan :
menunjukkan skala 200 μm
menunjukkan vili usus yang rusak
Gambar 16. Fotomikrograf usus duodenum tikus percobaan terminasi hari ke-14 dengan pewarnaan
hematoksilin eosin.
Kelompok tikus kontrool positif memiiliki presentasee kerusakan viili usus duodennum yang palinng
ttinggi dibandinngkan kelompook tikus lainnyya. Kerusakan vili usus duoddenum akibat intervensi EPE
EC
K dapat diliihat pada Gambbar 16.
K1.1
Pemberiaan cekok EPEC
C K1.1 menyeebabkan terjaddinya kerusakaan vili duodennum. Mekanism
me
E
EPEC
menyebbabkan kerusakkan vili usus adalah
a
dengann membentuk pedestal,
p
yangg disebut denggan
a
attaching
dan effacing (A/E)). Proses ini membutuhkan
m
p
protein
yang ddinamakan trannslocated intim
min
r
receptor
(Tir) yang dikirimkkan ke sel inaang melalui sisstem sekresi tiipe III. Sistem
m sekresi ini dan
d
s
seluruh
proteinn yang dibutuuhkan untuk membentuk
m
A/E
E berlokasi paada pulau patoogenisitas dalaam
l
locus
of enteroocyte effacemeent (LEE). Tir berasosiasi deengan adhesi m
membran luar bakteri, intimiin,
d
dengan
begitu menyebabkann pelekatan EP
PEC pada inanggnya (Celli et al. 2000). Padda saat pelekattan
i EPEC meru
ini
usak mikrovili usus inangnyaa (Lu dan Walk
ker 2001).
Rata-rata presentase kerusakan
k
vili usus duodennum 7 hari seetelah intervennsi EPEC K11.1
d
dihentikan
(haari ke-21) dapaat dilihat padaa Tabel 11. Keerusakan vili uusus duodenum
m 7 hari setellah
i
intervensi
EPE
EC K1.1 dihenttikan (hari ke-221) dapat dilihaat pada Gambaar 17.
Keteranngan :
m
menunjukkan
skkala 200 μm
m
menunjukkan
vili usus yang ruusak
G
Gambar
17. F
Fotomikrograf usus duodenum
m tikus percob
baan terminasii hari ke-21 deengan pewarnaaan
hematoksilin
h
eosin.
Hari ke-21 yaitu 7 hari setelah intervensi EPEC dihentikan menunjukkan kelompok tikus yogurt
sinbiotik memiliki kerusakan vili duodenum paling rendah (1.61%) dibandingkan kelompok tikus
lainnya. Kelompok tikus yogurt sinbiotik + EPEC K1.1 yang lebih rendah (4.73%) dibandingkan
kelompok tikus kontrol positif (21.96%). Hal ini menunjukkan probiotik dalam yogurt sinbiotik
mampu berkompetisi dengan bakteri patogen EPEC K1.1 yang telah menempel pada vili usus
duodenum tikus percobaan. Hal ini sesuai dengan pernyataan bahwa Lactobacillus mampu
menghambat pelekatan E.coli melalui hasil metabolisme Lactobacillus (Ouwehand dan Conway 1996
diacu dalam Lu dan Walker 2001).
Bakteri asam laktat, khususnya Lactobacillus, memproduksi sejumlah substansi antimikroba,
seperti asam organik, hidrogen peroksida, bakteriosin, dan toksin lainnya, yang memperlihatkan
aktivitas penghambatan melawan strain bakteri yang sensitif (Jack et al. 1995 diacu dalam Liong
2007). Probiotik dilaporkan juga menghambat kolonisasi patogen dengan menurunkan reseptor toksin
pada inang (Liong 2007).
Kerusakan vili duodenum pada kelompok tikus yogurt prebiotik (3.57%) lebih tinggi
dibandingkan kelompok tikus kontrol negatif (3.04%). Hal ini menunjukkan prebiotik dalam yogurt
prebiotik kurang mampu mencegah terjadinya kerusakan vili duodenum tikus percobaan.
Asam lemak rantai pendek (ALRP) yang dihasilkan dari fermentasi prebiotik (FOS) oleh bakteri
dapat meningkatkan morfologi mukosa dengan meningkatkan mucin dan menurunkan translokasi
dengan mengikatkan pada reseptor ALRP pada sel imun dalam GALT (gut associated lymphoid
tissue). GALT merupakan suatu jaringan limfoid istimewa pada saluran pencernaan yang memberikan
pertahanan terhadap adanya invasi mikroorganisme (Saulnier et al. 2009).
Ketebalan mukosa merupakan faktor lain terjadinya pelekatan EPEC K1.1 pada usus duodenum
tikus percobaan. Ketebalan mukosa berkaitan dengan kerusakan vili usus duodenum tikus percobaan.
Kerusakan vili usus duodenum yang tinggi menyebabkan ketebalan mukosa usus berkurang.
Ketebalan mukosa duodenum tikus percobaan dapat dilihat pada Tabel 12.
Pengaruh pemberian yogurt sinbiotik terhadap ketebalan mukosa duodenum tikus percobaan
pada minggu pertama (hari ke-7) dapat dilihat pada tabel 12. Analisis statistika ketebalan mukosa
duodenum pada hari ke-7 (Lampiran 19) menunjukkan pemberian yogurt sinbiotik berpengaruh yang
sangat nyata (P<0.01) pada ketebalan mukosa duodenum. Kelompok tikus yogurt sinbiotik memiliki
ketebalan mukosa duodenum yang paling besar dibandingkan kelompok tikus lainnya. Hal ini
menunjukkan bahwa pemberian yogurt sinbiotik dapat meningkatkan kesehatan mukosa duodenum.
Kelompok tikus yogurt sinbiotik + EPEC K1.1 yang belum diintervensi EPEC K1.1 memiliki
ketebalan mukosa duodenum yang tidak berbeda nyata (P>0.05) dengan kelompok tikus kontrol
positif. Hal ini menunjukkan bahwa probiotik dalam yogurt sinbiotik dapat memelihara kesehatan
mukosa duodenum seperti keadaan normal. Pengaruh yogurt sinbiotik terhadap ketebalan mukosa
duodenum dapat dilihat pada Gambar 15.
Probiotik dikenal sebagai mikroba baru bagi saluran pencernaan yang dapat meningkatkan
pemeliharaan dan modifikasi mikrobiota usus (Harish dan Varghese 2006). Pelekatan probiotik pada
saluran usus dan cairan mukus berasosiasi dengan stimulasi sistem imun. Adhesi pada mukosa
merupakan syarat penting bagi probiotik untuk dapat mengendalikan keseimbangan mikrobiota usus.
Keberadaan probiotik mampu menstimulasi sistem imun mukosa dan sistemik inang. Cairan mukus
memiliki fungsi ganda, selain melindungi mukosa dari mikroba tertentu juga menyediakan tempat
pengikatan awal, sumber nutrisi dan matriks tempat bakteri berproliferasi. Hal ini berkaitan
pentingnya pelekatan bakteri patogen pada epitelium saluran usus agar dapat berkolonisasi dan
menginfeksi (Freter 1992 diacu dalam Collado et al. 2006). Menurut Sharma et al. (2005), probiotik
dapat menghasilkan substansi seperti butirat yang mampu menstimulasi proliferasi epitelium normal
dan berperan pada pemeliharaan dinding pertahanan mukosa.
Tabel 12. Ketebalan mukosa duodenum tikus percobaan
Perlakuan
Rata – rata Ketebalan Mukosa
Usus (μm)
Hari ke-7 (sebelum intervensi EPEC)
Kontrol negatif
41.96 ± 10.55a
Yogurt Sinbiotik
57.32 ± 7.83c
Yogurt Sinbiotik + EPEC K1.1
50.58 ± 4.62b
Kontrol positif
47.50 ± 4.30b
Hari ke-14 (setelah intervensi EPEC selama 7 hari)
Kontrol negatif
42.90 ± 5.06b
Yogurt Sinbiotik
52.10 ± 2.52c
Yogurt Sinbiotik + EPEC K1.1
38.79±10.78b
Kontrol positif
21.64 ± 4.61a
Hari ke- 21 (7 hari setelah intervensi EPEC dihentikan)
Kontrol negatif
46.47 ± 3.17b
Yogurt Sinbiotik
45.34 ± 3.29b
Yogurt Sinbiotik + EPEC K1.1
46.92 ± 3.15b
Kontrol positif
25.35 ± 4.11a
Yogurt prebiotik
44.53 ± 6.34b
Angka yang diikuti dengan huruf yang sama pada setiap waktu terminasi menunjukan tidak berbeda nyata pada taraf 5%
Kelompok tikus yogurt prebiotik hanya ada pada terminasi hari ke-21
Ketebalan mukosa usus setelah intervensi EPEC K1.1 selama tujuh hari (hari ke-14) dapat dilihat
pada Tabel 12. Pemberian yogurt sinbiotik dan EPEC K1.1 memberikan pengaruh yang sangat nyata
(P<0.01) pada ketebalan mukosa duodenum tikus percobaan. Analisis statistika (Lampiran 20)
menunjukkan bahwa kelompok tikus yogurt sinbiotik memiliki ketebalan mukosa duodenum yang
paling besar dibandingkan kelompok tikus lainnya. Hal ini menunjukkan bahwa bakteri probiotik
melakukan pelekatan pada epitel usus duodenum tikus percobaan. Pengaruh pemberian yogurt
sinbiotik dan EPEC K1.1 pada hari ke-14 dapat dilihat pada Gambar 16.
Pada hari ke-14, kelompok tikus kontrol positif memiliki ketebalan mukosa duodenum yang
paling kecil dibandingkan kelompok tikus lainnya. Hal ini menunjukkan bahwa EPEC K1.1 dapat
melekat pada mukosa duodenum yang menyebabkan kerusakan sehingga ketebalan mukosa usus
menjadi kecil. Pelekatan bakteri patogen pada permukaan mukosa merupakan langkah awal dari
infeksi mukosa. Bakteri EPEC bertahan pada permukaan sel epitel usus dengan merusak mikrovili
inang dan menyusun sitoskeleton pada sel untuk membentuk pedestal pada permukaan sel inang
(Michail dan Abernathy 2002).
Pada hari ke-14, kelompok tikus yogurt sinbiotik + EPEC K1.1 memiliki ketebalan mukosa
duodenum yang lebih besar dibandingkan dengan kelompok tikus kontrol positif, dan tidak berbeda
nyata dengan kelompok tikus kontrol negatif. Hal ini menunjukkan pemberian yogurt sinbiotik
mampu menghambat terjadinya pelekatan bakteri patogen pada sel epitel usus duodenum tikus
percobaan. Menurut Candela et al. (2005), probiotik pada saluran pencernaan mengurangi pelekatan
patogen dan toksinnya di epitel intestinal. Strain Lactobacilli dapat berkompetisi dengan bakteri
patogen termasuk S.enterica, Yersinia enterocolitica, ETEC, dan EPEC dalam pengikatan pada sel
epitel intestinal. Probiotik dapat menggantikan tempat bakteri patogen meskipun bakteri patogen telah
melekat pada sel epitel intestinal. Mekanisme pelekatan patogen pada sel epitel intestinal adalah
melalui interaksi antara lektin bakteri dan sebagian karbohidrat dari molekul reseptor glikokonjugat
yang berada pada permukaan sel. Beberapa studi menyatakan bahwa probiotik mampu menghalangi
titik pelekatan pada reseptor adhesi epitel.
Pengaruh pemberian yogurt sinbiotik terhadap ketebalan mukosa duodenum hari ke-21 dapat
dilihat pada Tabel 12. Pemberian yogurt sinbiotik berpengaruh sangat nyata (P<0.01) pada ketebalan
mukosa duodenum tikus percobaan. Analisis statistika (Lampiran 21) menunjukkan kelompok tikus
kontrol positif memiliki ketebalan mukosa duodenum paling kecil dibandingkan kelompok lainnya
(Gambar 17). Hal ini menunjukkan serangan EPEC K1.1 menyebabkan kerusakan pada vili usus
duodenum sehingga vili usus duodenum menjadi pendek. EPEC merupakan patogen yang
menyebabkan lesi A/E pada sel-sel, yang memiliki karakteristik menyebabkan kerusakan pada
mikrovili, pelekatan hasil metabolisme bakteri, dan secara nyata melakukan penyusunan kembali
sitoskeletal yang mengawali formasi actin-rich pedestal (Lu dan Walker 2001).
Ketebalan mukosa duodenum kelompok tikus yogurt sinbiotik + EPEC K1.1 tidak berbeda nyata
dengan kelompok tikus yogurt sinbiotik, kelompok tikus yogurt prebiotik dan kelompok tikus kontrol
negatif. Hal ini menunjukkan pemberian yogurt sinbiotik memberikan efek penyembuhan pada
mukosa usus setelah intervensi EPEC K1.1. Probiotik pada saluran pencernaan dapat mengurangi
pelekatan patogen dan toksinnya di epitel usus. Beberapa strain Lactobacillus dan Bifidobacterium
dapat berkompetisi dengan bakteri patogen termasuk S.enterica, Yersinia enterocolitica, ETEC dan
EPEC dalam penempelan pada epitel usus. Pada beberapa kasus, probiotik dapat mengganti tempat
bakteri patogen meskipun patogen telah melekat pada sel epitel sebelum pemberian perlakuan
probiotik (Yan dan Polk 2006).
FOS merupakan oligosakarida yang dapat difermentasi menjadi ALRP yang dapat dimanfaatkan
sebagai sumber karbon oleh sel-sel epitel usus sehingga dapat meningkatkan pertumbuhan mukosa
usus. Selain itu, FOS dapat menstimulasi pertumbuhan BAL khususnya Bifidobacteria sehingga dapat
menghambat pertumbuhan patogen (Manning dan Gibson 2004).
Berdasarkan kerusakan vili dan ketebalan mukosa duodenum, dapat disimpulkan bahwa yogurt
sinbiotik yang mengandung probiotik L. fermentum 2B4 dan FOS dapat menghambat kerusakan vili
usus duodenum yang disebabkan oleh intervensi EPEC K1.1. Yogurt sinbiotik tersebut juga mampu
memelihara kesehatan saluran usus dan memiliki efek penyembuhan terhadap serangan bakteri
patogen EPEC.
4.5.
KANDUNGAN
IMUNOGLOBULIN
A
(IgA)
PADA
MUKOSA
DUODENUM TIKUS PERCOBAAN.
Pemberian perlakuan yogurt sinbiotik dapat memberikan efek imunomodulator. Hal ini dapat
dilihat dari kandungan imunoglobulin A (IgA) pada mukosa duodenum tikus percobaan.
Imunoglobulin A merupakan antibodi yang disekresikan sebagai respon imun mukosa. Analisis
kandungan IgA pada mukosa duodenum tikus percobaan dilakukan menggunakan teknik
imunohistokimia. Pada teknik imunohistokimia, keberadaan IgA ditunjukkan dengan terbentuknya
warna coklat pada mukosa duodenum tikus percobaan. Semakin tua warna coklat yang dihasilkan
maka semakin banyak kandungan IgA pada mukosa duodenum tikus percobaan. Penilaian dilakukan
secara deskriptif dengan menggunakan mikroskop cahaya. Pengaruh pemberian yogurt sinbiotik dan
EPEC K1.1 terhadap kandungan IgA pada mukosa duodenum tikus percoban dapat dilihat pada Tabel
13.
Pengaruh pemberian yogurt sinbiotik pada minggu pertama (hari ke-7) dapat dilihat pada Tabel
13. Berdasarkan penilaian secara deskriptif, kandungan IgA mukosa duodenum kelompok tikus yogurt
sinbiotik dan kelompok tikus yogurt sinbiotik + EPEC K1.1 lebih banyak dibandingkan kelompok
tikus kontrol negatif dan kelompok tikus kontrol positif (Gambar 18). Hal ini menunjukkan pemberian
yogurt sinbiotik dapat meningkatkan kandungan IgA pada mukosa duodenum tikus percobaan. Hal ini
sesuai dengan pernyataan Saulnier et al. (2009) yang menyatakan bahwa probiotik dapat menstimulasi
sistem imun dengan meningkatkan produksi antibodi mukosa, mendorong ekspresi sitokin proinflammatory dan meningkatkan produksi pertahanan inang. Konsumsi probiotik secara teratur dapat
menyebabkan peningkatan respon imun pada manusia (Rasic 1983 diacu dalam Lourens-Hattings dan
Viljoen 2001).
Tabel 13. Kandungan IgA (kualitatif) pada mukosa duodenum tikus percobaan
Perlakuan
Kandungan IgA
Hari ke-7 (sebelum intervensi EPEC)
Kontrol negatif
+++
Yogurt sinbiotik
++++
Yogurt sinbiotik + EPEC K1.1
++++
Kontrol positif
+++
Hari ke-14 (setelah intervensi EPEC selama 7 hari)
Kontrol negatif
+++
Yogurt sinbiotik
+++
Yogurt sinbiotik + EPEC K1.1
++++
Kontrol positif
++
Hari ke-21 (7 hari setelah intervensi EPEC dihentikan)
Kontrol negatif
+++
Yogurt sinbiotik
+++
Yogurt sinbiotik + EPEC K1.1
++
Kontrol positif
+
Yogurt prebiotik
+++
Tanda (+) menunjukkan keberadaan IgA (yang ditunjukkan dengan warna coklat). Semakin banyak tanda + berarti semakin
banyak kandungan IgA-nya. Kelompok tikus yogurt prebiotik hanya ada pada terminasi hari ke-21.
Penelitian yang dilakukan oleh Link-Amster et al. (1994) menguji kemampuan yogurt yang
mengandung bakteri B. bifidum dan L.acidophilus La1 dalam meningkatkan respon imun pada 15
responden sehat yang kemudian divaksinasi oral dengan Salmonella typhimurium. Sebagai kontrol
digunakan 15 responden lainnya yang tidak mengonsumsi makanan fermentasi. Hasilnya vaksinasi
dapat meningkatkan kadar IgA serum sebanyak 4.1 kali pada subyek yang mengonsumsi probiotik,
sedangkan subyek kontrol hanya mengalami peningkatan kadar IgA serum sebanyak 2.5 kali
(P=0.40) (de Roos dan Katan 2000).
Keteranngan :
m
menunjukkan
skkala 200 μm
m
menunjukkan
w
warna coklat
G
Gambar
18. Fotomikrograf
F
usus duodenum
m tikus percob
baan terminasi hari ke-7 yangg diwarnai secaara
imunohistokim
i
mia terhadap Im
munoglobulin A (IgA). Warrna coklat mennunjukkan reakksi
positif
p
(+) keb
beradaan IgA. Semakin kuaat intensitas w
warna coklat, semakin banyyak
kandungan
k
IgA
A-nya.
Pengaruhh pemberian yogurt
y
sinbiottik dan EPEC
C K1.1 terhadap kandungaan IgA mukoosa
dduodenum tikuus percobaan pada hari kee-14 dapat diliihat pada Tabbel 13. Berdassarkan penilaiian
d
deskriptif,
kanndungan IgA mukosa duoodenum kelom
mpok tikus yoogurt sinbiotikk sama denggan
k
kelompok
tikus kontrol negattif (Gambar 199).
Suplemenntasi bakteri assam laktat dappat memberikann pengaruh paada produksi IgA.
I
Perdigon et
a (1994) diaccu dalam van de
al.
d Water dan N
Naiyanetr (2008
8) menyatakan penambahan 3 ml yogurt yanng
t
terdiri
dari 2 x 108 sel/ml paada ransum tikuus menghasilkaan peningkatann sel pensekressi IgA pada ussus
k
kecil
secara siignifikan setelaah tujuh hari. Akan tetapi, peningkatan
p
seel pensekresi IgA
I
tidak terjaadi
p
pada
pengamattan setelah 10 hari
h pemberiann cekok yogurtt
Kelompok tikus yogurtt sinbiotik + E
EPEC K1.1 memiliki
m
kanduungan IgA muukosa duodenuum
p
paling
banyak dibandingkan kelompok tikuus lainnya padaa hari ke-14. Hal
H ini menunju
ukkan pemberiian
p
probiotik
dapaat meningkatkaan kandungan IgA ketika teerjadinya interv
rvensi EPEC K1.1.
K
Sedangkkan
k
kelompok
tikuus kontrol posittif memiliki kaandungan IgA paling sedikitt dibandingkann kelompok tikkus
l
lainnya.
Menu
urut Galdeano dan Perdigon (2006), pangaan yang mengaandung bakterii probiotik dappat
m
menstimulasi
r
respon
imun im
munoglobulin A (IgA).
Bakteri probiotik
p
beriinteraksi denggan sel epitel saluran penccernaan dan sel imun untuuk
m
mengawali
sin
nyal imun. Baakteri tersebut berinteraksi dengan
d
sel M di Peyers paatches, sel epittel
s
saluran
pencerrnaan dan berrasosiasi dengaan sel imun. Melalui
M
interakksi tersebut prrobiotik terbukkti
d
dapat
memoduulasi produksi imunoglobulinn. Imunoglobullin A sekretorii berperan pennting pada sisteem
p
pertahanan
m
mukosa,
berkoontribusi sebagai dinding pertahanan m
melawan patogen dan viruus.
P
Peningkatan
ju
umlah sel yanng memproduuksi IgA meruupakan hal luuar biasa yang
g diinduksi olleh
p
probiotik
(Guppta dan Garg 20
009).
Keteranngan :
m
menunjukkan
skkala 200 μm
m
menunjukkan
w
warna coklat
G
Gambar
19.
Fotomikrograaf usus duodeenum tikus perrcobaan terminnasi hari ke-144 yang diwarnnai
secara imunoohistokimia terrhadap Imunogglobulin A (IgA
A). Warna cokllat menunjukkkan
reaksi positiff (+) keberadaaan IgA. Sem
makin kuat inteensitas warna coklat, semakkin
banyak kandu
ungan IgAnya..
Pada minnggu ketiga (haari ke-21), pem
mberian perlakuuan EPEC K1.11 dihentikan, namun pemberiian
y
yogurt
sinbiottik tetap dilak
kukan. Pengaruuh pemberian yogurt sinbiootik terhadap kandungan IggA
m
mukosa
duodeenum pada harri ke-21 dapatt dilihat pada Tabel 13. Berrdasarkan penilaian deskripttif,
k
kandungan
IgA
A mukosa duo
odenum kelom
mpok tikus yoggurt sinbiotik sama dengan kelompok tikkus
k
kontrol
negatiff dan kelompook tikus yogurrt prebiotik. Kaandungan IgA mukosa duoddenum kelompok
t
tikus
yogurt sinbiotik
s
+ EP
PEC K1.1 lebbih banyak dibbandingkan deengan kontrol positif. Hal ini
i
m
menunjukkan
pemberian
p
yog
gurt sinbiotik ddapat meningkkatkan sistem im
mun terhadap serangan bakteeri
p
patogen.
Pengaaruh pemberian
n yogurt sinbiootik terhadap kandungan
k
IgA
A pada mukosaa duodenum paada
h ke-21 dapaat dilihat pada Gambar 20.
hari
Gupta daan Garg (2009) menyatakan Lactobacillus rhamnosus sttrain GG terbuukti memberikkan
e
efek
yang mennguntungkan baagi sistem imunn saluran usus.. Bakteri tersebbut dapat meningkatkan jumllah
s pensekresi IgA dan imunoglobulin lainnnya di mukosaa usus, menstim
sel
mulasi pelepasaan interferon dan
d
m
memfasilitasi
transport
t
antigeen menuju sel limfa, yang ak
kan meningkatkkan pembuangaan antigen dalaam
P
Peyer’s
patch.
De Roos dan Katan
K
(2000) m
menyatakan baahwa konsentraasi
Penelitiann lain yang dillakukan oleh D
a
antibodi
IgA melawan rotaavirus meningkkat secara signnifikan pada anak-anak yan
ng mendapatkkan
p
perlakuan
proobiotik dibanddingkan dengaan anak yang
g tidak menddapatkan perllakuan. Hal ini
i
m
menunjukkan
a
adanya
efek peenyembuhan daari probiotik.
Keteranngan :
m
menunjukkan
skkala 200 μm
m
menunjukkan
w
warna coklat
G
Gambar
20. Fotomikrograf
F
f usus duodenuum tikus perccobaan terminnasi hari ke-211 yang diwarnnai
secara
s
imunohhistokimia terhhadap Imunoglo
obulin A (IgA
A). Warna cokllat menunjukkkan
reaksi
r
positif (+) keberadaaan IgA. Semaakin kuat inteensitas warna coklat, semakkin
banyak
b
kandunngan IgAnya.
Kelompok tikus yogurtt prebiotik memiliki kandunngan IgA yang sama dengan kelompok tikkus
yyogurt sinbiotiik. Hal ini meenunjukkan baahwa prebiotik secara langsuung dapat mennstimulasi sisteem
i
imun,
melindu
ungi melawan patogen
p
dan meenfasilitasi mettabolisme inanng dan absorpsii mineral. Dalaam
s
saluran
pencerrnaan, prebiotiik mengalami fermentasi olleh bakteri inddigenus yang menguntungkkan
s
seperti
Lactobbacillus dan Biifidobacteria. Agen yang beertanggung jaw
wab pada ferm
mentasi prebiottik
a
adalah
enzim spesifik
s
dan traansporter oligoosakarida yang dapat mendegrradasi prebiotiik (Saulnier et al.
a
2
2007).
Dengann mengubah komposisi
k
dann fungsional mikrobiota,
m
preebiotik berperaan memfasilitaasi
m
mikrobiota
un
ntuk bersaing dengan
d
patogeen, dan memoodulasi sistem imun sehinggga meningkatkkan
p
pertahanan
inaang (Saulnier ett al. 2009).
Dengan demikian
d
dapaat disimpulkann bahwa pembberian yogurt sinbiotik dapaat meningkatkkan
k
kandungan
IgA
A pada mukosaa duodenum tikkus percobaan.. Selain itu, peemberian yogurrt sinbiotik dappat
m
membantu
perttahanan sistem
m imun terhadapp serangan bakkteri patogen E
EPEC K1.1.
V. SIMPULAN DAN SARAN
5.1. SIMPULAN
Yogurt sinbiotik diketahui memiliki banyak manfaat bagi kesehatan. Manfaat tersebut
didapatkan dari adanya probiotik dan prebiotik dalam yogurt yang dapat memodifikasi mikrobiota
dalam saluran pencernaan. Salah satu manfaat dari sinbiotik ini adalah mencegah terjadinya serangan
dari bakteri patogen seperti Enterophatogenic E.coli (EPEC K1.1) yang dapat menyebabkan diare.
Selain itu, sinbiotik juga mampu meningkatkan sistem imun atau sebagai imunomodulator.
Analisis statistik menunjukkan bahwa masing-masing formula yogurt tidak memberikan
pengaruh nyata terhadap rata-rata log kematian EPEC K1.1 pada setiap waktu kontak. Derajat
keasaman (pH) pada seluruh formula yogurt menunjukkan nilai pH yang tidak berbeda nyata. Dari
segi organoleptik, yogurt Formula 3 (Lactobacillus bulgaricus, Streptococcus thermophillus,
Lactobacillus fermentum 2B4 dan FOS 5%) memiliki tekstur paling baik dilihat dari whey yang paling
sedikit.
Pemberian yogurt sinbiotik Formula 3 dapat menghambat kerusakan vili duodenum yang
disebabkan oleh intervensi EPEC K1.1. Yogurt sinbiotik tersebut juga mampu memelihara saluran
usus dan mampu berkompetisi dengan bakteri patogen EPEC K1.1.
Pemberian yogurt sinbiotik dapat meningkatkan kandungan IgA mukosa duodenum tikus
percobaan. Selain itu, pemberian yogurt sinbiotik juga dapat membantu pertahanan sistem imun
terhadap serangan bakteri patogen EPEC K1.1.
5.2. SARAN
Berdasarkan hasil penelitian perlu dilakukan identifikasi komponen antibakteri yang berperan
dalam penghambatan bakteri EPEC K1.1. Selain itu, perlu dilakukan uji jumlah bakteri probiotik yang
ada di dalam yogurt agar diketahui jumlahnya. Kajian aktivitas antidiare juga dapat diperdalam
dengan pengujian mekanisme penempelan bakteri probiotik dan EPEC pada saluran pencernaan
menggunakan model sel Caco-2.
DAFTAR PUSTAKA
Adisasmito W. 2007. Faktor Risiko Diare Pada Bayi Dan Balita Di Indonesia: Systematic Review
Penelitian Akademik Bidang Kesehatan Masyarakat. Makara Kesehatan, Vol. 11, No. 1: 1-10.
Afset JE, Bevanger L, Romundstad P, dan Bergh K. 2004. Association of atypical enteropathogenic
Escherichia coli (EPEC) with prolonged diarrhea. J Med Microbiol. 53, 1137-1144.
Alderbeth I, Cerquetti M, Poilane I, Wold AE, dan Collignon A. 2000. Mechanisms of colonisation
and colonisation resistance of the digestive tract. Microbial Ecology of Health and Disease, 12,
223-239
Almatsier S. 2005. Prinsip Dasar Ilmu Gizi. PT Gramedia Pustaka Utama, Jakarta.
Angus F, S Smart, dan C Shortt. 2005. Prebiotic Ingridients with Emphasis on Galactooligosaccharides and Fructo-oligosaccarides dalam Probiotic Dairy Products. Tamime, A.Y.
2005. Blackwell Publishing Ltd, United Kingdom.
[AOAC] Association of Official Analytical Chemist. 1995. Official Method of the Association of
Official Agriculture Chemist, Washington DC.
Arief II, RRA Maheswari, dan T Suryati. 2005. Karakteristik dan Nilai Gizi Protein Daging Sapi Dark
Firm Dry (DFD) yang difermentasi oleh Lactobacillus plantarum yang diisolasi dari Daging
Sapi. Laporan Penelitian Hibah Bersaing XIII/I.LPPM-IPB.
Arief II, RRA Maheswari, dan H Nuraini. 2008. Aktivitas Antimikroba Bakteri Asam Laktat yang
Diisolasi dari Daging Sapi. Makalah Seminar Hasil Penelitian Departemen IPTP Fak.
Peternakan IPB.
Boehm G dan Moro G. 2008. Structural and Functional Aspects of Prebiotics Used in Infant Nutrition.
The Journal of Nutrition Influence of Diet on Infection and Allergy in Infants. J. Nutr. 138:
1818S–1828S.
Bourlioux P, Koletzko B, Guarner F, dan Braesco V. 2002. The intestine and its microflora are
partners for the protection ot the host : report on the Danone symposium “The intelligent
Intestine”, held in Paris, June 14, 2002. Am J Clin Nutr 2003; 78: 675-83.
Bowen
R.
2006.
Pathophysiology
of
Diarrhea.
http://arbl.cvmbs.colostate.edu/
hbooks/pathphys/digestion/smallgut/diarrhea.html. [11 November 2010]
[BSN] Badan Standarisasi Nasional. 2009. SNI 2981: Yogurt. ICS 67.100.10.
Candela M, Seibold G, Vitali B, Lachenmaier S, Eikmanns BJ, Brigidi P. 2005. Real-time PCR
quantification of bacteria adhesion to Caco-2 cells: competition between bifidobacteria and
enterophatogens. Res Microbiol 156:887-95.
Celli J, Deng W, dan Finlay BB. 2000. Enteropathogenic Escherichia coli (EPEC) attachment to
epithelial cells: exploiting the host cell cytoskeleton from the outside. Cell Microbiol. 2(1), 1-9.
Chandan RC. 2006. Manufacturing Yogurt and Fermented Milks. Blackwell Publishing Asia.
Victoria, Australia.
Chen LC. 1983. Diarrhea and Malnutrition : Interaction, Mechanisms, and Interventions. The United
Nations University Plenum Press: New York.
Clarke SC, Haigh RD, Freestone PP, dan Williams PH. 2002. Enteropathogenic Escherichia coli
infection: history and clinical aspects. Br J Biomed Sci 59, 123–127.
Crane JK, Naeher TM, Shulgina I, Zhu C dan Boedeker EC. 2007. Effect of Zinc in Enteropathogenic
Escherichia coli Infection. Infection and Immunity. Vol. 75, No. 12 p. 5974–5984
Cummings JH, Macfarlane GT, dan Englyst HN. 2001. Prebiotic digestion and fermentation. Am J
Clin Nutr 73, 415S–420S.
[DEPKES] Departemen Kesehatan Republik Indonesia. 2008. Profil Kesehatan Indonesia 2007.
Departemen Kesehatan Republik Indonesia, Jakarta.
Delzenne NM, Cani PD, dan Neyrinck AM. 2007. Modulation of glucagon-like peptide-1 and energy
metabolism by inulin and oligofructose: experimental data. Journal Nutrition, 137, 2580S2551S.
De Roos NM dan Katan MB. 2000. Effect of probiotic bacteria on diarrhea, lipid metabolism, and
carcinogenesis: a review of papers published between 1988 and 1998. Am J Clin Nutr, 71:40511
[FAO] Food and Agriculture Organization. 2001. Health and Nutritional Properties of Probiotic in
Food including Powder Milk with Live Lactic Bacteria. Report of a Joint FAO/WHO Expert
Consultation on Evaluation of Health and Nutritional Properties of Probiotics in Food
Including Powder Milk with Live Lactic Bacteria.
[FAO] Food and Agriculture Organization. 2002. Guidelines for the evaluation of probiotics in food.
Report of Joint FAO/WHO Working Group on drafting Guidelines for the evaluation of
probiotics in food. London Ontario, Canada.
[FAO] Food and Agriculture Organization. 2007. FAO technical meeting on prebiotics. AGNS-FAO,
Italy.
Fardiaz S. 1989. Mikrobiologi Pangan. Dirjen Pendidikan Tinggi, Depdikbud, PAU PG, IPB, Bogor.
Fooks LJ dan Gibson GR. 2002. Probiotics as modulators of the gut flora. Br J Nutr, 88, S39-S49.
Forchielli ML, Walzer AW. 2005. The role of gut-associated lymphoid tissues and mucosal defence.
Br J Nutr 93, S41–S48.
Franck A. 2002. Technological functionality of inulin and oligofructose. Br J Nutr, 87, S287-S291.
Franck A. dan LD Leenher. 2005. Inulin dalam Polysaccharides and Polyamides in the Food Industry
Volume I. Steinbuchel A. dan SK Rhee (eds.). Wiley VCH, Weinheim.
Freter M. 1992. Factors aVecting the microecology of the gut dalam In vitro analysis of probiotic
strain combinations to inhibit pathogen adhesion to human intestinal mucus. Collado MC,
Meriluoto J, dan Salminen S. 2006. Food Res Int 40 (2007) 629–636.
Galdeano MC dan Perdigon G. 2006. The Probiotic Bacterium Lactobacillus casei Induces Activation
of the Gut Mucosal Immune System through Innate Immunity. Clin Vac Immun, p. 219-226.
Gibson GR, Probert HM, Van Loo J, Rastall RA, dan Roberfroid MB. 2004. Dietary modulation of
the human colonic microbiota: updating the concept of prebiotics. Nutr Res Rev 17, 259–275.
Gill HS. 2003. Probiotics to enhance anti-infective defenses in the gastrointestinal tract. Best Pract
Res Clin Gastroenterol, 17, 755-773.
Gill HS dan Guarner F. 2004. Probiotics and Human Health : a clinical prespective. Postgrad Med J,
80, 516-526.
Gmeiner M, Kneifel W, Kulbe KD, Wouters R, De Boever P, Nollet L, et al. 2000. Influence of a
synbiotic mixture consisting of Lactobacillus achidophilus 74-2 and a fructooligosaccharide
preparation on the microbial ecology sustained in a simulation of the human intestinal
microbial ecosystem (SHIME reactor). App Microbiol Biotechnol, 53, 219-223.
Gomes TAT, Irino K, Girão DM, Girão VBC, Guth BEC, Vaz TMI, et al. 2004. Emerging
Enteropathogenic Escherichia coli Strains?. Emerg Infect Dis. Vol. 10, No. 10.
Guerrant RL, Van Gilder T, Steiner TS, Thielman NM, dan Slutsker L, et al. 2001. Practice
Guidelines for the Management of Infectious Diarrhea. Clinical Infectious Diseases, 32, 33150. Infect Dis Soc Ame.
Gupta V dan Garg R. 2009. Probiotics. Ind J Med Microbiol, 27(3):202-9.
Harish K dan Varghese T. 2006. Probiotic in humans-evidence based review. Cal Med J 4 (4):e3.
Hariyadi RT, N Anjaya, Suliantari, L Nuraida, dan B Satiawiharja. 2001. Penuntun Praktikum
Teknologi Fermentasi. Jurusan Teknologi Pangan dan Gizi, Institut Pertanian Bogor, Bogor.
Heyman M dan Menard S. 2002. Probiotic microorganism: How they affect intestinal
pathophysiology. Cell Mol Life Sci. Vol. 59, pp 001-015.
Hooper LV, Midtvedt T dan Gordon JL. 2002. How host-microbial interactions shape the nutrient
environment of the mammalian intestine. Ann Rev Nutr, 22, 283-307.
Indratiningsih W, S Salasia, dan E Wahyuni. 2004. Produksi yogurt shiitake (Yohsitake) sebagai
pangan kesehatan berbasis susu. J Teknol Ind Pangan Vol. XV (1): 54-60.
Isolauri E, Sutas Y, Kankaapaa P, Arvilommi H, dan Salminen S. 2001. Probiotics: Effect on
Immunity. Am J Clin Nutr, 73, 444S-450S.
Jack RW, Tagg JR, Ray B. 1995. Bacteriocins of gram-positive bacteria dalam Probiotics: a critical
review of their potential role as antihypertensives, immune modulators, hypocholesterolemics,
and perimenopausal treatments. Liong Min-Tze. 2007. Nutr Rev vol. 65, 7: 316-328.
Janda JM dan Abbot SL. 2006. The Enterobacteria (eds.). ASM Press, Washington, USA.
Jay JM. 2000. Modern Food Microbiology 6th Edition. Maryland, Aspen Publishers, Inc.
Jenie BSL. 2003. Pangan Fungsional Penyusun Flora Usus yang Menguntungkan. Makalah pada
Seminar Sehari Keseimbangan Flora Usus Bagi Kesehatan dan Kebugaran, Bogor.
Kaper JB. 1996. Defining EPEC dalam Association of atypical enteropathogenic Escherichia coli
(EPEC) with prolonged diarrhea. Afset JE, Bevanger L, Romundstad P, dan Bergh K. 2004. J
Med Microbiol. 53, 1137-1144.
Kaplan H dan Hutkins RW. 2000. Fermentation of Fructooligosaccharides by Lactic Acid Bacteria
and Bifidobacteria. App Environ Microbiol, p. 2682–2684 Vol. 66, No. 6.
King D. 2009. Study Guide Histology of the Gastrointestinal System. School of Medicine.
http://www.siumed.edu/~dking2/erg/giguide.htm. [11 Oktober 2010]
Kiernan JA. 1990. Histological and Histochemichal Methods: Theory & Practice. Oxford: Pergamon
press.
Kullisaar T, Songisepp E, Mikelsaar M, Zilmer K, Vihalemm T, dan Zilmer M. 2003. Antioxidative
probiotic fermented goats’ milk decreases oxidative stress-mediated atherogenicity in human.
Br J Nutr, 90, 449-456.
Lambert J dan Hull R. 1996. Upper gastrointestinal disease and probiotics dalam Probiotic Dairy
Products. Tamime, A.Y. 2005. Blackwell Publishing Ltd, United Kingdom.
La Torre L, Tamime AY, dan Muir DD. 2003. Rheology and sensory profiling of set-type fermented
milks made with different commercial probiotic and yogurt starter cultures. Int J Dairy
Technol, 56, 163-170.
Lee YK, Lim CY, Teng WL, Ouwehand AC, Tuomola EM, dan Salminen S. 2000. Quantitative
Approach in the Study of Adhesion of Lactic Acid Bacteria to Intestinal Cells and Their
Competition with Enterobacteria. App Environm Microbiol. p. 3692–3697 Vol. 66, No. 9.
Link-Amster H, Rochat F, Saudan KY, Mignot O, Aeschlimann JM. 1994. Modulation of a spesific
humoral immune response and changes in intestinal flora mediated through fermented milk
intake dalam Effect of probiotic bacteria on diarrhea, lipid metabolism, and carcinogenesis: a
review of papers published between 1988 and 1998. De Roos NM dan Katan MB. 2000. Am J
Clin Nutr, 71:405-11.
Liong Min-Tze. 2007. Probiotics: a critical review of their potential role as antihypertensives, immune
modulators, hypocholesterolemics, and perimenopausal treatments. Nutr Rev vol. 65, 7, 316328.
Lisal JS. 2005. Konsep Probiotik dan Prebiotik untuk Modulasi Mikrobiota Usus Besar. J Med Nus
Vol. 26 No.4.
van Loo J, Coussement P, De Leenheer L, Hoebregs H, Dan Smits G. 1995. On the presence of inulin
and oligofructose as natural ingredients in the Western diet dalam Probiotic Dairy Products.
Tamime AY. 2005. Blackwell Publishing Ltd, United Kingdom.
Lu L dan Walker WA. 2001. Pathologic and physiologic interactions of bacteria with the
gastrointestinal epithelium. Am J Clin Nutr 73(suppl):1124S–30S.
Manatsathit S, Dupont HL, Farthing MJG, et al. 2002. Guideline for the Management of acute
diarrhea in adults. J Gastroenterol Hepatol 17, S54-S71.
Manning TS, Gibson GR. 2004. Prebiotics. Best Practice and Research Clinical Gastroenterology.
18(2): 287-298
Masco L, Ventura M, Zink R, Huys G, dan Swings J. 2004. Polyphasic taxonomic analysis of
Bifidobacterium animalis and Bifidobacterium lactis reveals relatedness at the subspecies level:
reclassification Bifidobacterium animalis as Bifidobacterium animalis subsp. animalis subsp.
nov. and Bifidobacterium lactis as Bifidobacterium animalis subsp. lactis subsp. nov. Int J Sys
Evolution Microbiol, 54, 1137-1143.
Mattila-Sandholm T, Myllarinen P, Crittenden R, Mogensen G, Fonden R, Saarela M, 2002.
Technological challenges for future probiotic foods. Int Dairy J 12, 173–182.
Meydani SN dan Ha WK. 2000. Immunologic effect of yogurt. Am J Clin Nutr, 71, 861-872.
Michail S dan Abernathy F. 2002. Lactobacillus plantarum Reduces the In Vitro Secretory Response
of Intestinal Epithelial Cells to Enteropathogenic Escherichia coli Infection. J Ped
Gastroenterol Nutr. 35,350–35.
Miyazaki Y, Kamiya S, Hanawa T, Fukuda M, Kawakami H, Takahashi H, Yokota H. 2010. Effect of
probiotic bacterial strains of Lactobacillus, Bifidobacterium, and Enterococcus on
enteroaggregative Escherichia coli. J Infect Chemother, 16:10–18.
Moat AG, Foster JW, dan Spector MP. 2002. Microbial Physiology. 4th Ed. A Willey Interscience
Publication, John Willey and sons, New York.
Molis C, Flourie B, Ouarne F, Gailing MF, Lartigue S, Guibert A, et al. 1996. Digestion, excretion,
and energy value of fructooligosaccharides in healthy humans dalam prebiotics: present and
future in food science and technology. Wang, Y. 2009. Food Res Int, 42, 8-12.
Muchtadi D. 1993. Teknik Evaluasi Nilai Gizi Protein. Program Pasca Sarjana. Institut Pertanian
Bogor, Bogor.
Naidu AS dan RA Clemens. 2000. Probiotics dalam Natural Food Antimicrobial Systems. Naidu, A.S.
(ed). CRC Press, LLC.
Nougayrède JP, Fernandes PJ dan Donnenberg MS. 2003. Adhesion of enteropathogenic Escherichia
coli to host cells. Cell Microbiol 5, 359–372.
Oliviera MN dan Damin MR. 2003. Efeito do teor de solidos e da concentrcao de sacarose na
acidificaca, fermeza e viabilidade de bacterias do iogurte e probioticas em leite fermentado
dalam Probiotic Dairy Products. Tamime, A.Y. 2005. Blackwell Publishing Ltd, United
Kingdom.
Ouwehand A dan Conway P. Specificity of spent culture fluids of Lactobacillus spp. to inhibit
adhesion of enteropathogenic fimbriated Escherichia coli cells. Microbiol Ecol Health Dis
1996;9:239–46 dalam Pathologic and physiologic interactions of bacteria with the
gastrointestinal epithelium. Lu L dan Walker WA. 2001. Am J Clin Nutr 73(suppl):1124S–
30S.
Oyetayo VO. 2004. Performance of rats orogastrically dosed with faecal strains of Lactobacillus
acidophillus and challenged with Escherichia coli, Af J Biotechnol. Vol 3. No. 8, pp 409-411.
Parassol N, Freitas M, Thoreux K, Dalmasso G, Bourdet-Sicard R, Rampal P. 2005. Lactobacillus
casei DN-114 001 inhibits the increase in paracellular permeability of enteropathogenic
Escherichia coli-infected T84 cells. Res Microbiol, 156, 256–262.
Perdigon G, Rachid M, De Budeguer MV, dan Valdez JC. 1994. Effect of yogurt feeding on the small
and large intestine associated lymphoid cells in mice dalam Yogurt and Immunity. van de
Water J dan Naiyanetr P. 2008. Handbook of Fermented Functional Foods. Second edition.
CRC Press, Taylor & Francis Group, Boca Raton.
Rasic JL, Kurmann JA. 1983. Bifidobacteria and their role dalam Review : Yogurt as probiotic carrier
food. Lourens-Hattingh A dan Viljoen BC. 2001. Int Dairy J 11:1–17.
Rautava S, Ruuskanen O, Ouwehand A, Salminen S, Isolauri E. 2004. The hygiene hypothesis of
atopic disease- an extended version. J Pediatr Gastroenterol Nutr , 38, 378–88.
Reid G, Jass J, Sebulsky MT, McCormick JK. 2003. Potensial uses of probiotics in clinical practice.
Clin Microbiol Rev, 4, 658-672.
Roberfroid MB. 1997. Health benefits of non-digestible oligossacharides dalam Probiotic Dairy
Products. Tamime, A.Y. 2005. Blackwell Publishing Ltd, United Kingdom.
Rolfe RD. The role of probiotic cultures in the control of gastrointestinal health. 2000. J Nutr, 130,
396S-402S.
Sahaja. 2008. DOTE Anatomy Topics: The anatomy, histology and development of the small
intestine. University of Debrecen. http://anatomytopics. wordpress.com/2008/12/20/20-theanatomy-histology-and-development-of-the-small-intestine/ [11 Oktober 2010]
Salminen S, Bouley C, Boutron-Ruault MC, Cummings JH, Franck A, Gibson G R, Isolauri E,
Moreau MC, Roberfroid MB, dan Rowland IR. 1998. Functional food science and
gastrointestinal physiology and function dalam Probiotic Dairy Products. Tamime AY. 2005.
Blackwell Publishing Ltd, United Kingdom.
Salminen S, Von Wright A, dan Ouwehand A. 2004. Lactic Acid Bacteria. Marcel Dekker, Inc, New
York.
Samuelson DA. 2007. Textbook of veterinary histology. Elseiver Inc, St Louis, Missouri.
Santoso. 2009. Susu dan Yogurt Kedelai. Seri Teknologi Pangan Populer (Teori dan Praktek).
Laboratorium Kimia Pangan, Faperta, UWG.
Sartor RB. 2004. Therapeutic manipulation of the enteric microflora in inflammatory bowel disease:
Antibiotics, probiotics, and prebiotics. Gastroenterol, 126, 1620-1633.
Sasaki M, Bosman BW, Tan PS. 1995. Comparison of proteolytic activities in various lactobacilli. J
Dairy Res 62 (4): 601-610.
Saulnier DMA, Molenaar D, de Vos WM, Gibson GR, dan Kolida S. 2007. Identification of prebiotic
fructooligosaccharide metabolism in Lactobacillus plantarum WCFS1 through microarrays.
Appl Environ Microbial, 73, 1753-1765.
Saulnier DMA, Spinler JK, Gibson GR dan Versalovic J. 2009. Mechanisms of probiosis and
prebiosis: considerations for enhanced functional foods. Curr Op Biotechnol, 20, 135-141.
Schmid K, RC Scholathauer, U Friedrich, C Staudt, J Apajalahti, dan EB Hansen. 2006. Development
of Probiotics Food Ingredients dalam Probiotics in Food Safety and Human Health. Goktepe,
Juneja, dan Ahmedna (eds.). CRC Press-Taylor and Francis Group, Florida.
Schiller LR. 2000. Diarrhea, Medical Clinics of North America dalam Diare Akut Infeksius pada
Dewasa. Zein U. 2004. Fakultas Kedokteran, Universitas Sumatera Utara.
Shah NP. 2000. Probiotic bacteria : Selective enumeration and survival in dairy foods. J Dairy Sci, 83,
894-907.
Sharma AK, Mohan P, dan Nayak BB. 2005. Probiotic : Making a comeback. Department of
Pharmacology Armed Forces Medical College, Pune.
Siegumfeldt H, Rechninger BK, Jacobsen M. 2000. Dynamic changes of intracellular pH in individual
lactic acid bacterium cells in response to a rapid drop in extracellular pH. App Environm
Microbiol. 66:2330-2335.
Silvia. 2002. Pembuatan Yogurt Kedelai (Soygurt) dengan Menggunakan Kultur Campuran
Bifidobacterium bifidum dan Streptococcus thermophilus. Skripsi. Fakultas Teknologi
Pertanian. Insitut Pertanian Bogor, Bogor.
Slonczewski
JL
dan
Foster
JW.
Microbiology
http://www.microbwiki.com/small_intestine. [22 Februari 2010]
Evolving
Science.
Surono IS. 2004. Probiotik Susu Fermentasi dan Kesehatan. YPMMI, Jakarta.
Tamime AY. 2005. Probiotic Dairy Products. Blackwell Publishing Ltd, United Kingdom.
Tamime AY, Skriver A, dan Nilsson LE. 2005. Starter cultures. Fermented Milks. Blackwell
Publishing, Oxford.
Teitelbaum JE dan Walker WA. 2002. Nutritional impact of pre- and probiotics as protective
gastrointestinal organisms. Ann Rev Nutr 22, 107–138.
Trabulsi LR, Keller R, dan Tardelli Gomes TA. 2002. Typical and atypical enteropathogenic
Escherichia coli. Emerg Infect Dis 8, 508–513.
Tungland BC. 2003. Fructooligosacharides and other fructans: structures and occurrence, production,
regulatory aspect, food applications and nutritional health significance dalam Probiotic Dairy
Products. Tamime, A.Y. 2005. Blackwell Publishing Ltd, United Kingdom.
Walker WA. 2008. Mechanisms of action of probiotics. Clin Infect Dis 46, S87–S91.
Wang Y. 2009. Prebiotics: Present and future in food science and technology. Food Res Int 42:8-12
Winarno FG. 2003. Mikroflora Usus Bagi Kesehatan dan Kebugaran. Makalah Sehari Keseimbangan
Flora Usus Bagi Kesehatan dan Kebugaran. Bogor, 15 Februari 2003. Jurusan Teknologi
Pangan dan Gizi, Fakultas Teknologi Pertanian, Institut Pertanian Bogor, Bogor.
Yan F dan Polk DB. 2006. Mechanisms of Probiotic Regulation of Host Homeostatis. Nutrition and
Health : Probiotics in Pediatric Medicine. Humana Press. Totowa.
Zakaria F. 2003. Aspek Biokimia dan Gizi Pangan Fungsional Prebiotik. Makalah Sehari
Keseimbangan Flora Usus Bagi Kesehatan dan Kebugaran. Bogor, 15 Februari 2003. Jurusan
Teknologi Pangan dan Gizi, Fakultas Teknologi Pertanian, Institut Pertanian Bogor, Bogor.
Zein U. 2004. Diare Akut Infeksius pada Dewasa. Fakultas Kedokteran, Universitas Sumatera Utara.
Zhang G dan Ghosh S. 2001. Toll-like receptor-mediated NF-kappaB activation: a phylogenetically
conserved paradigm in innate immunity. J Clin Invest 107,13–9.
Zoumpopoulou G, B Foligne, K Christodoulou, C Grangette, B Pot dan E Tsakalidou. 2008.
Lactobacillus fermentum ACA-DC 179 displays prebiotic potential in vitro and protects againts
trinitrobenzene sulfonic acid (TNBS)- induced colitis and Salmonella infection in urine
models. Int J Food Microbiol 121: 18-19
Zubillaga M, Weill R, Postaire E, Goldman C, Caro R, Boccio J. 2001. Effect of probiotics and
functional foods and their use in different diseases. Nutr Res 21: 569-579.
LAMPIRAN
Lampiran 1. Data proksimat kasein (Alacid acid casein) yang digunakan
Komponen
Protein (Nx 6.38)
Abu
Kadar Air
Lemak
Laktosa
Kandungan (%)
Basis kering 97.4%
Basis basah 86.0%
1.8%
11.6%
1.1%
<0.1%
Lampiran 2. Perhitungan komposisi ransum basal
Protein (kasein) = 1.6 x 100/ %N
= 1.6x 100/(86/6.38)
= 11.8698%
Lemak (minyak jagung) = 8 – (11.8698/100 x 1.1)
= 7.8694 %
Air = 5 – (11.8698/100 x 11.6)
= 3.6231%
Vitamin = 1%
Mineral = 5 – (11.8698/100 x 1.8)
= 4.7863 %
Serat = 1- (11.8698/100 x 0)
= 1%
Pati jagung (maizena) = 100 – (11.8698 + 7.8694 + 3.6231+ 1+ 4.7863 + 1)
= 100 – 30.1486
= 69.8514 %
Lampiran 3. Data nilai log kematian EPEC K1.1 metode kontak 2, 4 dan 6 jam
Metode kontak 2 jam
Formula
F1
F2
F3
F4
Ulangan 1
2.5563
2.6425
2.4771
2.3259
Nilai Log Kematian EPEC
Ulangan 2
Ulangan 3
2.1303
3.2355
2.5337
2.7197
2.4314
2.7884
3.0334
3.1150
Ulangan 4
3.2052
3.0476
3.0669
1.5643
Nilai Log Kematian EPEC
Ulangan 2
Ulangan 3
3.0696
3.3112
3.6390
2.4873
3.5019
3.3112
2.9542
3.4873
Ulangan 4
2.9889
3.0540
3.0872
3.6077
Nilai Log Kematian EPEC
Ulangan 2
Ulangan 3
4.1526
4.2021
4.4869
3.6697
5.5563
3.9175
4.6832
4.2355
Ulangan 4
3.9571
3.6312
3.4886
3.6077
Rata-Rata
2.782 ±0.538
2.736±0.226
2.691±0.298
2.510±0.720
Metode kontak 4 jam
Formula
F1
F2
F3
F4
Ulangan 1
2.7175
3.4102
3.2553
3.4424
Rata-Rata
3.022±0.247
3.148±0.497
3.289±0.379
3.373±0.232
Metode kontak 6 jam
Formula
F1
F2
F3
F4
Ulangan 1
3.6218
4.5149
4.3010
4.2553
Rata-Rata
3.983±0.259
4.076±0.483
4.316±0.881
4.195±0.434
Lampiran 4. Analisis statistika (ANOVA) aktivitas antimikroba yogurt selama
2, 4 dan 6 jam
Metode kontak 2 jam
Tests of Between-Subjects Effects
Dependent Variable:Penghambatan_2jam
Source
Model
Formula
Ulangan
Error
Total
Type III Sum
of Squares
df
a
115.493
.174
.557
2.285
117.778
Mean Square
7
3
3
9
16
F
16.499
.058
.186
.254
Sig.
64.988
.228
.731
.000
.875
.559
a. R Squared = .981 (Adjusted R Squared = .966)
Metode kontak 4 jam
Tests of Between-Subjects Effects
Dependent Variable:Penghambatan_4jam
Source
Model
Formula
Ulangan
Error
Total
Type III Sum of
Squares
Df
178.835a
.999
.393
1.123
179.959
Mean Square
7
3
3
9
16
F
25.548
.333
.131
.125
204.719
2.669
1.049
a. R Squared = .994 (Adjusted R Squared = .989)
Metode kontak 6 jam
Tests of Between-Subjects Effects
Source
Model
Formula
Ulangan
Error
Total
Type III Sum
of Squares
a
276.447
.254
2.204
1.591
278.038
df
Mean Square
7
3
3
9
16
a. R Squared = .994 (Adjusted R Squared = .990)
F
39.492 223.360
.085
.478
.735
4.155
.177
Sig.
.000
.705
.042
Sig.
.000
.111
.417
Lampiran 5. Analisis statistik (ANOVA) rata-rata aktivitas antimikroba yogurt
Tests of Between-Subjects Effects
Source
Model
Formula
Ulangan
Error
Total
Type III Sum of
Squares
Mean
Square
df
a
138.570
.046
4.391
.132
138.702
6
3
2
6
12
a. R Squared = .999 (Adjusted R Squared = .998)
23.095
.015
2.195
.022
F
1.052E3
.693
100.024
Sig.
.000
.589
.000
Lampiran 6. Nilai pH formula yogurt
Formula
Yogurt
F1
F2
F3
F4
pH
Ulangan 1 Ulangan 2
4.45
4.77
4.24
4.50
4.46
4.56
4.20
4.64
Rata-Rata
pH
4.61±0.23
4.37±0.18
4.51±0.07
4.42±0.31
Lampiran 7. Analisis statistika (ANOVA) nilai pH formula yogurt
Tests of Between-Subjects Effects
Dependent Variable:nilai_pH
Source
Type III Sum
of Squares
df
Mean Square
F
Sig.
.224a
4
160.384
1
formulayogurt
.067
3
.022
2.232
.263
Ulangan
.157
1
.157
15.680
.029
Error
.030
3
.010
Total
160.638
8
.254
7
Corrected Model
Intercept
Corrected Total
.056
5.594
.094
160.384 1.604E4
.000
a. R Squared = ,882 (Adjusted R Squared = ,724)
Lampiran 8. Rata-rata pertambahan berat badan tikus percobaan
Pertambahan
berat badan
(g)
H1
H3
H6
H9
H12
H15
H18
H21
Rata-rata
Kontrol
negatif
19.00
10.00
7.33
3.67
5.00
5.33
4.33
6.00
7.58
Kelompok tikus
Yogurt
Yogurt
Kontrol
sinbiotik
sinbiotik +
positif
EPEC K1.1
15.33
9.67
9.33
10.33
9.67
8.67
9.00
4.33
5.00
10.00
5.33
2.33
5.00
4.67
5.67
2.00
5.67
7.00
6.00
5.00
5.33
5.00
5.67
5.00
7.83
6.25
6.04
Yogurt
prebiotik
14.00
9.67
9.67
7.67
4.33
4.33
7.67
2.33
7.46
Lampiran 9.
Analisis statistika (ANOVA) pertambahan berat badan tikus
percobaan
Tests of Between-Subjects Effects
Dependent Variable:Kenaikan_Berat_Badan
Source
Model
Ulangan
Perlakuan
Error
Total
Type III Sum
of Squares
df
a
2329.425
329.024
21.737
135.738
2465.163
a. R Squared = .945 (Adjusted R Squared = .921)
Mean Square
12
7
4
28
40
194.119
47.003
5.434
4.848
F
40.043
9.696
1.121
Sig.
.000
.000
.367
Lampiran 10. Konsumsi ransum basal tikus percobaan per hari
Hari ke-
1
2
3
4
5
6
7
8
9
10
11
12
13
14
15
16
17
18
19
20
21
Kontrol
negatif
12.52
12.60
13.62
12.59
12.28
13.42
12.56
13.55
13.15
13.01
12.26
11.73
12.69
12.05
12.41
12.38
12.01
11.53
13.49
11.14
12.31
Rata-rata konsumsi ransum per hari (gram)
Yogurt
Yogurt sinbiotik
Kontrol positif
sinbiotik
+ EPEC K1.1
12.38
12.98
12.76
13.08
11.75
13.55
13.27
12.29
12.43
11.95
15.12
13.39
12.85
14.03
12.18
14.27
13.38
12.24
13.23
13.04
13.02
12.86
12.82
14.89
14.20
11.95
14.95
13.79
12.21
14.66
14.87
12.59
15.11
13.23
11.96
14.90
12.78
13.57
13.16
13.37
11.18
13.80
13.41
12.53
13.27
14.10
12.12
14.46
13.11
13.61
12.71
13.37
13.35
12.96
11.33
11.20
11.31
9.07
13.00
8.72
9.11
13.31
8.11
Yogurt
prebiotik
8.34
9.62
10.07
12.37
13.24
14.57
12.82
13.86
12.24
13.19
15.13
13.45
13.64
15.26
15.07
13.93
12.25
14.08
14.87
13.21
12.33
Lampiran 11. Analisis statistika (ANOVA) rata-rata konsumsi ransum per hari
Tests of Between-Subjects Effects
Dependent Variable:konsumsi_ransum
Source
Type III Sum
of Squares
df
Mean Square
F
Corrected
99.273a
24
4.136
3.016
Model
Intercept
17281.112
1
17281.112 1.260E4
Perlakuan
3.167
4
.792
.577
Ulangan
96.106
20
4.805
3.504
Error
109.704
80
1.371
Total
17490.089
105
Corrected Total
208.977
104
a. R Squared = ,475 (Adjusted R Squared = ,318)
Sig.
.000
.000
.680
.000
Lampiran 12. Data kadar air sampel feses tikus percobaan
Perlakuan
Kontrol negatif
Yogurt sinbiotik
Yogurt sinbiotik +
EPEC K1.1
Kontrol positif
Yogurt prebiotik
Ulangan 1
58.96
54.91
59.61
53.56
63.54
67.32
67.33
66.01
61.39
68.20
Ulangan 2
53.34
56.53
59.61
51.27
63.46
65.06
65.01
69.12
64.92
59.97
Rata-rata
56.15
55.72
59.61
52.41
63.50
66.19
66.17
67.56
63.15
64.09
Lampiran 13. Analisis statistik (ANOVA) kadar air feses tikus percobaan
Tests of Between-Subjects Effects
Dependent Variable:Kadar_Air_Feses
Source
Model
Ulangan
Perlakuan
Error
Total
Type III Sum of
Squares
a
37978.983
.681
211.132
30.357
38009.340
df
Mean Square
6
1
4
4
10
6329.831
.681
52.783
7.589
F
834.048
.090
6.955
a. R Squared = .999 (Adjusted R Squared = .998)
Kadar_Air_Feses
Duncan
Subset
Perlakuan
kontrol negatif
yogurt sinbiotik
yogurt prebiotik
yogurt sinbiotik + EPEC
kontrol positif
Sig.
Means for groups in homogeneous subsets are displayed.
Based on observed means.
The error term is Mean Square(Error) = 7.589.
N
1
2
2
2
2
2
2
55.9350
56.0100
63.6200
.052
63.6200
64.8450
66.8650
.310
Sig.
.000
.779
.043
Lampiran 14. Data kerusakan vili duodenum tikus percobaan
Perlakuan
Hari ke-7
Kontrol negatif
Yogurt
sinbiotik
Yogurt
sinbiotik +
EPEC K1.1
Kontrol positif
Hari ke-14
Kontrol negatif
Yogurt
sinbiotik
Yogurt
sinbiotik +
EPEC K1.1
Kontrol positif
Hari ke-21
Kontrol negatif
Yogurt
sinbiotik
Yogurt
sinbiotik +
EPEC K1.1
Kontrol positif
Yogurt
prebiotik
Ulangan
Jumlah
Vili
Usus
Jumlah
Vili Rusak
Presentase
Kerusakan
Vili (%)
Rata-rata
Kerusakan
Vili (%)
1
2
1
2
1
2
38
46
53
41
49
34
3
2
0
1
1
1
7.89
4.35
0.00
2.44
2.04
2.94
6.12
1
2
42
48
2
3
4.76
6.25
5.51
1
2
1
2
1
2
36
40
40
51
28
32
2
2
0
1
5
3
5.56
5.00
0.00
1.96
17.86
9.38
5.28
1
2
49
40
9
7
18.37
17.50
17.94
1
2
1
2
1
2
57
39
41
31
51
56
2
1
0
1
3
2
3.51
2.56
0.00
3.22
5.88
3.57
3.04
1
2
1
2
37
32
42
50
7
8
3
0
18.92
25.00
7.14
0.00
21.96
1.22
2.49
0.98
13.62
1.61
4.73
3.57
Lampiran 15. Data ketebalan mukosa duodenum tikus percobaan
Perlakuan Sampel U1 U2 U3
Hari ke-7
Kontrol
1
20.6 27.8 36.6
negatif
2
49.3 36.4 47.0
Yogurt
1
63.2 71.3 69.7
sinbiotik
2
44.6 50.8 49.7
Yogurt
1
52.8 54.8 56.5
sinbiotik
2
51.8 51.7 55.2
+ EPEC
K1.1
Kontrol
1
43.9 41.3 42.2
positif
2
49.8 48.5 49.4
Hari ke-14
Kontrol
1
41.1 39.6 36.7
negatif
2
44.4 45.7 48.0
Yogurt
1
55.0 54.9 50.9
sinbiotik
2
53.6 53.9 54.3
Yogurt
1
42.6 46.6 49.65
sinbiotik
2
33.0 32.5 49.25
+ EPEC
K1.1
Kontrol
1
18.1 19.4 22.2
positif
2
16.2 23.9 17.7
Hari ke-21
Kontrol
1
49.4 50.7 48.0
negatif
2
48.3 48.1 47.7
Yogurt
1
46.2 46.8 45.7
sinbiotik
2
48.4 50.3 48.9
Yogurt
1
47.2 49.1 51.3
sinbiotik
2
50.6 49.3 48.1
+ EPEC
K1.1
Kontrol
1
23.1 21.9 30.2
positif
2
22.3 27.7 27.9
Yogurt
1
37.5 34.7 37.7
prebiotik
2
45.1 52.1 49.9
U4
U5
U6
U7
U8
U9
U10
40.4
55.45
71.2
50.5
53.6
55.6
32.4
47.7
66.3
53.3
51.1
41.1
53.1
54.6
61.2
53.9
49.7
44.5
54.3
43.3
61.4
50.0
50.2
41.4
47.3
35.9
60.4
51.5
49.6
55.1
38.3
38.1
56.2
51.9
47.5
53.6
25.0
55.75
54.8
54.6
51.4
44.5
48.8
48.5
45.3
48.4
44.0
54.5
43.4 42.9 45.9
51.2 51.6 56.5
42.4
51.4
35.7
42.3
49.8
54.4
46.5
37.1
36.8
40.2
51.1
49.8
44.0
50.0
37.4
46.7
49.0
47.9
41.1
52.45
47.7
34.0
51.9
46.1
32.4
50.3
49.4
50.1
54.1
52.9
22.1
30.0
16.4
26.1
26.9
30.4
21.5
13.4
26.4 21.1 27.1
24.0 23.3 20.8
14.5
23.5
47.7
45.5
40.5
46.6
49.7
47.6
40.9
44.8
50.3
45.1
49.6
49.5
48.1
44.7
48.0
47.1
50.8
46.2
43.5
45.1
39.2
46.4
46.4
44.6
44.6
50.6
43.0
45.3
40.8
43.4
43.9
49.4
43.2
41.9
43.2
44.2
38.9
49.5
39.4
44.5
44.9
41.9
28.2
26.6
49.9
57.3
27.2
26.3
47.75
52.9
26.0
22.9
49.7
39.1
29.1
16.6
39.9
46.4
27.1
29.8
37.9
45.1
17.4
28.1
40.0
44.3
19.2
29.4
36.7
46.6
47.6
41.8
54.5
52.4
23.0
21.1
48.8
44.1
52.2
53.4
42.3
29.75
Lampiran 16. Analisis statistika ketebalan mukosa (ANOVA) pada hari ke-7
Tests of Between-Subjects Effects
Dependent
Variable:tebalmukosa
Type III Sum
of Squares
Source
Corrected
Model
Intercept
perlakuan
ulangan
Error
Total
Corrected Total
df
Mean Square
3013.287a
22
194774.584
2462.097
551.189
3487.214
201275.085
6500.501
1
3
19
57
80
79
136.968
F
2.239
.008
194774.584 3.184E3
820.699 13.415
29.010
.474
61.179
.000
.000
.963
a. R Squared = ,464 (Adjusted R Squared = ,256)
tebalmukosa
Duncan
perlak
uan
A
D
C
B
Sig.
Subset
N
1
Sig.
2
20 41.9650
20
47.4950
20
50.5850
20
1.000
.217
Means for groups in homogeneous subsets are displayed.
Based on observed means.
The error term is Mean Square(Error) = 61,179.
3
57.3250
1.000
Lampiran 17. Analisis statistika ketebalan mukosa (ANOVA) pada hari ke-14
Tests of Between-Subjects Effects
Dependent
Variable:tebalmukosa
Type III Sum
of Squares
Source
Corrected
Model
Intercept
perlakuan
ulangan
Error
Total
Corrected Total
df
Mean Square
10154.888a
22
120807.968
9763.078
391.810
2586.924
133549.780
12741.812
1
3
19
57
80
79
461.586
.000
120807.968 2.662E3
3254.359 71.706
20.622
.454
45.385
.000
.000
.970
tebalmukosa
Duncan
D
C
A
B
Sig.
Subset
N
1
2
Sig.
10.171
a. R Squared = ,797 (Adjusted R Squared = ,719)
perlak
uan
F
3
20 21.6450
20
38.7850
20
42.9050
20
52.1050
1.000
.058
1.000
Means for groups in homogeneous subsets are displayed.
Based on observed means.
The error term is Mean Square(Error) = 45,385.
Lampiran 18. Analisis statistika ketebalan mukosa (ANOVA) pada hari ke-21
Tests of Between-Subjects Effects
Dependent
Variable:tb_mukosa
Type III Sum
of Squares
Source
Corrected
Model
Intercept
perlakuan
sampel
ulangan
Error
Total
Corrected Total
df
Mean Square
7186.083a
14
174068.356
6771.317
116.316
298.450
1254.803
182509.243
8440.886
1
4
1
9
85
100
99
a. R Squared = ,851 (Adjusted R Squared = ,827)
tb_mukosa
Duncan
perlak
uan
D
E
B
A
C
Sig.
Subset
N
1
2
20 25.3500
20
44.5275
20
45.3400
20
46.4700
20
46.9200
1.000
.075
Means for groups in homogeneous subsets
are displayed.
Based on observed means.
The error term is Mean Square(Error) =
14,762.
513.292
F
Sig.
34.770
.000
174068.356 1.179E4
1692.829 114.672
116.316
7.879
33.161
2.246
14.762
.000
.000
.006
.026
Download