WILAYAH KESESUAIAN LAHAN HABITAT BURUNG WALET DI PROVINSI NUSA TENGGARA BARAT TUGAS AKHIR INDIVIDU PRAKTIKUM SISTEM INFORMASI GEOGRAFIS AHMAD AMANATUNNAWFAL AMMAR 1806197701 DEPARTEMEN GEOGRAFI FAKULTAS MATEMATIKA DAN ILMU PENGETAHUAN ALAM UNIVERSITAS INDONESIA 2020 DAFTAR ISI BAB I ........................................................................................................................................................ 3 1.1 Latar Belakang......................................................................................................................... 3 1.1 Pertanyaan Masalah ............................................................................................................... 4 1.3 Batasan Penelitian .................................................................................................................. 4 BAB II ....................................................................................................................................................... 5 2.1 Kesesuaian Lahan .................................................................................................................... 5 2.2 Burung Walet .......................................................................................................................... 6 2.3 Habitat Burung Walet ............................................................................................................. 7 2.4 Metode untuk Kesesuaian Wilayah ...................................................................................... 10 BAB III .................................................................................................................................................... 13 3.1 Wilayah Penelitian ................................................................................................................ 13 3.2 Variabel Penelitian ................................................................................................................ 15 3.3 Pengumpulan Data................................................................................................................ 16 3.4 Pengolahan Data ................................................................................................................... 17 3.5 Analisis Data .......................................................................................................................... 22 BAB IV.................................................................................................................................................... 26 4.1 Hasil Pengolahan Data .......................................................................................................... 26 4.2 Hasil Analisis Overlay ............................................................................................................ 31 4.3 Persentase Luas Masing-Masing Kelas Kesesuaian............................................................... 32 BAB V..................................................................................................................................................... 34 DAFTAR PUSTAKA ................................................................................................................................. 35 2 BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Collocalia fuciphaga adalah salah satu spesies burung walet yang menghasilkan sarang burung walet berwarna putih (Hakim, A., 2011) [1]. Budidaya sarang burung walet telah dilakukan sejak abad ke-18 di Indonesia (Hakim, A., 2011) [1]. Sarang yang dibuat oleh burung walet berasal dari air liurnya yang mengeras (Mardiastuti, et al., 1998) (Hakim, A., 2011) [1]. Burung ini biasanya bertengger secara vertikal dan tidak pernah berdiri secara sengaja di tanah (Petkliang, et al., 2017) [2]. Sekarang, terdapat sekitar 24 spesies burung walet di dunia (Petkliang, et al., 2017) [2]. Spesies burung yang tergolong dalam family Apodidae memiliki ukuran badan yang sedang (12 cm), bagian atasnya berwarna coklat kehitam-hitaman dengan tungging abu-abu pucat, tubuh bagian bawah coklat, dan sayapnya Panjang dan runcing (Hakim, A., 2011) (Hakim, A., 2011) [1]. Menurut Kepmenhut Nomor 299/Kpts-II/1999, burung walet memiliki dua karakteristik habitat, yaitu gua alam dan tebing/lereng bukit (Hakim, A., 2011) [1]. Permintaan terhadap produk sarang burung walet didasari oleh latar belakang khasiat yang dipercaya oleh masyarakat dapat menyembuhkan berbagai penyakit (Nazaruddin & Regina, 1991; Saepudin, R., 2006) [3]. Sehingga dibutuhkan sebuah metode basis untuk mengetahui potensi budidaya sarang burung walet di suatu daerah, Lombok sendiri juga diketahui memiliki pengiriman SBW ke Surabaya yang besar, yang kemudian diekspor ke luar negeri hingga mencapai 20,896 miliar pada tahun 2018 [4]. Namun, akibat eksploitasi yang berlebihan, jumlah populasi dari burung walet sarang putih terus menurun, terutama di Indonesia dan Malaysia (Ibrahim, S. h., Teo. W. C., dan Baharun, A, 2009) [5]. Selain itu, budidaya ini seringkali tidak memiliki aspek ekologi, aspek lingkungan, dan struktur bangunannya (Arifin, M. S., 2011) [6]. Untuk mengetahui potensi dan persebaran lahan yang tersedia yang cocok, dapat digunakan teknologi sistem informasi geografis (Chuong, H. V., 2019) [7]. Kemudian, data ini diolah dengan menggunakan metode overlay (Chuong, H. V., 2019) [7]. Metode overlay sendiri dalam SIG adalah prosedur yang digunakan untuk memproduksi peta kombinasi dari dua peta digital yang memiliki masing-masing memiliki atribut data yang mencerminkan tema peta (Chuong, H. V., 2019) [7]. Metode ini mempertimbangkan aspek spasial sebuah fenomena yang kemudian dianalisis secara numerik dan geometris (Ahiqvist, Q., 2009) [23]. Provinsi Nusa Tenggara Barat merupakan provinsi kepulauan, dengan 2 pulau besar, yaitu Lombok dan sumbawa (JDIH Provinsi NTB, 2013) [8]. Ketinggian bervariasi dari 0 – 3.726 mdpl, dengan rentang 100 – 500 m mendominasi dengan proporsi luas sekitar 37,39%, ketinggian tertinggi berada di puncak Gunung Rinjani (JDIH Provinsi NTB, 2013) [8]. Kemiringan tanah didominasi oleh rentang 15 – 40% (34,96%) yang tergolong agak curam hingga curam (Van Zuidam, 1983; Bermana, I., 2006) [9]. Sungai yang terkomposisi oleh air sebagai sumber kehidupan, wilayah NTB dibagi menjadi 18 Sub Satuan Wilayah Sungai/Daerah Aliran Sungai (SSWS/DAS), dengan Satuan Wilayah Sungai Dodokan, Menanga, Putih, dan Jelateng (JDIH Provinsi NTB, 2013) [8]. Penelitian ini dilakukan untuk mengetahui potensi lahan tersedia yang cocok bagi habitat burung walet sarang putih. Bank Indonesia sendiri merilis bahwa Kabupaten Lombok 3 Timut merupakan produsen sarang burung walet utama di sub sektor kehutanan (Bank Sentral Republik Indonesia, 2013) [10]. Dengan analisis kesesuaian lahan, dapat diketahui pula lahan yang potensial untuk budidaya sarang burung walet, tidak hanya di Kabupaten Lombok Timur (Margareta, R., dan Abdullah, M., 2008) [16]. Hal ini akan menjadi studi lebih lanjut untuk merekonstruksi budidaya yang terbaik terutama dalam aspek lingkungan dan habitat burung walet agar memenuhi kebutuhan biologisnya (Margareta, R., dan Abdullah, M., 2008) [16]. 1.1 Pertanyaan Masalah Dari berbagai latar belakang masalah yang ada mengenai budidaya sarang burung walet putih, maka dibutuhkan sebuah pertanyaan dasar utama untuk menyelesaikan masalah tersebut, yaitu: 1. Apa parameter yang dapat menentukan kualitas wilayah kesesuaian lahan habitat untuk budidaya burung walet? 2. Di mana lahan yang potensial untuk budidaya sarang burung walet di Provinsi Nusa Tenggara Barat? 3. Berapa proporsinya terhadap keseluruhan luas wilayah Provinsi NTB? 1.3 Batasan Penelitian Dari metode dan data yang digunakan, dapat diketahui batasannya. Wilayah kesesuaian lahan habitat burung walet hanya menggunakan 5 variabel fisik tanpa memperhatikan faktor sosial. 1. Kesesuaian lahan adalah metode yang digunakan untuk mengetahui dan memahami kualitas dari sebuah situs untuk menentukan lokasi yang cocok untuk sebuah aktivitas manusia hanya berdasarkan parameter, namun tidak secara proses dalam waktu 2. Data variabel yang digunakan diperoleh dari lembaga maupun instansi yang terpercaya yang terbaru 3. Elevasi adalah jarak vertikal antara sebuah permukaan dengan bidang referensi, biasanya rerata ketinggian permukaan laut (McVicar, T. R., dan Körner, C., 2013) [15] 4. Tutupan lahan adalah karakteristik fisik dari permukaan bumi, misalnya adalah distribusi vegetasi, air, tanah, dan fitur fisik lainnya. (Kaul & Sopan, 2012) [17] 5. Buffer sungai adalah zona wilayah yang dibentuk oleh jarak dari tepi sungai (Hehai, Wu., 1997; Dong, et al., 2003) [18] 6. Temperatur adalah sebuah pengukuran rata-rata dari energi kinetic translasional yang diasosiasikan dengan pergerakan atom dan molekul yang bertabrakan (Vázquez, A. B., 2012) [19] 7. Buffer jalan adalah zona wilayah yang dibentuk oleh jarak dari sempadan jalan (Hehai, Wu., 1997; Dong, et al., 2003) [18] 4 BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Kesesuaian Lahan Kesesuaian lahan adalah identifikasi lokasi yang tepat untuk sebuah penggunaan lahan atau untuk perkembangan lainnya, cara untuk memahami lokasi yang sudah ada dan elemen-elemennya yang membantu untuk menentukan situs yang paling tepat untuk sebuah aktivitas (Mukhopadhaya, Sayan., 2016) [11]. Praktik kesesuaian lahan digunakan untuk memahami kualitas dari situs yang sudah ada dan faktor-faktor untuk menentukan lokasi untuk sebuah aktivitas (Mukhopadhaya, Sayan., 2016). Menurut Saaty, kesesuaian lahan mempertimbangkan berbagai kriteria dan kebutuhan, pertimbangannya didasarkan pada Teknik estimasi bobot dari setiap faktor, yang disebut dengan Analytical Hierarchy Process (AHP) (Chuong, H. V., 2019) [7]. GIS dapat digunakan untuk mengkombinasikan data spasial dengan atributnya, sehingga Sistem informasi digunakan untuk membuktikan praktik yang efektif untuk menentukan lahan yang sesuai untuk lingkungan terbangun (Baban, 2007; Chandio, I. A., dan Nasir, A., 2011) [12]. GIS dapat digunakan untuk mengambil keuntungan dari faktor yang terhubung satu sama lain untuk mempengaruhi perkembangan sebuah tempat (Chandio, I. A., dan Nasir, A., 2011) [12]. Biasanya, kriteria yang harus dipertimbangkan adalah aksesibilitas, misalnya adalah jalan, topografi, dan tutupan lahan (Baban, 2017; Chandio, I. A., dan Nasir, A., 2011) [12]. Adlyansah, et al. menggunakan metode kesesuaian lahan untuk pemetaan risiko bencana banjir (Adlyansah, et al., 2019) [31]. Chuong (2019) menggunakan analisis kesesuaian lahan untuk menganalisis produksi bagi pohon buah-buahan (Chuong, H. V., 2019) [7]. Chandio menggunakan kesesuaian lahan untuk perkembangan wilayah perbukitan (Chandio, et al., 2014) [32]. Sehingga hasil dari operasi database dan statistik SIG menghasilkan visualisasi pemetaan, hal ini dapat digunakan untuk menjelaskan kejadian, merencanakan strategi, dan memprediksi apa yang akan terjadi (Anonim, 2006; Arifin, M. S., dan Rahayuningsih, M., 2012) [13]. Peta sangat baik untuk memperlihatkan hubungan atau relasi yang dimiliki oleh unsur-unsurnya karena peta mengorganisasikan unsur-unsur berdasarkan lokasilokasinya (Prahasta, 2002; Arifin, M. S., dan Rahayuningsih, M., 2012) [13]. SIG dapat digunakan untuk mengumpulkan faktor habitat spasial burung walet yang disimpan dalam atribut database, kemudian menghubungkan unsur di atas dengan analisis statistik spasial, sehingga diketahui wilayah yang memiliki potensi untuk budidaya sarang burung walet (Margareta, R., dan Abdullah, M., 2008) [16]. Dalam penelitian kali ini digunakan beberapa variabel untuk mendukung perencanaan dan pengelolaan satwa dibutuhkan data, baik ekologi maupun perilakunya di dalam setiap ruang fisik (Margareta, R., dan Abdullah, M., 2008) [16]. Sehingga melibatkan kelas tutupan lahan, suhu, ketinggian, jarak dari sungai, dan jarak dari jalan (Margareta, R., dan Abdullah, M., 2008) [16]. Hal ini akan menghasilkan peta distribusi horizontal burung walet, distribusi sendiri adalah parameter kualitatif yang menggambarkan keberadaan organisme spesies tertentu pada ruang secara horizontal (Arifin, M. S., 2011) [6]. 5 2.2 Burung Walet Burung walet adalah burung yang dapat menghasilkan sarang yang dapat dikonsumsi (Petkliang, et al., 2017) [2]. Burung walet memiliki kemiripan dengan burung beo sekilas, namun tidak ada kemiripan secara genetik sama sekali (Merikle, 1998; Idris, A., Abdullah, A. A., dan Rehman, M. A., 2014) [21]. Burung ini banyak ditemukan di seluruh bagian Asia Tenggara (Idris, A., Abdullah, A. A., dan Rehman, M. A., 2014) [21]. Sekarang terdapat 24 spesies burung walet di dunia (Ibrahim, S. h., Teo. W. C., dan Baharun, A, 2009) [5]. Burung ini berukuran sedang (12 cm), bagian atas tubuhnya berwarna cokelat kehitam-hitaman dengan tungging abu-abu pucat, sedangkan tubuh bagian bawahnya berwarna cokelat kehitam-hitaman (Hakim, A., 2011) [1]. Sayapnya berbentuk bulan sabit memanjang dengan ekor menggarpu dan kuku yang runcing (Hakim, A., 2011) [1]. Burung ini mampu bergerak lebih cepat dari burung lainnya dan sayapnya lebih kuat (Merikle, 1998; Idris, A., Abdullah, A. A., dan Rehman, M. A., 2014) [21]. Selain itu, penglihatannya juga cukup tajam (Liam dan Cranbrook, 2002; Idris, A., Abdullah, A. A., dan Rehman, M. A., 2014) [21]. Jenis kelamin dari burung ini sulit dibedakan (Hakim, A., 2011) [1]. Jenis Collocalia fuciphaga merupakan jenis yang paling sering dibudayakan di Indonesia (Hakim, A., 2011) [1]. Adapun spesies lainnya dari burung walet adalah Aerodramus fuciphagus, Aerodramus germani, Aerodramus maximus, dan Aerodramus unicolor (Idris, A., Abdullah, A. A., dan Rehman, M. A., 2014) [21]. Berikut adalah taksonomi biologi dari burung walet menurut Mulia (2009) dalam Arifin (2011) [6]: Kingdom : Animalia Divisi : Chordata Kelas : Aves Ordo : Apodiformes Familia : Apodidae Genus : Collocalia Spesies : Collocalia fuciphaga Burung ini adalah burung pemakan serangga atau insektivora, memakan jenis hymneoptera dan diptera (Lourie dan Tompkins, 2000; Rahman, M. A., Ghazali, P. L., dan Lian, C. J., 2018) [20]. Burung ini mampu menjelajahi ruangan yang gelap karena kemampuan ekolokasinya (Griffin, 1958; Idris, A., Abdullah, A. A., dan Rehman, M. A., 2014) [21]. Burung ini menyimpan energinya untuk membuat sarang yang besar dengan mengurangi terbang dan aktivitas (Kassim, 2011; Idris, A., Abdullah, A. A., dan Rehman, M. A., 2014) [21]. Sarangnya yang dapat dimakan menjadi hal yang menarik, di mana terbuat dari air liurnya, dan terus berkembang menjadi industri bernilai ratusan miliar rupiah (Rahman, M. A., Ghazali, P. L., dan Lian, C. J., 2018) [20]. Cita rasa dari sarang burung walet unik dan digunakan untuk pengobatan untuk peningkatan kekuatan fisik serta imunitas tubuh, bahkan disebut-sebut sebagai obat penyembuh bagi penyakit paru-paru, panas dalam, kanker, hingga AIDS (Acquired Immune Defficiency Syndrome) (Soehartono dan Mardiastuti, 2003; Arifin, M. S., 2011) [6]. Permintaan yang terus meningkat terutama dari kelas atas baik dari dalam negeri maupun luar negeri menjadi ancaman bagi terganggunya habitat burung walet (Petkliang, et al., 2017) [2]. Pembuatan sarangnya ini mengambil waktu sekitar 30 hari, sejak masa kawin hingga ukurannya yang cukup untuk menyimpan telur, kemudian baru setelah itu 7 – 10 hari setelahnya baru dapat membuat sarang kembali (Kang, et 6 al., 1991; Idris, A., Abdullah, A. A., dan Rehman, M. A., 2014) [21]. Biasanya sarang burung walet ini dibuat pada malam hari (Liam dan Cranbrook, 2002; Idris, A., Abdullah, A. A., dan Rehman, M. A., 2014) [21]. Masa kawin dilakukan pada musim hujan di Vietnam, ketika banyak terdapat serangga daratan (Nguyen Quang, 1994; Idris, A., Abdullah, A. A., dan Rehman, M. A., 2014) [21]. Predator dari burung walet adalah vertebrata (burung hantu, ular, kadal, tikus, kucing, dan kelelawar), burung walet dapat menghindari predator dengan memilih sarang yang tepat (Manchi, 2009; Idris, A., Abdullah, A. A., dan Rehman, M. A., 2014) [21]. Ekolokasi juga dapat digunakan untuk menghindari diri dari predator (Idris, A., Abdullah, A. A., dan Rehman, M. A., 2014) [21]. Ekstrak sarang burung walet dapat digunakan untuk menghambat haemaglutinasi terhadap virus influenza (Idris, A., Abdullah, A. A., dan Rehman, M. A., 2014) [21]. Kemudian juga terdapat Epidermal Growth Factor (EGF) yang dikandung dalam ekstrak sarang burung walet (Ng, et al., 1986; Kong, et al, 1987; Idris, A., Abdullah, A. A., dan Rehman, M. A., 2014) [21]. Sarangnya terdiri atas 50-60% protein, 25% karbohidrat, dan 10% air, dengan kandungan sedikit mineral seperti kalsium, potassium, fosfor, dan sulfur (Wang, 1921; Idris, A., Abdullah, A. A., dan Rehman, M. A., 2014) [21]. Terdapat 17 jenis asam amino, yaitu aspartic acid, glutamic acid, serine, glycine, histidine, threonine, arginine, alanine, isoleucine, leucine, phenylananine, dan lysine (Liam, 1999; Idris, A., Abdullah, A. A., dan Rehman, M. A., 2014) [21]. Habitat asli burung walet di alam adalah gua-gua alam batugamping hingga tebing/lahan curam, sehingga biasanya budidaya burung walet dilakukan di lingkungan yang sudah disesuaikan dengan habitat aslinya (Mardiastuti dan Soehartono, 1996; Idris, A., Abdullah, A. A., dan Rehman, M. A., 2014) [21]. Sebenarnya hal yang mempengaruhi lokasi budidaya burung walet adalah kepadatan, wilayah pemberian pakan, dan ruang jelajah burung walet, serta tempat untuk kontrol burung walet (Idris, A., Abdullah, A. A., dan Rehman, M. A., 2014) [21]. Pastinya dipilih wilayah yang memiliki populasi burung walet yang paling banyak (Nasir Salekat, 2009; Idris, A., Abdullah, A. A., dan Rehman, M. A., 2014) [21]. Sehingga fokus penelitian kali ini adalah persebaran kesesuaian lahan habitat bagi burung walet, sehingga mengambil faktor fisik. Agar populasi burung walet tetap terjaga, harus ada sistem manajemen dari produksi sarang burung walet (Margareta, R., dan Abdullah, M., 2008) [16]. Conservation on International Trade in Endangered Species of Wild Fauna and Flora (CITES) mengontrol status dan perdagangan sarang burung walet (Idris, A., Abdullah, A. A., dan Rehman, M. A., 2014) [21]. Sehingga dengan wilayah kesesuaian lahan untuk habitat burung walet dapat diketahui wilayah yang dapat dikontrol untuk produksi sarang burung walet (Margareta, R., dan Abdullah, M., 2008) [16]. 2.3 Habitat Burung Walet Terdapat beberapa jenis burung walet, namun burung walet sarang putih (Collocalia fuciphaga) lebih sering digunakan secara ekonomis daripada walet sarang hitam (Collocalia maxima) dan walet sarang rumput (Collocalia linchi) (Soehartono dan Mardiastuti, 2003; Manchi, S. S., dan Sankaran, R., 2010) [14]. Penurunan populasi dari burung walet disebabkan oleh berbagai faktor, kegagalan mikroiklim dari bangunan untuk menghasilkan lingkungan seperti di gua (Ibrahim, Teo, & Baharun, 2009; Hakim, A., 2011) [1] dan sedikitnya habitat untuk pakan karena deforestasi yang 7 diasosiasikan dengan ekspansi agrikultur (Chuangchang & Tongkumchum, 2014; Hakim, A., 2011) [1]. Komponen yang penting adalah faktor ketersediaan makanan, tutupan lahan, tempat berlindung dari predator dan cuaca, dan panas atau tidaknya suatu wilayah sebagai tempat bersarang dan bereproduksi sebuah satwa (Wang, 2003 dalam Rahayuningsih, 2008; Arifin, M. S., dan Rahayuningsih, M., 2012) [13]. Habitat dasar burung walet adalah ruang habitat yang memiliki ketersediaan pakan, air, tempat tinggal dan berkembang biak (Arifin, M. S., Rahayuningsih, M., dan Ngabekti, S., 2012; Arifin, M. S., dan Rahayuningsih, M., 2012) [13]. Elevasi adalah jarak vertikal antara sebuah permukaan dengan bidang referensi, biasanya rerata ketinggian permukaan laut (McVicar, T. R., dan Körner, C., 2013). [15]. Burung walet berada pada dataran rendah hingga dengan ketinggian maksimal 1.000 mdpl (Budiman, 2002; Arifin, M. S., dan Rahayuningsih, M., 2012) [13]. Sedangkan menurut Saepudin, kualitas sarang burung walet paling baik pada ketinggian hingga 500 mdpl (Saepudin, R., 2006) [3]. Sedangkan menurut penelitian Arifin, lebih baik tidak lebih dari 1.000 mdpl (Arifin, M. S., dan Rahayuningsih, M., 2012) [13]. Sehingga Margareta dan Abdullah (2008) membuat klasifikasi ketinggian 0 – 500 mdpl, 501 – 1000 mdpl, dan > 1000 mdpl (Margareta, R., dan Abdullah, M., 2008) [16]. Tutupan lahan adalah karakteristik fisik dari permukaan bumi, misalnya adalah distribusi vegetasi, air, tanah, dan fitur fisik lainnya. (Kaul & Sopan, 2012) [17]. Sehingga penelitian Arifin menggunakan penggunaan lahan hutan, tanah kosong, pemukiman, sawah, dan sungai/sumber air untuk tutupan lahan (Arifin, M. S., dan Rahayuningsih, M., 2012) [13]. Namun, menurut penelitian Rahman, et al., (2018) habitat burung walet juga berada di dekat pantai, di wilayah pantai terdapat budidaya 133 ekor, di desa 210 ekor, dan di perkotaan 59 ekor (Rahman, M. A., Ghazali, P. L., dan Lian, C. J., 2018) [20]. Syarat kehidupan burung walet yang lebih spesifik adalah memiliki iklim tropis dan daerah basah dengan musim hujan selama enam bulan dalam satu tahun dan memiliki Kawasan hutan subur yang luas, area pertanian yang subur, aliran sungai (Budiman, 2002; Arifin, M. S., dan Rahayuningsih, M., 2012) [13]. Sumiati (1998) melaporkan bahwa rumah walet (Collocalia fuciphaga) tersebar di daerah yang memiliki ketinggian kurang dari 500 meter di atas permukaan laut (Saepudin, R., 2006) [3]. Menurut Kishimoto, et al., Habitat secara fisik burung walet dapat berupa lahan basah, namun pada musim kering, sawah dan lahan agrikultur biasanya kering (Kishimoto Yamada dan Itioka, 2015; Petkliang, et al., 2017) [2]. Aktivitas mencari makan paling banyak dilakukan di atas tanah basah, rawa, wilayah hutan, dan lahan padi terbuka (Sanchex-Clavijo, Hearns, & Quintana-Ascencio, 2016; Petkliang, et al., 2017) [2]. Sehingga, burung walet sering ditemukan di daerah tanggul, dekat badan air, atau tanaman basah (Petkliang, et al., 2017) [2]. Habitat hutan menjadi penting karena merupakan sumber Hymnoptera (Nguyen Quang, et al., 2002; Petkliang, et al., 2017) [2]. Lahan sawah padi terbuka juga mirip dengan hutan, namun serangga yang dominan adalah Diptera dan Hemiptera, yang juga merupakan makanan utama burung walet (Lourie dan Tompkins, 2000; Petkliang, et al., 2017) [2]. Perkebunan monokultur biasanya memiliki serangga yang lebih sedikit, terutama ketika musim kemarau, jumlah serangga di perkebunan karet hanya setengah dari serangga yang tinggal di hutan (Phommexay, et al., 2011; Petkliang, et al., 2017) [2]. Rayap menjadi pakan utama burung walet ketika musim panas (Davies, et al., 2015; Petkliang, 8 et al., 2017) [2]. Sedangkan pada lingkungan perkotaan, jarang diminati serangga kecuali pada bulan purnama, karena banyak pencahayaan (Perkin, et al., 2013; Petkliang, et al., 2017) [2]. Sehingga habitat yang paling baik menurut penelitian Petkliang adalah di atas rawa, hutan, dan lahan sawah padi Petkliang, et al., 2017) [2]. Sedangkan menurut penelitian Manchi dan Sankaran (2010), edible-nest swiftlet lebih aktif di dalam wilayah hutan (Manchi, S. S., dan Sankaran, R., 2010) [14]. Kemudian edible-nest swiftlet juga biasanya terbang cukup tinggi di atas pohon, karena serangga juga terbang ke atas saat temperatur tinggi, hingga mencapai > 30 m di atas permukaan tanah (Manchi, S. S., dan Sankaran, R., 2010) [14]. Kemudian, burung walet bergantung pada keberadaan hutan dan gua-gua untuk tempat bertelur dan menetap (Manchi dan Sankaran, 2010; Manchi, S. S., dan Sankaran, R., 2010) [14]. Namun apabila merujuk pada Saepudin (2006), burung walet sangat menyukai wilayah yang memiliki banyak pepohonan, persawahan, dan rawa yang banyak ditumbuhi oleh tumbuhan rendah (Saepudin, R., 2006) [3]. Mardiastuti (1998) menyatakan bahwa burung walet banyak berada di sawah dan tegalan (50%), lahan basah (20%), dan daerah berhutan (30%) (Mardiastuti, 2008; Margareta, R., dan Abdullah, M., 2008) [16]. Kemudian juga Henmulia (2008) habitat yang sesuai untuk burung walet adalah persawahan, padang rumput, hutan terbuka, pantai, danau (Margareta, R., dan Abdullah, M., 2008) [16]. Menurut Saepudin (2006), jenis serangga yang menjadi sumber makanan burung walet adalah Homoptera, Hemiptera, Hymenoptera, dan Diptera (Saepudin, R., 2006) [3]. Burung walet mencari makanan di udara di ruang terbuka dan hutan, makanannya berupa hymneoptera (17 – 44%), Diptera (8 – 39%), Hemiptera (7 – 35%), Coleoptera (1 – 5%, dan Isoptera (0 – 10%) (Petkliang, et al., 2017) [2]. Dalam lingkungan tropis, burung walet akan lebih tertarik pada habitat yang banyak memiliki jenis mangsa (Chantler & Driessens, 2000; Petkliang, et al., 2017) [2]. Sehingga jumlah penangkapan mangsa akan lebih tinggi pada ketika bulan purnama, di mana terdapat lebih banyak serangga (Basset, et al., 2003; Petkliang, et al., 2017) [2], lebih banyak lagi apabila pada musim hujan karena kemunculan serangga akuatik dan daratan (Fukui, et al., 2006; Petkliang, et al., 2017) [2]. Biasanya burung ini lebih banyak mencari pakan di pagi hari (6:30 – 10:30) dan sore (14:30 – 18:30) untuk mencari energi untuk mencari mangsa dan membangun sarang menurut hasil penelitian Petkliang (Petkliang, et al., 2017) [2]. Pembangunan sarang biasanya pada jam 18:00 – 22:00 dan 04:00 – 06:00 (Petkliang, et al., 2017) [2]. Pada siang hari kemudian burung ini terbang hingga ketinggian 100 mdpl, dengan ketinggian maksimum 1.889 m di atas permukaan, biasanya mencari makan di bawah 200 mdpl (Helms, et al., 2016; Petkliang, et al., 2017) [2]. Temperatur adalah sebuah pengukuran rata-rata dari energi kinetik translasional yang diasosiasikan dengan pergerakan atom dan molekul yang bertabrakan (Vázquez, A. B., 2012) [19]. Semakin tinggi temperatur, maka akan diikuti dengan kelembaban yang tinggi apabila ada air yang tersedia (Saepudin, R., 2006) [3]. Sedangkan menurut Budiman (2008), burung walet akan memilih daerah dengan suhu yang tidak lebih dari 26oC – 29oC (Arifin, M. S., dan Rahayuningsih, M., 2012) [13]. Menurut Ibrahim, et al., (2009) budidaya burung walet yang baik berada di ruangan bersuhu antara 26 oC – 35oC (Ibrahim, S. h., Teo. W. C., dan Baharun, A, 2009) [5]. Margareta dan Abdullah (2008) menggunakan klasifikasi suhu < 15oC, kemudian 16oC – 25oC, dan 26oC – 30oC 9 (Margareta, R., dan Abdullah, M., 2008) [16]. Sedangkan menurut Sofwan dan Winarso (2005) suhu optimum gedung untuk budidaya walet adalah 27oC -29oC (Sofwan dan Winarso, 2005; Ayuti, T., dan Garnida, D., dan Asmara, I. Y., 2016) [30]. Buffer sungai adalah zona wilayah yang dibentuk oleh jarak dari tepi sungai (Hehai, Wu., 1997; Dong, et al., 2003) [18]. Buffer sungai digunakan dalam penelitian kali ini, karena daerah tepi sungai dengan vegetasi tumbuhan rendah yang padat sangat disukai oleh burung walet (Petkliang, et al., 2017) [2]. Di daerah ini burung walet akan mencari makan, minum, dan bermain (Marzuki, et al., 1999; Saepudin, R., 2006) [3]. Sumber air sebagai wilayah dalam mencari makan adalah laut, sungai, danau, dan kolam (Saepudin, R., 2006) [3]. Sehingga Margareta dan Abdullah (2008) membuat buffer sungai dengan radius 1.000 m dan 1.000 m – 1.500 m (Margareta, R., dan Abdullah, M., 2008) [16]. Menurut Arifin dan Rahayuningsih, jarak rumah walet harus ada dalam jarak 100 m dari sungai (Arifin, M. S., dan Rahayuningsih, M., 2012) [13], karena pakan burung walet adalah serangga. Sehingga, Margareta dan Abdullah (2008) membuat klasifikasi radius dari sungai < 1.000 m dan 1.000 – 2.500 m (Margareta, R., dan Abdullah, M., 2008) [16]. Menurut Ayat dan Tata, habitat burung memang dipengaruhi oleh sungai, sehingga walaupun terdapat perkebunan monokultur di sekitarnya burung tetap dapat hidup untuk mencari makan (Ayat, A., dan Tata, H. L., 2015) [26]. Buffer jalan adalah zona wilayah yang dibentuk oleh jarak dari sempadan jalan (Hehai, Wu., 199; Dong, et al., 2003) [18]. Buffer jalan digunakan dalam penelitian kali ini karena menurut Mulia (2009) dikatakan bahwa burung walet adalah jenis burung yang sensitif sehingga lebih memilih daerah yang tenang dan bebas polusi (Arifin, M. S., dan Rahayuningsih, M., 2012) [13]. Sehingga rumah walet yang baik adalah yang memiliki jarak minimal 100 meter dari jalan raya (Arifin, M. S., dan Rahayuningsih, M., 2012) [13]. Menurut penelitian Arifin dan Rahayuningsih (2012), rumah walet banyak ditemukan dalam radius 0 – 500 m dari jalan raya (Arifin, M. S., dan Rahayuningsih, M., 2012). Sehingga, Margareta dan Abdullah (2008) membuat klasifikasi jarak dari jalan < 100 m, 100 – 500 m, dan > 500 m (Margareta, R., dan Abdullah, M., 2008) [16]. Umumnya, seluruh penelitian menyatakan bahwa burung walet lebih menyukai lingkungan yang bersifat alami dan tidak ekstrem, walaupun terdapat beberapa lingkungan buatan manusia yang disukai, namun hal tersebut sesuai dengan ekologi sehingga membentuk habitat burung walet (Arifin, M. S., dan Rahayuningsih, M., 2012; Saepudin, R., 2006; Margareta, R., dan Abdullah, M., 2008; Rahman, M. A., Ghazali, P. L., dan Lian, C. J., 2018; Petkliang, et al., 2017; Manchi, S. S., dan Sankaran, R., 2010; Ibrahim, S. h., Teo. W. C., dan Baharun, A, 2009; Ayuti, T., dan Garnida, D., dan Asmara, I. Y., 2016; Ayat, A., dan Tata, H. L., 2015) [13, 3, 16, 20, 2, 14, 5, 30, 26] 2.4 Metode untuk Kesesuaian Wilayah Wilayah kesesuaian lahan ditentukan dari berbagai data spasial parameterparameter pembentuk dapat digunakan untuk pengembangan budidaya sarang walet putih (Margareta, R., dan Abdullah, M., 2008) [16]. Parameter-parameter ini harus didapatkan dari pengetahuan para ahli dalam menangani sumber daya alam yang terbaru (Kangas, et al. 2003; Jokimäki, J., Store, R., 2003) [22]. Sebenarnya analisis kesesuaian wilayah untuk habitat yang paling tepat adalah dengan menggunakan data 10 empiris dan juga pengetahuan ahli (Jokimäki, J., Store, R., 2003) [22]. Persyaratan sebuah habitat terhubung dengan struktur habitat dn lansekap di sekitarnya (Jokimäki and Huhta, 1996; Jokimäki, J., Store, R., 2003) [22]. Misalnya bentuk habitat dan ukurannya juga terkadang harus dilibatkan untuk pola keruangannya (Virkkala, 1991; Jokimäki, J., Store, R., 2003), namun pada kali ini tidak diperoleh data empiris mengenai populasi burung walet di Provinsi Nusa Tenggara Barat [22]. SIG sebagai alat modeling, dijadikan sebagai platform, di mana data diproses dan disimpan, kemudian diekstrapolasi hasilnya dari basis titik menjadi basis spasial (Brown, et al., 1994; Jokimäki, J., Store, R., 2003) [22]. Teknik yang baru dalam SIG untuk memproduksi peta juga beragam, misalnya artificial neural networks, genetic programming, dan machine learning (Jokimäki, J., Store, R., 2003) [22]. Dengan menghubungkan map-algebra, bersama, maka diketahui lokasi suatu tempat (BonhamCarter, 1994; Jokimäki, J., Store, R., 2003) [22]. Selain itu juga dapat dilakukan model kesesuaian lahan habitat ini dalam skala tunggal atau skala besar, skala tunggal biasanya kurang baik sebagai manajemen lansekap terutama dalam konservasi biologi (Jokimäki, J., Store, R., 2003) [22]. Sehingga terdapat beberapa tahap untuk melakukan kesesuaian lahan habitat, yang pertama untuk menentukan variabel dalam skala berbeda, kedua menghitung indeks kesesuaian untuk menutupi seluruh wilayah, kemudian seharusnya untuk spesies burung juga harus dilakukan dalam skala kecil dengan fotografi aerial, peta topografi, dan pemetaan habitat sebagai dasarnya, namun dalam penelitian ini hanya dipakai skala tunggal dan juga pemilihan ekstraksi kelas dengan query dan peta topografi (Jokimäki, J., Store, R., 2003) [22]. Biasanya variabel dengan atributnya dikonversikan menjadi data raster, namun pada penelitian kali ini menggunakan data vektor. Adapun penelitian Littleboy, et al (1996), menggunakan pemodelan spasial berbasis SIG untuk mengekstrapolasi model sederhana sehingga membentuk model spasial, mereka menggunakan poligon yang sudah dikelaskan, namun kekurangan dari klasifikasi dapat menyebabkan hilangnya data (Jokimäki, J., Store, R., 2003) [22]. Seluruh data parameter yang akan digunakan harus memiliki skala yang sama atau tingkat detail dan resolusi yang sama, walaupun sebenarnya bisa digunakan skala yang berbeda, pada kali ini akan digunakan data pada skala yang sama melalui ekstraksi citra atau jasa pengembang data spasial (Ahiqvist, Q., 2009) [23]. Kemudian data-data ini baik secara manual menggunakan kertas transparan atau dengan menggunakan SIG harus mempunyai referensi dan geocoding yang sama, sehingga harus mempunyai sistem koordinat serta proyeksi yang sama (Ahiqvist, Q., 2009) [23]. Kemudian petapeta ini ditampalkan secara geometris dan menemukan wilayah intersection (Ahiqvist, Q., 2009) [23]. Kombinasi-kombinasi peta ini harus dipertimbangkan, apakah intersect atau overlap (Ahiqvist, Q., 2009) [23]. Misalkan wilayah yang berisiko banjir dapat dipilih melalui spatial query, topological query, atau Boolean query, pada kali ini digunakan Boolean query baik menggunakan intersect maupun union (Ahiqvist, Q., 2009) [23]. Analisis spasial pendukung yang digunakan untuk membantu analisis kesesuaian menggunakan overlay adalah analisis buffer yang merupakan proses untuk mengidentifikasi area di sekitar fitur geografi, buffer dapat digunakan juga untuk memilih apakah fitur berada di dalam buffer atau di luar buffer menggunakan overlay peta, geoprocessing digunakan untuk mengoperasikan informasi geografi (Handayani, 11 D., Soelistijadi, R., dan Sunardi., 2005) [24]. Konsep overlay ada dua, yaitu merupakan hubungan persimpangan dan saling melengkapi antar fitur spasial dan mengkombinasikan data spasial dan data atribut dari dua tema masukan (Handayani, D., Soelistijadi, R., dan Sunardi., 2005) [24]. Fitur titik-poligon menghasilkan bentuk titik-titik, garis-poligon menghasilkan bentuk garis, dan poligon-poligon menghasilkan bentuk poligon (Handayani, D., Soelistijadi, R., dan Sunardi., 2005) [24]. Terdapat tiga metode untuk membantu, yaitu union yang digunakan untuk membuat coverage baru dengan melakukan tumpukan dua coverage poligon, sehingga menghasilkan poligon kombinasi, dan attribute kedua coverage asal (Handayani, D., Soelistijadi, R., dan Sunardi., 2005) [24]. Yang kedua adalah intersect merupakan operator Boolean untuk membuat coverage baru yang merupakan irisan dari coverage (Handayani, D., Soelistijadi, R., dan Sunardi., 2005) [24]. Yang ketiga adalah identity yang membuat coverage baru dengan melakukan overlay dua himpunan fitur, hasilnya berupa masukan semua fitur dan hasilnya hanya berisi bagian dari identitas fitur coverage (Handayani, D., Soelistijadi, R., dan Sunardi., 2005) [24]. Kemudian pada geoprocessing yang membutuhkan data dan tools, tool adalah sekumpulan blok bangunan untuk menggabungkan banyak tahapan operasi ke data untuk menghasilkan data baru (Handayani, D., Soelistijadi, R., dan Sunardi., 2005) [24]. Operasi ini dilakukan dengan menambahkan dan melampirkan fitur-fitur dia atau lebih theme secara bersama, atau untuk menge-clip, atau untuk menghasilkan irisan dari dua theme. Kemudian hasil dari seluruh proses geoprocessing ini dilakukan select by attributes dengan query Boolean algebra maupun set algebra, untuk memilih kelas kesesuaian menurut matriks [25]. 12 BAB III METODOLOGI 3.1 Wilayah Penelitian Provinsi Nusa Tenggara Barat adalah provinsi yang terletak di antara 115o46’ – 119o5’ BT dan 8o10’ – 9o5’ LS (JDIH Provinsi NTB, 2013) [8]. Sedangkan lokasi relatif Provinsi Nusa Tenggara Timur pada bagian utaranya dibatasi oleh Laut Jawa dan Laut Flores, sebelah selatan oleh Samudera Hindia, sebelah barat oleh Selat Lombok dan Bali, dan Selat Sape dan Provinsi Nusa Tenggara Timur (JDIH Provinsi NTB, 2013) [8]. Provinsi ini terdiri atas dua pulau besar, yaitu Pulau Lombok dan Sumbawa, serta dikelilingi oleh 280 pulau kecil (JDIH Provinsi NTB, 2013) [8]. Luas wilayah Provinsi NTB mencapai 49.312 Km2, dengan daratan 20.153,15 Km2 (40,87%) dan perairan laut seluas 29.159,04 Km2 (59,13%) (JDIH Provinsi NTB, 2013) [8]. Provinsi ini terdiri atas 8 kabupaten dan 2 kota dengan 116 wilayah kecamatan dengan 1.146 desa/kelurahan (JDIH Provinsi NTB, 2013) [8]. Gambar 1. Peta Administrasi Provinsi Nusa Tenggara Barat (Sumber: Peta Rupabumi Indonesia. Skala 1:25.000. BIG. Tahun 2017) Topografi wilayah Provinsi NTB memiliki rentang dari 0 – 3.726 mdpl untuk Pulau Lombok dan 0 – 2.755 m untuk Pulau Sumbawa (JDIH Provinsi NTB, 2013) [8]. Berdasarkan klasifikasi ketinggian, sekitar 23,76% atau 478.911 Ha memiliki ketinggian 0 – 100 mdpl, sekitar 15,25% atau seluas 307.259 Ha memiliki ketinggian 500 – 1000 mdpl, dan sekitar 23,6% atau 475.333 memiliki ketinggian lebih dari 1.000 mdpl (JDIH Provinsi NTB, 2013) [8]. Sedangkan untuk klasifikasi kemiringan tanah, diketahui bahwa 38,96% luas wilayah atau sekitar 704.619 Ha memiliki kemiringan 13 tanah 15 – 40%, 16,8% atau sekitar 338.552 Ha memiliki kemiringan 0 – 2% (paling luas), dan 1.01% atau sekitar 20.175 Ha merupakan wilayah yang memiliki kelerengan lebih dari 40% (paling sempit) (JDIH Provinsi NTB, 2013) [8]. Dipandang dari segi hidrologi, wilayah NTB menurut SK Gubernur No. 147 Tahun 1999 tentang Pembagian Sub Satuan Wilayah Sungai/Daerah Aliran Sungai di Satuan Wilayah Sungai Lombok dan Satuan Wilayah Sungai Sumbawa, wilayah NTB terdiri atas 18 wilayah Sub Satuan Sungai (SSWS/DAS). Satuan Wilayah Sungai Lombok terdiri dari 4 SSWS yang meliputi, Dodokan, Menganga, Putih, dan Jelateng. Sedangkan SWS Sumbawa teridi atas 14 SSWS yang meliputi, Jereweh, Rea, Rhee, Moyo Hulu, P. Moyo, Empang, Hoddo, Banggo, Parado, Sari, Rimba, Baka, Bako, dan Beh. Sedangkan untuk cekungan air tanah (CAT) di provinsi NTB dapat dibagi menjadi 9 CAT, yaitu Mataram-Selong, Tanjung-Sambelia, Sumbawa Besar, Empang, Pekat, Sanggar-Kilo, Dompu, Bima, dan Tawali-Sape (JDIH Provinsi NTB, 2013) [8]. Sedangkan kondisi iklim di Provinsi Nusa Tenggara Barat menurut Data Badan Meteorologi dan Geofisika (BMKG), temperatur udara maksimum di Nusa Tenggara Barat berkisar antara 29,9oC – 34,2oC dan temperatur minimum berkisar antara 17,4oC = 22,6oC (JDIH Provinsi NTB, 2013) [8]. Rata-rata kelembaban udara relatif cukup tinggi, yaitu antara 77 – 85%, kelembaban terendah terjadi pada bulan Agustus dan yang tertinggi pada bulan Januari dengan kecepatan angin 4 – 7 knots, kecepatan angin tertinggi berada pada bulan Maret 26 knots, dan kecepatan angin terendah 15 knots pada bulan November dan Desember (JDIH Provinsi NTB, 2013) [8]. Jumlah hari hujan terendah, yaitu 0 hari pada bulan Agustus dan terbanyak pada bulan Desember mencapai 29 hari (JDIH Provinsi NTB, 2013) [8]. Produksi Provinsi NTB dalam sektor kehutanan sendiri terus mengalami penurunan, karena banyak yang sudah dieksploitasi dan masih dalam reboisasi. Sehingga untuk kebutuhan kayu di NTB, khususnya sebagai bahan kayu konstruksi, pada tahun 2012, lebih banyak didatangkan dari Sulawesi Tenggara (BPS Provinsi NTB, 2013) [27]. Sedangkan untuk produksi sarang walet sendiri pada tahun 2012 mencapai 21.000 buah (BPS Provinsi NTB, 2013) [27]. Taman Wisata Kerandangan menyajikan keindahan air terjun gua walet yang merupakan juga tempat tinggal burung walet (Wahyuni, T. E., dan Mildrayana, E., 2010) [28]. Penggunaan lahan di NTB dikelompokkan menjadi lahan usaha intensif dan lahan hutan atau diusahakan tetapi tidak intensif. Lahan usaha intensif berupa sawah, perladangan menetap termasuk pekarangan dan kebun campuran (Tim Peneliti Fakultas Pertanian Unram, 2018) [29]. Sedangkan lahan yang tidak diusahakan adalah hutan, padang rumput, semak belukar, dan tanah rusak (Tim Peneliti Fakultas Pertanian Unram, 2018) [29]. Penggunaan lahan yang diterapkan petani di wilayah NTB adalah sistem pola tanam mengikuti curah hujan, misalnya sawah adalah padi-padi-palawija/tembakau;padi-palawijapalawija/tembakau; untuk lahan kering adalah padi gogo-palawija; palawija-palawija; atau hanya satu kali palawija (Tim Peneliti Fakultas Pertanian Unram, 2018) [29]. Sedangkan pada lahan kering tanaman tahunan umumnya adalah perkebunan rakyat atau kebun campuran, seperti kopi, cengkeh, manga, kelapa, lada, pisang, jeruk, aren, durian, manggis, jambu batu, kakao, Nangka, srikaya, anggur, dll. Komoditas tersebut ditanam di sekitar pekarangan secara monokultur seperti di daerah Bayan, berupa kebun jambu dan mangga (Tim Peneliti Fakultas Pertanian Unram, 2018) [29]. Secara umum, 14 luasan penggunaan lahan yang paling luas adalah hutan seluas 1.163.941,51 Ha dengan proporsi 57,75% dan persawahan seluas 240.925,05 Ha dengan proporsi 11,95%, sedangkan penggunaan lahan terkecil adalah pertambangan seluas 591, 96 Ha dengan proporsi 0,03% (JDIH Provinsi NTB, 2013) [8]. 3.2 Variabel Penelitian Variabel penelitian yang digunakan kali ini dilakukan dengan mempertimbangan faktor kunci dalam lingkungan dengan ekologi yang mencakup ketersediaan makanan, air, tempat berlindung, dan tempat berkembang biak (Margareta, R., dan Abdullah, M., 2008) [16]. Penurunan populasi burung walet biasanya disebabkan oleh kombinasi berbagai faktor, misalnya tidak mengikuti kondisi mikroklimat gua (Ibrahim, Teo, & Bahrun, 2009) dan ketersediaan pakan yang terbatas diakibatkan oleh deforestasi yang diasosiasikan dengan ekspansi agrikultur dan urbanisasi di Thailand wilayah bagian selatan (Chuangchang & Tongkumchum, 2014; Prabnarong & Thongkao, 2006; Hakim, A., 2011) [1]. Variabel yang digunakan pada kali ini adalah tutupan lahan, ketinggian, suhu, jarak dari sungai, dan jarak dari jalan sesuai dengan pemodelan spasial Margareta dan Abdullah tahun 2008, namun kelas variabel yang sesuai dan tidak sesuai dimodifikasi berdasarkan pernyataan para ahli, hal ini disebabkan proses overlay yang tidak dijelaskan secara spesifik di dalam penelitian. Berikut adalah ringkasan studi literatur: 1. Elevasi Untuk variabel elevasi terdapat beberapa pendapat untuk kesesuaian lahan habitat burung walet, yaitu kurang dari 500 mdpl (Sumiati, 1998); kurang dari 1.000 mdpl (Budiman, 2002); kurang dari 500 mdpl (Saepudin); < 1.000 mdpl (Arifin,; 0 – 500 (sangat sesuai), 501 – 1.000 (sesuai), > 1.000 mdpl (tidak sesuai) (Abdullah dan Margareta, 2008). Sehingga, dari seluruh pernyataan ahli ini kelas ketinggian kurang dari 1.000 mdpl dianggap sesuai untuk kehidupan burung walet, sedangkan di atas 1.000 mdpl tidak sesuai. 2. Tutupan Lahan Kondisi tutupan lahan yang tepat bagi burung walet adalah area hutan, pertanian, dan aliran sungai (Budiman, 2002); hutan, tanah kosong, pemukiman, sawah, dan sungai (Arifin, 2011); pantai (Rahman, et al., 2018); lahan basah dan sawah (Kishimoto Yamada dan Itioka, 2015); tanah basah, rawa, wilayah hutan, dan lahan padi terbuka (Sanchex-Clavijo, Hearns, & Quintana-Ascencio, 2016); badan air, hutan, dan lahan sawah padi; hutan (Manchi dan Sakaran, 2010); banyak pepohonan, persawahan, dan rawa (Saepudin, 2006); Sawah dan tegalan, lahan basah, dan daerah berhutan (Mardiastuti, 1998; dalam Margareta dan Abdullah, 2008); persawahan, padang rumput, hutan terbuka, pantai, dan danau (Henmulia, 2008); rawa, hutan, dan lahan padi terbuka (Petkliang, et al., 2017). Sehingga diketahui bahwa lahan yang sesuai untuk kehidupan burung walet adalah hutan, pertanian, badan air, perkebunan, tegalan, pantai, semak belukar, dan padang rumput. Sedangkan sisanya adalah tutupan lahan yang lainnya tidak dapat mengakomodasi kehidupan burung walet. 3. Suhu Suhu yang sesuai untuk kehidupan burung walet adalah sekitar 25oC – 29oC (Saepudin, 2006); 26oC – 29oC (Budiman, 2006); 26oC – 35oC (Ibrahim, et al., 2009); 15 < 15oC – 25oC (sesuai/tidak sesuai [tidak dijelaskan]), 16oC – 25oC (sesuai/tidak sesuai [tidak dijelaskan]), 26oC – 30oC (Margareta dan Abdullah, 2008); 27oC – 29oC (Sofwan dan Winarso, 2005; dalam Ayuti, et al., 2016). Sehingga dapat diketahui bahwa suhu yang paling tepat untuk kehidupan burung walet adalah pada rentang 25oC – 35oC secara jelas, namun Ibrahim, et al. (2009) menyatakan bahwa suhu pada 38oC sudah dapat menghancurkan telur burung walet. Sehingga, penulis membuat klasifikasi sesuai dengan suhu 25oC – 30oC. 4. Jarak dari Sungai Untuk variabel kehidupan burung walet ada yang menjelaskannya secara spesifik dan secara kurang spesifik, yang spesifik adalah dalam radius 1.000 m (sesuai/tidak sesuai [tidak dijelaskan]) dan 1.000 – 1.500 m (sesuai/tidak sesuai {tidak dijelaskan}) (Margareta dan Abdullah, 2008); < 100 m dari sungai (Arifin dan Rahayuningsih, 2012); < 1.000 (sesuai/tidak sesuai [tidak dijelaskan]) dan 1.000 – 2.500 m (sesuai/tidak sesuai [tidak dijelaskan]) (Rahayuningsih dan Abdullah, 2008). Sedangkan pernyataan yang tidak spesifik menjelaskan bahwa daerah tepi sungai dengan tumbuhan yang pendek sangat disukai walet, ia akan mencari makan, minum, dan bermain (Marzuki, et al., 1999). Sehingga diketahui bahwa jarak dari sungai yang paling sesuai adalah dalam radius < 1.000 m, sedangkan apabila lebih jauh dari 1.000 m tidak sesuai. 5. Jarak dari Jalan Untuk variabel jarak dari jalan, berikut adalah pernyataan yang spesifik untuk habitat burung walet, yaitu dalam radius 0 – 500 m (hasil penelitian Arifin dan Rahayuningsih, 2020); < 100 m, 100 – 500 m, > 500 m (Margareta dan Abdullah, 2008); < 100 m, 100 – 500 m, > 500 m (Arifin, 2011). Sedangkan pernyataan yang general mengenai variabel jarak dari jalan adalah bahwa burung walet adalah burung yang sensitif sehingga akan senderung memilih daerah yang tenang dan bebas polusi (Mulia, 2009). Sehingga diketahui bahwa kelas yang sesuai untuk kehidupan burung walet adalah yang lebih dari 100 m. 3.3 Pengumpulan Data Dalam penelitian pemodelan spasial kesesuaian lahan habitat bagi burung walet dapat dilakukan dengan menggunakan overlay vektor, baik menggunakan union maupun intersect. Data yang digunakan dalam penelitian ini adalah data sekunder, baik berupa data studi literatur maupun data spasial dari berbagai instansi. Berikut adalah jenis data beserta sumbernya: Variabel Elevasi Tutupan Lahan 16 Jenis Data Hasil Pengolahan Digital Elevation Model Vektor/Shapefile Tahun 2018 2017 Sumber DEMNAS Badan Informasi Geospasial Peta Rupabumi Indonesia Tahun 2017 Badan Informasi Geospasial Suhu Raster Land Surface Temperature hasil pengolahan Citra 2019 Jarak dari Sungai Hasil Pengolahan data vektor/shapefile 2020 Jarak dari Jalan Hasil Pengolahan data vektor/shapefile 2020 Landsat 8 OLI/TIRS C1 Level-1 United States Global Survey Hasil Pengolahan Citra Landsat 8 path 114-row 166 (20 Oktober 2019), path 115-row 166 (11 Oktober 2019), dan path 116-row 166 (18 Oktober 2019). USGS. Tahun 2019 Data Extracts Sub Region Indonesia oleh Open Street Map Data Extracts Sub Region Indonesia oleh Open Street Map Tabel 1. Jenis dan Sumber Data 3.4 Pengolahan Data Untuk mengolah data yang sudah diperoleh, digunakan aplikasi ArcMap 10.7.1. Menurut Bakosurtanal, SIG adalah kumpulan yang terorganisir dari perangkat keras komputer, perangkat lunak, data geografi, dan personel yang didesain untuk memperoleh, menyimpan, memperbaiki, memanipulasi, menganalisis, dan menampilkan semua bentuk informasi yang bereferensi geografi (Tjahjono, H., 2007) [33]. SIG dapat dimanfaatkan untuk membantu proses overlay, karena lapisan data dapat diintegrasikan secara numerik dan menawarkan berbagai kemungkinan, jumlah data yang disediakan juga lebih banyak dan logika yang diterapkan juga lebih lebar (Ahiqvist, Q., 2009) [23]. Untuk melakukan analisis overlay dalam SIG, biasanya data digital akan direpresentasikan dalam bentuk data raster atau data vektor (Ahiqvist, Q., 2009) [23]. Kemudian, keduanya di geocoding hingga menghasilkan skala, sistem koordinat, dan proyeksi yang sama (Ahiqvist, Q., 2009) [23]. Sehingga pertama-tama seluruh data spasial diproyeksikan dulu agar memiliki sistem koordinat dan proyeksi yang sama. Pada kali ini seluruh data ditransformasikan agar memiliki sistem koordinat geografi WGS CGS 1984. Kemudian langkah yang kedua untuk data DEMNAS yang akan digunakan untuk memperoleh data ketinggian adalah melakukan mosaic dan membentuk dataset raster baru (Dyatmika, H. S., dan Fibriawati, L., 2017) [34]. Mosaic citra adalah penyatuan dari citra yang saling bertampalan sehingga penyatuan citra tidak memiliki batas pada wilayah transisi dan menangani tampilan dari citra mentah (Su, et al., 2004; Dyatmika, H. S., dan Fibriawati, L., 2017) [34]. Yang perlu diperhatikan saat 17 ingin melakukan mosaic adalah harus bebas awan (Dyatmika, H. S., dan Fibriawati, L., 2017) [34]. Namun, hal ini hanya dapat ditoleransi dengan kondisi yang sama, sehingga harus dipilih dalam satu tahun yang sama (Dyatmika, H. S., dan Fibriawati, L., 2017) [34]. Sehingga penulis meminimalkan persentase awan hingga 2% untuk 2 citra Pulau Sumbawa dan persentase awan 9% untuk Pulau Lombok. Keduanya sudah dalam kondisi yang paling minimal untuk persentase awan masing-masing pulau serta untuk pulau-pulau kecil di sekitarnya. Lalu, dilakukan extract by mask agar sesuai dengan batas administrasi Provinsi Nusa Tenggara Barat. Setelah itu, dilakukan reclassify sesuai dengan kelas ketinggian. Reclassify adalah operasi geoprocessing yang digunakan untuk mengklasifikasikan data raster yang kemudian dikonversikan menjadi data raster dengan atribut nominal dalam spatial analyst tool (Wayne, C., 2003) [35]. Sebenarnya dapat juga dilakukan reclassify dengan mempertimbangkan parameter lain, dengan raster overlay, namun karena penulis menggunakan query maka digunakan reclassify sederhana (Wayne, C., 2003) [35]. Sedangkan untuk data vektor tutupan lahan yang diperoleh dari Peta Rupabumi Indonesia Badan Informasi Geospasial Tahun 2017, dilakukan klasifikasi lebih lanjut, dimodifikasi sesuai dengan tutupan lahan yang sesuai untuk burung walet. Sedangkan untuk data vektor jalan dan sungai dari Open Street Map, dilakukan clip sesuai dengan batas administrasi dari BIG, lalu dibuatkan multiple ring buffer untuk mengetahui wilayah yang sesuai sesuai radius dari jalan dan sungai. Kelas pertama dari multiple ring buffer disesuaikan dengan kelas habitat yang sesuai untuk burung walet, sedangkan kelas yang kedua dilakukan semaksimal mungkin agar menutupi seluruh wilayah Nusa Tenggara Barat. Kemudian dilakukan kembali operasi ekstraksi clip agar sesuai dengan batas administrasi Nusa Tenggara Barat. Sedangkan untuk pemerolehan data suhu yang diturunkan dari land surface temperature dapat diturunkan dari nilai digital satelit Landsat 8. Land Surface Temperature sendiri didefinisikan sebagai temperatur radiasi efektif permukaan bumi yang mengontrol panas permukaan dan pertukaran air dalam atmosfer (Yuan dan Bauer, 2007; Khandelwal, et al., 2018) [41]. Urbanisasi merupakan faktor utama yang menyebabkan perubahan land cover, karena perubahan LST dapat mengganggu habitat bagi manusia dan anggota ekosistem lainnya (Khandelwal, et al., 2018) [41]. Termometer inframerah mendeteksi informasi mengenai temperatur dari energi inframerah yang diradiasikan oleh benda, yang kemudian dibaca oleh unit elektronik yang menerjemahkannya ke dalam kode yang ditampilkan di layar komputer. Citra Landsat 8 kemudian diproses dengan persamaan-persamaan algoritma, di mana saluran ke-10 yang digunakan. Karena citra ini sudah terkoreksi, maka yang dilakukan pertama kali adalah dengan melakukan koreksi radiometrik dengan mengkonversikan nilai digital citra yang berbasis satelit menjadi sensor spectral radiance (Lλ). Dengan rumus: Lλ = MLQ + AL…...……………….…………..(1) Sehingga, 0.010078 * "ExtractB4.tif" + (-50.38974) 0.0061672 * "ExtractB5.tif" + (-30.83601) 18 0.0003342 * "ExtractB10.tif" + 0.1 ML = Faktor pengali spesifik saluran 10 dari metadata Qcal = Standar produk nilai piksel (DN) yang terhitung dan terkalibrasi AL = Faktor penjumlah spesifik saluran 10 dari metadata Kemudian saluran inframerah termal dikonversikan menjadi temperatur kecerahan dengan menggunakan metadata dengan persamaan, BT = πΎ1 ln[( πΎ1 )+1] πΏπ − 273,15.…………………………(2) Sehingga, (1321.0789 / Ln((774.853 / "ToARad_Band10.tif") + 1)) - 273.15 K1 = Inframerah termal (TIRS) saluran ke-10 Kemudian, untuk mendapatkan hasil dalam satuan Celcius (Co) dibutuhkan dengan disaring dengan menggunakan nol absolut yang sekitar -273,15 (Salih, et al., 2018) [36]. NDVI juga penting untuk mengidentifikasikan tipe tutupan lahan dari wilayah penelitian, nilai ini memiliki rentang dari -1 hingga +1 (Salih, et al., 2018) [36]. NDVI dihitung per piksel sebagai perbedaan ternormalisasi antara saluran merah (Panjang gelombang 0,636 – 0,673 μm) dan inframerah dekat (0,851 – 0,879 μm) menggunakan persamaan berikut (Salih, et al., 2018) [36], NDVI = (Saluran inframerah dekat−Saluran merah) …………………(3) (Saluran inframerah dekat+Saluran merah) Saluran inframerah dekat = nilai piksel inframerah Saluran merah = nilai piksel merah Sehingga, (Float("ToARad_Band5.tif") - Float("ToARad_Band4.tif")) / (Float("ToARad_Band5.tif") + Float("ToARad_Band4.tif")) Dari nilai NDVI, dihitung vegetasi proporsional (Pv), hal ini memberikan estimasi wilayah di bawah tipe tiap tutupan lahan. Proporsi vegetasi dan tanah didapatkan dari piksel murni NDVI, ππ£ = ( ππ·ππΌ−ππ·ππΌ ππ·ππΌπ −ππ·ππΌπ )2………………………………..…(4) Sehingga, Square(("NDVI.tif" + 0.812155) / (0.763434 + 0.812155)) Perlu dilakukan perhitungan emisivitas permukaan tanah (LSE) untuk mengestimasi LST, untuk mendeskripsikan kemampuan penyerapan permukaan dalam spektrum radiasi gelombang panjang (Salih, et al., 2018) [36]. LSE dangat bergantung kepada lapisan permukaan, seperti tipe tanah, kekasaran permukaan, dan tutupan vegetasi (Salih, et al., 2018) [36]. Nilai Pv yang didapatkan dimungkinkan ada yang 19 bernilai negative, sehingga perlu disesuaikan agar nilainya menjadi positif, dengan mengkuadratkannya (Kalinda, I. O. P., Sasmito, B., dan Sukmono, A., 2018) [37]. Sehingga untuk mendapatkan LSE, digunakan persamaan, NDVI < NDVIS εsλ ε = {εsλ ππ + εsλ (1 − ππ ) + πΆλ εsλ + πΆλ NDVIS ≤ NDVI ≤ NDVIV ………....(5) NDVI > NDVIV Karena emisivitas bergantung pada panjang gelombang, NDVI dapat digunakan untuk mengestimasi emisivitas permukaan tanah yang berbeda-beda. Maka, ε = εvλ.Pv + εsλ.(1 – Pv) + Cλ………………………………..(6) Sehingga, (0.984 * "Pv.tif") + (0.964 * (1 - "Pv.tif")) + 0.009 ε = emisivitas permukaan tanah εvλ = emisivitas tanah εsλ = emisivitas vegetasi PV = proporsi vegetasi Cλ = kekasaran permukaan dengan nilai konstan 0,009 Tahap yang terakhir adalah untuk menghitung suhu permukaan tanah dengan menggunakan persamaan, πΏππ = π΅π [1+{( …………………………...……..(7) λBT )ππελ π Sehingga, "bt_band10" / (1 +(((10.9 * "bt_band10") / 14380) * Ln("LSE.tif"))) BT = temperatur kecerahan dalam Celcius (Co) λ = Panjang gelombang saluran ke-10 (10.6 – 11.2 µm sehingga 10.9 µm) ελ = emisivitas dari persamaan 5 ρ = h x σ (1,438 x 10-2) mk, σ merupakan konstanta Plank (1,38 x 10-23) c = kecepatan cahaya (3 x 108 m/s) π Kemudian dilakukan reclassify pada data raster LST band 10 sesuai dengan kelas yang sesuai dan tidak sesuai yang difusikan dari berbagai pernyataan para ahli. Band 10 digunakan karena merupakan saluran TIR (Thermal Infrared) sehingga dapat “melihat” kalor yang kemudian dikonversikan menjadi temperatur (Galvin, J. F. P., 2009) [38]. Setelah itu kemudian seluruh data vektor diberikan field baru yang bernama 20 kesesuaian, dengan label 1 tidak sesuai dan 2 sesuai. Setelah seluruh lapisan sudah siap, Vector overlay dilakukan dengan tahap melakukan union maupun intersect, hal ini dilakukan untuk meminimalisasi adanya kelas kesesuaian yang kosong. Variabel Elevasi 21 Kelas Kesesuaian Sesuai Tidak Sesuai ≤ 1.000 m > 1.000 m Tutupan Lahan Hutan, Sawah, Badan Air, Kebun, Tegalan, Pantai,Semak Belukar, dan Padang Rumput Pemukiman, Industri, Tanah kosong gundul Suhu 25oC – 30oC < 25oC > 30oC Keterangan Burung Walet merupakan burung yang akan menempati wilayah dengan ketinggian maksimal 1.000 mdpl karena suhu di atas ketinggian lebih dari 1.000 m rendah. Burung walet adalah insektivora yang memakan Hymenoptera, Diptera, dan Hemiptera. Biasanya ia banyak muncul pada musim hujan pada area yang kering, sedangkan di perkotaan tropis ia sering muncul saat terjadi purnama. Ia banyak tinggal dan berkembang biak di gua maupun hutan. Kehidupan perkotaan dapat menghancurkan kehidupan serangga utama pakan burung walet. Burung walet tidak dapat hidup pada suhu yang sangat rendah karena terasosiasi dengan kelembaban yang rendah, hal ini dapat menghancurkan sarang walet yang terbuat dari air liur, tekanan tinggi pada suhu rendah juga dapat mempengaruhi kesehatan anakan walet. Sedangkan suhu yang sangat tinggi tidak nyaman bagi burung walet dan menghancurkan telur walet. Jarak dari Sungai ≤ 1.000 m > 1.000 m Tepian sungai yang memiliki tumbuhan rendah sangat disukai walet sebagai tempat mencari makan, minum, dan bermain. Jarak dari Jalan ≥ 100 m < 100 m Burung walet adalah burung yang sensitif sehingga ia harus mencari suasana yang tenang dan tidak berpolusi, kehidupan perkotaan dapat mengurangi sumber pakan utamanya. Tabel 2. Kelas Kesesuaian Lahan Habitat Burung Walet (Dimodifikasi dari Margareta, R., dan Abdullah, M., 2008; Semarang: Universitas Negeri Semarang) 3.5 Analisis Data 22 Gambar 2. Model Builder Pengolahan Data Dalam penelitian ini digunakan vector overlay untuk mendapatkan wilayah yang sesuai dan tidak sesuai bagi habitat burung walet. Pertama-tama dilakukan union antara buffer sungai dan buffer jalan, karena keduanya memiliki luasan yang sama dan tidak memungkinkan memiliki kekosongan ruang/gap. Dibuktikan dengan percobaan union sebelumnya, yang tidak memiliki nilai kosong hanya data suhu, buffer jalan, dan buffer sungai. Selanjutnya, hasil union dilakukan intersect dengan shapefile suhu, karena ketika suhu di-union dengan shapefile tutupan lahan dan ketinggian, selalu lebih sedikit polygon yang memiliki null values. Kemudian setelah itu dilakukan intersect dengan shapefile tutupan lahan, karena ketika shapefile tutupan lahan di-union dengan shapefile ketinggian, memiliki lebih sedikit polygon yang memiliki null values. Kemudian yang terakhir dilakukan intersect dengan shapefile ketinggian. Berikut adalah tabel alasan melakukan urutan intersect: Shapefile Intersect Jumlah null values fitur pertama Jumlah null values fitur kedua Suhu – tutupan lahan 2.787 4.647 Tutupan lahan – 458 2.784 ketinggian Ketinggian – suhu 4.644 457 Tabel 3. Jumlah null values masing-masing proses union Selanjutnya dilakukan query terhadap tabel atribut dengan select kemudian menambahkan variabel dan parameter yang sesuai dengan matriks kesesuaian berikut, Kelas Elevasi Sesuai ≤ 1.000 m 23 Tutupan Lahan Suhu Jarak dari Sungai Hutan, Sawah, Badan Air, Kebun, Tegalan, Pantai,Semak Belukar, dan Padang Rumput 25oC – 30oC ≤ 1.000 m Jarak dari Jalan ≥ 100 m Tidak > 1.000 m Sesuai Sumb er Budiman. A. 2002. Pedoman Membang un Gedung Walet. Jakarta: Agro Media Pustaka. Pemukiman, Tanah kosong gundul Budiman. A. 2002. Pedoman Membangun Gedung Walet. Jakarta: Agro Media Pustaka. Rahman, M. A., Ghazali, P. L., dan Lian, C. J. ENVIRONMENT AL PARAMETERS IN SUCCESSFUL EDIBLE BIRD NEST SWIFTLET HOUSES IN TERENGGANU. Journal of Sustainability Science and Management, Vol. 13, No. 1. Terengganu: Penerbit UMT. Sanchez-Clavijo, L. M., Hearns, J., QuintanaAscencio, P. F. (2016) Modeling the effect of habitat selection mechanisms on population responses to landscape structure. Ecological Modelling 328: 99–107. Mulia, H. 2009. Buku Pintar Budidaya dan Bisnis Walet. 24 < 25oC > 30oC > 1.000 m < 100 m Saepudin, R. (2006). Studi Habitat Makro Burung Walet (Collocali a sp). Di Kota Bengkulu. Jurnal Sains Peternaka n Indonesia, Vol. 1, No. 1. Bengkulu: Universita s Bengkulu. Ibrahim, S. h., Teo. W. C., dan Baharun, A. A Study on Suitable Habitat for Swiftlet Farming. UNIMAS e-Journal of Civil Engineeri ng, Vol. 1. Samaraha n: Universiti Malaysia Sarawak. Margareta, R., dan Abdullah, M., (2008). PEMODELAN SPASIAL HABITAT BURUNG WALET SARANG PUTIH (COLLOCALIA FUCIPHAGA) DENGAN MENGGUNAK AN SIG (SISTEM INFORMASI GEOGRAFIS) DALAM UPAYA PENGEMBANG AN BUDIDAYA SARANG WALET DI JAWA TENGAH (STUDI KASUS KABUPATEN GROBOGAN DAN KABUPATEN SEMARANG). Semarang: Universitas Negeri Semarang. Mulia, H. 2009. Buku Pintar Budiday a dan Bisnis Walet. Jakarta: Agromed ia Pustaka. Jakarta: Agromedia Pustaka. Tabel 4. Matriks Kesesuaian 25 BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 Hasil Pengolahan Data Gambar 3. Peta Ketinggian Provinsi Nusa Tenggara Barat Tahun 2020 (Sumber: Hasil Pengolahan Digital Elevation Model Nasional. BIG. tahun 2018) Dari peta ketinggian, diketahui bahwa ketinggian yang sesuai untuk burung walet di Provinsi Nusa Tenggara Barat cukup luas, mulai dari Kota Mataram, Kabupaten Lombok Barat, Kabupaten Lombok Tengah, Kabupaten Sumbawa Barat, Kota Bima, dan Kota Dompu. Sedangkan untuk yang tidak sesuai adalah yang berada di wilayah pegunungan. Terdapat dua gunung yang paling mempengaruhi ketidaksesuaian habitat burung walet, yaitu adalah Gunung Rinjani yang memiliki elevasi maksimum 3.726 di Pulau Lombok dan Gunung Tambora yang memiliki elevasi maksimum 2.851 m di Pulau Sumbawa (JDIH Provinsi NTB, 2013) [8]. Hal ini tidak sesuai karena syarat kehidupan burung walet adalah iklim tropis dan daerah yang basah (Arifin, M. S., Rahayuningsih, M., dan Ngabekti, S., 2012) [13]. Pegunungan di wilayah tropis memiliki suhu yang cukup fluktuatif, pada siang hari suhu sedang, namun pada malam hari, suhunya dapat melewati ambang batas beku di ketinggian lebih dari 3.000 m (Galvin, J. F. P., 2009) [38]. Hasilnya pembekuan merusak pohon-pohon, biasanya tumbuhan yang berdaun tajam yang tinggal di daerah ini (Galvin, J. F. P., 2009) [38]. Selain itu, kondisinya cukup kering karena jarang terjadi hujan, terjadi stress pada pohon-pohon yang tidak dapat beradaptasi pada lereng yang curam, tanah tipis, dan terkadang suhu yang dingin (Galvin, J. F. P., 2009) [38]. Sedangkan serangga, bakteri, dan fungi berkembang pada lingkungan lembab dan suhu yang tinggi (Galvin, J. F. P., 2009) [38]. Sedangkan pakan utama burung walet adalah 26 berbagai serangga yang biasanya muncul di musim hujan (Fukui, et al., 2003; Petkliang, et al., 2017) dengan karakteristik lahan yang basah (Sanchex-Clavijo, Hearns, dan Quintana-Ascencio., 2016; Arifin, M. S., dan Rahayuningsih, M., 2012) [13]. Gambar 4. Peta Tutupan Lahan Provinsi Nusa Tenggara Barat Tahun 2020 (Sumber: Peta Rupabumi Indonesia. BIG. Skala 1:25.000. Tahun 2017) Sebenarnya pada Peta Rupabumi Indonesia skala 1:25.000 pada Tahun 2017 dicantumkan penggunaan lahan, namun, dari penggunaan lahan tersebut dikonversi menjadi tutupan lahan agar sesuai dengan pengkelasan yang telah dipaparkan para ahli. Sehingga, dari tutupan lahan Provinsi Nusa Tenggara Timur diketahui bahwa yang paling memengaruhi kesesuaian adalah kondisi hutan yang begitu luas, yaitu mencapai 716.644 Ha dan hutan rakyat seluas 127.681 Ha pada tahun 2017 (BPS Provinsi NTB, 2017) [39]. kemudian, diikuti dengan tegalan dengan luas 235.550 Ha 2017 (BPS Provinsi NTB, 2017) [39]. Tutupan lahan pemukiman adalah yang paling mempengaruhi kondisi ketidaksesuaian lahan dibandingkan dengan tanah kosong. Hal ini disebabkan karena pemukiman memiliki banyak bising antropogenik dari berbagai aktivitasnya, misalnya adalah suara dari jalan tol yang mencapai 97 dB, konstruksi bangunan mencapai 93 dB, bor dan pile driver mencapai 125 dB, dan yang paling parah adalah ledakan yang minimal mencapai 140 dB (Dooling, R. J., dan Popper, A. N., 2007) [40]. Padahal, habitat walet yang paling baik hanya 40 dB untuk bersarang, dan 60 dB – 80 dB untuk lingkungan eksternal (Ibrahim, et al., 2009; Rahman, M. A., Ghazali, P., dan Lian, C. J., 2018) [20]. Wilayah perkotaan memiliki tingkat bising 83,7 dB, pantai 64 dB, dan wilayah terpencil 47 dB (Rahman, M. A., Ghazali, P., dan Lian, C. J., 2018) [20]. Dari peta diketahui bahwa tutupan lahan yang mendominasi lebih banyak masih sesuai, dan 27 ada pada setiap kabupaten/kota yang ada di Provinsi Nusa Tenggara Barat. Adapun pemukiman terlihat sedikit pada wilayah Lombok Barat dan Kota Mataram. Selain itu, tutupan lahan yang memiliki struktur vegetasi yang padat dapat menjadi habitat yang paling baik (Cody, 1981; Petkliang, et al., 2017) [2]. Frekuensi burung walet mencari makan pada habitat perkotaan jarang, kecuali pada bulan purnama (Perkin, Holker, dan Tockner., 2013; Petkliang, et al., 2017) [2]. Gambar 5. Peta Suhu Provinsi Nusa Tenggara Barat Tahun 2020 (Sumber: Hasil Pengolahan Citra Landsat 8 band 10 path 114-row 166, path 115-row 166, path 114row 166, dan path 116-row 166. USGS. Tahun 2019) Selanjutnya adalah hasil dari peta suhu yang diperoleh dengan menggunakan pendekatan LST. Diketahui bahwa suhu yang paling cocok untuk habitat burung walet adalah suhu yang tidak terlalu dingin dan suhu yang tidak terlalu panas (Arifin, M. S., 2011) [6]. Suhu yang terlalu tinggi akan menyebabkan produktivitas sarang yang tidak baik, dan suhu yang terlalu dingin tidak baik untuk perkembangbiakan burung walet (Arifin, M. S., 2011) [6]. Selain itu, udara yang panas pada siang hari juga dapat menyebabkan tidak keluarnya serangga (Hakim, A., 2011) [1]. Kemudian, suhu yang tinggi juga dapat merusak telur burung walet dan suhu terlalu dingin juga dapat mengeringkan sarang burung walet karena terbuat dari air liur (Ibrahim, S. H., Teo, W. C., dan Baharun, A., 2009; Ibrahim, S. h., Teo. W. C., dan Baharun, A, 2009) [5]. Sehingga, karena suhu yang terlalu panas dan terlalu dingin tidak mendukung kehidupan burung walet, maka wilayah suhu/isoterm yang sesuai untuk kehidupan burung walet adalah 25oC – 30oC karena sesuai dengan suhu gua. Suhu gua berkisar antara 26oC – 30oC (Ibrahim, S. H., Teo, W. C., dan Baharun, A., 2009) [5] 28 Dari peta diketahui bahwa kabupaten kota yang banyak memiliki kesesuaian dengan habitat burung walet terkonsentrasi pada Kabupaten Bima, Kabupaten Lombok Utara, Kabupaten Lombok Tengah, Kabupaten Lombok Barat, Kota Mataram, Lombok Timur, Kabupaten Sumbawa, Kabupaten Sumbawa Barat, dan Kabupaten Dompu. sedangkan yang tidak sesuai sama sekali adalah Kota Bima. Gambar 6. Peta Penyangga Sungai Provinsi Nusa Tenggara Barat Tahun 2020 (Sumber: Data Extracts Sub Region Indonesia. Open Street Map. Tahun 2020) Selanjutnya adalah hasil dari peta penyangga sungai, kelas yang sesuai adalah yang lebih dekat dengan sungai atau sumber air. Hal ini disebabkan karena air merupakan faktor yang paling penting dalam kehidupan burung walet (Margareta, R., dan Abdullah, M., 2008) [16]. Biomassa serangga lebih tinggi secara signifikan di atas badan air dan memiliki hubungan dengan frekuensi burung walet mencari makan (Petkliang, et al., 2017) [2]. Apalagi apabila riparian area badan air tersebut dilengkapi dengan vegetasi hijau yang padat, dapat menjadi habitat yang memiliki kualitas tinggi dalam jangka waktu lama (Watanabe, Ito, dan Takahashi., 2014; Petkliang, et al., 2017) [2]. Dari peta diketahui bahwa wilayah penyangga sungai yang memenuhi banyak di Pulau Lombok karena banyaknya DAS di sekitar Gunung Rinjani. Sedangkan Gunung Tambora memiliki lebih sedikit sungai, sehingga wilayah di sekitarnya sedikit memiliki jaringan sungai. Sehingga apabila ditinjau hanya melalui jaringan sungai, maka diketahui bahwa wilayah seperti Kabupaten Sumbawa Barat, Kabupaten Sumbawa, Kabupaten Bima bagian barat memiliki banyak wilayah yang tidak sesuai dibandingkan dengan wilayah-wilayah administrasi lainnya. 29 Gambar 7. Peta Penyangga Jalan Provinsi Nusa Tenggara Barat Tahun 2020 (Sumber: Peta Rupabumi Indonesia. BIG. Skala 1:25.000. Tahun 2017) Burung walet tidak menyukai kebisingan, terutama dengan suara kendaraan. Sehingga burung walet memilih habitat yang sedikit lebih jauh dari kebisingan kendaraan. Habitat mikro burung walet yang palign sesuai adalah yang tenang, aman, tersembunyi, dan tidak terganggu predator (Hakim, A., 2011) [1]. Burung lebih mudah untuk mengalami kehilangan pendengaran dibandingkan mamalia (Dooling, R. J., dan Popper, A. N., 2007) [40]. Walaupun mungkin suara kendaraan tidak membuat burung kehilangan pendengaran, namun suara konstruksi bangunan membuatnya kehilangan pendengaran (Dooling, R. J., dan Popper, A. N., 2007) [40]. Sehingga polusi suara dan polusi udara membuatnya menghindar (Arifin, M. S., 2011) [6]. Dari peta diketahui bahwa apabila dipertimbangkan dari wilayah penyangga jalan, burung walet mungkin akan menjadikan Kabupaten Sumbawa, Kabupaten Sumbawa Barat, Kabupaten Bima, dan Kabupaten Dompu sebagai habitatnya. Sedangkan pada wilayah lainnya, mungkin ia akan menghindar. 30 4.2 Hasil Analisis Overlay Gambar 8. Peta Kesesuaian Lahan Habitat Burung Walet Provinsi Nusa Tenggara Barat Tahun 2020 (Sumber: Hasil overlay peta elevasi, tutupan lahan, suhu, penyangga sungai, dan penyangga jalan) Dari peta hasil kesesuaian lahan habitat burung walet di Provinsi Nusa Tenggara Barat tahun 2020, diketahui bahwa hampir seluruh kabupaten memiliki wilayah yang sesuai sebagai tempat hidup burung walet. yang paling banyak terlihat adalah Kabupaten Lombok Utara, Lombok Timur, Lombok Barat, Lombok Tengah, Sumbawa Barat, Sumbawa, dan Kabupaten Bima. Sedangkan untuk wilayah yang tidak sesuai, terdapat sedikit di Kabupaten Lombok Timur mengikuti topografi ketinggian di Lombok Timur yang memiliki elevasi tinggi, yaitu Gunung Rinjani. hanya sangat kecil terbentuk sehingga jarang terlihat. Hal ini mungkin disebabkan oleh adanya sedikit awan pada citra Landsat 8 path 114-row 66. Namun di wilayah tersebut justru terlihat wilayah yang tidak sesuai untuk habitat burung walet, karena pada awan-awan tersebut ditunjukkan suhu yang rendah, awan akan menyebabkan LST menjadi lebih rendah (Zhang, X., Pang, J., dan Li, L., 2015) [44]. sehingga memang tidak ada wilayah yang tidak sesuai dengan menggunakan keseluruhan parameter dengan jumlah yang cukup signifikan, karena fitur geografisnya cukup mendukung. 31 4.3 Persentase Luas Masing-Masing Kelas Kesesuaian Luasan masing-masing Kelas Kesesuaian Lahan Habitat Burung Walet di Provinsi NTB Tahun 2020 (Ha) Tidak Sesuai; 1,973035831 Sesuai Sesuai; 173851,2446712 9500 Tidak Sesuai Gambar 9. Grafik Perbandingan Luasan Masing-Masing Kelas Kesesuaian Lahan Habitat Burung Walet di Provinsi Nusa Tenggara Barat Tahun 2020 (Sumber: Hasil pengolahan data atribut Peta Kesesuaian Lahan Habitat Burung Walet di Provinsi Nusa Tenggara Barat Tahun 2020) Dari grafik wilayah kesesuaian, diketahui bahwa proporsi luas wilayah yang sesuai dalam kelas wilayah kesesuaian lebih besar daripada yang tidak sesuai. wilayah ini diketahui lebih besar karena disebabkan karena memang banyak terdapat jaringan sungai di NTB. Panjang jalan tertinggi terdapat di Kota Lombok Timur sepanjang 1018,84 km dengan proporsi terhadap panjang seluruh jalan 18,13% (BPS Provinsi NTB, 2019) [42]. Begitu pula dengan elevasi yang lebih banyak pada kriteria wilayah yang sesuai untuk habitat burung walet, wilayah yang tidak sesuai hanya berada pada wilayah pegunungan. Untuk suhu pada bulan Oktober 2019 (pemindaian citra) cenderung cocok untuk wilayah habitat yang sesuai bagi burung walet, yaitu paling luas berada pada suhu 25oC – 30oC. Dan untuk tutupan lahan di wilayah Provinsi NTB, wilayah yang sesuai cukup luas karenanya, misalnya adalah hutan. Kelas Kesesuaian Sesuai Tidak Sesuai Luas (Ha) 173851,244671295 1,973035831 Persentase (%) 99,99886511 0,001134886 Tabel 5. Tabel Persentase Luasan Wilayah Kesesuaian Lahan Habitat Burung Walet di Provinsi NTB (Sumber: Pengolahan Data Kesesuaian Lahan Habitat Burung Walet Provinsi Nusa Tenggara Barat Tahun 2020) Sedangkan untuk wilayah tidak sesuai memiliki proporsi yang sedikit terhadap luas kesesuaian lahan habitat secara keseluruhan. Hal ini dikarenakan jarang sekali apabila wilayah yang tidak sesuai ditinjau dari tumpang tindih antara parameter yang sama-sama berada pada wilayah tidak sesuai. Yang sangat mempengaruhi adalah elevasi, karena hanya memiliki wilayah tidak sesuai sangat kecil. Selain itu, ketika dilakukan penelusuran terhadap shapefile variabel ketinggian terdapat 2.586 poligon yang tidak sesuai, tutupan lahan 11.770 poligon, jalan 38.582 poligon, sungai 34.256 poligon, suhu 57.761 poligon. Sedangkan diketahui bahwa jalan yang tidak sesuai, 32 yakni wilayah penyangga kurang dari 100 m jarang terdapat di ketinggian lebih dari 1.000 m, begitu pula dengan pemukiman. Karena dari pandangan determinisme, lingkungan fisik dapat menentukan tipe pemukiman, perdagangan, budaya, gaya berpakaian, agrikultur, dll (Ayichew, F. K., 2014) [43]. Hal ini terjadi ketika paham determinisme diaplikasikan ke studi kasus pada kali ini (Ayichew, F. K., 2014) [43]. Sehingga sulit ditemukan wilayah yang tidak sesuai dalam variabel-variabel yang digunakan kali ini untuk bertampalan satu sama lain. Persentase Luasan masing-masing Kelas Kesesuaian Lahan Habitat Burung Walet di Provinsi NTB Tahun 2020 0.001135% Sesuai 99.998865% Tidak Sesuai Gambar 10. Grafik Perbandingan Persentase Luasan Masing-Masing Kelas Kesesuaian Lahan Habitat Burung Walet di Provinsi Nusa Tenggara Barat Tahun 2020 (Sumber: Hasil pengolahan data atribut Peta Kesesuaian Lahan Habitat Burung Walet di Provinsi Nusa Tenggara Barat Tahun 2020) Dari grafik persentase luasan sesuai dan tidak sesuai diketahui bahwa wilayah yang sesuai lebih mendominasi dalam wilayah kelas kesesuaian lahan habitat burung walet di Provinsi NTB, sama dengan grafik sebelumnya. Sedangkan apabila ditinjau dari wilayah Provinsi NTB secara keseluruhan, wilayah yang sesuai memiliki luasan sekitar 8,432% dan yang tidak sesuai adalah 0,0001%. Proporsi ini cukup kecil karena disebabkan oleh penggundulan hutan yang terus terjadi. Sehingga, proporsi ini dapat digunakan ke depannya untuk pengembangan budidaya maupun konservasi burung walet. 33 BAB V KESIMPULAN Habitat burung walet di Provinsi Nusa Tenggara Barat masih memiliki proporsi yang cukup. Habitat yang sesuai terdapat pada bagian timur dari Provinsi Nusa Tenggara Barat, yaitu Pulau Lombok dan bagian timur Pulau Sumbawa. Wilayah sesuai terbentuk karena wilayah-wilayah ini dapat menyediakan pakan berupa serangga, tempat berlindung yang nyaman, dan tempat tumbuh dan berkembang dengan suhu yang optimum. Metode overlay vektor dalam sistem informasi geografis dapat digunakan sebagai alat untuk memodelkan wilayah kesesuaian lahan habitat. 34 DAFTAR PUSTAKA [1] Hakim, A. (2011). KARAKTERISTIK LINGKUNGAN RUMAH DAN PRODUKSI SARANG BURUNG WALET (Collocalia fuciphaga) DI KECAMATAN HAURGEULIS, KABUPATEN INDRAMAYU, JAWA BARAT. Skripsi. Bogor: Institut Pertanian Bogor. [2] Petkliang, et al. (2017). Wetland, Forest, and Open Paddy Land Arethe Key Foraging Habitats for Germain’s Swiftlet (Aerodramus inexpectatus germani)in Southern Thailand. Tropical Conservation Science, Vol. 10, hlm. 1 – 12. New York: SAGE Publishing. [3] Saepudin, R. (2006). Studi Habitat Makro Burung Walet (Collocalia sp). Di Kota Bengkulu. Jurnal Sains Peternakan Indonesia, Vol. 1, No. 1. Bengkulu: Universitas Bengkulu. [4] Kementan Ajak Pemprov NTB Ekspor Langsung Produk Pertanian asal Lombok. https://www.pertanian.go.id/home/?show=news&act=view&id=3722, diakses pada 4 Mei 2020. [5] Ibrahim, S. h., Teo. W. C., dan Baharun, A. (2009) A Study on Suitable Habitat for Swiftlet Farming. UNIMAS e-Journal of Civil Engineering, Vol. 1. Samarahan: Universiti Malaysia Sarawak. [6] Arifin, M. S. (2011). DISTRIBUSI RUMAH WALET (Collocalia sp) DI KABUPATEN GROBOGAN. Skripsi. Semarang: Universitas Negeri Semarang. [7] Chuong, H. V. (2019). LAND SUITABILITY ANALYSIS AND EVALUATION FOR PRODUCTION OF FRUIT TREES USING GIS TECHNOLOGY: A case study at Thua Thien HuαΊΏ. HuαΊΏ: HuαΊΏ University. [8] Jaringan Dokumentasi dan Informasi Hukum. (2013). BAB II: GAMBARAN UMUM KONDISI DAERAH. RENCANA PEMBANGUNAN JANGKA MENENGAH DAERAH PROVINSI NTB TAHUN 2013-2018. JDIH Provinsi NTB. https://jdih.ntbprov.go.id/sites/default/files/produk_hukum/BAB%20II.pdf, diakses pada 4 Mei 2020. [9] Bermana, I. (2006). KLASIFIKASI GEOMORFOLOGI UNTUK PEMETAAN GEOLOGI YANG TELAH DIBAKUKAN. Bulletin of Scientific Contribution, Vol. 4, No. 2, hlm. 161 – 173. Bandung: Universitas Padjajaran. [10] Departemen Pengembangan Akses Keuangan dan UMKM (DPAU). (2013). Penelitian KPJU Unggulan UMKM Provinsi NTB Tahun 2012. Jakarta: Bank Sentral Republik Indonesia. [11] Mukhopadhaya, Sayan. (2016) GIS-based Site Suitability Analysis: Case Study for Professional College in Dehradun. Journal of Civil Engineering and Environmental Technology, Vol. 3, hlm. 60 – 64. New Delhi: Krishi Sanskriti Publications. [12] Chandio, I. A., dan Nasir, A. (2011). Land Suitability Analysis Using Geographic Information System (GIS) for Hillside Development: A case study of Penang Island. 2011 International Conference on Environmental and Computer Science, Vol. 19. Singapura: IACSIT Press. [13] Arifin, M. S., dan Rahayuningsih, M. (2012). Distribusi Walet (Collocalia sp) di Kabupaten Grobongan. Unnes Journal of Life Science, Vol. 1, No. 1. Semarang: Universitas Negeri Semarang. 35 [14] Manchi, S. S., dan Sankaran, R. (2010). FORAGING HABITS AND HABITAT USE BY EDIBLE-NEST ANDGLOSSY SWIFTLETS IN THE ANDAMAN ISLANDS, INDIA. The Wilson Journal of Ornithology, Vol. 122, No. 2, hlm 259 – 272. Coimbatore: Sa´lim Ali Centre for Ornithology and Natural History. [15] McVicar, T. R., dan Körner, C. (2013). On the use of elevation, altitude, and height in the ecologicaland climatological literature. Oecologia, Vol. 171, hlm. 335 – 337. New York: Springer Publishing. [16] Margareta, R., dan Abdullah, M. (2008). PEMODELAN SPASIAL HABITAT BURUNG WALET SARANG PUTIH (COLLOCALIA FUCIPHAGA) DENGAN MENGGUNAKAN SIG (SISTEM INFORMASI GEOGRAFIS) DALAM UPAYA PENGEMBANGAN BUDIDAYA SARANG WALET DI JAWA TENGAH (STUDI KASUS KABUPATEN GROBOGAN DAN KABUPATEN SEMARANG). Semarang: Universitas Negeri Semarang. [17] Kaul, H. A., dan Sopan, I. (2012). Land Use Land Cover Classification and Change Detection Using High Resolution Temporal Satellite Data. Journal of Environment, Vol. 1, hlm. 146 – 152. London: Springer Publishing. [18] Dong, et al. (2003). An effective buffer generation method in GIS. Geoscience and Remote Sensing Symposium, Vol. 6. Piscataway: IEEE Xplore. [19] Vázquez, A. B. (2012). Unit-4: HEAT AND TEMPERATURE. Fundamentals of Physics in Engineering I. Alicante: Universidad de Alicante. [20] Rahman, M. A., Ghazali, P. L., dan Lian, C. J. (2018). ENVIRONMENTAL PARAMETERS IN SUCCESSFUL EDIBLE BIRD NEST SWIFTLET HOUSES IN TERENGGANU. Journal of Sustainability Science and Management, Vol. 13, No. 1. Terengganu: Penerbit UMT. [21] Idris, A., Abdullah, A. A., dan Rehman, M. A. (2014). An Overview of the Study of the Right Habitat and Suitable Environmental Factors that Influence the Success of Edible Bird Nest Production in Malaysia. Asian Journal of Agricultural Research, Vol. 8, No. 1, hlm. 1 – 16. Dubai: Science Alert. [22] Jokimäki, J., Store, R. (2003). A GIS-based multi-scale approach to habitatsuitability modeling. ECOLOGICAL MODELLING 169, 1 – 15. Elsevier: Amsterdam. [23] Ahiqvist, Q. (2009). Overlay (in GIS). Author’s Personal Copy, hlm. 48 – 55. Elsevier: Ansterdam. [24] Handayani, D., Soelistijadi, R., dan Sunardi. (2005). Pemanfaatan Analisis Spasial untuk Pengolahan Data Spasial Sistem Informasi Geografi. Jurnal Teknologi Inforasi DINAMIK, Vol. 10, No. 2, hlm. 108 – 116. Semarang: Universitas Stikubank Semarang. [25] Chapter 8 Spatial Operations and Vector Overlays. https://mgimond.github.io/Spatial/spatial-operations-and-vector-overlays.html, diakses pada 6 Mei 2020. [26] Ayat, A., dan Tata, H. L. (2015). DIVERSITY OF BIRDS ACROSS LAND USE AND HABITAT GRADIENTS IN FORESTS, RUBBER AGROFORESTS AND RUBBER PLANTATIONS OF NORTH SUMATRA. Indonesian Journal of Forestry Research, Vol. 2, No. 2, hlm. 103 – 120. Jakarta: KLHK. [27] Badan Pusat Statistik dan Badan Perencanaan Pembangunan Daerah Provinsi Nusa Tenggara Barat. (2013). Nusa Tenggara Barat dalam Angka 2013. Mataram: BPS Nusa Tenggara Barat. 36 [28] Wahyuni, T. E., dan Mildrayana, E. (2010). Panduan Wisata Alam. Mataram: BKSDANTB. [29] Tim Peneliti Fakultas Pertanian Unram. (2018). Penyusunan Master Plan Kawasan Pertanian di Provinsi Nusa Tenggara Barat. Mataram: Fakultas Pertanian Universitas Mataram. [30] Ayuti, T., dan Garnida, D., dan Asmara, I. Y. (2016). IDENTIFIKASI HABITAT DAN PRODUKSI SARANG BURUNG WALET (Collocalia fuciphaga) DI KABUPATEN LAMPUNG TIMUR. Jatinangor: Universitas Padjajaran. [31] Adlyansah, et al. (2019). Analysis Of Flood Hazard Zones Using Overlay Method With Figused-Based Scoring Based On Geographic Information Systems: Case Study In Parepare City South Sulawesi Province. Earth and Environmental Science, Vol. 280. Bristol: IOP Publishing. [32] Chandio, et al. (2014). GIS-basedland suitability analysis of sustainable hillside development. Procedia Engineering, Vol. 77, 87 – 94. Amsterdam: Elsevier. [33] Tjahjono, H. (2007). OVERLAY SEBAGAI MODEL PEMBELAJARAN DALAM MATA KULIAH SIG (SISTEM INFORMASI GEOGRAFIS) GUNA MENEMUKAN INFORMASI GEOSPASIAL BARU. Lembaran Ilmu Pendidikan. Semarang: Universitas Negeri Semarang [34] Dyatmika, H. S., dan Fibriawati, L. (2017). ANALYSIS OF SCENE COMPATIBILITIES FOR MOSAIC OF LANDSAT 8 MULTI-TEMPORAL IMAGES BASED ON RADIOMETRIC PARAMETER. International Journal of Remote Sensing and Earth Sciences, Vol. 13, No. 1, 9 – 18. Jakarta Timur: LAPAN. [35] Wayne, C. (2003). ANALYSIS OF SCENE COMPATIBILITIES FOR MOSAIC OF LANDSAT 8 MULTI-TEMPORAL IMAGES BASED ON RADIOMETRIC PARAMETER. ArcUser. Boston: ESRI. [36] Salih, et al. (2018). Land Surface Tmeperature Retrieval from LANDSAT-8 Thermal Infrared Sensor Data and Validation with Infrared Thermometer Camera. International Journal of Engineering & Technology, Vol. 7, hlm. 608 – 612. Al Rayyan: Science Publishing Corporation. [37] Kalinda, I. O. P., Sasmito, B., dan Sukmono, A. (2018). ANALISIS PENGARUH KOREKSI ATMOSFER TERHADAP DETEKSI LAND SURFACE TEMPERATURE MENGGUNAKAN CITRA LANDSAT 8. Jurnal Geodesi Undip, Vol. 7, No. 3. Semarang: Universitas Diponegoro. [38] Galvin, J. F. P. (2009). The Weather and Climate of the Tropics, Part 9 – Climate, Flora, and Fauna. Weather, Vol. 64, No. 4, hlm. 100 – 107. Reading: Royal Meteorological Society. [39] Badan Pusat Statistik Provinsi Nusa Tenggara Barat. (2017). Luas Lahan menurut Penggunaan Provinsi Nusa Tenggara Barat 2017. Mataram: BPS. [40] Dooling, R. J., dan Popper, A. N. (2007). The Effects of Highway Noise on Birds. Sacramento: The California Department of Transportation. [41] Khandelwal, S., et al. (2018). Assessment of land surface temperature variation due to change in elevation of area surrounding Jaipur, India. The Egyptian Journal of Remote Sensing and Space Science, Vol. 21, No.1, hlm. 87 – 94. Amsterdam: Elsevier. [42] Badan Pusat Statistik Provinsi Nusa Tenggara Barat. (2019). Statistik Transportasi Provinsi Nusa Tenggara Barat. Mataram: BPS. 37 [43] Ayichew, F. K. (2014). The paradox in environmental determinism and possibilism: A literature review. Journal of Geography and Regional Planning, Vol. 7, No. 7, hlm. 132 – 139. New York: Academic Journals. [44] Zhang, X., Pang, J., dan Li, L. (2015). Estimation of Land Surface Temperature under Cloudy Skies Using Combined Diurnal Solar Radiation and Surface Temperature Evolution. Remote Sensing, Vol. 7, hlm. 905 – 921. Beijing: MDPI. 38