Uploaded by ahmad39ammar

Kesesuaian Lahan Habitat Burung Walet di Provinsi NTB (Land Suitability of Swiftlet Bird in NTB Province, Indonesia)

advertisement
WILAYAH KESESUAIAN LAHAN HABITAT BURUNG WALET DI
PROVINSI NUSA TENGGARA BARAT
TUGAS AKHIR INDIVIDU
PRAKTIKUM SISTEM INFORMASI GEOGRAFIS
AHMAD AMANATUNNAWFAL AMMAR
1806197701
DEPARTEMEN GEOGRAFI
FAKULTAS MATEMATIKA DAN ILMU PENGETAHUAN ALAM
UNIVERSITAS INDONESIA
2020
DAFTAR ISI
BAB I ........................................................................................................................................................ 3
1.1
Latar Belakang......................................................................................................................... 3
1.1
Pertanyaan Masalah ............................................................................................................... 4
1.3
Batasan Penelitian .................................................................................................................. 4
BAB II ....................................................................................................................................................... 5
2.1
Kesesuaian Lahan .................................................................................................................... 5
2.2
Burung Walet .......................................................................................................................... 6
2.3
Habitat Burung Walet ............................................................................................................. 7
2.4
Metode untuk Kesesuaian Wilayah ...................................................................................... 10
BAB III .................................................................................................................................................... 13
3.1
Wilayah Penelitian ................................................................................................................ 13
3.2
Variabel Penelitian ................................................................................................................ 15
3.3
Pengumpulan Data................................................................................................................ 16
3.4
Pengolahan Data ................................................................................................................... 17
3.5
Analisis Data .......................................................................................................................... 22
BAB IV.................................................................................................................................................... 26
4.1
Hasil Pengolahan Data .......................................................................................................... 26
4.2
Hasil Analisis Overlay ............................................................................................................ 31
4.3
Persentase Luas Masing-Masing Kelas Kesesuaian............................................................... 32
BAB V..................................................................................................................................................... 34
DAFTAR PUSTAKA ................................................................................................................................. 35
2
BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Collocalia fuciphaga adalah salah satu spesies burung walet yang menghasilkan sarang
burung walet berwarna putih (Hakim, A., 2011) [1]. Budidaya sarang burung walet telah
dilakukan sejak abad ke-18 di Indonesia (Hakim, A., 2011) [1]. Sarang yang dibuat oleh burung
walet berasal dari air liurnya yang mengeras (Mardiastuti, et al., 1998) (Hakim, A., 2011) [1].
Burung ini biasanya bertengger secara vertikal dan tidak pernah berdiri secara sengaja di tanah
(Petkliang, et al., 2017) [2]. Sekarang, terdapat sekitar 24 spesies burung walet di dunia
(Petkliang, et al., 2017) [2].
Spesies burung yang tergolong dalam family Apodidae memiliki ukuran badan yang
sedang (12 cm), bagian atasnya berwarna coklat kehitam-hitaman dengan tungging abu-abu
pucat, tubuh bagian bawah coklat, dan sayapnya Panjang dan runcing (Hakim, A., 2011)
(Hakim, A., 2011) [1]. Menurut Kepmenhut Nomor 299/Kpts-II/1999, burung walet memiliki
dua karakteristik habitat, yaitu gua alam dan tebing/lereng bukit (Hakim, A., 2011) [1].
Permintaan terhadap produk sarang burung walet didasari oleh latar belakang khasiat
yang dipercaya oleh masyarakat dapat menyembuhkan berbagai penyakit (Nazaruddin &
Regina, 1991; Saepudin, R., 2006) [3]. Sehingga dibutuhkan sebuah metode basis untuk
mengetahui potensi budidaya sarang burung walet di suatu daerah, Lombok sendiri juga
diketahui memiliki pengiriman SBW ke Surabaya yang besar, yang kemudian diekspor ke luar
negeri hingga mencapai 20,896 miliar pada tahun 2018 [4]. Namun, akibat eksploitasi yang
berlebihan, jumlah populasi dari burung walet sarang putih terus menurun, terutama di
Indonesia dan Malaysia (Ibrahim, S. h., Teo. W. C., dan Baharun, A, 2009) [5]. Selain itu,
budidaya ini seringkali tidak memiliki aspek ekologi, aspek lingkungan, dan struktur
bangunannya (Arifin, M. S., 2011) [6].
Untuk mengetahui potensi dan persebaran lahan yang tersedia yang cocok, dapat
digunakan teknologi sistem informasi geografis (Chuong, H. V., 2019) [7]. Kemudian, data ini
diolah dengan menggunakan metode overlay (Chuong, H. V., 2019) [7]. Metode overlay
sendiri dalam SIG adalah prosedur yang digunakan untuk memproduksi peta kombinasi dari
dua peta digital yang memiliki masing-masing memiliki atribut data yang mencerminkan tema
peta (Chuong, H. V., 2019) [7]. Metode ini mempertimbangkan aspek spasial sebuah fenomena
yang kemudian dianalisis secara numerik dan geometris (Ahiqvist, Q., 2009) [23].
Provinsi Nusa Tenggara Barat merupakan provinsi kepulauan, dengan 2 pulau besar,
yaitu Lombok dan sumbawa (JDIH Provinsi NTB, 2013) [8]. Ketinggian bervariasi dari 0 –
3.726 mdpl, dengan rentang 100 – 500 m mendominasi dengan proporsi luas sekitar 37,39%,
ketinggian tertinggi berada di puncak Gunung Rinjani (JDIH Provinsi NTB, 2013) [8].
Kemiringan tanah didominasi oleh rentang 15 – 40% (34,96%) yang tergolong agak curam
hingga curam (Van Zuidam, 1983; Bermana, I., 2006) [9]. Sungai yang terkomposisi oleh air
sebagai sumber kehidupan, wilayah NTB dibagi menjadi 18 Sub Satuan Wilayah
Sungai/Daerah Aliran Sungai (SSWS/DAS), dengan Satuan Wilayah Sungai Dodokan,
Menanga, Putih, dan Jelateng (JDIH Provinsi NTB, 2013) [8].
Penelitian ini dilakukan untuk mengetahui potensi lahan tersedia yang cocok bagi
habitat burung walet sarang putih. Bank Indonesia sendiri merilis bahwa Kabupaten Lombok
3
Timut merupakan produsen sarang burung walet utama di sub sektor kehutanan (Bank Sentral
Republik Indonesia, 2013) [10]. Dengan analisis kesesuaian lahan, dapat diketahui pula lahan
yang potensial untuk budidaya sarang burung walet, tidak hanya di Kabupaten Lombok Timur
(Margareta, R., dan Abdullah, M., 2008) [16]. Hal ini akan menjadi studi lebih lanjut untuk
merekonstruksi budidaya yang terbaik terutama dalam aspek lingkungan dan habitat burung
walet agar memenuhi kebutuhan biologisnya (Margareta, R., dan Abdullah, M., 2008) [16].
1.1 Pertanyaan Masalah
Dari berbagai latar belakang masalah yang ada mengenai budidaya sarang burung walet
putih, maka dibutuhkan sebuah pertanyaan dasar utama untuk menyelesaikan masalah tersebut,
yaitu:
1. Apa parameter yang dapat menentukan kualitas wilayah kesesuaian lahan habitat
untuk budidaya burung walet?
2. Di mana lahan yang potensial untuk budidaya sarang burung walet di Provinsi Nusa
Tenggara Barat?
3. Berapa proporsinya terhadap keseluruhan luas wilayah Provinsi NTB?
1.3 Batasan Penelitian
Dari metode dan data yang digunakan, dapat diketahui batasannya. Wilayah kesesuaian
lahan habitat burung walet hanya menggunakan 5 variabel fisik tanpa memperhatikan faktor
sosial.
1. Kesesuaian lahan adalah metode yang digunakan untuk mengetahui dan memahami
kualitas dari sebuah situs untuk menentukan lokasi yang cocok untuk sebuah
aktivitas manusia hanya berdasarkan parameter, namun tidak secara proses dalam
waktu
2. Data variabel yang digunakan diperoleh dari lembaga maupun instansi yang
terpercaya yang terbaru
3. Elevasi adalah jarak vertikal antara sebuah permukaan dengan bidang referensi,
biasanya rerata ketinggian permukaan laut (McVicar, T. R., dan Körner, C., 2013)
[15]
4. Tutupan lahan adalah karakteristik fisik dari permukaan bumi, misalnya adalah
distribusi vegetasi, air, tanah, dan fitur fisik lainnya. (Kaul & Sopan, 2012) [17]
5. Buffer sungai adalah zona wilayah yang dibentuk oleh jarak dari tepi sungai (Hehai,
Wu., 1997; Dong, et al., 2003) [18]
6. Temperatur adalah sebuah pengukuran rata-rata dari energi kinetic translasional
yang diasosiasikan dengan pergerakan atom dan molekul yang bertabrakan
(Vázquez, A. B., 2012) [19]
7. Buffer jalan adalah zona wilayah yang dibentuk oleh jarak dari sempadan jalan
(Hehai, Wu., 1997; Dong, et al., 2003) [18]
4
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Kesesuaian Lahan
Kesesuaian lahan adalah identifikasi lokasi yang tepat untuk sebuah
penggunaan lahan atau untuk perkembangan lainnya, cara untuk memahami lokasi
yang sudah ada dan elemen-elemennya yang membantu untuk menentukan situs yang
paling tepat untuk sebuah aktivitas (Mukhopadhaya, Sayan., 2016) [11]. Praktik
kesesuaian lahan digunakan untuk memahami kualitas dari situs yang sudah ada dan
faktor-faktor untuk menentukan lokasi untuk sebuah aktivitas (Mukhopadhaya, Sayan.,
2016). Menurut Saaty, kesesuaian lahan mempertimbangkan berbagai kriteria dan
kebutuhan, pertimbangannya didasarkan pada Teknik estimasi bobot dari setiap faktor,
yang disebut dengan Analytical Hierarchy Process (AHP) (Chuong, H. V., 2019) [7].
GIS dapat digunakan untuk mengkombinasikan data spasial dengan atributnya,
sehingga Sistem informasi digunakan untuk membuktikan praktik yang efektif untuk
menentukan lahan yang sesuai untuk lingkungan terbangun (Baban, 2007; Chandio, I.
A., dan Nasir, A., 2011) [12]. GIS dapat digunakan untuk mengambil keuntungan dari
faktor yang terhubung satu sama lain untuk mempengaruhi perkembangan sebuah
tempat (Chandio, I. A., dan Nasir, A., 2011) [12]. Biasanya, kriteria yang harus
dipertimbangkan adalah aksesibilitas, misalnya adalah jalan, topografi, dan tutupan
lahan (Baban, 2017; Chandio, I. A., dan Nasir, A., 2011) [12]. Adlyansah, et al.
menggunakan metode kesesuaian lahan untuk pemetaan risiko bencana banjir
(Adlyansah, et al., 2019) [31]. Chuong (2019) menggunakan analisis kesesuaian lahan
untuk menganalisis produksi bagi pohon buah-buahan (Chuong, H. V., 2019) [7].
Chandio menggunakan kesesuaian lahan untuk perkembangan wilayah perbukitan
(Chandio, et al., 2014) [32]. Sehingga hasil dari operasi database dan statistik SIG
menghasilkan visualisasi pemetaan, hal ini dapat digunakan untuk menjelaskan
kejadian, merencanakan strategi, dan memprediksi apa yang akan terjadi (Anonim,
2006; Arifin, M. S., dan Rahayuningsih, M., 2012) [13].
Peta sangat baik untuk memperlihatkan hubungan atau relasi yang dimiliki oleh
unsur-unsurnya karena peta mengorganisasikan unsur-unsur berdasarkan lokasilokasinya (Prahasta, 2002; Arifin, M. S., dan Rahayuningsih, M., 2012) [13]. SIG dapat
digunakan untuk mengumpulkan faktor habitat spasial burung walet yang disimpan
dalam atribut database, kemudian menghubungkan unsur di atas dengan analisis
statistik spasial, sehingga diketahui wilayah yang memiliki potensi untuk budidaya
sarang burung walet (Margareta, R., dan Abdullah, M., 2008) [16].
Dalam penelitian kali ini digunakan beberapa variabel untuk mendukung
perencanaan dan pengelolaan satwa dibutuhkan data, baik ekologi maupun perilakunya
di dalam setiap ruang fisik (Margareta, R., dan Abdullah, M., 2008) [16]. Sehingga
melibatkan kelas tutupan lahan, suhu, ketinggian, jarak dari sungai, dan jarak dari jalan
(Margareta, R., dan Abdullah, M., 2008) [16]. Hal ini akan menghasilkan peta distribusi
horizontal burung walet, distribusi sendiri adalah parameter kualitatif yang
menggambarkan keberadaan organisme spesies tertentu pada ruang secara horizontal
(Arifin, M. S., 2011) [6].
5
2.2 Burung Walet
Burung walet adalah burung yang dapat menghasilkan sarang yang dapat
dikonsumsi (Petkliang, et al., 2017) [2]. Burung walet memiliki kemiripan dengan
burung beo sekilas, namun tidak ada kemiripan secara genetik sama sekali (Merikle,
1998; Idris, A., Abdullah, A. A., dan Rehman, M. A., 2014) [21]. Burung ini banyak
ditemukan di seluruh bagian Asia Tenggara (Idris, A., Abdullah, A. A., dan Rehman,
M. A., 2014) [21]. Sekarang terdapat 24 spesies burung walet di dunia (Ibrahim, S. h.,
Teo. W. C., dan Baharun, A, 2009) [5]. Burung ini berukuran sedang (12 cm), bagian
atas tubuhnya berwarna cokelat kehitam-hitaman dengan tungging abu-abu pucat,
sedangkan tubuh bagian bawahnya berwarna cokelat kehitam-hitaman (Hakim, A.,
2011) [1]. Sayapnya berbentuk bulan sabit memanjang dengan ekor menggarpu dan
kuku yang runcing (Hakim, A., 2011) [1]. Burung ini mampu bergerak lebih cepat dari
burung lainnya dan sayapnya lebih kuat (Merikle, 1998; Idris, A., Abdullah, A. A., dan
Rehman, M. A., 2014) [21]. Selain itu, penglihatannya juga cukup tajam (Liam dan
Cranbrook, 2002; Idris, A., Abdullah, A. A., dan Rehman, M. A., 2014) [21]. Jenis
kelamin dari burung ini sulit dibedakan (Hakim, A., 2011) [1]. Jenis Collocalia
fuciphaga merupakan jenis yang paling sering dibudayakan di Indonesia (Hakim, A.,
2011) [1]. Adapun spesies lainnya dari burung walet adalah Aerodramus fuciphagus,
Aerodramus germani, Aerodramus maximus, dan Aerodramus unicolor (Idris, A.,
Abdullah, A. A., dan Rehman, M. A., 2014) [21]. Berikut adalah taksonomi biologi dari
burung walet menurut Mulia (2009) dalam Arifin (2011) [6]:
Kingdom
: Animalia
Divisi
: Chordata
Kelas
: Aves
Ordo
: Apodiformes
Familia
: Apodidae
Genus
: Collocalia
Spesies
: Collocalia fuciphaga
Burung ini adalah burung pemakan serangga atau insektivora, memakan jenis
hymneoptera dan diptera (Lourie dan Tompkins, 2000; Rahman, M. A., Ghazali, P. L.,
dan Lian, C. J., 2018) [20]. Burung ini mampu menjelajahi ruangan yang gelap karena
kemampuan ekolokasinya (Griffin, 1958; Idris, A., Abdullah, A. A., dan Rehman, M.
A., 2014) [21]. Burung ini menyimpan energinya untuk membuat sarang yang besar
dengan mengurangi terbang dan aktivitas (Kassim, 2011; Idris, A., Abdullah, A. A.,
dan Rehman, M. A., 2014) [21]. Sarangnya yang dapat dimakan menjadi hal yang
menarik, di mana terbuat dari air liurnya, dan terus berkembang menjadi industri
bernilai ratusan miliar rupiah (Rahman, M. A., Ghazali, P. L., dan Lian, C. J., 2018)
[20]. Cita rasa dari sarang burung walet unik dan digunakan untuk pengobatan untuk
peningkatan kekuatan fisik serta imunitas tubuh, bahkan disebut-sebut sebagai obat
penyembuh bagi penyakit paru-paru, panas dalam, kanker, hingga AIDS (Acquired
Immune Defficiency Syndrome) (Soehartono dan Mardiastuti, 2003; Arifin, M. S.,
2011) [6]. Permintaan yang terus meningkat terutama dari kelas atas baik dari dalam
negeri maupun luar negeri menjadi ancaman bagi terganggunya habitat burung walet
(Petkliang, et al., 2017) [2]. Pembuatan sarangnya ini mengambil waktu sekitar 30 hari,
sejak masa kawin hingga ukurannya yang cukup untuk menyimpan telur, kemudian
baru setelah itu 7 – 10 hari setelahnya baru dapat membuat sarang kembali (Kang, et
6
al., 1991; Idris, A., Abdullah, A. A., dan Rehman, M. A., 2014) [21]. Biasanya sarang
burung walet ini dibuat pada malam hari (Liam dan Cranbrook, 2002; Idris, A.,
Abdullah, A. A., dan Rehman, M. A., 2014) [21]. Masa kawin dilakukan pada musim
hujan di Vietnam, ketika banyak terdapat serangga daratan (Nguyen Quang, 1994; Idris,
A., Abdullah, A. A., dan Rehman, M. A., 2014) [21]. Predator dari burung walet adalah
vertebrata (burung hantu, ular, kadal, tikus, kucing, dan kelelawar), burung walet dapat
menghindari predator dengan memilih sarang yang tepat (Manchi, 2009; Idris, A.,
Abdullah, A. A., dan Rehman, M. A., 2014) [21]. Ekolokasi juga dapat digunakan untuk
menghindari diri dari predator (Idris, A., Abdullah, A. A., dan Rehman, M. A., 2014)
[21].
Ekstrak sarang burung walet dapat digunakan untuk menghambat
haemaglutinasi terhadap virus influenza (Idris, A., Abdullah, A. A., dan Rehman, M.
A., 2014) [21]. Kemudian juga terdapat Epidermal Growth Factor (EGF) yang
dikandung dalam ekstrak sarang burung walet (Ng, et al., 1986; Kong, et al, 1987; Idris,
A., Abdullah, A. A., dan Rehman, M. A., 2014) [21]. Sarangnya terdiri atas 50-60%
protein, 25% karbohidrat, dan 10% air, dengan kandungan sedikit mineral seperti
kalsium, potassium, fosfor, dan sulfur (Wang, 1921; Idris, A., Abdullah, A. A., dan
Rehman, M. A., 2014) [21]. Terdapat 17 jenis asam amino, yaitu aspartic acid,
glutamic acid, serine, glycine, histidine, threonine, arginine, alanine, isoleucine,
leucine, phenylananine, dan lysine (Liam, 1999; Idris, A., Abdullah, A. A., dan
Rehman, M. A., 2014) [21].
Habitat asli burung walet di alam adalah gua-gua alam batugamping hingga
tebing/lahan curam, sehingga biasanya budidaya burung walet dilakukan di lingkungan
yang sudah disesuaikan dengan habitat aslinya (Mardiastuti dan Soehartono, 1996;
Idris, A., Abdullah, A. A., dan Rehman, M. A., 2014) [21]. Sebenarnya hal yang
mempengaruhi lokasi budidaya burung walet adalah kepadatan, wilayah pemberian
pakan, dan ruang jelajah burung walet, serta tempat untuk kontrol burung walet (Idris,
A., Abdullah, A. A., dan Rehman, M. A., 2014) [21]. Pastinya dipilih wilayah yang
memiliki populasi burung walet yang paling banyak (Nasir Salekat, 2009; Idris, A.,
Abdullah, A. A., dan Rehman, M. A., 2014) [21]. Sehingga fokus penelitian kali ini
adalah persebaran kesesuaian lahan habitat bagi burung walet, sehingga mengambil
faktor fisik. Agar populasi burung walet tetap terjaga, harus ada sistem manajemen dari
produksi sarang burung walet (Margareta, R., dan Abdullah, M., 2008) [16].
Conservation on International Trade in Endangered Species of Wild Fauna and Flora
(CITES) mengontrol status dan perdagangan sarang burung walet (Idris, A., Abdullah,
A. A., dan Rehman, M. A., 2014) [21]. Sehingga dengan wilayah kesesuaian lahan
untuk habitat burung walet dapat diketahui wilayah yang dapat dikontrol untuk
produksi sarang burung walet (Margareta, R., dan Abdullah, M., 2008) [16].
2.3 Habitat Burung Walet
Terdapat beberapa jenis burung walet, namun burung walet sarang putih
(Collocalia fuciphaga) lebih sering digunakan secara ekonomis daripada walet sarang
hitam (Collocalia maxima) dan walet sarang rumput (Collocalia linchi) (Soehartono
dan Mardiastuti, 2003; Manchi, S. S., dan Sankaran, R., 2010) [14]. Penurunan populasi
dari burung walet disebabkan oleh berbagai faktor, kegagalan mikroiklim dari
bangunan untuk menghasilkan lingkungan seperti di gua (Ibrahim, Teo, & Baharun,
2009; Hakim, A., 2011) [1] dan sedikitnya habitat untuk pakan karena deforestasi yang
7
diasosiasikan dengan ekspansi agrikultur (Chuangchang & Tongkumchum, 2014;
Hakim, A., 2011) [1]. Komponen yang penting adalah faktor ketersediaan makanan,
tutupan lahan, tempat berlindung dari predator dan cuaca, dan panas atau tidaknya suatu
wilayah sebagai tempat bersarang dan bereproduksi sebuah satwa (Wang, 2003 dalam
Rahayuningsih, 2008; Arifin, M. S., dan Rahayuningsih, M., 2012) [13]. Habitat dasar
burung walet adalah ruang habitat yang memiliki ketersediaan pakan, air, tempat
tinggal dan berkembang biak (Arifin, M. S., Rahayuningsih, M., dan Ngabekti, S.,
2012; Arifin, M. S., dan Rahayuningsih, M., 2012) [13].
Elevasi adalah jarak vertikal antara sebuah permukaan dengan bidang referensi,
biasanya rerata ketinggian permukaan laut (McVicar, T. R., dan Körner, C., 2013).
[15]. Burung walet berada pada dataran rendah hingga dengan ketinggian maksimal
1.000 mdpl (Budiman, 2002; Arifin, M. S., dan Rahayuningsih, M., 2012) [13].
Sedangkan menurut Saepudin, kualitas sarang burung walet paling baik pada
ketinggian hingga 500 mdpl (Saepudin, R., 2006) [3]. Sedangkan menurut penelitian
Arifin, lebih baik tidak lebih dari 1.000 mdpl (Arifin, M. S., dan Rahayuningsih, M.,
2012) [13]. Sehingga Margareta dan Abdullah (2008) membuat klasifikasi ketinggian
0 – 500 mdpl, 501 – 1000 mdpl, dan > 1000 mdpl (Margareta, R., dan Abdullah, M.,
2008) [16].
Tutupan lahan adalah karakteristik fisik dari permukaan bumi, misalnya adalah
distribusi vegetasi, air, tanah, dan fitur fisik lainnya. (Kaul & Sopan, 2012) [17].
Sehingga penelitian Arifin menggunakan penggunaan lahan hutan, tanah kosong,
pemukiman, sawah, dan sungai/sumber air untuk tutupan lahan (Arifin, M. S., dan
Rahayuningsih, M., 2012) [13]. Namun, menurut penelitian Rahman, et al., (2018)
habitat burung walet juga berada di dekat pantai, di wilayah pantai terdapat budidaya
133 ekor, di desa 210 ekor, dan di perkotaan 59 ekor (Rahman, M. A., Ghazali, P. L.,
dan Lian, C. J., 2018) [20]. Syarat kehidupan burung walet yang lebih spesifik adalah
memiliki iklim tropis dan daerah basah dengan musim hujan selama enam bulan dalam
satu tahun dan memiliki Kawasan hutan subur yang luas, area pertanian yang subur,
aliran sungai (Budiman, 2002; Arifin, M. S., dan Rahayuningsih, M., 2012) [13].
Sumiati (1998) melaporkan bahwa rumah walet (Collocalia fuciphaga) tersebar di
daerah yang memiliki ketinggian kurang dari 500 meter di atas permukaan laut
(Saepudin, R., 2006) [3]. Menurut Kishimoto, et al., Habitat secara fisik burung walet
dapat berupa lahan basah, namun pada musim kering, sawah dan lahan agrikultur
biasanya kering (Kishimoto Yamada dan Itioka, 2015; Petkliang, et al., 2017) [2].
Aktivitas mencari makan paling banyak dilakukan di atas tanah basah, rawa, wilayah
hutan, dan lahan padi terbuka (Sanchex-Clavijo, Hearns, & Quintana-Ascencio, 2016;
Petkliang, et al., 2017) [2]. Sehingga, burung walet sering ditemukan di daerah tanggul,
dekat badan air, atau tanaman basah (Petkliang, et al., 2017) [2]. Habitat hutan menjadi
penting karena merupakan sumber Hymnoptera (Nguyen Quang, et al., 2002;
Petkliang, et al., 2017) [2]. Lahan sawah padi terbuka juga mirip dengan hutan, namun
serangga yang dominan adalah Diptera dan Hemiptera, yang juga merupakan makanan
utama burung walet (Lourie dan Tompkins, 2000; Petkliang, et al., 2017) [2].
Perkebunan monokultur biasanya memiliki serangga yang lebih sedikit, terutama ketika
musim kemarau, jumlah serangga di perkebunan karet hanya setengah dari serangga
yang tinggal di hutan (Phommexay, et al., 2011; Petkliang, et al., 2017) [2]. Rayap
menjadi pakan utama burung walet ketika musim panas (Davies, et al., 2015; Petkliang,
8
et al., 2017) [2]. Sedangkan pada lingkungan perkotaan, jarang diminati serangga
kecuali pada bulan purnama, karena banyak pencahayaan (Perkin, et al., 2013;
Petkliang, et al., 2017) [2]. Sehingga habitat yang paling baik menurut penelitian
Petkliang adalah di atas rawa, hutan, dan lahan sawah padi Petkliang, et al., 2017) [2].
Sedangkan menurut penelitian Manchi dan Sankaran (2010), edible-nest swiftlet lebih
aktif di dalam wilayah hutan (Manchi, S. S., dan Sankaran, R., 2010) [14]. Kemudian
edible-nest swiftlet juga biasanya terbang cukup tinggi di atas pohon, karena serangga
juga terbang ke atas saat temperatur tinggi, hingga mencapai > 30 m di atas permukaan
tanah (Manchi, S. S., dan Sankaran, R., 2010) [14]. Kemudian, burung walet
bergantung pada keberadaan hutan dan gua-gua untuk tempat bertelur dan menetap
(Manchi dan Sankaran, 2010; Manchi, S. S., dan Sankaran, R., 2010) [14]. Namun
apabila merujuk pada Saepudin (2006), burung walet sangat menyukai wilayah yang
memiliki banyak pepohonan, persawahan, dan rawa yang banyak ditumbuhi oleh
tumbuhan rendah (Saepudin, R., 2006) [3]. Mardiastuti (1998) menyatakan bahwa
burung walet banyak berada di sawah dan tegalan (50%), lahan basah (20%), dan
daerah berhutan (30%) (Mardiastuti, 2008; Margareta, R., dan Abdullah, M., 2008)
[16]. Kemudian juga Henmulia (2008) habitat yang sesuai untuk burung walet adalah
persawahan, padang rumput, hutan terbuka, pantai, danau (Margareta, R., dan
Abdullah, M., 2008) [16].
Menurut Saepudin (2006), jenis serangga yang menjadi sumber makanan
burung walet adalah Homoptera, Hemiptera, Hymenoptera, dan Diptera (Saepudin, R.,
2006) [3]. Burung walet mencari makanan di udara di ruang terbuka dan hutan,
makanannya berupa hymneoptera (17 – 44%), Diptera (8 – 39%), Hemiptera (7 – 35%),
Coleoptera (1 – 5%, dan Isoptera (0 – 10%) (Petkliang, et al., 2017) [2]. Dalam
lingkungan tropis, burung walet akan lebih tertarik pada habitat yang banyak memiliki
jenis mangsa (Chantler & Driessens, 2000; Petkliang, et al., 2017) [2]. Sehingga jumlah
penangkapan mangsa akan lebih tinggi pada ketika bulan purnama, di mana terdapat
lebih banyak serangga (Basset, et al., 2003; Petkliang, et al., 2017) [2], lebih banyak
lagi apabila pada musim hujan karena kemunculan serangga akuatik dan daratan
(Fukui, et al., 2006; Petkliang, et al., 2017) [2]. Biasanya burung ini lebih banyak
mencari pakan di pagi hari (6:30 – 10:30) dan sore (14:30 – 18:30) untuk mencari energi
untuk mencari mangsa dan membangun sarang menurut hasil penelitian Petkliang
(Petkliang, et al., 2017) [2]. Pembangunan sarang biasanya pada jam 18:00 – 22:00 dan
04:00 – 06:00 (Petkliang, et al., 2017) [2]. Pada siang hari kemudian burung ini terbang
hingga ketinggian 100 mdpl, dengan ketinggian maksimum 1.889 m di atas permukaan,
biasanya mencari makan di bawah 200 mdpl (Helms, et al., 2016; Petkliang, et al.,
2017) [2].
Temperatur adalah sebuah pengukuran rata-rata dari energi kinetik translasional
yang diasosiasikan dengan pergerakan atom dan molekul yang bertabrakan (Vázquez,
A. B., 2012) [19]. Semakin tinggi temperatur, maka akan diikuti dengan kelembaban
yang tinggi apabila ada air yang tersedia (Saepudin, R., 2006) [3]. Sedangkan menurut
Budiman (2008), burung walet akan memilih daerah dengan suhu yang tidak lebih dari
26oC – 29oC (Arifin, M. S., dan Rahayuningsih, M., 2012) [13]. Menurut Ibrahim, et
al., (2009) budidaya burung walet yang baik berada di ruangan bersuhu antara 26 oC –
35oC (Ibrahim, S. h., Teo. W. C., dan Baharun, A, 2009) [5]. Margareta dan Abdullah
(2008) menggunakan klasifikasi suhu < 15oC, kemudian 16oC – 25oC, dan 26oC – 30oC
9
(Margareta, R., dan Abdullah, M., 2008) [16]. Sedangkan menurut Sofwan dan Winarso
(2005) suhu optimum gedung untuk budidaya walet adalah 27oC -29oC (Sofwan dan
Winarso, 2005; Ayuti, T., dan Garnida, D., dan Asmara, I. Y., 2016) [30].
Buffer sungai adalah zona wilayah yang dibentuk oleh jarak dari tepi sungai
(Hehai, Wu., 1997; Dong, et al., 2003) [18]. Buffer sungai digunakan dalam penelitian
kali ini, karena daerah tepi sungai dengan vegetasi tumbuhan rendah yang padat sangat
disukai oleh burung walet (Petkliang, et al., 2017) [2]. Di daerah ini burung walet akan
mencari makan, minum, dan bermain (Marzuki, et al., 1999; Saepudin, R., 2006) [3].
Sumber air sebagai wilayah dalam mencari makan adalah laut, sungai, danau, dan
kolam (Saepudin, R., 2006) [3]. Sehingga Margareta dan Abdullah (2008) membuat
buffer sungai dengan radius 1.000 m dan 1.000 m – 1.500 m (Margareta, R., dan
Abdullah, M., 2008) [16]. Menurut Arifin dan Rahayuningsih, jarak rumah walet harus
ada dalam jarak 100 m dari sungai (Arifin, M. S., dan Rahayuningsih, M., 2012) [13],
karena pakan burung walet adalah serangga. Sehingga, Margareta dan Abdullah (2008)
membuat klasifikasi radius dari sungai < 1.000 m dan 1.000 – 2.500 m (Margareta, R.,
dan Abdullah, M., 2008) [16]. Menurut Ayat dan Tata, habitat burung memang
dipengaruhi oleh sungai, sehingga walaupun terdapat perkebunan monokultur di
sekitarnya burung tetap dapat hidup untuk mencari makan (Ayat, A., dan Tata, H. L.,
2015) [26].
Buffer jalan adalah zona wilayah yang dibentuk oleh jarak dari sempadan jalan
(Hehai, Wu., 199; Dong, et al., 2003) [18]. Buffer jalan digunakan dalam penelitian kali
ini karena menurut Mulia (2009) dikatakan bahwa burung walet adalah jenis burung
yang sensitif sehingga lebih memilih daerah yang tenang dan bebas polusi (Arifin, M.
S., dan Rahayuningsih, M., 2012) [13]. Sehingga rumah walet yang baik adalah yang
memiliki jarak minimal 100 meter dari jalan raya (Arifin, M. S., dan Rahayuningsih,
M., 2012) [13]. Menurut penelitian Arifin dan Rahayuningsih (2012), rumah walet
banyak ditemukan dalam radius 0 – 500 m dari jalan raya (Arifin, M. S., dan
Rahayuningsih, M., 2012). Sehingga, Margareta dan Abdullah (2008) membuat
klasifikasi jarak dari jalan < 100 m, 100 – 500 m, dan > 500 m (Margareta, R., dan
Abdullah, M., 2008) [16]. Umumnya, seluruh penelitian menyatakan bahwa burung
walet lebih menyukai lingkungan yang bersifat alami dan tidak ekstrem, walaupun
terdapat beberapa lingkungan buatan manusia yang disukai, namun hal tersebut sesuai
dengan ekologi sehingga membentuk habitat burung walet (Arifin, M. S., dan
Rahayuningsih, M., 2012; Saepudin, R., 2006; Margareta, R., dan Abdullah, M., 2008;
Rahman, M. A., Ghazali, P. L., dan Lian, C. J., 2018; Petkliang, et al., 2017; Manchi,
S. S., dan Sankaran, R., 2010; Ibrahim, S. h., Teo. W. C., dan Baharun, A, 2009; Ayuti,
T., dan Garnida, D., dan Asmara, I. Y., 2016; Ayat, A., dan Tata, H. L., 2015) [13, 3,
16, 20, 2, 14, 5, 30, 26]
2.4 Metode untuk Kesesuaian Wilayah
Wilayah kesesuaian lahan ditentukan dari berbagai data spasial parameterparameter pembentuk dapat digunakan untuk pengembangan budidaya sarang walet
putih (Margareta, R., dan Abdullah, M., 2008) [16]. Parameter-parameter ini harus
didapatkan dari pengetahuan para ahli dalam menangani sumber daya alam yang
terbaru (Kangas, et al. 2003; Jokimäki, J., Store, R., 2003) [22]. Sebenarnya analisis
kesesuaian wilayah untuk habitat yang paling tepat adalah dengan menggunakan data
10
empiris dan juga pengetahuan ahli (Jokimäki, J., Store, R., 2003) [22]. Persyaratan
sebuah habitat terhubung dengan struktur habitat dn lansekap di sekitarnya (Jokimäki
and Huhta, 1996; Jokimäki, J., Store, R., 2003) [22]. Misalnya bentuk habitat dan
ukurannya juga terkadang harus dilibatkan untuk pola keruangannya (Virkkala, 1991;
Jokimäki, J., Store, R., 2003), namun pada kali ini tidak diperoleh data empiris
mengenai populasi burung walet di Provinsi Nusa Tenggara Barat [22].
SIG sebagai alat modeling, dijadikan sebagai platform, di mana data diproses
dan disimpan, kemudian diekstrapolasi hasilnya dari basis titik menjadi basis spasial
(Brown, et al., 1994; Jokimäki, J., Store, R., 2003) [22]. Teknik yang baru dalam SIG
untuk memproduksi peta juga beragam, misalnya artificial neural networks, genetic
programming, dan machine learning (Jokimäki, J., Store, R., 2003) [22]. Dengan
menghubungkan map-algebra, bersama, maka diketahui lokasi suatu tempat (BonhamCarter, 1994; Jokimäki, J., Store, R., 2003) [22]. Selain itu juga dapat dilakukan model
kesesuaian lahan habitat ini dalam skala tunggal atau skala besar, skala tunggal
biasanya kurang baik sebagai manajemen lansekap terutama dalam konservasi biologi
(Jokimäki, J., Store, R., 2003) [22]. Sehingga terdapat beberapa tahap untuk melakukan
kesesuaian lahan habitat, yang pertama untuk menentukan variabel dalam skala
berbeda, kedua menghitung indeks kesesuaian untuk menutupi seluruh wilayah,
kemudian seharusnya untuk spesies burung juga harus dilakukan dalam skala kecil
dengan fotografi aerial, peta topografi, dan pemetaan habitat sebagai dasarnya, namun
dalam penelitian ini hanya dipakai skala tunggal dan juga pemilihan ekstraksi kelas
dengan query dan peta topografi (Jokimäki, J., Store, R., 2003) [22]. Biasanya variabel
dengan atributnya dikonversikan menjadi data raster, namun pada penelitian kali ini
menggunakan data vektor. Adapun penelitian Littleboy, et al (1996), menggunakan
pemodelan spasial berbasis SIG untuk mengekstrapolasi model sederhana sehingga
membentuk model spasial, mereka menggunakan poligon yang sudah dikelaskan,
namun kekurangan dari klasifikasi dapat menyebabkan hilangnya data (Jokimäki, J.,
Store, R., 2003) [22].
Seluruh data parameter yang akan digunakan harus memiliki skala yang sama
atau tingkat detail dan resolusi yang sama, walaupun sebenarnya bisa digunakan skala
yang berbeda, pada kali ini akan digunakan data pada skala yang sama melalui ekstraksi
citra atau jasa pengembang data spasial (Ahiqvist, Q., 2009) [23]. Kemudian data-data
ini baik secara manual menggunakan kertas transparan atau dengan menggunakan SIG
harus mempunyai referensi dan geocoding yang sama, sehingga harus mempunyai
sistem koordinat serta proyeksi yang sama (Ahiqvist, Q., 2009) [23]. Kemudian petapeta ini ditampalkan secara geometris dan menemukan wilayah intersection (Ahiqvist,
Q., 2009) [23]. Kombinasi-kombinasi peta ini harus dipertimbangkan, apakah intersect
atau overlap (Ahiqvist, Q., 2009) [23]. Misalkan wilayah yang berisiko banjir dapat
dipilih melalui spatial query, topological query, atau Boolean query, pada kali ini
digunakan Boolean query baik menggunakan intersect maupun union (Ahiqvist, Q.,
2009) [23].
Analisis spasial pendukung yang digunakan untuk membantu analisis
kesesuaian menggunakan overlay adalah analisis buffer yang merupakan proses untuk
mengidentifikasi area di sekitar fitur geografi, buffer dapat digunakan juga untuk
memilih apakah fitur berada di dalam buffer atau di luar buffer menggunakan overlay
peta, geoprocessing digunakan untuk mengoperasikan informasi geografi (Handayani,
11
D., Soelistijadi, R., dan Sunardi., 2005) [24]. Konsep overlay ada dua, yaitu merupakan
hubungan persimpangan dan saling melengkapi antar fitur spasial dan
mengkombinasikan data spasial dan data atribut dari dua tema masukan (Handayani,
D., Soelistijadi, R., dan Sunardi., 2005) [24]. Fitur titik-poligon menghasilkan bentuk
titik-titik, garis-poligon menghasilkan bentuk garis, dan poligon-poligon menghasilkan
bentuk poligon (Handayani, D., Soelistijadi, R., dan Sunardi., 2005) [24]. Terdapat tiga
metode untuk membantu, yaitu union yang digunakan untuk membuat coverage baru
dengan melakukan tumpukan dua coverage poligon, sehingga menghasilkan poligon
kombinasi, dan attribute kedua coverage asal (Handayani, D., Soelistijadi, R., dan
Sunardi., 2005) [24]. Yang kedua adalah intersect merupakan operator Boolean untuk
membuat coverage baru yang merupakan irisan dari coverage (Handayani, D.,
Soelistijadi, R., dan Sunardi., 2005) [24]. Yang ketiga adalah identity yang membuat
coverage baru dengan melakukan overlay dua himpunan fitur, hasilnya berupa
masukan semua fitur dan hasilnya hanya berisi bagian dari identitas fitur coverage
(Handayani, D., Soelistijadi, R., dan Sunardi., 2005) [24].
Kemudian pada geoprocessing yang membutuhkan data dan tools, tool adalah
sekumpulan blok bangunan untuk menggabungkan banyak tahapan operasi ke data
untuk menghasilkan data baru (Handayani, D., Soelistijadi, R., dan Sunardi., 2005)
[24]. Operasi ini dilakukan dengan menambahkan dan melampirkan fitur-fitur dia atau
lebih theme secara bersama, atau untuk menge-clip, atau untuk menghasilkan irisan dari
dua theme. Kemudian hasil dari seluruh proses geoprocessing ini dilakukan select by
attributes dengan query Boolean algebra maupun set algebra, untuk memilih kelas
kesesuaian menurut matriks [25].
12
BAB III
METODOLOGI
3.1 Wilayah Penelitian
Provinsi Nusa Tenggara Barat adalah provinsi yang terletak di antara 115o46’
– 119o5’ BT dan 8o10’ – 9o5’ LS (JDIH Provinsi NTB, 2013) [8]. Sedangkan lokasi
relatif Provinsi Nusa Tenggara Timur pada bagian utaranya dibatasi oleh Laut Jawa dan
Laut Flores, sebelah selatan oleh Samudera Hindia, sebelah barat oleh Selat Lombok
dan Bali, dan Selat Sape dan Provinsi Nusa Tenggara Timur (JDIH Provinsi NTB,
2013) [8]. Provinsi ini terdiri atas dua pulau besar, yaitu Pulau Lombok dan Sumbawa,
serta dikelilingi oleh 280 pulau kecil (JDIH Provinsi NTB, 2013) [8]. Luas wilayah
Provinsi NTB mencapai 49.312 Km2, dengan daratan 20.153,15 Km2 (40,87%) dan
perairan laut seluas 29.159,04 Km2 (59,13%) (JDIH Provinsi NTB, 2013) [8]. Provinsi
ini terdiri atas 8 kabupaten dan 2 kota dengan 116 wilayah kecamatan dengan 1.146
desa/kelurahan (JDIH Provinsi NTB, 2013) [8].
Gambar 1. Peta Administrasi Provinsi Nusa Tenggara Barat (Sumber:
Peta Rupabumi Indonesia. Skala 1:25.000. BIG. Tahun 2017)
Topografi wilayah Provinsi NTB memiliki rentang dari 0 – 3.726 mdpl untuk
Pulau Lombok dan 0 – 2.755 m untuk Pulau Sumbawa (JDIH Provinsi NTB, 2013) [8].
Berdasarkan klasifikasi ketinggian, sekitar 23,76% atau 478.911 Ha memiliki
ketinggian 0 – 100 mdpl, sekitar 15,25% atau seluas 307.259 Ha memiliki ketinggian
500 – 1000 mdpl, dan sekitar 23,6% atau 475.333 memiliki ketinggian lebih dari 1.000
mdpl (JDIH Provinsi NTB, 2013) [8]. Sedangkan untuk klasifikasi kemiringan tanah,
diketahui bahwa 38,96% luas wilayah atau sekitar 704.619 Ha memiliki kemiringan
13
tanah 15 – 40%, 16,8% atau sekitar 338.552 Ha memiliki kemiringan 0 – 2% (paling
luas), dan 1.01% atau sekitar 20.175 Ha merupakan wilayah yang memiliki kelerengan
lebih dari 40% (paling sempit) (JDIH Provinsi NTB, 2013) [8].
Dipandang dari segi hidrologi, wilayah NTB menurut SK Gubernur No. 147
Tahun 1999 tentang Pembagian Sub Satuan Wilayah Sungai/Daerah Aliran Sungai di
Satuan Wilayah Sungai Lombok dan Satuan Wilayah Sungai Sumbawa, wilayah NTB
terdiri atas 18 wilayah Sub Satuan Sungai (SSWS/DAS). Satuan Wilayah Sungai
Lombok terdiri dari 4 SSWS yang meliputi, Dodokan, Menganga, Putih, dan Jelateng.
Sedangkan SWS Sumbawa teridi atas 14 SSWS yang meliputi, Jereweh, Rea, Rhee,
Moyo Hulu, P. Moyo, Empang, Hoddo, Banggo, Parado, Sari, Rimba, Baka, Bako, dan
Beh. Sedangkan untuk cekungan air tanah (CAT) di provinsi NTB dapat dibagi menjadi
9 CAT, yaitu Mataram-Selong, Tanjung-Sambelia, Sumbawa Besar, Empang, Pekat,
Sanggar-Kilo, Dompu, Bima, dan Tawali-Sape (JDIH Provinsi NTB, 2013) [8].
Sedangkan kondisi iklim di Provinsi Nusa Tenggara Barat menurut Data Badan
Meteorologi dan Geofisika (BMKG), temperatur udara maksimum di Nusa Tenggara
Barat berkisar antara 29,9oC – 34,2oC dan temperatur minimum berkisar antara 17,4oC
= 22,6oC (JDIH Provinsi NTB, 2013) [8]. Rata-rata kelembaban udara relatif cukup
tinggi, yaitu antara 77 – 85%, kelembaban terendah terjadi pada bulan Agustus dan
yang tertinggi pada bulan Januari dengan kecepatan angin 4 – 7 knots, kecepatan angin
tertinggi berada pada bulan Maret 26 knots, dan kecepatan angin terendah 15 knots
pada bulan November dan Desember (JDIH Provinsi NTB, 2013) [8]. Jumlah hari hujan
terendah, yaitu 0 hari pada bulan Agustus dan terbanyak pada bulan Desember
mencapai 29 hari (JDIH Provinsi NTB, 2013) [8].
Produksi Provinsi NTB dalam sektor kehutanan sendiri terus mengalami
penurunan, karena banyak yang sudah dieksploitasi dan masih dalam reboisasi.
Sehingga untuk kebutuhan kayu di NTB, khususnya sebagai bahan kayu konstruksi,
pada tahun 2012, lebih banyak didatangkan dari Sulawesi Tenggara (BPS Provinsi
NTB, 2013) [27]. Sedangkan untuk produksi sarang walet sendiri pada tahun 2012
mencapai 21.000 buah (BPS Provinsi NTB, 2013) [27]. Taman Wisata Kerandangan
menyajikan keindahan air terjun gua walet yang merupakan juga tempat tinggal burung
walet (Wahyuni, T. E., dan Mildrayana, E., 2010) [28]. Penggunaan lahan di NTB
dikelompokkan menjadi lahan usaha intensif dan lahan hutan atau diusahakan tetapi
tidak intensif. Lahan usaha intensif berupa sawah, perladangan menetap termasuk
pekarangan dan kebun campuran (Tim Peneliti Fakultas Pertanian Unram, 2018) [29].
Sedangkan lahan yang tidak diusahakan adalah hutan, padang rumput, semak belukar,
dan tanah rusak (Tim Peneliti Fakultas Pertanian Unram, 2018) [29]. Penggunaan lahan
yang diterapkan petani di wilayah NTB adalah sistem pola tanam mengikuti curah
hujan, misalnya sawah adalah padi-padi-palawija/tembakau;padi-palawijapalawija/tembakau; untuk lahan kering adalah padi gogo-palawija; palawija-palawija;
atau hanya satu kali palawija (Tim Peneliti Fakultas Pertanian Unram, 2018) [29].
Sedangkan pada lahan kering tanaman tahunan umumnya adalah perkebunan rakyat
atau kebun campuran, seperti kopi, cengkeh, manga, kelapa, lada, pisang, jeruk, aren,
durian, manggis, jambu batu, kakao, Nangka, srikaya, anggur, dll. Komoditas tersebut
ditanam di sekitar pekarangan secara monokultur seperti di daerah Bayan, berupa kebun
jambu dan mangga (Tim Peneliti Fakultas Pertanian Unram, 2018) [29]. Secara umum,
14
luasan penggunaan lahan yang paling luas adalah hutan seluas 1.163.941,51 Ha dengan
proporsi 57,75% dan persawahan seluas 240.925,05 Ha dengan proporsi 11,95%,
sedangkan penggunaan lahan terkecil adalah pertambangan seluas 591, 96 Ha dengan
proporsi 0,03% (JDIH Provinsi NTB, 2013) [8].
3.2 Variabel Penelitian
Variabel penelitian yang digunakan kali ini dilakukan dengan
mempertimbangan faktor kunci dalam lingkungan dengan ekologi yang mencakup
ketersediaan makanan, air, tempat berlindung, dan tempat berkembang biak
(Margareta, R., dan Abdullah, M., 2008) [16]. Penurunan populasi burung walet
biasanya disebabkan oleh kombinasi berbagai faktor, misalnya tidak mengikuti kondisi
mikroklimat gua (Ibrahim, Teo, & Bahrun, 2009) dan ketersediaan pakan yang terbatas
diakibatkan oleh deforestasi yang diasosiasikan dengan ekspansi agrikultur dan
urbanisasi di Thailand wilayah bagian selatan (Chuangchang & Tongkumchum, 2014;
Prabnarong & Thongkao, 2006; Hakim, A., 2011) [1]. Variabel yang digunakan pada
kali ini adalah tutupan lahan, ketinggian, suhu, jarak dari sungai, dan jarak dari jalan
sesuai dengan pemodelan spasial Margareta dan Abdullah tahun 2008, namun kelas
variabel yang sesuai dan tidak sesuai dimodifikasi berdasarkan pernyataan para ahli,
hal ini disebabkan proses overlay yang tidak dijelaskan secara spesifik di dalam
penelitian. Berikut adalah ringkasan studi literatur:
1. Elevasi
Untuk variabel elevasi terdapat beberapa pendapat untuk kesesuaian lahan
habitat burung walet, yaitu kurang dari 500 mdpl (Sumiati, 1998); kurang dari 1.000
mdpl (Budiman, 2002); kurang dari 500 mdpl (Saepudin); < 1.000 mdpl (Arifin,; 0 –
500 (sangat sesuai), 501 – 1.000 (sesuai), > 1.000 mdpl (tidak sesuai) (Abdullah dan
Margareta, 2008). Sehingga, dari seluruh pernyataan ahli ini kelas ketinggian kurang
dari 1.000 mdpl dianggap sesuai untuk kehidupan burung walet, sedangkan di atas
1.000 mdpl tidak sesuai.
2. Tutupan Lahan
Kondisi tutupan lahan yang tepat bagi burung walet adalah area hutan,
pertanian, dan aliran sungai (Budiman, 2002); hutan, tanah kosong, pemukiman, sawah,
dan sungai (Arifin, 2011); pantai (Rahman, et al., 2018); lahan basah dan sawah
(Kishimoto Yamada dan Itioka, 2015); tanah basah, rawa, wilayah hutan, dan lahan
padi terbuka (Sanchex-Clavijo, Hearns, & Quintana-Ascencio, 2016); badan air, hutan,
dan lahan sawah padi; hutan (Manchi dan Sakaran, 2010); banyak pepohonan,
persawahan, dan rawa (Saepudin, 2006); Sawah dan tegalan, lahan basah, dan daerah
berhutan (Mardiastuti, 1998; dalam Margareta dan Abdullah, 2008); persawahan,
padang rumput, hutan terbuka, pantai, dan danau (Henmulia, 2008); rawa, hutan, dan
lahan padi terbuka (Petkliang, et al., 2017). Sehingga diketahui bahwa lahan yang
sesuai untuk kehidupan burung walet adalah hutan, pertanian, badan air, perkebunan,
tegalan, pantai, semak belukar, dan padang rumput. Sedangkan sisanya adalah tutupan
lahan yang lainnya tidak dapat mengakomodasi kehidupan burung walet.
3. Suhu
Suhu yang sesuai untuk kehidupan burung walet adalah sekitar 25oC – 29oC
(Saepudin, 2006); 26oC – 29oC (Budiman, 2006); 26oC – 35oC (Ibrahim, et al., 2009);
15
< 15oC – 25oC (sesuai/tidak sesuai [tidak dijelaskan]), 16oC – 25oC (sesuai/tidak sesuai
[tidak dijelaskan]), 26oC – 30oC (Margareta dan Abdullah, 2008); 27oC – 29oC (Sofwan
dan Winarso, 2005; dalam Ayuti, et al., 2016). Sehingga dapat diketahui bahwa suhu
yang paling tepat untuk kehidupan burung walet adalah pada rentang 25oC – 35oC
secara jelas, namun Ibrahim, et al. (2009) menyatakan bahwa suhu pada 38oC sudah
dapat menghancurkan telur burung walet. Sehingga, penulis membuat klasifikasi sesuai
dengan suhu 25oC – 30oC.
4. Jarak dari Sungai
Untuk variabel kehidupan burung walet ada yang menjelaskannya secara
spesifik dan secara kurang spesifik, yang spesifik adalah dalam radius 1.000 m
(sesuai/tidak sesuai [tidak dijelaskan]) dan 1.000 – 1.500 m (sesuai/tidak sesuai {tidak
dijelaskan}) (Margareta dan Abdullah, 2008); < 100 m dari sungai (Arifin dan
Rahayuningsih, 2012); < 1.000 (sesuai/tidak sesuai [tidak dijelaskan]) dan 1.000 –
2.500 m (sesuai/tidak sesuai [tidak dijelaskan]) (Rahayuningsih dan Abdullah, 2008).
Sedangkan pernyataan yang tidak spesifik menjelaskan bahwa daerah tepi sungai
dengan tumbuhan yang pendek sangat disukai walet, ia akan mencari makan, minum,
dan bermain (Marzuki, et al., 1999). Sehingga diketahui bahwa jarak dari sungai yang
paling sesuai adalah dalam radius < 1.000 m, sedangkan apabila lebih jauh dari 1.000
m tidak sesuai.
5. Jarak dari Jalan
Untuk variabel jarak dari jalan, berikut adalah pernyataan yang spesifik untuk
habitat burung walet, yaitu dalam radius 0 – 500 m (hasil penelitian Arifin dan
Rahayuningsih, 2020); < 100 m, 100 – 500 m, > 500 m (Margareta dan Abdullah, 2008);
< 100 m, 100 – 500 m, > 500 m (Arifin, 2011). Sedangkan pernyataan yang general
mengenai variabel jarak dari jalan adalah bahwa burung walet adalah burung yang
sensitif sehingga akan senderung memilih daerah yang tenang dan bebas polusi (Mulia,
2009). Sehingga diketahui bahwa kelas yang sesuai untuk kehidupan burung walet
adalah yang lebih dari 100 m.
3.3 Pengumpulan Data
Dalam penelitian pemodelan spasial kesesuaian lahan habitat bagi burung walet
dapat dilakukan dengan menggunakan overlay vektor, baik menggunakan union
maupun intersect. Data yang digunakan dalam penelitian ini adalah data sekunder, baik
berupa data studi literatur maupun data spasial dari berbagai instansi. Berikut adalah
jenis data beserta sumbernya:
Variabel
Elevasi
Tutupan Lahan
16
Jenis Data
Hasil Pengolahan
Digital Elevation
Model
Vektor/Shapefile
Tahun
2018
2017
Sumber
DEMNAS Badan
Informasi
Geospasial
Peta Rupabumi
Indonesia Tahun
2017 Badan
Informasi
Geospasial
Suhu
Raster Land Surface
Temperature hasil
pengolahan Citra
2019
Jarak dari Sungai
Hasil Pengolahan
data vektor/shapefile
2020
Jarak dari Jalan
Hasil Pengolahan
data vektor/shapefile
2020
Landsat 8
OLI/TIRS C1
Level-1 United
States Global
Survey Hasil
Pengolahan Citra
Landsat 8
path 114-row 166
(20 Oktober 2019),
path 115-row 166
(11 Oktober 2019),
dan path 116-row
166
(18 Oktober 2019).
USGS. Tahun
2019
Data Extracts Sub
Region Indonesia
oleh Open Street
Map
Data Extracts Sub
Region Indonesia
oleh Open Street
Map
Tabel 1. Jenis dan Sumber Data
3.4 Pengolahan Data
Untuk mengolah data yang sudah diperoleh, digunakan aplikasi ArcMap 10.7.1.
Menurut Bakosurtanal, SIG adalah kumpulan yang terorganisir dari perangkat keras
komputer, perangkat lunak, data geografi, dan personel yang didesain untuk
memperoleh, menyimpan, memperbaiki, memanipulasi, menganalisis, dan
menampilkan semua bentuk informasi yang bereferensi geografi (Tjahjono, H., 2007)
[33]. SIG dapat dimanfaatkan untuk membantu proses overlay, karena lapisan data
dapat diintegrasikan secara numerik dan menawarkan berbagai kemungkinan, jumlah
data yang disediakan juga lebih banyak dan logika yang diterapkan juga lebih lebar
(Ahiqvist, Q., 2009) [23].
Untuk melakukan analisis overlay dalam SIG, biasanya data digital akan
direpresentasikan dalam bentuk data raster atau data vektor (Ahiqvist, Q., 2009) [23].
Kemudian, keduanya di geocoding hingga menghasilkan skala, sistem koordinat, dan
proyeksi yang sama (Ahiqvist, Q., 2009) [23]. Sehingga pertama-tama seluruh data
spasial diproyeksikan dulu agar memiliki sistem koordinat dan proyeksi yang sama.
Pada kali ini seluruh data ditransformasikan agar memiliki sistem koordinat geografi
WGS CGS 1984. Kemudian langkah yang kedua untuk data DEMNAS yang akan
digunakan untuk memperoleh data ketinggian adalah melakukan mosaic dan
membentuk dataset raster baru (Dyatmika, H. S., dan Fibriawati, L., 2017) [34]. Mosaic
citra adalah penyatuan dari citra yang saling bertampalan sehingga penyatuan citra tidak
memiliki batas pada wilayah transisi dan menangani tampilan dari citra mentah (Su, et
al., 2004; Dyatmika, H. S., dan Fibriawati, L., 2017) [34]. Yang perlu diperhatikan saat
17
ingin melakukan mosaic adalah harus bebas awan (Dyatmika, H. S., dan Fibriawati, L.,
2017) [34]. Namun, hal ini hanya dapat ditoleransi dengan kondisi yang sama, sehingga
harus dipilih dalam satu tahun yang sama (Dyatmika, H. S., dan Fibriawati, L., 2017)
[34]. Sehingga penulis meminimalkan persentase awan hingga 2% untuk 2 citra Pulau
Sumbawa dan persentase awan 9% untuk Pulau Lombok. Keduanya sudah dalam
kondisi yang paling minimal untuk persentase awan masing-masing pulau serta untuk
pulau-pulau kecil di sekitarnya.
Lalu, dilakukan extract by mask agar sesuai dengan batas administrasi Provinsi
Nusa Tenggara Barat. Setelah itu, dilakukan reclassify sesuai dengan kelas ketinggian.
Reclassify adalah operasi geoprocessing yang digunakan untuk mengklasifikasikan
data raster yang kemudian dikonversikan menjadi data raster dengan atribut nominal
dalam spatial analyst tool (Wayne, C., 2003) [35]. Sebenarnya dapat juga dilakukan
reclassify dengan mempertimbangkan parameter lain, dengan raster overlay, namun
karena penulis menggunakan query maka digunakan reclassify sederhana (Wayne, C.,
2003) [35].
Sedangkan untuk data vektor tutupan lahan yang diperoleh dari Peta Rupabumi
Indonesia Badan Informasi Geospasial Tahun 2017, dilakukan klasifikasi lebih lanjut,
dimodifikasi sesuai dengan tutupan lahan yang sesuai untuk burung walet. Sedangkan
untuk data vektor jalan dan sungai dari Open Street Map, dilakukan clip sesuai dengan
batas administrasi dari BIG, lalu dibuatkan multiple ring buffer untuk mengetahui
wilayah yang sesuai sesuai radius dari jalan dan sungai. Kelas pertama dari multiple
ring buffer disesuaikan dengan kelas habitat yang sesuai untuk burung walet, sedangkan
kelas yang kedua dilakukan semaksimal mungkin agar menutupi seluruh wilayah Nusa
Tenggara Barat. Kemudian dilakukan kembali operasi ekstraksi clip agar sesuai dengan
batas administrasi Nusa Tenggara Barat.
Sedangkan untuk pemerolehan data suhu yang diturunkan dari land surface
temperature dapat diturunkan dari nilai digital satelit Landsat 8. Land Surface
Temperature sendiri didefinisikan sebagai temperatur radiasi efektif permukaan bumi
yang mengontrol panas permukaan dan pertukaran air dalam atmosfer (Yuan dan
Bauer, 2007; Khandelwal, et al., 2018) [41]. Urbanisasi merupakan faktor utama yang
menyebabkan perubahan land cover, karena perubahan LST dapat mengganggu habitat
bagi manusia dan anggota ekosistem lainnya (Khandelwal, et al., 2018) [41].
Termometer inframerah mendeteksi informasi mengenai temperatur dari energi
inframerah yang diradiasikan oleh benda, yang kemudian dibaca oleh unit elektronik
yang menerjemahkannya ke dalam kode yang ditampilkan di layar komputer. Citra
Landsat 8 kemudian diproses dengan persamaan-persamaan algoritma, di mana saluran
ke-10 yang digunakan. Karena citra ini sudah terkoreksi, maka yang dilakukan pertama
kali adalah dengan melakukan koreksi radiometrik dengan mengkonversikan nilai
digital citra yang berbasis satelit menjadi sensor spectral radiance (Lλ). Dengan rumus:
Lλ = MLQ + AL…...……………….…………..(1)
Sehingga,
0.010078 * "ExtractB4.tif" + (-50.38974)
0.0061672 * "ExtractB5.tif" + (-30.83601)
18
0.0003342 * "ExtractB10.tif" + 0.1
ML
= Faktor pengali spesifik saluran 10 dari metadata
Qcal
= Standar produk nilai piksel (DN) yang terhitung dan terkalibrasi
AL
= Faktor penjumlah spesifik saluran 10 dari metadata
Kemudian saluran inframerah termal dikonversikan menjadi temperatur
kecerahan dengan menggunakan metadata dengan persamaan,
BT =
𝐾1
ln[(
𝐾1
)+1]
πΏπœ†
− 273,15.…………………………(2)
Sehingga,
(1321.0789 / Ln((774.853 / "ToARad_Band10.tif") + 1)) - 273.15
K1
= Inframerah termal (TIRS) saluran ke-10
Kemudian, untuk mendapatkan hasil dalam satuan Celcius (Co) dibutuhkan
dengan disaring dengan menggunakan nol absolut yang sekitar -273,15 (Salih, et al.,
2018) [36]. NDVI juga penting untuk mengidentifikasikan tipe tutupan lahan dari
wilayah penelitian, nilai ini memiliki rentang dari -1 hingga +1 (Salih, et al., 2018) [36].
NDVI dihitung per piksel sebagai perbedaan ternormalisasi antara saluran merah
(Panjang gelombang 0,636 – 0,673 μm) dan inframerah dekat (0,851 – 0,879 μm)
menggunakan persamaan berikut (Salih, et al., 2018) [36],
NDVI =
(Saluran inframerah dekat−Saluran merah)
…………………(3)
(Saluran inframerah dekat+Saluran merah)
Saluran inframerah dekat
= nilai piksel inframerah
Saluran merah
= nilai piksel merah
Sehingga,
(Float("ToARad_Band5.tif") - Float("ToARad_Band4.tif")) /
(Float("ToARad_Band5.tif") + Float("ToARad_Band4.tif"))
Dari nilai NDVI, dihitung vegetasi proporsional (Pv), hal ini memberikan
estimasi wilayah di bawah tipe tiap tutupan lahan. Proporsi vegetasi dan tanah
didapatkan dari piksel murni NDVI,
𝑃𝑣 = (
𝑁𝐷𝑉𝐼−𝑁𝐷𝑉𝐼
𝑁𝐷𝑉𝐼𝑉 −𝑁𝐷𝑉𝐼𝑆
)2………………………………..…(4)
Sehingga,
Square(("NDVI.tif" + 0.812155) / (0.763434 + 0.812155))
Perlu dilakukan perhitungan emisivitas permukaan tanah (LSE) untuk
mengestimasi LST, untuk mendeskripsikan kemampuan penyerapan permukaan dalam
spektrum radiasi gelombang panjang (Salih, et al., 2018) [36]. LSE dangat bergantung
kepada lapisan permukaan, seperti tipe tanah, kekasaran permukaan, dan tutupan
vegetasi (Salih, et al., 2018) [36]. Nilai Pv yang didapatkan dimungkinkan ada yang
19
bernilai negative, sehingga perlu disesuaikan agar nilainya menjadi positif, dengan
mengkuadratkannya (Kalinda, I. O. P., Sasmito, B., dan Sukmono, A., 2018) [37].
Sehingga untuk mendapatkan LSE, digunakan persamaan,
NDVI < NDVIS
εsλ
ε = {εsλ 𝑃𝑉 + εsλ (1 − 𝑃𝑉 ) + 𝐢λ
εsλ + 𝐢λ
NDVIS ≤ NDVI ≤ NDVIV
………....(5)
NDVI > NDVIV
Karena emisivitas bergantung pada panjang gelombang, NDVI dapat digunakan untuk
mengestimasi emisivitas permukaan tanah yang berbeda-beda. Maka,
ε = εvλ.Pv + εsλ.(1 – Pv) + Cλ………………………………..(6)
Sehingga,
(0.984 * "Pv.tif") + (0.964 * (1 - "Pv.tif")) + 0.009
ε
= emisivitas permukaan tanah
εvλ
= emisivitas tanah
εsλ
= emisivitas vegetasi
PV
= proporsi vegetasi
Cλ
= kekasaran permukaan dengan nilai konstan 0,009
Tahap yang terakhir adalah untuk menghitung suhu permukaan tanah dengan
menggunakan persamaan,
𝐿𝑆𝑇 =
𝐡𝑇
[1+{(
…………………………...……..(7)
λBT
)𝑙𝑛ελ
𝜌
Sehingga,
"bt_band10" / (1 +(((10.9 * "bt_band10") / 14380) * Ln("LSE.tif")))
BT
= temperatur kecerahan dalam Celcius (Co)
λ
= Panjang gelombang saluran ke-10 (10.6 – 11.2 µm sehingga 10.9 µm)
ελ
= emisivitas dari persamaan 5
ρ
= h x σ (1,438 x 10-2) mk, σ merupakan konstanta Plank (1,38 x 10-23)
c
= kecepatan cahaya (3 x 108 m/s)
𝑐
Kemudian dilakukan reclassify pada data raster LST band 10 sesuai dengan
kelas yang sesuai dan tidak sesuai yang difusikan dari berbagai pernyataan para ahli.
Band 10 digunakan karena merupakan saluran TIR (Thermal Infrared) sehingga dapat
“melihat” kalor yang kemudian dikonversikan menjadi temperatur (Galvin, J. F. P.,
2009) [38]. Setelah itu kemudian seluruh data vektor diberikan field baru yang bernama
20
kesesuaian, dengan label 1 tidak sesuai dan 2 sesuai. Setelah seluruh lapisan sudah siap,
Vector overlay dilakukan dengan tahap melakukan union maupun intersect, hal ini
dilakukan untuk meminimalisasi adanya kelas kesesuaian yang kosong.
Variabel
Elevasi
21
Kelas Kesesuaian
Sesuai
Tidak Sesuai
≤ 1.000 m
> 1.000 m
Tutupan Lahan
Hutan, Sawah,
Badan Air, Kebun,
Tegalan,
Pantai,Semak
Belukar, dan Padang
Rumput
Pemukiman,
Industri, Tanah
kosong gundul
Suhu
25oC – 30oC
< 25oC
> 30oC
Keterangan
Burung Walet
merupakan burung
yang akan
menempati
wilayah dengan
ketinggian
maksimal 1.000
mdpl karena suhu
di atas ketinggian
lebih dari 1.000 m
rendah.
Burung walet
adalah insektivora
yang memakan
Hymenoptera,
Diptera, dan
Hemiptera.
Biasanya ia banyak
muncul pada
musim hujan pada
area yang kering,
sedangkan di
perkotaan tropis ia
sering muncul saat
terjadi purnama. Ia
banyak tinggal dan
berkembang biak
di gua maupun
hutan. Kehidupan
perkotaan dapat
menghancurkan
kehidupan
serangga utama
pakan burung
walet.
Burung walet tidak
dapat hidup pada
suhu yang sangat
rendah karena
terasosiasi dengan
kelembaban yang
rendah, hal ini
dapat
menghancurkan
sarang walet yang
terbuat dari air liur,
tekanan tinggi
pada suhu rendah
juga dapat
mempengaruhi
kesehatan anakan
walet. Sedangkan
suhu yang sangat
tinggi tidak
nyaman bagi
burung walet dan
menghancurkan
telur walet.
Jarak dari Sungai
≤ 1.000 m
> 1.000 m
Tepian sungai
yang memiliki
tumbuhan rendah
sangat disukai
walet sebagai
tempat mencari
makan, minum,
dan bermain.
Jarak dari Jalan
≥ 100 m
< 100 m
Burung walet
adalah burung
yang sensitif
sehingga ia harus
mencari suasana
yang tenang dan
tidak berpolusi,
kehidupan
perkotaan dapat
mengurangi
sumber pakan
utamanya.
Tabel 2. Kelas Kesesuaian Lahan Habitat Burung Walet
(Dimodifikasi dari Margareta, R., dan Abdullah, M., 2008; Semarang: Universitas Negeri
Semarang)
3.5 Analisis Data
22
Gambar 2. Model Builder Pengolahan Data
Dalam penelitian ini digunakan vector overlay untuk mendapatkan wilayah
yang sesuai dan tidak sesuai bagi habitat burung walet. Pertama-tama dilakukan union
antara buffer sungai dan buffer jalan, karena keduanya memiliki luasan yang sama dan
tidak memungkinkan memiliki kekosongan ruang/gap. Dibuktikan dengan percobaan
union sebelumnya, yang tidak memiliki nilai kosong hanya data suhu, buffer jalan, dan
buffer sungai. Selanjutnya, hasil union dilakukan intersect dengan shapefile suhu,
karena ketika suhu di-union dengan shapefile tutupan lahan dan ketinggian, selalu lebih
sedikit polygon yang memiliki null values. Kemudian setelah itu dilakukan intersect
dengan shapefile tutupan lahan, karena ketika shapefile tutupan lahan di-union dengan
shapefile ketinggian, memiliki lebih sedikit polygon yang memiliki null values.
Kemudian yang terakhir dilakukan intersect dengan shapefile ketinggian.
Berikut adalah tabel alasan melakukan urutan intersect:
Shapefile Intersect
Jumlah null values fitur pertama Jumlah null values fitur kedua
Suhu – tutupan lahan
2.787
4.647
Tutupan
lahan
–
458
2.784
ketinggian
Ketinggian – suhu
4.644
457
Tabel 3. Jumlah null values masing-masing proses union
Selanjutnya dilakukan query terhadap tabel atribut dengan select kemudian
menambahkan variabel dan parameter yang sesuai dengan matriks kesesuaian berikut,
Kelas
Elevasi
Sesuai ≤ 1.000 m
23
Tutupan Lahan
Suhu
Jarak dari Sungai
Hutan, Sawah,
Badan Air,
Kebun, Tegalan,
Pantai,Semak
Belukar, dan
Padang Rumput
25oC –
30oC
≤ 1.000 m
Jarak
dari
Jalan
≥ 100 m
Tidak > 1.000 m
Sesuai
Sumb
er
Budiman.
A. 2002.
Pedoman
Membang
un
Gedung
Walet.
Jakarta:
Agro
Media
Pustaka.
Pemukiman,
Tanah kosong
gundul
Budiman. A.
2002. Pedoman
Membangun
Gedung Walet.
Jakarta: Agro
Media
Pustaka.
Rahman, M. A.,
Ghazali, P. L.,
dan Lian, C. J.
ENVIRONMENT
AL
PARAMETERS
IN
SUCCESSFUL
EDIBLE BIRD
NEST
SWIFTLET
HOUSES IN
TERENGGANU.
Journal of
Sustainability
Science and
Management,
Vol. 13, No. 1.
Terengganu:
Penerbit UMT.
Sanchez-Clavijo,
L. M., Hearns, J.,
QuintanaAscencio, P. F.
(2016) Modeling
the effect of
habitat selection
mechanisms on
population
responses to
landscape
structure.
Ecological
Modelling 328:
99–107.
Mulia, H. 2009.
Buku Pintar
Budidaya dan
Bisnis Walet.
24
< 25oC
> 30oC
> 1.000 m
< 100 m
Saepudin,
R. (2006).
Studi
Habitat
Makro
Burung
Walet
(Collocali
a sp). Di
Kota
Bengkulu.
Jurnal
Sains
Peternaka
n
Indonesia,
Vol. 1,
No. 1.
Bengkulu:
Universita
s
Bengkulu.
Ibrahim,
S. h., Teo.
W. C., dan
Baharun,
A. A
Study on
Suitable
Habitat
for
Swiftlet
Farming.
UNIMAS
e-Journal
of Civil
Engineeri
ng, Vol. 1.
Samaraha
n:
Universiti
Malaysia
Sarawak.
Margareta, R.,
dan Abdullah,
M., (2008).
PEMODELAN
SPASIAL
HABITAT
BURUNG
WALET
SARANG
PUTIH
(COLLOCALIA
FUCIPHAGA)
DENGAN
MENGGUNAK
AN SIG
(SISTEM
INFORMASI
GEOGRAFIS)
DALAM
UPAYA
PENGEMBANG
AN BUDIDAYA
SARANG
WALET DI
JAWA
TENGAH
(STUDI KASUS
KABUPATEN
GROBOGAN
DAN
KABUPATEN
SEMARANG).
Semarang:
Universitas
Negeri
Semarang.
Mulia, H.
2009.
Buku
Pintar
Budiday
a dan
Bisnis
Walet.
Jakarta:
Agromed
ia
Pustaka.
Jakarta: Agromedia
Pustaka.
Tabel 4. Matriks Kesesuaian
25
BAB IV
HASIL DAN PEMBAHASAN
4.1 Hasil Pengolahan Data
Gambar 3. Peta Ketinggian Provinsi Nusa Tenggara Barat Tahun 2020 (Sumber:
Hasil Pengolahan Digital Elevation Model Nasional. BIG. tahun 2018)
Dari peta ketinggian, diketahui bahwa ketinggian yang sesuai untuk burung
walet di Provinsi Nusa Tenggara Barat cukup luas, mulai dari Kota Mataram,
Kabupaten Lombok Barat, Kabupaten Lombok Tengah, Kabupaten Sumbawa Barat,
Kota Bima, dan Kota Dompu. Sedangkan untuk yang tidak sesuai adalah yang berada
di wilayah pegunungan. Terdapat dua gunung yang paling mempengaruhi
ketidaksesuaian habitat burung walet, yaitu adalah Gunung Rinjani yang memiliki
elevasi maksimum 3.726 di Pulau Lombok dan Gunung Tambora yang memiliki elevasi
maksimum 2.851 m di Pulau Sumbawa (JDIH Provinsi NTB, 2013) [8]. Hal ini tidak
sesuai karena syarat kehidupan burung walet adalah iklim tropis dan daerah yang basah
(Arifin, M. S., Rahayuningsih, M., dan Ngabekti, S., 2012) [13].
Pegunungan di wilayah tropis memiliki suhu yang cukup fluktuatif, pada siang
hari suhu sedang, namun pada malam hari, suhunya dapat melewati ambang batas beku
di ketinggian lebih dari 3.000 m (Galvin, J. F. P., 2009) [38]. Hasilnya pembekuan
merusak pohon-pohon, biasanya tumbuhan yang berdaun tajam yang tinggal di daerah
ini (Galvin, J. F. P., 2009) [38]. Selain itu, kondisinya cukup kering karena jarang
terjadi hujan, terjadi stress pada pohon-pohon yang tidak dapat beradaptasi pada lereng
yang curam, tanah tipis, dan terkadang suhu yang dingin (Galvin, J. F. P., 2009) [38].
Sedangkan serangga, bakteri, dan fungi berkembang pada lingkungan lembab dan suhu
yang tinggi (Galvin, J. F. P., 2009) [38]. Sedangkan pakan utama burung walet adalah
26
berbagai serangga yang biasanya muncul di musim hujan (Fukui, et al., 2003;
Petkliang, et al., 2017) dengan karakteristik lahan yang basah (Sanchex-Clavijo,
Hearns, dan Quintana-Ascencio., 2016; Arifin, M. S., dan Rahayuningsih, M., 2012)
[13].
Gambar 4. Peta Tutupan Lahan Provinsi Nusa Tenggara Barat Tahun 2020 (Sumber:
Peta Rupabumi Indonesia. BIG. Skala 1:25.000. Tahun 2017)
Sebenarnya pada Peta Rupabumi Indonesia skala 1:25.000 pada Tahun 2017
dicantumkan penggunaan lahan, namun, dari penggunaan lahan tersebut dikonversi
menjadi tutupan lahan agar sesuai dengan pengkelasan yang telah dipaparkan para ahli.
Sehingga, dari tutupan lahan Provinsi Nusa Tenggara Timur diketahui bahwa yang
paling memengaruhi kesesuaian adalah kondisi hutan yang begitu luas, yaitu mencapai
716.644 Ha dan hutan rakyat seluas 127.681 Ha pada tahun 2017 (BPS Provinsi NTB,
2017) [39]. kemudian, diikuti dengan tegalan dengan luas 235.550 Ha 2017 (BPS
Provinsi NTB, 2017) [39].
Tutupan lahan pemukiman adalah yang paling mempengaruhi kondisi
ketidaksesuaian lahan dibandingkan dengan tanah kosong. Hal ini disebabkan karena
pemukiman memiliki banyak bising antropogenik dari berbagai aktivitasnya, misalnya
adalah suara dari jalan tol yang mencapai 97 dB, konstruksi bangunan mencapai 93 dB,
bor dan pile driver mencapai 125 dB, dan yang paling parah adalah ledakan yang
minimal mencapai 140 dB (Dooling, R. J., dan Popper, A. N., 2007) [40]. Padahal,
habitat walet yang paling baik hanya 40 dB untuk bersarang, dan 60 dB – 80 dB untuk
lingkungan eksternal (Ibrahim, et al., 2009; Rahman, M. A., Ghazali, P., dan Lian, C.
J., 2018) [20]. Wilayah perkotaan memiliki tingkat bising 83,7 dB, pantai 64 dB, dan
wilayah terpencil 47 dB (Rahman, M. A., Ghazali, P., dan Lian, C. J., 2018) [20]. Dari
peta diketahui bahwa tutupan lahan yang mendominasi lebih banyak masih sesuai, dan
27
ada pada setiap kabupaten/kota yang ada di Provinsi Nusa Tenggara Barat. Adapun
pemukiman terlihat sedikit pada wilayah Lombok Barat dan Kota Mataram. Selain itu,
tutupan lahan yang memiliki struktur vegetasi yang padat dapat menjadi habitat yang
paling baik (Cody, 1981; Petkliang, et al., 2017) [2]. Frekuensi burung walet mencari
makan pada habitat perkotaan jarang, kecuali pada bulan purnama (Perkin, Holker, dan
Tockner., 2013; Petkliang, et al., 2017) [2].
Gambar 5. Peta Suhu Provinsi Nusa Tenggara Barat Tahun 2020 (Sumber: Hasil
Pengolahan Citra Landsat 8 band 10 path 114-row 166, path 115-row 166, path 114row 166, dan path 116-row 166. USGS. Tahun 2019)
Selanjutnya adalah hasil dari peta suhu yang diperoleh dengan menggunakan
pendekatan LST. Diketahui bahwa suhu yang paling cocok untuk habitat burung walet
adalah suhu yang tidak terlalu dingin dan suhu yang tidak terlalu panas (Arifin, M. S.,
2011) [6]. Suhu yang terlalu tinggi akan menyebabkan produktivitas sarang yang tidak
baik, dan suhu yang terlalu dingin tidak baik untuk perkembangbiakan burung walet
(Arifin, M. S., 2011) [6]. Selain itu, udara yang panas pada siang hari juga dapat
menyebabkan tidak keluarnya serangga (Hakim, A., 2011) [1]. Kemudian, suhu yang
tinggi juga dapat merusak telur burung walet dan suhu terlalu dingin juga dapat
mengeringkan sarang burung walet karena terbuat dari air liur (Ibrahim, S. H., Teo, W.
C., dan Baharun, A., 2009; Ibrahim, S. h., Teo. W. C., dan Baharun, A, 2009) [5].
Sehingga, karena suhu yang terlalu panas dan terlalu dingin tidak mendukung
kehidupan burung walet, maka wilayah suhu/isoterm yang sesuai untuk kehidupan
burung walet adalah 25oC – 30oC karena sesuai dengan suhu gua. Suhu gua berkisar
antara 26oC – 30oC (Ibrahim, S. H., Teo, W. C., dan Baharun, A., 2009) [5]
28
Dari peta diketahui bahwa kabupaten kota yang banyak memiliki kesesuaian
dengan habitat burung walet terkonsentrasi pada Kabupaten Bima, Kabupaten Lombok
Utara, Kabupaten Lombok Tengah, Kabupaten Lombok Barat, Kota Mataram,
Lombok Timur, Kabupaten Sumbawa, Kabupaten Sumbawa Barat, dan Kabupaten
Dompu. sedangkan yang tidak sesuai sama sekali adalah Kota Bima.
Gambar 6. Peta Penyangga Sungai Provinsi Nusa Tenggara Barat Tahun 2020
(Sumber: Data Extracts Sub Region Indonesia. Open Street Map. Tahun 2020)
Selanjutnya adalah hasil dari peta penyangga sungai, kelas yang sesuai adalah
yang lebih dekat dengan sungai atau sumber air. Hal ini disebabkan karena air
merupakan faktor yang paling penting dalam kehidupan burung walet (Margareta, R.,
dan Abdullah, M., 2008) [16]. Biomassa serangga lebih tinggi secara signifikan di atas
badan air dan memiliki hubungan dengan frekuensi burung walet mencari makan
(Petkliang, et al., 2017) [2]. Apalagi apabila riparian area badan air tersebut dilengkapi
dengan vegetasi hijau yang padat, dapat menjadi habitat yang memiliki kualitas tinggi
dalam jangka waktu lama (Watanabe, Ito, dan Takahashi., 2014; Petkliang, et al., 2017)
[2].
Dari peta diketahui bahwa wilayah penyangga sungai yang memenuhi banyak
di Pulau Lombok karena banyaknya DAS di sekitar Gunung Rinjani. Sedangkan
Gunung Tambora memiliki lebih sedikit sungai, sehingga wilayah di sekitarnya sedikit
memiliki jaringan sungai. Sehingga apabila ditinjau hanya melalui jaringan sungai,
maka diketahui bahwa wilayah seperti Kabupaten Sumbawa Barat, Kabupaten
Sumbawa, Kabupaten Bima bagian barat memiliki banyak wilayah yang tidak sesuai
dibandingkan dengan wilayah-wilayah administrasi lainnya.
29
Gambar 7. Peta Penyangga Jalan Provinsi Nusa Tenggara Barat Tahun 2020
(Sumber: Peta Rupabumi Indonesia. BIG. Skala 1:25.000. Tahun 2017)
Burung walet tidak menyukai kebisingan, terutama dengan suara kendaraan.
Sehingga burung walet memilih habitat yang sedikit lebih jauh dari kebisingan
kendaraan. Habitat mikro burung walet yang palign sesuai adalah yang tenang, aman,
tersembunyi, dan tidak terganggu predator (Hakim, A., 2011) [1]. Burung lebih mudah
untuk mengalami kehilangan pendengaran dibandingkan mamalia (Dooling, R. J., dan
Popper, A. N., 2007) [40]. Walaupun mungkin suara kendaraan tidak membuat burung
kehilangan pendengaran, namun suara konstruksi bangunan membuatnya kehilangan
pendengaran (Dooling, R. J., dan Popper, A. N., 2007) [40]. Sehingga polusi suara dan
polusi udara membuatnya menghindar (Arifin, M. S., 2011) [6].
Dari peta diketahui bahwa apabila dipertimbangkan dari wilayah penyangga
jalan, burung walet mungkin akan menjadikan Kabupaten Sumbawa, Kabupaten
Sumbawa Barat, Kabupaten Bima, dan Kabupaten Dompu sebagai habitatnya.
Sedangkan pada wilayah lainnya, mungkin ia akan menghindar.
30
4.2 Hasil Analisis Overlay
Gambar 8. Peta Kesesuaian Lahan Habitat Burung Walet Provinsi Nusa Tenggara
Barat Tahun 2020 (Sumber: Hasil overlay peta elevasi, tutupan lahan, suhu,
penyangga sungai, dan penyangga jalan)
Dari peta hasil kesesuaian lahan habitat burung walet di Provinsi Nusa Tenggara
Barat tahun 2020, diketahui bahwa hampir seluruh kabupaten memiliki wilayah yang
sesuai sebagai tempat hidup burung walet. yang paling banyak terlihat adalah
Kabupaten Lombok Utara, Lombok Timur, Lombok Barat, Lombok Tengah, Sumbawa
Barat, Sumbawa, dan Kabupaten Bima. Sedangkan untuk wilayah yang tidak sesuai,
terdapat sedikit di Kabupaten Lombok Timur mengikuti topografi ketinggian di
Lombok Timur yang memiliki elevasi tinggi, yaitu Gunung Rinjani. hanya sangat kecil
terbentuk sehingga jarang terlihat. Hal ini mungkin disebabkan oleh adanya sedikit
awan pada citra Landsat 8 path 114-row 66. Namun di wilayah tersebut justru terlihat
wilayah yang tidak sesuai untuk habitat burung walet, karena pada awan-awan tersebut
ditunjukkan suhu yang rendah, awan akan menyebabkan LST menjadi lebih rendah
(Zhang, X., Pang, J., dan Li, L., 2015) [44]. sehingga memang tidak ada wilayah yang
tidak sesuai dengan menggunakan keseluruhan parameter dengan jumlah yang cukup
signifikan, karena fitur geografisnya cukup mendukung.
31
4.3 Persentase Luas Masing-Masing Kelas Kesesuaian
Luasan masing-masing Kelas Kesesuaian
Lahan Habitat Burung Walet di Provinsi
NTB Tahun 2020 (Ha)
Tidak Sesuai;
1,973035831
Sesuai
Sesuai;
173851,2446712
9500
Tidak Sesuai
Gambar 9. Grafik Perbandingan Luasan Masing-Masing Kelas Kesesuaian Lahan
Habitat Burung Walet di Provinsi Nusa Tenggara Barat Tahun 2020 (Sumber: Hasil
pengolahan data atribut Peta Kesesuaian Lahan Habitat Burung Walet di Provinsi
Nusa Tenggara Barat Tahun 2020)
Dari grafik wilayah kesesuaian, diketahui bahwa proporsi luas wilayah yang
sesuai dalam kelas wilayah kesesuaian lebih besar daripada yang tidak sesuai. wilayah
ini diketahui lebih besar karena disebabkan karena memang banyak terdapat jaringan
sungai di NTB. Panjang jalan tertinggi terdapat di Kota Lombok Timur sepanjang
1018,84 km dengan proporsi terhadap panjang seluruh jalan 18,13% (BPS Provinsi
NTB, 2019) [42]. Begitu pula dengan elevasi yang lebih banyak pada kriteria wilayah
yang sesuai untuk habitat burung walet, wilayah yang tidak sesuai hanya berada pada
wilayah pegunungan. Untuk suhu pada bulan Oktober 2019 (pemindaian citra)
cenderung cocok untuk wilayah habitat yang sesuai bagi burung walet, yaitu paling luas
berada pada suhu 25oC – 30oC. Dan untuk tutupan lahan di wilayah Provinsi NTB,
wilayah yang sesuai cukup luas karenanya, misalnya adalah hutan.
Kelas Kesesuaian
Sesuai
Tidak Sesuai
Luas (Ha)
173851,244671295
1,973035831
Persentase (%)
99,99886511
0,001134886
Tabel 5. Tabel Persentase Luasan Wilayah Kesesuaian Lahan Habitat Burung Walet di
Provinsi NTB (Sumber: Pengolahan Data Kesesuaian Lahan Habitat Burung Walet Provinsi
Nusa Tenggara Barat Tahun 2020)
Sedangkan untuk wilayah tidak sesuai memiliki proporsi yang sedikit terhadap
luas kesesuaian lahan habitat secara keseluruhan. Hal ini dikarenakan jarang sekali
apabila wilayah yang tidak sesuai ditinjau dari tumpang tindih antara parameter yang
sama-sama berada pada wilayah tidak sesuai. Yang sangat mempengaruhi adalah
elevasi, karena hanya memiliki wilayah tidak sesuai sangat kecil. Selain itu, ketika
dilakukan penelusuran terhadap shapefile variabel ketinggian terdapat 2.586 poligon
yang tidak sesuai, tutupan lahan 11.770 poligon, jalan 38.582 poligon, sungai 34.256
poligon, suhu 57.761 poligon. Sedangkan diketahui bahwa jalan yang tidak sesuai,
32
yakni wilayah penyangga kurang dari 100 m jarang terdapat di ketinggian lebih dari
1.000 m, begitu pula dengan pemukiman. Karena dari pandangan determinisme,
lingkungan fisik dapat menentukan tipe pemukiman, perdagangan, budaya, gaya
berpakaian, agrikultur, dll (Ayichew, F. K., 2014) [43]. Hal ini terjadi ketika paham
determinisme diaplikasikan ke studi kasus pada kali ini (Ayichew, F. K., 2014) [43].
Sehingga sulit ditemukan wilayah yang tidak sesuai dalam variabel-variabel yang
digunakan kali ini untuk bertampalan satu sama lain.
Persentase Luasan masing-masing Kelas
Kesesuaian Lahan Habitat Burung Walet di
Provinsi NTB Tahun 2020
0.001135%
Sesuai
99.998865%
Tidak Sesuai
Gambar 10. Grafik Perbandingan Persentase Luasan Masing-Masing Kelas
Kesesuaian Lahan Habitat Burung Walet di Provinsi Nusa Tenggara Barat Tahun
2020 (Sumber: Hasil pengolahan data atribut Peta Kesesuaian Lahan Habitat Burung
Walet di Provinsi Nusa Tenggara Barat Tahun 2020)
Dari grafik persentase luasan sesuai dan tidak sesuai diketahui bahwa wilayah
yang sesuai lebih mendominasi dalam wilayah kelas kesesuaian lahan habitat burung
walet di Provinsi NTB, sama dengan grafik sebelumnya. Sedangkan apabila ditinjau
dari wilayah Provinsi NTB secara keseluruhan, wilayah yang sesuai memiliki luasan
sekitar 8,432% dan yang tidak sesuai adalah 0,0001%. Proporsi ini cukup kecil karena
disebabkan oleh penggundulan hutan yang terus terjadi. Sehingga, proporsi ini dapat
digunakan ke depannya untuk pengembangan budidaya maupun konservasi burung
walet.
33
BAB V
KESIMPULAN
Habitat burung walet di Provinsi Nusa Tenggara Barat masih memiliki proporsi
yang cukup. Habitat yang sesuai terdapat pada bagian timur dari Provinsi Nusa
Tenggara Barat, yaitu Pulau Lombok dan bagian timur Pulau Sumbawa. Wilayah sesuai
terbentuk karena wilayah-wilayah ini dapat menyediakan pakan berupa serangga,
tempat berlindung yang nyaman, dan tempat tumbuh dan berkembang dengan suhu
yang optimum. Metode overlay vektor dalam sistem informasi geografis dapat
digunakan sebagai alat untuk memodelkan wilayah kesesuaian lahan habitat.
34
DAFTAR PUSTAKA
[1] Hakim, A. (2011). KARAKTERISTIK LINGKUNGAN RUMAH DAN
PRODUKSI SARANG BURUNG WALET (Collocalia fuciphaga) DI KECAMATAN
HAURGEULIS, KABUPATEN INDRAMAYU, JAWA BARAT. Skripsi. Bogor:
Institut Pertanian Bogor.
[2] Petkliang, et al. (2017). Wetland, Forest, and Open Paddy Land Arethe Key
Foraging Habitats for Germain’s Swiftlet (Aerodramus inexpectatus germani)in
Southern Thailand. Tropical Conservation Science, Vol. 10, hlm. 1 – 12. New York:
SAGE Publishing.
[3] Saepudin, R. (2006). Studi Habitat Makro Burung Walet (Collocalia sp). Di Kota
Bengkulu. Jurnal Sains Peternakan Indonesia, Vol. 1, No. 1. Bengkulu: Universitas
Bengkulu.
[4] Kementan Ajak Pemprov NTB Ekspor Langsung Produk Pertanian asal Lombok.
https://www.pertanian.go.id/home/?show=news&act=view&id=3722, diakses pada 4
Mei 2020.
[5] Ibrahim, S. h., Teo. W. C., dan Baharun, A. (2009) A Study on Suitable Habitat for
Swiftlet Farming. UNIMAS e-Journal of Civil Engineering, Vol. 1. Samarahan:
Universiti Malaysia Sarawak.
[6] Arifin, M. S. (2011). DISTRIBUSI RUMAH WALET (Collocalia sp) DI
KABUPATEN GROBOGAN. Skripsi. Semarang: Universitas Negeri Semarang.
[7] Chuong, H. V. (2019). LAND SUITABILITY ANALYSIS AND EVALUATION
FOR PRODUCTION OF FRUIT TREES USING GIS TECHNOLOGY: A case study
at Thua Thien HuαΊΏ. HuαΊΏ: HuαΊΏ University.
[8] Jaringan Dokumentasi dan Informasi Hukum. (2013). BAB II: GAMBARAN
UMUM KONDISI DAERAH. RENCANA PEMBANGUNAN JANGKA MENENGAH
DAERAH PROVINSI NTB TAHUN 2013-2018. JDIH Provinsi NTB.
https://jdih.ntbprov.go.id/sites/default/files/produk_hukum/BAB%20II.pdf,
diakses
pada 4 Mei 2020.
[9] Bermana, I. (2006). KLASIFIKASI GEOMORFOLOGI UNTUK PEMETAAN
GEOLOGI YANG TELAH DIBAKUKAN. Bulletin of Scientific Contribution, Vol. 4,
No. 2, hlm. 161 – 173. Bandung: Universitas Padjajaran.
[10] Departemen Pengembangan Akses Keuangan dan UMKM (DPAU). (2013).
Penelitian KPJU Unggulan UMKM Provinsi NTB Tahun 2012. Jakarta: Bank Sentral
Republik Indonesia.
[11] Mukhopadhaya, Sayan. (2016) GIS-based Site Suitability Analysis: Case Study
for Professional College in Dehradun. Journal of Civil Engineering and Environmental
Technology, Vol. 3, hlm. 60 – 64. New Delhi: Krishi Sanskriti Publications.
[12] Chandio, I. A., dan Nasir, A. (2011). Land Suitability Analysis Using Geographic
Information System (GIS) for Hillside Development: A case study of Penang Island.
2011 International Conference on Environmental and Computer Science, Vol. 19.
Singapura: IACSIT Press.
[13] Arifin, M. S., dan Rahayuningsih, M. (2012). Distribusi Walet (Collocalia sp) di
Kabupaten Grobongan. Unnes Journal of Life Science, Vol. 1, No. 1. Semarang:
Universitas Negeri Semarang.
35
[14] Manchi, S. S., dan Sankaran, R. (2010). FORAGING HABITS AND HABITAT
USE BY EDIBLE-NEST ANDGLOSSY SWIFTLETS IN THE ANDAMAN
ISLANDS, INDIA. The Wilson Journal of Ornithology, Vol. 122, No. 2, hlm 259 –
272. Coimbatore: Sa´lim Ali Centre for Ornithology and Natural History.
[15] McVicar, T. R., dan Körner, C. (2013). On the use of elevation, altitude, and height
in the ecologicaland climatological literature. Oecologia, Vol. 171, hlm. 335 – 337.
New York: Springer Publishing.
[16] Margareta, R., dan Abdullah, M. (2008). PEMODELAN SPASIAL HABITAT
BURUNG WALET SARANG PUTIH (COLLOCALIA FUCIPHAGA) DENGAN
MENGGUNAKAN SIG (SISTEM INFORMASI GEOGRAFIS) DALAM UPAYA
PENGEMBANGAN BUDIDAYA SARANG WALET DI JAWA TENGAH (STUDI
KASUS KABUPATEN GROBOGAN DAN KABUPATEN SEMARANG).
Semarang: Universitas Negeri Semarang.
[17] Kaul, H. A., dan Sopan, I. (2012). Land Use Land Cover Classification and Change
Detection Using High Resolution Temporal Satellite Data. Journal of Environment,
Vol. 1, hlm. 146 – 152. London: Springer Publishing.
[18] Dong, et al. (2003). An effective buffer generation method in GIS. Geoscience and
Remote Sensing Symposium, Vol. 6. Piscataway: IEEE Xplore.
[19] Vázquez, A. B. (2012). Unit-4: HEAT AND TEMPERATURE. Fundamentals of
Physics in Engineering I. Alicante: Universidad de Alicante.
[20] Rahman, M. A., Ghazali, P. L., dan Lian, C. J. (2018). ENVIRONMENTAL
PARAMETERS IN SUCCESSFUL EDIBLE BIRD NEST SWIFTLET HOUSES IN
TERENGGANU. Journal of Sustainability Science and Management, Vol. 13, No. 1.
Terengganu: Penerbit UMT.
[21] Idris, A., Abdullah, A. A., dan Rehman, M. A. (2014). An Overview of the Study
of the Right Habitat and Suitable Environmental Factors that Influence the Success of
Edible Bird Nest Production in Malaysia. Asian Journal of Agricultural Research, Vol.
8, No. 1, hlm. 1 – 16. Dubai: Science Alert.
[22] Jokimäki, J., Store, R. (2003). A GIS-based multi-scale approach to
habitatsuitability modeling. ECOLOGICAL MODELLING 169, 1 – 15. Elsevier:
Amsterdam.
[23] Ahiqvist, Q. (2009). Overlay (in GIS). Author’s Personal Copy, hlm. 48 – 55.
Elsevier: Ansterdam.
[24] Handayani, D., Soelistijadi, R., dan Sunardi. (2005). Pemanfaatan Analisis Spasial
untuk Pengolahan Data Spasial Sistem Informasi Geografi. Jurnal Teknologi Inforasi
DINAMIK, Vol. 10, No. 2, hlm. 108 – 116. Semarang: Universitas Stikubank Semarang.
[25]
Chapter
8
Spatial
Operations
and
Vector
Overlays.
https://mgimond.github.io/Spatial/spatial-operations-and-vector-overlays.html, diakses pada 6
Mei 2020.
[26] Ayat, A., dan Tata, H. L. (2015). DIVERSITY OF BIRDS ACROSS LAND USE AND
HABITAT GRADIENTS IN FORESTS, RUBBER AGROFORESTS AND RUBBER
PLANTATIONS OF NORTH SUMATRA. Indonesian Journal of Forestry Research, Vol. 2,
No. 2, hlm. 103 – 120. Jakarta: KLHK.
[27] Badan Pusat Statistik dan Badan Perencanaan Pembangunan Daerah Provinsi Nusa
Tenggara Barat. (2013). Nusa Tenggara Barat dalam Angka 2013. Mataram: BPS Nusa
Tenggara Barat.
36
[28] Wahyuni, T. E., dan Mildrayana, E. (2010). Panduan Wisata Alam. Mataram: BKSDANTB.
[29] Tim Peneliti Fakultas Pertanian Unram. (2018). Penyusunan Master Plan Kawasan
Pertanian di Provinsi Nusa Tenggara Barat. Mataram: Fakultas Pertanian Universitas
Mataram.
[30] Ayuti, T., dan Garnida, D., dan Asmara, I. Y. (2016). IDENTIFIKASI HABITAT DAN
PRODUKSI SARANG BURUNG WALET (Collocalia fuciphaga) DI KABUPATEN
LAMPUNG TIMUR. Jatinangor: Universitas Padjajaran.
[31] Adlyansah, et al. (2019). Analysis Of Flood Hazard Zones Using Overlay Method With
Figused-Based Scoring Based On Geographic Information Systems: Case Study In Parepare
City South Sulawesi Province. Earth and Environmental Science, Vol. 280. Bristol: IOP
Publishing.
[32] Chandio, et al. (2014). GIS-basedland suitability analysis of sustainable hillside
development. Procedia Engineering, Vol. 77, 87 – 94. Amsterdam: Elsevier.
[33] Tjahjono, H. (2007). OVERLAY SEBAGAI MODEL PEMBELAJARAN
DALAM MATA KULIAH SIG (SISTEM INFORMASI GEOGRAFIS) GUNA
MENEMUKAN INFORMASI GEOSPASIAL BARU. Lembaran Ilmu Pendidikan.
Semarang: Universitas Negeri Semarang
[34] Dyatmika, H. S., dan Fibriawati, L. (2017). ANALYSIS OF SCENE
COMPATIBILITIES FOR MOSAIC OF LANDSAT 8 MULTI-TEMPORAL
IMAGES BASED ON RADIOMETRIC PARAMETER. International Journal of
Remote Sensing and Earth Sciences, Vol. 13, No. 1, 9 – 18. Jakarta Timur: LAPAN.
[35] Wayne, C. (2003). ANALYSIS OF SCENE COMPATIBILITIES FOR MOSAIC
OF LANDSAT 8 MULTI-TEMPORAL IMAGES BASED ON RADIOMETRIC
PARAMETER. ArcUser. Boston: ESRI.
[36] Salih, et al. (2018). Land Surface Tmeperature Retrieval from LANDSAT-8
Thermal Infrared Sensor Data and Validation with Infrared Thermometer Camera.
International Journal of Engineering & Technology, Vol. 7, hlm. 608 – 612. Al
Rayyan: Science Publishing Corporation.
[37] Kalinda, I. O. P., Sasmito, B., dan Sukmono, A. (2018). ANALISIS PENGARUH
KOREKSI
ATMOSFER
TERHADAP
DETEKSI
LAND
SURFACE
TEMPERATURE MENGGUNAKAN CITRA LANDSAT 8. Jurnal Geodesi Undip,
Vol. 7, No. 3. Semarang: Universitas Diponegoro.
[38] Galvin, J. F. P. (2009). The Weather and Climate of the Tropics, Part 9 – Climate,
Flora, and Fauna. Weather, Vol. 64, No. 4, hlm. 100 – 107. Reading: Royal
Meteorological Society.
[39] Badan Pusat Statistik Provinsi Nusa Tenggara Barat. (2017). Luas Lahan menurut
Penggunaan Provinsi Nusa Tenggara Barat 2017. Mataram: BPS.
[40] Dooling, R. J., dan Popper, A. N. (2007). The Effects of Highway Noise on Birds.
Sacramento: The California Department of Transportation.
[41] Khandelwal, S., et al. (2018). Assessment of land surface temperature variation
due to change in elevation of area surrounding Jaipur, India. The Egyptian Journal of
Remote Sensing and Space Science, Vol. 21, No.1, hlm. 87 – 94. Amsterdam: Elsevier.
[42] Badan Pusat Statistik Provinsi Nusa Tenggara Barat. (2019). Statistik Transportasi
Provinsi Nusa Tenggara Barat. Mataram: BPS.
37
[43] Ayichew, F. K. (2014). The paradox in environmental determinism and
possibilism: A literature review. Journal of Geography and Regional Planning, Vol. 7,
No. 7, hlm. 132 – 139. New York: Academic Journals.
[44] Zhang, X., Pang, J., dan Li, L. (2015). Estimation of Land Surface Temperature
under Cloudy Skies Using Combined Diurnal Solar Radiation and Surface Temperature
Evolution. Remote Sensing, Vol. 7, hlm. 905 – 921. Beijing: MDPI.
38
Download