Uploaded by Angga Pradian

HFS FEB

advertisement
1
BAB I
PENDAHULUAN
Spasme hemifasial adalah kelainan di mana terdapat kontraksi involunter
otot-otot sesisi wajah yang dipersarafi oleh nervus fasialis (nervus kranialis VII).1
Spasme hemifasial dimulai dengan kontraksi tonik-klonik otot orbikularis okuli,
kemudian berkembang ke regio frontalis (otot-otot dahi), regio platysma (otot
leher), dan orbikularis oris (otot pada mulut). Pasien dapat mengalami kontraksi
terus menerus pada semua otot yang terlibat sehinggga menyebabkan gambaran
wajah ekspresi menahan sakit, penutupan kelopak mata sebagian dan sudut mulut
yang terangkat. Mayoritas penyakit ini terjadi unilateral dengan perkiraan 0,6%
sampai 5% kejadian dapat terjadi secara bilateral.2
Kejadian spasme hemifasial termasuk langka di Amerika Serikat, rata-rata
prevalensinya 7,4 per 100.000 untuk pria dan 14,5 per 100.000 untuk wanita, tetapi
untuk wanita yang usianya di atas 60 tahun prevalensinya jauh lebih tinggi (hampir
30 per 100.000).1 Satu-satunya publikasi yang pernah dilakukan tentang angka
prevalensi selain di Amerika Serikat adalah di Norwegia di mana prevalensi ratapratanya adalah sekitar 9,8% per 100.000 dan prevalensi pada usia yang lebih tua
(usia > 70 tahun) adalah 39,7 per 100.000. Mayoritas kasus ini terjadi sporadik
meskipun terdapat beberapa kasus yang dilaporkan terjadi pada hubungan
keluarga.1 Wanita dan populasi Asia mengalami peningkatan kejadian spasme
hemifasial meskipun data validnya masih sulit ditemukan. Hal ini kemungkinan
akibat dari kejadian spasme hemifasial yang tidak terdiagnosis, misdiagnosis dan
tidak adanya data yang berbasis populasi.2 Penelitian Yanni dkk. di Bandung pada
tahun 2010 mendapatkan rata-rata pasien dengan spasme hemifasial pada usia 53,85
tahun, dengan presentase wanita 64,7% dan laki-laki 35,3%.3
Terapi spasme hemifasial secara non operatif termasuk antikonvulsan dan
injeksi toksin botulinum serial. Terapi operatif yaitu dengan Microvascular
Decompression (MVD). Akan tetapi, terapi dengan antikonvulsan tidak efektif
2
untuk terapi spasme hemifasial. Meskipun sedikit sekali penelitian kontrol tentang
pemberian antikonvulsan pada spasme hemifasial, tetapi secara umum efek yang
ditimbulkan hanyalah adanya reaksi obat yang hanya sementara dibandingkan
dengan keuntungan dalam jangka waktu lama. Wang dan Jankovic pada tahun 1998
melaporkan sebanyak 83% pasien mereka menggunakan berbagai macam
pengobatan akan tetapi hanya 3,8% yang masih meneruskan pengobatan.4 Ini
memmbuktikan efikasi yang buruk. Terapi utama yang pada saat ini dianjurkan
adalah dengan injeksi toksin botulinum, akan tetapi memerlukan penyuntikan
berulang setiap 3-5 tahun. Pada beberapa penelitian disebutkan bahwa hasilnya
tetap memuaskan meskipun durasi lebih dari 10 tahun. Injeksi toksin botulinum
serial dapat ditoleransi lebih baik pada beberapa pasien. Perbaikan yang bermakna
terhadap spasme telah dilaporkan oleh berbagai penelitian sekitar 85 dan 97%
pasien.4 Tindakan dekompresi mikrovaskular mengatasi penyebab spasme
hemifasial yang diduga disebabkan oleh kompresi nervus ini, pengobatan dengan
metode ini efektif dan bertahan lama.4 Meskipun prosedur ini juga dikaitkan
dengan risiko berupa hematom pada otak kecil, kerusakan saraf, stroke bahkan
kematian.5 Pada sebuah ulasan pada tahun 2011 yang meliputi 22 laporan dan 5685
kasus dengan MVD dengan rata-rata follow-up 2,9 tahun menunjukkan resolusi
gejala komplit sebesar 91,1%.6
Berikut akan disajikan laporan kasus tentang wanita berusia 54 tahun
dengan klinis spasme hemifasial kiri selama 5 tahun. Pada awalnya ditatalaksana
dengan terapi antikonvulsa tetapi hasilnya tidak memuaskan, penderita menolak
terapi injeksi toksin Botulinum tipe A. Pasien kemudian dirujuk untuk
Microvascular Decompression/ Dekompresi Mikrovaskular dan mengalami
perbaikan klinis.
3
BAB II
LAPORAN KASUS
A.
IDENTIFIKASI
Seorang wanita berumur 54 tahun, pekerjaan wiraswasta, beralamat
Palembang, datang ke poli rawat jalan Neurologi RSMH pada tanggal 17 Juni 2016,
Rekam Medik 956247.
B. ANAMNESIS (Autoanamnesis)
Penderita datang ke bagian Neurologi RSMH dikarenakan gerakan berkedut
terus menerus pada sesisi wajah sebelah kiri yang terjadi secara perlahan.
Sejak lima tahun yang lalu penderita mengalami kedutan pada otot kelopak
mata sebelah kiri yang terlihat seperti berkedip secara berlebihan, kedutan tidak
dapat dikontrol. Pada awalnya terjadi secara sekali-kali, kemudian kedutan juga
dirasakan pada otot dahi dan mulut, kedutan di semua otot terjadi secara bersamaan.
Kedutan lebih sering terjadi pada pada saat penderita berbicara dan berkurang bila
penderita beristirahat sehingga mengganggu aktivitas. Penderita tidak mengalami
nyeri pada wajah. Penderita berobat akupuntur, keluhan menetap dan tidak
bertambah berat. Sejak 4 bulan yang lalu, kedutan pada otot wajah kiri semakin
sering, frekuensi sekitar 5 kali dalam satu menit, terkadang mata penderita tertutup,
sehingga mengganggu penglihatan, telinga penderita tidak berdenging, tidak nyeri.
Sejak 1 minggu yang lalu, kedutan semakin lama dirasakan semakin sering.
Frekuensi lebih dari 10 kali dalam satu menit. Terkadang kedutan terjadi dalam
durasi lebih dari 10 detik secara terus menerus sehingga mata kiri penderita tertutup.
Penderita tidak mengalami nyeri kepala. Penderita tidak mengalami telinga
berdenging.
Riwayat darah tinggi tidak ada. Riwayat sakit kepala lama tidak ada. Riwayat
mengalami kelemahan pada otot wajah sebelah kiri tidak ada.
Penyakit ini diderita untuk pertama kalinya.
4
C. PEMERIKSAAN FISIK
1. Umum
Kesadaran
: E4M6V5
Tekanan darah : 110/70 mmHg
Keadaan gizi
: cukup
Nadi
: 75 kali/m, reguler
Tinggi Badan
: 165 cm
Pernapasan
: 23 kali/menit
Berat Badan
: 80 kg
Temperatur
: 37.20C
Mata
: Konjungtiva palpebra pucat (-), sklera ikterik (-)
Leher
: Pembesaran KGB (-), Tortikolis (-)
Thoraks
: Jantung HR: 75 x/m, murmur(-); Paru: ronchi (-), wheezing
(-)
Abdomen
: Datar, lemas, Bising Usus (+) normal
2. Neurologis
N. I
N. II
N. III
Tidak ada kelainan
Tidak ada kelainan
Pupil bulat, isokor, Reflek Cahaya +/+
diameter pupil ka-ki 3 mm/3 mm
N. III,
IV, VI
N. VII
N. VIII
N. IX, X
N. XI
N. XII
Lipatan dahi simetris, plica nasolabialis kiri mendatar , sudut
mulut kiri meninggi
Nistagmus (-)
Disfagia (-), Disfonia (-)
Mengangkat bahu simetris
Lidah deviasi tidak ada, disartria (-)
5
Fungsi Motorik
L Ka
L Ki
T Ka
Tki
Gerakan
C
C
C
C
Kekuatan
5
5
5
5
Tonus
N
N
N
N
-
-
Klonus
Refleks Fisiologis
N
N
N
N
Refleks Patologis
-
-
-
-
Fungsi Sensorik
: tidak ada kelainan
Fungsi Vegetatif
: tidak ada kelainan
Fungsi Luhur
: tidak ada kelainan
GRM
: tidak ada
Gerakan abnormal
: spasme otot fasial kiri
Gait dan keseimbangan: tidak ada kelainan
6
Gambar 1. Pasien dengan spasme hemifasial pada sesisi wajah kiri, pada
saat antara spasme, alis sebelah kiri sedikit terangkat. (Tanda Babinski-2)
Diagnosis klinis
: Spasme hemifasial sinistra
Diagnosis topik
: Root exit zone Nervus VII sinistra
Diagnosis etiologi
: Kompresi Nervus VII sinistra
DD/ Pembuluh darah, SOL
7
D. TATA LAKSANA
1.
Non Farmakologis
a. MRI kepala dengan kontras dengan minimal 1,5 T
b. Edukasi (cukup istirahat, cegah stres)
2. Farmakologis
a. Carbamazepin 2 x 200 mg PO
E. FOLLOW UP
1. 22 Juni 2016
S: Kedutan di wajah sebelah kiri berkurang sedikit, penderita merasa tidak
nyaman, mengganggu aktivitas penderita
O: Status Generalis:
E4 M6 V5
TD: 120/80
RR 20 x/menit
N: 85 x/menit, it cukup teratur
Temp: 36,50C
Status Neurologis:
N. I
N. II
N. III
Tidak ada kelainan
Tidak ada kelainan
Pupil bulat, isokor, Reflek Cahaya +/+
diameter pupil ka-ki 3 mm/3 mm
N. III,
IV, VI
N. VII
N. VIII
N. IX, X
N. XI
N. XII
Lipatan dahi simetris, plica nasolabialis kiri mendatar , sudut
mulut kiri meninggi
Nistagmus (-)
Disfagia (-), Disfonia (-)
Mengangkat bahu simteris
Lidah deviasi tidak ada, disartria (-)
8
Fungsi Motorik
L Ka
L Ki
T Ka
Tki
Gerakan
C
C
C
C
Kekuatan
5
5
5
5
Tonus
N
N
N
N
-
-
Klonus
Refleks Fisiologis
N
N
N
N
Refleks Patologis
-
-
-
-
Fungsi Sensorik
: tidak ada kelainan
Fungsi Vegetatif
: tidak ada kelainan
Fungsi Luhur
: tidak ada kelainan
GRM
: tidak ada
Gerakan abnormal
: spasme otot fasial kiri
Gait dan keseimbangan: tidak ada kelainan
A: Diagnosis klinis
: Spasme hemifasial sinistra
Diagnosis topik
: Root exit zone Nervus VII sinistra
Diagnosis etiologi
: Kompresi Nervus VII sinistra
DD/ Pembuluh darah, SOL
P: Carbamazepin 2 x 200 mg
Pasein menolak injeksi toksin Botulinum tipe A.
Rujuk untuk tindakan Mikrovaskular Dekompresi.
9
2. 27 Agustus 2016 (melalui sosial media Whatsapp)
MRI kepala dengan potongan aksial DWI-ADC, T2, FLAIR, T1, SWI
sagital S1 sagital T1, coronal T2, CISS tanpa kontras sebagai berikut:
Kesan:
Cortical sulci dan gyri kedua hemisfer cerebri baik.
Sistem ventrikel dan sisterna tak tampak kelainan.
Tak tampak signal hiperintens pada DWI yang menunjukkan infark
hiperakut/akut.
Tampak lesi lakuner hiperintens pada T2 dan FLAIR di lobus frontal kanan
kiri.
Tak tampak signal patologis pada kedua hemisfer cerebelli, pons dan
medulla oblongata.
Struktur vaskular, circulus willisi dan basilaris tidak memperlihatkan
kelainan.
Hipofisis dan chiasma opticum normal.
Pada potongan CISS tampak pangkal nervus VII kiri bersentuhan dengan
arteri cerebelli anterior inferior kiri.
Pneumatisasi air cells kedua mastoid baik.
Sinus-sinus paranasalis. Septum nasi di tengah
Struktur tulang cranii normal.
10
Ro Thoraks PA
Kesan : Normal thoraks
11
Foto Intra operatif
Post operasi Hari Pertama
12
3. 22 September 2016
S: Kedutan di wajah sebelah kiri menghilang, gangguan pendengaran tidak
ada, nyeri kepala tidak ada
O: Status Generalis:
E4 M6 V5
TD: 120/80
RR 20 x/menit
N: 80 x/menit, it cukup teratur
Temp: 36,5
N. I
N. II
N. III
Tidak ada kelainan
Tidak ada kelainan
Pupil bulat, isokor, Reflek Cahaya +/+
diameter pupil ka-ki 3 mm/3 mm
N. III,
IV, VI
N. VII
Lipatan dahi simetris, plica nasolabialis simetris
N. VIII
Nistagmus (-)
N. IX, X Disfagia (-), Disfonia (-)
N. XI
Mengangkat bahu simteris
N. XII
Lidah deviasi tidak ada, disartria (-)
Fungsi Motorik
L Ka
L Ki
T Ka
Tki
Gerakan
C
C
C
C
Kekuatan
5
5
5
5
Tonus
N
N
N
N
-
-
Klonus
Refleks Fisiologis
N
N
N
N
Refleks Patologis
-
-
-
-
Fungsi Sensorik
: tidak ada kelainan
Fungsi Vegetatif
: tidak ada kelainan
13
Fungsi Luhur
: tidak ada kelainan
GRM
: tidak ada
Gerakan abnormal
: tidak ada
Gait dan keseimbangan: tidak ada kelainan
A: Diagnosis klinis
: Spasme hemifasial sinistra  Perbaikan
Diagnosis topik
: Root exit zone Nervus VII sinistra
Diagnosis etiologi
: Kompresi Nervus VII sinitra oleh Arteri Serebelli
Anterior Inferior kiri
P: Kontrol ulang bila terjadi kontraksi otot berulang.
14
BAB III
TINJAUAN PUSTAKA
A. DEFINISI
Spasme hemifasial adalah gangguan di mana terjadi kontraksi involunter otototot sisi wajah yang diinervasi oleh nervus fasialis (nervus kranialis VII).1
B. EPIDEMIOLOGI
Kejadian spasme hemifasial jarang terjadi di Amerika Serikat. Insidennya
berdasarkan usia sekitar 0,78 per 100.000 per tahun pada tahun 1984, yang hanya
tiga persen dari insiden Bell’s Palsy (25,2 per 100.000). Rata-rata prevalensinya
7,4% untuk pria dan 14,5% per 100.000 untuk wanita. Prevalensi untuk usia lebih
dari 60 tahun lebih tinggi, yaitu sekitar 30 per 100.000. Spasme hemifasial
sepertinya lebih sering terjadi pada orang-orang keturunan Cina, tetapi tidak ada
data estimasi prevalensi yang aktual pada negara-negara Asia. Terdapat cukup
banyak penderita spasme hemifasial pada orang-orang yang berlatar belakang Asia
pada klinik gangguan gerak di Amerika Serikat dibandingkan dengan penderita
distonia.1
C. ANATOMI NERVUS VII7
Saraf fasialis merupakan saraf campuran yang terdiri dari 2 akar saraf, yaitu
akar motorik (lebih besar dan lebih medial) dan intermedius (lebih kecil dan lebih
lateral). Akar motorik berasal dari nukleus fasialis dan berfungsi membawa serabutserabut motorik ke otot-otot ekspresi wajah. Saraf intermedius yang berasal dari
nukleus salivatorius anterior, membawa serabut-serabut parasimpatis ke kelenjar
lakrimal, submandibular, dan sublingual. Saraf intermedius juga membawa serabutserabut aferen untuk pengecapan pada dua pertiga depan lidah dan aferen somatik
dari kanalis auditori eksterna dan pinna. Kedua akar saraf ini muncul dari
pontomedullary junction dan berjalan secara lateral melalui cerebellopontine angle
bersama dengan saraf vestibulocochlearis menuju meatus akustikus internus, yang
15
memiliki panjang ± 1 sentimeter (cm), dibungkus dalam periosteum dan
perineurium.
Selanjutnya saraf memasuki kanalis fasialis. Kanalis fasialis (fallopi) memiliki
panjang sekitar 33 milimeter (mm), dan terdiri dari 3 segmen yang berurutan:
labirin, timpani dan mastoid. Segmen labirin terletak antara vestibula dan cochlea
dan mengandung ganglion genikulatum. Karena kanal paling sempit berada di
segmen labirin ini (rata- rata diameter 0,68 mm), maka setiap terjadi pembengkakan
saraf, paling sering menyebabkan kompresi di daerah ini. Pada ganglion
genikulatum, muncul cabang yang terbesar dengan jumlahnya yang sedikit yaitu
saraf petrosal. Saraf petrosal meninggalkan ganglion genikulatum, memasuki fossa
cranial media secara ekstradural, dan masuk kedalam foramen lacerum dan berjalan
menuju ganglion pterigopalatina. Saraf ini mendukung kelenjar lakrimal dan
palatina. Serabut saraf lainnya berjalan turun secara posterior di sepanjang dinding
medial dari kavum timpani (telinga tengah), dan memberikan percabangannya ke
musculus stapedius (melekat pada stapes). Lebih ke arah distal, terdapat
percabangan lainnya yaitu saraf korda timpani, yang terletak ± 6 mm di atas
foramen stylomastoideus. Saraf korda timpani merupakan cabang yang paling besar
dari saraf fasialis, berjalan melewati membran timpani, terpisah dari kavum telinga
tengah hanya oleh suatu membran mukosa. Saraf tersebut kemudian berjalan ke
anterior untuk bergabung dengan saraf lingualis dan didistribusikan ke dua pertiga
anterior lidah.
Setelah keluar dari foramen stylomastoideus, saraf fasialis membentuk cabang
kecil ke auricular posterior (mempersarafi m.occipitalis dan m. stylohoideus dan
sensasi kutaneus pada kulit dari meatus auditori eksterna) dan ke anterolateral
menuju ke kelenjar parotid. Di kelenjar parotid, saraf fasialis kemudian bercabang
menjadi 5 kelompok (pes anserinus) yaitu temporal, zygomaticus, buccal, marginal
mandibular dan servikal.
16
Gambar 2.1. Perjalanan Nervus Fasialis
D. PATOFISIOLOGI
Penyebab yang mendasari spasme hemifasial belum sepenuhnya dipahami,
namun pada sebagian besar kasus (95%) adalah penyimpangan (aberant) dari
pembuluh darah yang mengkompresi root exit zone dari nervus fasialis.
Patoanatomi bermula dari root exit zone yang memiliki gambaran tertentu yakni
saraf yang merupakan ensheated oleh membran arachnoidal saja, tanpa epineurium
tersebut. Selain itu, tidak ada jaringan ikat septa melintasi fasikula individu. Daerah
ini merupakan zona transisi antara mielinisasi sentral (sel oligodendrial) dan perifer
(sel schwann). Hal tersebut meningkatkan kerentanan terhadap rangsangan seperti
halnya kompresi.8
17
Patofisiologi terjadinya spasme hemifasial belum diketahui secara pasti. Namun
diyakini adanya iritasi atau demielinisasi pada segmen saraf proksimal dari nervus
fasialis sehingga terjadi hipereksibilitas (ectopic discharge) dan transmisi ephaptik
pada nervus fasialis yang menyebabkan kontraksi pada otot-otot wajah.8
Patogenenesis spasme hemifasial akibat kompresi nervus fasialis dijelaskan
dengan beberapa teori. Menurut hipotesis perifer, adanya eksitasi ephaptic dan
ektopik terjadi pada root exit zone. Konduksi impuls ephaptic ditandai dengan
hantaran impuls patologi diantaranya neighboring nerve fiber. Konduksi impuls
ektopik menggambarkan perkembangan spontan impuls saraf di daerah kompresi.8
Sebaliknya hipotesis sentral mengasumsikan adanya hipereksitabilitas dari
nukleus motorik nervus fasialis di batang otak. Pada pasien dengan usia tua, onset
penyakit ini berhubungan dengan usia, perubahan pembuluh darah di daerah
cerebello-pontine angle, di mana hal ini dapat dijumpai pada pasien dengan
hipertensi arteri. Seiring waktu akan terjadi kontak pembuluh darah dengan nervus
yang dapat menyebabkan kompresi serta dapat mengarah pada demielinisasi fokal.8
E. GAMBARAN KLINIS
Spasme hemifasial biasanya muncul pada usia dewasa dan rata-rata usia
onsetnya sekitar 45-50 tahun dengan rentang usia munculnya pada usia 15 tahun
hingga 90 tahun. Gejala jarang muncul pada saat pasien kanak-kanak. Bila terjadi
pada masa kanak-kanak maka biasanya disebabkan oleh suatu patologi dan jarang
karena efek penekanan pembuluh darah. Hemifasial spasme pada bayi biasanya
disebabkan oleh ganglioglioma. Biasanya juga muncul dengan gejala lainnya
seperti kejang.1,4
Kejadiannya lebih tinggi pada wanita dibandingkan dengan pria sekitar 3:2.
Belum ada catatan tentang ras tertentu yang sering mengalaminya.1
Gejala pada awalnya berupa kontraksi minor pada otot-otot wajah, yang
semakin lama semakin sering dan terus-terusan dengan seiring berjalannya waktu.
Kontraksi biasanya pada awalnya terjadi pada otot-otot sekitar mata (90%)
menyebar ke otot daerah pipi (11%) dan akhirnya ke daerah mulut (10,5%) sampai
ke leher dengan waktu yang bertahap. Dapat ditemukan tinnitus pada telinga
18
ipsilateral yang disebabkan oleh kontraksi otot stapedius yang menyertai gerakan
wajah otot. Gerakan wajah secara spontan dan kebanyakan pasien dapat menetap
saat tidur.1,4
Gambar 2.2. Penampilan selama spasme hemifasial kiri yaitu fisura palpebra kiri
yang menyempit, sudut mulut kiri terangkat, plica nasolabialis kiri lebih dalam.4
Pasien dengan spasme hemifasial juga mengalami gejala tambahan selain
dari sensasi spasme otot. Paling sering terjadi adalah rasa malu ketika bersosialisasi
dengan orang banyak. Spasme pada otot-otot di sekitar mata juga mempengaruhi
penglihatan secara intermiten terkadang disertai dengan iritasi mata.4
Beberapa faktor dapat memperburuk spasme hemifasial yang paling sering
adalah stres, kecemasan, kelelahan, dan aktivitas pada otot-otot wajah secara
volunter atau pada saat berbicara. Pada beberapa pasien mengalami fluktualitas
perburukan gejala bila mengubah posisi kepala, yang kemudian dikaitkan dengan
perubahan postural yang menyebabkan berubahnya jumlah beban yang menekan
19
saraf fasialis. Relaksasi, alkohol, dan menyentuh area yang berkontraksi akan
meringankan gejala pada beberapa pasien.1,4
F. DIAGNOSIS
Spasme hemifasial merupakan kelainan yang khas sehingga mudah untuk
dikenali. Diagnosis ditegakkan berdasarkan anamnesis, pemeriksaan fisik
neurologis dan pemeriksaan penunjang.8
Pemeriksaan penunjang secara radiologis idealnya harus dilakukan pada setiap
pasien, kecuali bila etiologinya sudah diketahui jelas. Pemeriksaan yang dianjurkan
adalah CT dan MRI scan pada fossa posterior. Hal ini penting untuk menyingkirkan
lesi struktural. Bila dipertimbangkan untuk dilakukan operasi, maka MRI penting
untuk mengetahui pembuluh darah yang menyebabkan penekanan. Beberapa pasien
dapat diidentifikasi pembuluh darah yang menekan saraf fasialis melalui MRI.
Garis panjang yang tebal dan panjang dengan intensitas tinggi pada root entry zone
menggambarkan arteri basilaris pada 80% kasus, sedangkan garis tipis dan pendek
dengan intensitas yang rendah pada daerah yang sama, menggambarkan arteri
serebeli anterior inferior atau arteri serebelli posterior inferior pada 100% kasus.4
Pemeriksaan penunjang neurofisiologi berupa elektromiografi (EMG) dan
pemeriksaan audiologi hanya dilakukan pada kasus-kasus tertentu. Pemeriksaan
EMG yang penting adalah Blinx reflex/Refleks Kedip, di mana stimulasi pada pada
nervus cranial kelima menyebabkan respon pada nervus cranialis ke tujuh. Pada
spasme hemifasial komponen R1 meningkat dan menggambarkan penyebaran
secara lateral dengan melibatkan lebih banyak serabut saraf. Pada pemeriksaan
refleks kedip, potensial pada sistem aferen dinyatakan oleh gelombang R1,
sedangkan potensial pada sistem eferen dalam bentuk R2 ipsilateral (R2i) dan R2
kontralateral (R2c). Dengan mengetahui latensi R1, R2i, dan R2c pada stimulasi
ipsilateral dan kontralateral, maka dapat diketahui letak lesi apakah pada N. V,
N.VII, pons, atau polineuropati demielinating.1,10
20
G. TERAPI
Penatalaksanaan spasme hemifasial meliputi farmakologi, injeksi toksin
botulinum dan pembedahan.8
1.
Farmakologi
Terapi secara farmakologik diberikan pada pasien spasme hemifasial
idiopatik pada fase awal dengan lesi non-kompresif atau pada mereka yang
menolak injeksi toksin botulinum tipe A. Tujuannya adalah untuk mengurangi
kontraksi otot yang abnormal. Obat-obatan yang digunakan adalah
karbamazepin,
benzodiazepin,
dan baklofen.
Alexander dan Moses
melaporkan bahwa karbamazepin 600-1200 mg/hari dapat mengontrol spasme
pada dua pertida pasien. Baklofen dan gabapentin dapat diberikan bila terapi
dengan karbamazepin gagal. Dilaporkan keberhasilannya sangat kurang,
sporadis dan tidak berkelanjutan, karena itu obat-obatan ini dinilai tidak
memuaskan pada banyak penelitian. Selain itu, pada beberapa pasien
menyebabkan efek samping berupa kelelahan dan kinerja yang kurang.
2.
Toksin botulinum
Pasien yang tidak mengalami perbaikan dengan obat-obatan tersebut dapat
diterapi dengan injeksi toksin botulinum. Food and Drugs Administration
(FDA) telah meluluskan injeksi toksin botulinum A sebagai terapi yang aman
untuk spasme hemifasial.
Toksin botulinum adalah suatu neurotoksin yang melumpuhkan otot dengan
ireversibel menghalangi sinyal kolinergik pada ujung saraf presinaptik. Sejak
awal 1980-an telah digunakan untuk terapi injeksi lokal spasme hemifasial.
Sejak itu pengobatan toksin botulinum telah menjadi standar untuk kondisi
tersebut. Penanganan ini dilaporkan berhasil mengatasi gejala pada 85-95%
pasien.
Toksin botulinum A disuntikkan secara subkutan atau intramuskular pada
otot-otot wajah yang terlibat seperti orbikularis okuli dan otot-otot wajah
lainnya. Onset kerjanya sekitar 3-5 hari dan bertahan hingga 3-6 bulan setelah
itu injeksi dapat diulangi. Beberapa pasien telah diinjeksi berulang kali selama
lebih dari 5 tahun tanpa muncul efek samping. Namun efek samping yang
21
mungkin muncul adalah termasuk paralisis nervus fasialis yang sementara
(23%), diplopia (17%), ptosis (15%) dan pandangan kabur yang biasanya
membaik hingga beberapa hari dan minggu. Pengobatan ini hanyalah
simptomatis, selanjutnya pada pasien yang dirawat bertahun-tahun dilaporkan
adanya penurunan efektivitas toksin botulinum setelah bertahun-tahun.
Dosis yang digunakan bervariasi mulai dari 7,5 sampai 45 unit dengan dosis
rata-rata 17,5 unit tergantung beratnya spasme. Meskipun cara ini memberikan
hasil yang memuaskan, namun kekurangannya harus dilakukan berulang kali
dan memakan biaya yang tinggi. Pasien yang gagal dengan terapi konsevatif
dapat mempertimbangkan tindakan bedah.
3.
Pembedahan
Terapi pembedahan dilakukan pada sisi kompresif. Operasi bertujuan untuk
menghilangkan kompresi vaskular di daerah keluarnya akar saraf pada batang
otak yang merupakan penyebab penyakit. Tindakan dekompresi membutuhkan
eksplorasi daerah fossa posterior yang berisiko. Operasi ini dilakukan dengan
anestesi umum.
H. MICROVASCULAR DECOMPRESSION
Dekompresi Mikrovaskular pada root exit zone nervus fasialis pertama kali
diperkenalkan oleh Gardner dan Sava pada tahun 1962 dan kemudian dipopulerkan
oleh Jannetta (Janetta dkk. 1977). Hal ini meliputi pemisahan nervus fasialis dari
pembuluh darah yang menekannya menggunakan bahan yang sesuai biasanya
berbentuk spons. Penelitian yang diadakan oleh Zhong J. dkk. pada tahun 2012
terhadap 1.342 pasien yang dilakukan dekompresi mikrovaskular dan kemudian
dilakukan follow up selama 3 tahun menghasilkan sebanyak 90,5% pasien
mengalami hasil yang memuaskan setelah dilakukan operasi, sebanyak 2,3 pasien
tidak mengalami perbaikan dan menjalani operasi kedua. Setelah operasi kedua
90% pasien mengalami perbaikan.4
Beberapa pendapat skeptis yang mengakui manfaat dari operasi ini tetapi
mempertanyakan rasionalitasnya. Beberapa mempertanyakan tentang apakah
penekanan merupakan satu-satunya penyebab terjadinya spasme hemifasial (ada
22
beberapa kasus di mana tidak ditemukan adanya pembuluh darah yang menekan
pada saat dilakukan operasi), dan adanya penelitian yang menyatakan bahwa
meletakkan spons pada root exit zone akan tetap menghentikan spasme bahkan bila
tanpa adanya penekanan sekalipun. Tempat kompresi vaskular pada spasme
hemifasial biasanya diidentifikasi sebagai root exit zone, akan tetapi penekanan
akibat vaskular pada root exit zone nervus fasialis tidak ditemukan pada semua
kasus, dan teknologi MRI sekarang terkadang belum bisa memastikan pembuluh
darah mana yang menekan saraf. Anatomi pembedahan nervus fasialis amatlah
rumit. Nervus fasialis keluar dari batang otak melalui pontomedullary junction dan
masih melekat pada pons sekitar 10 mm (root emerging zone) kemudian benarbenar terpisah dari pons pada root exit zone. Root emerging zone ini sulit terlihat
pada pendekatan pembedahan biasa dan dapat menyebabkan kegagalan pada
dekompresi mikrovaskular. Pada kasus lain, pembuluh darah yang menekan saraf
masuk ke dalam menuju batang otak, sehingga mempersulit tindakan
pembedahan.1,4
Gambar 2.3. MRI fusi (Nervus Fasialis Keluar dari batang otak)
CP (cisternal portion), RexZ (Root Exit Zone), RemZ (Root Emerging Zone), P
(pons), M (medulla), TZ (Transition Zone)1
Sekitar 1-3% pasien mengalami gejala spasme berulang dan membutuhkan
operasi kembali, kemungkinan besar dikarenakan posisi spons mengalami
pergeseran.4
23
Komplikasi serius operasi seperti kematian, stroke atau hematom serebri sangat
jarang dijumpai. Pada dua laporan, menyebutkan bahwa komplikasi yang paling
sering terjadi adalah kehilangan pendengaran pada sisi ipsilateral kemudian
kelemahan otot-otot fasialis. Pembedahan harus dipertimbangkan pada hanya pada
pasien-pasien dengan kegagalan modalitas terapi sebelumnya dan dekompresi
mikrovaskular pada root entry zone merupakan prosedur pilihannya.1,2,4
I. PROGNOSIS
Prognosis bervariasi, tergantung respon terhadap terapi. Umumnya, spasme
hemifasial bergantung seumur hidup, dan secara bertahap akan memburuk. Namun
hampir selalu berespon baik terhadap pengobatan. Ada yang bebas dari gejala dan
ada yang tetap akan mengalami gejala dengan berbagai derajat frekuensi dan
intensitas spasme sambil menjalani terapi obat-obatan jangka panjang. Dengan
terapi pembedahan 85% kasus spasme menghilang segera, 9% berkurang dan 7%
mengalami rekurensi.8,9
24
BAB IV
PEMBAHASAN
Penderita adalah seorang wanita berusia 54 tahun yang datang dengan keluhan
utama berupa kedutan di sesisi wajah kiri yang dirasakan sejak 5 tahun yang lalu
dan semakin lama semakin memberat. Keluhan pada awalnya dirasakan pada otot
kelopak mata sebelah kiri saja dan kemudian meluas ke seluruh wajah. Keluhan
diarasakan berkurang pada saat tidur dan ketika penderita sedang tidak beraktivitas.
Keluhan akan diperberat bila pasien berbicara dan dalam keadaan lelah. Penderita
tidak merasakan nyeri pada wajah.
Penderita mengalami kontraksi pada otot-otot sisi wajah sebelah kiri yang
terjadi secara tidak disadari dan semakin lama semakin memberat. Penderita
mengalami suatu gerakan yang tidak diinginkan atau involuntar. Gerakan ini terjadi
hanya pada satu sisi wajah saja atau unilateral. Pada pemeriksaan fisik neurologis
lainnya tidak ditemukan adanya kelainan. Penderita mengalami suatu gangguan
gerak. Diagnosis bandingnya adalah blefarospasme, tics, dan spasme hemifasial.4,8
Blefarospasme biasanya lebih sering terjadi pada wanita, umumnya dimulai
pada usia 50-70 tahun. Kontraksi secara bilateral dan tidak menyebabkan kontraksi
otot yang sinkron pada semua otot yang terlibat pada sesisi wajah. Penutupan
kelopak mata dari kedua sisi kanan dan kiri sinkron.4,8 Pada pasien dengan tic
motorik, sering didiagnosis pada anak-anak. kontraksinya sangat cepat, tanpa arti
dan tujuan, mengenai kelompok otot-otot tertentu dan didahului dengan peringatan
dan terkadang dapat disupresi.4,8 Pada spasme hemifasial, lebih banyak ditemui
pada wanita dibandingkan dengan pria, muncul pada usia dewasa dan rata-rata usia
onsetnya sekitar 45-50 tahun dengan rentang usia munculnya pada usia 15 tahun
hingga 90 tahun.4 Dimulai dengan kontraksi tonik klonik pada otot kelopak mata,
sehingga menyebabkan penutupan kelopak mata dan alis terangkat. Seiring dengan
berjalannya waktu kontraksi juga mengenai otot-otot pada dahi, otot sekitar mulut,
dan otot leher. Mayoritas gangguan ini terjadi secara unilateral dan jarang terjadi
secara bilateral.
25
Pada pemeriksaan fisik yang ditemukan pada pasien ini adalah tanda
Babinski -2, atau “brow lift sign”, merupakan manuver pemeriksaan fisik pada saat
penderita menggerakkan alis ke atas maka terjadi penutupan kelopak mata sisi yang
sama.2 Atau pada saat terjadinya spasme maka alis akan terangkat diikuti dengan
menutupnya kelopak mata. Hal ini menunjukkan akitivitas yang sinkron antara
kedua otot tersebut.2 Sebaliknya pada blefarospasme bila tejadi penutupan kelopak
mata maka alis akan turun ke bawah. Pada pasien ini terlihat jelas tanda Babinski2. Teknik ini memiliki spesifisitas 100% dan sensitivitas 86%.
Pada penderita seharusnya dilakukan pemeriksaan penunjang berupa MRI
kepala yang difokuskan pada fossa posterior. Akan tetapi, modalitas MRI dengan
0,4 Tesla (pada saat penderita berkunuung ke RSMH) belum cukup untuk melihat
anatomi Nervus fasialis, sehingga tidak dilakukan pemeriksaan ini.
Secara klinis neurologis melalui anamnesis dan pemeriksaan fisik, maka
diagnosis pada pasien ini adalah Spasme Hemifasial kiri. Penderita kemudian
diterapi dengan menggunakan carbamazepin 2 x 200 mg. Carbamazepin
merupakan antikonvulsan yang pemakaiannya tidak terlalu efektif, tetapi dapat
diberikan sebagai terapi simptomatik pada pasien yang menolak pemberian injeksi
toksin botulinum atau operasi. Pasien ini menolak pemberian toksin botulinum dan
mempertimbangkan operasi. Pada kunjungan kedua keluhan tidak dirasakan
membaik. Pasien dirujuk ke RS Pusat Otak Nasional.
Terapi Spasme Hemifasial 11
26
Diagnosis Banding Spasme Hemifasial4
Spasme Hemifasial
Blefarospasme dan Sindrom
Tics
Meige
Kontraksi
Sifat Kontraksi
Kontraksi otot klonik atau
tonik
intermitten
yang
dipersarafi nervus fasialis. Otot
mengalami relaksasi di antara
kontraksi
Distonik hanya pada muskulus
orbukularis
okuli.
Meige
sindrom
mencakup
blefarospasme dan ditonik dari
muskulus fasialis. Sering
melibatkan muskulus yang
tidak diinervasi nervus fasialis.
Bentuk
distonia
fokal.
Keterlibatan wajah bagian atas
dan bawah umumnya bersifat
asinkron
Spasme otot bersifat sinkron
pada semua otot ipsilateral.
Bila terjadi keterlibatan kedua
sisi, gerakan tidak pernah
sinkron bilateral.
Biasanya unilateral
Biasanya bilateral
Gerakan
stereotip
yang
menyerupai gerakan normal.
Mungkin tidak melibatkan otot
yang
dipersarafi
nervus
fasialis.
Gerakan bervariasi dalam hal
intensitas dan aritmik.
Umumnya melibatkan wajah
dan ekstremitas bawah/tungkai
Meningkat oleh voluntary Meningkat
oleh
stres, Berkembang secara volunter
Faktor yang meringankan facial
movement,
stres, kecemasan, kelelahan, dan
dan memperberat
kelelahan,
kecemasan, bertambah selama tidur.
perubahan
posisi
kepala,
menetap pada saat tidur
Lokasi
27
Penyebab hemifasial spasme sendiri dapat dibagi menjadi dua bagian besar,
yaitu primer dan sekunder.2 Penyebab primer didefinisikan sebagai kompresi dari
nervus fasialis oleh pembuluh darah pada fossa posterior. Arteri yang biasanya
terlibat adalah arteri serebeli inferior posterior, arteri serebeli inferior anterior, dan
arteri vertebralis. Spasme hemifasial sekunder terjadi bila terdapat kerusakan pada
sepanjang nervus fasialis dari kanalis auditoris interna sampai ke foramen
stylomastoid. Pada pasien ini setelah dilakukan MRI, maka didapatkan hasil berupa
pangkal nervus VII kiri bersentuhan dengan arteri serebeli anterior inferior kiri.
Sebagai alternatif dari injeksi toksin botulinum, dekompresi mikrovaskular
merupakan terapi kuratif sehingga terjadi pemulihan gejala jangka panjang dengan
melakukan pemisahan antara pembuluh darah yang menekan akar saraf fasialis.
Penderita dilakukan prosedur dekompresi mikrovaskular.
Resolusi spasme hemifasial setelah dekompresi mikroaskular dapat berkisar
beberapa tahun sampai beberapa bulan dengan persentase kegagalan yang relatif
kecil. Pada pasien-pasien ini kegagalan perbaikan diakibatkan dekompresi yang
tidak adekuat pada pembuluh darah, atau adanya pembuluh dara lainnya yang
menekan saraf yang tidak terdeteksi selama operasi. Pada berberapa kasus,
komplikasi berupa berkurangnya pendengaran, keluarnya cairan serebrospinal,
hematom, bahkan kematian.1,2 Pasien ini setelah dilakukan operasi tidak didapatkan
komplikasi.
Terdapat insiden rekurensi terjadi spasme hemifasial, bahkan setelah
dekompresi mikrovaskular yang sukses, dan angka kegagalannya bervariasi sekitar
1 atau 2 % sampai 55%. Penelitian pada tahun 1998 oleh Jankovic melaporkan
angka rekurensi sebesar 21% pasien.9 Maka diberikan edukasi pada pasien ini
bahwa kemungkinan adanya gejala yang dapat berulang kembali.
28
BAB V
KESIMPULAN
Spasme hemifasial merupakan gangguan gerak perifer yang terjadi
mayoritas pada wanita dengan onset pada usia dewasa. Dapat didiagnosis secara
klinis dengan anamnesis dan pemeriksaan fisik, terutama dari Babinski-2. Terapi
utama yang pada saat ini dianjurkan adalah dengan injeksi toksin botulinum, akan
tetapi memerlukan penyuntikan berulang setiap 3-5 tahun. Terapi medika mentosa
tidak
memberikan
hasil
yang memuaskan.
Terapi
dengan
dekompresi
mikrovaskular merupakan terapi pilihan pada pasien dengan spasme hemifasial,
terlebih dengan teknologi yang semakin maju dan komplikasi yang jarang terjadi.
Komplikasi serius operasi seperti kematian, stroke atau hematom serebri sangat
jarang dijumpai. Pada dua laporan, menyebutkan bahwa komplikasi yang paling
sering terjadi adalah kehilangan pendengaran pada sisi ipsilateral kemudian
kelemahan otot-otot fasialis. Pembedahan harus dipertimbangkan pada hanya pada
pasien-pasien dengan kegagalan modalitas terapi sebelumnya dan dekompresi
mikrovaskular pada root entry zone merupakan prosedur pilihannya.1,2,4
29
DAFTAR PUSTAKA
1. Greene PE, Peripherally Induced Movement Dissorder. In: Kurlan RM,
Greene PE, Biglan KM, eds. Hyperkinetic Movement Disorder. New
York: Oxford University Press, 2015.
2. Lu AY et al. Hemifacial Spasm and Neurovascular Compression. Hindawi
Publishing Corporation 2014;
3. Yanni, Ong PA, Gunadharma S. Efikasi dan kualitas hidup pasien spasme
hemifasial dengan suntikan toksin Botulinum tipe A. Neurona 2010;7(2).
4. Marsden et al. Marsden’s Book of Movement Disorders: Miscellaneous
Movement Disorders. New York: Oxford university press, 2012.
5. Neurological
Surgery.
Hemifacial
Spasm.
10
Januari
2017.
http://www.neurosurgery.pitt.edu/centers-excellence/cranial-nerveprogram/disorders-treated/hemifacial-spasm.
6. Wang A, Jankovic J. Hemifacial Spasm: Clinical Findings and Treatment.
Muscle and Nerve 1998; 1740-1741.
7. Campbell WW. De Jong’sThe Neurologic Examination Seventh Edition.
Philadephia: Lippincott Williams and Wilkins, a Wolters Kluwer, 2013.
8. Akbar M. Spasme Hemifasial. Dalam: Syamsudin T, Subagya, Akbar M,
eds. Buku Panduan Tatalaksana Penyakit Parkinson dan Gangguan Gerak
Lainnya. Jakarta: Kelompok Studi Movement Disorders Perdossi, 2015.
9. Wang A, Jankovic J. Hemifacial spasm: clinical findings and treatment. Movement
Disorders . Muscle Nerve. 1998 Dec;21(12):1740-7.
10. Poernomo H, Basuki M, Widjaja D. Petunjuk Praktis Elektrodiagnostik.
Surabaya: Airlangga University Press, 2003.
11. Kemp LW. Hemifacial spasm. Current treatment option in neurology, vol
6, 2004.
Download