Uploaded by jessiangeline

BAB II

advertisement
BAB 2
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Nyeri Kepala
2.1.1 Epidemiologi
Sebagian besar orang pernah mengalami nyeri kepala (headache) pada
sepanjang hidupnya, terbukti dari hasil penelitian population base di Singapore
didapati prevalensi life time nyeri kepala penduduk Singapore adalah pria 80%,
wanita 85% (p = 0.0002). Angka tersebut hampir mirip dengan hasil penelitian
pendahuluan di Medan terhadap mahasiswa Fakultas Kedokteran USU mendapati
hasil pria 78% sedangkan wanitanya 88% (Widjaja, 2005).
Di Amerika Serikat, dalam satu tahun lebih dari 70% penduduknya pernah
mengalami nyeri kepala, lebih dari 5% mencari atau mengusahakan pengobatan,
tetapi hanya ± 1% yang datang ke dokter atau rumah sakit khusus untuk keluhan
nyeri kepalanya. Penelitian yang dilakukan di Singapura didapatkan prevalensi life
time nyeri kepala penduduk singapura adalah laki-laki 80%, wanita 85%. Angka
tersebut hampir mirip dengan hasil penelitian Syahrir di Medan terhadap mahasiswa
Fakultas Kedokteran USU, didapatkan hasil laki-laki 78% sedangkan wanitanya 88%.
Dari hasil pengamatan jenis penyakit dari pasien yang berobat jalan di praktek sore
Syahrir selama tahun 2003, ternyata nyeri kepala menduduki proporsi tempat teratas,
sekitar 42% dari keseluruhan pasien neurologi. (Bahrudin, 2013).
Nyeri kepala merupakan keluhan yang paling sering dikeluhkan oleh pasien
saat datang ke dokter, baik ke dokter umum maupun neurolog. Sampai saat ini nyeri
4
5
kepala masih merupakan masalah. Masalah yang diakibatkan oleh nyeri kepala mulai
dari gangguan pada pola tidur, pola makan, depresi sampai kecemasan (Hidayati,
2016).
2.1.2 Definisi
Sakit Kepala merupakan keluhan utama yang paling sering disajikan kepada
dokter. Setiap jenis “sakit kepala” mempunyai dasar organik, walaupun pada
sebagian terdapat juga faktor etiologik yang bersifat patogenik (Sidharta, 2012).
Nyeri Kepala adalah semua perasaan yang tidak menyenangkan di daerah
kepala. Nyeri di leher atau kerongkongan tidak dimasukkan dalam nyeri kepala
(Bahrudin, 2013).
Nyeri kepala adalah rasa nyeri atau rasa tidak mengenakkan pada daerah
kepala dengan batas bawah dari dagu sampai kedaerah belakang kepala (area
oksipital dan sebagian daerah tengkuk). International Headache Society (IHS) pada
tahun 1988 telah membagi nyeri kepala menjadi dua yaitu, nyeri kepala primer dan
nyeri kepala sekunder. Nyeri kepala primer adalah nyeri kepala tanpa disertai adanya
penyebab struktural organik sedangkan nyeri kepala sekunder adalah nyeri kepala
yang disertai penyebab struktural organik (Nurwulandari, 2014).
Nyeri kepala didefinisikan sebagai suatu perasaan tidak mengenakkan pada
daerah kepala yang sering dikeluhkan dari para penderitanya karena dapat
mengganggu aktivitas sehari-hari (Nurwulandari, 2014).
Nyeri kepala adalah salah satu keluhan yang paling umum dikeluhkan oleh
pasien saat datang ke dokter perawatan primer dan neurolog. Meskipun sebagian
besar nyeri kepala adalah jinak (tidak membahayakan), namun dokter dihadapkan
6
pada tugas penting untuk membedakan gangguan nyeri kepala yang jinak dan yang
berpotensi mengancam nyawa. Mengingat banyak penyakit sering disertai dengan
keluhan nyeri kepala, perlu pendekatan yang terfokus dan sistematis untuk
memfasilitasi diagnosis dan pengobatan yang tepat pada berbagai jenis nyeri kepala
(Hidayati, 2016).
2.1.4 Faktor resiko
Dalam penelitian Tandaju, Runtuwene, Kembuan (2016), stres mencetus
serangan nyeri kepala terbanyak yaitu pada 149 orang (84,6%), sedangkan faktor
pencetus yang paling sedikit ditemukan ialah perubahan cuaca yang mempengaruhi
34 orang (19,3%) (Tabel 2.1) (Tandaju, Runtuwene, Kembuan, 2016).
Tabel 2.1 Distribusi Faktor Resiko Pencetus Nyeri Kepala
Pencetus
Stress
Perubahan pola tidur
Melewatkan waktu malam
Menstruasi
Asap rokok
Perubahan cuaca
Menonton / bermain laptop
Frekuensi
149
110
74
66
68
34
56
%
84,6
62,5
42
37,5
38,6
19,3
31,8
(Tandaju, Runtuwene, Kembuan, 2016)
Menurut penelitian Straube, Heinen, Ebinger et al (2013), secara umum, kami
dapat membagi faktor resiko ke dalam kategori pola hidup, bersekolah dan kejiwaan.
Penyebab khas yang sering ditemukan dari faktor-faktor pola hidup yaitu meliputi:
1.
Konsumsi kafein
2.
Konsumsi alkohol
3.
Merokok
4.
Kurangnya aktivitas fisik
7
Menurut penelitian Straube, Heinen, Ebinger et al (2013), ditemukannya
konsumen kafein yang biasanya berhubungan dengan frekuensi terjadinya nyeri
kepala pada orang dewasa dan remaja. Sedangkan baik dari penelitian HUNT dan
survei dari pelajar SMA di Munich, Jerman, menunjukkan bahwa adanya hubungan
yang signifikan antara merokok dan terjadinya nyeri kepala. Kemudian berbeda
dengan orang dewasa, pada remaja mengkonsumsi alkohol juga merupakan faktor
resiko dari terjadinya nyeri kepala. Dan dari sebuah hubungan yang signifikan antara
minum koktail dan terjadinya nyeri kepala ditemukan di antara pelajar SMA. Dan
lagi, baik dari penelitian HUNT dan Munich menunjukkan bahwa ditemukan adanya
hubungan dengan kurangnya aktivitas fisik dengan terjadinya nyeri kepala. Kemudian
tidak mengherankan, kelebihan berat badan juga bisa dihubungkan dengan nyeri
kepala pada kalangan remaja. Dalam sebuah penelitian di Amerika menunjukkan
bahwa kehilangan berat badan juga berhubungan dengan penurunan jumlah angka
pada kasus terjadinya nyeri kepala. Penelitian lain menunjukkan tidak ada pengaruh
hubungan dengan mengkonsumsi air mineral, melewatkan waktu makan atau riwayat
meningitis dan penggunaan komputer sehari-hari (video game, media elektronik) juga
tidak berpengaruh terhadap terjadinya nyeri kepala yang ditimbulkan.
Stres di sekolah serta harapan dan tuntutan dari orang tua yang sangat tinggi
merupakan salah satu faktor resiko untuk meningkatkan kondisi terjadinya nyeri
kepala pada pelajar. Kemudian dari penelitian menunjukkan bahwa meluangkan
waktu senggang yang efektif (meluangkan waktu yang tepat tanpa kegiatan yang
direncanakan) mengurangi faktor resiko terjadinya nyeri kepala. Dalam sebuah survei
terhadap pelajar SMA, ditemukan 80% mengeluh nyeri kepala dan lebih dari 40%
8
memiliki aktifitas kurang dari dua jam yang tidak direncanakan per hari (Straube,
Heinen, Ebinger et al, 2013).
Faktor resiko lain yang termasuk stres emosional yang timbul antara lain dari
kedua orang tua dan faktor kehidupan sehari-hari. Dalam sebuah penelitian dari
Lower Saxony, Negara bagian Jerman, terdapat hubungan antara adanya konflik di
dalam keluarga terhadap terjadinya nyeri kepala termasuk hal biasa, terutama pada
anak laki-laki. Dalam sebuah penelitian di Taiwan menunjukkan bahwa pada anakanak dengan nyeri kepala kronis, jika dibandingkan dengan jumlah penduduk yang
ada, secara signifikan memiliki jumlah yang lebih rendah pada Angka Lingkungan
Keluarga Global dan lebih sering dilaporkan terjadi kekerasan fisik dan perceraian
terhadap ke-dua orang tua mereka (Straube, Heinen, Ebinger et al, 2013).
Beberapa penelitian telah menunjukkan bahwa terdapat adanya hubungan
antara kekerasan fisik dan dengan frekuensi nyeri kepala. Selain kekerasan fisik, baik
pelecehan seksual dan stres emosional, serta kurangnya perhatian, merupakan faktor
resiko yang signifikan berhubungan dengan onset awal dan kronisitas terhadap
terjadinya nyeri kepala. Hubungan tersebut adalah diagnosis tersendiri dari depresi
atau gangguan kecemasan. Begitu juga sebaliknya, sebuah hubungan yang kooperatif,
bukan hubungan dari keluarga dapat terhindar terhadap terjadinya nyeri kepala (Tabel
2.2) (Straube, Heinen, Ebinger et al, 2013).
9
Tabel 2.2 Faktor-faktor Resiko Terhadap Nyeri Kepala Pada Anak-anak dan Remaja
Reguler alcohol ingestion
Overwight
Regular coffe ingestion
Age group
(years)
13-19
12-18
11-26
13-19
12-18
13-19
12-18
13-19
No free time
8-15
Listening to music
Divorce of parents
Negative personal experience
Lack of satisfaction
13-17
13-15
12-13
12-13
Familial disagreements
8-15
Abuse
13-15
Bullying
11-15
Unfair treatment by teacher
High familial expectations
11-15
12-13
Risk factor
To little activity
Regular nicotine use
OR = Odds Ratio
n
1260
5847
980
1260
5847
1260
5847
1260
1434 boys
541 girls
1025
4645
1694
1694
1434 boys
541 girls
3955
123
227
4119
1694
Result
OR; 95% (confidence interval)
OR: 2,2 (1,3-3,7)
OR: 1,2 (1,1-1,4)
OR: 2,16 (1,39-3,35) for frequent headaches
OR: 2,7 (1,4-5,1)
OR: 1,5 (1,3-1,7)
OR: 3,4 (1,9-6,0)
OR: 1,4 (1,2-1,6)
OR: 2,4 (1,3-4,7)
OR: 2,12 (1,29-3,48)
OR: 0,99 (0,28-3,47)
OR: 2,1 (1,2-3,7) for 1-2h/daily
OR: 5,8 (1,2-28,0)
OR: 1,88 (1,41-2,52)
OR: 1,85 (1,48-2,31)
OR: 1,78 (1,05-3,02)
OR: 1,25 (1,01-1,55)
OR: 1,6 (1,4-1,9)
rare: OR: 1,40 (1,30-1,50)
weekly: OR: 1,86 (1,70-2,05)
OR: 1,24 (1,15-1,34)
OR: 1,40 (1,11-1,74)
(Strauble, Heinen, Ebinger et al, 2013)
Menurut penelitian Straube, Heinen, Ebinger et al (2013), bersekolah
merupakan bagian terpenting dari kehidupan setiap anak-anak dan remaja. Penelitian
telah memberikan perhatian yang cukup besar untuk pengaruh terhadap perilaku
mengintimidasi dan trauma fisik pada pengembangan masalah somatik dan
emosional. Misalnya, berkembangnya faktor resiko terjadinya nyeri kepala berulang
kali meningkat sebesar 25% ketika anak-anak sekolah merasa guru mereka
memperlakukan mereka secara sangat tidak adil dan tidak wajar. Begitu juga
sebaliknya, ketika merasa diperlakukan adil dan sewajarnya bisa mengakibatkan
mengurangi faktor resiko terjadinya nyeri kepala dengan lebih dari 40%. Perilaku
mengintimidasi meningkatkan faktor resiko terjadinya nyeri kepala dan melakukan
penatalaksanaan nyeri kepala tersebut. Ada hubungan yang kuat antara keparahan
yang dirasakan akibat bullying dan frekuensi terjadinya nyeri kepala. Sebuah
10
penelitian cross-sectional di 28 negara menunjukkan bahwa terjadinya perilaku
mengintimidasi meningkatkan sekali faktor resiko terjadinya nyeri kepala sebesar
40%, sementara dalam satu minggu akibat dari bullying menimbulkan terjadinya
nyeri kepala sebesar 80-90%.
Jika salah satu ketegori dari semua faktor-faktor resiko ini bersama-sama
sebagai penyebab stres, maka salah satu akan dapat menimbulkan pertanyaan apakah
stres yang dirasakan tersebut berhubungan dengan frekuensi terjadinya nyeri kepala.
Sedangkan penelitian yang menunjukkan bahwa adanya hubungan antara frekuensi
migrain dan jangka waktu terhadap pemeriksaan nyeri kepala tersebut menunjukkan
ke arah tersebut. Terdapat sekitar 20% dari pelajar SMA mengeluhkan stres yang
berlebihan, pada umumnya tidak selalu penyebab bersekolah sebagai faktor
terjadinya stres paling utama. Tingkat subjektif stres akan lebih tinggi pada pelajar
dengan migrain dibandingkan pada pelajar dengan nyeri kepala tipe tegang atau tanpa
nyeri kepala (Tabel 2.2) (Straube, Heinen, Ebinger et al, 2013).
Beberapa penyakit seperti HIV, kanker, meningitis, tumor metastasis, dan
gangguan intra kranial lain dapat mengakibatkan terjadinya nyeri kepala. Nyeri
kepala karena adanya gangguan struktural seperti HIV, kanker, meningitis, tumor
metastasis, dan gangguan intra kranial lain terkategori dalam nyeri kepala sekunder.
Bila didapatkan kasus nyeri kepala pada orang dengan penyakit-penyakit yang
berisiko untuk terjadi nyeri kepala maka nyeri kepala ini masuk dalam (secondary
headache risk factors) (Hidayati, 2016).
11
2.1.4 Etiologi
Penyebab nyeri kepala banyak sekali, meskipun kebanyakan adalah kondisi
yang tidak berbahaya (terutama bila kronik dan kambuhan), namun nyeri kepala yang
timbul pertama kali dan akut awas ini adalah manifestasi awal dari penyakit sistemik
atau suatu proses intrakranial yang memerlukan evaluasi sistemik yang lebih teliti
(Bahrudin, 2013).
Nyeri kepala bisa dirangsang karena faktor intra kranial (misalnya:
meningitis, Sub Arachnoid Haemorhage (SAH), tumor otak) atau faktor ekstra
kranial yang umumnya bukan kasus neurologi (misalnya: sinusitis, glaukoma) yang
keduanya digolongkan sebagai nyeri kepala sekunder (Bahrudin, 2013).
Secara praktis menurut Bahrudin (2013), penyebab timbulnya nyeri kepala
dapat diringkas sebagai berikut:
a.
Circulation: Perdarahan intraserebral, perdarahan subaraknoidal.
b.
Encephalomeningitis.
c.
Migraine.
d.
Eye: Glaucoma, radang, keratitis, anomaly refraksi.
e.
Neoplasm (Tumor otak).
f.
Trauma
capitis:
Komusio,
kontusio,
perdarahan
perdarahan subdular.
g.
Ear dan nose: Mastoiditis, otitis media, sinusitis, rhinitis.
h.
Dental: Gigi, gusi.
i.
Cluster headache.
j.
Otot: Tension headache.
ekstradural,
12
k.
Arteritis temporalis.
l.
Trigeminal neuralgia.
Bila hurut terdepan dirangkai, maka terbentuk kata “CEMENTED COAT”.
Faktor pencetus nyeri kepala misalnya: batuk, tenaga, aktivitas seksual,
manuver valsava, atau tidur). Nyeri kepala yang diperberat oleh batuk, tenaga,
aktivitas seksual, maneuver valsava, atau tidur tumor curiga akan Arterio Venous
Malformation (AVM), Sub Arachnoid Hemorrhage (SAH), atau penyakit vaskuler
(Hidayati, 2016).
2.1.5 Patofisiologi
Menurut Akbar (2010), beberapa teori yang menyebabkan timbulnya nyeri
kepala terus berkembang hingga sekarang. Seperti, teori vasodilatasi kranial, aktivasi
trigeminal perifer, lokalisasi dan fisiologi second order trigeminovascular neurons,
cortical spreading depression, aktivasi rostral brainstem.
Rangsang nyeri bisa disebabkan oleh adanya tekanan, traksi, displacement
maupun proses kimiawi dan inflamasi terhadap nosiseptor-nosiseptor pada struktur
peka nyeri di kepala. Jika struktur tersebut yang terletak pada atau pun diatas
tentorium serebelli dirangsang maka rasa nyeri akan timbul terasa menjalar pada
daerah didepan batas garis vertikal yang ditarik dari kedua telinga kiri dan kanan
melewati puncak kepala (daerah frontotemporal dan parietal anterior). Rasa nyeri ini
ditransmisi oleh saraf trigeminus (Akbar, 2010).
Sedangkan rangsangan terhadap struktur yang peka terhadap nyeri dibawah
tentorium (pada fossa kranii posterior) radiks servikalis bagian atas dengan cabangcabang saraf perifernya akan menimbulkan nyeri pada daerah dibelakang garis
13
tersebut, yaitu daerah oksipital, suboksipital dan servikal bagian atas. Rasa nyeri ini
ditransmisi oleh saraf kranial IX, X dan saraf spinal C-1, C-2, dan C-3. Akan tetapi
kadang-kadang bisa juga radiks servikalis bagian atas dan N. oksipitalis mayor akan
menjalarkan nyerinya ke frontal dan mata pada sisi ipsilateral. Telah dibuktikan
adanya hubungan erat antara inti trigeminus dengan radiks dorsalis segmen servikal
atas.
Trigemino
cervical
reflex
dapat
dibuktikan
dengan
cara
stimulasi
n.supraorbitalis dan direkam dengan cara pemasangan elektrode pada otot
sternokleidomastoideus. Input eksteroseptif dan nosiseptif dari trigemino-cervical
reflex ditransmisikan melalui polysinaptic route, termasuk spinal trigeminal nuklei
dan mencapai servikal motorneuron. Dengan adanya hubungan ini didapatkan bahwa
nyeri didaerah leher dapat dirasakan atau diteruskan kearah kepala dan sebaliknya
(Akbar, 2010).
Menurut Kinik, Alehan, Erol et al (2010), salah satu teori yang paling populer
mengenai penyebab nyeri kepala ini adalah kontraksi otot wajah, leher, dan bahu.
Otot-otot yang biasanya terlibat antara lain m. splenius capitis, m. temporalis, m.
masseter, m. sternocleidomastoideus, m. trapezius, m. cervicalis posterior, dan m.
levator scapulae. Penelitian mengatakan bahwa para penderita nyeri kepala ini
mungkin mempunyai ketegangan otot wajah dan kepala yang lebih besar daripada
orang lain yang menyebabkan mereka lebih mudah terserang sakit kepala setelah
adanya kontraksi otot. Kontraksi ini dapat dipicu oleh posisi tubuh yang
dipertahankan lama sehingga menyebabkan ketegangan pada otot ataupun posisi tidur
yang salah. Ada juga yang mengatakan bahwa pasien dengan sakit kepala kronis bisa
14
sangat sensitif terhadap nyeri secara umum atau terjadi peningkatan nyeri terhadap
kontraksi otot.
Sebuah teori juga mengatakan ketegangan atau stres yang menghasilkan
kontraksi otot di sekitar tulang tengkorak menyebabkan vasokonstriksi pembuluh
darah sehingga aliran darah berkurang yang menyebabkan terhambatnya oksigen dan
menumpuknya hasil metabolisme yang akhirnya akan menyebabkan nyeri (Goadsby,
Lipton, Ferrari, 2002; Kinik, Alehan, Erol et al, 2010).
Para peneliti sekarang mulai percaya bahwa nyeri kepala ini bisa timbul akibat
perubahan dari zat kimia tertentu di otak - serotonin, endorphin, dan beberapa zat
kimia lain - yang membantu dalam komunikasi saraf. Ini serupa dengan perubahan
biokimia yang berhubungan dengan migren. Meskipun belum diketahui bagaimana
zat-zat kimia ini berfluktuasi, ada anggapan bahwa proses ini mengaktifkan jalur
nyeri terhadap otak dan mengganggu kemampuan otak untuk menekan nyeri. Pada
satu sisi, ketegangan otot di leher dan kulit kepala bisa menyebabkan sakit kepala
pada orang dengan gangguan zat kimia (Akbar, 2010).
Menurut Sidharta (2012), “sakit kepala” timbul sebagai hasil perangsangan
terhadap bangunan-bangunan di wilayah kepala dan leher yang peka terhadap nyeri.
Bangunan-bangunan ekstrakranial yang peka-nyeri ialah otot-otot oksipital, temporal
dan frontal, kulit kepala, arteri-arteri subkutis dan periostinum. Tulang tengkorak
sendiri tidak peka-nyeri. Bangunan-bangunan intrakranial yang peka-nyeri terdiri dari
meninges, terutama dura basalis dan meninges yang mendindingi sinus venosus serta
arteri-arteri besar pada basis otak. Sebagian besar dari jaringan otak sendiri tidak
peka-nyeri.
15
Perangsangan terhadap bangunan-bangunan itu dapat berupa:
a.
Infeksi selaput otak: meningitis, ensefalitis.
b.
Iritasi kimiawi terhadap selaput otak seperti pada perdarahan subdural
atau setelah dilakukan pneumo atau zat kontras-ensefalografi.
c.
Peregangan selaput otak akibat proses desak ruang intrakranial,
penyumbatan jalan lintasan likwor, trombosis sinus venosus, edema
serebri atau tekanan intrakranial yang menurun secara tiba-tiba dan
cepat.
d.
Vasodilatasi arteri intrakranial akibat keadaan toksik (seperti pada
infeksi umum, intoksikasi alkohol, intoksikasi CO, reaksi alergik),
gangguan
metabolik
(seperti
hipoksemia,
hipoglikemia
dan
hiperkapnia), pemakaian obat vasodilatasi, keadaan pasca kontusio
serebri, insufisiensi serebrovaskuler akut, tekanan darah sistemik yang
melonjak secara tiba-tiba (seperti pada nefritis akut, feokhromositoma
dan intoksikasi karena kombinasi “monoamine oxydase inhibitor”
dengan tyramine).
e.
Gangguan pembuluh darah darah ekstrakranial, misalnya vasodilatasi
(migraine dan “cluster headache”) dan radang (arteritis temporalis).
f.
Gangguan terhadap otot-otot yang mempunyai hubungan dengan kepala,
seperti pada spondiloartrosis deformans servikalis.
g.
Penjalaran nyeri (referred pain) dari daerah mata (glaukoma, iritis),
sinus (sinusitis), baseos kranii (karsinoma nasofarings), gigi-geligi
16
(pulpids dan molar III yang mendesak gigi) dan daerah leher
(spondiloartrosis deformans servikalis).
h.
Ketegangan otot kepala-leher-bahu sebagai manifestasi psiko-organik
pada keadaan depresi dan “streess”. Dalam hal ini “sakit kepala”
merupakan sinonim dari “pusing kepala”.
Menurut Bahrudin (2013), banyak faktor yang berperan dalam mekanisme
patofisiologi nyeri kepala primer ini, akan tetapi pada dasarnya secara umum
patofisiologisnya hampir mirip satu sama lainnya dengan disertai adanya sedikit
perbedaan spesifik yang masing-masing belum diketahui dengan benar.
2.1.6 Pemeriksaan
Menurut Bahrudin (2013); Hidayati (2016), seperti bidang ilmu kedokteran
lainnya, pertama, tentu saja, secara umum adalah anamnesis dan pemeriksaanipemeriksaan. Pemeriksaan pasien nyeri kepala terdiri dari:
A.
Anamnesis
B.
Pemeriksaan obyektif
C.
Pemeriksaan dengan alat
D.
Pemeriksaan laboratorium
A. Anamnesis
Menurut Bahrudin (2013), anamnesis sangat penting karena pada pasien nyeri
kepala gejala obyektif sering hanya sedikit. Cara melakukan anamnesis pada pasien
nyeri kepala adalah sebagai berikut:
1.
Pertanyaan yang pertama dilakukan adalah tentang menceritakan
mengenai keluhan nyeri kepala pasien. Hal ini penting untuk
17
mengetahui karakteristik nyeri kepala yang dikeluhkan pasien seperti
apa.
2.
Pertanyaan selanjutnya adalah tentang bila terjadi serangan nyeri kepala,
apa yang dirasakan oleh pasien tersebut.
3.
Selanjutnya ada tiga pertanyaan yang harus ditanyakan sehubungan
dengan waktu:
a.
Sudah berapa lama pasien menderita nyeri kepalanya (misal, sejak
masih sekolah, dst.).
b.
Mengenai frekuensi nyeri kepalanya yaitu, apakah nyeri kepala
seperti ini sering dirasakan dan apakah nyeri kepala ini terjadi
sebelum, selama, atau sesudah menstruasi.
c.
Pada saat terjadi serangan nyeri kepala tersebut, perlu ditanyakan
mengenai berapa lama nyeri kepala tersebut dirasakan (beberapa
detik, menit, jam, atau hari).
4.
Mengenai lokasi nyeri kepalanya, ada tiga pertanyaan yang harus
diajukan, diantaranya yaitu:
a.
Pada bagian yang mana nyeri kepala tersebut mulai dirasakan dan
apakah mulai dari kening.
b.
Apakah nyeri kepala yang dirasakan pada bagian dalam (seperti
pada migrain) atau pada permukaan kepala saja.
c.
Apakah nyeri kepala yang dirasakan pada pasien tersebut ini
berpindah-pindah.
18
5.
Tentang faktor yang mempengaruhi terjadinya nyeri kepala:
a.
Apa yang dapat menyebabkan timbulnya serangan nyeri kepala
(misalnya, nyeri kepala timbul setelah minum anggur merah,
makan coklat, dll.).
b.
Hal apa saja yang dapat menambah rasa nyeri kepala pada pasien
tersebut (misalnya, batuk, mengejan, sering kali berhubungan
dengan meningkatnya tekanan intrakranial).
c.
6.
Obat apa yang dapat mengurangi rasa nyeri tersebut.
Mengenai sifat (kualitas) nyeri kepala, perlu ditanyakan:
a.
Bagaimana sifat nyeri kepala yang pasien rasakan (misalnya,
kemeng, panas, seperti ditusuk pisau, atau berdenyut).
b.
Apabila mengalami serangan nyeri kepala, apakah pasien masih
dapat bekerja, tidur, dan sebagainya (misalnya bila tidak dapat
tidur badan semakin kurus, tidak dapat melihat TV menunjukkan
nyeri kepala hebat).
7.
Masih ada empat pertanyaan lain yang perlu diajukan:
a.
Apakah yang pasien rasakan selain nyeri kepala (misalnya, selama
serangan nyeri kepala pasien merasakan mual, muntah).
b.
Upaya pengobatan yang pasien lakukan sebelumnya dan selain
obat dan suntikan perlu ditanyakan juga tentang akupuntur, pijat,
dsb.
c.
Menurut anda, apa penyebab nyeri kepala anda (misalnya, pasien
takut mengalami perdarahan otak, tumor otak, dsb.).
19
d.
Setelah pasien lama menderita nyeri kepala, mengapa baru
sekarang berobat (misalnya, karena mendengar adanya obat baru,
dsb).
8.
Sebaiknya, pada akhir anamnesis ditanyakan, apakah pasien masih ingin
menambahkan sesuatu.
Jawaban yang diungkapkan pasien dari pertanyaan yang kita barikan seperti di
atas dapat digunakan untuk membedakan jenis nyeri kepala (Bahrudin, 2013).
Menurut Hidayati (2016), anamnesis merupakan langkah pertama dalam
manajemen nyeri kepala. Peran anamnesis memegang posisi paling penting dalam
manajemen nyeri kepala, mengingat pada pemeriksaan fisik dan neurologis pada
pasien dengan nyeri kepala sering ditemukan normal. Ada beberapa langkah dalam
anamnesis pasien dengan nyeri kepala. Beberapa langkah anamnesis pasien dengan
nyeri kepala ini secara sistematis tersusun dalam tabel 2.3, yang disingkat dengan “H.
SOCRATESS”. Tanpa anamnesis riwayat nyeri kepala yang cukup, intervensi
diagnostik dan pengobatan yang kita berikan pada pasien dengan nyeri kepala bisa
keliru. Ada kalanya pemeriksaan penunjang yang seharusnya tidak perlu dilakukan
dapat dilakukan, atau sebaliknya uji diagnostik atau laboratorik yang penting malah
tidak dilakukan. Sebelum melakukan anamnesis pada pasien dengan nyeri kepala,
data dasar perlu diambil terlebih dahulu.
20
Tabel 2.3 Langkah Anamnesis Pasien Dengan Nyeri Kepala (“H. SOCRATESS”)
H
•
History (riwayat)
S
•
Site (tempat)
O
•
Origin (tempat asal)
C
•
Character (karakter)
R
•
Radiation (penjalaran)
A
•
Associated symptoms (kumpulan gejala yang terkait)
T
•
Timing (waktu)
E
•
Exacerbating & relieving (hal yang memperparah dan memperingan)
S
•
Severity (derajat keparahan / intensitas)
S
•
State of health between attacks (kondisi kesehatan di antara
serangan)
(Hidayati, 2016)
Adapun penjabaran dari penelitian Hidayati (2016), tentang langkah anamnesis
pasien dengan nyeri kepala (“H. SOCRATESS”), adalah sebagai berikut:
1. History (Riwayat)
Langkah pertama dalam manajemen pasien dengan nyeri kepala adalah
penggalian riwayat. Tujuan penggalian riwayat nyeri kepala adalah untuk
memberikan pandangan yang komprehensif tentang nyeri kepala pasien dan
mengetahui komorbiditas yang terkait atau masalah yang mungkin mempengaruhi
diagnosis dan perawatan. Saat menggali riwayat nyeri kepala ini dokter
berkesempatan untuk menjalin hubungan yang baik dengan pasien. Hubungan yang
baik dengan pasien akan membantu proses terapeutik yang sedang berlangsung.
Riwayat penting untuk membedakan jenis nyeri kepala, apakah termasuk
nyeri kepala primer ataukah nyeri kepala sekunder. Beberapa riwayat yang perlu
digali tercantum dalam tabel 2.4.
21
Selain menggali riwayat penyakit sekarang, dokter harus tahu tentang riwayat
penyakit dahulu. Riwayat penyakit dahulu seperti adanya karsinoma (kanker
payudara, paru-paru, ginjal, melanoma) membuat dokter harus mempertimbangkan
diagnosis tumor metastasis. Trauma kepala dapat menyebabkan nyeri kepala pascatrauma, hematoma subdural, atau diseksi arteri ekstrakranial. Berbagai macam
gangguan terkait dengan gigi, sinus, telinga, atau hidung dapat muncul sebagai nyeri
kepala.
Nyeri kepala harian yang secara kronis dapat menjadi awal dari depresi.
Depresi dan epilepsi sering terjadi bersamaan dengan migrain. Komorbiditas
merupakan faktor penting dalam memilih terapi akut atau pencegahan. Komorbiditas
dengan
asma
mengharuskan
dokter
menghindari
pemberian
beta
bloker.
Komorbiditas dengan hipertensi mewajibkan pemberian beta bloker. Terapi
pencegahan depresi bisa diberikan obat amitriptilin.
Tabel 2.4 Riwayat Yang Harus Digali Pada Pasien Dengan Nyeri Kepala.
a. Riwayat Penyakit Sekarang
b. Riwayat Penyakit Dahulu
Penyakit
c. Riwayat Penyakit Keluarga
a. Dosis
b. Efektif atau tidaknya obat
Riwayat Pengobatan
c. Efek samping pengobatan
a. Keluarga
b. Pekerjaan
c. Pendidikan
Sosial
d. Kebiasaan atau hobi
e. Psikologis
(Hidayati, 2016)
Riwayat pengobatan pasien juga perlu diketahui. Nitrat, antihistamin,
kontrasepsi oral dan terapi sulih hormon dapat menyebabkan nyeri kepala. Selain itu
22
obat-obatan bebas yang dikonsumsi jangka lama dapat menyebabkan terjadinya MOH
(Medication Overuse Headache).
Dalam menghadapi kasus nyeri kepala dokter perlu tahu latar belakang sosial
dan psikologis mereka. Riwayat sosial yang perlu digali ini meliputi riwayat
keluarga, pekerjaan, pendidikan dan kebiasaan atau hobi. Stressor di rumah, di
sekolah, dan di tempat kerja harus dipahami, meskipun dokter tidak harus mengaitkan
gangguan nyeri kepala primer sematamata pada stres. Alkohol, tembakau, dan obat
yang dijual bebas dapat berkontribusi pada patogenesis nyeri kepala.
Banyak penderita migren melaporkan anggota keluarga besarnya ada yang
menderita migren. Migren memiliki komponen genetik. Genetik juga berperan pada
TTH, baik TTH frekuen maupun TTH kronik. Penyebab nyeri kepala sekunder
seperti aneurisma serebral mungkin juga didapatkan riwayat keturunan dalam
keluarga.
Dari penggalian riwayat ini dokter akan memiliki gambaran umum tentang
tingkat disabilitas yang diakibatkan oleh nyeri kepala pasien. Dokter akan mengetahui
bagaimana dampak nyeri kepala pada kehidupan keluarga, sekolah atau pekerjaan,
dan kehidupan sosial. Untuk menghemat waktu dokter, pasien seyogyanya diminta
terlebih dahulu menuliskan semua riwayat tersebut secara rinci sebelum pertemuan
awal dengan dokter.
2. Site (Tempat)
Lokasi dan sisi nyeri kepala dapat mengarahkan dokter pada diagnosis
tertentu. Sisi nyeri kepala pada migren atau sakit kepala klaster dan sefalgia
trigeminal-otonomik yang lain adalah pada satu sisi kepala (unilateral), sedangkan
23
pada TTH sisi nyerinya bilateral atau di seluruh kepala (holocephalic). Nyeri pada
migren bisa muncul di kanan mapupun di kiri. Daerah yang terkena biasanya di
daerah frontal dan temporal kepala, namun kadang juga melibatkan daerah kepala
lain dan leher. Tidak jarang nyeri kepala pada migren juga muncul di daerah
occipitonuchal dan frontotemporal.
Nyeri kepala dengan serangan berulang dan "terkunci pada satu sisi" mungkin
juga merupakan gejala akibat penyakit organik yang mendasari.
3. Origin (Tempat asal)
Nyeri pada migren bisa muncul di kanan mapupun di kiri. Daerah yang
terkena biasanya di daerah frontal dan temporal kepala, namun kadang juga
melibatkan daerah kepala lain dan leher. Tidak jarang nyeri kepala pada migren juga
muncul di daerah occipitonuchal dan frontotemporal. Rasa nyeri pada nyeri kepala
tipe tegang (TTH) berasal dari dahi.
4. Charakter (Karakter)
Karakteristik nyeri kepala pada migren adalah berdenyut dan pada TTH
adalah rasa menekan atau mengikat. Pada klaster nyeri yang dirasakan adalah
membosankan, rasa seperti dibor, atau nyeri yang sangat hebat atau pedih.
Migren ada yang disertai aura dan ada yang tidak. Aura biasanya mendahului
nyeri kepala migren. Kadang-kadang aura terjadi bersamaan dengan nyeri kepala
migren. Durasi aura berkisar antara beberapa menit menit sampai satu jam. Aura pada
migren yang paling umum terjadi adalah aura visual dan sensorik. Aura motorik dan
gangguan berbahasa jarang terjadi. Aura visual dan sensorik terdiri dari gejala positif
atau negatif. Gejala visual positif berupa pola terang atau kompleks, seperti skotoma
24
zig-zag yang gemilang, atau berupa bintikbintik dan seperti cahaya senter. Gejala
visual negatif berupa gangguan lapang pandang, skotoma kosong, atau kabur. Aura
sensorik dapat berupa hipersensitivitas atau parestesia.
Serangan neuralgia trigeminal berupa serangan paroksismal sesaat seperti
nyeri kesetrum. Nyeri seperti terbakar atau berdenyut pada mata atau nyeri periorbital
juga dapat menunjukkan adanya iskemia di daerah vertebrobasilar, perluasan
aneurisma pada dasar tengkorak, diseksi pembuluh darah ekstrakranial atau
intrakranial, oklusi sinus dural, atau inflamasi pada sinus kavernosus. Penyebab
nonvaskular termasuk sakit kepala klaster, short-lasting unilateral neuralgiform
headache with conjunctival injection and tearing (SUNCT), gangguan mata, dan
inflammatory meningeal syndromes.
Penyebab vaskular pada kasus nyeri kepala seperti perdarahan subarachnoid
aneurismal, apopleksi pituitari, dan reversible cerebral vasoconstriction syndrome
biasanya
muncul
dengan
gambaran nyeri
kepala
seperti
tersambar petir
(thunderclapheadache).
5. Radiation (Penjalaran)
Nyeri pada TTH menjalar dari dahi menuju kepala belakang atau menuju ke
temporomandibular joint. Nyeri kepala infratentorial, occipitonuchal, dan tulang
belakang servikal dapat memberikan nyeri rujuk (menjalar) pada dahi atau mata. Hal
ini terjadi karena adanya konvergensi aferen nosiseptif servikal pada servikal ke dua
dan ke tiga dengan aferen trigeminal dalam nukleus trigeminal kaudal dari batang
otak. Nyeri rujuk lain terjadi pada saat darah atau nanah menuju ruang subarachnoid.
Darah atau nanah dalam ruang subarachnoid akan menimbulkan nyeri kepala akut.
25
Nyeri kepala akut ini dapat bergerak ke bawah menyusuri kolumna spinalis menuju
daerah interskapula atau punggung bawah.
6. Associated symptoms (Kumpulan gejala yang terkait)
Mual, muntah umum terjadi pada nyeri kepala migren. Adanya mual dan
muntah ini membantu konfirmasi diagnosis migren, namun bukan merupakan gejala
yang patognomonik untuk migren. Muntah merupakan gejala yang patognomonik
pada pada peningkatan tekanan intrakranial. Muntah ini juga bisa menyertai
gangguan pada daerah postrema dari medula atau pada infeksi sistemik. Fotofobia,
fonofobia dan osmofobia atau olfaktofobia sering menyertai migren, meskipun
gejala-gejala ini juga mungkin terjadi pada meningitis.
Pasien dengan migren sering dapat memprediksi akan datangnya serangan
nyeri kepala karena adanya gejala pertanda yang terjadi beberapa jam atau hari
sebelum nyeri kepala. Gejala pertanda ini meliputi perubahan suasana hati, nafsu
makan, konsentrasi, dan pola tidur.
Gejala visual sesaat mendukung diagnosis migren. Namun, gangguan visual
sesaat yang disertai dengan gangguan ketajaman visual progresif (dengan atau tanpa
gangguan lapang pandang atau papil edema) dapat terjadi pada pasien dengan
peningkatan tekanan intrakranial. Amaurosis terjadi pada pasien dengan neuropati
optik iskemik anterior sekunder akibat vaskulitis (misalnya: giant cell arteritis) atau
emboli retina dari aterosklerosis atau diseksi arteri karotis.
Diplopia pada nyeri kepala dapat merupakan manifestasi dari migren tipe
basilar atau massa parasellar atau aneurisma arteri komunikans posterior. Gangguan
lapang pandang dapat disebabkan oleh adenoma hipofisis atau hipertensi intrakranial
26
idiopatik. Gejala dari infeksi saluran pernapasan atas atau sakit gigi mungkin
menunjukkan sinusitis akut sebagai penyebab sakit kepala.
Parestesia yang berasal dari tangan ke wajah biasa terjadi pada migren. Selain
migren parestesia dari tangan ke wajah juga dapat merupakan manifestasi dari kejang
parsial sensorik atau transient ischemic attack.
7. Timing (Waktu)
Nyeri kepala primer dengan durasi singkat: detik sampai menit mengarah pada
sefalgia trigeminalotonomik lain. Nyeri kepala primer dengan durasi hitungan jam
sampai hari mengarah pada nyeri kepala migren dan tension-type headaches, pada
migren yaitu selama 4-72 jam dan pada TTH selama setengah jam sampai 7 hari.
Migren dan tension-type headaches bisa berlangsung selama berhari-hari atau
mungkin berevolusi menjadi bentuk yang kronis (misalnya: lebih dari 15 hari per
bulan) atau berlangsung terus menerus. Frekuensi sakit kepala dalam sebuah episode
bisa berkali-kali per hari seperti pada sefalgia trigeminal-otonomik lain, berkali-kali
selama seminggu seperti pada nyeri kepala klaster, atau beberapa kali per minggu
atau bulan seperti pada serangan migrain atau tension type headache. Waktu nyeri
kepala pada klaster berada dalam dalam siklus diurnal, bulanan, atau tahunan.
8. Exacerbating and relieving (Hal yang memperparah dan memperingan)
a. Exacerbating (Hal yang memperparah)
Nyeri kepala pada migren bertambah berat dengan aktivitas fisik yang rutin
(seperti berjalan atau naik tangga) sedangkan TTH tidak diperberat dengan aktivitas
fisik yang rutin.
27
Nyeri kepala migren berhubungan dengan menstruasi, ovulasi, stres,
hormonal, kelelahan, kurang tidur, depresi, atau lapar. Demikian pula faktor
lingkungan seperti asap, cahaya silau atau cahaya berkelap-kelip, parfum atau bau
kimia juga dapat mencetuskan migren.
Anggur merah merupakan penyebab klasik migrain. Alkohol adalah pemicu
nyeri kepala klaster. Perubahan dalam kebiasaan tidur berhubungan dengan
eksaserbasi nyeri kepala baik pada klaster maupun migren. Sleep apnea dapat
menyebabkan nyeri kepala pagi hari. Postur tegak memperburuk nyeri kepala akibat
hipotensi intrakranial, yang dapat terjadi secara spontan atau iatrogenik. Posisi
telentang, atau perubahan posisi, mungkin memperburuk nyeri kepala hipertensi
intrakranial. Nyeri kepala karena peningkatan tekanan intrakranial, kista koloid
ventrikel ke tiga, dan malformasi Arnold-Chiari khas diperburuk oleh batuk atau
manuver valsava. Batuk atau manuver valsava dapat memicu nyeri kepala primer
migren. Nyeri kepala terkait dengan aktivitas seksual harus dicurigai sebagai red
flags aneurisma intrakranial, meskipun bisa jadi hanya merupakan nyeri kepala
benigna berulang.
b. Relieving (Hal yang memperingan)
Biasanya penderita migren berkurang rasa nyeri kepalanya saat dipakai tidur
atau beristirahat di sebuah ruangan gelap dan tenang. Pasien dengan nyeri kepala
klaster dapat menggunakan berbagai teknik untuk meringankan nyeri kepala mereka,
mulai dari pengobatan rumahan seperti kompres dingin, hangat, teknik relaksasi, obat
herbal, obat resep, dll.
28
9. Severity (Derajat keparahan atau intensitas)
Derajat keparahan (intensitas) nyeri dapat digunakan untuk membedakan jenis
nyeri kepala primer. Dokter dapat meminta pasien untuk menggambarkan intensitas
nyeri kepala yang dirasakan pasien. Pasien diminta menunjuk skala dia antara skala 1
sampai 10. Skala 1 mewakili rasa nyeri yang hampir tidak terasa nyeri, dan 10
sebagai nyeri yang paling hebat.
Intensitas nyeri kepala pada migren adalah sedang sampai berat, pada nyeri
kepala tipe tegang (TTH) adalah ringan sampai sedang, sedangkan pada klaster
adalah berat sampai sangat berat (tidak tertahankan).
10. State of health between attacks (Kondisi kesehatan diantara serangan)
Pada nyeri kepala migren kondisi kesehatan diantara serangan adalah bebas
nyeri (free of pain). Pada klaster kondisi kesehatan di antara serangan juga bebas
nyeri (free of pain). Klaster bisa mengalami remisi spontan. Pada nyeri kepala tipe
tegang kondisi kesehatan di antara serangan pasien TTH hanya merasakan penurunan
nyeri kepala, namun tidak bebas sam sekali dari rasa nyeri kepala yang ada.
B. Pemeriksaan obyektif
Menurut Bahrudin (2013), pemeriksaan obyektif mencakup pemeriksaan
kesadaran (GCS), pemeriksaan nervus kranialis, dan pemeriksaan neurologis lainnya.
Pemeriksaan ini terutama ditujukan ke arah dugaan tentang tipe nyeri kepala sesuai
dengan anamnesis. Adanya defisit neurologi merujuk kepada nyeri kepala sekunder.
Menurut Hidayati (2016), sebagian besar pasien dengan nyeri kepala pada
pemeriksaan fisiknya ditemukan normal. Hanya sebagian kecil saja yang tidak
normal. Apabila ditemukan ketidaknormalan pada pemeriksaan fisik pasien dengan
29
nyeri kepala, maka hal ini merupakan tanda bahaya (red flags) (Tabel 2.5). Adanya
tanda bahaya (red flags) mewajibkan dokter melakukan tindakan lebih lanjut.
Apabila dokter umum menemukan tanda bahaya (red flags), maka tindakan
selanjutnya adalah segera merujuk pasien ke neurolog. Apabila dokter neurolog yang
menemukan tanda bahaya (red flags), maka tindakan selanjutnya adalah segera
melakukan pemeriksaan penunjang dan memberi terapi sesuai dengan diagnosis yang
telah ditetapkan (Hidayati, 2016).
Menurut Hidayati (2016), perubahan kulit dapat dikaitkan dengan berbagai
etiologi nyeri kepala. Bintik café-au-lait merupakan tanda neurofibromatosis.
Neurofibromatosis ini terkait dengan meningioma intrakranial dan schwannoma.
Kulit kering, alopesia (kebotakan), dan pembengkakan terlihat pada hipotiroidisme.
Lesi melanotik ganas mungkin berhubungan dengan penyakit metastasis ke otak.
Menurut Hidayati (2016), auskultasi bising di daerah karotis dan arteri
vertebral dan orbit dapat memperingatkan klinisi akan potensi stenosis arteri atau
diseksi, atau malformasi arteriovenous.
Pemeriksaan saraf kranial dapat menjadi petunjuk etiologi nyeri kepala.
Gangguan penciuman tersering disebabkan oleh trauma kepala. Gangguan penciuman
menunjukkan adanya gangguan pada alur penciuman (olfactory groove), misalnya
tumor frontotemporal. Pada pemeriksaan funduskopi, adanya perdarahan atau
papilledema mengharuskan dilakukannya imejing yang cepat untuk menyingkirkan
kemungkinan lesi desak ruang. Pemeriksaan lapang pandang yang menunjukkan
defek lapang pandang bitemporal ditemukan pada tumor hipofisis (Hidayati, 2016).
30
Selama serangan nyeri kepala klaster, dokter dapat menemukan adanya
lakrimasi ipsilateral, rhinorrhea, ptosis, miosis, dan wajah berkeringat pada pasien.
Kelainan gerakan mata bisa disebabkan oleh gangguan saraf okulomotor akibat
peningkatan tekanan intrakranial. Saraf kranial lainnya dapat dipengaruhi oleh
berbagai penyebab. Jika keterlibatan bersifat tidak menyeluruh, asimetris, dan
progresif, maka penyebab infiltratif seperti neoplasma, meningitis TB, dan
sarkoidosis harus dipertimbangkan (Hidayati, 2016).
Tabel 2.5 Red Flags (Tanda Bahaya) Untuk Nyeri Kepala: “SNOOP”
S
•
S
•
S
•
N
•
O
O
P
P
P
P
•
•
•
•
•
•
Systemic symptoms (simptom sistemik)
Secondary headache risk factors (faktor resiko nyeri kepala
sekunder)
Seizure (Kejang)
Neurologic symptoms or abnormal signs (symptom neurologi / tanda
abnormal)
Onset (onset)
Older (usia tua)
Progression of headache (nyeri kepala progresif)
Positional change (perubahan posisi)
Papilledema (papil edema)
Precipitated factors (faktor pencetus)
(Hidayati, 2016)
Red flags adalah tanda bahaya atau kondisi yang harus diwaspadai. Beberapa
hal yang terkategori sebagai red flags pada kasus nyeri kepala terangkum dalam tabel
2.5 (Hidayati, 2016).
C. Pemeriksaan dengan alat
Pemeriksaan dengan alat sangat tergantung pada hasil pemeriksaan klinis dan
ada atau tidaknya defisit neurologis. Pemeriksaan tambahan tidak selalu diperlukan.
Pada kebanyakan kasus diagnosis cukup ditegakkan dengan pemeriksaan klinis saja.
Beberapa alat yang bisa digunakan antara lain:
31
1. Elektroensefalografi (EEG)
Menurut Bahrudin (2013), pemeriksaan ini berguna untuk mengetahui lokasi
dari proses, bukan untuk mengetahui etiologisnya. Pemeriksaan dapat dilakukan
dengan serial, dan biaya masih dapat dijangkau oleh sebagaian besar masyarakat.
Indikasi untuk EEG:
a.
Bila terdapat gangguan lapangan penglihatan.
b.
Bila terdapat gangguan fungsi saraf otak.
c.
Bila pasien mengeluh black-out (epilepsi?, sinkope?).
d.
Nyeri kepala yang menetap pada satu sisi disertai dengan gangguan
saraf otak ringan.
e.
Perubahan dari lamanya dan sifat nyeri kepala.
f.
Bila setelah diberikan pengobatan tidak ada perbaikan dari nyeri
kepala.
2. CT scan
Menurut Bahrudin (2013), dengan pemeriksaan ini dapat diketahui tidak
hanya letak dari proses tapi sering juga etiologi dari proses tersebut. Sayangnya,
biaya pemeriksaan masih mahal.
Menurut Bahrudin (2013), indikasi terdapat kejang fokus:
a.
Bila terdapat kejang fokal.
b.
Bila terdapat defisit neurologis yang persisten.
c.
Nyeri kepala pada satu sisi yang tidak berubah disertai dengan
kelainan neurologis kontralateral dengan adanya suatu bruit.
32
d.
Perubahan dari pola nyeri kepala baik mengenai frekuensi, sifat, dan
lamanya.
e.
Penurunan kesadaran yang lebih lama dari satu jam disertai gangguan
saraf otak.
D. Pemeriksaan Laboratorium
Menurut Bahrudin (2013), pemeriksaan ini dikerjakan hanya bila ada indikasi:
a.
Darah, bila diduga adanya infeksi atau gangguan penyakit dalam
(anemia, gangguan metabolik).
b.
Cairan serebro spinal (CSS) bila pada pemeriksaan klinis dicurigai
adanya meningitis.
Secara ringkas dapat disimpulkan bila pasien mengeluh nyeri kepala pastikan
ada tanda meningeal atau tidak bila ada tanda meningeal lakukan pemeriksaan CT
scan (Gambar 2.1) (Bahrudin, 2013).
33
(Bahrudin, 2013)
Gambar 2.1 Tahapan Pemeriksaan Pasien Dengan Nyeri Kepala
2.2.3 Pengobatan
Menurut Bahrudin (2013), sebelum memberikan terapi pada pasien nyeri
kepala, diagnosis harus ditegakkan lebih dahulu. Pemberian obat-obat simtomatis
kadang-kadang diperlukan untuk meringankan keluhan pasien. Jika nyeri kepala
tersebut merupakan gejala yang berhubungan dengan penyakit yang mendasarinya,
maka pengobatan harus diberikan sesuai dengan etiologinya (CEMENTED COAT).
Menurut dari penelitian Hidayati (2016), hubungan yang baik antara dokter
dan pasien diperlukan pada pengelolaan nyeri kepala. Komunikasi efektif yang
disertai dengan keterampilan interpersonal merupakan bagian integral dalam
manajemen pasien dengan nyeri kepala.
34
2.1.8 Komplikasi
Dikarenakan nyeri kepala adalah suatu gejala penyerta dari beberapa penyakit,
maka dari itu tidak ditemukan atau masih belum ditemukan sumber yang
mencantumkan suatu komplikasi dari nyeri kepala.
2.2 Penatalaksanaan Masalah Kesehatan Dengan Pendekatan Dokter Keluarga
Terhadap Nyeri Kepala
Adapun menurut dari peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia nomor
39 tahun 2016 tentang pedoman penyelenggaraan program Indonesia sehat dengan
pendekatan keluarga, memutuskan dan menetapkan peraturan Menteri Kesehatan
tentang penyelengaraan program Indonesia sehat dengan pendekatan keluarga, pada
pasal 1 penyelenggaraan program Indonesia sehat dengan Pendekatan Keluarga
bertujuan untuk pada poin pertama dinyatakan sebagai berikut, yakni tujuan
meningkatkan akses keluarga beserta anggotanya terhadap pelayanan kesehatan yang
komprehensif, meliputi pelayanan promotif dan preventif serta pelayanan kuratif dan
rehabilitatif dasar.
2.2.1 Karakteristik Dokter Keluarga
Menurut Setyawan (2011), dikutip dari bukunya, “Dokter Keluarga:
Paradigma Baru Pendekatan Pelayanan Kesehatan”, Dokter Keluarga memiliki
karakteristik sebagai berikit:
1.
Menurut Lynn P. Carmichael (1993) Dokter Keluarga Berkarakter:
a.
Memiliki
kemampuan
untuk
memelihara kesehatan pasien.
mencegah
penyakit
dan
35
b.
Menempatkan pasien sebagai bagian dari keluarga dan
masyarakat.
c.
Memberikan
pelayanan
menyeluruh,
dengan
mempertimbangkan pasien dan keluarganya.
d.
Andal mendiagnosis, tanggap epidemiologi dan terampil
menangani penyakit.
e.
Tanggap
saling-aruh
faktor
biologik-emosi-sosial,
dan
mewaspadai kemiripan penyakit.
2.
Menurut Debra P. Hymovic dan Martha Underwood Barnards (1973)
Dokter Keluarga Memiliki Karakter:
a.
Memberikan pelayanan responsif dan bertanggung jawab.
b.
Melakukan pelayanan primer dan lanjut.
c.
Melakukan diagnosis dini sehingga mencapai taraf kesehatan
tinggi.
3.
d.
Memandang pasien dan keluarga.
e.
Melayani secara maksimal.
IDI (1982) Karakter Dokter Keluarga Adalah:
a.
Memandang pasien sebagai individu, bagian dari keluarga dan
masyarakat.
b.
Memberikan pelayanan menyeluruh dan maksimal.
c.
Mengutamakan pencegahan, tingkatan taraf kesehatan.
d.
Menyesuaikan dengan kebutuhan pasien dan memenuhinya.
36
e.
Menyelenggarakan pelayanan primer dan bertanggung jawab
atas kelanjutannya.
2.2.2 Kompetensi Dokter Keluarga
Menurut Setyawan (2011), didalam bukunya dikatakan bahwa kompetensi
Dokter Keluarga pada dasarnya sesuai dengan kompetensi umum dokter yang
tercantum dalam Kompetensi Inti Pendidikan Dokter Indonesia III (KIPDI III).
Dimana dalam KIPDI III seorang dokter harus menguasai 7 (tujuh) area kompetensi
dasar yang tercapai dengan berbagai macam kegiatan. Area kompetensi dasar tersebut
adalah:
1.
2.
Komunikasi Efektif
a.
Berkomunikasi dengan pasien serta anggota keluarganya.
b.
Berkomunikasi dengan sejawat.
c.
Berkomunikasi dengan masyarakat.
d.
Berkomunikasi dengan profesi lain.
Keterampilan Klinis
Memperoleh dan mencatat informasi yang akurat serta penting tentang
pasien dan keluarganya.
3.
Landasan Ilmiah Ilmu Kedokteran
Menerapkan konsep-konsep dan prinsip-prinsip ilmu biomedik, klinik,
perilaku dan ilmu kesehatan masyarakat sesuai dengan pelayanan kesehatan
tingkat primer.
37
4.
Pengelolaan Masalah Kesehatan
a.
Mengelola penyakit, keadaan sakit dan masalah pasien sebagai
individu yang utuh, bagian dari keluarga dan masyarakat.
b.
Melakukan pencegahan penyakit dan keadaan sakit.
c.
Melaksanakan pendidikan kesehatan dalam rangka promosi
kesehatan dan pencegahan penyakit.
d.
Menggerakkan
dan
memberdayakan
masyarakat
untuk
meningkatkan derajat kesehatan.
e.
Mengelola sumber daya manusia serta sarana dan prasarana
secara efektif dan efisien dalam pelayanan kesehatan primer
dengan pendekatan kedokteran keluarga.
5.
Pengelolaan Informasi
a.
Menggunakan teknologi informasi dan komunikasi untuk
membantu penegakan diagnosis, pemberian terapi, tindakan
pencegahan dan promosi kesehatan, serta penjagaan dan
pemantauan status kesehatan pasien.
6.
b.
Memahami manfaat dan keterbatasan teknologi informasi.
c.
Memanfaatkan informasi kesehatan.
Mawas Diri dan Pengembangan diri
a.
Menerapkan mawas diri.
b.
Mempratekkan belajar sepanjang hayat.
c.
Mengembangkan pengetahuan baru.
38
7.
Etika, Moral, Medikolegal dan Profesionalisme serta Keselamatan
Pasien
a.
Memiliki sikap profesional.
b.
Berperilaku profesional dalam bekerja sama.
c.
Sebagai anggota tim pelayanan kesehatan yang profesional.
d.
Melakukan praktek kedokteran dalam masyarakat multikultural
di Indonesia.
e.
Memenuhi aspek medikolegal dalam praktek kedokteran.
f.
Menerapkan keselamatan pasien dalam praktek kedokteran.
Selain kompetensi dasar di atas, menurut Setyawan (2013) yang dikutib dari
bukunya, seorang Dokter Keluarga harus mempunyai kompetensi khusus yang lebih
daripada seorang lulusan Fakultas Kedokteran pada umumnya. Kompetensi khusus
inilah yang perlu dilatihkan melalui program pelatihan. Yang dicantumkan di sini
hanyalah kompetensi yang harus dimiliki oleh setiap Dokter Keluarga secara garis
besar. Adapun kompetensi tersebut sebagai berikut:
1.
Menguasai dan mampu menerapkan konsep operasional kedokteran
keluarga.
2.
Menguasai pengetahuan dan mampu menerapkan ketrampilan klinik
dalam pelayanan kedokteran keluarga.
39
3.
Menguasai ketrampilan berkomunikasi, menyelenggarakan hubungan
profesional dokter dengan pasien untuk:
a.
Secara efektif berkomunikasi dengan pasien dan semua
anggota keluarga dengan perhatian khusus terhadap peran dan
risiko kesehatan keluarga.
b.
Secara efektif memanfaatkan kemampuan keluarga untuk
bekerjasama menyelesaikan masalah kesehatan, peningkatan
kesehatan, pencegahan dan penyembuhan penyakit, serta
pengawasan dan pemantauan risiko kesehatan keluarga.
c.
Dapat bekerjasama secara profesioanal secara harmonis dalam
satu tim pada penyelenggaraan pelayanan kedokteran atau
pelayanan kesehatan.
4.
Memiliki ketrampilan manajemen pelayanan klinis dalam hal:
a.
Dapat memanfaatkan sumber pelayanan primer dengan
memperhitungkan potensi yang dimiliki pengguna jasa
pelayanan untuk menyelesaikan masalahnya.
b.
Menyelenggarakan
pelayanan kedokteran keluarga
yang
bermutu dengan standar yang ditetapkan.
5.
Memberikan pelayanan kedokteran berdasarkan etika moral dan
spiritual.
6.
Memiliki pengetahuan dan ketrampilan di bidang pengelolaan
pelayanan
kesehatan
Kesehatan atau JPKM).
termasuk
sistem
pembiayaan
(Asuransi
40
2.2.3 Prinsip-prinsip pendekatan pelayanan Dokter Keluarga
Kemudian menurut Setyawan (2011), sehingga pada akhirnya dapat
disimpulkan bahwa Dokter Keluarga dalam prakteknya menerapkan menggunakan
prinsip-prinsip pendekatan pelayanan Dokter Keluarga, yaitu:
1.
Memberikan layanan komprehensif dengan pendekatan holistik.
2.
Menyelenggarakan pelayanan kesehatan yang kontinyu mulai dari
konsepsi sampai mati.
3.
Mengutamakan pencegahan (empat tingkat pencegahan).
4.
Menyelenggarakan
pelayanan
kesehatan
yang koordinatif
dan
kolaboratif.
5.
Memberikan pelayanan kesehatan individual sebagai bagian integral
dari keluarganya.
6.
Mempertimbangkan keluarga, komunitas, masyarakat dan lingkungan
tempat pasien berada.
7.
Sadar etika, moral dan hukum.
8.
Memberikan pelayanan kesehatan yang sadar biaya dan sadar mutu.
9.
Menyelenggarakan pelayanan kesehatan yang dapat diaudit dan
dipertanggung jawabkan.
Menurut Setyawan (2011), adapun penjabaran prinsip-prinsip di atas adalah
sebagai berikut:
1.
Pelayanan Kesehatan yang Komprehensif dengan Pendekatan Holistik.
a.
Promotif, preventif, kuratif dan rehabilitatif.
41
b.
Memandang pasien sebagai manusia seutuhnya, bukan hanya
bagian tubuhnya yang sakit.
2.
Pelayanan Kesehatan yang Kontinyu.
a.
Mempunyai rekam medis yang diisi dengan cermat.
b.
Dianjurkan untuk berpraktek di tempat yang sama, dokter dan
kliniknya sebaiknya jangan berpindah-pindah.
c.
Menjalin kerjasama dengan profesional dan institusi pelayanan
kesehatan lainnya untuk kepentingan pasien agar proses
konsultasi dan rujukan berjalan lancar.
3.
4.
Pelayanan Kesehatan yang Mengutamakan Pencegahan.
a.
Melayani KIA, KB, vaksinasi.
b.
Mendiagnosis dan mengobati penyakit sedini mungkin.
c.
Mengkonsultasikan atau merujuk pasien pada waktunya.
d.
Mencegah kecacatan.
Pelayanan Kesehatan yang Koordinatif dan Kolaboratif
a.
Kerjasama profesional dengan semua pengandil agar dicapai
pelayanan kesehatan yang bermutu dan mencapai kesembuhan
optimal.
b.
Memanfaatkan potensi pasien dan keluarganya seoptimal
mungkin untuk penyembuhan. Sebagai contoh: melatih anggota
keluarga untuk mengukur dan memantau suhu tubuh pasien
atau bahkan tekanan darah dan kadar gula darahnya. Hasil itu
42
selanjutnya dilaporkan secara berkala kepada dokter yang
bersangkutan.
5.
Penanganan Individual bagi Setiap Pasien sebagai Bagian Integral dari
Keluarganya.
a.
Titik awal (entry point) pelayanan Dokter Keluarga adalah
individu seorang pasien.
b.
Unit terkecil yang dilayaninya adalah individu pasien itu
sendiri sebagai bagian integral dari keluarganya.
c.
Seluruh anggota keluarga dapat menjadi pasien seorang Dokter
Keluarga akan tetapi tetap dimungkinkan sebuah keluarga
mempunyai lebih dari satu dokter keluarga.
6.
Pelayanan Kesehatan yang Mempertimbangkan Keluarga, Lingkungan
Kerja, Masyarakat dan Lingkungan Tempat Tinggalnya.
a.
Selalu mempertimbangkan pengaruh keluarga, komunitas,
masyarakat dan lingkungannya yang dapat mempengaruhi
penyembuhan penyakitnya.
b.
Memanfaatkan
keluarga,
komunitas,
masyarakat
dan
lingkungannya untuk membantu penyembuhan penyakitnya.
7.
Pelayanan yang Menjungjung Tinggi Etika dan Hukum.
a.
Mempertimbangkan etika dalam setiap tindak medis yang
dilakukan pada pasien.
b.
Meminta ijin pada pasien untuk memberitakan penyakitnya
kepada keluarganya atau pihak lain.
43
c.
Menyadari bahwa setiap kelalaian dalam tindakannya dapat
menjadi masalah hukum.
8.
Pelayanan Kesehatan yang Sadar Biaya dan Sadar Mutu.
a.
Mempertimbangkan segi “cost-effectiveness” dalam merancang
tindakan medis untuk pasiennya.
b.
Mampu mengelola dan mengembangkan secara efisien dengan
neraca positif sebuah klinik Dokter Keluarga dengan tetap
menjaga mutu pelayanan kesehatan.
c.
Mampu bernegosiasi dengan pelayanan kesehatan yang lain
(Rumah Sakit, Apotik, Optik dan lain-lain) secara berimbang
sehingga tercapai kerjasama yang menguntungkan semua pihak
khususnya pasien.
d.
Mampu bernegosiasi dengan perusahaan asuransi kesehatan
secara serasi dan selaras sehingga tercapai kerjasama yang
menguntungkan semua pihak khususnya pasien.
9.
Pelayanan
Kesehatan
yang
Dapat
Diaudit
dan
Dapat
Dipertanggungjawabkan.
a.
Rekam medis yang lengkap dan akurat yang dapat dibaca orang
lain yang berkepentingan.
b.
Menyediakan SOP untuk setiap layanan medis.
c.
Belajar sepanjang hayat dan memanfaatkan EBM (Evidence
Based Medicine) serta menggunakannya sebagai alat untuk
44
merancang tindakan medis dan bukan sebagai pembuat
keputusan.
d.
Menyadari keterbatasan kemampuan dan kewenangan.
e.
Menyelenggarakan pertemuan ilmiah rutin membahas berbagai
kasus sambil mengaudit penatalaksanaannya.
Pada gambar 2.2 dibandingkan prinsip-prinsip pelayanan dokter keluarga
yang diambil dari berbagai sumber yang tercantum di bawah tabel (Setyawan, 2011).
Gambar 2.2 Prinsip Pelayanan Dokter Keluarga
A
B
C
Continuous
Access to care Continuity of care
care
D
General
E
Comprehensive
and holistic
First contact
and continuous
care
Preventive and
promotive care
Coordinative
and
collaborative
care
Continuity of
care
Comprehensiveness
Cost effective
care
Contextual
Comprehensive
care
Coordination of
care
Comprehensive
care
Prevention
Coordination
of care
Prevention
Accessibility
Community
Contextual
care
Family
consideration
Coordinator of
care
Collaborative Personal care
Community
consideration
Family and
community
consideration
Ethics and law
Family
consideration
Cost
Self reflective containment
consideration
Can be audited
and
Managerial
accountable
care
(Setyawan, 2011)
Togetherness
Sesuai dengan tujuan pembangunan kesehatan bangsa Indonesia yang tertuang
dalam Sistem Kesehatan Nasional (SKN) 2004 yang disempurnakan dengan
45
rancangan SKN 2009 yang mempertegas makna pembangunan kesehatan dalam
rangka pemenuhan hak asasi manusia, melaksanakan pemerataan upaya kesehatan
yang terjangkau dan bermutu, maka perlu dibentuk suatu model pelayanan kesehatan
yang dapat mewujudkan tujuan pembangunan kesehatan berdasarkan SKN
(Setyawan, 2013).
Pelayanan kesehatan dokter keluarga merupakan salah satu sitem pelayanan
kesehatan dengan pendekatan pelayanan yang mencoba memenuhi hak asasi dan
mewujudkan pelayanan kesehatan yang bermutu. Pelayanan kesehatan dokter
keluarga juga memperdayakan masyarakat yang dalam hal ini mulai dari keluarga
sampai dengan masyarakat disekitarnya dengan menumbuhkan paradigma sehat
(Setyawan, 2013).
Menurut Roebijoso (2003), dari buku Setyawan (2013), Konsep pendekatan
pelayanan dokter keluarga dapat dijabarkan dalam gambar 2.3 berikut ini:
46
(Rubijoso, 2003)
Gambar 2.3 Konsep Pendekatan Pelayanan Kesehatan
Menurut Setyawan (2013), untuk mencapai mutu pelayanan medik yang baik,
perlu disusun standar agar dokter keluarga dapat melaksanakan pelayanannya dengan
baik. Standar pelayanan tersebut telah tersusun dalam suatu Buku Standar Pelayanan
Dokter Keluarga.
47
Di dalam UU RI No. 36 Th. 2009 tentang kesehatan, menyatakan bahwa
upaya kesehatan adalah setiap kegiatan dan atau serangkaian kegiatan yang dilakukan
secara terpadu, terintregasi dan berkesinambungan untuk memelihara dan
meningkatkan derajat kesehatan masyarakata dalam bentuk pencegahan penyakit,
peningkatan kesehatan, pengobatan penyakit, dan pemulihan kesehatan oleh
pemerintah dan atau masyarakat.
Kemudian menurut Setyawan (2011), yang dikutib dari bukunya, terdapat
bahwa sesuai standar pelayanan paripurna, di dalam pelayanan yang disediakan
dokter keluarga adalah pelayanan medis strata pertama untuk semua orang yang
bersifat paripurna (comprehensive), yaitu termasuk pemeliharaan dan peningkatan
kesehatan (promotive), pencegahan penyakit dan proteksi khusus (preventive &
spesific protection), pemulihan kesehatan (curative), pencegahan kecacatan
(disability limitation) dan rehabilitasi setelah sakit (rehabilitation) dengan
memperhatikan kemampuan sosial serta sesuai dengan medicolegal etika kedokteran.
Pelayanan ini meliputi: (1) pelayanan medis strata pertama untuk semua orang, (2)
pemeliharaan dan peningkatan kesehatan, (3) pencegahan penyakit dan proteksi
khusus, (4) deteksi dini, (5) kuratif medik, (6) rehabilitasi medik dan sosial, (7)
kemampuan sosial keluarga, dan (8) etik medikolegal.
Adapun penjabaran pelayanan-pelayanan kesehatan menurut UU RI No. 36
Th. 2009 tentang kesehatan, adalah sebagai berikut:
1.
Pelayanan kesehatan promotif adalah suatu kegiatan dan atau
serangkaian kegiatan pelayanan kesehatan yang lebih mengutamakan
kegiatan yang bersifat promosi kesehatan.
48
2.
Pelayanan kesehatan preventif adalah suatu kegiatan pencegahan
terhadap suatu masalah kesehatan atau penyakit.
3.
Pelayanan kesehatan kuratif adalah suatu kegiatan dan atau
serangkaian kegiatan pengobatan yang ditujukan untuk penyembuhan
penyakit, pengurangan penderitaan akibat penyakit, pengendalian
penyakit, atau pengendalian kecacatan agar kualitas penderita dapat
terjaga seoptimal mungkin.
4.
Pelayanan kesehatan rehabilitatif adalah kegiatan dan atau serangkaian
kegiatan untuk mengembalikan bekas penderita ke dalam masyarakat
sehingga dapat berfungsi lagi sebagai anggota masyarakat yang
berguna untuk dirinya dan masyarakat semaksimal mungkin sesuai
dengan kemampuannya.
Adapun menurut Setyawan (2013), di dalam salah satu dari bagian Standar
Pelayanan Dokter Keluarga, yaitu, di dalam poin Standar Pelayanan Medis, yang
tertulis di dalam bukunya, pelayanan yang disediakan dokter keluarga merupakan
pelayanan medis yang melaksanakan pelayanan kedokteran secara lage artis.
Pelayanan ini meliputi tindakan berupa: (1) Anamnesis; (2) Pemeriksaan fisik dan
pemeriksaan penunjang; (3) Penegakkan diagnosis dan diagnosis banding; (4)
Prognosis; (5) Konseling; (6) Konsultasi; (7) Rujukan; (8) Tindak lanjut; (9)
Tindakan; (10) Pengobatan rasional; dan (11) Pembinaan keluarga.
Kemudian untuk gejala nyeri kepala itu sendiri, menurut Hidayati (2016),
hubungan yang baik antara dokter dan pasien diperlukan pada pengelolaan nyeri
kepala. Komunikasi efektif yang disertai dengan keterampilan interpersonal
49
merupakan bagian integral dalam manajemen pasien dengan nyeri kepala. Ada
beberapa langkah dalam manajemen pasien. Pertama, tentu saja, adalah anamnesis
dan pemeriksaan. Dokter harus dapat membedakan nyeri kepala primer dan nyeri
kepala sekunder.
Download