BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Nyeri Kepala 2.1.1 Epidemiologi Sebagian besar orang pernah mengalami nyeri kepala (headache) pada sepanjang hidupnya, terbukti dari hasil penelitian population base di Singapore didapati prevalensi life time nyeri kepala penduduk Singapore adalah pria 80%, wanita 85% (p = 0.0002). Angka tersebut hampir mirip dengan hasil penelitian pendahuluan di Medan terhadap mahasiswa Fakultas Kedokteran USU mendapati hasil pria 78% sedangkan wanitanya 88% (Widjaja, 2005). Di Amerika Serikat, dalam satu tahun lebih dari 70% penduduknya pernah mengalami nyeri kepala, lebih dari 5% mencari atau mengusahakan pengobatan, tetapi hanya ± 1% yang datang ke dokter atau rumah sakit khusus untuk keluhan nyeri kepalanya. Penelitian yang dilakukan di Singapura didapatkan prevalensi life time nyeri kepala penduduk singapura adalah laki-laki 80%, wanita 85%. Angka tersebut hampir mirip dengan hasil penelitian Syahrir di Medan terhadap mahasiswa Fakultas Kedokteran USU, didapatkan hasil laki-laki 78% sedangkan wanitanya 88%. Dari hasil pengamatan jenis penyakit dari pasien yang berobat jalan di praktek sore Syahrir selama tahun 2003, ternyata nyeri kepala menduduki proporsi tempat teratas, sekitar 42% dari keseluruhan pasien neurologi. (Bahrudin, 2013). Nyeri kepala merupakan keluhan yang paling sering dikeluhkan oleh pasien saat datang ke dokter, baik ke dokter umum maupun neurolog. Sampai saat ini nyeri 4 5 kepala masih merupakan masalah. Masalah yang diakibatkan oleh nyeri kepala mulai dari gangguan pada pola tidur, pola makan, depresi sampai kecemasan (Hidayati, 2016). 2.1.2 Definisi Sakit Kepala merupakan keluhan utama yang paling sering disajikan kepada dokter. Setiap jenis “sakit kepala” mempunyai dasar organik, walaupun pada sebagian terdapat juga faktor etiologik yang bersifat patogenik (Sidharta, 2012). Nyeri Kepala adalah semua perasaan yang tidak menyenangkan di daerah kepala. Nyeri di leher atau kerongkongan tidak dimasukkan dalam nyeri kepala (Bahrudin, 2013). Nyeri kepala adalah rasa nyeri atau rasa tidak mengenakkan pada daerah kepala dengan batas bawah dari dagu sampai kedaerah belakang kepala (area oksipital dan sebagian daerah tengkuk). International Headache Society (IHS) pada tahun 1988 telah membagi nyeri kepala menjadi dua yaitu, nyeri kepala primer dan nyeri kepala sekunder. Nyeri kepala primer adalah nyeri kepala tanpa disertai adanya penyebab struktural organik sedangkan nyeri kepala sekunder adalah nyeri kepala yang disertai penyebab struktural organik (Nurwulandari, 2014). Nyeri kepala didefinisikan sebagai suatu perasaan tidak mengenakkan pada daerah kepala yang sering dikeluhkan dari para penderitanya karena dapat mengganggu aktivitas sehari-hari (Nurwulandari, 2014). Nyeri kepala adalah salah satu keluhan yang paling umum dikeluhkan oleh pasien saat datang ke dokter perawatan primer dan neurolog. Meskipun sebagian besar nyeri kepala adalah jinak (tidak membahayakan), namun dokter dihadapkan 6 pada tugas penting untuk membedakan gangguan nyeri kepala yang jinak dan yang berpotensi mengancam nyawa. Mengingat banyak penyakit sering disertai dengan keluhan nyeri kepala, perlu pendekatan yang terfokus dan sistematis untuk memfasilitasi diagnosis dan pengobatan yang tepat pada berbagai jenis nyeri kepala (Hidayati, 2016). 2.1.4 Faktor resiko Dalam penelitian Tandaju, Runtuwene, Kembuan (2016), stres mencetus serangan nyeri kepala terbanyak yaitu pada 149 orang (84,6%), sedangkan faktor pencetus yang paling sedikit ditemukan ialah perubahan cuaca yang mempengaruhi 34 orang (19,3%) (Tabel 2.1) (Tandaju, Runtuwene, Kembuan, 2016). Tabel 2.1 Distribusi Faktor Resiko Pencetus Nyeri Kepala Pencetus Stress Perubahan pola tidur Melewatkan waktu malam Menstruasi Asap rokok Perubahan cuaca Menonton / bermain laptop Frekuensi 149 110 74 66 68 34 56 % 84,6 62,5 42 37,5 38,6 19,3 31,8 (Tandaju, Runtuwene, Kembuan, 2016) Menurut penelitian Straube, Heinen, Ebinger et al (2013), secara umum, kami dapat membagi faktor resiko ke dalam kategori pola hidup, bersekolah dan kejiwaan. Penyebab khas yang sering ditemukan dari faktor-faktor pola hidup yaitu meliputi: 1. Konsumsi kafein 2. Konsumsi alkohol 3. Merokok 4. Kurangnya aktivitas fisik 7 Menurut penelitian Straube, Heinen, Ebinger et al (2013), ditemukannya konsumen kafein yang biasanya berhubungan dengan frekuensi terjadinya nyeri kepala pada orang dewasa dan remaja. Sedangkan baik dari penelitian HUNT dan survei dari pelajar SMA di Munich, Jerman, menunjukkan bahwa adanya hubungan yang signifikan antara merokok dan terjadinya nyeri kepala. Kemudian berbeda dengan orang dewasa, pada remaja mengkonsumsi alkohol juga merupakan faktor resiko dari terjadinya nyeri kepala. Dan dari sebuah hubungan yang signifikan antara minum koktail dan terjadinya nyeri kepala ditemukan di antara pelajar SMA. Dan lagi, baik dari penelitian HUNT dan Munich menunjukkan bahwa ditemukan adanya hubungan dengan kurangnya aktivitas fisik dengan terjadinya nyeri kepala. Kemudian tidak mengherankan, kelebihan berat badan juga bisa dihubungkan dengan nyeri kepala pada kalangan remaja. Dalam sebuah penelitian di Amerika menunjukkan bahwa kehilangan berat badan juga berhubungan dengan penurunan jumlah angka pada kasus terjadinya nyeri kepala. Penelitian lain menunjukkan tidak ada pengaruh hubungan dengan mengkonsumsi air mineral, melewatkan waktu makan atau riwayat meningitis dan penggunaan komputer sehari-hari (video game, media elektronik) juga tidak berpengaruh terhadap terjadinya nyeri kepala yang ditimbulkan. Stres di sekolah serta harapan dan tuntutan dari orang tua yang sangat tinggi merupakan salah satu faktor resiko untuk meningkatkan kondisi terjadinya nyeri kepala pada pelajar. Kemudian dari penelitian menunjukkan bahwa meluangkan waktu senggang yang efektif (meluangkan waktu yang tepat tanpa kegiatan yang direncanakan) mengurangi faktor resiko terjadinya nyeri kepala. Dalam sebuah survei terhadap pelajar SMA, ditemukan 80% mengeluh nyeri kepala dan lebih dari 40% 8 memiliki aktifitas kurang dari dua jam yang tidak direncanakan per hari (Straube, Heinen, Ebinger et al, 2013). Faktor resiko lain yang termasuk stres emosional yang timbul antara lain dari kedua orang tua dan faktor kehidupan sehari-hari. Dalam sebuah penelitian dari Lower Saxony, Negara bagian Jerman, terdapat hubungan antara adanya konflik di dalam keluarga terhadap terjadinya nyeri kepala termasuk hal biasa, terutama pada anak laki-laki. Dalam sebuah penelitian di Taiwan menunjukkan bahwa pada anakanak dengan nyeri kepala kronis, jika dibandingkan dengan jumlah penduduk yang ada, secara signifikan memiliki jumlah yang lebih rendah pada Angka Lingkungan Keluarga Global dan lebih sering dilaporkan terjadi kekerasan fisik dan perceraian terhadap ke-dua orang tua mereka (Straube, Heinen, Ebinger et al, 2013). Beberapa penelitian telah menunjukkan bahwa terdapat adanya hubungan antara kekerasan fisik dan dengan frekuensi nyeri kepala. Selain kekerasan fisik, baik pelecehan seksual dan stres emosional, serta kurangnya perhatian, merupakan faktor resiko yang signifikan berhubungan dengan onset awal dan kronisitas terhadap terjadinya nyeri kepala. Hubungan tersebut adalah diagnosis tersendiri dari depresi atau gangguan kecemasan. Begitu juga sebaliknya, sebuah hubungan yang kooperatif, bukan hubungan dari keluarga dapat terhindar terhadap terjadinya nyeri kepala (Tabel 2.2) (Straube, Heinen, Ebinger et al, 2013). 9 Tabel 2.2 Faktor-faktor Resiko Terhadap Nyeri Kepala Pada Anak-anak dan Remaja Reguler alcohol ingestion Overwight Regular coffe ingestion Age group (years) 13-19 12-18 11-26 13-19 12-18 13-19 12-18 13-19 No free time 8-15 Listening to music Divorce of parents Negative personal experience Lack of satisfaction 13-17 13-15 12-13 12-13 Familial disagreements 8-15 Abuse 13-15 Bullying 11-15 Unfair treatment by teacher High familial expectations 11-15 12-13 Risk factor To little activity Regular nicotine use OR = Odds Ratio n 1260 5847 980 1260 5847 1260 5847 1260 1434 boys 541 girls 1025 4645 1694 1694 1434 boys 541 girls 3955 123 227 4119 1694 Result OR; 95% (confidence interval) OR: 2,2 (1,3-3,7) OR: 1,2 (1,1-1,4) OR: 2,16 (1,39-3,35) for frequent headaches OR: 2,7 (1,4-5,1) OR: 1,5 (1,3-1,7) OR: 3,4 (1,9-6,0) OR: 1,4 (1,2-1,6) OR: 2,4 (1,3-4,7) OR: 2,12 (1,29-3,48) OR: 0,99 (0,28-3,47) OR: 2,1 (1,2-3,7) for 1-2h/daily OR: 5,8 (1,2-28,0) OR: 1,88 (1,41-2,52) OR: 1,85 (1,48-2,31) OR: 1,78 (1,05-3,02) OR: 1,25 (1,01-1,55) OR: 1,6 (1,4-1,9) rare: OR: 1,40 (1,30-1,50) weekly: OR: 1,86 (1,70-2,05) OR: 1,24 (1,15-1,34) OR: 1,40 (1,11-1,74) (Strauble, Heinen, Ebinger et al, 2013) Menurut penelitian Straube, Heinen, Ebinger et al (2013), bersekolah merupakan bagian terpenting dari kehidupan setiap anak-anak dan remaja. Penelitian telah memberikan perhatian yang cukup besar untuk pengaruh terhadap perilaku mengintimidasi dan trauma fisik pada pengembangan masalah somatik dan emosional. Misalnya, berkembangnya faktor resiko terjadinya nyeri kepala berulang kali meningkat sebesar 25% ketika anak-anak sekolah merasa guru mereka memperlakukan mereka secara sangat tidak adil dan tidak wajar. Begitu juga sebaliknya, ketika merasa diperlakukan adil dan sewajarnya bisa mengakibatkan mengurangi faktor resiko terjadinya nyeri kepala dengan lebih dari 40%. Perilaku mengintimidasi meningkatkan faktor resiko terjadinya nyeri kepala dan melakukan penatalaksanaan nyeri kepala tersebut. Ada hubungan yang kuat antara keparahan yang dirasakan akibat bullying dan frekuensi terjadinya nyeri kepala. Sebuah 10 penelitian cross-sectional di 28 negara menunjukkan bahwa terjadinya perilaku mengintimidasi meningkatkan sekali faktor resiko terjadinya nyeri kepala sebesar 40%, sementara dalam satu minggu akibat dari bullying menimbulkan terjadinya nyeri kepala sebesar 80-90%. Jika salah satu ketegori dari semua faktor-faktor resiko ini bersama-sama sebagai penyebab stres, maka salah satu akan dapat menimbulkan pertanyaan apakah stres yang dirasakan tersebut berhubungan dengan frekuensi terjadinya nyeri kepala. Sedangkan penelitian yang menunjukkan bahwa adanya hubungan antara frekuensi migrain dan jangka waktu terhadap pemeriksaan nyeri kepala tersebut menunjukkan ke arah tersebut. Terdapat sekitar 20% dari pelajar SMA mengeluhkan stres yang berlebihan, pada umumnya tidak selalu penyebab bersekolah sebagai faktor terjadinya stres paling utama. Tingkat subjektif stres akan lebih tinggi pada pelajar dengan migrain dibandingkan pada pelajar dengan nyeri kepala tipe tegang atau tanpa nyeri kepala (Tabel 2.2) (Straube, Heinen, Ebinger et al, 2013). Beberapa penyakit seperti HIV, kanker, meningitis, tumor metastasis, dan gangguan intra kranial lain dapat mengakibatkan terjadinya nyeri kepala. Nyeri kepala karena adanya gangguan struktural seperti HIV, kanker, meningitis, tumor metastasis, dan gangguan intra kranial lain terkategori dalam nyeri kepala sekunder. Bila didapatkan kasus nyeri kepala pada orang dengan penyakit-penyakit yang berisiko untuk terjadi nyeri kepala maka nyeri kepala ini masuk dalam (secondary headache risk factors) (Hidayati, 2016). 11 2.1.4 Etiologi Penyebab nyeri kepala banyak sekali, meskipun kebanyakan adalah kondisi yang tidak berbahaya (terutama bila kronik dan kambuhan), namun nyeri kepala yang timbul pertama kali dan akut awas ini adalah manifestasi awal dari penyakit sistemik atau suatu proses intrakranial yang memerlukan evaluasi sistemik yang lebih teliti (Bahrudin, 2013). Nyeri kepala bisa dirangsang karena faktor intra kranial (misalnya: meningitis, Sub Arachnoid Haemorhage (SAH), tumor otak) atau faktor ekstra kranial yang umumnya bukan kasus neurologi (misalnya: sinusitis, glaukoma) yang keduanya digolongkan sebagai nyeri kepala sekunder (Bahrudin, 2013). Secara praktis menurut Bahrudin (2013), penyebab timbulnya nyeri kepala dapat diringkas sebagai berikut: a. Circulation: Perdarahan intraserebral, perdarahan subaraknoidal. b. Encephalomeningitis. c. Migraine. d. Eye: Glaucoma, radang, keratitis, anomaly refraksi. e. Neoplasm (Tumor otak). f. Trauma capitis: Komusio, kontusio, perdarahan perdarahan subdular. g. Ear dan nose: Mastoiditis, otitis media, sinusitis, rhinitis. h. Dental: Gigi, gusi. i. Cluster headache. j. Otot: Tension headache. ekstradural, 12 k. Arteritis temporalis. l. Trigeminal neuralgia. Bila hurut terdepan dirangkai, maka terbentuk kata “CEMENTED COAT”. Faktor pencetus nyeri kepala misalnya: batuk, tenaga, aktivitas seksual, manuver valsava, atau tidur). Nyeri kepala yang diperberat oleh batuk, tenaga, aktivitas seksual, maneuver valsava, atau tidur tumor curiga akan Arterio Venous Malformation (AVM), Sub Arachnoid Hemorrhage (SAH), atau penyakit vaskuler (Hidayati, 2016). 2.1.5 Patofisiologi Menurut Akbar (2010), beberapa teori yang menyebabkan timbulnya nyeri kepala terus berkembang hingga sekarang. Seperti, teori vasodilatasi kranial, aktivasi trigeminal perifer, lokalisasi dan fisiologi second order trigeminovascular neurons, cortical spreading depression, aktivasi rostral brainstem. Rangsang nyeri bisa disebabkan oleh adanya tekanan, traksi, displacement maupun proses kimiawi dan inflamasi terhadap nosiseptor-nosiseptor pada struktur peka nyeri di kepala. Jika struktur tersebut yang terletak pada atau pun diatas tentorium serebelli dirangsang maka rasa nyeri akan timbul terasa menjalar pada daerah didepan batas garis vertikal yang ditarik dari kedua telinga kiri dan kanan melewati puncak kepala (daerah frontotemporal dan parietal anterior). Rasa nyeri ini ditransmisi oleh saraf trigeminus (Akbar, 2010). Sedangkan rangsangan terhadap struktur yang peka terhadap nyeri dibawah tentorium (pada fossa kranii posterior) radiks servikalis bagian atas dengan cabangcabang saraf perifernya akan menimbulkan nyeri pada daerah dibelakang garis 13 tersebut, yaitu daerah oksipital, suboksipital dan servikal bagian atas. Rasa nyeri ini ditransmisi oleh saraf kranial IX, X dan saraf spinal C-1, C-2, dan C-3. Akan tetapi kadang-kadang bisa juga radiks servikalis bagian atas dan N. oksipitalis mayor akan menjalarkan nyerinya ke frontal dan mata pada sisi ipsilateral. Telah dibuktikan adanya hubungan erat antara inti trigeminus dengan radiks dorsalis segmen servikal atas. Trigemino cervical reflex dapat dibuktikan dengan cara stimulasi n.supraorbitalis dan direkam dengan cara pemasangan elektrode pada otot sternokleidomastoideus. Input eksteroseptif dan nosiseptif dari trigemino-cervical reflex ditransmisikan melalui polysinaptic route, termasuk spinal trigeminal nuklei dan mencapai servikal motorneuron. Dengan adanya hubungan ini didapatkan bahwa nyeri didaerah leher dapat dirasakan atau diteruskan kearah kepala dan sebaliknya (Akbar, 2010). Menurut Kinik, Alehan, Erol et al (2010), salah satu teori yang paling populer mengenai penyebab nyeri kepala ini adalah kontraksi otot wajah, leher, dan bahu. Otot-otot yang biasanya terlibat antara lain m. splenius capitis, m. temporalis, m. masseter, m. sternocleidomastoideus, m. trapezius, m. cervicalis posterior, dan m. levator scapulae. Penelitian mengatakan bahwa para penderita nyeri kepala ini mungkin mempunyai ketegangan otot wajah dan kepala yang lebih besar daripada orang lain yang menyebabkan mereka lebih mudah terserang sakit kepala setelah adanya kontraksi otot. Kontraksi ini dapat dipicu oleh posisi tubuh yang dipertahankan lama sehingga menyebabkan ketegangan pada otot ataupun posisi tidur yang salah. Ada juga yang mengatakan bahwa pasien dengan sakit kepala kronis bisa 14 sangat sensitif terhadap nyeri secara umum atau terjadi peningkatan nyeri terhadap kontraksi otot. Sebuah teori juga mengatakan ketegangan atau stres yang menghasilkan kontraksi otot di sekitar tulang tengkorak menyebabkan vasokonstriksi pembuluh darah sehingga aliran darah berkurang yang menyebabkan terhambatnya oksigen dan menumpuknya hasil metabolisme yang akhirnya akan menyebabkan nyeri (Goadsby, Lipton, Ferrari, 2002; Kinik, Alehan, Erol et al, 2010). Para peneliti sekarang mulai percaya bahwa nyeri kepala ini bisa timbul akibat perubahan dari zat kimia tertentu di otak - serotonin, endorphin, dan beberapa zat kimia lain - yang membantu dalam komunikasi saraf. Ini serupa dengan perubahan biokimia yang berhubungan dengan migren. Meskipun belum diketahui bagaimana zat-zat kimia ini berfluktuasi, ada anggapan bahwa proses ini mengaktifkan jalur nyeri terhadap otak dan mengganggu kemampuan otak untuk menekan nyeri. Pada satu sisi, ketegangan otot di leher dan kulit kepala bisa menyebabkan sakit kepala pada orang dengan gangguan zat kimia (Akbar, 2010). Menurut Sidharta (2012), “sakit kepala” timbul sebagai hasil perangsangan terhadap bangunan-bangunan di wilayah kepala dan leher yang peka terhadap nyeri. Bangunan-bangunan ekstrakranial yang peka-nyeri ialah otot-otot oksipital, temporal dan frontal, kulit kepala, arteri-arteri subkutis dan periostinum. Tulang tengkorak sendiri tidak peka-nyeri. Bangunan-bangunan intrakranial yang peka-nyeri terdiri dari meninges, terutama dura basalis dan meninges yang mendindingi sinus venosus serta arteri-arteri besar pada basis otak. Sebagian besar dari jaringan otak sendiri tidak peka-nyeri. 15 Perangsangan terhadap bangunan-bangunan itu dapat berupa: a. Infeksi selaput otak: meningitis, ensefalitis. b. Iritasi kimiawi terhadap selaput otak seperti pada perdarahan subdural atau setelah dilakukan pneumo atau zat kontras-ensefalografi. c. Peregangan selaput otak akibat proses desak ruang intrakranial, penyumbatan jalan lintasan likwor, trombosis sinus venosus, edema serebri atau tekanan intrakranial yang menurun secara tiba-tiba dan cepat. d. Vasodilatasi arteri intrakranial akibat keadaan toksik (seperti pada infeksi umum, intoksikasi alkohol, intoksikasi CO, reaksi alergik), gangguan metabolik (seperti hipoksemia, hipoglikemia dan hiperkapnia), pemakaian obat vasodilatasi, keadaan pasca kontusio serebri, insufisiensi serebrovaskuler akut, tekanan darah sistemik yang melonjak secara tiba-tiba (seperti pada nefritis akut, feokhromositoma dan intoksikasi karena kombinasi “monoamine oxydase inhibitor” dengan tyramine). e. Gangguan pembuluh darah darah ekstrakranial, misalnya vasodilatasi (migraine dan “cluster headache”) dan radang (arteritis temporalis). f. Gangguan terhadap otot-otot yang mempunyai hubungan dengan kepala, seperti pada spondiloartrosis deformans servikalis. g. Penjalaran nyeri (referred pain) dari daerah mata (glaukoma, iritis), sinus (sinusitis), baseos kranii (karsinoma nasofarings), gigi-geligi 16 (pulpids dan molar III yang mendesak gigi) dan daerah leher (spondiloartrosis deformans servikalis). h. Ketegangan otot kepala-leher-bahu sebagai manifestasi psiko-organik pada keadaan depresi dan “streess”. Dalam hal ini “sakit kepala” merupakan sinonim dari “pusing kepala”. Menurut Bahrudin (2013), banyak faktor yang berperan dalam mekanisme patofisiologi nyeri kepala primer ini, akan tetapi pada dasarnya secara umum patofisiologisnya hampir mirip satu sama lainnya dengan disertai adanya sedikit perbedaan spesifik yang masing-masing belum diketahui dengan benar. 2.1.6 Pemeriksaan Menurut Bahrudin (2013); Hidayati (2016), seperti bidang ilmu kedokteran lainnya, pertama, tentu saja, secara umum adalah anamnesis dan pemeriksaanipemeriksaan. Pemeriksaan pasien nyeri kepala terdiri dari: A. Anamnesis B. Pemeriksaan obyektif C. Pemeriksaan dengan alat D. Pemeriksaan laboratorium A. Anamnesis Menurut Bahrudin (2013), anamnesis sangat penting karena pada pasien nyeri kepala gejala obyektif sering hanya sedikit. Cara melakukan anamnesis pada pasien nyeri kepala adalah sebagai berikut: 1. Pertanyaan yang pertama dilakukan adalah tentang menceritakan mengenai keluhan nyeri kepala pasien. Hal ini penting untuk 17 mengetahui karakteristik nyeri kepala yang dikeluhkan pasien seperti apa. 2. Pertanyaan selanjutnya adalah tentang bila terjadi serangan nyeri kepala, apa yang dirasakan oleh pasien tersebut. 3. Selanjutnya ada tiga pertanyaan yang harus ditanyakan sehubungan dengan waktu: a. Sudah berapa lama pasien menderita nyeri kepalanya (misal, sejak masih sekolah, dst.). b. Mengenai frekuensi nyeri kepalanya yaitu, apakah nyeri kepala seperti ini sering dirasakan dan apakah nyeri kepala ini terjadi sebelum, selama, atau sesudah menstruasi. c. Pada saat terjadi serangan nyeri kepala tersebut, perlu ditanyakan mengenai berapa lama nyeri kepala tersebut dirasakan (beberapa detik, menit, jam, atau hari). 4. Mengenai lokasi nyeri kepalanya, ada tiga pertanyaan yang harus diajukan, diantaranya yaitu: a. Pada bagian yang mana nyeri kepala tersebut mulai dirasakan dan apakah mulai dari kening. b. Apakah nyeri kepala yang dirasakan pada bagian dalam (seperti pada migrain) atau pada permukaan kepala saja. c. Apakah nyeri kepala yang dirasakan pada pasien tersebut ini berpindah-pindah. 18 5. Tentang faktor yang mempengaruhi terjadinya nyeri kepala: a. Apa yang dapat menyebabkan timbulnya serangan nyeri kepala (misalnya, nyeri kepala timbul setelah minum anggur merah, makan coklat, dll.). b. Hal apa saja yang dapat menambah rasa nyeri kepala pada pasien tersebut (misalnya, batuk, mengejan, sering kali berhubungan dengan meningkatnya tekanan intrakranial). c. 6. Obat apa yang dapat mengurangi rasa nyeri tersebut. Mengenai sifat (kualitas) nyeri kepala, perlu ditanyakan: a. Bagaimana sifat nyeri kepala yang pasien rasakan (misalnya, kemeng, panas, seperti ditusuk pisau, atau berdenyut). b. Apabila mengalami serangan nyeri kepala, apakah pasien masih dapat bekerja, tidur, dan sebagainya (misalnya bila tidak dapat tidur badan semakin kurus, tidak dapat melihat TV menunjukkan nyeri kepala hebat). 7. Masih ada empat pertanyaan lain yang perlu diajukan: a. Apakah yang pasien rasakan selain nyeri kepala (misalnya, selama serangan nyeri kepala pasien merasakan mual, muntah). b. Upaya pengobatan yang pasien lakukan sebelumnya dan selain obat dan suntikan perlu ditanyakan juga tentang akupuntur, pijat, dsb. c. Menurut anda, apa penyebab nyeri kepala anda (misalnya, pasien takut mengalami perdarahan otak, tumor otak, dsb.). 19 d. Setelah pasien lama menderita nyeri kepala, mengapa baru sekarang berobat (misalnya, karena mendengar adanya obat baru, dsb). 8. Sebaiknya, pada akhir anamnesis ditanyakan, apakah pasien masih ingin menambahkan sesuatu. Jawaban yang diungkapkan pasien dari pertanyaan yang kita barikan seperti di atas dapat digunakan untuk membedakan jenis nyeri kepala (Bahrudin, 2013). Menurut Hidayati (2016), anamnesis merupakan langkah pertama dalam manajemen nyeri kepala. Peran anamnesis memegang posisi paling penting dalam manajemen nyeri kepala, mengingat pada pemeriksaan fisik dan neurologis pada pasien dengan nyeri kepala sering ditemukan normal. Ada beberapa langkah dalam anamnesis pasien dengan nyeri kepala. Beberapa langkah anamnesis pasien dengan nyeri kepala ini secara sistematis tersusun dalam tabel 2.3, yang disingkat dengan “H. SOCRATESS”. Tanpa anamnesis riwayat nyeri kepala yang cukup, intervensi diagnostik dan pengobatan yang kita berikan pada pasien dengan nyeri kepala bisa keliru. Ada kalanya pemeriksaan penunjang yang seharusnya tidak perlu dilakukan dapat dilakukan, atau sebaliknya uji diagnostik atau laboratorik yang penting malah tidak dilakukan. Sebelum melakukan anamnesis pada pasien dengan nyeri kepala, data dasar perlu diambil terlebih dahulu. 20 Tabel 2.3 Langkah Anamnesis Pasien Dengan Nyeri Kepala (“H. SOCRATESS”) H • History (riwayat) S • Site (tempat) O • Origin (tempat asal) C • Character (karakter) R • Radiation (penjalaran) A • Associated symptoms (kumpulan gejala yang terkait) T • Timing (waktu) E • Exacerbating & relieving (hal yang memperparah dan memperingan) S • Severity (derajat keparahan / intensitas) S • State of health between attacks (kondisi kesehatan di antara serangan) (Hidayati, 2016) Adapun penjabaran dari penelitian Hidayati (2016), tentang langkah anamnesis pasien dengan nyeri kepala (“H. SOCRATESS”), adalah sebagai berikut: 1. History (Riwayat) Langkah pertama dalam manajemen pasien dengan nyeri kepala adalah penggalian riwayat. Tujuan penggalian riwayat nyeri kepala adalah untuk memberikan pandangan yang komprehensif tentang nyeri kepala pasien dan mengetahui komorbiditas yang terkait atau masalah yang mungkin mempengaruhi diagnosis dan perawatan. Saat menggali riwayat nyeri kepala ini dokter berkesempatan untuk menjalin hubungan yang baik dengan pasien. Hubungan yang baik dengan pasien akan membantu proses terapeutik yang sedang berlangsung. Riwayat penting untuk membedakan jenis nyeri kepala, apakah termasuk nyeri kepala primer ataukah nyeri kepala sekunder. Beberapa riwayat yang perlu digali tercantum dalam tabel 2.4. 21 Selain menggali riwayat penyakit sekarang, dokter harus tahu tentang riwayat penyakit dahulu. Riwayat penyakit dahulu seperti adanya karsinoma (kanker payudara, paru-paru, ginjal, melanoma) membuat dokter harus mempertimbangkan diagnosis tumor metastasis. Trauma kepala dapat menyebabkan nyeri kepala pascatrauma, hematoma subdural, atau diseksi arteri ekstrakranial. Berbagai macam gangguan terkait dengan gigi, sinus, telinga, atau hidung dapat muncul sebagai nyeri kepala. Nyeri kepala harian yang secara kronis dapat menjadi awal dari depresi. Depresi dan epilepsi sering terjadi bersamaan dengan migrain. Komorbiditas merupakan faktor penting dalam memilih terapi akut atau pencegahan. Komorbiditas dengan asma mengharuskan dokter menghindari pemberian beta bloker. Komorbiditas dengan hipertensi mewajibkan pemberian beta bloker. Terapi pencegahan depresi bisa diberikan obat amitriptilin. Tabel 2.4 Riwayat Yang Harus Digali Pada Pasien Dengan Nyeri Kepala. a. Riwayat Penyakit Sekarang b. Riwayat Penyakit Dahulu Penyakit c. Riwayat Penyakit Keluarga a. Dosis b. Efektif atau tidaknya obat Riwayat Pengobatan c. Efek samping pengobatan a. Keluarga b. Pekerjaan c. Pendidikan Sosial d. Kebiasaan atau hobi e. Psikologis (Hidayati, 2016) Riwayat pengobatan pasien juga perlu diketahui. Nitrat, antihistamin, kontrasepsi oral dan terapi sulih hormon dapat menyebabkan nyeri kepala. Selain itu 22 obat-obatan bebas yang dikonsumsi jangka lama dapat menyebabkan terjadinya MOH (Medication Overuse Headache). Dalam menghadapi kasus nyeri kepala dokter perlu tahu latar belakang sosial dan psikologis mereka. Riwayat sosial yang perlu digali ini meliputi riwayat keluarga, pekerjaan, pendidikan dan kebiasaan atau hobi. Stressor di rumah, di sekolah, dan di tempat kerja harus dipahami, meskipun dokter tidak harus mengaitkan gangguan nyeri kepala primer sematamata pada stres. Alkohol, tembakau, dan obat yang dijual bebas dapat berkontribusi pada patogenesis nyeri kepala. Banyak penderita migren melaporkan anggota keluarga besarnya ada yang menderita migren. Migren memiliki komponen genetik. Genetik juga berperan pada TTH, baik TTH frekuen maupun TTH kronik. Penyebab nyeri kepala sekunder seperti aneurisma serebral mungkin juga didapatkan riwayat keturunan dalam keluarga. Dari penggalian riwayat ini dokter akan memiliki gambaran umum tentang tingkat disabilitas yang diakibatkan oleh nyeri kepala pasien. Dokter akan mengetahui bagaimana dampak nyeri kepala pada kehidupan keluarga, sekolah atau pekerjaan, dan kehidupan sosial. Untuk menghemat waktu dokter, pasien seyogyanya diminta terlebih dahulu menuliskan semua riwayat tersebut secara rinci sebelum pertemuan awal dengan dokter. 2. Site (Tempat) Lokasi dan sisi nyeri kepala dapat mengarahkan dokter pada diagnosis tertentu. Sisi nyeri kepala pada migren atau sakit kepala klaster dan sefalgia trigeminal-otonomik yang lain adalah pada satu sisi kepala (unilateral), sedangkan 23 pada TTH sisi nyerinya bilateral atau di seluruh kepala (holocephalic). Nyeri pada migren bisa muncul di kanan mapupun di kiri. Daerah yang terkena biasanya di daerah frontal dan temporal kepala, namun kadang juga melibatkan daerah kepala lain dan leher. Tidak jarang nyeri kepala pada migren juga muncul di daerah occipitonuchal dan frontotemporal. Nyeri kepala dengan serangan berulang dan "terkunci pada satu sisi" mungkin juga merupakan gejala akibat penyakit organik yang mendasari. 3. Origin (Tempat asal) Nyeri pada migren bisa muncul di kanan mapupun di kiri. Daerah yang terkena biasanya di daerah frontal dan temporal kepala, namun kadang juga melibatkan daerah kepala lain dan leher. Tidak jarang nyeri kepala pada migren juga muncul di daerah occipitonuchal dan frontotemporal. Rasa nyeri pada nyeri kepala tipe tegang (TTH) berasal dari dahi. 4. Charakter (Karakter) Karakteristik nyeri kepala pada migren adalah berdenyut dan pada TTH adalah rasa menekan atau mengikat. Pada klaster nyeri yang dirasakan adalah membosankan, rasa seperti dibor, atau nyeri yang sangat hebat atau pedih. Migren ada yang disertai aura dan ada yang tidak. Aura biasanya mendahului nyeri kepala migren. Kadang-kadang aura terjadi bersamaan dengan nyeri kepala migren. Durasi aura berkisar antara beberapa menit menit sampai satu jam. Aura pada migren yang paling umum terjadi adalah aura visual dan sensorik. Aura motorik dan gangguan berbahasa jarang terjadi. Aura visual dan sensorik terdiri dari gejala positif atau negatif. Gejala visual positif berupa pola terang atau kompleks, seperti skotoma 24 zig-zag yang gemilang, atau berupa bintikbintik dan seperti cahaya senter. Gejala visual negatif berupa gangguan lapang pandang, skotoma kosong, atau kabur. Aura sensorik dapat berupa hipersensitivitas atau parestesia. Serangan neuralgia trigeminal berupa serangan paroksismal sesaat seperti nyeri kesetrum. Nyeri seperti terbakar atau berdenyut pada mata atau nyeri periorbital juga dapat menunjukkan adanya iskemia di daerah vertebrobasilar, perluasan aneurisma pada dasar tengkorak, diseksi pembuluh darah ekstrakranial atau intrakranial, oklusi sinus dural, atau inflamasi pada sinus kavernosus. Penyebab nonvaskular termasuk sakit kepala klaster, short-lasting unilateral neuralgiform headache with conjunctival injection and tearing (SUNCT), gangguan mata, dan inflammatory meningeal syndromes. Penyebab vaskular pada kasus nyeri kepala seperti perdarahan subarachnoid aneurismal, apopleksi pituitari, dan reversible cerebral vasoconstriction syndrome biasanya muncul dengan gambaran nyeri kepala seperti tersambar petir (thunderclapheadache). 5. Radiation (Penjalaran) Nyeri pada TTH menjalar dari dahi menuju kepala belakang atau menuju ke temporomandibular joint. Nyeri kepala infratentorial, occipitonuchal, dan tulang belakang servikal dapat memberikan nyeri rujuk (menjalar) pada dahi atau mata. Hal ini terjadi karena adanya konvergensi aferen nosiseptif servikal pada servikal ke dua dan ke tiga dengan aferen trigeminal dalam nukleus trigeminal kaudal dari batang otak. Nyeri rujuk lain terjadi pada saat darah atau nanah menuju ruang subarachnoid. Darah atau nanah dalam ruang subarachnoid akan menimbulkan nyeri kepala akut. 25 Nyeri kepala akut ini dapat bergerak ke bawah menyusuri kolumna spinalis menuju daerah interskapula atau punggung bawah. 6. Associated symptoms (Kumpulan gejala yang terkait) Mual, muntah umum terjadi pada nyeri kepala migren. Adanya mual dan muntah ini membantu konfirmasi diagnosis migren, namun bukan merupakan gejala yang patognomonik untuk migren. Muntah merupakan gejala yang patognomonik pada pada peningkatan tekanan intrakranial. Muntah ini juga bisa menyertai gangguan pada daerah postrema dari medula atau pada infeksi sistemik. Fotofobia, fonofobia dan osmofobia atau olfaktofobia sering menyertai migren, meskipun gejala-gejala ini juga mungkin terjadi pada meningitis. Pasien dengan migren sering dapat memprediksi akan datangnya serangan nyeri kepala karena adanya gejala pertanda yang terjadi beberapa jam atau hari sebelum nyeri kepala. Gejala pertanda ini meliputi perubahan suasana hati, nafsu makan, konsentrasi, dan pola tidur. Gejala visual sesaat mendukung diagnosis migren. Namun, gangguan visual sesaat yang disertai dengan gangguan ketajaman visual progresif (dengan atau tanpa gangguan lapang pandang atau papil edema) dapat terjadi pada pasien dengan peningkatan tekanan intrakranial. Amaurosis terjadi pada pasien dengan neuropati optik iskemik anterior sekunder akibat vaskulitis (misalnya: giant cell arteritis) atau emboli retina dari aterosklerosis atau diseksi arteri karotis. Diplopia pada nyeri kepala dapat merupakan manifestasi dari migren tipe basilar atau massa parasellar atau aneurisma arteri komunikans posterior. Gangguan lapang pandang dapat disebabkan oleh adenoma hipofisis atau hipertensi intrakranial 26 idiopatik. Gejala dari infeksi saluran pernapasan atas atau sakit gigi mungkin menunjukkan sinusitis akut sebagai penyebab sakit kepala. Parestesia yang berasal dari tangan ke wajah biasa terjadi pada migren. Selain migren parestesia dari tangan ke wajah juga dapat merupakan manifestasi dari kejang parsial sensorik atau transient ischemic attack. 7. Timing (Waktu) Nyeri kepala primer dengan durasi singkat: detik sampai menit mengarah pada sefalgia trigeminalotonomik lain. Nyeri kepala primer dengan durasi hitungan jam sampai hari mengarah pada nyeri kepala migren dan tension-type headaches, pada migren yaitu selama 4-72 jam dan pada TTH selama setengah jam sampai 7 hari. Migren dan tension-type headaches bisa berlangsung selama berhari-hari atau mungkin berevolusi menjadi bentuk yang kronis (misalnya: lebih dari 15 hari per bulan) atau berlangsung terus menerus. Frekuensi sakit kepala dalam sebuah episode bisa berkali-kali per hari seperti pada sefalgia trigeminal-otonomik lain, berkali-kali selama seminggu seperti pada nyeri kepala klaster, atau beberapa kali per minggu atau bulan seperti pada serangan migrain atau tension type headache. Waktu nyeri kepala pada klaster berada dalam dalam siklus diurnal, bulanan, atau tahunan. 8. Exacerbating and relieving (Hal yang memperparah dan memperingan) a. Exacerbating (Hal yang memperparah) Nyeri kepala pada migren bertambah berat dengan aktivitas fisik yang rutin (seperti berjalan atau naik tangga) sedangkan TTH tidak diperberat dengan aktivitas fisik yang rutin. 27 Nyeri kepala migren berhubungan dengan menstruasi, ovulasi, stres, hormonal, kelelahan, kurang tidur, depresi, atau lapar. Demikian pula faktor lingkungan seperti asap, cahaya silau atau cahaya berkelap-kelip, parfum atau bau kimia juga dapat mencetuskan migren. Anggur merah merupakan penyebab klasik migrain. Alkohol adalah pemicu nyeri kepala klaster. Perubahan dalam kebiasaan tidur berhubungan dengan eksaserbasi nyeri kepala baik pada klaster maupun migren. Sleep apnea dapat menyebabkan nyeri kepala pagi hari. Postur tegak memperburuk nyeri kepala akibat hipotensi intrakranial, yang dapat terjadi secara spontan atau iatrogenik. Posisi telentang, atau perubahan posisi, mungkin memperburuk nyeri kepala hipertensi intrakranial. Nyeri kepala karena peningkatan tekanan intrakranial, kista koloid ventrikel ke tiga, dan malformasi Arnold-Chiari khas diperburuk oleh batuk atau manuver valsava. Batuk atau manuver valsava dapat memicu nyeri kepala primer migren. Nyeri kepala terkait dengan aktivitas seksual harus dicurigai sebagai red flags aneurisma intrakranial, meskipun bisa jadi hanya merupakan nyeri kepala benigna berulang. b. Relieving (Hal yang memperingan) Biasanya penderita migren berkurang rasa nyeri kepalanya saat dipakai tidur atau beristirahat di sebuah ruangan gelap dan tenang. Pasien dengan nyeri kepala klaster dapat menggunakan berbagai teknik untuk meringankan nyeri kepala mereka, mulai dari pengobatan rumahan seperti kompres dingin, hangat, teknik relaksasi, obat herbal, obat resep, dll. 28 9. Severity (Derajat keparahan atau intensitas) Derajat keparahan (intensitas) nyeri dapat digunakan untuk membedakan jenis nyeri kepala primer. Dokter dapat meminta pasien untuk menggambarkan intensitas nyeri kepala yang dirasakan pasien. Pasien diminta menunjuk skala dia antara skala 1 sampai 10. Skala 1 mewakili rasa nyeri yang hampir tidak terasa nyeri, dan 10 sebagai nyeri yang paling hebat. Intensitas nyeri kepala pada migren adalah sedang sampai berat, pada nyeri kepala tipe tegang (TTH) adalah ringan sampai sedang, sedangkan pada klaster adalah berat sampai sangat berat (tidak tertahankan). 10. State of health between attacks (Kondisi kesehatan diantara serangan) Pada nyeri kepala migren kondisi kesehatan diantara serangan adalah bebas nyeri (free of pain). Pada klaster kondisi kesehatan di antara serangan juga bebas nyeri (free of pain). Klaster bisa mengalami remisi spontan. Pada nyeri kepala tipe tegang kondisi kesehatan di antara serangan pasien TTH hanya merasakan penurunan nyeri kepala, namun tidak bebas sam sekali dari rasa nyeri kepala yang ada. B. Pemeriksaan obyektif Menurut Bahrudin (2013), pemeriksaan obyektif mencakup pemeriksaan kesadaran (GCS), pemeriksaan nervus kranialis, dan pemeriksaan neurologis lainnya. Pemeriksaan ini terutama ditujukan ke arah dugaan tentang tipe nyeri kepala sesuai dengan anamnesis. Adanya defisit neurologi merujuk kepada nyeri kepala sekunder. Menurut Hidayati (2016), sebagian besar pasien dengan nyeri kepala pada pemeriksaan fisiknya ditemukan normal. Hanya sebagian kecil saja yang tidak normal. Apabila ditemukan ketidaknormalan pada pemeriksaan fisik pasien dengan 29 nyeri kepala, maka hal ini merupakan tanda bahaya (red flags) (Tabel 2.5). Adanya tanda bahaya (red flags) mewajibkan dokter melakukan tindakan lebih lanjut. Apabila dokter umum menemukan tanda bahaya (red flags), maka tindakan selanjutnya adalah segera merujuk pasien ke neurolog. Apabila dokter neurolog yang menemukan tanda bahaya (red flags), maka tindakan selanjutnya adalah segera melakukan pemeriksaan penunjang dan memberi terapi sesuai dengan diagnosis yang telah ditetapkan (Hidayati, 2016). Menurut Hidayati (2016), perubahan kulit dapat dikaitkan dengan berbagai etiologi nyeri kepala. Bintik café-au-lait merupakan tanda neurofibromatosis. Neurofibromatosis ini terkait dengan meningioma intrakranial dan schwannoma. Kulit kering, alopesia (kebotakan), dan pembengkakan terlihat pada hipotiroidisme. Lesi melanotik ganas mungkin berhubungan dengan penyakit metastasis ke otak. Menurut Hidayati (2016), auskultasi bising di daerah karotis dan arteri vertebral dan orbit dapat memperingatkan klinisi akan potensi stenosis arteri atau diseksi, atau malformasi arteriovenous. Pemeriksaan saraf kranial dapat menjadi petunjuk etiologi nyeri kepala. Gangguan penciuman tersering disebabkan oleh trauma kepala. Gangguan penciuman menunjukkan adanya gangguan pada alur penciuman (olfactory groove), misalnya tumor frontotemporal. Pada pemeriksaan funduskopi, adanya perdarahan atau papilledema mengharuskan dilakukannya imejing yang cepat untuk menyingkirkan kemungkinan lesi desak ruang. Pemeriksaan lapang pandang yang menunjukkan defek lapang pandang bitemporal ditemukan pada tumor hipofisis (Hidayati, 2016). 30 Selama serangan nyeri kepala klaster, dokter dapat menemukan adanya lakrimasi ipsilateral, rhinorrhea, ptosis, miosis, dan wajah berkeringat pada pasien. Kelainan gerakan mata bisa disebabkan oleh gangguan saraf okulomotor akibat peningkatan tekanan intrakranial. Saraf kranial lainnya dapat dipengaruhi oleh berbagai penyebab. Jika keterlibatan bersifat tidak menyeluruh, asimetris, dan progresif, maka penyebab infiltratif seperti neoplasma, meningitis TB, dan sarkoidosis harus dipertimbangkan (Hidayati, 2016). Tabel 2.5 Red Flags (Tanda Bahaya) Untuk Nyeri Kepala: “SNOOP” S • S • S • N • O O P P P P • • • • • • Systemic symptoms (simptom sistemik) Secondary headache risk factors (faktor resiko nyeri kepala sekunder) Seizure (Kejang) Neurologic symptoms or abnormal signs (symptom neurologi / tanda abnormal) Onset (onset) Older (usia tua) Progression of headache (nyeri kepala progresif) Positional change (perubahan posisi) Papilledema (papil edema) Precipitated factors (faktor pencetus) (Hidayati, 2016) Red flags adalah tanda bahaya atau kondisi yang harus diwaspadai. Beberapa hal yang terkategori sebagai red flags pada kasus nyeri kepala terangkum dalam tabel 2.5 (Hidayati, 2016). C. Pemeriksaan dengan alat Pemeriksaan dengan alat sangat tergantung pada hasil pemeriksaan klinis dan ada atau tidaknya defisit neurologis. Pemeriksaan tambahan tidak selalu diperlukan. Pada kebanyakan kasus diagnosis cukup ditegakkan dengan pemeriksaan klinis saja. Beberapa alat yang bisa digunakan antara lain: 31 1. Elektroensefalografi (EEG) Menurut Bahrudin (2013), pemeriksaan ini berguna untuk mengetahui lokasi dari proses, bukan untuk mengetahui etiologisnya. Pemeriksaan dapat dilakukan dengan serial, dan biaya masih dapat dijangkau oleh sebagaian besar masyarakat. Indikasi untuk EEG: a. Bila terdapat gangguan lapangan penglihatan. b. Bila terdapat gangguan fungsi saraf otak. c. Bila pasien mengeluh black-out (epilepsi?, sinkope?). d. Nyeri kepala yang menetap pada satu sisi disertai dengan gangguan saraf otak ringan. e. Perubahan dari lamanya dan sifat nyeri kepala. f. Bila setelah diberikan pengobatan tidak ada perbaikan dari nyeri kepala. 2. CT scan Menurut Bahrudin (2013), dengan pemeriksaan ini dapat diketahui tidak hanya letak dari proses tapi sering juga etiologi dari proses tersebut. Sayangnya, biaya pemeriksaan masih mahal. Menurut Bahrudin (2013), indikasi terdapat kejang fokus: a. Bila terdapat kejang fokal. b. Bila terdapat defisit neurologis yang persisten. c. Nyeri kepala pada satu sisi yang tidak berubah disertai dengan kelainan neurologis kontralateral dengan adanya suatu bruit. 32 d. Perubahan dari pola nyeri kepala baik mengenai frekuensi, sifat, dan lamanya. e. Penurunan kesadaran yang lebih lama dari satu jam disertai gangguan saraf otak. D. Pemeriksaan Laboratorium Menurut Bahrudin (2013), pemeriksaan ini dikerjakan hanya bila ada indikasi: a. Darah, bila diduga adanya infeksi atau gangguan penyakit dalam (anemia, gangguan metabolik). b. Cairan serebro spinal (CSS) bila pada pemeriksaan klinis dicurigai adanya meningitis. Secara ringkas dapat disimpulkan bila pasien mengeluh nyeri kepala pastikan ada tanda meningeal atau tidak bila ada tanda meningeal lakukan pemeriksaan CT scan (Gambar 2.1) (Bahrudin, 2013). 33 (Bahrudin, 2013) Gambar 2.1 Tahapan Pemeriksaan Pasien Dengan Nyeri Kepala 2.2.3 Pengobatan Menurut Bahrudin (2013), sebelum memberikan terapi pada pasien nyeri kepala, diagnosis harus ditegakkan lebih dahulu. Pemberian obat-obat simtomatis kadang-kadang diperlukan untuk meringankan keluhan pasien. Jika nyeri kepala tersebut merupakan gejala yang berhubungan dengan penyakit yang mendasarinya, maka pengobatan harus diberikan sesuai dengan etiologinya (CEMENTED COAT). Menurut dari penelitian Hidayati (2016), hubungan yang baik antara dokter dan pasien diperlukan pada pengelolaan nyeri kepala. Komunikasi efektif yang disertai dengan keterampilan interpersonal merupakan bagian integral dalam manajemen pasien dengan nyeri kepala. 34 2.1.8 Komplikasi Dikarenakan nyeri kepala adalah suatu gejala penyerta dari beberapa penyakit, maka dari itu tidak ditemukan atau masih belum ditemukan sumber yang mencantumkan suatu komplikasi dari nyeri kepala. 2.2 Penatalaksanaan Masalah Kesehatan Dengan Pendekatan Dokter Keluarga Terhadap Nyeri Kepala Adapun menurut dari peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia nomor 39 tahun 2016 tentang pedoman penyelenggaraan program Indonesia sehat dengan pendekatan keluarga, memutuskan dan menetapkan peraturan Menteri Kesehatan tentang penyelengaraan program Indonesia sehat dengan pendekatan keluarga, pada pasal 1 penyelenggaraan program Indonesia sehat dengan Pendekatan Keluarga bertujuan untuk pada poin pertama dinyatakan sebagai berikut, yakni tujuan meningkatkan akses keluarga beserta anggotanya terhadap pelayanan kesehatan yang komprehensif, meliputi pelayanan promotif dan preventif serta pelayanan kuratif dan rehabilitatif dasar. 2.2.1 Karakteristik Dokter Keluarga Menurut Setyawan (2011), dikutip dari bukunya, “Dokter Keluarga: Paradigma Baru Pendekatan Pelayanan Kesehatan”, Dokter Keluarga memiliki karakteristik sebagai berikit: 1. Menurut Lynn P. Carmichael (1993) Dokter Keluarga Berkarakter: a. Memiliki kemampuan untuk memelihara kesehatan pasien. mencegah penyakit dan 35 b. Menempatkan pasien sebagai bagian dari keluarga dan masyarakat. c. Memberikan pelayanan menyeluruh, dengan mempertimbangkan pasien dan keluarganya. d. Andal mendiagnosis, tanggap epidemiologi dan terampil menangani penyakit. e. Tanggap saling-aruh faktor biologik-emosi-sosial, dan mewaspadai kemiripan penyakit. 2. Menurut Debra P. Hymovic dan Martha Underwood Barnards (1973) Dokter Keluarga Memiliki Karakter: a. Memberikan pelayanan responsif dan bertanggung jawab. b. Melakukan pelayanan primer dan lanjut. c. Melakukan diagnosis dini sehingga mencapai taraf kesehatan tinggi. 3. d. Memandang pasien dan keluarga. e. Melayani secara maksimal. IDI (1982) Karakter Dokter Keluarga Adalah: a. Memandang pasien sebagai individu, bagian dari keluarga dan masyarakat. b. Memberikan pelayanan menyeluruh dan maksimal. c. Mengutamakan pencegahan, tingkatan taraf kesehatan. d. Menyesuaikan dengan kebutuhan pasien dan memenuhinya. 36 e. Menyelenggarakan pelayanan primer dan bertanggung jawab atas kelanjutannya. 2.2.2 Kompetensi Dokter Keluarga Menurut Setyawan (2011), didalam bukunya dikatakan bahwa kompetensi Dokter Keluarga pada dasarnya sesuai dengan kompetensi umum dokter yang tercantum dalam Kompetensi Inti Pendidikan Dokter Indonesia III (KIPDI III). Dimana dalam KIPDI III seorang dokter harus menguasai 7 (tujuh) area kompetensi dasar yang tercapai dengan berbagai macam kegiatan. Area kompetensi dasar tersebut adalah: 1. 2. Komunikasi Efektif a. Berkomunikasi dengan pasien serta anggota keluarganya. b. Berkomunikasi dengan sejawat. c. Berkomunikasi dengan masyarakat. d. Berkomunikasi dengan profesi lain. Keterampilan Klinis Memperoleh dan mencatat informasi yang akurat serta penting tentang pasien dan keluarganya. 3. Landasan Ilmiah Ilmu Kedokteran Menerapkan konsep-konsep dan prinsip-prinsip ilmu biomedik, klinik, perilaku dan ilmu kesehatan masyarakat sesuai dengan pelayanan kesehatan tingkat primer. 37 4. Pengelolaan Masalah Kesehatan a. Mengelola penyakit, keadaan sakit dan masalah pasien sebagai individu yang utuh, bagian dari keluarga dan masyarakat. b. Melakukan pencegahan penyakit dan keadaan sakit. c. Melaksanakan pendidikan kesehatan dalam rangka promosi kesehatan dan pencegahan penyakit. d. Menggerakkan dan memberdayakan masyarakat untuk meningkatkan derajat kesehatan. e. Mengelola sumber daya manusia serta sarana dan prasarana secara efektif dan efisien dalam pelayanan kesehatan primer dengan pendekatan kedokteran keluarga. 5. Pengelolaan Informasi a. Menggunakan teknologi informasi dan komunikasi untuk membantu penegakan diagnosis, pemberian terapi, tindakan pencegahan dan promosi kesehatan, serta penjagaan dan pemantauan status kesehatan pasien. 6. b. Memahami manfaat dan keterbatasan teknologi informasi. c. Memanfaatkan informasi kesehatan. Mawas Diri dan Pengembangan diri a. Menerapkan mawas diri. b. Mempratekkan belajar sepanjang hayat. c. Mengembangkan pengetahuan baru. 38 7. Etika, Moral, Medikolegal dan Profesionalisme serta Keselamatan Pasien a. Memiliki sikap profesional. b. Berperilaku profesional dalam bekerja sama. c. Sebagai anggota tim pelayanan kesehatan yang profesional. d. Melakukan praktek kedokteran dalam masyarakat multikultural di Indonesia. e. Memenuhi aspek medikolegal dalam praktek kedokteran. f. Menerapkan keselamatan pasien dalam praktek kedokteran. Selain kompetensi dasar di atas, menurut Setyawan (2013) yang dikutib dari bukunya, seorang Dokter Keluarga harus mempunyai kompetensi khusus yang lebih daripada seorang lulusan Fakultas Kedokteran pada umumnya. Kompetensi khusus inilah yang perlu dilatihkan melalui program pelatihan. Yang dicantumkan di sini hanyalah kompetensi yang harus dimiliki oleh setiap Dokter Keluarga secara garis besar. Adapun kompetensi tersebut sebagai berikut: 1. Menguasai dan mampu menerapkan konsep operasional kedokteran keluarga. 2. Menguasai pengetahuan dan mampu menerapkan ketrampilan klinik dalam pelayanan kedokteran keluarga. 39 3. Menguasai ketrampilan berkomunikasi, menyelenggarakan hubungan profesional dokter dengan pasien untuk: a. Secara efektif berkomunikasi dengan pasien dan semua anggota keluarga dengan perhatian khusus terhadap peran dan risiko kesehatan keluarga. b. Secara efektif memanfaatkan kemampuan keluarga untuk bekerjasama menyelesaikan masalah kesehatan, peningkatan kesehatan, pencegahan dan penyembuhan penyakit, serta pengawasan dan pemantauan risiko kesehatan keluarga. c. Dapat bekerjasama secara profesioanal secara harmonis dalam satu tim pada penyelenggaraan pelayanan kedokteran atau pelayanan kesehatan. 4. Memiliki ketrampilan manajemen pelayanan klinis dalam hal: a. Dapat memanfaatkan sumber pelayanan primer dengan memperhitungkan potensi yang dimiliki pengguna jasa pelayanan untuk menyelesaikan masalahnya. b. Menyelenggarakan pelayanan kedokteran keluarga yang bermutu dengan standar yang ditetapkan. 5. Memberikan pelayanan kedokteran berdasarkan etika moral dan spiritual. 6. Memiliki pengetahuan dan ketrampilan di bidang pengelolaan pelayanan kesehatan Kesehatan atau JPKM). termasuk sistem pembiayaan (Asuransi 40 2.2.3 Prinsip-prinsip pendekatan pelayanan Dokter Keluarga Kemudian menurut Setyawan (2011), sehingga pada akhirnya dapat disimpulkan bahwa Dokter Keluarga dalam prakteknya menerapkan menggunakan prinsip-prinsip pendekatan pelayanan Dokter Keluarga, yaitu: 1. Memberikan layanan komprehensif dengan pendekatan holistik. 2. Menyelenggarakan pelayanan kesehatan yang kontinyu mulai dari konsepsi sampai mati. 3. Mengutamakan pencegahan (empat tingkat pencegahan). 4. Menyelenggarakan pelayanan kesehatan yang koordinatif dan kolaboratif. 5. Memberikan pelayanan kesehatan individual sebagai bagian integral dari keluarganya. 6. Mempertimbangkan keluarga, komunitas, masyarakat dan lingkungan tempat pasien berada. 7. Sadar etika, moral dan hukum. 8. Memberikan pelayanan kesehatan yang sadar biaya dan sadar mutu. 9. Menyelenggarakan pelayanan kesehatan yang dapat diaudit dan dipertanggung jawabkan. Menurut Setyawan (2011), adapun penjabaran prinsip-prinsip di atas adalah sebagai berikut: 1. Pelayanan Kesehatan yang Komprehensif dengan Pendekatan Holistik. a. Promotif, preventif, kuratif dan rehabilitatif. 41 b. Memandang pasien sebagai manusia seutuhnya, bukan hanya bagian tubuhnya yang sakit. 2. Pelayanan Kesehatan yang Kontinyu. a. Mempunyai rekam medis yang diisi dengan cermat. b. Dianjurkan untuk berpraktek di tempat yang sama, dokter dan kliniknya sebaiknya jangan berpindah-pindah. c. Menjalin kerjasama dengan profesional dan institusi pelayanan kesehatan lainnya untuk kepentingan pasien agar proses konsultasi dan rujukan berjalan lancar. 3. 4. Pelayanan Kesehatan yang Mengutamakan Pencegahan. a. Melayani KIA, KB, vaksinasi. b. Mendiagnosis dan mengobati penyakit sedini mungkin. c. Mengkonsultasikan atau merujuk pasien pada waktunya. d. Mencegah kecacatan. Pelayanan Kesehatan yang Koordinatif dan Kolaboratif a. Kerjasama profesional dengan semua pengandil agar dicapai pelayanan kesehatan yang bermutu dan mencapai kesembuhan optimal. b. Memanfaatkan potensi pasien dan keluarganya seoptimal mungkin untuk penyembuhan. Sebagai contoh: melatih anggota keluarga untuk mengukur dan memantau suhu tubuh pasien atau bahkan tekanan darah dan kadar gula darahnya. Hasil itu 42 selanjutnya dilaporkan secara berkala kepada dokter yang bersangkutan. 5. Penanganan Individual bagi Setiap Pasien sebagai Bagian Integral dari Keluarganya. a. Titik awal (entry point) pelayanan Dokter Keluarga adalah individu seorang pasien. b. Unit terkecil yang dilayaninya adalah individu pasien itu sendiri sebagai bagian integral dari keluarganya. c. Seluruh anggota keluarga dapat menjadi pasien seorang Dokter Keluarga akan tetapi tetap dimungkinkan sebuah keluarga mempunyai lebih dari satu dokter keluarga. 6. Pelayanan Kesehatan yang Mempertimbangkan Keluarga, Lingkungan Kerja, Masyarakat dan Lingkungan Tempat Tinggalnya. a. Selalu mempertimbangkan pengaruh keluarga, komunitas, masyarakat dan lingkungannya yang dapat mempengaruhi penyembuhan penyakitnya. b. Memanfaatkan keluarga, komunitas, masyarakat dan lingkungannya untuk membantu penyembuhan penyakitnya. 7. Pelayanan yang Menjungjung Tinggi Etika dan Hukum. a. Mempertimbangkan etika dalam setiap tindak medis yang dilakukan pada pasien. b. Meminta ijin pada pasien untuk memberitakan penyakitnya kepada keluarganya atau pihak lain. 43 c. Menyadari bahwa setiap kelalaian dalam tindakannya dapat menjadi masalah hukum. 8. Pelayanan Kesehatan yang Sadar Biaya dan Sadar Mutu. a. Mempertimbangkan segi “cost-effectiveness” dalam merancang tindakan medis untuk pasiennya. b. Mampu mengelola dan mengembangkan secara efisien dengan neraca positif sebuah klinik Dokter Keluarga dengan tetap menjaga mutu pelayanan kesehatan. c. Mampu bernegosiasi dengan pelayanan kesehatan yang lain (Rumah Sakit, Apotik, Optik dan lain-lain) secara berimbang sehingga tercapai kerjasama yang menguntungkan semua pihak khususnya pasien. d. Mampu bernegosiasi dengan perusahaan asuransi kesehatan secara serasi dan selaras sehingga tercapai kerjasama yang menguntungkan semua pihak khususnya pasien. 9. Pelayanan Kesehatan yang Dapat Diaudit dan Dapat Dipertanggungjawabkan. a. Rekam medis yang lengkap dan akurat yang dapat dibaca orang lain yang berkepentingan. b. Menyediakan SOP untuk setiap layanan medis. c. Belajar sepanjang hayat dan memanfaatkan EBM (Evidence Based Medicine) serta menggunakannya sebagai alat untuk 44 merancang tindakan medis dan bukan sebagai pembuat keputusan. d. Menyadari keterbatasan kemampuan dan kewenangan. e. Menyelenggarakan pertemuan ilmiah rutin membahas berbagai kasus sambil mengaudit penatalaksanaannya. Pada gambar 2.2 dibandingkan prinsip-prinsip pelayanan dokter keluarga yang diambil dari berbagai sumber yang tercantum di bawah tabel (Setyawan, 2011). Gambar 2.2 Prinsip Pelayanan Dokter Keluarga A B C Continuous Access to care Continuity of care care D General E Comprehensive and holistic First contact and continuous care Preventive and promotive care Coordinative and collaborative care Continuity of care Comprehensiveness Cost effective care Contextual Comprehensive care Coordination of care Comprehensive care Prevention Coordination of care Prevention Accessibility Community Contextual care Family consideration Coordinator of care Collaborative Personal care Community consideration Family and community consideration Ethics and law Family consideration Cost Self reflective containment consideration Can be audited and Managerial accountable care (Setyawan, 2011) Togetherness Sesuai dengan tujuan pembangunan kesehatan bangsa Indonesia yang tertuang dalam Sistem Kesehatan Nasional (SKN) 2004 yang disempurnakan dengan 45 rancangan SKN 2009 yang mempertegas makna pembangunan kesehatan dalam rangka pemenuhan hak asasi manusia, melaksanakan pemerataan upaya kesehatan yang terjangkau dan bermutu, maka perlu dibentuk suatu model pelayanan kesehatan yang dapat mewujudkan tujuan pembangunan kesehatan berdasarkan SKN (Setyawan, 2013). Pelayanan kesehatan dokter keluarga merupakan salah satu sitem pelayanan kesehatan dengan pendekatan pelayanan yang mencoba memenuhi hak asasi dan mewujudkan pelayanan kesehatan yang bermutu. Pelayanan kesehatan dokter keluarga juga memperdayakan masyarakat yang dalam hal ini mulai dari keluarga sampai dengan masyarakat disekitarnya dengan menumbuhkan paradigma sehat (Setyawan, 2013). Menurut Roebijoso (2003), dari buku Setyawan (2013), Konsep pendekatan pelayanan dokter keluarga dapat dijabarkan dalam gambar 2.3 berikut ini: 46 (Rubijoso, 2003) Gambar 2.3 Konsep Pendekatan Pelayanan Kesehatan Menurut Setyawan (2013), untuk mencapai mutu pelayanan medik yang baik, perlu disusun standar agar dokter keluarga dapat melaksanakan pelayanannya dengan baik. Standar pelayanan tersebut telah tersusun dalam suatu Buku Standar Pelayanan Dokter Keluarga. 47 Di dalam UU RI No. 36 Th. 2009 tentang kesehatan, menyatakan bahwa upaya kesehatan adalah setiap kegiatan dan atau serangkaian kegiatan yang dilakukan secara terpadu, terintregasi dan berkesinambungan untuk memelihara dan meningkatkan derajat kesehatan masyarakata dalam bentuk pencegahan penyakit, peningkatan kesehatan, pengobatan penyakit, dan pemulihan kesehatan oleh pemerintah dan atau masyarakat. Kemudian menurut Setyawan (2011), yang dikutib dari bukunya, terdapat bahwa sesuai standar pelayanan paripurna, di dalam pelayanan yang disediakan dokter keluarga adalah pelayanan medis strata pertama untuk semua orang yang bersifat paripurna (comprehensive), yaitu termasuk pemeliharaan dan peningkatan kesehatan (promotive), pencegahan penyakit dan proteksi khusus (preventive & spesific protection), pemulihan kesehatan (curative), pencegahan kecacatan (disability limitation) dan rehabilitasi setelah sakit (rehabilitation) dengan memperhatikan kemampuan sosial serta sesuai dengan medicolegal etika kedokteran. Pelayanan ini meliputi: (1) pelayanan medis strata pertama untuk semua orang, (2) pemeliharaan dan peningkatan kesehatan, (3) pencegahan penyakit dan proteksi khusus, (4) deteksi dini, (5) kuratif medik, (6) rehabilitasi medik dan sosial, (7) kemampuan sosial keluarga, dan (8) etik medikolegal. Adapun penjabaran pelayanan-pelayanan kesehatan menurut UU RI No. 36 Th. 2009 tentang kesehatan, adalah sebagai berikut: 1. Pelayanan kesehatan promotif adalah suatu kegiatan dan atau serangkaian kegiatan pelayanan kesehatan yang lebih mengutamakan kegiatan yang bersifat promosi kesehatan. 48 2. Pelayanan kesehatan preventif adalah suatu kegiatan pencegahan terhadap suatu masalah kesehatan atau penyakit. 3. Pelayanan kesehatan kuratif adalah suatu kegiatan dan atau serangkaian kegiatan pengobatan yang ditujukan untuk penyembuhan penyakit, pengurangan penderitaan akibat penyakit, pengendalian penyakit, atau pengendalian kecacatan agar kualitas penderita dapat terjaga seoptimal mungkin. 4. Pelayanan kesehatan rehabilitatif adalah kegiatan dan atau serangkaian kegiatan untuk mengembalikan bekas penderita ke dalam masyarakat sehingga dapat berfungsi lagi sebagai anggota masyarakat yang berguna untuk dirinya dan masyarakat semaksimal mungkin sesuai dengan kemampuannya. Adapun menurut Setyawan (2013), di dalam salah satu dari bagian Standar Pelayanan Dokter Keluarga, yaitu, di dalam poin Standar Pelayanan Medis, yang tertulis di dalam bukunya, pelayanan yang disediakan dokter keluarga merupakan pelayanan medis yang melaksanakan pelayanan kedokteran secara lage artis. Pelayanan ini meliputi tindakan berupa: (1) Anamnesis; (2) Pemeriksaan fisik dan pemeriksaan penunjang; (3) Penegakkan diagnosis dan diagnosis banding; (4) Prognosis; (5) Konseling; (6) Konsultasi; (7) Rujukan; (8) Tindak lanjut; (9) Tindakan; (10) Pengobatan rasional; dan (11) Pembinaan keluarga. Kemudian untuk gejala nyeri kepala itu sendiri, menurut Hidayati (2016), hubungan yang baik antara dokter dan pasien diperlukan pada pengelolaan nyeri kepala. Komunikasi efektif yang disertai dengan keterampilan interpersonal 49 merupakan bagian integral dalam manajemen pasien dengan nyeri kepala. Ada beberapa langkah dalam manajemen pasien. Pertama, tentu saja, adalah anamnesis dan pemeriksaan. Dokter harus dapat membedakan nyeri kepala primer dan nyeri kepala sekunder.