Uploaded by ara bungaran

ps 70 hrf (A) UU AAPS

advertisement
PERMASALAHAN NORMATIF PASAL 70 AYAT (A), UNDANG-UNDANG
NOMOR 30 TAHUN 1999 TENTANG ARBITRASE DAN ALTERNATIF
PENYELESAIAN SENGKETA.
Oleh : Mika Bungaran Malino
Fakultas Hukum, Sekolah Tinggi Ilmu Hukum Sultan Adam
Ara.bungaran@gmail.com
Abstract
Dalam pasal 70 ayat (a) UU Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa (APS)
menyebutkan bahwa pembatalan dapat dilakukan hanya jika surat atau dokumen diakui atau
dinyatakan palsu. Namun demikian, UU tersebut tidak memberikan penjelasan tentang
definisi palsu dan cara pembuktiannya. Dengan penelitian yang bersifat normatif maka
ditemukan bahwa definisi, pengaturan tentang “palsu“ dan pembuktiannya ada pada
KUHP. Jika ditelaah lebih jauh lagi, UU APS adalah UU yang dibuat secara spesifik agar
terpisah dari hukum penyelesaian sengketa lain (Pengadilan). Hal ini membuat UndangUndang Arbitrase yang telah berlaku secara khusus menjadi sangat bergantung pada definisi
yang diatur dalam undang-undang lain yang berlaku umum (KUHP) dan pendapat para
ahli.
Kata Kunci: Arbitrase, palsu, lex specialist.
In article 70 paragraph (a) of Arbitration and Alternative Dispute Resolution Law say
that submission of cancellation of arbitration decision only held if the letter or document are
acknowledged to be false or forged or are declared to be forgeries. However, the law does not
provide an explanation of the false definition and the way of proof. By normative research
methode, it is found that the definition, arrangement of "false" and its proof is on the Criminal
Code. If it is reviewed even farther, the Arbitration and Alternative Dispute Resolution Law is
a law which make specifically in order to separate from other dispute resolution law (court).
This make the law of Arbitration and Alternative Dispute Resolution which has valid
specifically bocome heavily dependent on definition which has arranged in other law (KUHP)
and opinions of experts.
Latar Belakang
Penyelesaian sengeta melalui jalur Arbitrase di Indonesia sangat diminati oleh
berbagai perusahaan mengingat jalur arbitrase lebih menjamin kerahasiaan data
perusahaan. Selain itu, kecepatan penyelesaian perkara juga salah satu faktor yang
membuat para pihak yang bersengketa mengambil jalur ini.
Meskipun demikian, dalam undang-undang arbitrase terdapat beberapa kekaburan
hukum tentang definisi pembuktian tentang unsur kepalsuan dokumen yang
mengakibatkan dapat dibatalkannya putusan arbitrase seperti yang tertuang dalam
Undang-Undang Nomor 30 Tahun 1999 tentang Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian
Sengketa (UU AAPS) pasal 70 ayat (a) yang berbunyi : “Terhadap putusan arbitrase para
pihak dapat mengajukan permohonan pembatalan apabila putusan tersebut diduga
mengandung unsur-unsur sebagai berikut: a. Surat atau dokumen yang diajukan dalam
pemeriksaan, setelah putusan dijatuhkan, diakui palsu atau dinyatakan palsu;”.
Undang-Undang AAPS tidak menjelaskan secara rinci tentang definisi palsu dan
cara pembuktiannya. Penjelasan Pasal 70 UU AAPS dinilai Pemohon mengandung
norma baru atau perubahan terselubung yang bertentangan dengan substansi pokok
pasalnya.1 Selain itu, Pemohon juga menilai Penjelasan Pasal 70 tidak operasional dan
menghalangi hak hukum untuk pencari keadilan. Oleh karena itu, Pasal 70 UU AAPS
tersebut dinilai bertentangan dengan konstitusi khususnya Pasal 28D ayat (1) UUD
1945.2
Dari penjelasan tersebut maka penulis menemukan dua pertanyaan, yaitu:
1. Bagaimana pengertian tentang definisi palsu dalam pasal 70 ayat (a) UndangUndang Nomor 30 Tahun 1999 tentang Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian
Sengketa (UU AAPS)
2. Bagaimana pembuktian dokument yang dinyatakan palsu dalam pasal 70 ayat (a)
tersebut?
Bimoprasetio. 2015. Pertimbangan MK Dalam Membatalkan Penjelasan Pasal 70 UU Arbitrase.
http://strategihukum.net/pertimbangan-mk-dalam-membatalkan-penjelasan-pasal-70-uu-arbitrase. Diakses
tanggal 04 Desember 2017
2 Lulu Hanifah. 2014. Alasan Pembatalan Putusan Arbitrase Timbulkan Norma Baru, MK Hapus
Norma Penjelasan Pasal 70 UU Arbitrase. http://www.mahkamahkonstitusi.go.id/index.php?
page=web.Berita&id=10366. Diakses tanggal 04 Desember 2017
1
Pembahasan
A. Definisi palsu dalam pasal 70 ayat (a) Undang-Undang Nomor 30 Tahun 1999
tentang Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa (UU AAPS)
Sebagaimana diketahui bahwa putusan arbitrase itu bersifat final and
binding sebagaimana tertulis dalam Pasal 60 Undang-Undang Nomor 30 tahun 1999,
namun putusan tersebut tidak serta merta mempunyai kekuatan hukum tetap. Hal
ini dikarenakan di dalam Pasal 70 Undang-Undang Nomor 30 tahun 1999 dijelaskan
bahwa putusan arbitrase dapat dilakukan pembatalan apabila putusan tersebut
diduga mengandung unsur-unsur sebagai berikut:
1. Surat atau dokumen yang diajukan dalam pemeriksaan, setelah putusan
dijatuhkan, diakui palsu atau dinyatakan palsu.
2. Setelah putusan diambil ditemukan dokumen yang bersifat menentukan, yang
disembunyikan oleh pihak lawan.
3. Putusan diambil dari hasil tipu muslihat yang dilakukan oleh salah satu pihak
dalam pemeriksaan sengketa.
Berkaitan pada pasal 70 ayat (a) Undang-undang arbitrase tidak menjelaskan
secara rinci pasal 70 tentang pengertian palsu maupun unsur-unsur palsu serta cara
pembuktian dokumen palsu dalam hal pembatalan putusan hakim arbitrase. Padahal,
Undang-Undang Arbitrase diberikan kewenangan khusus untuk menyelesaikan perkara di
luar pengadilan secara mandiri dan tanpa campur tangan pengadilan oleh Negara
Indonesia sehingga pengaturan tentang penjelasan dan unsur-unsur tentang palsu dan
cara pembuktian kepalsuan sebagaimana tercantum dalam pasal 70 a harus dibuat
tersendiri.
Undang-Undang Arbitrase sendiri menyerahkan segala pembuktian pasal 70 ayat
(a) di pengadilan. Hal ini membuktikan pengadilan dapat campur tangan hanya untuk
memeriksa perkara arbitrase namun bukan pokok perkara. Padahal undang undang
arbitrase sendiri menjelaskan bahwa arbitrase bebas dari campur tangan pengadilan
meskipun terjadi usulan pembatalan terkait putusan pada pasal 70.
KUHP Telah lama mengatur tindak pidana pemalsuan. Kitab Pidana ini bisa
dijadikan acuan untuk dasar definisi palsu seperti dirumuskan dalam perumusan masalah.
Untuk mengetahui lebih dalam, kita harus melihat dan memahami pasal tersebut secara
keseluruhan dan secara spesifik guna mencegah multi tafsir dan perbedaan perspektif
dalam mencari pemahamannya. Definisi palsu dalam tindak pidana pemalsuan dapat
diliat dalam ketentuan yang dimuat dalam Pasal 263 KUHP. Pasal tersebut berbunyi:
“Barang siapa membuat surat palsu atau memalsukan surat yang dapat menimbulkan sesuatu
hak, perikatan atau pembebasan hutang, atau yang diperuntukkan sebagai bukti daripada
sesuatu hal dengan maksud untuk memakai atau menyuruh orang lain memakai surat tersebut
seolah-olah isinya benar dan tidak dipalsu, diancam jika pemakaian tersebut dapat
menimbulkan kerugian, karena pemalsuan surat, dengan pidana penjara paling lama enam
tahun.”
Selanjutnya dalam Pasal 378 KUHP juga mengatur tentang tipu muslihat dimana
dalam melakukan tindak pidana tipu muslihat tersebut menggunakan document palsu.
Seperti yang dijelaskan berikut:
“Barangsiapa dengan maksud untuk menguntungkan diri sendiri atau orang lain secara
melawan hukum, dengan memakai nama palsu atau martabat palsu, dengan tipu muslihat,
ataupun rangkaian kebohongan, menggerakkan orang lain untuk menyerahkan barang sesuatu
kepadanya, atau supaya memberi hutang maupun menghapuskan piutang, diancam karena
penipuan dengan pidana penjara paling lama 4 tahun.”3
Selain itu Tercatat ada beberapa putusan Mahkamah Agung Hindia Belanda (Hoge
Raad/HR) pada
waktu
itu. Antara lain
putusan
HR
berikut
yang dalam
pertimbangannya menyatakan, dalam hukum Pidana memberi catatan untuk keterangan
tentang definisi palsu yaitu berupa satu kebohongan. Contoh : suatu order tertulis yang
palsu, yang merupakan kebohongan yang dinyatakan secara tertulis, order-order yang dikarang
diberikan oleh seorang pedagang keliling., elaku i.c. telah memberikan kepada pejabat pos
suatu surat tercatat yang tertulis dengan nilai Rp 2.500,- sedangkan ia mengetahui bahwa
isinya hanya terdiri dari sehelai kertas yang tidak bernilai sama sekali, semata-mata agar ia
3
Kitab undang-undang hukum pidana. Pasal 378
dapat memperoleh resi untuk surat tersebut, menempatkan tanda tangan palsu dalam buku
stempel untuk menggerakkan pejabat menyerahkan uang sokongan.
Dalam HR 8 Maret 1926, kepalsuan itu sendiri Terdapat suatu rangkaian
kebohongan, jika antara perbagai kebohongan itu terdapat suatu hubungan yang
sedemikian rupa dan kebohongan yang satu melengkapi kebohongan yang lain, sehingga
mereka secara timbal balik menimbulkan suatu gambaran palsu seolah-olah merupakan
suatu kebenaran.
HR 7 Desember 1942 menjelaskan bahwa Pelaku telah memberitahukan hal-hal
sebagai berikut :
1. Bahwa pihak ketiga tidak membayar bea angkutan ;
2. Bahwa pihak ketiga itu biasanya membayar bea angkutan kepada nakhoda
kapal;
3. Bahwa pihak ketiga itu kali inipun tidak bersedia memberi pengecualian.
Dalam pasal tersebut terdapat subjek yang dialamatkan oleh pasal tersebut yaitu
“Barangsiapa”. Jika ditafsirkan tentang definisi dari kata “barangsiapa”, ini merujuk
kepada orang yang tanpa melibatkan siapapun ataupun orang yang melakukan
perbuatan secara berkelompok. Perbuatan yang dilakukan oleh subjek dengan maksud
untuk menguntungkan diri sendiri secara melawan hukum atau melawan aturan
perundang-undangan, ketentuan-ketentuan, kebijakan-kebijan yang berlaku dengan
menggunakan cara :
- memakai nama palsu atau martabat palsu,
- tipu muslihat, ataupun
- rangkaian kebohongan.
Dari serangkaian penjelasan yang telah penulis jelaskan maka dapat ditarik
kesimpulan bahwa yang dimaksud pasal 70 ayat (a) Dalam Undang Undang Arbitrase,
yaitu:
1. Adanya dokumen-dokumen yang tidak benar dan dimanipulasi sehingga merubah
makna dan penjelasan dari keadaan yang sesungguhnya dan atau aslinya.
2. Adanya surat-surat serta alat-alat pendukung lainnya yang dirubah sedemikian
rupa sehingga merubah makna dan penjelasan dari keadaan yang sesungguhnya
dan atau aslinya.
Selain itu point-point yang dirubah ataupun dikarang yang dibuat seolah-olah asli
dalam dokumen maupun surat-surat yang dimaksud yaitu berupa:
1. Nama
2. Alamat
3. Tanggal
4. Keterangan mengenai objek perjanjian
5. Keadaan palsu
6. Jabatan
7. Harga dari suatu objek yang diperjanjikan
8. Keterangan-keterangan tambahan yang ada di dalam dokumen-perjanjian yang
digunakan
9. Tandatangan dan keterangan dari si penanda tangan
10. Dan adanya tekanan ataupun ancaman saat penandatanganan perjanjian
Dengan mengacu pada isi dari penjelasan pasal-pasal yang terdapat KUHP dan
penarikan presfektif yang yang bertujuan untuk melengkapi makna dari kekosongan
hukum dalam pasal 70 ayat (a) tersebut maka jelaslah sudah tentang yang apa dimaksud
dengan definisi palsu dalam point a. Hal yang mendukung untuk penggunaan penafsiran
dalam KUHAP tersebut adalah bahwa hakim harus memutuskan dan mencari sendiri
definisi maupun kekosongan hukum dalam suatu hukum dan perkara.
Sebagaimana diketahui bahwa Putusan arbitrase bersifat final dan mengikat,
artinya tidak ada upaya hukum lagi terhadap putusan arbitrase tersebut. Walaupun
demikian, sebenarnya Undang-Undang tersebut
tentang secara limitatif telah
mengakomodasi kepentingan pihak yang merasa dirugikan atas putusan arbitrase untuk
meminta pembatalan terhadap putusan arbitrase tersebut.
Walaupun dimungkinkan untuk dapat dimohonkan pembatalan putusan arbitrase,
namun bagi sebagian pihak ataupun praktisi hukum menganggap permohonan
pembatalan yang telah ditetapkan secara limitatif yang mengharuskan adanya unsur
dugaan sebagaimana ditetapkan dalam pasal 70 setidaknya diduga mengandung unsurunsur diantaranya sebagai berikut:
1. Surat atau dokumen yang diajukan dalam pemeriksaan, setelah putusan
dijatuhkan, diakui palsu atau dinyatakan palsu;
2. Setelah putusan diambil ditemukan dokumen yang bersifat menentukan, yang
disembunyikan oleh pihak lawan ; atau
3. putusan diambil dari hasil tipu muslihat yang dilakukan oleh salah satu pihak
dalam pemeriksaan sengketa.
Syarat limitatif yang ditetapkan pasal 70 tersebut sangat sulit untuk diterapkan
atau menjadi tidak dapat dioperasionalkan karena adanya syarat yang ditentukan lain
dalam penjelasan Pasal 70 UU No. 30/1999 yang selengkapnya berbunyi: Permohonan
pembatalan hanya dapat diajukan terhadap putusan arbitrase yang sudah didaftarkan di
Pengadilan. Alasan-alasan permohonan pembalan yang disebut dalam pasal ini harus
dibuktikan dengan putusan pengadilan. Apabila pengadilan menyatakan bahwa alasanalasan tersebut terbukti atau tidak terbukti, maka pengadilan ini dapat digunakan
sebagai dasar pertimbangan bagi untuk mengabulkan atau menolak permohonan.
Cara Pembuktian Dokument yang Dinyatakan Palsu Dalam Pasal 70 Ayat (A)
Undang-undang arbitrase tidak menjelaskan cara pembuktian dokument palsu
karena cara pembuktian terhadap dokument yang diindikasikan palsu ada pada
kewenangan pengadilan. Hal ini tertera dalam pasal Pasal 72 angka (1) yang berbunyi:
“Permohonan pembatalan putusan arbitrase harus diajukan kepada Ketua Pengadilan
Negeri”.
Pasal tersebut sudah jelas bahwa untuk melakukan pembatalan, harus diajukan ke
Ketua Pengadilan Negeri. Hal ini bertujuan untuk mencegah adanya penyalahgunaan
putusan oleh arbiter dalam sengketa yang ditangani.
Terkait kapan bisa dilaksanakannya permohonan pembatalan putusan arbitrase,
Undang-undang arbitrase menerangkannya dalam Pasal 71. Pasal tersebut berbunyi:
“Permohonan pembatalan putusan arbitrase harus diajukan secara tertulis dalam waktu
paling lama 30 (tiga puluh) hari terhitung sejak hari penyerahan dan pendaftaran putusan
arbitrase kepada Panitera Pengadilan Negeri”.
Dalam pasal tersebut dijelaskan bahwa pembuktian diserahkan kepada
pengadilan sejak berakhirnya masa perundingan sengketa disertai putusan arbitrase
berakhir.
Dengan adanya pelimpahan pembuktian yang bertujuan untuk pembatalan
putusan ini maka kewenangan hakim pasti akan membuka kembali kasus yang
diselesaikan melalui arbitrase guna mendapatkan keobjektifitasan yang efektif. Disisi
lain, dengan dibukanya kasus yang telah diselesaikan oleh arbiter sendiri akan melukai
perundingan sengketa yang telah diusahakan.
Pembuktian Berdasarkan Ranah Pengadilan
Setelah dilimpahkan berkas-berkas yang digunakan saat melakukan mediasi, maka
hakim akan menggunakan segala instrument guna membuktikan apakah permohonoan
pembatalan mengandung unsur-unsur yang tertera pada pasal 70 ataukah tidak. Dengan
adanya upaya pembuktian dari hakim, maka hakim akan mengggunakan instrumen
pembuktian dalam undang-undang lain atau putusan yang pernah dibuat olehnya atau
hakim lainnya.
Pertimbangan Hukum Mahkamah Konstitusi Dalam Membuktikan Unsur Pemalsuan
Putusan Mahkamah Konstitusi (MK) seringkali menjadi tonggak terjadinya
perubahan dinamika perkembangan hukum yang berlaku di Indonesia. Melalui
putusannya No.15/PUU-XII/2014, MK telah memberikan angin segar bagi para pencari
keadilan, yang merasa tidak puas terhadap putusan arbitrase.
Kejahatan pemalsuan surat (valschheid in geschriften) diatur dalam Bab XII
buku II KUHP, dari pasal 263 sampai pasal 276, yang dapat dibedakan menjadi 7
macam kejahatan pemalsuan surat, yaitu:4
1. Pemalsuan surat pada umumnya, bentuk pokok pemalsuan surat (pasal 263)
2. Pemalsuan surat yang diperberat (pasal 264)
3. Menyuruh memasukan keterangan palsu ke dalam akta otentik (pasal 266)
4. Pemalsuan surat keterangan dokter (pasal 267, pasal 268)
5. Pemalsuan surat-surat tertentu (pasal 269, pasal 270, pasal 271)
6. Pemalsuan surat keterangan pejabat tentang hak milik (pasal 274)
4
Hal. 97
Adami Chazawi. 2001. Kejahatan Terhadap Pemalsuan. Jakarta: PT Raja Grafindo Persadahlm.
7. Menyimpan bahan atau benda untuk pemalsuan surat (pasal 275)
8. Pemalsuan Surat pada umumnya (Pasal 263)
Kejahatan pemalsuan surat pada umumnya adalah berupa pemalsuan
surat
dalam bentuk pokok (bentuk standard) yang dimuat dalam pasal 263 KUHP, yang
rumusannya adalah sebagai berikut : 5
1. Barang siapa membuat surat palsu atau memalsukan surat yang dapat
menimbulkan sesuatu hak, perikatan atau pembebasan hutamg, atau yang
diperuntukkan sebagai bukti daripada sesuatu hal dengan maksud untuk memakai
atau menyuruh orang lain memakai surat tersebut seolah-olah isinya benar dan
tidak dipalsukan, dipidana jika pemakaian tersebut dapat menimbulkan kerugian,
karena pemalsuan surat, dengan pidana penjara paling lama 6 tahun.
2. Dipidana dengan pidana yang sama, barangsiapa dengan sengaja memakai surat
palsu atau yang dipalsukan seolah-olah asli, jika pemakaian surat itu
dapat
menimbulkan kerugian. Dalam pasal 263 tersebut ada 2 kejahatan, masing masing dirumuskan pada ayat 1 dan 2. Rumusan pada ayat ke -1 terdiri dari
unsur-unsur sebagai berikut :6
3. Dapat menimbulkan akibat kerugian dari pemakaian surat tertentu
a. Unsur-unsur obyektif :
1. Perbuatan :
a) membuat palsu
b) memalsu
2. Obyeknya :
a) yang dapat menimbulkan hak
b) yang menimbulkan suatu perikatan
c) yang menimbulkan suatu pembebasan hutang
d) yang diperuntukkan sebagai bukti daripada sesuatu
b. Unsur Subyektif : dengan maksud untuk memakai atau menyuruh orang lain
memakai seolah-olah isinya benar dan tidak dipalsu.
Sedangkan ayat 2 mempunyai unsur-unsur sebagai berikut :
1. Unsur-unsur obyektif :
a) Perbuatan : memakai
5
6
ibid
Ibid. Hal. 98
2 Obyeknya :
a). Surat palsu
b). Surat yang dipalsukan
3 Pemakaian surat tersebut dapat menimbulkan kerugian
b. Unsur subyektif : dengan sengaja
Surat (geschrift) adalah suatu lembaran kertas yang diatasnya terdapat tulisan yang
terdiri dari kalimat dan huruf termasuk angka yang mengandung atau beri si buah
pikiran atau makna tertentu, yang dapat berupa tulisan dengan tangan, dengan mesin
ketik, printer komputer, dengan mesin cetakan dan dengan alat dan cara apa pun. 7
Membuat surat palsu (membuat palsu valselijk opmaaken sebuah
surat) adalah membuat sebuah surat yang seluruh atau sebagian isinya palsu.
Palsu artinya tidak benar atau bertentangan dengan yang sebenarnya. 8
Membuat surat palsu ini dapat berupa :9
1. Membuat sebuah surat yang sebagian atau seluruh isi surat tidak sesuai atau
bertentangan dengan kebenaran. Membuat surat palsu yang demikian disebut
dengan pemalsuan intelektual.
2. Membuat sebuah surat yang seolah -olah surat itu berasal dari orang lain selain si
pembuat surat. Membuat surat palsu yang demikian ini disebut dengan
pemalsuan materiil (materiele Valschheid). Palsunya surat atau tidak benarnya
surat terletak pada asalnya atau si pembuat surat.
Sedangkan perbuatan memalsu (vervaksen) surat adalah berupa perbuatan mengubah
dengan cara bagaimanapun oleh orang yang tidak berhak atas sebuah
surat yang
berakibat sebagian atau seluruh isinya menjadi lain atau berbeda dengan isi surat semula.
Tidak penting apakah dengan perubahan itu lalu isinya menjadi benar ataukah tidak
atau bertentangan dengan kebenaran
ataukah tidak, bila perbuatan mengubah itu
dilakukan oleh orang yang tidak berhak, memalsu surat telah terjadi. Orang yang tidak
berhak itu adalah orang selain si pembuat surat. 10
Tidak semua surat dapat menjadi obyek pemalsuan surat, melainkan terbatas pada 4
macam surat, yakni :51
Ibid.
Ibid.
9 Ibid.
10 Ibid. Hal. 102
7
8
1. surat yang menimbulkan suatu hak
2. surat yang menimbulkan suatu perikatan
3. surat yang menimbulkan pembebasan hutang
4. surat yang diperuntukkan bukti mengenai sesuatu hal 2. Pemalsuan Surat Yang
Diperberat (Pasal 264)
Pasal 264 merumuskan sebagai berikut :
1. Pemalsuan surat dipidana dengan pidana penjara paling lama 8 tahun, jika dilakukan
terhadap :
1. Akta-akta otentik
2. Surat hutang atau sertifikat hutang dari suatu Negara atau bagiannya ataupun
dari suatu lembaga umum
3. Surat sero atau surat hutang atau sertifikat sero atau hutang dari suatu
perkumpulan, yayasan, perseroan atau maskapai
4. Talon, tanda bukti deviden atau bunga dari salah satu surat yang diterangkan
dalam 2 dan 3, atau tanda bukti yang dikeluarkan sebagai pengganti surat-surat
itu
5. surat kredit atau surat dagang yang diperuntukkan untuk diedarkan
2. Dipidana dengan pidana yang sama barangsiapa dengan sengaja memakai surat
tersebut dalam ayat pertama, yang isinyatidak asli atu dipalsukan seolah-olah benar
dan tidak dipalsu, jika pemakaian surat itu dapat menimbulkan kerugian.
Nyatalah bahwa yang menyebabkan diperberatnya pemalsuan surat pasal 264 di atas
terlatak pada faktor macamnya surat. Surat-surat tertentu yang menjadi obyek
kejahatan adalah surat- surat yang mengandung kepercayaan yang lebih besar akan
kebenaran isinya. Pada surat-surat itu mempunyai derajat kebenaran yang lebih tinggi
daripada surat-surat biasa atau surat lainnya. Kepercayaan yang lebih besar terhadap
kebenaran akan isi dari macam-macam surat itulah yang menyebabkan diperberat
ancaman pidananya. Penyerangan terhadap kepercayaan masyarakat yang lebih besar
terhadap isi surat-surat yang demikian dianggap membahayakan kepentingan umum
masyarakat yang lebih besar pula.11
3. Menyuruh Memasukkan Keterangan Palsu Ke dalam Akta Otentik (Pasal 266)
Pasal 266 merumuskan sebagai berikut :
11
Ibid
(1) Barangsiapa menyuruh memasukkan keterangan palsu ke dalam suatu akta
otentik mengenai sesuatu hal yang kebenarannya harus dinyatakan oleh akta itu,
dengan maksud untuk memakai atau menyuruh orang lain memakai akta itu
seolah-olah keterangannya sesuai dengan kebenaran, dipidana, jika pemakaian itu
dapat menimbulkan kerugian, dengan pidana penjara paling lama 7 tahun.
(2) Dipidana dengan pidana yang sama, barangsiapa dengan sengaja memakai akta
tersebut seolah-olah isinya sesuai de ngan kebenaran, jika karena pemakaian
tersebut dapat menimbulkan kerugian.
Ada 2 kejahatan dalam pasal 266, masing -masing dirumuskan pada ayat 1 dan 2. Ayat
ke-1 mempunyai unsur-unsur sebagai berikut :53
1.Unsur-unsur obyektif :
c. Ke dalam akta otentik
d. Mengenai sesuatu hal yang kebenarannya harus dinyatakan dengan akta itu
e. Jika pemakaiannya dapat menimbulkan kerugian
2. Unsur subyektif : dengan maksud untuk memakai atau menyuruh memakai seolah-olah
keterangan itu sesuai dengan kebenaran.
Ayat ke-2 mempunyai unsur-unsur sebagai berikut :
1. Unsur-unsur obyektif :
a. Perbuatan : memakai
1. unsur-unsur Sbjektif:
a. perbuatan : menyuruh melakukan
b. Obyeknya : keterangan palsu
c. Obyeknya : akta otentik tersebut ayat 1
d. Seolah -olah isinya benar
2. Unsur Subyektif : dengan sengaja
Perbuatan menyuruh memasukkan mengandung unsur-unsur :12
Oleh karena pejabat pembuat akta otentik tidak mengetahui perihal tidak
benarnya keterangan tentang sesuatu hal itu, maka ia tidak dapat
dipertanggungjawabkan, terhadap perbuatannya yang melahirkan akta otentik yang
isinya palsu itu, dan karenanya ia tidak dapat dipidana.
12
Ibid. Hal 113
1. Inisiatif atau kehendak untuk membuat akta, akta mana memuat tentang apa
(obyek yakni : mengenai sesuatu hal atau kejadian) yang disuruh masukkan ke
dalamnyaadalah berasal dari orang yang menyuruh memasukkan, bukan dari
pejabat pembuat akta otentik.
2. Dalam hubungannya dengan asalnya inisiatif dari orang yang meminta
dibuatkannya akta otentik, maka dalam perkataan atau unsur menyuruh
memasukkan berarti orang itu dalam kenyataannya ia memberikan
keterangan-keterangan tentang sesuatu hal, hal mana adalah bertentangan
dengan kebenaran atau palsu.
3. Pejabat pembuat akta otentik tidak mengetahui bahwa keterangan yang
disampaikan oleh orang yang menyuruh memasukkan keterangan kepadanya
itu adalah keterangan yang tidak benar.
Untuk selesainya perbuatan menyuruh memasukkan dalam arti selesainya
kejahatan itu secara sempurna, tidak cukup dengan selesainya perbuatan memberikan
keterangan tentang sesuatu hal atau kejadian, melainkan harus sudah ternyata tentang
hal atau kejadian itu telah nyata-nyata dimuatnya dalam akta otentik yang
dimaksudkan.13
Mengenai pemalsuan surat keterangan dokter dimaksudkan ini dimuat dalam
pasal 267 dan pasal 268. Dokter adalah sifat pribadi yang melekat pada subyek hukum
dari kejahatan ini. Hanyalah orang yang mempunyai sifat pribadi atau kualitas pribadi
seorang dokter yang dapat melanggar pasal 267 (1 dan 2). Orang-orang yang tidak
mempunyai kualitas demikian dapat terlibat sebagai pelaku penganjur (uitlokken),
pelaku peserta (medeplegen), dan pelaku pembantu (medeplichtigen), dan sebagai pelaku
pelaksana (plegen), oleh karena bagi pelaku pelaksana pada dasarnya sama dengan yang
apa yang diperbuat oleh petindak (dader).
B. Unsur-unsur Pembuktian dalam Pemalsuan Berkas Atau Dokumen
Dalam pembahasan dari rumusan masalah satu telah menjelaskan tentang definisi palsu.
Namun, demikian definisi palsu sendiri masih dalam perspektif KUHP yang mana kitab
tersebut hanya mengatur tentang tindakan Pidana Murni dalam suatu kejahatan. Jika
13
Ibid.
dikaitkan dalam perbuatan dalam UU Alternatif penyelesaian sengketa maka akan
menimbulkan kekaburan hukum.
Unsur Palsu Menurut Kitab Undang-Undang Hukum Pidana KUHP
Tanpa adanya penjelasan pada Pasal 70 ayat (a) maka ini akan memberikan multi
tafsir tentang definisi palsu dan unsur-unsur palsu dan cara pembuktiannya. c Ini Berarti
Undang-Undang Arbitrase akan mengandung independensi yang kuat dibanding hukum
pidana. Namun demikian, dalam hal ini terjadi kekosongan hukum tentang definisi dan
cara penegakan pasal 70 ayat (a) dalam kacamata undang-undang. Oleh sebab itu, penulis
akan mengacu pada definisi yang sudah diatur dan diakui oleh undang undang Indonesia
dan putusan hakim yang telah ditempuh dalam membuktikan adanya unsur palsu dalam
pembatalan putusan arbitrase. Undang-undang arbitrase sendiri menyerahkan segala
pembuktian pasal 70 ayat (a) ke pengadilan. Hal ini membuktikan adanya campur tangan
pengadilan untuk memeriksa perkara arbitrase. Padahal undang undang arbitrase sendiri
menjelaskan bahwa aritrase bebas dari campur tangan pengadilan.
Unsur-unsur pidana dari tindak pidana pemalsuan surat selain yang disebut di atas
adalah:
1. pada waktu memalsukan surat itu harus dengan maksud akan menggunakan atau
menyuruh orang lain menggunakan surat itu seolah-olah asli dan tidak dipalsukan;
2. penggunaannya harus dapat mendatangkan kerugian. Kata “dapat” maksudnya tidak
perlu kerugian itu betul-betul ada, baru kemungkinan saja akan adanya kerugian itu
sudah cukup;
3.yang dihukum menurut pasal ini tidak saja yang memalsukan, tetapi juga sengaja
menggunakan surat palsu. Sengaja maksudnya bahwa orang yang menggunakan itu
harus mengetahui benar-benar bahwa surat yang ia gunakan itu palsu. Jika ia tidak tahu
akan hal itu, ia tidak dihukum.
Sudah dianggap “mempergunakan” misalnya menyerahkan surat itu kepada orang lain
yang harus mempergunakan lebih lanjut atau menyerahkan surat itu di tempat dimana
surat tersebut harus dibutuhkan.
4.Dalam hal menggunakan surat palsu harus pula dibuktikan bahwa orang itu bertindak
seolah-olah surat itu asli dan tidak dipalsukan, demikian pula perbuatan itu harus dapat
mendatangkan kerugian.
Lebih lanjut, menurut Pasal 264 ayat (1) angka 1 KUHP, bahwa tindak pidana
pemalsuan surat sebagaimana Pasal 263 KUHP lebih berat ancaman hukumannya
apabila surat yang dipalsukan tersebut adalah surat-surat otentik.
Pembuktian Dokumen yang Dinyatakan Palsu Dalam Pasal 70 ayat (a)
Mengacu pada pembahasan dalam rumusan masalah pertama, maka dapat diambil dan
dirangkai dari menjadi suatu kesatuan untuk mencari dan membuktikan unsur kepalsuan
maka akan mengahilkan poin-poin sebagai berikut:
1. Selain itu HR dalam hukum Pidana memberi catatan untuk keterangan tentang
definisi palsu yaitu berupa:
Satu kebohongan. Contoh : suatu order tertulis yang palsu, yang merupakan
kebohongan yang dinyatakan secara tertulis, order-order yang dikarang diberikan oleh
seorang pedagang keliling., elaku i.c. telah memberikan kepada pejabat pos suatu surat
tercatat yang tertulis dengan nilai Rp 2.500,- sedangkan ia mengetahui bahwa isinya
hanya terdiri dari sehelai kertas yang tidak bernilai sama sekali, semata-mata agar ia
dapat memperoleh resi untuk surat tersebut, menempatkan tanda tangan palsu dalam
buku stempel untuk menggerakkan pejabat menyerahkan uang sokongan.
Dalam HR 8 Maret 1926, kepalsuan itu sendiri Terdapat suatu rangkaian kebohongan,
jika antara pelbagai kebohongan itu terdapat suatu hubungan yang sedemikian rupa dan
kebohongan yang satu melengkapi kebohongan yang lain, sehingga mereka secara timbal
balik menimbulkan suatu gambaran palsu seolah-olah merupakan suatu kebenaran.
HR 7 Desember 1942
Pelaku telah memberitahukan hal-hal sebagai berikut :
1. Bahwa pihak ketiga tidak membayar bea angkutan ;
2.
Bahwa pihak ketiga itu biasanya membayar bea angkutan kepada nakhoda
kapal ;
3. Bahwa pihak ketiga itu kali inipun tidak bersedia memberi pengecualian.
Kebohongan di atas bukan suatu kebohongan, melainkan suatu rangkaian kebohongan.
Menurut R.Soesilo perbuatan pemalsuan mengandung ciri- ciri sebagai berikut:14
a)
Membujuk
Subjek hukum melakukan pengaruh dengan kelicikan terhadap orang, sehingga
orang itu menurutinya berbuat sesuatu yang apabila mengetahui duduk perkara
yang sebenarnya, ia tidak akan berbuat demikian itu.
b) Memberikan barang
barang itu tidak perlu harus diberikan (diserahkan) kepada terdakwa sendiri,
sedang yang menyerahkan itupun tidak perlu harus orang yang dibujuk sendiri,
bisa dilakukan oleh orang lain.
c) Menguntungkan diri sendiri dengan melawan hak
Subjek Hukum berniat untuk menguntungkan diri sendiri sementara ia tidak
tidak berhak.
Nama palsu
Nama yang bukan namanya sendiri. Nama “Saimin” dikatakan “Zaimin” itu
bukan menyebut nama palsu, akan tetapi kalau ditulis, itu dianggap sebagai
menyebut nama palsu.
d) Keadaan palsu
Misalnya mengaku dan bertindak sebagai agen polisi, notaris, pastor, pegawai
kotapraja, pengantar surat pos, dsb-nya yang sebenarnya ia bukan penjabat itu.
Akal cerdik atau tipu muslihat
Suatu tipuan yang demikian liciknya, sehingga seorang yang berpikiran normal
dapat tertipu. Suatu tipu muslihat sudah cukup, asal cukup liciknya.
e) Rangkaian kata-kata bohong
Satu kata bohong tidak cukup, disini harus dipakai banyak kata-kata bohong
yang tersusun sedemikian rupa, sehingga kebohongan yang satu dapat ditutup
dengan kebohongan yang lain, sehingga keseluruhannya merupakan suatu
ceritera sesuatu yang seakan-akan benar.
14R.
Hal.261.
Soesilo. 1996. KUHP Serta Komentar-komentarnya Lengkap pasal demi Pasal. Bogor: Politea.
Tentang “barang” tidak disebutkan pembatasan, bahwa barang itu harus kepunyaan
orang lain. Jadi membujuk orang untuk menyerahkan barang sendiri, juga dapat masuk
penipuan, asal elemen-elemen lain dipenuhinya. Seperti halnya juga dengan pencurian ;
maka penipuan pun jika dilakukan dalam kalangan kekeluargaan berlaku peraturan yang
tersebut dalam pasal 367 jo. 394 KUHP.15
Putusan Mahkamah Konstitusi (MK)
Putusan Mahkamah Konstitusi (MK) seringkali menjadi tonggak terjadinya
perubahan dinamika perkembangan hukum yang berlaku di Indonesia.16 Oleh sebab itu,
tindakan dalam pembuktian pasal 70 haruslah dibuat dan diatur sendiri karena
perbuatan pemalsuan yang diatur di dalam KUHP merupakan pidana murni sementara
perbuatan pada pasal 70 adalah perbuatan yang bertujuan untuk penyelesaian sengketa
dalam alternatif penyelesaian sengketa
15
Lamintang. 1984. Dasar-Dasar Hukum Pidana Indonesia. Bandung : Sinar Baru. Hal.262.
16
Opcit. Bimo Prasetio.
PENUTUP
Kesimpulan
1. UU arbitrase tidak memberikan definisi tentang palsu sebagai syarat salah satu
syarat pembatalan putusan sebagaimana disebutkan di dalam pasal 70 ayat (a)
UU Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa. Definisi palsu hanya dapat di
temukan di dalam KUHP sedangkan KUHP menjelaskan tentang definisi palsu
secara umum dari aspek pidana murni selain itu KUHP adalah aturan umum yang
membahas suatu tindakan sementara Arbitrase sendiri adalah hukum yang
independen dan khusus serta ditujukan untuk sengketa dalam perniagaan dan
bukan dalam klasifikasi tindak pidana murni.
2. Pembuktian dokumen palsu dalam kasus pembatalan Putusan arbitrase lebih
bertendensi pada KUHP dan pendapat para ahli. Ini dikarenakan UU arbitrase
tidak membahas dan mengatur secara khusus tentang definisi dan pembuktian
pasal 70 ayat (a).
Saran
1. Berkaca pada asas hukum Lex specialis derogat lex generalis, Arbitrase sendiri
memerlukan penjabaran tentang definisi pemalsuan dalam arti kusus karena
arbitrase sendiri adalah hukum yang mengatur tentang penyelesaian sengketa
secara independen dan bebas dari campur tangan pengadilan.
2. Mengingat UU Arbitrase adalah UU yang dibuat secara khusus, maka diperlukan
adannya peraturan khusus tentang hukum acara arbitrase guna meningkatkan
penyelesaian sengketa secara efektif.
DAFTAR PUSTAKA
BUKU
Adami Chazawi. 2001. Kejahatan Terhadap Pemalsuan. Jakarta: PT Raja Grafindo
Persada.
Lamintang. 1984. Dasar-Dasar Hukum Pidana Indonesia. Bandung : Sinar Baru
R. Soesilo. 1996. KUHP Serta Komentar-komentarnya Lengkap pasal demi Pasal.
Bogor: Politea
INTERNET
Bimo Prasetio. 2015. Pertimbangan MK Dalam Membatalkan Penjelasan Pasal 70
UU Arbitrase. http://strategihukum.net/pertimbangan-mk-dalam-membatalkanpenjelasan-pasal-70-uu-arbitrase. Diakses tanggal 04 Desember 2017
Lulu Hanifah. 2014. Alasan Pembatalan Putusan Arbitrase Timbulkan Norma
Baru, MK Hapus Norma Penjelasan Pasal 70 UU Arbitrase.
http://www.mahkamahkonstitusi.go.id/index.php?page=web.Berita&id=10366. Diakses
tanggal 04 Desember 2017
Download