DWI PUTRI GUNAWAN 19/448067/PHK/10576 Muh. Eza Syahputra, 6 tahun, anak kecil asal Kalimantan Timur yang menjadi korban kesalahan prosedur yang dilakukan oleh dokter spesialis mata di Rumah Sakit Umum Daerah (RSUD) Sangatta, Kutai Timur, Kalimantan Timur pada 2013 lalu. Karena dugaan kesalahan tersebut, mata Eza menjadi rusak dan mengalami gangguan penglihatan. Ia pun hingga kini harus menjalani operasi mata berkali-kali di Rumah Sakit Cipto Mangunkusumo, Jakarta. Kasus Eza telah disidangkan dan diputus oleh Majelis Kehormatan Disiplin Kedokteran Indonesia (MKDKI) pada tanggal 6 Februari 2018 lalu. Adapun hasil putusannya dokter 'Z' telah melakukan pelanggaran profesi dengan kesalahan karena tidak mengangkat lensa yang miring. Ia juga diberi sanksi pencabutan surat tanda registrasi (STR) selama 2 bulan. Kini pasca putusan tersebut, pihak korban ingin meminta pertanggungjawaban dari dokter tersebut namun tidak ada itikad baik dari pihak dokter tersebut. Padahal, korban merupakan tergolong dari keluarga miskin dan hanya ingin mendapatkan keadilan atas kelalaian dari dokter tersebut. Dengan advokasi dari Yayasan Pemberdayaan Konsumen Kesehatan Indonesia (YKPKI) dan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (LBHI), korban akan melayangkan somasi terhadap RSUD Sangatta dan dokter 'Z'. "Kami akan tunggu jawaban dari somasi hingga 14 hari. Kalau dari rumah sakit tidak ada jawaban kami akan layangkan somasi kedua dan menempuh langkah hukum perdata atau pidana," ujar pengacara dari Herawan and Partners, Wahyu Nandang, di Jakarta, Rabu (1/8). Menurut Wahyu langkah hukum dimungkinkan walaupun MKDKI telah menjatuhkan putusan atas pelanggaran disiplin yang dilakukan dokter Z. Wahyu menekankan akibat kelalaian dokter tersebut, Eza kehilangan hak-haknya untuk mendapatkan pendidikan dan hidup layaknya anak-anak lain. Ibu dari Eza, Riayanti, 30, menuturkan selama ini ia mengandalkan bantuan dari program JKNKIS untuk pengobatan putranya, tetapi belum semua biaya dijamin. Ia harus membeli obat seharga ratusan ribu untuk mata Eza. Obat tersebut harus digunakan setiap hari seumur hidup agar tekanan mata Eza tidak tinggi. "Kalau tekananan bola matanya terlalu tinggi, kata dokter matanya akan pecah," kata Ria. Ria menuturkan ia hanya ingin keadilan bagi anaknya. Analisis Kasus Subyek hukum dalam kasus diatas adalah dokter Zainudin dan Ria (Ibu dari Eza) karena Eza masih di bawah umur maka dianggap belum cakap hukum dan harus diwakilkan oleh orang tuanya. Hubungan antara dokter Zainudin dan pasien merupakan transaksi terapeutik yaitu hubungan yang dilakukan oleh subyek hukum sehingga melahirkan hak dan kewajiban bagi kedua belah pihak. Dari hubungan tersebut akan melahirkan perbuatan hukum dan menimbulkan adanya akibat hukum. Hubungan pasien-dokter berdasarkan terapeutik merupakan daya upaya dimana dokter berusaha semaksimal mungkin dalam memberikan pengobatan kepada pasiennya yang disebut dengan inspanning verbintenis. Hal tersebut harus memenuhi ketentuan Pasal 1320 KUHPerdata. Dalam suatu akibat hukum akan menimbulkan tanggung jawab hukum bagi dokter mengenai siapa yang bertanggung jawab dan sejauh apa tanggung jawab dapat diberikan. Tanggung jawab profesi dokter dapat dibedakan menjadi tanggung jawab etik dan tanggung jawab hukum yaitu hukum pidana, perdata dan administrasi. Pada kasus tersebut, Dr. Zainudin selaku dokter spesialis mata di RSUD Sangatta, Kutai Timur, Kaltim pada tahun 2013 diduga telah melakukan malpraktek terhadap Eza sehingga mata Eza menjadi rusak dan mengalami gangguan penglihatan (buta). Kasus Eza telah disidangkan dan diputus oleh Majelis Kehormatan Disiplin Kedokteran Indonesia (MKDKI) pada tanggal 6 Februari 2018 lalu. Hasil putusannya adalah dokter Zainudin telah melakukan pelanggaran profesi dengan kesalahan karena tidak mengangkat lensa yang miring. Ia juga diberi sanksi pencabutan surat tanda registrasi (STR) selama 2 bulan. Namun sanksi yang diterima oleh dokter Zainudin baru merupakan sanksi etik yang diberikan oleh MKDKI. Karena dokter Zainudin selalu mengelak bahwa ia telah melakukan malpraktek terhadap pasien tersebut, maka ibu dari Eza akan menempuh jalur hukum apabila tidak ada itikad baik dari dokter Zainudin. Jika kasus ini dilihat dari sudut pandang kacamata hukum positif maka malpraktek yang dilakukan oleh Dokter Zainudin merupakan sebuah kelalaian yang menyebabkan orang lain celaka. Dokter Zainudin dalam hal ini dapat dikenai tuntutan berdasarkan pasal 360 ayat 1 KUHP yang menyatakan “barang siapa karena kealpaan menyebabkan orang lain mendapat luka -luka berat, diancam dengan pidana penjara paling lama lima tahun atau kurungan paling lama satu tahun”. Selanjutnya Pasal 361 KUHP yang menyatakan “jika kejahatan yang di terangkan dalam bab ini dilakukan dalam mejalankan suatu jabatan atau pecarian, maka pidana ditambah dengan sepertiga dan yang bersalah dapat cabut haknya untuk menjalankan pencarian dalam mana dilakukan kejahatan dan hakim dapat memerintahkan supaya putusan di umumkan.” Kedua pasal tersebut memberikan peluang untuk korban menuntut haknya sebagai pihak yang dirugikan dan juga dapat menjerat pihak yang bertanggung jawab atas kecelakaan yang dialami oleh korban akibat lalai dalam melakukan pekerjaannya. Selanjutnya dalam hukum perdata, dasar gugatan/tuntutan tambahan lain yang memungkinkan untuk dimintai pertanggungjawaban berdasarkan kasus tersebut adalah didasarkan pada Pasal 1365 KUHPerdata tentang Perbuatan Melawan Hukum. Pasal tersebut menyatakan bahwa “tiap perbuatan melawan hukum yang membawa kerugian kepada pihak lain diwajibkan mengganti kerugian tersebut”. Kasus malpraktek diatas dapat dikategorikan sebagai perbuatan melawan hukum apabila memenuhi unsur-unsur perbuatan melawan hukum. Selain itu, berdasarkan Pasal 46 UU No. 44 Tahun 2009 menyatakan bahwa rumah sakit bertanggung jawab terhadap semua kerugian yang menimpa seseorang sebagai akibat dari kelalaian tenaga kesehatan di rumah sakit. Maka korban juga dapat menuntut ganti kerugian kepada RSUD Sangatta apabila malpraktek benar terjadi karena dokter tersebut bekerja di RSUD Sangatta.