Uploaded by Berutu Timbul

BAB II PAULUS DAN TRADISI KEKRISTENAN MU

advertisement
BAB II
PAULUS DAN TRADISI KEKRISTENAN MULA-MULA
I.
Tradisi Kekristenan Mula-mula
Setelah Yesus, orang Nazaret, hilang dari panggung sejarah, maka mulailah orang
memikirkan siapa Dia sebenarnya berikut juga pengalaman semasa bersama dengan Dia.
Dalam diri para pengikut Yesus ada keyakinan bahwa Yesus sebenarnya hidup, tetap berarti,
bermakna dan relevan bagi manusia. 1 Berdasarkan hal tersebut, maka dapat dikatakan bahwa
Yesus – bahkan setelah kematian-Nya – memberikan pengaruh yang cukup besar bagi diri
para pengikut-Nya. Pengalaman bersama dengan Yesus – semasa masih hidup – ternyata
tidak hanya menjadi kenangan bagi para pengikut-Nya – secara khusus para murid, namun
juga mengubahkan pola kehidupan religius mereka. Perubahan dalam kehidupan pribadi para
pengikut Yesus ini ternyata menumbuhkan kesadaran dalam diri mereka untuk
―mengenalkan‖ Yesus kepada orang lain. Hal ini dapat dilihat dengan adanya pewartaan
mengenai Yesus melalui tulisan-tulisan ataupun tradisi lisan. Konsep ataupun rumusan iman
– baik secara individu maupun dalam komunitas tertentu – terhadap Yesus tentunya tidak
jauh berbeda dengan pewartaan mengenai diri Yesus itu sendiri, yang dibawakan oleh para
pemberita Injil. Para pemberita Injil memberitakan Yesus sesuai dengan keyakinan mereka
sendiri akan sosok Yesus tersebut. Dengan pemberitaan Injil tersebut, maka orang-orang
yang sebelumnya tidak mengenal Yesus akhirnya menjadi kenal, bahkan ada pula yang
akhirnya menjadi pengikut Yesus. Kepercayaan dan keyakinan (iman) yang ada dalam
individu atau suatu masyarakat tertentu mengenai diri Yesus tentunya juga tidak jauh berbeda
dengan konsep atau iman mengenai Yesus yang diberitakan kepadanya. Berdasarkan hal
tersebut, pewartaan iman akan Yesus turut mempengaruhi iman seseorang atau masyarakat di
mana Yesus diberitakan. Demikian pula sebaliknya, iman seseorang atau masyarakat tertentu
akan Yesus secara tidak langsung pula memberikan gambaran bagaimana Yesus diberitakan
di tempat/konteks tersebut.
Masa-masa pasca-Paskah memang menjadi suatu moment tersendiri bagi para
pengikut Yesus. Masa-masa tersebut menjadi waktu di mana para pengikut Yesus mulai
1
C. Groenen, Sejarah Dogma Kristologi (Yogyakarta: Kanisius. 2005). Hlm. 30
11
mempergumulkan dan merefleksikan seluruh pengalamanya bersama Yesus dan juga tentang
siapa Yesus sebenarnya. Terlepas dari permasalahan mengenai kebangkitan apakah
merupakan fakta historis atau tidak, ternyata tradisi lisan ataupun tulisan-tulisan pada masa
itu menyiratkan suatu keyakinan akan kebangkitan Yesus. Dengan demikian tampak bahwa
refleksi atas pengalaman Paskah merupakan titik tolak seluruh iman akan Yesus. 2
Pengalaman Paskah tersebut meyakinkan para pengikut Yesus akan pewartaan-Nya dan
tindakan-Nya semasa Ia masih hidup bersama-sama dengan mereka. Kehidupan Yesus yang
dulu merupakan teka-teki bagi mereka kini mulai dapat tersingkap dan dipahami. Dalam
masa-masa inilah kristologi mulai berkembang.
Jika pengalaman Paskah merupakan titik tolak iman Kristen, maka bisa dikatakan
pula pengalaman Paskah merupakan titik di mana Yesus masuk dalam kehidupan religius
para pengikutnya. Proses masuknya ―Yesus‖ dalam kehidupan religius para pengikut-Nya
pun bukan berarti tidak ada permasalahan di dalamnya. Ketika mereka mengalami perubahan
dalam kehidupan religius mereka, ternyata ada suatu kesadaran untuk melakukan ‗misi‘. Misi
untuk mewartakan Injil, termasuk di dalamnya mewartakan siapa Yesus. Namun, ternyata
dalam pewartaan inipun ada permasalahan. Para pemberita Injil berhadapan dengan konteks
budaya dan alam pikir yang berbeda. Misalnya, sekalipun banyak orang (khususnya
masyarakat Yahudi Palestina) yang mengenal Yesus tatkala Dia masih hidup, namun mereka
mempunyai penghayatan akan Yesus yang berbeda dengan para pengikut Yesus. Begitu pula
dalam konteks Yunani, di mana Yesus kurang begitu familiar dengan kehidupan mereka.
Situasi seperti inilah (perbedaan konteks dan alam pikir) yang mendorong para pemberita
Injil mengolah tradisi iman mereka dan mengembangkannya sesuai dengan konteks di mana
mereka memberitakan Injil. Kesadaran untuk mengolah dan mengembangkan tradisi iman
inipun juga tidak lepas dari adanya kesadaran akan misi untuk mewartakan Injil. Tentunya
kesadaran akan misi ini tidak hanya sekedar mewartakan, namun juga mengupayakan agar
apa yang mereka beritakan dapat diterima dengan baik sesuai konteks masyarakat tertentu.
2
C. Groenen, Sejarah Dogma Kristologi, Hlm. 32
12
a. Yesus dalam Dunia Kristen-Yahudi
Di kalangan umat yang berasal dari bangsa Yahudi asli, Yesus dihormati
dengan mengakui-Nya sebagai “Massiakh” (bhs. Ibrani) atau “Christos”
(bhs. Yunani). Hal ini karena pada umumnya orang Yahudi tidak menyebut
raja mereka dengan sebutan “Kyrios”. Namun demikian, tidak ada bukti
bahwa pernah dipakai semacam homologi (pengakuan) ―Kristuslah Yesus‖.
Akan tetapi, suatu pengakuan yang serupa dengan itu pasti pernah ada. Dalam
Kis 2: 36, disebut secara bersamaan: ―Allah membuat Yesus menjadi Tuhan
dan Kristus‖. Dan ternyata nama ―Yesus Kristus‖ menjadi nama yang paling
biasa bagi Yesus dalam Perjanjian Baru. Bahkan seringkali dipakai nama
―Kristus‖ ganti ―Yesus‖. Padahal, kata ―Kristus‖ bukanlah nama diri,
melainkan gelar untuk raja (Yahudi). Jadi, kalau Yesus disebut ―Kristus‖,
maka jelaslah bahwa Ia pernah diakui sebagai ―Kristus‖ atau sebagai raja
orang Yahudi. 3
Dalam Perjanjian Baru, nama Yesus seringkali diikuti dengan ‗Kristus‘. Padahal kata
‗Kristus‘ (Cristo,j) bukanlah berasal dari bahasa ataupun tradisi Yahudi, melainkan berasal
dari bahasa Yunani, yang artinya ―Yang Diurapi‖. Pemakaian kata itu sendiri bisa dibilang
wajar, karena pada waktu itu budaya Yunani tengah berkembang pesat dan kekristenan
sendiri mulai keluar dari daerah Palestina. Namun, kata ―Christos‖ yang artinya ―yang
diurapi‖ tersebut ternyata mempunyai kesamaan makna dengan kata ―Messiah‖ dalam tradisi
Yahudi. Dalam ‗kasus‘ ini, tampak adanya pengalih bahasan dari ―Messiah‖ menjadi
―Christos‖. Hal ini dikarenakan helenisasi yang berkembang di Palestina pada waktu itu
membuat ‗Messiah‘ yang hanya dimengerti oleh orang Yahudi dialih bahasakan menjadi
‗christos‘, agar orang non-Yahudi juga bisa mengerti dan menerima ‗Messiah‘. Jika pada
waktu itu Yesus dikenakan gelar ‗Kristus‘ pada diri-Nya, maka dengan kata lain pula Yesus
dalam terang tradisi Yahudi diyakini sebagai Mesias.
Walaupun bagi para pengikut-Nya – yang notabenenya sebagian besar adalah orang
Yahudi – Yesus adalah seorang Mesias, namun untuk menjelaskan dan mewartakan hal
tersebut kepada orang-orang Yahudi sendiri bukan berarti tidak menemui masalah. Dalam
kitab-kitab Injil banyak dikisahkan bagaimana Yesus bersinggungan dengan tradisi Yahudi.
Bahkan, kematian Yesus pun salah satunya disebabkan karena Dia bersinggungan dengan
kehidupan religius Yahudi. Berdasarkan kisah penyaliban Yesus yang termuat dalam kitab
Injil (Mat. 27; Mark. 15; Luk. 23; dan Yoh. 18-19), inisiator penyaliban Yesus adalah orang3
Tom Jacobs, Siapa Yesus Kristus Menurut Perjanjian Baru (Yogyakarta: Kanisius. 1990). Hlm. 42
13
orang Yahudi yang menolak Yesus. Jumlah mereka pun – tersirat – lebih banyak daripada
jumlah orang Yahudi yang mengikuti Yesus. Tampak bahwa Yesus tidak diterima dengan
baik dalam masyarakat Yahudi. Hanya sedikit yang menerima dan mengikuti-Nya. Sulit
dipungkiri bahwa kehidupan religius bangsa Yahudi sangat kental dengan konsep
Mesianisme, maka agaknya kurang mungkin jika ‗Yesus adalah Mesias‘ diwartakan tanpa
menemui masalah. Yesus yang semula ditolak oleh sebagian besar orang Yahudi kini
diwartakan sebagai Mesias. Hal ini tentunya bukan masalah yang sepele bagi para pengikut
Yesus dan pemberita Injil pada waktu itu, di mana mereka terlebih dahulu mengalami
perubahan iman dan kemudian memberitakan hal tersebut serta berusaha meyakinkan
masyarakat di mana ia memberitakan Injil.
Ketika para pemberita Injil mengatakan bahwa ―Yesus adalah Kristus‖ atau ―Yesus
adalah Mesias‖, maka ada sebuah proses yang amat pelik di balik penghayatan iman tersebut.
Yesus yang kehadiran-Nya jauh sesudah konsep Mesias lahir dalam kehidupan religius
bangsa Yahudi kini mulai memasuki alam pikir Yahudi. Kata ‗Mesias‘ yang artinya adalah
‗yang diurapi‘, pada awalnya menunjuk pada raja yang sedang berkuasa di Israel. Konsep
mengenai Mesias banyak terdapat dalam nubuat para nabi antara abad ke-9 hingga abad ke-5
sM. Pada masa itu bangsa Israel telah mengenal pemerintahan dan kekuasaan raja, sehingga
para nabi selalu menggambarkan Mesias itu sebagai raja. Ketika masa pembuangan
gambaran Mesias berubah, yaitu Mesias yang adalah raja dan sekaligus bertugas sebagai
nabi. Sebagai raja, Mesias adalah wakil Allah di dunia, yang membebaskan Israel dari
perhambaan, dan yang memimpin bangsa Israel kembali melalui padang gurun dan akhirnya
memerintah dengan kemuliaan abadi. Sebagai nabi, Ia merupakan murid Yahweh yang
senantiasa mendengar Firman-Nya dan menyampaikan kebenaran dan terang kepada bangsa
Israel maupun bangsa-bangsa lain. Perubahan konsep mesianisme tidak hanya berhenti
sampai di sini. Mesias yang nabiah tadi akhirnya tergantikan oleh ―Anak Manusia‖ (Daniel
7). Pandangan ini akhirnya menghapus kedudukan atau jabatan nabi yang sebelumnya
melekat erat pada pengertian Mesias.4 Konsep mesianis seperti inilah yang agaknya
mewarnai kehidupan religius bangsa Yahudi pada zaman Yesus. Mesias yang adalah raja
keselamatan dan pembebas secara sosio-politis. Sementara itu, kehidupan Yesus jauh dari
gambaran Mesias seperti ini. Oleh karena itu, pernyataan bahwa ―Yesus adalah
4
S.M. Siahaan. Pengharapan Mesias dalam Perjanjian Lama (Jakarta: BPK Gunung Mulia. 1990). Hlm. 3-6
14
Kristus/Mesias‖ bisa dikatakan suatu pernyataan iman yang sulit untuk diterima oleh orangorang Yahudi pada waktu itu.
Betapapun sulitnya ―Yesus adalah Mesias‖ diterima dan diyakini oleh orang-orang
Yahudi pada waktu itu, namun tulisan-tulisan dalam Perjanjian Baru menjadi salah satu bukti
bahwa pada akhirnya ada sekelompok orang yang menerima dan meyakini bahwa Yesus
adalah Mesias. Ketika iman kepada Yesus berujung pada pengakuan bahwa Yesus adalah
Mesias, maka yang menjadi permasalahan berikutnya adalah bagaimana proses pemikiran
orang Yahudi pada waktu itu – khususnya para pengikut Yesus – hingga sampai meyakini
bahwa Yesus adalah Mesias? Ada dua kemungkinan dalam hal ini. Pertama, keyakinan
masyarakat Yahudi mengenai Mesias berujung pada diri Yesus. Artinya, masyarakat Yahudi
yang mempunyai pengharapan begitu besar akan datangnya Mesias melihat bahwa Yesus-lah
Mesias yang dijanjikan. Kedua, para pemberita Injil memberitakan Yesus – yang diyakini
sebagai Mesias – dalam terang tradisi Yahudi. Kedua kemungkinan di atas memang samasama bertujuan memberitakan dan mengajak orang untuk percaya bahwa Yesus adalah
Mesias. Namun, yang menjadi masalah pada kemungkinan yang pertama adalah ternyata
Yesus tidak sama dengan gambaran mengenai Mesias dalam tradisi Yahudi, yaitu raja secara
politis. Inisiator penyaliban Yesus yang adalah orang Yahudi sendiri menjadi bukti bahwa
Yesus ditolak oleh sebagian besar orang Yahudi (bnd. Mark. 15: 9-15). Sekalipun dalam
penyaliban-Nya Ia ―dianugerahi‖ gelar o` basileu.j tw/n VIoudai,wn, (Mat 27:37; Mark 15:12;
Luk 23:3; Yoh 18:33) namun hal itu adalah sebagai sindiran kepada Yesus. Berdasarkan hal
tersebut, sulit kiranya untuk mengatakan bahwa pernyataan iman ―Yesus adalah Mesias‖ oleh
karena orang Yahudi melihat adanya Mesias dalam diri Yesus. Memang tidak semua orang
Yahudi menolak Yesus, khususnya para murid – mereka mampu ‗melihat‘ adanya Mesias
dalam diri Yesus. Mesias yang mereka yakini dalam diri Yesus inipun bukanlah Mesias
seperti dalam gambaran tradisi Yahudi, melainkan sudah mengalami perubahan. Sekalipun
telah terjadi perubahan konsep Mesias dalam diri para pengikut Yesus, namun tetap yang
menjadi permasalahan adalah bagaimana mereka memberitakan Yesus yang diyakini sebagai
Mesias dalam lingkup orang-orang Yahudi yang notabenenya sebagian besar menolak keMesias-an Yesus.
Kesadaran untuk memberitakan Yesus sebagai Mesias rupanya telah membuat adanya
sintesa antara keyakinan terhadap Yesus sendiri dengan konsep-konsep dalam tradisi Yahudi.
15
Hal ini tampak dari adanya penggunaan konsep dalam Perjanjian Lama untuk menjelaskan
kemesiasan Yesus. Dengan kata lain, para pemberita Injil menggunakan tradisi Perjanjian
Lama (khususnya kitab-kitab kenabian, mis. Yesaya, Daniel, dll) sebagai ‗referensi‘ untuk
menjelaskan Yesus adalah Mesias. Misalnya saja pandangan Yahudi yang sulit menerima
bahwa Mesias harus menderita dan mati. Mesias dalam gambaran Yahudi, di mana ia sebagai
raja politis dan mulia, tentunya tidak akan mengalami nasib yang tragis seperti yang dialami
oleh Yesus. Ketika mereka diperhadapkan dengan keyakinan bahwa Yesus adalah Mesias
dan kenyataan Yesus yang mati di kayu salib, tentunya kematian seorang ―Mesias‖ yang
seperti ini menjadi permasalahan bagi mereka – sekaligus turut menentukan penerimaan
mereka terhadap ‗identitas‘ Yesus.5 Lalu, bagaimana permasalahan mengenai kematian
―Mesias‖ ini terpecahkan?
Pola kehidupan religius bangsa Yahudi memang tidak lepas dari hukum Taurat dan
kitab para nabi – khususnya yang menubuatkan Mesias. Dalam salah satu tradisi Perjanjian
Lama tersebut, yaitu Yesaya 52, tersedia suatu konsep mengenai ―Hamba Tuhan‖. Tema
Hamba Tuhan dalam kitab Yesaya mempunyai pesan soteriologis dan eskatologis yang kuat.
Penderitaan sekaligus kemuliaan yang dialami oleh Hamba Tuhan jelas mempunyai
jangkauan yang mengatasi konsep tradisional tentang Mesias keturunan Daud. 6 Hamba
Tuhan adalah representasi dari orang Israel yang benar di mata Allah. Penderitaan yang harus
ditanggungnya bukanlah konsekuensi dari misinya tetapi seolah-olah sudah menjadi bagian
dari misi itu sendiri. Penebusan yang dilakukannya hanya dapat tercapai melalui penderitaan
yang sudah menjadi bagian dari jalan panggilannya dalam menegakkan Kerajaan Allah.
Dalam terang tradisi seperti inilah kematian Yesus sebagai Mesias menjadi jelas. Memang
―Hamba Tuhan‖ dalam kitab Yesaya tidak mengarah langsung pada diri Yesus. Namun,
keyakinan para pengikut Yesus akan ke-Mesias-an Yesus membuat mereka sampai pada
keyakinan bahwa Hamba Tuhan dalam kitab Yesaya tersebut adalah Yesus. 7 Dengan
5
Bandingkan dengan pendapat Groenen yang mengatakan bahwa dalam tradisi Yahudi memang tidak ada pikiran bahwa
Mesias akan menderita dan ditolak oleh bangsa-Nya sendiri, sehingga kematian Yesus jelas bagi umat Kristen keturunan
Yahudi menjadi suatu problem besar yang mereka gumuli (C. Groenen, Sejarah Dogma Kristologi, hlm. 41).
6
A. Hari Kustono, Konsep Mesianis dalam Kitab Yesaya; dalam Konsep Mesianis dalam Kitab Yesaya dan Relevansinya
dalam Kehidupan Masyarakat Plural (Yogyakarta: Duta Wacana University Press. 2005). Wahju Satrio W. (ed.) Hlm.
13
7
Bandingkan dengan perkataan Petrus dalam Kisah Para Rasul 3: 18
16
demikian, arti Yesus sebagai Mesias yang harus menderita dan mati sekaligus arti kematian
Yesus sendiri dapat menjadi jelas di mata orang Yahudi.
Mungkin tidak semua orang Yahudi bisa menerima bahwa Yesus adalah Mesias,
sekalipun mereka telah mengalami pewartaan tersebut. Hal ini memang wajar, karena
bagaimanapun tradisi atau konsep dalam Perjanjian Lama menerangi keyakinan Yesus adalah
Mesias dan berusaha menjelaskannya, masalah penerimaan dan pengakuan itu sendiri
bukanlah suatu hal yang mudah. Tentunya orang Yahudi yang mengalami pewartaan itu
sendiri juga bergumul antara keyakinan yang selama ini dihidupi dan dipegangnya dengan
hal yang baru didengarnya. Lepas dari semua itu, ternyata di dalam memberitakan mengenai
siapa diri Yesus di dalam konteks masyarakat Yahudi, para pemberita Injil menggunakan
‗referensi‘ tradisi atau konsep dalam Perjanjian Lama untuk menerangi keyakinan akan
Yesus yang adalah Mesias. Untuk menjelaskan permasalahan-permasalahan seputar
keyakinan bahwa Yesus adalah Mesias, mereka menggunakan konsep-konsep dalam
Perjanjian Lama yang sudah tidak asing lagi bagi masyarakat Yahudi. Dengan demikian,
konsep-konsep tradisional tersebut kini mengalami suatu perubahan makna dan menjadi
jelas. Dari sosok Mesias yang masih abstrak, kini menjadi jelas bahwa sosok Mesias tersebut
adalah Yesus. Mesias yang bukan seorang raja dunia yang membawa pembebasan dari
bangsa Romawi, namun Mesias ilahi. Mesias sang pembawa damai dan sang penyelamat
dalam konsep/pengharapan eskatologis. Keselamatan yang dibawa-Nya pun bukan dalam arti
pembebasan dari bangsa Romawi, namun keselamatan dalam arti kehidupan kekal di surga
setelah kematian.8
8
Konsep keselamatan seperti inilah yang membuat sebagian orang Yahudi tidak bisa menerima Yesus sebagai Mesias.
Menurut Moltmann, ―The concept of the redeemed soul in the midst of an unredeemed world is alien to the Jew,
profoundly alien, inaccessible from the primal ground of his existence. This is the innermost reason for Israel's rejection
of Jesus, not a merely external, merely national conception of messianism. In Jewish eyes, redemption means redemption
from all evil. Evil of body and soul, evil in creation and civilization. So when we say redemption, we mean the whole of
redemption”, lihat The Way of Jesus Christ; Christology in Messianic Dimenssions (London: SCM Press. 1990). Hlm.
29. Sebagian orang Yahudi menolak kemesiasan Yesus karena Yesus tidak membawa keselamatan secara menyeluruh
dan konkret, misalnya pembebasan dari bangsa Romawi. Sekalipun demikian, konsep keselamatan itu sendiri akhirnya
berkembang bahwa keselamatan yang dibawa oleh Yesus selaku Mesias adalah keselamatan kini dan secara eskatologis.
17
b. Yesus dalam Dunia Kristen-Yunani
Dalam kekristenan Yahudi, kepercayaan akan Mesias berujung pada diri Yesus.
Seiring dengan perkembangan kekristenan dalam konteks Palestina dan sekitarnya – di mana
di dalamnya juga berkembang helenisme, kata ‗Mesias‘ kemudian dibahasakan dengan
‗Kristus‘.9 Wajar jika „messiakh‟ yang dalam bahasa Ibrani diterjemahkan menjadi „christos‟
dalam bahasa Yunani, agar kekristenan juga dapat diterima ketika diwartakan kepada orangorang non-Yahudi (khususnya orang Yunani). Sekilas tidak tampak masalah dalam
pengalihan bahasa tersebut, karena „messiakh‟ dan „christos‟ memiliki arti yang sama, yaitu
‗yang diurapi‘. Seperti halnya pengalihan bahasa „and‟ (Inggris) menjadi „dan‟ (Indonesia)
atau „saha‟ (Jawa). Namun, jika dilihat lebih jauh lagi ternyata ada permasalahan yang cukup
pelik di dalam pengalihan bahasa tersebut dan permasalahan itu terkait dengan konsep
teologis di dalamnya. Ketika kekristenan masuk ke dalam dunia Yunani, tidak dapat tidak
kekristenan terpengaruh oleh alam pikiran Yunani, dan mau tidak mau sedikit banyak
menyesuaikan diri, termasuk konsep-konsep teologisnya. Pemikiran Jemaat keturunan
Yahudi sekitar Yesus Kristus tentu saja dibawa serta dan diteruskan, tetapi juga ditinjau
kembali dan berkembang, kini dalam alam pikiran Yunani. 10 Dengan demikian, maka
penghayatan iman akan Yesus pun berubah dari yang semula alam pikir Yahudi masuk ke
dalam alam pikir Yunani. Ketika iman akan Yesus diwartakan kepada orang-orang dengan
konteks Yunani atau helenisme, apakah mereka bisa memahami sehingga akhirnya menerima
bahwa messiakh yang dibahasakan dengan Christos adalah ‗yang diurapi‘? Jika Yesus
akhirnya diimani sebagai Mesias dalam dunia Yahudi, hal itu dikarenakan dalam tradisi
Yahudi ada konsep mengenai Mesias. Namun, apakah budaya Yunani juga mengenal konsep
mengenai ‗yang diurapi‘?
Alam pikiran Yunani pada awal tarikh Masehi memang serba sinkretis. Di dalamnya
terserap bermacam-macam unsur dari kebudayaan-kebudayaan lain, tetapi secara dasariah
alam pikiran itu tetap Yunani. Sinkretisme itu meliputi segala sesuatu dan boleh dikatakan
terutama pemikiran religiuslah yang serba sinkretis. Segala apa dicampuradukkan melebur
menjadi satu, tetapi sekaligus kabur tidak karuan. Dan di samping sinkretisme populer itu
9
Berdasarkan data yang ada di software Bible Works 6, di dalam Perjanjian Baru kata ‗Mesias‘ dipakai sebanyak 49 kali.
Suatu jumlah yang tidak sebanding dengan kata ‗Kristus‘ yang dipakai sebanyak 501. Berdasarkan data tersebut, tampak
bahwa Yesus dalam dunia Yunani lebih dikenal dengan Kristus.
10
C. Groenen, Sejarah Dogma Kristologi, hlm. 50
18
masih ada aliran filsafat bermacam-macam, yang berpangkal pada tokoh-tokoh seperti Plato,
Aristoteles, Epikurus, Zenon (Stoa), Diogenes dan sebagainya. Dan filsafat itu sedikit banyak
'merakyat' ke mana-mana dan juga bercampur aduk. Orang-orang Yahudi di Diaspora, yang
berkebudayaan Yunani tentu saja tidak terluput dari sinkretisme umum itu. 11 Filsafat Yunani
yang berkembang dan mempengaruhi pola pikir orang-orang Yunani jauh sebelum
kekristenan muncul membuat kekristenan itu sendiri mencari ‗celah‘ untuk bisa masuk dan
menyesuaikan diri dalam dunia Yunani. Alam pikir Yunani memang tidak mengenal konsep
Mesias seperti yang ada dalam tradisi keagamaan Yahudi. Namun, hal itu bukan berarti tidak
ada konsep semacam itu. Jika melihat pola kepercayaan bangsa Yahudi terhadap Mesias
bahwa Mesias adalah ‗yang diurapi‘, yang membawa tugas ‗suci‘ dari Yahweh berupa
keselamatan, maka bisa dikatakan bahwa Mesias merupakan ‗perantara‘ atau ‗jembatan‘
antara Yahweh dengan umatNya. Alam pikir Yunani memang tidak mengenal istilah
‗messiakh‘, tetapi alam pikir Yunani mengenal konsep mengenai ‗perantara‘ tersebut dalam
beberapa aliran filsafatnya. Adalah seorang filsuf yang bernama Philo (± 30 SM – 50 M),
yang mensintesakan agama Yahudi dengan fisafat Yunani. Warna filsafatnya pun tidak lepas
dari pengaruh para filsuf pendahulunya, karena ia mengolah filsafat Plato (idea) dan Stoa
(logos) kemudian mensintesakannya dengan agama Yahudi. 12 Dalam filsafat Philo ada
perbedaan yang mutlak antara Allah dan dunia, sebab Allah adalah roh, sedang dunia adalah
benda. Keduanya tidak dapat dipersatukan. Oleh karena itu diperlukan tokoh-tokoh
pengantara. Tokoh-tokoh itu dapat disebut dengan bermacam-macam sebutan, yaitu: ideaidea, atau gagasan-gagasan yang dipakai sebagai pola dalam menciptakan dunia; kekuatankekuatan ilahi, yang bekerja dalam dunia; malaikat-malaikat, yaitu para utusan Allah yang
melaksanakan kehendakNya. Semuanya itu dipersatukan di dalam istilah Logos, pengantara
antara Allah dan dunia. Logos adalah idea dari segala idea, yang juga disebut kebijaksanaan,
kekuatan dunia yang universal. Sekalipun demikian Logos ini bukanlah Allah, bukan
makhluk, bukan tidak dijadikan dan bukan dijadikan seperti para makhluk. Logos adalah
Allah kedua, Anak Allah yang sulung, Juru bahasa Allah, Wakil Allah, Parakletos.13
Memang sulit dikatakan bahwa alam pikir Yunani memahami konsep mesianis seperti halnya
11
C. Groenen, Sejarah Dogma Kristologi, hlm. 35
Harun Hadiwijono, Sari Sejarah Filsafat Barat 1 (Yogyakarta: Kanisius. 1980). Hlm. 63
13
Harun Hadiwijono, Sari Sejarah Filsafat Barat 1, hlm. 64.
12
19
dalam tradisi Yahudi, namun alam pikir Yunani ternyata mengenal konsep adanya
pengantara antara Allah dan dunia.
Yesus yang adalah Mesias dalam budaya Yahudi kini telah memasuki dunia Yunani
dalam bahasa „christos‟. Sekilas masalah mengenai pewartaan iman terhadap Yesus
terselesaikan, namun ternyata ada dampak teologis yang ditimbulkan ketika „Messiakh‘
berubah menjadi „christos‟ dalam dunia Yunani. Christos yang sama artinya dengan
Messiakh, yang menunjuk pada gelar diri Yesus, ternyata lama kelamaan hanyalah menjadi
nama diri. Mengapa bisa terjadi? Hal ini dikarenakan orang-orang Yunani tidak sama seperti
orang-orang Yahudi yang hidup dalam pengharapan mesianis. Terkait dengan hal ini,
Groenen mengatakan bahwa gagasan ‗Mesias‘ kurang relevan bagi mereka yang tidak hidup
dalam pengharapan mesianis (masyarakat Yunani). Gagasan mesianis kurang dapat dipahami
oleh orang-orang Yunani yang tidak hidup dalam tradisi religius Yahudi. 14 Dengan kata lain,
pusat kehidupan religius masyarakat Yunani tidaklah seperti kehidupan religius masyarakat
Kristen Yahudi yang berpusat pada ―Yesus adalah Mesias‖, sekalipun dalam dunia Yunani
mengenal konsep adanya ‗pengantara‘.
Meskipun ‗Kristus‘ yang semula adalah gelar menjadi nama diri, namun hal itu bukan
berarti masyarakat Kristen Yunani tidak mengakui bahwa Yesus adalah Kristus. Ada
pengakuan iman dibalik sapaan ‗Yesus Kristus‘ bahwa Yesus yang ‗itu‘ adalah Kristus.
Mula-mula dikatakan bahwa Yesus ialah Kristus/Mesias (misal Kis 5:42; 18:5), namun
selanjutnya orang berkata Yesus Kristus/Kristus Yesus (misal Rom 2:16; 3:24). Mungkin
seperti halnya jabatan presiden pada diri seseorang, di mana orang tersebut lebih sering
disapa ‗Pak Presiden‖. Gelar Kristus pada diri Yesus berkurang bobotnya ketika menjadi
nama diri. Hal ini tidak luput dari adanya perbedaan konteks pewartaan iman akan Yesus, di
mana gagasan-gagasan penting dalam alam pikir Yahudi menjadi kurang relevan ketika
diwartakan dalam dunia atau alam pikir Yunani sehingga perlu ditinjau kembali dan
dikembangkan. Memang tidak semua gagasan kristologi dalam tradisi Yahudi kurang relevan
dalam alam pikir Yunani. Ada dua gelar tradisional yang tetap dikenakan pada diri Yesus
ketika masuk dalam alam pikir Yunani, yaitu gelar Anak Allah dan Tuhan. Dua gelar tersebut
cukup relevan dengan alam pikir Yunani, karena mereka sudah biasa memakai gelar-gelar
tersebut untuk menyapa dewa-dewi, raja-raja, atau tokoh-tokoh gaib lainnya. Jadi, orang
14
C. Groenen, Sejarah Dogma Kristologi, hlm. 50.
20
Yunani bisa saja mengambil alih gelar tradisional itu, Anak Allah dan Tuhan. Tetapi, yang
perlu di garis bawahi adalah pada mulanya bagi orang Yunani gelar-gelar itu tidak sama
artinya dengan artinya bagi orang Yahudi. 15 Dalam konteks Yunani, gelar-gelar tersebut,
yang sudah diberi ‗isi‘ yang baru dalam alam pikir Yunani, mempunyai hubungan yang erat
dengan ke-Mesias-an Yesus. Gelar-gelar tersebut dalam konteks Yunani menjelaskan keMesias-an Yesus dalam alam pikir Yunani. Dengan konsep seperti itu juga Yesus yang
adalah ―Yang Diurapi‖ dapat diterima dalam dunia Yunani.
Gelar Tuhan pada diri Yesus
„Kyrios‟ (bhs. Yunani) seringkali diartikan sebagai ‗Tuhan‘, namun kata ini bisa juga
diartikan ‗tuan‘. Cuma beda huruf ‗h‘ saja, namun jika kata tersebut dipasangkan atau
dikenakan pada diri Yesus maka lain ceritanya. kuri,ou VIhsou/ bisa berarti ‗Tuhan Yesus‘
atau ‗tuan Yesus‘. Perbedaan ada atau tidaknya huruf ‗h‘ ternyata menimbulkan masalah
teologis terkait siapa diri Yesus. Kata Yunani kyrios sebenarnya berarti orang yang berkuasa
atas sesuatu atau seseorang; orang yang memiliki kuasa penuh atas miliknya sendiri.
Berdasarkan artian tersebut, maka kyrios sebenarnya adalah manusia biasa yang mempunyai
wewenang atau kuasa atas sesuatu. Lalu, apakah hal ini berarti bahwa „kuri,ou VIhsou‟ berarti
‗tuan Yesus‘?
Dalam Perjanjian Lama berbahasa Yunani (Septuaginta), kata kyrios menerjemahkan
kata Ibrani adon/adonai atau ba‟al, dan dipakai untuk manusia maupun untuk Allah, 16
dengan tekanan pada wewenang memberi perintah. Tetapi, kata kyrios ternyata memegang
peranan yang penting karena kata kyrios (Yunani) menerjemahkan kata „adonay‟ yang
dipakai sebagai pengganti ―Yahweh‖ – bahkan lebih dari 6000 kali. Dalam tradisi Yahudi,
umat dilarang mengucapkan kata ―Yahweh‖, sehingga mengucapkan kata „adonay‟ yang
menunjuk pada arti yang sama.17 Dengan demikian, maka menurut Septuaginta kata kyrios
menunjuk pada ‗Tuhan‘. Namun, bagaimana dengan teks-teks Perjanjian Baru di mana
15
C. Groenen, Sejarah Dogma Kristologi, hlm. 53
Bandingkan dengan pendapat Moule dalam bukunya yang berjudul “The Origin of Christology” (London: Cambridge
University Press. 1977), di mana dia membedakan antara kata adonay yang memakai ‗á‘ panjang (qames) dengan adonay
yang memakai ‗a‘ pendek (pathah). ‗adõnáy dipakai untuk subjeknya manusia, sedangkan ‗adõnãy dipakai untuk subjek
nama suci, misalnya Allah. Kata ‗adonay‘ (dua-duanya) kemudian diterjemahkan ke dalam bahasa Yunani menjadi
‗kyrios‘, sehingga kata ‗kyrios‘ bisa mengartikan subjeknya manusia maupun Tuhan. Hlm. 39
17
Tom Jacobs. Imanuel; Perubahan dalam Perumusan Iman akan Yesus Kristus (Yogyakarta: Kanisius. 2004) Hlm. 105
16
21
kepenulisannya tidak menerjemahkan dari bahasa Ibrani seperti halnya Septuaginta?
Agaknya kurang tepat jika kuri,ou VIhsou diartikan sebagai ‗tuan Yesus‘ dan bukan ‗Tuhan
Yesus‘. Mengapa? Kepenulisan teks-teks Perjanjian Baru itu sendirilah yang menjadi
buktinya. Teks-teks Perjanjian Baru ditulis pada masa pasca-Paskah (kebangkitan). Oleh
karena kebangkitan-Nya, Yesus memperoleh kemuliaan sebagai Tuhan dan Kristus (Kis 2:
36). Terkait dengan hal ini, Tom Jacobs mengatakan bahwa kebangkitan berarti bahwa Yesus
masuk ke dalam kemuliaan Allah dan menjadi ―Tuhan‖. Yesus disebut Tuhan, karena di
dalam-Nya – khususnya sesudah kebangkitan – kemuliaan Allah menjadi kentara.18 Dengan
demikian, kata „kyrios‟ dalam teks-teks Perjanjian Baru – yang dipasangkan dengan Yesus –
juga menunjuk pada arti ‗Tuhan‘ karena kemuliaan Yesus yang ingin ditonjolkan oleh para
penulis kitab „kuri,ou VIhsou‟ berarti Tuhan Yesus.
Jika gelar kyrios dikenakan pada diri Yesus sehingga diberitakan dan diakui sebagai
Tuhan atau „kuri,ou VIhsou‟, maka seperti apakah ke-Tuhan-an Yesus? Kata kyrios pada
Septuaginta mengacu pada bahasa Ibrani adonay, yang menunjuk pada Yahweh. Apakah ini
berarti bahwa gelar kyrios pada diri Yesus juga ingin menunjukkan bahwa Yesus adalah
Allah?
Sekalipun Yesus diberitakan dan diakui sebagai Tuhan (kyrios), namun orang Kristen
– baik Yahudi maupun Yunani – pada waktu itu sepertinya enggan menyamakan Yesus
Kristus dengan Allah. Dalam tradisi religius Yahudi, monoteisme sangat dipegang teguh.
Oleh karena itu, Mesias bukanlah Allah sekalipun berasal dari Allah. Septuaginta yang
merupakan terjemahan dari bahasa Ibrani tidak bisa dijadikan patokan terkait adanya kata
kyrios sebagai terjemahan adonay,19 karena Yesus – secara historis – belum ada pada zaman
itu. Selain itu, nubuat para nabi pun juga tidak menunjuk pada diri Yesus secara langsung.
Bagi masyarakat Yunani pun sepertinya juga sama, Tuhan tidak sama dengan Allah. Kyrios
memang diartikan sebagai Tuhan – jika menunjuk pada Yesus, namun untuk menyebut Allah
menggunakan kata theos. Dengan kata lain, sekalipun gelar Tuhan dikenakan pada diri Yesus
namun Ia tidaklah sama dengan Allah. Senada dengan hal ini, dalam catatan kaki atas buku
yang ditulisnya, Tom Jacobs berpendapat bahwa tidak dapat disimpulkan bahwa Kristus
adalah adalah Allah. Kesimpulannya tersebut berdasarkan pada teks-teks yang ‗bermasalah‘
18
19
Tom Jacobs. Imanuel; Perubahan dalam Perumusan Iman akan Yesus Kristus, hlm. 106-107
Terkait dengan permasalahan ini, TB LAI menerjemahkan YHWH sebagai TUHAN dan adonay sebagai Tuhan.
22
dengan penerjemahan. Misalnya dalam Kol 2:2 ada kalimat ―…rahasia Allah yaitu
Kristus…‖. Kata ―yaitu‖ tidak ada dalam teks asli. Karena itu ada tiga kemungkinan: 1)
rahasia Allah = Kristus; 2) Allah = Kristus; 3) Allah dari Kristus. Teks tidak jelas, dan
naskahnya berbeda-beda: ―rahasia Kristus‖; ―rahasia Allah, yang adalah Kristus‖, dan masih
lain lagi. Karena ketidakjelasan teks seperti itulah, maka tidak dapat ditarik kesimpulan
bahwa Kristus disebut Allah. Selain teks Kol 2:2, Tom Jacobs juga menafsirkan beberapa
ayat, sehingga ia menarik kesimpulan bahwa Allah dan Kristus jelas dibedakan. Oleh karena
itu, sebaiknya Kristus dipandang sebagai ―kemuliaan Allah‖, serupa dengan Yoh 2:11. 20
Senada dengan pendapat Tom Jacobs, Groenen mengatakan bahwa Yesus menjadi
penampakan Allah di muka bumi (Tit 2:11; 3:4; 2Tim 1:10; 1Tim 3:16) dan mirip dengan
penampakan dewa-dewi yang dikenal tradisi Yunani (Kis 14:11-12). Yesus boleh disebut
Tuhan juga, tidak seperti raja, tetapi lebih dari itu. Sebab kuasa Allah, Tuhan, sudah menjadi
nyata dan berwujud Yesus Kristus. Orang Yunani mudah saja menerima dan meneruskan
konsep ini dan oleh karena Yesus dilihat sebagai penampakan Allah, maka gelar ―Tuhan‖
mendapat ciri ilahi seperti yang dipikirkan orang Yunani.
21
Dengan demikian, gelar Tuhan
pada diri Yesus mengartikan bahwa Ia adalah penyataan Allah yang konkret di bumi.
Gelar Anak Allah pada diri Yesus
Kalau dikatakan bahwa sebutan ‗Anak Allah‘ berakar dalam Perjanjian Lama,
khususnya dalam mesianisme, maksudnya bukanlah bahwa Mesias dan anak Allah adalah
sama. Memang kadang-kadang hampir tidak ada perbedaan antara ‗Kristus‘ dan ‗Anak
Allah‘. Tetapi dalam julukan ‗Anak Allah‘, hubungan dengan Allah lebih menonjol. Justru
itulah yang membuat kekhasan diri Yesus. 22. Di dalam alam pemikiran Yahudi-Palestina,
gelar ‗Anak Allah‘ dapat mengacu kepada, dengan urutan yang makin meningkat, setiap
orang dari antara anak-anak Israel; atau khususnya kepada mesias rajani atau oknum sorgawi.
Dengan kata lain, gelar ‗anak Allah‘ senantiasa dipahami sebagai kiasan di banyak
lingkungan Yahudi. Di dalam tulisan-tulisan Yahudi, pemakaian gelar ini tidak pernah
diartikan bahwa orang yang menyandangnya mengambil bagian di dalam kodrat ilahi.
20
Tom Jacobs. Imanuel; Perubahan dalam Perumusan Iman akan Yesus Kristus, hlm. 131-132
C. Groenen, Sejarah Dogma Kristologi, hlm. 53
22
Tom Jacobs. Imanuel; Perubahan dalam Perumusan Iman akan Yesus Kristus, hlm. 87
21
23
Penerapan mula-mula gelar Anak Allah kepada Yesus dikaitkan dengan dua faktor hidupNya sebagai kharismatis pembuat mujizat dan pengusir setan, dan kesadaran-Nya bahwa Ia
berada dalam suatu hubungan yang khusus dengan Allah, Bapa SorgawiNya.23 Pemakaian
gelar Anak Allah dalam PB menurut Darmawijaya menampilkan keunikan pribadi Yesus.
Yesus bukan sekedar satu dari anak-anak Allah. Ia adalah Anak Allah yang tunggal, yang
sejati (bnd. Yoh 3:16; Rm 1:3). Keunikan itu terutama muncul karena hubungan dengan
Allah yang amat dekat/erat. Darmawijaya menjelaskan keunikan Yesus dalam hubungan-Nya
dengan Allah sebagai berikut:
Yesus dan Allah, BapaNya adalah satu (Yoh 10:30). Anak itu menjalankan
kehendak Bapa-Nya (Yoh 5:19-20). Ia diajari oleh Bapa-Nya (Yoh. 8:28).
Bapa-Nya ada padaNya dan Dia ada pada BapaNya (Yoh 10:38) Apa yang
dikatakan Bapa kepada Anak itulah yang diteruskanNya ( Yoh 12:50) melihat
sang Anak berarti melihat Bapa (14:9-11). Anak diserahi tugas, dipercaya oleh
Bapa dengan penuh wibawa. (Mat. 11:27; Luk 10:22) Bapa menyerahkan
kuasa kepada Anak dengan penuh kuasa (Yoh 3:35). Pada waktu Anak
tergantung di salib, Ia sadar melaksanakan kehendak Bapa (Yoh 13:3)
terutama Bapa menyerahkan tugas pengadilan, penilaian (Yoh 5:22) Anak
mendapatkan wibawa penuh dari Bapa sehingga mampu membawa orang
kepada Bapa (bdk. Yoh 10:15; 14:6). Anak menjadi sasaran iman yang
menyelamatkan. Orang yang percaya kepada Anak mendapatkan hidup ilahi
(Yoh 3:16,36; 6:40). Menolak Anak berarti kehilangan hubungan dengan
Bapa. Mengakui Anak berarti bersama Bapa (1Yoh 2:22-23). Bila orang
mengakui Yesus Anak Allah, Allah beserta Dia (1Yoh 4:15). Yesus memulai
karya, melaksanakan dan mengakhirinya dalam ketaatan penuh kepada Allah
Sebagai Anak Allah, Yesus mengenal Bapa dan menjalin hubungan pribadi itu
secara mendalam, sehingga seluruh sikap-Nya terhadap Allah dibangun
karena-Nya. Yesus sepenuhnya memahami Bapa (Mat. 11:27).24
Dengan demikian, gelar Anak Allah yang dikenakan kepada Yesus mengungkapkan
kedudukan dan hubunganNya dengan Allah.
Jemaah Kristen keturunan Yahudi sudah memahami bahwa dengan Yesus, orang
Nazaret, Kerajaan Allah, Kuasa Allah Penyelamat dan Hakim menjadi nyata di bumi dan kini
sepenuh-penuhnya terwujud dalam Yesus. Yesus layak disebut Anak Allah oleh karena
hubungan-Nya dengan Tuhan, Allahnya Israel, memang unik. Jemaah Yahudi juga sudah
menghubungkan Yesus dengan hikmat kebijaksanaan iahi, rencana penyelamatan Allah yang
23
24
A. Roy Eckardt, Menggali ulang Yesus Sejarah: Kristologi Masa Kini, (Jakarta: BPK Gunung Mulia. 1996). Hlm. 32-33
St. Darmawijaya, Gelar-gelar Yesus, cet. ke-3, (Yogyakarta: Penerbit Kanisius, 1991). Hlm. 57-61
24
terlaksana dalam diri Yesus Kristus. Dan tradisi Yahudi-Yunani dahulu sudah sampai
memperorangkan hikmat kebijaksanaan ilahi yang berupa Taurat dan Bait Allah serta ibadatNya tampil di bumi. Umat Kristen Yunani meneruskan pemikiran tersebut. Sama seperti
hikmat kebjiksanaan Allah (yang kadang kala disebut ‗putri Alah‘) Yesus Kristus, Anak
Allah dan Tuhan, sudah ada sebelum tampil di muka bumi. Bagi umat Kristen Yunani,
mudah saja meneruskan dan mengembangkan pemikran dasar tersebut lebih lanjut,
sebagaimana nyatanya terjadi. Kalau Yesus disamakan dengan hikmat kebijaksaan Allah
yang diperorangkan, kalau dikatakan bahwa sama seperti hikmat kebijaksanaan itu Ia ada
sebelum sekalian zaman (Kol 1:15, 17), maka segala apa yang dahulu dikatakan tentang
hikmat kebijaksanaan ilahi, khususnya oleh orang Yahudi yang berkebudayaan Yunani,
boleh dipindahkan kepada Yesus juga. Yesus adalah ―Anak Allah‖, seperti hikmat
kebijaksaana ilahi adalah putri-Nya. 25
Sama seperti proses masuknya Yesus dalam dunia Yahudi, maka pertemuan dengan
budaya Yunani pun tidak terelakan lagi tatkala Injil diberitakan ke dalam lingkungan
masyarakat Yunani. Pertemuan budaya Yunani dengan Injil menghasilkan beberapa
perubahan, terutama konsep-konsep teologis dalam kekristenan (dalam pembahasan ini
khususnya mengenai konsep-konsep kristologis) pada waktu itu. Masyarakat Yahudi yang
dalam tradisi religiusnya berpusat pada pengharapan mesianis tentunya lebih bisa menerima
pemberitaan bahwa Yesus adalah Sang Mesias, dengan catatan ada perubahan tentang konsep
mesianis dalam proses ini. Tetapi, proses tersebut sepertinya lebih mudah jika dibandingkan
dengan pemberitaan ke dalam dunia Yunani. Masyarakat Yunani tidak hidup dalam
pengharapan mesianis, sehingga konsep mesianis kurang relevan bagi mereka. Masyarakat
Yunani pun juga bisa dibilang berada agak jauh dari ‗lingkaran‘ Yesus – mengingat bahwa
Yesus selama hidup kebanyakan berkutat di daerah Palestina, sehingga kemungkinan
masyarakat Yunani terdahulu mengalami pengalaman bersama dengan Yesus lebih kecil
dibanding orang-orang Yahudi. Masuk ke dalam konteks yang jauh berbeda membuat para
pemberita Injil tentunya berpikir ulang mengenai konsep-konsep yang ada. ―Mesias‖ yang
sekalipun sudah diterjemahkan menjadi ―Kristus‖, walaupun dalam alam pikir Yunani juga
mengenal konsep pengantara, ternyata pada akhirnya gelar tersebut menjadi nama diri dan
kehilangan bobotnya sebagaimana mulanya. Gelar ―Anak Allah‖ dan ―Tuhan‖ yang juga
25
C. Groenen, Sejarah Dogma Kristologi, hlm. 51-52
25
merupakan gelar tradisi Yahudi masih tetap dikenakan pada diri Yesus, hanya saja isinya
juga telah berubah sedemikian rupa sehingga dirasa relevan dan bisa diterima dalam
masyarakat Yunani pada waktu itu. Proses perubahan pemberitaan mengenai iman akan
Yesus pada waktu itu bisa dikatakan merupakan suatu terobosan yang luar biasa. Para
pemberita Injil tidak kaku dalam memberitakan Injil. Ada sebuah kesadaran akan perbedaan
budaya dan alam pikir. Satu hal yang pasti adalah para pemberita Injil mempunyai motivasi
agar Injil diberitakan dan diterima oleh semua orang dalam latar belakang budaya yang
berbeda. Motivasi inilah yang rupanya mendorong mereka sehingga merubah, mengganti isi,
dan mengembangkan konsep-konsep kekristenan, khususnya mengenai siapa Yesus
sebenarnya, sehingga dapat dimengerti dan diterima oleh masyarakat dengan latar belakang
budaya tertentu.
Terkait dengan permasalahan dalam kepenulisan skripsi ini, di mana Rasul Paulus
adalah sosok yang dibahas, maka bagaimanakah metode Rasul Paulus dalam memberitakan
Injil, khususnya mengenai siapa Yesus sebenarnya? Jika dalam bagian Pendahuluan Penulis
memaparkan soteriologi Rasul Paulus, maka bagaimanakah penghayatan iman Rasul Paulus
terhadap Yesus yang diberitakannya tersebut? Jika para pemberita Injil memberitakan keMesias-an Yesus secara kontekstual, maka bagaimana dengan Rasul Paulus? Apakah ia juga
memberitakan hal yang serupa secara kontekstual pula? Atau, Rasul Paulus lebih
tertarik/menekankan pada hal lain mengenai Yesus?
26
II.
Paulus dalam Memberitakan Injil
Pada bagian sebelumnya telah dipaparkan bagaimana penghayatan iman Jemaat
Kristen mula-mula dalam dunia Yahudi maupun non-Yahudi, di mana secara tidak langsung
hal itu menunjukkan bagaimana dan seperti apa pemberitaan mengenai Yesus. Terkait
dengan tokoh yang dibahas dalam kepenulisan skripsi ini, yaitu Rasul Paulus, maka seperti
apakah pola Rasul Paulus dalam memberitakan Injil – khususnya mengenai diri Yesus?
Apakah Paulus – sama seperti halnya para pemberita Injil lainnya – memberitakan tentang
gelar-gelar Yesus atau siapa Yesus bagi Jemaat yang dilayaninya? Atau, Rasul Paulus lebih
tertarik pada hal lain dalam diri Yesus?
a. Pemahaman Paulus tentang dirinya – seorang Rasul Kristus
Sebelum menuju pada pembahasan pertanyaan di atas, maka terlebih dahulu perlu
diketahui bagaimana Paulus memahami statusnya sebagai seorang Rasul. Awalnya para
Rasul lebih dikenal sebagai kedua belas 26 murid Yesus, di mana mereka merupakan saksisaksi kebangkitan Yesus. Namun seiring perkembangan kekristenan pada waktu itu, maka
ada pula orang-orang yang mengaku ‗terpanggil‘ dan mempunyai karunia roh sehingga
disebut Rasul. Adalah Paulus (Saulus) dari Tarsus, yang mengklaim dirinya juga adalah
seorang Rasul Kristus, yang berkeliling dari satu tempat ke tempat yang lainnya untuk
membangun komunitas Kristen yang baru dan mengenalkan Kristus pada mereka yang belum
mengenalnya (bnd. Rom.15:18-21).27 Paulus yang mengklaim dirinya juga sebagai Rasul
Kristus bukan tidak berasalan. Terkait dengan hal ini, Grassi mengatakan bahwa rahasia
terbesar Rasul Paulus adalah pada pengalaman pribadinya yang mendalam bersama Kristus
dan refleksinya akan kebutaannya.28 Agaknya dalam hal ini Grassi menunjuk pada
pengalaman Paulus tatkala ia ‗bertemu‘ dengan Kristus ketika sedang dalam perjalanan
menuju Damsyik (Kis. 9).
Keterpanggilannya sebagai seorang rasul membuat Paulus memiliki kesadaran bahwa
ia selaku rasul Kristus juga adalah utusan Allah. Kata ―rasul‖ yang dipakai oleh Paulus di
26
Ketika Yudas Iskariot meninggal, jumlah Rasul menjadi sebelas. Namun, ada persepakatan untuk menambah jumlah
Rasul dan tugas kerasulan Yudas digantikan oleh Matias (Kis 1: 15-26)
27
Joseph A. Grassi, The Secret of Paul the Apostle (Maryknoll, New York: Orbis Book. 1978). Hlm. 66
28
Joseph A. Grassi, The Secret of Paul the Apostle, hlm. 23
27
bagian awal sebagian besar surat-suratnya, sengaja digunakan oleh Paulus untuk menyatakan
bahwa kerasulannya bukanlah berasal dari manusia atau dirinya sendiri, melainkan dari Allah
(―…oleh kehendak Allah…‖). Misalnya saja dalam suratnya untuk jemaat Korintus (2 Kor.),
kata rasul yang dipakai oleh Paulus adalah “avpo,stoloj”. Kata avpo,stoloj itu sendiri
mempunyai makna ―seseorang yang diutus‖, sedangkan bentuk genetif dari Cristou/
menunjukkan bahwa dalam hal ini yang menjadi pengutus adalah Kristus. Dalam beberapa
hal, Paulus selalu menegaskan kembali bahwa – sebagai rasul – ia diutus oleh Kristus untuk
memberitakan Injil (I Kor. 1: 17). Selain menegaskan bahwa kerasulannya atau pun
pelayanannya oleh karena kehendak dan panggilan Allah, rasul Paulus juga menegaskan
bahwa jabatan rasulinya bukan berasal dari institusi – dalam hal ini adalah perkumpulan
kedua belas rasul Yerusalem (Gal.1:15-17). Bisa dikatakan kerasulan Paulus memang
berbeda dengan keduabelas rasul lainnya. Di satu sisi, Paulus menempatkan dirinya sejajar
dengan para rasul Tuhan Yesus yang lain dengan mengatakan bahwa Tuhan Yesus yang telah
bangkit itu juga telah menyatakan Diri kepadanya sama seperti kepada para rasul lain. 29 Akan
tetapi, di sisi lain Paulus tidak pernah menempatkan dirinya sebagai salah satu keduabelas
rasul tersebut.30 Dengan hal ini, tampaknya Paulus ingin mengatakan bahwa panggilan
kerasulannya unik, dalam artian tidak sama dengan kerasulan para rasul lainnya. Menurut
Grassi yang mengacu pada teks Gal.2:7-9, persamaan dan perbedaan Rasul Paulus dengan
kedua belas Rasul lainnya adalah bahwa mereka mempunyai tanggung jawab untuk
memberitakan Injil, hanya saja kedua belas Rasul memberitakan Injil dalam konteks Yahudi
(orang bersunat) sementara Rasul Paulus memberitakan Injil pada orang non-Yahudi (orang
tak bersunat).31 Sebagai seorang rasul, 32 Paulus menyadari bahwa tugas terpenting dalam
hidupnya sebagai seorang rasul adalah memberitakan Injil dan Paulus pun meyakini bahwa
hal memberitakan Injil merupakan suatu keharusan baginya (I Kor.9:16 bnd. I Kor. 1:17).
Permasalahan yang sangat menarik adalah bagaimana metode atau pola Rasul Paulus –
dengan berbagai macam pengetahuan dan latar belakangnya – memberitakan Injil?
29
Joseph A. Grassi, The Secret of Paul the Apostle, hlm. 69
Indikasi dari hal ini adalah bahwa Paulus tidak pernah meminta ―surat pelayanan‖ yang dikeluarkan oleh para Rasul
Yerusalem sebagai bukti pengesahan tugas perutusan memberitakan Injil (bnd. Gal.1:15-17).
31
Joseph A. Grassi, The Secret of Paul the Apostle, hlm. 70-71
32
Kesadaran Paulus akan kerasulannya tampak di surat-suratnya, kecuali I Tes. 1:1; 2 Tes. 1: 1; Flp. 1: 1; Flm 1: 1.
30
28
b. Pola Rasul Paulus dalam memberitakan Injil
Memberitakan Injil secara Kontekstual
Dalam memberitakan Injil, Paulus tentunya mempunyai teologi sendiri. Hanya
saja permasalahannya di sini adalah apakah Paulus berteologi secara top down ataukah
Paulus berteologi bersama dengan konteks? Menurut Beker, “the Pauline letters are
wholly concerned with and related to concrete situations”. 33 Dengan kata lain, surat-surat
Paulus merupakan ‗dialog‘ antara pemikiran Paulus dan konteks atau situasi konkret –
termasuk juga tradisi Yahudi maupun kekristenan – yang ada dalam Jemaat di mana surat
itu ditujukan. 34
Paulus yang memberitakan Injil di banyak tempat tentunya bertemu dengan
konteks – baik latar belakang ataupun pergumulan – Jemaat yang berbeda-beda.
Berdasarkan hal di atas, Paulus tampaknya mempunyai kesadaran akan konteks Jemaat
yang berbeda-beda tersebut sehingga warna atau pola teologi Paulus di dalam suratnya
kepada masing-masing Jemaat berbeda. Sekilas tampak bahwa Paulus tidak mempunyai
teologinya sendiri, namun ia berteologi seperti orang „plin-plan‟ (tidak mempunyai
―pusat teologi‖ yang jelas). Anggapan itu tidaklah benar, karena Paulus memang tidak
bermaksud mengindoktrinasi atau memberlakukan berita Injil secara universal tanpa
memandang keberbedaan konteks Jemaat. Surat-surat Paulus terhadap Jemaat satu
dengan yang lain memang berbeda, karena di dalamnya berisi tanggapan Paulus atas
situasi Jemaat itu sendiri. Memang tidak terlihat jelas ―pusat teologi‖ Rasul Paulus yang
mendasari berbagai argument teologisnya, namun dalam surat-suratnya itulah sebenarnya
tampak bagaimana pola Paulus berteologi, yaitu bahwa dia berteologi secara
kontekstual. 35
33
J. Christiaan Beker, The Triumph of God; The Essence of Paul Thought (Minneapolis: Fortress Press. 1990). Hlm. 3.
Bandingkan juga dengan pendapatnya Thielman yang mengatakan bahwa “we should examine Paul‟s view of the law not
only topicaly or systematically but also within the context of each letters. Perhaps the most important hermeneutical
conclusion about Paul‟s letters in the last century has been that they are not systematic treatises but real letters, written
to address a variety of pratical problems within churches for Paul felt some pastoral responsibility”. Lihat dalam A
Contextual Approach; Paul & the Law (Downers Grove: Intervarsity Press. 2005). Hlm. 10-11.
35
―Pusat teologi‖ Rasul Paulus sampai saat ini rupanya masih menjadi permasalahan tersendiri bagi para teolog. Salah satu
upaya untuk menemukan ―pusat teologi‖ Rasul Paulus adalah dengan menggabungkan semua surat-suratnya dan
menelitinya. Akan tetapi, upaya ini menemui kendala karena argumentasi Paulus dalam surat-suratnya berbeda satu
dengan yang lain. Sebagaimana yang dikemukakan oleh Jusak Tridarmanto dalam “Melacak Kembali Metodologi Rasul
Paulus dalam Berteologi” (GEMA Teologi UKDW Vol.32 No.2. Oktober 2008. Hlm. 137), di mana dia mengutip
pendapat Raisanen (H. Raisanen, Paul and the Law, Philadelphia: Fortress Press, 1983. Hlm. 1-15; 264-265) yang
mempertanyakan ―mengapa kita harus mencari dan menemukan ‗pusat teologi‘ Rasul Paulus kalau argumentasi teologis
34
29
―Paulus berteologi secara kontekstual‖, mungkin suatu pernyataan yang aneh
mengingat bahwa Paulus dahulunya termasuk anggota Farisi (lih. Flp. 3:5) yang dikenal
menafsirkan dan memberlakukan hukum Taurat dan Injil secara statis (kaku). 36 Menurut
Thielman yang mengutip pendapat Sanders, pengalaman Paulus bersama dengan Kristus
telah mengubahkan kehidupannya termasuk pola pikir Paulus. 37 Paulus kini menafsirkan
Injil dan juga Taurat sebagaimana konteks yang dihadapinya. Hal ini bukan berarti Injil
yang dipahami dan diberitakan oleh Paulus berubah-ubah. Terkait hal ini Beker
berpendapat bahwa “the core of the Gospel for Paul is not static message that can simply
be imposed as fixed doctrine on contingent circumstances. But, conversely, it cannot
simply be accommodated to whatever the situation demands”.38 Rupanya Paulus mampu
menangkap dan memahami ‗inti‘ dari Injil. ‗Inti‘ Injil tersebut yang seharusnya
dipertahankan sekaligus diolah sedemikian rupa, sehingga mempunyai ―bentuk‖ yang
sesuai dengan konteks pemberitaanya. Inti Injil seharusnya tidak ditafsirkan seperti
hukum statis yang memberatkan seseorang yang melakukannya, namun inti Injil juga
Rasul Paulus itu sendiri penuh dengan ‗ketidaksinambungan‘ satu dengan yang lain?‖. Oleh karena itulah, Raisanen lebih
memilih jalan untuk menghargai sifat mandiri dari masing-masing surat Paulus dengan menganggap bahwa tidak ada
yang disebut dengan ―pusat teologi Rasul Paulus‖. Penulis sendiri berpendapat bahwa Rasul Paulus sebenarnya
mempunyai ―pusat teologi‖. Mengingat bahwa Rasul Paulus sendiri mempunyai kesadaran akan keberbedaan konteks
pelayanannya, maka Rasul Paulus tentunya mengolah ―pusat teologinya‖ sendiri dan ―membingkainya‖ dalam bentuk
yang sesuai dengan konteks pelayanannya. Bandingkan dengan pendapat Beker yang mengatakan bahwa “the letter form,
with its combination of particularity and claim to authority, reflects the way Paul does theology” (The Triumph of God,
Hlm. 5). Lebih lanjut lagi, Beker menambahkan bahwa Paul‟s proclamation focuses on interplay between coherence and
contingency in response to the question. How can the truth of the Gospel be proclaimed in such a way that it fulfils its
intended purpose in concrete situations? For this reason it is necessary to be always mindful of the interaction between
fundamental content and situational context. For content non only influences context, but it is also shaped by context
(Hlm. 16). Sekalipun argumentasi teologis Rasul Paulus dalam surat-suratnya berbeda, namun semuanya memiliki
kesamaan, yaitu bersumberkan pada kebenaran Injil dan merupakan hasil interaksi dengan situasi konkret Jemaat. Rasul
Paulus meyakini bahwa kebenaran Injil mempunyai nilai universal yang bisa ―masuk‖ dalam konteks yang berbeda-beda,
sekalipun dengan ―bingkai‖ yang berbeda. Hal ini membuat Rasul Paulus mengolah kebenaran Injil tersebut sedemikian
rupa sehingga sesuai dengan konteks yang dihadapinya. Dalam kerangka pikir demikian, maka Rasul Paulus sebenarnya
berteologi secara kontekstual. Menurut Gerrit Singgih, secara sederhana kontekstualisasi merupakan sebuah upaya
pencarian harga diri sendiri sebagai orang Kristen di tengah-tengah konteks di mana ia berada. Kontekstualisasi adalah
suatu proses penginterpretasian suatu paham/budaya tertentu dalam bingkai kebudayaan lain, guna memahami
kebudayaan tersebut secara baru. Kontekstualisasi mengandaikan adanya proses yang dinamis, di mana ada upaya
merekonstruksi ―yang lama‖ dengan merelevansikan dalam ―masa kini‖. Dalam proses tersebut, pada akhirnya ada
perubahan nilai-nilai, dengan catatan nilai yang ―baru‖ tersebut relevan dan sesuai dengan konteks masa kini (E. Gerrit
Singgih, Berteologi dalam Konteks, Hlm. 1-32).
36
Kaum Farisi lebih sering muncul malah dalam keempat Injil. Dalam empat Injil, seringkali dikisahkan bahwa kaum Farisi
sering terlibat dalam perdebatan mengenai pemberlakuan Hukum Taurat, misal puasa, sabat, perceraian, dll. Kaum Farisi
digambarkan sebagai kaum yang fanatik terhadap Taurat. Wajar jika mengingat bahwa kaum Farisi merupakan
―kelanjutan‖ dari kaum Hasidim. Lihat ―Farisi‖ dan ―Hasidim‖ dalam W.R.F. Browning, Kamus Alkitab; A Dictionary of
the Bible (Jakarta: BPK Gunung Mulia. 2008). Hlm. 103-104; 134. Bandingkan juga dengan pendapat Wenham yang
mengatakan bahwa Paul‟s own interpretation of the Jesus-tradition was flexible, lihat Paul; Followers of Jesus or
Founder of Christianity, (Grands Rapids: Wm. B. Eerdmans Publishing Company. 1995) Hlm. 409
37
Frank Thielman, A Contextual Approach; Paul & the Law, hlm. 37
38
J. Christiaan Beker, The Triumph of God; The Essence of Paul Thought, hlm. 16
30
tidak serta merta berlaku dalam semua keadaan. Perlu adanya ―pengolahan‖ terhadap
kebenaran Injil yang akan diberitakan. Lebih lanjut lagi Beker menambahkan bahwa “the
uniqueness (the proprium) of Paul‟s hermeneutic manifest itself in the interplay between
the changing and unchanging elements of the Gospel. Paul is capable of transforming the
Gospel into a living word in various context without, on the whole, compromising the
totality of the Gospel or without trivializing the specific particularities that each situation
demands. Paul‟s commitment to the truth of the Gospel and its concrete effectiveness
clearly shows the interaction between coherence and contingency”. 39 Dengan demikian,
Paulus memang mentransformasi berita Injil sedemikian rupa sehingga sesuai dengan
konteks pelayanannya. 40 Rasul Paulus memang terlihat seperti tidak konsisten, akan
tetapi ketidakkonsistenannya tersebut bukan karena latar belakang pemikirannya namun
dikarenakan adanya interaksi antara pemikirannya dengan situasi dari masing-masing
Jemaat yang berbeda. Dalam hal inilah sebenarnya tampak jelas dari kekonsistenan Rasul
Paulus, yaitu konsisten terhadap kebenaran (inti) Injil dan konsisten akan upaya
memberitakan Injil dalam dan sesuai dengan konteks yang ada (kontekstualisasi Injil).
Pemberitaan mengenai Karya Kristus
Seperti halnya kedua belas Rasul yang memberitakan Injil secara kontekstual,
Paulus pun juga demikian. Perbedaannya ialah bahwa Rasul Paulus lebih menekankan
karya Yesus dalam pemberitaan injilnya dibandingkan dengan gelar-gelar pada diri
Yesus. Apakah dengan demikian berarti bahwa gelar-gelar pada diri Yesus tidak berarti
bagi Rasul Paulus? Mengapa Rasul Paulus lebih tertarik memberitakan karya dibanding
gelar? Karya Yesus seperti apa yang diberitakan oleh Rasul Paulus dan bagaimana Rasul
Paulus sendiri memahami karya Yesus?
Jika melihat soteriologi Rasul Paulus seperti pada bagian Pendahuluan, maka
tampak bahwa Rasul Paulus lebih menekankan karya dan peran Yesus dalam karya
39
J. Christiaan Beker, The Triumph of God; The Essence of Paul Thought, hlm. 17
Terkait dengan hal ini, sebagaimana yang dikutip oleh Thielman bahwa Beker ―emphasized the importance of
understanding Paul‟s theological statements within the context of the specific historical situations to which his letters
were addressed. When this situation are taken into account, said Beker, Paul‟s theology emerges as the interaction
between a central conviction – the approach cosmic triumph of God – and the specific historical concerns of the
communities to which Paul wrote”. Lihat dalam A Contextual Approach; Paul & the Law, hlm. 39-40.
40
31
pendamaian Allah bagi manusia. Namun, hal itu bukan berarti gelar-gelar pada diri Yesus
tidak mempunyai arti sama sekali bagi Rasul Paulus. Gelar ―Kristus‖, ―Tuhan‖, dan
―Anak Allah‖ mempunyai arti tersendiri bagi Paulus. “Christ” and “Lord” speak in
different ways of Jesus‟s relationship to his followers, but “Son of God”, for Paul,
describe Jesus‟s relationship to God.41 Sekalipun Rasul Paulus beberapa kali dalam
suratnya menyebut ―Yesus Kristus‖, namun rupanya ―Kristus‖ yang semula adalah gelar
pada diri Yesus terkait dengan kemesiasan-Nya kini menjadi ―nama diri‖ dalam
pemahaman Paulus.42 Gelar Yesus yang sering ditekankan oleh Paulus adalah ―Anak
Allah‖. For Paul, Jesus was not simply one among many sons of God, but was the eternal
agent of God, involved in creation and destined to bring all under God‟s feet in the future
(I Cor 15:28).43 Dengan demikian, gelar ―Anak Allah‖ menjadi penting bagi bagi Paulus
karena gelar tersebut mengartikan dan menjelaskan hubungan antara Yesus dengan Allah.
Hubungan antara Yesus dengan Allah itu sendiri menjadi penting bagi Paulus, karena
hubungan tersebut menjadi dasar bagi pemberitaan karya Yesus oleh Paulus. Pemberitaan
bahwa Allah – melalui Yesus Kristus – berkarya atas pendamaian manusia dengan Allah
(2 Kor 5: 18-19).
Gelar Anak Allah pada diri Yesus memang penting bagi Paulus, namun – sekali
lagi – bukanlah ―Yesus sebagai Anak Allah‖ yang diberitakan oleh Paulus melainkan
―karya Yesus sebagai Anak Allah‖. Bahkan, bukan hanya gelar pada diri Yesus saja
namun juga ajaran dan sejarah hidup Yesus juga tidak terlalu mendapat penekanan oleh
Paulus – walaupun terkadang disinggung oleh Rasul Paulus dalam pelayanannya. 44 Yang
menjadi pertanyaan berikutnya adalah karya Yesus seperti apa yang mendapat penekanan
serius oleh Paulus di dalam memberitakan Injil?
Wenham berpendapat bahwa:
In his letters Paul refers very frequently to the death and resurrection of
Jesus, but as for Jesus birth, baptism, miracles, parables, transfiguration,
etc, there is a deafening silence. Paul was not interested in the pre-passion
ministry of Jesus and may in fact have been quite poorly informed about it.
41
David Wenham, Paul; Follower of Jesus or Founder of Christianity, hlm. 117.
David Wenham, Paul; Follower of Jesus or Founder of Christianity, hlm. 120-121
43
David Wenham, Paul; Follower of Jesus or Founder of Christianity, hlm. 118.
44
Terkait dengan hal mengenai ajaran Yesus, Wenham berpendapat bahwa ―Paul does not need to quote from it because he
and his readers have been taught it and know it well. In his letters his task is to discuss what is disputed and unclear, not
to repeat what is ready very familiar” (Paul; Follower of Jesus or Founder of Christianity, Hlm. 5).
42
32
Paul‟s faith, it is argued, focused on the death and resurrection of Jesus
and then on the risen Lord and his work in the church by his spirit. In
particular the death and resurrection of Jesus are the supremely important
facts about Jesus for Paul. They are theologically of overwhelming
important in bringing God‟s liberation to the world.45
Sementara itu, menurut Cousar ―Paul‟s letters are punctuated with reminders of
the manner and meaning of Jesus‟s death. He writes of course not as historian describing
the details of how, where, when, and by whom Jesus was killed, but as pastoral
theologian interpreting the important of Jesus‟s death both for the congregations under
his care and for himself”.46 Berdasarkan pandangan dua tokoh di atas, betapapun banyak
karya Kristus namun kematian dan kebangkitan Kristus-lah yang mendapat penekanan
oleh Rasul Paulus dalam memberitakan Injil. 47 Mengapa karya kematian dan kebangkitan
Kristus menjadi penting bagi Rasul Paulus sehingga menjadi fokus pemberitaan injilnya?
Seperti apakah pemahaman Paulus mengenai kematian dan kebangkitan Kristus?
Berdasarkan I Kor. 15:14, kematian dan kebangkitan Kristus merupakan dasar
bagi Paulus untuk memberitakan Injil dan imannya. Bahkan, di ayat sebelumnya (ayat 35) Paulus mengatakan bahwa ―yang sangat penting‖ dalam pemberitaan injilnya adalah
kematian dan kebangkitan Kristus. Terkait dengan teks tersebut, Wenham berpendapat
bahwa ―for Paul the cross is not an unfortunate accident of history but the key to God‟s
plan for the salvation of the world”.48 Bandingkan pula dengan Cousar yang berpendapat
bahwa “Paul‟s Christology makes it possible to see Jesus‟s action as God‟s action. The
story of the cross relates not only the story of the Son of God “who loved me and gave
himself for me” (Gal 2: 20), but at the same time the story of one “who did not spare his
only Son but gave him up for us all” (Rom 8:32)”.49 Dengan demikian, Paulus
memahami bahwa karya kematian Kristus merupakan kunci masuk pada karya
penyelamatan Allah pada dunia, di mana Allah menyatakan karya keselamatan bagi
manusia di dalam kematian dan kebangkitan Kristus.
45
David Wenham, Paul; Follower of Jesus or Founder of Christianity, hlm. 3-5
Charles B. Cousar, A Theology of the Cross; the Death of Jesus in the Pauline Letters (Minneapolis: Fortress Press.
1994). Hlm. 1
47
Terkait dengan hal ini Wenham berpendapat bahwa ―for Paul the cross of Jesus was absolutely central – central in his
own thinking and preaching, but also, and more importantly, in God‟s world-saving work as Paul understood it” (Paul;
Follower of Jesus or Founder of Christianity. Hlm. 138)
48
David Wenham, Paul; Follower of Jesus or Founder of Christianity, hlm. 148
49
Charles B. Cousar, A Theology of the Cross. Hlm. 27
46
33
Secara umum, pemberitaan Paulus mengenai karya keselamatan Allah bagi
manusia terkandung di dalam konsepnya mengenai pendamaian, pembenaran, dan
penebusan. 50 Paulus memahami bahwa kematian Yesus membawa penebusan bagi
manusia (Rom 3:24). ―For Paul the death of Jesus not simply as redeeming the individual
from his or her slavery to sin or death, but also as a new exodus event bringing the
people of God out of their slavery”.51 Konsep penebusan itu sendiri agaknya tidak asing
dalam Jemaat di mana Paulus memberitakan Injil. Tradisi Yahudi mengenal adanya
konsep penebusan seperti tergambar dalam Kel 15:13 dan Yes 41:14. Dalam terang ayat
tersebut, penebusan mengartikan suatu proses pengeluaran dari ketertindasan. Sementara
dunia Yunani juga mengenal konsep penebusan, di mana konsep penebusan seringkali
digunakan terkait dengan permasalahan mengenai perbudakan. Kematian Kristus juga
membawa pembenaran bagi manusia, di mana Allah menjadikan Kristus yang tidak
mengenal dosa menjadi dosa (II Kor 5:21). Bagaimana Paulus menjelaskan hal ini
(Kristus sebagai korban keselamatan) kepada Jemaat di mana ia melayani? Tampaknya
dalam hal ini Paulus lebih cenderung menggunakan konsep yang ada dalam tradisi
Yahudi mengenai korban sebagai ―pengalihan dosa‖52 untuk menjelaskan kematian
Kristus sebagai korban pembenaran dibandingkan dengan konsep mengenai korban
dalam budaya Yunani. 53 Menurut Barrett, ―God‟s righteousness is to be manifested in the
paradoxical event of the crucifixion of the Messiah, God‟s Son”.54 Paulus rupanya juga
mempunyai pemahaman bahwa kematian Kristus mendamaikan manusia dengan Allah
(Rom 5:10; II Kor 5:18-19). Istilah ―pendamaian‖ itu sendiri umumnya diakui merupakan
50
Lihat kembali ulasannya pada bagian Pendahuluan (BAB I).
David Wenham, Paul; Follower of Jesus or Founder of Christianity. Hlm. 150
52
Konsep mengenai korban dalam terang tradisi Yahudi terdapat dalam Imamat 1-7, di mana korban ―pengalihan‖ dosa
adalah hewan. Ketika hewan tersebut dikorbankan, maka ada suatu ―interchange of roles‖ antara si pendosa dengan
hewan korban. Orang yang tadinya berdosa kini menjadi dibenarkan, karena dosanya telah pindah ke hewan korban
(Wenham, Paul; Follower of Jesus or Founder of Christianity. Hlm. 151)
53
―In a narrow sense, “human sacrifice” means the sacrifice of a human being to a divinity, carried out like an animal
sacrifice. In a broader sense, the term implies also the forms of “ritual killing,” either at the grave of a deceased person,
before or after a battle, during a drought, famine, epidemic or a similiar catastrophe dangerous to an individual life or
that of a community. Finally it is possible to offer living human beings to a divinity in order to comply with their cult.
Therefore, human sacrifices belong to the rituals of offering, which are generally accepted by the religion and culture in
question and which are therefore not considered as an illegal killing and consequently are not punished.” Lihat Gabriele
Weiler, Human Sacrifice in Greek Culture dalam Karin Finsterbusch (ed.), Human Sacrifice in Jewish and Christian
Tradition (Boston: Brill. 2007). Hlm. 35
54
C. K. Barrett, Paul; An Introduction to His Tought (Louisville: John Knox Press. 1994). Hlm. 101.
51
34
istilah khas dari Rasul Paulus dan istilah tersebut digunakan dalam konteks relasi Allah
dengan manusia. 55 Terkait dengan hal ini Schreiter berpendapat bahwa:
For Paul reconciliation is the work of God, who initiates and completes in
us reconciliation through Christ. That God would begin with the victim,
and not the evildoer, is consistent with divine activity in history. God takes
the side of the poor, the widowed and the orphared, the oppressed and the
imprisoned. It is in the ultimate victim, God‟s son Jesus Christ, that God
begins the process that leads to the reconciliation of the whole world in
Christ.56
Allah sendirilah yang berinisitif dalam karya perdamaian tersebut, namun Dia
tidak berkarya secara langsung. Mengapa? Dalam konsep mengenai rekonsiliasi, jika ada
dua belah atau lebih yang sedang berkonflik maka diperlukan pihak netral sebagai
mediator di antara mereka demi mewujudkan perdamaian. 57 Terkait dengan karya
perdamaian Allah dalam konsep Paulus, maka Yesus Kristus-lah yang menjadi mediator
Allah dalam mendamaikan manusia dengan diri-Nya. Selain itu, Allah di dalam Kristus
mengambil peran seperti manusia dan mengorbankan diri-Nya sebagai korban
pendamaian itu sendiri (Rom. 5 bnd. II Kor. 5:19).58
Berdasarkan penjelasan di atas, tampak bagaimana pemahaman Rasul Paulus
mengenai kematian Kristus sehingga hal tersebut menjadi penting dan mendapat
penekanan yang serius di dalam ia memberitakan Injil. Senada dengan hal ini, Seyoon
Kim berpendapat bahwa ―the message that Paul was commissioned to deliver to the
Gentiles was a good news of salvation, namely the message of God‟s redemption through
the atoning death of Christ Jesus his Son, through which God will justify believers at the
last judgment and in fact makes that justification proleptically effective to them already
55
Lihat “katallasso”. Buschel dalam Gerhard Kittel (ed.), Theological of the New Testament; Vol. I (Grand Rapids: W.B.
Eedrmans Publishing Company. 1995)
56
Robert J. Schreiter, The Ministry of Reconciliation; Spirituality & Strategies (Maryknoll, New York: Orbis Book. 1998).
Hlm. 14-15; lihat juga Robert J. Schreiter, Reconciliation; Mission & Ministry in a Changing Social Order (Maryknoll,
New York: Orbis Book. 1992). Hlm. 59. Bandingkan pula dengan pendapat Moltmann bahwa ―the love of God has
become manifest through Christ”, dalam The Way of Jesus Christ; Christology in Messianic Dimenssions, hlm. 32
57
John P. Lederach, The Journey Toward Reconciliation (Pennsylvania: Herald Press. 1999). Hlm. 62-81
58
Menurut Penulis, pandangan Paulus mengenai hal ini bisa jadi karena adanya pengaruh filsafat Platonisme mengenai
dualism, bahwa Allah hanya ada di alam idea dan manusia di alam materi. Alam idea tidak bisa bersinggungan dengan
alam materi, oleh karena memerlukan mediator untuk bisa berelasi. Bukan suatu hal yang buruk mengingat bahwa Paulus
berteologi secara kontekstual sementara pada waktu itu – ada kemungkinan – bahwa filsafat Platonis masih berkembang
di antara Jemaat tempat Paulus melayani. Hal ini malah makin memperkuat pernyataan bahwa Paulus berteologi secara
kontekstual, di mana ia mampu mendialogkan iman Kristen dengan filsafat Platonisme.
35
in the present (Rom 3:21-26; 4:25; 5:1-11; 8:3-4; 28-39; II Kor 5:21; etc). Paul reffered
to this redemptive act of God as God‟s dikaiosune (Rom 1:17; 3:2-26; etc). So Paul‟s
“gospel” included the fearful judgment of God, but it was in the end a good news about
God‟s saving “righteousness” in Christ and about believers‟ justification on the basis of
it (Rom 1-16-18)”.59 Dengan demikian, tampak bahwa hal yang terpenting, yang
mendapat penekanan, dan yang mewarnai teologi Rasul Paulus dalam surat-suratnya
bukanlah gelar-gelar pada diri Yesus, melainkan karya Yesus itu sendiri – khususnya
kematian-Nya – dalam terang karya pendamaian Allah bagi manusia. Permasalahan
mengenai mengapa Rasul Paulus merasa bahwa berita pendamaian itu harus diberitakan
sebenarnya terkait erat dengan kesadaran Paulus sebagai seorang Rasul – seperti yang
sudah disinggung di bagian sebelumnya. Secara jelas Paulus juga menegaskan kembali
dalam teks II Kor 5:19b-20, bahwa kepadanya Allah telah mengutus dan mempercayakan
pelayanan pendamaian. Terkait dengan kesadaran Paulus akan pelayanan pendamaian,
Penulis menambahkan bahwa (1) Paulus sebenarnya ‗lebih‘ berteologi (khususnya
mengenai kristologi) secara kontekstual dibanding dengan para pemberita Injil lainnya.
Jika para pemberita Injil lebih cenderung memberitakan Yesus terkait dengan gelar-Nya,
lain halnya dengan Paulus yang lebih kepada karya-Nya – walaupun gelar Anak Allah
dirasa penting bagi Paulus. Rasul Paulus memberitakan karya Kristus di mana ia selalu
mengkaitkan dengan permasalahan yang ada dalam Jemaat. Dengan kata lain, Paulus
lebih ―menghadirkan‖ Kristus dibanding para pemberita Injil lainnya. (2) Ada
kemungkinan bahwa alasan Paulus lebih cenderung memberitakan karya Kristus adalah
karena karya Kristus dan maknanya itu sendiri kurang ‗familiar‘ bagi Jemaat nonYahudi, 60 sehingga perlu adanya pemberitaan yang disertai dengan interpretasi ulang
yang sesuai dengan konteks Jemaat itu sendiri. (3) Hal yang cukup logis yang mungkin
dipikirkan oleh Paulus adalah bagaimana mungkin orang dapat percaya kepada Kristus
jika kurang atau bahkan tidak memahami dan mengerti karya Kristus. (4) kesadaran
Rasul Paulus dalam memberitakan berita pendamaian tampaknya tidak lepas dengan
peristiwa Damsyik yang merupakan titik tolak pertobatannya. Peristiwa tersebut juga ia
59
60
Seyoon Kim, Paul and the New Perspective; Second Thoughts on the Origin of Paul’s Gospel (Grands Rapids: W.B.
Eerdmans Publishing Company. 2002). Hlm. 107
Hal ini dikarenakan area pelayanan Yesus semasa hidup yang hanya di lingkup Yahudi-Palestina. Bandingkan pula
dengan pernyataan Paulus bahwa Kristus pertama-tama menyelamatkan orang Yahudi, kemudian orang Yunani (Rom
1:16)
36
mengerti sebagai titik di mana ia dibebaskan dari kuasa kegelapan. Dalam peristiwa itu
juga, Paulus memahami bahwa Allah bekerja dalam diri manusia untuk menjadikan
manusia tersebut masuk ke dalam tatanan hidup yang baru. Keyakinan akan transformasi
kehidupan yang mengarah pada tatanan baru tersebut membuat Paulus merasa bahwa
Injil/berita perdamaian harus diberitakan, agar orang dapat percaya, mengalami
transformasi kehidupan, dan berada dalam tatanan hidup yang baru. Oleh karena itu,
Paulus lebih menekankan pada karya Kristus dibanding gelar-Nya. Adapun teks-teks dari
surat-surat Paulus yang secara jelas mengindikasikan akan penekanannya terhadap
kematian Kristus adalah sebagai berikut: Rom 3:21-26; Rom 4: 24-25; Rom 5:6-8; Rom
6: 1-11; I Kor 1:1—2:5; I Kor 5:1-13; I Kor 11: 17-34; I Kor 15; II Kor 4:7-15; II Kor
5:14—6:2; II Kor 13:1-4; Gal 3; Gal 6:11-18; Fil 3:2-11. Dengan demikian, Penulis rasa
pemaparan di atas cukup untuk menjadi bukti dasar bahwa Paulus lebih menekankan
masalah ―karya‖, khususnya karya kematian Kristus, dibanding ―gelar‖ pada diri Yesus.
Pada bagian berikutnya, Penulis menafsirkan salah satu teks di atas, yaitu II Kor 5:15-21,
di mana penafsiran teks tersebut juga akan menjadi salah satu bukti kuat bahwa Rasul
Paulus lebih menekankan pada karya Kristus dibanding dengan gelar-gelar pada diri
Kristus dan bagaimana Rasul Paulus memahami karya kematian Kristus itu sendiri.
37
Download