Hilma Rizqina Rabbani 1706061364 Pandangan Kelompok Islam Abangan dan Islam Santri Terhadap Sinkretisme dan Mistisme Jawa Sebuah Analisis Novel Reinkarnasi Karya Sinta Yudisia 1. Pendahuluan 1.1. Latar Belakang Reinkarnasi adalah novel karya Sinta Yudisia. Terbit pada Agustus 2009, novel yang diterbitkan oleh Lingkar Pena ini memiliki 585 halaman. Sinta Yudisia sendiri adalah seorang penulis yang telah banyak menelurkan karya, mulai dari fiksi maupun non-fiksi. Bukubukunya banyak yang telah mendapatkan penghargaan, misalnya novel The Road to The Empire yang memenangkan nominasi novel terbaik pada IBF Award (2009), novel Takhta Awan yang meraih penghargaan Novel Terpuji Pena Award (2013), dan masih banyak lagi. Reinkarnasi adalah pengembangan dari novel Kekuatan Tujuh, yang diterbitkan oleh penerbit Beranda. Bercerita tentang seorang remaja bernama Age, pemuda miskin dengan hidup sederhana yang taat beragama. Semuanya kemudian berubah ketika ia mengetahui bahwa ia adalah putra ketujuh dari seorang bangsawan Jawa, Galuh Anom dan suaminya Damarjati. Bukan hanya status sosialnya yang berubah, Age mengetahui bahwa ia bukanlah anak biasa. Dia adalah anak yang lahir dari hasil pertapaan Galuh Anom yang sangat berhasrat memiliki seorang putera. Hal ini menjadikan Age memiliki kekuatan gaib berupa indra ketujuh, yang bertambah kuat semenjak ia berhasil menarik keris pusaka Kiai Indrajid dari wadagnya. Kekuatannya membawa kematian bagi orang-orang di sekelilingnya, menyebabkan tokoh lain yang menyadari bahaya tersebut berusaha menyingkirkan keris itu dari tangan Age. Novel ini menawarkan sudut pandang baru dalam pengupasan budaya Jawa. Kental dengan unsur mistisme, adanya tokoh-tokoh berlatar agama Islam yang kuat menambah menarik konflik yang terjadi dalam novel ini. Tokoh Age sendiri adalah perpaduan dari dua ideologi tersebut. Bermula sebagai pemuda miskin yang taat beragama, menjadi seorang pemuda sakti dengan keistimewaan gaibnya memberikan pertentangan dalam hidupnya, bukan hanya secara psikologis, tapi juga secara fisik. Tubuhnya yang mulai terpengaruh oleh kehebatan kekuatan ketujuhnya menolak bentuk-bentuk ibadah yang Age lakukan. Sementara pandangan ideologi Islam diwakilkan oleh tokoh seperti Ustadz Burhan, seorang pengelola pesantren, dan Ki Bayaran, mantan pengerajin keris yang berusaha keluar dari dunia mistik tersebut. Kelompok ini memandang kekuatan yang ada pada diri Age berbahaya dan tidak manusiawi—kekuatan gaib yang bisa melihat masa lalu dan masa depan, bahkan berkembang menjadi dapat mengendalikan masa depan itu sendiri. Di sisi lain, terdapat kelompok tokoh yang meyakini bahwa kekuatan Age adalah suatu anugerah yang harusnya diasah. Galuh Anom, yang masih menjunjung tinggi budaya Jawa bahkan beranggapan bahwa puteranya adalah Herumukti—sosok Ratu Adil yang akan memimpin umat manusia. Selain motif ideologis, ada juga tokoh yang menggunakan kekuatan Age untuk kepentingan ekonomi, seperti tokoh Dicky yang butuh seseorang dengan firasat tajam untuk menjalankan bisnis kotornya. Saya tertarik untuk membahas novel ini karena lekatnya budaya Jawa yang ada dalam ceritanya. Berlatar di Jogja, ornamen-ornamen kebudayaan masih sangat kental, terutama latar belakang keluarga asli Age yang merupakan bangsawan keraton. Perbedaan pendapat soal kemistikan diantara para tokoh juga menambah unik novel ini. Banyak buku yang bertemakan budaya Jawa sebelumnya, namun novel ini menawarkan sudut pandang baru tentang budaya tersebut—yaitu sudut pandang Islam. Perbedaan pendapat antara dua kelompok tokoh dengan landasan ideologi yang berbeda ini menggambarkan sedikit dari keadaan sebenarnya di lapangan—bagaimana dari dulu sudah ada orang yang memiliki kemampuan gaib dalam cerita-cerita rakyat, seringkali orangorang ini adalah—sebagaimana Age—orang yang taat beribadah. Latar waktu yang diambil pada masa modern juga mewakili kenyataan bahwa, terlepas dari perkembangan zaman, banyak budaya dan kepercayaan yang belum ditinggalkan. 1.2. Masalah Berdasarkan latar belakang diatas, maka rumusan masalah yang ingin diuraikan adalah sebagai berikut; 1. Apa bentuk mistisme dan sinkretisme dalam cerita? 2. Bagaimana pendapat 2 kelompok tokoh tersebut dalam menyikapi fenomena sinkretisme dalam cerita? 1.3. Tujuan Dari rumusan masalah diatas maka tujuan penelitian ini adalah; 1. Mencermati gaib dalam budaya Kejawen-Islam 2. Melihat perbedaan sikap kedua kelompok tokoh mengenai kekuatan gaib tersebut 1.4. Metode Penelitian Metode yang akan digunakan dalam penelitian ini adalah metode kualitatif. Hal ini karena metode kualitatif lebih serasi digunakan dalam penelitian sastra yang objeknya adalah karya sastra yang memerlukan intensitas dan pendalaman terhadap pemaknaan dan pemberian interpretasi. Korpus data yang akan digunakan adalah novel Reinkarnasi karangan Sinta Yudisia yang akan dianalisis isinya menggunakan teori intertekstual. 1.5. Landasan Teori 1.5.1. Teori Intertekstual Teori Intertekstual adalah sebuah pendekatan untuk memahami sebuah teks sebagai sisipan dari teks-teks lain. Dalam fungsinya sebagai pendekatan untuk memahami teks sastra, teori ini memiliki prinsip bahwa tidak ada sebuah teks yang benar-benar berdiri sendiri—dalam arti bahwa penciptaannya melibatkan teks-teks lain, ataupun budaya, sebagai contoh, teladan, dan kerangka. 1.5.2. Sinkretisme Sinkretisme yang digunakan modern ini mengacu pada pengertian neo-etimologismenya, berasal dari kata synkerannumi yang artinya campuran—atau untuk lebih spesifiknya, adalah campuran dari perkaraperkara yang tidak sepadan. Penafsiran inilah yang dirujuk dari istilah sinkretisme, yang pada abad ke-16 dan ke-17 digunakan para teolog Protestan sebagai usaha mendamaikan perbedaan doktrin dari berbagai mazhab yang berbeda dalam agama Kristen. 1.5.3. Islam Abangan dan Islam Santri Santri dan Abangan adalah dua golongan sosio-religius yang ada pada masyarakat, disebabkan dan didasarkan pada perilaku religius anggotanya. Ada dua faktor yang menjadi tolak ukur sikap religius kedua golongan ini; peranan tradisi yang berubah dan berkembang sesuai zaman, dan penghayatan suatu yang suci sebagai dasar untuk sikap religius, apakah bersama atau perorangan. Dalam tipe budayawi utama masyarakat Jawa, terdapat satu tipe lagi yaitu Priyai. Abangan digandengkan dengan masyarakat petani di pedasaan, Santri digandengkan dengan para pedagang di daerah yang bersifat lebih perkotaan, sementara Priyai dihubungkan dengan para pengatur birokrasi. Meski demikian,priyai tidak akan terlalu dibahas dalam penelitian ini karena kurang bukan merupakan klasifikasi sosial masyarakat Jawa terhadap reliugitas Islamnya. Klasifikasi yang terakhir disebut didasarkan pada sejauh apa suatu golongan mengamalkan syariat (ajaran) Islam. Golongan santri adalah golongan muslim sholeh yang memeluk agama Islam dengan sungguhsungguh dan menjalankan perintah-perintah agamanya dengan teliti— sebagaimana yang diketahuinya—sambil berusaha menjauhkan akidahnya dari sirik yang terdapat di daerahnya. Golongan kedua, abangan—secara harfiah berarti merah—adalah golongan muslim Jawa yang tidak seberapa memperhatikan perintahperintah agama Islam dan kurang teliti dalam melaksanakan kewajibannya. Cara hidup kelompok ini masih banyak dikuasai tradisi praIslam—meskipun mereka telah memeluk agama Islam. Tradisi ini menitikberatkan pada pemaduan unsur-unsur Islam, Budha-Hindu dan unsur-unsur asli sebagai sinkretisme Jawa, seringkali dinamakan agama Jawa. Sinkretisme inilah yang oleh orang Jawa dianggap sebagai tradisi rakyat. 1.5.4. Ratu Adil Ratu Adil adalah sebuah ramalan terkenal karangan Raja Jayabaya, seorang raja yang disebut-sebut sebagai titisan Dewa Wisnu. Sang Jayabaya dikatakan demikian paham akan hal yang samar-samar, mengetahui sebelumnya perjalanan dunia, segala perbuatan raja-raja, bahkan hingga hal-hal yang gaib sekalipun. Dia digambarkan sebagai raja yang—selain bijak dan adil—mencintai kesenian dan sastra. Berkatnya, terciptalah Kakawin Bharatayudha, sebuah karya sastra yang indah. Ratu Adil sendiri adalah sebuah konsep tentang juru selamat. Seorang pemimpin yang dicintai rakyat, dan kelak akan menegakkan keadilan di muka bumi, sosok raja tanpa mahkota yang akan membawa kedamaian di dunia. Konsep Ratu Adil sendiri memiliki tempatnya dalam budaya Jawa-Islam setelah Sunan Kalijaga menyematkannya pada Prabu Yudhistira dalam pewayangan sebagai Prabu Dharmakusuma. Sang Prabu digambarkan sebagai seseorang dengan keterpaduan pribadi ksatria dan pendeta, dengan roman muka tajam dan wajah yang tawadhu. Gestur khususnya adalah empu jarinya yang bertaut dengan telunjuk—sebagai perlambang kesatuan ksatria-pendeta, ulama-umara. Sang Ratu Adil dikatakan memiliki pusaka berupa Layang Kalimasada, samak mustika jamus—yaitu hakikat kesaksian total awalakhir, lahir-batin, sebagai mutiara yang dijaga sepanjang masa. Pusaka tersebut disimpannya dalam udheng—yaitu mudheng—agar kita sungguhsungguh berada dalam pemahaman. Dikatakan bahwa sang Ratu Adil akan muncul ketika dunia dalam kekacauan, saat zaman terbalik, dan kezhaliman dimana-mana. 2. Pembahasan 2.1. Sinopsis Novel ini bercerita tentang kehidupan seorang Age (Ragil Mulyo), remaja yang besar dalam kemiskinan. Seiring waktu berjalan, ia menemukan bahwa dirinya bukanlah remaja kebanyakan. Diberkahi dengan indra ketujuh, sebuah kekuatan gaib yang bukan hanya berupa ketajaman firasat, namun juga kemampuan mengendalikan firasat itu menjadi kenyataan. Waktu berjalan dan kekuatan Age bertambah kuat, hingga kebenaran mengenai masa lalunya terungkap. Age adalah anak seorang bangsawan Jawa, lahir dari hasil pertapaan sang ibunda, Galuh Anom, dan terikat dengan sebuah keris magis bernama Ki Indrajid. Kemampuannya yang meningkat setelah dipertemukan membuatnya mulai melukai orang-orang di sekitarnya. Hal ini disadari oleh tokoh-tokoh lain, menyebabkan mereka mengkonfrontasi Age langsung dan berusaha membuang Ki Indrajit darinya. 2.2. Mistisme dan Sinkretisme dalam Cerita “Yang keenam adalah mengetahui apa yang belum terjadi,” Ki Gede menahan napas. “Indera ketujuh...” “Seperti apa itu, Ki?” “ Kemampuan untuk mempergunakan indera keenam.” Banu menahan tawa. Irwan pun tampak seperti berusaha keras untuk tidak tersenyum. “Yang ketujuh,” Ki Gede tak peduli pada tatapan yang tak mempercayai kata-katanya. “Adalah kemampuan untuk menguasai, menggunakan, dan menggerakkan indera keenam untuk terjadi, ataukah tidak sesuai dengan keinginan si pelaku.” Aji tak ingin mempercayai kata-kata itu. “Ada orang yang memiliki kekuatan ketujuh, sehingga saat kalian menatapnya maka tak ada yang timbul di hati selain perasaan gentar serta keinginan untuk mengabdi pada apa pun kemauannya.” -Reinkarnasi, hal. 62-63. Mistisme yang ada dalam cerita ini adalah kekuatan indera ketujuh yang dimiliki Ragil Mulyo (Age), sang tokoh utama. Bermula dari kemampuan Age menebak nomor togel untuk mendapatkan uang pengobatan ibunya yang sakit. Tebakan Age benar dan ia mendapatkan uang yang diinginkannya (hal. 18)—dari sinilah pertama kali kemampuan firasatnya muncul dalam cerita. Kemampuannya berkembang makin kuat setelah ia bertemu dengan tokoh Sentot. Sentot, anak buah Dicky—seorang bos mafia bisnis haram— berusaha melatih Age memanfaatkan kemampuannya. Kepekaannya kini tidak hanya sebatas mampu memprediksi masa depan, tapi juga melihat latar belakang orang-orang yang diinginkannya (hal. 141) Sebagaimana yang disebutkan dalam kutipan di atas, kekuatan Age bertambah dari sekedar mengetahui masa lalu, menjadi mengendalikan hal-hal yang ia inginkan akan terjadi—seperti ketika ia mengkhayalkan akan kecelakaan yang menimpa Wanda, kakak Ayna (teman sekolah Age) yang suka mencerca kedekatannya dengan Ayna (hal. 147-148). Keinginannya tercapai kemudian saat Wanda tertimpa lampu sorot ditengah audisi pencarian bakatnya (hal. 154) Puncaknya adalah kemampuan Age membunuh orang-orang yang ia anggap membahayakan secara tidak langsung, yang terjadi setelah ia berhasil mencabut keris Kiai Indrajid dari warangkanya (hal 224-225). Selain kemampuan indera ketujuh yang dimiliki Age, mistisme lain yang terdapat dalam cerita adalah keyakinan bahwa Age adalah sosok ratu Adil, karena kemampuannya yang luar biasa (hal 574), ditambah kemampuannya menahan pamor keris Kiai Indrajid yang dikatakan beracun, bahkan Age sanggup menjadi wadag (inang) dari keris tersebut. Sementara itu, bentuk sinkretisme yang ada dalam cerita adalah praktek pencarian wangsit yang dilakukan oleh Galuh Anom, ibu kandung Age. Sang bangsawan dikatakan melakukan tirakat untuk mendapatkan seorang putra—yang tidak membuahkan hasil. Sebagai usaha lainnya, ia bersemedi di gua Lanang dan gua Wadon, hingga ia mendapat wangsit dari Prabu Walaing Pu Kumbayoni—seorang Raja sakti di zaman dahulu—ketika ia sedang bersemedi. Kegiatan semedi ini adalah hal yang lazim dilakukan sebagai usaha mendapatkan suatu keinginan dalam budaya Jawa. Begitu juga dengan kegiatan pengagungan pusaka—dalam cerita ini digambarkan oleh keris Kiai Indrajid—serta tirakat-tirakat yang harus dijalani untuk mencapai berbagai kepentingan. 2.3. Dua Kelompok Tokoh dalam Cerita Seperti yang telah dibahas dalam kerangka teori, terdapat dua kelompok tokoh dalam cerita ini; Muslim Santri dan Muslim Abangan. Muslim santri diwakilkan oleh tokoh Ustadz Burhan, seorang pengelola pesantren yang terbiasa membantu orang-orang yang ingin rehabilitasi dari ketergantungan terhadap dunia gaib—salah satunya dengan cara ruqyah. Selain itu ada pula Ki Gede Banyaran, mantan pembabar keris yang kini dalam rehabilitasi pesantren Ustadz Burhan. Tokoh yang disebutkan terakhir ini unik karena berasal dari latar kelompok muslim abangan yang mencoba keluar dari dunia gaib tersebut. Hal ini menjadikan dia familiar terhadap mistisme yang dialami Age, namun juga memiliki pemahaman yang sama dengan Ustadz Burhan— bahwa hal-hal gaib semacam itu harusnya dijauhi. Kelompok muslim abangan diwakili oleh keluarga Galuh Anom. Hal ini terbukti dari kegiatan keluarga keraton itu selama ini yang masih mengagungkan dan menyucikan pusaka-pusaka Jawa. Galuh Anom sendiri melakukan kegiatan pertapaan untuk mendapatkan putra, yang berujung pada konflik utama pada cerita. Secara keyakinan, Galuh Anom masih mengakui konsep mistis seperti Ratu Adil, bahkan menyatakan bahwa keistimewaan putranya dapat mengantarkan Ragil Mulyo ke posisi tersebut. Tokoh lain dari kelompok muslim abangan adalah Sentot, meskipun dalam perkembangannya dia menentang Age dan kekuatannya. Tetap saja, Sentot mengakui—bahkan mendorong Age untuk mengasah kemampuan gaibnya. Age sendiri adalah tokoh anomali dalam cerita ini. Dia berasal dari kelompok muslim santri, seorang pemuda yang taat beragama, hingga kekuatannya memuncak saat ia menjadi wadag dari Kiai Indrajid. Perubahan ini bukannya tanpa alasan. Age merasa dicampakkan oleh Surti, ibu angkatnya, dan merasa kekuatannya adalah satu-satunya yang dapat menolongnya. Dalam menghadapi mistisme yang menjadi konflik dalam cerita, kedua kelompok ini jelas berbeda pandangan. Kelompok muslim santri menginginkan Age untuk berhenti mengeksplor kekuatannya, karena bagaimanapun masa depan adalah kekuasaan Allah dan mencampurinya adalah syirik. Begitu juga mengenai pamor yang melingkupi keris Kiai Indrajid. Pamor—yang dikatakan seperti ruh yang memakan korban— menurut Ustadz Burhan adalah hal gaib yang tidak bisa dicampuri manusia. Selain menentang, kelompok tokoh ini juga menginginkan Age memperkuat ruhiyahnya (diruqyah) dan menajuhkan diri dari dunia gaib itu selamanya. Meski demikian, kelompok tokoh ini bukannya menafikan kekuatan Age seratus persen. Dalam Islam sendiri terdapat konsep firasat, dengan sebuah ungkapan, ‘berhati-hatilah terhadap firasat orang mukmin (beriman)’. Penentangan yang mereka lakukan pada kekuatan Age adalah penggunaannya yang ia sengaja, dan kelompok tokoh ini merujuk pada dalil ‘setan suka mencuri dengar berita dari langit lalu membisikkannya pada maunisia.’ (hal. 62). Di sisi lain, tokoh muslim abangan ingin agar kekuatan itu dieksplor sejauh mungkin. Galuh Anom bahkan meyakini bahwa kenyataan Age yang memiliki indera ketujuh adalah pertanda bahwa dirinya seorang Ratu Adil, Herumukti, juru selamat yang akan memimpin dunia. Akan tetapi, dari golongan muslim abangan ini sendiri, terdapat tokoh yang beranggapan bahwa hal itu berbahaya serta tidak pantas—misalnya Sentot, yang telah sadar akan kerusakan nyata yang dibawa keris itu, dan Katrin/Kilisuci—putri kedua Galuh Anom—yang menganggap Age adalah manusia jahat yang meracuni pikiran ibunya, bahkan membunuh dua saudarinya dengan kekuatan gaib keris indrajid—meski itu diluar kehendak Age sendiri. 3. Penutup 3.1. Kelebihan Kelebihan dari novel ini adalah latar pemilihan sosial yang dipilihnya. Penggambaran akan budaya Jawa yang berusaha dihidupkan di tengah perubahan zaman oleh tokoh-tokoh muslim abangan adalah topik yang menarik. Ditambah lagi konflik yang diangkat dari benturan pandangan kedua kelompok tokoh, menggambarkan nasib mistisme budaya Jawa ditengah masyarakat saat ini. 3.2. Kekurangan Plot terasa masih kurang padat di beberapa tempat. Banyak tokoh yang tiba-tiba hilang dari cerita, padahal sebelumnya memiliki peranan penting dalam konflik—misalnya tokoh Surti, ibu angkat Age, atau Ayna, yang tiba-tiba menghilang tanpa dijelaskan bagaimana dampak psikologis tokoh ketika ia mengetahui perubahan pada diri Age. 3.3. Kesimpulan Novel Reinkarnasi adalah sebuah karya sastra yang mengangkat tema budaya. Bercermin pada kondisi sosio-relijius masyarakat Jawa, di tengah perkembangan zaman, novel ini merefleksikan bahwa masih ada orang yang memegang teguh budaya dan tradisi, bahkan meyakini mistismenya. Novel ini juga menggambarkan budaya jawa dari sudut pandang Islam, sesuai dengan kenyataan bahwa Islam yang masuk lewat akulturasi budaya di Jawa masihlah banyak tercampur dengan tradisi lokal yang ada, menyebabkan munculnya dua kelompok yang sama-sama muslim, namun berbeda dalam praktek relijiusitasnya. Refrensi. Yudisia, Sinta., (2009). Reinkarnasi. Jakarta. PT. Lingkar Pena Kreativa. Herniti, Ening & Adab, Fakultas & Ilmu, Dan & Uin, Budaya & Kalijaga, Sunan & Marsda, Jl & Yogyakarta, Adisutjipto. (2012). Kepercayaan Masyarakat Jawa Terhadap Santet, Wangsit, dan Roh (Menurut Perspektif Edwards Evans-Pritchard). http://ejournal.uin- suka.ac.id/adab/thaqafiyyat/article/view/77. 13. 384-400. Damajati Supadjar. (1994). Konsep Keadilan Sosial di Balik Mitos Ratu Adil. Diambil pada 20 Desember 2018, dari https://jurnal.ugm.ac.id/wisdom/article/view/31736/19220 Ros Aizha., Che Zarina. (2015). Konsep Sinkretisme Menurut Perspektif Islam. Afkar. Diambil pada 20 Desember 2018, dari https://www.academia.edu/27116637/KONSEP_SINKRETISME_ME NURUT_PERSPEKTIF_ISLAM Zaini Muchtarom. (1998). Santri dan Abangan di Jawa Jilid II. Jakarta. Inis. Sindhunata. (1999). Bayang-Bayang Ratu Adil. Jakarta. PT. Gramedia Pustaka Utama. Munawaroh. (2014). Intertekstual Cerita Pandji Gandroeng Anggreni dengan Roman Tiandra Kirana. Skripsi: Universitas Negeri Yogyakarta. Sinta Yudisia. (2009). Dari Bedah Buku Reinkarnasi UIN Syarif Hidayatullah; Antara Supranatural dan Sastra. Diambil pada 20 Desember 2018, dari https://sintayudisia.wordpress.com/2009/10/12/dari-bedah-bukureinkarnasi-uin-syarif-hidayatullah-ciputat-jakarta-antara-supranaturalsastra/#more-606