Uploaded by Nabilatuz Zulfa

Nabilatuz Zulfa S. 16-143 C16-Paliatif

advertisement
PALLIATIVE CARE EDUCATION : OPIOID TITRATION AND
CONVERSION
Tugas Mata Kuliah Keperawatan Menjelang Ajal dan Paliatif
oleh
Nabilatuz Zulfa Salimah
NIM 162310101143
KEMENTRIAN RISET, TEKNOLOGI DAN PENDIDIKAN TINGGI
PROGRAM STUDI SARJANA KEPERAWATAN
FAKULTAS KEPERAWATAN
UNIVERSITAS JEMBER
2019
PHARMACOLOGY – MADE EASY
Opioid atau yang biasanya disebut dengan narkotika adalah sekelompok
obat yang bekerja pada saraf pusat. Dimana opioid ini juga sistem untuk
menghasilkan efek morfin seperti penghilang rasa sakit dan euforia. Sebelum
berbicara lebih jauh tentang apa itu opioid, pertama-tama kita harus memahami
tentang transmisi nyeri atau rasa sakit. Jadi, nyeri dimulai pada nosiseptor yang
hanya merupakan ujung bercabang dari neuran sensorik yang ditemukan dalam
sistem saraf perifer. Neuron sensori primer ini merespon kerusakan pada tubuh
dengan cara mentransmisikan stimulus rasa sakit yang dirasakan oleh tubuh ke
neuron orde kedua di tanduk dorsal medula spinalis. Kemudian membentuk sinyal
yang dibawa melalui saluran spinothalamic ke thalamus dan kemudian ke korteks
somatosensori.
Pada saat diteliti dengan menggunakan mikroskop, yang mengambil
serangkaian bentuk yang biasanya terasa sakit. Glutamate adalah salah satu
neurotransmitter yang paling penting untuk nyeri dan dapat mengatifkan NMDA
dan AMPA. Reseptor yang memungkinkan masuknya ion bermuatan negatif dan
positif. Aliran ion yang bermuatan positif sangat mudah untuk mengalirkan energi
ke dalam neuron. Dengan cara ini kemudian glutamat menstimulasi neuron orde
kedua di tanduk dorsal yang kemudian mengarahkan rambatan sinyal untuk
kemudian membentuk rasa nyeri. Zat P yang ada di tangan yang lain mengikat
neurokinin-1, NK-1 yang mengarahkan ke sinyal intraseluler yang melibatkan
aktivasi jalur asam arakidonat dan sistesis oksida nitrat dan aktivasi reseptor
NMDA. Reseptor NMDA kemudian mengaktivasi zat P yang menempel pada
reseptor NK-1 dan kemudian bergaabung menjadi datu sel yang akhirnya
mengaktivasi protein kinase-C. Reaksi ini kemudian memindahkan magnesium
yang berada di bawah kondisi normal yang mengalami pemblokiran reseptor
NMDA. Kemudian, proses ini secara bergiliran memungkinkan untuk
melampirkan reseptor NMDA dan dengan demikian otomatis mengizinkan masuk
ke dalam arus ion kalsium, akhirnya menyebabkan sinyal rasa nyeri bertambah
dan nyeri akan semakin terasa adekuat. Terakhir, CGRP yang dirilis berkaitan
dengan neuron reseptor pada orde kedua yang mengarah ke dalam perubahan
ekspresi reseptor dan dengan demikian fungsi dari neuron juga berubah. Proses ini
juga berkontribusi pada apa yang disebut dengan sensization sentral yang ditandai
dengan menurunkan ambang batas untuk membangkitkan potensi tindakan.
Beruntungnya kita sekarang, tubuh kita dapat mengatasi rasa nyeri yang datang
dan kemudian dinamai endogeneus opioids. Ada 3 macam endogeneous opioid,
yaitu : enkephalins, dynorphins dan endorphins. Endogenoud opioid memberikan
efek yakni mengikat opioid reseptor, yang berada di pusat dan sistem saraf perifer.
Disini ada tiga tipe utama dalam opioid reseptor yakni U, Delta dan K
(Kappa). Umumnya ketiga jenis reseptor ini berbeda dalam sel distributor, afinitas
relatif untuk berbagai opioid dan kontribusi mereka dalam menspesifikasikan efek
dari opioid tersebut. Semua opioid reseptor adalah 7 protein transmembran yang
berpasangan dengan protein G yang menjadi penghambat dan merka semua hadir
di dalam konsentrasi tinggi yang berada di dalam tanduk pnggung yang berada di
saraf tulang belakang. Kemudian mengaktivasi reseptor dari bagian agonis, seperti
endogeneous endorfin peptida U-opioid yang disebabkan oleh dekatnya kalsium
yang
ada
di
dalam
presynaptic
yang
akan
mengurangi
tumbuhnya
neurotranstmitter, seperti glutamate, substansi-P, dan kalsitosid yang dihasilkan
oleh peptida. Di dalam keadaan yang seperti ini, aktivasi reseotor opioid
mengarah pada membukanya saluran potasium yang kemudian memungkinkan
masuknya ion yang pada gilirannya menghasilkan hipepolarisasi yang membuat
neuron kurang sensitive terhadap input rangsang. Kemudian, opiod yang tersedia
saat ini adalah analgesik yang bertugas sebagai opioid utama di dalam kerangka
reseptor opioid yang pada dasranya meniru efek dari opioid endogeneud peptida.
Bagaimanapun, apabila natural opioid bisa bereaksi terhadap potensi tertentu,
mereka bisa menstimulasi untuk memproduksi opioid untuk lebih kuat lagi.
Contoh dari opioid sintetis agonis yaitu : fentanil, hidrocodon, hidromorphone,
metadon, meperidin, oxicodone dan oxymorphone. Seperti yang tertulis disini, ini
penting untuk menjadi catatan bahwa metadon bukan hanya menjadi reseptor-U
yang ampuh akan tetapi juga menjadi reseptor NMDA layaknya norefrin dan
inhibitor sertotonin. Para reseptor ini membuat metadhone berguna untuk
melakukan pengobatan untuk nosiseptif dan nyeri neuropatik. Sekarang untuk
memproduksi analgesia, aktivasi dari reseptor opioid tesebut menjadi salah satu
bagian dari tubuh yang mampu membawa banyak efek. Seperti contoh, semua
opioid dapat mempoduksi salah satu penyebab nausea, seperti stimulasi secara
langsung. Peran utama opioid karena depresi yang disebabkan oleh reseptor otak
yang kemudian di stimultan oleh karbon dioksida. Ini juga menekan pusat
respiratory di medula dan pons, karena mereka terlibat di dalam ritme regulasi
respiratori. Morfin yang juga sebagai meperidin mungkin juga menstimulasi
keluarnya histamn yang ada di dalam tubuh yang bisa jadi penyebba utama dalam
penyakiy hipotensi. Selain itu, apabila diberikan injeksi morfin dan meperidin bisa
menyebabkan penyakit kulit yang ada di dalam pembuluh darah seperti
pembilasan kulit di wajah, leher dan lain lain. Meperidine adalah saah satu
produsen partikular tatkikardi yang strukturnya hampir mirip dengan atropine.
Permasalahan terbesar yang ada di dalam opioid yang menyebabkan kecanduan
fisik dan psikologis.
Euforia atau rasa kebahagiaan muncul dari penghambat GABA neuron
dari tegmental yang berada di dalam area otak. Reseptor memberi signal dan
regulasi kepada reseptor lain untuk menambah sensitivitas terhadap opioid.
Hasilnya, apabila opioid regular sedang memproduksi atau malah berhenti,
kurangnya aktivitas reseptor akan bermanifestasi dengan berbagai macam tanda
dan gejala. Gejala ini akan berefek dengan obat dari opioid itu sendiri. Jadi,
penyebab dari konstipasi dan lambatnya resprasi bisa jadi adalah pemicu utama
dari diare dan tekanan darah yang tidak seimbang.
PALLATIVE CARE EDUCATION : OPIOID TITRATION AND
CONVERSATION
Opioid merupakan pengobatan klinis utama yang digunakan untuk pasien
kanker yang sedang merasakan nyeri. Menjadi penting untuk memahami prinsip
dari opioid, berapa dosis yang dibutuhkan oleh pasien, bagaimana pengobatan dan
penatalaksanaan saat nyeri tersebut menyerang pasien. Modul ini akan fokus
tentang beberapa hal yang berkaitan dengan opioid tersebut. Beberapa hal yang
akan dibahas dalam modul ini, seperti mengidentifikasi bagaimana opioid
mengkonversi opioid tersebut, mengartkulasi tata cara atau step dalam
keterlibatan penggunaan opioid, mendiskripsikan fenomena toleransi obat opioid
selama jangka pemakaiannya. Hal yang menjadi penting saat memberi takaran
dosis untuk memberikan obat opioid tersebut atau mencampurkan opioid yang
berbeda adalah melakukan inveestigasi dari etiologi dari nyeri yang dirasakan atau
pada saat mengalami perubahan gejala nyeri yang terjadi kepada pasien. Tenaga
medis harus paham untuk menentukan apakah ada tes tambahan atau tidak kepada
pasien dengan gejala nyeri tersebut untuk menyesuaikan pengobatan apa dan
berapa jumlah yang efektif untuk pasien dengan keadaan nyeri tersebut. Untuk
saat ini sedang mengambil data setiap hari dan mengkonversi apakah panjang dan
pendeknya pengobatan opioid menjadi tolak ukur tingkat keberhasulan
pengoabatan yang akan dijalani oleh pasien yang disingkat omae. Omae akan
memutuskan pengoabatan yang mana yang efektif dan akan dijalani oleh pasien,
dengen menyerahkan beberapa pertanyaan yang diajukan kepada pasien yang
mempunyai toleransi terhadap efek yang ditimbulkan atau mengalami perubahan
status tidak toleransi intake dan kemudian dikalkukasilah dosis yang akan
diberikan kepada pasien. Dosis yang akan diberikan kepada pasien menggunakan
peraturan jen dan setiap individu akan mendapatkan dosis yang sesuai dengan
gejala yang di derita, untuk mengurangi efek dan memberikan profilaksis apabila
tersedia.
Ada empat peraturan untuk mengubah, seperti :
1. Selalu dikonversi menjadi setara morfin oral
2. Pengurangan dosis untuk toleransi silang tidak lengkap 25%
(mengubah dosis untuk mengurangi ome total sebanyak 25% )
3. Dosis kerja panjang 2/3 dari 24 jam atau sehari ome
4. Mengkalkulasi atau menghitung dosis sekitar 10-15% dari 24 jam
selama pengobatan opioid berlangsung.
Banyak sekali cara yang digunakan untuk menghitung atau mengkalkukasi
dari pengobatan opioid, seperti tabel dan lain lain, akan tetapi menjadi penting
untuk kita tau bagaimana pengetahuan dasar untuk pengobatan opioid ini. Seperti
dosis equi analgesic. Pengertian dari equi dosis analgesic adalah menyediakan dua
dosis opioid dalam keadaan stabil dan dalam keadaan nyeri yang sama.
Tabel diatas adalah contoh dari equianalgesic converstion of opioids.
Semua tabel yang tertera diatas adalah equivalent atau sudah pasti dan jelas. Jadi
semisal pada obat mofin, untuk dosis awal yang 10mg menjadi 30mg pada dosis
oral. Kemudian contoh lagi, pada hydromorphine 20 mg sejajar dengan 30 mg
oral dosis morfin apabila pasien mengambil 20 mg oral hydromorphine, dibawah
ini adalah rumus singkatnya.
Morfin oral aturan lainnya adalah 30 20 10 7.5 1.5, atiran ini diberikan
agar mudah diingat oleh tenaga medis yang akan memberikan pengobatan kepada
pasien yang mengalami nyeri. Konversi antara beberapa yang lebih opioid yang
biasanay digunakan untuk morfin IV dan oral dilalui juga serta oksidon oral untuk
dapat menambahkan lapisan fentanil transdermal karena kompleksitas konversi ini
lebih rumit dengan adanya tambalan yang diberikan dalam mikrogram perjamnya
dan ini hanya tersedia dalam dosis tertentu. Kemudian ada juga tabel transdermal
sebagai berikut :
Penting juga untuk menjadi catatan, fentanil yang diberikan secara
transdermal mencapai tingkatan A terapeutik dalam 13 minggu hingga 24 jam jadi
ketika beralih ke opioid long – acting ke fentanil patch seharusnya verupa patch
yang diaplikasikan dengaan dosis terakhir opioid orang jangka panjang untuk daat
menghindari rasa sakit selama transisi saat memulai. opioid pertama yang dipilih
umumnya adalah morfin atau oksikodon yang kerja pendek untuk dapat tetukan
juga jumlah dosis yang dibutuhkan sehingga dapat memastikan toleransi opioid
kerja jangka pendek dapat dikonversikan menjadi long-acting formulasi yang
diberikan sekali atau dua kali dalam sehari untuk dapat meminimalkan rasa sakit
terobosan dan dapat mengurangi masalah administrasi morfin. Morfin
adalah
long-acting yang paling umum digunakan oleh opioid karena kemudahan dalam
administrasi
dan biaya kecuali ada kontraindikasi seperti gagal ginjal atau
intoleransi. Ingat ingat kembali 4 rules atau aturan yang digunakan sebagai acuan
untuk memberikan obat opioid kepada pasien yang mengalami nyeri. Ada
beberapa contoh atau case untuk contoh menghitung perhitungan dosis opioid.
Case 1, wanita berusia 60 tahun dengan obstruksi kemudian tidak dapat
mentoleransi asupan oral, dapat mengambil manfaat dari perhitungan fentanul
patch transdermal yang akan memungkinkan penyerapan yang lebih maksimal.
Patuhi aturan yang sudah diberikan seperti pemberian obat, kemudian kapan obat
tersebut diberikan dan lain lain, apabila tidak dijalankan akan terdapat beberapa
implikasi yang akan terjadi pada pasien tersebut. Indikasi lain untuk rotasi opioid
adalah perubahan status klinis seperti insufiensi ginjal onset baru, ditetapkan
untuk kemampuan mentoleransiasupan oral untuk menghindari pemberian obat
saat ini. Pemting untuk menjadi catatan, bahwa rotasi opioid tidak diindikasikan
dalam situasi dengan efek samping kekuasaan pengontrolan nyeri. Cross tolerance
didefinisikan sebagai penurunan respon farmakologi setelah pemberian berulang
atau berkepanjangan. Cross tolerance mengacu pada pengembangan efek obat lain
yang serupa secara struktural dalam kelas farmakologis yang sama setelah
paparan jangka panjang. Toleransi apa pun yang telah dikembangkan pasien
terhadap opioid mereka saat ini mungkin tidak diterjemahkan menjadi opioid lain
yang dikenal sebagai Cross tolerance yang tidak lengkap. Dosis total untuk
memperhitungkan kemungkinan Cross tolerance yang tidak lengkap, disarankan
untuk mengurangi dosis sekitar 25% untuk menghindari pemberian dosis yang
lebih tinggi pada opioid baru. Pengurangan ini diterapkan sesuai perhitungan
selama 24 jam. Aturan nomor satu mengubah semua opioid menjadi 24 jam setara
dengan morfin oral, biasanya dua mengurangi 24 jam kebutuhan sebesar 25%
untuk memperhitungkan toleransi silang yang tidak lengkap ketika memutar
opioid, aturan nomor tiga dua pertiga dari total 24 jam OME Anda harus berakting
lama dan aturan nomor 4 sepuluh hingga 15 persen dari dosis kerja lama Anda
akan menjadi dosis kerja pendek Anda yang diberikan setiap tiga jam sesuai
kebutuhan. Kasus fistr kami melibatkan konversi PCA menjadi obat opioid oral,
dan akan mengonversi penggunaan IV ini menjadi rejimen obat oral yang
dilakukan di rumah. Dimulai dengan aturan nomor satu kita akan mengonversi
morfin IV menjadi OME, 10 mg morfin IV sama dengan 30 mg PO morfin
sehingga 100 mg IV morfin sama dengan 300 mg PO morfin untuk aturan nomor
dua, penyesuaian toleransi silang ketika menukar opioid akan diterima dalam
keadaan ini karena morfin akan tetap menjadi opioid pilihan.
Case 2, pasien berusia 55 tahun dengan kanker servik stadium 3b. Baru baru
ini mendapat perawatan radiasi dan kemoterapi. Dia datang ke klinik dengan nyeri
panggul dan punggung. Dia saat ini mengonsusi 80mg oksikodon setiap hari yang
akan membantu dalam pengobatan nyerinya. Pasien sudah lelah dan bangun
malam hari untuk meminum obat penghilang rasa nyeri yang dialaminya. Dimulai
dengan 20mg oksikodon yang setara dengan 30mg morfin obat. Pertama, akan
menghitung 24 jam yang kita mulai dengan 20mg oxydone yang setara dengan 30
mg morfin oral sehingga untuk pasien ini dia turun 80 mg oxydone dalam 24 jam
yang setara dengan 120 oemo. Kedua, 2 akan menyesuaikan toleransi lengkap
masa lalu yang tidak lengkap rencana penghematan untuk mengkonversi dari
Oxydone ke morfin kita akan mengurangi total ome sebesar 25% Dari 120% ome
sama dengan 90 ome selama 24 jam. Ketiga, akan menghitung opioid kerjapanjang yang merupakan dua pertiga dari 24 jam ome dalam contoh ini pertiga
dari 90 ome adalah 60 oleh karena itu kami akan meresepkan kerja-panjang dalam
bentuk ms contin 30 miligram tab dua kali sehari dan akhirnya untuk aturan
nomor empat Dosis kerja pendek sama dengan 10 hingga 15 persen dari total
dosis kerja jangka panjang dalam contoh ini 10 hingga 15 persen pada 60
miligram sama dengan 6 hingga 9 miligram karena morfin pelepasan langsung
tersedia dalam 15 tablet miligram, kami akan meresepkan satu tablet setengah
morfin atau 7 poin 5 miligram per dosis setiap tiga jam sebagaimana diperlukan
kasus tiga akan bekerja melalui konsep opioid rotasi untuk contoh ini kita akan
menggunakan pasien yang merupakan wanita berusia 55 tahun dengan sarkoma
berulang yang kembali ke klinik Anda sepuluh hari setelah Escalahun sebelumnya
dalam pengobatan opioidnya.
Case 3, pasien berusia 55 tahun mengidap penyakit leomisarcoma yang datang
ke 10 hari terakhir selesai diberikan dosis obat eskalasi. Nyerinya sudah lumayan
terkontrol, bagaimanapun dia melaporkan bahwa dia intoleransi terhadap
somnolen dan nausea. Pertama, kita mulai dengan Ms. Contin 100mg dan MSIR
45mg 5x perhari. Kita akan menghitung total opioid yang akan digunakan dalam
100mg dan 300 ome dan lima hari berdosis 45mg dalam 225 ome dan dia
menggunakan total 525 ome dalam 24 jam. Kedua, kita akan mengihitung
inkomplikasi cross toleransi dari dari tembahan ome total dari 25%. Kita akan
menghitung 525 dari 25% adalah 394 ome akan kita isi dengan aksikodon dan
pengobatan yang lama dan oksikontin. Kita akan menggunakan 30mg morfin
dimana 30mg ini akan berequivalen dengan 20mg oksikodon dan 394 ome sejajar
dengan 263 mg oksikodon. Ketiga, 2/3 dari 24 jam harus terus diawasi. 2/3 dari
263 mg sama dengan 175 mg yang sama dengan kita akan mengguanakn 160 mg
dari oksikontin dan 80 mg dari oksikontin. Kita akan menggunakan mereka
berdua dalam sehari. Keempat, 10-15% dosis pengguananya harus berselang. 1015% dari 175 mg sama denfan 17.5 -26 oksikodon. Dan kemudian menurut tablet
20 mg oksikodon diberikan selama 3 jam selama yang diinginkan.
Case 4, pasien berada di hospis dan tidak dapat mengambil obat oral untuk
mengurangi rasa sakitnya, , saat ini dapat terkontrol dengan aturan obat oksikotin
80 mg duakali sehari dengan rat-rata 3 dosis oksikodon 20 mg yang digunakan
perhari. Untuk fentanyl transdermal dan oksikodon untuk pengobatan short acting.
Short acting digunakan dalam 24jam dihitung disaat dia menggunakan , yang
pertama, oksitosin 80mg 2x sehrai saa dengan 160 mg total oksikotin dan 20 mg
3x perhari sama dengan 60 mg oksikodon dengan total 220 mg. Kedua, Dalam 24
jam akan menurunkan OME pada 25% untuk menghitung tidak lengkap toleransi,
karena memutar opioid. Untuk kasus ini oenguranagn 25% dari 330 OME = 248
OME. Ketiga, 2/3 dari 24 jam membutuhkan long acting. 2/3 dari 248 OME sama
dengan 165 OME. Untuk dosis dengan 72 jam fentanil setengah total ome, jadi
setengah dari 165 sama dengan 82,5. Keempat, 10-15% dari dosis kerja jangka
panjang harus tersedia untuk aksi endek dosis terobosan jadi 10 gingga 15% dari
165 adalah 16,6 hingga 24,75 OME.
Download