Uploaded by Ireneus Pape

Resume 4 Essay Hukum Kesehatan

advertisement
TUGAS RESUME
PERAN PENTING REGULASI HUKUM DALAM MENGATUR
STANDAR PELAYANAN KESEHATAN
MATA KULIAH HUKUM KESEHATAN
Oleh : Kelompok I
Ibni Asriati
22020118183009
Adriana Agustina Herewila
22020118183014
Zainal Arifin
22020118183028
Ireneus Pape No Mbeong
22020118183030
DEPARTEMEN ILMU KEPERAWATAN
FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS DIPONEGORO
2019
PERAN PENTING REGULASI HUKUM DALAM MENGATUR
STANDAR PELAYANAN KESEHATAN
Kesehatan merupakan hak asasi setiap manusia diakui dan dilindungi oleh
negara berdasarkan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun
1945. Kesehatan menjadi hak konstitusional setiap warga negara diatur dalam pasal
28h ayat 3 UUD 1945, sedangkan pemerintah bertanggung jawab untuk
menyediakan pelayanan kesehatan diatur dalam pasal 34 ayat 3 UUD 1945.
Pembangunan kesehatan sebagai upaya negara untuk memberikan pelayanan
kesehatan yang didukung oleh sumber daya kesehatan, baik dari tenaga kesehatan
maupn tenaga non-kesehatan.
Dalam Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2009 tentang kesehatan
menyatakan bahwa; kesehatan merupakan keadaan sejahtera mulai dari badan, jiwa,
serta sosial yang membuat setiap orang untuk hidup produktif secara sosial dan
ekonomis. Kesehatan selain menjadi hak asasi manusia, juga merupakan suatu
investasi. Setiap kegiatan dan upaya untuk meningkatkan derajat kesehatan
masyarakat yang setinggi-tingginya harus dilaksanakan berdasarkan payung hukum
dan regulasi dengan memperhatikan prinsip nondiskriminatif, partisipatif,
perlindungan dan berkelanjutan. Regulasi dan payung hukum yang dibuat sangat
penting untuk pembentukan sumber daya manusia Indonesia, peningkatan
ketahanan dan daya saing bangsa, serta pembangunan nasional.
Dukungan regulasi dan hukum tersebut merupakan suatu perangkat hukum
kesehatan yang memadai. Perangkat hukum kesehatan yang memadai dimaksudkan
agar adanya kepastian hukum dan perlindungan yang menyeluruh baik bagi
penyelenggara upaya kesehatan maupun masyarakat penerima pelayanan
kesehatan. Menurut UU RI No. 23 Tahun 1992, Hukum kesehatan adalah semua
ketentuan hukum yang berhubungan langsung dengan pemeliharaan/pelayanan
kesehatan. Hal tersebut menyangkut hak dan kewajiban menerima pelayanan
kesehatan (baik perorangan dan lapisan masyarakat) maupun dari penyelenggaraan
pelayanan kesehatan dalam segala aspeknya, organisasinya, sarana, standar
pelayanan medik dan lain-lain. Pada asasnya hukum kesehatan bertumpu pada hak
atas pemeliharaan kesehatan sebagai hak dasar social (the right to health care) yang
ditopang oleh 2 (dua) hak dasar individual yang terdiri dari hak atas informasi (the
right to information) dan hak untuk menentukan nasib sendiri (the right of self
determination) (Hermien H. K, 1998).
Secara umum bentuk regulasi hukum kesehatan diatur dalam suatu undangundang, sedangkan secara khusus bentuk hukum kesehatan diatur dalam berbagai
regulasi yang dibuat oleh organisasi profesi dan asosiasi bidang kesehatan dengan
berbagai kode etiknya. Beberapa kode etik yang dibuat oleh asosiasi atau profesi
kesehatan diantaranya adalah; kode etik profesi, kode etik usaha dan berbagai
standar operasional yang dibuat dalam rangka penyelenggaraan upaya kesehatan.
Begitu pula rumah sakit sebagai suatu institusi dalam pelayanan kesehatan juga
mempunyai etika yang di indonesia terhimpun dalam Etika Rumah Sakit Indonesia
(ERSI) (Hanafiah, 1999).
Sebagai salah satu tenaga profesional, keperawatan menjalankan dan
melaksanakan kegiatan praktik keperawatan dengan menggunakan ilmu
pengetahuan dan teori keperawatan yang dapat dipertanggungjawabkan.
Keperawatan sebagai bagian integral dari pelayanan kesehatan mempunyai daya
ungkit yang besar dalam upaya pembangunan bidang kesehatan. Untuk menjamin
pelindungan terhadap masyarakat sebagai penerima pelayanan keperawatan dan
untuk menjamin pelindungan terhadap perawat sebagai pemberi pelayanan
keperawatan, diperlukan pengaturan mengenai keperawatan secara komprehensif
yang diatur dalam undang-undang.
Kualitas pelayanan keperawatan ditentukan oleh kualitas pemberi
pelayanan keperawatan dan asuhan keperawatan yaitu tenaga keperawatan. Untuk
itu pemerintah memiliki tanggung jawab dalam merencanakan, mengatur,
menyelenggarakan, membina, serta mengawasi penyelenggaraan upaya kesehatan
yang merata dan terjangkau oleh masyarakat yang diatur dalam Undang-Undang
Nomor 36 tahun 2009 tentang Kesehatan.
Dasar hukum pengesahan UU Nomor 38 tahun 2014 tentang Keperawatan,
memberikan kepastian dan pelindungan hukum serta untuk meningkatkan,
mengarahkan,
dan
menata
berbagai
perangkat
hukum
yang
mengatur
penyelenggaraan keperawatan dan praktik keperawatan yang bertanggung jawab,
akuntabel, bermutu, dan aman sesuai dengan perkembangan ilmu pengetahuan dan
teknologi. Undang-undang ini memuat pengaturan mengenai jenis perawat,
pendidikan tinggi keperawatan, registrasi, izin praktik, dan registrasi ulang, praktik
keperawatan, hak dan kewajiban bagi perawat dan klien, kelembagaan yang terkait
dengan perawat (seperti organisasi profesi, kolegium, dan konsil), pengembangan,
pembinaan, dan pengawasan bagi perawat, serta sanksi administratif.
Selain layanan keperawatan salah satu pelayanan kesehatan yang diberikan
kepada masyarakat yakni memberikan layanan pengobatan. Masyarakat di era ini
menyadari pentingnya back to nature atau pengobatan yang kembali ke alam tanpa
bahan kimia, dan pengobatan tradisional diharapkan dapat digunakan, sehingga
dalam penggunaannya konsumen yang menggunakannya mengharapkan adanya
perlindungan hukum jika terjadi hal-hal yang tidak diinginkan. Dalam praktiknya
penyelenggaraan pengobatan tradisional berbeda dengan pelayanan yang dilakukan
dirumah sakit. Untuk itu dalam rangka memberikan kepastian hukum dan
perlindungan hukum yang mengatur penyelenggaraan pengobatan tradisional,
maka dibentuklah Keputusan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor 1076
Tahun 2003 tentang Penyelenggaraan Pengobatan Tradisional (selanjutnya disebut
Kepmenkes Nomor 1076 Tahun 2003).
Pengertian pengobatan tradisional menurut Pasal 1 ayat (1) Kepmenkes
Nomor 1076 Tahun 2003 adalah pengobatan dan atau keperawatan dengan cara,
obat, dan pengobatnya yang mengacu kepada pengalaman, keterampilan turun
temurun dan atau pendidikan atau pelatihan, dan diterapkan sesuai dengan norma
yang berlaku dalam masyarakat. Pengobatan tradisional merupakan salah satu
upaya pengobatan dan atau perawatan cara lain di luar ilmu kedokteran dan atau
ilmu keperawatan. Pengobatan tradisional ini dilakukan sebagai upaya peningkatan
kesehatan, pencegahan penyakit, dan atau pemulihan kesehatan. Menurut Pasal 1
ayat (3) Kepmenkes Nomor 1076 Tahun 2003, pengobat tradisional adalah orang
yang melakukan pengobatan tradisional (alternatif).
Pengobat tradisional yang melakukan pengobatan tradisional harus
memiliki Surat Terdaftar Pengobat Tradisional (STPT) dan Surat Izin Pengobat
Tradisional (SIPT) dari Dinas Kesehatan Kota tersebut. Dalam melakukan praktek
atau pelayanan pengobatan tradisonal diatur dalam Kepmenkes Nomor 1076 Tahun
2003 tentang ketentuan umum dan tujuan penyelenggaraan pengobatan tradisional,
pendaftaran dan perizinan penyelenggaraan pengobatan tradisional serta
pembinaan dan pengawasan penyelenggaraan pengobatan tradisional.
Dalam melaksanakan dan memberikan pelayanan kesehatan kepada
masyarakat sering terjadi konflik/sengketa yang terjadi antara pasien dengan tenaga
kesehatan dan juga pasien dengan rumah sakit. Sengketa yang sering kita temukan
dalam pergaulan sehari-hari, untuk kasus medis, kata-kata sengketa masih jarang
kita dengar, baru belakangan ini orang sering menyebutkan sengketa di bidang
medik, inipun masih terbatas pada kalangan kedokteran. Masyarakat secara
keseluruhan belum mengetahui istilah ini, pada umumnya masyarakat lebih
mengenal, istilah malpraktik daripada istilah sengketa medik (Irfan M, Hidayat S,
2018).
Sengketa medik adalah sengketa yang terjadi antara pasien atau keluarga
pasien dengan tenaga kesehatan atau antara pasien dengan rumah sakit atau fasilitas
kesehatan. Menurut Munir Fuady, malpraktik memiliki pengertian yaitu setiap
tindakan medis yang dilakukan dokter atau orang-orang dibawah pengawasannya,
atau penyedia jasa kesehatan yang dilakukan terhadap pasiennya, baik dalam hal
diagnosis, terapeutik dan manajemen penyakit yang dilakukan secara melanggar
hukum, kepatutan, kesusilaan dan prinsip-prinsip professional baik dilakukan
dengan sengaja atau karena kurang hati-hati yang menyebabkan salah tindak rasa
sakit, luka, cacat, kerusakan tubuh, kematian dan kerugian lainnya yang
menyebabkan dokter atau perawat harus bertanggung jawab baik secara
administrative, perdata maupun pidana (Munir. F, 2005).
Masyarakat melihat bahwa sengketa medik yang terjadi sering disamakan
dengan sesuatu yang buruk sehingga kelihatannya tindakan tersebut merupakan
kesengajaan, sehingga masyarakat menduga adanya malpraktik dari tindakan
tersebut. Jadi penggunaan istilah malpraktik disini kurang tepat, karena hal itu
merupakan suatu praduga bersalah terhadap tenaga kesehatan atau instansi pemberi
layanan kesehatan, yang mana praduga bersalah ini dapat digunakan oleh pihakpihak tertentu untuk kepentingan sesaat yang juga menyebabkan rusaknya tatanan
dan sistem pelayanan kesehatan (Irfan M, Hidayat S, 2018)
Biasanya pengaduan sengketa medik dilakukan oleh pasien atau keluarga
pasien ke instansi kepolisian dan juga ke media massa. Akibatnya sudah dapat
diduga pers menghukum tenaga kesehatan mendahului pengadilan dan menjadikan
tenaga kesehatan sebagai bulan-bulanan, yang tidak jarang merusak reputasi nama
dan juga karir tenaga kesehatan ini. Sementara itu pengaduan ke kepolisian baik di
tingkat Polsek, Polres maupun Polda diterima dan diproses seperti layaknya sebuah
perkara pidana. Menggeser kasus perdata ke ranah pidana, penggunaan pasal yang
tidak konsisten, kesulitan dalam pembuktian fakta hukum serta keterbatasan
pemahaman terhadap seluk beluk medis oleh para penegak hukum di hampir setiap
tingkatan menjadikan sengketa medik terancam terjadinya disparitas pidana (Irfan
M, Hidayat S, 2018).
Kenyataan dilapangan tenaga kesehatan ataupun instansi pemberi layanan
kesehatan yang ingin menjaga reputasinya dan tidak ingin berperkara cenderung
berdamai. Namun karena belum diatur dalam sebuah sistem yang terstruktur baik,
hal ini seringkali dimanfaatkan oleh oknum yang tidak bertanggung jawab untuk
mencari keuntungan (Munir. F, 2005). Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa
regulasi hukum kesehatan berperan penting untuk mengatur segala bentuk
pelayanan yang diberikan kepada penerima layanan untuk mencegah terjadinya
konflik/sengketa, dan kepada pemberi layananan dapat melaksanakan tugasnya
sesuai dengan standar kode etik pelayanan.
Daftar Pustaka
Hanafiah, M, J., Amri, & Amir. (1999). Etika Kedokteran dan HUkum Kesehatan.
Jakarta: EGC.
Hermien Hadiati Koeswadji. (1998) Hukum Kedokteran, (Studi Tentang Hubungan
Hukum Dalam Mana Dokter Sebagai Salah Satu Pihak), PT. Citra Aditya
Bakti, Bandung.
Irfan M, Hidayat S. Mediasi Sebagai Pilihan Penyelesaian Sengketa Medik Dalam
Hukum Positif Indonesia. Jurnal IUS.Desember 2018; Vol VI. Nomor
3:hlm, 482~492.
Munir Fuady. (2005). Sumpah Hippocrates Aspek Hukum Malpraktik Dokter.
Bandung: Citra Adityabakti :hal 2-3.
Undang-undang:
1.
Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.
2.
Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 36 Tahun 2009 Tentang
Kesehatan.
3.
Undang Undang No. 23 Tahun 1992 Tentang Kesehatan
4.
Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 38 Tahun 2014 Tentang
Keperawatan.
5.
Keputusan
Menteri
Kesehatan
Republik
Indonesia
Nomor
Hk.02.02/Menkes/263/2016 Tentang Kelompok Kerja Nasional Pelayanan
Kesehatan Tradisional.
Download