Flotasi Disusun oleh: Ade Hidayat 1. Pengantar Flotalasi merupakan salah satu metode pengolahan mineral yang paling penting dan terus mengalami perkembangan hingga saat ini. Teknik ini dapat digunakan untuk memisahkan mineral dari bijih kualitas rendah dengan cara yang lebih ekonomis. [Penerapannya di industry dan di Indonesia] 2. Prinsip Dasar Flotasi Flotasi adalah proses pemisahan fisis-kimiawi berdasarkan perbedaan sifat permukaan antara mineral yang diinginkan dengan mineral yang tidak diinginkan (gangue). Proses ini melibatkan 3 fasa (padat, cair, dan gas/buih) yang saling berinteraksi satu sama lain. Gambar 1 menunjukkan prinsip dasar flotasi pada sel flotasi. Terdapat tiga mekanisme dalam proses flotasi: (1) True flotation, yakni menempelnya zat-zat tertentu pada permukaan gelembung. (2) Entrainment, yakni terbawanya zat-zat tertentu di dalam air oleh buih. (3) Aggregation, yakni terjebaknya zat-zat secara fisis diantara partikel yang menempel di permukaan gelembung. Gambar 1. Prinsip Flotasi True flotation merupakan mekanisme yang paling utama dan paling dominan dalam proses flotasi. Mekanisme ini memanfaatkan perbedaan sifat fisis-kimiawi permukaan mineral. Untuk meningkatkan efisiensi pemisahan, maka digunakan reagen flotasi. Reagen flotasi bertujuan untuk menonjolkan perbedaan sifat permukaan mineral sehingga partikel mineral akan semakin mudah untuk menempel pada permukaan gelembung dan terbawa ke permukaan sebagai buih. Peristiwa entrainment dan aggregation tidak dapat dipisahkan dalam proses flotasi. Akibatnya, mineral gangue dan pengotor dapat ikut terbawa sebagai hasil dan mengurangi efisiensi pemisahan. Fase buih sangat berperan dalam meminimalkan pengaruh entrainment dan aggregation. Hal tersebut dilakukan dengan cara membatasi material yang terbawa melalui peristiwa entrainment dan aggregation. Sehingga, untuk memperoleh mineral dengan kemurnian yang tinggi, jumlah hasil yang diperoleh akan cenderung sedikit. Kondisi operasi harus disesuaikan agar nilai optimum antara kedua faktor tersebut dapat dicapai. Proses flotasi hanya dapat diaplikasikan pada partikel mineral yang relatif halus. Partikel yang terlalu besar akan mengurangi gaya adhesi antara partikel dengan gelembung yang menyebabkan ia tidak dapat terangkut ke permukaan. Selain itu, partikel mineral harus bersifat hidrofobik (menolak air) agar dapat menempel pada gelembung. Sifat inilah yang menjadi faktor penting dalam optimasi proses flotasi (Petrus, 2011). Ketika mencapai permukaan, partikel mineral akan tetap menempel pada gelembung hanya jika terbentuk fase buih yang stabil. Stabilitas buih ini dapat dicapai dengan menambahkan reagen flotasi. Pengaruh keberadaan reagen flotasi di dalam air terhadap permukaan mineral dapat dilihat pada gaya-gaya yang bekerja pada permukaan mineral sebagaimana ditunjukkan Gambar 2. Gambar 2. Sudut kontak antara gelembung udara dengan permukaan partikel padatan dalam media cair Pada kesetimbangan belaku: γ𝑠/𝑎 = γ𝑠/𝑤 + γ𝑤/𝑎 cos 𝜃 (1) Dimana γs/a, γs/w, dan γw/a berturut-turut merupakan energi permukaan antara padatan dengan udara, padatan dengan air, dan air dengan udara. Sedangkan θ adalah sudut kontak antara permukaan mineral dengan gelembung udara. Gaya yang dibutuhkan untuk memutus hubungan antarmuka partikel padatan dengan gelembung dikenal dengan kerja adhesi (Ws/a) yang secara matematis dapat dituliskan sebagai: W𝑠/𝑎 = γ𝑤/𝑎 + γ𝑠/𝑤 − γ𝑤/𝑎 (2) Jika dikombinasikan dengan persamaan 1 menjadi: W𝑠/𝑎 = γ𝑤/𝑎 (1 − cos 𝜃) (3) Semakin besar kontak antara partikel-gelembung akan membuat kerja adhesi semakin besar pula, sehingga ketahanan sistem terhadap gangguan dari luar sistem pun semakin baik. Hidrofobisitas suatu mineral pun semakin besar dengan meningkatnya sudut kontak yang dimiliki. Selain dikenal dengan sebutan hidrofobik (benci air), istilah lain yang digunakan untuk mineral dengan sudut kontak besar adalah aerofilik (suka udara). Pada kenyataannya, sebagian besar mineral di alam tidak memiliki sifat hidrofobik. Sehingga, reagen flotasi perlu ditambahkan ke dalam pulp untuk memodifikasi sifat permukaan mineral dan membuatnya menjadi hidrofobik (atau aerofilik). 3. Reagen Flotasi Reagen flotasi merupakan bahan kimia yang ditambahkan pada pulp untuk meningkatkan efektifitas dan efisiensi proses flotasi. Berdasarkan fungsinya, reagen flotasi dapat dikelompokkan menjadi beberapa jenis diantaranya; kolektor, pembuih (frothers), dan regulator (modifier). a) Kolektor Kolektor merupakan bahan organik yang ditambahkan pada pulp untuk membuat permukaan mineral menjadi hidrofobik sehingga lebih mudah menempel pada gelembung udara. Kolektor akan teradsorpsi pada permukaan mineral selama rentang waktu tertentu dan membuat sifat mineral menjadi cenderung menolak air (hidrofobik). Kolektor dapat berupa senyawa ionik yang dapat terdisosiasi dalam air dan dapat pula berupa senyawa non-ionik yang umumnya tidak larut dalam air. Sebagian kolektor ionik ada yang bersifat amfoterik, artinya ia memiliki fungsi sebagai kation maupun anion tergantung pada kondisi pH. Kolektor ionik merupakan jenis yang paling banyak digunakan dan dikembangkan hingga saat ini. Gambar 3 menunjukkan klasifikasi berbagai jenis kolektor. Gambar 3. Klasifikasi Kolektor (Glembotskii et al., 1972) Akibat adanya pengaruh tarikan fisis, elektris, dan kimiawi, gugus polar pada molekul kolektor akan melekat di permukaan mineral, sedangkan ujung-ujung nonpolar akan mengarah ke bulk cairan dan menyebabkan partikel bersifat hidrofobik (Gambar 4). Pada prakteknya, kolektor digunakan dalam jumlah yang sedikit agar dapat terbentuk satu lapisan tipis di permukaan partikel mineral. Penggunaan kolektor yang berlebihan dapat menyebabkan mineral lain yang tidak diinginkan ikut terbawa bersama gelembung, sehingga menurunkan selektivitas pemisahan. Selain itu, jika terbentuk banyak lapisan kolektor di permukaan mineral, jumlah ujung-ujung nonpolar yang mengarah ke bulk cairan akan berkurang. Hal ini justru dapat menurunkan hidrofobisitas dan flotabilitas mineral. Gambar 4. Adsorpsi kolektor di permukaan partikel mineral Alih-alih menggunakan kolektor dalam jumlah berlebih, efisiensi flotasi dapat ditingkatkan dengan memilih jenis kolektor yang tepat. Kolektor dengan rantai hidrokarbon yang panjang dapat meningkatkan gaya tolak terhadap air. Namun, rantai karbon yang panjang akan menurunkan kelarutannya dalam air dan menyebabkan adsorpsi berlebihan di permukaan mineral. Untuk mengatasi hal ini, kolektor hendaknya dapat terion dengan baik di dalam air agar terjadi penjerapan kimiawi di permukaan mineral. Selain itu, struktur rantai karbon bercabang lebih disukai karena memiliki kelarutan yang lebih baik di dalam air. Kolektor Anionik Kolektor anionik paling banyak digunakan dalam proses flotasi mineral. Seperti namanya, anion paling berperan dalam proses flotasi. Kolektor jenis ini diklasifikasikan ke dalam 2 kategori; oksihidril dan sulfohidril. Kolektor oksihidril umumnya merupakan asam organik atau sabun. Asam organik yang dimaksud adalah senyawa dengan gugus karboksilat atau lebih dikenal sebagai asam lemak. Jenis yang umum digunakan diantaranya adalah asam oleat dan asam linoleat. Garam dari asam lemak (sabun) biasanya lebih disukai karena sifatnya yang dapat larut dalam air meskipun memiliki rantai hidrokarbon yang panjang. Senyawa karboksilat merupakan kolektor yang cukup kuat, namun memiliki selektivitas yang rendah. Biasanya kolektor jenis ini digunakan untuk proses flotasi mineral kalsium, barium, stronsium, magnesium, senyawa karbonat dari logam non-besi, dan garam dari logam-logam alkali. (Finch and Riggs, 1986) Senyawa sulfat dan sulfonat memiliki sifat yang mirip dengan asam lemak, namun lebih jarang digunakan karena kekuatan kolektor yang rendah. Meski demikian, senyawa ini memiliki tingkat selektivitas yang tinggi. Biasanya kolektor sulfat dan sulfonat digunakan pada flotasi barit, celestit, flourit, apatit, khromit, kyanit, mika, kasiterit, dan skelit. (Holme, 1986) Kolektor sulfihidril merupakan jenis kolektor yang paling banyak digunakan karena memiliki sifat yang sangat kuat dan selektivitas yang tinggi (Avotins et al. 1994). Kolektor jenis ini memiliki gugus polar yang mengandung atom sulfur bervalensi dua (senyawa thiol). Xantogenat atau xantat dan ditiofosfat merupakan kolektor sulfihidril yang paling sering dipakai dalam flotasi mineral. Xantat dibuat dengan mereaksikan alkali hidroksida, alkohol dan karbon disulfida. ROH + CS2 + KOH ↔ RO-CS-SK +H2O Dimana R adalah gugus hidrokarbon yang biasanya mengandung enam atom karbon. Berbeda dengan senyawa xantat, senyawa ditiofosfat memiliki atom fosfor berfalensi lima pada gugus polarnya alih-alih atom karbon seperti pada senyawa xantat. [Pembahasan detail mengenai kompleksitas dan karakteristik reaksi-reaksi kolektor xantat] [Pembahasan singkat mengenai ditiofosfat dan campuran kolektor xantat-ditiofosfat-thiol] Berbagai review terkait penggunaan kolektor xantat, ditiofosfat, kolektor-kolektor thiol, maupun campuran kolektor tersebut dengan mineral sulfida telah dilakukan (Klimpel, 1986; Woods and Richardson, 1986; Aplan and Chander, 1987; Crozier, 1991; Adkins and Pearse, 1992; Bradshaw, 1997). Daftar beberapa kolektor sulfihidril (thiol) yang umum digunakan beserta referensinya ditampilkan pada Tabel 1. Tabel 1. Daftar Kolektor Sulfihidril (thiol) yang Umum Digunakan Rentang pH Kegunaan Referensi O-alkil dithiokarbonat (xantat) 8-13 Flotasi senyawa sulfida, mineral teroksidasi seperti malasit, cerusit, dan mineral elementer. Leja (1982); Rao (1971) Dialkil dithiofosfat (Aerofloat) 4-12 Flotasi selektif tembaga dan zink sulfide dari galena. Mingione (1984) Dialkil dithiokarbamat 5-12 Sifatnya sama dengan xantat, tapi harganya lebih mahal Jiwu et al. (1984) Reagen/Kolektor Formula Isopropil dithiokarbamat (Minerec 1661/Z-200) Merkaptobensothiazol (R404/425) 4-9 Flotasi selektif sulfide tembaga dari pirit. Ackerman et al. (1984) 4-9 Flotasi timbal teroksidasi dan mineral tembaga. Flotasi pirit pada pH 4-5 Fuerstena u and Raghavan (1986) Kolektor Kationik Pada kolektor kationik, tolakan terhadap air dihasilkan oleh gugus kation dimana gugus polar menempel pada atom nitrogen bervalensi lima (pentavalent), umumnya senyawa amin (Gefrert, 1986; Zachwieja,, 1994). Pasangan anion untuk kolektor jenis ini biasanya adalah halida atau – dalam kasus yang lebih jarang – hidroksida, dimana gugus-gugus ini tidak berperan aktif bila bereaksi dengan mineral. Gambar 5. Kolektor Kationik Berbeda dengan xantat, senyawa amin cenderung menempel (teradsopsi) ada permukaan mineral karena gaya elektrostatik ujung polar dari kolektor dan lapisan bermuatan listrik di permukaan mineral. Gaya tarik menarik ini tidak sekuat ikatan kimiawi yang dimiliki oleh kolektor anionik, sehingga kekuatan kolektor kationik ini cenderung lebih rendah. Kolektor kationik sangat sensitif terhadap perubahan pH; aktif pada kondisi pH sedikit asam dan tidak aktif pada basa atau terlalu asam. Umumnya kolektor kationik digunakan untuk flotasi senyawa oksida, karbonat, silikat, dan logam alkali tanah seperti barit, karnalit, sylvit. Senyawa amin primer merupakan kolektor yang cukup kuat pada proses flotasi apatit, dan cukup selektif dalam proses flotasi sedimen fosfat dari bijih calcareous. b) Pembuih (Frothers) Frothers merupakan agen flotasi yang ditambahkan untuk menstabilkan buih yang terbentuk selama proses flotasi sehingga terjadi seleksi terhadap mineral yang terangkut oleh gelembung dan meningkatkan kinetika flotasi. Frothers secara kimia serupa dengan kolektor ionik, bahkan beberapa diantara kolektor ionik, seperti senyawa oleat, merupakan frothers yang kuat. Namun, frothers yang terlalu kuat ini dapat mengakibatkan buih menjadi terlalu stabil sehingga menyulitkan pada pemrosesan lebih lanjut. Adapun permasalahan yang sering terjadi di banyak pabrik pemrosesan mineral adalah terjadinya penumpukan buih di permukaan thickener. Frothers yang baik harus memiliki kemampuan kolektor yang kecil dan dapat menghasilkan buih yang cukup stabil untuk perpindahan gelembung dari sel flotasi hingga ke permukaan. Pada dasarnya frothers merupakan reagen organik heteropolar surface-active yang dapat teradsopsi ke permukaan gelembung. Molekul frothers akan menyelubungi bidang batas udaraair pada gelembung dengan ujung polar mengarah ke air dan ujung non polar mengarah ke udara. Kemampuan ini dapat mengurangi tegangan muka pada gelembung udara dan membuatnya lebih stabil. Gambar 6. Adsorpsi frothers di permukaan gelembung Frothers hendaklah memiliki kecenderungan untuk larut dalam air agar dapat terdistribusi dengan merata pada larutan. Gugus-gugus yang memiliki peran penting pada frothers diantaranya adalah hidroksil (-OH), karboksilat (-COOH), karbonil (-CO), amin (-NH2), dan sulfo (OSO2OH; -SO2OH). Frothers yang memiliki gugus asam, amin, dan alkohol merupakan jenis yang paling mudah larut. Alkohol (-OH) tidak memiliki kemampuan sebagai kolektor, hal ini membuatnya lebih unggul dibandingkan dengan frothers jenis lain. Apabila kemampuan sebagai kolektor dan frothers dimiliki oleh satu jenis reagen, maka pemisahan yang selektif akan sulit dicapai. Senyawa karbonat memiliki sifat kolektor yang kuat, sedangkan senyawa amin dan sulfo memiliki sifat kolektor yang lebih lemah. Sebagian besar frothers sintetis merupakan senyawa alkohol dengan berat molekul besar. Hal ini dikarenakan sifatnya yang sangat stabil dan lebih mudah dikontrol pada proses flotasi. Salah satu contoh frothers sintetis yang banyak digunakan adalah methyl isobutyl carbinol (MIBC). Selain itu, senyawa berbasis poligenol eter dan poliglikol eter juga termasuk frothers yang sangat efektif, bahkan tak jarang ketiga jenis frothers ini digunakan secara bersamaan. c) Regulator/Modifier Regulator atau modifier digunakan dalam proses flotasi sebagai upaya untuk memodifikasi kerja kolektor, baik dengan cara meningkatkan maupun mengurangi sifat enolak air yang dihasilkannya pada permukaan mineral. Hal ini bertujuan untuk meningkatkan selektivitas pemisahan mineral yang diinginkan. Regulator dapat dibedakan menjadi beberapa kelompok, yakni; aktivator, depresan, dan pH modifier. Aktivator Reagen jenis ini meningkatkan hidrofobisitas permukaan mineral dengan membantu kerja kolektor. Biasanya aktivator adalah garam mudah larut dimana ion-ionnya dapat bereaksi dengan permukaan mineral. Proses yang terjadi ialah berupa pertukaran ion-ion di permukaan mineral. Namun, penelitian lebih lanjut juga menjelaskan kerja aktivator melibatkan oksidasi permukaan mineral, reduksi aktivator, pengendapan aktivator di permukaan mineral, dan mekanisme pertukaran potensial (Wang et al, 1989) Salah satu contoh umum ialah pemanfaatan aktivator tembaga sulfat (CuSO4) pada flotasi spalerit. Mineral spalerit tidak dapat terflotasi dengan optimal saat menggunakan kolektor xantat karena produk berupa zinc xantat yang mudah larut terbentuk dan mengurangi hidrofobisitas permukaan mineral. Meskipun flotabilitas dapat ditingkatkan dengan menggunakan xantat rantai panjang, pemanfaatkan tembaga sulfat sebagai aktivator memberikan hasil yang jauh lebih baik. Aktivasi terjadi dengan terbentuknya endapan tembaga sulfida di permukaan mineral spalerit. Tembaga sulfida ini kemudian bereaksi dengan xantat menjadi tembaga xantat yang bersifat hidrofobik. Oksida timbal, tembaga, dan zinc seperti cerussite, smithsonite, azurite dan malachite tidak dapat diflotasi secara optimal menggunakan kolektor sulfihidril. Jenis aktivator yang biasa digunakan untuk membantu proses flotasi mineral-mineral ini adalah natrium sulfida (Na2S) atau natrium hidroksida (NaOH). Proses hidrolisis dan disosiasi natrium sulfida akan menghasilkan OH-, S2-, dan HS-. Ion-ion tersebut dapat bereaksi dan mengubah sifat permukaan mineral, sehingga dapat diflotasi menggunakan kolektor sulfihidril. Proses ini dikenal pula denga istilah “sulfidisasi”. Berikut merupakan contoh reaksi yang terjadi pada proses sulfidisasi cerussite: Na2S + H2O NaHS +NaOH PbCO3 + 3 NaOH H2O + Na2CO3 + NaHPbO2 NaHS + NaHPbO2 2NaOH + PbS Jumlah natrium sulfida yang ditambahkan harus benar-benar dikontrol karena sifatnya sebagai depresan kuat. Jika berlebih, natrium sulfida dapat mengurangi kemampuan adsorpsi kolektor di permukaan mineral. Jumlah natrium sulfida yang dibutuhkan dipengaruhi oleh pH. Sehingga, terkadang natrium hidrosulfida dipakai sebagai pengganti natrium sulfida karena tidak terhidrolisis dan meningkatkan pH larutan. Depresan Depresan digunakan untuk menurunkan seletivitas fltasi dengan cara membuat mineral tertentu menjadi hidrofilik, sehingga sulit terflotasi. Reagen ini berperan penting dalam meningkatkan nilai ekonomis dari proses flotasi seperti pada proses pemisahan platina dan nikel sulfida. Depresan memiliki jenis yang beragam dan mekanisme kerja yang kompleks dan bervariasi. Bahkan pada beberapa kasus, prosesnya tidak dapat dipahami secara menyeluruh sehingga proses kontrol pemakaian depresan sangatlah sulit dibandingkan dengan reagen jenis lain. Slime merupakan contoh depresan yang terbentuk secara natural. Bijih mineral yang sudah digiling cenderung sulit diflotasi karena adsorpsi kolektor ke permukaan mineral terhambat oleh lapisan slime yang terbentuk. Oleh sebab itu, terkadang proses desliming perlu dilakukan sebelum proses flotasi. Depresan Anorganik Depresan Polimerik 4. Faktor Penting dalam Proses Flotasi - jumat 12/5 a) b) c) d) Pengaruh pH Potensial Pulp Pembentukan Gelembung dan Kualitas Buih Entrainment 5. Aspek Teknik Flotasi – sabtu, minggu 13-14/5 a) b) c) d) e) f) g) h) Pengujian Skala Lab Pengujian Pilot-plant Sirkuit Dasar Flotasi Desain Diagram Alir Fleksibilitas Sirkuit Mesin Flotasi dan Kriteria dalam Pemilihan Elektroflotasi Flotasi-Aglomerasi 6. Praktik Flotasi di Pabrik – Senin 14/5 a) Persiapan Bijih dan Pulp b) Reagen dan Conditioning c) Proses Kontrol 7. Perkembangan Proses Pemisahan secara Flotasi – selasa 15/5 a) b) c) d) e) f) g) Flotasi Bijih Tembaga dan Oksida-Tembaga Flotasi Bijih Seng-Timbal Flotasi Bijih Seng-Tembaga dan Seng-Timbal-Tembaga Flotasi Bijih Nikel Flotasi Bijih Platina Flotasi Bijih Besi Flotasi Batubara