PENCABUTAN HAK POLITIK TERPIDANA KORUPSI ZULKARNAIN SRI NURMINA SARI NURHIDAYAH AMRIANI KOMPETISI DEBAT KONSTITUSI MAHASISWA ANTAR PERGURUAN TINGGI SE-INDONESIA TAHUN 2017 UNIVERSITAS ISLAM NEGERI ALAUDDIN MAKASSAR MEI, 2017 1 ii DAFTAR ISI LEMBAR JUDUL .................................................................................... i LEMBAR PERNYATAAN ORISINALITAS ........................................... ii DAFTAR ISI ............................................................................................ iii I PENDAHULUAN .................................................................................. 1 II PEMBAHASAN ................................................................................... 4 A. Pendapat Pro Pencabutan Hak Politik Terpidana Korupsi .............. 4 B. Pendapat Kontra Pencabutan Hak Politik Terpidana Korupsi ......... 7 III PENUTUP ........................................................................................... 10 A. Simpulan ....................................................................................... 10 B. Saran ............................................................................................. 10 DAFTAR PUSTAKA ............................................................................... 11 iii I. PENDAHULUAN Negara Indonesia adalah negara hukum (rechsstaat)1 , dimana setiap tindak tanduk pemberian komando harus berdasarkan atas hukum (rule of law). Sehingga pada hakikatnya pemegang kekuasaan tertinggi negara bukanlah orang yang memangku jabatan pemerintahan, tetapi kekuasaan tertinggi suatu negara tercermin dalam konstitusi sebagai hukum tertinggi. Menurut Jimly Asshiddiqie terdapat dua belas prinsip pokok negara hukum yang berlaku sekarang, termasuk didalamnya jaminan perlindungan Hak Asasi Manusia (HAM). 2 Lebih jauh lagi Jimly Asshiddiqie mengemukakan bahwa suatu negara tidak dapat disebut sebagai negara hukum dalam arti yang sesungguhnya manakala HAM diabaikan serta dilanggar dengan sengaja dan penderitaan yang ditimbulkan atas hal tersebut tidak dapat diatasi oleh negara. 3 Diskursus tentang HAM sebenarnya bukanlah hal baru. Sejarah tentang HAM sesungguhnya dapat dikatakan hampir sama tuanya dengan keberadaan manusia di muka bumi. Hal ini dikarenakan HAM memiliki sifat yang selalu melekat pada pada diri setiap manusia (inherent), sehingga eksistensinya tidak dapat dipisahkan dari sejarah kehidupan manusia. 4 Gagasan tentang konsepsi HAM tidak terlepas dari nilai-nilai hukum alam. Hugo de Groot -- seorang ahli hukum Belanda, yang dinobatkan sebagai “Bapak Hukum Internasional” atau yang dikenal dengan nama Latinnya, Grotius, mengembangkan lebih lanjut teori hukum kodrat Aquinas dengan memutus asal usulnya yang teistik dan membuatnya menjadi produk pemikiran sekuler yang rasional. Dengan landasan inilah kemudian peda perkembangan selanjutnya, salah seorang kaum terpelajar pasca Renaissans, 1 2 Pasal 1 ayat (3) UUD NRI 1945 Jimly Asshiddiqie, Konstitusi dan Konstitusionalisme, Sinar Grafika, Jakarta, 2010, h. 127 3 4 Ibid., h. 132. Andrey Sujatmoko, Hukum Ham Dan Hukum Humaniter, Rajawali Pers, Jakarta, 2015. h. 2. 1 John Lock mengajukan pemikiran mengenai teori hak-hak kodrati, yaitu life, liberty,dan estate. Seiring perkembangannnya konsep HAM menjadi topik yang selalu aktual dibicarakan dalam kehidupan berbangsa dan bernegara sehingga patut untuk diperjuangkan dan diterapkan. Senada dengan hal tersebut, Fadli Andi Natsif mengelompokkan HAM berdasarkan “Generasi Perjuangan HAM” 5 yaitu, generasi pertama, Civil Rights; kedua, Political Rights; ketiga, Socioeconomic Rights; dan keempat,CulturalRights. Di Indonesia, pemenuhan perlindungan HAM telah dijamin oleh konstitusi yang termaktub dalam Pasal 28A-28J Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia tahun 1945 (UUD NRI 1945). Meskipun demikian, diskursus tentang HAM menjadi topik yang tidak pernah redup dari berbagai perdebatan karena kedudukannya yang sangat erat dengan penegakan hukum di suatu negara. Pemenuhan perlindungan HAM sering kali dianggap dilanggar oleh pemerintah. Selain itu dalam penerapannya, perlindungan HAM seringkali direduksi oleh berbagai jenis produk hukum baik itu berupa peraturan perundang-undangan maupun putusan pengadilan yang memiliki kekuatan hukum tetap. Salah satu permasalahan hangat dewasa ini yaitu mengenai pencabutan hak politik (dalam hal ini hak untuk dipilih dan/atau hak menduduki jabatan publik) bagi terpidana korupsi.Mengingat bahwa tindak pidana korupsi yang selama ini terjadi secara meluas, tidak hanya merugikan keuangan negara, tetapi juga telah merupakan pelanggaran terhadap hak-hak sosial dan ekonomi masyarakat secara luas, sehingga tindak pidana korupsi perlu digolongkan sebagai kejahatan yang pemberantasannya harus dilakukan secara luar biasa. 6 Namun dalam penerapannya, masih sering terjadi perdebatan baik antara ahli dan penggiat hukum dan HAM maupun diantara hakim-hakim yang memeriksa dan memutus perkara tindak pidana korupsi itu sendiri. Perbedaan 5 Fadli Andi Natsif, Kejahatan HAM: Perspektif Hukum Pidana Nasional dan Hukum Pidana Internasional, Rajawali Pers, Jakarta, 2016, h. 19. 6 Konsideran a Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Perubahan atas UndangUndang Nomor 31 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. 2 pandangan tersebut terjadi akibat perbedaan sudut pandang yang digunakan oleh ahli, hakim dan penggiat hukum dan HAM. Oleh karena itu pengkajian lebih holistik mengenai PENCABUTAN HAK POLITIK BAGI TERPIDANA KORUPSI adalah suatu yang relevan dalam kaitannya dengan penegakan hukum di Indonesia serta pemenuhan perlindungan HAM mengingat HAM unsur yang mutlak ada bagi negara yang disebut rechsstaat. 3 II. PEMBAHASAN A. Pendapat Pro Pencabutan Hak Politik Terpidana Korupsi Rumusan HAM di dalam UUD NRI 1945 mencakup lima kelompok materi yaitu, kelompok hak-hak sipil, politik, ekonomi, sosial-budaya, hakhak khusus, hak atas pembangunan.7 Selain itu, D.F Scheltens membedakan antara konsep Hak Asasi dan Hak Dasar. Hak asasi (mensenrechten) yaitu hak yang diperoleh setiap manusia sebagai konsekuensi ia dilahirkan menjadi manusia. Sedangkan hak dasar (grondrechten) adalah hak yang diperoleh setiap warga negara sebagai konsekuensi ia menjadi warga negara dari suatu negara. Perbedan istilah mensenrechten dengan grondrechten adalah hak asasi dianggap bersifat universal karena diberikan oleh Tuhan yang mana tidak dapat dibatasi dalam keadaaan apapun, antara lain hak hidup. Sedangkan hak dasar bersifat domestik karena diberikan oleh negara tergantung keinginan penguasa negara tersebut dan sewaktu-waktu dapat dicabut oleh negara, hak seperti ini antara lain hak dipilih dan memilih. 8 Senada dengan D.F Scheltens, John Locke berpendapat bahwa manusia tidak secara absolut menyerahkan hak-haknya kepada penguasa atau negara. Hak-hak yang diserahkan hanyalah hak yang berkaitan dengan perjanjian negara saja. Sedangkan hak-hak lainnya tetap berada pada masing-masing individu.9 Pengaturan akan perlindungan HAM kemudian tercermin pada UUD NRI 1945 Pasal 28 A – 28 J, kesemuanya memberikan jaminan dan mengatur HAM akan tetapi lebih khusus pada Pasal 28 I menekankan terdapat 7 hak yang tidak dapat dikurangi dalam keadaan apapun. Dari ketujuh hak yang dimaksudkan dalam Pasal 28 I baik tersirat maupun tertulis tidaklah terdapat hak politik (memilih dan dipilih) sebagai muatan dari Pasal 28 I, artinya hak politik (memilih dan pilih) bukanlah bagian dari Hak Asasi yang tidak dapat dikurangi dalam keadaan apapun. 7 Jimly Asshiddiqie, Op.cit., h. 88-92 Fadli Andi Natsif, Op.cit., h. 16 9 Dalam sebuah Tesis yang ditulis oleh Ahmad Ridha, Pemulihan Hak Politik Dalam Sistem Hukum Indonesia, Surabaya, 2016, h. 2 8 4 Ketetapan MPR Nomor XVII/MPR/1998 maupun Undang-undang Nomor 20 Tahun 2001 atas Perubahan Undang-undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusiaadalah sama yakni menganut pendirian bahwa HAM bukan tanpa batas. Pembatasan terhadap HAM yang boleh dibatasi berdasar pada Konvenan Sipil dan Politik salah satunya adalah Pasal 25 yaitu ikut serta dalam pelaksanaan pemerintahan dan hak memilih dan dipilih. Hal ini sesuai dengan amanat Pasal 28J UUD NRI 1945 bahwa HAM bukanlah sebebas-bebasnya melainkan dimungkinkan untuk dibatasi sejauh pembatasan itu ditetapkan dengan undang-undang. Pencabutan Hak Politik terhadap terpidana korupsi bukanlah hal yang tabu untuk diterapkan mengingat tindak pidana korupsi merupakan kejahatan yang merenggut hak asasi masyarakat luas sehingga disebut sebagai extra ordinary crime. Dengan menekankan asas keadilan atas perbuatan yang telah melanggar hak asasi orang lain, maka pencabutan hak politik terpidana korupsi tidak melanggar HAM sebagai konsep negara hukum. Meskipun hak politik (memilih dan dipilih) telah diatur secara konstitusional, akan tetapi baik UUD NRI 1945 ataupun undang-undang, khususnya dalam UndangUndang HAM bahwa hak politik termasuk dalam katagori derogable rights atau hak yang dapat dilanggar oleh penegak hukum demi rasa keadilan dalam masyarakat. Penerapan sanksi pidana berupa pencabutan hak politik dibenarkan berdasarkan Pasal 18 ayat (1) huruf d Undang-Undang 31 Tahun 1999 dan KUHP (Pasal 10 huruf b, Pasal 35, Pasal 38) termasuk dalam konteks perbuatan/tindak pidana korupsi. Dengan adanya pidana tambahan berupa pencabutan hak dapat membuat jera pelaku tindak pidana korupsi, karena sesuai dengan tujuan utama pemidanaan di samping membuat jera pelaku juga bersifat: preventive, deterrence dan reformative. Sebagai negara demokrasi dengan konsep kedaulatan rakyat yang diimplementasikan perwujudannya melalui Pemilu (dengan partai politik sebagai kendaraan politik) untuk memilih para wakil di parlemen atau pemimpinnya guna menduduki jabatan 5 publik (seperti Kepala Negara/Pemerintahan, Kepala Daerah) akan menjadi sangat berbahaya jika yang terpilih merupakan sosok berkepribadian korup yang akan menciptakan rezim korup dan berakibat serta berdampak pada krisis ekonomi, krisis pemerintahan, krisis hukum dan berujung pada krisis kepercayaan. Karena dari para politisi yang terpilih inilah nantinya akan diberi kepercayaan jabatan penyelenggara negara untuk mengelola keuangan negara dan menentukan alokasi anggaran pemerintah (hak budgeting), melaksanakan amanat dan membuat undang-undang, menentukan arah kebijakan pembangunan (termasuk pembangunan hukum dimana hal ini berdasarkan kenyataan jika setiap produk hukum (undang-undang) merupakan keputusan politik, sehingga hukum bisa dilihat sebagai perwujudan dan pemikiran politik yang saling berinteraksi dikalangan para politisi yang ada di Parlemen). Catatan sejarah pemberantasan korupsi Indonesia sudah mencatat banyak pelaku tindak pidana korupsi yang berlatar belakang pejabat publik dikenakan sanksi pidana kemudian berstatus terpidana, akan tetapi kembali lagi bangkit dan berusaha eksis untuk kembali mendapatkan jabatan jabatan di eksekutif dan penyelenggara negara. Seperti diantaranya; Azirwan (terpidana suap terhadap anggota DPR-RI Al Amin Nasution yang kemudian menjadi Kadis Kelautan & Perikanan Prov. Kepri), Beberapa eks-anggota DPRD Prov. Papua Barat diantaranya : Jimmi Damianus Idjie, Chaidir Jafar, Robert Riwu dkk (Kesemuanya adalah anggota DPRD Papua Barat periode 2009 - 2014 adalah terpidana korupsi penyalahgunaan APBD Papua Barat 2011 sebesar Rp 22 Milyar)," Teddy Tengko (Bupati Kab. Kepulauan Aru terkait Terpidana Korupsi APBD dari Maluku Utara yang masih bersikuku huntuk menjabat), yang pada akhirnya mampu membuat usaha negara untuk memberantas korupsi menjadi kontradiktif karena dalam penyelenggaraan pemerintah dan bernegara menjunjung tinggi etika, moral dan kejujuran dalam kegiatannya berdasarkan Pancasila dan UUD NRI 1945. Pentingnya fungsi politik dalam sendi-sendi kehidupan bernegara, maka sudah selayaknya untuk menjaga konsistensi Negara Indonesia untuk mewujudkan penyelenggaraan pemerintahan yang bersih dan bebas KKN. 6 Atmosfir perpolitikan yang sehat dalam demokrasi yang sedang dibangun, serta memperbesar daya tangkal dan cegah pemberantasan korupsi dan memberikan kesempatan pada putra putri bangsa terbaik lainnya berkesempatan berkarya di dunia politik, maka sangat tepat bila hak dipilih terpidana korupsi dicabut. Bangsa Indonesia tidak boleh dikelola atau dipimpin oleh politisi yang telah tercela harkat dan martabatnya dan kredibilitasnya akibat perbuatan korup yang pernah dilakukannya. B. Pendapat Kontra Pencabutan Hak Politik Terpidana Korupsi Sebagai negara yang berdasarkan atas hukum (rule of law), munculnya wacana pencabutan hak politik terhadap terpidana tindak pidana korupsi tentunya menjadi sebuah langkah mundur dalam perlindungan dan penegakan HAM. Hal ini tidak lepas dari posisi hak politik yang merupakan hak fundamental seseorang dalam kaitannya dengan kehidupan bernegara. Hak politik pada intinya mengatur mengenai hubungan antara individu dan organorgan negaranya.10 Hak politik juga didefinisikan sebagai hak untuk ikut serta dalam pemerintahan, hak pilih (memilih dan dipilih dalam pemilihan umum), hak mendirikan partai politik dan sebagainya. 11 Pencabutan hak politik bagi terpidana korupsi khususnya hak untuk memilih dan dipilih merupakan tindakan yang berlebihan. Memilih dan dipilih berarti menggunakan pikiran dan hati nurani secara merdeka tanpa ada intervensi siapapun. Pada hakikatnya, hak politik yang merupakan warisan dari aliran Liberalisme abad ke-17 dan ke-18 sangat menekankan aspek kebebasan individu. Hak politik bisa dikatakan merupakan bagian utama dari perjuangan untuk menegakkan kehidupan demokrasi. Hak politik dimaksud untuk melindungi individu dari penyalahgunaan kekuasaan oleh pihak penguasa atau negara. Sehingga dalam pelaksanaan hak politik, kewenangan negara perlu dibatasi dalam peraturan perundang-undangan agar 10 Scott Davidson, “Introduction”, dalam Alex Conte et al., Defining Civil and Political Rights: The Jurisprudence of The United Nations Human Rights Committee, Ashgate, England, 2004, h. 7-8. 11 C.S.T. Kansil dan Christine S.T. Kansil, Sekitar Hak Asasi Manusia Dewasa Ini, Djambatan, Jakarta, 2003, h. 13. 7 campurtangan negara dalam kehidupan warga negaranya tidak melampaui batas-batas tertentu.12 Saldi Isra mengemukakan “Hak konstitusional warga negara untuk memilih dan dipilih adalah hak yang dijamin oleh konstitusi, undang-undang dan konvensi internasional, sehingga pembatasan penyimpangan dan peniadaan serta penghapusan akan hak dimaksud merupakan pelanggaran terhadap hak asasi warga negara”. 13 Meskipun dalam ketentuan Pasal 38 KUHP diatur mengenai lamanya penerapan pidana tambahan berupapencabutan hak tertentu termasuk hak politik, akan tetapi pada kenyataannya, putusan hakim tidak selalu menyebutkan secara pasti lamanya pencabutan hak yang merupakan pidana tambahan seperti pada Putusan Mahkamah Agung Nomor 537 K/Pid.Sus/2014 atas nama terpidana Irjen Pol. Djoko Susilo dan Putusan Mahkamah Agung Nomor 1195 K/Pid.Sus/2014 atas nama Luthfi Hasan Ishaq. Putusan yang tidak mencantumkan lama waktu pencabutan seperti ini mengakibat kepastian hukum pidana tambahan pencabutan hak politik yang dijatuhkan menjadi kabur. Sebagaimana dalam kasus Djoko Susilo 14 yang tidak dicantumkan lamanya pencabutan hak tersebut berarti telah menghapus atau meniadakan hak memilih dan dipilih yang seyogianya disandang oleh terpidana tersebut sebagai seorang warga negara. Hal tersebut kontradiktif dengan pengakuan dan perlindungan HAM dalam Pasal 28D ayat (3) UUD NRI 1945, ditambah lagi mekanisme pemulihan hak politik masih menjadi bagian dari kekosongan hukum yang belum terjawab. Selain masalah mekanisme pemulihan hak politik, hal yang perlu diperhatikan yaitu tidak ada tolok ukur tentang bobot dan jenis tindak pidana korupsi yang dapat dikenakan pencabutan hak politik. Hal ini dapat menimbulkan perbedaan pendapat dikalangan para hakim dalam pertimbangan 12 220-221. Miriam Budiarjo, Dasar-dasar ilmu politik, Gramedia pustaka utama, Jakarta, 2008, h. 13 Safwa almahyra, Pencabutan hak politik bagi koruptor, diakses dari www.google.co.id/amp/safwaalmahyra.wordpress.com, pada tanggal 22 mei 2017 pukul 18.18 14 Opct, h. 11. 8 untuk memutus perkara tindak pidana korupsi, sehingga dissenting opinion dikalangan hakim yang memutus tidak dapat terelakkan. Seperti halnya Pejabat Pembuat Komitmen (PPK) dalam pengadaan barang dan jasa pemerintah,yang mana tugasnya berkaitan erat dengan penggunaan anggaran negara. Kerap terjadi, PPK menyerahkan perhitungan Harga Perkiraan Sementara (HPS) kepadapenyedia barang dan jasa yang melakukan markupharga untuk memperoleh keuntungan pribadi. Tanpa adanya rekayasa, PPK yang ‘murni’ lalai langsung menyetujui harga tersebut tanpa melakukan pengecekan kembali. Akibatnya saat dilakukan audit ditemukanmark-up yang merugikan keuangan negara.Jika merujuk pada pengertian korupsi berdasarkan undang-undang, maka apa yang dilakukan oleh PPK tersebut dapat dikategorikan sebagai tindakan pidana karena telah menimbulkan kerugian keuangan negara sekalipun sejatinya PPK tersebut tergolong melakukan maladministrasi. Penerapan pidana pencabutan hak politik terpidana korupsi sangatlah tidak tepat karena dampak yang akan ditimbulkan setelah hak politik seseorang dicabut adalah dampak yang sangat serius. Begitu pula kecenderungan potensi masalah yang timbul menyertainya dalam kelemahan sistem pemberantasan korupsi di Indonesia. Jika ide dasar pencabutan hak politik terpidana koruspi ini adalah untuk menghalangi eks-koruptor untuk terpilih kembali dalam kontestasi demokrasi elektoral, maka cukuplah label eks-koruptor yang melekat pada dirinya tersebut menjadi pengingat pada para calon pemilih agar lebih kritis dan selektif dalam memilih.Hal tersebut sudah lebih dari cukup untuk memberikan efek jera tanpa melampaui batas perlindungan HAM seseorang khususnya dimensi hak politiknya. 9 III. PENUTUP A. Simpulan Pencabutan hak politik bagi terpidana korupsi merupakan langkah yang sah dan dan dipandang perlu untuk meneguhkan semangat pemberantasan tindak pidana korupsi. Kendatipun demikian tidak berarti pencabutan hak politik tidak mengundang perbedaan pendapat. Setidaknya terdapat beberapa perbedaan konsepsi pencabutan hak politik baik dari perspektif pro maupun kontra. Selain itu produk hukum tentang pencabutan hak politk masih banyak mengandung problematika hukum, seperti kepastian hukum tentang lama hak politik tersebut dicabut, klassifikasi tindak pidana yang boleh dicabut hak politiknya, serta mekanisme pemulihan hak politik tersebut. B. Saran Pencabutan hak politik merupakan wajah nyata akan semangat pemberantasan tindak pidana korupsi, sehingga perlu perhatian lebih dan kesatuan persepsi akan konsep tentang HAM maupun penegakan hukum di Indonesia. Berikut beberapa rekomendasi hukum yang dapat penulis paparkan, yaitu; a. Pengklassifikasian jenis dan bobot tindak pidana yang dapat dicabut hak poitiknya; b. Adanya kejelasan kepastian hukum terhadap lama hak politik dicabut; dan c. Pembuatan produk hukum berupa mekanisme pemulihan hak politik. 10 IV. DAFTAR PUSTAKA Undang-Undang - UUD NRI 1945 - Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Perubahan atas UndangUndang Nomor 31 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. Buku - Jimly Asshiddiqie, Konstitusi dan Konstitusionalisme, Sinar Grafika, Jakarta, 2010.Andrey Sujatmoko, Hukum Ham Dan Hukum Humaniter, Rajawali Pers, Jakarta, 2015. - Fadli Andi Natsif, Kejahatan HAM: Perspektif Hukum Pidana Nasional dan Hukum Pidana Internasional, Rajawali Pers, Jakarta, 2016. - Alex Conte et al., Defining Civil and Political Rights: The Jurisprudence of The United Nations Human Rights Committee, Ashgate, England, 2004. - C.S.T. Kansil dan Christine S.T. Kansil, Sekitar Hak Asasi Manusia Dewasa Ini, Djambatan, Jakarta, 2003. - Miriam Budiarjo, Dasar-dasar ilmu politik, Gramedia pustaka utama, Jakarta, 2008. Karya Tulis - Ahmad Ridha, Pemulihan Hak Politik Dalam Sistem Hukum Indonesia, Tesis, Fakultas Hukum Universitas Airlangga, Surabaya, 2016. Internet - Safwa almahyra,Pencabutan hak politik bagi koruptor, diakses dari www.google.co.id/amp/safwaalmahyra.wordpress.com 11