Uploaded by syahrialmaulana3

KONEKSITAS

advertisement
KONEKSITAS
Koneksitas adalah ;
- Tindak pidana yang dilakukan bersama-sama,
- oleh mereka yang termasuk lingkungan peradilan umum dan lingkungan peradilan militer,
- diperiksa dan diadili oleh pengadilan dalam lingkungan peradilan umum,
- kecuali jika menurut keputusan Menteri Pertahanan dan Kemanan dengan persetujuan Menteri
Kehakiman,
- perkara itu harus diperiksa dan diadili oleh pengadilan dalam lingkungan peradilan militer. (Pasal 89
ayat (1).
Penyidikan perkara pidana koneksitas;
- dilaksanakan oleh suatu tim tetap,
- terdiri dari penyidik sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6 dan polisi militer Angkatan Bersenjata
Republik Indonesia, dan
- oditur militer tinggi sesuai dengan wewenang mereka masing-masing menurut hukum yang berlaku
untuk penyidikan perkara pidana.
Pasal 89 ayat (2).
Tim tetap adalah;
- tim yang dibentuk dengan surat keputusan bersama,
- Menteri Pertahanan dan Keamanan dan Menteri Kehakiman. Pasal 89 ayat (3).
Tata cara menetapkan kewenangan mengadili perkara tindak pidana koneksitas :
1. diadakan penelitian bersama oleh jaksa tinggi dan oditur militer atau oditur militer tinggi atas dasar
hasil penyidikan tim tersebut. Pasal 90 ayat (1).
2. Pendapat dari penelitian bersama tersebut dituangkan dalam berita acara yang ditanda tangani oleh
para pihak. Pasal 90 ayat (2).
3. Jika dalam penelitian bersama terdapat persesuaian pendapat tentang pengadilan yang berwenang
mengadili perkara tersebut, maka hal itu dilaporkan oleh jaksa atau jaksa tinggi kepada Jaksa Agung dan
oleh oditur militer atau oditur militer tinggi kepada Oditur Jendral Angkatan Bersenjata Republik
Indonesia. Pasal 90 ayat (3).
Menetapkan tentang wewenang mengadili;
apabila titik berat kerugian yang ditimbulkan oleh tindak pidana tersebut terletak pada kepentingan
umum,
- perkara pidana itu harus diadili oleh pengadilan dalam lingkungan peradilan umum,
- maka perwira penyerah perkara yang diserahkan melalui oditur militer atau oditur militer tinggi kepada
penuntut umum,
- untuk dijadikan dasar mengajukan perkara tersebut kepada pengadilan negeri yang berwenang.
Pasal 91 ayat (1)
Apabila menurut pendapat itu titik berat kerugian terletak pada kepentingan militer.
- perkara pidana itu harus diadili oleh pengadilan dalam lingkungan peradilan militer,
- pendapat sebagaimana dimaksud dalam Pasal 90 ayat (1) dijadikan dasar bagi Oditur Jendral Angkatan
Bersenjata Republik Indonesia,
- untuk mengusulkan kepada Menteri pertahanan dan Keamanan,
- agar dengan persetujuan Menteri Kehakiman dikeluarkan keputusan Menteri Pertahanan dan
Keamanan yang menetapkan, bahwa
- perkara pidana tersebut diadili oleh pengadilan dalam lingkungan peradilan militer. Pasal 91 ayat (2).
PROSEDUR PEMERIKSAAN PENGADILAN DALAM PERKARA KONEKSITAS.
1. Peradilan umum.
Langkah-langkah peradilan dalam hal telah ditetapkan bahwa perkara pidana diadili oleh pengadilan
dalam lingkungan peradilan umum, maka langkah selanjutnya adalah;
1.1. Penyerahan perkara;
Perwira penyerah perkara segera membuat surat keputusan penyerahan perkara yang diserahkan
melalui oditur militer atau oditur militer tinggi kepada penuntut umum, untuk dijadikan dasar
mengajukan perkara tersebut kepada pengadilan negeri yang berwenang. Pasal 91 ayat (1).
1.2. Berita acara pemeriksaan;
- penuntut umum yang mengajukan perkara,
- menerangkan dalam berita acara tersebut telah di ambil alih olehnya. Pasal 92 ayat (1).
1.3. Pemeriksaan pengadilan;
Perkara tersebut diadili dengan majelis hakim yang terdiri dari sekurang-kurangnya tiga orang hakim.
Pasal 94 ayat (1).
2. Peradilan militer;
Langkah - langkah peradilan dalam hal telah ditetapkan bahwa perkara pidana diadili oleh pengadilan
dalam lingkungan peradilan militer, maka langkah selanjutnya adalah;
2.1. Usul kepada Menhankam.
- Perwira penyerah perkara,
- segera membuat surat keputusan penyerahan perkara yang diserahkan melalui oditur militer atau
oditur mili-ter tinggi kepada oditur jendral ABRI,
- untuk dijadikan dasar usulan mengajukan perkara,
- kepada Menteri Pertahanan dan Keamanan,
- agar dengan persetujuan Menteri Kehakiman,
- dikeluarkan keputusan yang menetapkan,
- perkara pidana tersebut diadili oleh pengadilan dalam lingkungan peradilan militer.
Pasal 91 ayat (2).
2.2. Berita acara pemeriksaan;
- Oditur militer menambahi catatan pada berita acara yang dibuat oleh tim,
- menerangkan dalam berita acara tersebut telah di ambil alih olehnya.
Pasal 92 ayat (2).
2.3. Pemeriksaan pengadilan;
Berdasarkan surat keputusan Menhankam, perwira penyerah perkara dan jaksa atau jaksa tinggi
menyerahkan perkara tersebut kepada mahkamah militer atau mahkamah militer tinggi. Pasal 91 ayat
(3).
Bilamana terjadi perbedaan pendapat dalam wewenang mengadili.
1. Apabila dalam penelitian sebagaimana dimaksud dalam Pasal 90 ayat (1) terdapat perbedaan
pendapat antara penuntut umum dan oditur militer atau oditur militer tinggi, mereka masing-masing
melaporkan tentang perbedaan pendapat itu secara tertulis, dengan disertai berkas perkara yang
bersangkutan melalui jaksa tinggi, kepada Jaksa Agung dan kepada Oditur Jendral Angkatan Bersenjata
Republik Indonesia. Pasal 93 ayat (1).
2. Jaksa Agung dan Oditur Jendral Angkatan Bersenjata Republik Indonesia bermusyawarah untuk
mengambil keputusan guna mengakhiri perbedaan pendapat seba-gaimana dimaksud dalam ayat
(1)……Pasal 93 ayat (2).
3. Dalam hal terjadi perbedaan antara Jaksa Agung dan Oditur Jendral Angkatan Bersenjata Republik
Indonesia, pendapat Jaksa Agung yang memutuskan.
Pasal 93 ayat (3).
Komposisi majelis hakim yang mengadili perkara koneksitas :
1. Dalam hal mengadili perkara koneksitas, baik diadili oleh pengadilan dalam lingkungan peradilan
umum atau dalam lingkungan peradilan militer terdiri dari sekurang-kurangnya tiga hakim. Pasal 94 ayat
(1).
2. Dalam hal pengadilan dalam lingkungan peradilan umum yang mengadili perkara pidana, majelis
hakim terdiri dari hakim ketua dari lingkungan peradilan umum dan hakim anggota masing-masing
ditetapkan dari peradilan umum dan hakim anggota masing-masing ditetapkan dari peradilan umum
dan peradilan militer secara berimbang. Pasal 94 ayat (2).
3. Dalam hal pengadilan dalam lingkungan peradilan militer yang mengadili perkara pidana tersebut
majelis hakim terdiri, hakim ketua dari lingkungan peradilan militer dan hakim anggota secara
berimbang dari masing-masing lingkungan peradilan militer dan dari peradilan umum diberi pangkat
militer. Pasal 94 ayat (3).
4. Ketentuan tersebut pada ayat (2) dan ayat (3) berlaku juga bagi pengadilan tingkat banding. Pasal 94
ayat (4).
5. Menteri Kehakiman dan Menteri Pertahanan dan Keamanan secara timbale balik mengusulkan
pengangkatan hakim anggota sebagaimana dimaksud dalam ayat (2), ayat (3) dan ayat (4) dan hakim
perwira sebagai-mana dimaksud dalam ayat (3) dan ayat (4).
Pasal 94 ayat (5).
KEWENANGAN PERADILAN DALAM PERKARA KONEKSITAS
Konstitusi Negara Indonesia mengatakan bahwa segala warga negara bersamaan
kedudukannya di dalam hukum dan pemerintahan dan wajib menjunjung hukum dan
pemerintahan itu dengan tidak ada kecualinya. (Pasal 27 ayat (1) UUD 1945)
amandemen ke empat.
Dengan demikian sebenarnya baik dalam kehidupan sehari-hari maupun dalam
menjalankan pemerintahan tidak boleh ada warga negara yang mempunyai
keistimewaan termasuk dalam masalah peradilan, semua warga negara harus tunduk
dan patuh kepada keputusan hukum dan diperlakukan sama apabila salah seorang
warga negara tersangkut perkara hukum.
Oleh karena itu pengadilan harus bisa menjalankan dan mengayomi para pihak yang
berperkara di pengadilan, baik dari kalangan rakyat sipil, militer maupun polri.
Secara yuridis eksistensi peradilan dimuat dalam Pasal 2 ayat (2)
UU No. 4 Tahun 2004 tentang Kekuasaan Kehakiman yang berbunyi : “Kekuasaan
Kehakiman dilakukan oleh Sebuah Mahkamah Agung dan badan peradilan yang berada
dibawahnya dalam lingkungan peradilan umum, lingkungan peradilan agama, lingkungan
peradilan militer, lingkungan peradilan tata usaha negara dan sebuah mahkamah
konstitusi”.
Mengingat kejahatan bisa dilakukan oleh setiap orang baik dari kalangan sipil maupun
militer, maka sebuah peradilan harus bebas dari pengaruh dan interpensi dari siapapun.
Koneksitas adalah : Tindak pidana yang dilakukan bersama-sama oleh mereka yang
termasuk lingkungan peradilan umum dan lingkungan peradilan militer, diperiksa dan
diadili oleh pengadilan dalam lingkungan peradilan umum kecuali jika menurut
keputusan Menteri Pertahanan dan Kemanan dengan persetujuan Menteri Kehakiman
perkara itu harus diperiksa dan diadili oleh pengadilan dalam lingkungan peradilan militer.
(Pasal 89 UU No. 8 Tahun 1981 tentang KUHAP).
Koneksitas adalah : Tindak pidana yang dilakukan bersama-sama oleh mereka yang
termasuk yustisiabel peradilan militer dan yustisiabel peradilan umum, diperiksa dan
diadili oleh Pengadilan dalam lingkungan peradilan umum kecuali apabila menurut
keputusan Menteri dengan persetujuan Menteri Kehakiman perkara itu harus diperiksa
dan diadili oleh Pengadilan dalam lingkungan peradilan militer. (Pasal 198 UU NO. 31
Tahun 1997 Tantang Peradilan Militer).
KEWENANGAN PERADILAN MILITER
Pasal 9 Undang-Undang No. 31 Tahun 1997 Tentang Peradilan Militer
Pengadilan dalam lingkungan peradilan militer berwenang:
1. Mengadili tindak pidana yang dilakukan oleh seseorang yang pada waktu melakukan tindak
pidana adalah:
a. Prajurit;
b. yang berdasarkan undang-undang dipersamakan dengan Prajurit;
c. anggota suatu golongan atau jawatan atau badan atau yang dipersamakan atau dianggap
sebagai Prajurit berdasarkan undang-undang;
d. seseorang yang tidak masuk golongan pada huruf a, huruf b, dan huruf c tetapi atas
keputusan Panglima dengan persetujuan Menteri Kehakiman harus diadili oleh suatu
Pengadilan dalam lingkungan peradilan militer.
2. Memeriksa, memutus, dan menyelesaikan sengketa Tata Usaha Angkatan
Bersenjata.
3. Menggabungkan perkara gugatan ganti rugi dalam perkara pidana yang bersangkutan
atas permintaan dari pihak yang dirugikan sebagai akibat yang ditimbulkan oleh tindak
pidana yang menjadi dasar dakwaan, dan sekaligus memutus kedua perkara tersebut
dalam satu putusan.
Pasal 10 Undang-Undang No. 31 Tahun 1997 Tentang Peradilan Militer
Pengadilan dalam lingkungan peradilan militer mengadili tindak pidana yang dilakukan
oleh mereka sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9 angka 1 yang :
a. tempat kejadiannya berada di daerah hukumnya; atau
b. terdakwanya termasuk suatu kesatuan yang berada di daerah hukumnya
Bagaimana menentukan, apakah lingkungkan peradilan militer atau peradilan umum
yang berwenang memeriksa dan mengadili suatu perkara koneksitas?
TINDAK PIDANA YANG DILAKUKAN BERSAMA-SAMA OLEH MEREKA YANG TERMASUK
LINGKUNGAN PERADILAN UMUM DAN LINGKUNGAN PERADILAN MILITER, DIPERIKSA DAN
DIADILI OLEH PENGADILAN DALAM LINGKUNGAN PERADILAN UMUM, KECUALI DALAM
KEADAAN TERTENTU MENURUT KEPUTUSAN KETUA MAHKAMAH AGUNG PERKARA ITU HARUS
DIPERIKSA DAN DI ADILI OLEH PENGADILAN DALAM LINGKUNGAN PERADILAN MILITER
(Pasal 24 UU NO. 4 Tahun 2004 Tentang Kekuasaan Kehakiman)
Bagaimana menentukan, apakah lingkungkan peradilan militer atau peradilan umum
yang berwenang memeriksa dan mengadili suatu perkara koneksitas?
Untuk menentukan apakah pengadilan dalam lingkungan peradilan militer atau
pengadilan dalam lingkungan peradilan umum yang mengadili perkara pidana, diadakan
penelitian bersama oleh Jaksa atau Jaksa Tinggi dan Oditur Militer atau Oditur Militer
Tinggi atas dasar hasil penyidikan tim. Pendapat dari penelitian bersama tersebut
dituangkan dalam berita acara yang di tandatangani oleh Jaksa atau Jaksa Tinggi dan
Oditur Militer atau Oditur Militer Tinggi atas dasar penyidikan tim.
Jika titik berat kerugian yang ditimbulkan oleh tindak pidana tersebut terletak pada
kepentingan umum, maka perkara pidana itu harus diadili di lingkungan peradilan umum.
Jika titik berat kerugian yang timbulkan oleh tindak pidana terletak pada kepentingan
militer,
maka perkara pidana itu harus diadili di lingkungan peradilan militer.
Kesimpulan :


Prajurit TNI yang melakukan tindak pidana koneksitas dapat diadili di peradilan
umum maupun diperadilan militer dengan melihat titik berat kerugian yang
ditimbulkan dari tindak pidana dimaksud.
Dalam UU No. 34 Tahun 2004 Tentang TNI, pada Pasal 65 Ayat (2) secara tegas
dinyatakan bahwa Prajurit TNI tunduk kepada kekuasaan Peradilan Militer dalam
hal pelanggaran militer dan tunduk pada kekuasaan Peradilan Umum dalam hal
pelanggaran hukum pidana umum yang diatur dengan Undang-Undang.
Secara umum perbedaan antara proses pemeriksaan tindak pidana militer dan
proses pemeriksaan koneksitas yaitu :
1. Proses pemeriksaan tindak pidana militer secara keseluruhan dilakukan oleh peradilan
militer sedangkan proses pemeriksaan perkara koneksitas dapat dilakukan pada
pengadilan militer dan juga pada peradilan umum.
2. Proses pemeriksaan tindak pidana militer tunduk pada ketentuan Undang-Undang Nomor
31 Tahun 1997 tentang Peradilan Militer sedangkan perkara koneksitas berpedoman
atau diatur dalam Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP khususnya
dalam Pasal 89 sampai 94.
3. Dalam proses pemeriksaan tindak pidana militer penyidikan dilakukan oleh Atasan yang
berhak Menghukum, Polisi Militer dan Oditur Militer sedangkan dalam perkara koneksitas
pelaksanaan penyidikan yang menurut pendapat A. Abu Ayyub Saleh (2004:4)
dilaksanakan oleh suatu tim tetap yang terdiri dari :
a. Penyidik, sebagaimana yang dimaksud dalam Pasal 6 KUHAP
b. Polisi Militer Angkatan Bersenjata Republik Indonesia
c. Oditur Militer atau Oditur Militer Tinggi
Lebih lanjut menurut A. Abu Ayyub Saleh (2004:5) bahwa :
a. Tim penyidik tersebut di atas melakukan kewenangannya masing-masing sesuai
ketentuan Pasal 89 ayat 2 KUHAP
b. Tim penyidik tersebut dibentuk dengan Surat Keputusan bersama Menteri Pertahanan
dan Keamanan dan Menteri Kehakiman RI sesuai ketentuan Pasal 89 ayat (3) KUHAP.
Konsekuensi Yuridis Setelah Polri Keluar dari ABRI
Setelah institusi Kepolisian Republik Indonesia keluar dari Angkatan Bersenjata
Republik Indonesia tentunya menimbulkan dampak, baik terhadap institusi Polri itu
sendiri maupun institusi ABRI. Dengan keluarnya Polri dari institusi ABRI maka secara
otomatis bagi anggota Polri yang terlibat dalam suatu tindak pidana tidak lagi diperiksa
dan dituntut pada peradilan militer akan tetapi berdasarkan Ketetapan MPR Republik
Indonesia Nomor 3 Tahun 2003 tentang Pelaksanaan Teknis Institusional Peradilan
Umum Bagi Anggota Kepolisian Negara Republik Indonesia khususnya dalam Pasal 2
dijelaskan bahwa :
“Proses peradilan pidana bagi anggota Kepolisian Negara Republik Indonesia secara
umum dilakukan hukum acara yang berlaku di lingkungan peradilan umum”.
Sebelum institusi Polri keluar dari ABRI, apabila ada anggota Polri yang terbukti
atau patut diduga melakukan suatu tindak pidana, maka akan diperiksa oleh peradilan
militer berdasarkan ketentuan Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1997, akan tetapi
dengan keluarnya institusi Polri maka secara yuridis berdampak pada tidak
berwenangnya peradilan militer untuk memeriksa dan mengadili anggota Polri yang
melakukan tindak pidana.
Dalam hal penyidikan suatu tindak pidana yang dilakukan oleh anggota Polri,
maka berdasarkan ketentuan TAP MPR Republik Indonesia Nomor 3 Tahun 2003
tentang Pelaksanaan Teknis Institusional Peradilan Umum Bagi Anggota Kepolisian
Negara Republik Indonesia dalam Pasal 4 dijelaskan :
Penyidikan terhadap Anggota Kepolisian Negara Republik Indonesia yang
melakukan tindak pidana dilakukan oleh penyidik sebagaimana diatur menurut hukum
acara pidana yang berlaku di lingkungan peradilan umum.
Berdasarkan ketentuan tersebut, maka sangat jelas bahwa konsekuensi yuridis
dengan keluarnya Polri dari ABRI yaitu peradilan militer tidak mempunyai kewenangan
untuk memeriksa anggota Polri yang melakukan suatu tindak pidana, akan tetapi Polri
dianggap sebagai pihak sipil dan bukan lagi anggota MIliter yang apabila terbukti
melakukan suatu tindak pidana, maka akan diperiksa berdasarkan ketentuan hukum
acara pidana yang berlaku dalam hal ini Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana
(KUHAP).
Download