KATA PENGANTAR Puji Syukur kami ucapkan kepada Allah SWT yang telah memberikan penulis nikmat Iman, kesehatan, serta keselamatan sehingga penulis dapat menyelesaikan tugas makalah dari mata kuliah Kloning Gen yang berjudul Kloning Gen Tumbuhan “Perbanyakan Jeruk Secara In Vitro”. Makalah ini berisi 3 bab yakni bab 1 berupa pendahuluan yang merupakan uraian gambaran umum dari kloning gen atau kultur jaringan. Bab 2 berupa pembahasan dari kultur jaringan berupa sejarah kultur jaringan, pengertian kultur jaringan, media serta alat yang digunakan dalam kultur jaringan dan aplikasi kultur jaringan tumbuhan. Dan bab 3 berupa kesimpulan yang berupa ringkasan dari pembahasan. Harapan saya semoga makalah ini membantu menambah pengetahuan dan pengalaman bagi para pembaca, sehingga saya dapat memperbaiki bentuk maupun isi makalah ini sehingga kedepannya dapat lebih baik. saya menyadari bahwa makalah ini masih jauh dari sempurna, oleh karena itu kritik dan saran dari semua pihak yang bersifat membangun selalu diharapkan demi kesempurnaan makalah ini. Akhir kata, saya sampaikan terima kasih kepada semua pihak yang telah berperan serta dalam penyusunan Makassar, 25 Oktober 2018 Penulis ii DAFTAR ISI KATA PENGANTAR DAFTAR ISI BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang 1.2 Rumusan Masalah 1.3 Tujuan BAB II PEMBAHASAN 2.1 Pengertian Kultur Jaringan Tumbuhan 2.1.1 Konsep Skoog dan Miller 2.2 Landasan Kultur Jaringan Tumbuhan 2.3 Tujuan Kultur Jaringan Tumbuhan 2.4 Jenis Kultur Jaringan Tumbuhan 2.5 Media Kultur Jaringan Tumbuhan 2.6 Metode Kutur Jaringan Tumbuhan 2.7 Hormon Kultur Jaringan Tumbuhan 2.8 Kelebihan dan Kekurangan Kultur Jaringan Tumbuhan 2.9 Aklimatisasi Tanaman Hasil Kultur In Vitro 2.10 Kultur Jaringan Pada Jeruk BAB III PENUTUP 3.1 Kesimpulan DAFTAR PUSTAKA iii BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Perkembangan bioteknologi salah satunya adalah kultur jaringan, yang hingga sekarang berkembang begitu cepat dan signifikan. Apa dasar utama yang menjadikan kultur jaringan berkembang dengan cepat? Salah satunya adalah teknik pemakaian kultur jaringan yang dengan hanya menggunakan bagian sel tumbuhan, maka akan didapatkan tanaman yang sempurna yang dapat melakukan reproduksi. Jadi sebenarnya apa yang dimaksud dengan kultur jaringan? Kultur Jaringan merupakan suatu metode untuk mengisolasi bagian dari tumbuhan seperti protoplasma sel, jaringan atau organ yang serba steril, ditumbuhkan pada media buatan yang steril dalam botol kultur yang steril dan dalam kondisi yang aseptic, sehingga bagian-bagian tersebut dapat memperbanyak diri dan beregenerasi menjadi tanaman yang lengkap. Beberapa teknik dalam kultur jaringan menuntut syarat-syarat tertentu yang harus dipenuhi dalam pelaksanaanya, dan syarat pokok kultur jaringan adalah laboratorium dengan segala fasilitasnya berupa alat-alat kerja, sarana pendukung terciptanya kondisi aseptic terkendali dan fasilitas dasar seperti air, listrik maupun bahan bakar. Jeruk merupakan salah satu komoditas hortikultura yang mendapat prioritas untuk dikembangkan karena usaha tani jeruk memberikan keuntungan maksimal bagi petani. Pada saat ini pertanaman jeruk rakyat didominasi oleh jeruk keprok dan jeruk pumelo. Kelebihan jeruk keprok dan jeruk pumelo ini antara lain masa panen jeruk yang cepat,rasanya yang manis, produktivitas cukup tinggi, morfologi pohon jeruk yang rendah, serta kemampuan adaptasi yang luas, Daging buahnya mempunyai rasa asam-manis yang merupakan sumber vitamin C alami. Kelemahan jeruk siam ini adalah kulit buah yang kurang menarik, keeratan epicarp pada mesocarp yang cukup erat sehingga menghambat pada waktu pengelupasan serta umumnya berbiji banyak, akibatnya ketika panen harganya rendah. Meski Indonesia disebut sebagai daerah asli jeruk besar, namun negara yang dikenal sebagai pusat pengembangan jeruk besar justru Thailand. Hal ini disebabkan karena usaha pertanaman kebun jeruk di Indonesia kurang didukung oleh penggunaan bibit yang bermutu. Saat ini, penyediaan bibit jeruk besar dilakukan dengan persemaian benih dan okulasi. Kelemahan dari bibit hasil persemaian benih yaitu tidak dapat diperoleh dalam jumlah banyak, sedangkan bibit hasil okulasi seringkali mengalami inkompatibilitas sehingga proses okulasinya gagal. Beberapa hal tersebut mengakibatkan ketersediaan bibit jeruk besar kurang mencukupi. Berdasarkan hal-hal tersebut, maka diperlukan upaya lain untuk melestarikan jeruk keprok dan mewujudkan kontinyuitas ketersediaan bibit jeruk besar yang sesuai dengan tuntutan keadaan pada saat ini. Upaya yang dapat dilakukan yaitu dengan perbanyakan jeruk secara in vitro atau kultur jaringan. Perbanyakan secara in vitro pada jeruk mempunyai tingkat keberhasilan yang tinggi karena pada umumnya tanaman ini dibiakkan secara vegetatif. Menurut Wattimena dan Mattjik (1992) beberapa keuntungan yang didapat dari perbanyakan secara in vitro yaitu kemudahan dalam menyimpan, menghemat pemakaian lahan, tenaga, erosi genetik dapat dicegah, mempermudah pengiriman, dan bebas dari hama penyakit. Untuk meningkat produksi jeruk ini dibutuhkan bibit yang baik dan unggul untuk mendapatkan bibit unggul ini dapat dilakukan dengan cara kultur jaringan. Dalam budidaya tanaman dengan menggunakan teknik kultur jaringan, pemberian zat pengatur tumbuh dalam media tanam dan pemilihan eksplan sebagai bahan inokulum awal yang ditanam dalam media perlu diperhatikan karena mempengaruhi pertumbuhan dan perkembangan eksplan tersebut menjadi bibit yang baru. Perbanyakan jeruk secara in vitro dapat dilakukan dengan menggunakan eksplan biji dan hipokotil. Biji jeruk mempunyai sifat apomiksis sehingga dapat membentuk tanaman yang true to type. Media perbanyakan jeruk secara in vitro yang banyak diujikan dan dipakai yaitu media Murashige dan Skoog yang dikombinasikan dengan Zat Pengatur Tumbuh (ZPT) seperti auksin dan sitokinin. 1.2 Rumusan Masalah 1. Bagaimana pengertian kultur jaringan secara umum? 2. Bagaimana teknik dan media serta alat yang digunakan dalam kultur jaringan tumbuhan? 3. Bagaimana implementasi kultur jaringan pada beberapa species tumbuhan? 4. Bagaimana keuntungan dan kerugian dari kultur jaringan tumbuhan? 5. Faktor yang mempengarui keberhasilan dalam suatu pengkulturan pada jeruk 6. Faktor yang mempengaruhi pertumbuhan dan perkembangan ekplan 7. Bagaimana memperoleh kompatibilitas jeruk manis dengan keprok dan jeruk Pamelo pada penyambungan tunas pucuk secara in vitro 8. pengaruh jenis eksplan terhadap multiplikasi dan pertumbuhan tanaman jeruk besar secara in vitro 1.3 Tujuan 1. Mengetahui pengertian kultur jaringan secara umum. 2. Mengetahui teknik dan media sert alat yang digunakan dalam kultur jaringan tumbuhan. 3. Mengetahui implementasi kultur jaringan pada beberapa species tumbuhan. 4. Mengetahui keuntungan dan kerugian dari kultur jaringan tumbuhan. 5. Mempelajari pengaruh jenis eksplan terhadap multiplikasi dan pertumbuhan tanaman jeruk besar secara in vitro 6. Mendapatkan formulasi media yang sesuai untuk perbanyakan jeruk besar secara in vitro 7. Untuk memperoleh kompatibilitas antara jeruk YC dan manis dengan keprok dan jeruk besar/Pamelo pada penyambungan tunas pucuk secara in vitro BAB II PEMBAHASAN 2.1 Pengertian Kultur Jaringan Kultur jaringan atau budidaya in vitro adalah suatu metode untuk mengisolasi bagian dari tanaman seperti protoplasma, sel, jaringan atau organ yang serba steril, ditumbuhkan pada media buatan yang steril, dalam botol kultur yang steril dan dalam kondisi yang aseptik, sehingga bagianbagian tersebut dapat memperbayak diri dan beregenerasi menjadi tanaman yang lengkap. Kultur jaringan tanaman bermula dari pembuktian teori totipotensi sel yang dikemukakan oleh Schwann dan Schleiden (1838). Menurut teori ini, setiap sel tanaman hidup mempunyai informasi genetik dan perangkat fisiologis yang lengkap untuk dapat tumbuh dan berkembang menjadi tanaman utuh, jika kondisinya sesuai. Kultur jaringan adalah serangkaian kegiatan yang dilakukan untuk membuat bagian tanaman (akar, tunas, jaringan tumbuh tanaman) tumbuh menjadi tanaman utuh (sempurna) dikondisi invitro (didalam gelas). Jadi Kultur in vitro dapat diartikan sebagai bagian jaringan yang dibiakkan di dalam tabung inkubasi atau cawan petri dari kaca atau material tembus pandang lainnya. Secara teoritis teknik kultur jaringan dapat dilakukan untuk semua jaringan, baik dari tumbuhan, hewan, bahkan juga manusia, karena berdasarkan teori Totipotensi Sel (Total Genetic Potential), bahwa setiap sel memiliki potensi genetik seperti zigot yaitu mampu memperbanyak diri dan berediferensiasi menjadi tanaman lengkap. Sel dari suatu organisme multiseluler di mana pun letaknya, sebenarnya sama dengan sel zigot karena berasal dari satu sel tersebut, setiap sel berasal dari satu sel. Menurut Suryowinoto (1991), kultur jaringan dalam bahasa asing disebut sebagai tissue culture. Kultur adalah budidaya dan jaringan adalah sekelompok sel yang mempunyai bentuk dan fungsi yang sama. jadi, kultur jaringan berarti membudidayakan suatu jaringan tanaman menjadi tanaman kecil yang mempunyai sifat seperti induknya. Kultur jaringan (Tissue Culture) merupakan salah satu cara perbanyakan tanaman secara vegetatif. Kultur jaringan merupakan teknik perbanyakan tanaman dengan cara mengisolasi bagian tanaman seperti daun, mata tunas, serta menumbuhkan bagian-bagian tersebut dalam media buatan secara aseptik yang kaya nutrisi dan zat pengatur tumbuh dalam wadah tertutup yang tembus cahaya sehingga bagian tanaman dapat memperbanyak diri dan bergenerasi menjadi tanaman lengkap. Prinsip utama dari teknik kultur jaringan adalah perbayakan tanaman dengan menggunakan bagian vegetatif tanaman menggunakan media buatan yang dilakukan di tempat steril. Kultur jaringan merupakan salah satu cara perbanyakan tanaman secara vegetatif. Kultur jaringan merupakan teknik perbanyakan tanaman dengan cara mengisolasi bagian tanaman seperti daun, mata tunas, serta menumbuhkan bagianbagian tersebut dalam media buatan secara aseptik yang kaya nutrisi dan zat pengatur tumbuh dalam wadah tertutup yang tembus cahaya sehingga bagian tanaman dapat memperbanyak diri dan bergenerasi menjadi tanaman lengkap. Prinsip utama dari teknik kultur jaringan adalah perbayakan tanaman dengan menggunakan bagian vegetatif tanaman menggunakan media buatan yang dilakukan di tempat steril. 2.1.1 Konsep Skoog dan Miller Skoog dan Miller mengemukakan bahwa regenerasi tunas dan akar in vitro dikontrol secara hormonal oleh ZPT sitokinin dan auksin. Organogenesis adalah proses terbentuknya organ seperti tunas atau akar, baik secara langsung dari permukaan eksplan atau secara tidak langsung melalui pembentukann kalus terlebih dahulu. Dengan menggunakan eksplan empulur tembakau Skoog dan Miller mendemonstrasikan bahwa nisbah sitokinin dan auksin yang tinggi mendorong pembentukann tunas, sedangkan nisbah sitokinin dan auksin yang rendah mendorong pembentukann akar. Jika diberikan dalam jumlah yang seimbang sitokinin dan auksin akan mendorong pembentukann kalus. Disamping merangsang pembentukann tunas adventif, sitokinin juga merangsang multiplikasi tunas aksilar dan melawan dominasi apikal. Sedangkan auksin merangsang pembentukann akar adventif. Semua perbanyakan tunas tersebut dirangsang oleh sitokinin benziladenin (BA) dalam media kultur (1957). 2.2 Landasan Kultur Jaringan Landasan kultur jaringan didasarkan atas tiga kemampuan dasar dari tanaman, yaitu: 1. Totipotensi adalah potensi atau kemampuan dari sebuah sel untuk tumbuh dan berkembang menjadi tanaman secara utuh jika distimulasi dengar benar dan sesuai. Implikasi dari totipotensi adalah bahwa semua informasi tentang pertumbuhan dan perkembangan suatu organisme terdapat di dalam sel. Walaupun secara teoritis seluruh sel bersifat totipotensi, tetapi yang mengekspresikan keberhasilan terbaik adalah sel yang meristematik. 2. Rediferensiasi adalah kemampuan sel-sel masak (mature) kembali menjadi ke kondisi meristematik dan dan berkembang dari satu titik pertumbuhan baru yang diikuti oleh rediferensiasi yang mampu melakukan reorganisasi manjadi organ baru. 3. Kompetensi menggambarkan potensi endogen dari sel atau jaringan untuk tumbuh dan berkembang dalam satu jalur tertentu. Contohnya embrioagenikali kompeten sel adalah kemampuan untuk berkembang menjadi embrio funsional penuh. Sebaliknya adalah non-kompeten atau morfogenetikali tidak mempunyai kemampuan. 2.3 Tujuan Kultur Jaringan Saat ini teknik kultur jaringan tumbuhan bukan hanya sebagai sarana untuk mempelajari aspek-aspek fisiologi dan biokimia tanaman saja, tetapi sudah berkembang menjadi metode untuk berbagai tujuan yakni : a. Mikropropagasi (perbanyakan tanaman secara mikro) Teknik kultur jaringan telah digunakan dalam membantu produksi tanaman dalam skala besar melalui mikropropagasi atau perbanyakan klonal dari berbagai jenis tanaman. Jaringan tanaman dalam jumlah yang sedikit dapat menghasilkan ratusan atau ribuan tanaman secara terus menerus. Teknik ini telah digunakan dalam skala industri di berbagai negara untuk memproduksi secara komersial berbagai jenis tanaman seperti tanaman hias (anggrek, bunga potong, dll.), tanaman buah-buahan (seperti pisang), tanaman industri dan kehutanan (kopi, jati, dll). Dengan menggunakan metoda kultur jaringan, jutaan tanaman dengan sifat genetis yang sama dapat diperoleh hanya dengan berasal dari satu mata tunas. Oleh karena itu metoda ini menjadi salah satu alternatif dalam perbanyakan tanaman secara vegetatif. b. Pebaikan Tanaman Dalam usaha perbaikan tanaman melalui metoda pemuliaan secara konvensional, untuk mendapatkan galur murni diperlukan waktu enam sampai tujuh generasi hasil penyerbukan sendiri maupun persilangan. Melalui teknik kultur jaringan, dapat diperoleh tanaman homosigot dalam waktu singkat dengan cara memproduksi tanaman haploid melalui kultur polen, antera atau ovari yang diikuti dengan penggandaan kromosom. Tanaman homosigot ini dapat digunakan sebagai bahan pemuliaan tanaman dalam rangka perbaikan sifat tanaman. c. Produksi Tanaman yang Bebas Penyakit Teknologi kultur jaringan telah memberikan kontribusinya dalam mendapatkan tanaman yang bebas dari virus. Pada tanaman yang telah terinfeksi virus, sel-sel pada tunas ujung (meristem) merupakan daerah yang tidak terinfeksi virus. Dengan cara mengkulturkan bagian meristem akan diperoleh tanaman yang bebas virus. d. Transformasi Genetik Teknik kultur jaringan telah menjadi bagian penting dalam membantu keberhasilan rekayasa genetika tanaman (transfer gen). Sebagai contoh transfer gen bakteri (seperti gen cry dari Bacillus thuringiensis) ke dalam sel tanaman akan terekspresi setelah regenerasi tanaman transgeniknya tercapai. e. Produksi Senyawa Metabolit Sekunder Jadi, Kultur jaringan tumbuhan juga dapat digunakan untuk memproduksi senyawa biokimia (metabolit sekunder) seperti alkaloid, terpenoid, phenyl propanoid dll. Teknologi ini sekarang sudah tersedia dalam skala industri. Sebagai contoh produksi secara komersial senyawa “shikonin” dari kultur sel Lithospermum erythrorhizon. Kegunaan utama dari kultur jaringan adalah untuk mendapatkan tanaman baru dalam jumlah banyak dalam waktu yang relatif singkat, yang mempunyai sifat fisiologi dan morfologi sama persis dengan induknya. Dari teknik kultur jaringan tanaman ini diharapkan juga memperoleh tanaman baru yang bersifat unggul. Secara lebih rinci dan jelas berikut ini akan dibahas secara khusus manfaat dari kultur jaringan antara lain: Mendapatkan tanaman baru dalam jumlah banyak dalam waktu yang relatif singkat, yang mempunyai sifat fisiologi dan morfologi sama persis dengan induknya. Dari teknik kultur jaringan tanaman ini diharapkan juga memperoleh tanaman baru yang bersifat unggul. Dapat diperoleh sifat-sifat tanaman yang dikehendaki Metabolit sekunder tanaman segera didapat tanpa perlu menunggu tanaman dewasa Produksi tanaman bebas virus dengan teknik kultur meristem. Pelestarian plasma nutfah tanaman juga dapat dilakukan dengan teknik kultur jaringan dengan penyimpanan untuk jangka panjang dengan penggunaan nitrogen cair pada temperatur –196oC. Ada juga penyimpanan sementara, yaitu pada temperatur antara 0oC sampai –9oC. Untuk dapat menghasilkan tanaman dengan jumlah banyak dan beragam. Perbanyakan tanaman secara besar-besaran telah dibuktikan keberhasilannya pada perkebunan kelapa sawit dan tebu. Dengan cara kultur jaringan dapat klon suatu komoditas tanaman dalam relatif cepat. Manfaat yang dapat diperoleh cukup banyak, misalnya: di luar pulau Jawa akan didirikan suatu perkebunan yang membutuhkan bibit tanaman dalam jumlah ribuan, maka sudah dapat dibayangkan betapa mahalnya biayanya hanya untuk trasnportasi saja. Hal ini dapat diatasi denga usaha kultur jaringan, karena hanya perlu membawa beberapa puluh botol planlet yang berisi ribuan bibit. Dengan cara ini dapat menghemat waktu dan biaya yang cukup banyak dalam persiapan pemberangkatan ataupun transportasinya. Pada ekspor anggrek, misalnya, orang luar negeri menghendaki bunga anggrek yang seragam baik bentuk maupun warnanya. Dalam hal ini dapat dipenuhi juga dengan usaha kultur jaringan. Bibit-bibit tanaman dari usaha mericlono (tanaman hasil budidaya meristem) akan berharga lebih mahal, karena induknya dipilih dari tanaman yang mempunyai sifat paling bagus (unggul). Usaha yang paling tepat untuk melestarikan tanaman yang terancam punah. Dengan usaha kultur jaringan ini, populasi dari tanaman tersebut akan terselamatkan, bahkan dapat bertambah, sekaligus sifat-sifat yang dimiliki oleh tanaman tersebut tetap terjamin. Kultur jaringan juga mempunyai manfaat yang besar dibidang farmasi, karena dari usaha ini dapat dihasilkan metabolit skunder upaya untuk pembuatan obat-obatan, yaitu dengan memisahkan unsur-unsur yang terdapat di dalam kalus ataupun protokormus, misalnya alkoloid, steroid, dan terponoid. Dengan ditemukannya cara mendapatkan metabolit skunderdari kalus suatu eksplan yang di tumbuhkan dalam medium kultur jaringan, maka berarti dapat menghemat waktu dan tenaga. Persenyawaan yang bermanfaat yang diambil dari kalus dapat ditingkatkan kadarnya dengan cara memanipulasinya. Kultur jaringan juga sangat bermanfaat dibidang fisiologi tanaman. Pada tanaman anggrek misalnya, telah berhasil diketahui bahwa jika ujung akarnya diiris melintang akan memperlihatkan warna tertentu. Warna tersebut nantinya akan sama dengan warna bunganya. Hal ini sangat berguna dalam bidang perdangan bunga hias, sebab walaupun tanamannya belum berbunga orang sudah dapat mengetahui warna bunga yang akan muncul. Melalui perbanyakan vegetatif dengan kultur jaringan ternyata juga berpengaruh terhadap devisa negara. Misalnya, dengan terlaksananya ekspor tanaman anggrek ke negara lain, maka akan menaikkan devisan negara dibidang pertanian. Pelaksanaannya tidak tergantung pada musim 2.4 Jenis Kultur Jaringan Tumbuhan 1. Kultur meristem Kultur meristem adalah kultur yang menggunakan eksplan yang berasal dari jaringan meristem, biasanya di peroleh dari meristem apikalnatau meristem tunas aksilar. Pada ujung pucuk, jaringan ini berada dibagian dalam, oleh karena itu, untuk mengambil jaringan ini agar dapat digunakan sebagai eksplan, kita membutuhkan mikroskop. Jadi pada setiap pengambilan sampel, terlebih dahulu dilakukan pengirisan bagian pucuk secara transversal, lalu jaringan meristem yang tertutupi oleh primordia daun akan dapat diambil, semua kegiatan ini dilakukan dibawah mikroskop. Apabila kultur meristem ini adalah untuk mengeliminir penyakit, terutama virus, karena jaringannya jauh berada dibagian dalam, sehingga penetrasi penyakit diharapkan belum menjauhkan jaringan ini, penyimpanan plasma nutfah bebas virus. Kultur meristem telah banyak diterapkan pada berbagai tanaman. Pada anggrek cymbidium, ternyata dengan teknik ini dapat dihasilkan kelipatan jumlah planlet dibanding kultur lainnya. Tanaman yang dihasilkan dari kultur meristem ini berasal dari jaringan vegetatif, sehingga planlet yang dihasilkan berupa klon ( seragam ). Untuk pelaksanaan perbanyakan mikro dengan teknik kultur jaringan ini, apabila kita mengguanakan eksplannya adalah daerah meristem pucuk (yaitu bagian ujung dari pucuk, dimana jaringannya terdapat dibagian dalam dan banyak dilapisi oleh jaringan – jaringan primordial yang nantinya akan membentuk tunas dan daun ) yang berukuran sangat kecil ( 0,2 mm ), dan dalam pelaksanaanya digunakan perlakuan pemberian zat kimia untuk membunuh penyakit, maka hasi yang diperoleh kemungkinan besar adalah bebas patogen. Tanaman yang dihasilkan dari kultur meristem disebut meriklon ( mericlone ). Saat ini sudah banyak beredar anggrek meriklon terutama, vanda dan cymbidium, karena harganya yang cukup mahal. Namun sayangnya anggrek – anggrek tersebut adalah hasil import dari negara Taiwan. Tanaman meriklon lainnya adalah kedelai, kentang, anyelir, capsella. Melalui kultur m eristem, jaringan meristem sebagai sumber eksplan dapat langsung diregenerasikan untuk membentuk tunas dengan subkultur berulang dan menggunakan variasi ZPT, atau melalui fase kalus terlebih dahulu, seperti yang telah dilakukan ahli kultur jaringan morel, yang memperoleh meristem poucuk anggrek yang bebas virus, kemudian dikulturkan membentuk kalus, kemudian dikulturkan untuk membentuk protocorm dan akhirnya dikulturkan untuk berdiferensiasi lebih lanjut guna membentuk tunas dan akar. 2. Kultur protoplasma Protoplas adalah sel dalam keadaan telanjang. Fusi protoplas (yang terjadi didalam sel tanpa campur tangan manusia) adalah proses alamiah yang terjadi pada tumbuhan rendah sampai tingkat tinngi. Pada proses pembuahan terjadi penyatuan gamet jantan (sub protoplas) dengan gamet betina (protoplas) menjadi zigot (hibrida seksual). Sel-sel tanaman tingkat tinggi berhubungan satu dengan lainnya melalui plasmodesmata, hubungan sel melalui plasmodesmata ini merupakan fusi protoplas dengan protoplas terapi terjadi secara alamiah. Modifikasi genetik dengan fusi protoplas bertujuan untuk : Mengatasi masalah ilompatibilitas Mengatasi masalah sterilitas Mendapatkan sifat yang diinginkan Melalui fusi sel guna menghasilkan hibrida somatik Mendapatkan tanaman bebas virus, penyakit Mendapatkan tanaman dengan variasi somaklonal yang baik Protoplas dapat diisolasi secara mekanik dengan menggunakan prinsip proses plasmolisis sel, juga dapat diisolasi secara enzimatis. Umummnya saat ini digunakan cara terakhir ini. Enzim-enzim digunakan untuk mengisolasi protoplas antara lain : sellulase, driselase. Zymolase, pectiolyase, pectinase, hemisellulase, maserase. Sumber protoplas yang umum untuk diisolasi adalah : daun (paling sering digunakan), pucuk, buah, akar, nodul akar. Jaringan mesofil daun (diutamakan berasal dari in-vitro) yang paling mudah diisolasi karena susunannya yang jarang sehingga penetresi enzim lebih cepat. Seluruh rangkaian isolasi protoplas, menurut sterilitas lebih tinggi dibanding dengan kultur in vintro biasa. Hal ini di karenakan kita bekerja dengan sel telanjang. Media untuk mengkulturkan protoplas maupun hasil fusi hasil protoplas umumnya adalah media Ms atau Bs dengan berbagai modifikasi garam mineral ZPT. Osmotikum sangat dibutuhkan mulai dari prosesi isolasi mengkulturkan hasil fusi protoplas, hingga terbentuk dinding sel. Larutan osmotikum biasanya digunakan mannitol dan sorbitol. Setelah dinding sel terbentuk maka harus diteteskan media tanpa manitol atau sorbitol, untuk menurunkan tekanan osmotik. Jika tekanan osmotik tetap tinggi dan regenerasi sel menjadi terhambat. Fusi sel (protoplas) tanaman dilakukan dengan cara memfusikan dua macam protoplas yang sama atau berbeda. Teknik fusi protoplas yang dikembangkan saat ini: Fusi antara protoplas dengan protoplas Fusi antara sub prtoplas dengan protoplas Fusi antara sub protoplas dengan sub protoplas sub protoplas terdiri dari sitoplasma ( protoplas tanpa inti ), inti (karyoplas, protoplas mini), kloroplas mitokondria. 3. Kultur Kalus Pada awal kultur kalus bertujuan untuk mempelajari proses dediferensiasi dan diferensiasi sel dan jaringan pada kultur in vitro dan memperoleh kalus dari eksplan yang dikulturkan. Saat ini kultur kalus dan suspensi sel banyak dilakukan dalam penelitian untuk menghasilkan metabolit sekunder. Kalus adalah kumpulan masa sel yang amorphus yang terdiri dari sel-sel atau jaringan-jaringan yang membelah diri terus menerus. Kalus tersusun oleh selsel parenkim yang mana ikatannya dengan sel lainnya sangat rengggang. Jaringan ini belum mengalami deferensiasi lanjut. Untuk menginduksi terbentuknya tunas diperlukan media regenerasi dengan modifikasi ZPT. Kemampuan jaringan dalam menbentuk kalus sangat terkait dengan: Umur fisiologi jaringan waktu isolasi dilakukan. Jaringan yang masih meristematis lebih mudah penanganannya dibanding jaringan yang sudah berdeferensiasi Musim pada saat tanaman diisolasi Jenis tanaman-tanaman berkayu seperti manggis sangat sulit untuk mendapatkan kalus yang variable. Bagian tanaman yang diisolasi, bagian yang sudah tua akan memerlukan modifikaasi dengan merejuvenilisasikan sel nya kembali. Medium yang digunakan untuk kultur kalus adalah medium dasar dengan modifikasi ZPT. Umumnya digunakan auksin 2,4-0, kadang-kadang digunakan bahan organik kompleks seperti sari pisang, air kelapa. Eksplan yang digunakan untuk menginduksi kalus adalah : batang, akar, daun, embrio, kotiledon dan lainnya. Eksplan awal ini kemudian ditempatkan pada media padat. Kalus yang tumbuh, harus disubkultur ke media baru dalam kurun waktu tertentu, agar keterwidiaan hara dan airnya tetap ada dan mencegah terhambatnya pertumbuhan kalus akibat keluarnya senyawa-senyawa hasil metabolisme kalus tersebut. Subkultur dapat dilakukan ke media yang sama atau media regenerasi. Hal ini tergantung kepada tujuan subkultur tersebut. Untuk tujuan menghasilkan senyawa atau metabolit sekunder maka jangan menggunakan media regenerasi. Namun subkultur yang berulang-ulang dengan sumber eksplan yang terdiri dari sel-sel yang heterogen yang dapat menyebebkan perubahan berupa : Aberasi kromosom, dapat terjadi pematahan kromosom, mengakibatkan terjadinya mutasi gen. Poliploidi, yang disebabkan oleh pembelahan kromosom yang tidak diikuti dengan terbentuknya dinding sel anak, sehingga terjadi penggandaan jumlah kromosom. Delesi, translokasi, substitusi Untuk melakukan praktek kultur kalus, dari pengalaman penulis menunjukkan, penempatan pada daerah gelap tanpa sinar akan lebih memacu pembentukan kalus. Hal ini dapat kita pahami bersama karena untuk proses pembentukan kalus, zat pengatur tumbuh yang sangat berperan adalah auksin. Auksin akan sangat baik bekerja dengan kondisi gelap. Sementara dengan adanya cahaya maka kerja auksin akan terganggu, sehingga kalus yang dihasilkan juga tidak baik kualitasnya. Perlakuan membungkus dengan kain hitam pada tanaman yang akan diinduksi kalusnya, pada tanaman krisan menunjukkan respon yang sangat baik, dengan memperlihatkan kumpulan kalus yang terbentuk lebih banyak dibanding botol yang tidak dibungkus kain hitam. Kalus yang baik adalah kalus yang uriable dan mempunyai spot-spot hijau pada permukaan atasnya. Kalus yang padat akan sulit beregenerasi membentuk emrio somatik dan tunas. 4. Kultur Suspensi Kultur suspensi sangat berguna dalam penelitian metabolit primer maupun sekunder, juga untuk regulasi nitrogen didalam organ dan asimilasi sulfur, metabolisme karbohidrat dan karbon fotosintetik. Namun kultur sel kulit dipakai untuk penelitian-penelitian path-way (biosintesis) senyawa tertentu. Penelitian skoog dan miller (1957), mengenai keseimbangan hormon menjadi dasar penelitian selanjutnya, sampai pada penelitian mengenai transformasi dengan modifikasi menggunakan agrobacterium T-DNA. Kultur sel dilakukan dengan menggunakan eksplan adalah kalus. Kalus dipindahkan ke media cair untuk menginduksi sel-sel independen atau inisiasi suspensi sel. Pada kutur sel ini juga harus dilakukan subkultur secara periodik, tergantung tujuannya yaitu ke media yang sama atau modifikasi untuk memperbanyak suspensi sel atau ke media regenerasi (media padat). Untuk regenerasi harus didahulukan menginduksi munculnya tunas, setelah muncul tunas kemudian baru diinduksi pembentukan akar. Umumnya kultur sel digunakan untuk : Sumber protoplas Perlakuan dengan mutagen kimia, penyakit dan lain-lain. Memproduksi metabolit sekunder Untuk keperluan seleksi in vitro dalam pemuliaan tanaman Kultur sel harus terus berkembang terutama untuk melihat hubungan tanaman dengan mikroba, tidak hanya dalam pembentukan tunas tetapi juga dalam proses biokimia dan perkembangan virus, phytotoksin, resistensi penyakit. 5. kultur anther/haploid Kultur anther (anther culture) sering juga disebut kultur haploid jika serbuk sari yang digunakan sebagai sumber eksplan maka disebut kultur serbuk sari (polen culture). Kultur serbuk sari ini lebih tepat disebut kultur haploid dibanding dengan kultur anther. Kultur haploid lain adalah kultur ovul, dimana sebagai sumber eksplannya adalaah ovul. Kultur haploid adalah kultur yang menghasilkan tanaman haploid. Tanaman haploid adalah tanaman yang memiliki jumlah kromosom yang sama dengan jumlah kromosom gamet (N).jadi tidak harus sama dengan kromosom dasar. Untuk tanaman diploid (2N), jumlah kromosom gamet (N) adalah sama dengan kromosom dasar, tetapi untuk tanaman tetraploid (4N) maka jumlah kromosom gamet adalah 2 kali kromosom dasar (N=2X). Dengan demikian istilah haploid pada tanaman tetraploid dibedakan atas dihaploid (N=2X) dan monohaploid (N=X) Keuntungan dari tanaman haploid adalah : Semua sifat ditampilkan dalam kondisi monohaploid, baik sifat dominan ataupun resesif Seleksi pada level haploid jauh lebih mudah dibanding level ploidi yang tinggi Penggandaan kromosom tanaman haploid akan menghasilkan tanaman dihaploid yang homozigot, penggandaan kromosom berikutnya akan menghasilkan tanaman tetraploid homozigot Hibridisasi seksual dengan tanaman diploid akan menghasilkan tanaman triploid 2.5 Media Kultur Jaringan Tumbuhan Media Kultur Jaringan merupakan faktor penentu dalam perbanyakan kultur jaringan. Komposisi media yang digunakan tergantung dengan jenis tanaman yang akan diperbanyak. Media kultur yang baik seharusnya menyediakan unsur hara baik makro maupun mikro, sumber vitamin dan asam amino. Sumber karbohidrat , zat pengatur tumbuh, senyawa organik sebagai tambahan seperti air kelapa, ekstrak buah, dll. Bahan pemadat berupa agar-agar dan gelrite dan juga menyediakan arang aktif untuk kasus tertentu beberapa tanaman. Unsur hara makro dan mikro diberikan dalam bentuk garam-garam anorganik. Pada umumnya biasa diberikan dalam komposisi tertentu seperti media berupa MS, WPM, BS dll, tergantung dari jenis tanaman yang akan dikulturkan. Vitamin yang banyak digunakan adalah vitamin B12 (thiamin), nicotinic acid, vitamin B6, dan vitamin E atau C untuk antioksidan. Asam amino yang akan dipakai sebagai sumber N organik, yang biasa digunakan adalah glycine, asparagin, glutamine, alanin dan threonin. Media yang baik harus selalu berada pada PH yang optimal yaitu 5,5 – 5,8. Selain itu, harus dibuat dalam tempat steril, autoclave sering dipakai untuk sterilisasi dalam pembuatan media kultur jaringan. Salah satu media kultur jaringan adalah : A. Garam-Garam Anorganik Garam-garam mineral merupakan gabungan unsur-unsur esensial makro dan mikro. Konsentrasi optimum dari tiap-tiap komponen untuk mencapai kecepatan pertumbuhan yang maksimal untuk berbagai tanaman sangatlah bervariasi. (1) Unsur Makro Merupakan unsur yang dibutuhkan dalam jumlah besar yang terdiri atas : C, H, O, N, S, P, K, Ca, dan Mg; (2)Unsur Mikro Merupakan unsur yang dibutuhkan dalam jumlah sedikit yang terdiri atas : Cl, B, Mo, Mn, Cu, Fe, Zn, Co. B. Zat-Zat Organik Zat-zat organik yang biasanya ditambahkan pada medium kultur jaringan adalah gula, myo-inosito, vitamin, asam-asam amino, dan zat pengatur tumbuh. Gula Gula diberikan pada medium kultur jarinagan berfungsi untuk sumber energy yang diperlukan untuk induksi dan pertumbuhan sel, kalus, tunas tanaman. Myo-inositol Myo-inositol ditambahkan pada medium untuk membantu differensiasi dan pertumbuhan jaringan. Myo-inositol merupakan perantara pada perubahan glukosa menjadi asam galakturonat, juga berperan sebagai precursor untuk pembentukan pektin dan penyusunan dinding sel. Vitamin Vitamin ditambahkan pada medium untuk mempercepat pertumbuhan dan differensiasi kalus, serta menurunkan stress tanaman/eksplan. George dan Sherringtone mengungkapkan beberapa macam vitamin yang umum digunakan pada berbagai macam medium dasar antara lain : Thiamin-HCl, Nicotinic, Acid, Pyridoxin HCl, Ca D-Pantotenate, Biotic, Folic, dan lainlain. Asam-asam Amino Asam amino merupakan sumber N organik yang lebih cepat diambil daripada N anorganik didalam medium yang sama. Sumber N yang berbeda ini, akan memberikan pengaruh yang berbeda juga. Adapun asamasam amino yang sering digunakan pada medium dasar, pada umumnya adalah : L-Argarin, L-Apartic acid, L-Cystein, L-Glutamate, L-Asparagin, L-Methionine, L-Tyrosine, Glycine. Zat Pengatur Tumbuh Merupakan komponen yang dibutuhkan untuk pembuatan media. C. Substansi Organik Kompleks Banyak jenis subtansi organic kompleks yang telah dicobakan ke medium kultur jaringan antara lain yeast ekstraks, mal ekstraks, bermacam-macam bahan tanaman seperti air kelapa, endosperm jagung, orange juice, tomato juice, dll. Beberapa yang sudah digunakan adalah air kelapa, yang diindikasikan mengandung sitokinin endogen yang tinggi sehingga diharapkan dapat menginduksi tunas tanaman. Penelitian terakhir mendapatkan kandungan air kelapa yaitu asam amino, asam organic, asam nukleat, purin, gula, gula alcohol, vitamin, mineral, zat pengatur tumbuh. ZPT yang terdapa didalam air kelapa adalah : 1. 9-B-D ribofuranosyl zeatin 2. Zeatin 3. N-N-Diphenyl urea 4. 2(3-methyl but 2-eyl amino)-purin 6-one Beberapa kelemahan subtansi organik kompleks ini (kecuali air kelapa) adalah tidak konsisten kadarnya dan tidak diketahui dengan pasti komposisinya. Media kultur jaringan tumbuhan sangat ditentukan oleh : PH Media PH tertentu dibutuhkan untuk pertumbuhan jaringan tanaman agar tidak mengganggu fungsi membrane sel dan PH sitoplasma. Jaringan yang ditumbuhkan pada medium kultur biasanya mempunyai PH berkisar antara 4,85,8. PH ini perlu dipertahankan selama medium kultur digunakan. Bahan Pemadat Medium yang komposisinya sudah ditetapkan, diberi bahan pemadat. Bahan pemadat yang sering digunakan adalah agar-agar sejumlah 7-10 gr/l. Bahan pemadat lain yang jarang digunakan adalah gelrite, yakni bahan yang lebih bening dari pada agar-agar. Pemakaian gelrite juga lebih sedikit dibanding dengan agaragar untuk mencapai kepadatan yang sama sekitar 2 gr/l. Penggunaan bahan pemadat baik gelrite maupun agar-agar memiliki banyak kelemahan yaitu :hanya sebagian eksplan yang kontak dengan medium terjadi gradient nutrisi yang tidak sama, mobilitas zat hara menjadi kurang baik dan terjadi akumulasi zat-zat toksik yang dikeluarkan oleh eksplan. Arang Aktif Arang aktif merupakan arang yang dihasilkan dari proses pemanasan yang menggunakan uap atau udara yang panas. Bahan ini dapat mengabsorbsi berbagai bahan(zat). Banyak digunakan dalam medium inisiasi, regenasi, dan pengakaran tanaman kultur. Beberapa pengaruh zat arang aktif didalam kultur jaringan tumbuhan adalah : Mengabsorbsi senyawa toksik yang terdapat dalam media. Mengabsorbsi ZPT. Merangsang perakaran. Memacu pertumbuhan jumlah anakan.\ 2.6 Metode Kultur Jaringan Tumbuhan Metode kultur jaringan dikembangkan untuk membantu memperbanyak tanaman, khususnya untuk tanaman yang sulit dikembangbiakkan secara generatif. Bibit yang dihasilkan dari kultur jaringan mempunyai beberapa keunggulan, antara lain: mempunyai sifat yang identik dengan induknya, dapat diperbanyak dalam jumlah yang besar sehingga tidak terlalu membutuhkan tempat yang luas, mampu menghasilkan bibit dengan jumlah besar dalam waktu yang singkat, kesehatan dan mutu bibit lebih terjamin, kecepatan tumbuh bibit lebih cepat dibandingkan dengan perbanyakan konvensional. Teknik kultur jaringan memanfaatkan prinsip perbanyakan tumbuhan secara vegetatif. Berbeda dari teknik perbanyakan tumbuhan secara konvensional, teknik kultur jaringan dilakukan dalam kondisi aseptik di dalam botol kultur dengan medium dan kondisi tertentu. Karena itu teknik ini sering kali disebut kultur in vitro. Dikatakan in vitro (bahasa Latin), berarti "di dalam kaca" karena jaringan tersebut dibiakkan di dalam botol kultur dengan medium dan kondisi tertentu. Teori dasar dari kultur in vitro ini adalah Totipotensi. Teori ini mempercayai bahwa setiap bagian tanaman dapat berkembang biak karena seluruh bagian tanaman terdiri atas jaringan-jaringan hidup. Oleh karena itu, semua organisme baru yang berhasil ditumbuhkan akan memiliki sifat yang sama persis dengan induknya. Metode perbanyakan tanaman secara in vitro dapat dilakukan melalui tiga cara, yaitu melalui perbanyakan tunas dari mata tunas apikal, melalui pembentukan tunas adventif, dan embriogenesis somatik, baik secara langsung maupun melalui tahap pembentukan kalus. Ada beberapa tipe jaringan yang digunakan sebagai eksplan dalam pengerjaan kultur jaringan. Pertama adalah jaringan muda yang belum mengalami diferensiasi dan masih aktif membelah (meristematik) sehingga memiliki kemampuan regenerasi yang tinggi. Jaringan tipe pertama ini biasa ditemukan pada tunas apikal, tunas aksiler, bagian tepi daun, ujung akar, maupun kambium batang. Tipe jaringan yang kedua adalah jaringan parenkim, yaitu jaringan penyusun tanaman muda yang sudah mengalami diferensiasi dan menjalankan fungsinya. Contoh jaringan tersebut adalah jaringan daun yang sudah berfotosintesis dan jaringan batang atau akar yang berfungsi sebagai tempat cadangan makanan. Tahapan Pelaksanaan Kultur Jaringan Tahapan yang dilakukan dalam perbanyakan tanaman dengan teknik kultur jaringan adalah: 1) Pembuatan media Media merupakan faktor penentu dalam perbanyakan dengan kultur jaringan. Komposisi media yang digunakan tergantung dengan jenis tanaman yang akan diperbanyak. Media yang digunakan biasanya terdiri dari garam mineral, vitamin, dan hormon. Selain itu, diperlukan juga bahan tambahan seperti agar, gula, dan lain-lain. Zat pengatur tumbuh (hormon) yang ditambahkan juga bervariasi, baik jenisnya maupun jumlahnya, tergantung dengan tujuan dari kultur jaringan yang dilakukan. Media yang sudah jadi ditempatkan pada tabung reaksi atau botolbotol kaca. Media yang digunakan juga harus disterilkan dengan cara memanaskannya dengan autoklaf. 2) Inisiasi Inisiasi adalah pengambilan eksplan dari bagian tanaman yang akan dikulturkan. Bagian tanaman yang sering digunakan untuk kegiatan kultur jaringan adalah tunas. 3) Sterilisasi Sterilisasi adalah bahwa segala kegiatan dalam kultur jaringan harus dilakukan di tempat yang steril, yaitu di laminar flow dan menggunakan alat-alat yang juga steril. Sterilisasi juga dilakukan terhadap peralatan, yaitu menggunakan etanol yang disemprotkan secara merata pada peralatan yang digunakan. Teknisi yang melakukan kultur jaringan juga harus steril. 4) Multiplikasi Multiplikasi adalah kegiatan memperbanyak calon tanaman dengan menanam eksplan pada media. Kegiatan ini dilakukan di laminar flow untuk menghindari adanya kontaminasi yang menyebabkan gagalnya pertumbuhan eksplan. Tabung reaksi yang telah ditanami ekplan diletakkan pada rak-rak dan ditempatkan di tempat yang steril dengan suhu kamar. 5) Pengakaran Pengakaran adalah fase dimana eksplan akan menunjukkan adanya pertumbuhan akar yang menandai bahwa proses kultur jaringan yang dilakukan mulai berjalan dengan baik. Pengamatan dilakukan setiap hari untuk melihat pertumbuhan dan perkembangan akar serta untuk melihat adanya kontaminasi oleh bakteri ataupun jamur. Eksplan yang terkontaminasi akan menunjukkan gejala seperti berwarna putih atau biru (disebabkan jamur) atau busuk (disebabkan bakteri). 6) Aklimatisasi Aklimatisasi adalah kegiatan memindahkan eksplan keluar dari ruangan aseptic ke bedeng. Pemindahan dilakukan secara hati-hati dan bertahap, yaitu dengan memberikan sungkup. Sungkup digunakan untuk melindungi bibit dari udara luar dan serangan hama penyakit karena bibit hasil kultur jaringan sangat rentan terhadap serangan hama penyakit dan udara luar. Setelah bibit mampu beradaptasi dengan lingkungan barunya maka secara bertahap sungkup dilepaskan dan pemeliharaan bibit dilakukan dengan cara yang sama dengan pemeliharaan bibit generatif. 2.7 Hormon Kultur Jaringan Tumbuhan Istilah hormon mula-mula dipakai oleh ahli fisiologi hewan. Mereka maksudkan hormon adalah senyawa-senyawa organik, efektif dalam konsentrasi rendah dibuat didalam sel pada bagian tertentu dari organisme dan diangkut kebagian lain dari organisme tersebut dimana dihasilkan suatu perubahan fisiologi yang khusus. Oleh karena hewan mempunyai sistem sirkulasi yang lebih teratur, hormon-hormon itu dapat dikoleksi dalam jumlah yang banyak dan diidentifikasi. Para ahli juga dapat menelusuri tempat-tempat yang menjadi sasaran hormon tersebut. Ahli-ahli fisiologi tumbuhan sangat dipengaruhi oleh konsep-konsep hormon hewan ini dan mereka mencari zat-zat yang serupa pada tumbuhtumbuhan. Sifat beberapa zat pada tumbuh-tumbuhan. Sifat beberapa zat pada tumbuh-tumbuhan dianggap menyerupai sifat-sifat hormon hewan sehingga meyakinkan para ahli untuk memakai nama fithohormon atau hormon atau hormon tumbuhan. Penelitian akhir-akhir ini memungkinkan bahwa model hormon hewan tidak sesuai untuk model hormon tumbuhan. Konsep hormon yang dikembangkan oleh para ahli fisiologi hewan bahwa hormon adalah bahan bukan nutrisi yang aktif dalam konsentrasi rendah dapat termasuk baik senyawa-senyawa organik maupun ion-ion anorganik. Kebanyakan ahli fisiologi tumbuhan menggunakan istilah Zat Pengatu Tumbuh tanaman (plant growth substance) daripada istilah hormon tanaman. Karena istilah tersebut dapat mencakup baik zat-zat endogen maupun zat eksogen (sintetic) ypertumbuhan tnaman. Zat pengatur tumbuh yang dapat mengubah pertumbuhan tanaman. Zat pengatur tanaman (ZPT) yang dihasilkan oleh tanaman disebut fitohormon, sedangkan yang sintetic disebut zat pengatur tumbuh tanaman sintetic. Hormon tanaman harus memenuhi beberapa syarat berikut, yaitu : 1). Senyawa organik yang dihasilkan oleh tanaman sendiri 2) Harus dapat ditranslokasikan 3) Tempat sintesis dan kerja berbeda 4) Aktif dalam konsentrasi rendah. Dikenal 5 golongan fitohormon yaitu: auksin, giberelin, sitokinin, asam absitat dan etilen. Fitohormon ini terdapat di dalam tanaman dalam berbagai bentuk, sehingga sulit untuk mengerti cara kerja fitohormon itu dengan cara baik. Selain itu tanaman juga mengandung senyawa-senyawa lain yang turut aktif dalam berbagai proses pertumbuhan dan perkembangan. Senyawa-senyawa itu, antara lain adalah asam polifenolik, vitamin, siklitol dan berbagai senyawa lain. A. Auksin 1. Pengaruh Fisologis dari Auksin IAA dan auksin lain berperan pada berbagai aspek pertumbuhan dan perkembangan tanaman. Beberapa aspek diuraikan secara singkat sebagai berikut: a. Pembesaran Sel Studi mengenai pertumbuhan koleoptil menunjukkan bahwa IAA dan auksin-auksin yang lain mendorong pembesaran sel tersebut. Perpanjangan koleoptil atau batang merupakan hasil dari pembesaran sel tersebut. Penyebaran yang tidak sama dari auksin ini menyebabkan pembesaran sel yang tidak merata dan terjadi pembengkokan dari koleoptil atau organ tanaman (geotropisma dan fototropisma. b. Penghambatan mata tunas samping Pertumbuhan dari mata tunas samping dihambat oleh IAA yang diproduksi pada meristem apical yang diangkut secara basepetal. Konsentrasi auksin yang tinggi menghambat pertumbuhan mata tunas tersebut. Jika sumber auksin ini dihilangkan dengan jalan memotong meristem apical itu maka tunas samping ini akan tumbuh menjadi tunas. c. Absisi (pengguran daun) Pengguran daun terjadi sebagai akibat dari proses absisi (proses-proses fisik dan biokimia) yang terjadi didaerah absisi. Daerah absisi adalah kumpulan sel yang terdapat pada pangkal tangkai daun. Proses absisi ada hubungannya dengan IAA pada sel-sel didaerah absisi. d. Aktivitas daripada kambium Pertumbuhan sekunder termasuk pembelahan sel-sel di daerah kambium dan pembentukan jaringan xylem dan floem dipengaruhi oleh IAA. Pembelahan sel-sel di daerah kambium dirangsang oleh IAA. e. Pertumbuhan akar Selang konsentrasi auksin untuk pembesaran sel-sel pada batang, menjadi penghambat pada pembesaran sel-sel akar. Selang konsentrasi yang mendorong pembesaran sel-sel pada akar adalah sangat rendah. B. Giberelin Zat pengatur tumbuh (ZPT) lain yang sering ditambahkan kedalam medium adalah giberelin, ZPT yang dalam bentuk larutan pada temperatur tinggi mudah kehilangan sifatnya sebagai ZPT. Giberelin dalam dosis tinggi menyebabkan gigantisme, sesuai dari penemuan awal yang menunjukkan bahwa ZPT ini berefek meningkatkan pertumbuhan sampai beberapa kali. Giberelin berpengaruh terhadap pembesaran dan pembelahan sel, pengaruh giberelin ini mirip dengan auksin yaitu antara lain pada pembentukan akar. Giberelin dapat menyebabkan terjadinya peningkatan jumlah auksin endogen. 1. Giberelin pada Tumbuhan Berhijau Daun Dengan dikembangkannya cara-cara analisis yang baru di dapat bahwa ekstrak dari kebanyakan tumbuhan mempunyai aktivitas GAL. Studi selanjutnya men unjukkan bahwa tumbuh-tumbuhan yang berhijau daun mengandung jenis-jenis GA yang serupa dengan GA yang disolasi dari Gibberella fujikuroi maupun bebrapa jenis GA yang baru. GA yang paling umum adalah GA, GA3-8, dan GA17-20. Jadi GA hukan saja hasil metabolisme dari cendawan dengan pengaruh fisiologis yang menarik pada tumbuh-tumbuhan, tetapi juga merupakan zat pengatur tumbuh yang endogen. GA ini terdapat pada berbagai organ dan jaringan tumbuhan seperti akar, tunas, mata tunas, daun, bunga, bintil akar, buah dan jaringan kalus. 2. Pengaruh Fisiologis dari Giberelin Pengaruh GA terutama didalam perpanjangan ruas tanaman yang disebabkan oleh bertambah besar dan jumlah sel-sel pada ruas-ruas tersebut. Selain perpanjangan batang, giberelin juga memerperbesar luas daun dari berbagai jenis tanaman, jika disemprot GA. Demikian juga terhadap besar bunga dan buah. Besar bunga dari tanaman Camelia dan Gerannium akan bertambah besar jika diberi GA. Giberrelin juga mendorong pembentukan buah partenokapri (tanpa biji) pada buah anggur dan pada buah-buahan lain. Telah diselidiki juga bahwa proses dormansi dari beberapa biji dan mata tunas dapat dihilanhgkan dengan pemberian GA. Pada biji-biji tersebut perkecambahan dapat diawali dengan naiknya kadar GA endogen biji. Pada biji-biji tersebut dormansi disebabkan oleh rendahnya kadar GA endogen sehingga dormansi dapat diatasi dengan pemberian GA eksogen. Mekanisme yang serupa juga terdapat pada mata tunas tidur (dorman). C. Sitokinin Sitokinin berperan penting dalam pengaturan pembelahan sel dan morfogenesis. Sitokinin yang pertama kali ditemukan adalah kinetin. Kinetin bersama-sama dengan auksin memberikan pengaruh interaksi terhadap diferensiasi jaringan. Pada pemberian auksin dengan konsentrai relatif tinggi, diferensiasi kalus cenderung kearah pembentukan primordia akar, sedangkan pada pemberian kinetin yang relatif tinggi, diferensiasi kalus cenderung ke arah pembentukan primordia batang atau tunas. 1. Efek Fisiologis dari Sitokinin Sitokinin memepengaruhi berbagai proses fisiologis di dalam tanaman. Aktivitas yang terutama ialah mendorong pembelahan sel dan aktivitas ini yang menjadi kriteria utama untuk menggolongkan suatu zat ke dalam sitokinin. Baik efek yang menghambat maupun efek yang mendorong proses pembelahan sel oleh sitokinin tergantung oleh adanya fitohormon lainnya terutama auksin. Sitokinin memperlambat proses penghancuran butir-butir klorofil pada daunddaun yang terlepas dari tanaman dan memperlambat proses senence pada daun, buah dan organ-organ lainnya. 2. Sitokinin Sintetik Didapat sejumlah senyawa-senyawa substansi adenin yang mempunyai aktivitas seperti sitokinin didalam peertumbuhan kalus tembakau. 6-Benzile adenin (BA) mempunyai struktur yang serupa dengan kinetin. BA ini sangat aktif dalam mendorong pertumbuhan kalus tembakau. Bentuk isomernya 1-benzil adenin harus diubah menjadi 6-benzil adenin. D. Etilen Etilen adalah suatu gas dari pembakaran gas yang tidak sempurna dari senyawa-senyawa yang kaya akan ikatan karbon seperti batu bara, minyak bumi dan gas alam. Merupakan komponen dari asap-asap yang dikeluarkan oleh kendaraan-kendaraan bermotor dan industri-industri yang mempergunakan bahan bakar gas. Efek Fisiologi dari Etilen Telah diketahui bahwa etilen menjadi penyebab beberapa respon tanaman seperti pengguran daun, pembengkakan batang , pemasakan bauah dan hilangnya warna buah. Etilen mengahambat pertumbuhan kearah memanjang (longitudinal) dan mendorong pertumbuhan ke arah melintang (transversal) sehingga batang kecambah terlihat membengkak. Etilen juga merubah respon geotropisma, mendorong pengguran daun, bunga dan buah. Respon geotropisma bukan saja dipengaruhi oleh etilen tetapi juga oleh auksin, demikian juga dengan proses penuaan. Etilen sangat berperan dalam aspek-aspejk praktis penyimpanan buah. E. Asam Absisat Asam absisat adalah molekul seskuiterpenoid (memiliki 15 atom karbon) yang merupakan salah satu hormon tumbuhan. Selain dihasilkan secara alami oleh oleh tumbuhan, hormon ini juga dihasilkan oleh alga hijau dan cendawan. Hormon ini ditemukan pada tahun 1963 oleh Frederick Addicott. Addicott berhasil mengisolasi senyawa abscisin I dan II dari tumbuhan kapas. Senyawa abscisin II kelak disebut dengan asam absisat, disingkat ABA. Pada saat yang bersamaan, dua kelompok peneliti lain yang masing-masing dipimpin oleh Philip Wareing dan Van Steveninck juga melakukan penelitian terhadap hormon tersebut. Hormon asam absisat merupakan senyawa yang bersifat inhibitor (penghambat) yang cara kerjanya berlawanan dengan hormon auksin dan giberelin. Salah satu fungsi auksin adalah untuk memacu proses pemanjangan sel dan pembentukan buah tanpa biji. Sedangkan salah satu fungsi dari giberelin adalah untuk mengakhiri proses dormansi pada biji yang terpengaruhi oleh asam absisat. Tahapan lain dalam kehidupan suatu tumbuhan yang menguntungkan apabila pertumbuhan dihentikan adalah pada saat permulaan dormansi biji, dan kemungkinan asam abisatlah yang bertindak sebagai penghambat pertumbuhan. Biji akan berkecambah ketika ABA dihambat dengan cara membuatnya tidak aktif, atau dengan membuangnya atau melalui peningkatan aktivitas giberelin. Biji beberapa tumbuhan gurun mengakhiri dormansinya ketika hujan lebat melunturkan ABA dari biji. Biji tumbuhan lain memerlukan cahaya atau stimulus lain untuk memicu perombakan asam abisat. Pada sebagian besar kasus, rasio ABA terhadap giberelin akan menentukan apakah biji itu akan tetap dorman atau berkecambah. Hormon tanaman yang dianggap sebagai hormon stress diproduksi dalam jumlah besar ketika tanaman mengalami berbagai keadaan rawan diantaranya yaitu ABA. Keadaan rawan tersebut antara lain kurang air, tanah bergaram, dan suhu dingin atau panas. ABA membantu tanaman mengatasi dari keadaan rawan tersebut. Tempat produksi atau lokasi hormon asam absisat pada tumbuhan yaitu di daun, batang, akar dan buah hijau. Fungsi utama asam absisat yaitu menghambat pertumbuhan, menutup stomata selama kekurangan air, menghambat pemutusan dormansi. Pada daun, ABA berada pada 3 bagian sel yang berbeda, yakni : (1) pada sitosol, dimana disintesis, (2) pada kloroplas dimana ABA diakumulasikan, dan (3) pada dinding sel. Para ahli fisiologi berpendapat bahwa ABA dapat merangsang penutupan stomata adalah ABA yang berada pada dinding sel. ABA pada dinding sel ini berasal dari sel-sel mesofil daun tempat di mana ABA ini disintesis. Asam Absisat diangkut oleh tumbuhan secara alami melalui xilem floem dan parenkim baik itu naik atau turun, proses pengangkutan menuju daun dalam penutupan stomata dari akar menuju floem yang dekonsentrasi pada daun yang dapat dipengaruhi oleh tingkat kegaraman yang tinggi. Begitupun dari daun menuju akar dan menuju batang dalam penghambatan penambahan panjang dan lebar batang pada tanaman. Pembentukan Asam Absisat pada Tumbuhan dan Cara Kerjanya Hormon Asam Absisat pada tumbuhan dapat diperoleh dengan cara alami melaui proses di dalam tumbuhan itu sendiri (endogen) dan melalui pemberian dari luar oleh campur tangan manusia (eksogen). Namun secara alami tumbuhan dapat menghasilkan hormon Asam Absisat di dalam tubuhnya walaupun tidak dalam jumlah yang besar dengan beberapa proses yaitu : Biosintesis/pembentukan ABA pada sebagian besar tumbuhan terjadi secara tak langsung melalui peruraian karotenoid (zat warna merah, kuning dan Orange) tertentu (40 karbon) yang ada di plastid. ABA pergerakannya dalam tumbuhan sama dengan pergerakan giberelin yaitu dapat diangkut secara mudah melalui xilem floem dan juga sel-sel parenkim di luar berkas pembuluh. Rangkaian pose secara kimia, yaitu a. Jalur Asam mevalonat : Asam mevalonat → farnesylpyrofosfat → ABA b.Jalur Violaxanthin : Violaxanthin → Xanthoxin → ABA - Cahaya Secara non-alami, Asam Absisat diperoleh melalui pemberian dari luar tubuh baik itu Asam Absisat Sintetik maupun yang diekstrak dari tumbuhan lain, misalnya Alga. Cara kerja dari asam absisat ini seperti merangsang penutupan stomata pada waktu kekurangan air, mempertahankan dormansi dan biasanya terdapat di daun, batang, akar, buah berwarna hijau. Pengangkutan hormon ABA dapat terjadi baik di xilem maupun floem dan arah pergerakannya bisa naik atau turun. Transportasi ABA dari floem menuju ke daun dapat dirangsang oleh salinitas (kegaraman tinggi). Pada tumbuhan tertentu, terdapat perbedaan transportasi ABA dalam siklus hidupnya. Daun muda memerlukan ABA dari xilem dan floem, sedangkan daun dewasa merupakan sumber dari ABA dan dapat ditranspor ke luar daun. Daun dan buah pada tumbuhan dapat menjadi rontok karena adanya pengaruh kerja hormon Asam Absisat (ABA). hormon ini menghambat pertumbuhan dan pembelahan sel. karena itu, jika hormon ini bekerja, proses yag terjadi di dalam sel akan berkurang dan kelamaan akan berhenti. berhentinya aktivitas sel, berarti juga berhentinya asupan nutrisi ke dalam sel tumbuhan tersebut, sehingga, bagian tumbuhan seperti daun akan kekurangan nutrisi, dan kering karena penguapan terus terjadi, namun tidak ada asupan air, dan kelamaan daun akan rontok. Gambar : Tumbuhan kekeringan tanpa asam absisat (atas) dan cambah (A) yang tumbuh cepat dengan ditiadakannya asam absisat (bawah) Hormon ini dapat menutup stomata pada daun dengan menurunkan tekanan osmotik dalam sel dan menyebabkan sel turgor. Akibatnya, cairan tanaman hilang yang disebabkan oleh transpirasi melalui stomata dapat dicegah. ABA juga mencegah kehilangan air dari tanaman dengan membentuk lapisan epikutikula atau lapisan lilin. Selain itu, ABA juga dapat menstimulasi pengambilan air melalui akar. Selain untuk menghadapi kekeringan, ABA juga berfungsi dalam menghadapi lingkungan dengan suhu rendah dan kadar garam atau salinitas yang tinggi. Peningkatan konsentrasi ABA pada daun dapat diinduksi oleh konsentrasi garam yang tinggi pada akar.. Dalam menghadapi musim dingin, ABA akan menghentikan pertumbuhan primer dan sekunder. Hormon yang dihasilkan pada tunas terminal ini akan memperlambat pertumbuhan dan memicu perkembangan primordia daun menjadi sisik yang berfungsi melindungi tunas dorman selama musim dingin. ABA juga akan menghambat pembelahan sel kambium pembuluh. Terdapat beberapa kondisi Dimana hormon Asm Absisat terbentuk pada bagian tumbuhan, diantaranya pada daun, tumbuhan yang mengalami cekaman air : (kekeringan); konsentrasi ABA naik sampai lebih dari 50 kalinya hanya dalam waktu 4-8 jam (400 ng per g berat basah); sebagai respon dari meningkatkan laju biosintesisnya. Namun jika tumbuhan diberi air kembali; konsentrasi ABA turun sampai ke konsentrasi sebelum cekaman dalam waktu 4-8 jam; sebagai respon menurunnya laju biosintesis. Biji yang sedang berkembang konsentrasi ABA sangat tinggi (100 x) ; lalu semakin menurun seiring dengan semakin dewasanya biji karena tumbuhan sudah semakin kuat dan dapat menghasilkan makanan dalam jumlah besar serta penyerapan air yang lebih optimal melalui akar. Kegunaan Asam Absisat bagi Tumbuhan Seperti yang telah dijelaskan diatas, hormon Asam Absisat berfungsi dalam menghambat pertumbuhan, hal ini dilakukan untuk membantu tumbuhan untuk bertahan dalam kondisi yang sulit, sehingga hormon absisat hanya diproduksi jika tumbuhan mengalamai kondisi seperti kekurangan air, pada musim dingin, musim kering, dan musim gugur sehingga terjadi proses-proses untuk menghambat pertumbuhan. Secara Keseluruhan, Asam Absisat berfungsi dalam : 1. Secara fisiologis berfungsi dalam Pengaturan perkecambahan biji, Mendorong sintesis protein simpanan, Mengurangi efek kekurangan air, Peristiwa absisi, Dormansi tunas, Memacu transpor fotosintat yang sedang berkembang 2. Dormansi tunas 3. Menghambat perkecambahan biji 4. Mempengaruhi pembungaan tanaman 5. Memperpanjang masa dormansi umbi-umbian 6. Mempengaruhi pucuk tumbuhan untuk melakukan dormansi 7. Untuk maturasi biji dan menjaga biji agar berkecambah di musim yang diinginkan 8. Untuk menghadapi lingkungan dengan suhu rendah dan kadar garam atau salinitas yang tinggi 9. Menghambat pembelahan sel kambium pembuluh. 2.8 Kelebihan dan Kekurangan Kultur Jaringan Tumbuhan Kelebihan 1. Bibit (hasil) yang didapat berjumlah banyak dan dalam waktu yang singkat 2. Sifat identik dengan induk 3. Dapat diperoleh sifat-sifat yang dikehendaki 4. Metabolit sekunder tanaman segera didapat tanpa perlu menunggu tanaman dewasa Kerugian 1. Bibit hasil kultur jaringan sangat rentan terhadap hama penyakit dan udara luar 2. Bagi orang tertentu, cara kultur jaringan dinilai mahal dan sulit. 3. Membutuhkan modal ivestasi awal yang tinggi untuk bangunan (laboratorium khusus), peralatan dan perlengkapan. 4. Diperlukan persiapan SDM yang handal untuk mengerjakan perbanyakan kultur jaringan agar dapat memperoleh hasil yg memuaskan 5. Produk kultur jaringan pd akarnya kurang kokoh 6. Mahal 2.9 Aklimatisasi Tanaman Hasil Kultur In Vitro Aklimatisasi adalah suatu tahapan penyesuain diri tanaman hasil kultur jaringan terhadap lingkungan sekitar. Aklimatisasi dapat disebut juga sebagai tahapan penyesuaian diri, sebelum pada akhirnya tanaman mampu hidup di lapangan. Tahapan ini sering diabaikan oleh banyak orang, mereka senantiasa lebih terfokus pada perawatan tanaman in vitronya. Padahal, seunggul apapun tanaman yang dihasilkan dari teknik kultur jaringan tersebut, jika tidak dilakukan proses aklimatisasi dengan benar maka tanaman yang dihasilkan dari teknik kultur jaringan tersebut akan mati. Dibawah ini dituliskan beberapa saran dan petunjuk untuk melakukan aklimatisasi pada berbagai jenis tanaman, untuk lebih lengkapnya tentang aklimatisasi yaitu: 1. Proses aklimatisasi adalah proses penyesuaian diri, disarankan jika tanaman kultur hendak dipindah, maka harus diperhatikan media tumbuh yang tepat untuk tanaman tersebut. 2. Sebelum digunakan, media tumbuh harus “dijenuhi dengan air”. Hal ini dilakukan karena tanaman berikut media tumbuh (biasanya ditanam dengan pot gelas aqua), harus disungkup selama 1-2 hari, sehingga diperlukan sedikit kelembaban. 3. Pemakaian tray untuk tempat aklimatisaasi juga dapat digunakan, tetapi harus menggunakan sungkup plastik selama beberapa hari sebelum sungkup dibuka. 4. Tanaman diletakkan pada ruang kultur selama 1-2 hari, setelah itu baru dipindah ke luar ruangan. Penutup/sungkup dibuka sedikit demi sedikit agar tanaman secara perlahan-lahan mampu menerima kondisi alam luar. 5. Tanaman tidak langsung ditanam dilapangan, tetapi masih memerlukan naungan untuk beberapa hari sampai tanaman tersebut benar-benar kuat untuk ditanam dilapang. 6. Berdasarkan pengalaman penulis, untuk tanaman nenas, daun dewa, krisan, pertumbuhan anakan lanjutan dapat dilakukan langsung dibawah terik matahari. Untuk tanaman anggrek memerlukan naungan 30-50% sesuai habitat aslinya. Khusus untuk tanaman manggis, mulai saat dikeluarkan dari botol kultur, masa anakan sampai umur 3 tahun, manggis memerlukan naungan sekitar 50%, biasanya digunakan paranet ataupun nipah yang berlubang. 2.10 Botani tanaman jeruk Jeruk (Citrus sp.) adalah tanaman tahunan yang berasal dari Asia Tenggara. Sejak ratusan tahun lalu tanaman ini sudah terdapat di Indonesia, baik sebagai tanaman liar maupun sebagai tanaman pekarangan (Soelarso, 1996). Jeruk (Citrus sp.) merupakan salah satu genus dari family Rutaceae yang mempunyai nilai ekonomi yang tinggi. Menurut Steenis (2003), kedudukan jeruk ini dalam sistematika adalah sebagai berikut: Kingdom : Plantae Divisio : Spermatophyta Klass : Angiospermae Sub Klass : Dicotyledoneae Ordo : Rutales Family : Rutaceae Genus : Citrus Spesies : Citrus nobilis Lour. Di Indonesia tanaman jeruk dibudidayakan sebagai usaha agribisnis atau sebagai tanaman pekarangan. Selain itu jeruk juga banyak ditanam di dalam pot karena ukuran batangnya pendek, penuh dengan buah yang sangat eksotik sehingga mempunyai daya tarik tersendiri. Buah jeruk umumnya dikonsumsi dalam bentuk segar, minuman segar atau sirup. Kulit dan biji jeruk mengandung minyak yang dapat digunakan sebagai pengharum rambut, campuran minuman dan bahan wangi-wangian. Jeruk keprok dan jeruk besar/Pamelo di Indonesia dapat tumbuh dan berbuah yang cukup memuaskan. Jenis-jenis jeruk keprok yang ada antara lain jeruk keprok Batu, Garut, Tejakula dan Siem sedangkan jeruk besar /pamelo antara lain jeruk besar Nambangan, Sri Nyonya dan Bali merah. Kedua jenis jeruk tersebut sangat peka terhadap barbagai macam penyakit yang disebabkan patogen sistemik utamanya CVPD kecuali jeruk besar yang terbukti agak toleran. Pohon jeruk keprok mencapai ketinggian 6-10 m, berduri, dengan bentuk batang bulat dan mempunyai jumlah percabangan yang banyak. Dahannya kecil dan letaknya terpencar serta tidak beraturan. Bentuk daun bulat telur memanjang dengan pangkal tumpul dan mempunyai ujung yang runcing. Permukaan daun bagian atas berwarna hijau tua mengkilat sementara permukaan daun bagian bawah berwarna hijau muda. Buah berbentuk bulat, kulit buah tebal, permukaannya kasar dan berpori-pori besar. Biji bersifat poliembrionik dan berwarna sedikit kekuningan sementara embrio berwarna hijau keputihan. Jeruk keprok ini mengandung sejumlah nutrisi, di antaranya vitamin B1 dan vitamin C. Selain itu jeruk ini juga mengandung glukosa, fruktosa, sukrosa, karoten, asam sitrat dan glukosida. Jeruk ini bermanfaat sebagai pereda berbagai penyakit, misalnya sebagai obat batuk dan menghilangkan rasa mual (Ball, 1997). Keistimewaan lain dari jeruk keprok ini adalah kulit buah yang memiliki aroma yang sangat wangi yang dapat dijadikan sebagai pengharum rambut serta bahan wangi-wangian. 2.10.1 Kultur jaringan tanaman jeruk Kultur jaringan tanaman merupakan teknik budidaya (perbanyakan) sel, jaringan, dan organ tanaman dalam suatu lingkungan yang terkendali dan dalam keadaan aseptik atau bebas dari mikroorganisme. Secara umum perbanyakan tanaman berdasarkan perkembangan dan siklus hidupnya dapat digolongkan menjadi dua, yaitu perbanyakan secara seksual dan perbanyakan secara aseksual. Beberapa penelitian telah dilakukan untuk kultur jaringan tanaman beberapa jenis jeruk. Penggunaan metode in vitro untuk kultur jaringan tanaman jeruk telah dimulai oleh Bove & Morel (1957) dalam Nurwahyuni (2001), dan sejak itu kultur jaringan tanaman jeruk banyak mendapat perhatian. Regenerasi tanaman jeruk secara kultur jaringan telah dilakukan diantaranya dari bagian tunas aksilar yang menghasilkan kalus (Altman & Goren, 1971 dalam Reinert & Bajaj, 1989), bagian daun dan batang serta bagian reproduktif lainnya seperti ovary, embrio somatik (Chaturvedi & Mitra, 1975 dalam Yeoman, 1986), bagian bakal buah (Carimi et al., 1998 dalam Nurwahyuni, 2001) dan bagian protoplas (Da Gloria, 2000 dalam Nurwahyuni, 2001). Pembentukan embrio dan planlet untuk beberapa varietas jeruk telah dilakukan misalnya berasal dari kalus nucellar yang sama (Rangan et al., 1969; Bitters et al., 1972; Kochba et al., 1972 dalam Reinert & Bajaj, 1989). Peneliti lain Ranga Swamy (1961) & Sabharwal (1963) dalam George & Sherrington (1984) telah berhasil mengkulturkan embrio dari jaringan nucellar jeruk. Menurut Ghorbel et al. (1998) dalam Nurwahyuni (2001), perbanyakan tanaman jeruk secara in vitro melalui kultur jaringan memiliki beberapa keuntungan diantaranya adalah dapat menghasilkan bibit klonal secara massal dalam waktu yang singkat juga dapat meningkatkan kualitas tanaman karena menghasilkan tanaman jeruk yang seragam dan tingkat kesehatan lebih baik. 2.10.2 Media Yang Digunakan Dalam Kultur Jaringan Media perbanyakan jeruk secara in vitro yang banyak diujikan dan dipakai yaitu media Murashige dan Skoog yang dikombinasikan dengan Zat Pengatur Tumbuh (ZPT) seperti auksin dan sitokinin. Menurut Ramkrishna et al. (2005) perbanyakan plantlets Citrus reticulata Blanco dan Citrus jambhiri Lush pada media Murashige dan Skoog (MS) dengan 2.0 mg/l BAP + 0.5 mg/l kinetin + 1.0 mg/l NAA memberikan hasil terbaik. Al-Khayri and Al-Bahrany (2001) menyatakan kombinasi media MS dengan 0.5 mg/l kinetin dan 1.0 mg/l BAP terhadap pertumbuhan tunas pada Citrus aurantifolia menunjukkan terbaik. Media MS dengan berbagai variasi konsentrasi sitokinin BA dan Kn. Pada kultur jaringan banyak faktor-faktor penting yang sangat mempengaruhi keberhasilan dalam suatu pengkulturan diantaranya adalah media yang digunakan. Media tanam dalam kultur jaringan harus berisi semua zat yang diperlukan untuk menjamin pertumbuhan eksplan. Media yang paling baik untuk diferensiasi kalus dan perkembangan planlet adalah media Murashige dan Skoog (1962) atau modifikasinya. Media dasar MS digunakan untuk hampir semua macam tanaman (Heinz & Mee, 1969 dalam Reinert & Bajaj, 1989) sedangkan media yang sering digunakan pada kultur jeruk adalah Murashige & Tucker (1969), Gamborg’s B5 dan EME (Tang et al., 2006) serta Cultivation media (Pena et al., 2004). Sebagai tambahan biasanya diberi zat organik lain seperti air kelapa, ekstrak ragi, gandum, pisang, tomat, taoge, jeruk, kentang, apel, alpukat, pepaya, dan masih banyak lagi ( Hendaryono & Wijayani, 1994). 2.10.3 Zat Pengatur Tumbuh Menurut Suryowinoto (1996), dalam budidaya tanaman dengan menggunakan teknik kultur jaringan, pemberian zat pengatur tumbuh dalam media juga perlu diperhatikan karena mempengaruhi pertumbuhan dan perkembangan eksplan tersebut menjadi bibit yang baru. Dalam kultur jaringan zat pengatur tumbuh auksin dan sitokinin sangat berpengaruh (Gunawan, 1995). Auksin dan sitokinin adalah zat pengatur tumbuh yang sering ditambahkan dalam media tanam karena mempengaruhi pertumbuhan dan organogenesis dalam kultur jaringan dan organ. Auksin adalah zat pengatur tumbuh yang mempengaruhi pemanjangan sel. Jenis auksin buatan yang biasa digunakan adalah IBA, 2,4-D dan NAA sedangkan yang alami biasa digunakan IAA (Katuuk, 1989). Sitokinin alamiah yang sering digunakan dalam kultur jaringan adalah zeatin dan 2-iP, sedangkan untuk sintetik meliputi BAP dan kinetin (Wattimena, 1992). BAP merupakan zat pengatur tumbuh yang sering digunakan dalam kultur in vitro karena sangat efektif dalam menginduksi pertumbuhan daun dan penggandaan tunas, mudah didapat dan harganya relatif murah (George & Sherrington, 1984). BAP merupakan turunan adenin yang disubstitusi pada posisi 6 yang bersifat paling aktif (Wattimena, 1992). Dalam kultur jaringan zat pengatur tumbuh auksin atau sitokinin dapat diberikan secara bersama-sama ataupun salah satunya saja, tergantung dari tujuan kita (Hendaryono & Wijayani, 1994). Faktor lain yang juga tidak kalah penting adalah pemilihan eksplan diantaranya organ sumber eksplan, umur organ, musim, ukuran dan kualitas tanaman induk (Barlass & Skene, 1982 dalam Nurwahyuni, 2001). Eksplan yang digunakan adalah jaringan muda yang sedang tumbuh aktif, karena jaringan tanaman yang masih muda mempunyai daya regenerasi yang lebih tinggi, selselnya masih aktif membelah diri dan relatif bersih (mengandung lebih sedikit kontaminan). Sementara itu, jaringan tanaman yang sudah tua lebih sulit beregenerasi dan biasanya mengandung lebih banyak kontaminan (Yusnita, 2003). Selain faktor-faktor yang disebutkan di atas, faktor lingkungan seperti cahaya, suhu, pH serta kelembaban juga akan menjadi perhatian dalam kultur jaringan tanaman dalam usaha perbaikan kualitas bibit jeruk. Sitokinin adalah derivat dari adenin ,kinetin(6-furfurylaminopurin) dan zeatin adalah sitokinin alami yang umum yang digunakan secara meluas pada medium kultur. Sitokinin disintesis melalui modifikasi biokimia dari adenin, terjadi pada ujung akar dan biji yang tumbuh, kebalikan dari auksin, sitokinin ditransport melalui xilem dari akar ke puncuk. Sitokinin hanya aktif jika ada auksin,pemberian sitokinin bersama auksin pada medium kultur dapat memacu pembelahan sel dan morfogenesis. Sitokinin mempengaruhi transport auksin, pertumbuhan kuncup lateral (mematahkan dominansi apikal), perkembangan daun, menghambat proses penuaan daun dan mempengaruhi perkembangan kloroplas.sitokinin sintetik seperti N6-benzylaminopurine (BAP) lebih sering digunakan pada medium kultur jaringan. 2.10.4 Kultur Embrio Dalam perbanyakan teknik kultur jaringan, eksplan merupakan faktor yang penting dalam penentuan keberhasilan. Menurut Gunawan (1995) faktor genotip, umur eksplan, letak pada cabang dan seks (pohon jantan atau betina) juga perlu diperhatikan dalam pemilihan eksplan pada kultur jaringan. Penggunaan eksplan dari jaringan muda lebih sering berhasil karena sel-selnya aktif membelah, dinding sel tipis karena belum terjadi penebalan lignin dan selulosa yang menyebabkan kekakuan pada sel. Pada pemilihan bagian tanaman perlu juga dipertimbangkan tujuan dari kultur yang akan dilakukan. Bagian tertentu akan memberikan variasi dalam jumlah kromosom maupun variasi dalam beberapa gen. Santoso & Nursandi (2004) menambahkan bahwa langkah pertama untuk menentukan bagian mana dari tanaman yang akan digunakan sebagai eksplan adalah melihat potensi genetik yang ada pada tanaman di lapangan. Untuk itu perlu dilakukan analisis jaringan secara in vivo untuk mengetahui bagian tanaman yang mempunyai kandungan tertinggi senyawa yang diinginkan. Tanaman yang mempunyai kandungan senyawa tertentu dalam jumlah besar akan mampu menghasilkan senyawa yang sama dalam jumlah besar pula apabila tanaman tersebut dikulturkan secara in vitro. Berdasarkan bagian tanaman yang dikulturkan secara lebih spesifik terdapat tipe-tipe kultur yaitu kultur kalus, kultur suspensi sel, kultur anter, kultur akar, kultur pucuk tunas, kultur embrio, kultur ovul dan kultur kuncup bunga. Kultur jaringan bermula dari adanya pembuktian sifat totipotensi sel, yaitu bahwa setiap sel tanaman yang hidup dilengkapi dengan informasi genetik dan perangkat fisiologis yang lengkap untuk tumbuh dan berkembang menjadi tanaman utuh jika berada dalam kondisi yang sesuai. Kultur embrio merupakan isolasi secara steril embrio matang ataupun belum matang, dengan tujuan memperoleh tanaman yang viabel. Terdapat 2 macam kultur embrio yaitu kultur embrio yang belum matang untuk mencegah keguguran (embryo rescue) dan kultur embrio matang untuk merangsang perkecambahan. Pierik (1987) dalam Kosmiatin & Mariska (2005) menyatakan bahwa kultur embrio matang lebih mudah dibandingkan dengan kultur embrio muda. Pada umur 3 minggu setelah polinasi, kondisi embrio cukup baik dengan kotiledon yang sempurna. Meskipun beberapa embrio memiliki kotiledon yang besar sehingga kulit biji agak merekah, hal itu tidak mengganggu perkecambahan. Dengan kondisi embrio yang hampir sempurna, embrio tidak memerlukan waktu yang lama untuk berkecambah dengan rata-rata waktu kecambah 4-5 hari setelah tanam. Menurut Ayu (2009), kultur embrio memiliki beberapa aplikasi seperti memecahkan dormansi, perkecambahan parasit obligat, memendekkan siklus pemuliaan, menghasilkan tanaman haploid, mencegah aborsi embrio pada buah, mencegah aborsi pada persilangan interspesifik dan pembiakan vegetatif. Aplikasi ini juga dapat diperluas menjadi introgresi gen penting dari spesies liar yang masih kerabat dekat dengan spesies yang akan disilangkan, sintesa spesies alopoliploid, produksi triploid (buah tanpa biji) dan produksi tanaman haploid. Pada kultur embrio, keberhasilan perkecambahan in vitro juga ditentukan oleh komposisi media dan zat pengatur tumbuh yang ditambahkan ke dalam media untuk menggantikan peran endosperm. Pengecambahan embrio yang lengkap biasanya tidak memerlukan formulasi media yang rumit. Pada beberapa jenis tanaman, embrio dapat tumbuh pada media dasar tanpa zat pengatur tumbuh, seperti pada embrio hasil persilangan S. khasianum dan S. Capsicoides. 2.10.5 Kultur Kalus Kalus merupakan sekumpulan sel yang masih aktif tumbuh dan membelah dan belum terdeferensisai untuk membentuk tunas maupun akar. Bagian tanaman yang dipergunakan sebagai ekplan berupa tunas lateral yang sedang tumbuh dengan ukuran panjang antara 5 cm sampai 10 cm sehingga sel-sel sekulen, yaitu bersifat meristematik dan mudah diisolasi karena kandungan air yang cukup. Pemakaian eksplan yang berasal dari tunas meristem diharapkan dapat memperkecil tingkat kontaminasi. Sel-sel aktif membelah diharapkan kecepatan pembelahan sel lebih dari kecepatan pertumbuhan / perkembangbiakan kontaminan. Pemakaian eksplan yang berbulu atau tidak berbulu dapat secara langsung mempengaruhi tingkat kontaminasi. Morfologi permukaan eksplan tidak berbulu sehingga lebih memudahkan kontaminan bersentuhan langsung dengan sel jaringan eksplan, meningkatkan peluang terjadinya serangan kontaminan. Sedangkan untuk eksplan yang berbulu, metode sterilisasi membutuhkan cara tersendiri misalnya dengan menggunakan larutan Tween 20 agar proses sterilisasi dapat langsung bersentuhan dengan permukaan eksplan. Rendahnya jumlah eksplan yang menghasilkan tunas diduga disebabkan oleh adanya kandungan auksin endogen eksplan yang jumlahnya seimbang dengan sitokinin yang diberikan sehingga sebagian besar eksplan hanya membentuk kalus. Skoog and Miller (1957 dalam George, 1993) berpendapat bahwa pembentukan tunas dan akar dikendalikan oleh keseimbangan antara auksin dan sitokinin; jika auksin tinggi dan sitokinin rendah maka terbentuk akar , jika auksin dan sitokinin seimbang maka akan terbentuk kalus, dan jika auksin rendah dan sitokinin tinggi terbentuk tunas. Bahan tanaman yang digunakan dalam kultur kalus ini diambil dari pohon induk, sehingga kemungkinan bahan tanaman mengandung debu, kotoran- kotoran, dan berbagai kontaminan hidup pada permukaannya, sangat besar meski kondisi tanamannya dalam keadaan sehat. Kontaminan hidup dapat berupa cendawan, bakteri, serangga dan telurnya, tungau serta sporaspora. Pada media yang mengandung gula, vitamin dan mineral, kontaminan terutama cendawan dan bakteri dapat tumbuh secara cepat. Dalam beberapa hari, kontaminan memenuhi seluruh botol kultur. Eksplan yang tertutup kontaminan akhirnya mati, dapat sebagai akibat langsung dari serangan cendawan/bakteri. Kontaminasi terjadi sejak umur 3 hari setelah tanam (HST) sampai dengan 7 HST. Penyebabnya berupa cendawan putih dengan spora hitam, dan bakteri yang mengeluarkan eksudat berupa lendir putih. Salah satu faktor (selain lingkungan) yang mempengaruhi petumbuhan dan morfogenesis kultur jaringan yaitu genotipe bahan tanaman yang dikultur. Pengertian genotipe disini meliputi varietas Interaksi genotipe tanaman dengan lingkungan tumbuh dapat menyebabkan perbedaan-perbedaan respon meski hanya dalam aras varietas. Vareitas A dapat melangsungkan morfogenesis pada suatu macam ZPT, sementara varietas B tidak responsif hingga konsentrasi ZPT diubah, diganti atau dilengkapi dengan yang lain. Disebabkan oleh spesifisitas genotipe, kebutuhan media dan lingkungan tumbuh sering berbeda dari satu genus atau spesies tanaman (George, 1993). Secara umum tanaman yang ex vitro mudah menghasilkan tunas adventif maka demikian juga halnya jika tanaman tersebut dalam kondisi in vitro. Pada pamelo telah dilaporkan tentang keberhasilan multiplikasi tunas dari nodia Tetapi Pamelo Bageng tergolong sedikit menghasilkan tunas adventif meski dilakukan pangkas pucuk untuk menghilangkan dominasi apikal. Mungkin ini yang menyebabkan mengapa pada penelitian ini tidak terjadi multiplikasi tunas. Pada jenis jeruk lainnya, multiplikasi menghasilkan tunas adventif lebih banyak. 2.10.6 Penyambungan Tunas Pucuk Secara Invitro Teknologi Penyambungan Tunas Pucuk (PTP) secara “in vitro” sangat memerlukan keberadaan batang bawah sebagai materi penyambungan. Umumnya batang bawah YC (Yapanche Citroen) dan RL (Rough Lemon) yang banyak digunakan tetapi kedua jenis batang bawah tersebut saat ini sulit untuk didapatkan. Jeruk manis selain buahnya dikonsumsi, bijinya jika disemaikan tidak pecah dan menyerupai YC maupun RL, selain itu mudah diperoleh. penyambungan tunas pucuk (PTP) jadi tidak dipengaruhi oleh perlakuan. Persentase keberhasilan PTP jadi antara batang bawah YC + batang atas keprok, batang bawah manis” Valencia” + batang atas keprok, batang bawah YC + batang atas jeruk besar/Pamelo dan batang bawah manis “Valencia” + batang atas jeruk besar/Pamelo relatif sama. Menurut Supriyanto (1985), bahwa prinsip penyambungan tunas pucuk (PTP) adalah menyatukan jaringan tanaman dalam ukuran yang relatif kecil yang diawali dengan pembelahan sel sehingga terbentuk kalus dan dari kalus tersebut terjadi differensiasi menjadi kambium baru, pembentukan xylem, phloem oleh kambium baru kemudian diakhiri dengan proses lignifikasi dari kalus. Hasil analisis secara statistik menunjukkan bahwa jumlah daun yang tumbuh dari tunas pucuk yang disambungkan ada perbedaan yang nyata antar perlakuan. Batang bawah manis “Valencia” + batang atas keprok menghasilkan jumlah daun yang lebih banyak dibandingkan perlakuan yang lain dan ada beda Pertumbuhan dan perkembangan tanaman adalah merupakan proses yang berkelanjutan. Letak pertumbuhan ada dalam meristem ujung,lateral dan interkalar. Tunas pucuk atau “shoot tip” yang disambungkan pada batang bawah setelah mengalami differensiasi dan membentuk kambium baru akan berfungsi sebagai meristem ujung atau lateral sehingga tunas pecah dan membentuk daun baru. Menurut Humphreesdan Wheeler (1963) dalam Gardner et. al., (1985) jumlah dan ukuran daun dipengaruhi oleh genotipe dan lingkungan sedangkan pertumbuhan tanaman salah satu faktor yang berpengaruh adalah air dan ketersediaan nutrisi (Gardner et. al., 1985). Waktu yang diperlukan mulai tunas pucuk disambungkan sampai terbentuk daun pada jenis jeruk keprok (Citrus Reticulata) lebih cepat 1 bulan dibandingkan jeruk besar (Citrus Grandis) (Purbiati et.al., 2001). Dari hasil penelitian pada batang bawah manis “Valencia” + batang atas keprok jumlah daunnya paling tinggi karena disamping sifat genetis dari jeruk keprok juga waktu mulai pecah tunas lebih cepat sehingga daun yang terbentuk lebih banyak. Keadaan dorman tunas pucuk terjadi setelah 3 bulan penyambungan , tunas pucuk tidak menunjukkan pertumbuhan tetapi keadaannya masih tetap hijau. Dorman tersebut terjadi karena tidak terjadi differensiasi dari tunas pucuk sehingga berakibat tumbuhnya tunas batang bawah dari bekas luka irisan batang. Tunas pucuk dorman setelah penyambungan tersebut kemungkinan disebabkan saat tunas pucuk diambil dari pohon induknya masih pada fase dorman dan ketersediaan hormon sitokinin pada pucuk tersebut tidak terpenuhi untuk memecahkan tunas pucuk membentuk daun. 2.10.7 Eksplan biji Meski Indonesia disebut sebagai daerah asli jeruk besar, namun negara yang dikenal sebagai pusat pengembangan jeruk besar justru Thailand. Hal ini disebabkan karena usaha pertanaman kebun jeruk di Indonesia kurang didukung oleh penggunaan bibit yang bermutu. Saat ini, penyediaan bibit jeruk besar dilakukan dengan persemaian benih dan okulasi. Kelemahan dari bibit hasil persemaian benih yaitu tidak dapat diperoleh dalam jumlah banyak, sedangkan bibit hasil okulasi seringkali mengalami inkompatibilitas sehingga proses okulasinya gagal. Beberapa hal tersebut mengakibatkan ketersediaan bibit jeruk besar kurang mencukupi. Berdasarkan hal-hal tersebut, maka diperlukan upaya lain untuk melestarikan jeruk besar dan mewujudkan kontinyuitas ketersediaan bibit jeruk besar yang sesuai dengan tuntutan keadaan pada saat ini. Upaya yang dapat dilakukan yaitu dengan perbanyakan jeruk secara in vitro atau kultur jaringan. Perbanyakan secara in vitro pada jeruk mempunyai tingkat keberhasilan yang tinggi karena pada umumnya tanaman ini dibiakkan secara vegetatif. Menurut Wattimena dan Mattjik (1992) beberapa keuntungan yang didapat dari perbanyakan secara in vitro yaitu kemudahan dalam menyimpan, menghemat pemakaian lahan, tenaga, erosi genetik dapat dicegah, mempermudah pengiriman, dan bebas dari hama penyakit. Perbanyakan jeruk secara in vitro dapat dilakukan dengan menggunakan eksplan biji dan hipokotil. Biji jeruk mempunyai sifat apomiksis sehingga dapat membentuk tanaman yang true to type. Hal ini didukung oleh Ramkrishna et al. (2005) yang menyatakan bahwa hasil perbanyakan jeruk menggunakan ekplan kotiledon yang diuji dengan (RAPD) marker menunjukkan sifat true-to-type. Eksplan biji jeruk besar yang digunakan dalam penelitian ini berasal dari kebun pertanian jeruk besar di Sumedang. Biji jeruk besar ini telah mengalami masak fisiologis dan telah mengalami masa penyimpanan dalam suhu dingin selama 1 bulan. Penyebab mudahnya terbentuk tunas pada eksplan kotiledon karena struktur permukaan kotiledon memiliki sel-sel yang memang berfungsi untuk penyerapan air. Lebih lamanya inisiasi tunas pada eksplan epikotil disebabkan fase pembentukan tunas eksplan epikotil diawali dengan proses diferensiasi sel terlebih dahulu dengan membentuk kalus. Selama menuju inisiasi tunas, terjadi perubahan warna dan ukuran kotiledon Citrus maxima (Burm.) Jeruk besar dalam semua media perlakuan. Ukuran kotiledon pada saat tanam menjadi bertambah besar dan warna kotiledon berubah dari kuning menjadi hijau pada satu minggu setelah tanam (MST) sampai kotiledon bertunas. Waktu yang diperlukan sampai terbentuknya tunas kotiledon rata-rata 4-5 minggu setelah tanam pada semua jenis media. Pemunculan tunas pertama kali ditunjukkan pada media 1 dan 3. Jumlah tunas yang terbentuk pada tiap-tiap kotiledon berjumlah 15 tunas. Pertumbuhan akar pada tunas asal eksplan kotiledon jauh lebih cepat dibandingkan tunas asal eksplan epikotil. Berdasarkan tabel data jumlah akar (Tabel 7), tunas asal eksplan kotiledon telah membentuk akar pada 4 MST sedangkan tunas asal eksplan epikotil baru membentuk akar pada 10 MST. Jumlah akar tanaman asal eksplan kotiledon berbeda nyata dan lebih banyak dari pada tanaman asal eksplan epikotil. Pada daun dilakukan setelah eksplan disubkultur pada media perakaran dan memerlukan waktu selama 13 minggu. Dilihat dari pengaruh tunggal jenis eksplan menunjukkan bahwa sejak 4 MST hingga 13 MST, jumlah daun yang dihasilkan eksplan kotiledon lebih banyak dibandingkan eksplan epikotil. Ratarata jumlah daun yang berasal dari eksplan epikotil sejak 4 MST mengalami pengguguran daun sehingga rataan nilainya terus mengalami penurunan hingga 13 MST BAB III PENUTUP 3.1 Kesimpulan Adapun kesimpulan yang dapat diambil adalah sebagai berikut : Kultur jaringan atau budidaya in vitro adalah suatu metode untuk mengisolasi bagian dari tanaman seperti protoplasma, sel, jaringan atau organ yang serba steril, ditumbuhkan pada media buatan yang steril, dalam botol kultur yang steril dan dalam kondisi yang aseptik, sehingga bagian-bagian tersebut dapat memperbayak diri dan beregenerasi menjadi tanaman yang lengkap. Kultur Jaringan Pada Jeruk Pamelo Bageng dapat dikultur secara in vitro, terlihat dari keberhasilan eksplan membentuk kalus dan tunas Jeruk YC dan manis “Valencia” dapat digunakan sebagai batang bawah dengan tunas pucuk jeruk keprok dan jeruk besar/Pamelo Keberhasilan sambungan jadi tidak beda dan mencapai 39% -61%, demikian juga tunas pucuk dorman setelah penyambungan juga tidak beda dan mencapai 23% -41%. Eksplan kotiledon memberikan hasil yang lebih baik dibanding eksplan epikotil dalam rasio bertunas, tinggi tanaman, jumlah daun, jumlah akar. Teknik sterilisasi yang dilakukan terbukti baik. Interaksi antara media dan jenis eksplan tidak terlihat perbedaannya. DAFTAR PUSTAKA Sumarsih, S. 2011. Kultur Organ (kultur meristem dan pucuk). Fakultas Pertanian UPN “Veteran” Yogyakarta. Putra D, Sulistyowati L, Cholil A, Martasari C. 2013. Evaluasi Ketahanan Tanaman Jeruk (Citrus Sp.) Hasil Fusi Protoplas Jeruk Satsuma Mandarin (Citrus Unshiu) Dan Jeruk Siam Madu (Citrus Nobilis) Terhadap Infeksi Penyakit. Jurnal Hama dan Penyakit Tumbuhan, Fakultas Pertanian, Universitas Brawijaya, Jl. Veteran Malang 65145. V. 1 No. 1 hal. 16-26 Semendaya F H. 2014. Kultur Jaringan Stroberi (Fragaria Sp.) Balai Penelitian Tanaman Jeruk dan Buah Subtropika Batu Jawa Timur. Jurnal Program Keahlian Teknologi Industri Benih Program diploma Institut pertanian bogor. Sunyoto , Purnomo S , Makful. 2014. Formula Media Kultur Endosperm Jeruk Hasil Persilangan Antarklon Siem dengan Keprok dan Jeruk Besar. Jurnal Pusat Penelitian dan Pengembangan Hortikultura. Balai Penelitian Tanaman Buah Tropika, Balai Pengkajian Teknologi Pertanian Jawa Timur. Robert L J. 2011. Plan Propagation. Journal Agricultural Sciences. Department of Holticulture, University of Kentucky, Lexington, Ky. USA. Myrna N. 2005. Kultur Jaringan Jeruk Nipis (Citrus aurantifolia): Pengaruh Metoda Sterilisasi Dan Komposisi Media. Jurnal Agronomi V. 9 (2): 99102. Fakultas Pertanian Universitas Jambi Kampus Pinang Masak, Mendalo Darat, Jambi. Nurwahyuni. 2013. Teknik In Vitro Jeruk Keprok Brastagi (Citrus Nobilis Brastepu) Sebagai Strategi Biokonservasi Mengatasi Kepunahan Jeruk Lokal Sumatera Utara. Jurnal Prosiding Semirata FMIPA Universitas Lampung. Shekari F. 2011. The preservation of lime witches’ broom phytoplasma in key lime by tissue culture. Journal Bulletin of Insectology 64 (Supplement): S201-S202. Altaf, N., R. Abdul, A.B. Inkisar, A.Liaqat. 2009. Tissue Culture of Citrus Cultivars. EJEAFChe. 8(1):43-51. Dwiastuti M. E., M. Sugiharto dan Yunawan. 1996. Seleksi jeruk toleran terhadap penyakit CVPD George, E. F. 1993. Plant Propagation by Tissue Culture. 2nd Edition.Exegetics Ltd., Edington Wilts, England. 551p. Gunawan, I.W. 1995. Teknik In vitro Dalam Hortikultura. Penerbit Swadaya: Jakarta Hendaryono, D.P.S dan A. Wijayani. 1994. Teknik Kultur jaringan Perbanyakan dan Petunjuk Perbanyakan Tanaman Secara Vegetatif. Kanisius: Yogyakarta Kompas. 2009. Ekonomi Rakyat Tinggi, Permintaan Jeruk Pamelo Meningkat. Senin, 6 April. Navarro L and Juarez. 1977. Elimination of citrus pathogens in propagative budwood “in vitro” propagation. Proc. Int. Soc. Citriculture (3): 973-987. Paudyal, K.P and Haq N. 2000. In Vitro propagation of pummelo (Citrus grandis L. Osbeck). In Vitro Cellular and Development Biology-Plant. 36(6): 511516 Ramkrishna, N. Khawale and S.K. Singh. 2005. In-vitro adventitive embryonic in Citrus: A technique for Citrus gerlmplasm exchange. Current Science. 88(8): 1309-1311. Rukmana, R dan Y. Yuniarsih. 2003. Usaha Tani Jeruk Keprok. Aneka Ilmu. Semarang Supriyanto A., 1985. Teknik pembibitan buah-buahan secara cepat. Paper pada latihan metodologi Penelitian Buah-buahan di malang. 10 p.