4. Arguing One’s Land In Pasir

advertisement
Edra Ramadhan Praliansyah/165110801111023
Review Antropologi Hukum – Arguing One’s Land In Pasir
Pada artikel tersebut Laurens Bakker berbicara tentang konflik sengketa tanah yang terjadi
di distrik Pasir, Kalimantan Timur, dimana terdapat tiga kelompok masyarakat yang memiliki
sejarah lokal, keadaan sosial, dan nilai-nilai budaya lokal yang berbeda dalam memperkuat klaim
mereka atas validitas status tanah. Perebutan tanah tersebut terjadi diantara keturunan terakhir dari
sultan Pasir yakni Pak Tur, dan Pak Tio yang juga merupakan keturunan lain dari sultan dan
didukung oleh lembaga swadaya dan masyarakat setempat. Sehingga pihak pemerintah yang legal
yang dirasa memiliki kuasa atas otoritas hukum formal dianggap merupakan solusi dari
persengketaan tanah tersebut.
Aura-aura otoritas kesultanan masih melekat dengan keturunan-keturunan dari kerajaan
Pasir, mereka berkompetisi, berkontestasi, dan memperjuangkan desentralisasi atau berupaya
untuk memperjuangkan otoritas lokal dibanding dengan nasional. Sebelum itu, pada dasarnya
kesultanan tidaklah sekedar berarti “sebuah kondisi yang memiliki sultan”. Dalam kesultanan
otoritas hukum absolut berada di tangan penguasa atau sang sultan itu sendiri. Namun sultan jarang
terlibat dengan pemerintahan secara langsung, karena elit bangsawan, dan anggota keluarga
kerajaan yang memiliki tugas untuk mengadministrasikan pemerintahan dan kebijakankebijakannya. Elit-elit tersebut dapat mempengaruhi popularitas dari sultan, sehingga apabila
terdapat masyarakat yang bermigrasi maka hal tersebut dapat dipengaruhi oleh sistem
pemerintahan dari elit bangsawan itu sendiri.
Pak Tur merupakan figur yang dihormati dan disegani. Ia merupakan seorang pegawai
negeri sipil, bendahara dari LSM dan yayasan, dan anggota dari beberapa organisasi amal muslim.
Pada saat Pak Tur mempersiapkan klaim tanahnya, ia berkonsultasi dengan badan-badan tersebut.
Ia mengakui merupakan keturunan raja-raja terdahulu dengan bukti catatan historis yang ia
paparkan dan mengklaim bahwa tanah wilayah kerajaan dahulu merupakan otoritas atasnya.
Namun disisi lain Pak Tio yang juga merupakan keturunan dari raja Pasir juga menentang atas
klaim dari Pak Tur, Pak Tio sendiri juga memiliki dokumen catatan historis sebagai bukti lain
bahwa klaim tersebut seharusnya haknya. Meski demikian, pada dasarnya keduanya sedang
berupaya untuk memperjuangkan identitas tradisionalnya. Namun pada saat mereka berada di
pengadilan, klaim keduanya ditolak karena catatan-catatan sejarah yang mereka miliki dinilai tidak
valid dan tidak memiliki klaim yang kuat.
Pak Tur pada dasarnya sudah memiliki argumen yang bagus dan mendapatkan dukungan
dari berbagai pihak elit formal, namun ia hanya mengandalkan dukungan dari elit formal tersebut
sehingga cenderung tidak memerlukan suara dari masyarakat adat. Demikian juga dengan Pak Tio,
ia hanya mengedepankan dukungan dari masyarakat adat, namun ia tidak membangun relasi
dengan golongan fornal. Sehingga keduanya tidak memperoleh hak atas tanah bekas kerajaan
tersebut. Dengan kompleksitas hukum adat dan catatan sejarah yang berlawanan, pengadilan
memutuskan untuk memberikan hak atas tanah tersebut pada pemerintahan formal dengan maksud
agar dapat menghindari hal-hal yang tidak diinginkan. Keputusan dari pengadilan memang
menyurutkan ketegangan atas perebutan tanah tersebut, namun disisi lain keputusan tersebut juga
berkontribusi melunturkan kearifan lokal dari adat kesultanan Pasir. Demikian, yang sebelumnya
tanah tersebut kepemilikannya diperdebatkan oleh kedua kubu adat kerajaan yang saling
memperjuangkan hak dan identitasnya, kini otoritas tanah tersebut dilimpahkan terhadap otoritas
lokal fornal di daerah tersebut.
Pertanyaan: Apakah keputusan pengadilan terkait pelimpahan otoritas tanah bekas kerajaan
terhadap otoritas formal lokal merupakan solusi yang tepat dalam penyelesaian perdebatan tanah
tersebut?
Download