PENDIDIKAN AGAMA ISLAM BERBASIS MULTIKUL ok

advertisement
PENDIDIKAN AGAMA ISLAM
BERBASIS MULTIKULTURALISME
(Studi Teks Mata Pelajaran PAI di SMA)
Mohammad Kosim
Staf Pengajar Jurusan Tarbiyah STAIN Pamekasan
Abstract: Multiculturalism is a concept that puts the community as a
fundamental reality of cultural pluralism in public life. Although
this terminology was first discoursed in America and Western
Europe around the 1960's, but this term is not new for Muslims. This
paper presents the study on multicultural education focusing on PAI
Textbook in Senior High School. Conceptually, subjects relating to
multicultural education are adequate, especially on the material
relating to aqidah, history and the Holy Qor’an.
Kata kunci: Islam, Pendidikan Agama Islam, multikulturalisme.
Pendahuluan
Indonesia adalah negara besar. Luas wilayahnya ± 1.919.440 km²,
dikelilingi oleh ± 20 ribu pulau besar dan kecil, dan dihuni oleh ± 238
juta jiwa penduduk dari beragam suku, agama, budaya dan kepercayaan. Dengan demikian, Indonesia--melebihi kebanyakan negaranegara lain--merupakan negara yang multi suku, multi etnik, multi
agama, dan multi budaya.
Kemajemukan tersebut pada satu sisi merupakan kekuatan sosial
dan keragaman yang indah apabila satu dengan lainnya bersinergi
dan saling bekerja sama untuk membangun bangsa. Akan tetapi, keragaman bisa menjadi pemicu konflik dan kekerasan yang dapat menggoyahkan sendi-sendi kehidupan berbangsa dan bernegara apabila
tidak dikelola dengan tepat dan baik.
Oleh karena itu, untuk menghindari konflik bernuansa multikultural, maka diskursus dan upaya implementasi multikulturalisme
dalam kehidupan perlu terus dikembangkan. Upaya ini tampaknya
telah disadari sejak dini oleh para pendiri bangsa kita (the founding
PAI Berbasis Multikulturalisme
fathers) sehingga mereka perlu membumikan slogan Bhinneka Tunggal
Ika, berbeda-beda tetapi tetap satu, unity in diversity.
Dalam beberapa kasus, agama sering disebut sebagai salah satu
faktor timbulnya konflik di tengah masyarakat yang beragam.
Peristiwa Ambon, Poso, Sambas, dan Ciketing Bekasi misalnya, merupakan contoh kekerasan dan konflik horizontal berlatarbelakang multi
agama dan etnik yang telah menguras energi dan merugikan tidak
saja jiwa dan materi tetapi juga mengorbankan keharmonisan antar
sesama anak bangsa.
Pertanyaannya, benarkah agama mengajarkan anti keragaman
dan kekerasan? Sebagai pedoman dan tuntunan hidup, setiap agama
diyakini mengajarkan kedamaian, toleransi, dan kasih sayang kepada
para pemeluknya. Dalam Islam misalnya, dilarang keras untuk bersikap ekstrim (ghulūw), menindas (zālim), sewenang-wenang dan
melampaui batas. Sebaliknya Islam mengajak umatnya agar berlaku
santun, toleransi, saling memaafkan, dan kasih sayang.
Dengan demikian, harus dibedakan antara agama dan penganutnya. Agama, sebagaimana ungkapan Nurcholish Madjid, tetaplah
sebagai sebuah ajaran moral yang mencintai nilai-nilai dasar kemanusiaan, karena itu agama tidak bisa dituduh sebagai motivator
penggerak perilaku menyimpang.Yang bisa dikenakan tuduhan
menyimpang adalah pemeluk agama itu sendiri. Dan itu bukan monopoli pemeluk agama tertentu. Gerakan-gerakan radikal dan ekstrim
bisa terjadi pada pemeluk setiap agama yang ada.1
Penjelasan di atas menunjukkan bahwa tidak ada satu agama pun
yang mengajarkan kekerasan dan anti keragaman. Jika demikian,
faktor apa yang menjadi penyebab terjadinya gerakan-gerakan radikal
anti keragaman berbau agama? Mengapa suatu kelompok menindas,
membunuh, dan menganiaya kelompok lain atas nama agama? Tidak
mudah menjawabnya. Mencari faktor di luar agama—seperti faktor
sosial, politik, ekonomi—sebagai pemicunya sangat mungkin, tapi
berusaha mengelak untuk tidak mengaitkan radikalisme dengan
agama—sebagaimana dipahami pemeluknya—bukan hal yang mudah, karena dalam realitas fenomina tersebut mudah dijumpai. Yang
jelas, sebagaimana pendapat Mun’im A. Sirry, radikalisme agama
1Nurcholish
Madjid, Dialog Keterbukaan (Jakarta : Paramadina, 1998), hlm. 254-255.
Tadrîs. Volume 5. Nomor 2. 2010
159
Mohammad Kosim
tidak pernah terjadi di ruang hampa atau dalam situasi vakum, selalu
ada sebab dan sasaran.2 Dengan demikian, radikalisme agama seringkali muncul sebagai reaksi atas aksi sebelumnya yang dipandang
merugikan agama dan penganutnya.
Kecenderungan bersifat radikal dan anti keragaman di kalangan
umat beragama disebabkan—antara lain—oleh pemahaman mereka
terhadap ajaran agama yang dipeluknya, yang diperoleh—antara lain-melalui teks-teks keagamaan yang dibaca dan diajarkan oleh tokoh
agama. Dengan demikian, keberadaan teks-teks keagamaan menjadi
sangat penting untuk dikaji sebelum disebarluaskan ke masyarakat.
Penelitian ini, hendak mengkaji teks-teks mata pelajaran PAI di
sekolah. Sebab teks mata pelajaran menjadi salah satu sumber belajar
utama bagi guru dan murid di sekolah dalam memahami suatu
persoalan.
Masalah dalam penelitian ini dirumuskan sebagai berikut : (1)
Adakah teks-teks pelajaran PAI di SMA yang berhubungan dengan
multikulturalisme?; (2) Bagaimana model penyajian teks-teks pelajaran PAI di SMA yang berhubungan dengan multikulturalisme?; dan
(3) Bagaimana arah pembahasan teks pelajaran PAI di SMA yang
terkait dengan keragaman, seperti keragaman agama, jenis kelamin,
suku?
Hasil penelitian ini diharapkan memberikan manfaat ganda,
teoritis dan praktis. Secara teoritis, hasilnya diharapkan bisa memperkaya kajian-kajian tentang multikulturalisme. Sedangkan secara
praktis, hasilnya diharapkan menjadi masukan bagi pengembang kurikulum dan penulis buku teks pelajaran PAI.
Penelitian ini menggunakan pendekatan kualitatif dengan jenis
penelitian studi pustaka (library research). Pendekatan kualitatif dipilih
karena peneliti hendak mendeskripsikan secara utuh dan mendalam
tentang fenomena di balik teks. Yang menjadi sumber data dalam
penelitian ini adalah: Pertama, Peraturan Menteri Pendidikan Nasional
Nomor 22 Tahun 2006 tentang Standar Isi dan Nomor 23 Tahun 2006
tentang Standar Kompetensi Lulusan untuk Pendidikan Dasar dan
Menengah, khususnya untuk Mata Pelajaran PAI di SMA; Kedua, buku
2Mun’im
A. Sirry, Membendung Militansi Agama; Iman dan Politik dalam Masyarakat Modern (Jakarta : Erlangga, 2003), hlm. 30.
160
Tadrîs. Volume 5. Nomor 2. 2010
PAI Berbasis Multikulturalisme
teks Mata Pelajaran PAI di SMA kelas X, XI dan kelas XII terbitan
Yudhistira Jakarta tahun 2006 (untuk kelas XII), 2007 (untuk kelas XI)
dan 2008 (untuk kelas X), berjudul Agama Islam; Lentera Kehidupan,
yang disusun oleh Drs. Margiono, M.Pd., Drs. Junaidi Anwar, dan
Dra. Latifah. Buku teks terbitan Yudhistira dipilih karena; isi buku
telah berpedoman pada Peraturan Menteri Pendidikan Nasional
Nomor 22 Tahun 2006 tentang Standar Isi dan Nomor 23 Tahun 2006
tentang Standar Kompetensi Lulusan; penerbit ini termasuk salah satu
penerbit qualified untuk buku-buku mata pelajaran di sekolah; dan
banyak SMA yang menggunakan terbitan ini sebagai buku pegangan
guru/murid.
Sesuai dengan jenis sumber data yang bertumpu pada data dokumenter, maka pengumpulan data dalam penelitian ini menggunakan
metode dokumentasi dengan instrumen penelitian berupa pedoman
dokumentasi. Sebagaimana lazimnya penelitian kualitatif, analisis
data dilakukan selama dan setelah penelitian berlangsung. Metode
analisis data menggunakan analisis dokumen (document analysis).
Dalam melakukan analisis dokumen, digunakan proses berpikir aduktif (adductive reasonning), yakni pola pikir dengan cara mengemukakan
jawaban pada pertanyaan tertentu sehingga diperoleh “kecocokan”
penjelasan yang memuaskan.3
Kajian Pustaka
Multikulturalisme
Secara sederhana multikultural berarti keragaman budaya.4 Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia, multikulturalisme diartikan sebagai gejala pada seseorang atau suatu masyarakat yang ditandai oleh
kebiasaan menggunakan lebih dari satu kebudayaan.5
Ada tiga istilah yang sering digunakan untuk menggambarkan
masyarakat yang beragam (agama, ras, bahasa, dan budaya yang berbeda), yaitu pluralitas (plurality), keragaman (diversity), dan multikultural (multicultural). Ketiga istilah tersebut, kendati semuanya me3Jalaluddin
Rakhmat, Metode Penelitian Komunikasi (Bandung : Remaja Rosdakarya,
1993), hlm. 24.
4Scott Lash dan Mike Featherstone (ed.), Recognition And Difference: Politics, Identity,Multiculture (London: Sage Publication, 2002), hlm. 2-6.
5Kamus Besar Bahasa Indonesia (Jakarta : Balai Pustaka, 2005), hlm. 762.
Tadrîs. Volume 5. Nomor 2. 2010
161
Mohammad Kosim
ngacu kepada adanya ’ketidaktunggalan’, sesungguhnya tidak merepresentasikan hal yang sama. Konsep pluralitas mengandaikan adanya
’hal-hal yang lebih dari satu’ (many); keragaman menunjukkan bahwa
keberadaan yang ’lebih dari satu’ itu berbeda-beda, heterogen, dan
bahkan tak dapat disamakan. Sedangkan inti multikulturalisme ialah
adanya kesediaan menerima kelompok lain secara sama sebagai kesatuan, tanpa memerdulikan perbedaan budaya, etnik, gender, bahasa, ataupun agama. Apabila pluralitas sekedar merepresentasikan
adanya kemajemukan (yang lebih dari satu), multikulturalisme memberikan penegasan bahwa dengan segala perbedaannya itu mereka
adalah sama di ruang publik.
Multikulturalisme adalah kearifan untuk melihat keanekaragaman budaya sebagai realitas fundamental dalam kehidupan bermasyarakat. Kearifan ini terwujud apabila seseorang membuka diri
untuk menjalani kehidupan bersama dengan melihat realitas plural
sebagai sebuah kemestian yang tidak bisa diingkari ataupun ditolak,
apalagi dimusnahkan.
Sebagai sebuah ide, multikulturalisme diwacanakan pertama kali
di Amerika dan negara-negara Eropa Barat pada tahun 1960-an oleh
gerakan yang menuntut diperhatikannya hak-hak sipil (civil right
movement). Tujuan utama dari gerakan ini adalah untuk mengurangi
praktik diskriminasi di tempat-tempat publik, di rumah, di tempattempat kerja, dan di lembaga-lembaga pendidikan, yang dilakukan
oleh kelompok mayoritas terhadap kelompok minoritas. Selama itu, di
Amerika dan negara-negara Eropa Barat hanya dikenal adanya satu
kebudayaan, yaitu kebudayaan kulit putih yang Kristen. Golongangolongan lainnya yang ada dalam masyarakat tersebut dikelompokkan sebagai minoritas dengan pembatasan hak-hak mereka.6
Sejak pertama kali digulirkan, multikulturalisme sudah mengalami dua gelombang penting yaitu, pertama multikulturalisme dalam
konteks perjuangan pengakuan budaya yang berbeda. Prinsip kebutuhan terhadap pengakuan (needs of recognition) adalah ciri utama dari
gelombang pertama ini. Gelombang kedua, adalah multikulturalisme
yang melegitimasi keragaman budaya, yang mengalami beberapa
tahapan, diantaranya: kebutuhan atas pengakuan, melibatkan berba6Ibid.,
162
hlm. 2-3.
Tadrîs. Volume 5. Nomor 2. 2010
PAI Berbasis Multikulturalisme
gai disiplin akademik lain, pembebasan melawan imperialisme dan
kolonialisme, gerakan pembebasan kelompok identitas dan masyarakat asli/masyarakat adat (indigeneous people), post-kolonialisme, globalisasi, post-nasionalisme, post-modernisme dan post-strukturalisme
yang mendekonstruksi stuktur kemapanan dalam masyarakat.
Gerakan hak-hak sipil ini, menurut James A. Banks,7 berimplikasi
pada dunia pendidikan, dengan munculnya beberapa tuntutan untuk
melakukan reformasi kurikulum pendidikan yang sarat dengan diskriminasi. Pada awal tahun 1970-an muncullah sejumlah kursus dan
program pendidikan yang menekankan pada aspek-aspek yang berhubungan dengan etnik dan keragaman budaya (cultural diversity).
Islam dan Multikulturalisme
Kata Islam, dari akar kata s-l-m, berarti menyerahkan diri, perdamaian, selamat dan sejahtera.8 Dengan demikian, seseorang yang telah
berikrar untuk menyerahkan diri secara total kepada Allah akan
hidup damai, selamat dan sejahtera, dan akan berupaya menebarkan
kedamaian dan kesejahteraan di muka bumi. Tidak ada penindasan,
kekerasan, dan penganiayaan atas nama Islam. Inilah konsep
beragama dalam Islam. Sejumlah dalil naqli berikut akan menguatkan
ajaran Islam yang ramah dan toleran tersebut.
‫ﻜﹸﻢ‬‫ﻣ‬‫ ﺇﻥ ﺍﹶﻛﹾﺮ‬.‫ﺍ‬‫ﻓﹸﻮ‬‫ﺎﺭ‬‫ﻌ‬‫ﺎﺋﻞﹶ ﻟﺘ‬‫ﻗﹶﺒ‬‫ﺑﺎ ﻭ‬‫ﻮ‬‫ﻌ‬‫ ﺷ‬‫ﻠﹾﻨﺎﻛﹸﻢ‬‫ﻌ‬‫ﺟ‬‫ﺜﹶﻰ ﻭ‬‫ﺃﻧ‬‫ ﺫﹶﻛﹶﺮ ﻭ‬‫ ﻣﻦ‬‫ﺎﻛﹸﻢ‬‫ﻠﹶﻘﹾﻨ‬‫ﺎ ﺧ‬‫ ﺇﻧ‬‫ﺎﺱ‬‫ﺎﺍﻟﻨ‬‫ﻬ‬‫ﺎﺍﹶﻳ‬‫ﻳ‬
(13 :‫) ﺍﳊﺠﺮﺍﺕ‬.‫ﻘﹶﺎﻛﹸﻢ‬‫ ﺍﷲ ﺃﺗ‬‫ﺪ‬‫ﻋﻨ‬
Artinya: "Hai manusia, sesungguhnya Kami menciptakan kamu dari
seorang laki-laki dan seorang perempuan serta menjadikan kamu
berbangsa-bangsa juga bersuku-suku supaya kamu saling kenal
mengenal. Sesungguhnya yang paling mulia di antara kamu di sisi
Allah ialah yang paling takwa di antara kamu."9
(107 : ‫ )ﺍﻷﻧﺒﻴﺎﺀ‬.‫ﻦ‬‫ﺎﻟﹶﻤﻴ‬‫ﺔ ﻟﻠﹾﻌ‬‫ﻤ‬‫ﺣ‬‫ ﺇﻟﹼﺎ ﺭ‬‫ﺎﻙ‬‫ﻠﹾﻨ‬‫ﺳ‬‫ﺎ ﺃﺭ‬‫ﻣ‬‫ﻭ‬
7James
A Banks (ed.), Multicultural Education: Issues and Perspectives (London : Allynand Bacon Press. 1989), hlm. 4-5.
8Baca dalam al-Munjid fi al-Lughah wa al-A'lam (Beirut : Dar al-Masyriq, 2003), Cet. Ke40, hlm. 347.
9
M. Quraish Shihab, Tafsir Al-Mishbah Vol. 13 (Jakarta : Lentera Hati, 2000), hlm.
260.
Tadrîs. Volume 5. Nomor 2. 2010
163
Mohammad Kosim
Artinya : "Dan tidaklah Kami mengutusmu, melainkan (menjadi)
rahmat bagi semesta alam."10
.‫ﻼﻡ‬‫ﻞﹺ ﺍﳉﻨﺔﹶ ﺑﺴ‬‫ﺧ‬‫ﺪ‬‫ ﻧﻴﺎﻡ ﺗ‬‫ﺎﺱ‬‫ﻭﺍﻟﻨ‬ ‫ﻞ‬‫ﻞﹼ ﺑﺎﻟﻠﻴ‬‫ ﻭﺻ‬‫ﺎﻡ‬‫ﺣ‬‫ﺻﻞ ﺍﻷﺭ‬‫ ﻭ‬‫ﻼﹶﻡ‬‫ﺃﻓﹾﺶ ﺍﻟﺴ‬‫ ﻭ‬‫ﺎﻡ‬‫ﺃﹶﻃﹾﻌﻢ ﺍﻟﻄﹼﻌ‬
.‫ﺭﻭﺍﻩ ﺍﺑﻦ ﺣﺒﺎﻥ‬
Artinya : Berilah makan (orang yang membutuhkan), sebarkan
kedamaian, sambunglah silaturahim, lakukan salat malam ketika
orang-orang sedang tidur, kalian akan masuk surga dengan damai
(HR. ibn Hibban).
‫ ﺭﻭﺍﻩ‬.‫ﺎﺀ‬‫ﻤ‬‫ ﰲ ﺍﻟﺴ‬‫ﻦ‬‫ ﻣ‬‫ﻜﹸﻢ‬‫ﻤ‬‫ﺣ‬‫ﺮ‬‫ﺽ ﻳ‬‫ ﰲ ﺍﻷﺭ‬‫ﻦ‬‫ﺍ ﻣ‬‫ﻮ‬‫ﻤ‬‫ﺣ‬‫ ﺇﺭ‬.‫ﻤﻦ‬‫ﺣ‬‫ ﺍﻟﺮ‬‫ﻢ‬‫ﻬ‬‫ﻤ‬‫ﺣ‬‫ﺮ‬‫ﻥﹶ ﻳ‬‫ﺍﲪﻮ‬‫ﺃﻟﺮ‬
.‫ﺍﻟﺒﺨﺎﺭﻱ‬
Artinya : "Orang-orang penyayang akan disayang oleh Zat Yang Maha
Penyayang. Sayangilah yang ada di bumi, maka kalian akan disayang
oleh yang di langit." (HR. Bukhari).
Dengan demikian, Islam sebagai agama yang dipeluk oleh mayoritas penduduk Indonesia merupakan agama yang ramah, toleran,
santun dan menghargai keragaman. Hanya, dalam tataran implementasi seringkali terjadi kesenjangan antara ajaran Islam yang
diwahyukan (islam ideal) dengan ajaran Islam yang diterapkan (islam
aktual). Pesan-pesan Islam yang hanîf, lembut dan toleran, bisa saja
dipahami berbeda oleh pemeluknya dan menjadi "Islam" yang galak
dan anti keragaman. Jika ini terjadi, maka Islam yang awalnya turun
dengan misi suci sebagai rahmatan lil ‘âlamîn akan berubah menjadi
la’natan lil’âlamîn, na’ûdzubillâh min dzâlik.
Hasil dan Pembahasan
Materi PAI yang Berhubungan dengan Multikulturalisme
Untuk mengetahui keberadaan materi PAI di SMA yang terkait
dengan pendidikan multikulturalisme, perlu merujuk pada Peraturan
Menteri Pendidikan Nasional Nomor 22 Tahun 2006 tentang Standar
Isi dan Nomor 23 Tahun 2006 tentang Standar Kompetensi Lulusan
untuk Pendidikan Dasar dan Menengah, khususnya untuk mata
10
M. Quraish Shihab, Tafsir Al-Mishbah Vol. 8 (Jakarta : Lentera Hati, 2000), hlm.
164
Tadrîs. Volume 5. Nomor 2. 2010
PAI Berbasis Multikulturalisme
pelajaran PAI di SMA, karena buku teks yang disusun berpedoman
pada ketentuan di atas.
Berdasar hasil telaah atas peraturan di atas diketahui bahwa dari
37 pokok bahasan/standar kompetensi (dari kelas X, XI dan XII),
ditemukan setidaknya 11 pokok bahasan dengan sejumlah sub pokok
bahasan/kompetensi dasar yang berhubungan dengan pendidikan
multikulturalisme. Pokok bahasan yang terkait dengan pendidikan
multikulturalisme tersebar di seluruh kelas, dengan rincian sebagai
berikut :
Kelas X, pokok bahasan yang berhubungan dengan pendidikan
multikultural adalah; membiasakan perilaku terpuji, memahami
keteladanan Rasulullah dalam membina umat periode Makkah,
memahami ayat-ayat Al-Qur’an tentang demokrasi, menghindari
perilaku tercela, dan memahami keteladanan Rasulullah dalam
membina umat periode Madinah.
Kelas XI, pokok bahasan yang berhubungan dengan pendidikan
multikultural adalah meningkatkan keimanan kepada rasul-rasul
Allah, meningkatkan keimanan kepada Kitab-kitab Allah, menghindari perilaku tercela. Sedangkan di Kelas XII, pokok bahasan yang
berhubungan dengan pendidikan multikultural adalah memahami
ayat-ayat al Qur’an tentang anjuran bertoleransi, membiasakan perilaku terpuji, dan membiasakan perilaku tercela.
Pokok bahasan yang berhubungan dengan pendidikan multikultural utamanya terdapat dalam aspek akhlak, sejarah dan alQur'an. Selain itu, di sepanjang pembahasan buku teks PAI seringkali
ditemukan ungkapan yang mengarah pada pendidikan multikultural,
kendati standar kompetensinya tidak terkait langsung dengan pendidikan multikultural. Dengan demikian, pendidikan multikultural dalam teks pelajaran PAI di SMA cukup memadai.
Model Penyajian Teks Pelajaran PAI yang Berhubungan dengan
Multikulturalisme
Sebagaimana penjelasan di muka, buku teks yang menjadi sumber
data dalam penelitian ini adalah buku pelajaran PAI untuk SMA kelas
X, XI, XII berjudul Agama Islam; Lentera Kehidupan yang disusun oleh
Drs. Margiono, M.Pd., Drs. Junaidi Anwar, dan Dra. Latifah, terbitan
Tadrîs. Volume 5. Nomor 2. 2010
165
Mohammad Kosim
Yudhistira Jakarta tahun 2006 (untuk kelas XII), 2007 (untuk kelas XI),
dan 2008 (untuk kelas X).
Terkait dengan pola penyajian materi yang berhubungan multikulturalisme, tidak ada satupun bab dalam buku tersebut yang
menyebut langsung istilah multikulturalisme. Hal ini tampaknya
berpedoman pada Peraturan Menteri Pendidikan Nasional Nomor 22
Tahun 2006 tentang Standar Isi dan Nomor 23 Tahun 2006 tentang
Standar Kompetensi Lulusan untuk Pendidikan Dasar dan Menengah,
yang memang tidak secara tegas menyebut istilah multikulturalisme.
Yang ditemukan adalah masalah-masalah yang subsatansinya terkait
dengan pendidikan multikulturalisme, misalnya tentang demokrasi,
menghargai keragaman agama dan perbedaan pendapat.
Dengan demikian, pola pembahasan pendidikan multikulturalisme pada mata pelajaran PAI bersifat integrasi, bukan mandiri.
Memang ada dua pendekatan yang bisa dilakukan dalam mengembangkan multikulturalisme melalui kurikulum di sekolah, yaitu ;
pertama, pola mandiri, dengan menambah mata pelajaran khusus
pendidikan multikulturalisme. Jika pendekatan ini dipilih, sekolah
bisa memanfaatkan komponen kurikulum 'muatan lokal' dan
'pengembangan diri' ; kedua, pola integrasi, dengan mengintegrasikan
pendidikan multikulturalisme ke dalam mata pelajaran terkait, seperti
mata pelajaran agama.
Dari kedua pendekatan tersebut, pendekatan integrasi yang
paling mungkin diterapkan di sekolah, karena selama ini beban
pelajaran murid di sekolah—mulai SD hingga SMA—sudah terlalu
banyak bahkan berlebih (overload). Jika ditambah mata pelajaran baru
tentang pendidikan multikulturalisme, tentu beban murid akan
semakin berat. Di samping itu, jika pendekatan pertama yang dilakukan, akan terjadi banyak pengulangan materi pelajaran karena
masalah multikulturalisme melampaui banyak aspek kehidupan sehingga bisa muncul dan dibahas di hampir setiap pelajaran.
Pada pendekatan integrasi pun, dalam praktiknya bisa dilakukan
melalui dua cara, yaitu; pertama, dengan menyisipkan sub pokok
bahasan berjudul 'pendidikan multikulturalisme' dalam beberapa kali
pertemuan. Melalui cara ini, pada mata pelajaran PAI akan ada sub
pokok bahasan berjudul pendidikan multikulturalisme 1, 2, 3 dan
seterusnya tergantung kebutuhan dengan topik beragam; kedua,
166
Tadrîs. Volume 5. Nomor 2. 2010
PAI Berbasis Multikulturalisme
dengan menyisipkan sub pokok bahasan yang berhubungan dengan
multikulturalisme dalam beberapa kali pertemuan. Jika cara kedua
yang dipakai, maka pada pelajaran PAI tidak akan ditemukan sub
pokok bahasan berjudul 'pendidikan multikulturalisme', yang muncul
adalah sub pokok bahasan yang berhubungan dengan pendidikan
multikulturalisme, misalnya tentang demokrasi, musyawarah, akhlak
terpuji kepada orang lain, dan seterusnya.
Tampaknya, yang dipilih dalam mengembangkan pendidikan
multikulturalisme melalui pelajaran PAI adalah cara yang kedua. Hal
ini tampaknya menyesuaikan dengan struktur Standar Isi dan Standar
Kompetensi Lulusan sebagaimana ditetapkan dalam Peraturan
Menteri Pendidikan.
Arah Pembahasan Teks Pelajaran PAI yang Berhubungan dengan
Multikulturalisme
Untuk memahami arah pembahasan teks-teks pelajaran PAI yang
berhubungan dengan multikulturalisme, akan dideskripsikan beberapa teks pelajaran PAI dari tiap buku/kelas sebagai berikut:
1). Buku PAI Kelas X SMA
Di bab 6 yang membahas sejarah dakwah nabi periode Mekah,
ketika menjelaskan hikmah dakwah nabi selama di Mekah, dalam teks
disebutkan antara lain sebagai berikut :
a. Melalui dakwah Islam, Rasulullah saw memberikan pemahaman
tentang hak dan persamaan derajat antara kaum perempuan dan
laki-laki.
b. Islam menegakkan ajaran persamaan derajat di antara sesama manusia dan memberantas perbudakan.
c. Melalui penghapusan perbudakan, maka siapa pun manusia
statusnya di mata Allah adalah sama.11
Di bab 7 yang membahas tentang ayat-ayat al-Qur'an yang berhubungan dengan demokrasi, ketika menjelaskan etika berdiskusi antara
lain disebutkan :
a. Bersikap lemah lembut terhadap sesama manusia dan tidak
memaksakan kehendak.
11Margiono,
dkk. Agama Islam ; Lentera Kehidupan untuk SMA Kelas X (Jakarta : Yudhistira, 2008), hlm. 108.
Tadrîs. Volume 5. Nomor 2. 2010
167
Mohammad Kosim
b. Mampu mengendalikan emosi di setiap keadaan, menjauhi sikap
egois dan tidak otoriter.
c. Mampu bersikap saling menghargai dan menjunjung tinggi nilai
hak asasi manusia.
d. Tidak menghasut untuk berselisih dan mencari-cari kesalahan
pihak atau agama yang lain
e. Menghindari debat kusir atau memaksakan kehendak agar orang
lain mengikuti keinginannya sekalipun baik.
f. Tidak boleh melecehkan si pembicara, misalnya karena cacat atau
tidak sempurna.
g. Hindari diskusi yang berubah menjadi selisih pendapat yang
mengakibatkan permusuhan dan kedengkian.12
Di bab 10 yang membahas tentang perilaku tercela (hasud, riya',
dhalim/aniaya, diskriminasi), penjelasan tentang aniaya/dzalim terlihat dalam ungkapan berikut: "Ajaran Islam tidak mengenal diskriminasi karena hal tersebut adalah sifat tercela dan harus dihindari. Di
hadapan Allah semua manusia adalah sama, siapapun, dari manapun,
dan warna kulit apapun. Allah membedakan manusia dengan kualitas
ketakwaan kepada-Nya ... Islam melalui risalah para nabi dan rasul
yang disempurnakan melalui Nabi Muhammad saw bersifat rahmat
atau kasih sayang bagi semesta alam, termasuk di dalamnya seluruh
umat manusia yang hidup di seluruh belahan bumi ini."13
Untuk menguatkan argumentasi bahwa Islam anti diskriminasi,
dalam buku teks ditunjukkan contoh sebagai berikut :
a. Nabi Ibrahim menjadikan Siti Hajar, seorang budak dari Etiopia
yang dianggap hina sebagai istrinya. Ternyata budak perempuan
yang dianggap rendah tersebut justru mempunyai kepribadian
yang mulia, tidak mudah menyerah ketika menghadapi kesulitan
bagaimanapun beratnya, dan bertanggungjawab atas tugas atau
kewajibannya, khususnya dalam memelihara dan membesarkan
putranya, Ismail as.
b. Di zaman Nabi Muhammad saw perjuangan menghapus diskriminasi (perbudakan) itu terus dilanjutkan, khususnya terhadap
budak-budak yang terdapat di kota Mekah. Di antara para budak
12Ibid.,
13Ibid.,
168
hlm. 123-124.
hlm. 165.
Tadrîs. Volume 5. Nomor 2. 2010
PAI Berbasis Multikulturalisme
yang telah dimerdekakan itu terdapat Bilal bin Rabah. Ia adalah
seorang hamba Allah budak yang tangguh dan teguh dalam
mempertahankan keyakinan terhadap Islam. Demikian pula
dengan Zaid bin Haris yang telah dimerdekaan oleh Nabi
Muhammad saw serta diangkat menjadi anak asuh beliau. Bahkan
setelah menginjak dewasa, Zaid bin Haris dinikahkan dengan
Zaenab, saudara sepupu Rasulullah saw dari suku Quraisy yang
diangap keturunan terhormat.14
Lebih lanjut, dalam buku teks dinyatakan bahwa perilaku untuk
menghindar dari sikap diskriminasi harus diterapkan dalam kehidupan sehari-hari sebagai berikut :
a. Gemar bersilaturahmi, antara lain dengan cara saling mengunjungi
agar saling mengenal dan tolong menolong.
b. Tidak suka menyalahkan orang lain atau merasa diri sendiri yang
paling benar karena kebenaran sejati hanyalah milik Allah swt.,
sehingga Dialah yang paling berhak menetapkan kebenaran hakiki
di hari kemudian.
c. Tidak suka mengolok olok, buruk sangka, atau memfitnah antara
satu orang dengan orang lainnya, antara suatu kelompok dengan
kelompok lainnya, antara satu madzhab dengan madzhab yang
lain.
d. Menumbuhkan semangat persatuan dan kesatuan, khususnya
sebagai bangsa Indonesia yang terdiri dari ribuan kepulauan serta
beraneka ragam suku bangsa, adat istiadat, dan budaya sehingga
dapat bergotong royong membangun negeri dalam bingkai Bhinneka Tungal Ika.
e. Bersikap toleran (tasamuh) terhadap sesama umat beragama dan
tidak memaksakan keyakinan terhadap umat lainnya, berlombalomba dalam berbuat kebaikan, dan tidak saling menghina syariat
atau Tuhan milik umat beragama lain.
f. Ikut serta secara aktif dalam kegiatan yang memiliki tujuan menghapuskan diskriminasi, antara lain dengan memberi pelayanan
yang baik terhadap hak-hak warga atau masyarakat tanpa
14Ibid.,
hlm. 166.
Tadrîs. Volume 5. Nomor 2. 2010
169
Mohammad Kosim
membedakan warna kulit, golongan, suku bangsa, dan status
sosialnya.15
2). Buku PAI Kelas XI SMA
Di bab 8 yang membahas tentang Iman kepada kitab-kitab Allah,
dalam muqaddimah disebutkan antara lain : "... Kewajiban kita
khususnya umat Islam adalah yakin akan diturunkannya seluruh
kitab tersebut kepada para rasul Allah tanpa membeda-bedakannya.
Satu hal penting yang juga harus menjadi titik sentral keyakinan kita
bahwa seluruh kitab suci tersebut memiliki kesamaan dasar yakni
ketauhidan kepada Allah swt."16
Di bab 10 yang membahas tentang tatakrama pribadi dengan sub
bahasan tentang menghargai karya orang lain, dijelaskan sebagai
berikut : "Menghormati dan menghargai karya orang lain harus
dilakukan tanpa memandang derajat, status, warna kulit, atau pekerjaan orang tersebut karena hasil karya merupakan pencerminan dari
pribadi seseorang ... Islam sangat menganjurkan umatnya agar saling
menghargai satu sama lain. Sikap menghargai terhadap orang lain
tentu didasari oleh jiwa yang santun atau al-hilmu yang dapat menumbuhkan sikap menghargai orang di luar dirinya."17
3). Buku PAI Kelas XII SMA
Bab 1 yang membahas ayat-ayat al-Qur'an tentang toleransi,
dalam buku tersebut ditunjukkan sejumlah gambar berwarna beberapa wajah manusia dalam beragam asal-usul (agama, suku, bangsa).
Selanjutnya, di bawah gambar tersebut, terdapat muqaddimah sebagai
berikut : "Tahukah kamu bahwa salah satu bukti kemahakuasaan
Allah adalah Dia menciptakan semua makhluk yang dikehendaki-Nya
dengan perbedaan-perbedaan di antara mereka? Bahkan, Allah
Mahakuasa menjadikan perbedaan itu sebagai rahmat, terutama pada
manusia. Perbedaan-perbedaan itu, termasuk dalam berpikir dan
berpendapat, menjadikan hidup manusia lebih dinamis dan penuh
warna, subhanallah. Bayangkanlah bila kita semua sama atau identik!
15Margiono,
dkk. Agama Islam ; Lentera Kehidupan untuk SMA Kelas XI
Yudhistira, 2007), hlm. 166.
16Ibid., hlm. 110.
17Ibid., hlm. 145.
170
Tadrîs. Volume 5. Nomor 2. 2010
(Jakarta :
PAI Berbasis Multikulturalisme
Tentu hidup kita akan menjadi monoton dan membosankan. Toleransi, itulah kata kunci yang menjembatani perbedaan-perbedaan
yang ada agar hidup menjadi indah. Ajaran Islam tidak pernah memerintahkan umat manusia saling bermusuhan atau membenci terhadap
orang yang berbeda pendapat, bahkan manusia diwajibkan untuk
menghargai dan melindungi orang yang memohon perlindungan
meskipun mereka bukan beragama Islam. Ajaran Islam senantiasa berusaha untuk menegakkan hidup beragama di dalam suasana perdamaian, kerukunan, dan saling kerjasama dengan sesama tanpa memandang suku, bangsa, dan agama serta status sosial ekonominya."18
Ketika menjelaskan isi kandungan surat al-Kafirun, dalam buku
tersebut—antara lain--dinyatakan :
a. Mengajak masing-masing umat untuk melaksanakan ajaran
agama dan kepercayaannya tanpa bersikap saling mengganggu.
b. Masing-masing penganut agama harus yakin sepenuhnya dengan
ajaran agama dan kepercayaannya sehingga dengan tulus menghayati agamanya tersebut.
c. Tidak boleh saling memaksa untuk mengikuti suatu agama
karena Rasulullah menjelaskan bahwa agamamu dan balasannya
adalah untuk kamu (kaum kafir) dan agamaku dan balasannya
adalah untuk aku (kaum mukmin).19
Tentang perlunya toleransi sesama muslim, dalam buku tersebut
dikutip pernyataan Imam Hanafi sebagai berikut : "Saya (mungkin)
benar, tetapi (mungkin) bisa salah. Dan orang lain (mungkin) salah,
tapi (mungkin) bisa juga benar."20
Ketika menyimpulkan perilaku yang mencerminkan isi Surat alKafirun, surat Yunus ayat 40-41 dan surat al-Kahfi ayat 29, tertulis teks
antara lain sebagai berikut :
a. Tidak suka menganggap diri paling benar dan berusaha bersikap
terbuka terhadap keberadaan agama atau keyakinan lain di
luarnya.
18Margiono,
dkk. Agama Islam ; Lentera Kehidupan untuk SMA Kelas XII (Jakarta :
Yudhistira, 2006), hlm. 1-2
19Ibid., hlm. 4.
20Ibid., hlm. 5.
Tadrîs. Volume 5. Nomor 2. 2010
171
Mohammad Kosim
b.
Tidak membeda-bedakan orang lain dan bersikap adil meskipun
terhadap keluarga dan diri sendiri.
c. Tidak memaksakan kehendak, kepercayaan, atau keyakian
terhadap golongan lain, apalagi dengan jalan kekerasan.
d. Tidak menjelek-jelekkan Tuhan dan agama lain karena hal
tersebut justru akan menimbulkan kebencian dan rasa antipati
terhadap Islam.
e. Menunjukkan bahwa Islam adalah rahmat bagi seluruh alam
dengan tidak mengintimidasi kelompok yang minoritas atau beragama lain.
f. Memberi contoh dan berdakwah melalui akhlak atau kepribadian
yang mulia sebagaiamana telah dicontohkan Rasulullah saw.21
Dalam bab 4 yang membahas perilaku terpuji (dengan pokok
bahasan adil, bijaksana, rida, produktif dan efisien), ketika menjelaskan tentang cara menunjukkan sikap adil kepada orang lain disebutkan hal-hal--antara lain--sebagai berikut:
a. Memberikan rasa aman kepada orang lain dengan sikap ramah,
sopan, dan santun.
b. Menjadi teladan dan menciptakan suasana kondusif, tenteram
serta rukun.
c. Tidak sombong atau angkuh bila bergaul dengan masyarakat
berbagai lapisan
d. Berpikir positif (positive thinking), yaitu berprasangka baik
terhadap orang-orang yang ada di sekitarnya.
e. Tidak pilih kasih bila tidak berkawan.
f. Tidak membuat kerusakan, permusuhan, dan kedengkian.22
Di bab 9 yang membahas tentang tatakrama pergaulan, ditunjukkan gambar umat Islam dari beragam suku di Indonesia yang saling
berpegangan tangan, kemudian dijelaskan "Ajaran Islam sendiri telah
mengatur tatanan kehidupan bermasyarakat dan bernegara secara
rukun, damai dan sejahtera ... "23
Tentang tatakrama dalam menjaga hubungan umat beragama dan
antar umat beragama dijelaskan sebagai berikut :
21Ibid.,
hlm. 10.
hlm. 50.
23Ibid., hlm. 127.
22Ibid.,
172
Tadrîs. Volume 5. Nomor 2. 2010
PAI Berbasis Multikulturalisme
a.
Mengucapkan salam jika saling berjumpa dengan sesama muslim.
Dengan mengucapkan salam, seorang muslim sesungguhnya
sudah mengharapkan terwujudnya persatuan dan kerukunan
terhadap sesamanya.
b. Menyapa pada saat berjumpa dengan saudara-saudara sebangsa
dan setanah air meskipun yang tidak seagama disertai dengan
senyum ramah agar terjaga kerukunan terhadap sesama.
c. Saling menghargai dan menghormati antarumat beragama
dengan tidak saling menghina tatacara ibadah dan nama serta
pemahaman tentang Tuhannya masing-masing.
d. Menghargai pendapat dan keyakinan masing-masing umat beragama.
e. Umat Islam mengajak kepada sesama umat manusia untuk menciptakan kedamaian dan anti kekacauan sesuai dengan nama
Islam yang berarti damai dan selamat sejahtera. Agama Islam
menginginkan persaudaraan, solidaritas, persatuan, dan kerukunan.
f. Umat Islam senantiasa tidak sombong dalam berkiprah di bumi.
g. Umat Islam harus berlaku adil terhadap siapa saja.
h. Umat Islam terbiasa dengan sikap tolong menolong terhadap
siapapun yang membutuhkan pertolongan.24
Paparan data-data di atas menunjukkan bahwa pembahasan buku
teks pelajaran PAI SMA terbitan Yudhistira berjudul Agama Islam;
Lentera Kehidupan yang disusun oleh Drs. Margiono, M.Pd., Drs.
Junaidi Anwar, dan Dra. Latifah, yang isinya terkait dengan multikultural (seperti keragamaan agama, etnis, jenis kelamin, tradisi, dan
lainnya), secara konsisten telah mengarahkan warga belajar untuk
menjadi multikulturalis. Ungkapan-ungkapan agar warga belajar
"saling menghormati, menghargai keragaman, keragaman adalah sunnatullah dan rahmat, saling menyayangi" selalu ditekankan ketika
membahas masalah-masalah keragaman. Demikian pula ungkapan
agar warga belajar "tidak angkuh, tidak sombong, tidak memaksakan
kehendak, tidak merasa menang sendiri, tidak merasa lebih benar, dan
sejenisnya" juga sering ditemui dalam pembahasan tentang keragaman.
24Ibid.,
hlm. 128.
Tadrîs. Volume 5. Nomor 2. 2010
173
Mohammad Kosim
Khusus pembahasan tentang tentang keragaman agama, penulis
buku ini terkesan sangat hati-hati dalam menjelaskan dan mengambil
rujukan. Ketika menjelaskan tentang beriman kepada kitab-kitab
Allah, misalnya, tidak disinggung sama sekali status kitab-kitab selain
al-Qur'an yang masih bertahan hingga sekarang. 25 Padahal masalah
ini merupakan salah satu masalah krusial dalam hubungan antar umat
beragama, dan murid-murid SMA bisa jadi mulai tertarik untuk
mendiskusikannya. Maka, jika hal itu terjadi, menjadi kewajiban guru
untuk menjelaskannya secara hati-hati agar tidak mengarah pada
pluralisme agama yang dilarang26 atau tidak mengarahkan warga
belajar berpikir radikal.
Jika teks pelajaran PAI telah mendukung pengembangan pendidikan multikultural, apakah dengan sendirinya proses pembelajaran
PAI akan menguatkan teks? Belum tentu, sebab teks hanya salah satu
sumber dalam proses pembelajaran. Banyak sumber belajar lain27 yang
ikut menentukan arah proses pembelajaran. Dalam pendekatan inputproses-output, 28 buku teks hanya salah satu input bagi berlangsungnya
25Sekedar
informasi, terhadap keberadaan kitab-kitab selain al-Qur'an yang tetap
bertahan hingga saat ini , Muktamar NU ke-14 di Magelang 1939 telah memutuskan
bahwa kitab-kitab tersebut bukan kitab samawiyah yang wajib diimani.
26Majelis
Ulama Indonesia (MUI) melalui Surat Keputusan No.7/MUNAS
VII/MUI/II/2005, tertanggal 29 Juli 2005, tentang Pluralisme, Liberalisme dan
Sekularisme Agama pernah mengeluarkan fatwa tentang larangan pluralisme agama
karena cenderung menyamakan semua agama.
27Sumber belajar menurut Association of Education and Communication Technology
(AECT) adalah all of the resourses which may be used by the learner in isolation or combination to fasilitate learning (semua sumber yang bisa dimanfaatkan oleh pembelajar baik secara sendiri-sendiri maupun kombinasi, untuk memfasilitasi belajar mereka). Berdasar
pengertian ini, sumber belajar dibagi menjadi ; people [manusia], message [informasi
yang disampaikan oleh komponen lain dalam bentuk ide, data, fakta], materials [bahan
dalam bentuk software seperti TV, tape, radio], divice [alat dalam bentuk hardware yang
digunakan untuk menyampaikan pesan yang terdapat dalam materials seperti OHP,
tape recorder, komputer], technique [prosedur dan langkah-langkah tertentu yang dipakai untuk menyampaikan pesan], dan milieu [lingkungan fisik dan non-fisik]Baca
lebih lanjut dalam: Sudjarwo S., Beberapa Pengembangan Sumber Belajar (Jakarta :
Mediyatama Sarana Perkasa, 1989), hlm. 141-143.
28Ketiganya merupakan satu kesatuan yang saling memengaruhi. Input akan memengaruhi proses, dan proses akan menentukan output. Input adalah segala sesuatu yang
harus ada untuk berlangsungnya proses pendidikan, yang meliputi; sumber daya manusia (seperti pimpinan, pendidik, peserta didik, dan karyawan), sumber daya lain-
174
Tadrîs. Volume 5. Nomor 2. 2010
PAI Berbasis Multikulturalisme
kegiatan pembelajaran. Input lain, yang sangat menentukan, adalah
guru. Guru memiliki peran strategis dalam proses pembelajaran, bahkan sumber daya lain yang memadai seringkali kurang berarti jika
tidak disertai dengan guru yang bermutu. Dengan kata lain, guru
merupakan kunci sukses dan ujung tombak dalam upaya mengembangkan pendidikan multikultural.
Untuk itu, perlu disiapkan guru-guru bermutu yang siap
mengembangkan proses pembelajaran PAI yang berwawasan multikultural. Sebab dalam praktik, upaya pengembangan multikulturalisme tidak semudah menyusun teks. Sekolah dengan murid yang heterogin, terutama dari aspek agama dan etnis, akan menghadapi tantangan lebih sulit dan rumit dalam mengembangan pendidikan multikultural dibanding sekolah yang homogen. Pernyaiapan guru PAI
yang berwawasan multikultural menjadi sangat penting karena
selama ini, menurut pengamatan sejumlah kalangan, masih terjadi
kelemahan dalam praktik pendidikan agama Islam. Kautsar Azhari
Noer menyebutkan paling tidak ada empat faktor penyebab kegagalan
tersebut, yaitu: pertama, penekanannya lebih pada proses transfer ilmu
agama ketimbang pada proses transformasi nilai-nilai keagamaan dan
moral kepada anak didik. Kedua, sikap bahwa pendidikan agama tidak
lebih dari sekedar sebagai “hiasan kurikulum” belaka atau sebagai
“pelengkap” yang dipandang sebelah mata. Ketiga, kurangnya penekanan pada nilai-nilai moral yang mendukung kerukunan antaragama, seperti cinta, kasih sayang, persahabatan, suka menolong, suka
damai dan toleransi. Dan keempat, kurangnya perhatian untuk mempelajari agama-agama lain.29 Sedangkan Muhaimin mengidentifikasi
bahwa kegagalan pendidikan agama Islam setidaknya disebabkan
nya (seperti peralatan, perlengkapan, uang, dan bahan), perangkat lunak (seperti
struktur organisasi, peraturan perundangan, deskripsi tugas, rencana, dan program),
dan harapan (visi, misi, tujuan, dan sasaran). Sedangkan proses adalah berubahnya sesuatu menjadi sesuatu yang lain. Inti dari proses (dalam pendidikan) adalah pengelolaan input. Suatu proses dikatakan bermutu apabila pengelolaan input dilakukan secara harmonis sehingga mampu menciptakan situasi pembelajaran yang nikmat; mendorong motivasi dan minat belajar; dan mampu memberdayakan peserta didik. Baca
lebih lanjut dalam Manajemen Peningkatan Mutu Berbasis Sekolah; Konsep Dasar (Jakarta :
Depdiknas Ditjen Dikdasmen Direktorat SLTP, 2002), hlm. 14-15.
29Kautsar Azhari Noer, dalam Sumartana at al., Pluralisme, Konflik, dan Pendidikan
Agama di Indonesia (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2001), hlm. 239-240.
Tadrîs. Volume 5. Nomor 2. 2010
175
Mohammad Kosim
karena mengalami kekurangan dalam dua aspek mendasar, yaitu: 1)
pendidikan agama masih berpusat pada hal-hal yang bersifat simbolik, ritualistik, serta bersifat legal formalistik (halal-haram) dan
kehilangan ruh moralnya; 2) kegiatan pendidikan agama cenderung
bertumpu pada penggarapan ranah kognitif dan paling banter hingga
ranah emosional. Kadang-kadang terbalik dengan hanya menyentuh
ranah emosional tanpa memerhatikan ranah intelektual. Akibatnya
tidak dapat terwujud dalam perilaku siswa dikarenakan tidak
tergarapnya ranah psikomotik.30
Mochtar Buchori, sebagaimana dikutip Muhaimin, juga menyatakan bahwa kegiatan pendidikan agama yang berlangsung selama ini
lebih banyak bersikap menyendiri dan kurang berinteraksi dengan
kegiatan-kegiatan pendidikan lainnya. Cara kerja semacam ini kurang
efektif untuk keperluan penanaman suatu perangkat nilai yang
kompleks. Oleh karena itu, seharusnya para guru/pendidik agama
bekerja sama, bersinergi, dan bersinkronisasi dengan guru-guru nonagama dalam pekerjaan mereka sehari-hari. Pendidikan agama tidak
boleh dan tidak dapat berjalan sendiri, tetapi harus berjalan bersamasama dan bekerjasama dengan program-program pendidikan nonagama jika ia ingin memiliki relevansi terhadap perubahan yang
terjadi di masyarakat.31
Dengan demikian, masih banyak pekerjaan rumah yang harus
diselesaikan dalam mengembangkan PAI berwawasan multikultural.
Namun, yang perlu diingat, pengembangan pendidikan multikultural
di sekolah tidak hanya menjadi tugas guru agama, tapi menjadi tugas
semua guru.
Penutup
Berdasar sejumlah penjelasan di muka dan merujuk pada tujuan
penelitian, maka hasil penelitian ini dapat disimpulkan sebagai
berikut :
a. Teks pelajaran PAI di SMA yang berhubungan dengan multikulturalisme tersedia cukup memadai. Dari 37 pokok bahasan/bab
30Muhaimin,
Pengembangan Kurikulum Pendidikan Agama Islam di Sekolah, Madrasah dan
Perguruan Tinggi (Jakarta : RajaGrafindo, 2005), hlm. 27-30
31Ibid., hlm. 24.
176
Tadrîs. Volume 5. Nomor 2. 2010
PAI Berbasis Multikulturalisme
(dari kelas X, XI dan XII), ditemukan setidaknya 11 pokok bahasan/bab dengan sejumlah sub pokok bahasan yang berhubungan
dengan pendidikan multikultural. Pembahasan yang terkait
dengan pendidikan multikulturalisme tersebar di seluruh kelas,
utamanya dalam aspek akhlak, sejarah, dan al-Qur'an. Selain itu,
di sepanjang pembahasan buku teks PAI seringkali ditemukan
ungkapan yang mengarah pada pendidikan multikultural, kendati standar kompetensinya tidak terkait langsung dengan pendidikan multikultural.
b. Pola pembahasan pendidikan multikultural pada buku teks
pelajaran PAI bersifat integrasi, bukan mandiri, yakni dengan
menyisipkan sub pokok bahasan yang berhubungan dengan
multikultural dalam beberapa kali pertemuan, misalnya tentang
demokrasi, musyawarah, toleransi, akhlak terpuji dan tercela
yang terkait dengan keragaman.
c. Buku teks pelajaran PAI SMA terbitan Yudhistira berjudul Agama
Islam; Lentera Kehidupan yang disusun oleh Drs. Margiono, M.Pd.,
Drs. Junaidi Anwar, dan Dra. Latifah, yang isinya terkait dengan
keragamaan, pembahasannya secara konsisten telah mengarahkan
warga belajar untuk menghargai keragaman yang dijumpai
kehidupan sehari-hari, seperti keragaman etnis, jenis kelamin,
tradisi, dan agama.
Buku teks pelajaran PAI SMA terbitan Yudhistira berjudul Agama
Islam; Lentera Kehidupan yang disusun oleh Drs. Margiono, M.Pd., Drs.
Junaidi Anwar, dan Dra. Latifah, layak menjadi pegangan guru dan
murid karena isinya sangat mendukung pengembangan pendidikan
multikultural di tingkat sekolah. Kendati demikian, teks saja tidak
cukup memadai untuk mengembangkan pendidikan multikultural.
Karena itu, teks yang toleran tersebut harus diterjemahkan dalam proses pembelajaran oleh guru yang toleran pula dan didukung oleh
lingkungan sekolah yang kondusif.
Studi ini hanya mengambil satu persoalan tentang mata pelajaran
PAI berwawasan multikulturalisme di SMA, yaitu dari aspek buku
teks. Tentu akan semakin “sempurna” kajiannya apabila teks tersebut
diteliti ketika diterjemahkan oleh guru agama dalam proses pembelajaran. Dengan demikian, masih tersedia “ruang kosong” bagi penelitian lebih lanjut. Wa Allâh a’lam bi al-shawâb.*
Tadrîs. Volume 5. Nomor 2. 2010
177
Mohammad Kosim
Daftar Pustaka
A Banks, James (ed.). Multicultural Education: Issues and Perspectives.
London: Allynand Bacon Press. 1989.
A. Boisard, Marcel. Humanisme dalam Islam. Jakarta: Bulan Bintang,
1982.
Abdullah, Amin. Pendidikan Agama Era Multikultural-Multireligius.
Jakarta : PSAP Muhammadiyah, 2005.
Aly, Abdullah. “Pendidikan Multikultural dalam Tinjauan Pedagogik”
dalam Makalah Seminar Pendidikan Multikultural sebagai Seni
Mengelola Keragaman. Surakarta: Fak. Ekonomi UMS, Tanggal 8
Januari 2005.
Baidhawy, Zakiyuddin. Pendidikan Agama Berwawasan Multikultural.
Jakarta : Erlangga, 2007.
Lash, Scott dan Mike Featherstone (ed.). Recognition And Difference:
Politics, Identity, Multiculture. London: Sage Publication, 2002.
Lyncholm, James. Multicultural Education: Principles and Practice.
London: Routledge & Kegan Paul, 1986.
Madjid, Nurcholish. "Hak Asasi Manusia, Pluralisme Agama, dan
Integrasi Nasional (konsepsi dan aktualisasi)" dalam HAM dan
Pluralisme Agama. Surabaya: PKSK, 1997.
Madjid, Nurcholish. Islam Doktrin dan Peradaban. Jakarta: Yayasan
Paramadina, 1992.
Mahfud, Choirul. Pendidikan Multikultural. Yogyakarta: Pustaka
Pelajar, 2009.
Manajemen Peningkatan Mutu Berbasis Sekolah; Konsep Dasar. Jakarta :
Depdiknas Ditjen Dikdasmen Direktorat SLTP, 2002.
Margiono, dkk. Agama Islam 1 Lentera Kehidupan SMA Kelas X. Jakarta :
Yudhistira, 2008.
Margiono, dkk. Agama Islam 2 Lentera Kehidupan SMA Kelas XI. Jakarta
: Yudhistira, 2008.
Margiono, dkk. Agama Islam 3 Lentera Kehidupan SMA Kelas XII. Jakarta
: Yudhistira, 2008.
178
Tadrîs. Volume 5. Nomor 2. 2010
PAI Berbasis Multikulturalisme
Mastuhu. Menata Ulang Pemikiran Sistem Pendidikan Nasional dalam
Abad 21. Yogyakarta : Safiria Insania Press, 2003.
Muhaimin. Pengembangan Kurikulum Pendidikan Agama Islam di Sekolah,
Madrasah dan Perguruan Tinggi. Jakarta : RajaGrafindo, 2005.
Naisbitt, John. Nana Naisbitt, dan Douglas Phillips. High Tech-High
Touch; Pencarian Makna di Tengah Perkembangan Pesat Teknologi, terj.
Dian R. Basuki. Bandung ; Mizan, 2001.
Nasution, Harun. Islam Rasional. Bandung: Mizan, 1995.
Nieto, Sonia. Language, Culture and Teaching. New York: Lawrence
Earlbaum. 2002.
Pelly, Usman dan Asih Menanti. Teori-teori Sosial
Dirjen Depdikbud, 1994.
Budaya. Jakarta:
Peraturan Menteri Pendidikan Nasional Nomor 22 Tahun 2006 tentang
Standar Isi dan Nomor 23 Tahun 2006 tentang Standar
Kompetensi Lulusan untuk Pendidikan Dasar dan Menengah.
Rachman, Budhy Munawar. “pengantar” dalam Komaruddin Hidayat
dan Muhammad Wahyuni Nafis, Agama Masa Depan Perspektif
Filsafat Perennial. Jakarta: Yayasan Paramadina, 1995.
Rahim, Husni. Madrasah dalam Politik Pendidikan di Indonesia. Jakarta :
Logos, 2005.
Rakhmat, Jalaluddin. Metode Penelitian Komunikasi. Bandung : Remaja
Rosdakarya, 1993.
Shihab, M. Quraish. Tafsir Al-Mishbah Vol. 8 dan 13. Jakarta : Lentera
Hati, 2000.
Sumartana at al. Pluralisme, Konflik, dan Pendidikan Agama di Indonesia.
Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2001.
Sunardi, ST. "Dialog: Cara Baru Beragama Sumbangan Hans Kung
Bagi Dialog Antar Agama" dalam Seri DIAN I Dialog, Kritik dan
Identitas Agama. Yogyakarta: Pustaka Pelajar dan DIAN, 1994.
Suparlan, Parsudi. “Menuju Masyarakat Indonesia yang Multikultural,” dalam Makalah yang diseminarkan pada Simposium
Internasional ke-3, Denpasar Bali, 16-21 Juli 2002.
Tadrîs. Volume 5. Nomor 2. 2010
179
Mohammad Kosim
Suryadinata, Leo. et.al. Indonesia’s Population: Etnicity and Religion in a
Changing Political Landscape. Singapore: Institute of Southeast
Asian Studies. 2003.
Sudjarwo S., Beberapa Pengembangan Sumber Belajar. Jakarta :
Mediyatama Sarana Perkasa, 1989.
Syamsuddin, M. Din. "Mengelola Pluralitas Agama" dalam Jawa Pos,
12 Mei 1996.
Tilaar, H.A.R. Beberapa Agenda Reformasi Pendidikan Nasional dalam
Perspektif Abad 21. Magelang : Tera Indonesia, 1999.
Tilaar, H.A.R. Multikulturalisme; Tantangan-Tantangan Global Masa
Depan dalam Transformasi Pendidikan Nasional. Jakarta: Grasindo,
2002.
Tilaar, H.A.R. Perubahan Sosial dan Pendidikan: Pengantar Pedagogik
Transformatif untuk Indonesia. Jakarta: Grasindo, 2002.
180
Tadrîs. Volume 5. Nomor 2. 2010
Download