PENDIDIKAN AGAMA ISLAM BERBASIS MULTIKULTURALISME (Studi Teks Mata Pelajaran PAI di SMA) Mohammad Kosim Staf Pengajar Jurusan Tarbiyah STAIN Pamekasan Abstract: Multiculturalism is a concept that puts the community as a fundamental reality of cultural pluralism in public life. Although this terminology was first discoursed in America and Western Europe around the 1960's, but this term is not new for Muslims. This paper presents the study on multicultural education focusing on PAI Textbook in Senior High School. Conceptually, subjects relating to multicultural education are adequate, especially on the material relating to aqidah, history and the Holy Qor’an. Kata kunci: Islam, Pendidikan Agama Islam, multikulturalisme. Pendahuluan Indonesia adalah negara besar. Luas wilayahnya ± 1.919.440 km², dikelilingi oleh ± 20 ribu pulau besar dan kecil, dan dihuni oleh ± 238 juta jiwa penduduk dari beragam suku, agama, budaya dan kepercayaan. Dengan demikian, Indonesia--melebihi kebanyakan negaranegara lain--merupakan negara yang multi suku, multi etnik, multi agama, dan multi budaya. Kemajemukan tersebut pada satu sisi merupakan kekuatan sosial dan keragaman yang indah apabila satu dengan lainnya bersinergi dan saling bekerja sama untuk membangun bangsa. Akan tetapi, keragaman bisa menjadi pemicu konflik dan kekerasan yang dapat menggoyahkan sendi-sendi kehidupan berbangsa dan bernegara apabila tidak dikelola dengan tepat dan baik. Oleh karena itu, untuk menghindari konflik bernuansa multikultural, maka diskursus dan upaya implementasi multikulturalisme dalam kehidupan perlu terus dikembangkan. Upaya ini tampaknya telah disadari sejak dini oleh para pendiri bangsa kita (the founding PAI Berbasis Multikulturalisme fathers) sehingga mereka perlu membumikan slogan Bhinneka Tunggal Ika, berbeda-beda tetapi tetap satu, unity in diversity. Dalam beberapa kasus, agama sering disebut sebagai salah satu faktor timbulnya konflik di tengah masyarakat yang beragam. Peristiwa Ambon, Poso, Sambas, dan Ciketing Bekasi misalnya, merupakan contoh kekerasan dan konflik horizontal berlatarbelakang multi agama dan etnik yang telah menguras energi dan merugikan tidak saja jiwa dan materi tetapi juga mengorbankan keharmonisan antar sesama anak bangsa. Pertanyaannya, benarkah agama mengajarkan anti keragaman dan kekerasan? Sebagai pedoman dan tuntunan hidup, setiap agama diyakini mengajarkan kedamaian, toleransi, dan kasih sayang kepada para pemeluknya. Dalam Islam misalnya, dilarang keras untuk bersikap ekstrim (ghulūw), menindas (zālim), sewenang-wenang dan melampaui batas. Sebaliknya Islam mengajak umatnya agar berlaku santun, toleransi, saling memaafkan, dan kasih sayang. Dengan demikian, harus dibedakan antara agama dan penganutnya. Agama, sebagaimana ungkapan Nurcholish Madjid, tetaplah sebagai sebuah ajaran moral yang mencintai nilai-nilai dasar kemanusiaan, karena itu agama tidak bisa dituduh sebagai motivator penggerak perilaku menyimpang.Yang bisa dikenakan tuduhan menyimpang adalah pemeluk agama itu sendiri. Dan itu bukan monopoli pemeluk agama tertentu. Gerakan-gerakan radikal dan ekstrim bisa terjadi pada pemeluk setiap agama yang ada.1 Penjelasan di atas menunjukkan bahwa tidak ada satu agama pun yang mengajarkan kekerasan dan anti keragaman. Jika demikian, faktor apa yang menjadi penyebab terjadinya gerakan-gerakan radikal anti keragaman berbau agama? Mengapa suatu kelompok menindas, membunuh, dan menganiaya kelompok lain atas nama agama? Tidak mudah menjawabnya. Mencari faktor di luar agama—seperti faktor sosial, politik, ekonomi—sebagai pemicunya sangat mungkin, tapi berusaha mengelak untuk tidak mengaitkan radikalisme dengan agama—sebagaimana dipahami pemeluknya—bukan hal yang mudah, karena dalam realitas fenomina tersebut mudah dijumpai. Yang jelas, sebagaimana pendapat Mun’im A. Sirry, radikalisme agama 1Nurcholish Madjid, Dialog Keterbukaan (Jakarta : Paramadina, 1998), hlm. 254-255. Tadrîs. Volume 5. Nomor 2. 2010 159 Mohammad Kosim tidak pernah terjadi di ruang hampa atau dalam situasi vakum, selalu ada sebab dan sasaran.2 Dengan demikian, radikalisme agama seringkali muncul sebagai reaksi atas aksi sebelumnya yang dipandang merugikan agama dan penganutnya. Kecenderungan bersifat radikal dan anti keragaman di kalangan umat beragama disebabkan—antara lain—oleh pemahaman mereka terhadap ajaran agama yang dipeluknya, yang diperoleh—antara lain-melalui teks-teks keagamaan yang dibaca dan diajarkan oleh tokoh agama. Dengan demikian, keberadaan teks-teks keagamaan menjadi sangat penting untuk dikaji sebelum disebarluaskan ke masyarakat. Penelitian ini, hendak mengkaji teks-teks mata pelajaran PAI di sekolah. Sebab teks mata pelajaran menjadi salah satu sumber belajar utama bagi guru dan murid di sekolah dalam memahami suatu persoalan. Masalah dalam penelitian ini dirumuskan sebagai berikut : (1) Adakah teks-teks pelajaran PAI di SMA yang berhubungan dengan multikulturalisme?; (2) Bagaimana model penyajian teks-teks pelajaran PAI di SMA yang berhubungan dengan multikulturalisme?; dan (3) Bagaimana arah pembahasan teks pelajaran PAI di SMA yang terkait dengan keragaman, seperti keragaman agama, jenis kelamin, suku? Hasil penelitian ini diharapkan memberikan manfaat ganda, teoritis dan praktis. Secara teoritis, hasilnya diharapkan bisa memperkaya kajian-kajian tentang multikulturalisme. Sedangkan secara praktis, hasilnya diharapkan menjadi masukan bagi pengembang kurikulum dan penulis buku teks pelajaran PAI. Penelitian ini menggunakan pendekatan kualitatif dengan jenis penelitian studi pustaka (library research). Pendekatan kualitatif dipilih karena peneliti hendak mendeskripsikan secara utuh dan mendalam tentang fenomena di balik teks. Yang menjadi sumber data dalam penelitian ini adalah: Pertama, Peraturan Menteri Pendidikan Nasional Nomor 22 Tahun 2006 tentang Standar Isi dan Nomor 23 Tahun 2006 tentang Standar Kompetensi Lulusan untuk Pendidikan Dasar dan Menengah, khususnya untuk Mata Pelajaran PAI di SMA; Kedua, buku 2Mun’im A. Sirry, Membendung Militansi Agama; Iman dan Politik dalam Masyarakat Modern (Jakarta : Erlangga, 2003), hlm. 30. 160 Tadrîs. Volume 5. Nomor 2. 2010 PAI Berbasis Multikulturalisme teks Mata Pelajaran PAI di SMA kelas X, XI dan kelas XII terbitan Yudhistira Jakarta tahun 2006 (untuk kelas XII), 2007 (untuk kelas XI) dan 2008 (untuk kelas X), berjudul Agama Islam; Lentera Kehidupan, yang disusun oleh Drs. Margiono, M.Pd., Drs. Junaidi Anwar, dan Dra. Latifah. Buku teks terbitan Yudhistira dipilih karena; isi buku telah berpedoman pada Peraturan Menteri Pendidikan Nasional Nomor 22 Tahun 2006 tentang Standar Isi dan Nomor 23 Tahun 2006 tentang Standar Kompetensi Lulusan; penerbit ini termasuk salah satu penerbit qualified untuk buku-buku mata pelajaran di sekolah; dan banyak SMA yang menggunakan terbitan ini sebagai buku pegangan guru/murid. Sesuai dengan jenis sumber data yang bertumpu pada data dokumenter, maka pengumpulan data dalam penelitian ini menggunakan metode dokumentasi dengan instrumen penelitian berupa pedoman dokumentasi. Sebagaimana lazimnya penelitian kualitatif, analisis data dilakukan selama dan setelah penelitian berlangsung. Metode analisis data menggunakan analisis dokumen (document analysis). Dalam melakukan analisis dokumen, digunakan proses berpikir aduktif (adductive reasonning), yakni pola pikir dengan cara mengemukakan jawaban pada pertanyaan tertentu sehingga diperoleh “kecocokan” penjelasan yang memuaskan.3 Kajian Pustaka Multikulturalisme Secara sederhana multikultural berarti keragaman budaya.4 Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia, multikulturalisme diartikan sebagai gejala pada seseorang atau suatu masyarakat yang ditandai oleh kebiasaan menggunakan lebih dari satu kebudayaan.5 Ada tiga istilah yang sering digunakan untuk menggambarkan masyarakat yang beragam (agama, ras, bahasa, dan budaya yang berbeda), yaitu pluralitas (plurality), keragaman (diversity), dan multikultural (multicultural). Ketiga istilah tersebut, kendati semuanya me3Jalaluddin Rakhmat, Metode Penelitian Komunikasi (Bandung : Remaja Rosdakarya, 1993), hlm. 24. 4Scott Lash dan Mike Featherstone (ed.), Recognition And Difference: Politics, Identity,Multiculture (London: Sage Publication, 2002), hlm. 2-6. 5Kamus Besar Bahasa Indonesia (Jakarta : Balai Pustaka, 2005), hlm. 762. Tadrîs. Volume 5. Nomor 2. 2010 161 Mohammad Kosim ngacu kepada adanya ’ketidaktunggalan’, sesungguhnya tidak merepresentasikan hal yang sama. Konsep pluralitas mengandaikan adanya ’hal-hal yang lebih dari satu’ (many); keragaman menunjukkan bahwa keberadaan yang ’lebih dari satu’ itu berbeda-beda, heterogen, dan bahkan tak dapat disamakan. Sedangkan inti multikulturalisme ialah adanya kesediaan menerima kelompok lain secara sama sebagai kesatuan, tanpa memerdulikan perbedaan budaya, etnik, gender, bahasa, ataupun agama. Apabila pluralitas sekedar merepresentasikan adanya kemajemukan (yang lebih dari satu), multikulturalisme memberikan penegasan bahwa dengan segala perbedaannya itu mereka adalah sama di ruang publik. Multikulturalisme adalah kearifan untuk melihat keanekaragaman budaya sebagai realitas fundamental dalam kehidupan bermasyarakat. Kearifan ini terwujud apabila seseorang membuka diri untuk menjalani kehidupan bersama dengan melihat realitas plural sebagai sebuah kemestian yang tidak bisa diingkari ataupun ditolak, apalagi dimusnahkan. Sebagai sebuah ide, multikulturalisme diwacanakan pertama kali di Amerika dan negara-negara Eropa Barat pada tahun 1960-an oleh gerakan yang menuntut diperhatikannya hak-hak sipil (civil right movement). Tujuan utama dari gerakan ini adalah untuk mengurangi praktik diskriminasi di tempat-tempat publik, di rumah, di tempattempat kerja, dan di lembaga-lembaga pendidikan, yang dilakukan oleh kelompok mayoritas terhadap kelompok minoritas. Selama itu, di Amerika dan negara-negara Eropa Barat hanya dikenal adanya satu kebudayaan, yaitu kebudayaan kulit putih yang Kristen. Golongangolongan lainnya yang ada dalam masyarakat tersebut dikelompokkan sebagai minoritas dengan pembatasan hak-hak mereka.6 Sejak pertama kali digulirkan, multikulturalisme sudah mengalami dua gelombang penting yaitu, pertama multikulturalisme dalam konteks perjuangan pengakuan budaya yang berbeda. Prinsip kebutuhan terhadap pengakuan (needs of recognition) adalah ciri utama dari gelombang pertama ini. Gelombang kedua, adalah multikulturalisme yang melegitimasi keragaman budaya, yang mengalami beberapa tahapan, diantaranya: kebutuhan atas pengakuan, melibatkan berba6Ibid., 162 hlm. 2-3. Tadrîs. Volume 5. Nomor 2. 2010 PAI Berbasis Multikulturalisme gai disiplin akademik lain, pembebasan melawan imperialisme dan kolonialisme, gerakan pembebasan kelompok identitas dan masyarakat asli/masyarakat adat (indigeneous people), post-kolonialisme, globalisasi, post-nasionalisme, post-modernisme dan post-strukturalisme yang mendekonstruksi stuktur kemapanan dalam masyarakat. Gerakan hak-hak sipil ini, menurut James A. Banks,7 berimplikasi pada dunia pendidikan, dengan munculnya beberapa tuntutan untuk melakukan reformasi kurikulum pendidikan yang sarat dengan diskriminasi. Pada awal tahun 1970-an muncullah sejumlah kursus dan program pendidikan yang menekankan pada aspek-aspek yang berhubungan dengan etnik dan keragaman budaya (cultural diversity). Islam dan Multikulturalisme Kata Islam, dari akar kata s-l-m, berarti menyerahkan diri, perdamaian, selamat dan sejahtera.8 Dengan demikian, seseorang yang telah berikrar untuk menyerahkan diri secara total kepada Allah akan hidup damai, selamat dan sejahtera, dan akan berupaya menebarkan kedamaian dan kesejahteraan di muka bumi. Tidak ada penindasan, kekerasan, dan penganiayaan atas nama Islam. Inilah konsep beragama dalam Islam. Sejumlah dalil naqli berikut akan menguatkan ajaran Islam yang ramah dan toleran tersebut. ﻜﹸﻢﻣ ﺇﻥ ﺍﹶﻛﹾﺮ.ﺍﻓﹸﻮﺎﺭﻌﺎﺋﻞﹶ ﻟﺘﻗﹶﺒﺑﺎ ﻭﻮﻌ ﺷﻠﹾﻨﺎﻛﹸﻢﻌﺟﺜﹶﻰ ﻭﺃﻧ ﺫﹶﻛﹶﺮ ﻭ ﻣﻦﺎﻛﹸﻢﻠﹶﻘﹾﻨﺎ ﺧ ﺇﻧﺎﺱﺎﺍﻟﻨﻬﺎﺍﹶﻳﻳ (13 :) ﺍﳊﺠﺮﺍﺕ.ﻘﹶﺎﻛﹸﻢ ﺍﷲ ﺃﺗﺪﻋﻨ Artinya: "Hai manusia, sesungguhnya Kami menciptakan kamu dari seorang laki-laki dan seorang perempuan serta menjadikan kamu berbangsa-bangsa juga bersuku-suku supaya kamu saling kenal mengenal. Sesungguhnya yang paling mulia di antara kamu di sisi Allah ialah yang paling takwa di antara kamu."9 (107 : )ﺍﻷﻧﺒﻴﺎﺀ.ﻦﺎﻟﹶﻤﻴﺔ ﻟﻠﹾﻌﻤﺣ ﺇﻟﹼﺎ ﺭﺎﻙﻠﹾﻨﺳﺎ ﺃﺭﻣﻭ 7James A Banks (ed.), Multicultural Education: Issues and Perspectives (London : Allynand Bacon Press. 1989), hlm. 4-5. 8Baca dalam al-Munjid fi al-Lughah wa al-A'lam (Beirut : Dar al-Masyriq, 2003), Cet. Ke40, hlm. 347. 9 M. Quraish Shihab, Tafsir Al-Mishbah Vol. 13 (Jakarta : Lentera Hati, 2000), hlm. 260. Tadrîs. Volume 5. Nomor 2. 2010 163 Mohammad Kosim Artinya : "Dan tidaklah Kami mengutusmu, melainkan (menjadi) rahmat bagi semesta alam."10 .ﻼﻡﻞﹺ ﺍﳉﻨﺔﹶ ﺑﺴﺧﺪ ﻧﻴﺎﻡ ﺗﺎﺱﻭﺍﻟﻨ ﻞﻞﹼ ﺑﺎﻟﻠﻴ ﻭﺻﺎﻡﺣﺻﻞ ﺍﻷﺭ ﻭﻼﹶﻡﺃﻓﹾﺶ ﺍﻟﺴ ﻭﺎﻡﺃﹶﻃﹾﻌﻢ ﺍﻟﻄﹼﻌ .ﺭﻭﺍﻩ ﺍﺑﻦ ﺣﺒﺎﻥ Artinya : Berilah makan (orang yang membutuhkan), sebarkan kedamaian, sambunglah silaturahim, lakukan salat malam ketika orang-orang sedang tidur, kalian akan masuk surga dengan damai (HR. ibn Hibban). ﺭﻭﺍﻩ.ﺎﺀﻤ ﰲ ﺍﻟﺴﻦ ﻣﻜﹸﻢﻤﺣﺮﺽ ﻳ ﰲ ﺍﻷﺭﻦﺍ ﻣﻮﻤﺣ ﺇﺭ.ﻤﻦﺣ ﺍﻟﺮﻢﻬﻤﺣﺮﻥﹶ ﻳﺍﲪﻮﺃﻟﺮ .ﺍﻟﺒﺨﺎﺭﻱ Artinya : "Orang-orang penyayang akan disayang oleh Zat Yang Maha Penyayang. Sayangilah yang ada di bumi, maka kalian akan disayang oleh yang di langit." (HR. Bukhari). Dengan demikian, Islam sebagai agama yang dipeluk oleh mayoritas penduduk Indonesia merupakan agama yang ramah, toleran, santun dan menghargai keragaman. Hanya, dalam tataran implementasi seringkali terjadi kesenjangan antara ajaran Islam yang diwahyukan (islam ideal) dengan ajaran Islam yang diterapkan (islam aktual). Pesan-pesan Islam yang hanîf, lembut dan toleran, bisa saja dipahami berbeda oleh pemeluknya dan menjadi "Islam" yang galak dan anti keragaman. Jika ini terjadi, maka Islam yang awalnya turun dengan misi suci sebagai rahmatan lil ‘âlamîn akan berubah menjadi la’natan lil’âlamîn, na’ûdzubillâh min dzâlik. Hasil dan Pembahasan Materi PAI yang Berhubungan dengan Multikulturalisme Untuk mengetahui keberadaan materi PAI di SMA yang terkait dengan pendidikan multikulturalisme, perlu merujuk pada Peraturan Menteri Pendidikan Nasional Nomor 22 Tahun 2006 tentang Standar Isi dan Nomor 23 Tahun 2006 tentang Standar Kompetensi Lulusan untuk Pendidikan Dasar dan Menengah, khususnya untuk mata 10 M. Quraish Shihab, Tafsir Al-Mishbah Vol. 8 (Jakarta : Lentera Hati, 2000), hlm. 164 Tadrîs. Volume 5. Nomor 2. 2010 PAI Berbasis Multikulturalisme pelajaran PAI di SMA, karena buku teks yang disusun berpedoman pada ketentuan di atas. Berdasar hasil telaah atas peraturan di atas diketahui bahwa dari 37 pokok bahasan/standar kompetensi (dari kelas X, XI dan XII), ditemukan setidaknya 11 pokok bahasan dengan sejumlah sub pokok bahasan/kompetensi dasar yang berhubungan dengan pendidikan multikulturalisme. Pokok bahasan yang terkait dengan pendidikan multikulturalisme tersebar di seluruh kelas, dengan rincian sebagai berikut : Kelas X, pokok bahasan yang berhubungan dengan pendidikan multikultural adalah; membiasakan perilaku terpuji, memahami keteladanan Rasulullah dalam membina umat periode Makkah, memahami ayat-ayat Al-Qur’an tentang demokrasi, menghindari perilaku tercela, dan memahami keteladanan Rasulullah dalam membina umat periode Madinah. Kelas XI, pokok bahasan yang berhubungan dengan pendidikan multikultural adalah meningkatkan keimanan kepada rasul-rasul Allah, meningkatkan keimanan kepada Kitab-kitab Allah, menghindari perilaku tercela. Sedangkan di Kelas XII, pokok bahasan yang berhubungan dengan pendidikan multikultural adalah memahami ayat-ayat al Qur’an tentang anjuran bertoleransi, membiasakan perilaku terpuji, dan membiasakan perilaku tercela. Pokok bahasan yang berhubungan dengan pendidikan multikultural utamanya terdapat dalam aspek akhlak, sejarah dan alQur'an. Selain itu, di sepanjang pembahasan buku teks PAI seringkali ditemukan ungkapan yang mengarah pada pendidikan multikultural, kendati standar kompetensinya tidak terkait langsung dengan pendidikan multikultural. Dengan demikian, pendidikan multikultural dalam teks pelajaran PAI di SMA cukup memadai. Model Penyajian Teks Pelajaran PAI yang Berhubungan dengan Multikulturalisme Sebagaimana penjelasan di muka, buku teks yang menjadi sumber data dalam penelitian ini adalah buku pelajaran PAI untuk SMA kelas X, XI, XII berjudul Agama Islam; Lentera Kehidupan yang disusun oleh Drs. Margiono, M.Pd., Drs. Junaidi Anwar, dan Dra. Latifah, terbitan Tadrîs. Volume 5. Nomor 2. 2010 165 Mohammad Kosim Yudhistira Jakarta tahun 2006 (untuk kelas XII), 2007 (untuk kelas XI), dan 2008 (untuk kelas X). Terkait dengan pola penyajian materi yang berhubungan multikulturalisme, tidak ada satupun bab dalam buku tersebut yang menyebut langsung istilah multikulturalisme. Hal ini tampaknya berpedoman pada Peraturan Menteri Pendidikan Nasional Nomor 22 Tahun 2006 tentang Standar Isi dan Nomor 23 Tahun 2006 tentang Standar Kompetensi Lulusan untuk Pendidikan Dasar dan Menengah, yang memang tidak secara tegas menyebut istilah multikulturalisme. Yang ditemukan adalah masalah-masalah yang subsatansinya terkait dengan pendidikan multikulturalisme, misalnya tentang demokrasi, menghargai keragaman agama dan perbedaan pendapat. Dengan demikian, pola pembahasan pendidikan multikulturalisme pada mata pelajaran PAI bersifat integrasi, bukan mandiri. Memang ada dua pendekatan yang bisa dilakukan dalam mengembangkan multikulturalisme melalui kurikulum di sekolah, yaitu ; pertama, pola mandiri, dengan menambah mata pelajaran khusus pendidikan multikulturalisme. Jika pendekatan ini dipilih, sekolah bisa memanfaatkan komponen kurikulum 'muatan lokal' dan 'pengembangan diri' ; kedua, pola integrasi, dengan mengintegrasikan pendidikan multikulturalisme ke dalam mata pelajaran terkait, seperti mata pelajaran agama. Dari kedua pendekatan tersebut, pendekatan integrasi yang paling mungkin diterapkan di sekolah, karena selama ini beban pelajaran murid di sekolah—mulai SD hingga SMA—sudah terlalu banyak bahkan berlebih (overload). Jika ditambah mata pelajaran baru tentang pendidikan multikulturalisme, tentu beban murid akan semakin berat. Di samping itu, jika pendekatan pertama yang dilakukan, akan terjadi banyak pengulangan materi pelajaran karena masalah multikulturalisme melampaui banyak aspek kehidupan sehingga bisa muncul dan dibahas di hampir setiap pelajaran. Pada pendekatan integrasi pun, dalam praktiknya bisa dilakukan melalui dua cara, yaitu; pertama, dengan menyisipkan sub pokok bahasan berjudul 'pendidikan multikulturalisme' dalam beberapa kali pertemuan. Melalui cara ini, pada mata pelajaran PAI akan ada sub pokok bahasan berjudul pendidikan multikulturalisme 1, 2, 3 dan seterusnya tergantung kebutuhan dengan topik beragam; kedua, 166 Tadrîs. Volume 5. Nomor 2. 2010 PAI Berbasis Multikulturalisme dengan menyisipkan sub pokok bahasan yang berhubungan dengan multikulturalisme dalam beberapa kali pertemuan. Jika cara kedua yang dipakai, maka pada pelajaran PAI tidak akan ditemukan sub pokok bahasan berjudul 'pendidikan multikulturalisme', yang muncul adalah sub pokok bahasan yang berhubungan dengan pendidikan multikulturalisme, misalnya tentang demokrasi, musyawarah, akhlak terpuji kepada orang lain, dan seterusnya. Tampaknya, yang dipilih dalam mengembangkan pendidikan multikulturalisme melalui pelajaran PAI adalah cara yang kedua. Hal ini tampaknya menyesuaikan dengan struktur Standar Isi dan Standar Kompetensi Lulusan sebagaimana ditetapkan dalam Peraturan Menteri Pendidikan. Arah Pembahasan Teks Pelajaran PAI yang Berhubungan dengan Multikulturalisme Untuk memahami arah pembahasan teks-teks pelajaran PAI yang berhubungan dengan multikulturalisme, akan dideskripsikan beberapa teks pelajaran PAI dari tiap buku/kelas sebagai berikut: 1). Buku PAI Kelas X SMA Di bab 6 yang membahas sejarah dakwah nabi periode Mekah, ketika menjelaskan hikmah dakwah nabi selama di Mekah, dalam teks disebutkan antara lain sebagai berikut : a. Melalui dakwah Islam, Rasulullah saw memberikan pemahaman tentang hak dan persamaan derajat antara kaum perempuan dan laki-laki. b. Islam menegakkan ajaran persamaan derajat di antara sesama manusia dan memberantas perbudakan. c. Melalui penghapusan perbudakan, maka siapa pun manusia statusnya di mata Allah adalah sama.11 Di bab 7 yang membahas tentang ayat-ayat al-Qur'an yang berhubungan dengan demokrasi, ketika menjelaskan etika berdiskusi antara lain disebutkan : a. Bersikap lemah lembut terhadap sesama manusia dan tidak memaksakan kehendak. 11Margiono, dkk. Agama Islam ; Lentera Kehidupan untuk SMA Kelas X (Jakarta : Yudhistira, 2008), hlm. 108. Tadrîs. Volume 5. Nomor 2. 2010 167 Mohammad Kosim b. Mampu mengendalikan emosi di setiap keadaan, menjauhi sikap egois dan tidak otoriter. c. Mampu bersikap saling menghargai dan menjunjung tinggi nilai hak asasi manusia. d. Tidak menghasut untuk berselisih dan mencari-cari kesalahan pihak atau agama yang lain e. Menghindari debat kusir atau memaksakan kehendak agar orang lain mengikuti keinginannya sekalipun baik. f. Tidak boleh melecehkan si pembicara, misalnya karena cacat atau tidak sempurna. g. Hindari diskusi yang berubah menjadi selisih pendapat yang mengakibatkan permusuhan dan kedengkian.12 Di bab 10 yang membahas tentang perilaku tercela (hasud, riya', dhalim/aniaya, diskriminasi), penjelasan tentang aniaya/dzalim terlihat dalam ungkapan berikut: "Ajaran Islam tidak mengenal diskriminasi karena hal tersebut adalah sifat tercela dan harus dihindari. Di hadapan Allah semua manusia adalah sama, siapapun, dari manapun, dan warna kulit apapun. Allah membedakan manusia dengan kualitas ketakwaan kepada-Nya ... Islam melalui risalah para nabi dan rasul yang disempurnakan melalui Nabi Muhammad saw bersifat rahmat atau kasih sayang bagi semesta alam, termasuk di dalamnya seluruh umat manusia yang hidup di seluruh belahan bumi ini."13 Untuk menguatkan argumentasi bahwa Islam anti diskriminasi, dalam buku teks ditunjukkan contoh sebagai berikut : a. Nabi Ibrahim menjadikan Siti Hajar, seorang budak dari Etiopia yang dianggap hina sebagai istrinya. Ternyata budak perempuan yang dianggap rendah tersebut justru mempunyai kepribadian yang mulia, tidak mudah menyerah ketika menghadapi kesulitan bagaimanapun beratnya, dan bertanggungjawab atas tugas atau kewajibannya, khususnya dalam memelihara dan membesarkan putranya, Ismail as. b. Di zaman Nabi Muhammad saw perjuangan menghapus diskriminasi (perbudakan) itu terus dilanjutkan, khususnya terhadap budak-budak yang terdapat di kota Mekah. Di antara para budak 12Ibid., 13Ibid., 168 hlm. 123-124. hlm. 165. Tadrîs. Volume 5. Nomor 2. 2010 PAI Berbasis Multikulturalisme yang telah dimerdekakan itu terdapat Bilal bin Rabah. Ia adalah seorang hamba Allah budak yang tangguh dan teguh dalam mempertahankan keyakinan terhadap Islam. Demikian pula dengan Zaid bin Haris yang telah dimerdekaan oleh Nabi Muhammad saw serta diangkat menjadi anak asuh beliau. Bahkan setelah menginjak dewasa, Zaid bin Haris dinikahkan dengan Zaenab, saudara sepupu Rasulullah saw dari suku Quraisy yang diangap keturunan terhormat.14 Lebih lanjut, dalam buku teks dinyatakan bahwa perilaku untuk menghindar dari sikap diskriminasi harus diterapkan dalam kehidupan sehari-hari sebagai berikut : a. Gemar bersilaturahmi, antara lain dengan cara saling mengunjungi agar saling mengenal dan tolong menolong. b. Tidak suka menyalahkan orang lain atau merasa diri sendiri yang paling benar karena kebenaran sejati hanyalah milik Allah swt., sehingga Dialah yang paling berhak menetapkan kebenaran hakiki di hari kemudian. c. Tidak suka mengolok olok, buruk sangka, atau memfitnah antara satu orang dengan orang lainnya, antara suatu kelompok dengan kelompok lainnya, antara satu madzhab dengan madzhab yang lain. d. Menumbuhkan semangat persatuan dan kesatuan, khususnya sebagai bangsa Indonesia yang terdiri dari ribuan kepulauan serta beraneka ragam suku bangsa, adat istiadat, dan budaya sehingga dapat bergotong royong membangun negeri dalam bingkai Bhinneka Tungal Ika. e. Bersikap toleran (tasamuh) terhadap sesama umat beragama dan tidak memaksakan keyakinan terhadap umat lainnya, berlombalomba dalam berbuat kebaikan, dan tidak saling menghina syariat atau Tuhan milik umat beragama lain. f. Ikut serta secara aktif dalam kegiatan yang memiliki tujuan menghapuskan diskriminasi, antara lain dengan memberi pelayanan yang baik terhadap hak-hak warga atau masyarakat tanpa 14Ibid., hlm. 166. Tadrîs. Volume 5. Nomor 2. 2010 169 Mohammad Kosim membedakan warna kulit, golongan, suku bangsa, dan status sosialnya.15 2). Buku PAI Kelas XI SMA Di bab 8 yang membahas tentang Iman kepada kitab-kitab Allah, dalam muqaddimah disebutkan antara lain : "... Kewajiban kita khususnya umat Islam adalah yakin akan diturunkannya seluruh kitab tersebut kepada para rasul Allah tanpa membeda-bedakannya. Satu hal penting yang juga harus menjadi titik sentral keyakinan kita bahwa seluruh kitab suci tersebut memiliki kesamaan dasar yakni ketauhidan kepada Allah swt."16 Di bab 10 yang membahas tentang tatakrama pribadi dengan sub bahasan tentang menghargai karya orang lain, dijelaskan sebagai berikut : "Menghormati dan menghargai karya orang lain harus dilakukan tanpa memandang derajat, status, warna kulit, atau pekerjaan orang tersebut karena hasil karya merupakan pencerminan dari pribadi seseorang ... Islam sangat menganjurkan umatnya agar saling menghargai satu sama lain. Sikap menghargai terhadap orang lain tentu didasari oleh jiwa yang santun atau al-hilmu yang dapat menumbuhkan sikap menghargai orang di luar dirinya."17 3). Buku PAI Kelas XII SMA Bab 1 yang membahas ayat-ayat al-Qur'an tentang toleransi, dalam buku tersebut ditunjukkan sejumlah gambar berwarna beberapa wajah manusia dalam beragam asal-usul (agama, suku, bangsa). Selanjutnya, di bawah gambar tersebut, terdapat muqaddimah sebagai berikut : "Tahukah kamu bahwa salah satu bukti kemahakuasaan Allah adalah Dia menciptakan semua makhluk yang dikehendaki-Nya dengan perbedaan-perbedaan di antara mereka? Bahkan, Allah Mahakuasa menjadikan perbedaan itu sebagai rahmat, terutama pada manusia. Perbedaan-perbedaan itu, termasuk dalam berpikir dan berpendapat, menjadikan hidup manusia lebih dinamis dan penuh warna, subhanallah. Bayangkanlah bila kita semua sama atau identik! 15Margiono, dkk. Agama Islam ; Lentera Kehidupan untuk SMA Kelas XI Yudhistira, 2007), hlm. 166. 16Ibid., hlm. 110. 17Ibid., hlm. 145. 170 Tadrîs. Volume 5. Nomor 2. 2010 (Jakarta : PAI Berbasis Multikulturalisme Tentu hidup kita akan menjadi monoton dan membosankan. Toleransi, itulah kata kunci yang menjembatani perbedaan-perbedaan yang ada agar hidup menjadi indah. Ajaran Islam tidak pernah memerintahkan umat manusia saling bermusuhan atau membenci terhadap orang yang berbeda pendapat, bahkan manusia diwajibkan untuk menghargai dan melindungi orang yang memohon perlindungan meskipun mereka bukan beragama Islam. Ajaran Islam senantiasa berusaha untuk menegakkan hidup beragama di dalam suasana perdamaian, kerukunan, dan saling kerjasama dengan sesama tanpa memandang suku, bangsa, dan agama serta status sosial ekonominya."18 Ketika menjelaskan isi kandungan surat al-Kafirun, dalam buku tersebut—antara lain--dinyatakan : a. Mengajak masing-masing umat untuk melaksanakan ajaran agama dan kepercayaannya tanpa bersikap saling mengganggu. b. Masing-masing penganut agama harus yakin sepenuhnya dengan ajaran agama dan kepercayaannya sehingga dengan tulus menghayati agamanya tersebut. c. Tidak boleh saling memaksa untuk mengikuti suatu agama karena Rasulullah menjelaskan bahwa agamamu dan balasannya adalah untuk kamu (kaum kafir) dan agamaku dan balasannya adalah untuk aku (kaum mukmin).19 Tentang perlunya toleransi sesama muslim, dalam buku tersebut dikutip pernyataan Imam Hanafi sebagai berikut : "Saya (mungkin) benar, tetapi (mungkin) bisa salah. Dan orang lain (mungkin) salah, tapi (mungkin) bisa juga benar."20 Ketika menyimpulkan perilaku yang mencerminkan isi Surat alKafirun, surat Yunus ayat 40-41 dan surat al-Kahfi ayat 29, tertulis teks antara lain sebagai berikut : a. Tidak suka menganggap diri paling benar dan berusaha bersikap terbuka terhadap keberadaan agama atau keyakinan lain di luarnya. 18Margiono, dkk. Agama Islam ; Lentera Kehidupan untuk SMA Kelas XII (Jakarta : Yudhistira, 2006), hlm. 1-2 19Ibid., hlm. 4. 20Ibid., hlm. 5. Tadrîs. Volume 5. Nomor 2. 2010 171 Mohammad Kosim b. Tidak membeda-bedakan orang lain dan bersikap adil meskipun terhadap keluarga dan diri sendiri. c. Tidak memaksakan kehendak, kepercayaan, atau keyakian terhadap golongan lain, apalagi dengan jalan kekerasan. d. Tidak menjelek-jelekkan Tuhan dan agama lain karena hal tersebut justru akan menimbulkan kebencian dan rasa antipati terhadap Islam. e. Menunjukkan bahwa Islam adalah rahmat bagi seluruh alam dengan tidak mengintimidasi kelompok yang minoritas atau beragama lain. f. Memberi contoh dan berdakwah melalui akhlak atau kepribadian yang mulia sebagaiamana telah dicontohkan Rasulullah saw.21 Dalam bab 4 yang membahas perilaku terpuji (dengan pokok bahasan adil, bijaksana, rida, produktif dan efisien), ketika menjelaskan tentang cara menunjukkan sikap adil kepada orang lain disebutkan hal-hal--antara lain--sebagai berikut: a. Memberikan rasa aman kepada orang lain dengan sikap ramah, sopan, dan santun. b. Menjadi teladan dan menciptakan suasana kondusif, tenteram serta rukun. c. Tidak sombong atau angkuh bila bergaul dengan masyarakat berbagai lapisan d. Berpikir positif (positive thinking), yaitu berprasangka baik terhadap orang-orang yang ada di sekitarnya. e. Tidak pilih kasih bila tidak berkawan. f. Tidak membuat kerusakan, permusuhan, dan kedengkian.22 Di bab 9 yang membahas tentang tatakrama pergaulan, ditunjukkan gambar umat Islam dari beragam suku di Indonesia yang saling berpegangan tangan, kemudian dijelaskan "Ajaran Islam sendiri telah mengatur tatanan kehidupan bermasyarakat dan bernegara secara rukun, damai dan sejahtera ... "23 Tentang tatakrama dalam menjaga hubungan umat beragama dan antar umat beragama dijelaskan sebagai berikut : 21Ibid., hlm. 10. hlm. 50. 23Ibid., hlm. 127. 22Ibid., 172 Tadrîs. Volume 5. Nomor 2. 2010 PAI Berbasis Multikulturalisme a. Mengucapkan salam jika saling berjumpa dengan sesama muslim. Dengan mengucapkan salam, seorang muslim sesungguhnya sudah mengharapkan terwujudnya persatuan dan kerukunan terhadap sesamanya. b. Menyapa pada saat berjumpa dengan saudara-saudara sebangsa dan setanah air meskipun yang tidak seagama disertai dengan senyum ramah agar terjaga kerukunan terhadap sesama. c. Saling menghargai dan menghormati antarumat beragama dengan tidak saling menghina tatacara ibadah dan nama serta pemahaman tentang Tuhannya masing-masing. d. Menghargai pendapat dan keyakinan masing-masing umat beragama. e. Umat Islam mengajak kepada sesama umat manusia untuk menciptakan kedamaian dan anti kekacauan sesuai dengan nama Islam yang berarti damai dan selamat sejahtera. Agama Islam menginginkan persaudaraan, solidaritas, persatuan, dan kerukunan. f. Umat Islam senantiasa tidak sombong dalam berkiprah di bumi. g. Umat Islam harus berlaku adil terhadap siapa saja. h. Umat Islam terbiasa dengan sikap tolong menolong terhadap siapapun yang membutuhkan pertolongan.24 Paparan data-data di atas menunjukkan bahwa pembahasan buku teks pelajaran PAI SMA terbitan Yudhistira berjudul Agama Islam; Lentera Kehidupan yang disusun oleh Drs. Margiono, M.Pd., Drs. Junaidi Anwar, dan Dra. Latifah, yang isinya terkait dengan multikultural (seperti keragamaan agama, etnis, jenis kelamin, tradisi, dan lainnya), secara konsisten telah mengarahkan warga belajar untuk menjadi multikulturalis. Ungkapan-ungkapan agar warga belajar "saling menghormati, menghargai keragaman, keragaman adalah sunnatullah dan rahmat, saling menyayangi" selalu ditekankan ketika membahas masalah-masalah keragaman. Demikian pula ungkapan agar warga belajar "tidak angkuh, tidak sombong, tidak memaksakan kehendak, tidak merasa menang sendiri, tidak merasa lebih benar, dan sejenisnya" juga sering ditemui dalam pembahasan tentang keragaman. 24Ibid., hlm. 128. Tadrîs. Volume 5. Nomor 2. 2010 173 Mohammad Kosim Khusus pembahasan tentang tentang keragaman agama, penulis buku ini terkesan sangat hati-hati dalam menjelaskan dan mengambil rujukan. Ketika menjelaskan tentang beriman kepada kitab-kitab Allah, misalnya, tidak disinggung sama sekali status kitab-kitab selain al-Qur'an yang masih bertahan hingga sekarang. 25 Padahal masalah ini merupakan salah satu masalah krusial dalam hubungan antar umat beragama, dan murid-murid SMA bisa jadi mulai tertarik untuk mendiskusikannya. Maka, jika hal itu terjadi, menjadi kewajiban guru untuk menjelaskannya secara hati-hati agar tidak mengarah pada pluralisme agama yang dilarang26 atau tidak mengarahkan warga belajar berpikir radikal. Jika teks pelajaran PAI telah mendukung pengembangan pendidikan multikultural, apakah dengan sendirinya proses pembelajaran PAI akan menguatkan teks? Belum tentu, sebab teks hanya salah satu sumber dalam proses pembelajaran. Banyak sumber belajar lain27 yang ikut menentukan arah proses pembelajaran. Dalam pendekatan inputproses-output, 28 buku teks hanya salah satu input bagi berlangsungnya 25Sekedar informasi, terhadap keberadaan kitab-kitab selain al-Qur'an yang tetap bertahan hingga saat ini , Muktamar NU ke-14 di Magelang 1939 telah memutuskan bahwa kitab-kitab tersebut bukan kitab samawiyah yang wajib diimani. 26Majelis Ulama Indonesia (MUI) melalui Surat Keputusan No.7/MUNAS VII/MUI/II/2005, tertanggal 29 Juli 2005, tentang Pluralisme, Liberalisme dan Sekularisme Agama pernah mengeluarkan fatwa tentang larangan pluralisme agama karena cenderung menyamakan semua agama. 27Sumber belajar menurut Association of Education and Communication Technology (AECT) adalah all of the resourses which may be used by the learner in isolation or combination to fasilitate learning (semua sumber yang bisa dimanfaatkan oleh pembelajar baik secara sendiri-sendiri maupun kombinasi, untuk memfasilitasi belajar mereka). Berdasar pengertian ini, sumber belajar dibagi menjadi ; people [manusia], message [informasi yang disampaikan oleh komponen lain dalam bentuk ide, data, fakta], materials [bahan dalam bentuk software seperti TV, tape, radio], divice [alat dalam bentuk hardware yang digunakan untuk menyampaikan pesan yang terdapat dalam materials seperti OHP, tape recorder, komputer], technique [prosedur dan langkah-langkah tertentu yang dipakai untuk menyampaikan pesan], dan milieu [lingkungan fisik dan non-fisik]Baca lebih lanjut dalam: Sudjarwo S., Beberapa Pengembangan Sumber Belajar (Jakarta : Mediyatama Sarana Perkasa, 1989), hlm. 141-143. 28Ketiganya merupakan satu kesatuan yang saling memengaruhi. Input akan memengaruhi proses, dan proses akan menentukan output. Input adalah segala sesuatu yang harus ada untuk berlangsungnya proses pendidikan, yang meliputi; sumber daya manusia (seperti pimpinan, pendidik, peserta didik, dan karyawan), sumber daya lain- 174 Tadrîs. Volume 5. Nomor 2. 2010 PAI Berbasis Multikulturalisme kegiatan pembelajaran. Input lain, yang sangat menentukan, adalah guru. Guru memiliki peran strategis dalam proses pembelajaran, bahkan sumber daya lain yang memadai seringkali kurang berarti jika tidak disertai dengan guru yang bermutu. Dengan kata lain, guru merupakan kunci sukses dan ujung tombak dalam upaya mengembangkan pendidikan multikultural. Untuk itu, perlu disiapkan guru-guru bermutu yang siap mengembangkan proses pembelajaran PAI yang berwawasan multikultural. Sebab dalam praktik, upaya pengembangan multikulturalisme tidak semudah menyusun teks. Sekolah dengan murid yang heterogin, terutama dari aspek agama dan etnis, akan menghadapi tantangan lebih sulit dan rumit dalam mengembangan pendidikan multikultural dibanding sekolah yang homogen. Pernyaiapan guru PAI yang berwawasan multikultural menjadi sangat penting karena selama ini, menurut pengamatan sejumlah kalangan, masih terjadi kelemahan dalam praktik pendidikan agama Islam. Kautsar Azhari Noer menyebutkan paling tidak ada empat faktor penyebab kegagalan tersebut, yaitu: pertama, penekanannya lebih pada proses transfer ilmu agama ketimbang pada proses transformasi nilai-nilai keagamaan dan moral kepada anak didik. Kedua, sikap bahwa pendidikan agama tidak lebih dari sekedar sebagai “hiasan kurikulum” belaka atau sebagai “pelengkap” yang dipandang sebelah mata. Ketiga, kurangnya penekanan pada nilai-nilai moral yang mendukung kerukunan antaragama, seperti cinta, kasih sayang, persahabatan, suka menolong, suka damai dan toleransi. Dan keempat, kurangnya perhatian untuk mempelajari agama-agama lain.29 Sedangkan Muhaimin mengidentifikasi bahwa kegagalan pendidikan agama Islam setidaknya disebabkan nya (seperti peralatan, perlengkapan, uang, dan bahan), perangkat lunak (seperti struktur organisasi, peraturan perundangan, deskripsi tugas, rencana, dan program), dan harapan (visi, misi, tujuan, dan sasaran). Sedangkan proses adalah berubahnya sesuatu menjadi sesuatu yang lain. Inti dari proses (dalam pendidikan) adalah pengelolaan input. Suatu proses dikatakan bermutu apabila pengelolaan input dilakukan secara harmonis sehingga mampu menciptakan situasi pembelajaran yang nikmat; mendorong motivasi dan minat belajar; dan mampu memberdayakan peserta didik. Baca lebih lanjut dalam Manajemen Peningkatan Mutu Berbasis Sekolah; Konsep Dasar (Jakarta : Depdiknas Ditjen Dikdasmen Direktorat SLTP, 2002), hlm. 14-15. 29Kautsar Azhari Noer, dalam Sumartana at al., Pluralisme, Konflik, dan Pendidikan Agama di Indonesia (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2001), hlm. 239-240. Tadrîs. Volume 5. Nomor 2. 2010 175 Mohammad Kosim karena mengalami kekurangan dalam dua aspek mendasar, yaitu: 1) pendidikan agama masih berpusat pada hal-hal yang bersifat simbolik, ritualistik, serta bersifat legal formalistik (halal-haram) dan kehilangan ruh moralnya; 2) kegiatan pendidikan agama cenderung bertumpu pada penggarapan ranah kognitif dan paling banter hingga ranah emosional. Kadang-kadang terbalik dengan hanya menyentuh ranah emosional tanpa memerhatikan ranah intelektual. Akibatnya tidak dapat terwujud dalam perilaku siswa dikarenakan tidak tergarapnya ranah psikomotik.30 Mochtar Buchori, sebagaimana dikutip Muhaimin, juga menyatakan bahwa kegiatan pendidikan agama yang berlangsung selama ini lebih banyak bersikap menyendiri dan kurang berinteraksi dengan kegiatan-kegiatan pendidikan lainnya. Cara kerja semacam ini kurang efektif untuk keperluan penanaman suatu perangkat nilai yang kompleks. Oleh karena itu, seharusnya para guru/pendidik agama bekerja sama, bersinergi, dan bersinkronisasi dengan guru-guru nonagama dalam pekerjaan mereka sehari-hari. Pendidikan agama tidak boleh dan tidak dapat berjalan sendiri, tetapi harus berjalan bersamasama dan bekerjasama dengan program-program pendidikan nonagama jika ia ingin memiliki relevansi terhadap perubahan yang terjadi di masyarakat.31 Dengan demikian, masih banyak pekerjaan rumah yang harus diselesaikan dalam mengembangkan PAI berwawasan multikultural. Namun, yang perlu diingat, pengembangan pendidikan multikultural di sekolah tidak hanya menjadi tugas guru agama, tapi menjadi tugas semua guru. Penutup Berdasar sejumlah penjelasan di muka dan merujuk pada tujuan penelitian, maka hasil penelitian ini dapat disimpulkan sebagai berikut : a. Teks pelajaran PAI di SMA yang berhubungan dengan multikulturalisme tersedia cukup memadai. Dari 37 pokok bahasan/bab 30Muhaimin, Pengembangan Kurikulum Pendidikan Agama Islam di Sekolah, Madrasah dan Perguruan Tinggi (Jakarta : RajaGrafindo, 2005), hlm. 27-30 31Ibid., hlm. 24. 176 Tadrîs. Volume 5. Nomor 2. 2010 PAI Berbasis Multikulturalisme (dari kelas X, XI dan XII), ditemukan setidaknya 11 pokok bahasan/bab dengan sejumlah sub pokok bahasan yang berhubungan dengan pendidikan multikultural. Pembahasan yang terkait dengan pendidikan multikulturalisme tersebar di seluruh kelas, utamanya dalam aspek akhlak, sejarah, dan al-Qur'an. Selain itu, di sepanjang pembahasan buku teks PAI seringkali ditemukan ungkapan yang mengarah pada pendidikan multikultural, kendati standar kompetensinya tidak terkait langsung dengan pendidikan multikultural. b. Pola pembahasan pendidikan multikultural pada buku teks pelajaran PAI bersifat integrasi, bukan mandiri, yakni dengan menyisipkan sub pokok bahasan yang berhubungan dengan multikultural dalam beberapa kali pertemuan, misalnya tentang demokrasi, musyawarah, toleransi, akhlak terpuji dan tercela yang terkait dengan keragaman. c. Buku teks pelajaran PAI SMA terbitan Yudhistira berjudul Agama Islam; Lentera Kehidupan yang disusun oleh Drs. Margiono, M.Pd., Drs. Junaidi Anwar, dan Dra. Latifah, yang isinya terkait dengan keragamaan, pembahasannya secara konsisten telah mengarahkan warga belajar untuk menghargai keragaman yang dijumpai kehidupan sehari-hari, seperti keragaman etnis, jenis kelamin, tradisi, dan agama. Buku teks pelajaran PAI SMA terbitan Yudhistira berjudul Agama Islam; Lentera Kehidupan yang disusun oleh Drs. Margiono, M.Pd., Drs. Junaidi Anwar, dan Dra. Latifah, layak menjadi pegangan guru dan murid karena isinya sangat mendukung pengembangan pendidikan multikultural di tingkat sekolah. Kendati demikian, teks saja tidak cukup memadai untuk mengembangkan pendidikan multikultural. Karena itu, teks yang toleran tersebut harus diterjemahkan dalam proses pembelajaran oleh guru yang toleran pula dan didukung oleh lingkungan sekolah yang kondusif. Studi ini hanya mengambil satu persoalan tentang mata pelajaran PAI berwawasan multikulturalisme di SMA, yaitu dari aspek buku teks. Tentu akan semakin “sempurna” kajiannya apabila teks tersebut diteliti ketika diterjemahkan oleh guru agama dalam proses pembelajaran. Dengan demikian, masih tersedia “ruang kosong” bagi penelitian lebih lanjut. Wa Allâh a’lam bi al-shawâb.* Tadrîs. Volume 5. Nomor 2. 2010 177 Mohammad Kosim Daftar Pustaka A Banks, James (ed.). Multicultural Education: Issues and Perspectives. London: Allynand Bacon Press. 1989. A. Boisard, Marcel. Humanisme dalam Islam. Jakarta: Bulan Bintang, 1982. Abdullah, Amin. Pendidikan Agama Era Multikultural-Multireligius. Jakarta : PSAP Muhammadiyah, 2005. Aly, Abdullah. “Pendidikan Multikultural dalam Tinjauan Pedagogik” dalam Makalah Seminar Pendidikan Multikultural sebagai Seni Mengelola Keragaman. Surakarta: Fak. Ekonomi UMS, Tanggal 8 Januari 2005. Baidhawy, Zakiyuddin. Pendidikan Agama Berwawasan Multikultural. Jakarta : Erlangga, 2007. Lash, Scott dan Mike Featherstone (ed.). Recognition And Difference: Politics, Identity, Multiculture. London: Sage Publication, 2002. Lyncholm, James. Multicultural Education: Principles and Practice. London: Routledge & Kegan Paul, 1986. Madjid, Nurcholish. "Hak Asasi Manusia, Pluralisme Agama, dan Integrasi Nasional (konsepsi dan aktualisasi)" dalam HAM dan Pluralisme Agama. Surabaya: PKSK, 1997. Madjid, Nurcholish. Islam Doktrin dan Peradaban. Jakarta: Yayasan Paramadina, 1992. Mahfud, Choirul. Pendidikan Multikultural. Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2009. Manajemen Peningkatan Mutu Berbasis Sekolah; Konsep Dasar. Jakarta : Depdiknas Ditjen Dikdasmen Direktorat SLTP, 2002. Margiono, dkk. Agama Islam 1 Lentera Kehidupan SMA Kelas X. Jakarta : Yudhistira, 2008. Margiono, dkk. Agama Islam 2 Lentera Kehidupan SMA Kelas XI. Jakarta : Yudhistira, 2008. Margiono, dkk. Agama Islam 3 Lentera Kehidupan SMA Kelas XII. Jakarta : Yudhistira, 2008. 178 Tadrîs. Volume 5. Nomor 2. 2010 PAI Berbasis Multikulturalisme Mastuhu. Menata Ulang Pemikiran Sistem Pendidikan Nasional dalam Abad 21. Yogyakarta : Safiria Insania Press, 2003. Muhaimin. Pengembangan Kurikulum Pendidikan Agama Islam di Sekolah, Madrasah dan Perguruan Tinggi. Jakarta : RajaGrafindo, 2005. Naisbitt, John. Nana Naisbitt, dan Douglas Phillips. High Tech-High Touch; Pencarian Makna di Tengah Perkembangan Pesat Teknologi, terj. Dian R. Basuki. Bandung ; Mizan, 2001. Nasution, Harun. Islam Rasional. Bandung: Mizan, 1995. Nieto, Sonia. Language, Culture and Teaching. New York: Lawrence Earlbaum. 2002. Pelly, Usman dan Asih Menanti. Teori-teori Sosial Dirjen Depdikbud, 1994. Budaya. Jakarta: Peraturan Menteri Pendidikan Nasional Nomor 22 Tahun 2006 tentang Standar Isi dan Nomor 23 Tahun 2006 tentang Standar Kompetensi Lulusan untuk Pendidikan Dasar dan Menengah. Rachman, Budhy Munawar. “pengantar” dalam Komaruddin Hidayat dan Muhammad Wahyuni Nafis, Agama Masa Depan Perspektif Filsafat Perennial. Jakarta: Yayasan Paramadina, 1995. Rahim, Husni. Madrasah dalam Politik Pendidikan di Indonesia. Jakarta : Logos, 2005. Rakhmat, Jalaluddin. Metode Penelitian Komunikasi. Bandung : Remaja Rosdakarya, 1993. Shihab, M. Quraish. Tafsir Al-Mishbah Vol. 8 dan 13. Jakarta : Lentera Hati, 2000. Sumartana at al. Pluralisme, Konflik, dan Pendidikan Agama di Indonesia. Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2001. Sunardi, ST. "Dialog: Cara Baru Beragama Sumbangan Hans Kung Bagi Dialog Antar Agama" dalam Seri DIAN I Dialog, Kritik dan Identitas Agama. Yogyakarta: Pustaka Pelajar dan DIAN, 1994. Suparlan, Parsudi. “Menuju Masyarakat Indonesia yang Multikultural,” dalam Makalah yang diseminarkan pada Simposium Internasional ke-3, Denpasar Bali, 16-21 Juli 2002. Tadrîs. Volume 5. Nomor 2. 2010 179 Mohammad Kosim Suryadinata, Leo. et.al. Indonesia’s Population: Etnicity and Religion in a Changing Political Landscape. Singapore: Institute of Southeast Asian Studies. 2003. Sudjarwo S., Beberapa Pengembangan Sumber Belajar. Jakarta : Mediyatama Sarana Perkasa, 1989. Syamsuddin, M. Din. "Mengelola Pluralitas Agama" dalam Jawa Pos, 12 Mei 1996. Tilaar, H.A.R. Beberapa Agenda Reformasi Pendidikan Nasional dalam Perspektif Abad 21. Magelang : Tera Indonesia, 1999. Tilaar, H.A.R. Multikulturalisme; Tantangan-Tantangan Global Masa Depan dalam Transformasi Pendidikan Nasional. Jakarta: Grasindo, 2002. Tilaar, H.A.R. Perubahan Sosial dan Pendidikan: Pengantar Pedagogik Transformatif untuk Indonesia. Jakarta: Grasindo, 2002. 180 Tadrîs. Volume 5. Nomor 2. 2010