MAKNA TAKWA DAN URGENSITASNYA DALAM AL-QUR'AN Mat Saichon E-mail: matsaichon_uin@radenfatah.ac.id. Abstract: Taqwa contain many meanings and not as simple as has been understood by many people. It encompasses the meaning of Islam, faith and charity. All worship the same aim, namely the achievement of degrees of piety. Taqwa directly related to the happiness and safety of people in the world and in the Hereafter, requires the understanding of the meaning of piety as a whole and to the urgency, in order to bring forth a perfect practice. Piety is not something passive, otherwise it is very dynamic. Need sincerity and sacrifice to achieve it. Kata Kunci : makna takwa, al qur’an Pendahuluan Kata takwa akrab di telinga setiap orang. Dalam dunia pendidikan takwa menempati posisi yang sangat terhormat. Seperti dalam tujuan pendidikan nasional disebutkan antara lain, agar peserta didik menjadi manusia yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa. Di tengah masyarakat melalui ceramah, pengajian dan khutbah, para da'i sering mengajak para jamaah untuk bertakwa. Apabila ditanya: "Apakah yang dimaksud dengan takwa?", dengan cekatan anak sekolah, mahasiswa dan masyarakat umum menjawab: "Menjalankan perintah-perintah Allah dan meninggalkan laranganlarangan-Nya". Itulah jawaban yang biasa mereka terima dari para guru dan da'i. Sekilas tidak ada yang salah dengan jawaban di atas. Namun realitas yang terjadi dalam dunia pendidikan dan di tengah masyarakat, menunjukkan bahwa jawaban tersebut masih kurang dan belum memadai. Kejujuran menjadi sesuatu yang langka. Tidak sedikit peserta didik berupaya mendapatkan nilai baik dengan 'bermujahadah' berbuat curang. Ironisnya ada sebagian pendidik bahkan lembaga pendidikan, justeru mengarahkan dan membuka jalan ketidakjujuran itu. Tawuran di kalangan pelajar dan mahasiswa. Kasus amoral, dari pacaran hingga hubungan terlarang. Sementara di tengah masyarakat, kesadaran beragama masih terlihat kurang, shaf-shaf masjid banyak terlihat lenggang, orang-orang kaya banyak yang belum mengeluarkan zakat, Jurnal Usrah MAKNA TAQWA DAN URGENSITASNYA DALAM AL QURAN... MAT SAICHON | 42 kerusakan moral di kalangan remaja dan pemuda, laranganlarang dan perintah-perintah agama biasa dilanggar di tengah masyarakat. Semua hal tersebut menjadi bukti bahwa makna takwa yang selama ini dipahami, terkesan pasif dan parsial, sehingga berdampak pada pengamalannya. Kondisi di atas menjadi landasan perlunya menata kembali pengertian takwa yang komprehensif, dan mensosialisasikannya di tengah masyarakat maupun pada institusi pendidikan. Disamping itu, kedudukan takwa yang menjadi sentral ajaran agama Islam dan peranannya sebagai barometer kemuliaan seseorang, membuat tema tentang takwa menjadi semakin menarik untuk dikaji untuk menyingkap 'misteri' yang ada di dalamnya. Tulisan ini yang mengupas tentang definisi takwa secara etimologi dan terminologi serta urgensitasnya. Dengan harapan yang sedikit ini dapat banyak memberikan manfaat. Takwa Menurut Etimologi Para pengarang ensiklopedi sepakat mengatakan bahwa akar kata takwa adalah waqa-wiqayah yang berarti memelihara dan menjaga. Seperti diungkapkan oleh al-Khalil bin Ahmad, al-Azhary dalam Maqayis al-Lughah, alJauhary dalam al-Shihhah, dan juga al-Ashfahany dalam al-Mufradat fi Gharib al-Quran. Dari makna dasar itulah secara bahasa takwa mengandung beberapa pengertian: Pertama : menjaga sesuatu dari yang menyakitkan dan membahayakan. Kedua : menjaga diri dari yang ditakutkan (alAshfahany, t.th : 530). Ketiga: menghalangi antara dua hal (Ibnu Ismail, 1996 : 3/169). Keempat: bertameng (berlindung) dengan sesuatu atau dengan orang ketika menghadapi musuh atau sesuatu yang dibenci. Kelima: menghadapi sesuatu dan melindungi diri (dari bahayanya). Keenam: mengambil perisai untuk menutupi dan menjaga. Ketujuh: menjaga diri dan menolak hal-hal yang tidak disukai. Kedelapan: hati-hati, waspada dan menjauh dari yang menyakitkan. Kesembilan takut kepada Allah dan merasakan pengawasan-Nya (AlBuzy, 2011 : 101-103). Makna Takwa dalam Al-Quran Menurut al-Razy ( 2000 : 2/20) takwa dalam al-Quran bermakna khasyyah (rasa takut). Seperti dalam firman Allah dalam surat anNisa ayat 1 : ﯾﺎأﯾﮭﺎ اﻟﻨﺎس اﺗﻘﻮا َرﺑﱠ ُﻜ ُﻢ Maksudnya : "Wahai manusia takutlah kepada Tuhan kamu". Selain bermakna rasa takut, al-Razy mengungkapkan lima makna takwa lainnya, yaitu : Pertama : iman, firman Allah "Dan ingatlah ketika Tuhanmu menyeru Musa : datangilah kaum yang zalim itu, yaitu kaum Fir'aun, mengapa mereka tidak bertakwa" (Q.S Al-Syu'ara: 10-11). Maksudnya, kenapa mereka tidak beriman. Jurnal Usrah 43 | V o l . 3 N o . 1 , J u n i 2 0 1 7 Kedua : taubat, firman Allah: "Jika penduduk negeri-negeri beriman dan bertakwa, pastilah Kami limpahkan kepada mereka berkah dari langit dan bumi, tetapi mereka mendustakan (ayat-ayat Kami), maka Kami siksa mereka disebabkan perbuatannya". (Q.S AlA'raf : 96). Yakni beriman dan bertaubat. Ketiga : taat, seperti firman Allah : "Dan kepunyaan-Nya segala yang ada di langit dan di bumi, dan untuk-Nya (ketaatan) pada agama itu selama-lamanya. Maka mengapa kamu bertakwa kepada selain Allah?". (Q.S. Al-Nahl : 52). Maksudnya, mengapa kamu taat kepada selain Allah? Keempat: meninggalkan kemaksiatan, firman Allah : ”Dan masuklah ke rumah-rumah itu dari pintu-pintunya dan bertakwalah kepada Allah agar kamu beruntung". (Q.S Al-Baqarah : 189). Makna "bertakwalah": janganlah melanggar aturan-Nya. Kelima: ikhlas, seperti firman Allah: "Demikianlah (perintah Allah). Dan barangsiapa mengagungkan syiar-syiar Allah, maka sesungguhnya itu timbul dari ketakwaan hati". (Q.S. Al-Haj: 32). Ketakwaan hati artinya dari keikhlasan hati. Takwa Menurut Terminologi Banyak ulama dari masa sahabat hingga abad ini mendefinisikan takwa. Seperti Ali bin Abi Thalib (AlShalaby, 2005: 396) mengatakan: ﺗ ﺮك اﻹﺻ ﺮار ﻋﻠ ﻰ اﻟﻤﻌﺼ ﯿﺔ وﺗ ﺮك: اﻟﺘﻘ ﻮى اﻻﻏﺘﺮار ﺑﺎﻟﻄﺎﻋﺔ "Takwa adalah tidak mengulangulang perbuatan maksiat, dan tidak terperdaya dengan merasa puas melakukan ketaatan". Di bagian lain beliau menambahkan : اﻟﺨ ﻮف ﻣ ﻦ اﻟﺠﻠﯿ ﻞ واﻟﻌﻤ ﻞ ﺑﺎﻟﺘﻨﺰﯾ ﻞ: اﻟﺘﻘ ﻮى واﻟﺮﺿﺎ ﺑﺎﻟﻘﻠﯿﻞ واﻻﺳﺘﻌﺪاد ﻟﯿﻮم اﻟﺮﺣﯿﻞ "Takwa adalah rasa takut kepada Allah, mengamalkan Al-Quran, qana'ah (merasa cukup) dengan yang sedikit, dan bersiap-siap untuk hari kematian". Thalq bin Habib (Ibn Taimiyah, t.th: 3/315). mengemukakan definisi takwa yang cukup menarik : أن ﺗﻌﻤﻞ ﺑﻄﺎﻋﺔ ﷲ ﻋﻠﻰ ﻧﻮر ﻣﻦ ﷲ ﺗﺮﺟﻮ رﺣﻤﺔ وأن ﺗﺘﺮك ﻣﻌﺼﯿﺔ ﷲ ﻋﻠﻰ ﻧﻮر ﻣﻦ ﷲ ﺗﺨﺎف، ﷲ ﻋﺬاب ﷲ "Takwa adalah kamu melakukan ketaatan dengan cahaya Allah untuk mengharapkan rahmat-Nya, dan meninggalkan kemaksiatan dengan cahaya-Nya karena takut azab-Nya". Ibrahim bin Adham (AlNisabury, 1996: 1/138) mempunyai ungkapan yang agak berbeda. Definisi takwa menurut beliau adalah : وﻻ اﻟﻤﻼﺋﻜﺔ، ًأن ﻻ ﯾﺠﺪ اﻟﺨﻠﻖ ﻓﻲ ﻟﺴﺎﻧﻚ ﻋﯿﺒﺎ وﻻ ﻣﻠﻚ اﻟﻌﺮش ﻓﻲ، ًاﻟﻤﻘﺮﺑﻮن ﻓﻲ أﻓﻌﺎﻟﻚ ﻋﯿﺒﺎ ًﺳﺮك ﻋﯿﺒﺎ "Orang-orang tidak mendapatkan cela pada lidahmu, para malaikat tidak mendapatkan cela pada perbuatanmu dan Allah tidak melihat cela dalam kesendirianmu". Dalam Jami' al-Bayan, alTabary (2000: 1/233) menjelaskan definisi orang bertakwa pada firman Allah hudan li al-muttaqiin Jurnal Usrah MAKNA TAQWA DAN URGENSITASNYA DALAM AL QURAN... MAT SAICHON | 44 dalam surat Al-Baqarah ayat 2 dengan mengatakan : اﻟﺬﯾﻦ ﯾﺤ َﺬرُون ﻣﻦ ﷲ ﻋﺰ وﺟﻞ ﻋﻘﻮﺑﺘَﮫ ﻓ ﻲ ﺗَ ﺮْ ك ﻣ ﺎ وﯾﺮﺟ ﻮن رﺣﻤَﺘ ﮫ ﺑﺎﻟﺘﱠﺼ ﺪﯾﻖ ﺑﻤ ﺎ،ﯾﻌﺮﻓﻮن ﻣﻦ اﻟﮭُﺪى ﺟﺎء ﺑﮫ "Orang-orang yang bertakwa adalah mereka yang berhati-hati dengan balasan Allah bila meninggalkan petunjuk yang telah mereka ketahui, dan mengharapkan rahmat-Nya dengan meyakini apa yang diturunkanNya". Adapun takwa menurut alAshfahany (t.th : 530) adalah: وﯾ ﺘﻢ، وذﻟ ﻚ ﺑﺘ ﺮك اﻟﻤﺤﻈ ﻮر،ﺣﻔﻆ اﻟﻨﻔﺲ ﻋﻤ ﺎ ﯾ ﺆﺛﻢ ذﻟﻚ ﺑﺘﺮك ﺑﻌﺾ اﻟﻤﺒﺎﺣﺎت "Menjaga diri dari yang mendatangkan dosa dengan meninggalkan larangan, bahkan hingga meninggalkan sebagian yang dibolehkan (untuk menghindari kemungkinan melakukan yang diharamkan)" . Sementara Sayid Quthb (2004: 6/3531) ketika menafsirkan firman Allah dalam surat al-Hasyr ayat 18, menyebutkan definisi takwa yang mendalam sebagai berikut: ﺣﺎﻟﺔ ﻓﻲ اﻟﻘﻠﺐ ﺗﺠﻌﻞ اﻟﻘﻠﺐ ﯾﻘﻈﺎً ﺣﺴﺎﺳ ﺎً ﺷ ﺎﻋﺮاً ﺑ ﺎ ﻓﻲ ﻛ ﻞ ﺣﺎﻟ ﺔ ﺧﺎﺋﻔ ﺎً ﻣﺘﺤﺮﺟ ﺎً ﻣﺴ ﺘﺤﯿﯿﺎً أن ﯾﻄﻠ ﻊ ﻋﻠﯿ ﮫ ﷲ ﻓﻲ ﺣﺎﻟﺔ ﯾﻜﺮھﮭﺎ "Takwa adalah keadaan di dalam hati yang membuat hati menjadi hidup, peka, merasakan kehadiran Allah dalam setiap waktu, merasa takut, berat dan malu dilihat Allah melakukan yang dibenci-Nya". Definisi yang komprehensif dikemukan Muhammad Al-Buzy (2011: 120) dalam kitabnya Mafhum al-Taqwa fi al-Quran wa alHadits. Beliau mengatakan : وﻣﺪاوﻣﺘ ﮫ ﻋﻠ ﻰ طﺎﻋﺘ ﮫ,ﺧﺸﯿﺔ اﻟﻤﺆﻣﻦ رﺑﮫ ﻋ ﻦ ﻋﻠ ﻢ ,ﺑ ﺄداء اﻟﻮاﺟﺒ ﺎت واﻟﻘﺮﺑ ﺎت واﺟﺘﻨ ﺎب ﻛ ﻞ اﻟﻤﻨﮭﯿ ﺎت راﺟﯿﺎ ﺛﻮاب رﺑﮫ واﻟﻨﺠﺎة ﻣﻦ ﻋﻘﺎﺑﮫ "Takwa adalah rasa takut orang beriman kepada Tuhannya yang didasari oleh ilmu, senantiasa tetap dalam ketaatan kepadanya dengan melakukan (segala) kewajiban dan perbuatan-perbuatan yang dapat mendekatkan diri pada-Nya, serta menjauhi semua larangan, untuk mengharapkan pahala-Nya dan keselamatan dari balasan-Nya". Dari definisi di atas, sekurang-kurangnya ada lima unsur yang terkandung dalam definisi takwa, yaitu sebagai berikut : 1. Memiliki rasa takut Rasa takut adalah unsur takwa yang terpenting. Rasa takut muncul dari keyakinan terhadap keagungan Allah, sehingga lahirlah kesadaran untuk memuliakan kedudukan-Nya dan mentaati-Nya. Orang yang takut kepada Allah sadar dengan pengawasan-Nya yang sangat jeli terhadap setiap gerak-gerik, kata dan waktu, sehingga ia merasa selalu bersamaNya, merasa malu dan penuh kehati-hatian dalam bersikap dan berbuat. Ia memahami kedahsyatan hari akhirat, maka selalu memperbanyak ketaatan dan berpaling dari kemaksiatan sebagai bekal menuju akhirat. Ia juga mengetahui keagungan-Nya yang tiada tara, sehingga tunduk kepada peraturan dan ajaran-Nya. 2. Beriman Iman adalah bagian dari takwa dan bukan sebaliknya. Jurnal Usrah 45 | V o l . 3 N o . 1 , J u n i 2 0 1 7 Adanya unsur iman dalam takwa dikarenakan iman adalah sumber dan dasar takwa. Iman yang benar adalah yang tidak bercampur dengan keraguan, dan melahirkan semangat untuk beramal/perbuatan baik. Perbuatan baik tidak dapat melahirkan pahala kecuali dengan iman (al-Syaukany, t.th : 3/217). Iman yang dimaksud seperti diterangkan Muhammad Rasyid Ridha (2005 :1/109) adalah iman yang kokoh, disertai ketundukan diri dan kepatuhan untuk menerima dan mengikuti ajaran, yang dibuktikan dengan perbuatan/amalan sesuai dengan tuntutan keimanan itu. 3. Berilmu Mengetahui keagungan Allah dan syariat-Nya adalah modal utama terwujudnya rasa takut dan takwa yang sebenarnya. Bagaimana orang akan takut kepada Allah bila tidak mengetahui hakikat keesaan, kekuasaan dan keperkasaan-Nya?. Bagaimana seseorang akan bertakwa bila tidak mengetahui peraturan, perintah dan larangan?. Karena sangat vitalnya unsur ilmu dalam takwa, Allah membatasi orang yang takut kepada-Nya hanya pada kelompok orang-orang yang berilmu (ulama). Allah berfirman : ﷲَ ﻣِﻦْ ِﻋﺒَﺎ ِد ِه ا ْﻟ ُﻌﻠَﻤَﺎ ُء إ◌ِ ﻧﱠﻤَﺎ ﯾَﺨْ ﺸَﻰ ﱠ Sesungguhnya yang takut kepada Allah di antara hamba-hamba-Nya, hanyalah para ulama (QS. Fathir : 28). Dari ayat di atas dapat dipahami bahwa tujuan ilmu dalam Islam adalah melahirnya rasa takut dan ketakwaan kepada Allah. Para ulama mengambil kesimpulan dari ayat di atas bahwa orang yang tidak takut kepada Allah adalah orang bodoh (Al-Buzy, 2011 :121). Dengan kata lain tetap dikatakan bodoh walaupun berilmu. Pentingnya ilmu dalam takwa diperkuat dengan firman Allah hudan li al-muttaqiin dalam surat Al-Baqarah ayat 2, maksudnya orang yang bertakwa menjadikan Al-Quran sebagai petunjuk. Dengan demikian mempelajari al-Quran sesuatu yang mutlak untuk mencapai derajat takwa. 4. Berkomitmen dan kontinue dalam ketaatan dengan menjalankan perintahperintah Allah dan menjauhi larangan-larangan-Nya Takwa lahir dari kecintaan yang lebih besar kepada Allah dan Rasulullah serta hari akhirat. Kecintaan itu menguatkan keyakitan atas kebenaran ajaran yang disampaikan Rasul-Nya, dan keyakinan mendorong untuk selalu mentaati-Nya, yang dibuktikan dengan ketidakjemuan dalam beramal/berbuat sesuai dengan perintah-Nya, dan kebencian untuk melanggar larangan-Nya. Orang yang bertakwa tidak membeda-bedakan amalan yang besar maupun yang kecil semua ia lakukan, karena tidak ada yang luput dalam hitungan Allah. Ia juga menjauhi dosa yang kecil apalagi yang besar. Yang ia pandang bukan kecilnya dosa yang dilakukan tapi melihat keagungan Allah dan hak-hak-Nya yang dia abaikan. Jurnal Usrah MAKNA TAQWA DAN URGENSITASNYA DALAM AL QURAN... MAT SAICHON | 46 5. Sangat ingin mendapatkan keridhaan/balasan Allah dan terbebas dari murka/ azab-Nya. Inilah tujuan takwa. Sebagian orang khususnya ahli sufi tidak memandang penting ketertarikan kepada surga dan rasa takut kepada neraka, dan lebih menekankan kecintaan pada Sang Khalik. Padahal mengharapkan surga dan takut pada neraka merupakan bagian dari takwa. Ada 3 alasan yang membuat unsur ini penting dalam takwa : Pertama : Keinginan yang sangat kepada keridhaan Allah dan surgaNya dan rasa takut kepada murka dan neraka, merupakan pendorong yang efektif untuk beribadah dan beramal. Abd al-Rahman al-Sa'dy (2000 : 90) mengatakan : "Orang yang takut azab Allah akan berhenti melakukan perbuatan yang mendatangkan azab. Sebagaimana orang yang mengharapkan balasan Allah akan termotivasi melakukan amalan yang mendatangkan pahala. Adapun orang yang tidak takut pada azab dan tidak mengharapkan pahala dapat membuatnya melakukan yang diharamkan dan berani meninggalkan kewajiban". Kedua : Allah memuji orang yang takut hari akhirat (azab neraka) dan mengharapkan rahmat-Nya (surga) sebagaimana firman-Nya: َأَ ْم ﻣَﻦْ ھُ َﻮ ﻗَﺎﻧِﺖٌ آﻧَﺎ َء اﻟﻠﱠ ْﯿ ِﻞ ﺳَﺎ ِﺟﺪًا َوﻗَﺎﺋِﻤًﺎ ﯾَﺤْ َﺬ ُر اﻵ ِﺧ َﺮة ََوﯾَﺮْ ُﺟ ﻮ َرﺣْ َﻤ ﺔَ َرﺑﱢ ِﮫ ﻗُ ﻞْ ھَ ﻞْ ﯾَ ْﺴ ﺘَﻮِي اﻟﱠ ﺬِﯾﻦَ ﯾَ ْﻌﻠَ ُﻤ ﻮن ب ِ َواﻟﱠﺬِﯾﻦَ ﻻ ﯾَ ْﻌﻠَﻤُﻮنَ إِﻧﱠﻤَﺎ ﯾَﺘَ َﺬ ﱠﻛ ُﺮ أُوﻟُﻮ اﻷ ْﻟﺒَﺎ (Apakah kamu hai orang kafir yang lebih beruntung) ataukah orang yang beribadah di waktu-waktu malam dengan sujud dan berdiri, sedang ia takut kepada (azab) akhirat dan mengharapkan rahmat Tuhannya?. Katakanlah: "Adakah sama orang-orang yang mengetahui dengan orang-orang yang tidak mengetahui?". Sesungguhnya orang yang berakallah yang dapat menerima pelajaran (QS. AlZumar : 9). Ketiga : Islam mengakui tabiat manusia yang memiliki rasa takut dan pengharapan. Oleh karena itu al-Quran memadukan antara janji (kabar baik) dan ancaman (kabar buruk) ketika mengajak kepada ketauhidan dan ketakwaan. Urgensitas Takwa Dalam al-Quran dan sunnah banyak disebutkan urgensitas takwa. Diantara yang perlu untuk dikaji adalah sebagai berikut : 1. Syarat diterimanya amalan Dalam kisah Qabil dan Habil yang diperintahkan untuk mempersembahkan kurban, Allah hanya menerima kurban Habil, karena Qabil tidak ridha dengan ketentuan Allah dan memberikan yang terjelek. Ketika Qabil bertekad membunuh saudaranya karena kedengkiannya yang memuncak, Habil menjawab : َﷲُ ﻣِﻦَ ا ْﻟ ُﻤﺘﱠﻘِﯿﻦ إِﻧﱠﻤَﺎ ﯾَﺘَﻘَﺒﱠ ُﻞ ﱠ Sesungguhnya Allah hanya menerima (korban) dari orang-orang yang bertakwa (QS. Al-Maidah : 27). Jurnal Usrah 47 | V o l . 3 N o . 1 , J u n i 2 0 1 7 Maksud jawaban Habil adalah persembahan kurbanmu dari dirimu sendiri bukan dariku, yang tidak didorong oleh takwa, mengapa kamu berniat membunuhku?. Al-Baidhawy (t.th : 2/315) menjelaskan pelajaran yang bisa diambil dari jawaban Habil, orang yang dengki seharusnya melihat kegagalan akibat kekurangan dirinya sendiri, dan berupaya mengikuti langkahlangkah yang dilakukan orang yang ia dengki, bukan malah berupaya menghilangkan kenikmatannya. Ayat tersebut juga menunjukkan bahwa sesungguhnya ketaatan itu tidak diterima Allah melainkan dari orang yang beriman dan bertakwa. 2. Menjadi orang bertakwa jalan masuk surga Banyak ayat al-Quran yang menunjukkan dengan jelas bahwa surga diperuntukkan bagi orangorang yang bertakwa. Penyebutan balasan itu sering diiringi dengan penjelasan sifat-sifat mereka, seperti firman Allah : ﺿ ﮭَﺎ ُ َْو َﺳ ﺎ ِرﻋُﻮا إِﻟَ ﻰ َﻣ ْﻐﻔِ َﺮ ٍة ِﻣ ﻦْ َرﺑﱢ ُﻜ ْﻢ َو َﺟﻨﱠ ٍﺔ ﻋَﺮ َ( اﻟﱠ ﺬِﯾﻦ133) َاﻟ ﱠﺴ َﻤ َﻮاتُ َو ْاﻷَرْ ضُ أُ ِﻋ ﺪﱠتْ ﻟِ ْﻠ ُﻤﺘﱠﻘِ ﯿﻦ َﻀ ﺮﱠا ِء َوا ْﻟ َﻜ ﺎ ِظﻤِﯿﻦَ ا ْﻟ َﻐ ْﯿﻆ ﯾُ ْﻨﻔِﻘُ ﻮنَ ﻓِ ﻲ اﻟ ﱠﺴ ﺮﱠا ِء َواﻟ ﱠ (134) ََﷲُ ﯾُ ِﺤ ﺐﱡ ا ْﻟﻤُﺤْ ِﺴ ﻨِﯿﻦ سو ﱠ ِ َوا ْﻟ َﻌ ﺎﻓِﯿﻦَ َﻋ ِﻦ اﻟﻨﱠ ﺎ َﷲ َواﻟﱠﺬِﯾﻦَ إِذَا ﻓَ َﻌﻠُ ﻮا ﻓَﺎ ِﺣ َﺸ ﺔً أَوْ ظَﻠَ ُﻤ ﻮا أَ ْﻧﻔُ َﺴ ﮭُ ْﻢ َذ َﻛ ﺮُوا ﱠ ﷲُ َوﻟَ ْﻢ ﻓَﺎ ْﺳ ﺘَ ْﻐﻔَﺮُوا ﻟِ ُﺬﻧُﻮﺑِ ِﮭ ْﻢ َو َﻣ ﻦْ ﯾَ ْﻐﻔِ ُﺮ اﻟ ﱡﺬﻧُﻮبَ إ ﱠِﻻ ﱠ (135) َﺼﺮﱡ وا َﻋﻠَﻰ ﻣَﺎ ﻓَ َﻌﻠُﻮا َوھُ ْﻢ ﯾَ ْﻌﻠَﻤُﻮن ِ ُﯾ Dan bersegeralah kamu kepada ampunan dari Tuhanmu dan surga yang luasnya seluas langit dan bumi, disediakan untuk orangorang yang bertakwa. (Yaitu) orang-orang yang menafkahkan (hartanya), baik di waktu lapang maupun sempit, dan orang-orang yang menahan amarahnya dan memaafkan (kesalahan) orang, dan Allah menyukai orang-orang yang berbuat kebajikan. (Juga) orangorang yang apabila mengerjakan perbuatan keji atau menganiaya diri sendiri, mereka ingat Allah, lalu memohon ampun terhadap dosadosa mereka, dan siapa lagi yang dapat mengampuni dosa selain daripada Allah? Dan mereka tidak meneruskan perbuatan kejinya itu, sedang mereka mengetahui (QS. Ali Imran : 133-135). Penjelasan sifat-sifat tersebut mengajarkan bahwa Allah menginginkan dan memerintahkan manusia untuk menjadi orang yang bertakwa, agar berhak mendapatkan kemuliaan surga. Juga mengajarkan bahwa kesenangan abadi di surga tidak diperoleh dengan cuma-cuma, melainkan dengan berbagai ujian dan cobaan dalam mengikuti dan menggapai sifat-sifat orang yang bertakwa. Penggambaran kondisi surga dengan segala kenikmatan di dalamnya pun ada pelajaran dibaliknya, yaitu agar manusia tertarik dan berlomba-lomba melakukan ketaatan dan ketakwaan. Walaupun hakikat kenikmatan surga yang sebenarnya, sangat jauh lebih dahsyat dari apa yang dipahami manusia, karena keterbatasan kemampuan manusia untuk menjangkau dan memahami. Oleh karena itu Allah berfirman : ﻓ ََﻼ ﺗَ ْﻌﻠَ ُﻢ ﻧَﻔْﺲٌ ﻣَﺎ أُﺧْ ﻔِ َﻲ ﻟَﮭُ ْﻢ ﻣِﻦْ ﻗُ ﱠﺮ ِة أَ ْﻋﯿُ ٍﻦ ََﺟ َﺰا ًء ﺑِﻤَﺎ ﻛَﺎﻧُﻮا ﯾَ ْﻌ َﻤﻠُﻮن Jurnal Usrah MAKNA TAQWA DAN URGENSITASNYA DALAM AL QURAN... MAT SAICHON | 48 Seorang pun tidak mengetahui apa yang disembunyikan untuk mereka yaitu (bermacam-macam nikmat) yang menyedapkan pandangan mata sebagai balasan terhadap apa yang telah mereka kerjakan (QS. Al-Sajadah :17 ). 3. Takwa sebaik-baik bekal Takwa adalah sebaik-baik bekal secara sharih dinyatakan dalam firman Allah yang berkenan dengan ibadah haji : َوﺗَ َﺰ ﱠودُوا ﻓَ ﺈِنﱠ َﺧ ْﯿ َﺮ اﻟ ﺰﱠا ِد اﻟﺘﱠ ْﻘ َﻮى َواﺗﱠﻘُ ﻮ ِن ﯾَ ﺎ أُوﻟِ ﻲ ب ِ ْاﻷَ ْﻟﺒَﺎ Berbekallah, dan sesungguhnya sebaik-baik bekal adalah takwa dan bertakwalah kepada-Ku hai orangorang yang berakal (QS. Al-Baqarah : 197). Ayat di atas mengandung dua pengertian : Pertama: Allah memerintahkan orang yang akan menjalankan ibadah haji untuk membawa bekal, sehingga mereka bisa menjaga kemuliaan diri dengan tidak meminta-minta dan tidak mengganggu jamaah haji lainnya. Seperti yang dipahami dari sebab turunnya ayat (Al-Bukhary, 1987 : 2/554). Kedua: ayat tersebut berisi perintah dan seruan Allah untuk memperbanyak amal shalih dan ketaatan, sebagai bekal untuk menghadap-Nya di hari Akhirat (AlBuzy, 2011 : 134-135). Ibnu 'Athiyah (1993 : 1/273) dalam tafsirnya al-Muharrar alWajiz memilih makna yang kedua, beliau berkata: "Makna yang lebih tepat untuk ayat ini adalah berbekallah kamu dengan amal shalih untuk akhirat, dan firman Allah fainna khaira al-zaati al-takwa adalah seruan untuk bertakwa". Abu Hayyan (2001 : 2/102) dalam al-Bahr al-Muhith sependapat dengan tarjih Ibn Athiyah. Bila qarinah berupa sawabiq dan lawahiq serta dilalah ayat tersebut dicermati dengan teliti, akan dapat dipahami bahwa kedua pengertian yang disebutkan di atas sesuai dengan konteks ayat, sebagaimana dikatakan Abu Bakr al-Razy yang dinukil Abu Hayyan dalam tafsirnya. Oleh karena itu, kedua pengertian tersebut berlaku untuk makna ayat. Allah juga menegaskan bahwa bekal takwa berupa kebaikan dan ketaatan di dunia adalah bekal yang lebih baik, karena manfaat dan pahalanya berkelanjutan sampai akhirat (Abu Hayyan, 2001 : 2/102). Dari pemaparan makna ayat di atas, dapat diambil pelajaran bahwa secara khusus, orang yang ingin mengerjakan ibadah haji perlu mempersiapkan bekal untuk perjalanan dan selama pelaksanaan haji, serta membekali keluarga yang ditinggal. Tetapi bekal tersebut tidaklah cukup walau sebanyak apapun bekal materi yang disiapkan dan dibawa. Masih ada bekal lain yang lebih penting, yaitu bekal takwa. Inilah bekal yang hakiki yang menentukan kualitas haji, termasuk diterima atau tidaknya. Boleh jadi banyak diantara jamaah haji yang tidak mempersiapkan bekal takwa, sehingga selama pelaksanaaan ibadah haji melanggar ketentuan dan larangan, sehingga rusak Jurnal Usrah 49 | V o l . 3 N o . 1 , J u n i 2 0 1 7 ibadah hajinya, atau bahkan hajinya menjadi riya' karena bercampur antara keinginan menunaikan rukun Islam yang kelima dan keinginan mendapat pujian dengan gelar haji. Dalam cakupan yang lebih luas, ayat tersebut mengajarkan bila seseorang ingin mengerjakan suatu pekerjaan atau ibadah yang besar maupun yang kecil, perlu mempersiapkan segala yang dibutuhkan dengan baik, dan sebaik-baik yang dipersiapkan adalah modal takwa. Sungguh inilah sukses yang sebenarnya yang tidak hanya mencapai keinginan yang diidamkan, tapi membuahkan pahala di akhirat. Ayat tersebut juga menyuruh orang yang beriman untuk memperbanyak kebaikan, menjaga dan meningkatkan ketakwaannya selama hidup. Bila untuk pelaksanaan ibadah haji yang membutuhkan waktu satu minggu hingga empat puluh hari perlu bekal materi dan ma'nawy (takwa), maka apalagi kehidupan yang kekal abadi tentu membutuhkan bekal yang jauh lebih banyak dan lebih baik, bekal itu tidak lain adalah takwa dengan segala makna yang terkandung di dalamnya. 4. Takwa tujuan semua ibadah Ayat-ayat yang berhubungan dengan shalat, puasa zakat dan haji memiliki korelasi yang sangat erat dengan takwa, malah memiliki kaitan yang sangat vital, karena tujuan empat macam ibadah tersebut adalah tercapainya ketakwaan. Allah menyatakan bahwa tujuan shalat adalah untuk mengingat-Nya dan agar dapat mencegah terjadinya perbuatan keji dan mungkar. Sebagaimana Allah berfirman : ﷲُ َﻻ إِﻟَﮫَ إ ﱠِﻻ أَﻧَﺎ ﻓَﺎ ْﻋﺒُ ْﺪﻧِﻲ َوأَﻗِﻢِ اﻟﺼ َﱠﻼةَ ﻟِ ِﺬ ْﻛﺮِي إِﻧﱠﻨِﻲ أَﻧَﺎ ﱠ Sesungguhnya Aku ini adalah Allah, tidak ada Tuhan selain Aku, maka sembahlah Aku dan dirikanlah shalat untuk mengingat Aku (QS. Thaha : 14). ﺼ َﻼةَ إِنﱠ ب َوأَﻗِ ﻢِ اﻟ ﱠ ِ ﻚ ِﻣ ﻦَ ا ْﻟ ِﻜﺘَ ﺎ َ ا ْﺗ ُﻞ َﻣ ﺎ أُو ِﺣ َﻲ إِﻟَ ْﯿ ﷲِ أَ ْﻛﺒَ ُﺮ اﻟﺼ َﱠﻼةَ ﺗَ ْﻨﮭَ ﻰ َﻋ ِﻦ ا ْﻟﻔَﺤْ َﺸ ﺎ ِء َوا ْﻟ ُﻤ ْﻨ َﻜ ِﺮ َوﻟَ ِﺬ ْﻛ ُﺮ ﱠ ََﷲُ ﯾَ ْﻌﻠَ ُﻢ ﻣَﺎ ﺗَﺼْ ﻨَﻌُﻮن و ﱠ Bacalah apa yang telah diwahyukan kepadamu, yaitu Al Kitab (Al Qur'an) dan dirikanlah shalat. Sesungguhnya shalat itu mencegah dari perbuatanperbuatan keji dan mungkar. Dan sesungguhnya mengingat Allah (shalat) adalah lebih besar. Dan Allah Maha Mengetahui apa yang kamu kerjakan (QS. Surat Al-'Ankabut : 45). Tentu shalat yang dimaksud bukanlah shalat yang dilaksanakan sekedar melepas kewajiban, tapi shalat yang dilakukan dengan keikhlasan, kepatuhan dan kesungguhan serta keyakinan untuk bertemu dan kembali kepada-Nya di akhirat, untuk mempertanggungjawabkan semua perbuatan dan menerima balasanNya. Mengingat Allah berarti menyadari keagungan-Nya dan pengawasan-Nya setiap saat dan di Jurnal Usrah MAKNA TAQWA DAN URGENSITASNYA DALAM AL QURAN... MAT SAICHON | 50 semua tempat. Menyadari ketergantungan kepada-Nya, karena Dia-lah yang selalu memenuhi kebutuhan. Juga berarti mengingat ancaman yang disediakan-Nya bagi orang-orang berdosa, dan janji bagi orang-orang yang bertakwa. Mengingat Allah akan melahirkan kecintaan kepadaNya, dan bukti kecintaan itu adalah mentaati apa yang diminta-Nya dan berani berkorban untuk-Nya. Sebagai hasil dari mengingat Allah dalam shalat dan pengaruhnya yang tetap dirasakan setelah shalat, mendorong orang untuk selalu berbuat ketaatan dan meninggalkan kemaksiatan. Oleh karena itu Allah mengatakan bahwa shalat mencegah perbuatan keji dan mungkar. Dan tidak dapat dipungkiri bahwa selalu mengingat Allah dan meninggalkan kemaksiatan adalah nilai-nilai yang terpenting dalam takwa. Berkaitan dengan puasa, dalam al-Quran disebutkan bahwa puasa bertujuan untuk mewujudkan pribadi yang bertakwa. Allah berfirman : ﺼﯿَﺎ ُم َﻛﻤَﺎ ُﻛﺘِﺐَ َﻋﻠَ ﻰ ﯾَﺎ أَﯾﱡﮭَﺎ اﻟﱠﺬِﯾﻦَ آَ َﻣﻨُﻮا ُﻛﺘِﺐَ َﻋﻠَ ْﯿ ُﻜ ُﻢ اﻟ ﱢ َاﻟﱠﺬِﯾﻦَ ﻣِﻦْ ﻗَ ْﺒﻠِ ُﻜ ْﻢ ﻟَ َﻌﻠﱠ ُﻜ ْﻢ ﺗَﺘﱠﻘُﻮن Hai orang-orang yang beriman, diwajibkan atas kamu berpuasa sebagaimana diwajibkan atas orang-orang sebelum kamu agar kamu bertakwa (QS. Al-Baqarah : 183). Lebih lanjut Rasulullah mengajarkan bahwa puasa, melatih orang beriman untuk memiliki karakter orang bertakwa, yang lebih mementingkan balasan akhirat daripada panggilan syahwat, khususnya syahwat farj (kemaluan). Puasa mendidik kemampuan menguasai lisan (ucapan). Puasa menanamkan sifat-sifat orang bertakwa, antara lain sifat sabar dan mampu mengendalikan emosi. Dalam Shahih Muslim (t.th : 3/157) disebutkan : ُﺼﯿَﺎ َم ﻓَﺈِﻧﱠ ﮫ ﷲُ َﻋ ﱠﺰ َو َﺟ ﱠﻞ ﻛُﻞﱡ َﻋ َﻤ ِﻞ ا ْﺑ ِﻦ آ َد َم ﻟَﮫُ إِﻻﱠ اﻟ ﱢ ﻗَﺎ َل ﱠ ِﺻ ﻮْ م َ ﺼ ﯿَﺎ ُم ُﺟﻨﱠ ﺔٌ ﻓَ ﺈِذَا َﻛ ﺎنَ ﯾَ ﻮْ ُم ﻟِﻰ َوأَﻧَﺎ أَﺟْ ﺰِى ﺑِ ِﮫ َواﻟ ﱢ ْأَ َﺣ ِﺪ ُﻛ ْﻢ ﻓَﻼَ ﯾَﺮْ ﻓُﺚْ ﯾَﻮْ َﻣﺌِ ٍﺬ َوﻻَ ﯾَ ْﺴ ﺨَﺐْ ﻓَ ﺈِنْ َﺳ ﺎﺑﱠﮫُ أَ َﺣ ٌﺪ أَو .ٌﺻﺎﺋِﻢ َ ﻗَﺎﺗَﻠَﮫُ ﻓَ ْﻠﯿَﻘُﻞْ إِﻧﱢﻰ ا ْﻣ ُﺮ ٌؤ Allah berfirman: "Semua amalan anak adam menjadi miliknya kecuali puasa, ia menjadi milik-Ku dan Aku yang akan membalasnya". Puasa adalah perisai, Apabila salah seorang dari kalian sedang berpuasa janganlah berkata cabul dan janganlah berteriak. Bila seseorang mencaci atau mau membunuhnya, hendaklah ia katakan kepadanya "Sesungguhnya aku orang yang sedang berpuasa". Puasa juga mendidik ketaatan dan kecintaan kepada Allah di atas kecintaan pada diri dan kecintaan kepada selain-Nya. Iman Muslim (t.th : 3/158) juga meriwayatkan : ﻀﺎﻋَﻒُ ا ْﻟ َﺤ َﺴ ﻨَﺔُ َﻋ ْﺸ ُﺮ أَ ْﻣﺜَﺎﻟِﮭَ ﺎ إِﻟَ ﻰ َ ُﻛُﻞﱡ َﻋ َﻤ ِﻞ ا ْﺑ ِﻦ آ َد َم ﯾ ﷲُ َﻋ ﱠﺰ َو َﺟ ﱠﻞ إِﻻﱠ اﻟﺼﱠﻮْ َم ﻓَﺈِﻧﱠﮫُ ﻟِ ﻰ ﺿﻌْﻒٍ ﻗَﺎ َل ﱠ ِ َﺳ ْﺒ ِﻌﻤِﺎﺋَ ِﺔ ِﺼ ﺎﺋِﻢ ع َﺷ ْﮭ َﻮﺗَﮫُ َوطَﻌَﺎ َﻣﮫُ ﻣِﻦْ أَﺟْ ﻠِ ﻰ ﻟِﻠ ﱠ ُ َوأَﻧَﺎ أَﺟْ ﺰِى ﺑِ ِﮫ ﯾَ َﺪ .ِﻄ ِﺮ ِه َوﻓَﺮْ َﺣ ﺔٌ ِﻋ ْﻨ َﺪ ﻟِﻘَ ﺎ ِء َرﺑﱢ ﮫ ْ ِﻓَﺮْ َﺣﺘَ ﺎ ِن ﻓَﺮْ َﺣ ﺔٌ ِﻋ ْﻨ َﺪ ﻓ .« ﻚ ِ ﺢ ا ْﻟ ِﻤ ْﺴ ِ ﷲِ ﻣِﻦْ رِﯾ طﯿَﺐُ ِﻋ ْﻨ َﺪ ﱠ ْ ََوﻟَ ُﺨﻠُﻮفُ ﻓِﯿ ِﮫ أ Semua amalan anak Adam akan dilipatgandakan, satu kebaikan dibalas dengan sepuluh kebaikan sampai tujuh ratus kali lipat. Allah berfirman: "Kecuali puasa, ia milikKu dan Aku yang akan membalasnya, (karena) ia Jurnal Usrah 51 | V o l . 3 N o . 1 , J u n i 2 0 1 7 meninggalkan syahwat dan makanannya karena-Ku". Orang berpuasa mendapatkan dua kegembiraan, kegembiraan ketika berbuka dan kegembiraan ketika bertemu Tuhannya. Dan sungguh bau mulut orang berpuasa lebih harum di sisi Allah dari harumnya misk. Dalam hadits lain yang diriwayatkan oleh Bukhari dan Muslim (Al-Humaidy, 2002 : 3/57), Rasulullah bersabda: ْﻀﺎنَ إِ ْﯾﻤَﺎﻧﺎً َواﺣْ ﺘِﺴَﺎﺑﺎً ُﻏﻔِ َﺮ ﻟَﮫُ ﻣَﺎ ﺗَﻘَ ﱠﺪ َم ﻣِﻦ َ ﺻﺎ َم َر َﻣ َ ْﻣَﻦ َذ ْﻧﺒِ ِﮫ Barangsiapa berpuasa ramadhan karena iman dan mengharapkan pahala, diampuni dosa-dosanya yang telah lalu. Imanan seperti dijelaskan dalam Fath al-Bary artinya meyakini puasa ramadhan itu benar-benar perintah Allah. Ihtisaban, selain bermakna mengharapkan pahala, juga berarti melakukan dengan senang hati tanpa merasa berat (Al-'Asqalany, t.th : 4/115). Ada dua unsur penting takwa yang diajarkan Rasulullah dalam hadits di atas, yaitu berpuasa karena dorongan iman dan mengharapkan balasan-Nya. Begitulah sikap orang bertakwa ketika mendapatkan perintah Allah; Adapun ampunan terhadap dosa-dosa di masa lampau adalah kabar gembira atas keselamatan dari neraka dan murka murka Allah, sekaligus kabar gembira atas pahala yang besar dan surga yang telah dijanjikan. Inilah yang diharapkan orang bertakwa. Ketiga hadits di atas menunjukkan bahwa puasa adalah proses tarbiyah ilahiyyah yang melahirkan orang-orang bertakwa. Tergantung kesungguhan orang yang mengikuti proses itu. Untuk kesuksesan proses ini perlu persiapan diri dengan takwa; melakukannya dengan takwa berupa imanan wa ihtisaban, tidak hanya puasa dari makan, minum dan syahwat, tapi juga puasa mulut, mata, telinga, tangan dan kaki, dan yang lebih penting adalah puasa hati dengan mengosongkannya dari yang tidak baik dan mengisinya dengan kebaikan dan munajat kepada Allah; dan tetap konsisten menjalankan nilai-nilai ketakwaan walaupun ramadhan berlalu. Sementara zakat, juga bertujuan agar muzakki mencapai derajat takwa, tercermin dalam firman Allah : ﺻ ﱢﻞ َ ﺻ َﺪﻗَﺔً ﺗُﻄَﮭﱢ ُﺮھُ ْﻢ َوﺗُ َﺰﻛﱢﯿ ِﮭ ْﻢ ﺑِﮭَﺎ َو َ ُﺧ ْﺬ ﻣِﻦْ أَ ْﻣ َﻮاﻟِ ِﮭ ْﻢ َﷲُ َﺳﻤِﯿ ٌﻊ َﻋﻠِﯿ ٌﻢ ﻚ َﺳﻜَﻦٌ ﻟَﮭُ ْﻢ و ﱠ َ ََﻋﻠَ ْﯿ ِﮭ ْﻢ إِنﱠ ﺻ ََﻼﺗ Ambillah zakat dari sebagian harta mereka, dengan zakat itu kamu membersihkan dan mensucikan mereka, dan mendoalah untuk mereka. Sesungguhnya doa kamu itu (menjadi) ketenteraman jiwa bagi mereka. Dan Allah Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui (QS. Al-Taubah : 103). Al-Baghawy (1997: 4/91) menjelaskan, tuthahhiruhum maksudnya zakat membersihkan dosa orang yang mengeluarkannya. Yuzakkihim, zakat mengangkat mereka ke derajat orang-orang yang ikhlas. Ibnu 'Asyur (1997 : 11/23) lebih detil menerangkan. Tuthahhiruhum, isyarat mengenai maqam takhliyah (membersihkan Jurnal Usrah MAKNA TAQWA DAN URGENSITASNYA DALAM AL QURAN... MAT SAICHON | 52 diri) dari kesalahan. Al-tazkiyah artinya menjadikan sesuatu banyak kebaikan. Tuzakkihim, isyarat mengenai maqam tahliyah (berperangai) dengan kemuliaan dan kebaikan. Tentulah takhliyah lebih didahulukan dari tahliyah. Maknanya sedekah itu menghapus dosa dan mendatangkan balasan yang sangat besar. Dari penjelasan tersebut tampak dengan jelas tujuan zakat adalah esensi dari takwa yaitu menghindari dosa dan meraih pahala. Adapun ibadah haji, sejak persiapan sebelum keberangkatan, dalam ritual-ritual haji baik berupa rukun-rukun haji, wajib-wajib maupun sunnah-sunnahnya, sampai apa yang dilakukan ketika kembali ke tanah, merupakan proses dan sejumlah amaliyat untuk mewujudkan insan-insan bertakwa. Hal ini diperkuat dengan dijanjikan surga bagi yang berpredikat haji mabrur, sementara surga itu sendiri adalah tempat orang-orang bertakwa. Dalam kaitan haji dengan tujuan takwa yang hendak dicapai, dapat dibagi menjadi tiga fase : Pertama : fase sebelum berangkat yang menjadikan takwa sebagai bekal utama selain bekal berupa materi. Seperti telah dibahas pada bagian terdahulu. Kedua: fase pelaksanaan ibadah haji, yang dimulai dengan niat yang ikhlas dan menjaga niat tersebut sampai berakhirnya rangkaian ibadah haji. Memperbanyak zikir, doa dan taubat serta memfokuskan diri pada Allah dalam tawaf, sa'i dan wukuf. Meninggalkan perbuatan tercela selama pelaksanaan haji seperti berkata atau berbuat cabul, berbuat dosa (fasik) dan bertengkar. Menanamkan jiwa sosial dengan menyembelih kurban/dam dan membagikannya kepada orang fakir miskin. Menjalin ikatan persaudaraan dengan sesama, sebagai efek positif dari pertemuan dengan saudara-saudara seiman dari berbagai penjuru dunia. Semua itu adalah pembiasaan dan penanaman sifat-sifat dan karakter orang bertakwa. Ketiga : fase ketika kembali ke tanah air, yang sejatinya senantiasa terpengaruh dan terwarnai oleh nilai-nilai ketakwaan semasa pelaksanaan haji, yang ditandai dengan keistiqamahan dalam ketaatan, peningkatan kualitas diri dan kualitas ibadah serta kecintaan kepada Allah, sehingga benar-benar mencerminkan ciri, karakter dan prinsip hidup orang bertakwa. Penutup Takwa mengandung pengertian yang sangat luas dan sangat dalam. Bukan sekedar melakukan yang perintah Allah dan meninggalkan larangan-Nya. Karena takwa adalah rasa takut yang mendalam kepada Allah dan hari akhirat, yang berasal dari pemahaman terhadap al-Quran dan sunnah, yang diamalkan dalam bentuk pengagungan Allah dan ketaatan yang terus menerus, baik perintah maupun larangan, untuk memperoleh keridhaan dan balasan-Nya dan terjauh dari murka dan azab-Nya. Jurnal Usrah 53 | V o l . 3 N o . 1 , J u n i 2 0 1 7 Takwa mencakup semua kebaikan dan membersihkan diri dari semua keburukan. Ia bertingkat-tingkat, dimulai dengan menjaga diri dari kesyirikan, menjaga diri dari melakukan kemaksiatan, memelihara diri dari syubhat, dan meninggalkan sebagian yang diperbolehkan agar tidak melakukan yang diharamkan. Takwa sangat perlu diraih dalam hidup karena urgensitasnya yang sangat vital, diantaranya sebagai syarat diterimanya amalan, jalan masuk surga dan sebaik-baik bekal yang dibawa menuju kehidupan akhirat. Selain itu takwa adalah tujuan dari ibadah dan spritualitas Islam. Bila takwa belum tercapai, maka perlu mengoreksi dan meningkatkan kualitas keduanya. Daftar Pustaka Abu Hayyan, Muhammad bin Yusuf, 2001, Al-Bahr al-Muhith, Tahqiq : Al-Syeikh 'Adil Ahmad Abd al-Maujud – AlSyeikh 'Ali Muhammad Mi'wadh, Cet I, Beirut, Dar Kutub al-Ilmiyyah. Al-Ashfahany, Abu al-Qasim alHusain bin Muhammad, t.th, Al-Mufradat fii Gharib al-Quran, Tahqiq : Muhammad Sayyid Kailani, Beirut, Dar al-Ma'rifah. Al-'Asqalany, Ahmad bin Ali bin Hajar Abu al-Fadhl, t.th, Fath al-Bary Syarhu Shahih al-Bukhary,Tahqiq : Muhib al-Din al-Khatib, Beirut, Dar al-Ma'rifah. Al-Baghawy, Abu Muhammad alHusain bin Mas'ud, 1997, Ma'alim al-Tanzil, Cet. IV, Dar Tayyibah li al-Nasyr wa al-Tauzi'. Al-Baidhawy, Nashir al-Din Abu alKhair Abdullah bin Umar bin Muhammad, t. th, Anwar al-Tanzil, wa Asrar alTa'wil, Tahqiq : Abd alSalam Abd al-Syafi Muhammad, Cet. I, Beirut, Dar al-Fikr. Al-Bukhari, Muhammad bin Ismail Abu Abdullah, 1987, AlJami' al-Shahih alMukhtashar, Tahqiq : Dr. Musthafa Daib al-Bugha, Cet. III, Beirut, Dar Ibnu Katsir. Al-Humaidy, Muhammad bin Futuh, 2002, Al-Jam'u baina alShahiihain al-Bukhari wa Muslim, Tahqiq : Dr. 'Ali Husain al-Bawwab, Cet II, Beirut, Dar Ibn Hazm. Al-Nisabury, Nizham al-Din alHasan bin Muhammad bin Husain al-Qummy, 1996, Tafsir Gharaib al-Quran wa Raghaib al-Furqan, Tahqiq: Al-Syeikh Zakaria 'Umairan, Cet I, Beirut, Dar al-Kutub al-Ilmiyah. Al-Nisabury, Abu al-Husain Muslim bin al-Hajjaj bin Muslim alQusyairy, t.th, Shahih Muslim, Beirut, Dar al-Jail. Al-Razy, Fakhr al-Din Muhammad bin Umar al-Tamimi, 2000, Mafatih al-Ghaib, Cet. I, Dar al-Kutub al-Ilmiyah. Al-Shalaby, Ali Muhammad Muhammad, 2005, Siratu Jurnal Usrah MAKNA TAQWA DAN URGENSITASNYA DALAM AL QURAN... MAT SAICHON | 54 Amir al-Mu'minin Ali bin Abi Thalib, Cet. I. Al-Syaukany, Muhammad bin 'Ali bin Muhammad, t.th, Fath al-Qadir al-Jami' baina Fannay al-Riwayah wa alDirayah min 'Ilmi al-Tafsir, Beirut, Dar al-Fikr. Al-Thabary, Muhammad bin Jarir bin Yazid bin Katsir bin Ghalib, 2000, Jami' alBayan fi Ta'wil al-Quran, Tahqiq : Ahmad Muhammad Syakir, Cet. I, Muassasah Al-Risalah. Ibn al-Sa'dy, abd al-Rahman bin Nashir, 2000, Taisir alKarim al-Rahman fi Tafsiri Kalam al-Mannan, Tahqiq : Abd al-Rahman bin Ma'la al-Luwaihiq, Cet I, Muassasah al-Risalah. Ibnu 'Athiyyah, Abu Muhammad Abd al-Haq bin Ghalib, 1993, Al-Muharrar al-Wajiz fi Tafsir al-Kitab al-'Aziz, Tahqiq : Abd al-Salam Abd al-Syafi Muhammad, Cet I, Beirut, Dar al-Kutub alIlmiyyah. Ibn Ismail, Abu al-Hasan Ali, 1996, Al-Mukhashshish, Tahqiq ; Khalil Ibrahim Jafal, Cet. I, Beirut, Dar Ihya at-Turats al-Araby. Ibnu Taimiyah, tt, Minhaj al-Sunnah al-Nabawiyah, Cet. I, Muassasah Qarthaba. Quthb, Sayyid, 2004, Fi Zhilal alQuran, Cairo, Dar alSyuruq. Ridha, Muhammad Rasyid, Tafsir al-Quran al-Karim, 2005, Cet II, Beirut, Dar al-Kutub al-Ilmiyah.