1505-Article Text-3375-1-10-20171012

advertisement
MAKNA TAKWA DAN URGENSITASNYA
DALAM AL-QUR'AN
Mat Saichon
E-mail: matsaichon_uin@radenfatah.ac.id.
Abstract: Taqwa contain many meanings and not as simple as has been
understood by many people. It encompasses the meaning of Islam, faith
and charity. All worship the same aim, namely the achievement of degrees
of piety. Taqwa directly related to the happiness and safety of people in
the world and in the Hereafter, requires the understanding of the meaning
of piety as a whole and to the urgency, in order to bring forth a perfect
practice. Piety is not something passive, otherwise it is very dynamic. Need
sincerity and sacrifice to achieve it.
Kata Kunci : makna takwa, al qur’an
Pendahuluan
Kata takwa akrab di telinga setiap
orang. Dalam dunia pendidikan
takwa menempati posisi yang
sangat terhormat. Seperti dalam
tujuan
pendidikan
nasional
disebutkan antara lain,
agar
peserta didik menjadi manusia yang
beriman dan bertakwa kepada
Tuhan Yang Maha Esa. Di tengah
masyarakat
melalui
ceramah,
pengajian dan khutbah, para da'i
sering mengajak para jamaah
untuk bertakwa. Apabila ditanya:
"Apakah yang dimaksud dengan
takwa?", dengan cekatan anak
sekolah,
mahasiswa
dan
masyarakat
umum
menjawab:
"Menjalankan
perintah-perintah
Allah dan meninggalkan laranganlarangan-Nya".
Itulah
jawaban
yang biasa mereka terima dari para
guru dan da'i.
Sekilas tidak ada yang salah
dengan jawaban di atas. Namun
realitas yang terjadi dalam dunia
pendidikan
dan
di
tengah
masyarakat, menunjukkan bahwa
jawaban tersebut masih kurang
dan belum memadai. Kejujuran
menjadi sesuatu yang langka. Tidak
sedikit peserta didik berupaya
mendapatkan nilai baik dengan
'bermujahadah' berbuat curang.
Ironisnya ada sebagian pendidik
bahkan
lembaga
pendidikan,
justeru
mengarahkan
dan
membuka jalan ketidakjujuran itu.
Tawuran di kalangan pelajar dan
mahasiswa. Kasus amoral, dari
pacaran
hingga
hubungan
terlarang. Sementara di tengah
masyarakat, kesadaran beragama
masih terlihat kurang, shaf-shaf
masjid banyak terlihat lenggang,
orang-orang kaya
banyak yang
belum
mengeluarkan
zakat,
Jurnal Usrah
MAKNA TAQWA DAN URGENSITASNYA DALAM AL QURAN...
MAT SAICHON | 42
kerusakan moral di kalangan
remaja dan pemuda, laranganlarang dan perintah-perintah agama
biasa
dilanggar
di
tengah
masyarakat. Semua hal tersebut
menjadi bukti bahwa makna takwa
yang selama ini dipahami, terkesan
pasif
dan
parsial,
sehingga
berdampak pada pengamalannya.
Kondisi di atas menjadi
landasan perlunya menata kembali
pengertian
takwa
yang
komprehensif,
dan
mensosialisasikannya di tengah
masyarakat maupun pada institusi
pendidikan.
Disamping
itu,
kedudukan takwa yang menjadi
sentral ajaran agama Islam dan
peranannya sebagai barometer
kemuliaan seseorang, membuat
tema tentang takwa menjadi
semakin menarik untuk dikaji untuk
menyingkap 'misteri' yang ada di
dalamnya.
Tulisan
ini
yang
mengupas tentang definisi takwa
secara etimologi dan terminologi
serta
urgensitasnya.
Dengan
harapan yang sedikit ini dapat
banyak memberikan manfaat.
Takwa Menurut Etimologi
Para
pengarang
ensiklopedi
sepakat mengatakan bahwa akar
kata takwa adalah waqa-wiqayah
yang berarti memelihara dan
menjaga. Seperti diungkapkan oleh
al-Khalil bin Ahmad, al-Azhary
dalam Maqayis al-Lughah, alJauhary dalam al-Shihhah, dan juga
al-Ashfahany dalam al-Mufradat fi
Gharib al-Quran. Dari makna dasar
itulah
secara
bahasa
takwa
mengandung beberapa pengertian:
Pertama : menjaga sesuatu
dari
yang
menyakitkan
dan
membahayakan. Kedua : menjaga
diri dari
yang ditakutkan (alAshfahany, t.th : 530). Ketiga:
menghalangi antara dua hal (Ibnu
Ismail, 1996 : 3/169). Keempat:
bertameng (berlindung) dengan
sesuatu atau dengan orang ketika
menghadapi musuh atau sesuatu
yang dibenci. Kelima: menghadapi
sesuatu dan melindungi diri (dari
bahayanya). Keenam: mengambil
perisai
untuk
menutupi
dan
menjaga. Ketujuh: menjaga diri dan
menolak hal-hal yang tidak disukai.
Kedelapan: hati-hati, waspada dan
menjauh dari yang menyakitkan.
Kesembilan takut kepada Allah dan
merasakan pengawasan-Nya (AlBuzy, 2011 : 101-103).
Makna Takwa dalam Al-Quran
Menurut al-Razy ( 2000 : 2/20)
takwa dalam al-Quran bermakna
khasyyah (rasa takut). Seperti
dalam firman Allah dalam surat anNisa ayat 1 :
‫ﯾﺎأﯾﮭﺎ اﻟﻨﺎس اﺗﻘﻮا َرﺑﱠ ُﻜ ُﻢ‬
Maksudnya : "Wahai manusia
takutlah kepada Tuhan kamu".
Selain bermakna rasa takut,
al-Razy mengungkapkan
lima
makna takwa lainnya, yaitu :
Pertama : iman, firman Allah
"Dan ingatlah ketika Tuhanmu
menyeru Musa : datangilah kaum
yang zalim itu, yaitu kaum Fir'aun,
mengapa mereka tidak bertakwa"
(Q.S
Al-Syu'ara:
10-11).
Maksudnya, kenapa mereka tidak
beriman.
Jurnal Usrah
43 | V o l . 3 N o . 1 , J u n i 2 0 1 7
Kedua : taubat, firman Allah:
"Jika
penduduk
negeri-negeri
beriman dan bertakwa, pastilah
Kami limpahkan kepada mereka
berkah dari langit dan bumi, tetapi
mereka mendustakan (ayat-ayat
Kami), maka Kami siksa mereka
disebabkan perbuatannya". (Q.S AlA'raf : 96). Yakni beriman dan
bertaubat.
Ketiga : taat, seperti firman
Allah : "Dan kepunyaan-Nya segala
yang ada di langit dan di bumi, dan
untuk-Nya (ketaatan) pada agama
itu selama-lamanya. Maka mengapa
kamu bertakwa kepada selain
Allah?". (Q.S. Al-Nahl : 52).
Maksudnya, mengapa kamu taat
kepada selain Allah?
Keempat:
meninggalkan
kemaksiatan, firman Allah : ”Dan
masuklah ke rumah-rumah itu dari
pintu-pintunya dan bertakwalah
kepada
Allah
agar
kamu
beruntung". (Q.S Al-Baqarah :
189).
Makna
"bertakwalah":
janganlah melanggar aturan-Nya.
Kelima: ikhlas, seperti firman
Allah:
"Demikianlah
(perintah
Allah).
Dan
barangsiapa
mengagungkan syiar-syiar Allah,
maka sesungguhnya itu timbul dari
ketakwaan hati". (Q.S. Al-Haj: 32).
Ketakwaan
hati
artinya
dari
keikhlasan hati.
Takwa Menurut Terminologi
Banyak ulama dari masa sahabat
hingga abad ini mendefinisikan
takwa. Seperti Ali bin Abi Thalib (AlShalaby, 2005: 396) mengatakan:
‫ ﺗ ﺮك اﻹﺻ ﺮار ﻋﻠ ﻰ اﻟﻤﻌﺼ ﯿﺔ وﺗ ﺮك‬: ‫اﻟﺘﻘ ﻮى‬
‫اﻻﻏﺘﺮار ﺑﺎﻟﻄﺎﻋﺔ‬
"Takwa adalah tidak mengulangulang perbuatan maksiat, dan tidak
terperdaya dengan merasa puas
melakukan ketaatan".
Di bagian lain beliau menambahkan
:
‫ اﻟﺨ ﻮف ﻣ ﻦ اﻟﺠﻠﯿ ﻞ واﻟﻌﻤ ﻞ ﺑﺎﻟﺘﻨﺰﯾ ﻞ‬: ‫اﻟﺘﻘ ﻮى‬
‫واﻟﺮﺿﺎ ﺑﺎﻟﻘﻠﯿﻞ واﻻﺳﺘﻌﺪاد ﻟﯿﻮم اﻟﺮﺣﯿﻞ‬
"Takwa adalah rasa takut kepada
Allah,
mengamalkan
Al-Quran,
qana'ah (merasa cukup) dengan
yang sedikit, dan bersiap-siap
untuk hari kematian".
Thalq
bin
Habib
(Ibn
Taimiyah,
t.th:
3/315).
mengemukakan definisi takwa yang
cukup menarik :
‫أن ﺗﻌﻤﻞ ﺑﻄﺎﻋﺔ ﷲ ﻋﻠﻰ ﻧﻮر ﻣﻦ ﷲ ﺗﺮﺟﻮ رﺣﻤﺔ‬
‫ وأن ﺗﺘﺮك ﻣﻌﺼﯿﺔ ﷲ ﻋﻠﻰ ﻧﻮر ﻣﻦ ﷲ ﺗﺨﺎف‬، ‫ﷲ‬
‫ﻋﺬاب ﷲ‬
"Takwa adalah kamu melakukan
ketaatan dengan cahaya Allah
untuk mengharapkan rahmat-Nya,
dan meninggalkan kemaksiatan
dengan cahaya-Nya karena takut
azab-Nya".
Ibrahim bin Adham (AlNisabury,
1996:
1/138)
mempunyai ungkapan yang agak
berbeda. Definisi takwa menurut
beliau adalah :
‫ وﻻ اﻟﻤﻼﺋﻜﺔ‬، ً‫أن ﻻ ﯾﺠﺪ اﻟﺨﻠﻖ ﻓﻲ ﻟﺴﺎﻧﻚ ﻋﯿﺒﺎ‬
‫ وﻻ ﻣﻠﻚ اﻟﻌﺮش ﻓﻲ‬، ً‫اﻟﻤﻘﺮﺑﻮن ﻓﻲ أﻓﻌﺎﻟﻚ ﻋﯿﺒﺎ‬
ً‫ﺳﺮك ﻋﯿﺒﺎ‬
"Orang-orang tidak mendapatkan
cela pada lidahmu, para malaikat
tidak mendapatkan cela pada
perbuatanmu dan Allah tidak
melihat cela dalam kesendirianmu".
Dalam Jami' al-Bayan, alTabary (2000: 1/233) menjelaskan
definisi orang bertakwa pada
firman Allah hudan li al-muttaqiin
Jurnal Usrah
MAKNA TAQWA DAN URGENSITASNYA DALAM AL QURAN...
MAT SAICHON | 44
dalam surat Al-Baqarah ayat 2
dengan mengatakan :
‫اﻟﺬﯾﻦ ﯾﺤ َﺬرُون ﻣﻦ ﷲ ﻋﺰ وﺟﻞ ﻋﻘﻮﺑﺘَﮫ ﻓ ﻲ ﺗَ ﺮْ ك ﻣ ﺎ‬
‫ وﯾﺮﺟ ﻮن رﺣﻤَﺘ ﮫ ﺑﺎﻟﺘﱠﺼ ﺪﯾﻖ ﺑﻤ ﺎ‬،‫ﯾﻌﺮﻓﻮن ﻣﻦ اﻟﮭُﺪى‬
‫ﺟﺎء ﺑﮫ‬
"Orang-orang
yang
bertakwa
adalah mereka yang berhati-hati
dengan balasan
Allah bila
meninggalkan petunjuk yang telah
mereka
ketahui,
dan
mengharapkan rahmat-Nya dengan
meyakini apa yang diturunkanNya".
Adapun takwa menurut alAshfahany (t.th : 530) adalah:
‫ وﯾ ﺘﻢ‬،‫ وذﻟ ﻚ ﺑﺘ ﺮك اﻟﻤﺤﻈ ﻮر‬،‫ﺣﻔﻆ اﻟﻨﻔﺲ ﻋﻤ ﺎ ﯾ ﺆﺛﻢ‬
‫ذﻟﻚ ﺑﺘﺮك ﺑﻌﺾ اﻟﻤﺒﺎﺣﺎت‬
"Menjaga
diri
dari
yang
mendatangkan
dosa
dengan
meninggalkan larangan, bahkan
hingga meninggalkan sebagian
yang
dibolehkan
(untuk
menghindari
kemungkinan
melakukan yang diharamkan)" .
Sementara
Sayid
Quthb
(2004: 6/3531) ketika menafsirkan
firman Allah dalam surat al-Hasyr
ayat 18, menyebutkan definisi
takwa yang mendalam sebagai
berikut:
‫ﺣﺎﻟﺔ ﻓﻲ اﻟﻘﻠﺐ ﺗﺠﻌﻞ اﻟﻘﻠﺐ ﯾﻘﻈﺎً ﺣﺴﺎﺳ ﺎً ﺷ ﺎﻋﺮاً ﺑ ﺎ‬
‫ﻓﻲ ﻛ ﻞ ﺣﺎﻟ ﺔ ﺧﺎﺋﻔ ﺎً ﻣﺘﺤﺮﺟ ﺎً ﻣﺴ ﺘﺤﯿﯿﺎً أن ﯾﻄﻠ ﻊ ﻋﻠﯿ ﮫ‬
‫ﷲ ﻓﻲ ﺣﺎﻟﺔ ﯾﻜﺮھﮭﺎ‬
"Takwa adalah keadaan di dalam
hati yang membuat hati menjadi
hidup, peka, merasakan kehadiran
Allah dalam setiap waktu, merasa
takut, berat dan malu dilihat Allah
melakukan yang dibenci-Nya".
Definisi yang komprehensif
dikemukan Muhammad Al-Buzy
(2011:
120)
dalam
kitabnya
Mafhum al-Taqwa fi al-Quran wa alHadits. Beliau mengatakan :
‫ وﻣﺪاوﻣﺘ ﮫ ﻋﻠ ﻰ طﺎﻋﺘ ﮫ‬,‫ﺧﺸﯿﺔ اﻟﻤﺆﻣﻦ رﺑﮫ ﻋ ﻦ ﻋﻠ ﻢ‬
,‫ﺑ ﺄداء اﻟﻮاﺟﺒ ﺎت واﻟﻘﺮﺑ ﺎت واﺟﺘﻨ ﺎب ﻛ ﻞ اﻟﻤﻨﮭﯿ ﺎت‬
‫راﺟﯿﺎ ﺛﻮاب رﺑﮫ واﻟﻨﺠﺎة ﻣﻦ ﻋﻘﺎﺑﮫ‬
"Takwa adalah rasa takut orang
beriman kepada Tuhannya yang
didasari oleh ilmu, senantiasa tetap
dalam ketaatan kepadanya dengan
melakukan (segala) kewajiban dan
perbuatan-perbuatan yang dapat
mendekatkan diri pada-Nya, serta
menjauhi semua larangan, untuk
mengharapkan pahala-Nya dan
keselamatan dari balasan-Nya".
Dari
definisi
di
atas,
sekurang-kurangnya ada lima unsur
yang terkandung dalam definisi
takwa, yaitu sebagai berikut :
1. Memiliki rasa takut
Rasa takut adalah unsur
takwa yang terpenting. Rasa takut
muncul dari keyakinan terhadap
keagungan Allah, sehingga lahirlah
kesadaran
untuk
memuliakan
kedudukan-Nya dan mentaati-Nya.
Orang yang takut kepada Allah
sadar dengan pengawasan-Nya
yang sangat jeli terhadap setiap
gerak-gerik,
kata dan waktu,
sehingga ia merasa selalu bersamaNya, merasa malu dan penuh
kehati-hatian dalam bersikap dan
berbuat.
Ia
memahami
kedahsyatan hari akhirat, maka
selalu memperbanyak ketaatan dan
berpaling dari kemaksiatan sebagai
bekal menuju akhirat. Ia juga
mengetahui keagungan-Nya yang
tiada tara, sehingga tunduk kepada
peraturan dan ajaran-Nya.
2. Beriman
Iman adalah bagian dari
takwa dan bukan sebaliknya.
Jurnal Usrah
45 | V o l . 3 N o . 1 , J u n i 2 0 1 7
Adanya unsur iman dalam takwa
dikarenakan iman adalah sumber
dan dasar takwa. Iman yang benar
adalah yang tidak bercampur
dengan keraguan, dan melahirkan
semangat untuk beramal/perbuatan
baik. Perbuatan baik tidak dapat
melahirkan pahala kecuali dengan
iman (al-Syaukany, t.th : 3/217).
Iman yang dimaksud seperti
diterangkan
Muhammad Rasyid
Ridha (2005 :1/109) adalah iman
yang kokoh, disertai ketundukan
diri dan
kepatuhan untuk
menerima dan mengikuti ajaran,
yang
dibuktikan
dengan
perbuatan/amalan sesuai dengan
tuntutan keimanan itu.
3. Berilmu
Mengetahui keagungan Allah
dan syariat-Nya adalah modal
utama terwujudnya rasa takut dan
takwa
yang
sebenarnya.
Bagaimana orang akan takut
kepada Allah bila tidak mengetahui
hakikat keesaan, kekuasaan dan
keperkasaan-Nya?.
Bagaimana
seseorang akan bertakwa bila tidak
mengetahui peraturan, perintah
dan larangan?. Karena sangat
vitalnya unsur ilmu dalam takwa,
Allah membatasi orang yang takut
kepada-Nya hanya pada kelompok
orang-orang yang berilmu (ulama).
Allah berfirman :
‫ﷲَ ﻣِﻦْ ِﻋﺒَﺎ ِد ِه ا ْﻟ ُﻌﻠَﻤَﺎ ُء‬
‫إ◌ِ ﻧﱠﻤَﺎ ﯾَﺨْ ﺸَﻰ ﱠ‬
Sesungguhnya yang takut kepada
Allah di antara hamba-hamba-Nya,
hanyalah para ulama (QS. Fathir :
28).
Dari ayat di atas dapat
dipahami bahwa tujuan ilmu dalam
Islam adalah melahirnya rasa takut
dan ketakwaan kepada Allah. Para
ulama mengambil kesimpulan dari
ayat di atas bahwa orang yang
tidak takut kepada Allah adalah
orang bodoh (Al-Buzy, 2011 :121).
Dengan kata lain tetap dikatakan
bodoh walaupun berilmu.
Pentingnya
ilmu
dalam
takwa diperkuat dengan firman
Allah hudan li al-muttaqiin dalam
surat
Al-Baqarah
ayat
2,
maksudnya orang yang bertakwa
menjadikan
Al-Quran
sebagai
petunjuk.
Dengan
demikian
mempelajari
al-Quran sesuatu
yang mutlak untuk mencapai
derajat takwa.
4. Berkomitmen dan kontinue
dalam
ketaatan
dengan
menjalankan
perintahperintah Allah dan menjauhi
larangan-larangan-Nya
Takwa lahir dari kecintaan
yang lebih besar kepada Allah dan
Rasulullah serta hari akhirat.
Kecintaan
itu
menguatkan
keyakitan atas kebenaran ajaran
yang disampaikan Rasul-Nya, dan
keyakinan mendorong untuk selalu
mentaati-Nya,
yang
dibuktikan
dengan
ketidakjemuan
dalam
beramal/berbuat sesuai dengan
perintah-Nya, dan kebencian untuk
melanggar larangan-Nya.
Orang yang bertakwa tidak
membeda-bedakan amalan yang
besar maupun yang kecil semua ia
lakukan, karena tidak ada yang
luput dalam hitungan Allah. Ia juga
menjauhi dosa yang kecil apalagi
yang besar. Yang ia
pandang
bukan kecilnya dosa yang dilakukan
tapi melihat keagungan Allah dan
hak-hak-Nya yang dia abaikan.
Jurnal Usrah
MAKNA TAQWA DAN URGENSITASNYA DALAM AL QURAN...
MAT SAICHON | 46
5. Sangat ingin mendapatkan
keridhaan/balasan
Allah
dan terbebas dari murka/
azab-Nya.
Inilah
tujuan
takwa.
Sebagian orang khususnya ahli sufi
tidak
memandang
penting
ketertarikan kepada surga dan rasa
takut kepada neraka, dan lebih
menekankan kecintaan pada Sang
Khalik. Padahal
mengharapkan
surga dan takut pada neraka
merupakan bagian dari takwa. Ada
3 alasan yang membuat unsur ini
penting dalam takwa :
Pertama : Keinginan yang sangat
kepada keridhaan Allah dan surgaNya dan rasa takut kepada murka
dan neraka, merupakan pendorong
yang efektif untuk beribadah dan
beramal. Abd al-Rahman al-Sa'dy
(2000 : 90) mengatakan : "Orang
yang takut azab Allah akan berhenti
melakukan
perbuatan
yang
mendatangkan azab. Sebagaimana
orang yang mengharapkan balasan
Allah akan termotivasi melakukan
amalan
yang
mendatangkan
pahala. Adapun orang yang tidak
takut pada azab dan tidak
mengharapkan
pahala
dapat
membuatnya
melakukan
yang
diharamkan
dan
berani
meninggalkan kewajiban".
Kedua : Allah memuji orang yang
takut hari akhirat (azab neraka)
dan mengharapkan rahmat-Nya
(surga) sebagaimana firman-Nya:
َ‫أَ ْم ﻣَﻦْ ھُ َﻮ ﻗَﺎﻧِﺖٌ آﻧَﺎ َء اﻟﻠﱠ ْﯿ ِﻞ ﺳَﺎ ِﺟﺪًا َوﻗَﺎﺋِﻤًﺎ ﯾَﺤْ َﺬ ُر اﻵ ِﺧ َﺮة‬
َ‫َوﯾَﺮْ ُﺟ ﻮ َرﺣْ َﻤ ﺔَ َرﺑﱢ ِﮫ ﻗُ ﻞْ ھَ ﻞْ ﯾَ ْﺴ ﺘَﻮِي اﻟﱠ ﺬِﯾﻦَ ﯾَ ْﻌﻠَ ُﻤ ﻮن‬
‫ب‬
ِ ‫َواﻟﱠﺬِﯾﻦَ ﻻ ﯾَ ْﻌﻠَﻤُﻮنَ إِﻧﱠﻤَﺎ ﯾَﺘَ َﺬ ﱠﻛ ُﺮ أُوﻟُﻮ اﻷ ْﻟﺒَﺎ‬
(Apakah kamu hai orang
kafir yang lebih beruntung)
ataukah
orang
yang
beribadah di waktu-waktu
malam dengan sujud dan
berdiri, sedang ia takut
kepada (azab) akhirat dan
mengharapkan
rahmat
Tuhannya?.
Katakanlah:
"Adakah sama orang-orang
yang mengetahui dengan
orang-orang
yang
tidak
mengetahui?".
Sesungguhnya orang yang
berakallah
yang
dapat
menerima pelajaran (QS. AlZumar : 9).
Ketiga : Islam mengakui tabiat
manusia yang memiliki rasa takut
dan pengharapan. Oleh karena itu
al-Quran memadukan antara janji
(kabar baik) dan ancaman (kabar
buruk) ketika mengajak kepada
ketauhidan dan ketakwaan.
Urgensitas Takwa
Dalam al-Quran dan sunnah
banyak
disebutkan
urgensitas
takwa. Diantara yang perlu untuk
dikaji adalah sebagai berikut :
1. Syarat diterimanya amalan
Dalam kisah Qabil dan Habil
yang
diperintahkan
untuk
mempersembahkan kurban, Allah
hanya menerima kurban Habil,
karena Qabil tidak ridha dengan
ketentuan Allah dan memberikan
yang terjelek. Ketika Qabil bertekad
membunuh saudaranya karena
kedengkiannya yang memuncak,
Habil menjawab :
َ‫ﷲُ ﻣِﻦَ ا ْﻟ ُﻤﺘﱠﻘِﯿﻦ‬
‫إِﻧﱠﻤَﺎ ﯾَﺘَﻘَﺒﱠ ُﻞ ﱠ‬
Sesungguhnya Allah hanya
menerima
(korban)
dari
orang-orang yang bertakwa
(QS. Al-Maidah : 27).
Jurnal Usrah
47 | V o l . 3 N o . 1 , J u n i 2 0 1 7
Maksud
jawaban
Habil
adalah persembahan kurbanmu dari
dirimu sendiri bukan dariku, yang
tidak
didorong
oleh
takwa,
mengapa
kamu
berniat
membunuhku?. Al-Baidhawy (t.th :
2/315) menjelaskan pelajaran yang
bisa diambil dari jawaban Habil,
orang yang dengki seharusnya
melihat
kegagalan
akibat
kekurangan dirinya sendiri, dan
berupaya
mengikuti
langkahlangkah yang dilakukan orang yang
ia dengki, bukan malah berupaya
menghilangkan
kenikmatannya.
Ayat tersebut juga menunjukkan
bahwa sesungguhnya ketaatan itu
tidak diterima Allah melainkan dari
orang yang beriman dan bertakwa.
2. Menjadi orang bertakwa
jalan masuk surga
Banyak ayat al-Quran yang
menunjukkan dengan jelas bahwa
surga diperuntukkan bagi orangorang yang bertakwa. Penyebutan
balasan itu sering diiringi dengan
penjelasan sifat-sifat
mereka,
seperti firman Allah :
‫ﺿ ﮭَﺎ‬
ُ ْ‫َو َﺳ ﺎ ِرﻋُﻮا إِﻟَ ﻰ َﻣ ْﻐﻔِ َﺮ ٍة ِﻣ ﻦْ َرﺑﱢ ُﻜ ْﻢ َو َﺟﻨﱠ ٍﺔ ﻋَﺮ‬
َ‫( اﻟﱠ ﺬِﯾﻦ‬133) َ‫اﻟ ﱠﺴ َﻤ َﻮاتُ َو ْاﻷَرْ ضُ أُ ِﻋ ﺪﱠتْ ﻟِ ْﻠ ُﻤﺘﱠﻘِ ﯿﻦ‬
َ‫ﻀ ﺮﱠا ِء َوا ْﻟ َﻜ ﺎ ِظﻤِﯿﻦَ ا ْﻟ َﻐ ْﯿﻆ‬
‫ﯾُ ْﻨﻔِﻘُ ﻮنَ ﻓِ ﻲ اﻟ ﱠﺴ ﺮﱠا ِء َواﻟ ﱠ‬
(134) َ‫َﷲُ ﯾُ ِﺤ ﺐﱡ ا ْﻟﻤُﺤْ ِﺴ ﻨِﯿﻦ‬
‫سو ﱠ‬
ِ ‫َوا ْﻟ َﻌ ﺎﻓِﯿﻦَ َﻋ ِﻦ اﻟﻨﱠ ﺎ‬
َ‫ﷲ‬
‫َواﻟﱠﺬِﯾﻦَ إِذَا ﻓَ َﻌﻠُ ﻮا ﻓَﺎ ِﺣ َﺸ ﺔً أَوْ ظَﻠَ ُﻤ ﻮا أَ ْﻧﻔُ َﺴ ﮭُ ْﻢ َذ َﻛ ﺮُوا ﱠ‬
‫ﷲُ َوﻟَ ْﻢ‬
‫ﻓَﺎ ْﺳ ﺘَ ْﻐﻔَﺮُوا ﻟِ ُﺬﻧُﻮﺑِ ِﮭ ْﻢ َو َﻣ ﻦْ ﯾَ ْﻐﻔِ ُﺮ اﻟ ﱡﺬﻧُﻮبَ إ ﱠِﻻ ﱠ‬
(135) َ‫ﺼﺮﱡ وا َﻋﻠَﻰ ﻣَﺎ ﻓَ َﻌﻠُﻮا َوھُ ْﻢ ﯾَ ْﻌﻠَﻤُﻮن‬
ِ ُ‫ﯾ‬
Dan bersegeralah kamu kepada
ampunan dari Tuhanmu dan surga
yang luasnya seluas langit dan
bumi,
disediakan untuk orangorang yang bertakwa. (Yaitu)
orang-orang yang menafkahkan
(hartanya), baik di waktu lapang
maupun sempit, dan orang-orang
yang menahan amarahnya dan
memaafkan (kesalahan) orang, dan
Allah menyukai orang-orang yang
berbuat kebajikan. (Juga) orangorang yang apabila mengerjakan
perbuatan keji atau menganiaya diri
sendiri, mereka ingat Allah, lalu
memohon ampun terhadap dosadosa mereka, dan siapa lagi yang
dapat mengampuni dosa selain
daripada Allah? Dan mereka tidak
meneruskan perbuatan kejinya itu,
sedang mereka mengetahui (QS. Ali
Imran : 133-135).
Penjelasan
sifat-sifat
tersebut mengajarkan bahwa Allah
menginginkan dan memerintahkan
manusia untuk menjadi orang yang
bertakwa,
agar
berhak
mendapatkan kemuliaan surga.
Juga
mengajarkan
bahwa
kesenangan abadi di surga tidak
diperoleh
dengan
cuma-cuma,
melainkan dengan berbagai ujian
dan cobaan dalam mengikuti dan
menggapai sifat-sifat orang yang
bertakwa.
Penggambaran kondisi surga
dengan segala kenikmatan di
dalamnya pun ada pelajaran
dibaliknya, yaitu agar manusia
tertarik
dan
berlomba-lomba
melakukan
ketaatan
dan
ketakwaan. Walaupun
hakikat
kenikmatan
surga
yang
sebenarnya,
sangat jauh lebih
dahsyat dari apa yang dipahami
manusia,
karena
keterbatasan
kemampuan
manusia
untuk
menjangkau dan memahami. Oleh
karena itu Allah berfirman :
‫ﻓ ََﻼ ﺗَ ْﻌﻠَ ُﻢ ﻧَﻔْﺲٌ ﻣَﺎ أُﺧْ ﻔِ َﻲ ﻟَﮭُ ْﻢ ﻣِﻦْ ﻗُ ﱠﺮ ِة أَ ْﻋﯿُ ٍﻦ‬
َ‫َﺟ َﺰا ًء ﺑِﻤَﺎ ﻛَﺎﻧُﻮا ﯾَ ْﻌ َﻤﻠُﻮن‬
Jurnal Usrah
MAKNA TAQWA DAN URGENSITASNYA DALAM AL QURAN...
MAT SAICHON | 48
Seorang pun tidak mengetahui apa
yang disembunyikan untuk mereka
yaitu (bermacam-macam nikmat)
yang menyedapkan pandangan
mata sebagai balasan terhadap apa
yang telah mereka kerjakan (QS.
Al-Sajadah :17 ).
3. Takwa sebaik-baik bekal
Takwa adalah sebaik-baik
bekal secara sharih dinyatakan
dalam firman Allah yang berkenan
dengan ibadah haji :
‫َوﺗَ َﺰ ﱠودُوا ﻓَ ﺈِنﱠ َﺧ ْﯿ َﺮ اﻟ ﺰﱠا ِد اﻟﺘﱠ ْﻘ َﻮى َواﺗﱠﻘُ ﻮ ِن ﯾَ ﺎ أُوﻟِ ﻲ‬
‫ب‬
ِ ‫ْاﻷَ ْﻟﺒَﺎ‬
Berbekallah, dan sesungguhnya
sebaik-baik bekal adalah takwa dan
bertakwalah kepada-Ku hai orangorang yang berakal (QS. Al-Baqarah
: 197).
Ayat di atas mengandung
dua pengertian :
Pertama: Allah memerintahkan
orang
yang akan menjalankan
ibadah haji untuk membawa bekal,
sehingga mereka bisa menjaga
kemuliaan
diri
dengan
tidak
meminta-minta
dan
tidak
mengganggu jamaah haji lainnya.
Seperti yang dipahami dari sebab
turunnya ayat (Al-Bukhary, 1987 :
2/554).
Kedua: ayat tersebut berisi perintah
dan
seruan
Allah
untuk
memperbanyak amal shalih dan
ketaatan, sebagai bekal untuk
menghadap-Nya di hari Akhirat (AlBuzy, 2011 : 134-135).
Ibnu 'Athiyah (1993 : 1/273)
dalam tafsirnya al-Muharrar alWajiz memilih makna yang kedua,
beliau berkata: "Makna yang lebih
tepat untuk ayat ini adalah
berbekallah kamu dengan amal
shalih untuk akhirat, dan firman
Allah fainna khaira al-zaati al-takwa
adalah seruan untuk bertakwa".
Abu Hayyan (2001 : 2/102) dalam
al-Bahr al-Muhith
sependapat
dengan tarjih Ibn Athiyah.
Bila qarinah berupa sawabiq
dan lawahiq serta dilalah ayat
tersebut dicermati dengan teliti,
akan dapat dipahami bahwa kedua
pengertian yang disebutkan di atas
sesuai dengan konteks ayat,
sebagaimana dikatakan Abu Bakr
al-Razy yang dinukil Abu Hayyan
dalam tafsirnya. Oleh karena itu,
kedua pengertian tersebut berlaku
untuk makna ayat. Allah juga
menegaskan bahwa bekal takwa
berupa kebaikan dan ketaatan di
dunia adalah bekal yang lebih baik,
karena manfaat dan pahalanya
berkelanjutan sampai akhirat (Abu
Hayyan, 2001 : 2/102).
Dari pemaparan makna ayat
di atas, dapat diambil pelajaran
bahwa secara khusus, orang yang
ingin mengerjakan ibadah haji perlu
mempersiapkan
bekal
untuk
perjalanan dan selama pelaksanaan haji, serta membekali keluarga
yang
ditinggal.
Tetapi
bekal
tersebut tidaklah cukup walau
sebanyak apapun bekal materi yang
disiapkan dan dibawa. Masih ada
bekal lain yang lebih penting, yaitu
bekal takwa. Inilah bekal yang
hakiki yang menentukan kualitas
haji, termasuk diterima atau
tidaknya.
Boleh
jadi
banyak
diantara jamaah haji yang tidak
mempersiapkan
bekal
takwa,
sehingga selama pelaksanaaan
ibadah haji melanggar ketentuan
dan larangan, sehingga rusak
Jurnal Usrah
49 | V o l . 3 N o . 1 , J u n i 2 0 1 7
ibadah hajinya, atau bahkan
hajinya menjadi riya' karena
bercampur
antara
keinginan
menunaikan rukun Islam yang
kelima dan keinginan mendapat
pujian dengan gelar haji.
Dalam cakupan yang lebih
luas, ayat tersebut mengajarkan
bila seseorang ingin mengerjakan
suatu pekerjaan atau ibadah yang
besar maupun yang kecil, perlu
mempersiapkan
segala
yang
dibutuhkan dengan baik, dan
sebaik-baik
yang
dipersiapkan
adalah modal takwa. Sungguh
inilah sukses yang sebenarnya yang
tidak hanya mencapai keinginan
yang diidamkan, tapi membuahkan
pahala di akhirat. Ayat tersebut
juga menyuruh orang yang beriman
untuk memperbanyak kebaikan,
menjaga dan
meningkatkan
ketakwaannya selama hidup. Bila
untuk pelaksanaan ibadah haji yang
membutuhkan waktu satu minggu
hingga empat puluh hari perlu
bekal materi dan ma'nawy (takwa),
maka apalagi kehidupan yang kekal
abadi tentu membutuhkan bekal
yang jauh lebih banyak dan lebih
baik, bekal itu tidak lain adalah
takwa dengan segala makna yang
terkandung di dalamnya.
4. Takwa tujuan semua ibadah
Ayat-ayat yang berhubungan
dengan shalat, puasa zakat dan haji
memiliki korelasi yang sangat erat
dengan takwa, malah memiliki
kaitan yang sangat vital, karena
tujuan empat macam ibadah
tersebut
adalah
tercapainya
ketakwaan.
Allah menyatakan bahwa
tujuan
shalat
adalah
untuk
mengingat-Nya dan agar dapat
mencegah terjadinya perbuatan keji
dan mungkar. Sebagaimana Allah
berfirman :
‫ﷲُ َﻻ إِﻟَﮫَ إ ﱠِﻻ أَﻧَﺎ ﻓَﺎ ْﻋﺒُ ْﺪﻧِﻲ َوأَﻗِﻢِ اﻟﺼ َﱠﻼةَ ﻟِ ِﺬ ْﻛﺮِي‬
‫إِﻧﱠﻨِﻲ أَﻧَﺎ ﱠ‬
Sesungguhnya
Aku
ini
adalah Allah, tidak ada
Tuhan
selain Aku, maka
sembahlah
Aku
dan
dirikanlah
shalat
untuk
mengingat Aku (QS. Thaha :
14).
‫ﺼ َﻼةَ إِنﱠ‬
‫ب َوأَﻗِ ﻢِ اﻟ ﱠ‬
ِ ‫ﻚ ِﻣ ﻦَ ا ْﻟ ِﻜﺘَ ﺎ‬
َ ‫ا ْﺗ ُﻞ َﻣ ﺎ أُو ِﺣ َﻲ إِﻟَ ْﯿ‬
‫ﷲِ أَ ْﻛﺒَ ُﺮ‬
‫اﻟﺼ َﱠﻼةَ ﺗَ ْﻨﮭَ ﻰ َﻋ ِﻦ ا ْﻟﻔَﺤْ َﺸ ﺎ ِء َوا ْﻟ ُﻤ ْﻨ َﻜ ِﺮ َوﻟَ ِﺬ ْﻛ ُﺮ ﱠ‬
َ‫َﷲُ ﯾَ ْﻌﻠَ ُﻢ ﻣَﺎ ﺗَﺼْ ﻨَﻌُﻮن‬
‫و ﱠ‬
Bacalah apa yang telah
diwahyukan kepadamu, yaitu
Al Kitab (Al Qur'an) dan
dirikanlah
shalat.
Sesungguhnya shalat itu
mencegah dari perbuatanperbuatan keji dan mungkar.
Dan
sesungguhnya
mengingat Allah (shalat)
adalah lebih besar.
Dan
Allah Maha Mengetahui apa
yang kamu kerjakan (QS.
Surat Al-'Ankabut : 45).
Tentu shalat yang dimaksud
bukanlah shalat yang dilaksanakan
sekedar melepas kewajiban, tapi
shalat yang dilakukan dengan
keikhlasan,
kepatuhan
dan
kesungguhan
serta
keyakinan
untuk
bertemu
dan
kembali
kepada-Nya di akhirat, untuk
mempertanggungjawabkan semua
perbuatan dan menerima balasanNya.
Mengingat
Allah
berarti
menyadari keagungan-Nya dan
pengawasan-Nya setiap saat dan di
Jurnal Usrah
MAKNA TAQWA DAN URGENSITASNYA DALAM AL QURAN...
MAT SAICHON | 50
semua
tempat.
Menyadari
ketergantungan
kepada-Nya,
karena
Dia-lah
yang
selalu
memenuhi kebutuhan. Juga berarti
mengingat
ancaman
yang
disediakan-Nya bagi orang-orang
berdosa, dan janji bagi orang-orang
yang bertakwa. Mengingat Allah
akan melahirkan kecintaan kepadaNya, dan bukti kecintaan itu adalah
mentaati apa yang diminta-Nya dan
berani berkorban untuk-Nya.
Sebagai hasil dari mengingat
Allah
dalam
shalat
dan
pengaruhnya yang tetap dirasakan
setelah shalat, mendorong orang
untuk selalu berbuat ketaatan dan
meninggalkan kemaksiatan. Oleh
karena itu Allah mengatakan bahwa
shalat mencegah perbuatan keji
dan mungkar. Dan tidak dapat
dipungkiri bahwa selalu mengingat
Allah
dan
meninggalkan
kemaksiatan adalah nilai-nilai yang
terpenting dalam takwa.
Berkaitan dengan puasa,
dalam al-Quran disebutkan bahwa
puasa
bertujuan
untuk
mewujudkan
pribadi
yang
bertakwa. Allah berfirman :
‫ﺼﯿَﺎ ُم َﻛﻤَﺎ ُﻛﺘِﺐَ َﻋﻠَ ﻰ‬
‫ﯾَﺎ أَﯾﱡﮭَﺎ اﻟﱠﺬِﯾﻦَ آَ َﻣﻨُﻮا ُﻛﺘِﺐَ َﻋﻠَ ْﯿ ُﻜ ُﻢ اﻟ ﱢ‬
َ‫اﻟﱠﺬِﯾﻦَ ﻣِﻦْ ﻗَ ْﺒﻠِ ُﻜ ْﻢ ﻟَ َﻌﻠﱠ ُﻜ ْﻢ ﺗَﺘﱠﻘُﻮن‬
Hai orang-orang yang beriman,
diwajibkan atas kamu berpuasa
sebagaimana
diwajibkan
atas
orang-orang sebelum kamu agar
kamu bertakwa (QS. Al-Baqarah :
183).
Lebih
lanjut
Rasulullah
mengajarkan bahwa puasa, melatih
orang beriman untuk memiliki
karakter orang bertakwa, yang
lebih mementingkan
balasan
akhirat
daripada
panggilan
syahwat, khususnya syahwat farj
(kemaluan).
Puasa
mendidik
kemampuan
menguasai
lisan
(ucapan). Puasa
menanamkan
sifat-sifat orang bertakwa, antara
lain sifat sabar dan mampu
mengendalikan emosi.
Dalam
Shahih Muslim (t.th
: 3/157)
disebutkan :
ُ‫ﺼﯿَﺎ َم ﻓَﺈِﻧﱠ ﮫ‬
‫ﷲُ َﻋ ﱠﺰ َو َﺟ ﱠﻞ ﻛُﻞﱡ َﻋ َﻤ ِﻞ ا ْﺑ ِﻦ آ َد َم ﻟَﮫُ إِﻻﱠ اﻟ ﱢ‬
‫ﻗَﺎ َل ﱠ‬
ِ‫ﺻ ﻮْ م‬
َ ‫ﺼ ﯿَﺎ ُم ُﺟﻨﱠ ﺔٌ ﻓَ ﺈِذَا َﻛ ﺎنَ ﯾَ ﻮْ ُم‬
‫ﻟِﻰ َوأَﻧَﺎ أَﺟْ ﺰِى ﺑِ ِﮫ َواﻟ ﱢ‬
ْ‫أَ َﺣ ِﺪ ُﻛ ْﻢ ﻓَﻼَ ﯾَﺮْ ﻓُﺚْ ﯾَﻮْ َﻣﺌِ ٍﺬ َوﻻَ ﯾَ ْﺴ ﺨَﺐْ ﻓَ ﺈِنْ َﺳ ﺎﺑﱠﮫُ أَ َﺣ ٌﺪ أَو‬
.ٌ‫ﺻﺎﺋِﻢ‬
َ ‫ﻗَﺎﺗَﻠَﮫُ ﻓَ ْﻠﯿَﻘُﻞْ إِﻧﱢﻰ ا ْﻣ ُﺮ ٌؤ‬
Allah berfirman: "Semua amalan
anak adam menjadi miliknya
kecuali puasa, ia menjadi milik-Ku
dan Aku yang akan membalasnya".
Puasa adalah perisai, Apabila salah
seorang
dari
kalian
sedang
berpuasa janganlah berkata cabul
dan janganlah berteriak. Bila
seseorang mencaci atau mau
membunuhnya,
hendaklah
ia
katakan kepadanya "Sesungguhnya
aku orang yang sedang berpuasa".
Puasa
juga
mendidik
ketaatan dan kecintaan kepada
Allah di atas kecintaan pada diri
dan kecintaan kepada selain-Nya.
Iman Muslim (t.th : 3/158) juga
meriwayatkan :
‫ﻀﺎﻋَﻒُ ا ْﻟ َﺤ َﺴ ﻨَﺔُ َﻋ ْﺸ ُﺮ أَ ْﻣﺜَﺎﻟِﮭَ ﺎ إِﻟَ ﻰ‬
َ ُ‫ﻛُﻞﱡ َﻋ َﻤ ِﻞ ا ْﺑ ِﻦ آ َد َم ﯾ‬
‫ﷲُ َﻋ ﱠﺰ َو َﺟ ﱠﻞ إِﻻﱠ اﻟﺼﱠﻮْ َم ﻓَﺈِﻧﱠﮫُ ﻟِ ﻰ‬
‫ﺿﻌْﻒٍ ﻗَﺎ َل ﱠ‬
ِ ‫َﺳ ْﺒ ِﻌﻤِﺎﺋَ ِﺔ‬
ِ‫ﺼ ﺎﺋِﻢ‬
‫ع َﺷ ْﮭ َﻮﺗَﮫُ َوطَﻌَﺎ َﻣﮫُ ﻣِﻦْ أَﺟْ ﻠِ ﻰ ﻟِﻠ ﱠ‬
ُ ‫َوأَﻧَﺎ أَﺟْ ﺰِى ﺑِ ِﮫ ﯾَ َﺪ‬
.ِ‫ﻄ ِﺮ ِه َوﻓَﺮْ َﺣ ﺔٌ ِﻋ ْﻨ َﺪ ﻟِﻘَ ﺎ ِء َرﺑﱢ ﮫ‬
ْ ِ‫ﻓَﺮْ َﺣﺘَ ﺎ ِن ﻓَﺮْ َﺣ ﺔٌ ِﻋ ْﻨ َﺪ ﻓ‬
.« ‫ﻚ‬
ِ ‫ﺢ ا ْﻟ ِﻤ ْﺴ‬
ِ ‫ﷲِ ﻣِﻦْ رِﯾ‬
‫طﯿَﺐُ ِﻋ ْﻨ َﺪ ﱠ‬
ْ َ‫َوﻟَ ُﺨﻠُﻮفُ ﻓِﯿ ِﮫ أ‬
Semua amalan anak Adam akan
dilipatgandakan, satu kebaikan
dibalas dengan sepuluh kebaikan
sampai tujuh ratus kali lipat. Allah
berfirman: "Kecuali puasa, ia milikKu
dan
Aku
yang
akan
membalasnya,
(karena)
ia
Jurnal Usrah
51 | V o l . 3 N o . 1 , J u n i 2 0 1 7
meninggalkan
syahwat
dan
makanannya karena-Ku". Orang
berpuasa
mendapatkan
dua
kegembiraan, kegembiraan ketika
berbuka dan kegembiraan ketika
bertemu Tuhannya. Dan sungguh
bau mulut orang berpuasa lebih
harum di sisi Allah dari harumnya
misk.
Dalam hadits lain yang
diriwayatkan oleh
Bukhari dan
Muslim (Al-Humaidy, 2002 : 3/57),
Rasulullah bersabda:
ْ‫ﻀﺎنَ إِ ْﯾﻤَﺎﻧﺎً َواﺣْ ﺘِﺴَﺎﺑﺎً ُﻏﻔِ َﺮ ﻟَﮫُ ﻣَﺎ ﺗَﻘَ ﱠﺪ َم ﻣِﻦ‬
َ ‫ﺻﺎ َم َر َﻣ‬
َ ْ‫ﻣَﻦ‬
‫َذ ْﻧﺒِ ِﮫ‬
Barangsiapa berpuasa ramadhan
karena iman dan mengharapkan
pahala, diampuni
dosa-dosanya
yang telah lalu.
Imanan seperti dijelaskan
dalam Fath al-Bary artinya meyakini
puasa ramadhan itu benar-benar
perintah Allah. Ihtisaban, selain
bermakna mengharapkan pahala,
juga berarti melakukan dengan
senang hati tanpa merasa berat
(Al-'Asqalany, t.th : 4/115). Ada
dua unsur penting takwa yang
diajarkan Rasulullah dalam hadits di
atas,
yaitu
berpuasa
karena
dorongan iman dan mengharapkan
balasan-Nya. Begitulah sikap orang
bertakwa
ketika
mendapatkan
perintah Allah; Adapun ampunan
terhadap dosa-dosa di masa
lampau adalah kabar gembira atas
keselamatan dari neraka dan murka
murka Allah, sekaligus kabar
gembira atas pahala yang besar
dan surga yang telah dijanjikan.
Inilah yang diharapkan orang
bertakwa.
Ketiga
hadits
di
atas
menunjukkan bahwa puasa adalah
proses tarbiyah ilahiyyah yang
melahirkan orang-orang bertakwa.
Tergantung kesungguhan orang
yang mengikuti proses itu. Untuk
kesuksesan
proses
ini
perlu
persiapan diri dengan takwa;
melakukannya
dengan
takwa
berupa imanan wa ihtisaban, tidak
hanya puasa dari makan, minum
dan syahwat, tapi juga puasa
mulut, mata, telinga, tangan dan
kaki, dan yang lebih penting adalah
puasa
hati
dengan
mengosongkannya dari yang tidak
baik dan mengisinya dengan
kebaikan dan munajat kepada
Allah;
dan
tetap
konsisten
menjalankan nilai-nilai ketakwaan
walaupun ramadhan berlalu.
Sementara
zakat,
juga
bertujuan agar muzakki mencapai
derajat takwa, tercermin dalam
firman Allah :
‫ﺻ ﱢﻞ‬
َ ‫ﺻ َﺪﻗَﺔً ﺗُﻄَﮭﱢ ُﺮھُ ْﻢ َوﺗُ َﺰﻛﱢﯿ ِﮭ ْﻢ ﺑِﮭَﺎ َو‬
َ ‫ُﺧ ْﺬ ﻣِﻦْ أَ ْﻣ َﻮاﻟِ ِﮭ ْﻢ‬
‫َﷲُ َﺳﻤِﯿ ٌﻊ َﻋﻠِﯿ ٌﻢ‬
‫ﻚ َﺳﻜَﻦٌ ﻟَﮭُ ْﻢ و ﱠ‬
َ َ‫َﻋﻠَ ْﯿ ِﮭ ْﻢ إِنﱠ ﺻ ََﻼﺗ‬
Ambillah zakat dari sebagian harta
mereka, dengan zakat itu kamu
membersihkan dan mensucikan
mereka, dan mendoalah untuk
mereka. Sesungguhnya doa kamu
itu (menjadi) ketenteraman jiwa
bagi mereka. Dan Allah Maha
Mendengar lagi Maha Mengetahui
(QS. Al-Taubah : 103).
Al-Baghawy (1997: 4/91)
menjelaskan,
tuthahhiruhum
maksudnya zakat membersihkan
dosa orang yang mengeluarkannya.
Yuzakkihim,
zakat mengangkat
mereka ke derajat orang-orang
yang ikhlas. Ibnu 'Asyur (1997 :
11/23) lebih detil menerangkan.
Tuthahhiruhum, isyarat mengenai
maqam takhliyah (membersihkan
Jurnal Usrah
MAKNA TAQWA DAN URGENSITASNYA DALAM AL QURAN...
MAT SAICHON | 52
diri) dari kesalahan. Al-tazkiyah
artinya menjadikan sesuatu banyak
kebaikan.
Tuzakkihim,
isyarat
mengenai
maqam
tahliyah
(berperangai) dengan kemuliaan
dan kebaikan. Tentulah takhliyah
lebih didahulukan dari tahliyah.
Maknanya sedekah itu menghapus
dosa dan mendatangkan balasan
yang sangat besar. Dari penjelasan
tersebut tampak dengan jelas
tujuan zakat adalah esensi dari
takwa yaitu menghindari dosa dan
meraih pahala.
Adapun ibadah haji, sejak
persiapan sebelum keberangkatan,
dalam ritual-ritual haji baik berupa
rukun-rukun
haji,
wajib-wajib
maupun
sunnah-sunnahnya,
sampai apa yang dilakukan ketika
kembali ke tanah, merupakan
proses dan sejumlah amaliyat untuk
mewujudkan insan-insan bertakwa.
Hal ini diperkuat dengan dijanjikan
surga bagi yang berpredikat haji
mabrur, sementara surga
itu
sendiri adalah tempat orang-orang
bertakwa.
Dalam kaitan haji dengan
tujuan takwa yang hendak dicapai,
dapat dibagi menjadi tiga fase :
Pertama : fase sebelum berangkat
yang menjadikan takwa sebagai
bekal utama selain bekal berupa
materi. Seperti telah dibahas pada
bagian terdahulu.
Kedua: fase pelaksanaan ibadah
haji, yang dimulai dengan niat yang
ikhlas dan menjaga niat tersebut
sampai
berakhirnya
rangkaian
ibadah haji. Memperbanyak zikir,
doa dan taubat serta memfokuskan
diri pada Allah dalam tawaf, sa'i
dan
wukuf.
Meninggalkan
perbuatan
tercela
selama
pelaksanaan haji seperti berkata
atau berbuat cabul, berbuat dosa
(fasik)
dan
bertengkar.
Menanamkan jiwa sosial dengan
menyembelih
kurban/dam
dan
membagikannya kepada orang fakir
miskin.
Menjalin
ikatan
persaudaraan
dengan
sesama,
sebagai efek positif dari pertemuan
dengan saudara-saudara seiman
dari berbagai penjuru dunia. Semua
itu
adalah
pembiasaan
dan
penanaman sifat-sifat dan karakter
orang bertakwa.
Ketiga : fase ketika kembali ke
tanah air, yang sejatinya senantiasa
terpengaruh dan terwarnai oleh
nilai-nilai
ketakwaan
semasa
pelaksanaan haji, yang ditandai
dengan
keistiqamahan
dalam
ketaatan, peningkatan kualitas diri
dan kualitas ibadah serta kecintaan
kepada Allah, sehingga benar-benar
mencerminkan ciri, karakter dan
prinsip hidup orang bertakwa.
Penutup
Takwa mengandung pengertian
yang sangat luas dan sangat
dalam. Bukan sekedar melakukan
yang
perintah
Allah
dan
meninggalkan
larangan-Nya.
Karena takwa adalah rasa takut
yang mendalam kepada Allah dan
hari akhirat, yang berasal dari
pemahaman terhadap al-Quran dan
sunnah, yang diamalkan dalam
bentuk pengagungan Allah dan
ketaatan yang terus menerus, baik
perintah maupun larangan, untuk
memperoleh
keridhaan
dan
balasan-Nya dan terjauh dari murka
dan azab-Nya.
Jurnal Usrah
53 | V o l . 3 N o . 1 , J u n i 2 0 1 7
Takwa mencakup semua
kebaikan dan membersihkan diri
dari
semua
keburukan.
Ia
bertingkat-tingkat, dimulai dengan
menjaga diri dari kesyirikan,
menjaga diri dari melakukan
kemaksiatan, memelihara diri dari
syubhat,
dan
meninggalkan
sebagian yang diperbolehkan agar
tidak melakukan yang diharamkan.
Takwa sangat perlu diraih
dalam hidup karena urgensitasnya
yang sangat vital, diantaranya
sebagai
syarat
diterimanya
amalan, jalan masuk surga dan
sebaik-baik bekal yang dibawa
menuju kehidupan akhirat. Selain
itu takwa adalah tujuan dari ibadah
dan spritualitas Islam. Bila takwa
belum
tercapai,
maka
perlu
mengoreksi
dan
meningkatkan
kualitas keduanya.
Daftar Pustaka
Abu Hayyan, Muhammad bin Yusuf,
2001, Al-Bahr al-Muhith,
Tahqiq : Al-Syeikh 'Adil
Ahmad Abd al-Maujud – AlSyeikh
'Ali
Muhammad
Mi'wadh, Cet I, Beirut, Dar
Kutub al-Ilmiyyah.
Al-Ashfahany, Abu al-Qasim alHusain bin Muhammad,
t.th, Al-Mufradat fii Gharib
al-Quran,
Tahqiq
:
Muhammad Sayyid Kailani,
Beirut, Dar al-Ma'rifah.
Al-'Asqalany, Ahmad bin Ali bin
Hajar Abu al-Fadhl, t.th,
Fath al-Bary Syarhu Shahih
al-Bukhary,Tahqiq : Muhib
al-Din al-Khatib, Beirut, Dar
al-Ma'rifah.
Al-Baghawy, Abu Muhammad alHusain bin Mas'ud, 1997,
Ma'alim al-Tanzil, Cet. IV,
Dar Tayyibah li al-Nasyr wa
al-Tauzi'.
Al-Baidhawy, Nashir al-Din Abu alKhair Abdullah bin Umar bin
Muhammad, t. th, Anwar
al-Tanzil, wa Asrar alTa'wil, Tahqiq : Abd alSalam
Abd
al-Syafi
Muhammad, Cet. I, Beirut,
Dar al-Fikr.
Al-Bukhari, Muhammad bin Ismail
Abu Abdullah, 1987, AlJami'
al-Shahih
alMukhtashar, Tahqiq : Dr.
Musthafa Daib al-Bugha,
Cet. III, Beirut, Dar Ibnu
Katsir.
Al-Humaidy, Muhammad bin Futuh,
2002, Al-Jam'u baina alShahiihain al-Bukhari wa
Muslim, Tahqiq : Dr. 'Ali
Husain al-Bawwab, Cet II,
Beirut, Dar Ibn Hazm.
Al-Nisabury, Nizham al-Din alHasan bin Muhammad bin
Husain al-Qummy, 1996,
Tafsir Gharaib al-Quran wa
Raghaib al-Furqan, Tahqiq:
Al-Syeikh Zakaria 'Umairan,
Cet I, Beirut, Dar al-Kutub
al-Ilmiyah.
Al-Nisabury, Abu al-Husain Muslim
bin al-Hajjaj bin Muslim alQusyairy,
t.th,
Shahih
Muslim, Beirut, Dar al-Jail.
Al-Razy, Fakhr al-Din Muhammad
bin Umar al-Tamimi, 2000,
Mafatih al-Ghaib, Cet. I,
Dar al-Kutub al-Ilmiyah.
Al-Shalaby,
Ali
Muhammad
Muhammad, 2005, Siratu
Jurnal Usrah
MAKNA TAQWA DAN URGENSITASNYA DALAM AL QURAN...
MAT SAICHON | 54
Amir al-Mu'minin Ali bin Abi
Thalib, Cet. I.
Al-Syaukany, Muhammad bin 'Ali
bin Muhammad, t.th, Fath
al-Qadir
al-Jami'
baina
Fannay al-Riwayah wa alDirayah min 'Ilmi al-Tafsir,
Beirut, Dar al-Fikr.
Al-Thabary, Muhammad bin Jarir
bin Yazid bin Katsir bin
Ghalib, 2000, Jami' alBayan fi Ta'wil al-Quran,
Tahqiq
:
Ahmad
Muhammad Syakir, Cet. I,
Muassasah Al-Risalah.
Ibn al-Sa'dy, abd al-Rahman bin
Nashir, 2000, Taisir alKarim al-Rahman fi Tafsiri
Kalam al-Mannan, Tahqiq :
Abd al-Rahman bin Ma'la
al-Luwaihiq,
Cet
I,
Muassasah al-Risalah.
Ibnu 'Athiyyah, Abu Muhammad
Abd al-Haq bin Ghalib,
1993, Al-Muharrar al-Wajiz
fi Tafsir al-Kitab al-'Aziz,
Tahqiq : Abd al-Salam Abd
al-Syafi Muhammad, Cet I,
Beirut, Dar al-Kutub alIlmiyyah.
Ibn Ismail, Abu al-Hasan Ali, 1996,
Al-Mukhashshish, Tahqiq ;
Khalil Ibrahim Jafal, Cet. I,
Beirut, Dar Ihya at-Turats
al-Araby.
Ibnu Taimiyah, tt, Minhaj al-Sunnah
al-Nabawiyah,
Cet. I,
Muassasah Qarthaba.
Quthb, Sayyid, 2004, Fi Zhilal alQuran, Cairo, Dar alSyuruq.
Ridha, Muhammad Rasyid, Tafsir
al-Quran al-Karim, 2005,
Cet II, Beirut, Dar al-Kutub
al-Ilmiyah.
Download