amelia askep GBS

advertisement
TUGAS PORTOFOLIO ASUHAN KEPERAWATAN PADA PASIEN GBS
Diajukan Untuk Memenuhi Tugas Mata Kuliah Keperawatan Kritis
Disusun Oleh :
Amelia Kristina Merry Pitaloka
1711004
SEKOLAH TINGGI ILMU KESEHATAN HANG TUAH SURABAYA
PROGRAM STUDI S1 KEPERAWATAN
2018
1
BAB 7
ASKEP KRITIS GBS
7.1
Definisi
Guillain Barre Syndrome ialah sindrom yang mempunyai banyak sinonim
antara lain polyneuritis akut pasca infeksi, polyneuritis akut toksik polyneuritis febril,
poliradikulopati, dan acute ascending paralysis yang sering ditemukan pada bagian
penyakit saraf yang dicirikan dengan kelumpuhan otot ekstremitas yang akutt dan
progresif, dan biasanya muncul sesudah infeksi. (Harsono, 1996).
Guillain Barre Syndrome (GBS) adalah terjadinya suatu masalah pada system
saraf yang menyebabkan kelemahan otot, kehilangan reflex, dan kebas pada lengan,
tungkai, wajah, dan bagian tubuh lain. Kasus ini terjadi secara akut dan berhubungan
dengan proses autoimun. (http://xa.yimg.com /Guillaine+Barre+Sindrome.pdf)
Guillain-Barre Syndrome adalah penyakit autoimun yang menimbulkan
peradangan dan kerusakan myelin (material lemak, terdiri dari lemak dan protein
yang membentuk selubung pelindung di sekitar beberapa jenis serat saraf perifer.
Kerusakan saraf ini dianggap sebagai hasil dari reaksi kekebalan yang abnormal
terhadap mielin sistem saraf perifer. Kelemahan dan mati rasa di kaki biasanya
merupakan gejala pertama. Sensasi ini dapat dengan cepat menyebar, akhirnya
melumpuhkan seluruh tubuh.
(http://fk.uwks.ac.id/archieve/jurnal//SINDROGUILLAINBARRE.pdf)
Jadi, GBS merupakan proses yang diperantarai oleh imunitas, suatu kelainan
yang jarang terjadi; dimana sistem imunitas tubuh menyerang sarafnya sendiri.
2
7.2
Anatomi Fisiologi
a.
Organisasi Struktural Sistem Saraf
1) Sistem saraf pusat (SSP). Terdiri dari otak dan medulla spinalis yang
dilindungi tulang kranium dan kanal vertebral.
2) Sistem saraf perifer meliputi seluruh jaringan saraf lain dalam tubuh.
Sistem ini terdiri dari saraf cranial dan saraf spinal yang
menghubungkan otak dan medulla spinalis dengan reseptor dan
efektor. Secara fungsional sistem saraf perifer terbagi menjadi sistem
aferen dan sistem eferen.
a) Saraf aferen (sensorik) mentransmisi informasi dari reseptor
sensorik ke SSP
b) Saraf eferen (motorik) mentransmisi informasi dari SSP ke otot dan
kelenjar. Sistem eferen dari sistem saraf perifer memiliki dua sub
divisi :
i. Divisi
somatic
(volunter)
berkaitan
dengan
perubahan
lingkungan eksternal dan pembentukan respons motorik
volunter pada otot rangka.
ii. Divisi otonom (involunter) mengendalikan seluruh respon
involunter pada otot polos, otot jantung dan kelenjar dengan
cara mentransmisi impuls saraf melalui dua jalur
i)
Saraf simpatis berasal dari area toraks dan lumbal pada
medulla spinalis
3
ii)
Saraf parasimpatis berasal dari area otak dan sacral
pada medulla spinalis..
b.
Sel-Sel Pada Sistem Saraf
Neuron adalah unit fungsional sistem saraf yang terdiri dari badan sel
dan perpanjangan sitoplasma.
1) Badan sel atau perikarion, suatu neuron mengendalikan metabolisme
keseluruhan neuron. Bagian ini tersusun dari komponen berikut :
2) Neurofibril yaitu neurofilamen dan neurotubulus yang dapat dilihat
melalui mikroskop cahaya jika diberi pewarnaan dengan perak.
3) Dendrit adalah perpanjangan sitoplasma yang biasanya berganda dan
pendek serta berfungsi untuk menghantar impuls ke sel tubuh.
4) Akson adalah suatu prosesus tunggal, yang lebih tipis dan lebih panjang
dari dendrite. Bagian ini menghantar impuls menjauhi badan sel ke
neuron lain, ke sel lain (sel otot atau kelenjar) atau ke badan sel neuron
yang menjadi asal akson.
5) Sel Schwann
Sel ini mirip lembaran yang tumbuh disekitar sebagian akson(serat)
untuk membentuk selubung myelin.
6) Selubung myelin
Selubung myelin juga disebut neurilema atau selubung Schwann.
Selubung myelin merupakan sruktur berbentuk spiral berisi myelin
berlemak yang membantu mempercepat perjalanan dan mencegah
impuls pudar atau bocor. Selubung myelin sebagai isolator listrik,
mencegah arus pendek antara akson, dan mempasilitasi konduksi.
Nodus ranvier adalah satu-satunya titik dimana akson tidak tertutup
myelin dan ion-ion dapat berpindah diantaranya dan cairan
ekstraseluler. Depolarisasi membrane aksonal pada nodus ranvier
memperkuat potensial aksi yang dihantarkan sepanjang akson dan ini
adalah dasar konduksi saltatori (meloncat).
4
Klasifikasi Neuron
1) Fungsi.
Neuron diklasifikasi secara fungsional berdasarkan arah transmisi
impulsnya.
a) Neuron sensorik (aferen) menghantarkan impuls listrik dari
reseptor pada kulit, organ indera atau suatu organ internal ke SSP.
b) Neuron motorik menyampaikan impuls dari SSP ke efektor.
c) Interneuron (neuron yang berhubungan) ditemukan seluruhnya
dalam SSP. Neuron ini menghubungkan neuron sensorik dan
motorik atau menyampaikan informasi ke interneuron lain.
2) Struktur.
Neuron diklasifikasi secara structural berdasarkan jumlah prosesusnya.
a) Neuron unipolar memiliki satu akson dan dua denderit atau lebih.
Sebagian besar neuron motorik, yang ditemukan dalam otak dan
medulla spinalis, masuk dalam golongan ini.
b) Neuron bipolar memiliki satu akson dan satu dendrite. Neuron ini
ditemukan pada organ indera, seperti amta, telinga dan hidung.
c) Neuron unipolar kelihatannya memiliki sebuah prosesus tunggal,
tetapi neuron ini sebenarnya bipolar.
7.3
Etiologi
Dahulu, sindrom ini diduga disebabkan oleh infeksi virus. Tetapi akhir-akhir ini
terungkap ternyata virus bukan sebagai penyebab. Teori yang dianut sekarang ialah
suatu kelainan immunobiologik, baik secara primary immune response maupun
immune mediated process.
Dua pertiga penderita berhubungan dengan penyakit infeksi atau kejadian akut.
Penyebab terjadinya inflamasi dan destruksi pada GBS sampai saat ini belum
diketahui. Ada yang menyebutkan kerusakan tersebut disebabkan oleh penyakit
autoimun. Pada sebagian besar kasus, GBS didahului oleh infeksi yang disebabkan
5
oleh virus, yaitu Epstein-Barr virus, coxsackievirus, influenzavirus, echovirus,
cytomegalovirus, hepatitisvirus, dan HIV. Selain virus, penyakit ini juga didahului
oleh infeksi yang disebabkan oleh bakteri seperti Campylobacter Jejuni pada enteritis,
Mycoplasma pneumoniae, Spirochaeta , Salmonella, Legionella dan , Mycobacterium
Tuberculosa. Vaksinasi seperti BCG, tetanus, varicella, dan hepatitis B ; penyakit
sistemik seperti kanker, lymphoma, penyakit kolagen dan sarcoidosis ; kehamilan
terutama pada trimester ketiga ; pembedahan dan anestesi epidural. Infeksi virus ini
biasanya terjadi 2 – 4 minggu sebelum timbul GBS .
7.4
Patofisiologi
Kelemahan dan paralisis yang terjadi pada GBS disebabkan karena hilangnya
myelin, material yang membungkus saraf. Hilangnya myelin ini disebut
demyelinisasi. Demyelinisasi menyebabkan penghantaran impuls oleh saraf tersebut
menjadi lambat atau berhenti sama sekali. GBS menyebabkan inflamasi dan destruksi
dari myelin dan menyerang beberapa saraf. Oleh karena itu GBS disebut juga Acute
Inflammatory Demyelinating Polyradiculoneuropathy (AIDP).
Tidak ada yang mengetahui dengan pasti bagaimana GBS terjadi dan dapat
menyerang sejumlah orang. Yang diketahui ilmuwan sampai saat ini adalah bahwa
sistem imun menyerang tubuhnya sendiri, dan menyebabkan suatu penyakit yang
disebut sebagai penyakit autoimun.
Infeksi , baik yang disebabkan oleh bakteri maupun virus, dan antigen lain
memasuki sel Schwann dari saraf dan kemudian mereplikasi diri. Antigen tersebut
mengaktivasi sel limfosit T. Sel limfosit T ini mengaktivasi proses pematangan
limfosit B dan memproduksi autoantibodi spesifik. Ada beberapa teori mengenai
pembentukan autoantibodi , yang pertama adalah virus dan bakteri mengubah
susunan sel sel saraf sehingga sistem imun tubuh mengenalinya sebagai benda asing.
Teori yang kedua mengatakan bahwa infeksi tersebut menyebabkan
kemampuan sistem imun untuk mengenali dirinya sendiri berkurang. Autoantibodi ini
yang kemudian menyebabkan destruksi myelin, bahkan kadang kadang juga dapat
terjadi destruksi pada axon. Teori lain mengatakan bahwa respon imun yang
6
menyerang myelin disebabkan oleh karena antigen yang ada memiliki sifat yang sama
dengan myelin. Hal ini menyebabkan terjadinya respon imun terhadap myelin yang di
invasi oleh antigen tersebut.
Destruksi pada myelin tersebut menyebabkan sel sel saraf tidak dapat
mengirimkan signal secara efisien, sehingga otot kehilangan kemampuannya untuk
merespon perintah dari otak dan otak menerima lebih sedikit impuls sensoris dari
seluruh bagian tubuh Umumnya sel-sel imunitas ini menyerang benda asing dan
organisme pengganggu; namun pada GBS, sistem imun mulai menghancurkan
selubung myelin yang mengelilingi akson saraf perifer, atau bahkan akson itu sendiri.
Terdapat sejumlah teori mengenai bagaimana sistem imun ini tiba-tiba menyerang
saraf, namun teori yang dikenal adalah suatu teori yang menyebutkan bahwa
organisme (misalnya infeksi virus ataupun bakteri) telah mengubah keadaan alamiah
sel-sel sistem saraf, sehingga sistem imun mengenalinya sebagai sel-sel asing.
Organisme tersebut kemudian menyebabkan sel-sel imun, seperti halnya limfosit dan
makrofag, untuk menyerang myelin. Limfosit T yang tersensitisasi bersama dengan
limfosit B akan memproduksi antibodi melawan komponen-komponen selubung
myelin dan menyebabkan destruksi dari myelin.
Akson adalah suatu perpanjangan sel-sel saraf, berbentuk panjang dan tipis;
berfungsi sebagai pembawa sinyal saraf. Beberapa akson dikelilingi oleh suatu
selubung yang dikenal sebagai myelin, yang mirip dengan kabel listrik yang
terbungkus plastik. Selubung myelin bersifat insulator dan melindungi sel-sel saraf.
Selubung ini akan meningkatkan baik kecepatan maupun jarak sinyal saraf yang
ditransmisikan. Sebagai contoh, sinyal dari otak ke otot dapat ditransmisikan pada
kecepatan lebih dari 50 km/jam.
Myelin tidak membungkus akson secara utuh, namun terdapat suatu jarak
diantaranya, yang dikenal sebagai Nodus Ranvier; dimana daerah ini merupakan
daerah yang rentan diserang. Transmisi sinyal saraf juga akan diperlambat pada
daerah ini, sehingga semakin banyak terdapat nodus ini, transmisi sinyal akan
semakin lambat. Pada GBS, terbentuk antibodi atau immunoglobulin (Ig) sebagai
reaksi terhadap adanya antigen atau partikel asing dalam tubuh, seperti bakteri
7
ataupun virus. Antibodi yang bersirkulasi dalam darah ini akan mencapai myelin serta
merusaknya, dengan bantuan sel-sel leukosit, sehingga terjadi inflamasi pada saraf.
Sel-sel inflamasi ini akan mengeluarkan sekret kimiawi yang akan mempengaruhi sel
Schwan, yang seharusnya membentuk materi lemak penghasil myelin. Dengan
merusaknya, produksi myelin akan berkurang, sementara pada waktu bersamaan,
myelin yang ada telah dirusak oleh antibodi tubuh. Seiring dengan serangan yang
berlanjut, jaringan saraf perifer akan hancur secara bertahap. Saraf motorik, sensorik,
dan otonom akan diserang; transmisi sinyal melambat, terblok, atau terganggu;
sehingga mempengaruhi tubuh penderita. Hal ini akan menyebabkan kelemahan otot,
kesemutan, kebas, serta kesulitan melakukan aktivitas sehari-hari, termasuk
berjalan. Untungnya, fase ini bersifat sementara, sehingga apabila sistem imun telah
kembali normal, serangan itu akan berhenti dan pasien akan kembali pulih.
Seluruh saraf pada tubuh manusia, dengan pengecualian pada otak dan medulla
spinalis, merupakan bagian dari sistem saraf perifer, yakni terdiri dari saraf kranialis
dan saraf spinal. Saraf-saraf perifer mentransmisikan sinyal dari otak dan medulla
spinalis, menuju dan dari otot, organ, serta kulit. Tergantung fungsinya, saraf dapat
diklasifikasikan sebagai saraf perifer motorik, sensorik, dan otonom (involunter).
Pada GBS, terjadi malfungsi pada sistem imunitas sehingga muncul kerusakan
sementara pada saraf perifer, dan timbullah gangguan sensorik, kelemahan yang
bersifat progresif, ataupun paralisis akut. Karena itulah GBS dikenal sebagai
neuropati perifer.
GBS dapat dibedakan berbagai jenis tergantung dari kerusakan yang terjadi.
Bila selubung myelin yang menyelubungi akson rusak atau hancur , transmisi sinyal
saraf yang melaluinya akan terganggu atau melambat, sehingga timbul sensasi
abnormal ataupun kelemahan. Ini adalah tipe demyelinasi; dan prosesnya sendiri
dinamai demyelinasi primer. Akson merupakan bagian dari sel saraf 1, yang terentang
menuju sel saraf 2. Selubung myelin berbentuk bungkus, yang melapisi sekitar akson
dalam beberapa lapis.
Pada tipe aksonal, akson saraf itu sendiri akan rusak dalam proses demyelinasi
sekunder; hal ini terjadi pada pasien dengan fase inflamasi yang berat. Apabila akson
8
ini putus, sinyal saraf akan diblok, dan tidak dapat ditransmisikan lebih lanjut,
sehingga timbul kelemahan dan paralisis pada area tubuh yang dikontrol oleh saraf
tersebut. Tipe ini terjadi paling sering setelah gejala diare, dan memiliki prognosis
yang kurang baik, karena regenerasi akson membutuhkan waktu yang panjang
dibandingkan selubung myelin, yang sembuh lebih cepat. Tipe campuran merusak
baik akson dan myelin. Paralisis jangka panjang pada penderita diduga akibat
kerusakan permanen baik pada akson serta selubung saraf. Saraf-saraf perifer dan
saraf spinal merupakan lokasi utama demyelinasi, namun, saraf-saraf kranialis dapat
juga ikut terlibat.
7.5
Manifestasi Klinis
Kriteria diagnosa yang umum dipakai adalah criteria dari National Institute of
Neurological and Communicative Disorder and Stroke (NINCDS), yaitu:
a.
Ciri-ciri yang perlu untuk diagnosis:
1) Terjadinya kelemahan yang progresif
Guillain - Barré Syndrome bisa menjadi gangguan yang menghancurkan
karena onset mendadak dan tak terduga . Selain itu, pemulihan belum
tentu cepat. Seperti disebutkan di atas , pasien biasanya mencapai titik
terbesar kelemahan atau kelumpuhan hari atau minggu setelah gejala
pertama terjadi . Gejala kemudian stabil pada tingkat ini untuk jangka
waktu hari, minggu , atau kadang-kadang , bulan . Periode pemulihan
mungkin sesedikit beberapa minggu atau selama beberapa tahun . Sekitar
30 persen dari mereka dengan Guillain- Barré masih memiliki kelemahan
sisa setelah 3 tahun . Sekitar 3 persen mungkin menderita kambuh
kelemahan otot dan sensasi kesemutan bertahun-tahun setelah serangan
awal.
2) Hiporefleksi
b.
Ciri-ciri yang secara kuat menyokong diagnosis SGB:
1) Ciri-ciri klinis:
9
a) Progresifitas: gejala kelemahan motorik berlangsung cepat,
maksimal dalam 4 minggu, 50% mencapai puncak dalam 2
minggu, 80% dalam 3 minggu, dan 90% dalam 4 minggu.
b) Relatif simetris
c) Gejala gangguan sensibilitas ringan
d) Gejala saraf kranial ± 50% terjadi parese N VII dan sering
bilateral. Saraf otak lain dapat terkena khususnya
yang
mempersarafi lidah dan otot-otot menelan, kadang < 5% kasus
neuropati dimulai dari otot ekstraokuler atau saraf otak lain
Pemulihan: dimulai 2-4 minggu setelah progresifitas berhenti,
dapat memanjang sampai beberapa bulan.
e) Disfungsi otonom. Takikardi dan aritmia, hipotensi postural,
hipertensi dangejala vasomotor.
f) Tidak ada demam saat onset gejala neurologis
2) Ciri-ciri kelainan cairan serebrospinal yang kuat menyokong diagnosa:
a) Protein CSS. Meningkat setelah gejala 1 minggu atau terjadi
peningkatan pada LP serial
b) Jumlah sel CSS < 10 MN/mm3
c) Varian:
i. Tidak ada peningkatan protein CSS setelah 1 minggu gejala
ii. Jumlah sel CSS: 11-50 MN/mm3
3) Gambaran elektrodiagnostik yang mendukung diagnosa:
a) Perlambatan konduksi saraf bahkan blok pada 80% kasus.
Biasanya kecepatan hantar kurang 60% dari normal
7.6
Pemeriksaan Diagnostik
a.
Spinal tap (tusuk lumbalis)/(lumbar puncture)
Prosedur ini melibatkan menarik sejumlah kecil cairan dari kanal
tulang belakang di daerah (lumbar. Cairan cerebrospinal kemudian diuji
untuk jenis tertentu perubahan yang biasanya terjadi pada orang yang
10
memiliki sindrom Guillain-Barre.
Yang paling khas adalah adanya
disosiasi sitoalbuminik, yakni meningkatnya jumlah protein (100-1000
mg/dL) tanpa disertai adanya pleositosis (peningkatan hitung sel). Pada
kebanyakan kasus, di hari pertama jumlah total protein CSS normal;
setelah beberapa hari, jumlah protein mulai naik, bahkan lebih kanjut di
saat gejala klinis mulai stabil, jumlah protein CSS tetap naik dan menjadi
sangat tinggi. Jika memiliki
GBS, tes ini dapatmenunjukkan
peningkatan jumlah protein dalam cairan tulang belakangtanpa tanda
infeksi lain.
b.
Pemeriksaan kecepatan hantar saraf (KHS) dan elektromiografi (EMG)
Manifestasi elektrofisiologis yang khas dari GBS terjadi akibat
demyelinasi saraf, antara lain prolongasi masa laten motorik distal
(menandai blok konduksi distal) dan prolongasi atau absennya respon
gelombang F (tanda keterlibatan bagian proksimal saraf), blok hantar
saraf motorik, serta berkurangnya KHS. Pada 90% kasus GBS yang telah
terdiagnosis, KHS kurang dari 60% normal.
EMG menunjukkan berkurangnya rekruitmen motor unit Dapat pula
dijumpai degenerasi aksonal dengan potensial fibrilasi 2-4 minggu setelah
onset gejala, sehingga ampilitudo CMAP dan SNAP kurang dari normal.
Derajat hilangnya aksonal ini telah terbukti berhubungan dengan tingkat
mortalitas yang tinggi serta disabilitas jangka panjang pada pasien GBS,
akibat fase penyembuhan yang lambat dan tidak sempurna. Sekitar 10%
penderita menunjukkan penyembuhan yang tidak sempurna, dengan
periode penyembuhan yang lebih panjang (lebih dari 3 minggu) serta
berkurangnya KHS dan denervasi EMG.
c.
Pemeriksaan darah
Pada darah tepi, didapati leukositosis polimorfonuklear sedang dengan
pergeseran ke bentuk yang imatur, limfosit cenderung rendah selama fase
awal dan fase aktif penyakit. Pada fase lanjut, dapat terjadi limfositosis;
11
eosinofilia jarang ditemui. Laju endap darah dapat meningkat sedikit atau
normal, sementara anemia bukanlah salah satu gejala.
Dapat dijumpai respon hipersensitivitas antibodi tipe lambat, dengan
peningkatan immunoglobulin IgG, IgA, dan IgM, akibat demyelinasi saraf
pada kultur jaringan. Abnormalitas fungsi hati terdapat pada kurang dari
10% kasus, menunjukkan adanya hepatitis viral yang akut atau sedang
berlangsung; umumnya jarang karena virus hepatitis itu sendiri, namun
akibat infeksi CMV ataupun EBV.
d.
Elektrokardiografi (EKG)
Menunjukkan adanya perubahan gelombang T serta sinus takikardia.
Gelombang T akan mendatar atau inverted pada lead lateral. Peningkatan
voltase QRS kadang dijumpai, namun tidak sering.
e.
Tes fungsi respirasi (pengukuran kapasitas vital paru)
Menunjukkan adanya insufisiensi respiratorik yang sedang berjalan
(impending).
f.
Pemeriksaan patologi anatomi
Umumnya didapati pola dan bentuk yang relatif konsisten; yakni
adanya infiltrat limfositik mononuklear perivaskuler serta demyelinasi
multifokal. Pada fase lanjut, infiltrasi sel-sel radang dan demyelinasi ini
akan muncul bersama dengan demyelinasi segmental dan degenerasi
wallerian dalam berbagai derajat Saraf perifer dapat terkena pada semua
tingkat, mulai dari akar hingga ujung saraf motorik intramuskuler,
meskipun lesi yang terberat bila terjadi pada ventral root, saraf spinal
proksimal, dan saraf kranial. Infiltrat sel-sel radang (limfosit dan sel
mononuclear lainnya) juga didapati pada pembuluh limfe, hati, limpa,
jantung, dan organ lainnya.
7.7
Penatalaksanaan
Guillain Barre Syndrome dapat dikatakan tidak ada drug of choice. Yang
diperlukan adalah kewaspadaan terhadap kemungkinan memburuknya situasi sebagai
12
akibat perjalanan klinik yang memberat sehingga mengancam otot-otot pernapasan.
Apa bila terjadi keadaan demikian, maka penderita segera di rawat di ruang intensif
a.
Pengobatan imunosupresan:
1) Imunoglobulin IV
Pengobatan dengan gamma globulin intervena lebih menguntungkan
dibandingkan plasmaparesis karena efek samping/komplikasi lebih
ringan. Dosis maintenance 0.4 gr/kg BB/hari selama 3 hari dilanjutkan
dengan dosis maintenance 0.4 gr/kg BB/hari tiap 15 hari sampai sembuh.
2) Obat sitotoksik
Pemberian obat sitoksik yang dianjurkan adalah:
a) 6 merkaptopurin (6-MP)
b) Azathioprine
c) cyclophosphamid
Efek samping dari obat-obat ini adalah: alopecia, muntah,
mual dan sakit kepala.
b. Plasmaferesis untuk beberapa penderita dapat memberi manfaat yang
besar,terutama untuk kasus yang akut. Di negara-negera barat,
plasmaferesis mulai sering dilakukan namun demikian belum
diperoleh kesimpulan yang pasti. Dengan cara ini plasma sejumlah
200-250ml/kgbb dalam 4-6x pemberian selang waktu sehari diganti
dengan cairan yang berisi kombinasi garam dan 5% albumin.
Plasmaparesis atau plasma exchange bertujuan untuk mengeluarkan
factor autoantibodi yang beredar.
c. Perawatan umum dan fisioterapi
Perawatan yang baik sangat penting dan terutama di tujukan
pada perawatan sulit, kandung kemih. Saluran pencernaan,
mulut,faring dan trakea.infeksi paru dan saluaran kencing harus
segera di obati.
Respirasi di awasi secara ketat, terhadap perubahan kapasitas
dan gas darah yang menunjukan permulaan kegagalan pernapasan.
13
Setiap ada tanda kegagalan pernapasan maka penderita harus segera
di bantu dengan pernapasan buatan. Jika pernapasan buatan di
perlukan untuk waktu yang lama maka trakeotomi harus di kerjakan
fisioterapi dada secara teratur untuk mencegah retensi sputum dan
kolaps paru. Gerakan pasti pada kaki lumpuh mencegah deep voin
trombosis spientmungkin di perlukan untuk mempertahankan posisi
anggota gerak yang lumpuh, dan kekakuan sendi di cegah dengan
gerakan pasif. Segera setelah penyembuhan mulai fase rekonfaselen
maka fisioterapi aktif di mulai untuk melati dan meningkatkan
kekuatan otot.
d. Roboransia saraf dapat diberikan terutama secara parenteral. apabila
terjadi kesulitan menguyah atau menelan,sebagai akibat kelumpuhan
otot-otot wajah dan menelanmaka perlu dipasang pipa hidunglambung (nasogastric tube) untuk dapat memenuhi kebutuhan
makanan dan cairan.
e. Manfaat
kortikosteroid
untuk
sindrom
guillain-barre
masih
kontroversial.namun demikian,apabila keadaan menjadi gawat akibat
terjadinya paralisis otot-otot pernafasan maka kortikosteroid dosis
tinggi dapat diberikan. Pemberian kortikosteroid ini harus diiringi
dengan kewaspadaan terhadap efek samping yang mungkin terjadi.
7.8
Komplikasi
Komplikasi GBS yang paling berat adalah kematian, akibat kelemahan atau
paralisis pada otot-otot pernafasan. Tiga puluh persen% penderita ini membutuhkan
mesin bantu pernafasan untuk bertahan hidup, sementara 5% penderita akan
meninggal, meskipun dirawat di ruang perawatan intensif. Sejumlah 80% penderita
sembuh sempurna atau hanya menderita gejala sisa ringan, berupa kelemahan ataupun
sensasi abnormal, seperti halnya kesemutan atau baal. Lima sampai sepuluh persen
mengalami masalah sensasi dan koordinasi yang lebih serius dan permanen, sehingga
menyebabkan disabilitas berat. Dengan penatalaksanaan respirasi yang lebih modern,
14
komplikasi yang lebih sering terjadi lebih diakibatkan oleh paralisis jangka panjang,
antara lain sebagai berikut:
a. Gagal nafas, dengan ventilasi mekanik
b. Aspirasi
c. Paralisis otot persisten
d. Hipo ataupun hipertensi
e. Tromboemboli, pneumonia, ulkus
f. Aritmia jantung
g. Retensi urin
h. Masalah psikiatrik, seperti depresi dan ansietas
i. Nefropati, pada penderita anak
j. Ileus
7.9
KONSEP KEPERAWATAN
1. Pengkajian
a. Identitas
b. Pola-pola pengkajian
1) Pola Persepsi Kesehatan dan Pemeliharaan Kesehatan
a) Keadaan sebelum sakit
Tanyakan mengenai vaksinasi yang di dapatkan pasien, lingkungan,
kebiasaan merokok, pernah melakukan check up klinis sebelumnya,
dan upaya yang dilakukan mempertahankann hygiene.
b) Riwayat Penyakit Saat Ini
Keluhan utama: Kelemahan otot, nyeri, kesulitan bernapas, serta
kelumpuhan otot.
c) Riwayat Penyakit Yang pernah dialami
Tanyakan pada pasien apakah sering mengalami flu atau penyakit
lain berhubung dengan saluran napas, cerna, atau penyakit lain
seperti HIV, hepatitis dll.
d) Riwayat Kesehatan Keluarga
15
Tanyakan apakah ada keluarga pasien mengidap penyakit serupa.
2) Pola Nutrisi dan Metabolik
Gejala : Kesulitan dalam menguyah dan menelan.
Tanda : Gangguan pada reflex menelan.
3) Pola Eliminasi
Gejala : Adanya perubahan pola eliminasi
Tanda : Kelemahan pada otot-otot abdomen, hilangnya sensasi anal
(anus) atau berkemih dan reflex sfingter.
4) Pola Aktivitas dan Latihan
Gejala : Adanya kelemahan dan paralisis secara simetris yang biasanya
dimulai dari ekstremitas bagian bawah dan selanjutnya berkembang
dengan cepat ke arah atas. Kesulitan dalam bernapas, napas pendek
menyebabkan
sulit
beraktivitas.
Perubahan
tekanan
darah
(hipertensi/hipotensi) menganggu latihan.
Tanda : Kelemahan otot, paralisis flaksid (simetris), cara berjalan tidak
mantap. Pernapasan perut, menggunakan otot bantu napas, tampak
sianosis/pucat. Takikardi/bradikardi, distrimia.
5) Pola Persepsi Kognitif
Gejala : Kebas, kesemutan yang dimulai dari kaki atau jari-jari kaki dan
selanjutnya terus naik, perubahan rasa terhadap posisi tubuh, vibrasi,
sensasi nyeri, sensasi suhu, dan perubahan dalam ketajaman
penglihatan.
Tanda : Hilangnya/menurunnya reflex tendon dalam, hilangnya tonus
otot, adanya masalah dengan keseimbangan. Lalu, adanya kelemahan
pada otot-otot wajah, terjadi ptosis kelopak mata. Kehilangan
kemampuan untuk berbicara.
6) Pola Peran dan Hubungan Dengan Sesama
Tanda : Kehilangan kemampuan untuk berbicara dan berkomunikasi.
7) Pola Mekanisme Koping dan Toleransi terhadap Stress
16
Gejala : Perasaan cemas dan terlalu berkonsentrasi pada masalah yang
dihadapi.
Tanda : Tampak takut dan bingung.
2. Diagnosa
a. Ketidakefektifan pola nafas b.d paralisis otot pernapasan
b. Perubahan perfusi jaringan b.d disfungsi system saraf autonomic
c. Gangguan persepsi sensori penglihatan b.d paralisis okuler
d. Hambatan mobilitas fisik b.d kerusakan neuromuscular
e. Nyeri akut b.d kerusakan saraf sensorik
f. Ketidakseimbangan nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh b.d paralisis
orofaringeal.
g.
Konstipasi b.d kehilangan sensasi dan reflex sfingter
h. Hambatan interaksi social b.d paralisis otot wajah
i.
Ansietas b.d kurang pajanan informasi mengenai penyakit.
3. Intervensi
a. Dx1 : Ketidakefektifan pola nafas b.d paralisis otot pernapasan
Noc : Pola napas efektif
Nic :
1) Pantau frekuensi, kedalaman, dan kesimetrisan pernapasan Perhatikan
gerakan dada, penggunaan otot-otot bantu, serta retraksi otot.
2) Catat peningkatan kerja napas dan obervasi warna kulit dan membrane
mukosa.
3) Pantau poa pernapasan bradipnea, apnea.
4) Tinggikan kepala tempat tidur atau letakkan pasien pada posisi
bersandar.
5) Anjurkan napas dalam melalui abdomen selama periode distress
pernapasan.
6) Berikan terapi suplemetasi oksigen (sesuai indikasi).
17
7) Berikan obat/bantu tindakan pembersihan pernapasan melalui perksusi
dada, drainase postural, vibrasi.
b. Dx. 2 : Ketidakefektifan perfusi jaringan b.d disfungsi system saraf
autonom.
Noc : Perfusi jaringan efektif
Nic : 1) Ukur tekanan darah. Observasi adanya hipotensi postural. Berikan
latihan ketika sedang melakukan perubahan posisi pasien.
2) Pantau frekuensi jantung dan iramanya. Dokumentasikan adanya
distrimia.
3) Pantau suhu tubuh. Berikan suhu lingkungan yang nyaman.
4) Tinggikan sedikit kaki tempat tidur. Berikan latihan pasif pada
lutut/kaki.
5) Kolaborasi dengan pemberian cairan IV sesuai indikasi.
6) Pemberian heparin sesuai indikasi.
7) Pantau pemeriksaan laboratorium seperti Hb.
c. Dx 3 : Ganguan persepsi sensori penglihatan b.d paralisis okuler
Noc : Mempertahankan fungsi sensori penglihatan
Nic :
1) Kaji lingkungan terhadap kemungkinan bahaya terhadap keamanan
2) Pantau dan dokumentasikan perubahan status neurologis pasien
3) Pantau tingkat kesadaran pasien
4) Tingkatkan penglihatan pasien yang masih tersisa, jika diperlukan
jangan memindahkan barang-barang di dlam kamar pasien tanpa
menberitakn pasien
5) Ajarkan pasien untuk secara visual memantau posisi bangian tubuh,
jika tedapat kerusakan propriosepsi
d. Dx. 4 : Hambatan mobilitas fisik b.d kerusakan neuromuscular
Noc : Peningkatan keoptimalan mobilitas
18
Nic :
1) Kaji
kekuatan motorik/kemampuan fungsional
dengan
menggunakan skala 0-5. Lakukan pengkajian secara teratur
sesuai kebutuhan secara individual.
2) Sokong ekstremitas dan persendian dengan bantal, trochanter
roll, papan kaki.
3) Ajarkan dan dukung pasien dalam latihan ROM aktif/pasif
untuk mempertahankan atau meningkatkan kekuatan dan
ketahanan otot
4) Anjurkan untuk melakukan latihan yang terus dikembangkan
dan bergantung pada toleransi secara individual.
5) Konfirmasikan dengan rujuk ke bagian terapi fisik.
e. Dx 5 : Nyeri akut b.d kerusakan saraf sensorik
Noc : Nyeri teratasi
Nic : 1) Evaluasi derajat nyeri/rasa tidak nyaman dengan menggunakan
skala 0-10.
2) Observasi adanya tanda-tanda nonverbal dari nyeri tersebut.
3) Berikan masase atau sentuhan sesuai toleransi pasien secara
individual.
4) Ajarkan tehnik relaksasi, atau distraksi.
5) Beri obat analgetik sesuai kebutuhan.
f.
Dx 6 : Ketidakseimbangan nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh b.d
paralisis orofaringeal.
Noc : Keseimbangan pemenuhan nutrisi
Nic : 1) Kaji kemampuan untuk mengunyah, menelan, pada keadaan yang
teratur.
2) Catat masukan kalori setiap hari.
3) Catat makanan yang disukaii oleh pasien termasuk pilihan diet
yang dikehendaki.
19
4) Izinkan untuk makan sesuai waktu yang diinginkan yang
menyenangkan bagi pasien
5) Beri diet tinggi kalori.
6) Pasang/pertahankan selang NGT.
g. Dx 7 : Konstipasi b.d kehilangan sensasi dan reflex sfingter
Noc : Konstipasi tidak ada.
Nic : 1) Auskultasi bising usus, catat adaya perubahan bising usus.
2) Anjurkan pasien untuk minum paling sedikit 2000 ml/hari (jika
pasien dapat menelan).
3) Berikan privasi dan posisi fowler dengan jadwal waktu secara
teratur.
4) Beri obat pelembek feses.
5) Tingkatkan diet makanan yang berserat.
h. Dx 8 : hambatan interaksi social b.d paralisis otot wajah
Noc : menunjukkan keterampilan interaksi social
Nic :
1) Kaji pola dasar interaksi antara pasien dengan orang lain
2) Bantu pasien meningkatkan kesadaran tentang kekuatan dan
keterbatasan dalam berkomuniikasi dengan orang lain
3) Minta dan harapkan kominikasi verbal
4) Gunakan teknik bermain peran untuk meningkatkan keterampilan
dan teknik berkomunikasi.
i.
Dx 9 : Ansietas b.d kurang pajanan informasi mengenai penyakit.
Noc : Ansietas berkurang.
Nic : 1) Kaji dan dokumentasikan tingkat kecemasan pasien.
2) Sediakan informasi factual menyangkut diagnosis, perawatan dan
prognosis.
20
3) Diskusikan adanya perubahan citra diri, ketakutan akan kehilangan
kemampuan yang menetap, kehilangan fungsi.
4) Sediakan penguatan yang positif ketika pasien mampu untuk
meneruskan aktivitas sehari-hari dan lainnya meskipun ansietas.
4. Discharge Planning
a. Peningkatan asupan nutrisi yang memadai.
b. Istirahat yang cukup.
c. Penjagaan terhadap hygiene , sanitasi lingkungan.
d. Lakukan check-up ketika timbul gejala yang sama.
e. Teratur konsumsi obat pemulihan.
21
DAFTAR PUSTAKA
Wibowo, Samekto & Gofir abdul. 2001. Farmakoterapi Dalam Neurologi. Penerbit
Salemba Medika; Jakarta.
Comer, Sheree. RN. MS. 2005 Critical Care Nursing Care Plans. Delmar Learning
Thomson Asian Edition;
Harsono. 1996. Buku Ajar Neurologis Klinis. Gadjah Mada University Press; Jakarta
Widagdo, Wahyu S.kp. M.Kep. Sp.Kom, dkk. 2008. Askep Pada Klien Dengan
Gangguan Sistem Persarafan. Penerbit Buku Keperawatan dan Kepribadian;
Jakarta.
http://xa.yimg.com/kq/groups/23350775/2046214617/name/Guillaine+Barre+Sindro
me.pdf
http://staff.unila.ac.id/gnugroho/files/2012/11/ANATOMI-FISIOLOGI-SISTEMSARAF.pdf
Doenges, Marilynn dkk. 1999. Rencana Asuhan Keperawatan. EGC: Jakarta.
http://fk.uwks.ac.id/archieve/jurnal/Vol%20Edisi%20Khusus%20Desember%202010
/SINDROM%20GUILLAIN%20BARRE.pdf
22
Download