THE FOUR FUNCTIONS OF FORCE ROBERT J. ART 4 Fungsi Penggunaan Kekuatan Maria Elsa Karina 1806164893 Review ini akan membahas bagaimana penjelasan dari masing-masing penggunaan kekuatan yang dirumuskan oleh Robert J. Art, keterkaitanya dengan pendapat lain mengenai penggunaan kekuatan, serta analisa pribadi penulis mengenai penggunaan kekuatan tersebut. Sebelum melihat lebih jelas mengenai fungsi penggunaan kekuatan yang dimaksud oleh Robert, ada baiknya kita melihat ke arah pengertian penggunaan kekuatan terlebih dahulu. Pada Piagam PBB/Charter of The United Nations Bab I Pasal 2 Ayat 4, tertulis bahwa “All Members shall refrain in their international relations from the threat or use of force against the territorial integrity or political independence of any state, or in any other manner inconsistent with the Purposes of the United Nations.” Tidak tertulis jelas mengenai pengertian dari Use of Force dalam hal ini, namun terlihat jelas bahwa pada Ayat ini tidak menggambarkan bentuk kekuatan, baik penggunaan kekuatan secara ekonomi maupun politik, tetapi hanya terbatas pada penggunaan kekuatan secara militer. The General Assembly Declaration on the Principles of International Law adalah acuan dalam mengartian Piagam PBB, di dalam deklarasi ini tertulis bahwa perlanggaran terhadap segala bentuk ancaman dan penggunaan kekuatan bersenjata dalam hubungan internasional, ditunjukkan hanya kepada bentuk penggunaan kekuatan secara militer.1 Penggunaan kekuatan militer sebenarnya sangatlah penting perannya dalam mendapatkan apa yang diinginkan/tujuan oleh suatu negara. Robert J. Art merumuskan kegunaan yang didapatkan dalam menggunakan kekuatan sebagai: defense (pertahanan), deterrence (pencegahan), compelience (pemaksaan), swaggering (unjuk kekuatan).2 1 “Penggunaan-penggunaan Kekuatan Bersenjata-Use of Force”, 123 Dok, diakses dari https://textid.123dok.com/document/ozl99doz4-penggunaan-penggunaan-kekuatan-bersenjata-use-of-force.html, pada tanggal 18 September 2018 pukul 12.32. 2 Robert J. Art, The Four Functions of Force, dalam, Robert J. Art and Robert Jervis, International Politics, Pearson Longman, New York, 2009, hlm. 131. Maria Elsa Karina Defense atau pertahanan dengan menggunakan kekuatan militer, yang dapat memberikan dua hal, yaitu: untuk menangkis sebuah serangan serta untuk meminimalisir kerusakan terhadap diri negara itu sendiri atas sebuah serangan dari pihak lain. Untuk kepentingan pertahanan, sebuah negara akan mengerahkan kekuatan militernya untuk melawan pihak yang berpontesi atau menjadi penyerang negaranya (musuh), namun dalam hal ini tidak diperbolehkan untuk menyerang penduduk non-militer dari negara musuh tersebut. Demi mempertahankan negaranya, sebuah negara dapat mengerahkan kekuatan militernya secara langsung kepada pihak musuh atau pihak yang berpontensi menjadi musuh. Suatu negara dapat mengerahkan kekuatan militernya setelah terjadi serangan terhadap negaranya untuk memukul mundur musuh, atau melakukan penyerangan terlebih dahulu karena negara tersebut percaya bahwa akan ada serangan yang segera terjadi dari pihak musuh dan tidak dapat dihindarkan. Artinya bahwa walaupun pihak lawan belum menyerang pada awalnya, suatu negara akan tetap berusaha menghadang musuhnya tersebut dengan memberikan serangan terlebih dahulu, atau dengan kata lain memberikan serangan sebelum penyerangan dari pihak musuh terjadi. Deterrence atau pencegahan dengan menggunakan kekuatan militer, yaitu digunakan sebuah negara untuk mencegah musuh melakukan sesuatu yang negara tersebut tidak kehendaki, atau mengancam musuh bahwa akan ada serangan pembalasan bila pihak musuh tetap berani melakukan sesuatu yang tidak dikehendaki. Ancaman pembalasan mengarah langsung ke pada pihak lawan terhadap penduduk dan atau infrastruktur industrinya. Efektifnya suatu ancaman dalam pencegahan tergantung pada kemampuan sebuah negara untuk meyakinkan pihak yang berpotensi menjadi musuh untuk berpikir ulang bahwa negara pemberi ancaman tersebut mampu dan memliki kekuatan dalam memberikan hukuman terhadap perbuatan tidak menyenangkan yang dilakukan oleh pihak musuh.3 Tingkat keberhasilan ancaman pencegahan atau deterrent threat dapat diukur dari tidak terjadinya ancaman tersebut dalam realita.4 Compellent atau pemaksaan dengan menggunakan kekuatan militer, yaitu untuk memaksa negara musuh untuk melaksanakan atau tidak melaksanakan hal yang menjadi kepentingan pihak pemberi compellence. Pemaksaan di sini dimaksudkan untuk menyudutkan pihak musuh untuk melaksanakan sesuatu atau menghentikan sesatu yang sudah dijalankan. Menurut Schelling, 3 4 Ibid, hlm. 133. Ibid, hlm. 134. Maria Elsa Karina sesuatu hal yang sudah terjadi dapat berhenti atau berkurang tingkat bahayanya, hanya jika pihak lawan memberikan tanggapan. Keberhasilan dari sebuah aksi pemaksaan atau compellent dapat diukur dari seberapa cepatnya musuh memenuhi permintaan yang telah ditetapkan. Masalah yang sering terjadi dalam penggunan pemaksaan dengan menggunakan kekuatan adalah jika pihak musuh memiliki kesulitan dalam memahami atau salah prasangka terhadap keinginan yang dikehendaki oleh pihak pemberi paksa. Swaggering atau keangkuhan dalam menggunakan kekuatan bersenjata. Ranah obejektif dalam keangkuhan menggunakan kekuatan bersenjata ini sangat lebar, hal ini melibatkan kekuatan namun sifatnya damai. Dalam keangkuhan atau bisa juga disebut dengan memamerkan kekuatan bersenjata, biasanya dilakukan dengan cara, yaitu dengan memamerkan kekuatan militer dalam perlombaan militer dan demonstrasi nasional serta pembelian atau membuat persenjataan yang paling canggih.5 Setelah penjabaran mengenai 4 fungsi penggunaan kekuataan tersebut di atas, ada beberapa pendapat lain yang masih berkaitan dengan penggunaan kekuatan. Dalam pandangan lain, deterrence juga diartikan sebagai dialektika yang digunakan Griffiths dan O’Callaghan6, yakni “Do not attack me because if you do, something unacceptably horrible will happen to you”, atau dengan kata lain adanya ancaman yang dikeluarkan sebuah negara karena negara tersebut merasa dirinya sedang dalam keadaan tidak aman atau terancam, sehingga keadaan mendesak tersebut membuat negara itu mengeluarkan sebuah ancaman yang dimaksudkan agar si penerima ancaman berpikir ulang atas tindakan yang ingin dilakukannya, bahwa hal tersebut akan membawa dampak yang sangat buruk dikemudian hari atas pembalasan yang disiapkan oleh negara yang mengeluarkan ancaman dan bisa jadi serangan tersebut lebih besar dari yang diberikan pihak lawan. Pendapat kedua yang review ini peroleh adalah dari Thomas C. Schelling yang mengatakan bahwa compellence adalah tindakan langsung yang memaksa musuh untuk menyerah. Schelling juga menambahkan bahwa dalam penerapannya akan lebih sulit menggunakan pemaksaan daripada menggunakan pencegahan. Pencegahan dengan menggunakan kekuatan lebih bersifat 5 Ibid, hlm. 135. Dimas Agustini dkk., Penggunaan Use of Force: Penerapan Konsep Deterrenceoleh Suatu Aktor Hubungan Internasional Dilihat Dari Jenisnya Primary Deterrence Dan Extended Deterrence, Universitas Budi Luhur, Jakarta, 2014, hlm. 5. 6 Maria Elsa Karina tidak provokatif karena negara hanya mengancam dan menyiapkan sebuah serangan. Pencegahan dengan menggunakan kekuatan juga berusaha menghindarkan terjadinya ancaman secara nyata. Pemaksaan dengan menggunakan kekuatan membutuhkan dana yang cukup besar dalam pelaksanaannya, selain itu dalam hal pencegahan menggunakan kekuatan, pihak musuh dapat mempertahankan harga dirinya karena mereka tidak perlu mengakui bahwa mereka menuruti apa yang diinginkan si pemberi ancaman dan seranganpun belum terjadi, jadi tidak perlu adanya pengakuan menyerah terhadap negara pemberi ancaman7 (pencegahan dengan ancaman). Di sini Schelling memberi kelengkapan terhadap apa yang telah ditulis oleh Robert mengenai adanya kemungkinan kesalahpahamanan yang dapat terjadi apabila dilakukannya compellence atau pemaksaan dengan mengguanakan kekuatan. Negara yang menerima compellence bisa jadi tidak menerima pesan yang tersirat dan malah menambah rumit suasana. Penulis dalam hal ini lebih cenderung mendukung pendapat dari Thomas C. Schelling, terutama dalam penjabaran permasalahan dalam penggunaan compellence, di mana penulis kurang mensetujui dengan adanya kemungkinan kesalahpahaman yang terjadi di antara si negara si pemberi compellence dengan pihak lawan. Dalam sebuah serangan balik atau dengan adanya pemaksaan dengan menggunakan kekuatan militer, menurut saya sudah dapat dipastikan bahwa maksud dan tujuan dari adanya serangan balik tersebut adalah penuntutan penghentian serangan, terhadap pihak yang menyerang terlebih dahulu tersebut, sehingga seharusnya tidak ada lagi ketidakjelasan yang timbul dari maksud adanya serangan balik. 7 Editors of Encyclopedia Britania, Compellence, diakses dari https://britannica.com/topic/compellence, pada tanggal 18 September 2018 pukul 16.19. Maria Elsa Karina