karakter psikologi olhrga

advertisement
Olahraga Membentuk Karakter:
Fakta atau Mitos?1
Ali Maksum
alimaksum@unesa.ac.id
Abstrak
Olahraga tidak dengan sendirinya akan membentuk karakter dari
mereka yang berpartisipasi di dalamnya. Apalagi jika olahraga
direduksi menjadi sekadar persoalan menang-kalah, maka yang
terwujud adalah perilaku kebrutalan, kerusuhan, ketidak-jujuran,
dan perilaku a-moral lainnya. Sebagai kumpulan nilai-nilai moral, ia
harus diorganisasi, dikonstruksi, dan ditransformasikan ke dalam
struktur dasar penalaran individu yang berpartisipasi di dalamnya.
Tanpa itu, sulit rasanya kita mengharapkan olahraga sebagai
instrumen untuk membentuk karakter.
Pengantar
Sebagai insan olahraga, saya merasa sangat sedih menyaksikan sepakbola
Indonesia yang sering diwarnai dengan perkelahian antar pemain, pemukulan wasit,
dan kerusuhan suporter. Lihatlah bagaimana sejumlah insiden terjadi dalam putaran
kedua Liga Djarum Indonesia belakangan ini. Kasus pengeroyokan wasit yang terjadi
ketika PSPS Pekanbaru menjamu PSIS Semarang di Stadion Rumbai. Perkelahian antar
pemain Persipura Jayapura dengan Persijap Jepara yang terjadi di Stadion Mandala
Jayapura. Adu jotos antara pemain Persija Jakarta dengan pemain Persela Lamongan
di Stadion Lebak Bulus Jakarta. Dan, yang masih segar dalam ingatan kita bagaimana
Deltamania yang notabene merupakan suporter Deltras Sidoarjo menampilkan
perkelahian massal dengan Sakeramania yang merupakan suporter kesebelasan
Pasuruhan.
Pada sisi yang lain, aksi pemalsuan umur dan atau ijazah hampir terjadi di
semua cabang olahraga seperti tenis, renang, atletik, sepakbola, bulutangkis, bolavoli,
dan sebagainya. Belum lagi aksi suap-menyuap dan penggunaan obat terlarang yang
juga mewarnai atmosfir keolahragaan kita. Memperhatikan kondisi yang demikian,
pertanyaan mendasar yang kemudian perlu diajukan adalah: Apakah klaim yang
menyatakan bahwa olahraga membentuk karakter masih relevan untuk dikemukakan?
1
Artikel dimuat dalam Jurnal Ordik, edisi April, vol. 3, No. 1/2005
1
Tidak mudah untuk menjawab pertanyaan tersebut. Klaim bahwa “olahraga
membagun karakter” telah menjadi keyakinan sejarah yang mendalam dari para
pelatih, pendidik, politisi, dan rohaniawan sejak jaman Yunani kuno. Karena kuatnya
keyakinan tersebut, ungkapan “sport builds character” memiliki tempat sebagai adagium
budaya masyarakat dari waktu ke waktu, termasuk kita yang di Indonesia. Ia seolah
menjadi sebuah kredo yang abadi. Apakah klaim tersebut didukung oleh fakta-fakta
empirik? Inilah yang akan dibahas dalam tulisan ini.
Tinjauan dari Perspektif Psikologis
Karakter adalah sebuah terminologi yang sering digunakan secara sinonim
dengan istilah kepribadian. Para ahli psikologi dari Eropa lebih senang menggunakan
istilah karakter, sementara para ahli psikologi dari Amerika lebih suka menggunakan
istilah kepribadian. Sebagai contoh Freud sering menggunakan istilah character dalam
berbagai tulisannya, dan jarang menggunakan istilah personality. Istilah karakterologi
juga umum digunakan di Eropa, tapi sangat jarang di Amerika. Demikian juga banyak
ahli psikologi Amerika menulis buku dengan judul personality, tetapi amat jarang yang
menggunakan judul character. Dari sini nampak bahwa penggunakan kedua
terminologi tersebut terkait dengan preferensi yang bersifat kewilayahan.
Jika ditelusuri lebih jauh, secara etimologi karakter berasal dari bahasa latin,
sementara itu kepribadian berasal dari bahasa Yunani. Keduanya mengandung
pengertian mengukir (engraving). Menurut pengertian kamus character is qualities that
make somebody different from others (Oxford, 1991). Demikian juga dalam Kamus Besar
Bahasa Indonesia dinyatakan bahwa karakter mengandung pengertian sifat-sifat
kejiwaan, akhlak atau budi pekerti yang membedakan seseorang dari yang lain (Balai
Pustaka, 1995: 445). Baik pengertian secara etimologis maupun pengertian berdasarkan
kamus tentulah belum cukup, sebab keduanya belum menggambarkan konsepsi yang
paripurna. Oleh karenanya, masih diperlukan uraian dan justifikasi berdasarkan
bidang keilmuan.
Dalam ilmu psikologi, konsep “karakter” pada dasarnya merujuk pada struktur
kepribadian, tetapi dalam perkembangannya makna tersebut telah mengalami
perubahan. The term was subsequently modified to reflect culturally valued attributes that
2
reflect morality as defined by society (Allport, 1961). Selanjutnya, Allport lebih suka
mendefinisikan karakter sebagai kepribadian yang dinilai (personality evaluated).
Artinya, tinggi-rendah atau baik-buruknya suatu kepribadian akan sangat tergantung
pada penilaian masyarakat tertentu. Sebagai contoh, ciri kepribadian“dominan” bagi
masyarakat timur sering dianggap sebagai perilaku “serakah” yang perlu dihindari.
Namun bagi masyarakat barat, ciri kepribadian yang demikian dianggap positip
terutama bila dikaitkan dengan sebuah kesuksesan. Lebih jauh tentang pengertian
karakter, mari kita simak sejumlah definisi berikut.
“Character is the degree of ethically effective organization of all the forces of the
individual (Taylor, 1926).”
“Character is an enduring psychophysical disposition to inhibit impulses in
accordance with a regulative principle (Roback, 1927).”
“Character primarily in terms of interpersonal qualities such as cooperation, selfcontrol, and sociability (Blanchard, 1946).”
Dari beberapa pengertian di atas, setidaknya ada benang merah yang bisa
dijadikan pegangan dalam kita memahami karakter. Pada prinsipnya karakter
berintikan pada nilai-nilai moral sosial yang berlaku di masyarakat seperti kejujuran,
sportivitas, kerjasama, kesatria, dan sebagainya.
Olahraga dan Karakter
Dalam sejarah perkembangannya, olahraga memiliki arti yang berbeda pada
setiap masa, kebudayaan, dan bahkan pada setiap orang. Dalam sejarah Olimpiade
kuno olahraga dijadikan sebagai instrumen ritual pemujaan dewa Zeus di kaki
pegunungan Olympus. Pada awal Olimpiade modern olahraga merupakan media
mempromosikan semangat perdamaian dan persahabatan. Kini, olahraga tidak lagi
menjadi kegiatan ritual ataupun mempromosikan perdamaian, tetapi lebih merupakan
agen mencari uang, nama besar, dan popularitas. Sedangkan pada tataran individual,
bisa jadi olahraga diartikan sebagai pemuasan keinginan manusia akan kesenangan,
kegembiraan, dan identitias ketika kebutuhan dasar akan makanan, perumahan, dan
kesehatan telah terpenuhi.
Coles & Jones (1997) mendefinisikan olahraga sebagai aktivitas fisik berupa
permainan yang berisikan perjuangan melawan unsur-unsur alam, orang lain, ataupun
diri sendiri dan memiliki kompleksitas organisasi. Dari definisi tersebut, terdapat tiga
3
unsur penting dalam olahraga yang saling terkait dan tidak dapat dipisahkan. Ketiga
unsur tersebut adalah aktivitas fisik, permainan, dan kompleksitas organisasi. Aktivitas
fisik dalam konteks olahraga dimaksudkan sebagai aktivitas fisik yang memerlukan
kecakapan jasmani dan bukan aktivitas fisik biasa. Dengan kriteria tersebut,
pertandingan seperti catur dan bridge yang tidak memerlukan kecakapan jasmani tidak
dianggap sebagai olahraga, meskipun keduanya memiliki kompetisi dan organisasi
tingkat tinggi. Dengan pengertian yang demikian, maka olahraga dimaksudkan sebagai
jenis olahraga yang dipertandingkan atau dilombakan pada event-event resmi seperti
Olimpiade, SEA Games, PON, dan sebagainya.
Secara sosio-psikologis, olahraga dapat dianggap sebagai bagian dari pranatapranata sosial yang ada di masyarakat. Ini tercermin dalam sistem, norma, aturan main
yang telah menjadi kesepakatan bersama. Selain sistem aturan yang melingkupinya,
kegiatan olahraga juga melibatkan emosi orang yang berpartisipasi di dalamnya secara
intens dan merupakan pertalian antara keterampilan, kognitif, sikap, dan nilai-nilai.
Huizinga, seorang tokoh antropologi olahraga, mendeskripsikan permainan yang
merupakan inti dari olahraga sebagai sebuah kehidupan nyata yang di tempatkan
dalam situasi kegiatan temporer dengan segala karakteristik yang ada di dalamnya.
Terkait dengan makna penting suatu permainan, Vaughan juga menyatakan:
Play is generally perceived as an important component of the socialization and
developmental process of children with spontaneity, creativity, and informal
structure forming some of its essential elements. (Vaughan, 1984:144)
Dengan pemahaman yang demikian, permainan dalam olahraga dapat
memberikan pengalaman individu dalam konteks hubungan interpersonal. Olahraga
tidak hanya merupakan aktivitas fisik, tetapi juga sebagai agen pembentukan karakter.
Pendek kata, dalam banyak hal olahraga berpotensi mempengaruhi pembentukan
karakter individu yang berpartisipasi di dalamnya.
Marilah kita ingat kembali bagaimana seorang Eugenio Monti, atlet kereta
luncur (bobsled) menunjukkan perilaku sebagai kompetitor sejati. Ketika itu, tahun 1964
diselenggarakan Olympiade musim dingin di Austria. Monti telah selesai melakukan
giliran luncuran yang terakhir dengan catatan waktu yang menakjubkan. Ia dipastikan
akan menjadi juara andaisaja lawan terakhirnya, Tony Nash, tidak berhasil melampaui
catatan waktu yang dibuatnya. Menjelang tampilnya Nash, tersiar kabar bahwa ada
4
bagian ‘onderdil’ dari kereta Nash yang rusak yang bisa jadi akan berpengaruh
terhadap prestasinya. Mendengar kabar itu, Monti mencopot bagian tersebut dari
keretanya dan kemudian mengirimkannya kepada Nash. Nash kemudian melakukan
gilirannya dan sampai ke garis finish dengan menciptakan rekor baru serta
memenangkan medali emas.
Perilaku yang ditunjukkan Monti jelas memperlihatkan semangat kompetitor
sejati. Andaisaja ia hanya berorientasi kepada kemenangan, bisa jadi ia tidak akan
memberikan ‘onderdil’ tersebut, dan ia tahu betul resikonya. Tapi, atlet dari Italia
tersebut berpendirian bahwa tidak ingin menang diatas ketidakberdayaan lawan dan
lebih memilih memberi kesempatan yang sama kepada lawannya. Ia tidak
menginginkan
kemenangan
yang
‘murahan’.
Perbuatan
Monti
tersebut
jelas
menunjukkan betapa pun kita bersaing – berkompetisi – semuanya perlu dilakukan
secara fair. Karena itu, tak heran bila Monti dianugerahi International Fair Play untuk
pertama kalinya.
Contoh lain:
Pada tanggal 2 Nopember 1969 berlangsung pertandingan sepakbola babak final
liga Spanyol antara Real Madrid vs. Sabadell. Walaupun pertandingan sudah
berlangsung selama 50’ belum juga terjadi gol. Pedro Zaballa, sayap kanan Sabadell
ketika itu mendapat peluang untuk mencetak gol ke gawang Real Madrid, tapi pada
saat yang bersamaan terjadi benturan yang sangat keras di antara pemain belakang
Real Madrid sendiri, yaitu antara kiper dan back yang menyebabkan cedera berat
hingga pingsan. Dengan satu sontekan kaki saja, gol dipastikan terjadi, tapi itu tidak
dilakukan oleh Zaballa. Ia memilih memberikan bola itu kepada pemain lawan dengan
tendangan pelan. Setelah pertandingan berakhir, dan dimenangkan oleh Real Madrid 10, penonton sejumlah 80.000 orang ketika itu memberikan sorak penghormatan kepada
Zaballa. Zaballa sendiri menyatakan bahwa ia hanya menuruti kata hatinya untuk tidak
membuat gol dalam suasana ketidakberdayaan lawan. Maka juga tidak heran, bila
perbuatan yang mulia tersebut membawa Zaballa dianugerahi International Fair Play.
Meskipun olahraga dapat dijadikan sebagai agen pembentukan moral, tidak
berarti seseorang yang berpartisipasi di dalamnya memiliki tingkat perkembangan
moral yang lebih tinggi dibanding seseorang yang lain. Dalam olahraga tidak melekat
secara otomatis makna nilai-nilai. Marten (1978 dalam Gould & Weinberg, 1995)
5
berpendapat bahwa keikutsertaan dalam kegiatan dan organisasi olahraga tidak
otomatis bermanfaat bagi pembentukan pribadi anak. Pengembangan karakter,
kepemimpinan, sportmanship, dan orientasi berprestasi tidak terjadi dengan sendirinya
melalui keikutsertaannya. Apa yang telah dipaparkan di awal tulisan ini, kiranya
merupakan ilustrasi daari pernyataan ini.
Selanjutnya, saya ingin membahas lebih dalam bagaimana pandangan teoretis
dan sejumlah studi dilakukan dalam kaitannya dengan olahraga-karakter. Studi
tentang karakter dalam konteks olahraga secara garis besar terbagi dalam dua
pandangan. Pertama, mereka yang memahami karakter sebagai konsep perilaku
prososial (prosocial behavior) dan kedua mereka yang memahami karakter sebagai
konsep moral (Shields & Bredemeier, 1994). Menurut pandangan yang pertama,
karakter dilihat sebagai proses pembelajaran perilaku melalui transmisi nilai-nilai yang
secara sosial dapat diterima. Perkembangan karakter terjadi seiring dengan
perkembangan anak dalam menginternalisasikan aturan-aturan dan norma-norma
sosial. Selain itu, dalam proses internalisasi juga diperlukan agen sosial sebagai
transmisi norma-norma budaya. Dengan demikian menurut pandangan yang pertama,
individu yang berpartisipasi dalam kegiatan olahraga akan menginternalisasikan nilainilai yang ditransmisikan melalui kegiatan olahraga. Olahraga dianggap sebagai agen
pembentukan karakter. Sehingga, dengan berpartisipasi dalam kegiatan olahraga
karakter akan terbentuk dengan sendirinya.
Sementara itu, teori konstruktivist memiliki pandangan yang berbeda. Menurut
Kohlberg dan Haan, perkembangan moral merupakan hasil dari interaksi antara
kecenderungan diri individu mengorganisasikan pengalamannya ke dalam pola
interpretasi yang bermakna dan pengalaman lingkungan dalam memberikan informasi
mengenai realitas sosial. Perkembangan moral dilihat sebagai sebuah proses
reorganisasi dan transformasi struktur dasar penalaran individu. Perkembangan moral
bukanlah suatu proses menemukan berbagai macam peraturan dan sifat-sifat baik,
melainkan suatu proses yang membutuhkan perubahan struktur kognitip dan
rangsangan dari lingkungan sosial. Jadi, berpartisipasi dalam kegiatan olahraga tidak
dengan sendirinya membentuk karakter atau moral individu sebagaimana pandangan
teori internalisasi, tetapi apa yang dianggap sebagai nilai-nilai moral tersebut harus
6
diorganisasi, dikonstruksi, dan ditransformasikan ke dalam struktur dasar penalaran
individu yang berpartisipasi di dalamnya.
Penelitian
mengenai
keterkaitan
olahraga
dengan
karakter
memang
menunjukkan kesimpulan yang tidak konsisten. Sebagai contoh, Kleiber dan Robert
(1981) melakukan studi tentang pengaruh olahraga, khususnya olahraga kompetitif,
terhadap perilaku prososial. Hasil penelitian membuktikan bahwa anak-anak yang
berpartisipasi dalam kegiatan olahraga kompetitif menunjukkan penurunan dalam
perilaku prososialnya. Demikian pula penelitian yang dilakukan oleh Hall (1981),
Bredemeier & Shields (1986) menyatakan bahwa kedewasaan penalaran moral atlet
lebih rendah dibanding dengan kedewasaan penalaran moral bukan atlet pada
tingkatan usia yang sama. Sementara itu penelitian lain membuktikan hal yang
berbeda, seperti yang telah dilakukan oleh Orlick (1981). Ia menyatakan bahwa
kegiatan olahraga memberikan dampak positip terhadap perilaku kerjasama dari
individu yang berpartisipasi di dalamnya.
Apapun perdebatan yang muncul, sebagai insan olahraga tentu kita sangat
berharap bahwa olahraga mampu menjadi instrumen pembentukan karakter.
Bagaimana olahraga dapat merupakan instrumen (agen) pembentukan nilai dan
karakter yang akhirnya berujung pada perilaku? Untuk menjawab pertanyaan tersebut,
ada baiknya kita simak model konseptual berikut.
Sport Activities
Sport Values
Individual
Values
Character
Behavior
Gambar 1: Model konseptual hunbungan olahraga-nilai-karakter
Dari gambar tersebut jelas menunjukkan bagaimana aktivitas olahraga yang syarat
dengan nilai-nilai mempengaruhi sistem nilai yang dimiliki individu. Sistem nilai yang
dimiliki individu mempengaruhi karakter, dan karakter selanjutnya mempengaruhi
perilaku. Gambar di atas tidaklah lengkap, tapi dari gambar tersebut setidaknya dapat
menjelaskan mengapa olahraga menjadi sesuatu yang penting dalam mempengaruhi
7
terbentuknya nilai dan karakter. Jika harapan di atas dapat terjadi, maka ini akan
sejalan dengan pemikiran Bung Karno pada saat memberikan amanat kepada para
olahragawan yang akan ikut Ganefo pada tanggal 8 Nopember 1963, bahwa harga diri
seseorang bukan dari keturunan, kasta atau yang lain tetapi dari budi pekerti atau
karakter yang luhur dan mulia.
Catatan Akhir
Sebagai catatan akhir dari tulisan ini, saya ingin mengutip salah satu pasal dari
International Charter of Physical Education and Sport (UNESCO): “Physical education and
sport programs must be designed to suit requirements and personal characteristics of those
practicing them, as well as the institutional, cultural, socioeconomic and climatic conditions of
each
country.”
pembentukan
Kesimpulannya,
karakter,
maka
jika
olahraga
olahraga
digunakan
harus
diciptakan
sebagai
instrument
lingkungan
yang
memungkinkan karakter individu yang berpartisipasi di dalamnya terbentuk. Apakah
dalam olahraga yang selama ini kita geluti sudah diciptakan kondisi tersebut? Inilah
barangkali yang perlu menjadi bahan pemikiran kita semua.
8
Daftar Pustaka
Allport, G.W. (1963). Pattern and growth in personality. London: Renehart & Winston.
Allport, G.W. (1960). Personality: A psychological interpretation. New York: Henry Holt &
Company.
Bandura, A., Barbaranelli, C, Caprara, G.V., & Pastorelli, C. (1996). Mechanism of moral
disengagement in the exercise of moral agency. Journal of Personality and Social
Psychology, Vol. 71, No. 2, 364-374.
Batson, D.C., Thompson, E.R, Seuferling, G., Whitney, H., & Strongman, J.A. (1999).
Moral hypocrisy: Appearing moral to oneself without being so. Journal of
Personality and Social Psychology, Vol. 77, No. 3, 525-537.
Beding, B. (2000). Membangun karakter bangsa melalui olahraga. Jakarta: PT. Grasindo.
Bredemeier, B.J. & Shields, D.L. (1985). Values and violence in sport. Psychology Today,
19, 22-32.
Bredemeier, B.J. & Shields D.L. (1987). Moral growth through physical activity: A
structural/developmental approach. In Gould, D. & Weiss. M.R., Advances in
pediatric sport sciences, Vol. 2 behavioral issues. Champaign, Illinois: Human
Kinetics Publisher, Inc.
Bredemeier, B.J. & Shields D.L. (1993). Moral psychology in the context of sport. In
Singer, RN., Murphey, M., & Tennant, L.K., (Eds.), Handbook of research on sport
psychology. New York: Macmillan Publishing Company.
Coles, A. & Jones, D. (1997). A plan for the development of sport in Indonesia. Jakarta:
Australia Indonesia Institute – Australian Sports Commission.
Depdikbud, (1995). Kamus besar Bahasa Indonesia, Edisi kedua (Cetakan ke 4).
Depdikbud: Balai Pustaka.
Shields, D.L. & Bredemeier, B.J. (1994). Character development and physical activity.
Champaign, IL: Human Kinetics.
Haan, N. (1978). Two moralities in actions contexs: Relationship to thought, ego
regulation, and development. Journal of Personality and Social Psychology, 36, 286305.
9
Haan, N. (1985). Processes of moral development: Cognitive or social disequilibrium?
Developmental Psychology, 21, 996-1006.
Haan, N. (1986). Systematic variability in the quality of moral action as defined by two
formulations. Journal of Personality and Social Psychology, 50, 1271-1284.
Haste, H.W. & Locke, D. (Eds.) (1983). Morality in the making thought, action, and social
context. New York: John Wiley & Sons LTD.
Kleiber, D.A. & Roberts, G.C. (1981). The effect of sport experience in the development
of social character: An exploratory investigation. Journal of Sport Psychology, 3,
114-122.
Langford, P.E. (1995). Approaches to the development of moral reasoning. Hilsdale (USA):
Lawrence Erlbaum Associates, Publisher.
Moltmann, J. (1989). Olympia between politics and relegion. Dalam Baum, G. &
Coleman, J. (Eds.), Concilium 205 special culumn: sport. Eidenburgh: T & T Clark.
Ogilvie, B.C. & Tutko, T.A. (1971). Sport: If you want to build charater, try something
else. Psychology Today, 5 (5), 61-63.
Rudd, A.K. (1998). Sport’s perceived ability to build character. Dissertation Abstracts
International Section A: Humanities and Social Sciences, 59 (5-A), 1507.
Steinberg, L. (1999). Adolescence (5th Edition). USA: McGraw-Hill Companies, Inc.
Vealey, R. (1992). Personality in sport: A comprehensive view. In T. Horn (Ed.),
Advances in sport psychology. Champaign, IL: Human Kinetics.
Voughan, L.K. (1984). Pediatric and adolescent sports medicine. Boston: Brown and
Company
Weiss, M.R. & Bredemeier, B.J. (1990). Moral development in sport. Exercise and Sport
Science Reviews, 18, 331-378.
Williams, J.M. (1980). Personality characteristics of the successful female athlete. In W.F.
Straub (Ed.), Sport psychology: An analysis of athlete behavior. Ithaca, NY:
Mouvement.
10
Download