POLA SUPRESI GELOMBANG MU-EEG SERTA KADAR 5-HIAA DAN PORFIRIN URIN SEBAGAI METODE DETEKSI DINI DAN PREDIKSI PROGNOSIS PADA AUTISME Adnil Edwin Nurdin, Darwin Amir, Nadjmir dan Yaslinda Yaunin Abstract A current view on autism states that autism was caused by mirror neuron dysfunction that prevent stimulant from outside environment to be percepted. This deficit has a role in hampering social interaction but also enable an individual for maximum concentration to his inner drive. For an individuals with high intellectual capacity this ability for maximum concentration enable them to reach high performance in their spesific interest. Mirror neuron dysfunction can be detected using profiles of EEG-mu-wave supression. Another states that autism were caused by hyperserotoninergic which can be detected by higher than normal urinary level of 5HIAA and by metallothionein defisit which can be detected by higher than normal urinary level of porphyrine. These have resulted in a restrictive diet that decreases the intake of essensiel nutrient which will hamper growth and development in child. Based on these hypotheses, a question arises as follows: Do defisit in EEG-mu wave suppression is pathognomonic symptom in autism? Do urinary level of 5-HIAA and porphyrine are higher in autistic child than in normal child? Do urinary level of 5-HIAA and porphyrine are higher in emotionally explosive child than in emotionally unexplosive child? To answer this question a research was conducted in 15 autistic child with 15 normal child as control. Method: Autism were diagnosed using 3-Domain Autism Criterias. The level of emotional explosivity were determined using Intensity of Emotional Explosivity instrumen. The profile of EEG-mu wave suppression were determined using Computerized EEG. Urinary level of 5-HIAA were determined using Elisa Method and urinary level of porphyrine by chromatography. Result: Disturbance in suppression of EEG-mu wave were not detected in all normal child but detected in all of the 15 autistic childs .There are no significant differences in urinary 5-HIAA and porphyrine level between normal control and autistic childs. Although the differences are not statistically significant, the urinary levels of 5-HIAA and porphyrine are consistently higher in emotionally explosive autistic child than in emotionally unexplosive autistic child. Conclusion: Defisit in EEG-mu wave suppression seems pathognomonic for autism. It seems that examination of EEG-mu wave suppression can be used as an early detection method for autism. It seems that hiperserotonergic and metallothionein defisit are not related to autism, especially high functioning autism. A wider and through research is very important to reach a through understanding on autism. Latar Belakang Interaksi sosial difasilitasi neuron cermin melalui supresi gelombang-mu EEG (Electroencephalograph) saat melakukan dan melihat perilaku bertujuan. Dalam Computerized EEG terlihat bahwa gelombang-mu yang timbul pada keadaan basal tidak timbul lagi bila seseorang melakukan atau melihat sesuatu aktifitas yang 1 diminatinya. Menghilangnya gelombang mu itu disebut supresi gelombang mu-EEG (Rizolatti and Craighero, 2004). Pada autisme supresi hanya terjadi bila melakukan perilaku itu (Ramachandran and Oberman,2006). Berdasarkan tingkat kendala interaksi sosial, autisme digolongkan dalam fungsi rendah sampai fungsi tinggi dalam spektrum gangguan autistik (SGA) (WHO, 1994). Faktor terkait dengan autisme fungsi rendah ialah letupan emosi (APA,1999). Letupan emosi dihipotesiskan terkait hiperserotonemia yang berasosiasi dengan lokus SERT (SLC6A4) kromosom 17q11.2 (Surtees, Wainwright, et al., 2006; Coutinho, Oliveira, et al., 2004) dengan peningkatan 5-HIAA urin (Volavka, 1999). Letupan emosi juga dihipotesiskan terkait gangguan detoksifikasi Cu pada defisit metallothionein dengan peningkatan porphyrin urin. Cu menghambat sinyal amigdala pengendali emosi dan menghambat pemecahan casomorphin dari kasein susu. Casomorphin melewati abar darah-otak dan menimbulkan efek opiat sehingga anak autis merasa nikmat euforik pada saat melakukan suatu perilaku spesifik. Upaya menghentikan perilaku itu menimbulkan letupan emosi seperti gejala putus opiat (Nataf, Skorupka, et al., 2006). Autisme tanpa letupan emosi berasosiasi dengan kromosom 3q25-27 (Ylisaukko, Nieminen, et al., 2004), kromosom 7q21-q36 REELIN (Serajee, Zhong, et al., 2006), dan gen FOXP2 (Gauthier, Joober, et al., 2003). Tetapi beberapa penelitian lain tidak memberi hasil yang sama (Marui, Koishi, et al., 2005). Deteksi dini autisme terkendala karena kekaburan diagnosis (APA, 1999), tetapi Applied Behavioral Analysis (ABA) harus dimulai sedini mungkin supaya berhasil (Mc. Conachie & Diggl, 2006). Diet Bebas Kasein (DBK) mengharuskan diagnosis tepat karena mengurangi pasokan protein (Eikeseth, Smith, et al., 2002). Rumusan masalah Timbul pertanyaan apakah gangguan supresi gelombang-mu EEG dapat digunakan sebagai metode deteksi dini autisme? Apakah kadar 5-HIAA dan porphyrin urin dapat digunakan sebagai metode deteksi dini autisme dengan letupan emosi? Apakah ABA memperbaiki kendala interaksi sosial hanya pada autisme tanpa letupan emosi? Apakah DBK dapat mengurangi intensitas letupan emosi pada autisme dengan letupan emosi? Untuk menjawab pertanyaan ini dilakukan penelitian terhadap 15 anak autis dan kontrol anak normal selama 2 tahun dengan besar sampel yang sama. 2 Pada tahun pertama diperiksa variabel perilaku yaitu tingkat kendala interaksi sosial dengan instrumen Kriteria Autis Tiga Domain (KA-3D). KA-3D juga digunakan untuk diagnosis autisme (APA,1999). Intensitas letupan emosi dinilai dengan instrumen Assessment Intensitas Letupan Emosi (AILE) (Adnil, 2002). Variabel biologik yang diperiksa ialah pola supresi gelombang-mu EEG untuk menilai fungsi neuron cermin dengan Elektroensefalograf (EEG), kadar 5-HIAA urin untuk deteksi hiperserotoninergik, dan kadar porphyrin urin untuk deteksi gangguan metallothionein. Urgensi Penelitian Urgensi penelitian ini didasarkan pada lima kondisi yang bersifat luar biasa selama satu dasawarsa sampai tahun 2003 sebagai berikut: Peningkatan luar biasa kasus autisme dalam satu dasawarsa US-National Center for Health Statistics mencatat bahwa di Amerika Serikat dalam satu dasawarsa dideteksi hampir 10 kali peningkatan kasus autisme pada populasi berusia 6-22 tahun, dan dalam 3 tahun terjadi hampir 2 kali lipat peningkatan pada populasi berusia 3-22 tahun (Rutter, 2005). Kontroversi penyebab peningkatan kasus autisme Penyebab peningkatan kasus autisme masih kontroversial. Sebagian penelitian epidemiologi menemukan peningkatan disebabkan makin melebarnya konsep autisme (Jick and Kaye, 2003). Tetapi pilot study oleh UC Davis M.I.N.D. Institute tahun 2002 menemukan peningkatan nyata kasus autisme setelah memperhitungkan peningkatan semu karena meluasnya kriteria diagnostik (California Pilot Study Report, 2006). Beberapa peneliti mengemukakan kontribusi faktor risiko lingkungan yang belum teridentifikasi. Salah satu hipotesis yang belum terbukti mengaitkan peningkatan kasus autisme dengan merebaknya penggunaan makanan siap saji yang tergolong “junk food”. “Junk food” yang disinyalir memberi kontribusi terhadap peningkatan kasus autisme itu mengandung kasein susu dengan zat pewarna dan pengawet yang mungkin mengandung senyawa logam sepertu Zn dan Cu serta nitrat. Prakiraan ini menjadi dasar Diet Feingold bebas pewarna sintetik, penyedap dari kasein susu dan semua senyawa nitrat yang disebut juga Diet Rendah Salisilat. Intoleransi salisilat telah dikaitkan dengan hiperaktifitas, gangguan perhatian, dan gangguan mood dan anxietas (Rutter, 2005). Kekaburan kriteria diagnostik 3 SGA dianggap gangguan perkembangan pervasif (GPP) fungsi perilaku seperti: bahasa, komunikasi, kordinasi motorik, fungsi eksekutif, dan prestasi belajar. Karena itu kategori GPP mencakup beragam sindrom dengan etiologi tidak berkaitan autisme, dan perilaku autistik hanyalah sebagian dari gejala (Dougherty, 2000). Karena itu perlu kriteria diagnostik yang dengan jelas membedakan berbagai nosologi GPP dalam kontinum SGA. Kepentingan ini makin mendesak karena untuk membedakan beragam manifestasi GPP yang tercakup dalam SGA, kita sulit membedakan gangguan autistik disertai penyulit letupan emosional, dengan gangguan autistik murni yang hanya bermanifestasi sebagai hendaya interaksi sosial. Pendekatan terapeutik akan berbeda karena penyulit dan etiologi berbeda (APA, 1999). Kerancuan pendekatan terapeutik Prinsip utama penanggulangan autisme ialah ialah diagnosis dini dan intervensi tepat. Satu-satunya pendekatan terapi perilaku ialah Applied Behavioral Analysis yang didasarkan pada desain, implementasi dan evaluasi modifikasi lingkungan yang menimbulkan perilaku bermakna secara sosial (Mc. Conachie & Diggl, 2006).Tetapi pendekatan ini bertumpu pada modifikasi lingkungan yang hanya effisien bila dilakukan secara dini pada autisme tanpa letupan emosi (APA, 1999). Untuk autisme dengan letupan emosi, dilakukan juga terapi Diet Bebas Kasein (DBK). Tetapi outcome dari terapi ini tidak dapat diprediksi. Terdapat kesan terapi DBK hanya mengurangi intensitas letupan emosi (Cherian, Jayasurya, 2003). Autisme bukan suatu gangguan tunggal. Gejala dominan autisme seperti hendaya interaksi sosial, gangguan komunikasi, dan perilaku repetitif merupakan gejala terpisah dengan etiologi berbeda. Artinya ialah tidak ada metode terapi yang seragam untuk SGA (Happe, Francesca, et al., 2006). Mendesaknya metode deteksi dini dan prediksi prognosis untuk autisme Di negara sedang berkembang, gejala autisme baru terdeteksi bila anak telah beberapa tahun masuk sekolah. Kecurigaan itu umumnya karena terjadi gangguan belajar dan gangguan hubungan sosial di sekolah. Sangat sulit membedakan gejala tersebut dengan gangguan belajar seperti pada retardasi mental ringan, gangguan perhatian dan anak hiperaktif (Happe, Francesca et al., 2006). Sedangkan Applied Behavioral Analysis yang didasarkan pada desain, implementasi dan evaluasi modifikasi lingkungan untuk menimbulkan perilaku yang bermakna secara sosial harus dilakukan sedini mungkin. Terapi ini harus dimulai 4 sedini mungkin karena sangat sulit memodifikasi perilaku autis yang telah menjadi habit selama bertahun-tahun (Mc. Conachie & Diggl, 2006). Apabila anak tersebut mengalami autisme fungsi tinggi seperti autistic savant (Happe, Francesca et al., 2006), maka program pendidikan khusus dilakukan sedini mungkin untuk meningkatkan minat dan kemampuan spesifik tanpa terganggu oleh topik pendidikan konvensionil. Program pendidikan khusus ini dapat menjadikannya seorang berprestasi dibidang sains, komputer, ataupun seni yang tidak membutuhkan interaksi sosial. Malahan di Amerika Serikat ada yang berhasil meraih PhD dengan summa cum laude dibidang rekayasa genetik peternakan (Snyder, 2001). Karena itu demi kepentingan bangsa, sangat urgen mendeteksi autisme fungsi tinggi dan membedakannya dengan autisme fungsi rendah secara dini sejak masa prasekolah. Metode deteksi yang paling menjanjikan ialah pemeriksaan gelombangmu EEG dan deteksi hiperserotonergik melalui pemeriksaan kadar 5-HIAA urin dan deteksi defisit metallothionein melalui pemeriksaan kadar porphyrin urin. Tujuan penelitian 1. Membuktikan supresi gelombang-mu EEG terjadi pada anak normal yang melakukan dan melihat perilaku dan pada anak autis bila melakukan perilaku. 2. Membuktikan kadar 5-HIAA dan porphyrin urin pada anak autis tanpa letupan emosi tidak berbeda bermakna dengan anak normal. 3. Membuktikan kadar 5-HIAA dan porphyrin urin pada anak autis dengan letupan emosi lebih tinggi bermakna dari pada anak autis tanpa letupan emosi. Metode penelitian Penelitian eksperimental dengan rancangan pre-post facto karena data diambil untuk dibandingkan sebelum dan sesudah perlakuan terhadap subjek penelitian. Rancangan penelitian prospektif komparatif karena membandingkan perubahan faktor yang diasumsikan merupakan determinan perilaku setelah perlakuan pada sampel dari tiga kelompok populasi berperilaku berbeda (WHO, 1992), yaitu: 1. Kelompok 1: anak normal (AN) 2. Kelompok 2: anak autis tanpa letupan emosi (ATLE) 3. Kelompok 3: anak autis dengan letupan emosi (ADLE) 5 Populasi penelitian Populasi penelitian diambil dari anak usia sekolah 7-11 tahun, gender lakilaki, dengan kelompok anak autis dan sebagai kontrol kelompok anak normal. Faktor yang dibandingkan 1. Pola supresi gelombang-mu EEG antara kelompok 1, kelompok 2 dan kelompok 3 2. Kadar 5-HIAA dan porphyrin urin antara kelompok 1, kelompok 2, kelompok 3 Hasil penelitian Hasil pengambilan sampel kasus anak autis Diagnosis autis dalam bentuk skor kendala interaksi sosial (KIS) ditegakkan dengan instrumen KA3D. Kemudian diagnosis klinik ini disaring lagi melalui pemeriksaan interrater klinik sebanyak 3 kali dengan menggunakan instrumen yang sama. Semua interrater adalah dokter spesialis jiwa. Selanjutnya pada anak yang memenuhi kriteria diagnostik autis, diukur intensitas letupan emosinya (ILE) dengan instrumen AILE. Dengan cara ini diperoleh dua kelompok sampel autis yaitu ATLE dan ADLE. Dengan cara ini diperoleh 17 anak yang memenuhi kriteria autis. Selanjutnya dengan menggunakan instrumen AILE pada 17 anak autis diperoleh 9 anak ADLE (52,94%). Berarti sampel kelompok ATLE sebesar 8 orang (47,06%) (lihat Tabel 1). Tabel 1. Sampel anak autis yang diperoleh menggunakan instrumen KA3D dan AILE No Umur (tahun) 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17 6 6 5 8 6 10 7 6 6 9 5 6 6 11 12 10 7 KIS Nilai 11 8 8 8 7 9 3 8 8 9 6 6 4 5 7 9 6 ILE Tingkat sangat berat sedang sedang sedang sedang berat ringan sedang sedang berat ringan ringan ringan ringan sedang berat ringan Nilai 44 0 6 3 1 13 0 0 0 44 0 0 0 0 44 4 3 6 Tingkat berat 0 sedang sedang ringan berat 0 0 0 berat 0 0 0 0 berat sedang sedang Diagnosis ADLE ATLE ADLE ADLE ADLE ADLE ATLE ATLE ATLE ADLE ATLE ATLE ATLE ATLE ADLE ADLE ADLE Keterangan: KIS: kendala interaksi sosial ; ILE: intensitas letupan emosi ADLE: anak autis dengan letupan emosi; ATLE: anak autis tanpa letupan emosi Pola supresi gelombang mu-EEG pada anak autis Dari sampel 17 orang anak autis, diperiksa 15 orang karena 2 orang tidak ikut karena letupan emosi. Pemeriksaan gelombang mu-EEG 3 kali berturut-turut. Pemeriksaan pertama adalah gelombang mu-EEG pada keadaan basal Pemeriksaan kedua adalah gelombang mu-EEG waktu melihat orang minum air jeruk Pemeriksaan ketiga adalah gelombang mu-EEG waktu minum air jeruk Pola supresi dilihat melalui metode sebagai berikut: 1. Terlihat gelombang-mu pada EEG basal 2. Waktu melihat orang minum air jeruk terlihat sebagai berikut: - Gelombang mu tetap timbul, berarti gangguan supresi gelombang mu-EEG - Gelombang mu tidak timbul, berarti supresi gelombang mu-EEG normal 3. Waktu minum air jeruk terlihat sebagai berikut: - Gelombang mu tetap timbul, berarti artefact pemeriksaan diulangi kembali - Gelombang mu tidak timbul, berarti hasil EEG valid Ternyata semua anak autis yang diperiksa mengalami gangguan supresi gelombang mu-EEG karena gelombang mu tetap timbul saat melihat orang minum (Tabel 2). Tabel 2. Pola supresi gelombang mu-EEG pada anak autis gender laki-laki No Umur Gelombang muEEG basal 1 6 2 5 3 8 4 6 5 10 6 7 7 6 8 6 9 9 10 6 11 6 12 11 13 12 14* 10 15* 9 Keterangan: + + + + + + + + + + + + + + + Gelombang muEEG sedang minum air jeruk Gelombang muEEG melihat orang minum air jeruk Supresi gelombang mu-EEG - + + + + + + + + + + + + + + + (-) (-) (-) (-) (-) (-) (-) (-) (-) (-) (-) (-) (-) (-) (-) 7 *.Sampel cadangan Terlihat gelombang mu-EEG yang timbul pada keadaan basal tidak timbul saat minum air jeruk, tetapi tetap timbul saat melihat orang lain minum air jeruk. Kesimpulan: 1. Hasil pemeriksaan valid karena gelombang mu-EEG tidak timbul saat minum air jeruk 2. Terdapat gangguan supresi gelombang mu-EEG pada semua anak autis dalam sampel karena gelombang mu-EEG tetap timbul saat melihat orang minum air jeruk Pengukuran kadar 5-HIAA dan porphyrin urin pada anak autis Pengukuran kadar 5-HIAA urin 24 jam dengan metode Elisa dan porphyrin urin 24 jam dengan chromatography pada 17 anak autis menghasilkan temuan berikut: 1. Kadar 5-HIAA pada anak autis masih dalam range normal yaitu < 24 mg/urin 24 jam ( range 2 – 24 mg/urin 24 jam. Nilai >10 < 24 makanan mengandung 5-HT seperti pisang, kedelai, dll. Bila > 24mg/urin 24 jam berarti ada hiperserotoninergik). 2. Kadar Coproporphyrin semua < 50mcg (range normal 50 – 250 mcg/ urin 24 jam, lebih dari 2,5 kali lipat gangguan detoksifikasi logam secara umum) (Tabel 3). Tabel. 3. Kadar 5-HIAA dan porphyrin urin 24 jam pada anak autis No 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17* Umur (thn) 6 6 5 8 6 10 7 6 6 9 5 6 6 11 12 10 9 Kadar 5-HIAA mg/24 jam 17 7 5 9 4 12 6 5 7 18 6 9 6 4 8 16 16 Kadar porfirin urin mcg/ 24 jam 38 28 53 29 26 35 26 22 30 42 25 20 34 18 24 34 26 Keterangan: *. Sampel cadangan Kesimpulan: 1. Semua anak autis yang diperiksa ternyata kadar coproporphyrin urin 24 jam dibawah range normal (50-250 mcg/urin 24 jam), yaiu semuanya < 50mcg. Berarti tidak ada gangguan detoksifikasi logam. 8 2. Semua anak autis yang diperiksa ternyata kadar 5-HIAA urin 24 jam didalam range normal (2-24 mg/urin 24 jam). Berarti tidak ada gangguan hiperserotoninergik. Tetapi 5 dari 17 anak autis kadar 5-HIAA > 10 mg setelah ditanya ulang ternyata mereka baru saja mengkonsumsi susu kedelai dan pisang yang merupakan sumber 5-HT, yang di metabolismekan menjadi 5-HIAA. Pengambilan sampel kelola dan pemeriksaan supresi gelombang mu-EEG Diperoleh sampel 15 orang anak normal usia sekolah sampai tanggal 20 Agustus 2008.. Pemeriksaan supresi gelombang mu-EEG dimulai tanggal 4 Oktober 2008 dan selesai dalam 1 bulan. Pemeriksaan dilakukan dengan cara sama seperti anak autis tetapi makanan yang diberikan adalah ice cream yang tidak dapat diberikan kepada anak autis karena merupakan produk susu. Ternyara tidak terdapat gangguan supresi gelombang mu-EEG pada semua anak normal dalam sampel (Tabel 4). Tabel 4. Pola supresi gelombang-mu EEG pada anak normal usia sekolah laki-laki No 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 Umur Gelombang muEEG basal 8 8 9 7 9 9 9 7 7 7 8 9 8 9 8 + + + + + + + + + + + + + + + Gelombang muEEG melihat makan ice cream Gelombang muEEG sedang makan ice cream Supresi gelombang mu-EEG - - (+) (+) (+) (+) (+) (+) (+) (+) (+) (+) (+) (+) (+) (+) (+) Keterangan: Terlihat semua anak normal dalam sampel kelola mengalami supresi gelombang mu-EEG baik bila makan ice cream maupun bila melihat orang lain makan ice cream Kesimpulan: Semua anak normal dalam sampel tidak mengalami gangguan supresi gelombang mu-EEG. 9 Kadar 5-HIAA dan porfirin dalam urin 24 jam pada anak normal usia sekolah gender laki-laku Diperoleh sampel 15 orang sampai tanggal 20 Agustus 2008.. Pemeriksaan dimulai tanggal 6 Oktober 2008 (Tabel 5). Tabel 5: Kadar 5-HIAA dan porfirin urin pada anak normal usia sekolah laki-laki No 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 Umur (thn) 8 8 9 7 9 9 9 7 7 7 8 9 8 9 8 Kadar 5-HIAA mg/24 jam 7 7 7 8 8 12 10 6 8 8 10 8 6 16 8 Kadar porfirin urin mcg/ 24 jam 26 45 38 39 42 18 28 34 20 18 49 32 18 28 18 Keterangan: (5-HIAA 2 – 10 mg/urin 24 jam. Nilai >10 < 24 makanan mengandung 5-HT seperti pisang, kedelai, dll, > 24mg/urin 24 jam berarti ada hiperserotoninergik). (Coproporphyrin 50 – 250 mcg/ urin 24 jam, lebih dari 2,5 kali lipat ada gangguan detoksifikasi logam secara umum). Pembahasan Perbedaan pola supresi gelombang mu-EEG antara anak autis dengan anak normal Pada penelitian tahap pertama ini terlihat semua anak autis dalam sampel sebesar 15 orang semuanya mengalami supresi gelombang mu-EEG hanya bila sedang minum, tetapi samasekali tidak mengalami supresi bila melihat orang minum. Sedangkan kontrol anak normal dengan besar sampel sama semuanya mengalami supresi gelombang mu-EEG baik bila sedang makan maupun melihat orang makan. Berarti tujuan pertama penelitian tahun pertama ini yaitu membuktikan bahwa supresi gelombang mu-EEG terjadi pada anak normal yang melakukan atau melihat perilaku yang dilakukan dan pada anak autis bila melakukan perilaku terbukti. 10 Sebenarnya hal ini bukan temuan baru karena telah dibuktikan oleh Rizolatti dkk pada tahun 1999 pada monyet dimana terlihat jelas terjadi supresi gelombang-mu EEG pada monyet yang melihat kawannya menggapai kacang maupun yang sedang menggapai kacang (Rizolatti and Craighero, 2004). Logika dari pola supresi normal gelombang mu-EEG ialah sensitivitas neuron otak sehingga setiap persepsi yang bernuansa emosional selalu membangkitkan potensial aksi yang berekspresi sebagai gelombang EEG otak. Gelombang EEG selalu berjalan pada satu aksis yang seharusnya datar. Tetapi karena potensial listrik otak mahluk hidup tidak pernah mencapai titik nol, maka aksis itu juga bergelombang sangat kecil sehingga selama ini dianggap tidak memiliki fungsi apapun. Bila suatu potensial aksi akan menimbulkan cetusan gelombang akibat peningkatan aktifitas pada persepsi bernuansa emosionil, maka cetusan itu akan mendatarkan gelombang mu ke aksis, sehingga gelombang mu menghilang yang disebut supresi gelombang mu EEG. Pada orang normal hal ini terlihat jelas pada saat melakukan perilaku bernuansa emosional misalnya makan dan bila melihat orang lain melakukan perilaku tersebut. Karena anak autis sama sekali tidak mempersepsi rangsang dari luar seperti melihat orang makan, supresi gelombang mu-EEG pada anak autis hanya terjadi bila sedang makan atau minum, dan tidak terjadi bila melihat orang lain makan atau minum (Ramachandran and Oberman,2006). Kadar 5-HIAA urin pada anak normal dan anak autis tanpa letupan emosi (ATLE) Rerata kadar 5-HIAA pada urin 24 jam pada ATLE adalah 6,25 mg dan pada kontrol normal 8,60 mg yang masih dalam range normal (2–20 mg/24 jam). Rerata kadar 5-HIAA tersebut pada anak normal lebih tinggi dari ATLE meskipub tidak signifikan karena sampel kecil (Tabel 6). 11 Tabel 6. Kadar 5-HIAA urin pada ATLE dan kontrol normal Kadar 5-HIAA urin mg/24 jam Anak normal ATLE 7 7 7 6 7 5 8 7 8 6 12 9 10 6 6 4 8 8 10 8 6 16 8 8,60 (SD 2,58) 6,25 (SD 1,49) No 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 rerata Keterangan: Dengan one way anova diperoleh F-hitung 3,9 dengan p = 0,146. Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa rerata kadar 5-HIAA urin pada anak normal lebih tinggi dari pada ATLE, tetapi kurang bermakna. Kadar 5-HIAA urin pada anak normal dan anak autis dengan letupan emosi (ADLE) Rerata kadar 5-HIAA pada urin 24 jam pada ADLE adalah 11,125 mg dan pada kontrol normal 8,60 mg yang masih dalam range normal (2–20 mg/24 jam). Rerata kadar 5-HIAA tersebut pada anak normal lebih tinggi dari ADLE meskipub tidak signifikan karena sampel kecil (Tabel 7). Tabel 7. Kadar 5-HIAA urin pada ADLE dan kontrol normal No 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 rerata Kadar 5-HIAA urin mg/24 jam Anak normal ADLE 7 17 7 5 7 9 8 4 8 12 12 18 10 8 6 16 8 8 10 8 6 16 8 8,60 (SD 2,58) 11,125 (SD 5,46) Keterangan: 12 Dengan one way anova diperoleh F-hitung 0,719 dengan p = 0,633. Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa rerata kadar 5-HIAA urin pada anak normal lebih rendah dari pada ADLE, tetapi perbedaan kadar itu kurang bermakna. Kadar porphyrin urin pada anak normal dan anak autis tanpa letupan emosi (ATLE) Rerata kadar porphyrin urin 24 jam pada ATLE adalah 25,37 mcg dan pada kontrol normal 30,20 mcg yang masih dalam range normal (50–250 mcg/24 jam). Rerata kadar porphyrin tersebut pada anak normal lebih tinggi dari ATLE meskipun tidak signifikan karena sampel kecil (Tabel 8). Tabel 8. Kadar porphyrin urin pada ATLE dan kontrol normal No 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 rerata Kadar porphyrin urin mcg/24 jam Anak normal ATLE 26 28 45 26 38 22 39 30 42 25 18 20 28 34 34 18 20 18 49 32 18 28 18 30, 20 (SD 10, 67) 25, 37 (SD 5,32) Keterangan: Rerata kadar porphyrin urin pada anak normal terlihat lebih tinggi dari ATLE, tetapi dengan standard deviasi yang demikian besar dan sampel kecil tidak dapat dilakukan analisis statistik untuk menilai kemaknaan dari perbedaan kadar ini. Kadar porphyrin urin pada anak normal dan anak autis dengan letupan emosi (ADLE) Rerata kadar porphyrin urin 24 jam pada ADLE adalah 35,125 mcg dan pada kontrol normal 30,20 mcg yang masih dalam range normal (50–250 mcg/24 jam). Rerata kadar porphyrin tersebut pada anak normal lebih rendah dari ADLE meskipun tidak signifikan karena sampel kecil (Tabel 9). Tabel 5.10. Kadar porphyrin urin pada ADLE dan kontrol normal Kadar porphyrin urin mcg/24 jam No Anak normal ADLE 1 26 28 2 45 26 3 38 22 4 39 30 5 42 25 13 6 18 20 7 28 34 8 34 18 9 20 10 18 11 49 12 32 13 18 14 28 15 18 30, 20 (SD 10, 67) 35, 125 (SD 9,42) rerata Keterangan: Rerata kadar porphyrin urin pada anak normal terlihat lebih rendah dari ADLE, tetapi dengan standard deviasi yang demikian besar dan sampel kecil tidak dapat dilakukan analisis statistik untuk menilai kemaknaan dari perbedaan kadar ini. ola perbedaan kadar 5-HIAA dan porphyrin urin antara anak normal ATLE dan ADLE Terdapat suatu pola konsisten pada perbedaan kadar 5-HIAA dan porphyrin urin antara kontrol normal dengan anak autis ATLE dan ADLE, meskipun perbedaan itu secara statistik tidak signifikan, seperti berikut: 1.Kadar 5-HIAA dan porphyrin urin pada kontrol normal selalu lebih tinggi tidak bermakna dari pada ATLE. 2.Kadar 5-HIAA dan porphyrin urin pada kontrol normal selalu lebih rendah tidak bermakna dari pada ADLE 3.Kadar 5-HIAA dan porphyrin urin pada ADLE selalu lebih tinggi tidak bermakna daripada ATLE. Dari pola ini dapat ditarik kesimpulan sementara sebagai berikut: 1. Tujuan kedua penelitian tahun pertama ini yaitu membuktikan kadar 5-HIAA dan porphyrin urin pada anak normal tidak berbeda dengan ATLE ternyata pembuktiannya menemukan bahwa kadar metabolit trace tersebut justru pada ATLE lebih rendah dari pada kontrol normal. Dengan demikian tujuan kedua tersebut telah terlampaui meskipun tidak signifikan dari aspek statistik. 2. Tujuan ketiga penelitian tahun pertama ini yaitu membuktikan kadar 5-HIAA dan porphyrin urin pada ADLE lebih tinggi dari pada ATLE terbukti meskipun tidak signifikan dari aspek statistik. Kesimpulan Dari pencapaian target penelitian tahun pertama ini, diperoleh beberapa temuan sebagai berikut: 1. Semua anak yang di diagnosis autisme melalui pemeriksaan klinik yang teliti melalui proses interrater ternyata mengalami gangguan supresi gelombang muEEG. 14 2. Kadar 5-HIAA dan porphyrin urin pada anak autis dengan letupan emosi lebih tinggi dari pada kontrol normal. 3. Kadar 5-HIAA dan porphyrin urin pada anak autis dengan letupan emosi lebih tinggi dari pada anak autis tanpa letupan emosi. 4. Tetapi kadar 5-HIAA dan porphyrin urin baik pada sampel kontrol anak normal maupun sampel anak autis tanpa letupan emosi dan anak autis dengan letupan emosi masih berada dalam range normal sehingga kemungkinan gangguan hiperserotonergik dan gangguan metallothionein dapat disingkirkan. 5. Terdapat kesan bahwa autisme tidak berkaitan dengan hiperserotonergik maupun gangguan metallothionein. 6. Terdapat kesan bahwa kausa etiologik autisme terletak pada disfungsi neuron cermin otak yang mengakibatkan secara biologik penyandang autisme tidak tanggap terhadap rangsang dari dunia luar yang mengakibatkan mereka mempunyai daya konsentrasi luar biasa 7. Disfungsi neuron cermin ini dapat dideteksi secara dini dengan menilai pola supresi gelombang mu-EEG. Tingginya kadar 5-HIAA secara relatif dibandingkan anak normal tetap bertahan pada anak autis dengan letupan emosi meskipun telah diberlakukan diet yang ketat terhadap beragam bahan makanan hewani dan nabati yang mengandung 5-HT sebagai prekursor serotonin yang dimetabolisme menjadi 5-HIAA. Tingginya kadar porphyrin secara relatif dibandingkan anak normal tetap bertahan pada anak autis dengan letupan emosi meskipun telah diberlakukan diet yang ketat terhadap beragam bahan makanan hewani seperti susu dan semua produk susu yang mengandung kasein yang gangguan metabolismenya dianggap menghasilkan casomorphine yang menimbulkan gejala letupan emosi mirip gejala putus opiat. Dalam kaitan ini perlu diingat bahwa anak-anak dalam populasi normal ini bebas mengkonsumsi apa saja seperti berbagai kue dari tepung terigu, coklat, dan ice cream yang merupakan produk susu sebagai sumber kasein, tetapi anak autis dengan ketat dihindari dari beragam makanan ini. Dalam hal ini terdapat beberapa implikasi pada pemahaman ilmiah mengenai autisme dan pendekatan terapeutik serta prevensi autisme sebasgai berikut: 1. Secara umum autisme terkesan tidak berkaitan dengan hiperserotonergik dan gangguan detoksifikasi logam. 15 2. Kausa etiologik dari autisme dapat dideteksi secara dini melalui pemeriksaan pola supresi gelombang mu-EEG. 3. Terdapat kemungkinan bahwa terapi diet terhadap autisme fungsi tinggi yang sangat mengurangi pasokan nutrin esensiel dapat ditinggalkan. Saran 1. Pemeriksaan pola supresi gelombang mu-EEG masih perlu diulangi pada sampel yang lebih besar yang merupakan suatu penelitian multicenter berskala nasional. 2. Untuk titik tolak pemahaman yang sama, penegakan diagnosis autisme pada penelitian ini dilakukan dengan menggunakan instrumen KA3D yang telah diuji melalui penelitian hibah bersaing tahun pertama ini. 3. Untuk titik tolak pemahaman yang sama, assessment intensitas letupan emosi (ILE) pada autisme pada dilakukan dengan menggunakan instrumen AILE yang telah diuji melalui penelitian hibah bersaing tahun pertama ini. 4. Untuk memastikan pengaruh diet pada autisme, perlu diteliti dampak dari terapi ABA-Simplifikasi pada anak autis fungsi tinggi yang diberi diet biasa dan diberi Diet Bebas Kasein (DBK). Manfaat terhadap bangsa 1. Pemeriksaan pola supresi gelombang mu-EEG dapat digunakan untuk deteksi dini autisme dengan makna yang sama dengan test Mantoux, sehingga penyandang autisme fungsi tinggi dapat dilatih sejak dini melalui metode pembelajaran khusus untuk mencapai prestasi semaksimal mungkin sesuai kecerdasannya yang ditunjang oleh daya konsentrasi luar biasa. 2. Dalam hal ini ”kecacatan” kendala interaksi sosial dimodifikasi menjadi ”asset”, karena individu seperti ini mampu berjam-jam bekerja dibelakang komputer dan laboratorium serta berkonsentrasi memikirkan atau mengerjakan hal-hal rumit yang tidak mampu dikerjakan oleh orang normal yang selalu terganggu rangsang dari luar. 3. Dengan ditinggalkannya terapi diet yang meng restriksi pemasokan nutrin esensiel pada anak autis fungsi tinggi kecerdasan mereka sejak dini dapat ditingkatkan dengan diet kaya gizi sesuai prinsip 4 sehat-5 sempurna. 4. Dengan dapat dideteksi secara dini autisme melalui pemeriksaan pola supresi gelombang mu-EEG maka dapat dirumuskan kebijakan publik yang menentukan pemisahan antara klinik autis yang khusus menangani autisme fungsi tinggi tanpa 16 letupan emosi dengan klinik autis yang khusus menangani autisme fungsi rendah dengan letupan emosi. 5. Pemisahan ini sangat penting supaya penyandang autisme fungsi tinggi dapat dilatih mengembangkan kemampuannya semaksimal mungkin tanpa terganggu oleh agresifitas atau keributan yang dilakukan oleh penderita autisme fungsi rendah dengan letupan emosi. DAFTAR PUSTAKA Adnil Edwin Nurdin. Polimorfisme Taq I A Gen DRD2 dan Kepribadian sebagai Determinan Penyalahgunaan Zat dan Perilaku Berprestasi. Disertasi untuk memperoleh gelar doktor dalam ilmu kedokteran. Universitas Airlangga, 2004. Adnil Edwin Nurdin. Metode Cepat Assessment Intensitas Letupan Emosi (AILE). Telah diuji pada ujian kelayakan program doktor ilmu kedokteran. Universitas Airlangga, 2002. American Psychiatric Association (APA). Diagnostic and Statistical Manual of Mental Disorder (DSM) IV, Fourth Edition. APA Publ. Washington DC, 1994. American Psychiatric Association (APA). Special Report on Autism.Seattle,1999 Auranen M, Varilo T, Alen R, et al (2003). "Evidence for allelic association on chromosome 3q25-27 in families with autism spectrum disorders originating from a subisolate of Finland". Mol Psychiatry 8 (10): 879-84. Auranen M, Vanhala R, Varilo T, et al (2002). "A genomewide screen for autism-spectrum disorders: evidence for a major susceptibility locus on chromosome 3q25-27". Am J Hum Genet 71 (4): 777-90. Coutinho A, Oliveira G, Morgadinho T, et al (2004). "Variants of the serotonin transporter gene (SLC6A4) significantly contribute to hyperserotonemia in autism". Mol Psychiatry 9 (3): 264-71. Cherian MG, Jayasurya A, Bay BH. (2003) "Metallothioneins in human tumors and potential roles in carcinogenesis" Mutation Research 533(1-2):201-209. Devlin B, Cook E, Coon H, et al (2005). "Autism and the serotonin transporter: the long and short of it". Mol Psychiatry 10 (12): 1110-6. Dougherty MJ. The Genetics of Autism.Action Bioscience Genomics, 2000. Eikeseth, S., Smith, T., Jahr, E. & Eldevik, E. (2002). Intensive Behavioral Treatment atSchool for 4- to 7-Year-Old Children with Autism: A 1-Year Comparison Controlled Study. Behavior Modification, 26 (1), 49-68. Gauthier J, Joober R, Mottron L, et al (2003). "Mutation screening of FOXP2 in individuals diagnosed with autistic disorder". Am J Med Genet A 118 (2): 172-5. 17 Geier DA, Geier MR. "A prospective assessment of porphyrins in autistic disorders: a potential marker for heavy metal exposure." Neurotox Res. 2006 Aug;10(1):57-64. Happe, Francesca; Angelica Ronald and Robert Plomin (2006). "Time to give up on a single explanation for autism". Nat Neurosci 9 (10): 1218-20. Jick, H; JA Kaye (December 2003). "Epidemiology and causes of autism". Pharmacotherapy 23 (12): 1524-30. Lauritsen M, Pedersen C, Mortensen P (2005). "Effects of familial risk factors and place of birth on the risk of autism: a nationwide register-based study". J Child Psychol Psychiatry 46 (9): 963-71. Li J, Nguyen L, Gleason C, et al (2004). "Lack of evidence for an association between WNT2 and RELN polymorphisms and autism". Am J Med Genet B Neuropsychiatr Genet 126 (1): 51-7. Marui T, Koishi S, Funatogawa I, et al (2005). "No association of FOXP2 and PTPRZ1 on 7q31 with autism from the Japanese population". Neurosci Res 53 (1): 91-4. Conachie, H. & Diggl, T. (2006). Parent implemented early intervention for young children with autism spectrum disorder: a systematic review. Journal of Evaluation in Clinical Practice (early release) Muhle R, Trentacoste S, Rapin I (2004). "The genetics of autism". Pediatrics 113 (5): e 472-86. Nataf R, Skorupka C, Amet L, Lam A, et al. "Porphyrinuria in childhood autistic disorder: implications for environmental toxicity." Toxicol Appl Pharmacol 2006;214:99-108. Ramachandran VS and Oberman LM. Broken Mirror: A Theory of Autism. Scientific American, November 2006. Rutter, M (January 2005). "Incidence of autism spectrum disorders: changes over time and their meaning". Acta Paediatrica 94 (1): 2-15. Report to the Legislature on the Principal Findings of the Epidemiology of Autism in California Pilot Study. Retrieved on September 18, 2006. Rizzolatti G and Craighero L. The Mirror Neuron System: Annu.Rev.Neurosci.2004.27: 16992. Reichenberg, Abraham; et al. (September 2006). "Advancing Paternal Age and Autism" (PDF). Archives of General Psychiatry 63 (9): 1026-1032. Sallows, G. O. & Graupner, T. D. (2005). Intensive Behavioral Treatment for Children with Autism: Four-Year Outcome and Predict Serajee F, Zhong H, Mahbubul Huq A (2006). "Association of Reelin gene polymorphisms with autism". Genomics 87 (1): 75-83. Skaar D, Shao Y, Haines J, et al (2005). "Analysis of the RELN gene as a genetic risk factor for autism". Mol Psychiatry 10 (6): 563-71. Snyder A.W. (2001) "Paradox of the savant mind." Nature 413, 251–252. 18 Snyder A.W. et al. (2003) "Savant-like skills exposed in normal people by suppressing the left fronto-temporal lobe." J. Integrative Neuroscience 2, 149–158. Steffenburg S, Gillberg C, Hellgren L, Andersson L, Gillberg I, Jakobsson G, Bohman M (1989). "A twin study of autism in Denmark, Finland, Iceland, Norway and Sweden". J Child Psychol Psychiatry 30 (3): 405-16. Surtees P, Wainwright N, Willis-Owen S, et al (2006). "Social adversity, the serotonin transporter (5-HTTLPR) polymorphism and major depressive disorder". Biol Psychiatry 59 (3): 224-9. Sutcliffe J, Delahanty R, Prasad H, et al (2005). "Allelic heterogeneity at the serotonin transporter locus (SLC6A4) confers susceptibility to autism and rigid-compulsive behaviors". Am J Hum Genet 77 (2): 265-79. Sutcliffe J, Delahanty R, Prasad H, et al (2005). "Allelic heterogeneity at the serotonin transporter locus (SLC6A4) confers susceptibility to autism and rigid-compulsive behaviors". Am J Hum Genet 77 (2): 265-79. Uhl GR, Elmer GI, La Buda MC, Pickens RW (2000). Genetics of Behavioral Disorder. Nida Publication, 2000. 3-16. Volavka J (1999).The Neurobiology of Violence. JNeuropsychiatry Clin Neurosci, 307-314. Volkmar, F.R., Szatmari, P. & Sparro, S.S. (1993). Sex differences in pervasive developmental disorders. Journal of Autism and Developmental Disorders, 23(4), 579591. WHO.International Classification of Mental and Behavioral Disorder (ICD-10).Churchill Livingstone. New York, 1994. Ylisaukko-oja T, Nieminen-von Wendt T, Kempas E, et al (2004). "Genome-wide scan for loci of Asperger syndrome". Mol Psychiatry 9 (2): 161-8. 19