Artikel Ilmiah Adnil Edwin

advertisement
POLA SUPRESI GELOMBANG MU-EEG SERTA KADAR 5-HIAA DAN
PORFIRIN URIN SEBAGAI METODE DETEKSI DINI DAN PREDIKSI
PROGNOSIS PADA AUTISME
Adnil Edwin Nurdin, Darwin Amir, Nadjmir dan Yaslinda Yaunin
Abstract
A current view on autism states that autism was caused by mirror neuron dysfunction
that prevent stimulant from outside environment to be percepted. This deficit has a
role in hampering social interaction but also enable an individual for maximum
concentration to his inner drive. For an individuals with high intellectual capacity
this ability for maximum concentration enable them to reach high performance in
their spesific interest. Mirror neuron dysfunction can be detected using profiles of
EEG-mu-wave supression. Another states that autism were caused by
hyperserotoninergic which can be detected by higher than normal urinary level of 5HIAA and by metallothionein defisit which can be detected by higher than normal
urinary level of porphyrine. These have resulted in a restrictive diet that decreases the
intake of essensiel nutrient which will hamper growth and development in child.
Based on these hypotheses, a question arises as follows:
Do defisit in EEG-mu wave suppression is pathognomonic symptom in autism?
Do urinary level of 5-HIAA and porphyrine are higher in autistic child than in normal
child? Do urinary level of 5-HIAA and porphyrine are higher in emotionally
explosive child than in emotionally unexplosive child? To answer this question a
research was conducted in 15 autistic child with 15 normal child as control.
Method: Autism were diagnosed using 3-Domain Autism Criterias. The level of
emotional explosivity were determined using Intensity of Emotional Explosivity
instrumen. The profile of EEG-mu wave suppression were determined using
Computerized EEG. Urinary level of 5-HIAA were determined using Elisa Method
and urinary level of porphyrine by chromatography.
Result: Disturbance in suppression of EEG-mu wave were not detected in all normal
child but detected in all of the 15 autistic childs .There are no significant differences
in urinary 5-HIAA and porphyrine level between normal control and autistic childs.
Although the differences are not statistically significant, the urinary levels of 5-HIAA
and porphyrine are consistently higher in emotionally explosive autistic child than in
emotionally unexplosive autistic child.
Conclusion: Defisit in EEG-mu wave suppression seems pathognomonic for autism. It
seems that examination of EEG-mu wave suppression can be used as an early
detection method for autism. It seems that hiperserotonergic and metallothionein
defisit are not related to autism, especially high functioning autism. A wider and
through research is very important to reach a through understanding on autism.
Latar Belakang
Interaksi sosial difasilitasi neuron cermin melalui supresi gelombang-mu EEG
(Electroencephalograph) saat melakukan dan melihat perilaku bertujuan. Dalam
Computerized EEG terlihat bahwa gelombang-mu yang timbul pada keadaan basal
tidak timbul lagi bila seseorang melakukan atau melihat sesuatu aktifitas yang
1
diminatinya. Menghilangnya gelombang mu itu disebut supresi gelombang mu-EEG
(Rizolatti and Craighero, 2004). Pada autisme supresi hanya terjadi bila melakukan
perilaku itu (Ramachandran and Oberman,2006).
Berdasarkan tingkat kendala interaksi sosial, autisme digolongkan dalam
fungsi rendah sampai fungsi tinggi dalam spektrum gangguan autistik (SGA) (WHO,
1994). Faktor terkait dengan autisme fungsi rendah ialah letupan emosi (APA,1999).
Letupan emosi dihipotesiskan terkait hiperserotonemia yang berasosiasi
dengan lokus SERT (SLC6A4) kromosom 17q11.2 (Surtees, Wainwright, et al., 2006;
Coutinho, Oliveira, et al., 2004) dengan peningkatan 5-HIAA urin (Volavka, 1999).
Letupan emosi juga dihipotesiskan terkait gangguan detoksifikasi Cu pada
defisit metallothionein dengan peningkatan porphyrin urin. Cu menghambat sinyal
amigdala pengendali emosi dan menghambat pemecahan casomorphin dari kasein
susu. Casomorphin melewati abar darah-otak dan menimbulkan efek opiat sehingga
anak autis merasa nikmat euforik pada saat melakukan suatu perilaku spesifik. Upaya
menghentikan perilaku itu menimbulkan letupan emosi seperti gejala putus opiat
(Nataf, Skorupka, et al., 2006).
Autisme tanpa letupan emosi berasosiasi dengan kromosom 3q25-27
(Ylisaukko, Nieminen, et al., 2004), kromosom 7q21-q36 REELIN (Serajee, Zhong,
et al., 2006), dan gen
FOXP2 (Gauthier, Joober, et al., 2003). Tetapi beberapa
penelitian lain tidak memberi hasil yang sama (Marui, Koishi, et al., 2005).
Deteksi dini autisme terkendala karena kekaburan diagnosis (APA, 1999),
tetapi Applied Behavioral Analysis (ABA) harus dimulai sedini mungkin supaya
berhasil (Mc. Conachie & Diggl, 2006). Diet Bebas Kasein (DBK) mengharuskan
diagnosis tepat karena mengurangi pasokan protein (Eikeseth, Smith, et al., 2002).
Rumusan masalah
Timbul pertanyaan apakah gangguan supresi gelombang-mu EEG
dapat
digunakan sebagai metode deteksi dini autisme? Apakah kadar 5-HIAA dan porphyrin
urin dapat digunakan sebagai metode deteksi dini autisme dengan letupan emosi?
Apakah ABA memperbaiki kendala interaksi sosial hanya pada autisme tanpa letupan
emosi? Apakah DBK dapat mengurangi intensitas letupan emosi pada autisme dengan
letupan emosi?
Untuk menjawab pertanyaan ini dilakukan penelitian terhadap 15 anak autis
dan kontrol anak normal selama 2 tahun dengan besar sampel yang sama.
2
Pada tahun pertama diperiksa variabel perilaku yaitu tingkat kendala interaksi
sosial dengan instrumen Kriteria Autis Tiga Domain (KA-3D). KA-3D juga
digunakan untuk diagnosis autisme (APA,1999). Intensitas letupan emosi dinilai
dengan instrumen Assessment Intensitas Letupan Emosi (AILE) (Adnil, 2002).
Variabel biologik yang diperiksa ialah pola supresi gelombang-mu EEG untuk menilai
fungsi neuron cermin dengan Elektroensefalograf (EEG), kadar 5-HIAA urin untuk
deteksi hiperserotoninergik, dan kadar porphyrin urin untuk deteksi gangguan
metallothionein.
Urgensi Penelitian
Urgensi penelitian ini didasarkan pada lima kondisi yang bersifat luar biasa
selama satu dasawarsa sampai tahun 2003 sebagai berikut:
Peningkatan luar biasa kasus autisme dalam satu dasawarsa
US-National Center for Health Statistics mencatat bahwa di Amerika Serikat
dalam satu dasawarsa dideteksi hampir 10 kali peningkatan kasus autisme pada
populasi berusia 6-22 tahun, dan dalam 3 tahun terjadi hampir 2 kali lipat peningkatan
pada populasi berusia 3-22 tahun (Rutter, 2005).
Kontroversi penyebab peningkatan kasus autisme
Penyebab peningkatan kasus autisme masih kontroversial. Sebagian penelitian
epidemiologi menemukan peningkatan disebabkan makin melebarnya konsep autisme
(Jick and Kaye, 2003). Tetapi pilot study oleh UC Davis M.I.N.D. Institute tahun 2002
menemukan peningkatan nyata kasus autisme setelah memperhitungkan peningkatan
semu karena meluasnya kriteria diagnostik (California Pilot Study Report, 2006).
Beberapa peneliti mengemukakan kontribusi faktor risiko lingkungan yang
belum teridentifikasi. Salah satu hipotesis yang belum terbukti mengaitkan
peningkatan kasus autisme dengan merebaknya penggunaan makanan siap saji yang
tergolong “junk food”. “Junk food” yang disinyalir memberi kontribusi terhadap
peningkatan kasus autisme itu mengandung kasein susu dengan zat pewarna dan
pengawet yang mungkin mengandung senyawa logam sepertu Zn dan Cu serta nitrat.
Prakiraan ini menjadi dasar Diet Feingold bebas pewarna sintetik, penyedap dari
kasein susu dan semua senyawa nitrat yang disebut juga Diet Rendah Salisilat.
Intoleransi salisilat telah dikaitkan dengan hiperaktifitas, gangguan perhatian, dan
gangguan mood dan anxietas (Rutter, 2005).
Kekaburan kriteria diagnostik
3
SGA dianggap gangguan perkembangan pervasif (GPP) fungsi perilaku
seperti: bahasa, komunikasi, kordinasi motorik, fungsi eksekutif, dan prestasi belajar.
Karena itu kategori GPP mencakup beragam sindrom dengan etiologi tidak berkaitan
autisme, dan perilaku autistik hanyalah sebagian dari gejala (Dougherty, 2000).
Karena itu perlu kriteria diagnostik yang dengan jelas membedakan berbagai
nosologi GPP dalam kontinum SGA. Kepentingan ini makin mendesak karena untuk
membedakan beragam manifestasi GPP yang tercakup dalam SGA, kita sulit membedakan gangguan autistik disertai penyulit letupan emosional, dengan gangguan
autistik murni yang hanya bermanifestasi sebagai hendaya interaksi sosial. Pendekatan terapeutik akan berbeda karena penyulit dan etiologi berbeda (APA, 1999).
Kerancuan pendekatan terapeutik
Prinsip utama penanggulangan autisme ialah ialah diagnosis dini dan
intervensi tepat. Satu-satunya pendekatan terapi perilaku ialah Applied Behavioral
Analysis yang didasarkan pada desain, implementasi dan evaluasi modifikasi
lingkungan yang menimbulkan perilaku bermakna secara sosial (Mc. Conachie &
Diggl, 2006).Tetapi pendekatan ini bertumpu pada modifikasi lingkungan yang hanya
effisien bila dilakukan secara dini pada autisme tanpa letupan emosi (APA, 1999).
Untuk autisme dengan letupan emosi, dilakukan juga terapi Diet Bebas Kasein
(DBK). Tetapi outcome dari terapi ini tidak dapat diprediksi. Terdapat kesan terapi
DBK hanya mengurangi intensitas letupan emosi (Cherian, Jayasurya, 2003).
Autisme bukan suatu gangguan tunggal. Gejala dominan autisme seperti
hendaya interaksi sosial, gangguan komunikasi, dan perilaku repetitif merupakan
gejala terpisah dengan etiologi berbeda. Artinya ialah tidak ada metode terapi yang
seragam untuk SGA (Happe, Francesca, et al., 2006).
Mendesaknya metode deteksi dini dan prediksi prognosis untuk autisme
Di negara sedang berkembang, gejala autisme baru terdeteksi bila anak telah
beberapa tahun masuk sekolah. Kecurigaan itu umumnya karena terjadi gangguan
belajar dan gangguan hubungan sosial di sekolah. Sangat sulit membedakan gejala
tersebut dengan gangguan belajar seperti pada retardasi mental ringan, gangguan
perhatian dan anak hiperaktif (Happe, Francesca et al., 2006).
Sedangkan Applied Behavioral Analysis yang didasarkan pada desain,
implementasi dan evaluasi modifikasi lingkungan untuk menimbulkan perilaku yang
bermakna secara sosial harus dilakukan sedini mungkin. Terapi ini harus dimulai
4
sedini mungkin karena sangat sulit memodifikasi perilaku autis yang telah menjadi
habit selama bertahun-tahun (Mc. Conachie & Diggl, 2006).
Apabila anak tersebut mengalami autisme fungsi tinggi seperti autistic savant
(Happe, Francesca et al., 2006), maka program pendidikan khusus dilakukan sedini
mungkin untuk meningkatkan minat dan kemampuan spesifik tanpa terganggu oleh
topik pendidikan konvensionil. Program pendidikan khusus ini dapat menjadikannya
seorang berprestasi dibidang sains, komputer, ataupun seni yang tidak membutuhkan
interaksi sosial. Malahan di Amerika Serikat ada yang berhasil meraih PhD dengan
summa cum laude dibidang rekayasa genetik peternakan (Snyder, 2001).
Karena itu demi kepentingan bangsa, sangat urgen mendeteksi autisme fungsi
tinggi dan membedakannya dengan autisme fungsi rendah secara dini sejak masa
prasekolah. Metode deteksi yang paling menjanjikan ialah pemeriksaan gelombangmu EEG dan deteksi hiperserotonergik melalui pemeriksaan kadar 5-HIAA urin dan
deteksi defisit metallothionein melalui pemeriksaan kadar porphyrin urin.
Tujuan penelitian
1. Membuktikan supresi gelombang-mu EEG terjadi pada anak normal yang
melakukan dan melihat perilaku dan pada anak autis bila melakukan perilaku.
2. Membuktikan kadar 5-HIAA dan porphyrin urin pada anak autis tanpa letupan
emosi tidak berbeda bermakna dengan anak normal.
3. Membuktikan kadar 5-HIAA dan porphyrin urin pada anak autis dengan
letupan emosi lebih tinggi bermakna dari pada anak autis tanpa letupan emosi.
Metode penelitian
Penelitian eksperimental dengan rancangan pre-post facto karena data diambil
untuk dibandingkan sebelum dan sesudah perlakuan terhadap subjek penelitian.
Rancangan
penelitian
prospektif
komparatif
karena
membandingkan
perubahan faktor yang diasumsikan merupakan determinan perilaku setelah perlakuan
pada sampel dari tiga kelompok populasi berperilaku berbeda (WHO, 1992), yaitu:
1. Kelompok 1: anak normal (AN)
2. Kelompok 2: anak autis tanpa letupan emosi (ATLE)
3. Kelompok 3: anak autis dengan letupan emosi (ADLE)
5
Populasi penelitian
Populasi penelitian diambil dari anak usia sekolah 7-11 tahun, gender lakilaki, dengan kelompok anak autis dan sebagai kontrol kelompok anak normal.
Faktor yang dibandingkan
1. Pola supresi gelombang-mu EEG antara kelompok 1, kelompok 2 dan kelompok 3
2. Kadar 5-HIAA dan porphyrin urin antara kelompok 1, kelompok 2, kelompok 3
Hasil penelitian
Hasil pengambilan sampel kasus anak autis
Diagnosis autis dalam bentuk skor kendala interaksi sosial (KIS) ditegakkan
dengan instrumen KA3D. Kemudian diagnosis klinik ini disaring lagi melalui
pemeriksaan interrater klinik sebanyak 3 kali dengan menggunakan instrumen yang
sama. Semua interrater adalah dokter spesialis jiwa.
Selanjutnya pada anak yang memenuhi kriteria diagnostik autis, diukur
intensitas letupan emosinya (ILE) dengan instrumen AILE. Dengan cara ini diperoleh
dua kelompok sampel autis yaitu ATLE dan ADLE.
Dengan cara ini diperoleh 17 anak yang memenuhi kriteria autis. Selanjutnya
dengan menggunakan instrumen AILE pada 17 anak autis diperoleh 9 anak ADLE
(52,94%). Berarti sampel kelompok ATLE sebesar 8 orang (47,06%) (lihat Tabel 1).
Tabel 1. Sampel anak autis yang diperoleh menggunakan instrumen KA3D dan AILE
No
Umur
(tahun)
1
2
3
4
5
6
7
8
9
10
11
12
13
14
15
16
17
6
6
5
8
6
10
7
6
6
9
5
6
6
11
12
10
7
KIS
Nilai
11
8
8
8
7
9
3
8
8
9
6
6
4
5
7
9
6
ILE
Tingkat
sangat berat
sedang
sedang
sedang
sedang
berat
ringan
sedang
sedang
berat
ringan
ringan
ringan
ringan
sedang
berat
ringan
Nilai
44
0
6
3
1
13
0
0
0
44
0
0
0
0
44
4
3
6
Tingkat
berat
0
sedang
sedang
ringan
berat
0
0
0
berat
0
0
0
0
berat
sedang
sedang
Diagnosis
ADLE
ATLE
ADLE
ADLE
ADLE
ADLE
ATLE
ATLE
ATLE
ADLE
ATLE
ATLE
ATLE
ATLE
ADLE
ADLE
ADLE
Keterangan:
KIS: kendala interaksi sosial ; ILE: intensitas letupan emosi
ADLE: anak autis dengan letupan emosi; ATLE: anak autis tanpa letupan emosi
Pola supresi gelombang mu-EEG pada anak autis
Dari sampel 17 orang anak autis, diperiksa 15 orang karena 2 orang tidak ikut
karena letupan emosi. Pemeriksaan gelombang mu-EEG 3 kali berturut-turut.
Pemeriksaan pertama adalah gelombang mu-EEG pada keadaan basal
Pemeriksaan kedua adalah gelombang mu-EEG waktu melihat orang minum air jeruk
Pemeriksaan ketiga adalah gelombang mu-EEG waktu minum air jeruk
Pola supresi dilihat melalui metode sebagai berikut:
1. Terlihat gelombang-mu pada EEG basal
2. Waktu melihat orang minum air jeruk terlihat sebagai berikut:
- Gelombang mu tetap timbul, berarti gangguan supresi gelombang mu-EEG
- Gelombang mu tidak timbul, berarti supresi gelombang mu-EEG normal
3. Waktu minum air jeruk terlihat sebagai berikut:
- Gelombang mu tetap timbul, berarti artefact  pemeriksaan diulangi kembali
- Gelombang mu tidak timbul, berarti hasil EEG valid
Ternyata semua anak autis yang diperiksa mengalami gangguan supresi gelombang
mu-EEG karena gelombang mu tetap timbul saat melihat orang minum (Tabel 2).
Tabel 2. Pola supresi gelombang mu-EEG pada anak autis gender laki-laki
No
Umur Gelombang muEEG basal
1
6
2
5
3
8
4
6
5
10
6
7
7
6
8
6
9
9
10 6
11 6
12 11
13 12
14* 10
15* 9
Keterangan:
+
+
+
+
+
+
+
+
+
+
+
+
+
+
+
Gelombang muEEG sedang
minum air jeruk
Gelombang muEEG melihat
orang minum
air jeruk
Supresi
gelombang
mu-EEG
-
+
+
+
+
+
+
+
+
+
+
+
+
+
+
+
(-)
(-)
(-)
(-)
(-)
(-)
(-)
(-)
(-)
(-)
(-)
(-)
(-)
(-)
(-)
7
*.Sampel cadangan
Terlihat gelombang mu-EEG yang timbul pada keadaan basal tidak timbul saat minum air
jeruk, tetapi tetap timbul saat melihat orang lain minum air jeruk.
Kesimpulan:
1. Hasil pemeriksaan valid karena gelombang mu-EEG tidak timbul saat minum air jeruk
2. Terdapat gangguan supresi gelombang mu-EEG pada semua anak autis dalam sampel
karena gelombang mu-EEG tetap timbul saat melihat orang minum air jeruk
Pengukuran kadar 5-HIAA dan porphyrin urin pada anak autis
Pengukuran kadar 5-HIAA urin 24 jam dengan metode Elisa dan porphyrin
urin
24 jam dengan chromatography pada 17 anak autis menghasilkan temuan
berikut:
1. Kadar 5-HIAA pada anak autis masih dalam range normal yaitu < 24 mg/urin 24
jam ( range 2 – 24 mg/urin 24 jam. Nilai >10 < 24  makanan mengandung 5-HT
seperti pisang, kedelai, dll. Bila > 24mg/urin 24 jam berarti ada hiperserotoninergik).
2. Kadar Coproporphyrin semua < 50mcg (range normal 50 – 250 mcg/ urin 24 jam,
lebih dari 2,5 kali lipat  gangguan detoksifikasi logam secara umum) (Tabel 3).
Tabel. 3. Kadar 5-HIAA dan porphyrin urin 24 jam pada anak autis
No
1
2
3
4
5
6
7
8
9
10
11
12
13
14
15
16
17*
Umur (thn)
6
6
5
8
6
10
7
6
6
9
5
6
6
11
12
10
9
Kadar 5-HIAA mg/24 jam
17
7
5
9
4
12
6
5
7
18
6
9
6
4
8
16
16
Kadar porfirin urin mcg/ 24 jam
38
28
53
29
26
35
26
22
30
42
25
20
34
18
24
34
26
Keterangan:
*. Sampel cadangan
Kesimpulan:
1. Semua anak autis yang diperiksa ternyata kadar coproporphyrin urin 24 jam dibawah range
normal (50-250 mcg/urin 24 jam), yaiu semuanya < 50mcg.
Berarti tidak ada gangguan detoksifikasi logam.
8
2. Semua anak autis yang diperiksa ternyata kadar 5-HIAA urin 24 jam didalam range normal
(2-24 mg/urin 24 jam). Berarti tidak ada gangguan hiperserotoninergik.
Tetapi 5 dari 17 anak autis kadar 5-HIAA > 10 mg  setelah ditanya ulang ternyata mereka
baru saja mengkonsumsi susu kedelai dan pisang yang merupakan sumber 5-HT, yang di
metabolismekan menjadi 5-HIAA.
Pengambilan sampel kelola dan pemeriksaan supresi gelombang mu-EEG
Diperoleh sampel 15 orang anak normal usia sekolah sampai tanggal 20
Agustus 2008.. Pemeriksaan supresi gelombang mu-EEG dimulai tanggal 4 Oktober
2008 dan selesai dalam 1 bulan. Pemeriksaan dilakukan dengan cara sama seperti
anak autis tetapi makanan yang diberikan adalah ice cream yang tidak dapat diberikan
kepada anak autis karena merupakan produk susu. Ternyara tidak terdapat gangguan
supresi gelombang mu-EEG pada semua anak normal dalam sampel (Tabel 4).
Tabel 4. Pola supresi gelombang-mu EEG pada anak normal usia sekolah laki-laki
No
1
2
3
4
5
6
7
8
9
10
11
12
13
14
15
Umur Gelombang muEEG basal
8
8
9
7
9
9
9
7
7
7
8
9
8
9
8
+
+
+
+
+
+
+
+
+
+
+
+
+
+
+
Gelombang muEEG melihat
makan ice
cream
Gelombang muEEG sedang
makan ice
cream
Supresi
gelombang
mu-EEG
-
-
(+)
(+)
(+)
(+)
(+)
(+)
(+)
(+)
(+)
(+)
(+)
(+)
(+)
(+)
(+)
Keterangan:
Terlihat semua anak normal dalam sampel kelola mengalami supresi gelombang mu-EEG
baik bila makan ice cream maupun bila melihat orang lain makan ice cream
Kesimpulan:
Semua anak normal dalam sampel tidak mengalami gangguan supresi gelombang mu-EEG.
9
Kadar 5-HIAA dan porfirin dalam urin 24 jam pada anak normal usia sekolah
gender laki-laku
Diperoleh sampel 15 orang sampai tanggal 20 Agustus 2008.. Pemeriksaan
dimulai tanggal 6 Oktober 2008 (Tabel 5).
Tabel 5: Kadar 5-HIAA dan porfirin urin pada anak normal usia sekolah laki-laki
No
1
2
3
4
5
6
7
8
9
10
11
12
13
14
15
Umur (thn)
8
8
9
7
9
9
9
7
7
7
8
9
8
9
8
Kadar 5-HIAA mg/24 jam
7
7
7
8
8
12
10
6
8
8
10
8
6
16
8
Kadar porfirin urin mcg/ 24 jam
26
45
38
39
42
18
28
34
20
18
49
32
18
28
18
Keterangan:
(5-HIAA 2 – 10 mg/urin 24 jam. Nilai >10 < 24  makanan mengandung 5-HT seperti
pisang, kedelai, dll, > 24mg/urin 24 jam berarti ada hiperserotoninergik).
(Coproporphyrin 50 – 250 mcg/ urin 24 jam, lebih dari 2,5 kali lipat  ada gangguan
detoksifikasi logam secara umum).
Pembahasan
Perbedaan pola supresi gelombang mu-EEG antara anak autis dengan anak
normal
Pada penelitian tahap pertama ini terlihat semua anak autis dalam sampel
sebesar 15 orang semuanya mengalami supresi gelombang mu-EEG hanya bila sedang
minum, tetapi samasekali tidak mengalami supresi bila melihat orang minum.
Sedangkan kontrol anak normal dengan besar sampel sama semuanya mengalami
supresi gelombang mu-EEG baik bila sedang makan maupun melihat orang makan.
Berarti tujuan pertama penelitian tahun pertama ini yaitu membuktikan bahwa
supresi gelombang mu-EEG terjadi pada anak normal yang melakukan atau melihat
perilaku yang dilakukan dan pada anak autis bila melakukan perilaku terbukti.
10
Sebenarnya hal ini bukan temuan baru karena telah dibuktikan oleh Rizolatti
dkk pada tahun 1999 pada monyet dimana terlihat jelas terjadi supresi gelombang-mu
EEG pada monyet yang melihat kawannya menggapai kacang maupun yang sedang
menggapai kacang (Rizolatti and Craighero, 2004).
Logika dari pola supresi normal gelombang mu-EEG ialah sensitivitas neuron
otak sehingga setiap persepsi yang bernuansa emosional selalu membangkitkan
potensial aksi yang berekspresi sebagai gelombang EEG otak. Gelombang EEG
selalu berjalan pada satu aksis yang seharusnya datar. Tetapi karena potensial listrik
otak mahluk hidup tidak pernah mencapai titik nol, maka aksis itu juga bergelombang
sangat kecil sehingga selama ini dianggap tidak memiliki fungsi apapun. Bila suatu
potensial aksi akan menimbulkan cetusan gelombang akibat peningkatan aktifitas
pada persepsi bernuansa emosionil, maka cetusan itu akan mendatarkan gelombang
mu ke aksis, sehingga gelombang mu menghilang yang disebut supresi gelombang mu
EEG. Pada orang normal hal ini terlihat jelas pada saat melakukan perilaku bernuansa
emosional misalnya makan dan bila melihat orang lain melakukan perilaku tersebut.
Karena anak autis sama sekali tidak mempersepsi rangsang dari luar seperti melihat
orang makan, supresi gelombang mu-EEG pada anak autis hanya terjadi bila sedang
makan atau minum, dan tidak terjadi bila melihat orang lain makan atau minum
(Ramachandran and Oberman,2006).
Kadar 5-HIAA urin pada anak normal dan anak autis tanpa letupan emosi
(ATLE)
Rerata kadar 5-HIAA pada urin 24 jam pada ATLE adalah 6,25 mg dan pada
kontrol normal 8,60 mg yang masih dalam range normal (2–20 mg/24 jam). Rerata
kadar 5-HIAA tersebut pada anak normal lebih tinggi dari ATLE meskipub tidak
signifikan karena sampel kecil (Tabel 6).
11
Tabel 6. Kadar 5-HIAA urin pada ATLE dan kontrol normal
Kadar 5-HIAA urin mg/24 jam
Anak normal
ATLE
7
7
7
6
7
5
8
7
8
6
12
9
10
6
6
4
8
8
10
8
6
16
8
8,60 (SD 2,58)
6,25 (SD 1,49)
No
1
2
3
4
5
6
7
8
9
10
11
12
13
14
15
rerata
Keterangan:
Dengan one way anova diperoleh F-hitung 3,9 dengan p = 0,146. Dengan demikian dapat
disimpulkan bahwa rerata kadar 5-HIAA urin pada anak normal lebih tinggi dari pada ATLE,
tetapi kurang bermakna.
Kadar 5-HIAA urin pada anak normal dan anak autis dengan letupan emosi
(ADLE)
Rerata kadar 5-HIAA pada urin 24 jam pada ADLE adalah 11,125 mg dan
pada kontrol normal 8,60 mg yang masih dalam range normal (2–20 mg/24 jam).
Rerata kadar 5-HIAA tersebut pada anak normal lebih tinggi dari ADLE meskipub
tidak signifikan karena sampel kecil (Tabel 7).
Tabel 7. Kadar 5-HIAA urin pada ADLE dan kontrol normal
No
1
2
3
4
5
6
7
8
9
10
11
12
13
14
15
rerata
Kadar 5-HIAA urin mg/24 jam
Anak normal
ADLE
7
17
7
5
7
9
8
4
8
12
12
18
10
8
6
16
8
8
10
8
6
16
8
8,60 (SD 2,58)
11,125 (SD 5,46)
Keterangan:
12
Dengan one way anova diperoleh F-hitung 0,719 dengan p = 0,633. Dengan demikian dapat
disimpulkan bahwa rerata kadar 5-HIAA urin pada anak normal lebih rendah dari pada
ADLE, tetapi perbedaan kadar itu kurang bermakna.
Kadar porphyrin urin pada anak normal dan anak autis tanpa letupan emosi
(ATLE)
Rerata kadar porphyrin urin 24 jam pada ATLE adalah 25,37 mcg dan pada
kontrol normal 30,20 mcg yang masih dalam range normal (50–250 mcg/24 jam).
Rerata kadar porphyrin tersebut pada anak normal lebih tinggi dari ATLE meskipun
tidak signifikan karena sampel kecil (Tabel 8).
Tabel 8. Kadar porphyrin urin pada ATLE dan kontrol normal
No
1
2
3
4
5
6
7
8
9
10
11
12
13
14
15
rerata
Kadar porphyrin urin mcg/24 jam
Anak normal
ATLE
26
28
45
26
38
22
39
30
42
25
18
20
28
34
34
18
20
18
49
32
18
28
18
30, 20 (SD 10, 67)
25, 37 (SD 5,32)
Keterangan:
Rerata kadar porphyrin urin pada anak normal terlihat lebih tinggi dari ATLE, tetapi dengan
standard deviasi yang demikian besar dan sampel kecil tidak dapat dilakukan analisis statistik
untuk menilai kemaknaan dari perbedaan kadar ini.
Kadar porphyrin urin pada anak normal dan anak autis dengan letupan emosi
(ADLE)
Rerata kadar porphyrin urin 24 jam pada ADLE adalah 35,125 mcg dan pada
kontrol normal 30,20 mcg yang masih dalam range normal (50–250 mcg/24 jam).
Rerata kadar porphyrin tersebut pada anak normal lebih rendah dari ADLE meskipun
tidak signifikan karena sampel kecil (Tabel 9).
Tabel 5.10. Kadar porphyrin urin pada ADLE dan kontrol normal
Kadar porphyrin urin mcg/24 jam
No
Anak normal
ADLE
1
26
28
2
45
26
3
38
22
4
39
30
5
42
25
13
6
18
20
7
28
34
8
34
18
9
20
10
18
11
49
12
32
13
18
14
28
15
18
30, 20 (SD 10, 67)
35, 125 (SD 9,42)
rerata
Keterangan:
Rerata kadar porphyrin urin pada anak normal terlihat lebih rendah dari ADLE, tetapi dengan
standard deviasi yang demikian besar dan sampel kecil tidak dapat dilakukan analisis statistik
untuk menilai kemaknaan dari perbedaan kadar ini.
ola perbedaan kadar 5-HIAA dan porphyrin urin antara anak normal ATLE
dan ADLE
Terdapat suatu pola konsisten pada perbedaan kadar 5-HIAA dan porphyrin
urin antara kontrol normal dengan anak autis ATLE dan ADLE, meskipun perbedaan
itu secara statistik tidak signifikan, seperti berikut:
1.Kadar 5-HIAA dan porphyrin urin pada kontrol normal selalu lebih tinggi tidak bermakna
dari pada ATLE.
2.Kadar 5-HIAA dan porphyrin urin pada kontrol normal selalu lebih rendah tidak bermakna
dari pada ADLE
3.Kadar 5-HIAA dan porphyrin urin pada ADLE selalu lebih tinggi tidak bermakna daripada
ATLE.
Dari pola ini dapat ditarik kesimpulan sementara sebagai berikut:
1. Tujuan kedua penelitian tahun pertama ini yaitu membuktikan kadar 5-HIAA dan
porphyrin urin pada anak normal tidak berbeda dengan ATLE ternyata
pembuktiannya menemukan bahwa kadar metabolit trace tersebut justru pada ATLE
lebih rendah dari pada kontrol normal. Dengan demikian tujuan kedua tersebut telah
terlampaui meskipun tidak signifikan dari aspek statistik.
2. Tujuan ketiga penelitian tahun pertama ini yaitu membuktikan kadar 5-HIAA dan
porphyrin urin pada ADLE lebih tinggi dari pada ATLE terbukti meskipun tidak
signifikan dari aspek statistik.
Kesimpulan
Dari pencapaian target penelitian tahun pertama ini, diperoleh beberapa
temuan sebagai berikut:
1. Semua anak yang di diagnosis autisme melalui pemeriksaan klinik yang teliti
melalui proses interrater ternyata mengalami gangguan supresi gelombang muEEG.
14
2. Kadar 5-HIAA dan porphyrin urin pada anak autis dengan letupan emosi lebih
tinggi dari pada kontrol normal.
3. Kadar 5-HIAA dan porphyrin urin pada anak autis dengan letupan emosi lebih
tinggi dari pada anak autis tanpa letupan emosi.
4. Tetapi kadar 5-HIAA dan porphyrin urin baik pada sampel kontrol anak
normal maupun sampel anak autis tanpa letupan emosi dan anak autis dengan
letupan emosi masih berada dalam range normal sehingga kemungkinan
gangguan hiperserotonergik dan gangguan metallothionein dapat disingkirkan.
5. Terdapat kesan bahwa autisme tidak berkaitan dengan hiperserotonergik
maupun gangguan metallothionein.
6. Terdapat kesan bahwa kausa etiologik autisme terletak pada disfungsi neuron
cermin otak yang mengakibatkan secara biologik penyandang autisme tidak
tanggap terhadap rangsang dari dunia luar yang mengakibatkan mereka
mempunyai daya konsentrasi luar biasa
7. Disfungsi neuron cermin ini dapat dideteksi secara dini dengan menilai pola
supresi gelombang mu-EEG.
Tingginya kadar 5-HIAA secara relatif dibandingkan anak normal tetap
bertahan pada anak autis dengan letupan emosi meskipun telah diberlakukan diet yang
ketat terhadap beragam bahan makanan hewani dan nabati yang mengandung 5-HT
sebagai prekursor serotonin yang dimetabolisme menjadi 5-HIAA.
Tingginya kadar porphyrin secara relatif dibandingkan anak normal tetap
bertahan pada anak autis dengan letupan emosi meskipun telah diberlakukan diet yang
ketat terhadap beragam bahan makanan hewani seperti susu dan semua produk susu
yang mengandung kasein yang gangguan metabolismenya dianggap menghasilkan
casomorphine yang menimbulkan gejala letupan emosi mirip gejala putus opiat.
Dalam kaitan ini perlu diingat bahwa anak-anak dalam populasi normal ini
bebas mengkonsumsi apa saja seperti berbagai kue dari tepung terigu, coklat, dan ice
cream yang merupakan produk susu sebagai sumber kasein, tetapi anak autis dengan
ketat dihindari dari beragam makanan ini.
Dalam hal ini terdapat beberapa implikasi pada pemahaman ilmiah mengenai
autisme dan pendekatan terapeutik serta prevensi autisme sebasgai berikut:
1. Secara umum autisme terkesan tidak berkaitan dengan hiperserotonergik dan
gangguan detoksifikasi logam.
15
2. Kausa etiologik dari autisme dapat dideteksi secara dini melalui pemeriksaan
pola supresi gelombang mu-EEG.
3. Terdapat kemungkinan bahwa terapi diet terhadap autisme fungsi tinggi yang
sangat mengurangi pasokan nutrin esensiel dapat ditinggalkan.
Saran
1. Pemeriksaan pola supresi gelombang mu-EEG masih perlu diulangi pada sampel
yang lebih besar yang merupakan suatu penelitian multicenter berskala nasional.
2. Untuk titik tolak pemahaman yang sama, penegakan diagnosis autisme pada
penelitian ini dilakukan dengan menggunakan instrumen KA3D yang telah diuji
melalui penelitian hibah bersaing tahun pertama ini.
3. Untuk titik tolak pemahaman yang sama, assessment intensitas letupan emosi (ILE)
pada autisme pada dilakukan dengan menggunakan instrumen AILE yang telah
diuji melalui penelitian hibah bersaing tahun pertama ini.
4. Untuk memastikan pengaruh diet pada autisme, perlu diteliti dampak dari terapi
ABA-Simplifikasi pada anak autis fungsi tinggi yang diberi diet biasa dan diberi
Diet Bebas Kasein (DBK).
Manfaat terhadap bangsa
1. Pemeriksaan pola supresi gelombang mu-EEG dapat digunakan untuk deteksi dini
autisme dengan makna yang sama dengan test Mantoux, sehingga penyandang
autisme fungsi tinggi dapat dilatih sejak dini melalui metode pembelajaran khusus
untuk mencapai prestasi semaksimal mungkin sesuai kecerdasannya yang ditunjang
oleh daya konsentrasi luar biasa.
2. Dalam hal ini ”kecacatan” kendala interaksi sosial dimodifikasi menjadi ”asset”,
karena individu seperti ini mampu berjam-jam bekerja dibelakang komputer dan
laboratorium serta berkonsentrasi memikirkan atau mengerjakan hal-hal rumit yang
tidak mampu dikerjakan oleh orang normal yang selalu terganggu rangsang dari luar.
3. Dengan ditinggalkannya terapi diet yang meng restriksi pemasokan nutrin esensiel
pada anak autis fungsi tinggi kecerdasan mereka sejak dini dapat ditingkatkan dengan
diet kaya gizi sesuai prinsip 4 sehat-5 sempurna.
4. Dengan dapat dideteksi secara dini autisme melalui pemeriksaan pola supresi
gelombang mu-EEG maka dapat dirumuskan kebijakan publik yang menentukan
pemisahan antara klinik autis yang khusus menangani autisme fungsi tinggi tanpa
16
letupan emosi dengan klinik autis yang khusus menangani autisme fungsi rendah
dengan letupan emosi.
5. Pemisahan ini sangat penting supaya penyandang autisme fungsi tinggi dapat
dilatih mengembangkan kemampuannya semaksimal mungkin tanpa terganggu oleh
agresifitas atau keributan yang dilakukan oleh penderita autisme fungsi rendah dengan
letupan emosi.
DAFTAR PUSTAKA
Adnil Edwin Nurdin. Polimorfisme Taq I A Gen DRD2 dan Kepribadian sebagai Determinan
Penyalahgunaan Zat dan Perilaku Berprestasi. Disertasi untuk memperoleh gelar doktor
dalam ilmu kedokteran. Universitas Airlangga, 2004.
Adnil Edwin Nurdin. Metode Cepat Assessment Intensitas Letupan Emosi (AILE). Telah
diuji pada ujian kelayakan program doktor ilmu kedokteran. Universitas Airlangga, 2002.
American Psychiatric Association (APA). Diagnostic and Statistical Manual of Mental
Disorder (DSM) IV, Fourth Edition. APA Publ. Washington DC, 1994.
American Psychiatric Association (APA). Special Report on Autism.Seattle,1999
Auranen M, Varilo T, Alen R, et al (2003). "Evidence for allelic association on chromosome
3q25-27 in families with autism spectrum disorders originating from a subisolate of
Finland". Mol Psychiatry 8 (10): 879-84.
Auranen M, Vanhala R, Varilo T, et al (2002). "A genomewide screen for autism-spectrum
disorders: evidence for a major susceptibility locus on chromosome 3q25-27". Am J Hum
Genet 71 (4): 777-90.
Coutinho A, Oliveira G, Morgadinho T, et al (2004). "Variants of the serotonin transporter
gene (SLC6A4) significantly contribute to hyperserotonemia in autism". Mol Psychiatry 9
(3): 264-71.
Cherian MG, Jayasurya A, Bay BH. (2003) "Metallothioneins in human tumors and potential
roles in carcinogenesis" Mutation Research 533(1-2):201-209.
Devlin B, Cook E, Coon H, et al (2005). "Autism and the serotonin transporter: the long and
short of it". Mol Psychiatry 10 (12): 1110-6.
Dougherty MJ. The Genetics of Autism.Action Bioscience Genomics, 2000.
Eikeseth, S., Smith, T., Jahr, E. & Eldevik, E. (2002). Intensive Behavioral Treatment
atSchool for 4- to 7-Year-Old Children with Autism: A 1-Year Comparison Controlled
Study. Behavior Modification, 26 (1), 49-68.
Gauthier J, Joober R, Mottron L, et al (2003). "Mutation screening of FOXP2 in individuals
diagnosed with autistic disorder". Am J Med Genet A 118 (2): 172-5.
17
Geier DA, Geier MR. "A prospective assessment of porphyrins in autistic disorders: a
potential marker for heavy metal exposure." Neurotox Res. 2006 Aug;10(1):57-64.
Happe, Francesca; Angelica Ronald and Robert Plomin (2006). "Time to give up on a single
explanation for autism". Nat Neurosci 9 (10): 1218-20.
Jick, H; JA Kaye (December 2003). "Epidemiology and causes of autism". Pharmacotherapy
23 (12): 1524-30.
Lauritsen M, Pedersen C, Mortensen P (2005). "Effects of familial risk factors and place of
birth on the risk of autism: a nationwide register-based study". J Child Psychol Psychiatry
46 (9): 963-71.
Li J, Nguyen L, Gleason C, et al (2004). "Lack of evidence for an association between WNT2
and RELN polymorphisms and autism". Am J Med Genet B Neuropsychiatr Genet 126
(1): 51-7.
Marui T, Koishi S, Funatogawa I, et al (2005). "No association of FOXP2 and PTPRZ1 on
7q31 with autism from the Japanese population". Neurosci Res 53 (1): 91-4.
Conachie, H. & Diggl, T. (2006). Parent implemented early intervention for young children
with autism spectrum disorder: a systematic review. Journal of Evaluation in Clinical
Practice (early release)
Muhle R, Trentacoste S, Rapin I (2004). "The genetics of autism". Pediatrics 113 (5):
e 472-86.
Nataf R, Skorupka C, Amet L, Lam A, et al. "Porphyrinuria in childhood autistic disorder:
implications for environmental toxicity." Toxicol Appl Pharmacol 2006;214:99-108.
Ramachandran VS and Oberman LM. Broken Mirror: A Theory of Autism. Scientific
American, November 2006.
Rutter, M (January 2005). "Incidence of autism spectrum disorders: changes over time and
their meaning". Acta Paediatrica 94 (1): 2-15.
Report to the Legislature on the Principal Findings of the Epidemiology of Autism in
California Pilot Study. Retrieved on September 18, 2006.
Rizzolatti G and Craighero L. The Mirror Neuron System: Annu.Rev.Neurosci.2004.27: 16992.
Reichenberg, Abraham; et al. (September 2006). "Advancing Paternal Age and Autism"
(PDF). Archives of General Psychiatry 63 (9): 1026-1032.
Sallows, G. O. & Graupner, T. D. (2005). Intensive Behavioral Treatment for Children with
Autism: Four-Year Outcome and Predict
Serajee F, Zhong H, Mahbubul Huq A (2006). "Association of Reelin gene
polymorphisms with autism". Genomics 87 (1): 75-83.
Skaar D, Shao Y, Haines J, et al (2005). "Analysis of the RELN gene as a genetic risk factor
for autism". Mol Psychiatry 10 (6): 563-71.
Snyder A.W. (2001) "Paradox of the savant mind." Nature 413, 251–252.
18
Snyder A.W. et al. (2003) "Savant-like skills exposed in normal people by suppressing the
left fronto-temporal lobe." J. Integrative Neuroscience 2, 149–158.
Steffenburg S, Gillberg C, Hellgren L, Andersson L, Gillberg I, Jakobsson G, Bohman M
(1989). "A twin study of autism in Denmark, Finland, Iceland, Norway and Sweden". J
Child Psychol Psychiatry 30 (3): 405-16.
Surtees P, Wainwright N, Willis-Owen S, et al (2006). "Social adversity, the serotonin
transporter (5-HTTLPR) polymorphism and major depressive disorder". Biol Psychiatry
59 (3): 224-9.
Sutcliffe J, Delahanty R, Prasad H, et al (2005). "Allelic heterogeneity at the serotonin
transporter locus (SLC6A4) confers susceptibility to autism and rigid-compulsive
behaviors". Am J Hum Genet 77 (2): 265-79.
Sutcliffe J, Delahanty R, Prasad H, et al (2005). "Allelic heterogeneity at the serotonin
transporter locus (SLC6A4) confers susceptibility to autism and rigid-compulsive
behaviors". Am J Hum Genet 77 (2): 265-79.
Uhl GR, Elmer GI, La Buda MC, Pickens RW (2000). Genetics of Behavioral Disorder. Nida
Publication, 2000. 3-16.
Volavka J (1999).The Neurobiology of Violence. JNeuropsychiatry Clin Neurosci, 307-314.
Volkmar, F.R., Szatmari, P. & Sparro, S.S. (1993). Sex differences in pervasive
developmental disorders. Journal of Autism and Developmental Disorders, 23(4), 579591.
WHO.International Classification of Mental and Behavioral Disorder (ICD-10).Churchill
Livingstone. New York, 1994.
Ylisaukko-oja T, Nieminen-von Wendt T, Kempas E, et al (2004). "Genome-wide scan for
loci of Asperger syndrome". Mol Psychiatry 9 (2): 161-8.
19
Download