ARTIKEL YETTI MARLIDA HB 2009

advertisement
Produksi dan Karakterisasi Enzim Phytase dari Mikroba Endopitik dan Aplikasinya untuk
Meningkatkan Kualitas pakan Unggas
Production and Characterization of Phytase from Endophytic Microbe Its Aplication
for Increase the Quality of Bird Ration
Yetti Marlida1) Gita Ciptaan1) and Rina Delfita2)
1)
Department of Animal Nutrition, Faculty of Animal Science, Andalas University,
Padang, Indonesia, yettimarlida@yahoo.com
2)
Department of Biology, Andalas University, Padang, Indonesia
Abstract
The research was conducted to produce and characterization of phytase by Fusarium
verticillioides endophytic fungus that isolated from root of soy bean plant. The research
used experiment methode in laboratorium. The results of the research were based on the
production of the phytase optimalization of the production exhibited in pH 5.0,
temperature 50◦C and 48 h of incubation time. The fungus could be classified as
themofilic fungus. Based on the characterization the partial purified phytase were
exhibited pH activity 5.0, pH stability 2.5 – 5.0, otherwise temperature activity 50◦C and
stability 30 - 60 ◦C . the enzyme had broad substrate specificity. The application of the
enzyme to feed and ration 511 showed that rice bran more hydrolyze compared the other
feed in released the an organic phosphate from binding in phytate acid or P-phytate
linked.
Key word: endophytic fungi, phytase, phytate acid, P-phytate linked
Pendahuluan
Biji-bijian, legum dan minyak biji-bijian adalah tanaman yang lebih 90% tumbuh
di dunia yang dapat dijadikan sebagai cadangan utama zat-zat makanan untuk ternak.
Salah satu senyawa yang terpenting dalam tanaman adalah asam phytat (myo-inositol
hexakisphosphat). Dalam bentuk garam, asam phytat disimpan dalam bentuk senyawa
pospor yang tidak dapat larut, sekitar lebih dari 80% dari total pospor yang terdapat pada
biji-bijian dan legum.
Asam phytat juga disimpan dalam bentuk myo-inositol yang
merupakan senyawa yang sangat penting dalam mempengaruhi pertumbuhan. Reddy et
al., (1989) menyatakan asam pitat dan myo-inositol turunan disimpan pada beberapa
fungsi fisiologi penting dalam tanaman.
Asam phytat mempunyai struktur kimia yang sangat stabil, sangat berbeda dari
molekul organopospat yang dipunyai oleh senyawa pospat lainya, dimana menghasilkan
muatan negatif (negative charge) yang tinggi pada perubahan pH yang luas. Di bawah
kondisi fisiologi yang normal, asam phytat dapat mengkelat mineral essensial seperti Ca,
Mg, Fe dan Zn.
Asam phytat juga dapat mengikat asam amino dan protein dan
menghambat pencernaan oleh enzim pencernaan (Pallauf and Rimbach, 1996).
Selanjutnya asam phytat adalah komponen antinutrisi dalam tanaman untuk pangan
maupun untuk pakan, karena itu enzimatik hidrolisis asam phytat sangat diperlukan
sebelum dikonsumsi baik sebagai pangan maupun pakan.
Phosphatase adalah suatu enzim yang dapat mengkatalisis ikatan monopospoester
pada berbagai senyawa organopospat. Namun, enzim ini tidak dapat menghidrolisis
ikatan monopospoester pada asam phytat, karena itu hirolisis asam phytat hanya dapat
dikerjakan oleh spesial enzim yang dipunyai oleh enzim phytase. Enzim phytase (myoinositol hexakispospat pospohidrolase) dapat menghidrolisis asam phytat menjadi myoinositol
(myo-inositol yang membebaskan pospat an organik). Enzim phytase
tersebar dialam, seperti mikroorganisma, tanaman, dan jaringan tanaman.
Beberapa
enzim phytase telah di klon dan telah dikarakterisasi seperti enzim phytase dari
Aspergillus ficuum (ullah, 1988a), phytase dari Escherichia coli (Greiner et al,.1993), a
novel phytase dari Bacillus subtillis (Keovuo, 2000) dan phytase dari mamalia (Craxton
et al., 1997).
Mikroba endophytic adalah suatu mikroba yang diisolasi dari dalam tanaman
baik dari akar, daun dan batang. Berbagai metabolit sekunder telah coba dihasilkan dan
diteliti oleh sekelompok peneliti, baik sebagai senyawa antibiotik, antiviral dan senyawa
antikanker, sebagai antioksidant, aktivitas antiinsektisida, dan antidiabetik dan senyawa
antiimonosupresip (Strobel, 2002; Strobel and Daisy, 2003).
Sementara penelitian
antimikroba dan antikanker terus berlanjut untuk menghasilkan suatu novel
menggunakan mikroba endopitik.
Bare et al,. (2004) telah mengeksploitasi bakteri
endopitik Burkholderia cepacia sebagai pitoremidasi senyawa organik yang larut air dan
mudah terbang seperti toluene. Yetti (2001) menemukan bahwa Acremonium sp kapang
endipitik dapat menghasilkan enzim amylase pendegradasi pati yang berasal dari sagu,
kentang, beras, gandum, tapioca dan jagung dan pada tahun 2003 Yetti dkk telah juga
mengeksploitasi kapang endopitik penghasil enzim sellulase yang dapat mendegradasi
sellulosa pada limbah pertanian/industri (sabut sawit, sabut kelapa, bagase dan serbuk
gergaji). Namun, kemampuan kapang endopitik (Rhizoctonia sp. dan Fusarium
verticillioides) dalam menghasilkan enzim phytase belum ada yang melaporkan terutama
untuk diaplikasikan dalam pakan ternak ayam yang mengandung phosphor berasal dari
nabati, maka pada penelitian ini akan dicoba menemukan enzim phytase yang dihasilkan
kapang endopitik yang diisolasi dari dalam akar, batang, daun tanaman kedelai.
Diharapkan enzim yang dihasilkan mempunyai pH optimum sesuai dengan pH saluran
pencernaan ayam sehingga enzim phytase dapat bekerja optimum dalam membebaskan
mineral phosphor sehingga dapat dimanfaatkan ayam sebagai sumber mineral pospor.
Materi dan Metode Penelitian
Penelitian ini di rencanakan untuk 2 tahun, dimana penelitian tahun I telah
ditemukan kapang endoptik yang mempunyai kemampuan yang kuat mendegradasi asam
phytat yaitu Rhizoctonia sp. dan Fusarium verticillioides. Pada tahun ke II ini ada 3
tahap penelitian yang harus dikerjakan yaitu: 1) Optimalisasi produksi enzim phytase dari
kapang endopitik Rhizoctonia sp. dan Fusarium verticillioides (Yetti et al.,2008) menuju
skala industri; 2) Optimalisasi optimum kondisi enzim phytase (pH, suhu, substrat), 3)
Mencari metoda degradasi asam phytat yang tepat pada bahan pakan (jagung, dedak,
kedelai dan bungkil kelapa) dan pakan komersial.
1). Optimalisasi produksi enzim phytase dari kapang endopitik Rhizoctonia sp. Dan
Fusarium verticillioides
pH awal fermentasi
Sebelum menggunakan fermentor volume 2.5 liter, digunakan tabung erlemeyer
250 ml yang berisi 100 ml medium fermentasi yang mengandung 1,5 g glukosa, 0,2 g
NH4NO3, 0,05 g KCl, 0,05 g MgSO4, 0,03 g FeSO4 dan 0,03 g MnSO4 dan 0,05 g asam
phytat dalam gelas piala yang berisi 100 ml akuades (pH awal diatur mulai dari 2 – 7.5
dengan 0.5). Kemudian disterilkan di dalam otoklaf pada suhu 1210C dengan tekanan 15
lbs selama 15 menit. Setelah itu inokulum Rhizoctonia sp. dan Fusarium verticillioides
masing-masing sebesar 2% di inokulasikan kedalam medium, medium yang telah
diinokulasi kemudian ditempatkan pada shaker pada suhu ruang, selanjutnya enzim di
panen setiap 6 jam sekali dan ditentukan aktivitas phytase dan kandungan protein terlarut
enzim.
Suhu fermentasi
Suhu fermentasi juga sangat menentukan produksi dari suatu enzim, setelah
diperoleh pH awal fermentasi, sumber C dan N optimum, maka dengan kondisi optimum
tersebut ditentukan suhu optimum dengan menplot suhu fermentasi di mulai dari 30, 35,
4o, 45, 50, 55 dan 600C dengan metode sama denga metode diatas.
Lama fermentasi
Lama fermentasi dilakukan mengikuti metoda diatas pada pH, konsentrasi
substrat dan suhu fermentasi optimum. Lama fermentasi diatur mulai dari 12, 24, 36. 48,
60, 72, 96 dan 120 jam.
2) Optimalisasi optimum kondisi hidrolisis enzim phytase (pH, suhu, substrat)
Enzim phytase yang dihasilkan oleh salah satu kapang endopitik terbaik, harus di
ketahui optimum kondisi reaksinya serta substrat spesifik yang dapat dirombak oleh
phytase. Substrat spesifik phytase akan dicoba untuk mendegradasi bahan pakan ternak
asal nabati yang mempunyai kandungan asam phytat tinggi seperti dedak, kedelai, jagung
bungkil kelapa dan bungkil inti sawit, limbah biji kapuk, dan tepung gandum dan
dibandingkan kemampuanya dengan phytase komersial yang ada.
Apabila substrat
spesifik phytase ini tinggi pada bahan pakan yang kandungan asam phytatnya tinggi dan
banyak digunakan dalam susunan ransum unggas seperti dedak maka, phytase yang
dihasilkan ini sangat berpotensi sekali membantu penyediaan mineral pospor bagi unggas
dan membantu peternak dalam menurunkan harga pakan karena pospor anorganik yang
ditambahkan ke dalam susunan ransum selama ini cukup mahal harganya. Disamping itu
juga dapat membantu petani karena dapat mengurangi cemaran pospor pada lingkungan.
3). Mencari metoda degradasi asam phytat yang tepat pada bahan pakan (jagung,
dedak, kedelai dan bungkil kelapa) dan pakan komersial.
Untuk menemukan metoda degradasi asam phytatat yang tepat pada bahan pakan
dan pakan adalah dengan peningkatan mineral pospor yang di bebaskan dalam pakan
maka berbagai perlakuan dilakukan pada bahan pakan yang akan diuji antara lain:
Hidrolisis bahan pakan (bungkil kedelai, dedak dan jagung, bungkil inti sawit, bungkil
kelapa) dengan phytase terlebih dulu sebelum dicampur dalam susunan ransum serta
peningkatan mineral pospor dalam pakan komersial setelah diperlakukan dengan phytase
yang dihasilkan.
Hasil dan Pembahasan
1). Optimalisasi produksi phytase kapang endopitik Rhizoctonia sp.& Fusarium
verticillioides
Lama fermentasi
Sebelum melakukan produksi enzim phytase pada skala yang lebih besar seperti
menggunakan fermentor 10 atau 50 liter maka optimalisasi produksi enzim menggunakan
tabung erlemeyer 500 ml perlu dilakukan dimana lama fermentasi, suhu fermentasi dan
pH awal fermentasi perlu dilakukan satu persatu agar diperoleh aktivitas phytase
optimum dengan kondisi optimum. Pada Gambar 2, dapat dilihat bahwa lama waktu
fermentasi 48 jam diperoleh aktivitas optimum pada kedua kapang ini namun kapang
Fusarium verticillioides menghasilkan aktivitas lebih tinggi yaitu 0.78 U/ml lebih tinggi
dibandingkan dengan phytase yang dihasilkan oleh Rhizoctonia sp dengan aktivitas hanya
0.46 U/ml. Perbedaan aktivitas yang dihasilkan oleh kedua kapang ini tergantung pada
kemampuan kapang tersebut untuk diinduksi oleh asam phytat yang berfungsi sebagai
induser dan memaksa kapang endopitik untuk mengeluarkan enzim phytase. Hal yang
sama juga didukung oleh penelitian yang telah dilakukan oleh Yetti et al., (2000) dalam
memproduksi enzim pemecah pati mentah dan Yetti et al., (2002) dalam memproduksi
enzim sellulase. Pada hasil penelitian ini diperoleh lama fermentasi hanya 48 jam (2 hari)
untuk kedua jenis kapang.
Kedua kapang ini memiliki masa adaptasi pertumbuhan yang cukup pendek hanya
10 jam, setelah itu mengalami masa pertumbuhan awal pada 11-30 jam, selanjutnya masa
pertumbuhan eksponensial pada 30 – 48 jam, dimana pada periode pertumbuhan
eksponensial ini enzim phytase di produksi. Namun pada periode lanjutan 41 – 70 jam
terjadi periode penurunan pertumbuhan dimana komponen nutrisi yang dibutuhkan
kapang sudah mulai menurun dan zat zat yang menghambat pertumbuhan juga sudah
mulai dihasilkan. Sedangkan pada masa 71 -96 jam terjadi periode menuju kematian.
Menurunnya aktivitas enzim phytase pada 41 -70 jam, hal ini disebabkan tingginya
kosentrasi pospat an organik yang dibebaskan ke dalam medium karena kerja enzim
phyase yang di produksi dalam medium, sehingga pospat an organik dapat menghambat
(inhibit) aktivitas katalitik phytase. Hal yang sama juga dilaporkan oleh Greiner et al.,
(1993) dan Liu et al., (1998).
0.9
Aktivitas Enzim (U/ml)
0.8
Rhizoctonia sp.
Fusarium verticillioides
0.7
0.6
0.5
0.4
0.3
0.2
0.1
0
0
10
20
30
40
50
60
70
80
90
100
110
Lama waktu fermentasi (jam)
Gambar 2. Penentuan lama fermentasi kapang Rhizoctonia sp.& Fusarium verticillioides
dalam memproduksi phytase pada medium yang mengandung asam phytat
sebagai induser
Suhu fermentasi
Suhu optimum fermentasi suatu kapang dalam memproduksi suatu metabolit
sekunder sangat menentukan apakah suatu produk yang dihasilkan lebih termostabil atau
tidak, Pada penelitian ini diharapkan enzim phytase yang dihasilkan termostabil minimal
sampai pada suhu 65◦C yang dapat tahan pada proses pelleting. Pada Gambar 3, dapat
dilihat bahwa kedua kapang ini mempunyai aktivitas optimum pada suhu 50◦C, dimana
phytase yang dihasilkan kapang Fusarium verticillioides mempunyai aktivitas lebih
tinggi 1.5 kali dibandingkan dengan phytase yang dihasilkan Rhizoctonia sp. Pada suhu
60◦C phytase dari Fusarium verticillioides masih mempunyai aktivitas sekitar 60%.
Penelitian yang sama juga telah dilaporkan untuk beberapa phytase yang berasal dari
mikroba (Konietzny and Greiner, 2002) dengan optimum temperatur and within the
optimum temperatur 45–55 ◦C ditentukan untuk pengkuran beberapa produk phytase
(Boyce and Walsh, 2006).
3
Aktivitas Enzim (U/ml)
2.5
Rhizoctonia sp.
Fusarium verticillioides
2
1.5
1
0.5
0
0
10
20
30
40
50
60
70
80
90
Suhu (oC)
Gambar 3. Penentuan suhu fermentasi kapang Rhizoctonia sp.& Fusarium verticillioides
dalam memproduksi phytase pada medium yang mengandung asam phytat
sebagai induser
pH awal fermentasi
pH suatu larutan mempunyai kisaran pH asam, basa atau netral. Pada Gambar 4,
dapat dilihat bahwa kapang Rhizoctonia sp mempunyai aktivitas tertinggi pada pH 4.0
dengan aktivitas phytase sekitar 2.8 U/ml, dimana pada pH optimum yang diperoleh
menggunakan Fusarium verticillioides adalah 5.0 dengan aktivitas phytase adalah 6.1
U/ml. Pada penelitian ini terlihat bahwa dari ketiga optimalisasi yang telah dicobakan
kapang Fusarium verticillioides menghasilkan phytase yang lebih tinggi dan hampir
menyamai phytase komersial dibandingkan Rhizoctonia sp, maka untuk penelitian
selanjutnya akan dipakai hanya kapang Fusarium verticillioides.
7
6
Rhizoctonia sp.
Aktivitas Enzim (U/ml)
Fusarium verticillioides
5
4
3
2
1
0
0
1
2
3
4
5
6
7
8
9
pH
Gambar 4.Penentuan pH fermentasi kapang Rhizoctonia sp.& Fusarium verticillioides
dalam memproduksi phytase pada medium yang mengandung asam phytat
sebagai induser
2) Optimalisasi optimum kondisi hidrolisis enzim phytase (pH, suhu, substrat)
Setelah diketahui suhu, lama dan pH fermentasi optimum untuk memproduksi
enzim phytase maka enzim phytase selanjutnya di produksi dalam fermentor volume 10
liter dengan volume enzim 5 liter. Setelah 10 kali produksi maka diperoleh 50 liter enzim
phytase kasar. Untuk pengujian termostabiliti, acid stabiliti dan substrate spesifik untuk
enzim phytase yang diproduksi maka enzim phytase kasar harus dimurnikan terlebih
dahulu menggunakan pegendapan dengan ammonium sulpat dengan kejenuhan antara 1080%, sehingga diperoleh enzim phyase setengah murni (partial purified) yang
aktivitasnya jauh lebih tinggi dibandingkan phytase kasar, karena protein lainya sudah
tidak ada lagi dalam phytase. Phytase setengah murni kemudian diukur termostabiliti,
acid stabiliti dan substrate spesifik.
Karakterisasi phytase murni
pH aktivitas dan stabilitas
Partial purifikasi phytase meujukan pH maksimum 5.0 dengan pH stabilitas 2.5 –
5.0 yang dapat dilihat pada Gambar 5 dibawah ini. Pada pH 6.0 aktivitas hanya tinggal
50%, apabila pH terus ditingkatkan maka menjadi 7.0 aktivitas hanya tinggal 30%.
Menurut Casey and Walsh (2004) menyatakan bahwa rang pH yang dapat memberikan
fasilitas yang baik asam phytat dapat di degradasi dengan baik adalah dalam saluran
saliva (pH 5.0 - 7.0), stomach/lambung (pH 3.5 - 4.5) karena adanya stimulasi sekresi
asam, dan pada bahagian atas duodenum (pH 4.0 – 6.0).
Phytase yang dihasilkan pada penelitian ini hampir menyamai pH phytase
komersial yang sangat cocok untuk diaplikasikan pada pakan ternak. Partial purifikasi
phytase juga menunjukan stabilitas yang sangat signifikan pada pH rendah, dimana tidak
terdapat kehilangan aktivitas bila diinkubasi pada pH 2.5 selama 6.5 jam.
Temperatur aktivitas dan stabilitas
Temperatur optimum partial purifikasi phyase ditemukan 50◦C (Gambar 6),
dengan stabilitas dari suhu 30 - 50◦C, pada rentang suhu tersebut aktivitas tetap stabil
setelah diperlakukan pada suhu tersebut selama 5 menit, namun bila suhu ditingkatkan
menjadi 60◦C aktivitas phytase hanya tinggal 70%. Termostabiliti profil partial purifikasi
enzim ini mengilustrasikan bahwa enzim ini lebih termostabil dari 2 jenis enzim phytase
komersial dan phytase dari Aspergillus niger yang diteliti oleh Casey and Walsh (2004).
100
90
80
Relative aktivitas
70
60
50
40
30
20
10
0
2.5
3
3.5
4
4.5
5
5.5
6
6.5
7
7.5
pH reaksi
Gambar 5.pH aktivitas dan stabilitas partial purifikasi phytase yang direaksikan pada pH
2.5 – 8.0
Substrat spesifisitas
Hidrolisis sodium phytat dan berbagai bahan pakan yang mengandung asam
phytat oleh partial purifikasi phytase diukur sesuai dengan kondisi optimum reaksi yaitu
pada pH 5.0 suhu 50◦C selama 1 jam. Relativ aktivitas masing masing substrat dapat
dilihat pada Gambar 7. Enzim menunjukan afinitas yang tinggi pada asam phytat yang
terdapat di dalam dedak padi, diikuti dengan bungkil kedelai, jagung dan bungkil kelapa.
Berdasarkan substrat spesifisitas terdapat 2 klas phytase yang telah diidentifikasi oleh
Quan et al., (2004) yaitu: 1)phytase dengan spesifisitas yang luas dan 2) phytase yang
spesifik hanya dapat menghidrolis asam phytat. Phytase dengan spesifisitas yang luas
menunjukan aktivitas yang sangat nyata pada senyawa pospat seperti β-gliseropospat, ρnitropenilpospat, dan D-fruktosa pospat serta dapat mendegradasi asam phytat menjadi
8
myoinositol monopospat atau myoinositol. Phytase dengan substrat spesifisitas yang
sempit mempunyai
spesifik aktivitas khusus pada myoinositol 1-monopospat dan
menghasilkan myoinositol tri dan bipospat yang terakumulasi selama degradasi oleh
phytase.
100
90
80
Relativ aktivitas (%)
70
60
50
40
30
20
10
0
30
35
40
45
50
55
60
65
70
75
80
Suhu reaaksi (C)
Gambar 6.Temperatur aktivitas dan stabilitas partial purifikasi phytase yang direaksikan
pada suhu 30 – 80 ◦C
Pada penilitian ini phytase yang dihasilkan Fusarium verticillioides kapang
endopitik tergolong pada kategori yang pertama yaitu phytase yang mempunyai substrat
spesifisitas yang luas pada bahan bahan pakan yang diujikan. Sekelompok peneliti juga
melaporkan (Palacios et al.,(2005); Wyss et al.,(1999) menyatakan bahwa phytat
degrading
enzim/phytase
menunjukan
substrat
spesifisitas
yang
luas
telah
memperlihatkan untuk mendegradasi asam phytat menjadi myoinositol monopospat tanpa
terjadinya akumulasi intermediet yang sangat diinginkan untuk dapat diaplikasikan dalam
pakan ternak.
3). Mencari metoda degradasi asam phytat yang tepat pada bahan pakan (jagung,
dedak, kedelai dan bungkil kelapa) dan pakan komersial untuk tujua aplikasi
Pengujian kemampuan phytase yag dihasilkan dalam penelitian dilanjutkan untuk
mereaksikan partial purifikasi phytase yang ditemukan dengan unit tertentu dengan
beberapa bahan pakan dan pakan komersial 511 pada pH 2.5 dengan lama reaksi berbeda
pada suhu 50◦C. Pada Gambar 8, dapat dilihat bahwa dedak padi lebih baik didegradsi
dibandingkan bahan pakan lain dan pakan komersial 511.
100
90
80
Relative aktivitas (%)
70
60
50
40
30
20
10
0
asam fitat
dedak
jagung
Substrat
b.kedelai
b.kelapa
Gambar 7. Substrat spesifisitas partial purifikasi phytase pada bahan pakan
menggunakan asam phytat sebagai kontrol
Banyak faktor yang dapat mempengaruhi tingkat hidrolisi asam phytat oleh enzim
phytase, disamping suhu, pH, lama reaksi jenis bahan yang didegradasi juga sangat
menentukan. Dedak padi mempunyai kandungan asam phytat paling tinggi dibandingkan
bahan – bahan lain. Pada Gambar 8 dapat dilihat bahwa lama reaksi memberikan
pengaruh yang sangat nyata pada pospat an organik yang di bebaskan. Profil kerja enzim
memperlihatkan kurva kuadratik seiring dengan peningkatan waktu reaksi. Hal yang
sama juga ditemukan oleh Wu et al., (2004); bahwa suplementasi ransum berbasis
gandum dengan phytase menghasilkan tingkat hidrolisis P-phytat meningkat mengikuti
pola kuadratik. Pada semua bahan yang diujikan dicapai optimal pospat yang di bebaskan
adalah pada lama reaksi 4.5 jam. Yang cukup menarik pada penelitian ini adalah tingkat
kekuatan hidrolisis berbeda sesuai dengan jenis bahan nya, setelah dedak padi, bungkil
kedelai dan ransum 511 adalah pada urutan kedua dan ketiga, walaupun pada 0.5 jam
pertama reaksi pospat yang dibebaskan ransum 511 sangat rendah hal ini diduga adanya
mineral mikro dan makro yang ada dalam ransum dapat menjadi inhibitor, namum pada
reaksi 2.5 jam pengaruh tersebut dapat ditolerir.
Hidrolisis asam phytat oleh enzim phytase juga dapa dipengaruhi konsentrasi Pphytat, konsentrasi enzim, sumber phytase dan ada/tidak adanya phytase endogenous
dalam bahan pakan atau ransum. Pada gambar 8 dapat dilihat bahwa degradasi asam
phytat paling rendah adalah pada jagung dan bungkil kelapa.
Hal yang sama juga
dilaporkan oleh Zyla et al ., (2000) menyatakan phytase secara nyata dapat membebaskan
lebih banyak p-phytat pada ransom yang berbasis gandum dibandingkan ransom yang
berbasis jagung 911.0 dan 7.8%). Wu et al ., (2003) juga menambahkan bahwa secara
umum hasil penelitian in vitro diperoleh respon penambahan phytase tergantung pada
ransom berbasis bijian, ransum yang berbasisi jagung umumya mempunyai tingkat
responding lebih kecil dibandingkan ransum berbasis gandum.
KESIMPULAN
Penelitian yang telah dilakukan selama 10 bulan dapat disimpulkan bawa kapang
Fusarium verticillioides
mampu menghasilkan enzim phyase yang dapat diaplikasikan
diaplikasikan pada bahan pakan maupun ransum komersial. Optimalisasi produksi enzim
ini diperoleh adalah pada suhu 50◦C, pH 5.0 dan lama inkubasi hanya 48 jam (2 hari).
Berdasarkan suhu pertumbuhan kapang ini sudah tergolong kapang yang berjenis
termopilik.
Karakterisasi partial purifikasi phytase menunjukan bahwa enzim yang
dihasilkan menpunyai pH stabilitas 5.0 dan pH stabilitas 2.5 -5.0, serta suhu stabilitas
50◦C dan suhu stabilitas 30 - 60◦C . Substrat spesifisitas enzim ini tergolong pada
substrat spesifisitas yang luas yang dapat mendegradasi asam phyatat yang terdapat pada
bahan pakan seperti dedak, jagung, bungkil kedelai dan bungkil kelapa.
Aplikasi partial purifikasi phytase pada berbagai bahan pakan dan rasum komersial
menunjukan bahwa pospat an organik yang dibebaskan tertinggi dihasilkan oleh dedak
padi, diikuti oleh bunkil kedelai, ransum 511, bungkil kelapa dan jagung. Bervariasinya
tingkat hidrolisis asam phytat oleh enzim phytase ternyata dipengaruhi oleh berbagai
faktor tidak hanya suhu. pH dan lama reaksi tetapi juga jenis enzim dan subsrat yang
digunakan.
55
dedak
b.kedelai
50
b.kelapa
ransum 511
jagung
45
40
Pi (nmol/ml)
35
30
25
20
15
10
5
0
0
0.5
1
1.5
2
2.5
3
3.5
4
4.5
5
5.5
6
6.5
7
lama reaksi phytase (jam)
Gambar 8. Pospat an organik yang dibebaskan oleh partial purifikasi phytase pada pH
2.5 suhu 50◦C dengan lama reaksi berbeda (nmol/ml)
DAFTAR PUSTAKA
AOAC. 2000. Official Methods of Analisis Associatiation of Agriculture Chemist
Virginia,D.C., U.S.A, Chapter 4 p: 1-40
Anno, T., Nakanishi, K,. Matsuno, R., Kamikubo, T. (1995) Ezymatic elimination of of
phytate in soybean milk. J. Japan Soc. Food Sci. Technol. 32, 174-180.
Billington, D. C. (1993) The Inositol Phosphates. Chemical Synthesis and Biological
Significance. Verlag Chemie, Weinheim.
Blank, G. E., Pletcher, J. and Sax, M. (1971) The structure of myo-inositol
hexaphosphate, dodecasodium salt octama-contahydrate: a single crystal x-ray
analysis. Biochem. Biophys. Res. Commun. 44, 319-325.
Cheryan, M. (1980) Phytic acid interactions in food systems. CRC Crit. Rev. Food Sci.
Nutr. 13,297-335.
Costello, A. J. R., Glonek, T. and Myers, T. C(1976) Phosporus-31 nuclear magnetic
resonance – pH titration of hexaphosphate (phytic acid). Carbohydr. Res. 46, 156171.
Craxton, A, Caffrey, J.J., Burkhart, W., Safrany, S.T. and Shears, S. B. (1997) Molecular
cloning and expression of a rat hepatic multiple inositol polyphosphate phosphatase.
Biochem, J. 328, 75-81.
Davies, N.T. (1982) Effects of phytic acid on mineral ovailability. In Dietary Fiber in
Health and Disease. Vahoung, G. V. and Kritchevsky, D., Eds., Plenum Press, New
York.
De Rham, O. and Jost, T. (1979) Phytate protein interactions in soybean extracts and
lowphytate soy protein products. J. Food Sci. 44, 596-600.
Deshpande, S. S. and Cheryan, M. (1984) Effect of phytic acid, divalent cations, and their
interactions on alpha-amylase activity. J. Food Sci. 49, 516-524.
Dvorakova, J. (1998) Phytase: sources, Preparation and Exploitation. Folia Microbiol. 43,
323-338.
Fretzdorff, B, Brummer, J. M. Rochen, W., Greiner, R., Konietzny, U. and Jany, K. D.
(1995) Reduktion des Phytinsaure-Gehaites bei der Herstellung von Backwaren und
Getreidenahmitteln. AID-Verhraucherdienst 40, 12-20.
Freund, W. D., Mayr, G. W:, Tietz, C. and Schultz, J. E. (1992) Metabolism of inositol
phosphates in the protozoan Paramecium. Eur. J. Biochem. 207, 359-367.
Graf, E., Empson, K. and Eaton, J. W. (1987) Phytic acid. A natural antioxidant. J. Biol.
Chem, 262, 11647-11651.
Greaves, M. P., Anderson, G. and Webley, D. M. (1967) The hydrolysis of inositol
phosphates by Aerobacter aerogenes. Biochim. Biophys. Acta 132, 412-418.
Greiner, R., Konietzny, U. and Jany, K. D. (1993) purification and characterization of
two phytases from Escherichia coli. Arch. Biochem. Biophys. 303, 107-113.
Greiner, R., Haller, E., Konietzny, U. and Jany, K.D. (1997) purification and
characterization of a phytase from Klebsiella terrigena. Arch. Biochem. Biophys.
341, 201-206.
Howson, S. J. and Davis, R. J. (1983) Production of phytate-hydrolysing enzyme by
fungi. Enzyme Microbiol. Technol, 5, 377-382.
Inagawa, J., Kiyosawa, I. and Nagasawa, T. (1987) effect of phytic acid on the hydrolysis
of lactose with beta-galactosidase. Agric. Biol. Chem. 51, 3027-3032.
IUPAC-IUB (Commission on Biochemical Nomenclature) (1977) Nomenclature of
phosphorus containing compounds of biochemical importance. Eur. J. Biochem. 79,
1-9.
Irving, G. C. J. and Cosgrove, D. J. (1971) Inositol phosphate phosphatase of microbial
origin. Observations on the nature of the active center of a bacterial (Pseudomonas
sp.) phytase. Austral. J. biol, sci. 24, 1559-1564.
Johnson, L. and Tate, M. (1969) the structure of myo-inositol penthaphosphates. Ann.
A.N. acad. Sci. 165, 526-535.
Knuckles B.E., Betschart A.A. (1987): Effect of phytate and other myo-inositol esters on
α-amylase digestion of starch. J. Food Sci., 52, 719–721.
Kim, Y. O., Kim, H. K., Bae, K. S., Yu, J. H. and Oh, T. K. (1998a) purification and
properties of a thermostable phytase from Bacillus sp. DS11. Enzyme Microbiol.
Technol. 22, 2-7.
Laboure, A. M., Gagnon, J. and Lescure, A. M. (1983) Purification and characterization
of a phytase (myo-inositol hexakisphosphate phosphohydrolase) accumulated in
maize (Zea mays) seedlings during germination. Biochem. J. 295, 413-419.
Lambrechts, C., Bose, H., G., galzy, P.(1992) untilization of phytate by some yeast.
Biotechnol. Lett. 14, 61-66.
Laumen, K. and ghisalba, O. (1994) preparative scale chemo-enzymatic synthesis of
optically pure D-myo-inositol 1-phosphate. Biosci, Biotech. Biochem. 58, 20462049.
Liu, B. L., Rafiq, A., Tzeng, Y. M. and Rob, A. (1998). The induction and
characterization of phytase and beyond. Enzyme Microbiol. Technol. 22, 415-424.
Maugenest, S., Martinez, I., Godin, B., Perez, P. and Lescure, A. M. (1999) Structure of
two maize phytase genes and their spatio-temporal expression during seedling
development. Plant mol. Biol. 39, 503-514.
Mochizuki, D. and Takahashi, H. (1999) Method for producing phytase. Patent
application EP 0931837-A.
Nayini, N. R. and Markakis, P. (1984) The phytase of yeast. Food Sci. Technol. 17, 126132.
Nayini, N. R. and markakis, P. (1986) phytic Acid: Chemistry and Applications.
Pallauf,J. and Rimbach, G. (1996) Nutritional significance of phytic acid and phytase.
Arch. Anim. Nutr. 50, 301-319.
Powar, V.K. and Jagannathan, V. (1982) Purfication and properties of phytate-specific
phosphatase from Bacillus subtilis. J. Bacteriol. 151, 1102-1108.
Ravindran, V., S. Cabahug, G. Ravindran and W.L. Bryden, 1999. Influence of microbial
phytase on apparent ileal amino acid digestibility of feedstuffsfor broilers. Poult.
Sci., 78: 699-706.
Ravindran, V., P.H. Selle and W.L. Bryden, 2000. Role of microbial phytase in poultry
and pig nutrition. Proceedings of the Third European Feed EnzymeSymposium,
Noordwijkerhout, the Netherlands.
Rosen, G., 2002. Microbial phytase in broiler nutrition. In: Recent Advances in Animal
Nutrition (Eds. Garnsworthy, P.C. and Wiseman, J.), Nottingham University Press,
Nottingham, UK. pp: 105-117.
Reddy, N. R., Pierson, M. D., Sathe, S. K. and Salunkhe, D. K. (1989) Phytates is cereals
and legumes. CRC Press, Inc., Boca Raton, Fla.
Sandberg A.S and Svanberg .U. 1991. Phytate hydrolysis by phytase in cereals;effect on
in vitro estimation of iron availability. Journal of Food Science 56 (5) 1330-1333.
Selle P.H., and V. Ravindran,2007. Microbial phytase in poultry nutrition, Anim. Feed
Sci. Technol. 13 (2007), pp. 1–41
Scott, J.J. (1991) Alkaline phytase activity in nonionic detergent extracts of legume
seeds. Plant physiol. 95, 1298-1301.
Shah, V.and Parekh, L.J. (1990) Phytase from Klebsiella sp. No. PG-2: Purification and
properties. Indian J. Biochem. Biophys. 27, 98-102.
Shieh, T. R. and Ware, J. H. (1968) Survey of microorganisms for the production of
extracellular phytase. Appl. Microbiol. 16, 1348-1351.
Shieh, T.R., Wodzinski, R. J. and Ware, J.H. (1969) Regulation of the formation of acid
phosphatase by inorganic phosphate in Aspergillus ficuum. J. Bacteriol. 100, 11611165.
Shimizu, M. (1992) Purfication and characterization of phytase from Bacillus subtilis
(natto) N-77. Biosci. Biotechnol. Biochem. 56, 1266-1269.
Simell, M., Turunen, M., Piironen, J. and Vaara, T. feed and food applications of phytase.
Lecture at 3rd Meet. Industrial Applications of Enzymes, Barcelona, Spain. 1989.
Singh, M. and Krikorian, A. D. (1982) inhibiton of trypsin activity in vivo by phytate. J.
Agric. Food Chem. 30, 799-805.
Tambe, S. M., Kaklij. G. S., Kelkar, S. M. and Parekh, L. J. (1994) Two distinct
molecular forms of phytase from Klebsiella aerogenes: evidence for unusually small
active enzyme peptide. J. Ferment. Bioeng. 77, 23-27.
Ullah, A. H. J. (1988a) Aspergillus ficuum phytase: partial primary structure, substrate
selectivity, and kinetic characterization. Prep. Biochem. 18, 459-471.
Volfova, O., Dvorakova, J., Hanzlikova, A. and Jandera, A. (1994) Phytase from
Aspergillus niger. Folia Microbiol. 39, 481-484.
Wodzinski, R. J. and Ullah, A. H. J. (1996) Phytase. Adv. Appl. Microbiol. 42, 263-302.
Wyss, M., Pasamontes, L., Friedlein, A., Remy, R., Tessier, M., Kronenberger, A.,
Middendorf, A., Lehmann, M., Shnoebelen, L., Rothtlisberger, U., Kusznir, E., Wahl,
G., Muller, F., Lahm, H. W., Vogel, K., and van Loon, A. P. G. M. (1999a)
biophysical characterization of fungal phytases (myo-inositol hexakisphosphate
phosphohydrolases): molecular size, glycosylation pattern, and engineering of
proteolytic resistance. Appl. Environ. Microbiol. 65, 359-366.
Wu, Y.B., V. Ravindran and W.H. Hendriks, 2003. Effects of microbial phytase,
produced by solid-state fermentation, on the performance and nutrient utilization of
broilers fed maize- and wheat-based diets. Br. Poult. Sci., 44: 710-718.
Wu, Y.B., V. Ravindran, D.G. Thomas, B.J. Birtles and W.H. Hendriks, 2004. Influence
of phytase and xylanase, individually or in combination, on the performance,
apparent metabolisable energy, digestive tract measurements and gut morphology in
broilers fed wheat-based diets containing adequate level of phosphorus. Br. Poult.
Sci., 45: 76-84.
Yetti.M. 1994.Kandungan asam fitat, enzim fitase dan ketersediaan mineral Ca dan Fe
pada proses pembuatan tahu menggunakan koagulan, GDL, CaSo4 dan asam. Thesis
pada Fakultas Ilmu pangan, IPB. Bogor
_______2001. Isolation and purification of raw satarch degrading enzyme from
Acremonium endophytic fungus and its application for glucose production.
Disertation of Doctoral at University Putra Malaysia, Malaysia
________ 2003. Penampilan produksi ternak domba menggunakan pakan berserat tinggi
yang difermentasi dan disuplementasi dengan enzim sellulase yang dihasilkan oleh
kapang endopitik. Laporan HB X/II
Yoon, S. J., Choi, Y. J., Min, H. K., Cho, K. K., Kim, J. W., Lee, S. C. and Jung, Y. H.
(1996) Isolation and identification of phytase-producing bacterium, Enterobacter sp.
4, and enzymatic properties of phytase enzyme. Enzyme Microbiol. Technol. 18,
449-454.
Zyla, K., J. Koreleski, S. Swiatkiewicz, A. Wikiera, M. Kujawski, J. Piironen and D.R.
Ledoux, 2000. Effects of phosphorolytic and cell wall-degrading enzymes on
performance of growing broilers fed wheat-based diets containing different calcium
levels. Poult. Sci., 79: 66-76.
Download