Artikel Mangku Mundana dan Jaswandi

advertisement
PENINGKATAN KEBERHASILAN PRODUKSI EMBRIO
SECARA IN VITRO PADA SISTEM INKUBASI TANPA CO2 5%
MELALUI MODIFIKASI TEKNIK KO-KULTUR
Mangku Mundana dan Jaswandi
Fakultas Peternakan Universitas Andalas
Abstract
The objective of this research is to find out the best of condition and a long
time of cell for co-culture in incubation without CO2 5% system.
The cattle oocytes were collected from slaughterhouse, after that it was matured
and fertilization by in vitro. The fertilized oocytes were cultured with two
treatment, there are two treatment: the first of treatment was two condition cocultur (fresh and frozen) and the second was a long time co-culture (1, 2, and 3
days). The cell line used in this experiment were oviduct cell The number of
embryo development in cleavage, eight cell, and morula stages for its treatments
were observed every 48 hours. The data were analyzed by factorial 2 x 3 in
Completely Randomyzed Design.
The result of this research showed that condition and a long time co-culture in
the the oviduct cell were not significant for development the embryos stages were
produced in incubation without CO2 5% system.
Key word : in vitro embryo, co-culture, oviduct cell
PENDAHULUAN
Teknologi fertilisasi in vitro merupakan teknologi untuk produksi embrio
pada lingkungan buatan (di luar tubuh). Teknologi ini terdiri atas serangkaian
kegiatan yang meliputi pematangan oosit, fertilisasi oosit dengan sperma dan kultur
embrio. Produksi embrio secara in vitro telah banyak dilakukan pada berbagai
spesies ternak seperti sapi (Trounson et al., 1994 dan Boediono et al., 2003),
kerbau (Totey et al.,1993), domba (Brown et al., 1998, dan Jaswandi et al., 2001),
kambing (Pawshe et al., 1994) dan pada kucing, anjing dan cheetah (Beveridge
dan Jabtour, 1998).
Produksi embrio melalui fertilisasi in vitro dapat menggunakan oosit yang
berasal dari Rumah Potong Hewan (RPH) maupun dari hewan hidup yang
diperoleh melalui teknik Ovum Pick-Up (OPU) dengan bantuan ultrasonografi
(Ptak et al., 1999 dan Kochhar et al., 2002). Dalam pemanfaatan oosit dari RPH
belum semua potensi termanfaatkan karena tempat pemotong yang berjauhan
dengan lokasi laboratorium dan teknologi yang mendukung belum memadai.
Faktor pembatas utama dalam pemanfaatan tersebut adalah zat CO2 Keberadaan
CO2
5%
dalam
inkubator
sangat
penting karena
berperanan
dalam
mempertahankan pH medium yang optimal bagi pertumbuhan embrio yaitu sekitar
7.2 – 7.4.
Hasil penelitian sebelumnya menunjukkan bahwa penggunaan Hepas dapat
menggantikan peran CO 2 5% dala produksi embrio (Jaswandi et al., 2004).
Namun demikian tingkat perkembangan embrio yang dikultur sistem inkubasi ini
belum memberikan hasil yang memuaskan.
Rata-rata persentase embrio yang
mencapai tahap morula 14.46% (Jaswandi et al., 2004), sementara menggunakan
sistem inkubasi CO2 5% embrio yang di kokultur dengan sel oviduk mampu
berkembangan
38.66 – 42.66% (Ondho,1998). Dalam penelitian sebelumnya
penggunaan kokultur sel folikel juga dapat mendorong pertumbuhan embrio, tetapi
perkembangan sel tersebut yang demikian cepat menyebabkan terjadinya
persaingan sel tersebut dengan embrio untuk mendapatkan nutrisi (Jaswandi et al.,
2004).
Bertolak dari kondisi tersebut perlu dilakukan penelitian untuk mendapatkan
jenis sel line terbaik untuk kokultur pada system inkubasi tanpa CO2 5% dan
modifikasi teknik kokultur dengan hanya menggunakan media bekas tumbuh selsel line untuk dapat menyediakan zat atau factor penumbuh bagi embrio tanpa
terjadinya kompetisi nutrisi.
METODE PENELITIAN
Koleksi oosit
Ooosit diperoleh dari ovarium sapi yang dipotong di Rumah Potong Hewan
(RPH). Ovarium dari RPH dibawa ke laboratorium dengan termos yang berisi
media NaCl fisiologis (0,9%) pada temperatur 35 0C. Koleksi oosit dari ovarium
dilakukan dengan cara menyayat ovarium (slicing) dalam petridis yang berisi
medium PBS yang disuplementasi dengan serum sapi estrus 10% dan gentamisin
50 g/ml, dan oosit yang terlepas diamati di bawah mikrokop. Oosit yang
digunakan dalam pematangan adalah oosit yang dikelilingi sel-sel kumulus kompak
dan mempunyai sitoplasma yang homogen (kualitas A dan B).
Pematangan Oosit In Vitro
Prosedur pematangan dilakukan menurut prosedur yang dikemukakan
Jaswandi et al (2003). Oosit yang diperoleh dicuci 3 kali dalam medium PBS dan
dilanjutkan dalam medium pematangan. Medium pematangan oosit yang
digunakan yaitu medium TCM-199 yang mengandung Hepes 30 mM, FSH 10
g/ml, Calf serum (CS) 10% dan gentamisin 50 g /ml. Oosit yang telah dicuci
dalam medium TCM-1999 dimasukan ke dalam 300 l mikrodrop medium yang
dibuat pada sebuah petridis, kemudian disedot ke dalam straw dengan bantuan spuit
yang dihubungkan pada bagian straw yang ditutup kapas. Kedua ujung dari straw
kemudian dijepit dengan pinset panas. Posisi medium dan oosit dalam straw
berturut-turut adalah medium (2 cm), udara (0,5 cm), medium berisi oosit (3 cm),
udara (0,5 cm) dan medium (2 cm). Straw yang berisi oosit diinkubasi selama 24
jam pada suhu 38,50C dalam inkubator tanpa CO2 5%.
Fertilisasi In Vitro
Oosit yang telah matang difertilisasi dengan sperma menurut prosedur
fertilisasi yang dilakukan Jaswandi et al (2003).
Sperma yang digunakan adalah
sperma beku sapi Simmental yang diproduksi BIB Tuah Sakato Payakumbuh.
Sperma setelah thawing dimasukan ke dalam tabung sentrius lalu ditambah dengan
6 ml medium TALP untuk selanjutnya disentrifugasi dengan kecepatan 1800 rpm
selama 10 menit. Bagian supernatan dibuang dan diatas endapan dilapiskan 2 ml
medium TALP yang disuplementasi Calf Serum 10 % dan caffeine-sodium benzoat
5 mM (Sigma, C-4144) 5 mM lalu diinkubasi pada suhu 38.5 0C selama 30 menit
dalam inkubator. Bagian atas medium kemudian diambil sebanyak 500 l dan
sperma yang terdapat di dalamnya diencerkan sampai konsentrasi 10 x 106
sperm/ml dengan medium TALP yang disuplementasi caffeine-sodium benzoat5
mM (Sigma, C-4144), heparin 20 µg/ml, Calf Serum 10 % dan gentamisin 50
g/ml.
Proses fertilisasi dilakukan dengan mencuci oosit terlebih dahulu sehingga hanya
dikelilingi 1 –2 lapis sel-sel kumulus, untuk memudahkan pencucian media
ditambah dengan hyoluronidase (Sigma, USA) 1%. Oosit seterusnya dimasukkan
ke dalam mikrodrop (300 l) dari medium fertilisasi yang telah mengandung
sperma. Oosit dan sperma kemudian disedot ke dalam straw, setiap straw diisi 2030 oosit. Posisi atau penempatan oosit dalam straw sama dengan pada proses
pematangan.
Fertilisasi dilakukan selama 17 jam pada suhu 38,50C dalam
inkubator tanpa CO2.
Pembuatan sel line untuk ko-kultur
Sel oviduk diperoleh dari bagian oviduk sapi yang dipotong. Isolasi sel oviduk
dilakukan dengam menyayat secara horizontal oviduk lalu bagian lumen distriped
dalam medium D-PBS-yang mengandung tripsin 0.25 %. Sel sel yang diperoleh
dihomogenisasi dengan magnetic stirrer, lalu disentrifugasi 2 kali. Endapan yang
diperoleh diencerkan dengan medium TCM-199 sampai konsentrasi 1 x 10 6 sel/ml.
Selanjutnya dikultur untuk mendapatkan monolayer sel oviduk pada dasar petridis.
Masing-masing macam sel dibuat pada 2 buah petridis. Salah satu petridis untuk
kultur secara bersama dengan oosit (cara konvensional) dan satu lagi untuk diambil
medianya dengan cara menyaring sel-sel tersebut dari medianya dengan filter 0.22
m. Media hasil penyaringan digunakan untuk kultur embrio. Selanjutnya sel line
sebagian dilakukan penyimpanan beku dalam Nitrogen cair dan sebagian dikultur
dalam bentuk segar. Penyimpanan beku dilakukan sama dengan penyimpanan beku
sperma dalam Nitrogen cair. Sebelum dikultur dalam medium, sel line tersebut di
thawing dengan cara merendam dalam air yang mempunyai suhu 370C selama 15
detik.
Perlakuan ko-kultur
Oosit yang telah difertilisasi ditempatkan secara acak pada 2 perlakuan kondisi sel
kultur yaitu ko-kultur dengan sel oviduk dalam kondisi segar dan beku dengan
lama waktu ko-kultur 1, 2, dan 4 hari. Masing-masing perlakuan terdiri dari 3
ulangan (pengambilan ke RPH) dan setiap ulangan atau unit eksperimen terdiri dari
20 – 30 oosit. Oosit diinkubasi pada suhu 38.5 0C dalam inkubator sampai hari ke
tujuh. Medium kultur adalah TCM-199 yang disuplementasi dengan Hepes 30 mM,
CS 10%, insulin 5 g/ml dan gentamisin 50g /ml Medium kultur diganti setiap
48 jam (48, 96, 144 dan 192 jam) sambil mengamati perkembangan embrio
(cleavage, 8 sel, morula dan blastosis). Data diolah secara statistic menggunakan
Rancangan Acak Kelompok pola factorial 2 x 3 dengan 3 ulangan
HASIL DAN PEMBAHASAN
1.
Angka cleavage
Embrio yang yang berhasil membelah setelah di ko-kultur dengan
2
perlakuan kondisi sel kultur yaitu ko-kultur dengan sel oviduk dalam kondisi segar
dan beku dengan lama waktu ko-kultur 1, 2, dan 3 hari. dapat dilihat pada Tabel 1.
Tabel 1. Angka cleavage pada berbagai kondisi dan lama ko-kultur secara in vitro
Lama Kokultur
Ulangan
1 hari
1
2
3
2 hari
1
2
3
33
36
15
27
28
21
3 hari
1
2
3
38
31
38
334
37,11 a
40
50
44
278
30,89 a
Total
Rata-rata
Sel Oviduk
Segar
Beku
42
10
55
33
46
25
Total
Rata-rata
211
35,17 a
160
26,67 a
241
40,17 a
Keterangan : huruf sama pada kolom atau baris menunjukkan perbedaan yang tidak nyata (P>
0.05).
Dari Tabel 1 dapat diketahui bahwa kondisi sel oviduk dalam keadaan segar
menunjukkan rata-rata angka cleavage yang lebih tinggi (37,11%) dibandingkan
dengan dalam kondisi beku. Disamping itu lama ko-kultur 3 hari menunjukkan
angka rataan cleavage yang paling tinggi (40,17%).
Hasil analisis statistik menunjukkan bahwa perkembangan embrio dua sel
diantara perlakuan ko-kultur tidak memperlihatkan perbedaan yang nyata (P>0.05).
Perbedaan yang tidak nyata angka cleavage diantara perlakuan disebabkan
cleavage lebih dipengaruhi oleh proses sebelumnya seperti pematangan maupun
fertilisasi. Krisher dan Bavister (1998) menyatakan perkembangan embrio sangat
dipengaruhi oleh aktifitas dan proses pematangan. Hubungan fisiologis ini juga
dikemukakan Hyttle et al. (!997) dari hasil pengamatan yang mereka lakukan
terhadap struktur oosit menunjukkan bahwa selama pematangan pada bagian
sitoplasma terjadi perkembangan secara terus menerus cadangan lipid oosit,
pengurangan pada bagian golgi dan penjajaran butiran kortikal membentuk struktur
dasar untuk menghambat polyspermia. Peningkatan secara gradual dari bagian
lipid oosit selama kapasitasi dan pematangan tersebut diduga sangat penting untuk
memulai perkembangan fase embrionik. Lipid merupakan tempat penimbunan
energi sama halnya dengan kuning telur pada ayam dan digunakan sampai tahap
blastosis.
Dalam penelitian terdahulu dengan system inkubasi tanpa CO2 5%
didapatkan tingkat perkembangan embrio dua sel sebesar 43.48% (Jaswandi et al.
2004).
Dengan demikian secara umum ko-kultur dapat meningkatkan angka
cleavage atau embrio berkembang sampai tahap dua sel sekitar 10%. Hasil yang
sedikit lebih tinggi dalam penelitian dapat disebabkan kualitas oosit yang
digunakan maupun kondisi pendukung lainya seperti media.
Tingkat
perkembangan embrio 2 sel pada penelitian ini hampir sama dengan yang
dilaporkan Dode et. al. (2002) yaitu 54.4% yang melakukan kultur embrio dengan
system inkubasi dengan CO2 5%. De Smetd et al (1992) melaporkan tingkat
perkembangan embrio 2 sel dalam medium menenzo mencapai 58% , tetapi hanya
1 % yang berkembangan sampai tahap 5-6 sel. Lu et al. (1991) melaporkan hasil
penelitiannya tentang kokultur menggunakan sel granulose dari folikel sapi
menggunakan medium CR1-aa mendapatkan angka cleavage sebesar 62% dan
mencapai 66% dengan menambahkan taurine dalam media tersebut. Selanjutnya
Brown dan radziewic (1992) menggunakan cairan folikel untuk kultur embrio
mendapatkan angka cleavage yang hampir sama dengan tanpa cairan folikel. Hasil
ini membuktikan zat aktif yang dihasilkan sel folikel dapat membantu pertumbuhan
atau tidak menekan pertumbuhan sel embrio.
2.
Angka perkembangan embrio delapan sel
Embrio dua sel yang berkembangan mencapai tahap delapan sel setelah
dikultur dengan berbagai kondisi dapat dilihat pada Tabel 2 berikut.
Pada Tabel 2 dapat diketahui bahwa angka embrio 8 sel pada kondisi ko-kultur
segar dan beku menunjukkan rataan yang hampir sama besarnya, dan lama
penyimpanan ko-kultur 3 hari menunjukkan rataan yang tertinggi (37,33%)
terhadap angka embrio 8 sel.
Tabel 2. Angka embrio delapan sel pada berbagai kondisi kokultur secara in vitro
Lama Kokultur
Ulangan
1 hari
1
2
3
2 hari
1
2
3
20
36
15
27
28
21
1
2
3
Total
Rata-rata
38
31
31
257
28,57 a
30
50
44
268
29,78 a
3 hari
Sel Oviduk
Segar
Beku
42
10
36
33
08
25
Total
Rata-rata
154
25,67 a
147
24,50 a
224
37,33 a
Keterangan : Huruf yang sama pada kolom atau baris menunjukkan perbedaan yang tidak nyata
(P> 0.05)
Hasil analisis statistik embrio yang berkembang sampai delapan sel
menunjukkan perbedaan yang tidak nyata (P > 0.05). Hasil ini menunjukkan
kondisi ko-kultur yang berbeda (kondisi segar atau beku) tidak memperlihatkan
perbedaan yang nyata terhadap perkembangan embrio, demikian juga tidak ada
pengaruh lama waktu ko-kultur terhadap perkembangan embrio.
Dibandingkan
dengan sistem kultur tanpa CO2 5% yang tidak menggunakan ko-kultur terlihat
adanya peningkatan embrio yang berkembang sampai tahap 8-16 sel dengan
menggunakan ko-kultur.
Hasil penelitian yang dilakukan Boediono et al. (2004) pada sapi potong
menunjukkan bahwa tingkat perkembangan embrio tahap 2, 4, 8 dan blastosis
masing-masing adalah 63, 56, 41 dan 20%. Dengan demikian hasil yang diperoleh
dalam penelitian ini menunjukkan bahwa ko-kultur pada produksi embrio dengan
system inkubasi tanpa CO2 5% dapat memberikan hasil yang sama baiknya dengan
produksi embrio menggunakan inkubasi dengan CO2 5%.
Perkembangan embrio pada tahap 8-16 sel merupakan tahap yang paling krusial
dalam produksi embrio secara in vitro, karena pada tahap ini embrio menghadapi
hambatan perkembangan atau development block. Beberapa laporan lain
menunjuukan adanya dampak positif penambahan sel kutltur untuk mengatasi
hambatan tersebut. Menurut Gordon (1994) perkembangan embrio dini pada
mamalia dikendalikan oleh protein dan messenger ribonucleic acid (mrna)yang
disimpan oosit. Transkripsi selama tahap cleavage menghasilkan baik secara
kualitatif maupun kuantitatif perobahan sintesis protein. Pada sapi transkripsi ini
terjadi akhir tahap 4 sel dan awal tahap 8 sel. Kegagalan transkripsi akan
menyebabkan embrio mengalami block development meskipun embrio tersebut
terlihat masih hidup. Pollard et al (1991) menyatakan bahwa sel epithelial oviduk
dapat menjadi mediator untuk melewati fase kritis perkembangan embrio dari 4 -8
sel mencapai tahap 16 sel.
Hasil penelitian yang dilakukan Boediono et al. (2004) pada sapi potong
menunjukkan bahwa tingkat perkembangan embrio tahap 2, 4, 8 dan blastosis
masing-masing adalah 63, 56, 41 dan 20%. Dengan demikian hasil yang diperoleh
dalam penelitian ini menunjukkan bahwa ko-kultur pada produksi embrio dengan
system inkubasi tanpa CO2 5% dapat memberikan hasil yang sama baiknya dengan
produksi embrio menggunakan inkubasi dengan CO2 5%.
Perkembangan embrio pada tahap 8-16 sel merupakan tahap yang paling krusial
dalam produksi embrio secara in vitro, karena pada tahap ini embrio menghadapi
hambatan perkembangan atau development block.
Menurut Gordon (1994)
perkembangan embrio dini pada mamalia dikendalikan oleh protein dan messenger
ribonucleic acid (mrna)yang disimpan oosit. Transkripsi selama tahap cleavage
menghasilkan baik secara kualitatif maupun kuantitatif perobahan sintesis protein.
Paa sapi transkripsi ini terjadi akhir tahap 4 sel dan awal tahap 8 sel. Kegagalan
transkripsi akan menyebabkan embrio mengalami block development meskipun
embrio tersebut terlihat masih hidup. Pollard et al (1991) menyatakan bahwa sel
epithelial oviduk dapat menjadi mediator untuk melewati fase kritis perkembangan
embrio dari 4 -8 sel mencapai tahap 16 sel.
3.
Angka Morula
Angka morula merupakan tingkat perkembangan embrio yang mencapai
jumlah sel sebanyak 32 sel atau lebih. Secara in vitro embrio tahap morula secara
umum tercapai setelah dikultur selama 3 hari sejak oosit difertilisasi. Persentase
embrio yang mecapai tahap morula untuk perlakuan dengan sel kultur folikel, sel
oviduk atau kombinasinya serta kultur dengan atau dengan media bekas tumbuh sel
kultur dapat dilihat pada Table 3 berikut.
Tabel 3. Angka morula pada berbagai kondisi dan lama waktu ko-kultur secara in
vitro.
Lama Kokultur
Ulangan
1 hari
1
2
3
2 hari
1
2
3
13
09
15
09
06
14
1
2
3
Total
Rata-rata
13
00
19
90
10,00 a
10
17
00
83
9,22 a
3 hari
Sel Oviduk
Segar
Beku
17
10
00
11
04
06
Total
Rata-rata
48
8a
66
11a
60
10 a
Keterangan : huruf sama pada kolom atau baris menunjukkan perbedaan yang tidak nyata (P>
0.05)
Pada Tabel 3 dapat dilihat rata-rata angka morula dari berbagai kondisi dan
lama waktu ko-kultur menunjukkan hasil yang hampir sama. Hasil analisis statistik
data angka morula yang diperoleh menunjukkan bahwa tidak terdapat perbedaan
secara nyata (P>0,05) diantara perlakuan ko-kultur. Perbedaan kondisi dan lama
waktu ko-kultur berpengaruh tidak nyata terhadap angka morula yang didapat.
Hasil ini menunjukkan efek menguntungkan dari penggunaan metode ko-kultur
untuk produksi embrio. Peningkatan angka keberhasilan embrio yang berkembang
mencapai tahap morula menunjukkan adanya kontribusi dari sel kultur terhadap
perkembangan embrio terutama untuk melewati fase hambatan atau block
perkembangan embrio pada tahap sebelumnya (4-16 sel ). Hasil penelitian Palma
et al (1992) memperlihatkan bahwa penambahan sel granulos yang berasal dari
folikel menghasilkan angka morula atau embrio umur 6 hari sekitar 31 - 36 %.
Dengan demikian hasil penelitian ini menunjukkan bahwa penambahan ko-kultur
dapat meningkatkan perkembangan embrio tahap morula pada system kukltur tanpa
CO2 5%.
Menurut Gordon (1994) ko-kultur merupakan satu alternatif untuk
memberikan lingkungan menyerupai kondisi in vivo secara terbatas disamping
menyediakan factor penumbuh (embryothopic) yang dapat membantu embrio
melewati fase hambatan 4 -16 sel, serta menyediakan factor penumbuh untuk
perkembangan tahap berikutnya. Gandolfi et al (1992) mengemukakan bahwa sel
kultur kemungkinan juga mengurangi faktor penghambat zat racun yang terdapat
dalam medium atau dihasilkan oleh embrio.
Perlakuan kombinasi sel yang cenderung lebih rendah dalam penelitian ini
dibandingkan dengan single sel ko-kultur diduga pengaruh perbedaan dalam
produksi kedua sel kultur. Hasil penelitian sebelumnya yang dilakukan oleh Jiang
at el. (1991) pada system inkubasi dengan CO2 5% menunjukkan bahwa tidak ada
keuntungan yang superior dari penggunaan kombinasi sel kokultur untuk produksi
embrio in vitro. Hasil sedikit berbeda dengan yang dilaporkan oleh Rodriquez et
al (1991) bahwa penggunaan sel oviduk dan granulose (folikel) secara individu
tidak dapat mempertahankan perkembangan embrio seperti halnya
bila
dikombinasikan dengan system bilayer. Menurut Gordon (1994) hal ini didasarkan
bahwa embrio 3-4 hari berkembangan dalam oviduk dan selanjutnya masuk ke
dalam uterin.
Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa kondisi ko-kultur dalam keadaan
beku dapat dilakukan karena berbeda tidak nyata dengan kondisi segar. Perlakuan
lama waktu penyimpanan sel oviduk menunjukkan rataan angka morula yang
paling tinggi pada lama penyimpanan 2 hari, tetapi hasil ini beerbeda tidak nyata
dengan lama penyimpanan 1 dan 3 hari. dapat meningkatkan efektifitas produksi
embrio secara in vitro pada system inkubasi tanpa CO2 5%. Hasil yang diperoleh
juga memberikan peluang untuk menghasilkan media yang mengandung zat
tumbuh yang berasal dari sel kultur.
Hasil data angka morula yang diperoleh menunjukkan bahwa tidak terdapat
perbedaan secara nyata (P> 0,05) diantara perlakuan kokultur.
Rataan angka
morula yang didapat dalam penelitian ini relatif lebih tinggi dari hasil yang
diperoleh tanpa cocultur yaitu 11.30 % atau lebih tinggi sekitar 20 % (Jaswandi,
et al., 2004). Hasil ini menunjukkan efek menguntungkan dari penggunaan metode
ko-kultur untuk produksi embrio. Peningkatan angka keberhasilan embrio yang
berkembangan mencapai tahap morula menunjukkan adanya kontribsi dari sel
kultur terhadap perkembangan embrio terutama untuk melewati fase hambatan atau
block perkembangan embrio pada tahap sebelumnya (4-16 sel ).
Hasil penelitian Palma et al (1992) memperlihatkan bahwa penambahan sel
granulosa yang berasal dari folikel menghasilkan angka morula atau embrio umur 6
hari sekitar 31 - 36 %. Dengan demikian hasil penelitian ini menunjukkan bahwa
penambahan kokultur dapat meningkatkan perkembangan embrio tahap morula
pada system kukltur tanpa CO2 5%.
KESIMPULAN
1.
Kondisi ko-kultur dari sel oviduk dapat digunakan dalam keadaan beku untuk
meningkatkan perkembangan embrio pada berbagai tahap secara in vitro
pada sistem inkubasi tanpa CO2 5%.
2.
Lama waktu ko-kultur memberikan kontribusi yang hampir sama terhadap
pertumbuhan embrio.
PUSTAKA ACUAN
Beveridge, D.R. and H. N. Jabtour. 1998. Potential of assisted technique for the
con-servation of endangerous species in captive. Veterinary Record. 143 :
159-168
Boediono, A., Y. Rusiyantono, and R.A. Godke. 2003. Development of in vitro
produced caprine embryos cultured in different conditions. The 7nd Int.
Meeting Biotech. Anim. Reprod. Kunming, China.
Boediono, A., Y. Rusiyantono and R.A. Godke. 2004. Comparison of hybreed and
pure breed in vitro derived cattle embryos during in vitro culture. Anim
Reprod Sci. 78:1-11
Brown, B.W. and T. Radziowic. 1998. Production of sheep embryos in vitro
fertiliza-tion and development of progeny following single and twin
embryos trans-fer. Theriogenology. 49: 1525-1537.
Colemen, V.C. G.A. Shagiakhmetova, I.Y. Lebedeva, T.I. Kuzmina and A.K.
Golubev. 2007. In vitro maturation and early development capacity of
bovine oocytes cultured in pured follicular fluid and supplementation with
follicular wall. Theriogenology 68: 1053-1059.
De Smedt, V., N. Crozet, M. Ahmed-Ali, A. Martino and Y. Cognie. 1992. In
vitro maturation and fertilization of goat oocytes. Theriogenology.
37:1049-1060
Dode, M.A.N. N.C. Rodovalho, V.G. Ueno and C.E. Fernandes. 2002. The effect
of sperm preparation and co-incubation time in vitro fertilization of bos
indicus oocytes. Anim, Reprod, Sci. 69:15-23
Gordon, I. 1994. Laboratory Production of Cattle Embryos. Biotechnology in
Agri-cultural Series. CAB. Int.
Hyttle, P., T. Fair, H. Callesen and T Greeve, 1997. Oocytes grow, capacitation and
final maturation in cattle. Theriogenology 47: 23-3
Jaswandi, Z. Udin dan M. Mundana. 2004. Pengembangan system kultur tanpa
CO2 dalam produksi embrio secara in vitro. Laporan Hibah Bersaing XI.
Jaswandi, A. Boediono and M.A.Setiadi. 2001. In vitro maturation and
fertilization of sheep oocytes in absences CO2. Reprotech Journal. 1 : 56-60.
Jaswandi. 2003. Kualitas dan angka maturasi in vitro oosit domba pada berbagai
suhu dan waktu penyimpanan ovarium. Laporan Penelitian Dosen Muda.
BBI,Dikti.
Jiang, H.S., W.L. Wang, KH. Lu, I.Gordon and C.P.olge. 1991. Roles of different
cells monolayer in the co-culture of IVF bovine embryos. Theriogenology.
35:16
Kochhar, H.P., B. Wu, L.H. Morris, B.C. Buckrell, J.W. Pollard, P.K. Basrur and
W.A. King. 2002. Maturation status, protein synthesis and developmental
competence of oocytes derived from lambs and ewes. Reprod. Domes.
Anim. 37:19-25
Krisher, R.I. and B.D. Bavister. 1998. Responses of oocytes and embryos to the
culture environment. Theriogenology 49: 103-114
Locateli Y., Y. Cognie, J.C. Vallet, G. Baril, M. Verdier, N. Poulin, X. Legendre
and P Mermillod. Successful use of oviduct epithelial cell coculture for in
vitro production of viable red deer (Cervus elaphus) embryos.
Theriogenology 64: 1729-1739.
Loos, de F., C. van Fliet, P. van Maurick and T.H, A.M. Kruip.
Morphology of mature oocyte. Gamete Res. 24:197-204.
1988.
Lu,S.S. M.G.Wade and M.P.Boland. 1992. Effect of Taurine dan granulose cells in
modified CR2 on bovine embryonic development in vitro. Proceding annual
conference of International Embryo Transfer Society, Acropolis France.
January 12-14, 1997.
Mundana, M. dan Jaswandi. 2001. Potensi dan viabilitas oosit Sapi Pesisir untuk
pro-duksi embrio in vitro. Laporan Penelitian Dosen Muda. BBI Dikti.
2001.
Ondho, Y.S. 1998. Pengaruh Penambahan FSH, Estradiol-17 dan Kultur Sel
Tuba Fallopii ke Dalam TCM-199 Untuk Meningkatkan Pematangan Oosit
dan Perkembangan Embrio Domba Dalam Program Fertilisasi In Vitro.
Disertasi Pascasarjana IPB. Bogor.
Palma G.A., Clement-sengewald, H.Krefft, U Berg and G Brem. 1992. Role of
embryo number in the development on in vitro produced bovine embryos.
Theriogenology 37: 27
Pawshe, C.H., S.M. Totey and S.K. Jain. 1994. A comparison of three methods of
recovery of goat for in vitro maturation and fertilization. Theriogenology.
42:117- 125
Pollard J.W., J.M. Scodras, L. Plante, W.A. King, K.J. Betteridge. 1991.
Definition of cleavage stages at which oviduct ephithelial cellsenable
bovine embryos to pass through the in vitro 8-16 cell block.
Theriogenology. 35: 256
Ptak, G., P. Loi, M. Dattena, M. Tischner and P. Cappai. 1999. Offspring from
one-month-old lambs: studies on the developmental capability of
prepubertal oocytes. Biol. Reprod. 61:1568-1574
Shirazi and z. Moalemian. 2006. Ovine cumulus cel estradiol-17 beta production
in presence or abscence of oocyte. Anim Reprod Sci.101:125-133
Rodriquez, H.S., R.S. Denniston and R.A. Godke. 1991. Coculture of bovine
embryo using a bilayer bovine oviduct and granolosa cells.
Theriogenology, 35: 64
Steel, R.G.D. and J.H. Torrie. 1984. Prosedur dan Metode Statistik. Suatu
Pendekatan Biometrik. Alih bahasa B. Soemantri. Gramedia. Jakarta.
Totey, S.M., C.H. Pawshe and G.P. Singh. 1993. In vitro maturation and
fertilization of buffalo oocytes : effect of media hormon and sera.
Theriogenology. 39: 1153-1171
Download