nuraida 04205002

advertisement

EFEKTIVITAS ISOLAT JAMUR ENTOMOPATOGEN TERHADAP

HAMA KROB KUBIS Crocidolomia pavonana FABRICIUS

( LEPIDOPTERA; PYRALIDAE) DALAM HUBUNGANNYA

DENGAN METODE APLIKASI

(The effectiveness of the entomopathogenic fungi isolates to cabbage head caterpillars Crocidolomia pavonana Fabricius (Lepidoptera: Pyralidae) in relation to mode of application)

Nuraida

ABSTRACT

The effectiveness of the entomopathogenic fungi isolates to cabbage head caterp illars Crocidolomia pavonana Fabricius ( Lepidoptera: Pyralidae) in relation mode of application Due to variation of pathogenicity commonly exhibit by different isolate of fungal pathogen when applied to the head cabbage caterpillars and other pests, laboratory tests of fungal pathogens successfully cultured in earlier study reported in other paper were carried out. The aims of this investigate were to know the effectiveness of fungal isolates in relation to mode of application. This experiment was conducted at Entomology and Phytopathology

Laboratory Faculty of Agriculture, Andalas University from March to August

2006. A factorial and completely randomized design with two factors i.e. 3 mode of dissemination and seven isolated were tested to Cabbage head caterpillars. The result showed that significances (P=0.05) higher mortalities (78.33%) when the larvae were sprayed direct conidia and to their food than when exposed to their food or sprayed to the larva directly and caused the mortality 41.25% and 68.33 respectively. The LT50 value of Metarhizium and Fusarium against the larva was

1.81 day and 3.84 day respectively. The potential of this biological control justified research into the improvement of field application techniques of fungal pathogens are necessary for an economically viable and sustainable biological control of head cabbage caterpillars.

PENDAHULUAN

1. Latar belakang

Jamur entomopatogen merupakan salah satu agen hayati yang potensial untuk mengendalikan berbagai jenis hama antara lain hama kedelai (Prayogo et al.

2005) hama kubis (Butt et al. 1994; Trizelia, 2005) dan hama penggerek bonggol pisang (Nankinga dan Latigo, 1996; Nankinga et al. 1996; Nankinga et al.

1994;

Hasyim, 2006; Hasyim dan Azwana, 2003; Hasyim et al.

2005). Penggunaan

1

jamur entomopatogen ini merupakan suatu proses pemanfatan baik yang sudah ada di ekosistem setempat maupun dengan introduksi dari luar melalui teknik inokulasi dan inundasi (Steinhaus, 1963; Lacey, 1997).

Dalam rangka pemanfaatan jamur entomopatogen sebagai agen pengendali hayati hama C. pavonana , pemilihan jenis dan isolat jamur entomopatogen yang virulen terhadap hama C. pavonana merupakan hal yang penting. Jamur entomopatogen yang virulen dapat diperoleh dari hama target sendiri atau dari rhizosfir pada ekosistem pertanaman dimana hama tersebut berada, karena tanah merupakan reservoar alami bagi jamur entomopatogen. Penggunaan jamur entomopatogen yang terdapat secara alami merupakan hal yang utama dalam program PHT (Trizelia, 2005). Disamping itu agar dapat digunakan sebagai agen pengendali hayati hama C. pavonana, maka informasi tentang keberadaan alami, dan keanekaragaman jamur entomopatogen pada ekosistem dimana hama tersebut berada sangat diperlukan.

Kematian serangga sasaran oleh jamur entomopatogen sangat dipengaruhi oleh jumlah konidia yang diinokulasikan, keadaan suhu dan kelembaban lingkungan yang sesuai untuk pertumbuahan jamur. Toksin yang dihasilkan oleh jamur entomopatogen memegang peranan penting yang dapat membunuh inang dengan cara merusak struktur organik, sehingga terjadi dehidrasi dalam sel, menyebabkan tidak terjadinya regenerasi jaringan ( Gillespie, 1988).

2. Tujuan Percobaan

Untuk mendapatkan cara pengendalian yang lebih efektif terhadap C. pavonana.

BAHAN DAN METODE

1. Tempat dan waktu

Percobaan telah dilakukan di Laboratorium Entomologi Jurusan Hama dan

Penyakit Tumbuhan Fakultas Pertanian Universitas Andalas Padang dari bulan

Maret sampai Agustus 2006.

2

2. Penyiapan jamur entomopatogen

Jamur entomopatogen yang digunakan diisolasi dari rhizosfir pertanaman kubis dengan metode umpan serangga Tenebrio molitor , jamur yang diperoleh kemudian dibiakkan pada media SDAY. Jamur yang digunakan dalam percobaan ini adalah Beauveria (isolat BPP1 dan BAP5), Metarhizium (isolat MAP1),

Nomuraea (isolat NAP3), Paecilomyces (isolat PPP4) dan Fusarium (isolat FPP3 dan FAP5) dengan konsentrasi 10

7 konidia/ml.

Pada percobaan ini menggunakan 4 metode aplikasi jamur entomopatogen yaitu : A. Penyemprotan langsung terhadap larva

B. Penyemprotan terhadap larva dan makanannya

C. Penyemprotan melalui makanan larva.

D. Kontrol (dengan air)

Aplikasi konidia jamur entomopatogen melalui daun kubis dilakukan dengan cara menyemprot daun kubis dengan suspensi konidia dengan volume semprot 2 ml untuk 4 potong daun kubis, sedangkan pada larva aplikasi konidia disemprot dengan volume 5 ml/10 ekor larva. Setelah kering udara daun kubis yang telah disemprot tersebut dimasukkan ke dalam kotak yang berdiameter 10 cm dan kemudian dimasukkan 10 ekor larva C. pavonana instar 2. Pengamatan terhadap mortalitas larva dilakukan setiap hari sampai 7 hari setelah aplikasi

Persentase mortalitas larva dihitung dengan menggunakan rumus :

M = A / D x 100 %

Keterangan : M = Persentase mortalitas

A = Jumlah serangga yang mati terinfeksi jamur

D = Jumlah serangga yang diuji

Persentase mortalitas yang diperoleh kemudian dikoreksi dengan menggunakan rumus Abbott’s :

P

0

- P c

P = x 100 %

100 - P c

Keterangan :

P = Peresentase serangga uji yang mati setelah dikoreksi

P

0

= Persentase serangga uji yang mati pada perlakuan

P c

= Persentase serangga yang mati pada control.

3

Persentase mortalitas tersebut kemudian ditransformasi ke analisa probit dengan menggunakan program Statistical Analysis System (SAS), sehingga diperoleh patogenisitas dari jamur entomopatogen yang terbaik dengan waktu yang dibutuhkan oleh jamur entomopatogen untuk dapat mematikan 50% serangga uji (LT

50

).

HASIL DAN PEMBAHASAN

Pada umumnya semua jamur entomopatogen yang diuji dengan metode aplikasi yang berbeda mempengaruhi tingkat mortalitas larva C. pavonana.

Mortalitas larva C. pavonana yang diinokulasi dengan cara penyemprotan konidia langsung terhadap larva dan makanannya lebih tinggi (78.33%) berbeda nyata dengan penyemprotan terhadap makanan larva (41.25%) tetapi tidak berbeda nyata dengan penyemprotan langsung terhadap larva (68.33) (Tabel 1).

Pada umumnya seluruh isolat efektif bila diaplikasikan terhadap larva dan larva dengan makanannya kecuali isolat FAP5. Hal ini mungkin disebabkan oleh perbedaan virulensi dari masing-masing jamur dan jumlah konidia yang menempel pada tubuh larva lebih banyak dibandingkan dengan inokulasi hanya pada makanan larva.

Pada inokulasi langsung terhadap larva dan makanan selain dari konidia yang lebih cepat menempel dan berkecambah pada tubuh larva pada lipatan antar ruas tubuh larva, konidia juga dapat masuk secara langsung kedalam tubuh larva melalui makanan yang telah diinokulasi dengan jamur entomopatogen sehingga mempengaruhi sistem pencernaan dari larva, akibat infeksi yang terjadi dari luar dan dalam tubuh secara serentak akan lebih mempercepat mortalitas larva.

Semakin banyak jumlah konidia yang menempel pada tubuh larva, maka mortalitas akan semakin cepat apa lagi didukung dengan kondisi temperatur dan kelembaban yang sesuai dengan yang diinginkan jamur entomopatogen.

Banyaknya jumlah konidia jamur entomopatogen berhubungan dengan tingkat konsentrasi yang digunakan, karena semakin tinggi konsentrasi maka jumlah konidia semaki tinggi, dan mortalitas juga akan semakin tinggi (Chikwenhere dan

Vestergaardt, 2001; Hasyim dan Azwana, 2003).

4

Tabel 1. Mortalitas larva C. pavonana setelah aplikasi beberapa jamur entomopatogen pada konsentrasi 10

7

konidia/ml, dengan beberapa metoda aplikasi.

Rata-rata mortalitas (%)

Jenis jamur

(Isolat)

NAP3

Terhadap larva

90.00 aA

Metode aplikasi

Terhadap makanan larva

73.33 aA

Terhadap larva dan makanannya

100.00 aA

Pengaruh jamur

87.78 a

MAP1

BPP1

93.33 aA

90.00 aA

33.33 bcB

60.00 abB

93.33 abA

86.67 abA

73.33 ab

78.89 ab

BAP5

PPP4

FPP3

FAP5

83.33 aA

80.00 aB

56.67 bB

53.33 bB

Kontrol 0.00 cC

56.67 abB

26.67 cC

40.00 bC

46.67 bBC

0.00 dD

86.67 abA

100.00 aA

90.00 abA

70.00 bA

0.00 cB

75.56 ab

68.89 b

62.22 bc

56.66 c

0.00 d

Pengaruh

Metode aplikasi

68.33 B 41.25 C 78.33 A

Keterangan: Angka pada kolom yang sama yang diikuti oleh huruf kecil yang sama, dan angka pada baris yang sama yang diikuti oleh huruf besar yang sama tidak berbeda nyata menurut uji DNMRT pada taraf 5%.

NAP3 = Nomuraea (asal A. Panjang), MAP1 = Metarhizium (asal

A. Panjang), BPP1 = Beauveria (asal P. Panjang), BAP5 =

Beauveria (asal A. Panjang), PPP4 = Paecilomyces (asal P.

Panjang), FPP3 = Fusarium (asal P. Panjang), FAP5 = Fusarium

(asal A. Panjang).

Hasil penelitian ini sesuai dengan hasil penelitian Trizelia (2005) yang menyatakan bahwa mortalitas larva C. pavonana yang diinokulasi langsung dengan konidia lebih tinggi dibandingkan dengan mortalitas larva yang makan atau berjalan pada daun kubis yang disemprot dengan konidia.

Berdasarkan nilai LT

50

terlihat adanya perbedaan antar jamur (Tabel 2).

Nilai LT

50

paling singkat terdapat pada metode penyemprotan langsung terhadap larva dan makanan dengan nilai LT

50 berkisar antara 1.55 hari – 3.16 hari berbeda dengan metode penyemprotan langsung terhadap larva dan penyemprotan terhadap makanan larva berturut-turut berkisar antara (1.81 – 7.20 hari dan 3.24 –

5

9.69 hari). Pada metode aplikasi terhadap makanan dan larva jamur Nomuraea

(isolat NAP3) memiliki nilai LT

50

paling singkat dibanding dengan jamur lainnya

(1.55 hari) hal ini berarti bahwa waktu yang dibutuhkan untuk mematikan 50% larva C. pavonana instar 2 lebih singkat dibanding dengan isolat lainnya.

Selanjutnya untuk metode aplikasi langsung terhadap larva jamur yang memiliki nilai LT

50 paling singkat adalah jamur Metarhizium (isolat MAP1) yaitu 1.81 hari dibanding dengan jamur lainnya, dan metode aplikasi terhadap makanan larva jamur yang memiliki nilai LT

50

paling singkat adalah Nomuraea (isolat NAP3) yaitu 3.24 hari, berarti waktu yang dibutuhkan untuk mematikan 50% larva C. pavonana instar 2 pada metode ini lebih lambat dibanding dengan metode aplikasi terhadap larva dan makanan juga aplikasi langsung terhadap larva.

Adanya perbedaan nilai LT

50

berkaitan dengan virulensi dari jamur tersebut. Pada umumnya virulensi yang tinggi disebabkan oleh toksin yang terkandung dalam jamur (Widayat dan Rayati, 1993b). Toksin yang dihasilkan oleh jamur dapat menyebabkan terjadinya lisis pada integumen serangga yang tersusun dari protein dan khitin (Samson et al.

1988).

Tabel 2. Nilat LT

50 beberapa jamur entomopatogen terhadap mortalitas larva dengan beberapa metoda aplikasi.

LT

50

(hari) dengan metode aplikasi

Jenis jamur

(isolat)

Terhadap larva

Terhadap makanan larva terhadap larva dan makanannya

MAP1 1.81 (1.45 - 2.13) 9.69 (6.84 - 23.78) 2.14 (1.43 - 2.74)

NAP3

BAP5

BPP1

PPP4

FAP5

FPP3

2.78 (2.41 - 3.12) 3.24 (2.54 - 4.04)

2.84 (2.41 - 3.23) 4.80 (4.10 - 5.85)

1.55 (1.32 - 1.77)

2.78 (2.39 - 3.15)

2.58 (2.12 - 3.02) 4.29 (3.66 - 5.12) 3.16 (2.76 - 3.54)

2.30 (1.76 - 2.80) 16.41 (8.86 – 213,12) 1.77 (1.55 - 1.99)

6.01 ( 4.98 - 8.15) 5.16 (4.23 - 6.90)

7.20 (5.66 - 11.58) 4.65 (3.45 - 7.47)

3.84 (3.32 - 4.42)

2.41 (2.03 - 9.04)

Keterangan :

MAP1 = Metarhizium (asal A. Panjang), NAP3 = Nomuraea (asal A.

Panjang), BAP5 = Beauveria (asal A. Panjang), BPP1 = Beauveria (asal

P. Panjang), PPP4 = Paecilomyces (asal P. Panjang), FAP5 = Fu sarium

(asal A. Panjang), FPP3 = Fusarium (asal P. Panjang).

6

Jenis jamur dan tingkat kelembaban juga mempengaruhi virulensi, menurut Junianto dan Sulistyowati (1994) menyatakan bahwa B. bassiana (isolat

Bb – 704) diuji pada kelembaban 75%, 85%, 92.5% dan 100%, isolat tersebut mempunyai virulensi yang sangat tinggi terhadap hama penggerek buah kopi

( Hypothenemus hampei ) dengan mortalitas 86.6% dan kecepatan waktu letal 50

(LT

50

) adalah 4.6 hari. Hasil penelitian Bell dan Hamale (1970) dengan menggunakan konsentrasi konidia 1.8 x 10

9

/ml, mampu membunuh 100% larva

Chalcodermus aeneus dalam waktu 6 – 7 hari.

Chikwenhere dan Vestergaardt (2001) juga melaporkan bahwa nilai LT

50 jamur B. bassiana untuk dapat mematikan larva dan dewasa Neochetina bruchi

50% dengan jumlah konidia 5 x 10

9

konidia/ml adalah 3.6 - 6 hari. Penelitian yang dilakukan oleh Ihara et al.

( 2001) melakkukan skrining terhadap jamur entomopatogen Beauveria , Metarhizium dan Paecilomyces untuk mengendalikan hama Plautia stali , ternyata jamur Metarhizium lebih virulen dari pada jamur

Beauveria. Dengan menggunakan konsentrasi 1 x 10 9 konidia/ml, maka nilai

LT

50

Metarhizium 4.9 hari, artinya untuk mematikan 50% serangga uji dibutuhkan waktu 4.9 hari.

Penelitian yang dilakukan oleh Edelstein et al.

(2005) di Amerika, yaitu dengan menggunakan suhu 30 da 40 o

C dapat menyebabkan mortalitas A.

Gammatalis meningkat setelah terinfeksi jamur N. rileyi , dengan rata-rata larva yang bertahan hidup 24% dari total populasi. Sedangkan pada temperatur 18 –

28 o

C mortalitas larva mencapai 50% dengan waktu 5 – 10 hari setelah infeksi, dan kematian 66 – 90% merupakan mortalitas paling tinggi yang terjadi 10 – 16 hari setelah infeksi.

Lamanya waktu kematian larva C. pavonana akibat infeksi beberapa jamur entomopatogen disebabkan oleh jamur tersebut membutuhkan proses dan tahapantahapan untuk menginfeksi dan mematikan larva, yaitu inokulasi (kontak antara propagul cendawan dengan tubuh serangga, penempelan dan perkecambahan, penetrasi, destruksi dan kolonisasi dalam hemolimfa, menginfeksi saluran makanan dan sistem pernafasan baru kemudian serangga akan mati , proses ini umumnya berlangsung 1 – 2 hari pada kondisi lingkungan yang sesuai ( Lee dan

7

Hou, 1989; Tanada dan Kaya, 1993; Strack, 2003; Prayogo et al. 2005; Laccey,

1997; Ferron, 1981).

KESIMPULAN DAN SARAN

1. Kesimpulan

1.

Metode aplikasi melalui penyemprotan terhadap larva dan makanan lebih efektif dibandingkan dengan metode penyemprotan larva dan metode penyemprotan pada makanan.

2.

Semua jamur (isolat) dengan menggunakan metode penyemprotan langsung terhadap larva dan makanannya menyebabkan mortalitas paling tinggi (70-100%) dibanding dengan metode lainnya.

2. Saran

Pengendalian hama C. pavonana dengan menngunakan beberapa metode aplikasi di laboratorium perlu juga dilakukan di lapangan.

DAFTAR PUSTAKA

Bell, V. J. And Hamale. R. 1970. Three Fungi Tested for Curculio, Chalodermus aeneus.

Journal of Invert. Pathol . (15): 447 – 450.

Butt, TM., Ibrahim, L., Ball, B.W. and Clark, S.J. 1994. Pathogenicity of

Entomopathogous Fungi Metarhizium anisopliae and beauveria bassiana against crucifer pests and honey bee. Biocontrol Sci. Technol.

4: 207 – 214.

Chikwenhere, G.P. and Susan V. 2001. Potential Effects of Beauveria bassiana

(Balsmo) Vuillemin on Neochetina bruchi Hustache (Coleoptera:

Curculionidae), a Biological Control Agent of Water Hyacinth. Biol.

Contr.

(21): 105 – 110.

Edelstein, J. D., Trumper, E.V. and R.E. Lecuona. 2005. Biological Control.

Temperature-dependent Development of The Entomopathogenic Fungus

Nomuraea rileyi (Farlow) Samson in Anticarsia gemmatalis (Hubner) larvae (Lepidoptera: Noctuidae). Neotrop. Entomol . 34 No.4: 1-13.

8

Gillespie, AT. 1988. Use of Fungi to Control Pest of Agricultural Importance. In

Fungi Biocontrol System Edited by M.N. Burgy. Monchester

University. 36-60.

Hasyim, A. dan Azwana. 2003. Patogenisitas Isolat Beveria bassiana Dalam

Mengendalikan Hama Penggerek Bonggol Pisang, Cosmopolites sordidus Germar. Jurnal Horti. 13(2): 120 – 130.

Hasyim, A. 2006. Evaluasi Bahan Carrier dalam Pemanfaatan Jamur

Entomopatogen, Beauveria bassiana (Balsamo) Vuillemin Untuk

Mengendalikan Hama Penggerek Bonggol Pisang, Cosmopolites sordidus Germar. Jurnal Horti . 16(3) :190 -198.

Hasyim, A., Yasir, H., dan Azwana. 2005. Seleksi Substrat Untuk Perbanyakan

Beauveria bassiana (Balsamo) Vuillemin dan Infektifitasnya Terhadap

Hama Penggerek Bonggol Pisang, Cosmopolites sordidus Germar

(Coleoptera: Curculionidae). Jurnal Horti.

15. No.2:116 -123.

Ihara, F., Katsuhiko, Y., Norio, K., Koji, M. And Takeru, S. 2001. Screening of

Entomopathogenic Fungi Against The brown-winged green Bug, Plautia stali Scott (Hemiptera: Pentatomidae). App. Entomol . Zool . 36 (4): 495

– 500.

Junianto, Y.D, dan Sulistyowati, E. 1994. Virulence of Several B. bassiana Bals.

Vuill. Isolates on Coffee Berry Borer ( Hypothenemus hampei Ferr.)

Under Various Relative Humidities. Pelita Perkebunan 10(2) : 81 – 86.

Lacey, L.A. 1997. Initial Handling and Diagnosis of Diseases Insect. In Lacey,

L.A. (Ed.) Insect Pathology an Advanced Teatise. Academic Press.

New York. 233 – 271.

Lee, P.C. and Hou, R. 1989. Pathogenesis of Metarhizium anisopliae var. anisopliae in The Smaller Brown Planthopper, Laodelphax Striatellus.

Chinese J. Entomol. (9): 13

19. http://www.

Entsoc.org.tw/english/journal/9vol/nol/2.htm. (20 Desember 2003).

Nankinga, C. M. and Ongenga-Latigo, W. M. 1996. Effect of Method of

Aplication on The Effectiveness of Beauveria bassiana and Metarhizium anisopliae to the Banana Weevil, Cosmopolites sordidus Germar.

African J. Plant Protection. 6: 12 – 21.

Nankinga, C. M., Ongenga-latigo, W. M., Allard, G. B. and Ogwang, J. 1994.

Studies on The Potential of Beauveria bassiana For The Control of The

Banana Weevil Cosmopolites sordidus Germar in Uganda. Afrian Crop

Sci. J. 1:300-302.

9

Nankinga, C. M., Ongenga-latigo, W. M., Allard, G. B. and Ogwang, J. 1996.

Pathogenicity of Indigenous Isolat of Beauveria bassiana Against The

Banana Weevil, Cosmopolites sordidus Germar. African J. Plant

Protection.

6: 1 – 11.

Prayogo, Y., Tengkano, W., dan Marwoto. 2005. Prospek Cendawan

Entomopatogen Metarhizium anisopliae Untuk Mengendalikan Ulat

Grayak Spodoptera litura Pada Kedelai. Jurnal Litbang Pertanian . 24

(1) : 19 – 26.

Samson, R.A., Evans, H. C. and Latge, J. P. 1988. Atlas of Entomopathogenic fungi. Springer-verlang, Berlin. Germany. 187 hal.

Steinhaus, F.A. 1963. Insect Pathology an Advanced Theatise. Academic Press.

New York. 689 hal.

Strack, B. h. 2003. Biological Control of Termites by The Fungal

Entomopathogen Metarhizium anisopliae. http://www.

Utoronto.ca/forest/termite/metani- 1 htm (20 Desember 2003). 8 hal.

Tanada, Y., and Kaya, H.K. 1993. Insect Pathology. Academic Press, Inc., New

York, NY. 666. hal.

Trizelia. 2005. Cendawan Entomopatogen Beauveria bassiana : Keragaman

Genetik, Karakterisasi Fisiologi dan Virulensinya Terhadap

Crocidolomia pavonana . Disertasi. IPB Bogor. 125 hal.

Walstad, S., R.F. Anderson & Stanbaugh, W.J. 1970. Effects of Environmental

Condition on Two Species Muscardine Fungi ( Beveria bassiana and

Metarrhizium anisopliae ). Journal of Invertebrate Pathology . 16 : 221-

226.

Widayat, W. dan Rayati, D.J. 1993b. Pengaruh frekwensi penyemprotan Jamur

Entomopatogenik Terhadap Ulat Jengkal ( Ectropis bhurmitra ) di

Perkebunan The. Simposium Patologi Serangga 1. Universitas Gajah

Mada, Yogyakarta, 12 – 13 Oktober 1993. 91 – 98.

10

Download