BAB_III.doc

advertisement
• ¥O@ • Pþ Tþ %Z@ •O@
•
öißµ ÏÊ †5N ÓÏà qÔ-ý†ÐÃ
right.pdf f pdf .pdf •u'
`þ
•
• À•( <• ãÉ|2
Ì üŠ ”‹ BAB III.doc od
0•
EO@
•u' •#' " û•
Ì“
ô©Qu•#' •u' ¬u' ìÄ" ûÄ"
ìÄ" T” •#'
” áËËt
•u'
ìÄ"
$‘( äÄ" 0’( t”
” €ÊËtàÄ" ÌÄ" t” 5ÊËtÌÄ" ˆÄ" 0’( `
ˆÄ" üÄ" l” 5ZËtüÄ" •u' BABIII~1.DOC aÎt`
`
Œ”
OËt8aÎtˆÄ" ÌÄ" $—
ÛNËt`
ˆÄ" °Ã" îNËt”
ß
oõ P
•
`
€s-w•
€s-w
À–
( • 3é w€s-w
ÄÄ"
ÄÄ" ÄÅ" Å"
ª
ü—
ÄÄ"
•u' /
wp
!
¨– ½ wpd• ¨–
í wp
fÃ"
wpЖ
P ! @c€P ! Xr!
! àÏ" K n i
a P ! l
ˆÄ"
l
øÃ"
p4 wŸ4 wl mèp!
y a
! ۀ"
i h†
Ä" Ä !
˜o! H
!
ۀ"
ÈÅ"
– ¿, s – l– ®. s
lsÅ. s ' (’(
T– p’( PŸ' ÐO)
ÊjÄF(’( P—
X
ß ß
ð
Ä
! o!
! øÃ"
l m
“1 w8 ! o1 wj²
! ¨Ã"
}
|`
Ä" Ä ! ˜o! è
!
Ã" Ä—
w
! °Ã" (
(
! Ä ! Xr!
! Ä ! Xr!
! P !
Xr!
˜
}
P
˜
Ä
(Ã"
˜o!
Xr! ¸—
Xr! èp! }
(Ã" Ä !
˜
y|
À
è— ä–
@[( 0- M× w - þÿÿÿo1 wh- w
°Ã" °Ã"
x˜ ¨Ã" ø—
p/úu !
°Ã" ˜ fRúu°Ã" °Ã" ˜ CRúu
°Ã" (˜ çQúu°Ã" |˜ Ôpüu˜m!
Ôpüu
˜m! X˜ QSúuÔpüuš ˜m!
ïMûuX˜ X˜ è
qP’
T–
btamail.net.cn w8
o1 wâ¶
w
’
ð
’
•
ÊjÄF¼—
º•(
‰uQu
pW¯u•
C¼-GþÿÿÿšuQu
0’(
iZËtP
0’( ð
M× w - þÿÿÿo1 wh- w
ð
'
P
•u' ø
t“ Ä
Ҽt
P
P
ÔZËt•u' @
ß
Ä
•
l
•u' •#' " û•
¨“
ô©Qu•#' •u'
•u' F
'
Ò' x”
ž5 w8 ' Ÿ4 wÖ±
wè—
' P ' ìÄ" T” P '
| ' áËËt
P ' F
à•(
äÄ" 0’( t” €s-w
€s-w
À–
( L” 3é w€s-w0•
p”( L”
L” 9ï wÔ–( 0• Ì–( ð”
F
F
m w t w^±
wè—
Ò'
p”( Ø
P•
m
Ò'
Ò Ú P•
Dq w
P K n \ D r
M . S i \ P
M o r a l \
ž5 w8 ' Ÿ4
Tþ M× wv˜
p”(
oõ –
Ò
€s-wm
è— è— Ì–( Ò' `— ˜Ã
˜ Ø
D : \ D A T A \ F I l e
a .
I i m
S i t i
e n d
N i l a i
d a
B a h
(’(
' ˆ’( °
w¦²
0
€s-w
w¦—( $•
À–( •
|þéÿ
À–( Ø
"–
3é w€s-wè—
•o w
"–
D o s e n
J u r u s a n
M a s y i t o h ,
n
(
' (’(
—
w
' P ' †˜
ŒuP ' ° ( t '
' P '
à•(
ÿÿÿç
' @
Ò'
•u'
&²
w
•
ð˜(
0’( 0’( +’(
P '
' }pQ 8–
þÿÿÿŸ4 wÊ4 w4
@
*’( (’(
Øš
} w q-w
0’(
F
F
Ðø wL’(
¨—
aÁQuL’(
Øš ”š Œ‹QuX
`
êÒ'
Øš
p”(
´߲ ÏÊ Œ¼_ÑÏà °¦»µ ÏÊ *`ª
Ò' è˜
Tþ
M× wvL’( @[( L’(
€— ¨– ôd wTþ
<•
`þ
Ò'
¡‹Qu
êÒ' X
Й
è˜ |Ž w•Ž wF½
@[( €—
”—
˜
@
Ú Ú
—
Ò'
w
Й %Z@
P ' ° ( | '
@ ¨˜ P ' Øœ M× wjZ@ ™ ùe wЙ Øœ
ð™ ¤™ Øœ
f wØœ ¸™ Ëe wЙ Й ð™ ¤™ (°ý•
Й @™ ␠wЙ ð™
¸™ Ð wЙ
ð™ `þ
Ò' Tþ M× wv°”( •
0
b› °”(
Hš }pQ r
€
• Wd w¼I wed wð™
€
ƒO@
X
U•ôd w?
•
ÿÿ
;
#
#
`þ
0’( ôd wŸ Qu
•
jZ@
F
Ԝ
#
•
€ÿÿ
ø0±¥ 0±¥
@Iyˆ
û“•
ÿÿÿÿ6ôaƒ4ýÿÿä
4ýÿÿÌ
ZZ@ FZ@ Pþ Tþ %Z@ mO@
`þ
•
• 0’
( °”( o1 w
0•
O@ h•
`þ 0• 0• 0’( h• ãÉ|2Data\- <O@ h•
°¦»µ ÏÊ Œ¼_ÑÏà • .¶ ÏÊ
Data Buku Pendidikan Nilai dan
Moral t'
`t' •#' " û•
ø£
ô©Qu•#' `t' |t' ìÄ" ûÄ"
ìÄ" €¤ •#'
,¤ áËËt
`t'
ìÄ"
[( äÄ"
u' ¤ @¤ €ÊËtàÄ" ÌÄ" ¤ 5ÊËtÌÄ" ˆÄ"
u' `
ˆÄ" üÄ" ˜¤ 5ZËtüÄ" `t' DATABU~1 DOC a
Ît`
`
¸¤
OËt8aÎtˆÄ" ÌÄ" P§ ÛNËt`
ˆÄ" °Ã" îNËtH
ß
ox P
•
`
€s-w•
€s-w
Ò' 0¥ 3é w€s-w
ÄÄ"
labil,
kontekstual/kondisional, situasional. Tentang apa, mengapa, bagaimana
dengan cara apa pendidikan nilai. Maka akan dibahas pada bab ini tentang
tanggapan pendidikan nilai adalah adalah sebagai solusi dalam
merefleksikan nilai-nilai yang dianut manusia yang diaplikasikan sebagai
moralitas yang didasarkan norma (tata nilai) yang berlaku.
Pengertian Pendidikan Nilai Moral
Pada dasarnya, Pendidikan Nilai dapat dirumuskan dari dua pengertian
dasar yang terkandung dalam istilah pendidikan dan nilai. Ketika dua
istilah itu disatukan, arti keduanya menyatu dalam definisi Pendidikan
Nilai. Namun, karena arti pendidikan dan arti nilai dimaksud dapat
dimaknai berbeda, definisi Pendidikan Nilai-pun dapat beragam bergantung
pada tekanan dan rumusan yang diberikan pada kedua istilah itu.
Mulyana (2004:119) mengartikan Pendidikan Nilai sebagai penanaman dan
pengembangan nilai-nilai pada diri seseorang. Dalam pengertian yang
hampir sama, Mardiatmadja (Mulyana:2004:119) mendefinisikan Pendidikan
Nilai sebagai bantuan terhadap peserta didik agar menyadari dan mengalami
nilai-nilai serta menempatkannya secara integral dalam keseluruhan
hidupnya. Pendidikan Nilai tidak hanya merupakan program khusus yang
diajarkan melalui sejumlah mata pelajaran, akan tetapi mencakup
keseluruhan program pendidikan.
Hakam (2000:05) mengungkapkan bahwa Pendidikan Nilai adalah pendidikan
yang mempertimbangkan objek dari sudut moral dan sudut pandang non moral,
meliputi estetika, yakni menilai objek dari sudut pandang keindahan dan
selera pribadi, dan etika yaitu menilai benar atau salahnya dalam
hubungan antarpribadi.
Dari tiga definisi di atas, dapat dimaknai bahwa Pendidikan Nilai adalah
proses bimbingan melalui suri tauladan pendidikan yang berorientasi pada
penanaman nilai-nilai kehidupan yang di dalamnya mencakup nilai agama,
budaya, etika, dan estetika menuju pemberntukan pribadi peserta didik
yang memiliki kecerdasan spiritual keagamaan, pengendalian diri,
kepribadian yang utuh, berakhlak mulia, serta keterampilan yang
diperlukan dirinya, masyarakat, dan negara.
Pendidikan Nilai menurut Winecoff (1988:1-3) adalah:
Values Education-pertains to questions of both moral and nonmoral
judgement toward object; includes both aesthetics (ascribing value 10
objects of beauty and personal taste) and ethics (ascribing avlues
ofrighl and wrong in the interpersonal realm)
Arti dari value education atau pendidikan nilai di atas adalah pendidikan
yang memeprtimbangkan objek dari sudut moral dan sudut non moral, yang
meliputi estetika yaitu menilai objek dari sudut pandang keindahan dan
selera pribadi dan etika yaitu menilai benar atau salahnya dalam hubungan
antar pribadi.
Milton R (ibid:46) menyatakan bahwa esensi pendidikan nilai adalah
membina, mengembangkan kepercayaan dan sistem nilai yang menjadi potensi
manusia, sehingga menjadi nilai-nilai yang terorganisir pada dasar budaya
masyarakat, instansi dan personal.
Mulyana (2004:119) mengungkapkan bahwa secara umum, Pendidikan Nilai
dimaksudkan untuk membantu peserta didik agar memahami, menyadari, dan
mengalami nilai-nilai serta mampu menempatkannya secara integral dalam
kehidupan. Untuk sampai pada tujuan dimaksud, tindakan-tindakan
pendidikan yang mengarah pada perilaku yang baik dan benar perlu
diperkenalkan oleh para pendidik.
Di dalam proses pendidikan nilai, tindakan-tindakan pendidikan yang lebih
spesifik dimaksudkan untuk mencapai tujuan yang lebih khusus sebagaimana
diungkapkan Komite APEID (Asia and the Pasific Programme of Education
Innovaton for Depelopment) bahwa Pendidikan Nilai secara khusus ditujukan
untuk: a) menerapkan pembentukan nilai kepada peserta didik, b)
menghasilkan sikap yang mencerminkan nilai-nilai yang diinginkan, dan c)
membimbing perilaku yang konsisten dengan nilai-nilai tersebut. Dengan
demikian, Pendidikan Nilai meliputi tindakan mendidik yang berlangsung
mulai dari usaha penyadaran nilai sampai pada perwujudan perilakuperilaku yang bernilai.
Sementara Winecoff (1988:1-3) mengungkapkan bahwa tujuan pendidikan nilai
adalah sebagai berikut:
“Purpose of Values Education is process of helping students to explore
exiting values through critical examination in order that they might
raise of improve the quality of their thingking and feeling”
Pendidikan nilai membantu peserta didik dengan melibatkan proses-proses
sebagai berikut:
Identifikation of a core of personal and societal values (Adanya proses
identfikasi nilai personal dan nilai sosial terhadap stimulasi yang
diterima)
Philosophical and rational inquiry into the core (Adanya penyelidikan
secara rasional dan filosofis terhadap inti nilai-nilai dari stimulus
yang diterima)
Affective or emotive response to the core (Respon afektif dan respon
emotif terhadap inti nilai tersebut)
Decision-making related to the core based on inquiry and response
(Pengambilan keputusan berupa nilai-nilai dan perilaku terhadap stimulus,
berdasarkan penyelidikan terhadap nilai-nilai yang ada dalam dirinya)
Sasaran yang hendak dituju dalam Pendidikan Nilai adalah penanaman
nilai-nilai sosial tertentu dalam diri peserta didik. Berbagai metoda
pendidikan dan pengajaran yang digunakan dalam berbagai pendekatan lain
dapat digunakan juga dalam proses pendidikan dan pengajaran Pendidikan
Nilai. Ini penting, untuk memberi variasi kepada proses pendidikan dan
pengajarannya, sehingga lebih menarik dan tidak membosankan.
Pendidikan Nilai seyogyanya dikembangkan pada diri dan bersifat umum
untuk setiap orang. Pendidikan Nilai merupakan proses membina makna-makna
yang esensial, karena hakikatnya manusia adalah makhluk yang memiliki
kemampuan untuk mempelajari dan menghayati makna esensial, makna yang
esensial sangat penting bagi kelangsungan hidup manusia. Pendidikan Nilai
membimbing pemenuhan kehidupan manusia melalui perluasan dan pendalaman
makna yang menjamin kehidupan yang bermakna manusia (Philip H. Phenix;
1964). Pendidikan Nilai membina pribadi yang utuh, terampil berbicara,
menggunakan lambang dan isyarat yang secara faktual diinformasikan dengan
baik, manusia berkreasi dan menghargai estetika ditunjang oleh kehidupan
yang kaya dan penuh disiplin.
Djahiri (1992) mengemukakan delapan pendekatan dalam pendidikan nilai
atau budi pekerti, yaitu :
Evocation ; yaitu pendekatan agar peserta didik diberi kesempatan dan
keleluasaan untuk secara bebas mengekspresikan respon afektifnya terhadap
stimulus yang diterimanya.
Inculcation ; yaitu pendekatan agar peserta didik menerima stimulus yang
diarahkan menuju kondisi siap.
Moral Reasoning ; yaitu pendekatan agar terjadi transaksi intelektual
taksonomik tinggi dalam mencari pemecahan suatu masalah.
Value clarification ; yaitu pendekatan melalui stimulus terarah agar
siswa diajak mencari kejelasan isi pesan keharusan nilai moral.
Value Analyisis ; yaitu pendekatan agar siswa dirangsang untuk melakukan
analisis nilai moral.
Moral Awareness; yaitu pendekatan agar siswa menerima stimulus dan
dibangkitkan kesadarannya akan nilai tertentu.
Commitment Approach; yaitu pendekatan agar siswa sejak awal diajak
menyepakati adanya suatu pola pikir dalam proses pendidikan nilai.
Union Approach; yaitu pendekatan agar peserta didik diarahkan untuk
melaksanakan secara riil dalam suatu kehidupan.
Menurut Hers (1980), terdapat empat model pendidikan moral, yaitu teknik
pengungkapan nilai, analisis nilai, pengembangan kognitif moral, dan
tindakan sosial. Teknik pengungkapan nilai adalah teknik yang memandang
pendidikan moral dalam pengertian promoting self-awareness and self
caring dan bukan mengatasi masalah moral yang membantu mengungkapkan
moral yang dimiliki peserta didik tentang hal-hal tertentu. Pendekatannya
dilakukan dengan cara membantu peserta didik menemukan dan menilai/
menguji nilai yang mereka miliki untuk mencapai perasaan diri.
Model analisis nilai adalah model yang membantu peserta didik mempelajari
pengambilan keputusan melalui proses langkah demi langkah dengan cara
yang sangat sistematis. Model ini akan memberi makna bila dihadapkan pada
upaya menangani isu-isu kebijakan yang kompleks. Pengembangan kognitif
moral adalah model yang membantu peserta didik berpikir melalui
pertentangan dengan cara yang lebih jelas dan menyeluruh melalui tahapantahapan umum dari pertimbangan moral.
Tindakan sosial adalah model yang bertujuan meningkatkan kefektifan
peserta didik mengungkap, meneliti, dan memecahkan masalah sosial.
Terdapat empat hal penting yang perlu diperhatikan dalam menggunakan
model pendidikan moral, yaitu: berfokus kepada kehidupan, penerimaan akan
sesuatu, memerlukan refleksi lebih lanjut, dan harus mengarah pada tujuan
(Raths, 1965). Model-model tersebut melihat pendidikan moral sebagai
upaya menumbuhkan kesadaran diri dan kepedulian diri, bukan pemecahan.
Untuk dapat memahami konsep pendidikan nilai lebih jauh, berikut akan
diuraikan visi, misi dan sasaran pendidikan nilai:
Visi Pendidikan Nilai
Visi Pendidikan Nilai adalah manusia Indonesia yang memiliki akhlaqul
karimah, berkepribadian mulai sebagai manusia yang kaffah (utuh) baik
sebagai individu, makhluk sosial serta sebagai insan ciptaan Tuhan.
Misi Pendidikan Nilai
membina peserta didik agar memahami dan menyadari nilai-nilai dirinya dan
nilai-nilai orang lain (termasuk nilai individu, keluarga, masyarakat,
bangsa dan dunia) serta sumber-sumber nilai (Agama, sosbud, adat, hukum,
metafisik) dan muatan nilai IPOLEKSOSBUDAG.
membina peserta didik agar mampu mengaktualisasikan diri (mengapresiasi)
sebagai pribadi yang memiliki akhlakul karimah dan berkepribadian mulia
dalam hubungan di antara manusia (keluarga, masyarakat, bangsa dan dunia)
dalam hubungannya dengan alam semesta (ruang, waktu dan budaya) serta
hubunganya dengan pencipta yakni ibadah kepada Allah swt dalam menata
hidup hari ini dan hari kemudian.
membina peserta didik agar mampu melakukan proses pembelajaran pembinaan
nilai (dalam pendidikan formal maupun non dan dan informal) dalam bentuk
cognitive moral, affective moral (pendekatan qolbiyah), hevarioral moral,
pendekatan metafisik, pendekatan kultural serta pendekatan holistik.
Sasaran Pendidikan Nilai
Sasaran pendidikan nilai adalah bagaimana agar individu to be human being
dan to be human life. Djahiri (Hakam:2006:73) mengungkapkan bahwa :
Humanizing (memanusiakan manusia sehingga manusiawi, manusia yang utuh,
kaffah) yaitu dengan proses pembinaan, pengembangan dan perluasan
seperangkat nilai-norma dan norma ke dalam tatanan nilai dan keyakinan
(value and belief sistem) manusia secara layak dan manusiawi.
Empowering (memberdayakan manusia sebagai makhluk yang menyadari memiliki
sejumlah potensi dan meyadari keterbatasnnya) dengan cara (1) knowing the
what dan knowing the why (2) apreciate mean and end (3) experiencing,
acting and behaving.
Civilizing, baik dalam pola pikir, pola dzikir dan pola prilaku.
Visi, misi dan sasaran di atas mengandung muatan yang holistik, karena
peserta didik sebagai objek didik bukan hanya sekedar mengetahui nilai
dan sumber nilai, melainkan dibina ke arah nilai-nilai luhur yang perlu
diaktualisasikan dalam kehidupan pribadinya di keluarga, masyarakat,
negara dan percaturan dunia. Ia juga harus menyadari nilai orang lain,
nilai masyarakat, nilai agama orang lain, bangsa lain serta mampu hidup
arif dan bijak dalam perbedaan nilai tersebut sehingga tercipta kerukunan
hidup.
Sementara tentang pentingnya pendidikan nilai Arthur W.Combs
(Hakam,2006:74) mengemukakan beberapa pertimbangan bahwa terdapatnya
kekeliruan sementara orang., yakni :
Yang memisahkan antara pendidikan intelektual dan pendidikan afektif
seolah-olah dunia persekolahan disuruh memilih apakah akan membina
peserta didik yang cerdas tapi gila atau membina peserta didik yang
tenang tapi bodoh.
Ada orang yang memisahkan antara private culture dan public culture,
sementara pendidikan nilai dipandang sebagai private culture yang
merupakan otoritas keluarga dan lembaga keagamaan semata, sehingga
sekolah tidak perlu mengajarkan pendidikan nilai karena hanya akan
menimbulkan konflik
Pola pikir dan pemisahan pendidikan nilai dari dunia persekolahan
(pendidikan) tersebut menurut Arthur W. Comb bukan saja tidak tepat
bahkan keliru dan merusak dikarenakan:
Otak kita berorintasi pada makna (meaning), kerjanya tidak hanya stimulus
respon secara sederhana. Dalam keadaan terjaga maupun tertidur otak tetap
berusaha membuat pengalaman lahir (outer) maupun pengalaman bathin
(inner). Manusia adalah pencari dan pencipta makna, makna yang
diciptakannya menentukan bagaimana cara bertindak.
Belajar merupakan penemuan diri tentang makna. setiap informasi akan
berpengaruh pada pribadi selama orang itu menemukan makna informasi
tersebut. Dan aspek belajar yang sangat menentukan adalah pengalaman
subjektif siswa dalam penemuan dirinya tentang makna.
Perasaan dan emosi sebagai indikator makna. Semakin dekat dan terlibat
perasaan dan emosi seseorang dalam belajar maka akan semakin besar
pengaruhnya pada pelajar.
Faktor afektif, seperti konsep diri (self concept), tantangan/ancaman
(feeling of challenge), nilai (values), merasa memiliki dan diperhatikan
(feeling belonging and being care) sangat menentukan keberhasilan proses
belajar mengajar.
Keluarga dan lembaga keagamaan bergeser fungsi perannya serta berkurang
keampuhanya dalam melakukan pembinaan nilai.
Dengan demikian pendidikan nilai merupakan keniscayaan yang tidak dapat
ditawar-tawar lagi dalam sistem pendidikan persekolahan disetiap jalur
dan jenjang pendidikan baik formal, informal maupun nonformal.
Kemudian perlu dipahami bahwa pendidikan nilai memiliki esensi dan makna
yang sama dengan pendidikan moral dan pendidikan akhlak. Tujuannya adalah
membentuk pribadi anak, supaya menjadi manusia yang baik, warga
masyarakat, dan warga negara yang baik. Adapun kriteria manusia yang
baik, warga masyarakat yang baik, dan warga negara yang baik bagi suatu
masyarakat atau bangsa, secara umum adalah nilai-nilai sosial tertentu,
yang banyak dipengaruhi oleh budaya masyarakat dan bangsanya. Oleh karena
itu, hakikat dari Pendidikan Nilai dalam konteks pendidikan di Indonesia
adalah pedidikan nilai, yakni pendidikan nilai-nilai luhur yang bersumber
dari budaya bangsa Indonesia sendiri, dalam rangka membina kepribadian
generasi muda.
Dewasa ini banyak pihak menuntut peningkatan intensitas dan kualitas
pelaksanaan Pendidikan Nilai pada lembaga pendidikan formal. Tuntutan
tersebut didasarkan pada fenomena sosial yang berkembang, yakni
meningkatnya kenakalan remaja dalam masyarakat, seperti perkelahian
massal dan berbagai kasus dekadensi moral lainnya. Bahkan di kota-kota
besar tertentu, seperti Jakarta, gejala tersebut telah sampai pada taraf
yang sangat meresahkan. Oleh karena itu, lembaga pendidikan formal
sebagai wadah resmi pembinaan generasi muda diharapkan dapat meningkatkan
peranannya dalam pembentukan kepribadian siswa melalui peningkatan
intensitas dan kualitas pendidikan nilai.
Para pakar pendidikan pada umumnya sependapat tentang pentingnya upaya
peningkatan pendidikan nilai pada jalur pendidikan formal. Namun
demikian, ada perbedaan-perbedaan pendapat di antara mereka tentang
pendekatan dan modus pendidikannya. Berhubungan dengan pendekatan,
sebagian pakar menyarankan penggunaan pendekatan-pendekatan pendidikan
moral yang dikembangkan di negara-negara barat, seperti: pendekatan
perkembangan moral kognitif, pendekatan analisis nilai, dan pendekatan
klarifikasi nilai. Sebagian yang lain menyarankan penggunaan pendekatan
tradisional, yakni melalui penanaman nilai-nilai sosial tertentu dalam
diri siswa. Bagaimanakah karakteristik dari berbagai pendekatan nilai
yang berkembang saat ini? Pertanyaan selanjutnya, pendekatan apakah yang
paling tepat diimplementasikan dalam pelaksanaan pendidikan budi perkerti
di Indonesia? Uraian dalam naskah ini bertumpu pada dua persoalan pokok
tersebut.
Pendekatan Pendidikan Nilai Moral
Pendekatan penanaman Nilai
Pendekatan penanaman nilai (inculcation approach) adalah suatu pendekatan
yang memberi penekanan pada penanaman nilai-nilai sosial dalam diri
siswa. Menurut Superka et al. (1976), tujuan pendidikan nilai menurut
pendekatan ini adalah: Pertama, diterimanya nilai-nilai sosial tertentu
oleh siswa; Kedua, berubahnya nilai-nilai siswa yang tidak sesuai dengan
nilai-nilai sosial yang diinginkan.
Metoda yang digunakan dalam proses pembelajaran menurut pendekatan ini
antara lain: keteladanan, penguatan positif dan negatif, simulasi,
permainan peranan, dan lain-lain.
Pendekatan ini sebenarnya merupakan pendekatan tradisional. Banyak kritik
dalam berbagai literatur barat yang ditujukan kepada pendekatan ini.
Pendekatan ini dipandang indoktrinatif, tidak sesuai dengan perkembangan
kehidupan demokrasi (Windmiller,1976).Pendekatan ini dinilai mengabaikan
hak anak untuk memilih nilainya sendiri secara bebas. Menurut Raths.
(1978) kehidupan manusia berbeda karena perbedaan waktu dan tempat. Kita
tidak dapat meramalkan nilai yang sesuai untuk generasi yang akan datang.
Menurut beliau, setiap generasi mempunyai hak untuk menentukan nilainya
sendiri. Oleh karena itu, yang perlu diajarkan kepada generasi muda
bukannya nilai, melainkan proses, supaya mereka dapat menemukan nilainilai mereka sendiri, sesuai dengan tempat dan zamannya.
Pendekatan penanaman nilai mungkin tidak sesuai dengan alam pendidikan
Barat yang sangat menjunjung tinggi nilai-nilai kebebasan individu. Namun
demikian, seperti dijelaskan oleh Superka (1976) disadari atau tidak
disadari pendekatan ini digunakan secara meluas dalam berbagai
masyarakat, terutamanya dalam penanaman nilai-nilai agama dan nilai-nilai
budaya. Para penganut agama memiliki kecenderungan yang kuat untuk
menggunakan pendekatan ini dalam pelaksanaan program-program pendidikan
agama. Bagi penganut-penganutnya, agama merupakan ajaran yang memuat
nilai-nilai ideal yang bersifat global dan kebenarannya bersifat mutlak.
Nilai-nilai itu harus diterima dan dipercayai. Oleh karena itu, proses
pendidikannya harus bertitik tolak dari ajaran atau nilai-nilai tersebut.
Seperti dipahami bahwa dalam banyak hal batas-batas kebenaran dalam
ajaran agama sudah jelas, pasti, dan harus diimani. Ajaran agama tentang
berbagai aspek kehidupan harus diajarkan, diterima, dan diyakini
kebenarannya oleh pemeluk-pemeluknya. Keimanan merupakan dasar penting
dalam pendidikan agama.
Pendekatan perkembangan kognitif
Pendekatan ini dikatakan pendekatan perkembangan kognitif karena
karakteristiknya memberikan penekanan pada aspek kognitif dan
perkembangannya. Pendekatan ini mendorong siswa untuk berpikir aktif
tentang masalah-masalah moral dan dalam membuat keputusan-keputusan
moral. Perkembangan moral menurut pendekatan ini dilihat sebagai
perkembangan tingkat berpikir dalam membuat pertimbangan moral, dari
suatu tingkat yang lebih rendah menuju suatu tingkat yang lebih tinggi
(Elias, 1989).
Tujuan yang ingin dicapai oleh pendekatan ini ada dua hal yang utama.
Pertama, membantu siswa dalam membuat pertimbangan moral yang lebih
kompleks berdasarkan kepada nilai yang lebih tinggi. Kedua, mendorong
siswa untuk mendiskusikan alasan-alasannya ketika memilih nilai dan
posisinya dalam suatu masalah moral (Superka, et. al., 1976; Banks,
1985).
Proses pengajaran nilai menurut pendekatan ini didasarkan pada dilema
moral, dengan menggunakan metoda diskusi kelompok. Diskusi itu
dilaksanakan dengan memberi perhatian kepada tiga kondisi penting.
Pertama, mendorong siswa menuju tingkat pertimbangan moral yang lebih
tinggi. Kedua, adanya dilema, baik dilema hipotetikal maupun dilema
faktual berhubungan dengan nilai dalam kehidupan seharian. Ketiga,
suasana yang dapat mendukung bagi berlangsungnya diskusi dengan baik
(Superka, et. al. 1976; Banks, 1985). Proses diskusi dimulai dengan
penyajian cerita yang mengandung dilema. Dalam diskusi tersebut, siswa
didorong untuk menentukan posisi apa yang sepatutnya dilakukan oleh orang
yang terlibat, apa alasan-alasannya. Siswa diminta mendiskusikan tentang
alasan-alasan itu dengan teman-temannya.
Pendekatan perkembangan kognitif pertama kali dikemukakan oleh Dewey
(Kohlberg 1971, 1977). Selanjutkan dikembangkan lagi oleh Peaget dan
Kohlberg (Freankel, 1977; Hersh, et. al. 1980). Dewey membagi
perkembangan moral anak menjadi tiga tahap (level) sebagai berikut: (1)
Tahap "premoral" atau "preconventional". Dalam tahap ini tingkah laku
seseorang didorong oleh desakan yang bersifat fisikal atau sosial; (2)
Tahap "conventional". Dalam tahap ini seseorang mulai menerima nilai
dengan sedikit kritis, berdasarkan kepada kriteria kelompoknya. (3) Tahap
"autonomous". Dalam tahap ini seseorang berbuat atau bertingkah laku
sesuai dengan akal pikiran dan pertimbangan dirinya sendiri, tidak
sepenuhnya menerima kriteria kelompoknya.
Piaget berusaha mendefinisikan tingkat perkembangan moral pada anak-anak
melalui pengamatan dan wawancara (Windmiller, 1976). Dari hasil
pengamatan terhadap anak-anak ketika bermain, dan jawaban mereka atas
pertanyaan mengapa mereka patuh kepada peraturan, Piaget sampai pada
suatu kesimpulan bahwa perkembangan kemampuan kognitif pada anak-anak
mempengaruhi pertimbangan moral mereka.
Kohlberg (1977) juga mengembangkan teorinya berdasarkan kepada asumsiasumsi umum tentang teori perkembangan kognitif dari Dewey dan Piaget di
atas. Seperti dijelaskan oleh Elias (1989), Kohlberg mendefinisikan
kembali dan mengembangkan teorinya menjadi lebih rinci. Tingkat-tingkat
perkembangan moral menurut Kohlberg dimulai dari konsekuensi yang
sederhana, yang berupa pengaruh kurang menyenangkan dari luar ke atas
tingkah laku, sampai kepada penghayatan dan kesadaran tentang nilai-nilai
kemanusian universal. Lebih tinggi tingkat berpikir adalah lebih baik,
dan otonomi lebih baik daripada heteronomi. Tahap-tahap perkembangan
moral diperinci sebagai berikut:
Tahapan "preconventional":
Tingkat 1: moralitas heteronomus. Dalam tingkat perkembangan ini
moralitas dari sesuatu perbuatan ditentukan oleh ciri-ciri dan akibat
yang bersifat fisik.
Tingkat 2: moralitas individu dan timbal balik. Seseorang mulai sadar
dengan tujuan dan keperluan orang lain. Seseorang berusaha untuk memenuhi
kepentingan sendiri dengan memperhatikan juga kepentingan orang lain.
Tahapan "conventional":
Tingkat 3: moralitas harapan saling antara individu. Kriteria baik atau
buruknya suatu perbuatan dalam tingkat ini ditentukan oleh norma bersama
dan hubungan saling mempercayai.
Tingkat 4: moralitas sistem sosial dan kata hati. Sesuatu perbuatan
dinilai baik jika disetujui oleh yang berkuasa dan sesuai dengan
peraturan yang menjamin ketertiban dalam masyarakat.
Tahapan "posconventional":
Tingkat 4,5: tingkat transisi. Seseorang belum sampai pada tingkat
"posconventional" yang sebenarnya. Pada tingkat ini kriteria benar atau
salah bersifat personal dan subjektif, dan tidak memiliki prinsip yang
jelas dalam mengambil suatu keputusan moral. Tingkat 5: moralitas
kesejahteraan sosial dan hak-hak manusia. Kriteria moralitas dari sesuatu
perbuatan adalah yang dapat menjamin hak-hak individu serta sesuai dengan
norma-norma yang berlaku dalam suatu masyarakat.
Tingkat 6: moralitas yang didasarkan pada prinsip-prinsip moral yang
umum. Ukuran benar atau salah ditentukan oleh pilihan sendiri berdasarkan
prinsip-prinsip moral yang logis, konsisten, dan bersifat universal.
Asumsi-asumsi yang digunakan Kohlberg (1971,1977) dalam mengembangkan
teorinya sebagai berikut: (a) Bahwa kunci untuk dapat memahami tingkah
laku moral seseorang adalah dengan memahami filsafat moralnya, yakni
dengan memahami alasan-alasan yang melatar belakangi perbuatannya, (b)
Tingkat perkembangan tersusun sebagai suatu keseluruhan cara berpikir.
Setiap orang akan konsisten dalam tingkat pertimbangan moralnya, (c)
Konsep tingkat perkembangan moral menyatakan rangkaian urutan
perkembangan yang bersifat universal, dalam berbagai kondisi kebudayaan.
Sesuai dengan asumsi-asumsi tersebut, konsep perkembangan moral menurut
teori Kohlberg memiliki empat ciri utama. Pertama, tingkat perkembangan
itu terjadi dalam rangkaian yang sama pada semua orang. Seseorang tidak
pernah melompati suatu tingkat. Perkembangannya selalu ke arah tingkat
yang lebih tinggi. Kedua, tingkat perkembangan itu selalu tersusun
berurutan secara bertingkat. Dengan demikian, seseorang yang membuat
pertimbangan moral pada tingkat yang lebih tinggi, dengan mudah dapat
memahami pertimbangan moral tingkat yang lebih rendah. Ketiga, tingkat
perkembangan itu terstruktur sebagai suatu keseluruhan. Artinya,
seseorang konsisten pada tahapan pertimbangan moralnya. Keempat, tingkat
perkembangan ini memberi penekanan pada struktur pertimbangan moral,
bukan pada isi pertimbangannya.
Pendekatan perkembangan kognitif mudah digunakan dalam proses pendidikan
di sekolah, karena pendekatan ini memberikan penekanan pada aspek
perkembangan kemampuan berpikir. Oleh karena pendekatan ini memberikan
perhatian sepenuhnya kepada isu moral dan penyelesaian masalah yang
berhubungan dengan pertentangan nilai tertentu dalam masyarakat,
penggunaan pendekatan ini menjadi menarik. Penggunaannya dapat
menghidupkan suasana kelas. Teori Kohlberg dinilai paling konsisten
dengan teori ilmiah, peka untuk membedakan kemampuan dalam membuat
pertimbangan moral, mendukung perkembangan moral, dan melebihi berbagai
teori lain yang berdasarkan kepada hasil penelitian empiris.
Pendekatan ini juga memiliki kelemahan-kelemahan. Salah satu kelemahannya
seperti dikemukakan oleh Hersh (1980), pendekatan ini menampilkan bisa
budaya barat. Antara lain sangat menjunjung tinggi kebebasan pribadi yang
berdasarkan filsafat liberal. Dalam proses pendidikan dan pengajaran,
pendekatan ini juga tidak mementingkan kriteria benar salah untuk suatu
perbuatan. Yang dipentingkan adalah alasan yang dikemukakan atau
pertimbangan moralnya.
Teori Kohlberg juga dikritik mengandung bisa sex, karena dilema yang
dikemukakannya dan orientasi penilaian pada keadilan dan hak lebih tepat
bagi kaum pria. Berdasarkan kepada hasil uji empiris, kaum wanita
cenderung mendapat skor lebih rendah dari kaum pria (Power, 1994). Dalam
pelaksanaan program-programnya, teori ini juga memberi penekanan pada
proses dan struktur pertimbangan moral, mengabaikan nilai dan isi
pertimbangnnya. Berhubungan dengan hal ini, menurut Ryan dan Lickona
(1987), pendidikan moral dengan penekanan kepada proses semata dan
mengabaikan isi, tidak akan mencapai sepenuhnya apa yang diharapkan. Dari
sisi lain, pengakuan Kohlberg bahwa teorinya berdasarkan kepada prinsipprinsip moral yang bersifat universal dibantah juga oleh Liebert (1992).
Menurut Liebert, berbagai kajian dalam bidang antropologi tidak mendukung
pandangan tentang adanya prinsip-prinsip moral yang universal seperti
yang dikemukakan Kohlberg. Realita yang ditemukan adalah berbagai norma,
standard, dan nilai-nilai moral yang dipengaruhi oleh budaya masyarakat
pendukungnya.
Walaupun pendekatan ini mengandung kelemahan-kelemahan dalam segi-segi
tertentu, namun seperti dijelaskan juga oleh Ryan dan Lickona (1987),
teori ini juga telah memberi sumbangan berharga bagi perkembangan
pendidikan moral.
Pendekatan analisis nilai
Pendekatan analisis nilai (values analysis approach) memberikan penekanan
pada perkembangan kemampuan siswa untuk berpikir logis, dengan cara
menganalisis masalah yang berhubungan dengan nilai-nilai sosial. Jika
dibandingkan dengan pendekatan perkembangan kognitif, salah satu
perbedaan penting antara keduanya bahwa pendekatan analisis nilai lebih
menekankan pada pembahasan masalah-masalah yang memuat nilai-nilai
sosial. Adapun pendekatan perkembangan kognitif memberi penekanan pada
dilemma moral yang bersifat perseorangan.
Ada dua tujuan utama pendidikan moral menurut pendekatan ini. Pertama,
membantu siswa untuk menggunakan kemampuan berpikir logis dan penemuan
ilmiah dalam menganalisis masalah-masalah sosial, yang berhubungan dengan
nilai moral tertentu. Kedua, membantu siswa untuk menggunakan proses
berpikir rasional dan analitik, dalam menghubung-hubungkan dan merumuskan
konsep tentang nilai-nilai mereka. Selanjutnya, metoda-metoda pengajaran
yang sering digunakan adalah: pembelajaran secara individu atau kolompok
tentang masalah-masalah sosial yang memuat nilai moral, penyelidikan
kepustakaan, penyelidikan lapangan, dan diskusi kelas berdasarkan kepada
pemikiran rasional (Superka, et. al. 1976).
Ada enam langkah analisis nilai yang penting dan perlu diperhatikan dalam
proses pendidikan nilai menurut pendekatan ini (Hersh, et. al., 1980;
Elias, 1989). Enam langkah tersebut menjadi dasar dan sejajar dengan enam
tugas penyelesaian masalah berhubungan dengan nilai. Enam langkah dan
tugas tersebut sebagai berikut:
Langkah analisis nilai: Tugas penyelesaian masalah: 1. Mengidentifikasi
dan menjelaskan nilai yang terkait 1. Mengurangi perbedaan penafsiran
tentang nilai yang terkait 2. Mengumpulkan fakta yang berhubungan. 2.
Mengurangi perbedaan dalam fakta yang berhubungan 3.Menguji kebenaran
fakta yang berkaitan. 3. Mengurangi perbedaan kebenaran tentang fakta
yang berkaitan. 4. Menjelaskan kaitan antara fakta yang bersangkutan 4.
Mengurangi perbedaan tentang kaitan antara fakta yang bersangkutan. 5.
Merumuskan keputusan moral sementara. 5. Mengurangi perbedaan dalam
rumusan keputusan sementara. 6. Menguji prinsip moral yang digunakan
dalam pengambilan keputusan. 6. Mengurangi perbedaan dalam pengujian
prinsip moral yang diterima.
Penganjur pendekatan ini adalah suatu kelompok pakar pendidikan, filosuf,
dan pakar psikologi, termasuk di dalamnya: Jerrold Commbs, Milton Mieux,
dan James Chadwick (Elias, 1989; Hersh, 1980). Kekuatan pendekatan ini,
antara lain mudah diaplikasikan dalam ruang kelas, karena penekanannya
pada pengembangan kemampuan kognitif. Selain itu, seperti terlihat dalam
rumusan prosedur analisis nilai dan penyelesaian masalah di atas,
pendekatan ini menawarkan langkah-langkah yang sistematis dalam
pelaksanaan proses pembelajaran moral.
Kelemahannya, berdasarkan kepada: prosedur analisis nilai yang ditawarkan
serta tujuan dan metoda pengajaran yang digunakan, seperti yang
dijelaskan oleh Superka, et. al. (1976), pendekatan ini sangat menekankan
aspek kognitif, dan sebaliknya mengabaikan aspek afektif serta perilaku.
Dari perspektif yang lain, seperti yang dijelaskan oleh Ryan dan Lickona
(1987), pendekatan ini sama dengan pendekatan perkembangan kognitif dan
pendekatan klarifikasi nilai, sangat berat memberi penekanan pada proses,
kurang mementingkan isi nilai.
Pendekatan klarifikasi nilai
Pendekatan klarifikasi nilai (values clarification approach) memberi
penekanan pada usaha membantu siswa dalam mengkaji perasaan dan
perbuatannya sendiri, untuk meningkatkan kesadaran mereka tentang nilainilai mereka sendiri.
Tujuan pendidikan nilai menurut pendekatan ini ada tiga. Pertama,
membantu siswa untuk menyadari dan mengidentifikasi nilai-nilai mereka
sendiri serta nilai-nilai orang lain; Kedua, membantu siswa, supaya
mereka mampu berkomunikasi secara terbuka dan jujur dengan orang lain,
berhubungan dengan nilai-nilainya sendiri; Kedua, membantu siswa, supaya
mereka mampu menggunakan secara bersama-sama kemampuan berpikir rasional
dan kesadaran emosional, untuk memahami perasaan, nilai-nilai, dan pola
tingkah laku mereka sendiri (Superka, et. al. 1976).
Dalam proses pengajarannya, pendekatan ini menggunakan metoda: dialog,
menulis, diskusi dalam kelompok besar atau kecil, dan lain-lain (Raths,
et. Al., 1978).
Pendekatan ini antara lain dikembangkan oleh Raths, Harmin, dan Simon
(Shaver, 1976). Mereka telah menulis sebuah buku, yang pertama-tama
membahas tentang pendekatan ini secara terperici, dengan judul Values and
teaching: working with values in the classroom. Edisi pertama buku
tersebut diterbitkan pada tahun 1966 oleh penerbit Charles E. Merrill.
Istilah values clarification pertama kali digunakan oleh Louis Raths pada
tahun 1950an, ketika beliau mengajar di New York University.
Pendekatan ini memberi penekanan pada nilai yang sesungguhnya dimiliki
oleh seseorang. Bagi penganut pendekatan ini, nilai bersifat subjektif,
ditentukan oleh seseorang berdasarkan kepada berbagai latar belakang
pengalamannya sendiri, tidak ditentukan oleh faktor luar, seperti agama,
masyarakat, dan sebagainya. Oleh karena itu, bagi penganut pendekatan ini
isi nilai tidak terlalu penting. Hal yang sangat dipentingkan dalam
program pendidikan adalah mengembangkan keterampilan siswa dalam
melakukan proses menilai. Sejalan dengan pandangan tersebut, sebagaimana
dijelaskan oleh Elias (1989), bahwa bagi penganut pendekatan ini, guru
bukan sebagai pengajar nilai, melainkan sebagai role model dan pendorong.
Peranan guru adalah mendorong siswa dengan pertanyaan-pertanyaan yang
relevan untuk mengembangkan keterampilan siswa dalam melakukan proses
menilai.
Ada tiga proses klarifikasi nilai menurut pendekatan ini. Dalam tiga
proses tersebut terdapat tujuh subproses sebagai berikut:
Pertama, memilih : 1). dengan bebas
2). dari berbagai alternative
3).
setelah mengadakan pertimbangan tentang berbagai akibatnya, Kedua,
menghargai: 4). merasa bahagia atau gembira dengan pilihannya,
5). mau
mengakui pilihannya itu di depan umum, Ketiga, bertindak: 6). berbuat
sesuatu sesuai dengan pilihannya,
7). diulang-ulang sebagai suatu pola
tingkah laku dalam hidup (Raths, et. al., 197
Untuk mengembangkan keterampilan siswa dalam melakukan proses menilai
tersebut, Raths, et. al. (1978) telah merumuskan juga empat pedoman
sebagai kunci penting sebagai berikut: (1) Tumpuan perhatian diberikan
pada kehidupan. Yang dimaksudkan adalah berusaha untuk mengarahkan
tumpuan perhatian orang pada berbagai aspek kehidupan mereka sendiri,
supaya mereka dapat mengidentifikasi hal-hal yang mereka nilai; (2)
Penerimaan sesuai dengan apa adanya. Yang dimaksudkan, ketika kita
memberi perhatian pada klarifikasi nilai, kita perlu menerima posisi
orang lain tanpa pertimbangan, sesuai dengan apa adanya; (3) Stimulus
untuk bertindak lebih lanjut. Artinya, kita perlu lebih banyak berbuat
sebagai refleksi nilai, dari pada sekedar menerima; (4) Pengembangan
kemampuan perseorangan. Artinya, dengan pendekatan ini bukan hanya
mengembangkan keterampilan klarifikasi nilai, tetapi juga mendapat
tuntunan untuk berpikir dan berbuat lebih lanjut.
Kekuatan pendekatan ini terutama memberikan penghargaan yang tinggi
kepada siswa sebagai individu yang mempunyai hak untuk memilih,
menghargai, dan bertindak berdasarkan kepada nilainya sendiri (Banks,
1985). Metoda pengajarannya juga sangat fleksibel, selama dipandang
sesuai dengan rumusan proses menilai dan empat garis panduan yang
ditentukan, seperti telah dijelaskan di atas
Sama halnya dengan pendekatan perkembangan kognitif, pendekatan ini juga
mengandung kelemahan menampilkan bisa budaya barat. Dalam pendekatan ini,
kriteria benar salah sangat relatif, karena sangat mementingkan nilai
perseorangan. Seperti dikemukakan oleh Banks (1985), pendidikan nilai
menurut pendekatan ini tidak memiliki suatu tujuan tertentu berkaitan
dengan nilai. Sebab, bagi penganut pendekatan ini, menentukan sejumlah
nilai untuk siswa adalah tidak wajar dan tidak etis.
Pendekatan pembelajaran berbuat
Pendekatan pembelajaran berbuat (action learning approach) memberi
penekanan pada usaha memberikan kesempatan kepada siswa untuk melakukan
perbuatan-perbuatan moral, baik secara perseorangan maupun secara
bersama-sama dalam suatu kelompok.
Superka, et. al. (1976) menyimpulkan ada dua tujuan utama pendidikan
moral berdasarkan kepada pendekatan ini. Pertama, memberi kesempatan
kepada siswa untuk melakukan perbuatan moral, baik secara perseorangan
mahupun secara bersama-sama, berdasarkan nilai-nilai mereka sendiri;
Kedua, mendorong siswa untuk melihat diri mereka sebagai makhluk individu
dan makhluk sosial dalam pergaulan dengan sesama, yang tidak memiliki
kebebasan sepenuhnya, melainkan sebagai warga dari suatu masyarakat, yang
harus mengambil bagian dalam suatu proses demokrasi.
Metoda-metoda pengajaran yang digunakan dalam pendekatan analisis nilai
dan klarifikasi nilai digunakan juga dalam pendekatan ini. Metoda-metoda
lain yang digunakan juga adalah proyek-proyek tertentu untuk dilakukan di
sekolah atau dalam masyarakat, dan praktek keterampilan dalam
berorganisasi atau berhubungan antara sesama (Superka, et. al., 1976).
Menurut Elias (1989), Hersh, et. al., (1980) dan Superka, et. al. (1976),
pendekatan pembelajaran berbuat diprakarsai oleh Newmann, dengan
memberikan perhatian mendalam pada usaha melibatkan siswa sekolah
menengah atas dalam melakukan perubahan-perubahan sosial. Menurut Elias
(1989), walaupun pendekatan ini berusaha juga untuk meningkatkan
keterampilan "moral reasoning" dan dimensi afektif, namun tujuan yang
paling penting adalah memberikan pengajaran kepada siswa, supaya mereka
berkemampuan untuk mempengaruhi kebijakan umum sebagai warga dalam suatu
masyarakat yang demokratis. Penganjur pendekatan ini memandang bahwa
kelemahan dari berbagai pendekatan lain adalah menghasilkan warga negara
yang pasif. Menurut mereka, melalui program-program pendidikan moral
sepatutnya menghasilkan warga negara yang aktif, yakni warga negara yang
memiliki kompetensi yang diperlukan dalam lingkungan hidupnya
(environmental competence) sebagai berikut: (1) kompetensi fisik
(physical competence), yang dapat memberikan nilai tertentu terhadap
suatu obyek. Misalnya: melukis suatu sesuatu membangun sebuah rumah, dan
sebagainya; (2) kompetensi hubungan antarpribadi (interpersonal
competence), yang dapat memberi pengaruh kepada orang-orang melalui
hubungan antara sesama. Misalnya: saling memperhatikan, persahabatan, dan
hubungan ekonomi, dan lain-lain; (3) kompetensi kewarganegaraan (civic
competence), yang dapat memberi pengaruh kepada urusan-urusan masyarakat
umum. Misalnya: proses pemilihan umum dengan memberi bantuan kepada
seseorang calon atau partai peserta untuk memperoleh kemenangan, atau
melalui kelompok peminat tertentu, mampu mempengaruhi perubahan
kebijaksanaan umum.
Di antara ketiga kompetensi tersebut, kompetensi yang ketiga (civic
competence) merupakan kompetensi yang paling penting bagi Newman (Hersh,
et. al., 1980). Kompetensi ini ingin dikembangkan melalui program-program
pendidikan moral. Kekuatan pendekatan ini terutama pada program-program
yang disediakan dan memberikan kesempatan kepada siswa untuk
berpartisipasi secara aktif dalam kehidupan demokrasi. Kesempatan seperti
ini, menurut Hersh, et. al. (1980) kurang mendapat perhatian dalam
berbagai pendekatan lain.
Kelemahan pendekatan ini menurut Elias (1989) sukar dijalankan. Menurut
beliau, sebahagian dari program-program yang dikembangkan oleh Newmann
dapat digunakan, namun secara keseluruhannya sukar dilaksanakan.
Implementasi Pendidikan Nilai
Pendekatan penanaman nilai (inculcation approach) adalah pendekatan yang
paling tepat digunakan dalam pelaksanaan Pendidikan Nilai di Indonesia.
Walaupun pendekatan ini dikritik sebagai pendekatan indoktrinatif oleh
penganut filsafat liberal, seperti telah diuraikan di atas, namun
berdasarkan kepada nilai-nilai luhur budaya bangsa Indonesia dan falsafah
Pancasila, pendekatan ini dipandang paling sesuai. Alasan-alasan untuk
mendukung pandangan ini antara lain sebagai berikut.
Tujuan Pendidikan Nilai adalah penanaman nilai-nilai tertentu dalam diri
siswa. Pengajarannya bertitik tolak dari nilai-nilai sosial tertentu,
yakni nilai-nilai Pancasila dan nilai-nilai luhur budaya bangsa Indonesia
lainnya, yang tumbuh dan berkembangan dalam masyarakat Indonesia.
Menurut nilai-nilai luhur budaya bangsa Indonesia dan pandangan hidup
Pancasila, manusia memiliki berbagai hak dan kewajiban dalam hidupnya.
Setiap hak senantiasa disertai dengan kewajiban, misalnya: hak sebagai
pembeli, disertai kewajiban sebagai pembeli terhadap penjual; hak sebagai
anak, disertai dengan kewajiban sebagai anak terhadap orang tua; hak
sebagai pegawai negeri, disertai kewajiban sebagai pegawai negeri
terhadap masyarakat dan negara; dan sebagainya. Dalam rangka Pendidikan
Nilai, siswa perlu diperkenalkan dengan hak dan kewajibannya, supaya
menyadari dan dapat melaksanakan hak dan kewajiban tersebut dengan
sebaik-baiknya.
Selanjutnya, menurut konsep Pancasila, hakikat manusia adalah makhluk
Tuhan Yang Maha Esa, makhluk sosial, dan makhluk individu. Sehubungan
dengan hakikatnya itu, manusia memiliki hak dan kewajiban asasi, sebagai
hak dan kewajiban dasar yang melekat eksistensi kemanusiaannya itu. Hak
dan kewajiban asasi tersebut juga dihargai secara berimbang. Dalam rangka
Pendidikan Nilai, siswa juga perlu diperkenalkan dengan hak dan kewajiban
asasinya sebagai manusia.
Dalam pengajaran Nilai di Indonesia, faktor isi atau nilai merupakan hal
yang amat penting. Dalam hal ini berbeda dengan pendidikan moral dalam
masyarakat liberal, yang hanya mementingkan proses atau keterampilan
dalam membuat pertimbangan moral. Pengajaran nilai menurut pandangan
tersebut adalah suatu indoktrinasi, yang harus dijauhi. Anak harus
diberikan kebebasan untuk memilih dan menentukan nilainya sendiri.
Pandangan ini berbeda dengan falsafah Pancasila dan budaya luhur bangsa
Indonesia, yang percaya kepada Tuhan Yang Maha Esa. Misalnya, berzina,
berjudi, adalah perbuatan tercela, yang harus dihindari; orang tua harus
dihormati, dan sebagainya. Nilai-nilai ini harus diajarkan kepada anak,
sebagai pedoman tingkah laku dalam kehidupan sehari-hari. Dengan
demikian, dalam pengajaran Nilai faktor isi nilai dan proses, keduanya
sama-sama dipentingkan.
Berbagai metode pengajaran yang digunakan dalam pendekatan-pendekatan
lain dapat digunakan juga dalam pengajaran Pendidikan Nilai.
Implementasinya sebagai berikut: (1) Metode yang digunakan dalam
Pendekatan Perkembangan Moral Kognitif. Misalnya mengangkat dan
mendiskusikan kasus atau masalah Nilai dalam masyarakat yang mengandung
dilemma, untuk didiskusikan dalam kelas. Penggunaan metoda ini akan dapat
menghidupkan suasana kelas. Namun berbeda dengan Pendekatan Perkembangan
Moral Kognitif di mana yang memberi kebebasan penuh kepada siswa untuk
berpikir dan sampai pada kesimpulan yang sesuai dengan tingkat
perkembangan moral reasoning masing-masing, dalam pengajaran Pendidikan
Nilai siswa diarahkan sampai pada kesimpulan akhir yang sama, sesuai
dengan nilai-nilai sosial tertentu, yang bersumber dari Pancasila dan
budaya luhur bangsa Indonesia; (2) Metoda pengajaran yang digunakan
Pendekatan Analisis Nilai, khususnya prosedur analisis nilai dan
penyelesaian masalah yang ditawarkan, bermanfaat jua untuk diaplikasikan
sebagai salah satu strategi dalam proses pengajaran Pendidikan Nilai.
Seperti telah dijelaskan, dalam mata pelajaran ini, aspek perkembangan
kognitif merupakan aspek yang dipentingkan juga, yakni untuk mendukung
dan menjadi dasar bagi pengembangan sikap dan tingkah laku yang sesuai
dengan nilai-nilai sosial yang ingin ditanamkan. Hal ini sejalan dengan
penegasan Haydon (1995) bahwa pengetahuan dan pemahaman konsep adalah
penting dalam pendidikan moral, untuk membentuk sikap moral yang lebih
stabil dalam diri seseorang; (3) Metoda pengajaran yang digunakan dalam
Pendekatan Klarifikasi Nilai, dengan memperhatikan faktor keadaan serta
bahan pelajarannya yang relevan, dapat diaplikasikan juga dalam
pengajaran Pendidikan Nilai. Namun demikian, seperti dijelaskan oleh
Prayitno (1994), penggunaannya perlu hati-hati, supaya tidak membuka
kesempatan bagi siswa, untuk memilih nilai-nilai yang bertentangan dengan
nilai-nilai masyarakatnya, terutama nilai-nilai Agama dan nilai-nilai
Pancasila yang ingin dibudayakan dan ditanamkan dalam diri mereka; (4)
Metoda pengajaran yang digunakan dalam Pendekatan Pembelajaran Berbuat
bermanfaat juga untuk diaplikasikan dalam pengajaran "Pendidikan
Pancasila" di Indonesia, khususnya pada peringkat sekolah lanjutan
tingkat atas. Para siswa pada peringkat ini lebih tepat untuk melakukan
tugas-tugas di luar ruang kelas, yang dikembangkan untuk meningkatkan
kompetensi yang berhubungan dengan lingkungan, seperti yang dituntut oleh
pendekatan ini. Namun demikian, mengingat kelemahan-kelemahan pendekatan
ini, seperti dikemukakan di atas, penggunaan metoda dan strategi
pengajaran berdasarkan kepada pendekatan ini dapat digunakan dalam batasbatas yang memungkinkan. Untuk ini perlu dirumuskan program-program yang
sederhana dan memungkinkan untuk dilaksanakan pada masing-masing sekolah.
Implementasi Nilai di Lingkungan Sekolah
Ki Hajar Dewantara (Mulyana,2004:141) membagi lingkungan pendidikan
menjadi tiga yang disebutnya sebagai Tri Pusat Pendidikan, yaitu sekolah,
keluarga dan masyarakat. Undang-undang Sistem Pendidikan Nasional (UU
SPN) No 20 Tahun 2003 menyebutnya sebagai jalur pendidikan.
Jalur pendidikan adalah wahana yang dilalui peserta didik untuk
mengembangkan potensi diri dalam suatu proses pendidikan yang sesuai
dengan tujuan pendidikan. UU SPN Pasal 13 menyebutkan jalur pendidikan
terdiri atas pendidikan formal, nonformal dan informal yang dapat saling
melengkapi dan memperkaya. Jalur pendidikan formal diformulasikan menjadi
sekolah yang terdiri dari tiga jenjang yakni pendidikan dasar, menengah
dan pendidikan tinggi, sedangkan pendidikan nonformal merupakan jalur
pendidikan di luar pendidikan formal dan dapat dilaksanakan secara
terstruktut dan berjenjang dalam lingkungan masyarakat, adapun pendidikan
informal dilaksanakan dalam lingkungan keluarga.
Pada bagian ini akan diuraikan lebih jauh tentang pendidikan nilai di
lingkungan sekolah, artinya pendidikan nilai dalam jalur pendidikan
formal, khususnya untuk jenjang pendidikan dasar dan menengah. UU SPN
pasal 17 mengungkapkan yang dimaksud dengan pendidikan dasar adalah
jenjang pendidikan yang melandasi jenjang pendidikan menengah yang
berbentuk Sekolah Dasar (SD) dan Madrasah Ibtidaiyah (MI) atau bentuk
lain yang sederajat serta Sekolah Menengah Pertama (SMP) atau bentuk
lainya yang sederajat. Adapun pendidikan menengah menurut UU SPN pasal 18
merupakan lanjutan pendidikan dasar yang terdiri atas pendidikan menengah
umum dan pendidikan menengah kejuruan. Pendidikan menengah berbentuk
Sekolah Menengah Atas (SMA), Madrasah Aliyah (MA), Sekolah Menengah
Kejuruan (SMK) dan Madrasah Aliyah Kejuruan(MAK) atau bentuk lain yang
sederajat.
Dengan demikian, sekolah dimaknai atau diartikan sebagai jalur pendidikan
yang terstruktur dan berjenjang yang terdiri dari pendidikan dasar,
menengah dan pendidikan tinggi.
Hubungan Antara Nilai dengan Sekolah
Jika ditinjau secara historis hubungan antara nilai -khususnya etika dan
moral- dengan sekolah sudah berlangsung cukup lama, bisa dikatakan sejak
sekolah dipandang sebagai institusi yang menyandang tugas sebagai lembaga
pendidikan. Hal ini bukan hanya sekedar praduga, melainkan berdasarkan
fakta bahwa dalam buku Republic karya Plato (B.Jowwet, tanpa tahun)
muatan etika telah telah dibahas secara mendalam. Sebagai ilustrasi
bagaimana persoalan nilai moral diajarkan, diawali dengan pertanyaan Meno
terhadap Socretes dalam buku tersebut yang banyak dikutip oleh buku-buku
pendidikan nilai atau pendidikan moral, seperti yang dikemukakan Somantri
(1998:1) sebagai berikut:
Socretes, apakah moral itu bisa diajarkan atau hanya bisa dicapai lewat
praktek kehidupan sehari-hari?
Seandainya lewat pengajaran dan praktek tidak bisa dicapai, apakah nilai
moral itu bisa dicapai secara alamiah atau dengan cara lain?
Lebih jauhnya dalam Al Qur’an surat Lukman tercermin bagaimana pendidikan
nilai disampaikan oleh orang tua terhadap anak, bahkan dapat diyakini
pendidikan nilai telah ada sejak manusia ada yakni sejak Nabi Adam yang
diyakini sebagai manusia pertama, pendidikan nilai telah diajarkan pada
anak-anaknya, khususnya ketika mengajarkan keadilan kepada Qabil dan
Habil.
Yang menjadi persoalan, apakah sekolah akan mencerminkan sebagai lembaga
pendidikan atau lembaga pengajaran? Atau dengan kata lain, apakah sekolah
hanya akan mengajarkan tentang nilai atau membina dan memgembangkan
manusia yang bernilai?, lebih jelas lagi dapat dipertegas, apakah
pengajaran tentang nilai otomatis akan menjadikan seseorang menjadi
manusia yang bernilai atau sebaliknya mendidik seseorang menjadi manusia
yang bernilai akan menambah wawasan orang itu tentang nilai?.
Nampaknya dua pertanyaan tersebut menyangkut strategi pengajaran dan
pendidikan nilai, meskipun pertanyaan ini belum terjawab, namun
disepakati bahwa sekolah tidak bisa menghindari dari misinya sebagai
lembaga pendidikan dan pengembang nilai, bahkan John Dewey (1934:85)
mengungkapkan bahwa sekolah sebagai pusat pendidikan dimana: ”karakter
moral anak harus dikembangkan dalam alam, sementara lingkungan sekolah
harus jadi lingkungan yang mengembangkan moral anak, karena spirit inilah
lembaga pendidikan dikembangkan”.
Senada dengan pendapat di atas, filsof Spencer (Purpel,1987:3)
mengungkapkan bahwa pendidikan merupakan objek pembentuk karakter, oleh
karena itu antara nilai dengan sekolah merupakan dua hal yang tidak bisa
dipisahkan. Watkins (1978:11-12) mengungkapkan bahwa terdapat empat sikap
sekolah dalam menghadapi pendidikan nilai yakni:
Mengembangkan pendidikan persekolahan dengan cara menjauhkan/menolak
kiprahnya dalam pendidikan nilai.
Mengembangkan pendidikan persekolahan dengan melaksanakan pendidikan
nilai/moral dengan memberikan kesempatan pada siswa untuk mengklasifikasi
dan mempertahankan nilai dirinya.
Mengembangkan pendidikan persekolahan dengan melaksanakan pendidikan
nilai/moral dengan cara melibatkan siswa dalam proses serangkaian nilai.
Mengembangkan pendidikan persekolahan dengan cara mendidik siswa dengan
serangkaian nilai-nilai moral.
Sebagai salah satu bentuk sistem sosial tempat civitas sekolah
berinterkasi antara satu dengan yang lainya. Lingkungan sekolah dapat
dipastikan beragam nilai kehidupan. Nilai-nilai itu dapat berupa nilai
yang secara sengaja dilembagakan melalui sejumlah ketentuan formal
seperti kedisiplinan dan kerapihan yang diatur dalam tata tertib sekolah
atau nilai kecerdasan, kejujuran, tanggung jawab, dan kesehatan yang
diatur melalui kurikulum tertulis. Selain itu sekolah adalah tempat
bertemunya nilai-nilai kehidupan yang lahir secara pribadi dan
ditampilkan dalam bentuk pikiran, ucapan dan tindakan perorangan. Nilainilai seperti itu cenderung muncul spontanitas dalam berbagai kekhasan
pribadi setiap orang. Meski agak tersebunyi dan tidak direncanakn secara
formal, nilai-nilai yang direfleksikan melalui tampilan perorangan itu
berperan bagi terbentuknya iklim budaya sekolah yang penuh makna.
Alternatif Pengembangan Pendidikan Nilai di Sekolah
Sekolah merupakan lembaga pendidikan yang dikelola secara terstruktur
dengan melibatkan komponen-komponen pendidikan seperti manajemen, biaya,
sarana dan prasarana, kurikulum, peserta didik, dan pendidik. Sekolah
dibangun sebagai wahana pendidikan formal dalam rangka meningkatkan
pengetahuan, keterampilan, sikap dan nilai peserta didik. Sebagai sistem
sosial sekolah dapat dipandang sebagai organisasi yang interaktif dan
dinamis, sebab di dalamnya terdapat sejumlah orang yang memiliki
kepentingan yang sama (kepentingan penyelenggaraan pendidikan), tetapi
kemampuan setiap individu pada komunitas itu memiliki potensi dan latar
belakang yang berbeda.
Para ahli Pendidikan Nilai melihat pengembangan nilai di sekolah pada dua
pendekatan. Pertama, sekolah secara terstruktur mengembangkan nilai
melalui kurikulum tertulis. Kedua, penanaman nilai berlangsung secara
alamiah dan sukarela melalui jalinan hubungan interpersonal antar warga
sekolah, meski hal ini tidak diatur secara langsung dalam kurikulum
formal atau dengan kata lain berada dalam wilayah kurikulum tersembunyi.
Terkait dengan dengan yang pertama, Mulyana (2004:178-221) mengungkapkan
tentang beberapa prinsip umum penyisipan dan pengintegrasian nilai dalam
mata pelajaran melalui krurikulum yang dirumuskan.
Pendidikan Nilai dalam IPA dan Matematika
Nilai dan etika harus secara ekplisit dijabarkan dan diperkaya dalam
setiap topik pembelajaran IPA dan Matermatika. Pengembangan nilai dan
moral dalam pembelajaran IPA dan Matematika diyakini akan mampu
menumbuhkan potensi peserta didik melebihi apa yang dicapai dalam
pengajaran konvensional. UNESCO (Mulyana, 2004:179-180) mencatat bahwa
pembelajaran IPA dan Matematika yang dilakukan secara terpadu dengan
kebutuhan pendidikan nilai akan mampu merubah makna belajar dan
meningkatkan kemampuan peserta didik dalam menghargai kontribusi iptek,
mengembangkan minat mereka dalam belajar dan memiliki sikap ilmiah yang
jelas. Karena itu, materi pembelajaran yang dikembangkan harus sampai
pada materi-materi esensial yang terkandung di dalamnya. Materi esensial
adalah pokok-pokok bahasan tentang IPA dan Matematika yang didalamnya
terkandung nilai, moral dan etika yang harus dimiliki oleh peserta didik
dan dianggap krusial andaikata hal tersebut tidak disampaikan dalam
proses pembelajaran. Materi-materi esensial dimaksud dijelaskan dalam
tabel sebagai berikut;
Tabel 5.1
Materi Esensial IPA dan Matematika
Nilai dalam Cakupan Luas Tujuan Kurikulum Nalar rasional Untuk memahami
logika IPA dan Matematika serta menggunakan konsep-konsep angka Logika
sebab-akibat Untuk menilai hubungan antara peristiwa yang mendahului
dengan peristiwa berikutnya, serta implikasinya bagi pengawasan terhadap
akibat-akibat yang muncul IPA dan Matematika sebagai cara meningkatkan
kehidupan masyarakat Untuk menilai penggunaan IPA dan Matematika dalam
kehidupan sehari-hari yang terjadi di masyarakat Modernisasi dan
teknologi Untuk menyiapkan peserta didik agar memperoleh pendidikan yang
sesuai dengan kebutuhan kerja dan perkembangan teknologi Sumber: Mulyana
(2004:180)
Pendidikan Nilai dalam IPS dan Humaniora
Secara operasional, pengembangan nilai dalam IPS dan Humaniora selalu
melibatkan tiga tahapan yang berbeda. Tahapan pertama berkisar pada
pengenalan fakta-fakta lingkungan, tahap kedua merupakan tahap
pembentukan konsep-konsep dan tahap ketiga adalah tahapan pertimbangan
tentang nilai yang teritegrasi. Atas dasar ini, maka tidak cukup bagi
peserta didik untuk belajar IPS dan Humaniora dengan hanya berkisar pada
konsep yang verbalistik atau hanya mengenal sejumlah fenomena, melainkan
diperlukan ketajaman analisis terhadap nilai dalam sejumlah isu sosial
yang muncul dewasa ini.
Nilai yang terintegrasi dalam pembelajaran IPS dan Humaniora dapat
berupa nilai intrinsik seperti objektivitas, rasionalitas dan kejujuran
ilmiah atau dapat pula nilai dasar moral seperti kepedulian terhadap
orang lain, empati dan kebaikan sosial lainya. Untuk itu nilai-nilai
dasar moral yang muncul secara humanistik harus terintegrasi dalam
keseluruhan kurikulum IPS dan Humaniora.
Mulyana (2004:193) mengungkapkan bahwa dalam pembelajaran nilai melalui
disiplin IPS dan Humaniora terdapat sejumlah nilai esensial yang dapat
dikembangkan seperti yang tertera dalam tabel sebagai beriktu ;
Tabel 5.2
Materi Esensial IPS dan Humaniora
Nilai dalam Cakupan Luas Tujuan Kurikulum Persamaan dan Keadilan Untuk
menanamkan rasa kejujuran dan persamaan kesempatan Tanggung jawab
sebagai warga dan komitmen sosial Untuk mengembangkan kemampuan mengenal
kehidupan suatu masyarakat dan menyadari saling ketergantungan kehidupan
sosial Penghargaan terhadap warisan bahasa nasional Untuk mengembangkan
kemampuan berbahasa dan kebanggan terhadap aspek-aspek bangsa yang
unggul Tanggung jawab lingkungan Untuk mengembangkan pemahaman tentang
saling ketergantungan manusia dengan lingkungan dan kebutuhan untuk
melindungi warisan bangsa Kesehatan Untuk mengembangkan kebiasaan hidup
sehat dan pencegahan terhadap penyakit Kecermatan dalam menggunakan
uang Untuk mengembangkan kepedulian terhadap usuran dan pengetahuan
tentang penggunaan uang secara bijaksana Sumber : Mulyana (2004:193).
Pendidikan Nilai dalam PAI
Sebagai mata pelajaran, PAI memiliki peranan penting dalam penyadaran
nilai-nilai agama Islam kepada peserta didik. Muatan mata pelajaran yang
mengandung nilai, moral dan etika agama menempatkan PAI pada posisi
terdepan dalam pengembangan moral beragama siswa. Hal ini sekaligus
berimplikasi pada tugas-tugas guru PAI yang kemudian dituntut lebih
banyak peranannya dalam penyadaran nilai-nilai keagamaan.
Menurut Pedoman Khusus Pengembangan PAI yang dikeluarkan oleh Depdiknas
tahun 2002 disebutkan bahwa prinsip dasar pengembangan PAI meliputi 3
kerangka yakni Aqidah, Syariah dan Akhlak. Aqidah merupakan penjabaran
dari konsep Iman, syariah merupakan penjabaran dari konsep Islam,
sedangkan Akhlak merupakan penjabaran dari konsep Ihsan. Dari ketiga
konsep itulah dikembangkan berbagai kajian keislaman, termasuk kajian
yang terkait dengan ilmu dan teknologi serta budaya.
Tabel 5.3
Materi Esensial PAI
Nilai dalam Cakupan Luas Tujuan Kurikulum Keimanan dan Ketaqwaan
(aqidah) Untuk memperkokoh aqidah beragama dan mencerahkan fitrah
beragama peserta didik Kebenaran dan keyakinan terhadap hukum-hukum
(syariat) Untuk memperluas pengetahuan dan kesadaran peserta didik
terhadap hukum-hukum agama yang harus ditaati atau dihindari Etika dan
moral beragama (akhlak) Untuk melatih peserta didik berprilaku terpuji
dalam hubunganya dengan sesama manusia, alam dan Tuhanya. Sumber:
Mulyana (2004:205)
Pendidikan Nilai dalam Kegiatan Ektrakurikuler
Kegiatan ekstrakurikuler dipandang sebagai upaya pendidikan yang
melibatkan proses penyadaran nilai bahkan sampai pada internalisasi
nilai. Pada beberapa sekolah yang memanfaatkan peluang-peluang belajar di
luar kelas sebagai wahana pengembangan pendidikan, kegiatan
ektrakurikuler muncul sebagai keunggulan tersendiri yang pada giliranya
melahirkan kredibilitas tersendiri bagi lembaga. Tak jarang kita dengar
alasan-alasan orang tua dalam memilih sekolah sebagai tempat belajar
anaknya atas dasar pertimbangan mereka terhadap sejumlah kegiatan di luar
kegiatan tatap muka di kelas.
Kegiatan ektrakurikuler dapat dikembangkan dalam beragam cara dan
kontennya, penyelenggaraan kegiatan yang memberikan kesempatan luas
kepada pihak sekolah, pada giliranya menuntut kepala sekolah, guru, siswa
dan pihak-pihak yang terkait untuk secara efektif merancang sejumlah
kegiatan sebagai muatan kegiatan ektrakurikuler, diantaranya sebagai
berikut :
Pengembangan Koperasi Siswa
Program Keagamaan
Pelatihan Profesional
Rekreasi
Kegiatan Kultural
Program Perkemahan
Program Live in Exposure, dan lain-lain
Adapun terkait dengan pendekatan yang kedua, dimana pendidikan nilai
tidak secara langsung dimasukan kedalam kurikulum tertulis, melainkan
berlangsung alamiah dan sukarela, maka tugas sekolah menciptakan kondisi
yang kondusif untuk teaktualisasinya nilai-nilai dalam interaksi
kehidupan di sekolah. Untuk hal ini maka komponen perangkat sekolah dalam
hal ini Kepala Sekolah, Guru, Tata Usaha dan Komite Sekolah memegang
peranan yang strategis. Sebagai perwujudanya maka minimal terdapat empat
pendekatan yang bisa menjadi alternatif pendidikan nilai di sekolah jika
nilai tidak dimasukan ke dalam kurikulum sekolah secara tertulis :
Pendekatan Normatif, yakni mereka (perangkat sekolah) secara bersama-sama
membuat tata kelela (good governence) atau tata tertib penyelenggaraan
sekolah yang didalamnya dilandasi oleh pertimbangan nilai, perumusan tata
kelola ini penting dibuat secara bersama, bahkan melibatkan peserta didik
dan tidak bersifat top down dari kepala sekolah. Sehingga terlahir
tanggung jawab moral kolektif yang dapat melahirkan sistem kontrol
sosial, yang pada giliranya mendorong terwujudnya “school culture” yang
penuh makna.
Pendekatan Model yakni mereka (perangkat sekolah), khususnya kepala
sekolah berupaya untuk menjadi model dari tata tertib yang dirumuskan,
ucap, sikap dan prilakunya menjadi perwujudan dari tata tertib yang
disepakati bersama.
Pendekatan Reward and Punishmen yakni diberlakukanya sistem hadiah dan
hukuman sebagai stimulus dan motivator terwujudnya tata kelola yang
dibuat.
Pendekatan Suasana Belajar (baik suasana fisik maupun suasana psikis)
yakni dengan mengkondisikan suasana belajar agar menjadi sumber inspirasi
penyadaran nilai bagi seluruh perangkat sekolah, termasuk peserta didik,
seperti dengan memasang visi sekolah, kata-kata hikmah, ayat-ayat Al
qur’an dan mutiara hadits di tempat-tempat yang selalu terlihat oleh
siapapun yang ada di sekolah, memposisikan bangunan masjid di arena utama
sekolah, memasang kaligrafi di setiap ruangan sekolah, membiasakan
membaca Al qur’an setiap mengawali belajar dengan dipimpin gurunya,
program shalat berjamaah, kuliah tujuh menit, perlombaan-perlombaan oleh
OSIS dan sebagainya.
Peranan Masyarakat dan Keluarga dalam Mewujudkan Pendidikan Nilai di
Sekolah
Konsep Manajemen Berbasis Sekolah (MBS) menawarkan adanya paradigma
desentralisasi dalam pengelolaan pendidikan di sekolah, konsep ini
memberikan ruang yang lebih luas kepada masyarakat dalam mewujudkan
pendidikan di persekolah yang lebih baik. Dewan Pendidikan dan Komite
Sekolah menjadi instrumen perangkat manajemen sekolah dan pintu
masyarakat dalam memberikan peranannya dalam proses penyelenggaraan
pendidikan di sekolah.
Segenap aspirasi masyarakat dan keluarga tentang gagasan muatan
pendidikan nilai di lingkungan sekolah dapat disalurkan melalui perangkat
Dewan Pendidikan dan Komite Sekolah, merekapun dapat menjadi alat kontrol
sosial terhadap keberlangsungan proses pendidikan di Sekolah.
Selain itu, masyarakat dan keluargapun menjadi landasan bagi pengembangan
nilai-nilai yang menjadi muatan pendidikan nilai di Sekolah. Masyarakat,
Keluarga dan Sekolah sebagai Tri Pusat Pendidikan tidak bisa berjalan
masing-masing, melainkan perlu adanya keterpaduan dari mulai perencanaan
sampai kepada proses evaluasi, distorsi ketiganya dapat menjadikan proses
pendidikan di sekolah menjadi senjang dan melahirkan lulusan yang tidak
utuh yang berarti keluar dari tujuan pendidikan nasional.
Kosasih Djahiri mengklasifikasikan pada 3 pendekatan nilai yakni :
Pendekatan L. Kohlberg; Cognitiver moral development yang meyakini bahwa
nilai moral norma akan mempribadi apabila dibina melalui struktur
kognitif atau “Cognitive Conflict” dan penalaran
Pendekatan L.Mercalt dan Imam Al Ghazali (keagamaan umumnya yang
mengawali pembinaan dan personalisasi nilai, moral, norma melalui suara
dan mata hati “Al Qolbun” manusia). Penggetaran dunia Afektif untuk
menyerap dan mempribadikan. Nilai moral norma akan melahirkan prinsip dan
atau keyakinan yang akan jadikan acuan berpikir (penalaran) serta
perilaku, demikian sebagaimana melalui pembinaan agama atau kehidupan
umum terhadap pembinaan nilai, moral, norma dituntut yakin dan iman
terlebuh dahulu sebelum berpikir atau berbuat.
Pendekatan Albert Bandura dan Skinner (juga kaum behaviouralis dan
sosiolog), yang menyatakan pembinaan dan personalisasi nilai, moral,
norma melalui pelakonan dan peniruaan (Acting dan Immitating) terhadap
apa yang ada dan dilakukan, sehingga nilai, moral, norma seolah-olah
merupakan “social and behaviour conduct” yang harus dilakoni. Melalui
pelakonan dan peniruaan yang berulang kali diharapkan lahir keyakinan
yang bermakna pada daya nalarnya.
Dalam beberapa tulisannya Kosasih Djahiri mengemukakan bahwa ketiga
pendekatan tersebut merupakan landasan acuan pengembangan model kegiatan
pendidikan nilai yang dalam sistem dan kehidupan pendidikan pancasila
serta realitas budaya indonesia ketiganya dianut dan dilaksanakan ini
tidak berarti lahir perpaduan/campuran ketiga teori tadi melainkan ketiga
teori itu berjalan bersamaan dan atau secara kondisional-kasuistis. Dalam
hal/ konsep/ kasus tertentu mungkin teori Kohlberg dan dalam kasus lain
teori ke-2 atau ke-3. Untuk masalah keagamaan misalnya cenderung
digunakan teori ke-2 atau ke-3 sedangkan untuk meyakinkan nilai, moral,
norma IPTEK maka digunakan teori ke-3 baru lahir Ke-2.
Sejalan dengan pendapat Mc. Luhan, Kosasih Djahiri mengemukakan tentang
bahayanya pengutamaan pada pembinaan intelektual (apalagi kalau selalu),
maka akan melahirkan dunia dan kehidupan yang serba rasional dan
eksistensionalisme serta pemujaan diri dan hasil menusia semata yang
akhirnya akan melahirkan ketimpangan dengan dunia affektual (meyebabkan
tumpulnya emosi-Mc Luhan) serta proses dehumanisasi, oleh karena itu Mc
Luhan melahirkan “teori pendulum” yang melahirkan teori keseimbangan.
Sejak awal pembahasan buku ini bahwa dalam leg awal pembelajaran, harus
ditargetkan pencapaian nilai, moral, norma dari setiap konsep yang
dibelajarkan agar dengan pengetaran terhadap aspek affektif akan
memperkuat pengalaman Nilai, moral, nrma luhur dengan penuh keyakinan dan
nalar terhadap konsep yang dibelajarkan walaupun memang bahwa L. Kohlberg
dkk diakui sebagai “pelopor penemu” pendidikan nilai namun sesuai dengan
falsafahnya yang kebarat-baratan dan siberalist di mana adanya tampak
ciri-ciri dari ajarannya dimana yang diproses menurut teori Kohlberg
adalah hanya kemampuandiri manusia dalam menelaah nilai, moral, norma
secara nalar dan bukan berarti untuk penanaman nilai moral norma itu
sendiri.
Beberapa ahli mengkritisi terhadap ajaran L. Kohlberg diantaranya :
Wolfgang edelstein dalam Ascientifical nates (1983). Menyatakan a.l :
Keraguan yang telah diutarakan Kohberg..
Tentang “feasibility of moral intervetion”
The nature of effects and correspondingly
Present application to education.
Bahwa perlu dikaji ulang tentag salah satu teori utama kohlberg yang
menyatakan bahwa :”Cognitive moral development theory of moral comprence”
seolah-olah pengembangan moral diinterpensi melalui pengembangan struktur
kognitif.
Ada 5 hal yang harus diuji lagi dari teori ini adalah
Keterkaitan antara content (isi pesan konsep nilai moral) dengan struktur
(potensi taksonomi) pada media ceritera Kohlberg.
Keterkaitan antara Judgement dengan action
Keterkaitan antara competence dan performance
Keterkaitan antara universal culture vs paticular values
Keterkaitan moral thinking vs ego development
Bahwa moral-action tidak sama dengan moral performance juga moral
Judgement berbeda dengan moral competence bahwa educational intervention
terhadap cognitive-conflict terjadi melalui: discusion, conperison,
contrasting daripada stimulus (melalui specipis sensitivity) bahwa
cognitive structure dibina dan tergetar dalam 3 benatuk kegiatan yaitu :
Concept-formation (self concept)
Interpretation
Aplication
Performance lebih luas dan meliputi judgement dan competence serta affect
the stage structure
Morl judgement “are less valid than moral action”, karena judgement hanya
merupakan hasil daripada “multiplicity of the intermediate cognitions”.
Sedangkan moral performance concern pada “segementation of the social
sistem and variety of performance conditions sosial reality”.
Bahwa selalu terjadi/terdapat paradoxsel antara sikap prilaku manusia.
II. Susanne Villenave, Cremp and Eckensberger (1980) mengkritisi sebagai
berikut
Bahwa dalam “the real of the moral-conflict situations”:
Emotional disturbances sangat menentukan
Dalam situasi ekstrim dan kritis terjadi kecenderungan “score below”
daripada ”hyphethetical moral-judgement”.
Terjadi pengaruh “cognnitive structure” dengan affective dan terwujud
dalam “moral judgement performance”
Suasana moral conflict discussions menampakkan gejala
High ego concern
Induce defend mechanism
Bahwa Kohlberg “tends to exclude affective aspects” padahal “cognitive
dan affective berlangsung pararel, stimulus serta masing-masing
membentuk perspektif dan konteks yang berlainan”.
III. Haan (1977) dan Dobbert dan Nunner Winkler (1980) mengkritisi
sebagai berikut :
Dalam menentukan moral conflict selalu ada perhitungan “defence and
coping” yang bersifat “ego-Psychological based”, oleh karenanya dalam
moral conflict akan dijumpai :
Adanya kesenjangan antara “moral conciousness” dengan “action inpulses”
dalam kenyataannya “defence cases” akan nampak sebagai :
Argumen yang memanipulasikan situasi
Hal yang irrasional-non logis, incomplete recontruction demi
menghindarkan rasa salah (disonansi).
“Coping cases” yang mengperhitungkan hal-hal yang menguntungkan dirinya.
Pendekatan Pendidikan Nilia menurut “Peter Martorella ” (1976)
mengemukakan 8 pendekatan yang diutarakan oleh “Douglas Suerka” yakni
pedekatan :
Evolution, dimana peserta didik diberi kesempatan dan keleluasaan untuk
secara bebas mengekspresikan respon affektualnya terhadap stimulus yang
diterimanya
Inculcation peserta didik oleh stimulus terarah (Conditioned stimulus)
digiring atau secara sugestinya dirahkan menuju “Conditioned respond”.
Moral reasioning sebagaimana dianut oleh L.Kohlberg dimana terjadi
transaksi intelektual taksonomik tinggi (reasoning) dalam mencari
pemecahan situasi masalah yang termuat dalam stimulus pengajaran.
Value clasification (klasifikasi nilai) dimana melalui stimulus terarah
dan pola pengajaran khusu para siswa diajak mencari kejelasan dan makna
(isi pesan) atau keharusan nilai-moral yang tersirat baik secara objektif
maupun subejktif (hal ini dibahas khusus dalam buku A.Kosasih Djahiri VCT
(Value crarification Technique) dalam berbagai gamesnya.
Value analysis, pendekatan dimana para peserta didik dirangsang untuk
melakukan analisis nilai-moral, analisis yang bertahap mulai dari yang
termudah (reportasi/liputan) sampai taksonomik kadar tinggi (moral claim
and based).
Moral Awareness, dimana peserta didik melalui stimulus dibangkitkan
kesadarannya akan nilai-moral tertentu, melalui stimulus dan pola
interaksi tertentu. Sistem nilai dan keyakinan peserta didik (dunia
afektifnya) digetarkan atau diguncang.
Commitment approach, dalam pendekatan ini sejak awal dan dengan
diberitahukan kepada peserta didik, mereka diajak menyepakati adanya
suatu pola dan penilaian selama dalam proses pendidikan nilai
berlangsung, sehingga pola pikir pendidikan nilai lain tidak digunakan
(pendekatan ini dipakai dalam pola penataran P4)
Union approach, dalam pendekatan ini peserta didik dibawa melakoni secara
“riil” atau “mental rount trip” (tamasya mental) dalam suatu kehidupan.
Duru merancang sedini mungkin bila mereka akan menggunakan pola
partisipatorik, atau membuat stimulus terarah yang kuat agar proses
pembelajaran siswa dalam melakukan tamasya mental dihayati sebagaimana
peserta didik melakononya sendiri.
Kesemua pendekatan diatas belum operasional harus diaplikasikan melalui
metoda atau teknik pembelajaran yang mampu membelajarkan aspek afektif
peserta didik agar proses klarifikasi nilai moral dapat berlangsung
(tersampaikan). Pelakonan diri (experiencing), mental rount trip dan
taking position dalam dunia nilai-moral dalam pendekatan diatas baru
menyentuh pada “taking position” (menerapkan pilihan) berupa :
Kesepakatan
Penolakan
Penyesuaian/adjusment
Dari nilai-moral-norma yang diharapkan
terbina dalam diri peserta didik
Dalam mengaplikasikan pendekatan-pendekatan diatas perlu dipahami
beberapa karakteristik pendidikan nilai sebagaimana dikemukakan oleh
“Barbara Stange, L Metcalt dan Henry Giroux” sebagai berikut :
Dalam proses pembelajaran Pendidikan Nilai perlu melibatkan minat dan
potensi affetual peserta didik. (dalam model cara belajar siswa aktif
(CBSA) affektif Kosasih Djahiri). Bukan hanya “printing” sesuatu tetapi
“Drawing”.
Mengundang (invited) dan melibatkan (Invotvetement, engagement) serta
menarik minat-perhatian-kemauan-keterbukaan diri peserta didik (media
stimulus pembelajaran yang merupakan target nilai moral bahan ajar harus
dalam kadar kualitas tinggi (Kosasih Djahiri).
Melahirkan proses transaksi dan atau interaksi antar struktur cognitif
dan affektif dan lingkungan social (social environment) (sekarang
istilahnya (Contectual Teaching Learning (CTL)) Kosasih Djahiri
menjelaskan apa yang disebut “masalah belajar”bahwa melalui pembelajaran
harus diupayakan secara optimal yag meliputi munculnya:
Potensi internal peserta didik (3 aspek domain taxonomik)
Antar potensi peserta didik dengan peserta didik lain (guru dan peserta
didik lain)
Antar potensi peserta didik dengan potensi lingkungan belajarnya.
Terjadinya proses pengembangan moral yang bergeak dalam rentangan :
Dari pra conventional level ke post conventional level
Dari particular/specifics values ke universal/ultimate values (sukuensial
pembelajaran/tingkat kesukaran).
Bahwa fokus proses pendidikan nilai ialah lahirnya “Charity” dari konsep
nilai-moral yang disampaikan. Pendidikan nilai ini harus selalu
memberikan kejelasan “Valuee-based” (kejelasan isi pesan nilai-moral)
sebagaimana yang diharapkan (berbeda dengan teori Kohlberg yang hanya
sampai pada tahap mengutanakan kematangan (kemahiran) moral saja,
sedangkan masalah isi-pesan moral sepenuhnya diserahkan pada peserta
didik sebagai mana juga yang ditargetkan pada pendidikan nilai yang
ditargetkan kaum liberalis).
Mampu melahirkan proses pelakonan affektif (affectual experiences)
Kosasih Djahiri (1991) menekankan sekali proses pelakonan ini karena
menurut beliau proses affektif akan sulit dibelajarkan tanpa proses
pelakonan ini.
Memperkuat 6 pendekatan diatas sejumlah pakar mengemukakan hal-hal
berikut agar pendidikan nilai lebih layak diterapkan yaitu :
Bahwa proses pendidikan nilai hendaknya selalu bersifat “developmental”
(target isi pesan nilai-moral bersifat berkesinambungan, tidak pernah
selesai, dan selalu berkaitan “forward” mengacu pada moral stage/value
oriented) (R.L Mosher,1980).
Bahwa proses pendidikan nilai hendaknya mengacu pada klarifikasi
kelayakan “moral-claim based” sebagai “moral orientation” pendidikan
nilai (Marvin H Berkowits dan fritsoser 1985), hal ini berarti
sebagaimana diutarakan barbara Stange dan Kosasih Djahiri bahwa
pendidikan nilai harus selalu “Value based” dan tidak “value free”. Dan
sebagai dasar acuan dan kriterianya adalah “moral claim” atau “moral
based” yang dianut berlaku dan diharapkan bangsa (masyarakat) dan
kehidupan yang bersangkutan, yang bersifat multi dimensional dan multi
sumber (Kosasih Djahiri.1989).
Dari pendekatan nilai-nilai tersebut diharapkan akan melahirkan
pembelajaran nilai yang optimal berupa :
Advanced affective experience and components
Well established value and belief sistem (menurut R. Dobert, 1975).
Berbagai wujud Nyata a.i :
“Performing moral-behaviour or morally educated person” (Henry Giroux,
1983).
Manusia yang tidak hanya “Knowing what... melainkan juga” beliefing an
Committed to.....(David Coperfield).
“Agent of social inprovement and retoron” serta mampu “fit and provide
sosial ballance and self control”.
Manusia yang memiliki “personal initiative and adaptibility and
depoloving the autonomons of individual”.(M.Downey, 1982).
Kosasih Djahiri menekankan pendidikan nilai tersebut tidak hanya
melahirkan proses hapalan semata tetapi melahirkan hal-hal sebagaimana
diutarakan Henry Giroux diatas yaitu wujud manusia yang memiliki
kepribadian dan prinsip yang mantap dan masyarakat yang :
Peka (Responsif) dan memiliki keterampilan affektif yang tinggi (simak
tentang matrik katakunci pengoperasional aspek konitif, affektif dan
Psycomoto pada buku VCT).
Memiliki kemampuan yang tinggi untuk selalu siap menentukan pilihan moral
(taking position) atau keputusan moral yang tepat dan layak dalam
berbagai situasi dan kehidupan nyata sehingga mampu mandiri (self
reliance, self help, auto nomous), tidak hanya melalui proses “maximising
the conceptions of nationality” (J.Rubio Carracedo, 1989, Habermas 1980)
melainkan juga melalui proses.
Berkaitan dengan perlunya penekanan pada proses bukan hanya hasil, maka
amat sulit mengaplikasikan pembelajaran nilai ini berkaitan dengan
pendidikan nilai. Adapun hambatan-hambatan adalah :
Bagaimana menciptakan media stimulus pembelajaran yang mampu mengundang
“Instictive participation” yang aktif dan terbuka.
Mencegah adanya gejolak “Overative” dan “Under active”.
Mencegah adanya “Negatif Attitude” selama proses dan atau terhadap isi
pesanbahan ajar.
Mencegah adanya “the borred group members” atau “stagnated group.”
Menangkap hadirnya “Disonansi Cognitive” atau nilai moral.
Disonansi adalah gema/gaung yang apabila diterapkan dalam proses
pendidikan nilai merupakan hambatan yang menentang (counter) masuknya
atau mempribadinya nilai-moral harapan disebut juga “counter cultural
values” hal ini disebabkan oleh:
Disonansi kognitif berupa penggunaan pola pikir atau konsep rasional yang
ada
Disonansi yang bersifat personal yang meliputi :
Needs and interests
Immediacy and emergency
Kineship family
Belief sistem and my the
Habit and culture
Tugas dan jabatan (job and function)
Hasrat untuk sukses dan enjoy
Yang bersifat socio politics seperti :
Ideology
Ras dan kesukuan
Nasionalisme
Bawaan iptek dan pola modernisasi,a.l :
Perubahan sistem dan alat
Keterbukaan komunikasi
Peningkatan mobilitas dan pengendaran integritas
Pola hidup dan pola pikir yang rasional, eksistensialism, materialism,
individualisme, enjoyness and easyness Dll.
Daya tarik sonal dan social prestige
Peningkatan persaingan dan masalah hidup
Hambatan-hambatan berupa disonansi moral diatas apabila terus berlangsung
maka akan menghambat proses personalisasi pendidikan nilai yang akan
berakibat pada lahirnya proses “Dehumammanisasi”, bahkan mengancam
terhadap eksistensi sistem keyakinan yang ada yakni berupa hambatan ke :
Adanya paradoxal antara proses pembelajaran yang dilangsungkan dengan
kehidupan nyata yang dihadapi peserta didik (Herenstein) L.Kohlberg
(1985).
Paradoxal disini terjadi dalam masyarakat kita (Indonesia) antara lain
paradox dalam hal :
Antara hal yang bersifat meta ethics (hasil pola kerja psikolog dan
agama) Dengan normative-ethics (hasil pola krja filosof dan yurist).
Antara pola pikir/penilaian yang value-based dengan value-free (neutral).
Antara pola penilaian yang berlandaskan moral Judgement dengan moral
behaviour
Moral universality vs culture ethical relativism
Pres eriptivisme vs descriptivism atau naturalism
Cognitivisme vs emotivism
Formalisme vs content oriented
Prinsipledness vs theoritician
Contractivisme vs empiricisme/apriorism
Moral problem vs problems of justice
Kesukaran dalam pengukuran dan penilaian hal-hal yang bersifat affektual
termasuk hasil perolehannya (kuantitaif dan kualitatifnya). Kesukaran
dalam pengukuran pun disebabkan pengukurkan aspek afektif harus bersifat
multi evaluation serta berkelanjutan, berkesinambungan inipun hasilnya
hanya akan mengungkap kecenderungan-kecenderungan moral saja.
Dari hambatan diatas tidak ada tantangan yang tidak bisa diatasi dalam
bentuk pengoptimalkan kemampuan profesionalisme, guru tidak seharusnya
lari dari kenyataan ini (escape) tetapi senantiasa inovatif dalam
mengupayakan pendidikan nilai ini dengan berbagai pendekatan yang ada.
Tahapan Perkembangan Moral (Moral-Stage)
Perkembangan moral adalah membicarakan tentang perkembangan kejeniusan
manusia dalam meninternalisasikan, mempersonalisasikan sistem nilai untuk
dipatuhi, dilaksanakan dalam perilaku kehidupannya sehari-hari.
Perkembangan kejiwaan tersebut akan mempengaruhi kemampuan seseorang
dalam keputusan-keputusan moral yang dipilihnya. Hal ini penting dipahami
berkenaan dengan pemahaman tentang pendidikan nilai, karena tahapantahapan yang ada dalam perkembangan kejiwaan seseorang menentukan atau
dapat dijadikan rujukan dalam membelajarkan nilai-moral agar sesuai atau
tepat sasaran. Perkembangan moral menurut istilah L.Kohlberg adalah
sebagai laju perkembangan landasan moral seseorang dari “is to ought”,”is
stage or nomenclature of justice reasoning”sedangkan menurut Richard
melden (1977) “sensitive in thouht; feeling and action toward
others.....”, yang dimaksud landasan sensitive disini menyangkut lapangan
perhitungan aspek kognitif dan aspek afektif baik menyangkut dirinya
maupun orang lain”. Menurut Karger (1982) development stage justice
reasoning related to the real life moral dillemas social moral
atmosphere, and exlective norms of group or community”. Loevinger (dalam
buku jarger 1983) menjelaskan “moral development stages adalah ego
development yakni perubahan kualitas diri melalui berbagai tahapan
perkembangan pesonality dengan the Inner Logic the cognitive structure”.
(Dalam Kosasih Djahiri, 1991).
Demikian bervariasinya pendapat para pakar barat dalam mendefinisikan
perkembangan moral yang pada umumnya tetap menekankan pada kemampuan
structure cognitive yang lebih dominan, sementara menurut Kosasih Djahiri
tidaklah demikian tentang perkembangan moral untuk kepentingan pendidikan
nilai khususnya di Negara Indonesia, karena ada hal-hal dominan lain yang
mempengaruhi terbentuknya/terbinanya moral seseorang diantaranya faktor
sebagai berikut :
Kondisi (waktu, tempat, keadaan) diri dan lingkungan
Kualitas masa (kelompok) dan peringkat kedudukan ybs dalam kelompoknya
tersebut sering karena kelemahan dan peringkat kedudukan maka ybs yang
akan mampu mengkal arus negatif atau memperkuat arus negatif kelompok
ataukah terseret arus negatif atau dipengaruhi/diperkuat arus negatif
kelompok atau sebaliknya bisa terjadi apakah lingkungan kelompoknya
berada pada posisi negatif/positif.
Pola tantangan nilai, moral yang meningkatnya (kuat tidaknya)
Interes dan kualitas diri ybs itu sendiri.
Oleh karena itu perlu dibaiasakan kemampuan seseorang dalam kematangan
memperhitungkan keputusan dari pilihan–pilihan morla yang dihadapinya
agar lahir insan yang objektif dalam menentukan berbagai keputusan
moralnya, menurut Kosasih Djahiri di Indonesia kiranya bisa dijadikan
acuan sebagai landasan/kaidah/ tata nilai yang dapat dijadikan
pertimbangan bagi kepentingan pendidikan nilai yaitu: pendidikan nilai
agama, pancasila dan adat budaya, karena pengambilalihan dari teori-teori
luar (barat khususnya) ada berbagai penentu yang berbeda dilihat dari
sisi manusianya, kondisi lingkungannya serta landasan filosofi
kehidupannya.
Karger (1983) memperluas pola orientasi pembinaan nilai moral ini dengan
mengemukakan 10 alternatif yang seyogyanya dibinakan (Dalam Kosasih
Djahiri 1991) yaitu :
The normative ethical assumption
The metaethical assumption dimana digunakan pola orientasi yang
berpolakan :
Value relevance : mengkaitkan sesuatu nilai dengan nilai normatif/positif
yang ada (tidak value free)
Social Phenomena ; mengkaitkan dengan penomena yang ada
Asas universalism ; mengkaitkan dengan asas/sifat universal
Asas Prescriptivism; dimana dalam kehidupan terdapat sejumlah pola
kehidupan yang “given” yang harus dilakukan.
Asas Cognitivism atau rasionalism; dibina daya nalar landasan
pemikiran/perhitungan
Asas Formalism; dikaitkan dengan pola legalitas yang sudah baku menjadi
kesepakatan masyarakat ybs.
Asas Principledness; dikaitkan pada sejumlah prinsip yang dianut dalam
kehidupan riil
Asas Conservation ; dasar pemikiran bahwa masalah-masalah kemanusiaan
(Human Contruction) akan selalu menjadi kepedulian umum.
Corollary assumption ; dimana masalah keadilan hendaknya diutamakan dan
akan menjadi dasar terbukanya “social equillibrium and balancing”..
Karger mengemukakan 6 alternatif orientasi pendidikan nilai moral yang
diajukan E. Kant dalam menentukkan ketetapan hati yaitu :
Just Course of action ; sekedar memecahkan masalah semata
Hierarchical based ; berdasarkan urutan kepentingan saja
Moral based atau Intrinsicalness atau deontics ; the real insrinsic of
value or justice menjadi dasar utamanya.
Preseriptivity atau moral ought or moral claim atas landasan sejumlah
keharusan yang sudah ditetapkan/ada/karena tuntutan moral umum
Universality ; karena dasar prinsip universal yang ada
Universalizability ; karena dasar keharusan standar universal yang
imperative.
Semua pakar yang membahas tentang pola orientasi dalam perkembangan moral
umumnya berasal dari barat seperti : J.Dewey, N Y Bull, Piaget,
L.Kohlberg, Mc Dougal, Gilligau dll, dimana diantaranya yang paling
dominan adalah L.Kohlberg dan Piaget
Berkaitan dengan bahasan tentang tahapan; perkembangan moral yang
dikemukakan oleh para pakar atas adalah sebagai berikut :
Tahapan perkembangan moral seseorang menurut :
John Dewey
Pre-Moral atau pre Conventional level : dimana sikap prilaku dilandasi
oleh inpils biologis dan sosial.
Tingkat conventional ; dimana sikap kritis dari kelompoknya menjadi
landasannya
Autonomous level ; dimana pola pikirnya sendiri menjadi landasan
perhitungan.
Piaget
Stage 0 atau pre moral, sama dengan Dewey
Stage 1 atau Heterenomous ; dimana landasannya beraneka ragam dan
berubah-ubah (belum mempunyai pendirian kuat)
Stage 2 atau Autonomuous, dimana subjek merupakan “agent of just ” (sudah
memiliki pendirian sendiri).
Stage 3 atau Instrumental atau Reciprocity atau Reversibility atau
Equalibrated moral judgement ; dimana sebagai landasan pertimbangannya
bersifat intrumental atasi asas timbal balik karena sudah memperhitungkan
kepentingan dan pandangan berbagai pihak/kepatuhan karena orientasi
timbal balik.
Stage 4 Eonstructivism level ; dimana dasar perhitungan sudah mencapai
tahap perpaduan semua tahap diatas dan sudah bersifat perhitungan
normative ethic, keputusan moral sudah merupakan hasil konstruksi diri
ybs yang dilandasi pula the human mind and social contact. Kepatuhan atas
dasar konsep keyakinan sendiri.
N.Y. Bull
Anomous; kesadaran nilai,moral pada tahap ini landasan tidak
menentu/tidak jelas dasar dan alasannya/tahapan paling rendah dan labil
Heteronomous; kepatuhan disadari atas kepatuhan dasar motivasi yang
beraneka ragam, mudah berubah tergantung situasi dan keadaan.
Socionomous; landasannya adalah apa yang menjadi kiprah umum.
Autonomous; sudah memiliki pendirian sendiri kesadaran/kepatuhan terbaik
karena di dasari oleh konsep/landasan diri sendiri.
Loevinger
Tahapan Autonomous yang meliputi tahapan :
Inpulse controle; yang menitikberatkan upaya menekan the inner conflict
Interpersonal atau interdependency style ; yang lebih mengutamakan pola
keterkaitan dengan lainnya.
Conscious pre-occupation ; yang mengutamakan role and concepts
Cognitive style yang pola kognitifnya sudah meningkat dimana konsep
pikirnya sudah lebih kompleks dan objektif
Tahapan integrated ; yang merupakan kelanjutan tahap I diatas serta
meliputi tahapan Sbb :
Sama seperti pada Sub I.a tetapi sudah mampu reconcilling the inner
conflict tersebut.
Sama seperti sub I.b dengan sudah mampu Cherising of individuality
Sama seperti pada sub I.c dan sudah memiliki identitas mandiri
Sama seperti pada Sub I.d
Piaget
Mengemukakan kajian perkembangan moral menurut usia dan pola dasarnya
sebagai berikut :
Rentangan perkembangan moral :
Heteronomous
0
12 tahun
2-6 tahun
Motivasinya :
Universal respect
Targetnya :
Practice of the rule
Cooperative group/family
menath orientation
Rule of justice :
Ada 4 jenis justice
Retributive dan justice
(bersifat fungsional)
Group justice
Responsibility (rentangan)
Immanent justice
(universal order)
Distributive justice (sama rata)
Autonomous
-
bilateral/mutual respect
-
a sistem of Rule
belief sistem as a
Perkembangan moral menurut usia
Piaget juga mengemukakan sebab-sebab anak suka berbohong ialah
karena “frighter very much want to get reward, didn’t feel like, wanted
and like very much, fault, the size of material consequences”.
Samapai usia 2 tahun
Heteronomous
2 – 6 tahun
Ritual egocentric dan moral realm period mral realm
menurut dunia anak yaitu segala tata aturan yang mengaturnya (tanpa ada
klasifikasi) dan muncul dengan kecenderungan sikap moral anak amat
tergantung pada respect mereka terhadap orang tua/orang dewasa.
7 – 10 tahun
recognized, agreement dan cognitive materity
11 – 12 tahun
abstract reason
"
( t h e
l e a r n i n g
B
h
b
P
i
a
e
r
g
s
r
e
g
i
i
s
s t r u c t u r e
o u t c o m e s )
o f
o b s e r v e d
s
d a l a m
s o l o - t a x o n o m i s
t e n t a n g
l
b e l a j a r
k o g n i t i f
y a i t u
s e b a g a i
k u t
:
t r u c t u r e
;
h a s i l
k o g n i t i f
y a n g
b e l u m
d i i r i n g a n
s i f a t
l o g i s ,
m a s i h
e m o s i o n a l
d a n
b i l a
m e n j a w a b
c e p a t
s e p i n t a s
b a t u
s a j a atau menolak menjawab.
Unistructural, mampu menarik kesimpulan namun hanya atas satu dasar atau
data atau konsep saja
Multistructural : seperti no 2 tetapi sudah menggunakan sejumlah data.
Relational : mampu menyimpulkan dengan segala kaitan dan hubungan satu
sama lain tetapi hanya secara induktif
Abstract expanding : sudah mampu berpikir induktif dan deduktif, mampu
mencari hubungan hipotesa dan kesimpulan.
L.Kohlberg
Pre- conventional level, yakni tahap mampu merespon the cultural rules
tetapi bersifat fisik, hedonis dan level ini terdiri dari 2 kategori :
The punishment and obidiens orienttion : patuh karena takut hukuman
The instrumental Relatives orientation : patuh sekedar memuaskan orang
lain atau alasan praktis-pragmatis saja. Tahapan kepatuhan karena sifat
timbal balik.
Convebtional level : yakni tahapan kepatuhan yang dasarnya hanya sekedar
membina (maintaining). Harapan dan atau nilai-nilai yang diharapkan
seseorang, kelompok, bangsa dan negara. Sehingga kepatuhan (loyality)
hanya berdasar atas :
Interpersonal concordance, good boy nice girl atau pujian/tahapan
kepatuhan karena dasarnya disebut anak/orang baik.
Law and order orientation, social order, dimana tahap kepatuhan/kesadaran
morla karena dasar pertumbuhannya kewenangan hukum dan tertib sosial.
Post conventional level : sudah memiliki dasar kepatuhan yang jelas,
punya prinsip atau nilai moral tertentu yang menjadi landasannya. Tahap
ini terdiri dari 2 kategori :
Social contract legalistic orientation, bila kepatuhan sudah berlandaskan
pola pikir bahwa kepatuhan didasarkan kewajiban sosial mentaati
perjanjian/kesepakatan.
Universal ethical principle orientation, kesadaran penuh berdasarkan
prinsip umum yang dipilihnya secara rasional dan konprechenship karena
lahir dari keputusan diri sendiri.
Berdasarkan gambaran diatas betapa kompleksitasnya hal ihwal yang
menyangkut pendidikan nilai, mulai dari berbagai pendapat pakar tentang
karakteristik membinakan nilai moral seseorang yang amat beragam baik
dalam batasan yang dijadikan landasannya maupun pendekatan : yang
digunakan serta orientasi yang dijadikan landasan untuk membina nilai
moral yang efektif.
Hal ini menunjukkan betapa pentingnya membinakan nilai moral ini, dan
betapa sulitnya untuk membinakan nilai moral ini, sehingga melahirkan
perdebatan tentang perlu tidaknya nilai diajarkanbagi seseorang
melahirkan 4 aliran (Kosasih Djahiri;1985).
Aliran relativisme ; yang beranggapan nilai tidak bisa diajarkan karena
nilai bersifat relatif, subjektif, temporer dan situasional
Aliran kebebasan (value-free) yangberanggapantidak perlu dan tidka boleh
diajarka karena bertentangan dengan kodrat kebebasan dasar manusia untuk
menentukan pilihannya secara bebas dan mandiri.
Aliran Absolutisme atau dogmatisme ; juga beranggapan tidak perlu karena
segala nilai dan norma yang sudah dianggap baik dan dilaksanakan untuk
wajib dianut dilaksanakan tanpa peduli setuju atau tidak, mau atau tidak.
Aliran keyakinan yang rasional/nalar yang menyatakan perlunya diajarkan
untuk penerimaan yang sadar, mantap dan nalar.
(Kosasih Djahiri,1985).
Pendidikan nilai moral menghendaki lahirnya insan-insan yang memiliki
sejumlah bekal sistem nilai baku yang positif sebagai landasan dan
barometer kehidupan dan lebih jauh lagi sebagai generasi penerus dan
pembaharu nilai moral yang diinginkan yakni di Indonesia dilahirkan
insan-insan pancasila, diharapkan sistem nilai yang terbentuk akanmampu
meluruskan “Conventer values/culture/conflicting values” yang ada
dimasyarakat dan mengikisnya. Kosasih Djahiri mengemukakan analisisnya
tentang counter values menjadi penyebab munculnya “counter values ” yakni
:
Budaya lama dalam bentuk mitos dan atau tabu
Contoh : banyak anak banyak rizki, dewi sri adalah dewi padi memberantas
hama penyakit dengan membakar duka/kemenyan dan lain-lain.
Karena sifat ketergesaan/darurat
Contoh : melanggar lalu lintas atas dalih membawa orang sakit atau takut
terlambat kesekolah dan lain-lain.
Hubungan kekerabatan/keluarga
Contoh : memberikan dispensasi pada sanak famili membela anakk/istri
dalam hal kesalahan dan lain-lain.
Dasar kepentingan/kebutuhan
Contoh : mencuri karena lapar, menyingkir lawan untuk kemenangan dan
lain-lain
Solidaritas/integritas yang terlalu tinggi/berlebihan.
Contoh : perbuatan naif kelompok remaja, ekses kekerabatan dala
organisasi modern dan lain-lain.
Dengan demikian sesulit apapun membinakan nilai moral perlu mengupayakan
dengan didasari profesionalitas pemahaman pada penguasaan substansi nilai
moral itu sendiri, penguasaan pada tahap perkembangan kejiwaan seseorang,
serta berbagai pendekatan yang didasarkan pada landasan filosofis yang
berdasar pada nilai moral yang berlaku, karena sebagaimana
dikemukakanfranicel dalam Kosasih Djahiri (1985:18) bahwa nilai (value)
dan sejenisnya merupakan wujud daripada affektif (affektif domain) serta
berada dalam diri seseorang yang secara utuh dan bulat merupakan suatu
sistem, dimana aneka jenis nilai (nilai keagamaan, sosial, budaya,
ekonomi, hukum, etis, etik dll) berpadu menjalin serta saling
mempengaruhi secara sangat sebagai suatu kesatuan yang utuh, sistem nilai
ini amat dominan dan menentukan prilaku dalam kepribadian seseorang!
Sangat berpengaruh karena merupakan pegangan emosional seseorang (value
are powerfull emotional commitment), terutama berpengaruh pada saat
seseorang menetappkan keputusan moralnya, maka diperlukan kecerdasan
moral yang didasari oleh “Emotional Intelegence”, Spiritual Intelegence,
social intelegence, magnetic intelegence yang dikelola berdasarkan
“Manajemen qolbu”, maka akan melahirkan kecerdasan moral yang mantap.
Strategi Pendidikan Nilai-Moral
Pendidikan adalah merupakan upaya terorganisir, berencana dan berlangsung
kontinyu (terus-menerus sepanjng hayat) kearah membina manusia/peserta
didik menjadi insan paripurna, dewasa dan berbudaya (Civilized). Secara
substansi pendidikan pada hakekatnya adalah membinakan pendidikan nilai
tentang hakekat kehidupan bagi manusia, sehingga dalam upaya membina tadi
perlu diterapkan pendekatan-pendekatan manusiawi/humanistik yang meliputi
keseluruhan aspek kemanusiaan secara utuh (aspek fisik-non fisik, emosiintelektual, kognitif-afektif-psychomotor). Pendekatan humanistik dimana
manusia dihargai sebagai insan yang potensial (mempunyai kemampuan,
kelebihan, kekurangan dll) diperlakukan berdasar kasih sayang, cinta
kasih hangat, kekeluargaan, terbuka, objektif dan penuh kejujuran serta
dalam suasana. Kebebasan tanpa ada tekanan/paksaan apapun sehingga
melalui pendekatan pendidikan nilai merupakan upaya bantuan bagi
seseorang untuk menggali, mengembangkan potensi dirinya dalam dunia
kehidupan nyata dengan segala persoalannya yang ada, mampu merefleksikan
nilai-nilai yang berbeda, sehingga pendidikan nilai bermakna sebagai
sarana memberikan filsafat hidup dan memfasilitasi pertumbuhan,
perkembangan dan piilihan menyeluruh sehingga dapat mengintegrasikan
dalam komunitas dan dunia secara luas dengan rasa hormat, percaya diri
dan bertujuan. Memperdalam pemahaman motivasi dan tanggungjawab dalam
soal membuat pilihan-pilihan nilai moral pribadi, sosial yang positif,
memberikan inspirasi kepada setiap individu untuk mampu memilih nilainilai, moral-moral, norma-norma pribadi, sosial dan spiritual yang
dimilikinya dan sadar untuk mengembangkan dan memperdalam dan
mempraktekkan nilai-moral dan norma tersebut dalam kehidupannya.
Pada dasarnya pendidikan nilai menjadi tanggung jawab guru saja secara
formal dan profesional dipersiapkan untuk membantu upaya
merealisasikannya tetapi menjadi tanggung jawab semua pihak terutama
dimulai dari tanggung jawab orang tua dalam lingkup pendidikan informal,
masyarakat dalam lingkup pendidikan Non-formal. Dan negara sebagai Top
Organization dalam strategi pengembangan sumber daya manusia sebagai
warga negaranya oleh karena itu disin akan diberikan sebagai wacana
bentuk membuka inovasi tentang pentingnya pendidikan nilai diberikan pada
setiap lingkungan pendidikan tersebut.
Dewasa ini kompleksitas perubahan era global telah melahirkan pemikiranpemikiran tentang pentingnya pendidikan nila, dimana para orang tua,
pendidik dan terlebih anak-anak semakin khawatir dan terpengaruh oleh
kekerasan, masalah-masalah sosial yang meningkat dan kurangnya rasa
syukur dan saling menghormati diantara sesama dan didalam lingkungan
sekitar mereka. Demikian di Indonesia para orang tua/pendidik berupaya
mencari jalan/solusi untuk membantu generas penerusnya agar dapat
memiliki jati diri, kepercayaan diri dan mampu beradaptasi secara sosial.
Disekoalh-sekolah saat ini dibentuk komite-komite sekolah sebagai wadah
komunikasi sebagai forum lintas pelaku pendidikan dan menjalin hubunganhubungan tentang penerapan kekuatan efektif serta positif pendidikan
terutama saat-saat generasi muda mengarungi masa-masa sulit dalam
mengembangkan nilai-nilai kehidupannya.
Organisasi dunia seperti UNESCO telah mensponsori dan memprakarsai
program pembelajaran tentang nilai-nilai kehidupan ini secara umum di
antaranya melalui “living value” : An educational program (LIEV) dimana
program ini menwarkan beragam aktivitas tentang pengalaman terhadap
pengalaman-pengalaman dalam melaksanakan pendidikan nilai dan metodologi
praktis bagi para pendidik dan orang tua/wali asuh untuk menjadi
fasilitator pembelajaran nilai bagi anak-anak remaja dalam mengalami dan
mengembangkan 12 nilai kunci dari kepribadian dan sosial seperti
perdamaian, rasa hormat, cinta, kebahagian, kejujuran, rendah hati,
tanggung jawab, sederhana, toleransi,kerjasama, kebebasan dan persatuan
yang sudah yang diuji cobakan pada lebih 1800 situs di 64 negara terutama
pada anak-anak korban peeprangan sejak tahun 2002.
Nilai, budaya setiap bangsa disuatu negara tertentu berbeda-beda oleh
karena itu penerapan program: pendidikan nilai akan diwarnai oleh situasi
kondisi serta sistem nilai yang anut oleh suatu bangsa di negara
tertentu, walaupun nilai-nilai yang dikembangkan oleh LIEV memilik
standar “universal values” artinya nilai-nilai umum yag dianut, namun
upaya secara metodologis praktis memerlukan strategi pengembangkan yang
disesuaikan dengan sistem nilai yang berlaku disuatu negara. Indonesia
adalah negara yang berketuhanan dan berideologi Pancasila tentunya nilainilai universal seperti yang dikembangkan LIEV telah termuat pula pada
tujuan nasional negara kita sehingga upaya untuk mengejawantahkan secara
metodelogis praktis akan didominasi faham yang dituju oleh tujuan
nasional kita yang tertuang dalam program pembangunan nasional.
Khusus pada bahasan ini akan dibahas tentang salah satu strategi
pembelajaran nilai-moral sebagai metodelogis praktis yang sudah
dikembangkan untuk kepentingan pendidikan nila-moral ditingkat
persekolahan yaitu VCT
L
M
N
“
”
ý
þ
‰
œ
»
¼
L
é
ê
•
‹
Œ
Ž
ïßïν®ž®ž®ƒžtžteR?
h,Qv CJ OJ QJ aJ mH
sH
$ h©w
hÁP$ CJ OJ QJ aJ mH
h©w
hf ¿ CJ OJ QJ aJ
h©w
hÁP$ CJ OJ QJ aJ
Ä CJ OJ QJ aJ
h©w
hÐ?2 CJ OJ QJ aJ
- hk&Ä CJ OJ QJ
H
sH
h©w
h<:è CJ OJ QJ aJ
! hHEå 5 •CJ OJ QJ aJ
sH
! h<:è 5 •CJ OJ QJ aJ mH
sH
h©w
hô
5 •CJ OJ QJ aJ h©w
h<:è 5 •CJ OJ QJ aJ
5
M
N
+
Œ
•
Ž
M
P
‚
P
…
~
ò
ò
ò
å
å
å
å
å
Í
º
†
$
$ h©w
sH
hk&
aJ m
mH
°
º
„õÿ „Ð
dh
¤
¤
[$ \$ ]„õÿ^„Ð a$ gd©w
$
„õÿ „Ð dh
¤
a$ gd©w
$
&
F0 „ª „Vþ dh
¤
[$ \$ ]„õÿ`„Ð a$ gd©w
¤
^„ª `„Vþa$ gd Gw
$
„Ð
dh
¤
¤
`„Ð
$
dh
¤
a$ gd©w
$ dh
¤ a$ gd©w
Ž
¯
°
ð
ñ
P
…
~
ˆ
—
¨
¡
À
Ë
Þ
8! p! v! •! Î! þ! i" ’" Ó"
# ¥# C% Y% Z% k' l' u' ”'
•' 0( ‘( ïßʼʱ£±—
±Ê…ÊmÊmÊmÊ…ÊmÊmÊmʱ…¼Ê¼Ê…¼Ê±
. h©w
h,Qv 6 •
CJ OJ QJ ] •^J aJ mH! sH! " hk&Ä CJ OJ QJ ^J aJ mH! sH!
hk&
Ä h,Qv 6 •mH! sH!
h©w
h,Qv 6 •] •mH! sH!
h©w
h,Qv mH! sH!
hk
&Ä CJ OJ QJ ^J aJ
( h©w
h,Qv CJ OJ QJ ^J aJ mH! sH! h©w
hù•Î 5 •CJ OJ QJ aJ h©w
hHEå 5 •CJ OJ QJ aJ
%~
¯
¨
²
Ý
Þ
8! Î! i" Ó" ¥# C% 0( å
å
Ò
Ò
Ò
¿
Ò
Ò
¥
¥
¥
¥
‹
Ò
$
„÷ÿ „Ð dh
¤
¤ [$ \$ ]„÷ÿ`„Ð a$ gd©w
&
F2
Æ à
„á dh
¤
¤ ^„á a$ gdHEå
$
$ „Ð dh
¤
¤ `„Ð a$ gd©w
$
„Ð
$
dh
¤
¤
^„Ð a$ gd©w
„õÿ „Ð
dh
¤
¤
[$ \$ ]„õÿ`„Ð a$ gd©w
0( ’(
+ €+
Þ
>) §) '* -*
, |, }, «. |0
Þ
Ð
î
h2
á2
Þ
÷2
î
Þ
Þ
î
Þ
Þ
î
Þ
»
›
$
&
F1
Æ
„á „Éý dh
¤ 7$ 8$ H$ ^„á `„Éýa$ gdHEå
$ „Ð dh
¤ 7$
8$ H$ `„Ð a$ gd©w
„Ð dh
¤ `„Ð gd©w
$
&
F7 dh
¤ a$ gd Gw
$ „Ð dh
¤ `„Ð a$ gd©w
‘( ’( ›( >)
I) §) ¶) '* :* -* ¼*
+
+ €+ “+
,
, v- Ž- “- žJ. i. F1 e1 h2 ’2 ±2 á2 ÷2 53 63 Ç3 òäÙäÙäÙäÙäÙËÀËÀËÀ´À´À¬À
¬À™‰™ubRb- h•aU CJ OJ QJ aJ mH sH
$ h©w
h,Qv CJ OJ QJ aJ mH
sH
' hHEå h,Qv 5 •CJ OJ QJ aJ mH sH - h•aU CJ OJ QJ aJ mH
sH
$ h©w
h,Qv CJ OJ QJ aJ mH sH
h•aU mH sH
h•aU h,Qv 6 •mH sH
h©w
h,Qv mH sH
h©w
h,Qv
6 •] •mH sH
h©w
h,Qv mH! sH!
h©w
h,Qv 6 •] •mH! sH!
h©w
h,Qv 5 •\ •mH! sH!
÷2 Ç3 Ý3 ã4 l6 •7 ¦7 48 C9 2: s: n< ê
Ê
±
±
±
‘
|
d
d
d
|
$
&
F4
Æ 8
„n dh
¤ ^„n a$ gdHEå
$ „ª „7 dh
¤ ^„ª `„7 a$ gdHE
å
$
&
F1
Æ
„S „Wþ dh
¤ 7$ 8$ H$ ^„S `„Wþa$ gdHEå
$
&
F3
Æ 8 á
„n dh
¤ ^„n a$ gdHEå
$
&
F1
Æ
„á „Éý dh
¤ 7$ 8$ H$ ^„á `„Éýa$ gdHEå
$ „ë „ö dh
¤
^„ë `„ö a$ gd•aU
Ç3 Ý3 œ4 É4 ’5 ²5 þ6
7
7
7 67 @7 Œ7 •7 ¦7 Þ7 ï7 ô7
8 48 >8 J8 i8
9
9
9 49 ëØÈØÈززز؟ë•~•~•~•r•bUr
hä
6 •CJ OJ QJ aJ h•aU h,Qv 6 •CJ OJ QJ aJ
hÂ
CJ OJ QJ aJ
" h©w
h,Qv 6 •CJ
OJ QJ ] •aJ
h©w
h,Qv CJ OJ QJ aJ
$ hHEå h,Qv CJ OJ QJ
aJ mH sH
* h©w
h,Qv 6 •CJ OJ QJ ] •aJ mH sH
- h•aU CJ OJ Q
J aJ mH sH
$ h©w
h,Qv CJ OJ QJ aJ mH sH
' hHEå h,Qv 5 •CJ
OJ QJ aJ mH sH
49 79 C9 M9 Ë9 1: 2: =: r: s:
= <=
>
%> *> 8> g> v>
?
? Ã? å? ì? z@ •@ –
@ ðáÏáÏṦ“¦ƒ¦¹¦¹¦¹¦p¦]G]G]
* h©w
h,Qv 6 •CJ OJ QJ ] •a
J mH sH
$ h©w
h,Qv CJ OJ QJ aJ mH sH
$ hÐ|' h,Qv CJ OJ QJ
aJ mH sH
- hÐ|' CJ OJ QJ aJ mH sH
$ hHEå h,Qv CJ OJ QJ a
J mH sH
$ h©w
h,Qv CJ OJ QJ aJ mH sH
* h©w
h,Qv 6 •CJ OJ
QJ ] •aJ mH sH
" h©w
h,Qv 6 •CJ OJ QJ ] •aJ
h©w
h,Qv CJ
OJ QJ aJ
- hÂ
CJ OJ QJ aJ mH sH
n<
= õ=
? Ã?
A
h
Eå
&
F6
Æ
&
F5
Æ
&
F5
Æ
å
–@
C
B
¤
´B
ž
žC
D
áD
ž
¼G
ê
Ò
p
7$ 8$ H$ ^„ª `„7 a$ gdHEå
$
$
„ü
„Wþ dh
Ð
„á
dh
¤
^„á a$ gdÐ|'
$
Ð
„á
dh
¤
^„á a$ gdHEå
$
@
D
¤
ê
ž
Ð
—@ ›@
DC dC
º
ž
„ª
^„ü `„Wþa$ gdHEå
ž
„7
dh
¤
‰
$ „ª „7 d
^„ª `„7 a$ gdH
$
„h
„y
dh
¤
^„h `„y a$ gdHE
£@ â@ ã@
B ÙB æB ûB
C
C D »G ¼G ÍH ÎH ñM òM ðÝÇݸ¨¸•••••l•V•F•¸
- hÐ|' CJ OJ QJ aJ mH sH
* h©w
h,Qv 5 •CJ OJ QJ
\ •aJ mH sH
$ hHEå h,Qv CJ OJ QJ aJ mH sH
* h©w
h,Qv 6 •CJ
OJ QJ ] •aJ mH sH
$ h©w
h,Qv CJ OJ QJ aJ mH sH
- hÐ|' CJ
OJ QJ aJ mH sH
h©w
h,Qv CJ OJ QJ aJ
* h©w
h,Qv 6 •CJ OJ QJ ] •aJ
mH sH
$ h©w
h,Qv CJ OJ QJ aJ mH sH
- hÐ|' CJ OJ QJ aJ mH
sH
¼G VJ ñM òM
N /N ¹O fP jS ¡W ÂW ¦Y æ
æ
Õ
½
•
„
„
„
„
d
„
$
&
F5
Æ @
„á „Éý dh
¤ 7$ 8$ H$ ^„á `„Éýa$ gdòOª
$ „ª „7 dh
¤ 7$ 8
$ H$ ^„ª `„7 a$ gdòOª
$
&
F5
Æ @
„á „Éý dh
¤ 7$ 8$ H$ ^„á `„Éýa$ gdI ”
$
&
F0 „ª „Vþ dh
¤ ^„ª `„Vþa$ gd Gw
$ 㻠dh
¤ ^„ª a$ gd©w
$ „ª „7 dh
¤ 7$ 8$ H$ ^„ª `„7 a$ gdI ”
òM
N
N /N JN aN fP ½Q
R ¡W ÁW ÂW ÍW )[ H[
\ T\ )] H] <_ F_ L_ ]_ É_ ×_ R` ^` !e ïß˼ª¼—„—n—^—^—^—^—H—
H—H—H—
* h©w
hÒk 6 •CJ OJ QJ ] •aJ mH sH
- h-%l CJ OJ QJ aJ m
H sH
* h©w
hÒk 5 •CJ OJ QJ \ •aJ mH sH
$ h©w
hÒk CJ OJ
QJ aJ mH sH
$ h©w
hÒk CJ OJ QJ aJ mH sH
" h©w
hÒk 6 •CJ
OJ QJ ] •aJ
h©w
hÒk CJ OJ QJ aJ
' h©w
h©w 5 •CJ OJ Q
J aJ mH
sH
h©w
hù•Î 5 •CJ OJ QJ aJ h©w
hI ” 5 •CJ OJ QJ aJ
¦Y
[ &^
a ‡b !e <e Øe ®f Æf
xg 2h Mh &j új &m Ip ìr -t áx Ãy æ
æ
Í
Í
Í
¸
Í
Í
¸
Í
Í
¸
Í
Í
Í
Í
Í
Í
Í
Í
$ 㻠dh
¤ 7$ 8$ H$ `„ª a$ g
dQ@
$ „ª „7 dh
¤ 7$ 8$ H$ ^„ª `„7 a$ gdQ@
$ „ª „7 dh
¤ 7$ 8$ H$ ^„ª `„7 a$ gdòOª
!e )e :e ;e <e \e Øe
f -f ®f
¶f Äf Æf ùf xg ¨g 2h :h Kh Mh jh •h ¡h Li ‰i &j oj ìr
Ët êt Ãy ëÔëÀª—ª—„ëÔ몗ª—ëÔ몗ª—ª—ª—
qaq
- hå4 CJ OJ QJ aJ mH
sH
$ h©w
hÒk CJ OJ QJ aJ mH
sH
$ h©w
h¡)• CJ OJ QJ aJ mH sH
$ h©w
hÒk CJ OJ QJ aJ mH
sH
* h©w
hÒk 6 •CJ OJ QJ ] •aJ mH sH
' hQ@
h¡)• 5 •CJ OJ
QJ aJ mH sH hQ@
hÒk 5 •6 •CJ OJ QJ ] •aJ mH sH ' hQ@
hÒk 5 •CJ OJ QJ
aJ mH sH
-Ãy Ýy øy
z î{ ï{ ¢~ ¤~ ³• ã• ä• å• ü• ý•
€
€
€ Q€ •€ •€ ¸€ í€ î€ X• Y• Õ• Ö• Ù• :‚ ;‚ €‚ Å‚ ô†
‡ ê×Á×®›®›Œ×Œ‚{‚{Œp{Œ{p›p›p›l{Œ{p›V
* h©w
hÒk 5 •CJ OJ QJ \ •aJ
mH sH
hQ@
h©w
hÒk mH sH
h©w
hÒk
h©w
hÒk
CJ OJ QJ aJ mH sH
sH
* h©w
hÒk 6 •CJ OJ
sH
$ h©w
hÒk CJ OJ QJ
sH
* h©w
hÒk 5 •CJ OJ
sH
!Ãy Þy ï{ ¤~ ä• å•
Æ
µ
y
k
5 •\ •
$ h©w
QJ
aJ
QJ
ý•
—
h©w
hÒk CJ OJ QJ aJ
h¡)• CJ OJ QJ aJ mH
] •aJ
$ h©w
hÒ
mH
mH
\ •aJ
€
ß
mH
Æ
Æ
-
$
„–
„–
dh
¤
¤
$ If
[$ \$ ]„– ^„– a$ gd©w
-
$
„– „– dh
¤
¤
$ If
[$ \$ ]„– ^„–
a$ gd©w
$ „Ð dh
¤ ^„Ð a$ gd©w
H$ ^„ª `„7 a$ gdQ@
$
&
F5
Æ @
„á „Éý dh
¤ 7$ 8$ H$ ^„á `„Éýa$ gdQ@
N
N
$
„ª
„7
dh
€
€
Q€
•€
-
¤
l
$
7$ 8$
„– „– dh
a$ gd©w “
Ö
ÿ
¤
kd
¤
Ö
ÿÿÿÿ
6 ö
aö
ÿ
ÿ3Ö
ö ø
4Ö
N
$
$ If
$ If
[$ \$ ]„– ^„–
Ö
ÿÿÿÿ
Ö0
ö
Ö
ÿ
pÖ
ÿÿÿÿ
N
ÿ
ÿ Ö
ÿÿÿÿ
Ö0
èÿG U"
ÿ
ÿ
ÿ
ÿ
ÿ Ö
ÿ
ÿ Ö
ytQ@
•€ •€ ¸€
-
`
ÿ
í€ l
$
„– „– dh
a$ gd©w “
Ö
ÿ
¤
kdÕ
¤
Ö
ÿÿÿÿ
6 ö
aö
ÿ
ÿ3Ö
ö ø
4Ö
N
$
$ If
$ If
[$ \$ ]„– ^„–
Ö
ÿÿÿÿ
Ö0
ö
Ö
ÿ
pÖ
ÿÿÿÿ
N
ÿ
ÿ Ö
ÿÿÿÿ
Ö0
èÿG U"
ÿ
ÿ
ÿ
ÿ
ÿ Ö
ÿ
ÿ Ö
ytQ@
í€ î€
•
-
`
ÿ
X• l
$
„– „– dh
a$ gd©w “
Ö
ÿ
¤
kdª
¤
Ö
ÿÿÿÿ
6 ö
aö
ÿ
ÿ3Ö
ö ø
4Ö
N
$
$ If
$ If
[$ \$ ]„– ^„–
Ö
ÿÿÿÿ
Ö0
ö
Ö
ÿ
pÖ
ÿÿÿÿ
N
ÿ
ÿ Ö
ÿÿÿÿ
Ö0
èÿG U"
ÿ
ÿ
ÿ
ÿ
ÿ Ö
ÿ
ÿ Ö
ytQ@
X• Y• Ž•
-
`
ÿ
Õ• l
$
„– „– dh
a$ gd©w “
Ö
ÿ
¤
kd•
¤
Ö
ÿÿÿÿ
6 ö
aö
ÿ
ÿ3Ö
ö ø
4Ö
N
$
$ If
$ If
[$ \$ ]„– ^„–
Ö
ÿÿÿÿ
Ö0
ö
Ö
ÿ
pÖ
ÿÿÿÿ
N
ÿ
ÿ Ö
ÿÿÿÿ
Ö0
èÿG U"
ÿ
ÿ
ÿ
ÿ
ÿ Ö
ÿ
ÿ Ö
ytQ@
Õ• Ö• ÿ•
-
`
ÿ
:‚ l
$
„– „– dh
a$ gd©w “
Ö
ÿ
¤
kdT
¤
Ö
ÿÿÿÿ
6 ö
aö
ÿ
ÿ3Ö
ö ø
4Ö
N
$
$ If
$ If
[$ \$ ]„– ^„–
Ö
ÿÿÿÿ
Ö0
ö
Ö
ÿ
pÖ
ÿÿÿÿ
N
ÿ
ÿ Ö
ÿÿÿÿ
Ö0
èÿG U"
ÿ
ÿ
ÿ
ÿ
ÿ Ö
ÿ
ÿ Ö
ytQ@
:‚ ;‚ €‚
-
`
ÿ
Å‚ l
$
„– „– dh
a$ gd©w “
Ö
ÿ
¤
kd)
¤
Ö
ÿÿÿÿ
6 ö
aö
ÿ
ÿ3Ö
† l
$
ö ø
4Ö
Ö
ÿ3Ö
Š ›Œ
Æ
Ö
ÿ
֥
$
„Ð
ÿ
ÿ Ö
ÿÿÿÿ
B
Ö0
ÿ
ÿ Ö
ÿÿÿÿ
¤
èÿG U"
ÿ
ÿ
ÿ
ÿ
ÿ Ö
ÿ
ÿ Ö
ytQ@
Å‚ Æ‚ Ç‚
$ „7
dh
¤ ^„Ð a$ gd©w
Ö0 èÿG U" `
ÿÿÿÿ
ÿÿÿÿ
Ö0
6 ö
ö
Ö
ÿ
aö
pÖ
ÿÿÿÿ
‰• š• ß
Æ
Æ
Æ
ö ø
4Ö
v•
[$ \$ ]„– ^„–
Ö
ÿÿÿÿ
Ö0
ö
Ö
ÿ
pÖ
ÿÿÿÿ
B
[
$ ^„7 `„7 a$ gdQ@
Ö
ÿ
$ If
$ If
„7 dh
“ kdþ
¤
$
`
ÿ
Ü„ ô
7$ 8$ H
$ If
ÿ
ÿ
ÿ
ÿ
ÿ Ö
ÿ
ÿ Ö
ytQ@
ô†
‡ ô‡
Æ
Æ
•
ÿ
Š ¶
„–
dh
¤
¤
$ If
[$ \$ ]„– gd©w
"
$
„– „– „Üÿ dh
¤
¤
$ If
[$ \$ ]„– ^„–
`„Üÿa$ gd©w
$ „7 „7 dh
¤ 7$ 8$ H$ ^„7 `„7 a$ gdQ@
$
&
F5
Æ @
„á „Vþ dh
¤ 7$ 8$ H$ ^„á `„Vþa$ gdQ@
‡ .‡ M‡ ‹ ¸‹
Œ 0Œ G• Q• v• š• œ• ®• ¹• º• ¼• À•
ü• ý•
‘ C‘ E‘ t‘ u‘ ˆ‘ ¶‘ ¸‘
’
™ =™ ]™ x™ ûœ
•
Ÿ )Ÿ <¡ V¡ }¡ ’¡ <¢ V¢ e¢ f¢
£ +£
„¤ –
¤
§ í×í×í×í×íÐÁнÐÁµªíЪíªíЪíªí”í×í„í×í×í×í×í„í×í×í
- h÷ZT CJ OJ QJ aJ mH sH
* h©w
hÒk 5 •CJ OJ QJ \ •aJ mH
sH
h©w
hÒk mH sH
h J3 mH
sH
hå4
h©w
hÒk
CJ
OJ
QJ
aJ
h©w
hÒk
OJ QJ aJ
* h©w
mH sH
hÒk
0š•
6 •CJ OJ QJ
›• œ• º• ˆ
] •aJ
mH
sH
s
$ h©w
hÒk
\
CJ
„– dh
gd©w
Ö
Z#à Ü
6 Ö
t Gw
¤
$
ÿ
º•
¤
$ If
„Üÿ dh
¤
[$ \$ ]„–
$ If
`„Üÿa$ gd©w
Ö0 èÿ“
¬
Ö0
ÿ
ÿ Ö
ÿ
ÿ Ö
»• ¼• ü• ˆ
ÿ
ÿ
ÿ
ÿ Ö
s
ÿ
v
ÿ
ÿ3Ö
kdÓ
ÿ
4Ö
\
$
$ If
ÿ
aö
4
ö ˆ
f4 y
„– dh
gd J3
Ö
Z#
6 Ö
t Gw
¤
$
ÿ
ü•
¤
$ If
„Üÿ dh
¤
[$ \$ ]„–
$ If
`„Üÿa$ gd©w
Ö0 èÿ“
¬
Ö0
ÿ
ÿ Ö
ÿ
ÿ Ö
ý•
‘ C‘ ˆ
ÿ
ÿ
ÿ
ÿ Ö
f
ÿ
v
ÿ
ÿ3Ö
kd„
ÿ
4Ö
K
$
$ If
ÿ
aö
4
ö ˆ
f4 y
„–
„–
dh
¤
¤
$ If
[$ \$ ]„– ^„– gd©w
"
$
„– „– „Üÿ dh
`„Üÿa$ gd©w
v
“
Z#
6 Ö
t Gw
ÿ
C‘
¤
¤
kd5
$ If
$ $ If
¬
Ö0
ÿ
ÿ Ö
ÿ
ÿ Ö
D‘ E‘ t‘ ˆ
ÿ
ÿ
[$ \$ ]„– ^„–
4 Ö
ÿ
ÿ Ö
s
ÿ
Ö0
ÿ
ÿ3Ö
ÿ
4Ö
X
ÿ
aö
èÿ
ö ˆ
f4 y
„– „–
gd©w
Ö
Z#à Ü
6 Ö
t Gw
dh
$
ÿ
t‘
¤
¤
„Üÿ dh
$ If
¤
¬
Ö0
ÿ
ÿ Ö
ÿ
ÿ Ö
u‘ ˆ‘ ¶‘ ˆ
[$ \$ ]„– ^„–
$ If
`„Üÿa$ gd©w
Ö0 èÿ“
ÿ
ÿ
ÿ
ÿ Ö
f
ÿ
v
ÿ
ÿ3Ö
kdæ
ÿ
4Ö
K
$
$ If
ÿ
aö
4
ö ˆ
f4 y
„–
„–
dh
¤
¤
$ If
[$ \$ ]„– ^„– gd©w
"
$
„–
„– „Üÿ dh
$ $ If
¤
Ö
¤
Ö0
ÿ Ö
ÿ
·‘ ¸‘
s
ÿ
4
Z#
6 Ö
t Gw
’ ˆ
$ If
[$ \$ ]„– ^„– `„Üÿa$ gd©w
Ö0 èÿ“
v
kd—
¬
ÿ
¶‘
ÿ Ö
ÿ
ÿ
X
ÿ
ÿ Ö
ÿ
ÿ
ÿ3Ö
ÿ
4Ö
ÿ
aö
ö ˆ
f4 y
„– „–
gd©w
dh
¤
$ „Ð
$ $ If
Z#à Ü
6 Ö
t Gw
’
ÿ
ÿ Ö
¤
dh
$ If
¤
4 Ö
¬
Ö0
ÿ
ÿ
ÿ Ö
[$ \$ ]„– ^„–
$ If
`„Ð a$ gd©w
ÿ
ÿ
ÿ
ÿ Ö
ÿ
ÿ
ÿ3Ö
v kdH
Ö0 èÿ“
ÿ
4Ö
ÿ
aö
ö ˆ
f4 y
’
’
¾• ;—
™ ˆ
{
¤ 7$ 8$ H$ ^„7 `„7 a$ gdº|¦
a$ gd J3
b
I
$
„7
„Å
I
dh
¤
$ „7 „7 dh
7$ 8$ H$ ^„7 `„Å
$
dh
$
Z#
6 Ö
t Gw
-
ÿ
™
¤ a$ gd©w
$ If
4
v
kdù
Ö
¬
Ö0
ÿ
ÿ
ÿ
ÿ Ö
ÿ
ÿ Ö
ÿ
ÿ Ö
ÿ
=™ .š Tœ µ• G¤ K¦
§ :§
”
Ö0
ÿ
ÿ3Ö
© ß
èÿ“
ÿ
4Ö
ÿ
aö
ö ˆ
f4 y
Æ
-
t
$
&
F5
Æ @
„á „Vþ dh
¤ 7$ 8$ H$ ^„á `„Vþa$ gdº|¦
$ „7 „Å dh
¤ 7$ 8
$ H$ ^„7 `„Å a$ gdº|¦
$ „7 „7 dh
¤ 7$ 8$ H$ ^„7 `„7 a$ gdº|¦
$ „7 „Ð dh
¤ 7$ 8$ H$ ^„7 `„Ð a$ gdº|¦
$
&
F5
Æ @
„á „Vþ dh
¤ 7$ 8$ H$ ^„á `„Vþa$ gd J3
§ 9§ U§ k§ ª° Ê° Y´ h´
½ @½ ÅÀ ÆÀ ÐÀ ïÀ øÄ úÄ -Å
-Å ÌÅ ÍÅ ÎÅ YÆ bÆ eÆ „Æ üË ýË 5Î 6Î ^Ñ _Ñ àÔ
Õ ê×Á×±×Á×
êססבêוו×Áססס×n×X
* h©w
h©w 5 •CJ OJ QJ \ •aJ mH
sH
$ h÷
h©w CJ OJ QJ aJ mH sH
- h’c¬ CJ OJ QJ aJ mH sH
- h©w C
J OJ QJ aJ mH sH
- h÷ZT CJ OJ QJ aJ mH sH
- hº|¦ CJ OJ QJ
aJ mH sH
* h©w
h©w 6 •CJ OJ QJ ] •aJ mH sH
$ h©w
h©w C
J OJ QJ aJ mH sH
* h©w
h©w 5 •CJ OJ QJ \ •aJ mH sH
© 6ª »¬ ‡® ç±
½ @½ P¾ ûÀ LÄ úÄ Å á
á
á
á
È
¨
“
“
“
~
b
$
&
F8
Æ p
„n „Wþ dh
¤ ^„n `„Wþa$ gd’c¬
$ „Ð „Ð dh
¤ ^„Ð `„Ð
a$ gd’c¬
$ „Ð „Ð dh
¤ ^„Ð `„Ð a$ gdº|¦
$
&
F8
Æ p
„n „Wþ dh
¤ 7$ 8$ H$ ^„n `„Wþa$ gd’c¬
$ „Ð „, dh
¤
7$ 8$ H$ ^„Ð `„, a$ gdº|¦
$
&
F8
Æ
„n dh
¤ 7$ 8$ @& H$ ^„n a$ gdº|¦
Å ÁÇ (È ®È
Ê þË
Î RÏ ¹Ï jÐ øÐ _Ñ àÔ
Õ ê
Ò
Ò
ê
ê
ê
ê
¶
¶
¶
š
ê
‚
$
&
F8
Æ p
„n dh
¤ ^„n a$ gd’c¬
$
&
F:
Æ Û
„Š „äý dh
¤ ^„Š `„äýa$ gd÷
$
&
F:
Æ
&
F9
Æ
¬
Õ
ß
â
Û
„Š
„äý dh
Ð
„Š
dh
¤
¤
^„Š `„äýa$ gd’c¬
^„Š a$ gd’c¬
$
£Õ ºÕ »Õ ¼Õ ù×
Ø MØ RØ
Ú
Îß tà #á Lá þá
Mã íÝíÝíÇíÇí±í¡‘~íl]í]í]l]Q]
CJ OJ QJ aJ
h©w
h©w CJ OJ
QJ \ •aJ
$ h©w
hX “ CJ OJ QJ aJ
mH sH
- h©w CJ OJ QJ aJ mH sH
J mH sH
* h©w
h©w 6 •CJ OJ QJ
CJ OJ QJ aJ mH sH
$ h©w
h©w
LÙ
Ú ;Ú dÞ eÞ fÞ qÞ ”Þ -Þ ¾Þ
¹
¤
¤
†
†
$
„Ð
;Ú
„º
cÞ
dÞ
¤
eÞ
^„Ð `„º a$ gd’c
fÞ
qÞ
”Þ
ÎÞ
-
h÷
QJ aJ
" h©w
h©w 5 •CJ
mH sH
- hX “ CJ OJ QJ
* h©w
h©w 5 •CJ OJ QJ
] •aJ mH sH
- h÷
CJ OJ QJ aJ mH sH
Õ
ê
ê
Õ
¤
—
$
w
dh
dh
¤
$ If
OJ
aJ
\ •a
£×
—
a$ gd©
$ dh
¤ a$ gd©w
$ „n „7 dh
¤ ^„n `„7 a$ gd’c¬
$
&
F;
Æ 8
„
„Vþ dh
¤ ^„ `„Vþa$ gd’c¬
$ „Ð „Ð dh
¤ ^„Ð `„Ð
a$ gd’c¬
$ „
„š dh
¤ ^„ `„š a$ gd’c¬
¾Þ ¿Þ ÎÞ
ß g
V
V
$
$
$ If
–l
Ö
dh
¤
$ If
Ö0
a$ gd©w
7 I þ
˜
kdª
µ
t
à
ÿ
Ö
ö
ÿÌÌÌ
6 ö
4Ö
l aö £ pÖ
p
d©w
$
} kdŠ
$ If
ö
ÿÌÌÌ
–l
Ö
ÿÌÌÌ
Ö0
Ö
ÿÌÌÌ
Ö
ÿ
ÿ
Ö
yt’c¬
ÿ
ÿ
Ö
Ö
ß
-ß
2ß
Íß
$
dh
Ö0
ÿ
4Ö
•
7 I þ
p
¤
$ If
a$ g
t
à Ö0
ÿ
Ö
Ö
l aö £ yt’c¬
µ
ÿ
ÿ
Íß
ÿ
ÿ Ö
Îß
à
ÿ
sà
$
dh
ÿ
ÿ Ö
ÿ
ÿ
•
¤
$ If
ÿ
ÿ4Ö
p
a$ gd©w
ö
6
4Ö
p
}
kd5
ö
ö
$
$ If
–l
Ö
Ö0
7 I þ
t
à Ö0
ÿ
Ö
ÿ
ÿ Ö
l aö £ yt’c¬
µ
ÿ
ÿ
sà
ÿ
ÿ Ö
tà Žà
ÿ
á
$
dh
ÿ
ÿ Ö
ÿ
ÿ
•
¤
$ If
ÿ
ÿ4Ö
p
a$ gd©w
ö
6
4Ö
p
}
kdÒ
ö
ö
$
$ If
–l
Ö
Ö0
7 I þ
µ
à Ö0
ÿ
ÿ
ÿ
ÿ
Ö
ÿ
ÿ Ö
ÿ
ÿ Ö
ÿ
ÿ Ö
ÿ
l aö £ yt’c¬
á
á "á #á Lá “ã •
G
2
„7 a$ gd’c¬
$
&
F;
Æ 8
„
„Vþ dh
¤ ^„ `„Vþa$ gd’c¬
t
ÿ
ÿ
ÿ4Ö
ö
6
ö
ö
4Ö
$
p
„n „7
dh
c
¤ ^„n `
$
$
dh
$ If
¤
a$ gd©w
–l Ö
$
„Ð
dh
¤
`„Ð a$ gd’c¬
Ö0 7 I þ
}
kdo
µ
à Ö0
ÿ
ÿ
ÿ
ÿ
ÿ
ÿ
ö
6 ö
ö
Ö
ÿ
ÿ Ö
ÿ
ÿ Ö
ÿ
ÿ Ö
ÿ
ÿ4Ö
4Ö
l aö £ yt’c¬
Mã Nã 8ä Wä Xä Yä äå åå ðå
æ Tæ 7ç Ýç bè ^
é _é `é {é òì
í ¢í Üî ÷î &ï
ð :ð ;ð Mó _ó ˜ô æõ ùõ Eö
ðáÕáðáÂá°á•á•á•Â°á°á•á°áÕðá{á•e•
*
h©w
h©w 5 •CJ OJ QJ \ •aJ mH sH
" h©w
h©w 6 •CJ OJ QJ ]
•aJ
- h©w CJ OJ QJ aJ mH
sH
$ h©w
h©w CJ OJ QJ aJ mH sH
" h©w
h©w 5 •CJ OJ QJ
\ •aJ
$ h©w
h©w CJ OJ QJ aJ mH
sH
h÷
CJ OJ QJ aJ
h©w
h©w CJ OJ QJ aJ
- h÷
CJ OJ QJ aJ mH
sH
“ã
å åå ðå
æ +æ <æ ê
Õ
È
È
·
·
t
$
dh
¤
$ If
a$ gd©w
$ dh
¤
„n „7 dh
V
a$ gd©w
$ „n
¤ ^„n `„7 a$ gd’c¬
„Å dh
<æ =æ
¤
Tæ
^„n `„Å a$ gd’c¬
•æ g
V
$
$
¤
$ If
a$ gd©w
˜
kd
dh
$
$ If
–l
Ö
Ö0
ª I þ
Ÿ
µ
t
à
ÿ
Ö
ö
4Ö
l aö
d©w
ÿÀÀÀ
6 ö
pÖ
p
}
kdÞ
ÿÀÀÀ
Ö
ÿÀÀÀ
ö
Ö
ÿÀÀÀ
Ö0
ÿ
ÿ
ÿ Ö
yt’c¬
ÿ
ÿ
•æ
ÿ
ÿ Ö
Žæ
ÿ
ÿ Ö
ÿ
¿æ
6ç
$
dh
ÿ
ÿ
•
ÿ4Ö
p
¤
$ If
a$ g
$
$ If
–l
Ö
Ö0
ª I þ
Ÿ
t
à Ö0
ÿ
Ö
ÿ
ÿ Ö
l aö
yt’c¬
–l
Ö
µ
ÿ
ÿ
6ç
ÿ
ÿ Ö
7ç dç
ÿ
Âç
$
dh
ÿ
ÿ Ö
•
¤
ÿ
ÿ
ÿ
ÿ4Ö
p
$ If
a$ gd©w
Ö0 ª I þ
Ÿ
ö
6
ö
ö
4Ö
p
}
kd{
$
$ If
t
à Ö0
ÿ
Ö
ÿ
ÿ Ö
l aö
yt’c¬
–l
Ö
µ
ÿ
ÿ
Âç
ÿ
ÿ Ö
Ãç Ýç
ÿ
aè
$
dh
ÿ
ÿ Ö
•
¤
ÿ
ÿ
ÿ
ÿ4Ö
p
$ If
a$ gd©w
Ö0 ª I þ
Ÿ
ö
6
ö
ö
4Ö
p
}
kd
$
$ If
t
à Ö0
ÿ
Ö
ÿ
ÿ Ö
l aö
yt’c¬
–l
Ö
µ
ÿ
ÿ
aè
ÿ
ÿ Ö
bè lè
ÿ
·è
$
dh
ÿ
ÿ Ö
•
¤
ÿ
ÿ
ÿ
ÿ4Ö
p
$ If
a$ gd©w
Ö0 ª I þ
Ÿ
ö
6
ö
ö
4Ö
p
}
kdµ
$
$ If
t
à Ö0
ÿ
Ö
ÿ
ÿ Ö
l aö
yt’c¬
–l
Ö
µ
ÿ
ÿ
·è
ÿ
ÿ Ö
¸è Úè
ÿ
Bé
$
dh
ÿ
ÿ Ö
•
¤
ÿ
ÿ
ÿ
ÿ4Ö
p
$ If
a$ gd©w
Ö0 ª I þ
Ÿ
ö
6
ö
ö
4Ö
p
}
kdR
$
$ If
à Ö0
ÿ
Ö
ÿ
ÿ Ö
l aö
yt’c¬
?
$ „n „7 dh
µ
ÿ
ÿ
t
&
F;
Æ 8
}
„
kdï
Bé
ÿ
ÿ Ö
Cé `é
ÿ
{é
ÿ
ÿ Ö
ë èì
?
¤ ^„n `„7 a$ gd’c¬
„Vþ dh
¤
$ $ If
^„ `„Vþa$ gd’c¬
–l Ö
ÿ
ÿ
•
ÿ
ö
ÿ4Ö
6
ö
ö
4Ö
p
T
$
$
„Ð
dh
Ö0
¤ `„Ð a$ gd÷
ª I þ
Ÿ
µ
à Ö0
ÿ
ÿ
ÿ
Ö
ÿ
ÿ Ö
ÿ
ÿ Ö
ÿ
l aö
yt’c¬
èì òì
í í 0í 1í Qí ò
ò
;
t
ÿ
ÿ Ö
ÿ
ÿ
á
ÿ
ÿ4Ö
ö
6
ö
ö
4Ö
á
I
l
dh
Ö
t
à
¤
$ If
gd©w
˜
µ
ÿ
Ö
ö
4Ö
l aö 1 pÖ
ÿÌÌÌ
6 ö
ÿÌÌÌ
ÿÌÌÌ
ö
Ö
ÿÌÌÌ
kdŒ
$ $ If
–
Ö0 Å I þ
„
Ö
Ö0
ÿ
ÿ
ÿ
ÿ
ÿ Ö
ÿ
ÿ Ö
ÿ
yt’c¬
$
dh
¤
ÿ
ÿ Ö
$ If
ÿ
ÿ
ÿ4Ö
a$ gd©w
$
dh
¤
î
a$ gd©w
Qí
¡í
¢í
Ùí
Oî
î
p
b
l
t
dh
Ö
¤
$ If
à Ö0
ÿ
Ö
ÿ
ÿ Ö
l aö 1 yt’c¬
s
gd©w
µ
ÿ
ÿ
ÿ Ö
$ dh
b
}
kd^
$
Ö0 Å I þ
ÿ
ÿ
¤
ÿ
ÿ Ö
$ If
$
dh
$ If
„
ÿ
ÿ
ÿ4Ö
a$ gd©w
¤
$ If
–
ÿ
Oî
ö
4Ö
Pî
6
rî
a$ gd©w
Ûî
ö
•
ö
dh
Ö
l
¤
$ If
à Ö0
ÿ
Ö
ÿ
ÿ Ö
l aö 1 yt’c¬
?
$ „n „7 dh
gd©w
µ
ÿ
ÿ
t
&
F;
Æ 8
¬ }
„
kd˜
Ûî
}
kdû
$
Ö0 Å I þ
ÿ
ÿ Ö
Üî ÷î
ÿ
&ï
$ If
„
ÿ
ÿ Ö
oñ Óò
ÿ
ÿ
•
?
¤ ^„n `„7 a$ gd’c¬
„Vþ dh
¤ ^„ `„Vþa$
$ $ If
–l Ö
µ
t à Ö0
ÿ
ÿ
ÿ
Ö
ÿ
ÿ Ö
ÿ
ÿ Ö
ÿ
ÿ
l aö 1 yt’c¬
Óò ïò
ó
ó
ó 2ó Eó mó æõ ç÷ Ëø _ù ñû
ã
ã
ã
•
•
–
ÿ
ö
ÿ4Ö
p
ö
T
$
„Ð
dh
Ö0
ÿ
Ö
ÿ
ÿ
ÿ
ö
ÿ4Ö
¤ `„Ð a$ gd’c
Å I þ
„
6
ö
ö
4Ö
ã
ã
ã
•
ö
$
gd’c¬
òû
6
4Ö
ã
Î
ˆ
²
$
&
F;
Æ «
&
F;
Æ «
dh
ü
¤
„
a$ gd©w
„äþ dh
$
¤
^„
`„äþa$ gd’c¬
$
„
„äþ dh
¤ ^„ `„äþa$ gd’c¬
$ „n „7 dh
¤ ^„n `„
7 a$ gd’c¬
$
&
F<
Æ Ð
„O „Vþ dh
¤ ^„O `„Vþa$ gd’c¬
Eö Tö -÷ &÷ Å÷ Ó÷ ç÷ ÷÷ Ëø êø _ù yù Zú yú ”ú •ú òû ?ü H
ü gü ²ý ³ý Æý Çý ë
ì
î
ï
J
f
ê×ê×Ã×-×-×-וו×-ווו×}•
j[K hFŸ hG5² 6 •CJ OJ QJ aJ
h©w
hG5² CJ OJ QJ aJ
$ h
(Ò hFŸ CJ OJ QJ aJ mH sH
- h©w CJ OJ QJ aJ mH sH
- hFŸ
CJ OJ QJ aJ mH sH
- h÷
CJ OJ QJ aJ mH sH
* h©w
h©w 5 •CJ OJ QJ \ •aJ mH sH
'
h÷
h©w 6 •CJ OJ QJ aJ mH sH $ h©w
h©w CJ OJ QJ aJ mH sH
* h©w
h©w 6 •CJ OJ QJ ] •aJ mH sH
òû ?ü ëý ýþ ì
í
î
ï
2
î
Â
x
f
.
ã
Î
Î
Î
Î
Î
Î
¹
¡
¡
¡
Œ
Œ
Œ
$ „û „8 dh
¤ ^„û `„8 a$ gdë~
$
&
F
„¥ „Vþ dh
¤ ^„¥ `„Vþa$ gdë~
$ „ž „Ð dh
¤ ^„ž `„Ð a$
gdë~
$ „n „7 dh
¤ ^„n `„7 a$ gdë~
$
&
F;
Æ 8
„
„Vþ dh
¤ ^„ `„Vþa$ gdë~
f
Ì
;
f
r
Š
ß
Â
š
ì
œ
9
Ö
:
ÿ
@
¯
A
Ä
“
”
™
š
´
µ
ñ
ò
e
Ë
ñáñÑñ³£³£³”…Ñ…Ñ…Ñ…Ñ…Â…Ñ…ñvgX
h©w
hÍMÊ CJ
OJ QJ aJ
h©w
h±hÒ CJ OJ QJ aJ
h©w
hM ® CJ OJ QJ aJ
h©w
h¼ Y CJ OJ QJ aJ
h©w
hògA CJ OJ QJ aJ
hFŸ h)9É 6 •CJ OJ QJ aJ
h©w
h)9É CJ OJ QJ aJ
h©w
h N
CJ OJ QJ aJ
- hFŸ CJ OJ QJ aJ mH
sH
hFŸ hG5² 6 •CJ OJ QJ aJ
h©w
hG5² CJ OJ QJ aJ
Ë
.
r
s
¸
¹
ã
ê
Y
±
è
:
;
<
+
I
,
J
7
q
r
;
F
Z
•
’
š
®
E
d
ñâñÒñÃñ´¤”¤´¤´Òñ´„´ñ´¤´¤´„¤´¤´¤´u¤´i„´i´ñ
hFŸ CJ OJ QJ aJ
hFŸ hÒlJ CJ OJ QJ aJ
- hFŸ CJ OJ QJ aJ mH sH
hFŸ hÖ V 6 •CJ OJ QJ aJ hFŸ hÒlJ 6 •CJ OJ QJ aJ
h©w
hÒlJ CJ OJ QJ aJ
h©w
h jû
CJ OJ QJ aJ
- hë~ CJ OJ QJ aJ mH
sH
h©w
hM ® CJ OJ QJ aJ
h©w
hÖ V CJ OJ QJ aJ ).
r
¹
â
7
Y
<
r
î
G
ê
¦
€
Ò
®
º
º
’
º
’
¦
¦
’
’
’
º
$
&
F
&
F
&
F
&
F
„j
dh
¤
^„j
a$ gdë~
$
„j
dh
¤
^„j
a$ gdë~
$
„Á
„Wþ dh
¤
^„Á `„Wþa$ gdë~
$
„3
gdë~
„Éý dh
¤
^„3 `„Éýa$ gdë~
$
„Ð
„+
dh
¤
^„Ð `„+ a$
*
9
D
ë
¦
z
&
F
„ô
¢
¸
ë
ÿ
Q
Š
Ó
’
z
’
$
³
"
Ó
Œ
’
Â
Ó
Ó
ë
ë
¾
’
„ û dh
¤
^„ô
`„ ûa$ gdë~
$
&
F
„ø
dh
¤ ^„ø
a$ gdë~
&
F
„O „Vþ dh
¤ ^„O `„Vþa$ gdë~
gdë~
$
&
F
„ø
„Wþ dh
¤ ^„ø `„Wþa$ gdë~
&
F
„†
dh
¤ ^„†
a$ gdë~
$
$
„¥
$
„Éý dh
¤
^„¥ `„Éýa$
2
^
z
€
µ
ÿ
)
H
I
P
"
3
H
n
Š
Â
ë
û
£
¤
2
E
U
m
¿
Ò
Ú
ë
S
ïàïàïàïàïÓïàĸ¨Ä™Ä‰Ä‰ÄyĉĉĉĉĉĨĉĉĉĉĉÄ
- hFŸ CJ O
J QJ aJ mH
sH
hFŸ h jû 6 •CJ OJ QJ aJ
h©w
hÖ V CJ OJ QJ aJ
- hë~ CJ O
J QJ aJ mH
sH
hë~ CJ OJ QJ aJ
h©w
h jû CJ OJ QJ aJ
hä
6 •C
J OJ QJ aJ
h©w
hÒlJ CJ OJ QJ aJ
hFŸ hÒlJ 6 •CJ OJ QJ aJ
.ë
¥
û
¤
%
J
ö
÷
ˆ
ë
Ö
Á
©
•
u
©
h
P
$
&
F> „¥ „Ôý dh
¤ ^„¥ `„Ôýa$ gd`@à
Q
^
D
Š
‡
ê
¢
÷
²
Ò
$
&
F
dh
¤
a$ gd©w
$
„†
„Vþ dh
¤
`„Vþa$ gdë~
&
F
^„†
$
Æ
†
„¡
„;ý dh
¤ ^„¡
`„;ýa$ gdë~
$
&
F
„Á „äþ dh
¤ ^„Á `„äþa$ gdë~
$ „¥ „7 dh
¤ ^„¥ `„7 a$ g
dë~
$ „¥ „Éý dh
¤ ^„¥ `„Éýa$ gdë~
$
&
F
„O dh
¤ ^„O a$ gdë~
S
g
•
†
‡
®
¯
»
õ
ö
ˆ
‘
$
0
T
i
›
²
y
ž
»
Ö
ä
l
·
¸
ïßÓô£ï´”´ï´ï´ï´ï´…u…eVGV
h©w
h: ž CJ OJ QJ aJ
h©w
h Sß CJ OJ QJ aJ
h'x” h Sß 6 •CJ OJ QJ aJ h2+à h-v 6 •CJ OJ QJ aJ
h©w
h-v CJ OJ QJ aJ
h©w
h<:è
CJ OJ QJ aJ
! h2+à 6 •CJ OJ QJ aJ mH
sH
h©w
h jû CJ OJ QJ aJ
- hë~ CJ OJ QJ aJ mH sH
hë~ CJ OJ QJ aJ
h2+à hë~ 6 •CJ OJ QJ aJ h2+à h jû 6 •CJ OJ QJ aJ
ˆ
$
²
y
Ö
¸
©- äd!
#
# =# q# ‡# ˆ# N$ ç
ç
ç
ç
ç
ç
ç
ç
Ò
Á
±
±
±
Ò
$
&
F
h
&
F
dh
¤
$
„Ð
dh
¤
^„Ð a$ gd©w
¤ a$ gd Gw
^„n `„Ð a$ gdåR
$
„Ð
$
dh
¤
`„Ð a$ gd©w
$
„n
„Ð
d
„O
:
„Vþ dh
L
c!
¤
d!
^„O `„Vþa$ gd`@à
"
¸
Ç
©-
¼-
ä
ò
%
&
"
" W" e" f" w" |" Œ" =# ># ‡# #% ïàÐÁÐÁµ¥ÁÐÁ–
‡µ¥‡w‡w‡w‡\‡M
h©w
hŽIM CJ OJ QJ aJ
4 j
h©w
h ` CJ OJ QJ U aJ mH nH tH! u
h'x” hQ_± 6 •CJ OJ QJ aJ
h©w
hQ_± CJ OJ QJ aJ
h`@à hQ_±
CJ OJ QJ aJ
- h'x” CJ OJ QJ aJ mH
sH
h'x” CJ OJ QJ aJ
h©w
h =— CJ OJ QJ aJ
h'x” h =—
6 •CJ OJ QJ aJ
h©w
h: ž CJ OJ QJ aJ
h'x” h: ž 6 •CJ OJ QJ aJ
#% ,% 9% A% R% k% ›& ®& Å& â&
{' ´' µ' Ž( •( ”( Æ( Ë( ç( ê(
) d) m) Ð) Ü) + .+ Z+ o+ ™+ š+
, Â, Ñ, 6- =- z- {- Æ- Ø- ã- ôž. «. ¶. Ã. ïàïàïàïàïàÑàÑàÑÁÑÁÑÁÑÁÑÁÑಢ²’²ƒsƒsƒàƒsƒsƒsƒs hÏE¸ hëp¯ 6 •CJ OJ QJ aJ
h©w
hëp¯ CJ OJ QJ aJ
- hÏE¸ CJ O
J QJ aJ mH
sH
hÏE¸ h‹:r 6 •CJ OJ QJ aJ
h©w
h‹:r CJ OJ QJ aJ
hÏE¸ h0Bú 6 •CJ OJ QJ aJ
h©w
h0Bú CJ OJ QJ aJ
h©w
hŽIM
CJ OJ QJ aJ
h'x” hŽIM 6 •CJ OJ QJ aJ
-N$ -% 1& {' µ'
( K( •( Æ( 1) .+
, ‰, {µ/ ç
ç
ç
Ï
Ï
Ï
·
£
£
•
•
~
•
•
$ „3 dh
¤
^„3 a$ gdåR
$
&
F
„3 dh
¤ ^„3 a$ gdåR
$
&
F
„†
dh
¤ ^„†
a$ gdåR
$
&
F
„3 „Wþ dh
¤ ^„3 `„Wþa$ gdåR
$
&
F
„†
„Vþ dh
¤ ^„†
`„Vþa$ gdåR
$
&
F
„3 „Vþ dh
¤ ^„3 `„Vþa$ gdåR
Ã. œ/ -0 m0 s0 ª0 á0 11 M1 e1 •1 œ1 Ï1 æ1 62 J2 >4 ´4 ä
4
5 ,5 s5 t5 É5 Ê5 {6 ”6 Æ6 Ð6 Ö6 ã6 ÷6
7 N7 g7 ñâÒÅâÒ
âÒâÒâÒâÒ⶧—§—§ˆyiyYyYyYyYyY
hð
— h¢u× 6 •CJ OJ QJ aJ - håR
CJ OJ QJ aJ mH
sH
h©w
h¢u× CJ OJ QJ aJ
h>3þ h¢u× CJ OJ QJ aJ
hð
—
h›Rf 6 •CJ OJ QJ aJ
h©w
h›Rf CJ OJ QJ aJ
h©w
h‚Dž CJ
OJ QJ aJ
hä
6 •CJ OJ QJ aJ hÏE¸ h hã 6 •CJ OJ QJ aJ
h©w
h hã CJ OJ QJ aJ
h©w
h, U
CJ OJ QJ aJ "µ/ -0 K0 •0 ª0 ù0 e1 Ï1 J2 N3 ô3 t5 36 ê
Ò
Ò
Ò
¾
¾
¾
¾
©
•
•
€
$ „3 „7 dh
¤ ^„3 `„7 a$ gdåR
$
&
F
„3 dh
¤ ^„3 a$ gdåR
$ „ç „ƒ dh
¤ ^„ç `„ƒ a$ gdåR
$
&
F
„O dh
¤ ^„O a$ gdåR
$
&
F
„3 „Wþ dh
¤ ^„3 `„Wþa$ gdåR
$ „n „Å dh
¤ ^„n `„Å a$ gdåR
36
®6
º
>7
•7
¼7
ç
º
¦
&
F
æ6
ç
„½
ª8
ø8
)9 =9
ç
¦
¦
U9
e9
¦
¦
~9
•9
ç
¦
º
$
µ9
Ó9
Ò
ú9
¦
ç
dh
¤
^„½
a$ gdí*K
$
&
F
„†
„äþ dh
¤ ^„†
`„äþa$ gdí*K
$ „Á „7 dh
¤ ^„Á `„7 a$ gdí*K
$
&
F
„j
„Wþ dh
¤ ^„j `„Wþa$ gdåR
g7 n7 ~7 •7 •7 ”7 ¨7 º7 w8 •8 )9 l9 r9 •9 £9 ³9 µ9 É9
Ì9 ": #:
; n; o; Š<
=
= ñáÐáñáñÁ±Á±¤±Á±Á˜ˆÁyÁjÁ[LÁ
h©w
h˜Wž CJ OJ QJ aJ
h©w
hæGý CJ OJ QJ aJ
h©w
hŠg1 CJ OJ
QJ aJ
håR
hx/Á CJ OJ QJ aJ
- hð
— CJ OJ QJ aJ mH
sH
hð
— CJ OJ QJ aJ
hä
6 •CJ OJ QJ aJ
hð
— hx/Á 6 •CJ OJ QJ aJ
h©w
hx/Á CJ OJ QJ aJ
! hð
— 6 •CJ OJ QJ aJ mH
sH
hð
—
h¢u× 6 •CJ OJ QJ aJ
h©w
h¢u× CJ OJ QJ aJ
ú9
:
: #: K
: e: |: -:
; E; o; Š<
= w= ç
ç
ç
Ï
»
»
»
»
»
»
¦
’
•
$ „3 dh
¤ ^„3 a$ gdzß
$
&
F
„3 dh
¤ ^„3 a$ gdzß
$ „Á „© dh
¤ ^„Á `„© a$ gdí*K
$
&
F
„½
dh
¤
^„½
a$ gdí*K
$
&
F
„†
„äþ dh
¤ ^„†
`„äþa$ gdí*K
$
&
F
„½
„äþ dh
¤
^„½
`„äþa$
= ÿ=
F ÎF
h±8[
h±8[
hYI‡
gdí*K
> ™> ¡? ü@
B
B
B ?B îB ïB ïD +E TE ŽE
ØF ýF
G -G -G „G ñâñÒñó ••q•a•a•RBRBRBRBR
h( r 6 •CJ OJ QJ aJ
h©w
h( r CJ OJ QJ aJ
hå<Š 6 •CJ OJ QJ aJ - h±8[ CJ OJ QJ aJ mH sH
h©w
hå<Š CJ OJ QJ aJ
hå<Š 5 •CJ OJ QJ aJ $ hYI‡ hYI‡ CJ OJ QJ aJ mH
- h‚Dž CJ OJ QJ aJ mH
sH
h©w
h÷
úE
sH
=F
Ë
‘ CJ OJ QJ aJ
—
hq&â 6 •CJ OJ
OJ QJ aJ
w=
ÍG •I ë
ë
ë
¾
hð
QJ aJ
h©w
hx/Á CJ OJ QJ aJ
> J> ™> Ê> ü>
? 5? T? |? ¡?
ë
ë
ë
ë
ë
ë
¾
¦
•
$ „Ð dh
¤ `„Ð a$ gd©w
h©w
hq&â CJ
þ@
B
B ?B
ë
Ó
•
$
&
F0 „ª „Vþ dh
¤ ^„ª `„Vþa$ gd Gw
$ „Ð „º dh
¤ ^„Ð `„º a$
gdzß
$
&
F
„3 „Wþ dh
¤ ^„3 `„Wþa$ gdzß
$
&
F
„j
dh
¤ ^„j
a$ gdzß
„G -G ÌG ÍG XH _H •I •I EK FK GK …K ‘K ’K ™K šK ¯K
°K
L
L 7L UL WL `L
M 9M <M ZM ïàÑà³೤³¤˜ˆ¤ˆ¤yj˜j˜ˆj[O[O
hÄ Z CJ OJ QJ aJ
h©w
h
- CJ OJ QJ aJ
h©w
hHb CJ OJ QJ aJ
h€iÇ hHb CJ
OJ QJ aJ
- h±8[ CJ OJ QJ aJ mH
sH
h±8[ CJ OJ QJ aJ
h©w
h˜ ^ CJ OJ QJ aJ
h©w
hI:
ù CJ OJ QJ aJ
h©w
h•XÞ CJ OJ QJ aJ
h©w
hå<Š CJ OJ QJ
aJ
h©w
h( r CJ OJ QJ aJ
h±8[ h( r 6 •CJ OJ QJ aJ
•I ÅI GK …K °K )N ÍN îN ;O ¡O
ÙO
P †P ÛP ?Q •Q
R
R !S ï
ï
ï
ß
Î
Î
¾
¾
®
®
®
®
®
®
®
®
®
Î
$
&
F
dh
¤ a$ gd Gw
$
&
F
dh
¤ a$ gd Gw
$ „Ð dh
¤ `„Ð a$ gd©w
$
&
F
dh
¤ a$ gd©w
$
&
F
dh
¤ a$ gd Gw
ZM \M ¬M (N )N ÄN ÌN ÍN
O ;O JO ¡O ±
O hP oP ˆP §P ÛP éP ?Q RQ
R (R zR œR òR óR
S !S 6S [S mS
T
T ‰T ðáÒÃÒ´Ò¤´¤´¤´¤´˜´˜´˜´ˆyˆyiy´YyYyYy
h—
hâ`u 6 •CJ OJ QJ aJ - h>3þ CJ OJ QJ aJ mH
h©w
hâ`u CJ OJ QJ aJ
hÄ Z hâ`u 6 •CJ OJ QJ aJ
hÄ Z CJ OJ QJ aJ
hÄ Z hÙl 6 •CJ OJ QJ aJ
h©w
hÙl CJ OJ QJ
CJ OJ QJ aJ
h©w
h Lü CJ OJ QJ aJ
h©w
- CJ OJ QJ aJ
- hÄ Z CJ OJ QJ aJ mH sH
"!S [S ”S
T ‰T ÀT
U
V •V ¯V ºV "W
X ÉX ïY ï
ï
ï
ï
ï
Þ
Ñ
Ñ
½
•
•
•
$
&
F! dh
¤ a$ gd Gw
$
&
F
dh
¤ a$ gd Gw
$
&
F 㻠dh
¤ ^„ª a$ gd Gw
sH
aJ
h
rW
h©w
ÀW
½
ÈW
ï
hHb
òW
-
•
b
$ dh
¤ a$ gd©w
$ „Ð dh
¤ `„Ð a$ gd©w
$
&
F- dh
¤ a$ gd Gw
‰T –
T ÀT ÒT
U £U
V
V ¯V ºV ÀW ÇW ÈW bX hX iX ”X ¢X £X ¤X
ÈX ÉX ïY FZ ïàïàÑÂѲ¢²“„u„eUeu„uF
h©w
h¨:
; CJ OJ QJ aJ
hÒ
Ä h ö 6 •CJ OJ QJ aJ
hÒ
Ä hª d 6 •CJ OJ QJ aJ
h©w
h ö CJ OJ QJ aJ
h©w
hª d CJ OJ QJ aJ
h©w
hÍo, CJ OJ QJ
aJ
h€iÇ hÍo, 5 •CJ OJ QJ aJ h€iÇ h°kî 5 •CJ OJ QJ aJ
h©w
h°kî CJ OJ QJ aJ
h©w
h=Nø
CJ OJ QJ aJ
h©w
hïy‚ CJ OJ QJ aJ
h—
hïy‚ 6 •CJ OJ QJ aJ
FZ ([ )[ 2[ 3[ :[ ¸[ Ä[ :\ E\
‚\ õ\ þ\ ÿ\ *] :] ;] Ö] î]
^ %^ 6_ Ñ_ ñâÒ²£²£—£—
£‡ÂxhXxXxXxI
h©w
h›
CJ OJ QJ aJ
Ä h %‘ 6 •CJ OJ QJ aJ
hÒ
Ä hÒ
Ä 6 •CJ OJ QJ aJ
h©w
h %‘ CJ OJ QJ aJ
h€iÇ h %‘ 5 •CJ OJ QJ aJ
hÒ
Ä CJ OJ QJ aJ
h©w
hÕ^ô CJ OJ QJ aJ
hÒ
Ä hÕ^ô 6 •CJ OJ QJ aJ
h€iÇ h°kî 5 •CJ OJ QJ aJ h€iÇ hÕ^ô 5 •CJ OJ QJ aJ
h©w
h¨:; CJ OJ QJ aJ
h©w
x\
hÒ
hH+
CJ
6_
OJ
y_
Ë
QJ
¸_
aJ
ï
ïY
)[
3[
Û
¸[
Û
§
:\
x\
Ë
õ\
*]
r]
Ö]
^
Ë
»
§
»
$
&
F% „á dh
¤ ^„á a$ gd Gw
&
F$ „á dh
¤ ^„á a$ gd Gw
&
F# dh
¤ a$ gd Gw
$
&
F" dh
¤ a$ gd Gw
$
&
F 㻠dh
¤ ^„ª a$ gd Gw
&
F! dh
¤ a$ gd Gw
¸_ Ò_
a
a Ma ë
×
Â
Â
Â
”
ƒ
„p dh
¤ ^„p a$ gd©w
&
F& dh
¤ a$ gd Gw
$
Æ
+
dh
¤ a$ gd©w
ÿ\
“
„^
Ë
§
ß^
“
§
“
$
$
$
Ú_
2`
Â
3`
4`
$
6`
7`
Â
µ
”
5`
µ
V`
v`
Â
a
¤
$
$ dh
&
F 㻠dh
&
F% „á dh
¤
a$ gd©w
¤
^㻠a$ gd Gw
¤
^„á a$ gd€iÇ
$
„B
$
„Ž
dh
¤
^„B `„Ž a$ gd©w
$
Ñ_ Ò_ Ù_ Ú_ 1` 2` 6` 7` v` w` xa ~a ®a ´a ™b ¸b ¹b
áѲ¢•ÂtÂhÂhÂXH9
h©w
hñ » CJ OJ QJ aJ
h©w
h,T, 5 •CJ OJ QJ aJ h©w
hñ » 5 •CJ OJ QJ aJ
hä
CJ OJ QJ aJ
4 j
h©w
CJ OJ QJ U aJ mH nH tH! u
$ h€iÇ h€iÇ CJ OJ QJ aJ mH
- h€iÇ CJ OJ QJ aJ mH
sH
- h,T, CJ OJ QJ aJ mH
h©w
h,T, CJ OJ QJ aJ
h€iÇ h°kî 5 •CJ OJ QJ aJ
h€iÇ h,T, 5 •CJ OJ QJ aJ
h€iÇ h€iÇ CJ OJ QJ aJ
Ma Ya
»a Òa æa úa
b (b 7b Rb db wb ˜b ™b ¹b €c î
Þ
É
±
±
±
±
±
“
“
c
ñ
-
h,T,
sH
sH
‡a
Þ
$ dh
¤ a$ gd©w
&
F& „
„rÿ dh
¤ ^„
gd©w
$
&
F& dh
¤ a$ gd Gw
«c ¬c Gd ½d ¾d ¿d
$
„
dh
`„rÿa$ gd Gw
$ „p
Òd Ôd
dh
e
¤
$
e
^„
„è
a$ gd©w
„h
¤ ^„p a$ gd©w
(e +e
f
dh
$
¤
c
^„è `„h a$
•c
€c
•c
f
ïßĵšµ‹µpaRapRC3C
- h€iÇ CJ OJ QJ
h©w
h
Cø CJ OJ QJ aJ
h©w
hRj> CJ OJ QJ aJ
aJ
4 j
h©w
hRj> CJ OJ QJ U aJ mH nH
CJ OJ QJ aJ
4 j
h©w
h;T] CJ OJ QJ U
h©w
hé*™ CJ OJ QJ aJ
4 j
h©w
hé*™ CJ
tH! u
hÒ
Ä h,T, 6 •CJ OJ QJ aJ
hÒ
Ä hñ » 6 •CJ OJ QJ aJ
€c «c ¾d
e (e ff
aJ
mH
sH
h©w
h;T] CJ OJ QJ
tH! u
h©w
ht5ñ
aJ mH nH tH! u
OJ QJ U aJ mH nH
hf
g
h
wh ¾h
ï
¾
,i
©i
7j
¾
„á
¤
^„á a$ gd Gw
¤
a$ gd Gw
$
dh
¤
a$ gd Gw
$
dh
¤
^㻠a$ gd Gw
l
ï
ï
Î
¾
®
dh
„ª
k
â
¾
š
dh
{j
â
š
&
F+
&
F*
&
F)
&
F(
•i
ï
¾
Î
®
$
$
$
&
F'
dh
dh
¤
¤
a$ gd©w
a$ gd Gw
$
f
df ff hf rf
h ¾h •i ¨i ©i Ài 7j ]j {j ¡j
k *k
l
l
$l /l ïàÑÁѲ£“ÁƒtƒtƒtdUtdE
hÒ
Ä h%QÌ 6 •CJ OJ QJ aJ
h©w
hí(= CJ OJ QJ aJ
hÒ
Ä hí(= 6 •CJ OJ QJ aJ
h©w
h-PÇ CJ OJ QJ aJ
hÒ
Ä h-PÇ 6 •CJ OJ QJ aJ
h€iÇ h-PÇ 5 •CJ OJ QJ aJ
h©w
h^ CJ OJ QJ aJ
h©w
h- Å CJ OJ QJ aJ
h€iÇ h
Cø 5 •CJ OJ QJ aJ
h©w
h
Cø CJ OJ QJ aJ
h©w
h,T, CJ OJ QJ aJ
hÒ
Ä h
Cø 6 •CJ OJ QJ aJ
/l vl wl žl
m -m Zm ±m ²m Øm Tn an b
n {n
o ¢o ñâÒ󤕆v•iXH9*
h©w
h‹m CJ OJ QJ aJ
h©w
hàV€ CJ OJ QJ aJ
hÒ
Ä hàV€ 6 •CJ OJ QJ aJ ! hÒ
Ä 6 •CJ OJ QJ aJ mH
sH
hÒ
Ä 6 •CJ OJ QJ aJ
hÒ
Ä hgaŒ 6 •CJ OJ QJ aJ
h©w
hPÇ CJ OJ QJ aJ
h©w
hgaΠCJ OJ QJ aJ
h©w
hM6 CJ OJ QJ
aJ
hÒ
Ä hM6 6 •CJ OJ QJ aJ
h©w
hœMÛ CJ OJ QJ aJ
hÒ
Ä hœMÛ 6 •CJ OJ QJ aJ
h©w
hí(= CJ OJ QJ aJ
h©w
h%QÌ CJ
OJ QJ aJ
l wl
m ²m Tn
o op gq ëq -r ‡s þs
t Ev ë
ë
Û
Ç
Ç
²
²
¢
¢
¢
¢
•
„
$ „Ð dh
¤ `„Ð a$ gd©w
$ dh
¤ a$ gd©w
$
&
F. dh
¤ a$ gd Gw
$ „B „7 dh
¤ ^„B `„7 a$ gd©w
$
&
F- „á dh
¤ ^„á a$ gd Gw
$
&
F* dh
¤ a$ gd Gw
$
&
F, „á dh
¤ ^„á a$ gd Gw
¢o Fp np op -r ‡s þs {u ¨u ,v :v ƒw
w ¡w
x $x %x —
x ªx «x
y
y ñâÓĵ¦—‡—‡—x—xi—iZ—
K<
h©w
hÞ L CJ OJ QJ aJ
h©w
h•|Å CJ OJ QJ aJ
h©w
hž3% CJ OJ QJ aJ
h©w
høR CJ OJ QJ aJ
h©w
h ç
CJ OJ QJ aJ
hÒ
Ä hH&¢ 6 •CJ OJ QJ aJ
h©w
hH&¢ CJ OJ QJ aJ
h©w
hg0 CJ
OJ QJ aJ
h©w
h8?¶ CJ OJ QJ aJ
h©w
h2Qs CJ OJ QJ aJ
h©w
hPÇ CJ OJ QJ aJ
h©w
h- ; CJ OJ QJ aJ
h©w
h>BΠCJ OJ QJ
aJ
Ev rv öv
w ƒw ¡w
x %x tx «x
y
ù}
ú}
~
â
Õ
è„
ï
7‡
Ä
Ä
&
F0
„ª
¦Š
„Vþ dh
Ø•
â
‘
ï
·
Ä
¤
â
ï
^„ª `„Vþa$ gd Gw
Ÿ
Ä
ï
â
ï
Ä
Ä
$
$
dh
¤
a$ gd©w
$
„Ð
dh
¤
`„Ð a$ gd©w
$
dh
¤
a$ gd€iÇ
$
&
F/
y
dh
dh
¤
¤
a$ gd©w
a$ gd Gw
$
y D{ J{
|
|
| –| ¾| @} U} X} —
} ø} ù} ú}
~
~ #~ A~ C~ à~ é~ a• Å• Æ• g€ íÞÒÞÒÂÞ²Þ²Þ²Þ£
•€p£Ò£`£QÂQ
h©w
hÔ
CJ OJ QJ aJ
hä
h‹[M 6 •CJ OJ QJ aJ
h" P hå<Š 5 •CJ OJ QJ aJ h" P h" P 5 •CJ OJ QJ aJ $ h" P hÙl CJ OJ QJ aJ mH sH
h©w
h‹[M CJ OJ QJ aJ
hä
hÞ L 6 •CJ OJ QJ aJ - hä
CJ OJ QJ aJ mH sH
hä
CJ OJ QJ aJ
h©w
hÞ L CJ OJ QJ aJ
$ h€iÇ hÞ
L CJ OJ QJ aJ mH
sH
g€ nƒ •ƒ Žƒ •ƒ d„ ç„ è„ %† 6‡ šŠ ¥Š ¦Š !• ו Ø•
Ž :Ž vŽ |Ž
•
‘ ñåñÕñÆ·¨™Š{¨l]lNåNåN?
h©w
h9
à CJ OJ QJ aJ
h©w
h×#· CJ OJ QJ aJ
h©w
h“•h CJ OJ QJ
aJ
h©w
h
H§ CJ OJ QJ aJ
h©w
hQ*
CJ OJ QJ aJ
h©w
h˜tæ CJ OJ QJ aJ
h©w
h~8à CJ OJ
QJ aJ
h©w
hº^í CJ OJ QJ aJ
h©w
h‹[M CJ OJ QJ aJ
h©w
h•%Ã CJ OJ QJ aJ
- hä
CJ OJ QJ aJ mH
sH
hä
CJ OJ QJ aJ
h©w
h o× CJ OJ QJ aJ
‘ ¼‘ ó‘
X
X ßX àX "Y #Y (Y )Y +Y ,Y .Y /Y 1Y 2Y 4Y 5Y LY MY
OY PY SY TY UY ñâàÐâÁâ²£›—›—›—›—•‹‚‹—
£
hX “ mH nH
u
h@$A
j
h@$A U
h¯A€
j
h¯A€ U
h©w
h^0
CJ OJ QJ aJ
h©w
hå<Š CJ OJ QJ aJ
h©w
h9
à CJ OJ QJ aJ
CJ OJ QJ aJ
hä
h©w
h«g- 6 •CJ OJ QJ aJ
h=X} CJ OJ QJ aJ
U
h©w
h«g-
(value clarification
teqnich) yang ditulis dalam buku berjudul “strategi pengajaran affektifnilai-moral VCT dan Games dalam VCT, yang ditulis oleh Prof.A Kosasih
Djahiri, 1985 diterbitkan oleh lab.PMPKN, FPIPS UPI Bandung” VCT dan
sebagai strategi pembelajaran nilai dan beberapa gamesnya.
PAGE
\* MERGEFORMAT
47
‘
Y
.Y
0Y 1Y
î
ä
3Y
4Y
QY
$Y
SY
î
â
Ý
#Y
RY
%Y
TY
î
&Y 'Y
UY î
ä
Û
dð
¤ gdM6
:pX “ °‚. °ÆA!° "° #•
$•
*Y
+Y
î
î
ä
â
â
ä
â
$ „Ð dh
%°
°Ä °Ä
(Y
â
¤
$ a$
`„Ð a$ gd©w
â
î
?
0
P
1•h
•Ä Dp
Ó
$
$ If
–èÿ!v
h 5Ö
_ 5Ö
#v
_ #v
:V
Ö
ÿ
5Ö
Ö
ÿ
pÖ
3Ö
ÿÿÿÿ
ö ø
ÿÿÿÿ
6 ö
4Ö
ÿÿÿÿ
ÿÿÿÿ
5Ö
`
ytQ@
Ó
Ö0
$
ÿ
$ If
ÿ
–èÿ!v
ÿ
ÿ
h 5Ö
_ 5Ö
#v
_ #v
:V
Ö
ÿ
5Ö
Ö
ÿ
pÖ
3Ö
ÿÿÿÿ
ö ø
ÿÿÿÿ
6 ö
4Ö
ÿÿÿÿ
ÿÿÿÿ
5Ö
`
ytQ@
Ó
Ö0
$
ÿ
$ If
ÿ
–èÿ!v
ÿ
ÿ
h 5Ö
_ 5Ö
#v
_ #v
:V
Ö
ÿ
5Ö
Ö
ÿ
pÖ
3Ö
ÿÿÿÿ
ö ø
ÿÿÿÿ
6 ö
4Ö
ÿÿÿÿ
ÿÿÿÿ
5Ö
`
ytQ@
Ó
Ö0
$
ÿ
$ If
ÿ
–èÿ!v
ÿ
ÿ
h 5Ö
_ 5Ö
#v
_ #v
:V
Ö
ÿ
5Ö
Ö
ÿ
pÖ
3Ö
ÿÿÿÿ
ö ø
ÿÿÿÿ
6 ö
4Ö
ÿÿÿÿ
ÿÿÿÿ
5Ö
`
ytQ@
Ó
Ö0
$
ÿ
$ If
ÿ
–èÿ!v
ÿ
ÿ
h 5Ö
_ 5Ö
#v
_ #v
:V
Ö
ÿ
5Ö
Ö
ÿ
pÖ
3Ö
ÿÿÿÿ
ö ø
ÿÿÿÿ
6 ö
4Ö
ÿÿÿÿ
ÿÿÿÿ
5Ö
`
ytQ@
Ó
Ö0
$
ÿ
$ If
ÿ
–èÿ!v
ÿ
ÿ
h 5Ö
_ 5Ö
#v
_ #v
:V
Ö
ÿ
5Ö
Ö
ÿ
pÖ
3Ö
ÿÿÿÿ
ö ø
ÿÿÿÿ
6 ö
4Ö
ÿÿÿÿ
ÿÿÿÿ
5Ö
`
ytQ@
Ó
Ö0
$
ÿ
$ If
ÿ
–èÿ!v
ÿ
ÿ
h 5Ö
_ 5Ö
#v
_ #v
:V
Ö
ÿ
5Ö
Ö
ÿ
3Ö
ÿÿÿÿ
5Ö
Ç #v «
#v Ç :V
4 Ö0
ÿ
,Ö
5Ö
Ü
3Ö
4Ö
f4 yt Gw ¯
5Ö
Ç #v «
#v Ç :V
4 Ö0
ÿ
,Ö
5Ö
3Ö
4Ö
f4 yt Gw ¯
5Ö
Ç #v «
#v Ç :V
4 Ö0
ÿ
,Ö
5Ö
3Ö
4Ö
f4 yt Gw ¯
5Ö
Ç #v «
#v Ç :V
4 Ö0
ÿ
,Ö
5Ö
Ü
3Ö
4Ö
f4 yt Gw ¯
5Ö
Ç #v «
#v Ç :V
4 Ö0
ÿ
,Ö
5Ö
3Ö
4Ö
f4 yt Gw ¯
5Ö
Ç #v «
#v Ç :V
4 Ö0
ÿ
,Ö
5Ö
Ü
3Ö
4Ö
f4 yt Gw ¯
5Ö
Ç #v «
#v Ç :V
4 Ö0
ÿ
,Ö
5Ö
3Ö
4Ö
f4 yt Gw Þ
ö ø
pÖ
ÿÿÿÿ
6 ö
4Ö
ÿÿÿÿ
ÿÿÿÿ
5Ö
`
ÿ
ÿ
5Ö
¬
$
$ If
ÿ
ytQ@
¯
–èÿ!v
ÿ
5Ö
¬
$
$ If
ÿ
–èÿ!v
ÿ
5Ö
¬
$
$ If
ÿ
–èÿ!v
ÿ
5Ö
¬
$
$ If
ÿ
–èÿ!v
ÿ
5Ö
¬
$
$ If
ÿ
–èÿ!v
ÿ
5Ö
¬
$
$ If
ÿ
–èÿ!v
ÿ
5Ö
¬
$
$ If
Ö0
–£ !v
$
ÿ
ÿ
$ If
–èÿ!v
ÿ
ÿ
h 5Ö
«
ÿ
ÿ
h 5Ö
«
ÿ
ÿ
h 5Ö
«
ÿ
ÿ
h 5Ö
«
ÿ
ÿ
h 5Ö
«
ÿ
ÿ
h 5Ö
«
ÿ
ÿ
h 5Ö
ÿ
h 5Ö
ÿ
«
ÿ
ö ˆ
6
ö
+Ö
ÿ
ö ˆ
6
ö
+Ö
ÿ
ö ˆ
6
ö
+Ö
ÿ
ö ˆ
6
ö
+Ö
ÿ
ö ˆ
6
ö
+Ö
ÿ
ö ˆ
6
ö
+Ö
ÿ
ö ˆ
6
ö
+Ö
5Ö
µ #v
#v
µ :V
–l Ö
t à Ö
ÿ
ö
ÿÌÌÌ
6 ö
ÿÌÌÌ
5Ö
Ö0
ÿ
ÿ
ÿ
ÿ
ÿ
5Ö
µ /Ö
£ !v
h 5Ö
aö £ pÖ
ÿÌÌÌ
ÿÌÌÌ
yt’c¬ ©
$
$ If
–
5Ö
µ #v
#v
µ :V
–l
t à Ö0
ÿ
ÿ
ÿ
ÿ
ÿ
ÿ
ö
6
ö
5Ö
5Ö
µ /Ö
aö £ yt’c¬ ›
$
$ If
–£ !v
h 5Ö
5Ö
µ #v
#v
µ :V
–l
t à Ö0
ÿ
ÿ
ÿ
ÿ
ÿ
ÿ
ö
6
ö
5Ö
5Ö
µ aö £ yt’c¬ ›
$
$ If
–£ !v
h 5Ö
5Ö
µ #v
#v
µ :V
–l
t à Ö0
ÿ
ÿ
ÿ
ÿ
ÿ
ÿ
ö
6
ö
5Ö
5Ö
µ aö £ yt’c¬ ›
$
$ If
–£ !v
h 5Ö
5Ö
µ #v
#v
µ :V
–l
t à Ö0
ÿ
ÿ
ÿ
ÿ
ÿ
ÿ
ö
6
ö
5Ö
5Ö
µ aö £ yt’c¬ Ð
$
$ If
–
!v
h 5Ö
Ÿ
5Ö
µ #v
Ÿ
#v
µ :V
–l Ö
t à Ö
ÿ
ö
ÿÀÀÀ
6 ö
ÿÀÀÀ
5Ö
Ö0
Ÿ
ÿ
ÿ
ÿ
ÿ
ÿ
5Ö
µ aö
pÖ
ÿÀÀÀ
ÿÀÀÀ
yt’c¬ ›
$
$ If
–
!v
h 5Ö
Ÿ
5Ö
µ #v
Ÿ
#v
µ :V
–l
t à Ö0
Ÿ
ÿ
ÿ
ÿ
ÿ
ÿ
ÿ
ö
6
ö
5Ö
5Ö
µ aö
yt’c¬ ›
$
$ If
–
!v
h 5Ö
Ÿ
5Ö
µ #v
Ÿ
#v
µ :V
–l
t à Ö0
Ÿ
ÿ
ÿ
ÿ
ÿ
ÿ
ÿ
ö
6
ö
5Ö
5Ö
µ aö
yt’c¬ ›
$
$ If
–
!v
h 5Ö
Ÿ
5Ö
µ #v
Ÿ
#v
µ :V
–l
t à Ö0
Ÿ
ÿ
ÿ
ÿ
ÿ
ÿ
ÿ
ö
6
ö
5Ö
5Ö
µ aö
yt’c¬ ›
$
$ If
–
!v
h 5Ö
Ÿ
5Ö
µ #v
Ÿ
#v
µ :V
–l
t à Ö0
Ÿ
ÿ
ÿ
ÿ
ÿ
ÿ
ÿ
ö
6
ö
5Ö
5Ö
µ aö
yt’c¬ ›
$
$ If
–
!v
h 5Ö
Ÿ
5Ö
µ #v
Ÿ
#v
µ :V
–l
t à Ö0
Ÿ
ÿ
ÿ
ÿ
ÿ
ÿ
ÿ
ö
6
ö
5Ö
5Ö
µ aö
yt’c¬ ›
$
$ If
–
!v
h 5Ö
Ÿ
5Ö
µ #v
Ÿ
#v
µ :V
–l
t à Ö0
Ÿ
ÿ
ÿ
ÿ
ÿ
ÿ
ÿ
ö
6
ö
5Ö
5Ö
5Ö
#v
µ aö
yt’c¬
µ #v „
µ :V
–l Ö
t à Ö
ÿÌÌÌ
ÿ
ö
6 ö
5Ö
µ aö 1 pÖ
5Ö
µ #v „
#v µ :V
–l
t à Ö0
ÿ
„
5Ö
µ aö 1 yt’c¬
5Ö
µ #v „
#v µ :V
–l
t à Ö0
ÿ
„
5Ö
µ aö 1 yt’c¬
5Ö
µ #v „
#v µ :V
–l
t à Ö0
ÿ
„
5Ö
µ aö 1 yt’c¬
Ð
$
$ If
ÿÌÌÌ
5Ö
„
ÿÌÌÌ
–1 !v
ÿ
Ö0
ÿ
ÿÌÌÌ
$
ÿ
$ If
ÿ
›
$
ÿ
ÿ
–1 !v
h 5Ö
„
ÿ
ö
6
ö
5Ö
ÿ
ö
6
ö
5Ö
ÿ
ö
6
ö
5Ö
„
h 5Ö
ÿ
ÿ
$ If
ÿ
–1 !v
ÿ
$
h 5Ö
ÿ
$ If
ÿ
ÿ
–1 !v
ÿ
„
ÿ
yt’c¬ ›
ÿ
›
h 5Ö
„
ÿ
j
6
6
6
>
6
6
6
H
6
6
6
6
6
6
6
6
6
6
ð
0
0
0
0
0
0
0
OJ
6
6
6
6
6
6
˜
v
6
6
6
6
6
6
6
ž
v
6
6
¸
6
6
6
6
6
6
6
6
ž
v
6
ž
v
6
6
6
6
6
6
6
6
6
6
6
6
6
6
6
6
6
@
@
@
@
@
@
@
PJ
P
P
P
P
P
P
P
QJ
`
`
`
`
`
`
`
_H
p
p
p
p
p
p
p
mH
€
€
€
€
€
€
€
nH
•
•
•
•
•
•
•
ž
v
6
6
6
6
6
6
6
À
À
À
À
À
À
8
sH
ž
v
6
ž
v
6
6
6
6
6
6
6
Ð
Ð
Ð
Ð
Ð
Ð
X
tH
ž
v
6
8
6
6
6
6
6
6
6
6
6
6
6
6
à
à
à
à
à
à
ø
ð
ð
ð
ð
ð
ð
ž
v
6
6
6
6
6
6
6
6
0
6
6
6
6
6
~
J
(
6
6
6
6
6
6
6
2
V
`ñÿ
6
6
6
6
6
6
6
6
6
6
2
J
6
6
6
6
6
6
6
6
6
6
h
6
6
6
À
6
Ð
Ø
è
6
à
ô
N o r m a l
d
¤È
CJ
_H
aJ
mH! sH! tH
D A òÿ¡ D
D e f a u l t
P a r a g r a p h
F o n t
R i@óÿ³ R
0
T a b l e
N o r m a l
l 4Ö
aö
( k ôÿÁ (
0
N o
L i s t
ö
4Ö
@ ³@
ò @
ù•Î
L i s t
P a r a g r a p h
^„Ð m$
> @
>
Æ
M6 0
¡ B#
H e a d e r
dð
¤
. þ ¢
.
M6 0
H e a d e r
C h a r
>
" >
Æ
M6 0
¡ B#
F o o t e r
dð
¤
. þ ¢ 1 .
M6 0
F o o t e r
C h a r
d ^@
B d
,Qv 0
N o r m a l
( W e b )
d >@ R d
dð
¤d
¤d [$ \$
CJ
OJ
PJ
QJ
aJ
mH
sH
,Qv 0
T i t l e
CJ OJ PJ QJ ^J aJ
$
mH
dð
sH
¤d ¤d 7$ 8$ H$ a$
P þ ¢ a P
,Qv 0
T i t l e
T B@
C h a r
r T
$ CJ
OJ
PJ
QJ
^J
aJ
mH sH
tH
,Qv 0
B o d y
T e x t
dð
¤x
CJ
OJ
PJ
QJ
aJ
mH
sH
T þ ¢ • T
,Qv 0
B o d y
T e x t
z š ³ “ z
C h a r
CJ
OJ
PJ
QJ
aJ
mH
sH
tH
©w 0
T a b l e
G r i d
< :V
Ö0
ÿ
ÿ
ÿ
ÿ
ÿ
ÿ
aö
OJ PJ QJ PK
ƒÐ¶Ørº(¥Ø΢Iw},Ò
ä±-j„4
! ‚Š¼ ú
[Content_Types].xml¬‘ËjÃ0 E÷…þ
Éßwì¸Pº -t# bΙ{U®•ã
“óTéU^h…d}㨫ôûî)»×*1P ƒ'¬ô
“^××Wåî 0)™¦Též9< “l•#¤Ü $yi} å ; À~@‡æ¶(îŒõÄHœñÄÐuù*
D× zƒÈ/0ŠÇ° ðûù
$€˜
X«Ç3aZ¢Ò Âà,°D0 j~è3߶Îbãí~ i>ƒ ØÍ 3¿\`õ?ê/ç [Ø ¬¶Géâ\•Ä!ý-ÛRk.“sþÔ»•. .—
·´aæ¿-?
ÿÿ PK
! ¥Ö§çÀ
6
_rels/.rels„•ÏjÃ0
‡ï…½ƒÑ}QÒà %v/¥•C/£} á(•h" Û ëÛOÇ
» „¤ï÷©=þ®‹ùá”ç
šª ÃâC?Ëháv=¿‚É…¤§% [xp†£{Ûµ_¼PÑ£<Í1 ¥H¶0• ˆÙO¼R®BdÑÉ ÒJEÛ4b$§‘q_טž à6LÓõ R×7`®¨Éÿ³Ã0ÌžOÁ¯,åE n7”Liäb¡¨/ãS½¨eªÔ-е¸ùÖý
ÿÿ PK
! ky– ƒ
Š
theme/theme/themeManager.xml
ÌM
à @á}¡w•Ù7c»(Eb²Ë®»ö Cœ AÇ ÒŸÛ×åãƒ7Îß Õ›K
Y,œ
ŠeÍ.ˆ·ð|,§ ¨ÚH Å,láÇ æéx É´ ßIÈsQ}#Ր…­µÝ Öµ+Õ!ï,Ý^¹$j=‹GWèÓ÷)âEë+&
8ý
ÿÿ PK
! –µ-â–
P
theme/theme/theme1.xmlìYOoÛ6 ¿ Øw
toc'v uŠØ±›-M Än‡-i‰–
ØP¢@ÒI} Ú〠úa‡ Øm‡a[ Ø¥û4Ù:l Я°GR’ÅX^’6ØŠ­>$ ùãûÿ-©«×îÇ
!)OÚ^ýrÍC$ñy@“°íÝ-ö/­yH*œ ˜ñ„´½)‘Þµ÷ß»Š×UDb‚`}"×qÛ‹”J×—–
¤ ÃX^æ)I`nÌEŒ ¼Šp) ø èÆli¹V[]Š1M<”à ÈÞ ©OÐP“ô6râ= ¯‰’zÀgb I g…Á u••SÙe
bÖö€OÀ†ä¾ò ÃRÁDÛ«™Ÿ·´qu
¯g‹˜Z°¶´®o~ÙºlAp°lxŠpT0­÷ ­+[ } `j-×ëõº½zAÏ °ïƒ¦V–2ÍF•-ÞÉi–
@öqžv·Ö¬5\|‰þʜ̭N§Óle²X¢ d søµÚjcsÙÁ •Å7çð•Îf·»êà
ÈâWçðý+­Õ†‹7 ˆÑä`
- ÚïgÔ
Ș³íJø À×j |†‚h(¢K³ óD-Šµ ßã¢
dXÑ ©iJÆ؇(îâx$(Ö
ð:Á¥ ;ä˹!Í
I_ÐTµ½ S
1£÷êù÷¯ž?EÇ ž ?øéøáÃã ?ZBΪmœ„åU/¿ýìÏÇ£?ž~óòÑ ÕxYÆÿúÃ'¿üüy5 Òg&΋/ŸüöìÉ‹¯>ýý»G ðMGeøÆD¢›ä íó
$”8ÁšK ýžŠ ôÍ)f™w 9:ĵà å£
x}rÏ x ‰‰¢ œw¢Ø îrÎ:\TZaGó*™y8IÂjæbRÆíc|XÅ»‹ Ç¿½I
u3 KGñnD 1÷ N
3Vq%'#q¾ Ã ÓòŠÍ
IB Òsü€•
íîRêØu—ú‚K>Vè.E L+M2¤#'šf‹¶i
~™Vé
þvl³{ u8«Òz‹ ºHÈ
Ì*„ æ˜ñ:ž( W‘ ☕
~ «¨JÈÁTøe\O*ðtH G½€HYµæ–
}KNßÁP±*ݾ˦±‹ Š-TѼ9/#·øA7ÂqZ… Ð$*c?
¢ íqU ßån†èwð N ºû
%Ž»O¯ ·ièˆ4
=3 Ú—Pª•
ÓäïÊ1£P•m
\\9† øâëÇ ‘õ¶ âMØ“ª2aûDù]„;Yt»\ ôí¯¹[x’ì
eW÷
¶)6-r¼°C-SÆ jÊÈ
išd
ûDЇA½Îœ
óùç]É}Wr½ÿ|É]”Ïg-´³Ú
IqbJ#xÌ꺃
6kàê#ª¢A„Sh°ëž& ÊŒt(QÊ% ìÌp%m‡&]ÙcaS l=•XíòÀ
¯èáü\P•1»Mh
Ÿ9£ Mà¬ÌV®dDAí×aV×B™[݈fJÃ­P |8¯
Ö„ AÛ V^…ó¹f
ÌH ín÷ÞÜ-Æ
é" á€d>ÒzÏû¨nœ”ÇŠ¹
€Ø©ð‘>ä•bµ ·–
&û ÜÎâ¤2»Æ v¹÷ÞÄKy ϼ¤óöD:²¤œœ,AGm¯Õ\nzÈÇiÛ Ã™ -ã ¼.uχY C¾ 6ìOMf“å3o¶rÅ
Ü$¨Ã5…µûœÂN H…T[XF64ÌT ,Ñœ¬üËM0ëE)`#ý5¤XYƒ`øפ ;º®%ã1ñUÙÙ¥ m;ûš•R>QD
¢à •ØDìcp¿
UÐ' ®&LEÐ/p¦­m¦Üâœ%]ùöÊàì8fi„³r«S4Ïd
7y\È`ÞJân•² åίŠIù
R¥ Æÿ3Uô~ 7 +ö€ ׸ #¯m
q¨BiDý¾€ÆÁÔ
ˆ ¸‹…i *¸L6ÿ 9ÔÿmÎY &­áÀ§öiˆ …ýHE‚=(K&úN!VÏö.K’e„LD•Ä•© {D
ê ¸ª÷v E ꦚdeÀàNÆŸûžeÐ(ÔMN9ßœ Rì½6 þéÎÇ&3(åÖaÓÐäö/D¬ØUíz³<ß{ËŠè‰Y
›Õȳ ˜•¶‚V–ö¯)Â9·Z[±æ4^næ• ç5†Á¢!Já¾ é?°ÿQá3ûeBo¨C¾ µ Á‡ M
 ¢ú’m<.vp “ ´Á¤IYÓf­“¶Z¾Y_p§[ð=alÙYü}Nc Í™ËÎÉÅ‹4vfaÇÖvl¡©Á³'S †ÆùAÆ8Æ|Ò*•uâ£{àè¸ßŸ0%M0Á7%¡õ ˜<€ä· ÍҐ¿
ÿÿ PK
!
ѐŸ¶
'
theme/theme/_rels/themeManager.xml.rels„•M
Â0 „÷‚w ooÓº ‘&ÝˆÐ­Ô „ä5
6?$Qìí
®, .‡a¾™i»—•É c2Þ1hª :é•qšÁm¸ìŽ@R N‰Ù;d°`‚Žo7í g‘K(M&$R(.1˜r
'J“œÐŠTù€®8£•Vä"£¦AÈ»ÐH÷u} ñ› |Å$½b {Õ –Pšÿ³ý8 ‰g/]þQAsÙ… (¢ÆÌà#›ªL Ê[ººÄß
ÿÿ PK ! ‚Š¼ ú
[Content_Types].xmlPK ! ¥Ö§çÀ
6
+
_rels/.relsPK ! ky–
ƒ
Š
theme/theme/themeManager.xmlPK ! –
µ-â–
P
Ñ
theme/theme/theme1.xmlPK !
ѐŸ¶
'
›
theme/theme/_rels/themeManager.xml.relsPK
]
–
<?xml version="1.0" encoding="UTF-8" standalone="yes"?>
<a:clrMap xmlns:a="http://schemas.openxmlformats.org/drawingml/2006/main"
bg1="lt1" tx1="dk1" bg2="lt2" tx2="dk2" accent1="accent1"
accent2="accent2" accent3="accent3" accent4="accent4" accent5="accent5"
accent6="accent6" hlink="hlink"
folHlink="folHlink"/>
t‰
\
ÿÿÿÿ
@
+
òM
+
!e
+
Ãy
+
+
‡
§
.
Õ
Mã
Ž
Eö
‘(
f
Ç3
Ë
49
–
S
¸
#%
Ã.
g7
=
„G
ZM
‰T
FZ
Ñ_
c
f
y
/l
g€
¢o
‘
UY
É
Ë
Î
Ð
Ñ
Ó
Õ
×
Ø
â
ë
î
õ
$
&
(
)
*
~
0( ÷2
:‚ Å‚ ô† š• º• ü• C‘ t‘ ¶‘
’
™
© Å
Õ ¾Þ
ß Íß sà
á “ã <æ •æ 6ç Âç
Óò òû .
!
X•
UY
#
Õ•
ë
Ì
Ê
å
ú
æ
û
ˆ
Í
ç
ü
n<
¼G
¦Y
Ãy
€
•€
í€
aè
·è
Bé
èì
Qí
Oî
Ûî
N$ µ/ 36 ú9 w= •I !S ïY ¸_ Ma €c
l Ev
‘
Ï
Ò
Ô
Ö
Ù
Ú
Û
Ü
Ý
Þ
ß
à
á
ã
ä
è
é
ê
ì
í
ï
ð
ñ
ò
ó
ô
ö
÷
ø
ù
ý
þ
ÿ
-
"
%
'
-
$
ð
'
.
! ÿ•€
#
ð\
ð(
†A
ÅA
@ -ñ
ð&
ð
ð
ð6
"ñ
?
ÿÿ
ÿ €€€ ÷
ð
ð(
‚
ð
ð0
ð
ð
ðP
ð
3
ð
ð
¿
Ñ
"ñ
?
ð
ð
ðP
¿
Ñ
"ñ
?
ð
ð
ðP
¿
Ñ
"ñ
?
ð
ð
ðP
¿
Ñ
"ñ
?
ð
ð
ðP
¿
Ñ
"ñ
?
ð
ð
ðB
3
ð
ð
3
ð
ð
3
ð
ð
3
ð
ð
S
ð-
¿
Ë
ÿ
ð
_ ð
ÿÿÿÿÿÿÿÿ
ð
ÿÿÿÿÿÿÿÿ
ð
ÿÿÿÿÿÿÿÿ=
vX €[ «[
?
ð
ÿÿÿÿÿÿÿÿ
¾\
]
t‰
!
ÿÿÿÿÿÿÿÿ
ð
ð
€þÿÿ”
‘
{
O
t
ÿ
ñ
ÿ
t
1
t
a
œ
þ
é
4
B
@
H
M
U
ð
ê
•
t
‰
Ë
«
ˆ
•
—
œ
•
4
»
¡
‘
ÿ
t
5
½
L
‹
Z
Ž
Ë
¥
ü
L
R
¯
´
“
þ
°
›
t
ý
þ
@
*
A
D
P
V
A
C
‚
‡
A
®
-
E
¶
²
A
§
D
°
O
®
-
[
»
d
-
i
!
ƒ
¡
…
¥
®
À
p
´
Ä
y
~
Ë
•
ƒ
Ð
›
®
±
Ç
-
Í
²
±
Ý
é
8
G
Î
Ü
þ
i
s
’
›
Ó
ã
"
f
k
¤
f
r
Y
Z
f- n- kl u ~ ” –
0
8
g
p
‘
œ
>! J! §! -! ¶! ¹! '" " :" =" A" C" -" ³" ¼" ¿"
# -# 9# C# €# ‹# “# •#
$
$
$
$ 1$ 5$ |$ …$ •% •% i& k& «& ±& ~' €' |( …( e) g)
h* n* t* }* ”* ›* ±* ¸* 5+ =+ Æ+ Ì+ Ý+ å+ r, u, », Â,
Ç, Í, ã, ë, n- t- ’- •- °- ³l. t. þ.
/
/
/ 6/ A/ Œ/ •/ Þ/ á/ ï/ ð/ ô/ ÷/ ú/
0
0
0 >0 M0 i0 q0 ÿ0
1 -1 1 31 41 71 81 C1 N1 Ë1 Ó1 /2 22 =2 C2 r2 s2 È2 Ð2 *3 ,3
*4 ,4 n4 x4 »4 É4
5
5
5 &5 <5 D5 õ5 ù5
6 -6 #6 &6
*6 16 86 :6 g6 o6 v6 |6 þ6
7
7
7 "7 %7 e7 n7 Â7 Ã7
å7 ï7 8 &8 z8 •8 –8 š8 ›8 £8 â8 ã8 ÿ8
9
9
9
:
: ´: »: Ù: Þ: æ: è: û:
;
;
;
; "; D; L; d; f; ž;
§;
<
< 2< 4< c< i< à< ê<
=
= /= 4=
>
>
?
? »? ¼?
@
@ Í@ Ò@
A
A
B
B VB [B •B ©B
C C
D
D
E
E ñE òE
F
F -F F (F )F .F /F JF WF aF hF ~F †F aG iG ¸G ¹G
H
H eH fH ¶H ¿H SI oI aJ gJ aK jK ¼K ÃK õK ûK aL iL ÑL
ÖL aM vM aN iN aO gO
O ¡O ÁO ÂO ÌO ÑO
P P ZQ ^Q ¥Q ¦Q òQ õQ
S
S HS KS T 1T :T =T TT WT HU LU UU ZU %V &V UV `V uV {V íV îV <W
GW LW _W ÉW ÙW RX `X
Y
Y UY `Y UZ ^Z †Z ‡Z ÔZ ÙZ íZ
óZ U[ Z[ U\ `\
] !] )] <] \] ]] Œ] ”] ×] Ø]
^
^ ,^ 0^ -^ ®^ ¶^ Æ^ ù^
û^
_
_ w_ x_ ¨_ ª_ Î_ Ø_ 1` 2` :` M` j` l` •` ¢` La
Ta ‰a ‹a %b &b Lb Pb ob qb ùb úb @c Ic Ld Pd %e &e Le
Se te }e Èe Òe Lf Pf Lg Rg Hh Ih Lh Th •h žh Li Ri Lj N
j ëj ìj >k Jk Ll Ol ¬l -l êl íl úl
m Kn Nn Ko Mo Kp Rp
àp áp (q 2q Âq Ãq Ýq Þq øq
r r :r Ds Fs îs ïs ?t Et Du Gu Dv Gv ¢v ¤v ëv îv õv
w ãw
åw ìw íw õw öw ûw ýw
x
x
x
x
x
x Qx Tx ^x _x hx
ix sx tx {x |x •x ‡x Žx “x Ÿx
x ¥x «x ¶x ¸x íx øx
y
y Xy \y Žy ‘y Õy Ùy ãy äy íy ôy ýy
z
z
z
z
z
z
z $z %z .z /z 8z >z Ez Fz Mz Yz bz cz hz iz
uz ~z €z Åz Çz
{ &{
|
| Û| Ü| ,} 3} Ü~ è~ ó~ ô~
• .• 6• M• N• e• k• ó• ô• E€ K€ V• X•
‚
‚ g‚ o‚
µ‚ ¶‚
ƒ
ƒ Vƒ \ƒ ƒ †ƒ ¸ƒ ºƒ
„
„ 0„ 9„ V„ Y„ š„ ›„ ç
„ ò„ V… `… V† Y† G‡ L‡ Q‡ V‡ ö‡ ÷‡ 1ˆ 7ˆ Lˆ Uˆ uˆ vˆ }ˆ
ˆ †ˆ •ˆ “ˆ ”ˆ ™ˆ
ˆ ¤ˆ ¥ˆ ­ˆ ¼ˆ üˆ ýˆ
‰
‰
tz
•
‰
Š
Š
‹
Œ
•
•
•
‘
’
‰
C‰
I‰
t‰
]Š
‹
Œ
•
•
•
‘
-’
dŠ
½•
:•
¾•
;•
„•
‘
.’
‘
“
<‘
u‰
{‰
}‰
••
é•
ê•
=‘
]‘
e‘
Ž
†‰
ˆ‰
¶‰
x‘
€‘
’
Ž
¼‰
“
”
–
—
š
”
S”
–
—
<š
T” û” þ”
—
— )— .—
Kš Vš Xš
•
•
˜
eš
˜
kš
™
›
™
<™
›
K™
›
V™ _™ }™
› +› -›
‡™
œ
’™
”™
š
œ
Fœ
Gœ
„œ
‹œ
–œ
¡œ
•
•
Ÿ
Ú• å•
ž
ž Jž Kž ›ž ¦ž
Ÿ
Ÿ
Ÿ 9Ÿ EŸ UŸ bŸ kŸ sŸ ŠŸ •Ÿ çŸ ìŸ ç
ï
¡ !¡ ä¡ é¡
6¢ >¢ á¢ é¢ á£ ä£ »¤ Ȥ Þ¤ ⤠ޥ æ¥ ‡¦ •¦ Û¦ 㦠ۧ Þ§
ɨ Ш Û© ç© 8ª Bª Û« Ý« Y¬ _¬ h¬ x¬ Û¬ ଠÛ- ß- Û® å®
Û¯ ݯ Û° â° Û± è± Û² á² Û³ ï³ Û´ è´
µ
µ ?µ @µ Œµ ‘µ ç
µ õµ ž¶ ¦¶ Ö· Ü· Ÿ ʸ и Ó¸ ï¸ ñ¸ L¹ U¹ Öº ݺ Ö» Ü» ›¼
§¼ ø¼ ú¼ -½ ½ v½ ~½ ̽ Õ½ ç½ ê½ &¾ ,¾ Y¾ b¾ „¾ †¾ %¿ ,¿ Á¿ Ë¿ "À &À
(À 3À -À ®À æÀ íÀ þÀ
Á c n -Ã
à ûà þà NÄ UÄ Å !Å 5Æ FÆ
Ç )Ç RÇ `Ç ¹Ç ÇÇ
È
È jÈ xÈ øÈ
É
É -É ^É _É ·É ¾É
Ê
Ê
Ë
Ë
Ì
Ì çÌ ëÌ
Í
Í aÍ lÍ ºÍ ÄÍ
Î
Î
Ï
Ï çÏ éÏ íÏ
Ð MÐ TÐ
Ñ
Ñ •Ñ •Ñ
Ò
Ò
Ò
Ò •Ò šÒ
þÒ
Ó þÓ
Ô þÔ
Õ þÕ
Ö DÖ GÖ cÖ mÖ nÖ qÖ “Ö šÖ -Ö ´Ö ¾
Ö ÅÖ
× -× 2× 8× Í× Î×
Ø
Ø sØ tØ ŽØ ”Ø
Ù
Ù !Ù .Ù ’Ù
•Ù ¢Ù ªÙ þÙ
Ú
Ú
Ú MÛ NÛ ÞÛ äÛ éÛ îÛ EÜ HÜ WÜ YÜ
Ý -Ý ^Ý gÝ äÝ åÝ íÝ
ðÝ
Þ
Þ +Þ 2Þ <Þ GÞ uÞ xÞ •Þ —
Þ ¿Þ ÅÞ 6ß 7ß dß jß Âß Ìß aà bà dà là ·à Ãà Úà àà Bá Cá
^á `á aá ká Çá Íá aâ jâ
ã
ã Xã ^ã éã êã =ä Cä èä îä
ïä òä
å
å
å
&å 0å :å =å Hå Qå Wå ¡å ¢å Ùå ßå Oæ Væ ræ xæ Ùæ Üæ éæ
ìæ öæ
ç rç yç éç êç
è
è :è ;è oé xé ¼é Ìé Óê àê ïê
֐
ë
ë
ë
ë 2ë :ë Eë Më _ë cë ¸ë ¿ë mì rì mí oí æí ñí ùí ûí Eî Jî
Tî Vî jî wî -ï "ï &ï ,ï jï mï çï òï ÷ï þï gð sð Ëð Öð
êð òð _ñ jñ yñ €ñ Zò ^ò yò }ò ”ò —
ò aó hó ñó òó >ô ?ô fô rô Zõ `õ ²õ ·õ Æõ Ôõ 6ö <ö ?ö Jö
ýö
÷ '÷ ,÷ G÷ S÷ 'ø ø ëø ïø 1ù =ù íù ùù -ú "ú šú œú Öú Ýú û &û ÿû
ü ü &ü ý &ý Áý Èý ìý íý îý úý
þ
þ îþ ðþ ìÿ ïÿ 9
A
“
”
™
›
´
¼
ñ
ø
I
R
e
l
®
º
ò
þ
r
x
ð
õ
Š
‘
Ë
Ó
ð
÷
.
q
s
¸
Â
à
â
ã
ê
7
)
9
C
P
¡
§
æ
ì
l
€
•
•
·
¾
æ
è
þ
6
G
?
S
X
•
_
Œ
ê
-
ô
´
:
ê
<
ð
I
K
q
~
ì
E
î
U
d
+
f
)
.
H
W
‰
”
²
¹
÷
"
*
‹
”
Á
Ç
Ò
Ú
ç
ë
£
«
è
ñ
ú
û
?
I
#
â
G
N
0
æ
L
g
±
¨
U
i
¸
´
£
†
â
â
«
â
‡
æ
é
ì
¬
x
â
$
-
•
ä
®
â
%
¯
æ
&
»
Õ
'
Á
Ü
c
õ
â
d
÷
æ
‡
l
“
€
â
·
í
¾
<
P
p
ˆ
×
á
M
T
×
Ú
,
8
×
Þ
0×- Ú- z ƒ ´ » × à
J
V
Ž
”
Å
Ë
×
à
7! Ï! Þ! Ï" Ó" -# 4# ™# ¡#
$
$ ˆ$ •$ Ð$ Ù$ z% •% Ð% Ó% Ã& È& Ð& Ö& œ' ¦' ´'
µ' ö'
(
(
(
( '( J( P( \( s( t( •( Ž( ˜( ©( ¶( Ð( Ú( ø(
) 1) 3)
e) l) Î) ×) I* J* ‹* –
* •* ¥* ö* ÷* M+ S+ Í+ Ö+ ó+ ý+ >, F, Í, Ñ, s- t- ·- ¼Á- Ç- É- Ê- ÷- ø2. =. -. ·. Í. Ò. å. ï. =/ G/ g/ i/ ~/ •/ •/ ‹/ º/ ¼/
ø/ ý/
0
<0!
0
©0 ´0 Î0 Ô0 ÷0
1 (1 /1 <1 G1 T1 ^1 d1 e1 r1 s1 }1 „1
•1 –
1 ´1 µ1 É1 Ì1 Í1 ù1
2
2 #2 J2 U2 d2 q2 {2 ˆ2 ¬2 ²2 Ì2
Ö2 3 %3 D3 Q3 n3 •3 -3 ¹3 ¾3 Ã3
4
4 %4 04 ‰4 ‘4 Ã4 É4
5
5 c5 k5 v5 ~5 Â5 É5 Ò5 Ú5 ÿ5
6
I6 Q6 ˜6 Ÿ6 ¿6 Ê6 û6
7
7 !7 47 D7 S7 c7 {7 ‚7
7 «7 ¿7 Ê7 ¿8 Æ8 ü8 þ8
L9 [9
:
: ?: L: ½: Ä: î: ï:
;
;
¾;
Â;
¾<
Ä<
ï<
ó<
þ<
=
=
= ¾= Å= ú=
> ¾> Â> ¾? Æ? Ì? Ö? X@ b@ ¾@ É@ •A ˜A ¾A
ÅA ¾B ÒB EC GC „C …C ‘C ’C ™C ŸC ¯C °C
D
D
D &D UD WD `D bD
E #E 9E ;E <E FE ZE ]E ¬E -E
F
F (F 0F 1F 7F ©F ¯F ÃF ÅF ÌF ÑF îF òF :G AG •G •G ŸG
¡G ¢G ¨G ©G ²G ÙG ÞG ìG ùG
H
H 'H *H hH pH ˆH ‹H §H
©H éH ëH
I #I RI TI •I šI ÜI âI íI ïI øI ûI
J -J zJ ‚J œJ
J òJ
óJ
K &K [K hK ”K šK ñK ôK
L
L ˆL –L ÀL ÓL îL ôL
M
N
M £M ¥M íM ÷M
N
•N ˆN •N •N ¯N ´N ¹N ÄN "O *O rO }O ¿O ÈO ÉO ÎO òO øO
BP HP `P bP cP hP iP oP ”P ›P ¡P £P ¤P ¬P ÆP ÉP ÊP ÏP
ÕP ãP ŸQ ©Q îQ õQ FR LR žR ©R úR
S (S .S 2S 3S :S <S
ÄS ÆS ET GT ‚T „T õT ÿT
U
U )U *U :U <U rU €U ÖU àU
V V [V bV ƒV ŒV ßV äV 5W ;W yW ~W ÑW ÒW ÙW ÚW ÛW çW /X 7X
VX kX uX øX
Y
Y
Y
Y
Y $Y 1Y 4Y LY WY YY bY mY sY ~Y •Y †Y “Y ŸY ¤Y ´Y
µY ¹Y ºY ÆY ÑY ØY åY êY ùY
Z
Z
Z &Z (Z )Z .Z 6Z FZ
GZ RZ SZ [Z cZ oZ tZ wZ xZ „Z •Z ’Z –
Z ™Z šZ ¦Z ¯Z ´Z ¸Z ÁZ
[
[ ,[ /[ }[ •[ ‚[ ‰[ –[ ¬[ ®[ °[ ²[ ¿[ 1\ 7\ A\ H\ •\ –
\ ½\ Á\ Â\ Æ\ Ì\ à\
]
]
]
]
] !] '] 1] 2] 6] ]] `] ±] ¿]
^
^ C^ S^ £^ ³^ é^ õ^
_
_ X_ a_ È_ Õ_ Ö_ Ú_
`
` b` g` §` «`
a a Ca Qa ^a ga –a ¤a ¥a ¬a ùa
b
b
b +b .b /b <b Pb Rb ¢b §b 2c 8c 9c Ec Fc Kc Lc Sc Tc
\c ]c bc cc lc mc qc rc xc yc ~c •c †c ‡c ‹c Œc ‘c ’c
—
c ˜c
c ¡c ¥c ¦c -c ®c ºc »c Àc Ác Äc Åc Ìc Íc Ñc Òc Üc
Ýc åc æc îc ïc ùc úc
d
d
d
d
d
d
d
d
d (d )d .d 3d 4d 9d :d Cd Dd Nd Od Xd Yd _d `d hd id €d •d Žd
§d ©d ,e /e 0e ;e <e De Ee Ke Le Re Se be ce fe ge le
me qe re |e }e ‡e ˆe Že •e ”e •e ™e še ¢e £e «e ¬e ±e
²e ¹e ºe Çe Èe Òe Óe Øe Ùe Þe ße èe ée íe îe òe óe úe û
e ÿe
f
f
f
f
f
f
f
f
f (f )f /f 0f :f ;f Af Bf Kf Lf Qf Rf [f \f
`f af jf kf sf tf yf zf •f ‚f ‡f ˆf •f Žf ’f “f ›f œf
Ÿf
f £f ¤f ¯f °f ¶f ·f Áf Âf Ìf Íf Òf Óf Øf Ùf Ýf Þf
áf âf èf éf ñf òf ÷f øf
g
g
g
g
g
g
g
g
g
g 'g (g 2g 3g :g ;g @g Ag Ig Jg Og Pg ]g
^g gg hg rg sg {g |g „g …g “g ”g šg ›g ¦g §g -g ®g ¹g
ºg ¿g Àg Åg Æg Êg Ëg Ôg Õg Ûg Üg ág âg êg ëg óg ôg þg
ÿg
h
h
h
h
h
h
h -h (h )h 5h 6h Jh Kh Ph Qh Th Uh Zh [h `h ah ih jh ph qh
}h ~h „h …h ‹h Œh •h –
h ›h œh £h ¤h ©h ªh ´h µh ¿h Àh Æh Çh Ìh Íh Ðh Ñh Ùh Úh
àh áh ìh íh ñh òh üh ýh
i
i
i
i
i
i
i
i "i #i
)i *i /i 0i 3i 4i 9i :i >i ?i Di Ei Mi Ni Ri Si Vi Wi
ci di ii ji oi pi vi wi ƒi „i ‰i Ši •i ‘i —
i ˜i œi •i £i ¤i §i ¨i ¬i -i ³i ´i ºi »i Äi Åi Éi Êi Øi
Ùi Ýi Þi èi éi ñi òi ûi üi
j
j
j
j
j
j
j
j
j j
#j $j *j +j 3j 4j Bj Cj Mj Nj Sj Tj Yj
zj {j •j €j ˆj ‰j ‘j ’j —
j ˜j žj Ÿj ¤j ¥j ©j ªj ®j ¯j ¶j ·j ¾j ¿j
Öj ßj àj ãj äj éj êj îj ïj ój ôj ûj üj
Zj
ej
fj
nj
oj
Çj
k
Èj
k
Ëj
Ìj
Õj
k
k
k
k
k
k
k
!k &k 'k +k ,k 6k 7k <k =k ?k @k Ik Jk Tk Uk `k ak kk
lk vk wk }k ~k ƒk „k ˆk ‰k ’k “k œk •k §k ¨k ²k ³k Ík
Îk Õk Ök Úk Ûk Þk ßk ëk ìk ïk ðk ük ýk
l
l
l
l
l
l
l %l &l .l 5l 6l <l =l Dl El Ml Nl Wl Xl `l al gl hl ol pl xl
yl }l ~l ƒl „l Šl ‹l •l ‘l ”l •l ™l šl žl Ÿl ¥l ¦l ®l
¯l ³l ´l ºl »l Ál Âl Æl Çl Êl Ël Ñl Òl Öl ×l Ûl Ül çl
èl ìl íl õl öl ül ýl
m
m
m
m
m
m "m #m )m *m /m 0
m Cm Dm Jm Km Vm Wm [m \m bm cm gm hm mm nm um vm {m |m
•m ‚m †m ‡m Œm •m –m —m
m ¡m ¤m ¥m ¯m Ìm Ôm
n &n 5n ;n Pn Xn
n ·n Ãn ×n )o -o 6o 8o q #q pq xq ,r .r /r 0r t &t Et Ft mt ot #u )u *u 4u 5u 9u :u Du Eu Ku Lu Vu Wu
au bu gu hu ou pu wu xu •u ‚u †u ‡u •u •u ˜u ™u žu Ÿu
¤u ¥u ¬u -u ±u ²u ·u ñu ûu “v •v
w #w
x x
y !y ¹y »y •z •z
{
{
{ "{
| "| Q| V|
} '} b} c}
d} j} k} n} o} {} |} …} †} ‰} Š} •} ‘} –} —
} ¡} ¢} µ} ¶} ½} ¾} È} É} Ó} Ô} Ù} Ú} à} á} å} æ} ë} ì}
ð} ñ} ù} ú} ý} þ}
~
~
~
~
~
~ !~ "~ %~ &~ 1~ 2~
6~ 7~ A~ B~ Q~ R~ X~ Y~ ]~ ^~ g~ h~ k~ l~ u~ v~ z~ {~
•~ ‚~ …~ †~ Œ~ •~ ˜~ ™~ ¡~ ¢~ ¨~ ©~ ¬~ -~ ´~ µ~ ¿~ À~ Ç
~ È~ Ï~ Ð~ Ø~ Ù~ Û~ Ü~ å~ æ~ ê~ ë~ ð~ ñ~ ý~ þ~
•
•
•
•
•
• !• "• *• +• 2• 3• =• >• B•
€ +€ Æ€ Ò€
•
•
-• *• +• 2• 3• >• ?• H• I• L• M• S• T• X• Y• [• \• e•
f• m• n• u• v• |• }• •• ‚• •• Ž• •• –
• œ• •• £• ¤• «• ¬• ¯• °• ¹• º• Á• • Ë• Ì• Ó• Ô• Þ• ß•
ç• è• ý• þ•
‚
‚
‚
‚
‚
‚ !‚ "‚ %‚ &‚ 0‚ 1‚ 8‚ 9‚
=‚ >‚ B‚ C‚ K‚ L‚ O‚ P‚ U‚ V‚ ^‚ _‚ c‚ d‚ i‚ j‚ q‚ r‚
}‚ ~‚ Š‚ ‹‚ •‚ ‘‚ •‚ –
‚ Ÿ‚
‚ ¦‚ §‚ ¬‚ ­‚ ¶‚ ·‚ º‚ »‚ È‚ É‚ Ë‚ Ì‚ Ñ‚ Ò‚ ׂ Ø‚
Ü‚ Ý‚ è‚ é‚ ì‚ í‚ ó‚ ô‚ û‚ ü‚
ƒ
ƒ
ƒ
ƒ
ƒ
ƒ
ƒ
ƒ 'ƒ (ƒ 2ƒ 3ƒ 9ƒ :ƒ ?ƒ @ƒ Hƒ Iƒ Oƒ
oƒ pƒ yƒ zƒ }ƒ ~ƒ ‡ƒ ˆƒ Œƒ •ƒ ’ƒ “ƒ —
ƒ ˜ƒ •ƒ žƒ ¥ƒ ¦ƒ ªƒ «ƒ °ƒ ±ƒ µƒ ¶ƒ »ƒ ¼ƒ ¾ƒ ¿ƒ
Ƀ у Òƒ Öƒ ׃ àƒ áƒ çƒ èƒ òƒ óƒ øƒ ùƒ þƒ ÿƒ
„
Pƒ
Zƒ
[ƒ
Áƒ
„
ƒ
„
ȃ
„
„
„
„
„
„
!„ („ )„ /„ 0„ 8„ 9„ E„ F„ J„ f„ h„ ¢„ ©„ ,… 3… 4… ;…
<… G… H… L… M… P… Q… X… Y… ^… _… d… e… k… l… w… x… …
€… Š… ‹… “… ”… ¡… ¢… ¦… §… ²… ³… ¹… º… À… Á… Æ… Ç… Ë…
Ì… Ó… Ô… Û… Ü… ã… ä… í… î… ô… õ… û… ü…
†
†
†
†
†
†
† -† '† († 0† 1† <† =† F† G† N† O† S† T† `† a†
e† f† k† l† s† t† x† y† }† ~† „† …† •† Ž† ”† •† ™† š†
¢† £† ¨† ©† ®† ¯† ¿† À† Ɔ dž Ò† Ó† Ú† Û† ߆ à† ê† ë†
ð† ñ† õ† ö† ü† ý†
‡
‡
‡
‡
‡
‡
‡
‡
‡
‡ $‡ %‡ *‡ +‡ 2‡ 3‡ >‡ ?‡ H‡ I‡
O‡ P‡ T‡ U‡ \‡ ]‡ `‡ a‡ e‡ f‡ m‡ n‡ u‡ v‡ {‡ |‡ €‡ •‡ ‰
‡ Š‡ –‡ —
‡ ¢‡ £‡ ª‡ «‡ ¶‡ ·‡ ¾‡ ¿‡ Ç ć ɇ ʇ Ö‡ ׇ ܇ ݇ è‡ é‡
ó‡ ô‡ þ‡ ÿ‡
ˆ
ˆ
ˆ
ˆ
ˆ
ˆ ˆ
ˆ &ˆ 'ˆ 4ˆ 5ˆ =ˆ >ˆ Bˆ Cˆ Jˆ Kˆ Pˆ Qˆ Uˆ Vˆ ^ˆ _ˆ hˆ iˆ
sˆ tˆ ˆˆ ‰ˆ Œˆ •ˆ •ˆ ‘ˆ –ˆ —
ˆ œˆ •ˆ ¡ˆ ¢ˆ ¦ˆ §ˆ ®ˆ ¯ˆ ³ˆ ´ˆ ºˆ »ˆ ˆ È ˈ ̈ Ј ш
܈ ݈ áˆ âˆ ìˆ íˆ òˆ óˆ öˆ ÷ˆ ÿˆ
‰
‰
‰
‰
‰
‰
‰
‰
‰ %‰ &‰ +‰ ,‰ /‰ 0‰ 8‰ 9‰ G‰ G‰ H‰ I‰ I‰ J‰ J‰ K‰
L‰ M‰ N‰ O‰ P‰ Q‰ R‰ S‰ o‰ u‰
4
O
*
M
O
P
•
,
‹
Ž
¯
°
L
5
L
‚
O
7
P
8
=!
„
Í
>!
…
Î
¦!
}
h
§!
~
®
¯
§
i
Ò
Ó
¤
&" '" ¬" -"
¨
¥
B
C
±
/
²
0
Ü
‘
’
Þ
#
#
9
•# €#
$
$ {$ }$ ª& «& {( |( g* h* à* á* ö* ÷* Æ+ Ç+
Ü+ Ý+ â, ã, k. l. Œ/ •/ ¥/ ¦/ 30 40 B1 C1 12 22 r2 s2
m4 n4
5
5 ô5 õ5
7
7 Â7 Ã7
9
:
: ³: ´: •; ž;
<
< à< á< »? ¼? UB VB ðE òE
F /F
¸G ¹G eH fH iK jK
O ¡O ÁO ÂO ¥Q ¦Q
S
S %V &V
Y
Y
†Z ‡Z
] !] ;] <] ×] Ø] -^ ®^ Å^ Æ^ w_ x_ 1` 2` L` M` %b &b ùb
úb %e &e Hh Ih ëj ìj ¬l -l àp áp Âq Ãq Ýq Þq îs ïs ¢v
¤v ãw
x Px ¸x ìx îx
y
y Wy Yy •y Žy Ôy €z Äz Çz Û|
Ü| ó~ ô~
•
• ó• ô•
‚
‚ µ‚ ¶‚ š„ ›„ ö‡ ÷‡ uˆ ¼ˆ ûˆ
‰ B‰ E‰ s‰ ˆ‰ µ‰ ¸‰
Š
Š ½• ¾• :• ;•
‘
‘ <‘ =‘ ’ .’ S” T” ´• µ• Fœ Gœ Jž Kž
Ÿ
Ÿ 9Ÿ :Ÿ
¡
¡ 5¢ 6¢ º¤
»¤ †¦ ‡¦ æ© ç©
µ
µ ?µ @µ O¶ P¶ ú¸ û¸ K¼ L¼ ù¼ ú¼ -½
½ À¿ Á¿ 'À (À -À ®À
Â
 ýà þÃ
Æ
Æ QÇ RÇ ¸Ç ¹Ç iÈ jÈ
÷È øÈ ^É _É ßÌ àÌ
Í
Í ¢Ï £Ï KÑ LÑ
Ò
Ò :Ò ;Ò cÖ eÖ
fÖ pÖ qÖ “Ö ”Ö ¬Ö -Ö ½Ö ¿Ö ÍÖ ÎÖ
× -× 1× 2× Ì× Î×
Ø
Ø rØ tØ •Ø ŽØ
Ù
Ù !Ù #Ù KÙ LÙ ’Û “Û
Ý
Ý äÝ åÝ ïÝ ð
Ý
Þ
Þ *Þ +Þ ;Þ =Þ SÞ TÞ ŒÞ ŽÞ ¾Þ ¿Þ 5ß 7ß cß dß Áß Ãß
Üß Ýß `à bà kà là ¶à ¸à Ùà Úà Aá Cá _á `á zá {á
ã
ã
çä èä ñä òä
å
å -å å /å 1å På Qå
å ¢å Øå Ùå Næ Pæ qæ ræ Úæ Üæ öæ ÷æ %ç &ç
né oé Òê Óê îê ïê
ë
ë
ë
ë ë
ë 1ë 2ë Dë Eë lë më åí æí æï çï Êð Ëð ^ñ _ñ ðó òó >ô ?ô
êõ ëõ üö ýö ëø ïø 1ù 2ù íù îù ›ú ×ú ÿû
ü Áý Âý w
x
e
f
.
q
s
¸
¹
á
â
6
)
*
8
9
C
D
¡
¢
·
¸
þ
ÿ
P
7
X
Y
;
<
q
r
í
î
F
G
•
€
-
®
Q
‰
Š
²
³
!
"
‹
Œ
Á
Â
Ò
Ó
ê
ë
¤
¥
ú
û
£
Õ
¤
Ö
N
M
0!
$
·
,
%
¸
-
I
¨
0-
J
¬
©
ã
ä
1- z { ´
õ
c
µ
÷
d
‡
ÿ
ˆ
#
<
J
$
>
K
±
p
Ž
²
q
•
x
†
Å
y
ˆ
Æ
1! -# .#
$
$ ˆ$ ‰$ z% {% ´' µ'
( -( J( K( Ž( •( ©( ª( ø( ù(
d) e) Î) Ï) I* J* M+ N+ ó+ ô+ s- t2. 3. -. ®. å. æ. =/ >/ €/ •/ »/ ¼/ ©0 ª0 ÷0 ø0 (1 )1
<1 =1 T1 U1 d1 e1 }1 ~1 •1 •1 ´1 µ1 Ò1 Ó1 ù1 ú1
2
2
2
2 "2 #2 J2 K2 d2 e2 {2 |2 ¬2 -2 3
3 D3 E3 n3 o3 ‰4 Š4
5
5 v5 w5 ÿ5
6 I6 J6 ˜6 ™6 É6 Ê6
û6 ü6
7
7 47 57 S7 T7 {7 |7
7 ¡7 ý8 þ8
:
: >: ?:
Ì? Í? •A •A ÄA ÅA FC GC „C …C ¯C °C (F )F ÌF ÍF íF îF
:G ;G
G ¡G ØG ÙG
H
H …H †H ÚH ÛH >I ?I ”I •I
J
J Ÿ
J
J
K !K ZK [K “K ”K
L
L ˆL ‰L ¿L ÀL
M
M
N
N ~N €N ®N ¯N ¹N ºN !O "O qO rO ¿O ÀO ÇO ÈO ñO
òO aP bP ÈP ÉP îQ ïQ (S )S 2S 3S ·S ¸S 9T :T wT xT ôT
õT þT ÿT )U *U qU rU ÕU ÖU
V
V ƒV „V ÞV ßV 5W 6W xW
yW ·W ¸W ÑW ÒW ÙW ÚW 1X 7X UX VX uX €X
Y
Y
Y
Y
Y
Y LY MY XY YY †Y ‡Y ºY ¿Y ÑY ÓY åY æY ùY úY
Z
Z
'Z (Z 6Z 7Z QZ RZ cZ dZ vZ wZ —
Z ™Z ¸Z ºZ •[ •[ ª[ ¬[ ½\ ¿\
]
] '] .] ^] `] ±] ²] C^
D^ ¢^ £^ é^ ê^ W_ X_ È_ É_ Ô_ Õ_ b` c` ¦` §` Ca Da b .b ¢b £b 2c 3c Ýc Þc •d €d .e /e šf ›f ’g “g
h
h Øh
Ùh ²i ³i )j *j Aj Bj pl ql •l žl !m "m Bm Cm ®m ¯m Ìm
Ím 4n 5n Pn Qn Ÿn
n Ön ×n 7o 8o $t &t Et Ft
{
{ b}
c} р Ҁ
„
„ G‡ H‡ A‰ G‰ G‰ I‰ I‰ J‰ J‰ L‰ M‰ O‰ P‰ R
‰ S‰ r‰ u‰
1
1
cÖ
eÖ
,
,
d
d
€
®
¯
%
&
z
™#
š#
m(
s(
1)
1)
~/
•/
l1
r1
É1
Ì1
4
4
%4 %4 &4 &4 î: ï: þ< þ< ‘C ’C ™C šC
D
D UD WD 9E 9E
ZE \E §H §H éH éH RI RI :S :S ÄS ÄS ET ET ‚T ‚T :U :U
xY ~Y ®Y ´Y •d Žd pq vq /r 0r mt ot ñu òu ¹y ¹y ºy »y
f„ f„ ¢„ ¨„ F‰ G‰ G‰ I‰ I‰ J‰ J‰ L‰ M‰ O‰ P‰ R‰ S‰ o‰ u
‰
F Ô ®\ÿ ÿ ÿ ÿ ÿ ÿ ÿ ÿ ÿ
_g. NšZ€ÿ ÿ ÿ ÿ ÿ ÿ ÿ ÿ ÿ
ÿ ÿ ÿ ÿ
…X€ >ã mÿ ÿ ÿ ÿ ÿ ÿ ÿ ÿ ÿ
ô •
|ÈXŠÿ ÿ ÿ ÿ ÿ ÿ ÿ ÿ ÿ
zqN
ÝÖ ÿ ÿ ÿ ÿ ÿ ÿ ÿ ÿ ÿ
å u
>
:oØ Ê•È ÿ ÿ ÿ ÿ ÿ
F0 }ÿ ÿ ÿ ÿ ÿ ÿ ÿ ÿ ÿ
2Èèºÿ ÿ ÿ ÿ ÿ ÿ ÿ ÿ ÿ
þ;•8ÿ ÿ ÿ ÿ ÿ ÿ ÿ ÿ ÿ
°•µ
ø?½
©-·
¢r8Íÿ ÿ ÿ ÿ ÿ ÿ ÿ ÿ ÿ
ÈiÐ
î‹LØÿ ÿ ÿ ÿ ÿ ÿ ÿ ÿ ÿ
ó b trŽŸÿ ÿ ÿ ÿ ÿ ÿ ÿ ÿ ÿ
n&˜ fÕ tÿ ÿ ÿ ÿ ÿ ÿ ÿ
ÿ ÿ
™UO BÈUÿ ÿ ÿ ÿ ÿ ÿ ÿ ÿ ÿ
™~d x^t ÿ ÿ ÿ ÿ ÿ ÿ ÿ ÿ ÿ
Ì%Ú ˆÚ•Gÿ
ÿ ÿ ÿ ÿ ÿ ÿ ÿ ÿ
¨ " |7 ÿ ÿ ÿ ÿ ÿ ÿ ÿ ÿ ÿ
Äg2 (³TÓÿ ÿ ÿ ÿ ÿ ÿ ÿ ÿ ÿ
!|C `u ¢ÿ ÿ ÿ ÿ ÿ ÿ ÿ ÿ ÿ
•VßLoÄØÿ ÿ ÿ ÿ ÿ ÿ ÿ ÿ ÿ
Ë ë'„›Üÿ ÿ ÿ ÿ ÿ ÿ ÿ ÿ ÿ
{+´(ˆ€ ¯ÿ ÿ ÿ ÿ ÿ ÿ ÿ ÿ ÿ
ˆf
*Â㎂ÿ ÿ ÿ ÿ ÿ ÿ ÿ ÿ ÿ
ñ ÿ+ å²-ÿ ÿ ÿ ÿ ÿ ÿ ÿ ÿ ÿ
­W41¨•ŽÓÿ ÿ ÿ ÿ ÿ ÿ
ÿ ÿ ÿ
Té2`lüÑÿ ÿ ÿ ÿ ÿ ÿ ÿ ÿ ÿ
Ëh 6Ú%®1ÿ ÿ ÿ ÿ ÿ ÿ ÿ ÿ ÿ
D-æ;Š
n=ÿ ÿ ÿ ÿ ÿ ÿ ÿ ÿ ÿ
yb$<Úí@ ÿ ÿ ÿ ÿ ÿ ÿ ÿ ÿ ÿ
ól =Ø|B ÿ ÿ ÿ ÿ ÿ ÿ ÿ ÿ
ÿ
< ¡=*þØ»ÿ ÿ ÿ ÿ ÿ ÿ ÿ ÿ ÿ
’,¯=-kÞ9ÿ ÿ ÿ ÿ ÿ ÿ ÿ ÿ ÿ
ÇlÈ=~ç ªÿ ÿ
ÿ ÿ ÿ ÿ ÿ ÿ ÿ
ë ÛE
s°Žÿ ÿ ÿ ÿ ÿ ÿ ÿ ÿ ÿ
D=¿G`¬v•ÿ ÿ ÿ ÿ ÿ ÿ ÿ ÿ ÿ
«bDJz #ÿ ÿ ÿ ÿ ÿ ÿ ÿ
ÿ ÿ
œoáJ*b‚(ÿ ÿ ÿ ÿ ÿ ÿ ÿ ÿ ÿ
39¬Kô=œ ÿ ÿ ÿ ÿ ÿ ÿ ÿ ÿ ÿ
íXBSä¾"¾ÿ ÿ
ÿ ÿ ÿ ÿ ÿ ÿ ÿ
zN¦SÆS0Lÿ ÿ ÿ ÿ ÿ ÿ ÿ ÿ ÿ
(+èSÀ —
ÿ ÿ ÿ ÿ ÿ ÿ ÿ ÿ ÿ
ªh‹YÀ•vÿ ÿ ÿ ÿ ÿ ÿ ÿ ÿ ÿ
Ÿj=\ü…ò?ÿ ÿ ÿ ÿ ÿ ÿ ÿ ÿ ÿ
u +] ¾Ž°ÿ ÿ ÿ ÿ ÿ ÿ ÿ ÿ ÿ
$T_] ×0òÿ ÿ ÿ ÿ ÿ ÿ ÿ ÿ ÿ
%‡^0càûÿ ÿ ÿ ÿ ÿ ÿ ÿ ÿ ÿ
çNC_zŒÊ?ÿ ÿ ÿ
ÿ ÿ ÿ ÿ ÿ ÿ
8.¯iÞ
˜¤ÿ ÿ ÿ ÿ ÿ ÿ ÿ ÿ ÿ
•Ïi–
…p³ÿ ÿ ÿ ÿ ÿ ÿ ÿ ÿ ÿ
¿?ýj MžÌÿ ÿ ÿ ÿ ÿ ÿ ÿ ÿ ÿ
„w^m Á`‰ÿ ÿ ÿ ÿ ÿ ÿ ÿ
ÿ ÿ
›[ùp➸
ÿ ÿ ÿ ÿ ÿ ÿ ÿ ÿ ÿ
¥ qB4® ÿ ÿ ÿ ÿ ÿ ÿ ÿ ÿ ÿ
x ·sHdt3ÿ ÿ ÿ ÿ ÿ ÿ ÿ ÿ ÿ
ç /t¤ÁPlÿ ÿ ÿ ÿ ÿ ÿ
ÿ ÿ ÿ
ús™tªír•ÿ ÿ ÿ ÿ ÿ ÿ ÿ ÿ ÿ
H öv|c¢Õÿ ÿ ÿ ÿ ÿ ÿ ÿ ÿ ÿ
ßzÐw ³ÿ ÿ ÿ ÿ ÿ ÿ ÿ ÿ ÿ
^;{È
Ò ÿ ÿ ÿ ÿ ÿ ÿ ÿ ÿ ÿ
ò
ä|0‡‚þÿ ÿ ÿ ÿ ÿ ÿ ÿ ÿ ÿ
hAö|xaŒ)ÿ ÿ ÿ ÿ ÿ ÿ ÿ ÿ ÿ
T@¿~
Á^Æÿ ÿ ÿ ÿ ÿ ÿ ÿ ÿ ÿ
„Ð „˜þ^„Ð `„˜þo(
)
€
„
„˜þ^„ `„˜þ
.
‚
„p „Lÿ^„p `„Lÿ
.
€
„@
„˜þ^„@
`„˜þ
.
€
„
„˜þ^„
`„˜þ
.
‚
„°
„˜þ^„° `„˜þ
.
^„€ `„˜þ
.
‚
„
„˜þ^„ `„˜þo(
„â „˜þ^„â `„˜þ‡h
ˆH
.
„² „Lÿ^„² `„Lÿ‡h
ˆH
.
„‚
„˜þ^„‚
`„˜þ‡h
ˆH
.
€
„R
„à
‚
€
„Lÿ^„à `„Lÿ
.
€
„P „Lÿ^„P `„Lÿ
.
€
€
„€
.
„˜þ
„˜þ^„R
`„˜þ‡h
ˆH
„" „Lÿ^„"
„ò „˜þ^„ò
„ „˜þ^„Â
„’ „Lÿ^„’
Ð `„˜þo(
.
„
„˜þ^„
„p „Lÿ^„p
„@
„˜þ^„@
`„˜þ‡h
ˆH
„
.
`„Lÿ‡h
`„˜þ‡h
`„˜þ‡h
`„Lÿ‡h
€
`„˜þ‡h
`„Lÿ‡h
.
‚
ˆH
ˆH
ˆH
ˆH
.
.
.
.
€
€
‚
ˆH
ˆH
.
.
‚
€
€
„Ð
„˜þ^„
„˜þ^„
`„˜þ‡h
ˆH
.
„à „Lÿ^„à `„Lÿ‡h
„° „˜þ^„° `„˜þ‡h
„€ „˜þ^„€ `„˜þ‡h
„P „Lÿ^„P `„Lÿ‡h
Ð ^„Ð `„˜þ^J
)
„˜þ^J
.
.
h
„˜þ Æ
@
^„@
`„˜þ^J
.
‚
ˆH
ˆH
ˆH
ˆH
.
.
.
.
€
€
‚
h
h
h
„
„p
„@
h
„
„Lÿ Æ
p
„Ð „˜þ Æ
„˜þ Æ
^„ `
^„p `„Lÿ^J
„˜þ Æ
^„
`„˜þ^J
.
.
h
h
h
„P „Lÿ Æ
Ð „˜þ^„Ð `„˜þo(
‚
„@
„˜þ^„@
`„˜þ
.
€
„€
P
)
„à „Lÿ Æ
à ^„à `„Lÿ^J
„° „˜þ Æ
° ^„° `„˜þ^J
.
„˜þ Æ
€ ^„€ `„˜þ^J
.
^„P `„Lÿ^J
.
€
„
„˜þ^„ `„˜þ
„p „Lÿ^„p `„Lÿ
.
€
„
h
„
.
„˜þ^„
`„˜þ
.
^„€ `„˜þ
„
„˜þ^„
€
„˜þ^„@
`„˜þ
.
‚
„°
.
`„˜þ
€
„à
„˜þ^„° `„˜þ
.
‚
„Ð „˜þ^„Ð `„˜þo(
.
‚
„@
„
„Lÿ^„à `„Lÿ
.
€
€
„€ „˜þ
„P „Lÿ^„P `„Lÿ
.
.
€
„p „Lÿ^„p `„Lÿ
.
„˜þ^„
`„˜þ
.
‚
„°
„à „Lÿ^„à `„Lÿ
.
„˜þ^„° `„˜þ
.
€
^„€ `„˜þ
.
‚
„P „Lÿ^„P `„Lÿ
Ð
„Ð „˜þ Æ
Ð ^„Ð `„˜þOJ PJ QJ ^J
h
„
„˜þ Æ
^„ `„˜þ^J
.
„p „Lÿ Æ
p ^„p `„Lÿ^J
.
h
@
„˜þ Æ
@
^„@
`„˜þ^J
.
h
„
€
„€
„˜þ
.
)
h
„
„˜þ Æ
^„
`„˜þ^J
.
.
h
„à „Lÿ Æ
à ^„à `„Lÿ^J
„° „˜þ Æ
° ^„° `„˜þ^J
.
h
„€ „˜þ Æ
€ ^„€ `„˜þ^J
.
h
„P „Lÿ Æ
P ^„P `„Lÿ^J
.
„
„˜þ^„ `„˜þOJ QJ o(
·ð
€
„p „˜þ^„p
`„˜þOJ QJ ^J o(
o
€
„@
„˜þ^„@
`„˜þOJ QJ o(
§ð
€
„
h
„˜þ^„
`„˜þOJ QJ o(
·ð
€
o(
o
€
„° „˜þ^„° `„˜þOJ QJ
„€ „˜þ^„€ `„˜þOJ QJ
`„˜þOJ QJ ^J o(
o
„
„˜þ^„ `„˜þOJ QJ
„à
o(
o(
§ð
·ð
€
€
„˜þ^„à `„˜þOJ
„P
€
o(
§ð
„
QJ
^J
„˜þ^„P
„˜þ^„
`„˜þo(
.
€
„Ü
„¬
„˜þ^„|
`„˜þ
.
€
„Lÿ^„¬ `„Lÿ
.
„L
„˜þ^„Ü `„˜þ
€
.
‚
„|
„˜þ^„L
`„˜þ
.
‚
„ì
„˜þ^„ì `„˜þ
.
^„¼ `„˜þ
.
‚
„Ð „˜þ^„Ð `„˜þo(
„
„˜þ^„ `„˜þ‡h
ˆH
.
„p „Lÿ^„p `„Lÿ‡h
ˆH
.
„@
„˜þ^„@
`„˜þ‡h
ˆH
.
€
„
„
„Lÿ^„ `„Lÿ
.
€
„Œ „Lÿ^„Œ `„Lÿ
.
€
‚
€
€
„¼
.
„˜þ
„˜þ^„
`„˜þ‡h
„à
„°
„€
„P
„
„¨
ˆH
„Lÿ^„à
„˜þ^„°
„˜þ^„€
„Lÿ^„P
„˜þ^„
„˜þ^„Ø
.
‚
`„Lÿ‡h
ˆH
.
`„˜þ‡h
ˆH
.
`„˜þ‡h
ˆH
.
`„Lÿ‡h
ˆH
.
`„˜þOJ QJ o(
·ð
`„˜þOJ QJ ^J o(
€
€
‚
€
o
„Ø
€
„˜þ^„¨
`„˜þOJ QJ o(
§ð
„x „˜þ^„x `„˜þOJ
`„˜þOJ QJ ^J o(
„
„˜þ^„ `„˜þOJ
„è „˜þ^„è `„˜þOJ
`„˜þOJ QJ ^J o(
„ˆ „˜þ^„ˆ `„˜þOJ
8 ^„8 `„˜þ^J o(
„ `„˜þ^J
.
.
„˜þ Æ
@
^„@
`„˜þ^J
.
€
QJ
o(
o
QJ
QJ
o(
o(
o
€
„H
„˜þ^„H
§ð
·ð
€
€
„¸
„˜þ^„¸
€
QJ
(
·ð
€
o(
§ð
Ð
)
Ð
Ð
Ð
„p
„@
Ð
„
„
„Lÿ Æ
p
„8 „˜þ Æ
„˜þ Æ
^
^„p `„Lÿ^J
„˜þ Æ
^„
`„˜þ^J
.
.
Ð
Ð
Ð
8
„P „Lÿ Æ
„˜þ^„8 `„˜þo(
‚
`„Lÿ
.
„€
P
.
€
„à „Lÿ Æ
à ^„à `„Lÿ^J
„° „˜þ Æ
° ^„° `„˜þ^J
.
„˜þ Æ
€ ^„€ `„˜þ^J
.
^„P `„Lÿ^J
.
€
„
„˜þ^„ `„˜þ
„Ø
„Lÿ^„Ø
„¨
Ð
„
.
„˜þ^„¨
`„˜þ
.
€
„H
„Lÿ^„H `„Lÿ
.
^„ `„˜þ
.
€
„¸ „Lÿ^„¸ `„Lÿ
„˜þ Æ
Ð ^„Ð `„˜þ^J o(
.
^„ `„˜þ^J
.
ÿ^J
.
„˜þ Æ
@
^„@
`„˜þ5 ^J
.
„x
„˜þ^„x `„˜þ
.
€
„è „˜þ^„è `„˜þ
‚
„
.
.
„
„p
„@
„
„Lÿ Æ
p
„˜þ
‚
„Ð
„˜þ Æ
^„p `„L
„˜þ Æ
^„
`„˜þ^J
.
„
„¨
.
„à „Lÿ Æ
à ^„à `„Lÿ^J
„° „˜þ Æ
° ^„° `„˜þ^J
.
„€ „˜þ Æ
€ ^„€ `„˜þ^J
.
„P „Lÿ Æ
P ^„P `„Lÿ^J
.
„˜þ^„ `„˜þOJ QJ o(
·ð
€
„Ø
„˜þ^„Ø
`„˜þOJ QJ ^J o(
o
€
„˜þ^„¨
`„˜þOJ
„x
`„˜þOJ
„
„è
`„˜þOJ
„ˆ
`„˜þOJ
€
€
€
„˜þ^„@
`„˜þOJ
QJ o(
§ð
€
„˜þ^„x `„˜þOJ QJ o(
·ð
€
QJ ^J o(
o
€
„˜þ^„ `„˜þOJ QJ o(
§ð
€
„˜þ^„è `„˜þOJ QJ o(
·ð
€
QJ ^J o(
o
€
„˜þ^„ˆ `„˜þOJ QJ o(
§ð
PJ QJ ^J o(
„
„˜þ^„ `„˜þOJ
„p „˜þ^„p `„˜þOJ
„@
QJ
o( ‡h
ˆH
·ð
€
h
QJ
QJ
„H
„˜þ^„H
„¸
„˜þ^„¸
„Ð
„˜þ^„Ð
^J o( ‡h
o( ‡h
ˆH
„
ˆH
§ð
o
„˜þ^„
`„˜þOJ QJ ^J o( ‡h
ˆH
o
`„˜þOJ QJ o( ‡h
ˆH
§ð
€
OJ QJ o( ‡h
ˆH
·ð
€
QJ ^J o( ‡h
ˆH
o
€
QJ o( ‡h
ˆH
§ð
€
„
„˜þ^„ `„˜þ‡h
ˆH
.
„p „Lÿ^„p `„Lÿ‡h
ˆH
.
„@
„˜þ^„@
`„˜þ‡h
ˆH
.
€
„
€
„Ð
‚
€
„à „˜þ^„à
„° „˜þ^„° `„˜þ
„€ „˜þ^„€ `„˜þOJ
„P „˜þ^„P `„˜þOJ
„˜þ^„Ð `„˜þo(
.
„˜þ^„
`„˜þ‡h
ˆH
„à „Lÿ^„à
„° „˜þ^„°
„€ „˜þ^„€
„P „Lÿ^„P
Ð `„˜þo(
)
„
„˜þ^„
„p „Lÿ^„p
„@
„˜þ^„@
`„˜þ‡h
ˆH
„
.
`„Lÿ‡h
`„˜þ‡h
`„˜þ‡h
`„Lÿ‡h
€
`„˜þ‡h
`„Lÿ‡h
.
‚
ˆH
ˆH
ˆH
ˆH
.
.
.
.
€
€
‚
ˆH
ˆH
.
.
‚
€
€
„Ð
„˜þ^„
„˜þ^„
`„˜þ‡h
ˆH
.
‚
„à „Lÿ^„à `„Lÿ‡h
ˆH
„° „˜þ^„° `„˜þ‡h
ˆH
„€ „˜þ^„€ `„˜þ‡h
ˆH
„P „Lÿ^„P `„Lÿ‡h
ˆH
â `„˜þOJ QJ o( ‡h
ˆH
·ð
˜þOJ QJ ^J o( ‡h
ˆH
o
„˜þ^„‚
`„˜þOJ QJ o( ‡h
ˆH
§ð
.
.
.
.
€
€
‚
h
•
•
•
h
h
h
„²
„‚
„R
„â „˜þ^„
„˜þ^„² `„
„˜þ^„R
`„˜þOJ QJ o( ‡h
ˆH
·ð
OJ QJ ^J o( ‡h
ˆH
o
OJ QJ o( ‡h
ˆH
§ð
•
QJ o( ‡h
ˆH
·ð
•
^J o( ‡h
ˆH
o
•
o( ‡h
ˆH
§ð
„Ð „˜þ^„Ð `„˜þo( ‡h
ˆH
„
„˜þ^„ `„˜þ‡h
ˆH
„p „Lÿ^„p `„Lÿ‡h
ˆH
„@
„˜þ^„@
`„˜þ‡h
ˆH
.
€
„
•
•
h
h
h
h
h
„’
„b
.
.
.
€
‚
€
„" „˜þ^„" `„˜þ
„ò „˜þ^„ò `„˜þ
„ „˜þ^„ `„˜þOJ
„˜þ^„’ `„˜þOJ QJ
„˜þ^„b `„˜þOJ QJ
„˜þ^„
`„˜þ‡h
ˆH
„à „Lÿ^„à
„° „˜þ^„°
„€ „˜þ^„€
„P „Lÿ^„P
Ð `„˜þo(
.
„˜þ^„@
`„˜þ
.
.
`„Lÿ‡h
`„˜þ‡h
`„˜þ‡h
`„Lÿ‡h
€
„p
€
‚
ˆH
ˆH
ˆH
ˆH
.
.
.
.
€
€
‚
„
„Lÿ^„p `„Lÿ
.
„
„˜þ^„
€
`„˜þ
„Ð
.
„˜þ^„
‚
„@
„˜þ^„
`„˜þ
.
^„€ `„˜þ
„p „Lÿ Æ
„˜þ Æ
@
^„@
`„˜þ^J
‚
„°
.
„
p
.
„à „Lÿ^„à `„Lÿ
.
„˜þ^„° `„˜þ
.
€
‚
„P „Lÿ^„P `„Lÿ
„Ð „˜þ Æ
Ð ^„Ð `„˜þ^J o(
.
„˜þ Æ
^„ `„˜þ^J
.
^„p `„Lÿ^J
.
„
€
„€
.
„@
„˜þ
„˜þ Æ
^„
`„˜þ^J
.
8
.
„à „Lÿ Æ
à ^„à `„Lÿ^J
„° „˜þ Æ
° ^„° `„˜þ^J
.
„€ „˜þ Æ
€ ^„€ `„˜þ^J
.
„P „Lÿ Æ
P ^„P `„Lÿ^J
.
„˜þ^„8 `„˜þo(
.
€
„
„˜þ^„ `„˜þ‡h
ˆH
.
‚
„Ø
„Lÿ^„Ø
`„Lÿ‡h
ˆH
.
€
„¨
„
„˜þ^„¨
`„˜þ‡h
„x
„H
„
„è
„¸
„
„¨
ˆH
„˜þ^„x
„Lÿ^„H
„˜þ^„
„˜þ^„è
„Lÿ^„¸
„˜þ^„
„˜þ^„Ø
.
€
`„˜þ‡h
ˆH
.
`„Lÿ‡h
ˆH
.
`„˜þ‡h
ˆH
.
`„˜þ‡h
ˆH
.
`„Lÿ‡h
ˆH
.
`„˜þOJ QJ o(
·ð
`„˜þOJ QJ ^J o(
‚
€
€
‚
€
o
„Ø
€
„˜þ^„¨
`„˜þOJ
„x
`„˜þOJ
„
„è
`„˜þOJ
„ˆ
`„˜þo(
„
„p
„@
„˜þ^„@
`„˜þ‡h
„
QJ o(
§ð
€
„˜þ^„x `„˜þOJ QJ o(
QJ ^J o(
o
€
„˜þ^„ `„˜þOJ QJ o(
„˜þ^„è `„˜þOJ QJ o(
QJ ^J o(
o
€
„˜þ^„ˆ `„˜þOJ QJ o(
.
€
„˜þ^„ `„˜þ‡h
ˆH
„Lÿ^„p `„Lÿ‡h
ˆH
ˆH
.
€
·ð
€
„H
„˜þ^„H
§ð
·ð
€
€
„¸
„˜þ^„¸
„Ð
„˜þ^„Ð
§ð
.
.
‚
€
„˜þ^„
`„˜þ‡h
ˆH
.
„à „Lÿ^„à `„Lÿ‡h
„° „˜þ^„° `„˜þ‡h
„€ „˜þ^„€ `„˜þ‡h
„P „Lÿ^„P `„Lÿ‡h
^„ `„˜þ^J o(
p `„˜þ5 6 OJ PJ QJ
„Lÿ Æ
@
^„@
`„Lÿ^J
.
‚
ˆH
ˆH
ˆH
ˆH
.
o(
.
.
.
.
€
€
‚
„p
àð
„
„
„˜þ Æ
„@
„˜þ Æ
p ^„
„˜þ Æ
^„
`„˜þ5
.
^J
.
„P
„
„Lÿ Æ
`„Lÿ^J
„€
P
„p
„˜þ^„p `„˜þ
.
„
€
„@
„Lÿ^„@
`„Lÿ
.
„˜þ Æ
^„
„à „˜þ Æ
à ^„à `„˜þ^J
„° „Lÿ Æ
° ^„° `„Lÿ^J
.
„˜þ Æ
€ ^„€ `„˜þ^J
.
^„P `„˜þ^J
.
€
.
„
„˜þ^„
‚
`„˜þo(
.
„˜þ^„
`„˜þ
.
^„€ `„˜þ
`„Lÿ
€
„°
.
„à
„Lÿ^„° `„Lÿ
€
„
„Lÿ^„
.
.
„
„p
„Lÿ^„@
`„Lÿ
.
€
„˜þ^„p `„˜þ
.
„
„˜þ^„à `„˜þ
.
€
„P „˜þ^„P `„˜þ
„˜þ^„
‚
`„˜þo(
‚
„€
.
.
„˜þ
‚
€
„@
„˜þ^„
`„˜þ
.
^„€ `„˜þ
`„Lÿ
.
·ð
o
„˜þ^„‚
`„˜þOJ QJ
H
H
€
„°
.
•
•
o( ‡h
„à
„Lÿ^„° `„Lÿ
€
„
„Lÿ^„
h
h
h
ˆH
§ð
.
„²
„‚
•
„˜þ^„à `„˜þ
.
€
„P „˜þ^„P `„˜þ
„â „˜þ^„â `„˜þOJ
„˜þ^„² `„˜þOJ QJ
h
‚
„€
.
QJ
^J
„R
o( ‡h
o( ‡h
„˜þ
‚
ˆ
ˆ
„˜þ^„R
`„˜þOJ QJ o( ‡h
ˆH
·ð
•
OJ QJ ^J o( ‡h
ˆH
o
•
OJ QJ o( ‡h
ˆH
§ð
•
QJ o( ‡h
ˆH
·ð
•
^J o( ‡h
ˆH
o
•
o( ‡h
ˆH
§ð
€
„
„˜þ^„
„Ø „Lÿ^„Ø
`„Lÿ
.
€
h
h
h
h
h
„8
`„˜þ
.
„" „˜þ^„" `„˜þ
„ò „˜þ^„ò `„˜þ
„ „˜þ^„ `„˜þOJ
„’ „˜þ^„’ `„˜þOJ QJ
„b „˜þ^„b `„˜þOJ QJ
„˜þ^„8 `„˜þo(
.
‚
„¨
„˜þ^„¨
`„˜þ
.
€
„H
„Lÿ^„H `„Lÿ
.
^„ `„˜þ
.
€
„¸ „Lÿ^„¸ `„Lÿ
„˜þ Æ
8 ^„8 `„˜þ^J o(
(
)
^„ `„˜þ^J
.
„Lÿ^J
.
„˜þ Æ
@
^„@
`„˜þ^J
.
„x
„˜þ^„x `„˜þ
.
€
„è „˜þ^„è `„˜þ
‚
„
.
.
„
„p
„@
„
„Lÿ Æ
p
„˜þ
‚
„8
„˜þ Æ
^„p `
„˜þ Æ
^„
`„˜þ^J
.
.
„P „Lÿ Æ
Ð „˜þ^„Ð `„˜þo(
‚
„@
„˜þ^„@
`„˜þ
.
€
„€
P
)
„à „Lÿ Æ
à ^„à `„Lÿ^J
„° „˜þ Æ
° ^„° `„˜þ^J
.
„˜þ Æ
€ ^„€ `„˜þ^J
.
^„P `„Lÿ^J
.
€
„
„˜þ^„ `„˜þ
„p „Lÿ^„p `„Lÿ
.
€
„
„
.
„˜þ^„
`„˜þ
.
^„€ `„˜þ
„p „Lÿ Æ
„˜þ Æ
@
^„@
`„˜þ^J
‚
„°
.
„
p
.
„à „Lÿ^„à `„Lÿ
.
„˜þ^„° `„˜þ
.
€
‚
„P „Lÿ^„P `„Lÿ
„Ð „˜þ Æ
Ð ^„Ð `„˜þ^J o(
)
„˜þ Æ
^„ `„˜þ^J
.
^„p `„Lÿ^J
.
„
€
„€
.
„@
„˜þ
„˜þ Æ
^„
`„˜þ^J
.
Û
.
„à „Lÿ Æ
à ^„à `„Lÿ^J
„° „˜þ Æ
° ^„° `„˜þ^J
.
„€ „˜þ Æ
€ ^„€ `„˜þ^J
.
„P „Lÿ Æ
P ^„P `„Lÿ^J
.
„
„õû Æ
Û ^„Û `„õû^J o(
)
„
„˜þ Æ
^„ `„˜þ^J
.
„Ø
„Lÿ Æ
Ø ^„Ø
`„Lÿ^J
.
„¨
„˜þ Æ
¨
^„¨
`„˜þ^J
.
¸
8
.
„x „˜þ Æ
x ^„x `„˜þ^J
„Lÿ Æ
H ^„H `„Lÿ^J
.
„
„˜þ Æ
^„ `„˜þ^J
.
„è „˜þ Æ
è ^„è `„˜þ^J
.
„
„Lÿ Æ
¸ ^„¸ `„Lÿ^J
.
„8 „˜þ Æ
^„8 `„˜þ^J o(
)
„«
„õû Æ
« ^„«
`„õû^J o(
.
„Ø
„Lÿ Æ
Ø ^„Ø
`„Lÿ^J
.
„¨
„H
„˜þ Æ
¨
^„¨
`„˜þ^J
.
.
„x „˜þ Æ
x ^„x `„˜þ^J
„Lÿ Æ
H ^„H `„Lÿ^J
.
„
„˜þ Æ
^„ `„˜þ^J
.
„è „˜þ Æ
è ^„è `„˜þ^J
.
„
¸ „Lÿ Æ
¸ ^„¸ `„Lÿ^J
.
h
„â „˜þ^„â `
„˜þOJ QJ o( ‡h
ˆH
·ð
•
h
„² „˜þ^„² `„˜þO
J QJ ^J o( ‡h
ˆH
o
•
h
„‚
„˜þ^„‚
`„˜þOJ QJ o( ‡h
ˆH
§ð
•
h
„R
„H
„˜þ^„R
`„˜þOJ QJ o( ‡h
ˆH
·ð
OJ QJ ^J o( ‡h
ˆH
o
OJ QJ o( ‡h
ˆH
§ð
•
QJ o( ‡h
ˆH
·ð
•
^J o( ‡h
ˆH
o
•
o( ‡h
ˆH
§ð
)
h
h
„@
„Lÿ Æ
@
^„@
`„Lÿ^J
.
h
•
•
h
h
h
h
h
h
„p
„˜þ Æ
„
„
p
„" „˜þ^„" `„˜þ
„ò „˜þ^„ò `„˜þ
„ „˜þ^„ `„˜þOJ
„’ „˜þ^„’ `„˜þOJ QJ
„b „˜þ^„b `„˜þOJ QJ
„˜þ Æ
^„ `„˜þ^J
^„p `„˜þ5 ^J
.
„˜þ Æ
^„
`„˜þ^J
.
.
h
h
h
„P
„Lÿ Æ
`„Lÿ^J
„€
P
„˜þ Æ
^„
.
„
€
„² „Lÿ^„² `„Lÿ
„˜þ^„‚
`„˜þ
.
€
„à „˜þ Æ
à ^„à `„˜þ^J
„° „Lÿ Æ
° ^„° `„Lÿ^J
.
„˜þ Æ
€ ^„€ `„˜þ^J
.
^„P `„˜þ^J
.
h
„â
.
„˜þ^„â `„˜þ
€
.
„R
„˜þ^„
‚
„‚
`„˜þo(
.
h
„
„˜þ^„R
`„˜þ
.
‚
„ò
„˜þ^„ò `„˜þ
.
^„ `„˜þ
.
‚
„
„˜þ^„ `„˜þo(
„â „˜þ^„â `„˜þ‡h
ˆH
.
„² „Lÿ^„² `„Lÿ‡h
ˆH
.
„‚
„˜þ^„‚
`„˜þ‡h
ˆH
.
€
„R
„"
‚
€
„Lÿ^„" `„Lÿ
.
€
„’ „Lÿ^„’ `„Lÿ
.
€
€
„Â
.
„˜þ
„˜þ^„R
`„˜þ‡h
ˆH
„" „Lÿ^„"
„ò „˜þ^„ò
„ „˜þ^„Â
„’ „Lÿ^„’
Ð `„˜þo(
.
„˜þ^„@
`„˜þ
.
.
`„Lÿ‡h
`„˜þ‡h
`„˜þ‡h
`„Lÿ‡h
€
„p
€
‚
ˆH
ˆH
ˆH
ˆH
.
.
.
.
€
€
‚
„
„Lÿ^„p `„Lÿ
.
„
„˜þ^„
€
`„˜þ
„Ð
.
„˜þ^„
‚
„@
„˜þ^„
`„˜þ
.
‚
„°
„˜þ^„° `„˜þ
.
^„€ `„˜þ
.
‚
„
„˜þ^„ `„˜þo(
„â „˜þ^„â `„˜þ‡h
ˆH
.
„² „Lÿ^„² `„Lÿ‡h
ˆH
.
„‚
„˜þ^„‚
`„˜þ‡h
ˆH
.
€
„R
„à
‚
€
„Lÿ^„à `„Lÿ
.
€
„P „Lÿ^„P `„Lÿ
.
€
€
„€
.
„˜þ
„˜þ^„R
`„˜þ‡h
ˆH
.
‚
„" „Lÿ^„" `„Lÿ‡h
ˆH
„ò „˜þ^„ò `„˜þ‡h
ˆH
„ „˜þ^„ `„˜þ‡h
ˆH
„’ „Lÿ^„’ `„Lÿ‡h
ˆH
`„˜þOJ QJ o( ‡h
ˆH
·ð
˜þOJ QJ ^J o( ‡h
ˆH
o
„˜þ^„@
`„˜þOJ QJ o( ‡h
ˆH
§ð
.
.
.
.
€
€
‚
h
•
•
•
h
h
h
„p
„@
„
„
„˜þ^„
„˜þ^„p `„
„˜þ^„
`„˜þOJ QJ o( ‡h
ˆH
·ð
OJ QJ ^J o( ‡h
ˆH
o
OJ QJ o( ‡h
ˆH
§ð
•
QJ o( ‡h
ˆH
·ð
•
^J o( ‡h
ˆH
o
•
`„˜þOJ QJ o( ‡h
ˆH
§ð
þo(
.
€
„p „Lÿ^„p `„Lÿ
„˜þ^„@
`„˜þ
.
€
•
•
h
h
h
h
h
„
.
„
„˜þ^„
€
„à „˜þ^„à `„˜þ
„° „˜þ^„° `„˜þ
„€ „˜þ^„€ `„˜þOJ
„P „˜þ^„P `„˜þOJ QJ
„
„˜þ^„
„Ð „˜þ^„Ð `„˜
`„˜þ
.
‚
„@
„˜þ^„
`„˜þ
.
‚
„°
„˜þ^„° `„˜þ
.
^„€ `„˜þ
.
‚
„
„˜þ^„ `„˜þo(
„â „˜þ^„â `„˜þ‡h
ˆH
.
„² „Lÿ^„² `„Lÿ‡h
ˆH
.
„‚
„˜þ^„‚
`„˜þ‡h
ˆH
.
€
„R
„à
‚
€
„Lÿ^„à `„Lÿ
.
€
„P „Lÿ^„P `„Lÿ
.
€
€
„€
.
„˜þ
„˜þ^„R
`„˜þ‡h
„"
„ò
„Â
„’
ˆH
„Lÿ^„"
„˜þ^„ò
„˜þ^„Â
„Lÿ^„’
.
`„Lÿ‡h
`„˜þ‡h
`„˜þ‡h
`„Lÿ‡h
‚
ˆH
ˆH
ˆH
ˆH
.
.
.
.
€
€
‚
„
„˜þ^„
`„˜þo(
.
€
„Ü
„¬
„˜þ^„|
`„˜þ
.
€
„Lÿ^„¬ `„Lÿ
.
„L
„˜þ^„Ü `„˜þ
€
.
‚
„|
„˜þ^„L
`„˜þ
.
^„¼ `„˜þ
„
‚
„ì
.
„˜þ^„ `„˜þ
`„Lÿ
.
„
„˜þ^„ì `„˜þ
.
‚
„8 „˜þ^„8 `„˜þo(
.
‚
€
„Lÿ^„ `„Lÿ
.
€
€
„¼
„Œ „Lÿ^„Œ `„Lÿ
.
.
€
„Ø
„Lÿ^„Ø
„¨
„˜þ
„˜þ^„¨
`„˜þ
.
€
„H
„Lÿ^„H `„Lÿ
.
^„ `„˜þ
.
€
„¸ „Lÿ^„¸ `„Lÿ
„0ý^„ `„0ýo(
.
€
„
„˜þ^„ `„˜þ‡h
ˆH
.
„Ø
„Lÿ^„Ø
`„Lÿ‡h
ˆH
„¨
„x
„˜þ^„x `„˜þ
.
€
„è „˜þ^„è `„˜þ
.
‚
.
€
‚
„
.
„˜þ
‚
„
„˜þ^„¨
`„˜þ‡h
ˆH
.
€
„x „˜þ^„x `„˜þ‡h
ˆH
„H „Lÿ^„H `„Lÿ‡h
ˆH
„
„˜þ^„ `„˜þ‡h
ˆH
„è „˜þ^„è `„˜þ‡h
ˆH
„¸ „Lÿ^„¸ `„Lÿ‡h
ˆH
â `„˜þOJ QJ o( ‡h
ˆH
·ð
˜þOJ QJ ^J o( ‡h
ˆH
o
„˜þ^„‚
`„˜þOJ QJ o( ‡h
ˆH
§ð
.
.
.
.
.
‚
€
€
‚
h
•
•
•
h
h
h
„²
„‚
„R
„â „˜þ^„
„˜þ^„² `„
„˜þ^„R
`„˜þOJ QJ o( ‡h
ˆH
·ð
OJ QJ ^J o( ‡h
ˆH
o
OJ QJ o( ‡h
ˆH
§ð
•
QJ o( ‡h
ˆH
·ð
•
^J o( ‡h
ˆH
o
•
o( ‡h
ˆH
§ð
„
p `„Lÿ
.
„˜þ^„@
`„˜þ
.
„˜þ^„
€
€
`„˜þ
•
•
h
h
h
h
h
„Ð
.
„’
„b
„˜þ^„Ð `„˜þo(
‚
„@
„
„" „˜þ^„" `„˜þ
„ò „˜þ^„ò `„˜þ
„ „˜þ^„ `„˜þOJ
„˜þ^„’ `„˜þOJ QJ
„˜þ^„b `„˜þOJ QJ
.
€
„p
„Lÿ^„
„˜þ^„
`„˜þ
.
‚
„°
„˜þ^„° `„˜þ
.
^„€ `„˜þ
.
‚
„Ð „˜þ^„Ð `„˜þo(
„
„˜þ^„ `„˜þ‡h
ˆH
.
„p „Lÿ^„p `„Lÿ‡h
ˆH
.
„@
„˜þ^„@
`„˜þ‡h
ˆH
.
€
„
„à
‚
€
„Lÿ^„à `„Lÿ
.
€
„P „Lÿ^„P `„Lÿ
.
€
€
„€
.
„˜þ
„˜þ^„
`„˜þ‡h
ˆH
„à „Lÿ^„à
„° „˜þ^„°
„€ „˜þ^„€
„P „Lÿ^„P
`„˜þo(
.
„â „˜þ^„â
„² „Lÿ^„²
„‚
„˜þ^„‚
`„˜þ‡h
ˆH
„R
.
`„Lÿ‡h
`„˜þ‡h
`„˜þ‡h
`„Lÿ‡h
€
`„˜þ‡h
`„Lÿ‡h
.
‚
ˆH
ˆH
ˆH
ˆH
.
.
.
.
€
€
‚
ˆH
ˆH
.
.
‚
€
€
„
„˜þ^„
„˜þ^„R
`„˜þ‡h
ˆH
.
„" „Lÿ^„" `„Lÿ‡h
„ò „˜þ^„ò `„˜þ‡h
„ „˜þ^„ `„˜þ‡h
„’ „Lÿ^„’ `„Lÿ‡h
Ð ^„Ð `„˜þ^J o(
^„ `„˜þ^J
.
.
„˜þ Æ
@
^„@
`„˜þ^J
.
‚
ˆH
ˆH
ˆH
ˆH
(
.
.
.
.
€
€
‚
)
„p
„@
„
„Lÿ Æ
„
p
„Ð „˜þ Æ
„˜þ Æ
^„p `„Lÿ^J
„˜þ Æ
^„
`„˜þ^J
.
.
„P „Lÿ Æ
¤ „˜þ^„¤ `„˜þo(
‚
„
„˜þ^„
`„˜þ
.
€
„€
P
.
„à „Lÿ Æ
à ^„à `„Lÿ^J
„° „˜þ Æ
° ^„° `„˜þ^J
.
„˜þ Æ
€ ^„€ `„˜þ^J
.
^„P `„Lÿ^J
.
€
„t „˜þ^„t `„˜þ
„D „Lÿ^„D `„Lÿ
.
€
„ä
„
.
„˜þ^„ä
`„˜þ
.
^„T `„˜þ
`„˜þ
‚
„„
.
.
„´
„˜þ^„„ `„˜þ
‚
„Ø „˜þ^„Ø
€
.
„Lÿ^„´ `„Lÿ
.
€
„$ „Lÿ^„$ `„Lÿ
„¨
€
„T
.
„˜þ
„˜þ^„¨
`„˜þ
^„
.
`„˜þ
‚
„H
.
„˜þ^„ˆ `„˜þ
`„Lÿ
.
„
„˜þ^„
„˜þ^„Ø
„¨
.
„x
„˜þ^„H `„˜þ
.
‚
„¸ „˜þ^„¸ `„˜þ
‚
`„˜þOJ QJ o(
·ð
`„˜þOJ QJ ^J o(
.
€
o
„Lÿ^„x `„Lÿ
.
€
„è „Lÿ^„è `„Lÿ
€
„X „Lÿ^„X
€
„
.
„Ø
€
„˜þ
€
„ˆ
„˜þ^„¨
`„˜þOJ
„x
`„˜þOJ
„
„è
`„˜þOJ
„ˆ
`„˜þo(
QJ o(
§ð
€
„˜þ^„x `„˜þOJ QJ o(
·ð
QJ ^J o(
o
€
„˜þ^„ `„˜þOJ QJ o(
§ð
„˜þ^„è `„˜þOJ QJ o(
·ð
QJ ^J o(
o
€
„˜þ^„ˆ `„˜þOJ QJ o(
§ð
.
€
„p „Lÿ^„p `„Lÿ
„˜þ^„@
`„˜þ
.
€
€
„H
„˜þ^„H
€
€
„¸
„˜þ^„¸
„Ð
„˜þ^„Ð
‚
„@
„
.
„
„˜þ^„
€
`„˜þ
.
„˜þ^„
`„˜þ
^„€ `„˜þ
.
‚
„°
.
„p „˜þ^„p `„˜þ
„Lÿ^„@
`„Lÿ
.
€
„à
„˜þ^„° `„˜þ
.
‚
„
„˜þ^„ `„˜þo(
.
‚
„
„Lÿ^„à `„Lÿ
.
€
„P „Lÿ^„P `„Lÿ
.
€
„@
€
„€
.
„˜þ
„˜þ^„
`„˜þ
.
^„€ `„˜þ
`„Lÿ
€
„°
.
„à
„Lÿ^„° `„Lÿ
€
„
„Lÿ^„
.
.
„Lÿ^„Ø
„8
„
`„Lÿ
„˜þ^„
.
`„˜þ
€
.
„˜þ^„à `„˜þ
.
€
„P „˜þ^„P `„˜þ
„˜þ^„8 `„˜þo(
‚
„¨
‚
„€
.
.
„˜þ
‚
€
„Ø
„˜þ^„¨
`„˜þ
^„
.
`„˜þ
„
„¨
€
„H
.
„˜þ^„
„˜þ^„Ø
„Lÿ^„H `„Lÿ
.
€
„¸ „Lÿ^„¸ `„Lÿ
`„˜þOJ QJ o(
·ð
`„˜þOJ QJ ^J o(
„x
.
€
o
„˜þ^„x `„˜þ
.
€
„è „˜þ^„è `„˜þ
‚
„
.
„Ø
€
„˜þ
‚
„˜þ^„¨
`„˜þOJ
„x
`„˜þOJ
„
„è
`„˜þOJ
„ˆ
`„˜þo(
„
„p
„@
„˜þ^„@
`„˜þ‡h
„
QJ o(
§ð
€
„˜þ^„x `„˜þOJ QJ o(
QJ ^J o(
o
€
„˜þ^„ `„˜þOJ QJ o(
„˜þ^„è `„˜þOJ QJ o(
QJ ^J o(
o
€
„˜þ^„ˆ `„˜þOJ QJ o(
.
€
„˜þ^„ `„˜þ‡h
ˆH
„Lÿ^„p `„Lÿ‡h
ˆH
ˆH
.
€
·ð
€
„H
„˜þ^„H
§ð
·ð
€
€
„¸
„˜þ^„¸
„Ð
„˜þ^„Ð
§ð
.
.
‚
€
„˜þ^„
`„˜þ‡h
ˆH
„à „Lÿ^„à
„° „˜þ^„°
„€ „˜þ^„€
„P „Lÿ^„P
Ð `„˜þo(
.
„
„˜þ^„
„p „Lÿ^„p
„@
„˜þ^„@
`„˜þ‡h
ˆH
„
.
`„Lÿ‡h
`„˜þ‡h
`„˜þ‡h
`„Lÿ‡h
€
`„˜þ‡h
`„Lÿ‡h
.
‚
ˆH
ˆH
ˆH
ˆH
.
.
.
.
€
€
‚
ˆH
ˆH
.
.
‚
€
€
„Ð
„˜þ^„
„˜þ^„
`„˜þ‡h
ˆH
„à „Lÿ^„à
„° „˜þ^„°
„€ „˜þ^„€
„P „Lÿ^„P
`„˜þo(
.
„â „˜þ^„â
„² „Lÿ^„²
„‚
„˜þ^„‚
`„˜þ‡h
ˆH
„R
.
`„Lÿ‡h
`„˜þ‡h
`„˜þ‡h
`„Lÿ‡h
€
`„˜þ‡h
`„Lÿ‡h
.
‚
ˆH
ˆH
ˆH
ˆH
.
.
.
.
€
€
‚
ˆH
ˆH
.
.
‚
€
€
„
„˜þ^„
„˜þ^„R
`„˜þ‡h
„"
„ò
„Â
„’
ˆH
„Lÿ^„"
„˜þ^„ò
„˜þ^„Â
„Lÿ^„’
Ëh
.
`„Lÿ‡h
`„˜þ‡h
`„˜þ‡h
`„Lÿ‡h
6
‚
ˆH
ˆH
ˆH
ˆH
.
.
.
. >
H öv
€
€
‚
zqN
ÈiÐ
x ·s
•Ïi
æ;
ús™t
DË ë'
Ÿj=\
ø?½
$T_]
%‡^
q
ç /t
ßz
*
ä|
ñ ÿ+
39¬K
zN¦S
ô •
F
ól =
¥ ^;{
™~d
’,¯=
Äg2
u +]
«bDJ
hAö|
ò
(+èS
!|C
íXBS
8.¯i
n&˜
°•µ
ˆf
„w^m
Ì%Ú
_g.
-W41
T@¿~
¿?ýj
ªh‹Y
¨ "
•Vßyb$<
:oØ
å u
Té2
< ¡=
›[ùp
G
ó b
œoáJ
ÇlÈ=
™UO
…X€
©-·
{+´(
ë ÛE
D=¿
çNC_
ÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿ
ÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿ
ÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿ
ÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿ>
!
!
!
!
!
!
!
!
!
!
!
!
!
!
!
!
!
$*
!
!
!
!
!
!
!
6Ñ~Ç !
!
!
¶èø\
!
!
!
!
!
!
!
!
ˆ–†2
ž}"
!
!
!
!
ÒØ \
!
!
!
¯>y
!
!
!
!
ι|‘ !
!
!
!
!
!
ÿÿ>
!
!
!
!
!
!
!
!
!
!
!
!
!
!
!
!
!
!
!
!
!
!
!
!
!
!
!
•rÒ
!
!
!
!
!
!
!
!
!
!
!
!
!
!
!
!
!
(Ûê¦ !
!
!
!
!
!
!
!
!
!
!
!
ªøbô
!
!
!
!
!
!
:zø¢ !
!
!
!
!
!
!
!
!
!
!
!
!
!
!
!
!
!
!
!
!
!
!
!
!
!
¯>y !
!
!
!
F¶ !
!
!
!
!
!
!
!
!
!
!
!
!
!
!
!
!
!
!
!
!
!
!
!
h¾P\ !
!
!
!
!
!
!
ˆ–†2
!
!
!
!
!
!
!
!
!
!
!
!
!
!
!
!
!
!
!
!
!
!
!
!
!
!
!
†÷””!v¨
´ÞB !
ôfºú
!
!
!
!
!
!
!
!
!
!
!
!
£J
!
!
!
!
!
!
!
à úM
!
8•
!
!
\ ^
f@Êg !
!
!
!
!
!
!
!
1 # !
!
!
!
!
!
´a ¿ !
!
!
!
!
!
!
!
Ì“’® !
!
!
!
!
!
!
!
!
!
!
!
!
!
!
!
´a ¿ !
!
!
!
!
!
!
Sè
!
!
!
!
!
!
!
!
È
Öj !
!
!
!
!
!
!
!
Çlf !
!
!
!
!
!
!
!
Näb‰
!
!
!
!
!
!
!
!
!
!
!
!
!
!
!
!
!
!
!
!
!
!
!
!
!
!
!
¢¼
!
!
!
!
!
!
!
!
deBB
d‘¶ô !
!
!
!
!
!
!
!
!
!
!
!
!
!
!
!
!
!
!
!
!
!
!
!
!
!
!
!
!
!
!
!
!
!
!
Ή: !
!
!
!
!
!
!
!
neƾ !
!
!
!
!
!
!
!
!
!
!
!
!
!
!
!
!
!
!
!
!
!
!
!
!
!
!
!
!
!
!
!
!
!
!
ìäÂð !
!
!
!
!
!
!
!
å
r
å4 -v —
M6
©w
H+
›
øR
ô
ë~
‹m
Â
÷
Q*
^0
åR
ä
Q@ Ùl Hb Ô
Òk
- ÁP$ a"% ž3% Öy& Ð|' ,T, Ío, «gŠg1 Ð?2 J3 - ; ¨:; í(= Rj> @$A ògA ÒlJ í*K Þ L ŽIM ‹[M
N " P ÷ZT , U
•aU Ö V ¼ Y Ä Z ±8[ ;T] ˜ ^ ^
` ª d ñ e ›Rf /h “•h ó)i -%l ýTl ( r ‹:r 2Qs â`u ,Qv Gw ,y Å=| =X
} Y} ¯A€ àV€ ïy‚ YI‡ å<Š >BŒ gaŒ ¡)• ÷
‘ %‘ X “ l“ I ” 'x” ð
— =— é*™ : ž ‚Dž ˜Wž •FŸ g0 H&¢ XJ¢ º|¦
H§ <;ª òOª ’c¬ M ® ëp¯ Q_± G5² 8?¶ ×#· ÏE¸ ñ » f ¿ x/Á 9
à •%à Ò
Ä k&Ä - Å •|Å -PÇ €iÇ )9É ÍMÊ %QÌ O0Î ù•Î
(Ò ±hÒ o× ¢u× œMÛ à&Þ •XÞ Sß zß 2+à ~8à `@à q&â {Lã hã HEå ˜tæ
ç <:è º^í °kî t5ñ Õ^ô ö
Cø =Nø I:ù 0Bú jû Lü æGý >3þ
G‰ I‰
ÿ@ € eÖ eÖ
eÖ
eÖ
4
,] ,^ ˆ t‰ €
@ € f
€ Ð @ € ° @ ÿÿ
U n k n o w n ÿÿ
ÿÿ
ÿÿ
ÿÿ
ÿÿ
ÿÿ
G-•
ï* àAx À
ÿ
T i m e s
N e w
R o m a n
5-•
€
S y m b o l
@
ÿ* àCx À
Ÿ
ÿ
ÿ
A r i a l
C a l i b r i
?=•
C o u r i e r
N e w
7.•
ï
ÿ* àCx À
;
(é
3.•
{
•
ï
ë B
M a t h
•N / È
Ÿ
1 ˆ
"
É
ðÐ
! ð
€
W i n g d i n g s
C a m b r i a
h
•BÒ VÂÚÆÓRË&( ç
²: •N
A-•
/ È
´ ´ •• 4
ˆ
ˆ
•É
²:
•
2ƒQ ð
$P
üý
ä
a I r i z
i r f a n
HX
ðÿ
ÿÿÿ•ÿÿÿ•ÿÿÿ•ÿÿÿ•ÿÿÿ•ÿÿÿ•ÿÿÿ•<:è
x
x
f a h r i z a
2
=
ÿÿ
>
!
-
!
"
#
$
%
&
'
(
)
*
+
,
-
.
/
0
1
2
3
4
5
6
7
8
9
:
;
<
=
þÿ
˜
$
0
¤
°
À
Ì
à…ŸòùOh «‘
à
+'³Ù0
t
ø
•
<
H
T
riz
\
-
d
-
l
ä
-
-
-
aI
Normal.dotm Office Word
@
@
¼tëBÉ @
irfan fahriza
*4E
æÅa‰É @
>ÄPTÊ
40
/
-
Microsoft
²:
•N
þÿ
+,ù®0
è
ÕÍÕœ.
“—
h
œ
¼
p
¤
|
¬
„
´
Œ
”
É
ä
-
É
È
ˆ
-
-
Title
!
.
@
R
"
/
A
S
e
d
w
‰
˜
ª
¼
T
f
x
Š
™
«
½
Ï
Î
á
ó
#
0
B
U
g
y
‹
š
¬
¾
Ð
â
ô
$
1
C
V
h
z
Œ
›
¿
Ñ
ã
õ
%
2
D
E
W
i
{
•
œ
®
À
Ò
ä
ö
&
3
F
X
j
|
Ž
*
7
I
[
m
•
‘
±
Ã
\
n
’
²
Ä
³
Å
×
é
û
ü
]
o
Æ
Ø
ê
,
9
K
•
“
¢
´
¡
Ö
è
ú
+
8
J
€
Ÿ
Õ
ç
ù
H
Z
•
°
Â
)
6
l
~
ž
Ô
æ
ø
G
Y
•
¯
Á
(
5
k
}
•
Ó
å
÷
'
4
^
p
‚
”
£
µ
Ç
Ù
ë
ý
:
L
_
q
ƒ
•
¤
¶
È
Ú
ì
þ
;
M
`
r
„
–
¥
·
É
Û
í
ÿ
<
N
s
…
>
P
b
t
†
?
Q
c
u
‡
v
ˆ
—
¦
¸
Ê
Ü
î
=
O
a
§
¹
Ë
Ý
ï
¨
º
Ì
Þ
ð
©
»
Í
ß
ñ
à
ò
"
#
$
%
&
'
(
)
*
+
,
þÿÿÿ0
1
2
3
4
5
6
7
8
9
þÿÿÿ;
<
=
>
?
A
B
C
D
E
F
G
H
I
J
K
L
M
N
O
P
Q
R
S
T
U
V
W
X
Y
Z
[
\
]
^
_
`
a
b
c
d
e
f
g
h
i
j
k
l
m
n
o
p
q
r
s
t
u
v
w
x
y
z
{
|
}
~
•
€
•
‚
ƒ
„
…
†
‡
ˆ
‰
Š
‹
Œ
•
Ž
•
•
‘
’
“
”
•
–
—
˜
™
š
›
œ
•
ž
Ÿ
¡
¢
£
¤
¥
¦
§
¨
©
ª
«
¬
®
¯
°
±
²
³
´
µ
¶
·
¸
¹
º
»
¼
½
¾
¿
À
Á
Â
Ã
Ä
Å
Æ
Ç
È
É
Ê
Ë
Ì
þÿÿÿ
Î
Ï
Ð
Ñ
Ò
Ó
Ô
þÿÿÿÖ
×
Ø
Ù
Ú
Û
Ü
þÿÿÿýÿÿÿýÿÿÿý
ÿÿÿýÿÿÿâ
þÿÿÿþÿÿÿþÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿ
ÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿR o o t
E n t r y
ÿÿÿÿÿÿÿÿ
À
F
à>gàPTÊ ä
€
D a t a
!
.
@
ÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿ
e
/
5
1 T a b l
ÿÿÿÿ
o c u m e n t
a t i o n
Í
t i o n
8
C o m p O b j
ÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿ
:
h%
W o r d D
ÿÿÿÿ
A\
S u m m a r y I n f o r m
(
ÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿ
D o c u m e n t S u m m a r y I n f o r m a
ÿÿÿÿÿÿÿÿ
Õ
y
ÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿ
þÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿ
ÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿ
ÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿ
ÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿ
ÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿ
ÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿ
ÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿ
ÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿ þÿ
ÿÿÿÿ
À
F'
Microsoft Office Word 97-2003 Document
MSWordDoc
Word.Document.8 ô9²q
Download